Pahlawan Gurun Jilid 16

 
Jilid 16

Selama hidup Lau Khing-koh tidak pernah didekap oleh lelaki, keruan ia menjadi malu dan ter- sipu2, mendadak ia meronta sekuatnya hingga To Liong terdorong kesamping. “Kau anggap diriku ini orang macam apa?” serunya. “Menjadi istrimu juga perlu menikah secara terang2an menuru adat, kalau kau hendak main paksa, betapapun takbisa jadi.”

Sikap keras Lau Khing-koh ini sungguh diluar dugaan To Liong. Semula ia mengira dengan setengah halus dan setengah kasar tentu sinona juga akan setengah menolak dan setengah menurut. Urusan kini sudah ketelanjur, sinona tampaknya mulai curiga, tiada jalan lain kecuali “membikin beras jadi nasi” barulah sinona dapat dikendalikan, karena itu segera ia hendak main paksa.

Melihat sikap To Liong rada2 beringas, cepat Lau Khing-koh melolos belati dan mengancam: “Jika kau paksa diriku biarlah aku mati didepanmu saja!” “Jangan marah dulu, Khing-koh,” terpaksa To Liong main bujuk lagi. “Masakah aku berani paksa kau, memangnya kau tidak tahu betapa cintaku padamu, apakah kau tidak suka padaku?”

Dengan alis menegak Lau Khing-koh menjawab: “Jika kau benar2 cinta padaku, maka kau harus segera pergi dari sini, jangan anggap aku sebagai perempuan hina dina.”

Diam2 Ci In-hong yang mengintip diluar itu memuji keteguhan iman nona Lau itu, Cuma usianya terlalu muda sehingga kena dikelabui To Liong. Diam2 ia ambil keputusan bila To Liong berani menggunakan kekerasan terpaksa iapun turun tangan menolongnya sekalipun harus menghadapi bahaya besar.

Dalam pada itu To Liong menjadi kikuk dan serba salah, apakaha mesti pakai kekerasan atau mundur teratur saja? Seketika ia menjadi ragu2.

Pada saat itulah tiba2 terdengar suara orang memanggil: “To-kongcu, Lai-siya mengundang kau untuk bicara sesuatu.” ~ Lai-siya yang dimaksudkan terang Dulai adanya.

Kesempatan ini segera digunakan To Liong untuk mundur teratur. Katanya dengan suara lirih: “Khing-koh, harap jangan marah, perbuatanku tadi memang kurang pantas, tapi semuanya terdorong oleh cintaku kepadamu yang sangat. Baiklah, aku akan pergi dan surat itu hendaklah tulis!”

Dengan segera ia meninggalkan kamar Khing-koh, dalam hati ia tidak mengerti ada urusan apa malam2 Dulai mencarinya.

Seperginya To Liong hati Khing-koh masih berdetak keras, sampai lama sekali ia tidak dapat tentramkan pikiran. Biasanya To Liong bersikap sangat sopan, entah mengapa bisa berubah begitu, apakah memang demikianlah watak aslinya, sopan santun yang sudah2 itu hanya pura2 saja ?” Nyata Lau Khing-koh hanya merasa perbuatan To Liong tadi tidak pantas, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa jiwa To Liong jauh lebih busuk daripada dugaannya. Hanya saja kejadian tadipun telah menggugah kewaspadaannya terhadap To Liong.

Selagi pikiran Lau Khing-koh masih gundah, tiba2 dia mendengar daun jendela diketuk orang dan ada suara orang berkata dengan pelahan: “Maaf, bolehkah aku masuk, ada urusan penting hendak kubicarakan dengan kau.”

Keruan Khing-koh terkejut, sementara itu seorang laki2 tak dikenal sudah melangkah masuk kamarnya.

“Siapakah kau?” bentak Khing-koh dengan suara tertahan.

“Ssst nona Lau. Jangan bersuara. Aku Ci In-hong adanya.” In-hong mendesis. “Aku tiada punya maksud jahat terhadapmu, jangan kuatir.”

Nama “Ci In-hong” seketika membikin Khing-koh melongo tertegun. “Percakapan kalian tadi sudah kudengar semua,” kata In-hong pula.

“Baiklah, jika kau sudah dengar, maka akupun tidak perlu dusta kepadamu,” kata Khing-koh. “Biarlah kubicara blak2an padamu, orang yang kusukai adalah To Liong,meski ayah menjodohkan diriku kepadamu. Bukan maksudku menghina kau, orang menjelekkan kau juga aku tidak percaya. Soalnya kita selamanya tidak pernah kenal, sedangkan aku sudah kenal lebih dulu dengan To Liong. Bila engkau dapat memaafkan aku, silahkan kau membunuh aku saja.”

“Jangan salah paham, nona Lau, kedatanganku ini bukan untuk persoalan ini,” kata In-hong. “Persoalan jodoh aku sendiripun belum pernah berjanji kepada ayahmu, maka boleh kau anggap tak pernah terjadi dan tidak perlu kau pikirkan.”

“Lalu kedatanganmu ini untuk urusan apa?” tanya Khing-koh heran.

“Urusanku biar kita bicarakan lain kali, aku Cuma ingin tanya kau, apakah kau mengetahui tempat apakah disini?”

“Bukankah kau sudah dengar percakapan kami tadi, tempat ini adalah rumah kawan To Liong.” “Tidak, biar kuberitahukan hal yang sebenarnya, tempat ini adalah istana Koksu kerajaan Kim.” “Ha, apa katamu?” seru Khing-koh terperanjat. “Tempat ini istana Koksu? Jangan kau ngaco !” “Ssst ,jangan keras2 nona,” kata In-hong. “Apakah kau tidak percaya?”

“Apa kau punya bukti mengenai tempat ini ? Tapi yang kulihat disini semuanya kan oranag Han?” “Ini memang sengaja diatur mereka. Tentang pembuktian, begini saja, disini bukankah ada seorang pelayan bernama si Kemala? Coba kau panggil dia kesini.” “Ya, memang ada pelayan dengan nama demikian, tapi tengah malam untuk apa memanggil pelayan, apa lagi berada disini?”

“Kalau pelayan itu datang, biar pelayan itu sendiri yang menerangkan padamu!” Khing-koh menjadi sangsi, katanya kemudian: “Baiklah akan kupanggil.”

Tiba2 In-hong ingat sesuatu, cepat ia berkata: “Nanti dulu. Rumah ini selain pelayan si Kemala, apakah masih ada budak lain?”

“Ada seorang pesuruh laki2,” sahut Khing-koh.

“Apakah orang yang memanggil To Liong tadi?” In-hong menegas. “aku tahu orang itu bukan pesuruh, dia adalah jago pengawas bangsa Han, anak buah Yang Thian-lui, Lai-siya yang dia sebut tadi adalah Dulai, pangeran keempat Mongol.”

Kembali Khing-koh terkesiap,katanya dengan tergagap: “Aku, aku tidak percaya ! Apa yang kau katakan terlalu ……… terlalu mengerikan.”

“Kau tidak percaya? Baiklah akan kubuktikan semuanya supaya kau mau percaya. Sekarang kau boleh bersuara, pura2 ketakutan dan memanggil si Kemala untuk memancing kedatangan pesuruh laki2 yang kau katakan tadi.”

Walaupun masih sangsi, akhirnya Khing-koh menurut juga, segera ia berseri memanggil si Kemala dengan setengah menjerit, tanpa pura2 suaranya ternyata sudah gemetar.

Benar juga, segera orang itu memburu datang dan bertanya: “Nona Lau,apakah ada sesuatu keperluan? Si Kemala sudah tidur.”

“Kau, kau masuk saja kesini,” kata Khing-koh.

Ci In-hong sembunyi dibalik pintu, begitu orang itu melangkah masuk, serentak In-hong membekuknya sambil membentak dengan suara tertahan: “Apakah kau masih kenal aku Ci In- hong? Jika ingin selamat lekas bicara terus terang.”

Orang itu cukup kenal kelihaian Ci In-hong ketika dahulu mereka kerja bersama dibawah Yang Thian-lui, keruan ia menjadi ketakutan,tapi sedapat mungkin ia berlagak enang dan menjawab: “Ci In-hong, biar kau membinasakan diriku, kau sendiri tentu juga sukar lolos dari sini.”

“Kau tidak perlu kuatirkan diriku, yang penting kau harus pikirkan jiwamu sendiri,” ejek In-hong. “Kau ingin kukatakan apa?” tanya orang itu.

“Coba katakan, bukankah kau ini jago pengawal istana Koksu kerajaan Kim ? Kau sengaja ditugaskan menjaga disini oleh Yang Thian-lui bukan?” tanya In-hong.

“Aku hanya bekerja menurut perintah saja,” sahut orang itu. Kata2 ini sama saja membenarkan pertanyaan In-hong.

“Nah, kau sudah dengar sendiri bukan, nona Lau?” kata In-hong. Berbareng ia totok Hiat-to orang itu, lalu menggerayangi baju orang itu dan didapatkan sebuah Kim-pay (pening emas), ia tunjukkan Kim-pay itu kepada Khing-koh dan berkata pula: “Liha ini, pening emas ini adalah tanda pengenal untuk keluar masuk istana koksu disini.”

Dengan melengong Khing-koh menyambuti pening emas itu, diihatnya diatas pelat kecil itu terukir huruf Nuchen yang tidak dikenalnya. Betapapun kini ia percaya juga kepada apa yang dikatakan Ci In-hong tadi.

“Kalau orang ini adalah jago pengawal istana Koksu, maka tuduhan Ci In-hong terhadap To Liong tadi tentunya juga benar,” demikian terpikir pula oleh Lau Khing-koh, hatinya menjadi kusut, hendak menangis rasanya airmatapun kering. Ber-ulang2 ia hanya menggumam sendiri: “Bagaimana dengan diriku ini?”

“Sekarang boleh kau panggil si Kemala kesini,” kata In-hong. Lalu ia sembunyi pula di belakang pintu angin.

Seperti boneka saja Lau Khing-koh mengikuti semua perintah Ci In-hong itu ,sambil bersandar pada pintu kamar ia berseru: “Kemala ! Si Kemala !”

Sebenarnya si Kemala belum tidur, tadi iapun dengar panggilan Khing-koh. Tapi iapun mendengar suara tindakan jago pengawal tadi, maka tidak berani keluar. Kini mendengar pula panggilan Khing-koh dan orang itu tidak bersuara mencegahnya,akhirnya ia tabahkan hatinya untuk keluar. Sesudah masuk kamar Khing-koh, dilihatnya “pesuruh laki2” itu berbaring dilantai, si Kemala menjadi kaget dan berseru: “Nona Lau, ada …… ada apakah ini?” Segera In-hong keluar dari tempat sembunyinya dan menegur dengan tertawa: “Si Kemala, apakah kau masih kenal padaku?” ~ Ia sudah mengesut mukannya hingga tertampak wajahnya yang asli. Si Kemala tertegun ketika mendadak nampak Ci In-hong muncul dari belakang pintu angin. Sudah tentu ia masih mengenali Ci In-hong yang dahulu sering menggodanya ketika masih kecil. “He, kiranya kau, Ci-toako!” serunya girang2 kejut.

“Aku sudah bertemu dengan ayahmu, makanya aku mencari kau kesini,” kata In-hong. “Kemala cilik, apakah kau suka membantu kami?”

“Ci-toako, untuk kepentinganmu, biarpun mati aku pasti membantu kau, “ kata si Kemala. “Baiklah, sekarang kau beritahukan lebih dulu noana Lau mengenai duduk perkara sebenarnya,” kata In-hong.

Setelah mendengar penuturan si Kemala barulah Lau Khing-koh mau percaya, keruan ia ter- mangu2 saking kejutnya. “Ci-toako, untung engkau keburu datang, kalau tidak tentu aku akan berbuat suatu kesalahan besar,” katanya kemudian. Teringat surat yang diminta oleh To Liong itu, kalau dirinya jadi menulis surat itu, maka bukan diri sendiri saja berdosa, bahkan kakak sendiri juga ikut celaka.

“Nona Lau, lekas kau tinggalkan sarang iblis ini bersama Ci-toako,” kata Kemala. “Lalu kau bagaimana?” katanya Khing-koh.

“Ya, segala sesuatu harus minta bantuanmu, Kemala cilik,” kata In-hong.

“Cara bagaimana aku dapat mambantu kalian, lekas katakan, mungkin sebentar mereka akan datang kesini,” kata Kemala.

“Begini,” kata In-hong. “Biar nona Lau memakai baju, hendaklah nona Lau totok kau punya hiat-to pula.”

Si Kemala menjadi girang, katanya: “Bagus sekali cara ini, kau suruh nona Lau pura2 menotok diriku agar dia dapat melarikan diri dan akupun takkan dicurigai.”

Sebaliknya Lau Khing-koh memandangi Ci In-hong dengan ter-mangu2, sejenak kemudian dia baru berkata: “Lari ? Lari bersama kau ?”

“Sudah tentu bersama Ci-toako,” kata si Kemala dengan tertawa. “Ci-toako pernah tinggal disini, dia cukup apal jalanan disini, kepandaiannya tinggi pula, dia pasti dapat membawa kau lolos ketempat yang aman.”

“Malam gelap dan hujan begini adalah kesempatan yang sangat baik,” kata In-hong. “Silahkan kau ganti pakaian si Kemala,akupun tukar pakai jago pengawalini, kuyakin dapat lolos dengan selamat. Kim-pay itu boleh kausimpan untuk digunakan bila kepepet, apa pulang atau ketempat kakakmu, boleh sesukamu.”

Dibalik kata2 itu In-hong hendak menunjukkan bahwa Lau Khing-koh bebas untuk memilih apa yang dikehendaki, sebab In-hong mengira ucapan sinona tadi bermaksud tidak sudi berangkat bersama dia. Tak terduga apa yang dimaksudkan Khing-koh sebenarnya bukan bgitu.”

“Dan orang ini bagaimana?” tiba2 si Kemla menunjuk jago pengawal yang menggeleak tak berkutik itu. Sudah tentu ia kuatir nanti orang itu membongkar kepalsuannya bila tersadar kembali.

“Soal ini mudah,” kata In-hong. Mendadak ia gablok kepala orang itu dan berkata pula: “Budak macam begini biarpun dibinasakan juga jauh dari pantas.”

Si Kemala terperanjat. Dilihatnya orang itu sudah binasa tanpa bersuara sedikit[un tidak nampak ada tanda terluka.

“To Liong kenal aku punya Thian-lui-kang,” kata In-hong pula. “Dengan membunuh orang ini, selain memberi contoh kepada kaum pengkhianat lain, dapat pula membanu kau terhindar dari tuduhan. Kau boleh mengaku bahwa kau terancam olehku dan terpaksa membawa aku kesini.” Setelah mengatur segala sesuatu, baru saja In-hong hendak menyingkir agar mereka dapat tukar pakaian, tiba2 Khing-koh berkata: “Ci-toako, banyak terima kasih atas maksud baikmu, tapi aku takkan melarikan diri dari sini.”

In-hong tercengang. “Kenapa ?” tanyanya.

“Nona Lau, masakan kau tidak percaya keterangan kami dan masihtidak tega meninggalkan orang macqm To Liong itu? “kata si Kemala tanpa pikir.

“Betapa benciku padanya, kalau bisa aku ingin makan dagingnya dan beset kulitnya,” kata Khing- koh dengan mengertak gigi.

“Habis kenapa enkau tidak mau melarikan diri ?”tanya si Kemala.

“Laki2 membalas dendam biarpun tunggu sepuluh tahun juga belum terlambat,” demikian Ci In- hong menyitir pribahasa. “Nona Lau, hendaklah kau jangan bertindak secara gegabah.”

In-hong cukup berpengalaman dan dapat berpikir, lapat2 ia menduga Lau Khing-koh pasti ingin membunuh To Liong dengan tangan sendiri untuk melampiaskan dendam karena dirinya kena ditipu.

“Ci-toako,” jawab Khing-koh. “Kau salah duga. Memang aku bertekad akan membalas dendam, tapi saat ini aku masih belum dapat meninggalkan keparat ini.”

In-hong menjadi bingung, katanya: “Jika tidak ingin balas dendam sekarang, mengapa tidak pergi saja dari sini?”

“Tadi Ci-toako bilang kedatanganmu ini ada urusan lain pula, apakah dapat memberitahukan padaku tentang urusan itu ?” tanya Khing-koh.

Hati In-hong tergerak, ia pikir jangan2 sinona telah mendengar kabar2 apa2 dari To Liong. Maka ia lantas memberitahukan terus terang maksudnya hendak menolong Li Su-lam.

Khing-koh terkejut. “Apakah Li Su-lam Bengcu pasukan pergerakan didaerah utara itu? Ia menegaskan. Biarpun tinggal dipegunungan, namun Khing-koh dan ayahnya juga mendengar nama Li Su-lam yang baru saja dipilih sebagai bengcu itu.

“Benar,” jawab In-hong. “Apakah To Liong pernah bicara sesuatu tentang dia?”

“Tidak pernah,” kata Khing-koh. “Cuma, bila aku lari dari sini tentu lebih sukar untuk mencari beritanya.”

“Tapi aku dapat mencari jalan lain, sebaliknya keadaanmu tentu tambah bahaya jika tetap tinggal disini,” ujar Ci In-hong. “Maka lebih baik …..he, kau , kau ”

Kiranya mendadak dilihatnya Lau Khing-koh mencabut belatinya dan menusuk tubuh sendiri. Cepat Ci in-hong merebut belati sinona, namun tidak urung lengannya sudah tergores luka sepanjang beberapa senti.

“Aku akan pura2 terluka akibat melawan kau,” kata Khing-koh kemudian. “Kukira To Liong takkan curiga, paling baik kalau kau serang aku pula dengan Thian-lui-kang, asal tidak mati saja akupun terima.”

Ci In-hong sangat terharu, tentu saja tidak tega menyerangnya lagi dengan Thian-lui-kang, katanya: “Nona Lau, engkau tidak malu disebut pendekar wanita sejati, aku benar2 kagum dan menghormat, Cuma …… “

“Kau tidak perlu kuatir bagiku,” kata Khing-koh. “Aku sudah terluka, tentu dia takkan paksa aku lagi. Apalagi menyelamatkan Li-kongcu adalah urusan maha penting, biarpun mengorbankan jiwa juga aku rela. Aku sudah berbuat salah ijinkanlah aku menebus dosaku. Sekarang terpaksa si Kemala juga mesti menderita sedikit.” Habis berkata ia terus totok Hiat-to si Kemala hingga tidak bisa berkutik.

Tahu tekad sinona sudah bulat, Ci In-hong berkata: “Baiklah, harap nona Lau menjaga diri baik2 dan semoga usahamu berhasil. Aku mohon diri sekarang.

“Begitu aku mendapat sesuatu berita segera akan kusampaikan melalui ayah si Kemala,” kata Khing-koh . “Harap kau berikan alamatmu saja.”

Segera In-hong memberitahukan nama anggota Kay-pang yang berada didalam istana Yang Thian- lui ini, dipesannya kalau ada berita boleh suruh ayah si Kemala meneruskan kepada anggota Kay- pang tsb. Habis itu ia lantas memberi hormat kepada Lau Khing-koh, dilihatnya airmata sinona ber- linang2. In-hong tidak berani menoleh lagi dan terus melangkah pergi.

Sekeluarnya dari rumah itu , In-hong mendengar kentongan tukang ronda sedang dipalu tiga kali tepat lewat tengah malam.

Mengingat Kok ham-hi tentu sedang menungu kembalinya segera Ci In-hong bermaksud meninggalkan taman itu. Tapi kembalai didengarnya suara orang yang seperti sudah dikenalnya. Suara itu datang dari rumah2 disebelah timur dibalik pagar tembok taman sana. Waktu Ci In-hong mendekati dan pasang kuping, didengarnya suara orang itu lagi berkata: “Han-goya, kartuku sudah kusampaikan kepada Koksuya belum? Dihadapan Koksuya mohon engkau suka banyak2 memberi suara dukungan.”

Ci In-hong terkejut mndengar suara orang itu. Kiranya pembicara itu adalah Loh Hiang-ting, itu agen rahasia yang diketahui berada di Su-ke-ceng tempo hari, dia inilah yang memasukkan Cing Cin kedalam perguruan Su-loenghiong.

Diam2 Ci In-hong mengakui kelicinan Loh Hiang-ting, dengan aman dia dapat menyusup kedalam istana Yang Thian-lui tanpa diketahui orang2 Kay-pang.

“Han-goya” yang disebut iu juga salah seorang jago pengawal bangsa Han didalam istana koksu, namanya Han Ciau, ahli Eng-jiau-kang, waktu Ci In-hong masih bekerja disini telah berhubungan erat dengan dia.

Begitulah terdengar Han Ciau menjengek atas permintaan Loh Hiang-ting tadi, katanya: “Hm, kenapa ter-buru2? Baru datang dua hari kau lantas ingin menghadap Koksuya?”

“soalnya ada urusan maha penting, maka mohon Han-goya suka membantu,” kata Loh Hiang-ting. “Urusan penting apa? Apakah tidak dapat berita bukan kepada kami?” sahut Han Ciau dengan sikap dingin. “Hm, kukira Koksuya tidak ada tempo buat terima kalian.”

Terdengar suara seorang muda ikut bicara: “Harap Han-goya menyampaikan kepada Koksuya bahwa kami adalah murid Su Yong-wi, mungkin Koksuya mau terima kami.”

Baru diketahui Ci In-hong bahwa Ting Cin ternyata berada disini juga, sungguh kebetulan, pikirnya. Perlu diketahui bahwa datangnya Loh Hiang-ting dan Ting Cin berdua ke taytoh ini adalah ingin membongkar rahasia Liu Tong-thian, kini kebetulan kepergok Ci In-hong, sudah tentu takkan dibiarkan begitu saja.

Terdengar Han Ciau lagi menjengek pula: “Hm, biarpun murid Su Yong-wi lantas mau apa? Tidak sedikit tamu2 agung lain yang sedang menunggu giliran buat ketemu Koksuya, kalian tahu tidak?” Tiba2 terdengar suara orang tertawa seorang jago pengawal bangsa Han yang lain, katanya: “Goko, jangan kau goda lagi mereka, hampir2 saja mereka menyembah dan minta pertolonganmu.

Sekarang biar kukatakan terus terang, tadi To Liong juga dipanggil menghadap, kami sudah suruh dia menyampaikan juga persoalan kalian kepada Koksuya.”

Juga pengawal ini bernama Jiau Pa, jiwanya rendah, suka menjilat, sudah lama Ci In-hong benci padanya.

Agaknya Loh Hiang-ting menjadi girang, katanya: “Bukankah To-kongcu dipanggil Sihongcu Dulai?”

“Beanr, tapi Koksuya kita tentunya juga hadir disitu,” kata Jiau Pa. “Jiau Pa, kau bicara terlalu banyak,” omel Han Ciau.

“Ah, sama2 orang sendiri, kukira Goko tidak perlu kuatir,” ujar Jiau Pa dengan tertawa. Meski kedua orang sama2 menjadi si-wi datau jago pengawal, tapi kedudukan Han Ciau lebih tinggi setingkat, sebab itulah Jiau Pa harus mengindahkan Han Ciau, sebaliknya iapun ingin

mendapatkan keuntungan dari pihak Loh Hiang-ting, makanya dia berusaha menjilat kesana dan kesini.

“Hm, kalau Loh-samya ini anggap kita sebagai orang sendiri, buat apa dia bersikeras harus menghadap Koksuya.” ~ Jengek Han Ciau pula; “Sudahlah, kalau tidak mau bicara sudahlah, hm, kini kau belum lagi menghadap Koksuya.” Nadanya jelas mengandung ancaman. 

Loh Hiang-ting juga orang licin dengan sendirinya ia paham pada ucapan Han Ciau itu, diam2 ia merasa kuatir dan serba susah. Tujuannya hendak menjual rahasianya kepada Yang Thian-lui agar dirinya dapat diterima bekerja disitu, bila rahasianya tersiar lebih dulu akan berarti tidak berharga lagi, bahwa orang lain mungkin yang akan menarik keuntungan dari rahasia yang akan diceritakan sekarang. Tapi kalau tidak diceritakan, jelas Han Ciau telah mengancam, jangan2 dia akan merintangi permohonannya untuk bertemu dengan Yang Thian-lui. Dalam keadaan kepepet, terpaksa Loh Hiang-ting mengalah, Cuma iapun licin, ia pikir kalau kuberitahukan setengah2 saja tentu takkan bermanfaat baginya.

Tapi sebelum Loh Hiang-ting bicara, tiba2 terdengar Han Ciau membentak: “Siapa itu?” ~ Berbareng itu seseorang mendadak menerobos kedalam.

Tak perlu diceritakan lagi orang itu terang Ci In-hong adanya. Dalam seragam jago pengawal, Loh Hiang-ting mengira pendatang adalah teman Han Ciau sendiri, tak terduga Ci In-hong terus melompat kedepannya terus menghantam.

Ilmu silat Loh Hiang-ting mestinya tidak lemah, tapi sama sekali dia tidak menyangka akan diserang mendadak oleh seorang si-wi dari pihak sendiri. Keruan tanpa ampun dia kena dihantam dengan tepat, “krek-krek”, kontan tulang iganya patah dua.

Kontan Loh Hiang-ting lantas roboh sembari menjerit: “Dia Ci In-hong, dia dan ……” nyata dari pukulan Thian-lui-kang itu segera dikenalnya sipenyerang itu sebagai Ci In-hong. Akan tetapi sebelum ucapannya lanjut, pukulan Ci In-hong yang kedua sudah menyusul tiba, tanpa berkutik lagi jiwa Loh Hiang-ting lantas melayang.

Diam2 Ci In-hong bersyukur bahwa ucapan Loh Hiang-ting tidak sampai lanjut, terang orang she Loh itu hendak berkata: “ Dia dan Liu Tong-thian adalah satu komplotan.”

Maka terdengarlah Jiau Pa membentak: “Berani benar kau, Ci In-hong !” ~ Berbareng itu goloknya lantas membacok.

Sekali ayun tangannya. “creng”, Ci In-hong menjentik kesamping golok lawan, bentaknya: “Kalian juga bangsa Han, mengapa terima mengekor kepada pihak yang lalim?”

“Lekas maju Goko!” seru Jiau Pa kepada Han Ciau.

“Ci In-hong,” segera Han Ciau membentak. “Mengingat sesama teman lama, lekas kau menyerah saja daripada tunggu aku turun tangan!”

“Hm, kukira kau masih punya akal sehat, tak tahunya kaupun rela menjadi begundal mereka!” teriak Ci In-hong dengan gusar.

Si-wi bangsa Han didalam istana Koksu itu pada umumnya rata2 memiliki kepandaian yang tinggi, karena Thian-lui-kang yang dilancarkan Ci In-hong bersendirian hingga daya pukulnya kauh lebih lemah daripada kalau bergabung dengan Kok Ham-hi dalam jurus pukulan “Lui-tian-kau-hong”.

Maka ketika pukulan kedua orang beradu, Han Ciau tergeliat mundur, namun segera ia menggesar kesamping terus menubruk lagi, dengan tipu serangan “Yu-liong-tam-jiau” (naga meluncur menjulur cakar), segera ia mencengkeram pundak Ci In-hong.

Ci In-hong kenal Eng-jiau-kang yang menjadi kemahiran Han Ciau itu memang cukup lihai, ia tidak berani gegabah, cepat ia mendak kebawah terus menyikut. Namun Han Ciau cepat mengegos kesamping meski cengkeramannya luput. Sementara itu golok Jiau Pa menyamber tiba pula, sambil mengelak Ci In-hong balas menendang sehingga Jiau Pa dipaksa melompat mundur.

Dengan satu lawan dua Ci In-hong pikir pasti takkan kalah, tapi untuk menang sedikitnya juga diperlukan 50 jurus lebih. Padahal tidak sedikit jago pengawal didalam istana itu, sebentar lagi pasti akan datang bala bantuan musuh. Maka ia tidak berani terlibat lebih lama dalam pertarungan itu, setelah berhasil mendesak mundur Jiau Pa, “blang”, segera ia mendobrak daun jendela hingga hancur terus melompat keluar.

“Lari kemana!” bentak Jiau Pa sambikl mengejar keluar, goloknya lantas membacok pula. Pada saat yang sama Ting Cin juga berlari keluar melalui pintu sembari ber-etriak2 minta bala bantuan untuk menangkap penyatron.

Ci In-hong terkesiap, ia pikir betapapun keparat Ting Cin itu tidak boleh sampai lolos, sebab selain Loh Hiang-ting, juga Ting Cin mengetahui rahasia rencana Liu Tong-thian itu, kalau Cuma Loh Hiang-ting saja yang dibunuh, rahasianya tetap akan bocor melalui Ting Cin.

Dalam pada itu Jiau Pa sedang ber-kaok2 minta bantuan “Han-goko, lekas kemari!”

“Aku sudah datang!” sahut Han Ciau dan tahu2 ia sudah mengadang jalan lari Ci In-hong. Sementara itu dari jauh terdengar suara seruan orang: “Siapa penyatronnya? Cegat dulu, biar kebekuk dia!” ~ Nyata itulah suara To Liong yang baru kembali dan mendengar teriakan Ting Cin tadi.

Dari suaranya itu agaknya To Liong masih berada ratusan meter jauhnya dan terhalang oleh dua gunung2an palsu, orangnya belum nampak dan Cuma terdengar suara nya. Namun dengan ginkangnya jarak sejauh itu tentu dapat dicapainya dalam sekejap.

Dengan atu lawan dua, kalau ditambah lagi To Liong, terang Ci In-hong sukar buat lolos. Saking senangnya Jiau Pa bergelak tertawa. Sebaliknya Ci In-hong menjadi gemas, baru saja ia bermaksud labrak lawannya yang jumawa itu, tiba2 suatu kejadian yang tak ter-duga2 telah timbul. Se- konyong2 Han Ciau mencengkeram ke kuduk Jiau Pa, “krak,” kontan tulang leher Jiau Pa dipuntir patah.

Menyusul terdengar Han Ciau berkata dengan suara tertahan: “Persahabatan kekal abadi, menikmati bahagia bersama. Nah, lekas lari!”

Ci In-hong terkejut, tercampur girang, baru sekarang ia tahu Han Ciau adalah seorang yang punya hati nurani baik, mungkin sengaja menghamba dibawah Yang Thian-lui untuk maksud tujuan tertentu. Tapi apa artinya kalimat2 yang diucapkannya tadi seketika tak dapat dipahami Ci In-hong, dalam saat demikian juga tiada waktu buat direnungkan. Maka dengan suara pelahan Ci In-hong hanya mengucap terima kasih, habis itu ia terus melompat pewat pagar tembok. Pada saat itulah terdengar suara jeritan minta tolong Lau Khing-koh di rumah sebelah barat tadi.

Suara pertempuran di rumah sebelah timur sini sebenarnya sudah didengar oleh To Liong, tapi yang lebih penting baginya sudah tentu menolong Lau Khing-koh, soalnya bukan karena dia benar2 cinta pada Khing-koh, tapi karena intriknya yang belum terlaksana itu memerlukan tenaga nona itu.

Begitulah segera To Liong berlari ke sebelah barat, dia pikir di sebelah timur sana ada Han Ciau dan Jiau Pa, sementara tentu tidak perlu bala bantuan. Karena itulah jurusan yang dia ambil menjadi berlawanan dengan jurusan larinya Ting Cin.

Memangnya Ci In-hong lagi kuatir kepergok To Liong, kini melihat bayangan To Liong putar haluan kejurusan lain, ia menjadi girang, segera dengan ginkang yang tinggi ia melintasi gunung2an palsu taman itu untuk memburu Ting cin.

Ditengah malam gelap, ditambah hujan rintik2 pula, sama sekali Ting Cin tidak tahu yang memburu dibelakangnya adalah Ci In-hong, sebaliknya ia menyangka bala bantuan yang datang, segera ia berseru agar orang memburu ke timur.

Akan tetapi Ci In-hong lantas membentaknya dengan suara tertahan: “Keparat, coba lihat yang jelas, siapa aku ini?”

Dan baru saja Ting Cin sempat menoleh, tahu2 Ci In-hong sudah menggunakan pukulan Thian-lui- kang, kontan jiwa Ting Cin melayang ke akhirat.

Dalam pada itu didalam taman tertampak bayangan orang berseliweran disana sini, itulah kawanan si-wi yang memburu tiba karena mendengar teriakan Ting Cin tadi.

Diam2 Ci In-hong mengeluh, cepat ia meraup segenggam tanah dan diusapkan di muka sendiri, terpaksa untung2an, semoga tidak dikenali musuh.

Belum jauh ia menyusur ke depan, tiba2 kepergok seorang busu bangsa Kim, entah lantaran melihat bentuknya mencurigakan atau sebab lain, busu itu terus memapak kearahnya sambil berseru: “Persahabatan kekal abadi!”

Yang diucapkan busu itu adalah bahasa Nuchen, yaitu suku yang memerintahkan Kim, meski In- hong paham, namun seketika tak dapat menagkap maksud ucapan itu.

Melihat Ci In-hong diam saja tanpa menjawab, busu itu lantas berteriak: “Disini mata2 musuh …… “ belum lanjut ucapannya secepat kilat Ci In-hong sudah melolos pedang dan menusuknya, kontan tubuh busu itu berlubang dan terjungkal.

Sejenak barulah Ci In-hong menyadari kata2 busu itu, rupanya kedua kalimat “persahabatan kekal abadi, menikmati bahagia bersama” adalah kode pada malam ini yang sengaja diucapkan untuk mengambil hati utusan Mongol. Dalam kegelapan cukup dengan mengucap kode saja tanpa perlihatkan Kim-pay akan segera diketahui kawan atau lawan. Diam2 In-hong bersyukur Han Ciau telah memberitahukan kode itu.

Maka dengan tabah sekarang Ci In-hong terus berlari ke depan, bila ketemu orang segera mendahului berseru: “Persahabatan kekal abadi!” ~ Benar juga, pihak lawan selalu menajwab dengan kalimat: “”Menikmati bahagia bersama.”

Dalam kegelapan dengan sendirinya tidak jelas terlihat, asal kode cocok tentu saja disangka kawan sendiri, maka dengan mudah saja Ci In-hong dapat lolos keluar dari tempat bahaya itu.

Sementara itu dengan ter-gesa2 To Liong telah berlari memasuki rumah tempat tinggal Lau Khing- koh, ketika melihat pakaian sinona berlepotan darah, sedang jago pengawal dan si Kemala menggeletak dilantai, keruan kejut To Liong tak terperikan. Cepat ia bertanya: “Ada apa? Siapa yang datang kesini?”

“O, matilah aku ! Sakit, sakit sekali, berikan obat luka padaku!” demikian Lau Khing-koh pura2 merintih.

To Liong merasa lega melihat jiwa Khing-koh tidak berbahaya, ia pura2 bersikap sangat memperhatikan keadaan Khing-koh, ia tanya ini dan tanya itu lalu membubuhkan obat pada luka sinona.

Habis itu barulah Khing-koh berkata: “Begitu datang orang itu lantas mencaci maki dan hendak menculik diriku. Ilmu silanya sangat tinggi, ketika pengawal itu hendak menolong aku, baru saja sekali gebrak sudah kena dihantam roboh. Akupun melawan mati2an sehinga tertusuk pedangnya. Si Kemala me-narik2 kakinya, dia juga menjadi korban keganasannya.”

To Liong menjadi terperanjat, dari penuturan itu ia menduga pendatang pasti Ci In-hong. Sebagai jago silat kenamaan, setelah memeriksa luka jago pengawal itu segera ia menarik kesimpulan kematian pengawal itu adalah akibat Thian-lui-kang.

Waktu periksa si Kemala, berkata: “Budak ini tidak terluka apa2.”

“O, syukurlah,” ujar Khing-koh. “Setelah mati2an budak itu membela diriku, kukira dia telah terbunuh pula. Lekas kau menyadarkan dia, sungguh harus dipuji kesetiaan budak ini kepada majikannya.”

Dalam hati To Liong dapat memahami sebabnya seorang ksatria sebagai Ci In-hong tidak membunuh budak cilik itu, tapi mengapa Khing-koh tidak digondol lari atau mestinya dibunuh juga. Ia pikir mungkin suara kedatanganku telah didengar oleh Ci In-hong sehingga tidak sempat baginya untuk bertindak lebih lanjut terhadap Khing-koh.

To Liong anggap rekaannya itu masuk diakal, maka sama sekali tidak mencurigai Khing-koh, bahkan diam2 bergirang, disangkanya sinona sudah bertekad bulat akan ikut dengannya.

Begitulah To Liong lantas membuka hiat-to si Kemala yang tertotok dan tanya padanya siapa penyerangnya tadi, dari gambaran si Kemala dia menjadi lebih yakin lagi yang datang itu memang Ci In-hong adanya.

Selagi To Liong keluar hendak pergi mencari kabar lain, tiba2 Han Ciau berlari datang dan memberitahukan: “Wah celaka Jiau Pa terbunuh oleh orang itu!”

“Ci In-hong juga muncul disana?” To Liong menegas dengan heran

Dasar Han Ciau cukup cerdik, segera ia menjawab: “Bukan Ci In-hong, tapi memang aneh, gaya ilmu silatnya memang serupa Ci In-hong, juga dapat menggunakan Thian-lui-kang.”

“Ya, tahulah aku, Ci In-hong memang datang bersama sutenya Kok Ham-hi, oran yang kau pergoki tentu Kok Ham-hi adanya,” kata To Liong.

“Diluar sedang geger tentang mata2 musuh, apakah kita perlu membantu mereka?” tanya Han Ciau. Rasanya Ci In-hong berdua takkan berani masuk kesini lagi, boleh kau keluar memberitahukan mereka, jangan sampai busu bangsa Nuchen masuk kemari,” kata To Liong. 
“Aku paham,” sahut Han Ciau. “Jika orang Nuchen masuk kesini tentu rahasia kita akan diketahui nona Lau.”

Begitulah setelah Han Ciau dan si Kemala pergi kembali To Liong merasa sangsi kalau2 Ci In-hong mengatakan apa2 kepada Lau Khing-koh tentang tempat tinggalnya sekarang ini. Maka dengan perasaan tidak tentram ia kembali kekamarnya Khing-koh, dilihatnya nona itu sedang membalut luka, kening berkerut seperti menahan sakit.

“Darah sudah tidak keluar lagi, apa masih sakit?” tanya To Liong. “Sudahkah kau siapkan suratmu itu?”

“Yang kau pikirkan hanya surat saja, coba lukaku begitu parah, apakah aku dapat menulis lagi?” sahut Khing-koh dengan menyeringai.

To Liong menjadi gelisah, tapi tidak berani unjuk rasa kurang senangnya itu, terpaksa pura2 bicara halus: “Khing-koh. Hampir2 kau korban jiwa, bagiku, masalah aku tidak sayang dan kasihan padamu? Hanya saja surat ini menyangkut kepentingan kita bersama, maka aku berharap suratmu dapat lekas2 dikirim kepada kakakmu. Apakah kau takdapat menulis sama sekali dengan tanganmu yang terluka itu? Kalau pakai tangan kiri dapat tidak?”

“Kau tentu tahu aku ini gadis desa yang tidak banyak bersekolah, tulis dengan tangan kanan saja tidak keruan, apalagi pakai tangan kiri, tentu tulisanku lebih2 takkan dikenal kakak, jangan2 akan membikin urusan kita tambah runyam,” demikian Khing-koh memberi alasan. Memang masuk diakal juga pikir To Liong, terpaksa ia menyatakan akan memanggilkan tabib buat mengobati luka Khing-koh agar lekas sembuh. Sebaliknya bagi Khing-koh hal ini mungkin sekakli akan membongkar rahasia pura2nya. Maka cepat ia berkata pula: “Begini saja. Kau yang mewakilkan aku menulis sirat.”

“Cara bagaimana aku dapat meniru gaya tulisanmu?” ujar To Liong.

“Kenapa kau bilang begitu?” ujar Khing-koh. “Gaya tulisan dapat ditiru, tapi nada dan inti daripada pikiran pengirim surat masakah dapat ditiru? Dalam suratku nanti boleh kau tuliskan beberapa kalimat dan kata2 yang hanya diketahui olehku dan kakak, bila membaca isi suratku, masakah kakak takkan percaya?”

“Ya, masuk diakal juga,” kata To Liong. Lalu ia menyiapkan kertas surat dan alat tulis, kemudian ia menulis surat menurut apa yang didiktekan oleh Khing-koh.

Diam2 Khing-koh berpikir bila suratnya diterima sang kakak tentu akan segera diketahui surat ini palsu adanya sebab isi surat itu banyak yang tidak cocok dengan adat kebiasaan mereka kakak dan adik. Akan tetapi To Liong sama sekali tidak curiga, sebaliknya ia merasa senang sebab mengira Khing-koh benar2 jatuh hati bahis2an padanya. Maka setelah menulis surat itu dengan ber-seri2 ia lantas membawa surat itu kepada Yang Thian-lui.

Sementara itu suasana ribut2 diluar sana sudah mulai mereda, namun perasaan Khing-koh masih belum tenang kembali. Ia sudah ambil keputusan akan berbuat sesuatu bagi pihak pasukan pergerakan meskipun untuk itu harus korbankan jiwa sendiri. Apalagi iapun merasa malu untuk bertemu dengan ayah dan kakaknya, ada lebih baik mati berbakti daripada hidup menanggung malu. Diam2 iapun menyesali dirinya sendiri, mestinya dirinya akan mempunyai suatu perjodohan yang bahagia, tapi kini telah hancur segalanya. Semoga saja Ci In-hong dapat meloloskan diri dengan selamat, demikian dia berdoa.

Saat itu dengan selamat Ci In-hong memang sudah lolos keluar istana Koksu. Kalau Lau Khing-koh terkenang padanya, maka Ci In-hong juga teringat kepada Khing-koh. Sudah tentu pikiran kedua orang ber-beda2, Ci In-hong merasa sayang bagi sinona tapi tidak punya perasaan menyesal dan kecewa atas diri nona itu.

Sesudah keluar dari istana Yang Thian-lui itu, sementara sang dewi malam sudah condong kebarat. Ia pikir Kok-sute tentu sudah lama menunggu dengan gelisah, kini sudah jauh lewat tengah malam, entah dia masih menunggu dirumah makan itu atau tidak?

“Marilah sekarang kita bercerita tentang Kok Ham-hi. Dia minum sendirian dirumah makan itu menunggu kembalinya Ci In-hong, tanpa terasa sudah tengah malam, dirumah makan itu tertinggal beberapa orang tamu saja, namun Ci In-hong masih belum nampak datang, diam2 Kok Ham-hi merasa cemas, jangan2 terjadi apa2 atas diri sang suheng.

Pada umumnya rumah makan dikotaraja itu sama tutup pintu bila hari sudah gelap. Tapi rumah makan ini lain daripada yang lain, selalu terbuka sampai jauh lewat tengah malam. Maklumlah, rumah makan ini khusus melayani tamu penjudi, sebab disekitar situ terdapat beberapa rumah penjudian yang cukup ramai.

Selagi Kok Ham-hi merasa terlalu iseng, tiba2 dilihatnya dua orang laki2 bertopi memasuki rumah makan itu. Topi kedua orang itu sengaja dipakai miring, lagaknya mirip bajingan tengik.

Karena hujan,mestinya pengurus rumah makan itu hendak menutup pintu bila beberapa orang tamunya sebentar lagi pergi. Kini melihat datangnya kedua orang itu, dengan iringan senyum ia mendekati dan menyapa: “Tuan tamu mau minum apa? Besok kalian datang harap jangan terlalu malam.”

Mendadak kedua orang itu membanting topi mereka diatas meja dan menjawab dengan suara keras: “Kurang ajar! Memangnya kau takut kami tidak bayar ? Kami justru ingin minum sampai pagi, kalau kau mau mengaso boleh suruh binimu melayani kami.”

Melihat kekurangajaran kedua bajingan itu diam2 Kok Ham-hi merasa gusar. Coba kalau tiada urusan tentu kedua orang itu dihajarnya. Cuma dengan keonaran yang dibikin kedua bajingan itu menjadi ada baik baginya, sebab dengan demikian rumah makan itu akan terpaksa dibuka terus, hal ini berarti iapun dapat duduk lebih lama disitu untuk menunggu Ci In-hong.

Rupanya pengurus rumah makan itu rada jeri terhadap kedua orang itu, dengan tertawa terpaksa ia minta maaf dan membawakan minuman yang diminta tetamunya.

Dengan lagak tuan besar kedua bajingan itu lantas makan minum, ketika mereka melihat Kok Ham- hi, tiba2 kedua orang ber-bisik2 sejenak, lalu salah seorang berbangkit dan mendekati Kok Ham-hi. Kok Ham-hi melototi orang itu sekejap, ia masih tetap minum sendiri tanpa peduli, hanya diam2 ia waspada terhadap tingkah laku orang.

Dengan cengar cengir bajingan itu lantas menegur: “He, lauhia (saudara), apakah kau kalah judi, tampaknya mukamu bersungut sejak tadi.”

“Kalah atau menang peduli apa dengan kau?” sahut Kok Ham-hi dengan ketus.

“Haha, bukan begitu soalnya,” kata orang itu dengan tertawa. “Begini, Lauhia, jika sekiranya kau kalah main, aku ada cara yang dapat membantu kau menarik ekmbali kekalahanmu. Marilah kau ikut kami, ada suatu tempat judi yang etrbuka sepanjang malam, boleh kau ikut kami kesana.” ~ Sembari bicara, seperti dengan kenalan lama saja sebelah tangannya lantas memegang pundak Kok Ham-hi.

Semula Kok Ham-hi mengira kedua bajingan itu adalah kaum calo rumah perjudian, tapi ketika tangan orang itu menyentuh pundaknya segera ia merasa terkesiap. Sebab tempat yang dipegang orang itu ternyata tepat bagian tulang pundak, yaitu bagian yang lemah.

Kok Ham-hi menyangka orang sengaja hendak menjajalnya, maka tanpa pikir segera ia mengerahkan tenaga dalam. Karena tergetar, kontan bajingan itu tergeliat ke samping dengan sempoyongan, untung ia keburu memegangi sebuah meja sehingga tidak terjatuh.

Keruan orang itu menjadi marah dan mendamprat: “Setan, aku bermaksud baik, mengapa kau main kasar, apa kau mencari mampus?” ~ Dia berjingkrak dan acungkan kepalan, tapi tidak berani maju, sedangkan kawannya tadi sudah mengeluyur pergi.

“kau jatuh terpeleset sendiri, sangkut-paut apa dengan aku?” sahut Ham-hi. Dalam hati iapun sudah tahu bahwa bajingan tengik itu pernah berlatih silat dan bukan bajingan biasa, hal ini terbukti dia tidak terbanting jatuh tadi, jangan2 bajingan ini adalah kaki tangan pemerintah setempat dan kawannya yang mengeluyur pergi itu sedang memanggil bala bantuan.

Ternyata orang itu masih mencaci maki terus, ketika Kok Ham-hi mendelik padanya, ia mundur2 dua tiga tindak seperti ketakutan, tapi masih mengoceh tak keruan tanpa lari. Melihat gelagatnya dia sengaja hendak mengulur waktu untuk menunggu sesuatu.

Kok Ham-hi juga tidak ambil pusing lagi, ia tetap makan minum sendiri.

Benar juga, tidak lama kemudian tertampak bajingan yang mengeluyur pergi tadi muncul kembali dengan dua orang lain. Begitu masuk rumah makan itu lantas tunjuk Kok Ham-hi dan berkata: “Bocah itulah dia!”

Hanya tambah dua orang lawan sudah tentu tidak digubris oleh Kok Ham-hi, tapi ketika ia berpaling dan melihat jelas siapa kedua orang , yang baru datang itu , ia menjadi terkejut. Kiranya kedua orang itu adalah Toan Tiam-jong dan Ci Jing-san, dua dari Tin-lam-jit-hou yang menjadi musuh Kok Ham-hi.

Dahulu Kok Ham-hi membantu ayah Giam Wan, yaitu Giam Seng-to, yang waktu itu dikerubut oleh Tin-lam-jit-hou. Akhirnya Tin-lam-jit-hou dikocar kacirkan, tapi Giam Seng-to terkena sebuah senjata rahasia Toan Tiam-jong, sebaliknya Toan Tiam-jong juga terluka oleh pedang Kok Ham-hi. Setengah tahun kemudian Ci Jing-san menghasut tunangan Giam Wan, yaitu Thio Goan-kiat beserta saudara seperguruannya dari Bu-tong-apy untuk mencari perkara kepada Kok Ham-hi sehingga terjadi peristiwa tergores rusaknya muka Kok Ham-hi sebagaimana dikisahkan dipermulaan cerita ini. Kalau diusut, sumber keonaran daripada apa yang terjadi itu adalah karena perbutan Toan Tiam-jong dan Ci Jing-san ini.

Kini meski Kok Ham-hi dalam keadaan menyamar, tapi codet bekas luka di mukanya tak dapat ditutup2i, maka begitu melihat lantas dikenali oleh Toan Tiam-jong dan Ci Jing-san. Dengan tertawa Toan Tiam-jong lantas berkata: “Bedebah, akhirnya kau masuk perangkap sendiri kesini. Disini buakn Siau-kim-jwan, jangan harap kau dapat lolos lagi!”

Kiranya Toan Tiam-jong dan Ci Jing-san baru2 saja menggabungkan diri kepada Yang Thian-lui dan diterima sebagai jago pengawal bangsa han secara rahasia.

Sekali ini berhubung Dulai tinggal didalam istananya, pula Li Su-lam dan Nyo Wan juga dikurung disitu, maka Yang Thian-lui telah menambah penjagaan lebih ketat, selain pengawal tetap seperti biasa, setiap malam ditugaskan pula kaki tangannya yang masih belum dikenal oleh kalangan umum untuk meronda dan sebagian disebarkan pula kesegenap pelosok kota, dan diantaranya termasuk Toan Tiam-jong dan Ci Jing-san bersama dua “bajingan” tadi.

Musuh lama kepergok lagi, sudah tentu mata kedua pihak sama2 merah. “Bagus, memang akupun ingin cari kalian buat bikin perhitungan!” bentak Kok Ham-hi, “blang” kontan ia tendang meja didepannya kearah Toan Tiam-jong. Menyusul kepalan bekerja, ia hantam hancur daun jendela terus melompat keluar.

Dengan sekali hantam Toan Tiam-jong juga bikin hancur meja yang menerjang kearahnya itu, sedang Ci Jing-san segera melolos senjata dan membentak: “Bocah she Kok mau lari kemana?” “Marilah kita bertempur diluar sini!” seru Kok Ham-hi.

“Memangnya kau mampu lari lagi? Berhantam dimanapun boleh saja!” seru Toan Tiam-jong dengan tertawa. Segera mereka berdua mengejar keluar.

Ci Jing-san menggunakan golok dan Toan Tiam-jong memakai pedang, selain itu merekapun main pukulan dengan tangan kiri masing2, segera mereka mengerubuti Kok Ham-hi tanpa kenal ampun. Namun Kok Ham-hi juga sudah siap, ia keluarkan segenap tenaga Thian-lui-kang untuk menghajar kedua orang itu.

Kekuatan Toan Tiam-jong dan Ci Jing-san berdua ternyata cukup kuat. Sebagai kepala dari Tin- lam-jit-hou, ilmu pedang Toan Tiam-jong memang lain daripada yang lain, iapun mahir menggunakan senjata rahasia. Bicara kepandaian sejati memang dia belum dapat menandingi Kok Ham-hi, tapi selisihnya juga tidak jauh. Sedangkan Ci jing-san memiliki lwekang yang kuat, bahkan lebih kuat daripada sang suheng, maka gabungan mereka berdua cukup tangguh untuk menghadapi Kok Ham-hi, apalagi Kok Ham-hi harus was2 pula kalau2 pihak lawan kedatangan pula bantuan.

Dalam pertarungan sengit itu, tiba2 tertampak sesosok bayangan melayang tiba dengan sangat cepat, Kok Ham-hi terkesiap dan mengeluh, sebab mengira bala bantuan pihak lawan telah datang. Terdengarlah seruan orang itu: “Kok Sute, kau tidak apa2 bukan?”

Itulah suaranya Ci In-hong yang baru kembali. Keruan Kok Ham-hi menjadi girang, segera ia menjawab: “Aku tidak apa2. Bereskan dulu kedua bangsat ini. Ci-suheng, Lui-tian-kau-hong!” Serentak kedua orang menghantam berbareng, jurus “Lui-tian-kau-hong” memangnya adalah jurus paling lihai dari Thian-lui-kang, ditambah lagi mereka berdua telah mendapat petunjuk dari Beng Siau-kang dan Hoa Thian-hong, keruan daya serangan mereka sekarang berlipat dahsyatnya.

Betapapun tinggi tenaga dalam Toan Tiam-jong berdua juga tidak sanggup bertahan. Maka terdengarlah suara “krak-krek”, tulang iga Ci Jing-san patah dua-tiga batang dan terpental mencelat beberapa meter jauhnya. Sedangkan tenaga dalam Toan Tiam-jong lebih lemah dari sutenya, ia jatuh terjungkal dan mati seketika.

Sudah tentu kedua bajingan tadi menjadi ketakutan, mereka berlari sipat kuping sambil berteriak teriak minta tolong. Dari jauh Ci In-hong menghantam, tenaga pukulannya masih keburu mencapai sasarannya, walaupun tidak binasa , tapi juga membikin kedua orang itu jatuh semaput. Namun begitu dua kelompok anak buah Yang Thian-lui sudah mendengar suara geger2 itu dan memburu tiba.

Ci Jing-san sangat kepala batu, meski terluka parah, ia masih berusaha melarikan diri. Tapi baru saja berlari beberapa tindak ia sudah disusul oleh Kok Ham-hi. Karena gemas terhadap Ci jing-san yang telah banyak membikin susuh padanya, tanpa ampun lagi Kok Ham-hi menusuk dengan pedangnya dan binasalah Ci Jing-san.

Segera Ci In-hong melompat keatas rumah penduduk disitu,ia ambil satu tumpukan genting terus disambitkan kebawah, pecahan genting yang bertaburan itu membikin kepala dan muka rombongan anak buah Yang Thian-lui itu babak belur dan tidak berani mengejar lebih jauh. Tidak lama kemudian Ci In-hong dan Kok Ham-hi sudah meninggalkan tempat itu dengan ginkang mereka yang tinggi sehingga wajah merekapun tidak terlihat oleh kawanan pengejar tadi.

Ketika mereka pulang kemarkas cabang Kay-pang, sementara itu fajar sudah hampir menyingsing. Mereka tidak ingin membikin kaget orang, maka diam2 mereka melintasi taman belakang untuk kembali kekamar mereka. Tak terduga baru saja mereka melompat masuk taman, mendadak mereka dipegang oleh seseorang.

Keruan mereka terkejut, baru saja mau meronta dan melawan, tiba2 terdengar orang itu berkata dengan tertawa: “Mengapa sekarang kalian baru pulang? Kemana kalian pergi? Lekas mengaku terus terang!” ~ Kiranya orang ini adalah Liu Tong-thian.

“Hahaha, kau membikin kaget kami,” ujar Ci In-hong dengan tertawa.

“Sudah lebih dua jam kutunggu kalian disini, ada tiga orang tamu ingin bertemu dengan kalian,” kata Liu Tong-thian.

“Tiga orang tamu? Siapakah mereka dan ada urusan apa?” tanya In-hong heran.

“Ya, tiga orang tamu, tamu yang tidak ter-duga2 olehmu,” sahut Liu Tong-thian. Kalau sudah bertemu nanti tentu kau akan tahu sendiri siapa mereka dan urusannya.”

“Ah, kau memang suka jual mahal,” omel In-hong dengan tertawa.

Lalu mereka ikut Liu Tong-thian keruangan tengah. Sebelum masuk sudah terdengar suara ketua Kay-pang Liok Kun-lun sedang berkata: “Nona Beng jangan kuatir, aku sudah mengirim orang pergi mencari mereka, sebentar lagi tentu ada kabar.”

Melengak juga Ci In-hong mendengar kata2 “nona Beng” apakah Beng Bing-sia yang dimaksud? Demikian pikirnya.

Benar juga lantas terdengar suara Bing-sia sedang berkata: “Bukannya aku kuatir, namun tempat tujuan mereka adalah istana Yang thian-lui yang berbahaya itu, harap ayah …… “

Tunggu saja sampai pagi nanti, bila tetap diada kabar, tentu Beng-tayhiap diharap bantuannya ikut keluar mencari mereka,” kata Liok kun-lun.

Maka dari luar Liu Toong-thian menanggapi: “Tidak perlu Beng-tayhiap turun tangan, aku saja sudah sanggup membawa mereka pulang kesini!” ~ Lalu ia menoleh dan berkata kepada In-hong berdua: “Nah, aku tidak dusta bukan? Mereka kan tamu2 yang tidak kau duga bukan?”

Kiranya ketiga orang tamu yang dimaksud Liu Tong-thian itu selain Beng Siau-kang dan putrinya, orang ketiga adalah Giam Wan. Sudah tentu Ci in-hong dan Kok Ham-hi tidak menduga bahwa kedua nona itu akan datang bersama Beng Siau-kang. Keruan pertemuan ini membikin mereka sama kegirangan.

Dengan tertawa kemudian Ci In-hong berkata: “Dugaanmu memang tidak salah. Bing-sia, aku memang baru saja kembali dari tempat Yang Thian-lui.

Beng Siau-kang meng-geleng2 kepala, katanya: “Kaupun terlalu gegabah, In-hong. Kabarnya Koksu Mongol Liong-siang Hoat-ong juga berada disana. Orang ini terkenal sebagai jago nomor satu di Mongol, kepandaiannya bahkan diatas Yang Thian-lui, jangan sampai kau kepergok olehnya.”

“Untung tidak,” sahut Ci In-hong. “Kalau sampai kepergok, apakah aku dapat pulang lagi?” “Apakah kau menemukan sesuatu tanda akan jejak Li-bengcu? Tanya Liok Kun-lun.

“Belum,” sahut Ci In-hong. “Cuma ditempat Yang Thian-lui itu aku menemukan satu orang yang sama sekali tak pernah kubayangkan.”

“Siapa dia?” tanya Liok kun-lun. “To Liong!” jawab Ci In-hong.

Liok Kun-lun menghela napas gegetun, katanya: “Sungguh tidak nyana ksatria dan pahlawan bangsa sebagai To Pek-seng melahirkan putra yang khianat begitu. Namun To Liong sudah rela terjerumus semakin dalam, maka tidak perlu heran kalau sekarang dia lari ketempat yangthian-lui dan mengaku musuh sebagai bapak.”

“Masih ada lagi seorang yang berada bersama To Liong, inilah yang lebih2 harus disesalkan,” kata Ci In-hong.

“Manusia berkumpul menurut sukunya, binatang berkumpul menurut jenisnya,” kata Liok kun-lun. “Temannya To Liong tentunya adalah sebegundal dengan dia, buat apa disesalkan?” “Bukan begitu maksudku,” kata Ci In-hong. “Orang ini justru tertipu oleh To Liong. Dia adalah anak perempuan Lau Han-ciang, adik Lau Tay-wi yang bernama Khing-koh.

“Anak perempuan Lau-loenghiong kena ditipu To Liong kesana? Mengapa bisa terjadi begitu?” tanya Liok Kun-lun terkejut.

Lalu Ci In-hong menceritakan secara ringkas pertemuannya dengan Lau Khing-koh, hanya bagian yang menyangkut perjodohannya tidak dikatakan. Namun hal itupun sudah cukup membuat semua orang tercengang dan gegetun.

“Nona Lau itu masih terlalu muda hingga gampang tertipu, tapi jiwanya yang keras dan tegas itu harus dipuji. Kita tidak boleh membiarkan dia tewas disarang iblis itu,” kata Beng Siau-kang.

“Ya, segera aku akan mengirim orang memberitahukan kakaknya di Pak-bong-san,” kata Liok Kun- lun.

“Biar kita bertindak dua jurusan,” ujar Beng Siau-kang. “Besok boleh silahkan Liu-hiantit memenuhi janji pertemuan dengan Yang Thian-lui.”

“Ya, besok adalah satu hari sebelum janji pertemuanku dengan Yang Thian-lui, akau akan pergi kesana, Cuma kita masih harus berunding lagi secara lebih masak,” kata Liu Tong-thian.

Setelah berunding, akhirnya diambil keputusan untuk tetap melaksanakan rencana semula, yakni Ci In-hong dan Kok ham-hi menyamar sebagai pengikut Cui Tin-san. Diwaktu lohor mereka akan bersama berangkat untuk menemui Yang Thian-lui. Sedangkan Beng Siau-kang dan Han Tay-wi akan menyelundup ketempat musuh pada paginya dengan bantuan pihak Kay-pang, dengan begitu mereka dapat bertindak menurut keadaan. Sudah tentu mereka harus berani menyerempet bahaya, tapi mengingat kesaktian Beng Siau-kang berdua, biarpun terjadi apa2 rasanya mereka masih sanggup menghadapi.

Tidak lama kemudian fajarpun tiba. Segera mereka melaksanakan tugas masing2 menurut rencana. Sekarang kita kembali kepada Lau Khing-koh dan To Liong. Seperginya Ci In-hong dan membereskan surat yang ditulis To Liong, pada waktu To Liong mengantar surat itu keluar, pikiran Lau Khing-koh lantas bergolak, dan baru saja ia ambil keputusan tetap tentang apa yang akan dilakukannya nanti, sementara itu tampak To Liong telah datang kembali dengan membawa satu poci arak.

“apakah kedua pengacau itu sudah tertangkap?” tanya Lau Khing-koh.

“Tidak, mereka keburu lolos, tapi tentu mereka sudah kapok dan tidak berani datang lagi,” kata To Liong.

“Tadi kudengar suara tindakan orang banyak diluar, agaknya tidak sedikit kawanmu,” kata Lau Khing-koh.

Diam2 To Liong bersyukur kawanan busu Nuchen tidak dilihat oleh sinona, maka jawabnya: “Ya, kemarin baru saja datang beberapa orang teman sehaluan, merekapun bermaksud menggabungkan diri dengan pasukan pergerakan, makanya tadi aku mendesak kau menulis surat.”

Dalam hati Lau Khing-koh memaki kepalsuan To Liong, namun ia tetap bersikap tenang, tanyanya: “Apa surat tadi sudah dikirim?”

“Ya, baru saja suruh orang berangkat mengantar,” sahut To Liong. “Maka sekarang aku sengaja kembali kesini untuk minum arak bersama kau.”

“Engkoh Liong, banyak terima kasih atas perhatianmu kepadaku,” kata Lau Khing-koh dengan tersenyum manis. Lalu ia menuang penuh satu cawan arak dan berkata pula: “Sekarang biarlah aku menyuguh dulu tiga cawan padamu.”

“Mestinya aku yang menyuguh kau lebih dulu sebagai tanda cintaku padamu,” kata To Liong. “Tapi sebentar lagi kita sudah menjadi suami istri, rasanya tidak perlu saling sungkan. Baiklah, akan kuminum suguhanmu.”

Rupanya To Liong sengaja hendak mencekoki Lau Khing-koh agar mabuk, lalu akan diperkosanya. Dalam keadaan “beras sudah jadi nasi” tentu Lau Khing-koh tidak berdaya lagi dan terpaksa menurut segala kehendaknya.

Arak yang dibawanya itu memang arak simpanan, rasanya manis, tapi sangat keras kadar alkoholnya. Hanya saja To Liong tidak menaruh obat tidur didalamnya, sebab ia menyangka Lau Khing-koh pasti tidak tahan minum tiga cawan, maka tidak perlu obat tidur lagi. To Liong tidak tahu bahwa kekuatan minum arak Lau Khing-koh sangat kuat, ayahnya terkenal sebagai jago minum arak, maka dirumah seringkali Lau Khing-koh ikut minum dan hal ini sudah bukan sesuatu yang luar biasa baginya.

Begitulah maka Lau Khing-koh pura2 tidak sanggup minum, ia sengaja main roman dengan To Liong secara mesra, ditengah bujuk rayu itu tanpa terasa To Liong sudah dicekoki beberapa cawan pula. Lau Khing-koh merasa lega karena yakin didalam arak itu tidak dicampur sesuatu, maka iapun mengiringi minum tiga cawan suguhan To Liong, sebaliknya To Liong sudah dicekoki 12 cawan.

Melihat wajah Lau Khing-koh mulai merah, mata sayu, jelas sudah terpengaruh oleh minuman keras itu. To Liong pikir sudah tiba waktunya, maka ia mulai bertindak, katanya: “Khing-koh, kau mengaso saja.” ~ Lalu ia mendekati sinona hendak memajangnya keatas tempat tidur.

Lau Khing-koh pura2 mendelik dan mengoceh mirip orang mabuk: “Tidak ….. tidak, aku tidak apa2, aku ingin berlomba minum dengan kau. Hayo, kenapa kau tidak minum lagi. Ah, aku tahu sebabnya kau tidak berani minum lagi, kau kuatir mabuk dan membocorkan isi hatimu. Ada suatu urusan kau tidak beritahukan padaku. Hal ini kedengar dari orang sehe Ci itu.”

Keruan To Liong terkejut, namun iapun bersyukur bahwa dalam keadaan mabuk sinona telah membongkar rahasianya sendiri, segera ia bertanya: “Urusan apa? Bagaimana orang she Ci itu berkata padamu?”

“ah, takkan kukatakan,” sahut Lau Khing-koh dengan mendongak dan menghembuskan naps yang berbau arak. “Kau anggap aku sudah mabuk, kau harus didenda minum lagi tiga cawan, kalau tidak takkan kuceritakan.”

Sebenarnya To Liong sendiri sudah setengah abuk, tapi demi untuk mengetahui rahasia sinona, segera ia menjawab: “Baik, baik,aku akanminum tiga cawan lagi.”

Setelah itu Lau Khing-koh lantas menuangkan satu cawan lagi untuk dirinya sendiri dan berkata pula: “Sekarang kau harus mengiringi pula tiga cawan dengan aku!”

“Kau jangan minum lagi, lekas bicara saja,” ujar To Liong.

“Tidak, kau larang aku minum, maka kau harus dihukum pula tiga cawan, jadi total kau mesti minum enam cawan lagi, habis itu baru akan kuceritakan,” kata sinona.

Kuatir sinona melantur, terpaksa To Liong minum pula enam cawan sekaligus, dengan demikian To Liong sendiri sudah mabuk sembilan bagian. Sambil menyengir lalu ia berkata: “Nona manis, sekarang ceritakanlah padaku!”

Tiba2 Lau Khing-koh menatapnya dengan tajam, lalu bertanya: “Orang macam apakah Li Su-lam itu?”

Dalam keadaan sinting To Liong terkejut juga oleh pertanyaan itu, segera ia menjawab: “Untuk apa kau tanya dia?”

“Dia dikurung disini bukan?” tanya Lau Khing-koh pula.

“Siapa ….. siapa yang bilang padamu?” sahut To Liong dengan gugup. Dari nada dan sikapnya yakinlah Lau Khing-koh bahwa apa yang dikatakan Ci In-hong itu memang tidak dusta. “Orang she Ci itu yang bilang,” kata Lau Khing-koh kemudian.

“Dia …. Dia memberitahukan siapa adanya Li Su-lam?” To Liong menegas.

“Jika dia sudah memberitahu, buat apa kutanya pula padamu,” sahut Lau Khing-koh. “Begitu datang orang she Ci itu lantas bilang mau cari Li Su-lam, aku menjawab tidak tahu, karena itulah alu dilukai oelhnya.”

Hati To Liong rada lega. Ia pikir kiranya kedatangan Ci In-hong adalah untuk mencari Li Su-lam, jadi hanya secara kebetulan saja Lau Khing-koh kepergok disini. Untung Lau Khing-koh belum mengetahui siapa Li Su-lam yang sebenarnya.

Begitulah ia lantas bergelak tertawa dan berkata: “Hahaha, sekarang bocah she Ci itu benar2 kelihatan belangnya!”

“Kelihatan belangnya apa maksudmu?” tanya Lau Khing-koh.

“Dahulu aku mendengar dia telah bersekongkol dengan pihak Kim, sekarang dia mencari Li Su-lam kesini, hal ini membuktikan kbar itu memang tidak salah,” kata To Liong.

“Jadi Li Su-lam adalah ….. “

“Dia menjadi jago pengawal istana Kim,” kata To Liong. Dasar pembohong yang ahli biarpun dalam keadaan mabuk ia tetap pandai berdusta.

“O, kalau begitu Li Su-lam benar2 telah kalian tawan disini?” tanya Khing-koh pula.

“Ya, dia berusaha mencari rahasia kami, kemarin dulu ia berani menyusup kesini da telah ditangkap oleh kawanku,” sahut To Liong.

“Dia dikurung dimana, dapatkah kau membawa aku melihatnya? Ah, agaknya kau tidak sungguh2 sayang padaku!” Khing-koh sengaja berlagak sebagaimana perempuan yang aleman dalam keadaan mabuk.

“Baiklah, besok akan kubawa kau kesana. O, manis jangan ribut lagi, tidurlah sekarang!” bujuk To Liong. Dalam hati ia sudah berpikir pada besoknya akan memperlihatkan seorang Li Su-lam palsu, malahan sesudah sadar besok pagi mungkin sinona sudah melupakan apa yang dimintanya sekarang ini.

Khing-koh pura2 menguap dan berlagak tak tahan lagi, katanya: “Baik, baik, pergilah kau, pergi! Aku mau tidur!”

Dengan cengar cengir To Liong malah mendeka dan berkata: “Biar aku menunggu kau tidur.” Dan belum lagi ia memegang sinona, mendadak iganya terasa kesemutan,nyata ia punya hiat-to teleh ditotok Khing-koh.

Kalau melulu kepandaian Khing-koh saja sebenarnya bukan tandingan To Liong, bila pemuda itu tidak dalam keadaan mabuk pasti serangan Khing-koh itu takkan berhasil.

Pada saat Khing-koh menotok To Liong itulah, tiba2 diluar jendela seperti ada orng bersuara ke- heran2an.

Keruan Khing-koh terkejut, cepat ia melolos golok dan membentak: “Siapa itu?” ~ Segera iapun berlari keluar, namun yang tertampak hanya bulan sabit menghias tengah cakrawala dan tidak kelihatan bayangan seorangpun.

Khing-koh menjadi ragu2 apakah pendengar sendiri tadi keliru? Segera ia masuk kembali kedalam kamar.

Sementara itu To Liong yang tertotok hiat-to bagian lemas menjadi takbisa berkutik, dengan suara rada gemetar ia berkata: “Khing-koh, kau berkelakar apa?”

Akan tetapi dengan mata melotot Khing-koh mengancam dada To Liong dengan ujung golok, sahutnya dengan ketus: “Siapa berkelakar dengan kau? Hayo bawa aku pergi menemui Li Su-lam!” Sungguh kejut To Liong tidak kepalang, rasa mabuknya seketika hilang beberapa bagian, katanya dengan suara tergagap: “Kau ….. Kau …. “

“Pentanglah matamu yang lebar, kenali siapa aku ini!” sahut Khing-koh. “Jangan kau sangka aku adalah perempuan desa yang mudah ditipu olehmu? Aku adalah putri keluarga Lau yang tegas melawan Kim, kakakku Lau Tay-wi adalah pemimpin pasukan pergerakan yang etrkenal!”

“Jadi, jadi kau sudah ….. sudah tahu semuanya?” kata To Liong dengan gemetar.

“Benar, aku sudah tahu semua! Tempat ini adalah istana Koksu, apa kau hendak tipu aku? Hm, hayo lekas jalan!” bentak Khing-koh.

“Khing-koh, harap ingat hubungan baik kita yang lalu,” pinta To Liong.

“Hm, kalau tidak ingat kebaikan yang lalu tentu jiwamu sudah kubereskan,” sahut Khing-koh. “Sekarang kalau ingin selamat, kau harus tunduk kepada perintahku dan jangan banyak omong.” “Tapi diluar sana banyak penjaga lain, kalau kubawa kau pergi mencari Li Su-lam tentu mengalami berbagai pertanyaan, mungkin baru keluar sini saja kita sudah akan dihalangi,” ujar To Liong. “Bukankah kau adalah tamu terhormat ditempat Koksu ini? Biasanya kaupun sok pintar, kenapa sekarang kau pura2 bodoh? Pendek kata, jika kau tidak dapat membawa aku ketempat tahanan Li Su-lam, biarlah kita mati bersama saja disini,” habis berkata Khing-koh lantas jojohkan ujung goloknya lebih kencang higga kulit daging To Liong terasa sakit.

To Liong sekarang sudah tahu watak Khing-koh yang keras, ia pikir kalau tidak menurut mungkin sinona benar2 akan membinasakan dia. Terpaksa ia menyanggupi sambil memikirkan jalan lolos, katanya: “Baiklah, demi kau aku rela berkorban, Cuma untuk kesana kau harus membuka aku punya hiat-to yang tertotok ini.”

Khing-koh menotok “Goan-tiau-hiat” dibagian dengkul To Liong, menyusul menjojoh dengan agak keras di “Ih-hi-hit” bagian perutnya, lalu berkata: “Nah, sekarang kau sudah dapat berjalan, bawalah aku kesana! Setelah bertemu Li Su-lam tentu akan kubuka seluruh hiat-to yang kutotok ini.” Kiranya tadi Khing-koh hanya membuka hiat-to bagian membikin lemas yang ditotok semula, tapi jojoh keras bagian perut barusan ini jauh lebih lihai daripada hiat-to yang membikin lemas itu, meski To Liong dapat berjalan, namun tenaga sukar dikeluarkan, maka keadaannya akan serupa dengan orang biasa yang tidak pandai ilmu silat.

Malahan Khing-koh masih memegangi tangan To Liong, lalu berjalan keluar bersama, dengan suara pelahan Khing-koh memperingatkan pula agar pemuda ini jangan main gila. Tiga buah jari Khing- koh memang tepat memencet urat nadi pergelangan tangan To Liong yang dipegangnya.

Keruan To Liong mati kutu, katanya dengan menyengir: “Ai, kau terlalu banyak curiga, Khing-koh, betapapun aku tetap suka padamu meski kau selalu curiga padaku.”

Begitulah ketika mereka sampai dihalaman luar, benar juga segera mereka dipapak dan ditegur oleh dua jago pengawal. Rupanya kedua orang ini memang ditugaskan disitu untuk mengawasi gerak gerik mereka.

“Kami hendak pergi menemui Koksuya kalian,” kata To Liong kepada pengawal2 itu.

Jawaban itu rupanya cukup kena sehingga kedua penjaga itu tidak menaruh curiga dan membiarkan mereka lalu.

Dalam hati To Liong menggerutu akan kegoblokan kedua pengawal itu. Semula ia berharap mereka akan menanya dengan pelit sehingga tujuan Khing-koh akan gagal, tapi harapannya ternyata sia2.

Sambil berjalan diam2 To Liong me-nimang2 dan akhirnya mendapat satu akal lagi. Pikirnya: “Kenapa aku tak membawanya menemui Yang Thian-lui. Dengan kepandaian dan kecerdikan Yang Thian-lui, bila melihat gelaat tidak beres tentu dia sanggup menolong diriku!”

Padahal tempat tinggal Yang Thian-lui justru berlawanan arah dengan tempat tahanan Li Su-lam, yang satu disebelah timur dan yang lain disebelah barat. Baru saja To Liong melangkah kesebelah timur, tiba2 sepotong batu menyamber tiba dan menyerempet lewat dibatok kepala To Liong.

Kini To Liong sudah tiada kemampuan melawan serangan senjata rahasia, namun berdasarkan pengalaman, dari suara samberan batu itu dapat diketahui kekuatannya cukup membikin kepalanya berlubang, ia yakin bila orang mau mengambil jiwanya tentu batu itu takkan meleset. Dengan kuatir cepat ia berseru: “Persahabatan tetap abadi ….. “

Sebagaimana diketahui kalimat itu adalah kode rahasia yang berlaku didalam istana Yang Thian-lui malam ini, bila ketemu orang sendiri kalimat itu tentu akan dijawab dengan ucapan “Menikmati rejeki bersama”. Rupanya To Liong menyangka yang menyambitkan senjata rahasia itu adalah jagoan pengawal yang tidak kenal kawan sendiri dalam kegelapan, maka cepat ia menyerukan kode. Tak terduga pihak sana tetap tidak memberi jawaban, bahkan kembali sepotong batu menyamber tiba pula, Cuma sekali ini arahnya berlainan dengan tadi, melayang kesebelah barat, yaitu arah yang menunjukkan tempat tahanan Li Su-lam.

To Liong tambah kaget, ia cukup cerdas sehingga dapat menduga beberapa bagian apa artinya itu, diam2 ia merasakan gelagat tidak menguntungkan, sebab ia menduga orang yang tidak kelihatan itu pasti bukan lagi jago pengawal yang disangkanya semula.

“Kawan dari manakah yang berkelakar dengan aku?” seru ToLiong dengan suara tertahan. Lau Khing-koh tidak tahu duduk perkaranya, iapun terkejut dan heran. Segera ia pegang lebih kencang urat nadi To Liong sambil mengancam dengan suara pelahan: “Jangan sembarangan bersuara dan bergerak!”

Pada saat itulah tiba2 dari balik semak2 sana muncul seorang gadis cilik, To Liong dan Khing-koh sama terkejut dan berseru berbareng: “He, kiranya kau?” ~ Gadis kecil itu ternyata si Kemala adanya.

“Nona Lau,” demikian sahut si Kemala cilik. “Aku disuruh orang agar memberitahu padamu bahwa tempat yang akan kau tuju adalah Cui-gwe-tong, tuan To tahu dimana tempat itu, Cuma entah mengapa arah yang kalian tuju ini ternyata keliru.”

Kejut To Liong tak terhingga, katanya: “Kemala, kau, kau siapa? Dan siapa pula orang itu …. “ “Peduli apa?” sahut Kemala. “Yang penting aku sudah menyampaikan pesannya, setiap gerak gerikmu selalu diawasi beliau, maka hendaklah kau jangan main gila bila ingin selamat.”

“O, tentu, tentu,” cepat To Liong menjawab. Tapi didalam hati ia menggerutu akan kekurang ajaran si Kemala cilik itu.

Sementara itu sudah sekian lamanya hiat-to yang tertotok itu, dengan lwekangnya yang cukup kuat, lamban laun rasa lemas To Liong tadi sudah mulai berkurang, diam2 iapun mengerahkan tenaga, sedikit demi sedikit ia himpun hawa murni dalam tubuhnya, soalnya disamping mengerahkan tenaga itu ia harus berjalan pula, maka untuk sementara hiat-to yang tertotok itu belum dapat dilancarkan, akan tetapi sekarang hanya soal waktu saja, maka disamping mengerahkan tenaga iapun memikirkan cara meloloskan diri.

Dalam pada itu si Kemala telah menyusup kembali ketengah semak2, dilihatnya To Liong tidak berani main gila lagi dan telah putar haluan kearah Cui-gwe-tong, maka si Kemala baru berpaling dan berkata dengan suara tertahan: “Han-sioksiok, sekarang aku boleh pulang ya?”

Dari atas pohon meloncat turun satu orang dan berkata: “Kau jangan pulang rumah, mumpung hari baru terang lekas kau melarikan diri saja. Aku sudah memberitahukan ayahmu agar menunggu kau dipintu belakang, penjaga pintu adalah temanku, kau boleh bawa Kim-pay ini , bila ditanya boleh kau menjawab aku yang suruh kalian keluar untuk sesuatu urusan!” ~ Kiranya orang ini adalah Han Ciau, itu jago pengawal bangsa Han yang ditugaskan oleh Yang thian-lui untuk mengawasi To Liong dan Lau Khing-koh.

Sama halnya seperti Ci In-hong, Han Ciau juga seorang pahlawan yang bekerja dibawah tanah untuk melawan kerajaan Kim. Agar bisa menyusup kesarang musuh, dengan menanggung resiko dia pura2 bekerja bagi Yang Thian-lui. Hanya saja dia bertindak sendirian, selama ini belum sempat berhubungan dengan pihak pergerakan. Selama beberapa tahun disarang musuh ini dia belum berani mengutarakan isi hatinya kepada siapapun juga termasuk Ci In-hong yang pernah bertugas bersama disitu, walaupun sebenarnya diapun sudah mencurigai Ci In-hong adalah kawan sepahamnya.

Kini Ci In-hong sengaja menyerempet bahaya dan berusaha menolong Li Su-lam, perbuatan ini telah sangat mengharukan dia. Sebab itulah diam2 dia membantu Ci In-hong meloloskan diri, bahkan ia bertekad akan melaksanakan cita2nya selama ini andaikan jiwanya harus berkorban iapun tidak sayang lagi.

Sementara itu To Liong mendapatkan akal licik lagi, ia pura2 jalan tidak leluasa karena hiat-to tertotok, sebentar2 ia berhenti. Sebaliknya Lau Khing-koh tidak dapat menyeretnya berlari, pula tidak berani membuka hiat-to yang ditotoknya tadi, diam2 ia merasa tidak sabar,tapi terpaksa tak dapat berbuat apa2.

Waktu itu hari sudah terang benderang, terpaksa Han Ciau hanya dapat menguntit dari jauh dan tidak berani terang2an menghadapi To Liong. Untung jago2 pengawal yang tugas jaga ditaman itu itu semuanya kenal To Liong, sedangkan Han Ciau disangka oleh pengawal2 itu sebagai kawan sendiri yang sengaja ditugaskan mengawasi To Liong, tidak ada yang menduga bahwa Han Ciau sudah mengkhianati Yang Thian-lui.

Begitulah To Liong sengaja mengulur waktu, diam2 ia menghimpun tenaga untuk membuka Hiat-to yang tertotok. Samapi lama sekali akhirnya mereka sampai ditempat tahanan Li Su-lam, sementara itu tenaga To Liong sudah mulai terkumpul, kekuatannya sudah mulai pulih.

Sementara itu Ci In-hong dan Kok ham-hi yang menyamar sebagai pengiring Liu Tong-thian serta Cui Tin-san, menjelang lohor merekapun memasuki istana Koksu. Dalam keadaan menyamar ternyata tiada orang mengenali Ci In-hong lagi.

Yang Thian-lui menerima Liu Tong-thian dan Cui Tin-san disuatu kamar rahasia, tapi Ci In-hong dan Kok Ham-hi dilarang ikut masuk, mereka diharuskan menunggu diluar. Pada kamar rahasia itu terpasang satu pintu angin yang diatasnya terbingkai sebuah cermin tembaga yang mengkilap, dari cermin itu Yang Thian-luui dapat melihat orang diluar kamar, sebaliknya orang diluar tidak dapat melihat keadaan didalam.

Ketika melihat Ci In-hong, hati Yang Thian-lui tergerak, ia merasa perawakan orang ini sudah pernah dikenalnya. Maklumlah, Yang Thian-lui pernah susiok Ci In-hong dan telah mengenalnya sekian lama, sebab itulah dari perawakan Ci In-hong saja sudah lantas menimbulkan curiganya. Maka ketika sudah berada didalam kamar rahasia dan duduk berhadapan dengan Liu dan Cui berdua, segera Yang Thian-lui bertanya: “Siapakah kedua orang pengikutmu itu?”

“Ah, hanya dua Thaubak kecil kami, karena tenaganya cekatan, maka kami membawa mereka sebagai persuruh kalau perlu,” kata Liu Tong-thian.

“Thaubak kecil? Kukira tidak betul. Jika begitu halnya, maka kalian yang telah salah menilai mereka,” ujar Yang Thian-lui dengan tertawa.

Diam2 Liu Tong-thian berkeringat dingin, ia pikir bangsat she Yang ini sungguh lihai, belum lagi berhadapan dengan Ci In-hong berdua sudah mengetahui ketidak beresan penyamaran mereka.

Maka dengan pura2 gugup Liu Tong-thian menjawab: “Entah apa maksud Koksu, sudilah kiranya memberi penjelasan.”

“Kedua Thaubak kalian ini memiliki lwekang yang tidak rendah, sebab itulah kukatakan kalian telah salah menilai kemampuan mereka bila betul kalian kerjakan mereka sebagai Thaubak biasa,” kata Yang Thian-lui. Rupanya dari cermin rahasia dapat dilihatnya kedua pelipis Ci In-hong dan Kok ham-hi rada menonjol, hal ini adalah tanda orang yang memiliki dasar lwekang yang kuat.

Keruan Liu Tong-thian tambah terkejut, katanya: “Pandangan Koksu yang tajam sungguh mengagumkan, sama sekali kami tidak tahu kemampuan mereka, jika benar, maka kami benar2 berpandangan picik.”

Yang Thian-lui menjadi sangsi pula, tapi berlagak sayang kepada orang yang pandai, segera ia berkata pula: “Orang berbakat tidak pantas kalau terpendam, akupun tidak berani yakin pandanganku pasti jitu, paling baik suruhlah mereka masuk ekmari, biar kulihat mereka lebih jelas.” Kejut dan girang pula Liu Tong-thian, pikirnya: “Peduli apakah rahasia penyamaran mereka berdua telah diketahui atau tidak, kalau sudah berhadapan nanti toh pasti akan labrak dia habis2an.” ~ Maka ia lantas memanggil Ci In-hong dan Kok Ham-hi masuk kedalam kamar.

Ucapan Yang Thian-lui tadi didengar juga oleh pengawal2 yang berjaga di luar, mereka ter-heran2 bahwa kedua pengiring rendahan itupun akan diterima oleh Koksuya mereka, terpaksa tak dapat merintangi lagi.

Setelah masuk, Yang Thian-lui mengamati Ci In-hong sekejap, lalu bertanya:” Siapa gurumu? Dengan kepandaianmu ini, mengapa kau terima menjadi Thaubak kecil saja?”

Ci In-hong menyebut suatu nama samaran sebagai gurunya dan menyatakan kepandaiannya tidak berarti apa2, bahkan sangat terima kasih atas kesudian Liu-cecu menerimanya sebagai Thaubak. Dengan sorot mata yang tajam, sinar mata Yang Thian-lui berlaih dari Ci In-hong kepada Kok Ham-hi. Diam2 Kok ham-hi kabat kebit kalau2 Yang Thian-lui akan mengajukan pertanyaan apa2 kepadanya.

Ternyata Yang Thian-lui juga sudah kenal nama Kok Ham-hi, maka sekarang iapun menaruh curiga, hanya saja ia belum berani memastikan bahwa laki2 bermuka buruk di hadapannya sekarang ini adalah Kok ham-hi.

Sebagaimana diketahui Yang Kian-pek, putra Yang Thian-lui itu sudah pernah bertarung dengan Kok Ham-hi, selama itu Kok Ham-hi memakai kedok, maka Yang Kian-pek hanya yakin kalau Kok ham-hi adalah orang seperguruannya, tapi belum pernah melihat wajah aslinya.

Pulangnya Yang Kian-pek telah melaporkan pengalamannya kepada sang ayah, setelah diselidiki akhirnya Yang Thian-lui mendapat tahu namanya Kok Ham-hi dan diketahui pula ia mempunyai muka yang buruk. Sekarang meski Kok Ham-hi telah merias mukanya sedemikian rupa toh tetap sukar menghilangkan codet pada mukanya itu.

Karena itulah Yang Thian-lui menjadi curiga, ia pikir kalau simuka buruk ini adalah Kok Ham-hi, maka yang seorang lagi pasti Ci In-hong adanya. Pantas perawakannya tampak sudah pernah dikenalnya.

Tiba2 Yang Thian-lui mendapat suatu akal, ia sengaja menjabat tangan Ci In-hong sebagai tanda orang tua menghargai orang muda, tapi sebenarnya ia hendak menjajalnya dengan Thian-lui-kang. Ci In-hong melihat maksud Yang Thian-lui itu, ia terkejut, tanpa pikir lagi segera ia menggertak, “Lui-tian-kau-hong!”

Serentak Kok Ham-hi mengiakan, kedua orang menghantam berbareng, dengan gabungan mereka telah adu pukulan satu kali dengan Yang Thian-lui. Terdengarlah suara gemuruh yang keras. Ci In- hong dan Kok ham-hi tergetar mundur tiga tindak, Yang Thian-lui juga tergeliat, Cuma tidak sampai menggeser langkah.

Keruan terkejut juga Yang Thian-lui, ia merasa dengan gabungan kedua anak muda itu untuk mengalahkan sedikitnya juga perlu ratusan jurus lagi.

Dalam pada itu, dengan cepat luar biasa Liu Tong-thian dan Cui Tin-san juga lantas turun tangan. Sekaligus pedang Liu Tong-thian menusuk beberapa tempat berbahaya ditubuh Yang Thian-lui, sedangkan Cui Tin-san menghantam dengan tenaga dahsyat.

Yang Thian-lui benar2 lihai luar biasa, cepat sekali ia menggeser dan ganti tempat, sekali lengan bajunya mengebas, ujung pedang Liu Tong-thian tersampuk menceng, berbareng telapak tangan kiri menghantam sehingga Cui Tin-san dipaksa melompat mundur. Untung dia baru saja beradu tenaga pukulan dengan Ci In-hong berdua, kalau tidak Cui Tin-san pasti terluka parah andaikan tidak mati. Berbareng Ci In-hong dan Kok Ham-hi membentak: “Yang Thian-lui, kau mengkhianati perguruan, hari ini kami mewakilkan guru kami mengadakan pembersihan perguruan!” ~ Ditengah bentakan mereka kembali suatu jurus “Lui-tian-kau-hong” dilontarkan.

Meski kepandaian Yang Thian-lui sangat tinggi, namun sekaligus menghadapi empat lawan tangguh, mau tak mau ia merasa kewalahan juga. Terpaksa ia sambut pula serangan Ci In-hong berdua,terdengar suara gemuruh lagi, berbareng terdengar juga suara “bret”, Kok Ham-hi dan Ci In- hong kembali tergetar mundur, tapi lantaran tidak sempat menghadapi lawan lain, maka lengan baju Yang Thian-lui terpapas juga oleh pedang Liu Tong-thian, hampir2 saja jarinya ikut terkutung. “Pek-lotoa, keluar kau!” teriak Yang Thian-lui. Serentak para busu diruangan luar dan prajurit yang memang sudah disembunyikan didalam ruangan lantas membanjir keluar semua.

“Tidak perlu orang banyak!” Seru Yang Thian-lui pula. “Cukup Pek-lotoa dan anak Kian yang tinggal disini, yang lain mundur keluar semua, jaga rapat kalau mereka membawa begundal yang lain.”

Ditengah suara teriakan Yang Thian-lui itu, seorang tua berwajah merah mendadak menubruk kearah Cui Tin-san, disamping sana seorang pemuda baju putih juga menerjang kearah Liu Tong- thian dengan pedang terhunus.

Kiranya orang tua berwajah merah itu adalah Pek ban-hiong, sesudah Pek-keh-ceng diobrak abrik oleh Li Su-lam, segera ia bersama putranya, yaitu Pek Jian-seng, melarikan diri ketempat Yang Thian-lui ini. Sedangkan pemuda baju putih itu takp erlu diterangkan lagi,dia adalah putra Yang Thian-lui, Yang kian-pek adanya.

Yang Thian-lui cukup kenal kepandaian keempat lawannya yan ghebat, bertarung didalam kamar, bila terlalu banyak orang malah mengganggu dan kurang leluasa, sebabitulah ia suruh orang2nya keluar semua, hanya tertinggal Pek ban-hiong dan Yang Kian-pek yang cukup kuat membantunya. Dengan kedua pembantu ini Yang Thian-lui yakin kemenangan pasti akan dipegangnya.

Yang Kian-pek sudah pernah merasakan kelihaian Ci In-hong dan Kok ham-hi, maka sekarang ia lebih suka ayahnya yang menghadapi kedua musuh tangguh itu, ia sendiri mengadu ilmu pedang dengan Liu Tong-thian. Sebab dikiranya akan mendapat lawan yang lebih empuk. Tak tahunya Liu Tong-thian juga seorang ahli ilmu pedang, kelihaian ilmu pedangnya masih jauh diatas Yang Kian- pek. Maka hanya beberapa jurus saja Yang Kian-pek sudah lantas tahu rasa, ujung pedang Liu Tong-thian se-akan2 menyamber didepan mukanya, sinar pedang menyilaukan mata. Keruan ia terkejut, lekas2 ditengah samberan pedangnya ia selingi pukulan pula dengan tenaga “Thian-lui- kang”.

Tiba2 langkah Liu Tong-thian rada sempoyongan, nyata dia telah mengeluarkan ilmu pedang “Cui- pat-sian” (delapan dewa mabuk), langkahnya seperti tidak tetap bagai orang mabuk, tapi setiap gerak pedangnya selalu mengincar tempat lawan yang berbahaya.

Karena bingung menghadapi tipuan serangan yang aneh itu, Yang Kian-pek menjadi kelabakan, hanya sanggup menangkis dan tidak mampu balas menyerang. Sebaliknya karena Liu Tong-thian harus menghadapi juga tenaga pukulan Thian-lui-kang lawan, maka beberapa kali serangan maut gagal setengah jalan, tetap tak dapat membinasakan lawan meskipun kedudukannya tetap diatas angin.

Disebelah lain, dengan kekuatan Pek Ban-hiong yang terlatih berpuluh tahun, keadaannya lebihkuat dibandingkan murid Siau-lim-pay seperti Cui Tin-san.

Ilmu pukulan “Tay-lik-kim-kong-ciang” Cui Tin-san memang keras, tapi kurang mantap. Pek Ban- hiong telah melawannya dengan Bian-ciang yang lemas ditambah dengan Eng-jiau-kang, tenaga cakaran yang liahi, dalam sekejap saja Cui Tin-san sudah terkurung ditengah pukulan dan cakarannya. Hanya Pek ban-hiong juga rada jeri terhadap ketangkasan Cui Tin-san, maka ia snegaja main tenang dan mantap, kalau tenaga Cui Tin-san sudah terkuras habis barulah akan diberesi.

Disebelah sana Yang Thian-lui melawan Ci In-hong dan Kok Ham-hi, kedua pihak sama2 mengeluarkan segenap kemahiran Thain-lui-kang masing2, angin pukulan merdu gemuruh, dimana angin pukulan menyambar daun jendela tergelepar dan tiang tergetar, atap rumah berkeriutan.

Sebagian Busu yang berkepandaian lemah sejak tadi sudah menyingkir keluar.

Melihat gelagat kurang menguntungkan, seorang busu berseru: “Apakah perlu mengundang Liong- siang Hoat-ong?”

“Tidak perlu!” bentak Yang Thian-lui dengan gusar. “Jika takut enyah dari sini!”

Menurut taksirannya, Yang Kian-pek cukup kuat untuk menahan Liu Tong-thian hingga ratusan jurus, sedangkan Pek Ban-hiong sudah pasti lebih unggul daripada Cui Tin-san. Dalam keadaan demikian asalkan salah seorang, Pek Ban-hiong atau Yang Thian-lui sendiri dapat mengalahkan lawan dalam waktu singkat, maka dengan segera mereka dapat membantu Yang Kian-pek membereskan Liu Tong-thian, jadi jelas pihak Yang Thian-lui menduduki posisi yang lebih emnguntungkan, apalagi dia adalah koksu negeri Kim, sedangkan Liong-siang Hoat-ong adalah Koksu Mongol, kedudukan kedua orang sederajat, mana sudi dipandang rendah dengan minta bantuan kepada tamunya itu.

Se-konyong2 Ci In-hong pura2 memukul, berbareng lantas membentak: “Lihat pedang!” ~ Cepat sekali pedangnya lantas menusuk.

Dalam pada itu Kok Ham-hi juga sudah melolos pedangnya, ditengah pukulannya iapun melancarkan tusukan, nyata kerja sama mereka berdua sangat rapi.

Menghadapi serangan dari muka dan belakang dengan angkuh Yang Thian-lui masih menjengek: “Hm, berani pamer kepandaian yang telah kalian pelajari, keluarkan saja seluruhnya !” Belumlenyap suaranya pedang Ci in-hong menyamber tiba didepan dahinya, hampir2 saja batok kepalanya trertabas. Menyusul Kok Ham-hi juga menusuk pula dengan cara tak ter-duga2. Segera Yang Thian-lui mengebas dengan lengan bajunya. Tak terduga ujung pedang Kok Ham-hi mendadak memutar kesamping dan kembali menyerang dari arah yan gtak terpikirkan olehnya.

Terdengarlah suara “bret” yang panjang, hampir setengah lengan baju Yang Thian-lui terobek menjadi potongan kecil2.

Kiranya gerakan pedang Kok ham-hi diserta dengan puntiran sehingga kain baju itu seperti digiling saja. Keruan Yang Thian-lui terkejut dan gusar pula. Mendadak ia membentak, kedua telapak tangan menghantam sekaligus, dengan jurus “Ya-ma-hun-cong) (kuda liar menyeruduk dua jurusan) ia paksa Ci In-hong berdua mundur.

“Hm, kiranya kalian berhasil meyakinkan pula ilmu pedang perguruan kita, tapi kalian mampu mengapakan diriku?” jengek Yang Thian-lui. Walaupun begitu katanya, tapi timbul juga rasa jerinya. Diam2 ia berpikir tentang saudara seperguruannya, yaitu Hoa Thian-hong yang mengasingkan diri selama belasan tahun, kiranya diam2 sedang meyakinkan ilmu pedang yang hebat ini dan diajarkan kepada muridnya untuk kemudian hendak menghadapinya. Tampaknya ilmu pedang yang dimainkan Ci In-hong sekarang bahkan lebih hebat daripada kakek gurunya dahulu.

Yang diutamakan Yang Thian-lui adalah lwekang dan kurang mahir ilmu pedang, maka kedua pihak sekarang menjadi sama2 menggunakan kemahiran masing2 untuk menyerang kelemahan lawan. Dengan begini Yang Thian-lui hanya dapat menandingi Kok Ham-hi dan Ci in-hong dengan sama kuat saja, untuk menarik keuntungan menjadi tidak mudah baginya.

Sebaliknya disebelah sana Cui Tin-san yang menempur Pek Ban-hiong dengan sengit, akhirnya ia menjadi payah. Sedang partai lain tampak Liu Tong-thian lebih unggul daripada YangKian-pek, hanya dalam waktu singkat iapun belum dapat mengalahkan pemuda itu.

Diam2 Ci In-hong menjadi gelisah, pikirnya: “Mengapa Beng-tayhiap dan Han-locianpwe belum nampak muncul?”

Tentang Beng Siau-kang dan Han Tay-wi, sejak pagi2 mereka sudah berhasil meyusup kedalam istana Yang Thian-lui itu, mustahil suara pertempuran yang ramai itu tak didengar oleh mereka. Sebab itulah Ci In-hong menjadi kuatir jangan2 terjadi apa2 atas diri kedua pendekar tua. Tapi dengankepandaian mereka yang tinggi, rasanya tiada sesuatupun yang dapat menghalangi mereka. Tapi mengapa sampai saat ini mereka masih belum muncul?”

Begitulah lantaran bala bantuan yang di-tunggu2 belum datang, Ci In-hong berdua menjadi cemas, maka posisi yang sama kuat tadi hanya sebentar saja telah berubah pula, Yang Thian-lui kembali diatas angin dan melancarkan serangan gencar pula.

Sekarang marilah kita mengikuti keadaan Li Su-lam, selagi duduk tenang dan mengerahkan tenaga ditemoat tahanannya, dalam kegelapan iapun tidak tahu siang hari atau sudah malam. Tiba2 didengarnya ada suara tindakan dua orang menuju kearahnya. Se-konyong2 suara percakapan kedua orang itupun dapat didengarnya. Seketika Li Su-lam terperanjat. Sebab suara itu sudah dikenalnya dengan baik, jelas itulah suara To Liong.

Terdengar To Liong sedang berkata: “Penjaga ini tidak paham bahasa Han, akan kuminta kuncinya, lalu sengaja kusingkirkan dia ketempat lain, cara ini baik tidak?”

“Hendaklah kau jangan main gila, apakah betul2 Li-bengcu ditahan disini?” demikian terdengar suara perempuan muda menanggapi.

Li Su-lam menjadi heran, siapakah perempuan itu? Dari nada ucapannya agaknya dia sengaja datang buat menolong diriku? Mengapa To Liong mau menuruti perintahnya, sungguh aneh! Demikian pikir Su-lam.

Dari suara mereka itu Li Su-lam menaksir jarak mereka dari kamar tahanan itu masih dua-tiga puluh langkah lagi, agaknya suara perempuan itu diucapkan dengan setengah berbisik ditepi telinga To Liong.

Dalam pada itu mereka sudah samapi didepan kamar tahanan itu. Penjaga disitu adalah seorang busu Mongol yang sudah kenal To Liong, tapi belum kenal Lau Khing-koh. Maka ia merasa sangsi melihat To Liong datang bersama seorang perempuan muda.

Namun belum dia menegur, To Liong sudah lantas mendahului membuka suara dlam bahasa Mongol: “Berikan kunci palsu padaku, cepat kau pergi mengundang Liong-siang Hoat-ong! Tidak perlu tanya lagi, lekas berangkat! Aku berada dalam ancaman orang ini!” ~ Rupanya busu Mongol itu tidak dapat bicara bahasa Han, tapi sedikit2 dapat mendengar artinya. Sebab itulah To Liong mendahului bicara bahasa Mongol dengan dia.

Saat itu tidak terpikir oleh To Liong bahwa meski Lau Khing-koh tidak paham bahasa Mongol, tapi Li Su-lam yang terkurung didalam penjara itu fasih bahasa asing itu. Kini Li Su-lam sudah yakin Lau Khing-koh datang untuk menolongnya, walaupun belum jelas siapa nona itu, namun tiada kesempatan berpikir lagi baginya, segera ia berteriak: “Lekas turun tangan, bunuh penjaga itu!” Belum lenyap suaranya, ternyata busu Mongol itu sudah menerjang lebih dulu kerah Lau Khing-koh sambil memaki: “Budak busuk, berani benar kau!” ~ Dia menggunakan bahasa Han yang kaku, namun hal itupun membuktikan dia bukannya sama sekali tidak paham bahas Han sebagai dikatakan To Liong tadi.

Dengan gesit Khing-koh mengegos kesamping, berbareng ia terus melolos goloknya, edngan jurus “Liong-hui-hong-bu” (naga terbang burung ho menari), konta ia mambacok lawannya. Sebelah tangannya mestinya mencengkeram kencang urat nadi tangan To Liong, tapi kini ia harus menghadapi busu Mongol itu, terpaksa ia lepaskan To Liong.

Penjaga itu adalah busu bawahan Dulai yang mahir ilmu gulat ala Mongol, dalam hal pertarungan dari jarak dekat justru adalah kemahirannya. Ketika bacokan golok Khing-koh mengenai tempat kosong, segera busu Mongol itu menubruk maju dengan sebelah tangan ia tahan lengan sinona yang bersenjata itu, sedang sebelah kaki lantas menjegal, maksudnya hendak merobohkan Khing-koh.

Tapi ilmu golok Khing-koh juga sangat ganas, cepat ia berputar, goloknya ikut menyamber keatas da nkebawah, kekanan dan kekiri, dengan demikian, biarpun lawan menyerang dari arah manapun pasti akan terkena goloknya.

Cara bergulat orang Mongol meski berbeda dari pada “Kim-na-jiu-hoat”, tapi dasarnya sama, maka dalam hati Khing-koh merasa senang karena pihak lawan yang menyodorkan kaki dan tangannya untuk ditabas. Tak terduga baru saja goloknya bekerja, tiba2 dari belakang angin keras menyamber kepalanya, kiranya To Liong telah menghantamnya dari belakang. Ketika Khing-koh sedikit menunduk kedepan, punggungnya yang kesakitan kena pukulan, hanya saja tidak terluka. Rupanya saat itu baru saja To Liong dapat melancarkan hiat-to yang tertotok, tenaganya baru pulih satu-dua bagian saja.

Dengan gemas Khing-koh terus menghantam kebelakang hingga To Liong kontan terjungkal, sedangkan golok ditangan kanan masih terus bekerja seperti tadi. Tapi lantaran perhatiannya terpencar, dengan sendirinya putaran goloknya menjadi kurang sempurna.

Kemahiran jago gulat adalah pandai melihat titik kelemahan musuh, begitu melihat kesempatan baik segera diterjangnya. Ketika golok Khing-koh menyamber lewat samping kepala busu Mongol itu dan tidak mengenai sasaran, seketika busu itu maju, sekali pegang dan sekali putar ,kontan Khing-koh dibanting kebalik pundaknya.

“Haha, nona cilik, aku menjadi tidak tega membinasakan kau!” seru busu itu dengan bergelak tertawa. Dan baru saja ia hedak menubruk maju untuk menangkap Khing-koh, se-konyong2 sepotong batu kecil menyamber tiba dan tepat mengenai hiat-to dibagian dengkulnya, seketika busu itu roboh terguling.

Dengan gerakan “Li-hi-tah-ting” (ikan lele melejit), cepat Khing-koh melompat bangun, ketika dilihatnya busu Mongol itu sudah menggeletak, maka tahulah dia ada orang telah membantunya secara diam2. Tanpa pikir lagi goloknya lantas menabas untuk habiskan nyawa busu Mongol itu. “Lekas lari, Khing-koh!” segera To Liong berseru. “Demi kebaikanmu makanya tadi aku mencegah kau membunuh busu itu. Sekarang sudah kau lakukan, bila tidak lekas lari tentu kau sendiri akan celaka. Disekitar sini masih banyak musuh, bila diketahui tentu sukar bagimu untuk lolos. Tentang menolong Li Su-lam boleh serahkanp padaku saja, kau sendiri lekas lari!”

“Jangan percaya ocehannya, dia menipu kau!” demikian Li SU-lam juga berseru.

“Jangan percaya kata 2berbisa orang lain, Khing-koh!” kata To Liong dengan suara rada gemetar. “Betapapun kita sudah pernah sumpah setia.”

Mendengar itu, Su-lam menjadi bingung. Ia heran ada hubungan apakah antara wanita ini dengan To Liong ? Jangan2 seperti halnya Nyo Wan juga terpikat oleh kata2 manisnya?

Dalam pada itu pikirannya Khing-koh menjadi kacau, bentaknya: “Tutup mulutmu! Saat ini aku belum ada tempo untuk membunuh kau!”

Seorang gadis betapapun tetap sukar melupakan kekasihnya yang pertama, sebab itulah biarpun dia amat benci kepada To Liong, namun tidak tega membunuhnya. Dalam keadaan pikiran kacau tak teringat olehnya To Liong dapat bergerak bebas lagi, padahal hiat-to telah ditotoknya.

Khing-koh berhasil menemukan kunci dalam baju busu penjaga tadi, segera ia hendak membuka pintu kamar tahanan. Tetapi mendadak angin berkesiur dari belakang, seorang telah menubruknya dan kukunya yang tajam telah membikin lecet pundaknya.

Keruan Khing-koh terkejut, cepat ia mengegos untuk menghindarkan cengkeraman musuh. Waktu ia menoleh, dilihatnya penyerangnya ternyata bukan To Liong, tapi seorang wanita berambut terurai.

Kiranya wanita itu adalah istri penjaga tadi yang bertugas menjaga penjara wanita. Nyo Wan dan Han Pwe-eng dikurung dikamar tahanan sebelah menyebelah dengan Li Su-lam.

Sambil menghadapi wanita itu, sedapat mungkin Khing-koh menggunakan sebelah tanganya untuk membukagembok kamar tahanan. Syukurlah gembok itulantas terbuka dan jatuh kelantai dimana pintu kamar tahanan terpentang tertampaklah Li Su-lam melangkah keluar.

Meski dalam keadaan kalap, wanita itu pun tahu akibatnya kalau tahanan penting itu sampai lolos. Maka cepat ia ber-teriak2 minta tolong begundalnya. Menyusul ia lantas meninggalkan Khing-koh terus menerjang Li Su-lam.

Langkah Su-lam tampak sempoyongan, ia melangkah kesamping hingga mengelakkan terjangan lawan itu. Ketika wanita itu akan menubruk maju lagi, tiba2 sepotong batu kecil menyamber tiba dan tepat mengenai hiat-to dibagian punggungnya, kontan wanita kalap itupun roboh terguling senasib dengan sang suami.

Melihat itu To Liong menjadi girang, diam2 ia menduga Li Su-lam pasti dikerjai sesuatu oleh Liong-siang Hoat-ong, kalau tidak, dengan kepandaian Li Su-lam mustahil jeri terhadap seorang wanita tak terkenal itu. Dalam pada itu Li SU-lam lantas berseru kepada Khing-koh: “Banyak terima kasih nona, orang ini adalah ….. “

“Ya, baru sekarang aku mengetahui dia adalah pengkhianat bangsa,” sela Khing-koh. “Li-bengcu, cara bagaimana engkau hendak selesaikan dia boleh terserah padamu.”

Su-lam tahu nona ini tidak tega membunuh To Liong, maka iapun berkata: “Orang berdosa pasti akan menerima ganjarannya! Hari ini nona ini mengampuni jiwamu, hendaklah kau dapat sadar dan kembali kejalan yang baik, kalau tidk kalimat2 tadi pasti akan terbukti atas dirimu!” ~ Sambil berkata, dengan sikap dingin ia melangkah lewat disamping To Liong, lalu berseru: “Adik Wan !

Adik Han !”

“Engkoh Lam, baik2kah kau?” terdengar Nyo Wan menjawab. “Aku dan enci Eng ”

“Ya, aku tahu, aku sudah bebas sekarang ditolong oleh seorang ksatria wanita ” Sampai disini

ia melirik kearah Lau Khing-koh, cepat nona itu memberitahukan namanya dengan suara perlahan dan katakan pula nama kakaknya serta kedudukannya didalam pasukan pergerakan, iapun memberitahu bahwa Ci In-hong juga sudah datang buat menolongnya, maka Li Su-lam lantas melanjutkan: “Ksatria wanita, nona Lau yang telah menyelamatkan diriku. Ci In-hong katanya juga sudah berada di Taytoh sini. Hendaklah kalian tunggu sebentar lagi,setelah aku menemukan kuncinya segera kubebaskan kalian.”

Disebelah sana, Han Ciau yang masih sembunyi disekitar situ menjadi melengak juga dan timbul rasa sangsinya demi mendengar percakapan Su-lam dan Nyo Wan itu. Han Ciau adalah orang cerdik dan cermat, timbul rasa sangsinya mengapa Nyo Wan per-tama2 menanyakan keadaan Li Su-lam baik2 tidak, padahal kedua suami istri penjaga itu sudah dirobohkan semua, masakah Nyo Wan tidak mengetahui kalau Li Su-lam berada dalam keadaan sehat? Sebaliknya Li Su-lam mengapa menjawab “Ya, aku tahu”. Tahu apa yang dimaksudkannya? Jangan2 ada sesuatu dibalik ucapan2 itu? Wah, celaka, jangan2 demikian kesangsian pikiran Han Ciau.

Han Ciau merasa ada sesuatu yang tidak beres, tidak sempat lagi baginya untuk berpikir lebih banyak, segera iapun keluar dari tempat sembunyinya dan memburu kesana.

Waktu itu Li Su-lam baru lewat disamping To Liong untuk mendekati sipenjaga wanita tadi, ia sedang berjongkok mencari kunci dibajunya, pada saat itulah mendadak To Liong melompat bangun sambil menjengek: “Hm, impian muluk kalian masakah gampang terlaksana?” ~ Berbereng itu sebuah Tok-liong-piau lantas ia sambitkan kearah Li Su-lam.

“Bangsat. Berani kau berbuat keji!” bentak Han Ciau, sekaligus ia menyambitkan tiga potong batu kecil, sepotong menghantam Tok-liong-paiu, batu yang lain mengarah hiat-to ditubuh To Liong. “Trang”, Tok-liong-piau terbentur tepat oleh batu itu, tapi Tok-liong-piau Cuma terbentur menceng sedikit dan masih terus menyamber kearah Li Su-lam, sebaliknya batu terpental balik malah oleh benturan itu. Menyusul terdengar pula suara “tring-tring” dua kali, kedua batu yang mengarah To Liong telah diselentik jatuh semua dengan tenaga jari yang kuat. Kiranya pada saat yang tepat itu tenaga To Liong juga telah pulih, Hiat-to yang tertotok tadi telah pula punah seluruhnya.

Untung Tok-liong-piau yang agak menceng itu hanya menyamber lewat atas kening Li Su-lam, akan tetapi dengan sendirinya ia berusaha menghindar ketika serangan itu tiba, ia melompat kesamping, tapi terlalu keras menggunakan tenaga hingga ia sendiri jatuh terguling.

Nyata, diluar tahu Li Su-lam, secara diam2 Dulai telah memerintahkan penjaga2 disitu untuk menaruh racun “Soh-kut-san” (bubuk pelemas tulang) sehingga Su-lam, Nyo Wan dan Han Pwe- eng mati kutu, betapapun tinggi ilmu silat mereka sukar lagi digunakan.

Dengan jatuhnya Li Su-lam itu, hal ini membuktikan tenaga dalam Li Su-lam takdapat digunakan lagi, To Liong bergelak tertawa senang karena apa yang diduganya ternyata benar. Segera ia berteriak: “Li Su-lam, hari ini sudah tiba ajalmu!” ~ Menyusul dua buah Tok-liong-piau segera disambitkan pula, yang satu menimpuk Han Ciau, yang lain mengincar Li Su-lam.

Hebatnya kedua Tok-liong-piau itu menyamber kearah yang berlawanan karena tempat Han Ciau berdiri jauh disebelah sana. Tapi kepandaian menggunakan senjata rahasia To Liong itu sungguh lihai, baik sambitan membalik maupun kedepan, semuanya menyamber dengan keras dan tepat. Namun kepandaian Han Ciau terhitung kelas satu dikalangan jagoan Pengawal bangsa Han, dengan goloknya yang tebal ia menyampuk, “trang”, Tok-liong-piau itu disampuk jatuh. Segera hidungnya mengendus bau amis yang memuakkan, kepalanya menjadi pusing, diam2 ia mengakui kelihaian Tok-liong-piau itu, cepat ia tenangkan diri dan menghirup napas segar, lalu menerjang maju lagi. Kalau Han Ciau dapat menahan piau berbisa itu, Li Su-lam yang tak bertenaga itu menjadi mati kutu, saat itu dia belum lagi merangkak bangun dari jatuhnya tadi dan tahu2 Tok-liong-paiu sudah menyamber tiba. Terkesiap juga hati Li Su-lam, pikirnya: “Sungguh tidak terduga jiwaku harus melayang ditangan bangsat ini!”

Pada saat itu Han Ciau sedang memburu tiba, tapi jaraknya masih belasan meter jauhnya dari tempat Li Su-lam untuk menyelamatkan jiwa Li Su-lam jelas tidak dapat. Diluar dugaan, pada saat yang gawat itu, tiba2 seorang menubruk keatas tubuh Li Su-lam, orang ini bukan lain daripada Lau Khing-koh.

Dengan mati2an Lau Khing-koh bermaksud menyelamatkan Li Su-lam, dengan sendirinya iapun berusaha agar Tok-liong-piau tidak sampai mengenai dia, maka ketika menubruk diatas tubuh Li Su-lam, berbareng goloknya juga disambitkan kesana hingga dapat membentur Tok-liong-piau, Cuma sayang tenaganya selisih jauh dengan tenaga dalam To Liong, meskipun saling bentur, tapi goloknya kalah kuat dan jatuh kesamping, sedangkan Tok-liong-paiu masih terus meluncur kedepan.

Li Su-lam mengerahkan segenap tenaganya yang ada dengan maksud membalik keatas untuk menahan Tok-liong-paiu. Akan tetapi sudah terlambat, Tok-liong-piau menyerempet lewat diatas pundak Lau Khing-koh dan membuat kulit lecet. Untung terjadi gerakan meronta Li Su-lam itu kalau tidak Tok-liong-paiu itu tentu sudah menacap di tenggorokan Lau Khing-koh.

Keganasan Tok-liong-paiu itu laur biasa, asal kena darah seketika korbannya takdapat bernapas lagi dan binasa. Dengan suara serak Lau Khing-koh berteriak: “ To Liong, keji amat kau!” ~ Menyusul iapun menjatuhkan diri dan menggelinding kepinggir . Li Su-lam melengak juga setelah berdiri kembali.

“Khing-koh, kau tak dapat menyalahkan aku,” jengek To Liong. “kau sendiri yang rela mengorbankan jiwa sendiri untuk membela bocah itu. Mangkatlah kau dengan baik2, biar kubunuh pula bocah ini agar dapat menjadi kawan seperjalananmu menuju akhirat.”

Li Su-lam masih berdiri tertegun, ia baru sadar ketika To Liong menubruk kearahnya. Dengan gusar ia lantas mendamprat: “To Liong, gagah benar kau ! Sungguh hebat! Saat ini aku bukan tandinganmu, boleh kau bunuh saja diriku!”

“apa susahnya jiwa kau ingin mampus?” jengek To Liong. “Tapi saat ini aku belum mau membunuh kau!”

Maklum Li Su-lam adalah orang penting yang hendk ditawan Dulai, sudah tentu To Liong tidak berani membunuhnya sungguh2. Justru lantaran iniah, sedikit ragu2 saja sudah memberi kesempatan kepada Han Ciau untuk menyusul tiba.

Kuatir kalau Li Su-lam dicelakai To Liong, dari jauh Han Ciau menyambitkan lebih dulu sebutir batu. Akan tetapi sekali sampuk dengan pedang yang telah dilolosnya, To Liong bikin batu itu mencelat balik ke arah Han Ciau. Habis itu To Liong lantas ber-teriak2 minta bantuan.

Batu yang disampuk mencelat kembali itu ternyata menyamber dengan kencang ke arah Han Ciau sendiri, cepat ia menunduk tidak urung kopiah busu yang dipakainya tersamber jatuh.

“Sekarang baru kau kenal kelihaianku!” kata To Liong dengan tertawa. “Nah, kalau ingin mampus, biarlah aku bereskan kau sekalian!”

Dengan kalap Han Ciau balas membentak: “Tidak perlu banyak bacot, bangsat! Hari ini kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang mati!” ~ “Sret”, kontan goloknya membacok ke arah To Liong, meski menyadari bukan tandingan To Liong, tapi Han Ciau sudah nekat, kalau bisa ia siap untuk gugur bersama musuh.

Cepat To Liong putar pedangnya dan dengan mudah saja ia patahkan serangan Han Ciau itu. Namun dengan mati2an Han Ciau menyerang pula kedua dan ketiga kalinya tanpa kenal takut. Karena caranya yang nekat itu, To Liong menjadi rada kelabakan.

“Hayo kawan2, tangkap mata2, lekas keluar!” teriak To Liong ber-ulang2 memanggil bala bantuan. Diam2 ia bersyukur sudah kehilangan tenaganya, untuk lari terang tidak mampu lagi.

Tempat tahanan Li SU-lam itu sangat dirahasiakan dan merupakan tempat terlarang bagi prang yang tak berkepentingan, maka mseti mereka sudah bertempur sekian lamanya dan To Liong juga berteriak2, namun tetap tiada nampak munculnya orang lain. Cuma Han Ciau juga menyadari bila para busu Mongol mendengar suara teriakan To Liong itu nanti tentu ada yang memburu kemari. Maka dengan mati2an Han Ciau melancarkan serangan lebih gencar sambil berkata dengan suara berat: “Li-bengcu, harap kau cari tempat sembunyi dulu!”

Li Su-lam menyesal dirinya, tak dapat emmbantu Han Ciau, kini disuruh sembunyi, tentu saja ia tidak mau.Segera ia mendekati Khing-koh dan bertanya: “Nona Lau, apakah kau membawa obat luka?”

Wajah Khing-koh tampak pucat, dengan suara parau ia menjawab: “Jangan pikirkan diriku, lekas buka pintu tahanan sana, lepaskan dulu kawan2mu itu! Anak perempuan tukang kebon disini bernama si Kemala adalah orang kita.” ~ maksud Khing-koh agar Li Su-lam mengajak Nyo Wan dan Pwe-eng melarikan diri dan mencari tempat sembunyi yang baik, kalau perlu cari si Kemala. Ia tidak tahu waktu itu si Kemala sudah lari dari situ bersama ayahnya.

Melihat keadaan Khing-koh yang payah itu, Su-lam tahu nona itu sukar diselamatkan lagi, dengan rasa pedih ia bertanya: “Nona Lau, adalah sesuatu pesanmu yang perlu kulaksanakan?” ~ Maksudnya minta Khing-koh memberi pesan terakhir.

“Harap kau sampaikan kepada Ci In-hong akan kematianku, tentu dia dapat mengurus diriku. Aku bersalah padanya, tapi aku sudah berusaha baginya sekuat tenagaku,” kata Khing-koh.

Sudah tentu Li Su-lam tidak tahu seluk beluk hubungan Khing-koh dengan Ci In-hong, ia hanya mengangguk menyanggupi pesan itu, lalu berpaling dan mencari kunci pada tubuh penjaga wanita tadi, kemudian ia berlari kesebelah sana untuk membuka pintu penjara.

Melihat itu, cepat To Liong mendesak mundur Han Ciau, lalu memburu kearah Li Su-lam sambil mencengkeram dari belakang sembari membentak: “Matilah kau, Li Su-lam!”

Tapi mendadak terasa angin keras menyamber dari belakang, dengan mati2an Han Ciau telah menerjangnya pula.

“Bedebah! Apa kau sudah bosan hidup?” jengek To Long dengan gemas. Sedikit mengegos, berbareng pedangnya lantas menusuk. Gerakan ini tepat pada waktunya, maka terdengarlah suara benturan pedang dengan golok, tangan Han Ciau kesemutan, goloknya terlepas dari cekalan. Tanpa pikir lagi To Liong lantas mendepak sehingga Han Ciau terguling.

Pada saat itulah terdengar suara tindakan orang yang riuh, ada beberapa orang busu Mongol telah memburu tiba. To Liong kenal dua diantaranya adalah Abul dan Hulita, kedua murid Liong-siang Hoat-ong yang tangguh itu, ia menjadi girang, ia pikir dengan datangnya kedua orang itu biarpun Nyo Wan masih lihai seperti dulu juga tak dapat lolos lagi.

Dapatkah Li Su-lam meloloskan diri bersama Nyo Wan dan Han Pwe-eng?

Cara bagaimana Li Su-lam, Beng Siau-kang dan kawan2nya mengobrak abrik sarang Yang Thian- lui secara besar2an?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar