Pedang Berbunga Dendam Jilid 01

JILID I.

Musim salju di telaga Se-ou memang indah mempesona. Bagaikan bidadari sedang bersolek.

Tetapi bagaimanapun juga, dalam hawa yang sedingin itu, jarang sekali orang berkeliaran di jalan besar. Salju turun bertebaran, jalan tetutup warna putih. Hening sepi.

Hanya dibawah pohon Hu tua, masih terdapat beberapa anak yang tengah bergembira ria bermain- main. Membentuk boneka dan orang-orangan dari salju. Ada yang saling timpuk-menimpuk seperti orang berperang. Gelak tawa membahana riuh rendah.

Diantara delapan anak. yang tengah bermain membuat orang-orangan salju itu tiba-tiba mereka berhenti dan memandang ke muka. Dan diujung jalan yang jauh, tampak sebuah tandu yang dipikul empat orang lelaki berjalan seperti terbang cepatnya. Tandu Itu bagus sekali buatannya. Keempat dindingnya terbuat dari kaca jendela sehingga yang duduk dalam tandu itu dapat melihat pemandangan diluar.

Tetapi ternyata yang duduk dalam tandu itu bukan seorang hartawan atau orang berpangkat yang pada umumnya memang mempunyai tandu yang mewah. Melainkan hanya seorang anak perempuan berumur 14 an tahun. Seorang dara remaja.

Dara itu sebaya dengan anak-anak perempuan yang sedang bermain-main salju. Hanya bedanya kalau anak-anak yang bermain salju itu wajahnya berlumuran salju dan pakaiannya hanya dari kain kasar. Adalah dara dalam tandu itu berwajah putih seperti batu pualam, mengenakan pakaian tebal dan topi dari bulu rase yang mahal harganya.

Berada dalam tandu, dara itu tak henti-hentinya memandang keluar. Dibelakang tandu, diiring oleh seekor kuda tegar. Penunggangnya seorang lelaki setengah tua yang mengenakan mantel warna hijau gelap.

Penunggang kuda itu memiliki alis lebat, sepasang biji mata besar dan wajah yang gagah. Dia mencongklangkan kudanya pelahan-lahan mengiring dibelakang tandu.

Waktu tandu tiba ditempat anak-anak ber main, beberapa anak yang bermain itu mengunjukkan sikap macam-macam. Ada yang menyengir, ada yang sengaja melototkan mata, merentang mulut lebar- 1ebar seperti setan. Sudah tentu dara yang berada dalam tandu itu tertawa geli. 

Sekonyong-konyong ada seorang anak perempuan berteriak keras dan maju selangkah. Dengan mengangkat segumpal salju yang besar, dia lalu melontarkan kearah tandu.

Peristiwa itu terjadi secara tak terduga-duga dan cepat sekali sehingga keempat pemikul tandu yang tangkas juga tak dapat berbuat apa-apa karena terlongong-longong.

Bum ……!

Gumpalan salju sebesar bola Itu dengan cepat menghantam tandu. Sebenarnya dara yang di dalam tandu tidak kena apa-apa, tetapi entah bagaimana tiba-tiba ia menangis keras.

Melibat itu sekalian anak-anak yang sedang bermain-main itu tertawa dan bertepuk tangan kegirangan. Terutama anak perempuan yang melontar salju tadi, bukan kepalang senangnya.

Keempat lelaki pemikul tandu berhenti me1etakkan tandu dan salah seorang segera melesat maju kebelakang anak perempuan tadi, mengulurkan tangan terus mencengkeram bahu anak perempuan dan diangkatnya.

“Budak setan, barang kali engkau sudah bosan hidup, ya?” bentaknya bengis.

Wajah anak perempuan itu pucat seketika. Tetapi dia tak menangis, malah dengan mata melotot memandang lelaki Itu. Sudah tentu lelaki itu marah dan mengangkat tangan hendak menampar anak perempuan Itu. Tetapi tiba-tiba siku lengannya terasa mengencang keras sekali.

Dia tertegun dan memandang kearah siku lengannya, hahhhhh……. seketika semangatnya seperti terbang. Ternyata sikunya telah dililit oleh seekor ular yang sebesar Jari tangan.

Umumnya pada musim salju, bangsa ular tentu bersembunyi dalam lubang. Tetapi ternyata ular yang melilit sikunya itu tampak tangkas dan gesit sekali gerakannya.

Pemikul tandu pucat seketika dan membuka mulut hendak berteriak tetapi ah, ah….. tidak dapat bersuara.

Dan tepat pada saat itu, dari sebatang pohon yang penuh berlumuran salju, melayang turun seorang wanita. Rambutnya terurai kacau dan wajahnya menyeramkan.

“Ma!“ serentak anak perempuan Itu pun berteriak.

Keempat pemikul tandu terkejut sekali. lebih-lebih yang siku lengannya dililit ular itu makin menggigil keras.

Selekas tegak di tanah. wanita itupun bersuit keras dan ular itupun dengan cepat melepaskan lilitannya dan meluncur pergi. Keempat pemikul tandu yang sudah pecah nyalinya itu gopoh mengangkat tandu dan terus lari ngiprit. Anak perempuan tadi tertawa gelak-gelak dan mengejek kepada dara yang berada didalam tandu dengan menyeringaikan muka.

Tepat pada saat itu tiba-tiba muncul seorang lelaki tua yang berhenti di depan wanita berambut kacau tadi. Tetapi dia tak bilang apa-apa melainkan hanya menuding wanita itu dengan jari yang gemetar. disebabkan bibirnya juga ikut gemetar hendak mengatakan sesuatu tetapi entah bagaimana rasanya kerongkongannya seperti tersumbat sehingga tak dapat mengeluarkan sepatah katapun juga.

Anak perempuan tadi mengangkat muka dan memandang orang tua itu dengan gembira.

“Jangan bicara dengan mamaku, dia tak mau bicara dengan manusia!” serunya.

Orang tua itu menghela napas longgar katanya, “Budak perempuan, in……. ini mamamu? Anak perempuan itu tak senang, serunya, “Kalau bukan mamaku mengapa aku memanggilnya mama!’

Tiba-tiba orang tua itu berjongkok untuk memandang anak perempuan itu. Beberapa saat kemudian lalu berdiri dan memandang kepada wanita aneh yang terurai rambutnya. Daging-daging pada wajahnya tampak berkerunyutan, hatinya kacau tak keruan.

Beberapa jenak kemudian, entah kenapa, dari pelapuk mata orang tua Itu mulai bercucuran air mata. Sebenarnya anak perempuan tadi masih mendongkol. Tetapi ketika melihat orang tua itu mengucurkan air mata, tiba-tiba dia tertawa, “Lotiang, kenapa engkau menangis?”

Tampaknya orang tua itu memang berusaha untuk menahan air matanya agar Jangan sampai mengucur keluar. Tetapi sesaat si anak perempuan bertanya, air mata orang tua itu malah tak dapat dibendung lagi, bercucuran makin deras.

Dengan jari yang gemetar, dia menunjuk pada wanita yang lehernya berkalung ular, yalah ular yang telah melilit siku lengan pemikul tandu tadi, kemudian dengan suara yang dipaksakan dia berseru, “Moay- cu !”

Tetapi wanita itu tak menanggapi dan tetap menatap pada orang tua itu. Wajahnya sayu, setitikpun tidak menunjukkan reaksi apa-apa atas seruan Si orang tua yang penuh keharuan itu.

Dari sikap dan penampilannya itu, jelas menunjukkan bahwa wanita itu tentu sedang menderita gempa bumi dalam hati sehingga perasaannya hancur dan pikirannya tak waras lagi.

Seruan ‘moay-cu’ atau adikku dari orang tua itu penuh dengan nada yang haru dan mesra. Setiap orang yang mendengarnya tentu akan tersentuh perasaannya. Tetapi ternyata yang dihadapi orang tua Itu hanyalah seorang wanita yang sudah kehilangan kesadaran pikirannya dan seorang anak perempuan yang tak tahu apa-apa. Yang masih polos hatinya sehingga malah menertawakan orang tua itu. “Hai, pak tua, mengapa engkau ini? Engkau bertanya sendiri lalu menangis. Dan kemudian engkau memanggil mamaku dengan sebutan moay-cu. Mesra sih mesra tetapi apa tidak salah kenal?”

Sambil masih bercucuran airmata, orang tua itu gelengkan kepala, “Engkau tak tahu. Dia memang adikku. Bwe-nio, Bwe-nio kecil. Apakah engkau tak kenal aku? Aku adalah toakomu (engkoh yang paling besar)’

Nada orang tua itu makin rawan sehingga anak perempuan itu lak mau menertawakan lagi. Dia hanya terlongong-longong memandang orang tua itu.

Setelah mengusap airmata, orang tua itu menunduk dan bertanya kepada si anak perempuan, “Anak perempuan kecil mama orang she Co bukan?”

Wajah si anak perempuan yang semula berseri, tampak terkejut seketika, serunya, “Ya, benar mamaku she Co, dan akupun juga she Co.”

Anak perempuan itu bicara dengan polos. Bukankah tak salah kalau ia mengatakan bahwa kalau mamanya she Co maka diapun juga she Co.

Mendengar kata-kata itu si orang tua makin resah. Kata-kata anak perempuan itu menunjukkan sampai dimana pendidikan yang diterima dari mamanya.

Karena mamanya tidak normal pikirannya maka anaknya juga tak genah bicaranya. Masa dia tak tahu siapa she dari papanya dan ikut-ikutan pakai she mamanya. Daging pipi lelaki tua Itu kembali berkerenyutan dan berkata pula, “Dia…. bernama Bwe nio, bukankah begitu?”

Anak perempuan itu gelengkan kepala, “Entahlah, aku tak tahu. Selama ini belum pernah aku mendengar orang mengatakan begitu. Biasanya orang-orang menyebutnya…… perempuan gendeng, wanita gila…”

Orang tua itu menghela napas, “Benar, memang dia adalah adik perempuanku. Dan engkau adalah anak keponakanku. Siapa namamu?”

“Aku bernama Hen Hong tetapi adakalanya mama memanggil aku Siau Bwe.”

Kembali orang tua itu mengucurkan air mata, “Siau Bwe, Siau Bwe, benar, tepat sekali. Tetapi mengapa engkau dinamakan Hen Hong? Aneh sekali nama itu!”

Walaupun masih kecil tetapi Hen Hong itu berwatak kurang baik. Mendengar kata-kata si orang tua dia terus deliki mata, “Aneh atau tidak aneh, peduli apa engkau? Mama telah memberikan nama begitu, akupun harus memakai nama itu”

Orang tua itu menghela napas, “Bagaimana keadaan mamamu itu? Apakah dia tak dapat mendengarkan pembicaraan orang?”

Hen Hong gelengkan kepala, “Tidak begitu. Memang kalau orang lain yang bicara, dia sedikitpun tak mendengar. Tetapi, kalau aku yang bicara, dia tentu menjawab dan bertanya Dia hanya mendengar bicaraku saja.” 

‘Siau Bwe,” lelaki tua itu gopoh berseru, “kalau begitu lekaslah engkau kasih tahu kepadanya bahwa aku ini adalah engkohnya. Dulu ketika kita berpisah di gunung Tay-liang-san, dia hanya sebesar engkau.

Tetapi kuyakin…. dia tentu masih ingat kepadaku.”

Berkata sampai disitu kembali suaranya menjadi sember. Hen Hong memandang beberapa jenak kepada lelaki tua itu lain berteriak, “Ma!”

Wanita aneh itu berdiri seperti patung. Tetapi begitu mendengar suara Hen Hong, wajahnya segera berobah berseri ramah dan lalu menundukkan tubuh, “Ada apa?”

Hen Hong menunjuk pada lelaki tua dan berseru, “Ma, lotiang yang berada didepan kita ini, engkau sudah melihatnya belum?”

Rupanya wanita itu baru saat itu tahu kalau di mukanya terdapat orang. Dia mengangkat muka dan memandang kepada lelaki tua, serunya menyahut, “Ya, melihat.”

“Bwe Nio, apakah engkau tak kenal aku?” seru orang tua itu.

Cukup keras lelaki itu berseru tetapi rupanya wanita aneh tak mendengar.

“Ma, lotiang itu mengatakan kalau dia adalah toako- mu,” kata Hen Hong pula.

Wanita itu menegakkan kepala dan mendengarkan perkataan Hen Hong dengan wajah yang ramah. Tetapi setelah selesai mendengar, seketika berobahlah wajahnya.

Hen Hong terkejut melihat perobahan air muka mamanya. dan tiba-tiba pula wanita itu berteriak keras, “Toako, toako, engkau dimana?”

Sambil berteriak, dia memandang ke sekelingnya.

Orang tua Itu makin deras air matanya, “Bwe Nio, aku berada di hadapanmu. Engkau tentu tidak menduga, demikianpun aku. Kalau engkau tak berkalung ular, tentu aku takkan dapat mengenalimu. Dalam beberapa tahun ini, engkau apakah….”

Sebenarnya dia hendak bertanya kabar keadaan adiknya. Tetapi melihat keadaan wanita itu, dia sudah dapat menarik kesimpulan tak mungkin adik perempuannya itu dalam keadaan yang enak. Maka dia tak melanjutkan kata-katanya lagi.

Sambil menangis wanita itu terus lari ke muka dan menubruk bahu si lelaki tua lalu menangis tersedu sedan.

Sesaat kedua engkoh adik itu saling berdekapan dalam suasana yang mengharukan sekali. Salju masih bertebaran turun dari langit sehingga kepala dan tubuh kedua saudara itu penuh dengan tebaran salju.

Hen Hong, si anak perempuan, hanya memandang dengan lekat kepada mama dan lelaki tua itu. Dia tak mengerti bagaimana kisah keduanya tetapi bagaimanapun dia juga Ikut terharu. Airmatanya pun berlinang-linang. Seekor kuda tegar lari dengan pesat. Gumpal salju yang memenuhi jalan diterjangnya sehingga berhamburan ke empat penjuru. Setelah menyusur jalan yang cukup panjang akhirnya kuda itu berhenti di muka pintu sebuah bangunan gedung yang besar.

Pada kedua sisi rumah itu terdapat dua buah patung batu. Pada umumnya di tempat-tempat kediaman pembesar atau orang kaya, di muka rumahnya tentu berhias patung berbentuk singa. Untuk menambah hawa atau perbawa yang empunya rumah.

Tetapi patung yang berada di depan pintu gedung itu bukanlah patung singa melainkan patung sepasang rajawali raksasa. Paruhnya runcing kokoh seperti kait, bulunya mengkilap seperti besi. Walaupun terbuat daripada batu, namun ahli yang memahatnya benar- benar jempol sekali sehingga sepasang burung rajawali itu benar-benar seperti hidup yang sewaktu- waktu siap untuk terbang mengangkasa.

Sepasang rajawali itu memang dimaksud Untuk menunjukkan identitas atau ciri pribadi dari pemilik rumah.

memang sepasang rajawali raksasa itu dalam dunia persilatan juga mempunyai nama besar. Setiap orang persilatan apabila hanya mengingat tali persahabatan dengan pemilik rumah yaitu Thian eng tayhiap atau Pendekar rajawali langit Kwan Pek Hong, tentu sering datang berkunjung untuk menghaturkan selamat.

Tetapi apabila orang persilatan itu merasa dirinya telah banyak melakukan kejahatan dalam dunia persilatan, tentulah mereka tak berani berkunjung dan lebih baik menyingkir Jauh.

Nama Thian-eng-tayhiap Kwan Pek Hong dalam dunia persilatan wilayah Kangpak-Kanglam tak seorangpun yang tak kenal kepadanya sebagai seorang pendekar besar, pendekar keadilan dan kebenaran.

Dan bukan saja dia dikenal orang sebagal seorang tokoh yang berbudi dan dikagumi orang, pun setiap tokoh persilatan tahu bahwa Ilmu silat Kwan Pek Hong Itu merupakan sebuah aliran tersendiri. Baik ilmu tenaga luar (gwa-kang) maupun lwekang (tenaga- dalam) telah mencapai tingkat yang tinggi. Hal Itu telah diakui oleh dunia persilatan.

Kembali pada kuda tegar tadi begitu tiba di muka pintu, penunggangnya yang berumur pertengahan umur dengan memondong seorang anak perempuan yang berwajah pucat terus loncat turun dari kuda. Dari pintu samping segera keluar dua orang pelayan menyambut kedatangannya dengan hormat, “Siya, ada peristiwa apa?”

“Apa suhu ada?” tanya penunggang kuda agak gugup.

“Ada,” sahut kedua pelayan, “sedang berada di kebun, menghadapi perapian sambil menikmati bunga bwe. Socia kan hendak keluar melihat-lihat keindahan salju, mengapa cepat-cepat sudah pulang.

Pelayan atau budak Itu masih berkata ini-itu tetapi penunggang kuda itu tak menghiraukan. Dia tak mau mengetuk pintu besar tetapi berputar masuk ke pintu samping. Dibelakang pintu samping Itu terbentang sebuah lapangan yang di tengahnya dibelah oleh sebuah jalan batu marmar.

Pada ujung tanah lapang itu terdapat sebuah bangunan gedung besar. Orang itu terus masuk ke dalamnya dan menuju ke kebun belakang. Di kebun belakang terdapat sebuah empang besar, airnya sudah membeku jadi es. Beberapa batang sisa pohon teratai, menyembul keluar dari permukaan es. Kelopak bunga tertutup salju.

Di tengah-tengah empang besar itu terdapat sebuah bangunan yang menyerupai sebuah pagoda. Saat itu dari dalam pagoda terdengar suara orang tertawa. Perempuan itu segera melintas permukaan empang, menuju ke pagoda.

“Suhu!” serunya sebelum tiba.

Jendela pagoda itu tersiak dan terdengarlah suara penyahutan yang bernada serius, “Ada apa, Si Ciau, mengapa engkau kembali?” Orang itu memang bernama Si Ciau. Dia gopoh menyahut, “Suhu telah terjadi peristiwa!”

Baru saja dia berkata begitu dari pagoda telah terdengar lengking suara seorang wanita berteriak, “Apa? Terjadi peristiwa? Lalu bagaimana dengan Siau Ling?”

Dan menyusul sesosok tubuh telah melesat keluar dari pagoda itu. Cepatnya bukan main. Sepintas seperti seekor burung raksasa yang terbang melayang dan tahu-tahu sudah muncul di muka Si Ciau. Ternyata dia seorang wanita berumur 40-an tahun, berpakaian indah. Tetapi sayang wajahnya menimbulkan rasa muak pada yang melihatnya.

Wajahnya berbentuk muka kuda. Alis sebelah kiri tebal tetapi yang sebelah kanan tipis. Sepasang bibirnya cupet tidak dapat merapat sehingga giginya kelihatan. Hidungnya menjungkat ke atas sehingga kelihatan lubangnya. Sepasang matanya menonjol keluar, menampilkan kebengisan.

Melihat wanita itu Si Ciau gopoh mundur selangkah dan berkata, “Siau Ling sumoay tak kurang suatu apa.”

Anak perempuan yang ngamplok di dada Si Ciau yang semula pucat ketakutan, saat itu tiba-tiba menangis keras, meronta dan terus lari menubruk si wanita. Wanita itu dengan serta-merta menyambutnya.

Sebenarnya anak perempuan itu berumur 8 atau 9 tahun. Tidak seharusnya masih minta di gendong.

Tetapi ternyata wanita itu masih membopongnya seperti anak kecil saja.

“Jangan takut, Sia Ling, jangan takut. Ada mamah tak usah takut,” kata si wanita seraya mengusap-usap kepala anak perempuan tetapi matanya memandang dengan melotot kepada Si Ciau.

Si Ciau sebenarnya seorang lelaki yang gagah.

Tetapi dih adapan wanita Itu, dia seperti anjing mengepit ekor, ketakutan setengah mati. Pada saat itu sesosok tubuh lain juga menyusul melesat keluar dari dalam pagoda. Dia seorang pria berumur 50 an tahun. Dengan mengenakan jubah panjang warna ungu, mukanya tampak merah segar, gagah perkasa. Dia bukan lain adalah Thian-eng-tay- hiap Kwan Pek Hong.

“Ada apa? Siapa yang berani cari perkara itu, lekas katakan!” serunya.

“Suhu, subo,” kata Si Ciau gugup, “apa yang menimbulkan perkara itu, aku sendiri juga tak tahu.”

“Engkau kerja apa? Mengapa tak tahu apa-apa?” bentak wanita itu.

Ia mengelus-elus kepala dan punggung anak perempuan yang berada dalam bopongannya. Anak perempuan itupun mulai berhenti menangis.

Kwan Pek Hong kerutkan alisnya, “Hujin, sudahlah, jangan ribut dulu. Biarkan Si Ciau memberi keterangan dengan jelas.”

Hujin adalah sebutan dari seorang suami terhadap isterinya. Dengan begitu wanita itu adalah isteri Kwan Pek Hong. Dan Kwan Pek Hong begitu sabar dan sungkan meminta. Dan memang kata-katanya itu memang nalar.

Tetapi sebagal isteri, bukannya saja menerima permintaan sang suami yang nalar, kebalikannya wanita itu malah marah, “Kentut! Aku ribut apa? Anakku dihina orang sampai menangis, apa aku disuruh diam saja?” Hanya wajah Kwan Pek Hong yang menampilkan cahaya kemarahan tetapi mulut tak berani membantah. Dan Si Ciau pun tidak terkejut mendengar pertengkaran mulut suhu dengan isterinya itu. Rupanya dia sudah terbiasa mendengar hal semacam itu terjadi di antara suhu dan isterinya.

Setelah wanita itu selesai menumpahkan kemarahan, barulah Kwan Pek Hong berkata lagi, “Baiklah, karena ternyata Siau Leng tak kena apa- apa…..“

Maksud Kwan Pek Hong, dia hendak menyuruh muridnya, Si Ciau, untuk memberi keterangan. Tetapi di luar dugaan, lagi-lagi wanita itu mengamuk dan memaki-maki.

Terpaksa Kwan Pek Hong tidak melanjutkan katanya. Setelah mengatakan ya, ya, agar isterinya tidak marah-marah terus, dia lalu mengajak Si Ciau supaya ikut dia.

Sekali melesat, dia meluncur di atas permukaan empang yang sudah membeku jadi es. Waktu melintas, salju yang dilalui itu sedikitpun tidak ada bekas telapak kakinya. Dengan begitu jeIas, betapa tinggi ilmu gin-kang atau Meringankan tubuh yang dimilikinya.

Memang bukan tiada alasannya mengapa dunia persilatan mengagungkan nama Kwan Pek Hong sebagai seorang pendekar besar. Tentu itu dikarenakan Kwan Pek Hong memang memiliki kepandaian hebat yang layak mendapat penghargaan dan rasa kagum dari orang persilatan. Tetapi Si Ciau yang saat itu mengikuti dibelakang suhunya, diam-diam tertawa getir. Dia merasa kecewa tetapi kasihan terhadap suhunya. Di luar orang menyanjungnya sebagai pendekar besar tetapi ternyata didalam rumah dia tak lebih hanya seorang suami yang takut Di hadapan isterinya, Kwan Pek Hong bukanlah seorang pendekar Rajawali langit yang disegani melainkan hanya seekor anak ayam yang berada dalam cengkeraman burung elang.

Mengapa Kwan Pek Hong begitu takut setengah mati kepada isterinya?

Rahasia itu seisi rumah tak ada yang tahu bahkan Si Ciau sebagai murid pertama, juga tak tahu. Tak ada seorangpun yang tahu bagaimana asal usul Kwan hujin, namanya yang asli dan dari keluarga mana.

Orang hanya tahu bahwa Kwan hujin itu seorang wanita yang mengerti ilmu Silat, pun ilmu kepandaiannya bukan kepalang saktinya.

Tetapi orang tak mengaitkan antara kesaktian Kwan hujin dengan sikap Kwan Pek Hong yang begitu takut kepada isterinya. karena Kwan Pek Hong sendiri juga mempunyai nama besar. Kalau Kwan hujin itu memang hebat, mengapa dunia persilatan tak pernah mengenal namanya?

Sudah tentu para penghuni seisi rumah tangga Kwan Pek Hong, kecuali mereka yang sudah bosan hidup, tentu tak berani untuk menyiarkan tentang hal Kwan Pek Hong takut pada isterinya itu. Sekalipun dalam kesempatan dimana salah seorang penghuni rumah tangga Kwan Pek Hong keluar merekapun tak berani mengatakan hal itu kepada siapapun juga. Mereka lebih sayang kepalanya supaya jangan moncrot otaknya dan pada usil mulut.

itulah sebabnya dunia persilatan hanya tahu bahwa Kwan Pek Hong itu seorang pendekar besar yang berwibawa dan harum namanya. Tak seorangpun pernah membayangkan bahwa kalau didalam rumah, Kwan Pek Hong itu tak lebih dari seekor kutuk alias anak ayam.

Maka walaupun Si Ciau menyayangkan dan kasihan terhadap suhunya tetapi seperti seluruh penghuni rumah tangga Kwan Pek Hong, diapun tak berani menyatakan suatu apa.

Setelah meninggalkan paseban belakang, kedua suhu dan murid itu keluar dari rumah dan telah tiba di sebuah pagoda kecil di taman bunga barulah Kwan Pek Hong berhenti disitu.

Lebih dulu Kwan Pck Hong memandang ke sekeliling. Setelah melihat tak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia baru berkata dengan pelahan kepada muridnya, “Si Ciau, bagaimana keadaan wanita yang berkalung ular itu?”

Waktu bertanya tentang wanita itu wajahnya tampak tegang. Si Ciau yang sempat memperhatikan perobahan wajah suhunya, menduga kalau disitu tentu terselip sesuatu. Tetapi dia tak berani bertanya.

“Dia seorang perempuan gila, mukanya kotor, rambutnya panjang terurai sehingga sukar dibedakan dia itu perempuan atau lelaki,” katanya.

“Dimana engkau bertemu dengan mereka?” 

“Di ujung jalan dekat gili-gili sungai.”

Kwan Pek Hong mengangguk, “Baik, aku akan melihat kesana. Engkau tinggal saja disini, kalau subomu nanti bertanya, katakan kalau aku hendak mencari orang yang telah mengganggu Siau Leng, mengerti?”

“Suhu….“

“Kenapa?”

Si Ciau menghela napas, “Suhu, engkau seorang enghiong (pendekar gagah), mengapa……”

Belum selesai Si Ciau berkata, wajah Kwan Pek Hong merah padam dan tangannya gemetar. Tampak sikapnya seperti orang yang sedang menghadapi musuh besar.

“Si Ciau,” serunya dengan suara yang menahan kemarahan, “apakah engkau sudah bosan hidup?”

Jelas kalau Kwan Pek Hong sudah dapat menangkap apa yang hendak dikatakan muridnya.

Si Ciau menghela napas dan tak berani melanjutkan kata-katanya. Kwan Pek Hong berputar tubuh lalu melangkah keluar dan terus menuju ke pintu gedung. Dua orang tukang kebun membukakan Pintu.

Kwan Pek Hong tidak suruh mereka menyediakan kuda. Dia terus melesat lari ke jalan. 0rang-orang di jalan yang bertemu dengan dia serentak berhenti dan memberi salam dengan hormat. 

Kwan Pek Hong menuju ke tepi telaga Se ou Saat itu salju sudah berhenti. Tanah salju yang habis dilintasinya selalu meninggalkan telapak kaki yang dalam. Hal itu menunjukkan kalau dia sedang kacau pikirannya.

Waktu dia tiba di gili-gili tanggul tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara derap langkah orang. Kwan Pek Hong tertegun.

Sret, seret! dua sosok tubuh melesat dari samping dan mendahuluinya.

Setombak jauhnya tiba-tiba kedua orang itu berhenti dan berpaling, “Ai, apakah bukan Kwan tayhiap?”

Kwan Pek Hong memandang ke muka. Kedua orang yang berada disebelah muka itu yang satu pendek yang satu tinggi kurus seperti batang tonggak. Sedang yang pendek, pendek dan gemuk sekali seperti buah semangka. Dan gerakannya yang begitu cepat dan lincah tentulah kedua orang Itu memiliki ilmu ginkang yang hebat.

Rasanya Kwan Pek Hong seperti pernah tahu mereka tetapi entah dimana, dia lupa. Dia seorang pendekar yang termasyhur. Orang kenal kepadanya tetapi belum tentu dia kenal setiap orang.

“0, apakah anda berdua ini ”

Serta merta kedua orang itu memberi hormat, “Ah, Kwan tayhiap, kami adalah Ong Tiang Cu dan Cu Kiu sianseng dari puncak Peh Hoa nia di Hunlam. Beberapa tahun yang lalu di Hunlam kami pernah bertemu dengan Kwan tayhiap.”

mendengar itu teringatlah Kwan Pek Hong.

Tetapi waktu mendengar nama puncak Peh hoa nia di Hunlam mau tak mau hati Kwan Pek Hong berdebar-debar juga.

Propinsi Hunlam (Yun-nam) merupakan wilayah sebelah barat-daya yang masih belantara. Puncak gunung Peh hoa-nia (puncak Seratus bunga) itu terletak di tengah-tengah wilayah itu. Sebuah gunung yang boleh dikata tak pernah di jelajahi Orang.

Tetapi di Peh-hoa-nia-tang (Peh-hoa nia timur) dan Peh-hoa-nia-se (barat), masih dihuni oleh dua orang tokoh aneh. Yang tinga1 di Peh hoa nia timur adalah Ci Sui Sianseng, suhu dari kedua orang itu.

Ci Sui sianseng jarang sekali atau hampir tak pernah datang ke Tiong goan (Tiongkok tengah). Sampai dimana ilmu kepandaiannya, bagi orang-orang yang pernah mengunjungi daerah itu termasuk Kwan Pek Hong, juga sukar mengatakan.

Tetapi ketujuh anak murid Ci Sui Sianseng sering datang ke Tiong goan. Ketujuh anak muridnya itu masing-masing mempunyai wajab dan perawakan yang aneh, ilmu kepandaiannyapun tinggi. Kaum persilatan menjuluki mereka Tian lam-jit-sian atau Tujuh dewa tian lam (tian lam sama artinya dengan hunlam). Selama bertahun-tahun, belum pernah terdengar berita kalau mereka pernah kalah dengan seorang tokoh persilatan.

Kalau anak muridnya saja begitu lihay, suhunya tentu lebih hebat lagi. Itulah sebabnya maka nama Ci Siu sianseng itu sangat berkumandang di dunia persilatan.

Sedang yang tinggal di Peh-hoa-nia barat, ialah seorang tokoh hitam yang terkenal sangat

sadis. Dia sering malang melintang dalam dunia persilatan. Dia mendirikan suatu perkumpulan aliran agama yang diberi nama Peh-hoa-kau. Dia sendiri terkenal dengan nama Peh Hoa lokoay atau si tua aneh dari Peh hoa nia.

Peh Hoa lokoay dapat dianggap sebagai tokoh paling terkemuka dalam dunia hitam. Ilmu kepandaiannya Juga tinggi sekali.

Setiap tiga tahun sekali dia selalu menyelenggarakan pertemuan besar di Peh hoa nia barat Dia mengundang semua tokoh hitam dari segala aliran. Dalam pertemuan itu diadakan pesta pora secara besar-besaran. Tak kalah dengan pesta raja.

Dan setiap tokoh dunia hitam tentu merasa mendapat kehormatan besar apabila menerima undangan Peh Hoa lokoay.

Maka walaupun tinggal terasing di wilayah Hunlam, namun dunia persilatan kenal siapa Peh Hoa lokoay dan menganggapnya sebagai pemimpin dunia persilatan aliran hitam. Teringat akan Peh Hoa Iokoay, jantung Kwan Pek Hong berdetak keras. Hal itu memang ada sebabnya dan dalam cerita ini pada bagian belakang akan diberitakan tentang hal itu.

Mendengar kedua orang itu memperkenalkan diri dengan tak acuh Kwan Pek Hong mendesah lalu berkata, “Harap jiwi berdua jangan banyak peradatan. Bagaimana kabarnya Ci Sui sianseng?”

“Suhu baik-baik saja,” sahut Ong Tiang Cu Si tinggi kurus, “sejak Kwan tayhiap berkunjung ke Hunlam, suhu sangat berkesan sekali. Dia ingin sekali berkunjung ke Tiong-goan untuk mengadakan kunjungan balasan kepada Kwan tayhiap. Setiap tahun banyak sekali tokoh-tokoh dunia persilatan yang datang kepada suhu tetapi yang menjadi angan-angan suhu untuk mengadakan kunjungan balas itu hanya kepada Kwan tayhiap saja!’

Kwan Pek Hong memang sudah tahu bahwa seluruh dunia persilatan sama mengindahkan namanya. Tetapi waktu mendengar keterangan Ong Tiang Cu, entah mengapa dia merasa gembira.

Ci Sui sianseng merupakan tokoh dunia persilatan yang sangat dipuja. Kalau dia begitu mengindahkan terhadap dirinya (Kwan Pek Hong) sudah tentu makin menandakan betapa agung namanya dalam dunia persilatan.

“Ah, setiap saat Ci Sui sianseng akan meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumahku tentu akan kuundang segenap tokoh-tokoh dunia persilatan dalam sebuah perjamuan kehormatan untuk menyambut kedatangan beliau,” kata Kwan Pek Hong. 

“Ah, tentu akan wanpwe sampaikan pesan Kwan tayhiap kepada suhu,” kata Ong Tiang Cu. Sebenarnya dia terus mundur dan siap hendak pamitan tetapi tiba tiba sutenya yakni si pendek gemuk Cu Kiu berbisik, “Suko, tidakkah suko menanyakan tentang peristiwa yang terjadi pada Peh Hoa lokoay?”

Walaupun diucapkan dengan bisik-bisik tetapi Kwan Pek Hong dapat menangkap. Kembali hatinya tergetar keras.

Ong Tiang Cu mengiakan lalu tanyanya, “Ya, Kwan tayhiap, apakah Kwan tayhiap tahu peristiwa apa saja yang akhir-akhir ini telah terjadi pada Peh Hoa lokoay?”

Kwan Pek Hong berusaha untuk menekan perasaan dan menjawab hambar, “Aku belum sedikitpun pernah mendengar kabar Itu.”

“Sebagian dari kitab pusaka pelajaran ilmu silat milik Peh Hoa lokoay telah dicuri orang,” kata Ong Tiang Cu, “pencurinya bukan murid Peh Hoa Lokoay melainkan seorang bujang yang sejak kecil telah dipeliharanya. Peh Hoa lokoay menaruh kepercayaan penuh kepadanya, tak tahunya dia malah mencuri dan membawa kabur kitab pusaka itu!”

Diam-diam Kwan Pek Hong terkejut dalam hati, tanyanya, “Yang dicuri itu apakah bukan kitab Ik- su- keng peninggalan Ang Bau locu yang paling termasyhur di kalangan orang Shia-pay?“

“Benar,” sahut Ong Tiang Cu. Kwan Pek Hong tertegun sejenak lalu menghambur napas, “Kitab pusaka Ik su-keng itu setelah muncul beberapa puluh tahun yang lalu entah mengalami berapa banyak pertempuran berdarah baru jatuh ke tangan Peh Hoa lokoay. Sejak itu tak ada orang yang berani merebut dari Peh Hoa lokay lagi. Kini kalau kitab itu sampai muncul dalam dunia persilatan lagi, bukankah berarti akan menimbulkan malapetaka?”

Ong Tiang Cu mengangguk, “Benar. Baru Sedikit saja orang persilatan yang tahu akan peristiwa itu. Meskipun marah tetapi Peh Hoa lokoay terpaksa harus merahasiakan hal itu. namun bagaimana, lama lama berita itupun bocor dan tersiar Orang lain berbondong bondong hendak mengejar. Pencurinya saat ini berada di sekeliling daerah sini?”

Kwan Pek Hong terkejut, “Datang ke Hang ciu sini?” dia menegas.

“Ya,” jawab Ong Tiang Cu, “kedatangan kami ini juga karena hal itu. Kitab pusaka Ik su keng itu, siapa saja yang akan mendapatkan, pasti akan menjadi seorang tokoh sakti. Memang luar biasa sekali kitab itu!“

Kwan Pek Hong mengangguk tetapi tak bilang apa- apa lagi. Dan Ong Tiang Cu serta Cu Kiupun lalu memberi hormat dan melanjutkan perjalanan lagi. entah Kwan Pek Hong masih tegak termangu mangu. Benaknya mulai bergolak. Kitab pusaka Ik-su keng milik Peh Hoa lokoay dicuri orang, memang merupakan berita besar di dunia persilatan. Tetapi sebenarnya pikiran Kwan Pek Hong kacau bukan karena memikirkan peristiwa itu. Yang menjadi pangkal kegelisahannya tak lain adalah si wanita aneh berkalung ular itu. 

Masih membekas dalam-dalam pada benaknya, betapa indahnya selama dia hidup di samping wanita itu untuk beberapa bulan lamanya. Bulan-bulan itu dirasakan saat yang paling bahagia dalam hidupnya.

Tetapi sekarang, kemanakah dia harus mencari kebahagiaan itu?

Pelahan-lahan Kwan Pek Hong ayunkan langkah.

Saat itu kecuali hanya dia, di jalanan tak ada lagi orang yang berjalan. Sambil berjalan dia dapat mengenangkan pula kenangan yang telah lalu itu……

Waktu Itu pada bulan delapan dan musim dinginpun sudah menjelang tiba. Tetapi di wilayah Hunlam tak ada musim dingin. Malah pada musim dingin, di wilayah Hunlam itu beriklim sejuk seperti dalam musim semi.

Sepuluh tahun yang lampau. Pada waktu itu Kwan Pek Hong juga sudah mengangkat nama sebagai seorang pendekar yang termasyhur. Pada waktu itu dia akan menuju ke Su-jwan untuk menemui ketua partai Go bi pay dan Ceng shia pay Kemudian dia mengambil jalan melintasi puncak congsan dan tiba di hunlam, karena mengagumi nama Ci Sui sianseng maka dia memerlukan berkunjung ke Peh hoa nia.

Sesuai dengan namanya alam di gunung Peh hoa nia itu memang indah sekali. Pada saat wilayah Kanglam sedang didekap salju dingin maka di puncak Peh hoa nia kebalikannya malah sedang bertabur dengan ratusan bunga yang sedang mekar serempak, seolah—olah bunga-bunga itu saling berebut untuk memamerkan kecantikannya kepada dunia. 

Walaupun seorang pendekar yang tak biasa bergelut dengan ilmu sastera dan syair tetapi dalam lingkung alam yang seindah itu, mau tak mau hatinyapun tersengsam sekali. Dia membiarkan dirinya dibawa jalan perlahan-lahan oleh sang kaki agar sang mata dapat memandang sepuas puasnya keadaan alam sekeliling.

Karena terlena dengan keindahan alam, dia sampai tak memperhatikan arah. Dan terus berjalan ke arah muka saja dan tahu-tahu pada waktu petang hari, dia baru terkejut.

Surya silam seperti berada di sebelah depan itu menandakan kalau dia sedang berjalan ke arah barat.

Kedatanganya ke Peh-hoa-nia itu adalah untuk mengunjungi Ci Sui sianseng. Tetapi kalau dia tiba di Peh-hoa nia barat, bukan saja tidak akan bertemu dengan Ci Sui sianseng, dia malah akan berhadapan dengan murid-murid jahat dari Peh-hoa-kau.

Dia terkejut. Dia segan sampai bentrok dengan Peh Hoa lokoay dan anak muridnya. Cepat dia hentikan langkah. Dalam rimba belantara di pedalaman Hunlam, banyak sekali kabut beracun. Pada saat matahari terbenam, mulailah kabut beracun itu berhamburan keluar, memancarkan lima warna. Kwan Pek Hong tak berani melanjutkan perjalanan pada malam hari. Dia mencari lereng bukit yang tinggi dan kebetulan menemukan sebuah gua yang cukup bersih. Dia menyalakan korek. Setelah menyuluhi keadaan gua, barulah dia rebahkan diri. Suasana gua yang bersih dan tenang menyebabkan tak berapa lama kemudian dia terlena tidur. Entah berapa lama, dia terkejut karena telinganya didebur bumi yang menggetarkan derap kaki orang. Cepat dia duduk, Sekeliling gua gelap gulita sehingga ia tak dapat melihat apa-apa. Tetapi dia dapat menangkap suara napas terengah engah dan sepasang lelaki perempuan yang tengah mendatangi dengan gopoh. Jelas keduanya sedang ke gua situ.

“Bagus, sepasang laki perempuan itu tentu murid jahat dari Peh-hoa-kau. Mereka akan mengadakan pat-pat gulipat di sini. Takkan kulepaskan mereka berbuat tak senonoh,” pikir Kwan Pek Hong sembari diam-diam kerahkan tenaga dalam. Selekas mereka muncul, tentu akan dihantamnya.

Kedua pendatang itu tiba-tiba hentikan langkah.

Dan berkatalah yang lelaki dengan suara cemas, Moay-cu, baik engkau sembunyi di sini, jangan keluar. Pintu gua akan kututup dengan gundukan batu besar sehingga orang tak mungkin dapat menemukan engkau!”

Yang perempuan kedengaran menangis, “Toako,engkau sendiri bagaimana?”

Aku tak takut, kata si lelaki, “lo-koay itu tentu takkan menduga kalau aku yang membawamu lari. Moay-cu, aku sih tak mengapa, tetapi engkau tidak boleh tidak harus lolos. Apakah engkau tak memperhatikan, beberapa hari yang lalu betapa menyala sinar matanya ketika melihat engkau. Jika nafsunya berkobar, dikuatirkan engkau akan menjadi gundiknya yang nornor 27. Maka jangan bimbang lekaslah engkau meloloskan diri dari tempat neraka ini. “Toako, kuharap engkau baik-baik menjaga dirimu,” kata si perernpuan dengan terisak.

“Ya, kutahu” jawab si lelaki, “kalau ada kesempatan, aku tentu akan melarikan diri dan mencarimu di dunia persilatan. Paling tidak bersembunyilah dalam gua ini selama tiga hari. Lokoay tentu takkan menduga kalau engkau bersembunyi di tempat yang dekat. Lewat beberapa hari lagi kalau orang yang disuruh mengejarmu itu kembali dengan kosong, tentulah mereka segera akan melupakan engkau.”

Si perempuan hanya mengiakan dengan suara terisak lalu terdengar suara langkah kaki. Tentulah yang lelaki ke luar dari gua dan pada lain saat terdengar suara orang mendorong batu dari pintu guapun gelap.

Sudah tentu Kwan Pek Hong dapat mendengar jelas pembicaraan kedua orang tadi. Diam-diam Ia malu dan menyesal karena salah menduga kepada kedua orang itu. Dikiranya kalau mereka itu anak murid Peh Hoa lokoay yang tidak genah mau mencari tempat untuk berzinah. Tetapi ternyata mereka adalah sepasang saudara kakak beradik yang sedang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman Peh Hoa lokoay.

Setelah pintu gua ditutup, wanita itu masih terus menangis sedih. Sebenarnya setelah tahu keadaan wanita itu, Kwan Pek Hong menaruh kasihan dan bersimpati. Beberapa kali dia hendak berseru menegur perempuan itu tetap tak jadi. Dia kuatir, jangan2 perempuan itu karena kaget terus menjerit sekeras kerasnya sehingga membuat kaget lelaki yang berada di luar gua. Dan kedua kalinya, Kwan Pek Hong sendiri juga merasa kikuk dan takut.

Bahwa Kwan Pek Hong telah digunakan sebagai pendekar besar di dunia persilatan, setiap orang persilatan pasti sudah tahu. Tetapi dan aliran mana ilmu kepandaiannya dan siapakah gurunya, tak ada seorang persilatanpun yang tahu.

Memang pernah ada orang yang memberanikan diri untuk bertanya kepada Kwan Pek Hong, tetapi Kwan Pek Hong hanya tertawa dan tak menyahut, Oleh karena menyelidiki rahasia perguruan orang itu termasuk pantangan besar bagi orang persilatan, oleh karena Kwan Pek Hong tak mau mengatakan maka orangpun tak berani mendesak lagi.

Sebenarnya ilmu kepandaian Kwan Pek Hong itu diperoleh dari isterinya. Memang Kwan hujin mempunyai sejarah kehidupan yang hebat. Nanti pada bagian terakhir dari cerita ini pembaca akan mengetahui.

Oleh karena ilmu kepandaiannya berasal dari isterinya maka Kwan Pek Hong pun jeri dan patuh kepada isterinya.

Dia tak berani main-main di luaran, terutama terhadap wanita, dia menyingkir jauh-jauh. Karena kalau sampai isterinya mendengar ada berita-berita tentang tingkah lakunya diluaran suka main-main dengan wanita, wah, celaka nanti. Bahwa pada saat itu ketika berada dalam goa dia hanya terlongong-longong tak berani buka suara ketika melihat gadis cantik itu, adalah karena sebab itu.

Beberapa waktu kemudian barulah tangis gadis itu mulai reda. Dan Kwan Pek Hong mulai tegang. Dia berpikir, gua itu termasuk dalam wilayah Hunlam yang jauh sekali dari tempat tinggalnya. Apa salahnya kalau dia mengajak bicara dengan gadis itu? masa ada orang yang tahu!

Padahal orang yang mengembara dalam dunia persilatan, bertemu dan bicara dengan wanita yang belum dikenal, bukanlah suatu hal yang mengherankan. Tetapi karena begitu mendalam rasa takut Kwan Pek Hong terhadap isterinya maka sebelum terlaksana keinginannya untuk bicara dengan gadis itu. Hatinya sudah berdebar debar keras.

Beberapa saat kemudian setelah perasaannya tenang barulah dia mulai membuka mulut dan berseru dengan suara berbisik, “nona Jangan takut……”

Walaupun Kwan Pek Hong sudah berusaha menegur dengan pelahan dan ramah tetapi karena datangnya begitu tiba-tiba, mau tak mau gadis itu menjerit kaget juga. “Nona harap jangan berteriak. Kalau engkau berteriak, anak murid Pek Hoa lokay tentu akan mendengar. Nanti sukar bagimu untuk melarikan diri!” Kwan Pek Hong cepat-cepat menyusuli keterangan.

Setelah berdiam sejenak dengan masih ragu-ragu gadis itu berseru, “Engkau…. Apakah bukan orang dari Peh Hoa lokoay?” “Bukan, aku pejalan yang kebetulan berada di tempat ini.”

“Jangan coba menipu aku,” kata gadis itu, “disini daerah gunung Peh-hoa-nia sebelah barat, siapa berani datang kemari? Kalau engkau tak mau bicara dengan jujur, jangan salahkan kalau akan kulepaskan ular berbisa untuk mengggigitmu!”

Kwan Pek Hong hendak menerangkan dengan isyarat tangan tetapi ditempat gelap tentu tak terlihat oleh si gadis maka segera dia berseru, “Jangan, jangan lepaskan ular berbisa. Keteranganku tadi memang sungguh-sungguh”

Gadis itu diam beberapa saat baru berkata lagi, “Engkau datang dan luar daerah? Perlu apa engkau datang kemari? Apakah hendak masuk menjadi anak buah Peh-hoa-kau?”

“Tidak nona,” buru-buru Kwan Pek Hong menerangkan, “aku sebenarnya hendak mengunjungi Bok Thiat sianseng tetapi karena kesengsam dengan keindahan alam aku sampai tersesat tiba di Peh-hoa- nia barat. Dan karena kemalaman, terpaksa aku berteduh disini.”

Gadis itu menghela napas, “Memang sebaiknya jangan ikut Peh-hoa-kau. Kalau engkau mau mendengar nasehatku, kukatakan Peh—hoa—kau itu bukan tempat yang layak untuk berteduh.”

Setelah mendengar suara gadis itu lemah lembut dan merdu, nyali Kwan Pek Hong bertambah besar. Dia membayangkan betapakah wajah gadis itu. Dan ketika gadis itu memberi anjuran yang begitu baik, makin besarlah keinginan Kwan Pek Hong untuk melihat bagaimana wajah gadis itu.

Menurutkan arah suara si gadis, Kwan Pek Hong maju setengah langkah dan tiba-tiba dia menyalakan korek api.

“Hai, mau apa engkau? Lekas padamkan korekmu!” begitu api menyala, si gadis kaget dan berteriak.

Oleb karena hanya ingin melihat wajah Si gadis, maka Kwan Pek Hong pun lalu meniup koreknya. Dia pun menyadari, walaupun pintu gua telah ditutup dengan batu besar tetapi toh masih ada celah-celah kecil. Kalau didalam gua memancar penerangan tentu dapat diketabui orang.

Tetapi sehabis meniup padam korek, Kwan Pek Hong masih terlongong-longong seperti patung.

Mengapa?

Seumur hidup dia belum pernah melihat seorang wanita yang sedemikian cantiknya seperti gadis yang berada di hadapannya itu.

Gadis itu baru berusia sekitar 20 an tahun.

Walaupun wajahnya agak pucat, tetapi malah makin memancarkan kulitannya yang putih bersih sehingga sepasang biji matanya yang hitam makin tampak menonjol. Mengenakan pakaian warna kelabu, rambut terurai sampai ke bahu.

Waktu Kwan Pek Hong terpesona memandangnya dengan heran. Kwan Pek Hong seorang pria yang cakap dan gagah memiliki wibawa. Walaupun dalam ke adaan terlongong-longong seperti orang tolol, tetapi tetap menampilkan profil seorang pria yang membuat hati gadis-gadis berdebar-debar.

Gadis Itu juga diam dan Kwan Pek Hong pun masih tegak terlongong. Hanya satu yang mengejutkan Kwan Pek Hong yaitu bahwa gadis yang secantik itu mengapa pinggangnya berlilit seekor ular kecil tetapi panjang. Menilik bentuk badan si ular yang gepeng, jelas tentu sejenis. ular yang amat beracun sekali.

Separuh tubuh ular itu melilit pada leher si gadis dan yang separoh melilit pinggang, sepintas mirip orang bersabuk dan berkalung.

Ular apalagi ular berbisa, sebenarnya merupakan binatang yang ganas dan mengerikan. Tetapi berada pada tubuh si gadis, ular itu tidak buas malah merupakan semacam perhiasan yang menimbulkan kesan bahwa gadis itu bukan manusia biasa melainkan seorang dewi yang turun ke bumi.

Ihhh…. tiba-tiba mulut Kwan Pek Hong mendesis kaget karena batang korek sudah menyala sampai pangkal dan menyengat jarinya. Dia lepaskan korek itu dan seketika tempat itu gelap lagi. Namun dia masih tegak termangu-mangu saja.

Entah berselang berapa saat, baru kedengaran dia berseru dengan lembut, “Engkau sungguh cantik sekali bagaikan seorang dewi.” Walaupun dengan berbisik tetapi karena keadaan gua itu sunyi sekali maka gadis itu dapat mendengarnya juga.

“Ah, jangan terlalu berlebih.-lebihan memuji orang,” bisik gadis itu.

Selama ini belum pernah Kwan Pek Hong memuji wanita. Isterinya jelek dan ganas. Tak pernah dia mengeluarkan sepatah kata memujinya.

Karena itu walaupun sudah berusaha untuk menekan perasaan dan ditempat yang gelap. Tak urung setelah mengeluarkan kata-kata itu, hati Kwan Pek Hong berdebut keras, dia kuatir gadis itu tidak mendengar tetapipun kuatir kalau gadis itu akan mendengar. Malau rasanya.

Baru setelah gadis itu menjawab dengan kata-kata yang tidak mencelanya bahkan bernada gembira, barulah hatinya lega, “Tetapi memang sungguh, ya, sungguh ……“ gopoh dia berseru.

Gadis itu tertawa pelahan, “Engkau…. gagah dan berwibawa, tentu juga seorang persilatan Siapa namamu?”

Sudah tentu Kwan Pek Hong makin meriah perasaannya, “Aku orang she Kwan nama Pek Hong. Ya, memang orang persilatan tetapi dengan nama kecil, orang menyebut….“

Sebelum Kwan Pek Hong seleai berkata, gadis itu sudah menukas, “Kutahu. engkau Thian eng tayhiap Kwan Pek Hong!” Bukan main girang Kwan Pek Hong. Ternyata namanya berkumandang jauh ke sudut penjuru sehingga setiap orang tahu. Hal itu sebenarnya dia sudah tahu dan tak heran. Tetapi entah bagaimana, bahwa gadis itu juga tahu namanya, dia mendadak gembira luar biasa.

‘Ya, benar,” sahutnya, “kiranya nona juga sudah tahu namaku yang rendah itu.”

Gadirs itu berkata riang, “Kalau engkohku tahu bahwa begitu melarikan diri aku terus bertemu dengan Kwan tayhiap, dia pasti gembira sekali. Kwan tayhiap, orang-orang yang datang dari daerah Tiong-goan, sering mengatakan tentang namamu. Sungguh tak kira katau engkau….. masih muda dan….. dan begitu…. ramah……

Kwan Pek Hong rasakan sukmanya seperti melayang-layang di alam nan indah.

“Nona, siapakah namamu yang mulia?” “Aku orang she Cu, nama Bwe Nio.”

Diam-diam Kwan Pek Hong sudah mengukir nama Bwe Nio itu dalam lubuk hatinya. Dan tak terasa mulutnya berulang-ulang menyebut nama Itu, seolah seperti orang yang menghafalkannya agar jangan terlupa. Dan entah bagaimana gadis itu menyahut pelahan, setiap kali namanya disebut.

Pada saat itu Kwan Pek Hong seperti terbenam dalam lamunan yang indah. Keduanya telah terlibat dalam pembicaraan yang asyik sekali. Kemudian mereka merasa bahwa mereka hanya membuang- buang waktu saja dalam pembicaraan. Mereka merasa kata-kata tak dapat mewakili hati mereka. Kata-kata bukanlah hati. Dan hati itu menuntut lebih dari kata- kata. Merekapun diam karena tak ada kata-kata yang tepat untuk menyuarakan hati mereka.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba Co Bwe Nio menangis Tetapi tangis kebahagiaan. Kebahagiaan yang baru pertama kali itu seorang gadis menikmati sepanjang hidupnya.

Empat hari telah lewat mereka menikmati keindahan hidup yang amat berbahagia. Mereka lalu keluar dari gua dan menuju ke sebuah lembah yang sunyi. Mereka seperti dimabuk kebahagiaan dan merasa bahwa dunia ini hanya milik mereka berdua. Mereka lupa bahwa masih ada orang ketiga yang akan marah.

Sebulan telah berlalu, dua bulanpun lewat. Pada saat itu barulah Kwan kek Hong tersadar dari impiannya yang indah. Dia teringat bahwa di rumahnya masih ada isteri yang menunggu kedatangannya. Isteri yang jelek dan galak.

Sebulan kemudian dengan penuh kemesraan dia memberi ciuman kepada Co Bwe Nio yang masih tergolek dalam impian. Lalu dia menuju ke sebelah timur gunung untuk mengunjungi Thi Swi sianseng.

Tetapi setelah meninggalkan tempat kediaman Thi Swi sianseng, timbullah kegelisahan Kwan Pek Hong. Sebenarnya dia ingin kembali kepada Co Bwe Nio.

Tetapi bagaimana dengan isterinya yang menunggu dirumah itu? Kalau terlalu lama isterinya pasti akan menyusul dan kalau sampai ketahuan dia bersama dengan seorang gadis cantik, wah, celaka. Bukan saja dia akan dibunuh, pun gadis yang tak tahu apa-apa itu pasti akan dibunuhnya juga.

Alkhirnya rasa takut kepada sang isteri lebih besar dari cintanya kepada Co Bwe Nio. Dia lalu pulang ke Hang-ciu. Untung isterinya tak curiga dan tak menanyakan apa-apa.

Hari2 bahagia bersama si cantik Bwe Nio, merupakan kenangan yang paling indah, seindah impian, bagi Kwan Pek Hong.

Dia bagaikan bermimpi bertemu dengan seorang bidadari. Tetapi dia merasa, itu bukan impian melainkan peristiwa yang benar-benar terjadi. Dia hanya mengharap, mudah-mudahan dia mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan Bwe Nio lagi.

Hari demi hari, tahun berganti tahun, tak terasa 10 tabun sudah lewat. Dan selama Itu Kwan Pek Hong tak pernah mendengar lagi tentang diri gadis yang dicintainya itu.-

Hari lewat hari, tahun berganti tahun, tak terasa 10 tahun telah berlalu. Baru pada hari itu ketika mendengar laporan muridnya, Si Ciau, barulah Kwan Pek Hong terkejut sekali. Seorang wanita yang bermain-main dengan ular, demikian laporan Si Ciau. Apakah wanita itu bukan Co Bwe Nio? Ya, apakah tidak mungkin kalau jelita yang pernah bercengkerama dengan dia dalam taman seribu kenyataan dan impian dulu itu?

Setelah tegak termenung-menung sampai beberapa waktu barulah Kwan Pek Hong tersadar dari lamunan. Pelahan-lahan dia berputar tubuh dan ketika mengangkat muka memandang kedepan, dia melonjak kaget.

Tadi karena sedang terbenam dalam lamunan dia tak sempat memperhatikan apa yang terjadi di belakangnya. Dan kini setelah dia berputar ke belakang, ternyata dia telah dikepung oleh lima orang.

Kwan Pek Hong seorang jago yang banyak makan asam garam dunia persilatan. Menilai wajah mereka, tabulah dia kalau kelima orang itu tentu mengandung maksud tak baik.

Kwan Pek Hong agak mengangkat tangan kiri keatas untuk melindungi dada. Dia tak bicara apa-apa.

Salah seorang dari kelima orang, seorang laki tua beralis putih, mengangkat tangan memberi hormat seraya berkata, “Kwan tayhiap” . .

Kwan Pek Hong tak tahu siapa kelima orang itu.

Walaupun mempunyai kesan kalau mereka mengandung maksud buruk tetapi menilik tadi waktu dia berdiri membelakangi, mereka tidak menyerang maka Kwan Pek Hong pun balas memberi hormat, “Terima kasih, anda berlima ini …..?

“Aku Li It Beng, kepala bagian ruang Thian siu-tong dari perkumpulan Peh-hoa-kau. Dan ke empat orang ini adalah anak buah dari ruang Thian-siu-tong kami” kata lelaki tua itu.

Mendengar nama Peh-hoa-kau, wajah Kwan Pek Hong mengerut gelap dan mendengus. Dia adalah seorang kojiu aliran Ceng-pay yang termasyhur. Sudah tentu dia merasa segan berbicara dengan kawanan anak buah Peh-hoa-kau yang termasuk golonsan Shia-pay (sesat).

Li It Beng berlima tidak mau menanggapi sikap acuh dari Kwan Pek Hong itu. Dengan masih bernada sungkan berkatalah dia, “Kedatangan kami ke Hang- ciu ini, memang hendak mencari Kwan tayhiap. Ada suatu hal yang kami hendak minta keterangan kepada Kwan tayhiap. Maka sungguh kebetulan sekali kita dapat bertemu disini!”

“Aku tak mempunyai hubungan dengan Peh hoa- kau perlu apa kalian hendak mencari aku?’ kata Kwan Pek Hong dengan nada dingin.

Sejenak Li It Beng memandang ke sekeliling.

Setelah turun salju lebat, empat penjuru sunyi sekali tak ada barang seorangpun yang kelihatan. Setelah Itu baru dia berkata, “Kwan tayhiap, ada suatu kata yang terkandung dalam hatiku, tetapi aku tak tahu. apakah kata-kata itu layak kukatakan atau tidak!”

Li It Beng berusaha untuk bersikap merendah tetapi kebalikannya malah menimbulkan kemuakan Kwan Pek Hong, “Kalian kan sudah dari ribuan li jauhnya, mengapa tak mau mengatakan secara terus terang apa maksud kalian ini, agar jangan mengganggu waktuku!” serunya.

Dengan kata-kata itu jelas menyatakan kalau Kwan Pek Hong tak suka menyambut kedatangan mereka.

Li It Beng tidak menghiraukan dan sembari tertawa keras, berseru, “Kwan tayhiap ternyata seorang yang cekatan dan tangkas bicara. Kami semua tak ada yang tidak mengagumi ilmu kepandaian Kwan tayhiap. Tetapi kurasa Kwan tayhiap juga takkan memandang rendah pada ilmu silat dari lain golongan, bukan?”

Alis Kwan Pek Hong yang tebal tampak menjungkat, “Engkau ingin apa, lekas katakan, perlu apa harus berputar-putar begitu?”

Dengan nada berat Li It Beng berkata, “Kwan tayhiap, paling akhir ini ada orang datang dan puncak Peh-hoa-nia lalu datang Ke tempat kediaman Kwan tayhiap, benar tidak?”

Mendengar itu Kwan Pek Hong terkesiap, pikirnya, “Apa maksudnya itu?”

Tetapi sebagai seorang persilatan yang berpengalaman, sejenak setelah tertegun, dia segera teringat akan laporan dari Ong Tiang Cu dan Cu Kiu tadi. Mereka melaporkan tentang hal seorang anakbuah Pek hoa-kau. Tidakkah pertanyaan Li It Beng yang melingkar-lingkar itu bukan anak murid Peh hoa-kau itu yang. dimaksudkan?

Kwan Pek Hong terkejut dan marah sekali. Karena apabila peristiwa itu sampai tersiar keluar entah bagaimana nanti jadinya. Bukankah tentu menimbulkan reaksi besar yang akan membawa kesulitan bagi dirinya?

“Tidak ada peristiwa itu terjadi di rumahku, engkau salah alamat,” katanya pura-pura tak tahu.

Li It Beng terkesiap, katanya pula, “Kwan tayhiap seorang tokoh yang menonjol. Apa yang Kwan tayhiap ucapkan kami tentu percaya. Tetapi banyak kaum persilatan yang mengatakan memang ada peristiwa itu dan lagi ………”.

Li It Beng licin dan licik. Dia tertawa, katanya, “Waktu kami mengejarnya, dia memang berada di kota Hang-ciu sini.”

Kwan Pek Hong paksakan tertawa, “Sungguh lucu juga. Orang itu kalau memang datang ke Hang-ciu tentu akan membawa akibat bagiku?’

Memang kata-kata yang diucapkan Li It Beng masih bernada menghormat tapi isi kata-katanya memang sudah tak menurut rel lagi.

“Kwan tayhiap,” katanya pula, “nama besar Kwan tayhiap berkumandang jauh ke seluruh dunia persilatan Kanglam. Orang itu tidak mengambil jalan di jalan-jalan yang sepi malah menuju ke Kanglam sini Tentulah dia mempunyai dendam dengan perkumpulan kami. Tentulah hanya Kwan tayhiap seorang yang tahu apa sebab setibanya di Hang-ciu sini, dia tak mau mengadakan kunjungan kepada Kwan tayhiap?”

Dengan pengalaman berkecimpung selama hampir separoh dari usianya maka Kwan Pek Hong pun tahu bahwa ada kalanya orang persilatan itu fanatik sehingga sukar menerima penjelasan lain orang. Kalau bukan orang itu memiliki latar keluarga yang hebat, kami yang sudah terlanjur marah, tentu akan melenyapkan orang itu.

Walaupun marah tetapi Kwan Pek Hong berusaha untuk menekan perasaannya, ujarnya, “Aku sungguh tak melihat orang itu. Dan lagi walaupun aku menikmati kemasyhuran nama yang terkemuka, maka kamipun tak menginginkan kitab itu.

Waktu ketemu dengan dua orang anak murid Thiat Swi sianseng, tahu kalau satu set kitab pelajaran ilmu silat aneh itu, telah dibawa lari orang.

Kwan Pek hong mulai meluap lagi hawa kemarahannya. Dia terus hendak membuka mulut tetapi tiba-tiba dia melihat wajah Li It Beng berobah cahayanya.

Sudah tentu Kwan Pek Hong terkesiap lagi Namun dia menyadari bahwa sekali saja sampai kelepasan omong dengan rombongan murid peh hoa kau apabila tersiar keluar, resikonya besar sekali.

tentu dia akan didatangi kaum persilatan yang akan bertanya dan meminta pertanggungan jawab.

Dia duga Li It Beng tentu sudah tahu seluruh persoalannya. Sebelum dia mengatakan ternyata Li It Beng sudah mendahului mengatakan kitab pusaka Ih- su-keng telah dilarikan orang sebagian. Dengan begitu kedatangan Li It Beng ke kota Hangciu sini, tentu sudah direncanakan. Dia mendapat kesan bahwa sebaiknya dia membatasi diri dalam pembicaraan.

Pokoknya, dia menarik kesimpulan bahwa kedatangan Li It Beng berlima ke kota Hang-ciu memang sudah direncanakan Jauh hari dulu. Dengan begitu pula, Li It Beng berlima itu tentu menaruh kecurigaan terhadap dirinya (Kwan Pek Hong). Wah, kalau begitu halnya maka sukarlah baginya untuk menyangkal. Tetapi sebagai seorang tokoh berpengalaman walaupun dipojokkan Dia menghadapinya dengan cara tak mau bicara saja. Karena fihak Li It Beng juga diam maka beberapa jenak lamanya suasana ditempat itu diam dan sepi. Kalau toh nanti dia harus menjawab, juga dia tak mau buru-buru memberi jawaban agar tak menunjukkan kelemahan

Lebih kurang sepeminuman teh lamanya baru kedengaran Li It Beng berkata dengan nada dingin, “Kwan tayhiap, dihadapan orang yang tahu tentu tak berani bicara bohong. Orang ini, jelas Kwan tayhiap yang telah menerimanya. Dengan memandang muka Kwan tayhiap, kami, takkan menarik panjang urusan itu. Tetapi kitab Ih su keng itu harap Kwan tayhiap berikan kepada kami agar nanti kami dapat memberi pertanggungan jawab kepada kau-cu kami.”

Mendengar kata-kata orang yang menuduh kalau kitab Ih-su-keng tentu sudah berada di tangannya, Kwan Pek Hong tak dapat menahan diri lagi, serunya, “Apa arti kata-katamu itu? Ku katakan, aku tak pernah bertemu dengan orang itu, apakah engkau tak percaya?”

“Sudah tentu tak percaya!’ tiba-tiba diluar dugaan Li It Beng menyahut dengan nada keras.

Kwan Pek Hong tertawa dingin, “Baik, lalu dengan cara bagaimana engkau baru mau percaya?”

Li It Beng menggapai dan keempat orang yang berada dibelakangnya, serentak memencar dalam bentuk lingkaran kipas. Setelah itu Li It Beng tertawa dingin, “Jika begitu terpaksa aku ha Cepat sekali Kwan Pek Hong merangkai penilaian. Dia tak tahu bagaimana asal usul Li It Beng. Tetapi dari sinar matanya yang tajam, dia tahu kalau orang itu tentu memiliki tenaga dalam yang tinggi.

Menurut keterangan tadi, Li It Beng itu kepala Ruang Thian-siu-tong dari Peh hoa-kau. Dan setelah kehilangan kitab pusaka ih-su-keng, ketua Peh-hoa- kau lalu menugaskan Li It Beng untuk mengejar jejak si pencuri. Jelas bahwa kepercayaan ketua Peh-hoa- kau itu tentu bukan tidak ada dasarnya, tentulah karena Li It Beng itu dianggap sebagai anak buah yang paling lihai sendiri. Diam-diam Kwan Pek Hong mendapat kesan bahwa dia tak boleh merendahkan orang itu.

Sambil menimang-nimang Kwan Pek Hong tetap tegak dengan tenang lalu berkata hambar, “O, apakah mau mengajak berkelahi? Silahkan!”

Li It Beng tidak menjawab melainkan maju selangkah. Karena dia paling dekat jaraknya dengan Kwan Pek Hong maka setelah maju selangkah itu, dia sudah langsung berhadapan rapat dengan Kwan Pek Hong.

Kwan Pek Hong terkejut melihat tingkah laku orang. Pada umumnya orang yang bertempur tentu tak mau secara merapat Apalagi Li It Beng tentu tahu dengan siapa dia berhadapan. Tetapi nyatanya Li It Beng sengaja berbuat demikian. Hal itu bagi seorang tokoh seperti Kwan Pek Hong tentu tak luput dan perhatian. Dan serentak diapun teringat akan seorang tokoh dalam dunia persilatan. Cepat-cepat dia loncat menyingkir. Tetapi berbareng itu, Li It Beng pun sudah turun tangan. Kedua lengan bajunya bergetar dan entah bagaimana tahu-tahu tangannya sudah mencekal dua buah senjata yang aneh bentuknya. Tangan kiri memegang sebatang tombak pendek, tangan kanan mencekal sebuah pukul besi.

Tring!, begitu dikeluarkan, kedua senjata itu saling berbentur dan mengeluarkan bunyi yang tajam sekali. Dan secepat kilat terus disongsongkan ke muka.

Jika tadi Kwan Pek Hong tidak cepat-cepat menyingkir, tentu sukarlah baginya untuk menghindar Untung dalam waktu yang amat singkat dia teringat bahwa di daerah Kwi say ada sebuah perguruan Lui kong bun yang memiliki ajaran ilmu silat yang aneh ialah selalu berkelahi secara merapat. Senjata yang mereka gunakan, seperti yang digunakan Li It Beng, yang satu panjang yang satu pendek.

Memang Li It Beng cepat sekali tetapi wan Pek Hong yang menyingkir tadi lebih cepat lagi oleh karena itu serangan Li It Beng hanya menemui tempat kosong.

Dan dalam loncat menyingkir tadi dengan cepat Kwan Pek Hong sudah berputar-putar kebelakang lawan seraya mengibaskan lengan bajunya untuk menolak keempat anak buah Li It Beng. Sedang tangan kanannya segera menerkam tengkuk Li It Beng.

Gerakan Kwan Pek Hong itu memang hebat sekali tetapi dia tak menduga kalau Li It Beng juga tak kalah tangkasnya. Setelah serangannya gagal dan mendengar angin melanda dari belakang, dia terkejut sekali. Dia tahu lawan tentu sudah berada di belakangnya. Tanpa berputar ke belakang dia terus sabatkan kedua senjatanya ke belakang. 

Ujung tombak menusuk kearah siku lengan kanan Kwan Pek Hong sedang pukul besi menghantam perut lawan. Sungguh suatu jurus serangan yang luar biasa aneh dan dahsyatnya.

Serangan itu, baik Li Ik Beng maupun keempat anak buahnya tentu mengira kalau Kwan Pek Hong terpaksa harus mundur. Tetapi ternyata dia tak mau mundur. Melihat serangan kedua senjata Li It Beng Kwan Pek Hong cepat enjot tubuhnya ke udara Dia membubung lurus keatas dan turunnyapun juga lurus ke bawah. Tetapi dalam saat naik dan turun Itu dia sudah melakukan gerakan berputar-putar tubuh. Dan ketika melayang turun, dia melampaui kepala Li It Beng dan turun dibelakangnya.

Seharusnya Li It Beng tahu kalau lawan tentu akan melayang turun dihadapannya. Tetapi karena dia salah hitung, mengira Kwan Pek Hong tentu menghindar mundur dan diapun sudah mempersiapkan rencana, apabila Kwan Pek Hong mundur, dia akan berputar tubuh menyerang lagi.

Tetapi karena ternyata Kwan Pek Hong tidak menyurut mundur melainkan membubung ke udara, maka waktu Li It Beng berputar itu, kebetulan Kwan Pek Hong pun sudah turun. Karena keduanya sama- sama berputar tubuh maka Kwan Pek Hong tepat dapat berada dibelakangnya.

Waktu berhenti berputar, Li It Beng terkejut karena tak melihat Kwan Pek Hong berada di muka. Dia terkejut sekali dan menyadari kalau terjadi sesuatu. Cepat-cepat dia hendak berputar kebelakang namun sudah terlambat.

Diantara sinar kemilau dirasakan kepalanya seperti tertindih oleh suatu tenaga yang amat kuat dan berbareng itu terasa suatu arus tenaga dalam yang lunak mengalir kedalam jalan darah peh-hwe-hiat diubun-ubun kepalanya sehingga tenaganya menjadi lemas lunglai.

Ternyata pada saat Kwan Pek Hong turun dibelakang, dengan sebat dia sudah meletakkan tangannya keatas kepala lawan.

Jalan darah peh-hwe-hiat termasuk salah satu jalan darah fatal. Letaknya diatas ubun-ubun kepala

Karena jalan darah itu dikuasai Kwan Pek Hong Li It Beng pun tak berdaya sama sekali.

Melihat pemimpinnya sudah dikuasai lawan keempat anakbuah Li It Beng berdiri terkesima tak berani berkutik.

Kwan Pek Hong tertawa dingin, “Li tongcu, kalau anda hendak bertempur, rasanya masih belum waktunya.

Wajah Li It Beng merah padam, keningnya berkerenyutan, menandakan getaran rasa malu dan marah. Tapi apa daya. Dia sudah dikuasai lawan.

“Tetapi,” kata Kwan Pek Hong pula, “aku takkan membunuhmu. Karena kutahu kalau engkau hanya salah faham saja. Sama sekali aku tak punya kaitan dengan urusan perkumpulanmu!”

Dalam berkata-kata itu tangan kiri Kwan Pek Hong pelahan-lahan mendorong bahu Li It Beng dan tangan kanannyapun diangkat. Tahu-tahu Li it Beng terdorong kemuka sampai 7 – 8 langkah.

Li It Beng cepat berbalik tubuh. Wajahnya tampak lesi, pucat dan merah tak sedap di pandang. “Tadi akupun bertemu dengan dua sahabat persilatan.

Mereka juga mengatakan tentang peristiwa yang terjadi di Peh-hoa-kau. Kabarnya orang itu telah menuju ke Hang-ciu sini. Tetapi kalau anda terus mencari ke rumahku, kurasa ini Suatu kekhilafan!” kata Kwan Pek Hong.

Diam-diam Li It Beng menghela napas lalu menyahut, “Terima kasih atas kemurahan Kwan tayhiap yang tidak membunuh aku.”

aku tak punya dendam permusuhan apa-apa dengan anda, perlu apa harus membunuh?” sabut Kwan Pek Hong.

Walaupun cahaya muka Li It Beng masih tak keruan warnanya tapi dia tak mau berbicara apa-apa lagi. ia berputar tubuh memberi isyarat kepada keempat anak buahnya untuk mengikutinya. Tak berapa lama kelirna orang itupun sudah lenyap.

Sejenak Kwan Pek Hong masih tegak di tempatnya.

Dia gelisah sekali. Mencari wanita ular itu tentu memakan waktu. Lebih baik dia pulang saja dan suruh Si Ciau untuk mencari ke segenap pelosok kota. Setelah menetapkan keputusan dia terus lari pulang. Tetapi ketika tiba di muka pintu rumah, ia terkesiap kaget.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar