Pahlawan Gurun Jilid 11

 
Jilid 11 

Kheng Thian-hong menutur pula: “Isi suratnya cukup ramah tamah dan bicara tentang persaudaraan segala, katanya ibuku sama dengan ibunya,istriku juga iparnya, maka dia sengaja memindahkan ibu dan istriku ke Taytoh untuk dirawat. Dalam suratnya samar2 ia mengancam dan hendak menjadikan ibu dan istriku sebagai sandera.

“Aku menjadi serba salah, akhirnya aku mengambil keputusan, betapapun aku harus bertemu dulu dengan ibu dan istri. Maka berangkatlah aku ke Taytoh. Dengan segala jalan Yang Thian-lui coba merangkul diriku, dia sambut kedatanganku dengan mesra, mengadakan perjamuan bagiku, tapi tidak mempertemukan diriku dengan ibu dan istriku. Aku tidak sudi makan daharan yang dia sediakan dan buka kartu. Dia membujuk aku dengan macam2 perkataan yang enak didengar, tapi aku tidak tergoyah sedikitpun. Akhirnya dia mengemukakan dua syarat, pertama aku harus tinggal disana dan menjadi begundalnya, kedua, aku harus membeberkan segala rahasia pasukan pergerakan yang kuketahui. Dua urusan satu tujuan, yang jelas aku diharuskan berkhianat dan membantu dia untuk naik pangkat dan hidup lebih saja.

“Sungguh aku tidak tahan lagi. Tapi apa daya, aku harus memikirkan keselamatan ibu dan istri, untuk sementara terpaksa aku harus bersabar. Aku tidak menyatakan setuju atau menolak bujukannya, aku hanya minta diberi kesempatan bertemu dengan ibu dan istri. Ia mengira bujukannya akan berhasil, maka dia lantas memenuhi permintaanku. Terus terang, waktu itu aku sendiripun bingung, ibu dan istriku tidak paham ilmu silat, setelah bertemu dengan mereka, lalu apa yang dapat kuperbuat? Sungguh tidak nyana, setelah bertemu mereka, justru kesulitanku ini telah dibereskan oleh mereka secara mudah.”

Sampai disini, Kok Ham-hi merasa heran sekali. Bahwasanya ibu dan bakal istri sang guru tak paham ilmu silat, lalu dengan cara bagaimana mereka dapat menyelamatkan diri?

Mendadak ia terperanjat ketika melihat air mata sang guru ber-linang2, maka tahulah bahwa dugaannya justru keliru sama sekali. Kesulitan sang guru dapat dibereskan oleh ibu dan bakal istrinya itu tidak berarti mereka dapat lolos dari bahaya.

“Engkau kenapa suhu?” tanya Kok Ham-hi kemudian.

Kheng Thian-hong seperti tersadar dari impian buruk, jawabnya kemudian: “Ya, aku ingat dahulu akupun pernah tanya seperti ini kepada ibu, sebab waktu beliau bertemu dengan aku, tertampak air muka ibu lain daripada biasanya. Kata ibu: “Aku tidak apa2, yang kunantikan adalah pertemuan kita sekali ini. Cuma,seharusnya kau jangan datang kemari. ~ Aku menjawab: “ Tapi ibu dan piaumoay berada disini semua, mana boleh aku tidak datang kesini?” ~ Ibu berkata pula: “Aku tahu akan kebaktianmu kepadaku, tapi apakah kau tidak tahu tugas seorang laki2 adalah kepentingan negara diatas kepentingan pribadi?” ~ Aku menjawab: “Ya, anak tidak pernah melupakan ajaran ibu.” “Mendadak ibu menatap diriku dengan tajam katanya: ‘Katakan terus terang padaku, apakah kau telah berjanji kepada Yang Thian-lui untuk berbuat sesuatu?” ~ Aku menjawab: ‘tidak, anak belum sampai terjebak olehnya.” ~ Ibu tampaknya rada lega, katanya pula: ‘bagus sekali jika kau tidak tertipu olehnya. Tapi keadaanmu sekarang tentu serba sulit, Yang Thian-lui telah mengancam kau denganibu dan istrimu sebagai sandera, rupanya kau tidak mau menyerah, tapi juga bingung cara bagaimana kau harus bertindak, begitu bukan?” ~ Karena isi hatiku tepat dibongkar oleh ibu, terpaksa aku terdiam.

“Ibu menghela napas, lalu berkata pula: “Aku justru kuatir imanmu kurang teguh dan mencemarkan nama baikmu. Sebab itulah aku telah tertekad akan menyelesaikan kesulitanmu ini asalkan kau jangan lupa kepada apa2 yang barusan kukatakan padamu.” ~ Berkata sampai disini, tiba2 air muka bersemu hitam, suaranya juga serak. Aku terkejut, aku merangkul ibu dengan kencang dan kembali bertanya: “Engkau kenapa ibu?” ~ Ibu tampak tersenyum, katanya: “Waktu kau datang tadi, dalam mulutku sudah kukumur sebutir obat. Aku merasa tidak mampu membantu kesulitanmu, tapi juga tak boleh menjadi rintangan bagimu. Maka dari itu aku hendak mangkat lebih dulu menyusul ayahmu. Sekarang kau lekas menerjang keluar, seumpama tidak berhasil, biarpun mati juga kau adalah putraku yang sejati, putraku yang gagah perkasa. Tapi sekali2 kau jangan mencari jalan pendek dengan membunuh diri.” ~ Suara ibu makin lama makin lemah, tapi setiap katanya laksana bunyi guntur yang menggoncangkan hatiku. Aku baru mengetahui bahwa ibu telah minum racun demi diriku. Aku bermaksud menolong ibu, namun sudah kasep, obat racun itu sudah masuk perut beliau, dalam sekejap saja beliau sudah tewas keracunan.

“Aku terkesima saking kagetnya sehingga lupa bahwa istriku masih berada disisiku. Tiba2 ia berkata: ‘Apakah kau sudah lupa akan pesan ibu? Untuk apa kau menjublek saja disini?” ~ Aku tersadar seketika dan melonjak bangun, aku bertanya: ‘Dan kau bagaimana?” ~ Piaumoay atau bakal istriku itu menjawab: ‘Ibu adalah seorang ibu teladan, masakah menantunya mesti tamak hidup sendiri?” ~ Habis berkata mendadak ia meloncat kebawah loteng, aku tidak keburu menariknya, maka tubuhnya terbanting diatas batu gunung2an dan mengeluarkan suara jeritan yang mengerikan. Waktu aku menyusul kebawah melompat kebawah, aku masih sempat mendengar ucapannya yang terakhir kepadaku: “Toako, maafkan aku takdapat mendampingi kau lagi, sebab

………. Sebab aku tidak ingin membikin susah padamu.”

“Sebenarnya aku pulang kerumah dengan tujuan hendak menikah, tak terduga hanya dalam waktu singkat itu ibu meninggal, bakal istri juga mati. Tapi ucapan piaumoay memang tidak salah, kematian mereka tidaklah sia2. aku tidak perlu berduka bagi mereka, aku harus menuntut balas bagi mereka.”

Kok Ham-hi ikut tegang mendengarkan cerita itu, pikirnya: “kuanggap nasibku malang, siapa tahu nasib suhu jauh lebih malang lagi. Keadaan yang dia hadapi waktu itu mungkin jauh lebih berbahaya daripada pengalamanku pada malam itu.”

Maka Kheng Thian-hong menyambung pula ceritanya: ‘Keadaan waktu itu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk berduka, begundal Yang Thian-lui siap mengawasi diriku dibawah loteng, begitu aku meloncat turun segera mereka merubung maju. Entah darimana datangnya kekuatanku pada waktu itu, dalam pertarungan sengit itu sekaligus aku telah membinasakan tujuh tokoh pilihan musuh, bahkan Yang Thian-lui sendiri juga kutandangi mati2an hingga berakhir dengan kedua pihak sama2 terluka parah. Padahal kepandaianku sebenarnya tidak dapat menandingi Yang Thian-lui, ber-turut2 tiga kali aku menyambut pukulannya yang dahsyat, aku sudah terluka dalam dengan parah sekali, tapi dibawah gempuran balasanku, dia juga terkena dua kali pedangku. Sebab itulah dia tidak berani mengejar lagi. Aku menyembunyikan diri dipegunungan sunyi untuk menyembuhkan diriku, untuk itu badanku baru sehat kembali setahun kemudian. Akan tetapi luka dalam yang kuderita itu sampai saat ini masih belum sembuh seluruhnya.”

“Sudah lewat 20 tahun, sampai sekarang masih belum sembuh?” Ham-hi menegas dengan terkejut. “Jangan kuatir, betapapun luka dalam yang belum sembuh ini tidak banyak mengganggu kesehatanku,” sahut Kheng Thian-hong. “Hanya saja ilmu silat keturunan kakek guru tak dapat kuyakinkan lagi melainkan hanya dapat kuajarkan padamu. Sebab itulah makanya selama aku tinggal didaerah Kanglam tak pernah kuperlihatkan ilmu silatku didepan orang lain. Setelah aku takdapat meyakinkan ilmu yang tinggi, yang lebih menyesalkan adalah situasi diutara tambah buruk, hubunganku dengan pihak pasukan pergerakan menjadi terputus.

“Namaku sudah masuk daftar buronan kerajaan Kim, luka Yang Thian-lui yang lebih ringan itu sudah lama sembuh, dia telah pimpin sendiri anak buahnya mencari jejakku kesegenap pelosok. Tentu saja tiada tempat berpijak lagi bagiku didaerah utara. Apa boleh buat, terpaksa aku kabur kedaerah selatan. Waktu itu usiaku masih muda, meski ilmu silatku terganggu, namun semangatu masih me-nyala2. Kupikir aku masih dapat berjuang dibarisan kaum ksatria pemerintah Song, tapi setiba di Lim-an (kini hangciu, ibukota Song selatan waktu itu) barulah aku mengetahui akan kebobrokan pemerintahan Lim-an, dari rajanya sampai bawahannya rata2 hanya cari selamat sendiri2, ada beberapa orang pemimpin yang berjiwa patriotik, tapi mereka bukannya mendapat pujian, sebaliknya mereka digeser atau difitnah dan akhirnya dibunuh oleh kaum pembersar dorna. Aku menjadi putus asa, terpaksa ganti nama dn tukar she serta berkelana di dunia kangouw. “Akan tetapi aku dibebani tugas menuntut balas dendam negara dan sakit hati keluarga, aku tidak rela diriku akan tenggelam begitu saja. Aku menyadari selama hidupku ini mungkin tak dapat membunuh musuh dengan tanganku sendiri, sebab itulah ke-mana2 aku berusaha mencari murid yang berbakat, dengan harapan melalui muridku itu nanti akan terlaksana cita2ku yang belum terkabul itu. Selama sepuluh tahun aku mencari calon murid, akhirnya aku mendapatkan kau sebagai muridku. Sejak itu aku telah mencurahkan segenap tenaga dan pikiranku atas dirimu.” Kok Ham-hi sangat terharu, katanya: “Sungguh tecu merasa malu, sedikitpun tecu tidak menyadari betapa engkau menaruh harapanmu atas diriku dengan segenap jerih payah suhu selama ini.” “Leluhurmu sebenarnya juga orang utara,” tutur Kheng Thian-hong lebih lanjut, “Kakekmu ikut hijrah keselatan bersama kerajaan Song, akhirnya menetap didaerah dini. Dalam pelarian ayahmu juga sangat menderita, dia harus menjaga kakekmu dan mesti menjaga pula anaknya yang masih kecil, dengan susah payah keluargamu akhirnya mengungsi keselatan dengan selamat, tapi tiada setahun kemudian kakekmu lantas meninggal karena sakit, dua tahun kemudian ayahmu yang juga sakit2an itupun mangkat meninggalkan kau. Sebab itu, bicara tentang asal usul dirimu sesungguhnya kaupun mempunyai permusuhan yang tak terukur dalamnya dengan bangsa Kim,hendaklah kau camkan.”

Dengan air mata berlinang Kok Ham-hi menjawab: “Murid pernah mendengar penuturan Giok- hong Totiang, maka murid tidak berani melupakan sakit hati leluhur dan negara.”

Kiranya setelah Kok Ham-hi menjadi piatu, untung dia diterima mondok disuatu kuil yang berdekatan, ketua kuil itu adalah seorang murid keponakan Giok-hong Tojin, tokoh terkemuka Jing- sia-pay. Beberapa bulan Kok Ham-hi menjadi kacung dikuil itu, ketika Giok-hong Tojin satang, demi nampak bakat sianak ini sangat bagus, pula asal usulnya harus dikasihani, maka Giok-Hong Totiang lantas mengambilnya sebagai murid dan dibawa pulang ke Jing-sia-san. Giok-hong Tojin adalah sahabat baik Kheng Thian-hong, ia tahu kepandaian Thian-hong jauh lebih tinggi daripada dia, diketahui pula Thian-hong sedang mencari murid yang berbakat, maka dengan sekarela Giok- hong lantas menyerahkan muridnya kepada Thian-hong.

Begitulah Kheng Thian-hong merasa puas akan jawaban Ham-hi tadi, katanya: ‘Ehm, bagus sekali jika kau tidak lupa. Diantara tokoh2 kangouw dan dunia persilatan hanya Giok-hong Totiang saja yang kenal asal usulku. Dia yakin kau adalah anak yang berbakat, makanya kau dikirim kepadaku agar aku menerima kau sebagai murid. Hal ini memang baik, kau harus dipupuk menjadi orang yang berguna, selain itu Giok-hong Totiang ingin membantu terkabulnya cita2ku dalam hal mencari murid. Pandangan Giok-hong ternyata tidak salah, kau memang punya bakat bagus untuk belajar silat, bakatmu jauh lebih baik daripada diriku. Sedikit kuberi petunjuk segera dapat kau tangkap dan pahami dengan baik. Bukan aku sengaja memuji kau, dengan kepandaianmu sekarang kau sudah melebihi diriku ketika belum terluka parah dahulu. Akan tetapi meski bakatmu bagus, ternyata telah mengecewakan harapanku. Orang muda gagal dimedan cinta memang sukar terhindar daripada rasa duka, tapi aku tidak menyangka hanya karena seorang perempuan kau jadi patah semangat. Urusan sudah lalu hmpir tiga tahun,kaumasih tetap lesu. Ai, sungguh sangat mengecewakan aku!”

Kok Ham-hi menjadi berkeringat dingin dan menunduk, cepat ia menjawab: “Ya, murid pantas meti karena telah mengecewakan harapan guru atas diriku.”

Thian-hong tersenyum, katanya: ‘Aku hanya ingin kau bangkit kembali, kini kau menyadari akan kesalahanmu, tentu saja belum terlambat, Jiwamu hendaklah kau pertahankan untuk dipertukarkan dengan musuh negara saja.”

“Guru atas perintah apapun murid tidak menolak biarpun mati seribu kali,” sahut Kok Ham-hi. “Baik, kau sekarang sudah pulih kembali, maka besok juga kau boleh berangkat menuju keutara,” kata Thian-hong. “Aku ingin kau mewakilkan aku mengadakan pembersihan perguruan.”

Ham-hi menjadi bersemangat dan merasa kuatir pula, katanya: “Banyak terima kasih atas kepercayaan Suhu terhadap diriku dengan menyerahkan tugas seberat ini kepadaku, biarpun hancur lebur badan murid juga akan kulaksanakan sekuat tenaga. Hanya saja murid kuatir tak sanggup menyelesaikan tugas ini sehingga sia2 saja tugas yang kuterima ini.”

“Ilmu silatmu sudah terhitung paling menonjol diantara angkatan muda umumnya, tapi untuk menghadapi Yang Thian-lui memang kau masih kurang kuat. Tapi kaupun jangan kuatir, sebab dalam perguruan kita masih ada angkatan tua yang lain, urusan pembersihan perguruan yang maha berat ini tentunya takkan dibebankan kepadamu seorang.”

“Apakah suhu maksudkan Samseek Hoa Thian-hong?” Kok Ham-hi menegas.

“Benar, meski dia rada penakut, tapi tergolong kaum ksatria yang berjiwa besar. Dahulu dia jeri terhadap Yang Thian-lui dan entah menyembunyikan diri dimana. Tapi menurut dugaanku Yang Thian-lui pasti takkan tinggal diam, selama 20-an tahun ini Sam-suekmu itu tentu juga banyak emndapat tekanan dari Yang Thian-lui. Aku cukup kenal pribadi Sam-supekmu, kalau menurut perhitungannya sukar mengalahkan Yang Thian-lui, mungkin sekali dia Cuma main kucing2an saja, tapi bila sudah terpaksa dan tidak tahan lagi, psti dia akan berbangkit untuk melawannya.  “Makanya setiba diutara nanti kau harus berusaha mencari tahu dimana beradanya Hoa-supek.

Meski urusan ini rada sukar, tapi bukannya tiada harapan sama sekali, menurut perkiraanku, dalam hal membikin bersih perguruan kita tentu Hoa-supek sama juga seperti ku, senantiasa tak pernah lupa, aku ingin mencari dia untuk tujuanyang sama. Maka setiba diutara, pada saat2 tertentu boleh ku sengaja pamerkan sedikit ilmu silat perguruan kita agar berita tentang dirimu tersiar sampai ditelinganya, andaikan kau tak dapat menemukan dia, tentu dia yang akan mencari padamu.” Habis berkata lalu Kheng Thian-hong menulis sepucuk surat dan diserahkan kepada Kok Ham-hi. Dengan tugas berat dari sang guru itulah kemudian Kok Ham-hi menyeberangi Tiangkang menuju keutara, tanpa terasa setahun sudah lewat. Didalam setahun ini orang dari perguruan sendiri yang pertama diketemukan adalah putranya Yang Thian-lui yaitu Yang Kian-pek. Semula ia tidak tahu asal usul Yang Kian-pek, malahan secara diam2 ia pernah membantunya, tapi kemudian dia mengetahui duduknya perkara dan tahu telah salah bantu, ia menjadi masgul dan kecewa, sampai malam tadi barulah dia merasa terlampiaskan kemasgulannya itu setelah mengalahkan Yang Kian- pek dikuil kono itu.

Yang membuatnya bergirang pula adalah waktu mengalahkan Yang Kian-pek, berbareng itu diperoleh pula berita tentang saudara seperguruan kedua secara tanpa sengaja. Yakni dia telah disangka sebagai Ci In-hong oleh Yang Kian-pek, maka dia yakin Ci in-hong itu pasti orang dari perguran sendiri yang musuhi Yang Kian-pek dan ayahnya.

“Orang she Ci ini pasti murid Hoa-supek, bila bertemu dengan dia tentu dapat pula mengetahui dimana beradanya Hoa-supek, mengapa aku mesti ragu2 lagi?” demikian pikirnya.

Ci In-hong dalam perjalanan bersama Beng Bing-sia, saudara misan Giam Wan, agar tidak menyinggung perasaan yang pernah terluka, makanya ia tidak ingin Giam Wan mengetahui dia masih hidup didunia ini, sebab itulah ia merasa ragu2.

Kini ia menjadi ingat kepada tugas berat yang diserahkan oleh sang guru. Pikirnya: “Suhu telah memperingatkan diriku agar jangan bikin runyam urusan hanya karena persoalan cinta, tapi kini aku demi menghindari Giam Wan dan tidak mau mencari Ci In-hong, bukanlah ini berarti membikin urusan penting ikut terbengkalai?”

Berpikir demikian, segera ia mengambil keputusan tegas, ia percepat langkahnya menuju kejurusan Hui-liong-san untuk menyusul Ci In-hong.

Sementara itu hujan salju sudah mereda, ditengah malam buta suasana pegunungan sunyi senyap, berjalan diatas tanah bersalju perasaan Kok Ham-hi yang masgul tadi kini telah lenyap seluruhnya, pikirannya terasa segar.

Tiba2 terdengar suara “sret-sret” yang sangat pelahan, suara sayup2 itusukar terdengar kalau tidak dalam suasana sunyi senyap di tengah malam.

Sebagai seorang ahli silat segera Kok Ham-hi tahu apa artinya itu, ia terkejut, pikirnya: “Kedua ya- heng-jin (orang berjalan malam) ini sungguh hebat ginkangnya.”

Saat itu ia berada disuatu tempat ter-aling2 oleh semak2 pohon dan diapit oleh dua potong batu cadas yang menegak tinggi, ditengah sela2 batu itu kebetulan dapat dipakai menyembunyikan diri, terutama sebelum mengetahui siapakah gerangan kedua orang pendatang itu.

Baru saja Kok Ham-hi bersembunyi, tertampaklah dua sosok bayangan orang muncul didepannya, orang yang berada dibelakang berkata: “Loh-heng, kepandaianmu “menginjak salju tanpa bekas” ini sungguh tidak bernama kosong, aku benar2 kagum padamu dan menyerah, kita tidak perlu berlomba lagi. Marilah kita mengaso dulu!” Orang yang berada didepan menjawab dengan tertawa: ‘Ciu-heng, kau punyalwekang akupun sangat kagum. Bicara ginkang mungkin aku lebih unggul sedikit darimu, tapi soal kekuatan lwekang sungguh aku harus mengaku kalah. Bila kita berlari lebih dari 50 li, betapapun aku pasti sukar mengikuti langkahmu. Hanya saja aku tidak sengaja hendak berlomba dengan kau, soalnya kita harus berjalan cepat, kita harus mencapai Hui-liong-san dalam batas waktu yang telah ditetapkan.”

“Dengan cara berjalan kita, besok lusa pasti dapat mencapai Hui-liong-san,” kata orang she Ciu, “Maka kukira takkan terlambat datang kesana. Soalnya cara kita berjalan cepat ini sungguh aku rada2 kewalahan.”

“Baiklah, jika begitu kita boleh mengaso dan tidur sepuasnya disini, biarlah kita berjaga secara bergiliran,” ujar seorang she Loh.

“kau sudah biasa hidup ditanah bersalju, aku sendiri tidak sanggup meniru kau untuk tidur pulas diatas tanah salju,” kata orang she Ciu dengan tertawa. “Maka tak perlu kau menguji lagi padaku, biarlah kita mengobrol saja. Tentang urusan kita ini sungguh rada2 diluar dugaanku, aku tidak nyana bahwa Toh-cecu dari Hui-liong-san adalah kawan kita sendiri.”

“Lahirnya Toh An-peng itu tampak kasar, tapi sebenarnya seorang yang licin dan dapat berpikir panjang,” kata orang she Loh. “Jangan kau mengira dia suka bergaul dengan orang2 yang mengaku dari kaum pendekar dan anggap Loh An-peng adalah golongan mereka. Dia berbuat begitu sebenarnya bekerja secara diam2 bagi koksu kita.”

Kok Ham-hi terkejut, pikirnya: “Kiranya kedua orang ini adalah anak buah Yang Thian-lui. Entah apa maksud tujuan mereka pergi ke Hui-liong-san. Baiklah biar aku mendengarkan apa yang akan mereka bicarakan.”

Maka terdengar orang she Loh lagi berkata: “urusan sering2 terjadi diluar dugaan. Seperti sekali ini kita tak dapat menemukan Yang-kongcu, bukankah hal yang aneh?”

“Iya,” sehut orang she Ciu, “kan sudah berjanji akan bertemu dirumah Ho Kiu-kong, tapi Ho Kiu- kong sendiri juga menghilang, dia sudah pindah rumah sehari sebelum kita tiba, entah apa yang telah terjadi?”

“Eh, Loh-toako, ginkangmu dikalangan kita terhitung nomor terkemuka, entah bagaimana kalau dibandingkan Yang-kongcu?” tiba2 orang she Ciu bertanya.

“Bukan maksudku mengumpak Yang –kongcu, tapi aku sendiri merasa bukan tandingannya,” sahut orang she Loh. “Aku berjuluk “menginjak salju tanpa bekas” padahal masih jauh untuk bisa menerima gelar kehormatan ini. Pernah satu kali aku dan Yang-kongcu pergi berburu di Swat-san (pegunungan saju), kulihat caranya Yang-kongcu memburu ayam salju, kepandaian ginkangnya itulah baru sesuai disebut sebagai menginjak salju tanpa meninggalkan bekas. Dan Ciu-toako punya lwekang entah bagaimana kalau dibandingkan Yang-kongcu?”

“Sama juga, masih jauh kalau dibandingkan beliau,” sahut orang she Ciu. “Suatu hari aku dan beliau coba2 menguji pukulan masing2, dengan tenaga sakti Thian-lui-kang sekali pukul beliau telah menghancurkan tumpukan 12 potong ubin hijau yang amat keras, aku sendiri cuma sanggup menghancurkan enam buah ubin saja.”

“koksu kita bergelar jago nomor satu dinegeri Kim memang tidak bernama kosong.” Ujar orang she Loh dengan gegetun, “Kepandaian kita sudah lumayan dikalangan kangouw, tapi dibandingkan puteranya saja masih selisih jauh.

“Maka dari itu aku bilang kita tak perlu kuatir, seumpama terjadi apa2, masakah Yang-kongcu yang begitu tangguh sampai mengalami sesuatu?” kata orang she Ciu.

“Aku tidak menguatirkan terjadi apa2 atas diri Yang-kongcu, aku Cuma kuatir urusan Hui-liong-san bisa menjadi runyam,” ujar orang she Loh.

“O ya, aku ingin tanya kau,” kata orang she Ciu. “Koksu suruh kita menggabungkan diri dengan yang-kongcu dan pergi ke Hui-liong-san, sebenarnya untuk urusan apa?”

“Pernahkah kau mendengar nama Li Su-lam?” tanya orang she Loh.

“Li Su-lam? Seperti sudah kukenal nama ini. Ah, tidak salah lagi, beberapa hari yang lalu pernah kudengar cerita dari kawan kalangan Hek-to bahwa Bengcu baru kalangan Lok-lim yang baru dipilih itu kalau tidak salah bernama Li Su-lam sebagaimana kau sebut ini.” “Benar, justru Koksu menyuruh kita pergi ke Hui-liong-san untuk membantu Toh-cecu menhadapi bocah she Li itu.”

“Ada permusuhan apa antara bocah she Li itu dengan Koksu kita?”

“Tidak ada, sejak dulu maupun sekarang Koksu kita tiada permusuhan apa2 dengan dia.” “Lalu mengapa beliau berdaya upaya hendak melenyapkan bocah itu?”

“Ini menyangkut suatu urusan yang maha rahasia. Tak menjadi soal bila kuceritakan padamu, tapi jangan se-kali2 kau ceritakan pula kepada orang lain!”

“Ai, Loh-toako ini kenapa sih? Kita sudah bekerja sama selama sekian tahun, masakah kau masih tidak mempercayai aku? Engkau adalah orang kepercayaan Koksu, tapi akupun sudah cukup lama mengabdi kepada Koksu.”

“Justru Koksu mengetahui kesetiaanmu, makanya beliau suruh kau bersama aku menyelesaikan tugas ini. Sebenarnya Koksu kita tiada permusuhan apa2 dengan Li Su-lam, tapi bocah she Li itu adalah buronan Khan Agung Mongol sekarang, yaitu Ogotai. Sekarang kau paham tidak persoalnya?”

“O, kiranya begitu. Sungguh kita harus kagum terhadap siasat yang diatur Koksu serta perhitungannya yang jauh.”

“memangnya kau baru tahu, disatu pihak beliau adalah Koksu negeri Kim, dilain pihak dia bersekongkol lagi dengan Khan Mongol. Dikemudian hari tak perduli pihak mana yang menang, yang pasti kedudukan beliau takkan goyah sama sekali.”

“Hahahaha, makanya aku bilang langkah yang diambil Koksu kita ini sungguh tepat,” ujar orang she Loh dengan bergelak tawa.

“Jika begitu, jadi Li Su-lam adalah ikan besar yang hendak dikail Koksu kita,” ujar orang she Ciu. “Tapi ada sesuatu hal yang kurang jelas bagiku, sebagai Lok-lim Bengcu yang baru, seharusnya Li Su-lam tidaklah bodaoh, mengapa dia sampai kena dikail?”

“Ikan besar ini terkail secara tidak sengaja,” tutur orang she Loh. “Orang yang hendak dikail oelh Toh-cecu dari Hui-liong-san semula adalah To Hong, putri kesayangan mendiang To Pek-seng.

Kebetulan Li Su-lam itu baru menjabat Lok-lim bengcu, mungkin dia bermaksud menarik Toh An- peng kepihaknya, makanya dia mewakilkan To Hong datang ke Hui-liong-san. Biarpun dia bukan orang bodoh, tapi darimana dia mengetahui bahwa Toh An-peng sudah mengekor kepada Koksu kita?”

“Kabarnya To Hong terkenal karena kecantikannya, jangan2 Toh An-peng penujui dia, makanya mengatr prangkap hendak menawannya. Tapi kini yang masuk jaring adalah Li Su-lam, bukankah hal ini akan mengecewakan Toh An-peng?”

“Ai, dasar Ciu-heng ini orang yang mata keranjang, pantas kau berpikir kearah sana. Cara berpikirmu inilah terlalu menyimpang.”

“O, apa barangkali masih ada persoalan lain?” orang she Ciu menegas.

“Apakah kau tidak tahu bahwa sepak terjang To Hong sama sekali berbeda dengan kakaknya yang bernama To Liong? Meski To Liong sakit hati kepada Koksu kita karena membunuh ayahnya, tapi jalan yang mereka tempuh adalah satu arah, To Liong itu juga sudah lama kena dikail pihak Mongol. Lain halnya dengan To Hong, bukan saja dia bertekad akan membalas sakit hati kematian ayahnya, bahkan dia adalah pemimpin pasukan pergerakan. Bila Toh An-peng dapat menangkap To Hong, disatu pihak dia akan mendapat mengambil hatinya To Liong, dilain pihak berarti menghapus suatu rintangan besar bagi pasukan Mongol. Satu kali kerja dua hasil, bukankah sangat menguntungkan? Akan tetapi yang terkail sekarang adalah Li Su-lam, hal ini menjadi lebih menguntungkan daripada ToHong. Makanya dia pasti akan lebihgirang, manabisa merasa kecewa?” Tempat sembunyi Kok Ham-hi itu terletak tidak jauh daripada tempat bicara orang she Loh dan Ciu itu, mendengar sampai disini, tidak kepalang gusar Kok Ham-hi, pikirnya: “Sungguh suatu tipu muslihat yang keji. Urusan ini jauh lebih penting daripada mencari Ci-suheng, mana boleh kubiarkan dia masuk perangkap musuh. Tampaknya ilmu silat orang2 She Ciu dan she Loh ini tidak lemah, entah aku mampu mengalahkan mereka atau tidak? Tapi sekalipun kubunuh mereka toh bukan jalan keluar yang terbaik.”

Dalam pada itu terdengar orang she Loh sedang bicara pula: “Toh-cecu sudah menyediakan sejenis obat tidur yan tanpa warna dan tanpa rasa, asalkan Li Su-lam tiba, segera obat itu akan dicampur dalam arak yang disuguhkan kepadanya. Hehe, bila arak itu masuk tenggorokannya, tanpa susah lagi dia akan tertangkap.”

“Jika begitu, mengapa mesti mengerahkan orang banyak dan jauh2 kita disuruh pergi kesana untuk membantunya?” tanya orang she Ciu.

“Li Su-lam adalah buronan Khan Mongol, urusan ini lain daripada yang lain. Sebab itu segala kemungkin harus diperhitungkan, seumpama nanti dia tidak mau minum arak, maka terpaksa mesti pakai kekerasan.”

“Bagaimana keadaan orang she Li itu?” tanya orang she Ciu.

“Dia mampu menduduki kursi ketua umum kaum Lok-lim, dengan sendirinya memiliki kepandaian yang tidak lemah. Sebab itu pula Koksu kuatir kita tidak mampu menghadapinya dan perlu minta Yang-kongcu ikut tampil kemuka.”

“Kabarnya orang she Li itu baru berusia likuran, aku tidak percaya kepandaiannya dapat melebihi Yang-kongcu.”

“Tapi sekarang Yang-kongcu tak dapat diketemukan, terpaksa kita harus melayani dia.” “Bicara tentang kepandaian, meski kita tak dapat mengungkuli Yang-kongcu, tapi kalau kita bergabung belum tentu tidak lemah daripada beliau.”

“Benar, kalau kita berdua bergabung rasanya akan lebih kuat daripada Yang-kongcu.”

“Jika begitu mengapa mesti jeri terhadap bocah she Li itu? Apalagi Toh An-peng juga terhitung jago Lok-lim terkemuka. Rasanya Koksu rada memandang rendah terhadap kita.”

“Menilai lawan lebih baik diberi kelonggaran, apa lagi Li Su-lam tidak mungkin datang sendirian.” “Sejak To Pek-seng mati, diantara tokoh2 Lok-lim, kecuali Tun-ih Ciu ayah beranak dan To Liong paling2 ditambah dengan Liu Tong-thian, ke-empat orang inilah mungkin lebih unggul daripada kita. Tapi yang lain, haha, bukan aku membual, sesungguhnya tak kupandang sebelah mata kepada mereka.”

“Ciu-toako, rasanya kau lupa kepada seorang lagi, kalau kukatakan mau tak mau kau harus meninjau kembali ucapanmu tadi.”

“O, siapakah dia? Coba katakan!”

“Orang ini bukan tokoh kalangan Loi-lim, tapi adalah sobat baik mendiang To Pek-seng, dia ada hubungan baik dan erat dengan pihak Long-sia-san.”

“Hah, apakah yang kaumaksudkan adalah Beng Siau-kang yang berjuluk Kanglam-tayhiap itu?” orang she Ciu menegas dengan suara keder. “Apakah dia juga datang kesini?”

“Ya, memang tidak salah, iapun datang,” sahut orang she Loh.

“Wah, kalau begitu dia menemani Li Su-lam ke Hui-liong-san, biarpun kita berdua ditambah lagi Yang-kongcu rasanya juga bukan tandingan mereka.”

“Kau tidak perlu takut, tua bangka Beng Siau-kang akan dihadapi oleh orang lain lagi, kita sendiri tidak perlu susah. Toh An-peng hanya minta kita menghadapi Li Su-lam saja.”

“Siapa lagi yang mampu melayani Beng Siau-kang?”

“Tak dapat dilawan dengan kekuatan, masakah tak bisa dirobohkan dengan akal?” “Oya, tadi kaumengatakan Toh-cecu telah menyediakan sejenis obat bius …….”

“Yang kumaksudkan akal tidak melulu menggunakan obat saja. Cuma saja segala kemungkinan memang perlu dijaga sebelumnya, kalau tidak buat apa koksu minta kita bergabung dengan Yang- kongcu dan pergi kesana bersama.”

“Loh-toako, sebenarnya kal apalagi yang telah diatur, lekas kau ceritakan.”

“Mengapa ter-buru2, sabar sedikit, dengarkan uraianku. Lebih dulu ingin kutanya kau, apakah kau tahu seorang yang bernama Giam Seng-ti yang bergelar Cwan-tang-tayhiap?”

Agaknya orang she Ciu itu terkejut, katanya: “Kabarnya Giam Seng-to itupun tokoh terkemuka dnia persilatan, tapi selamanya dia tak pernah melintasi Tiangkang, masakah sekarang iapun menyeberang ke utara sini?”

“Giam Seng-to sendiri tidak datang ke sini, tapi anak perempuannya yang telah tiba.” “Barangkali kau tidak tahu bahwa Giam Seng-to adalah saudara iparnya Beng Siau-kang? Maka dari itu, hehe, untuk melayani Beng Siau-kang terpaksa harus menggunakan diri anak dara she Giam itu.”

Mendengar sampai disini, terkejut pula Kok Ham-hi. Selama tiga tahun ini dia selalu menghindari Giam Wan, tak tersangka kini nona itupun berada didaerah utara sini. Ia heran mengapa ayah- bundanya mengizinkan anak dara itu berkelana sendirian menuju kedaerah musuh? Apa barangkali nona itu sudah bersuami? Tapi tidak mungkin, pasti tidak! Setelah kejadian malam itu, manabisa nona itu menikah lagi dengan Thio Goan-kiat? Atau bisa jadi nona itu mendengar berita tentang diriku, maka jauh2 melarikan diri dari rumah orang tua untuk mencar diriku? Demikian pikirnya. Begitulah karena pikiran kusut, tanpa sadar Kok Ham-hi bernapas rada keras. Mendadak terdengar orang she Loh tadi membentak: “Siapa itu?”

Kok Ham-hi kaget dan mengira kedua orang itu telah mengetahui jejaknya. Baru saja ia bermaksud melompat keluar, tiba2 terdengar seorang lagi menjawab dengan mendengus: “Hm, kalian berdua apa sudah pangling padaku?”

Waktu Kok Ham-hi mengintip kesana melaui celah2 batu, dilihatnya di tanah bersalju sana muncul seorang laki2 dan seorang perempuan. Yang perempuan itu jelas Beng Bing-sia adanya. Seketika timbil pikiran dalam benak Kok Ham-hi: ‘Yang laki2 ini tentu Ci In-hong. Sungguh tidak nyana aku dapat berjumpa dengan dia disini.”

Belum lagi lenyap pikirannya, benar juga terdengar kedua orang tadi telah membentak berbareng: ‘Kiranya kau siburonan ini! Hm, ternyata tidak kecil juga nyalimu!”

Ci In-hong dan Bing-sia berdua sebenarnya dalam perjalanan didepan, tapi lantaran Bing-sia belum sembuh seluruhnya, ginkangnya terpengaruh sebab itulahmereka berbalik ketinggalan dibelakang. Ketika melihat bekas kaki kedua orang itu diatas salju, Ci In-hong terus mengikui jejak mereka dan kebetulan kepergok disini. Dia adalah orang yang dibenci dan hendak dibekuk oleh Yang Thian-lui. Sebab itulah biarpun tahu ilmu silatnya cukup lihai, kedua orang itu merasa kuat untuk melawannya.

Begitulah Ci In-hong lantas menjengek: “Hm, kau memaki aku sebagi pengkhianat? Aku ingin tanya kalian ini bangsa Han atau bangsa Kim?”

Dari malu kedua orang itu menjadi gusar, mereka membentak: ‘Tak perlu banyak omong, marilah kita tentukan dengan pukulan.”

“memangnya kau sangka aku gentar padamu,” jawab Ci In-hong. Lalu ia berkata pula kepada Bing- sia ketika melihat nona itu telah melolos pedangnya dan siap tempur: “nona Beng, silahkan kau menonton dulu, bisa jadi mereka ada begundal yang lain. Bila aku tidak sanggup melawan mereka barulah kau nanti ikut maju.”

Ia tahu kedua lawan adalah jago terkemuka yang dipercaya oelh Yang Thian-lui, ilmu silat mereka tentu tidak lemah. Kalau satu lawan satu Ci In-hong yakin dapat mengalahkan salah satu diantara mereka, tapi kalau satu lawan dua sukar meramalkan kesudahannya nanti. Beng Bing-sia sendiri kesehatannya belum pulih seluruhnya, maka In-hong rada kuatir bila nona ini ikutb bertempur.

Bing-sia tidak membantah, dengan pedang terhunus ia berjaga disamping. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa kedua orang itu sudah mulai menyerang dari kiri dan kanan.

Segera Ci In-hong angkat sebelah tangannya, sedikit berputar terus menghantam kearah orang she Ciu disebelah kiri sambil membentak, diantara guncangan angin pukulaannya yang dahsyat itu menerbitkan pula suara gemuruh.

Kok Ham-hi dapat melihat jelas “Thian-lui-kang” yang dimainkan Ci In-hong itu, ia terkejut dan bergirang pula, pikirnya: ‘dia ternyat betul adalah murid Sam-supek, biarlah aku melihat lebih jauh untuk mengetahui apakah ilmu yang dia pelajari sama tidak dengan aku.”

Belum lenyap pikirannya, terdengar suara “blang” yang keras, orang she Ciu tadi tampak sempoyongan dan mundur beberapa tindak. Sebaliknya pedang ditangan kanan Ci In-hong yang berbareng ditusukkan kepada orang she Loh disebelah kanan juga mengenai tempat kosong. Tahu2 orang she Loh yang bersenjatakan sepasang cakar baja telah menggeser kebelakang Ci In-hong sambil balas menyerang, cepat Ci In-hong memutar pedang kebelakang “trang”, cakar baja lawan tersampuk dan terpapas putus sebuah giginya, berbareng terdengar “bret” pula, baju Ci In-hong terobek oelh cakaran senjata musuh.

Kiranya kedua orang she Ciu dan she Loh itu masing2 mempunyai kemahiran ilmusilat sendiri2, orang she Ciu mahir lwekang, meski tidak selihai Thian-lui-kang Ci In-hong, tapi masih cukup kuat untuk emnandinginya. Sedangkan orang she Loh mahir ilmu ginkang, dia selalu menyerang dari samping dengan cara2 yang aneh dan cepat, karena itu Ci In-hong menjadi kerepotan melayani dua lawan yang tangguh.

Tidak lama kemudian baju Ci In-hong telah kena diakar tiga tempat oelh senjata orang she Loh, untung tidak terluka tubuhnya.

Melihat Ci In-hong terancam bahaya, Bing-sia tidak tahan lagi, segera ia menerjang maju ikut bertempur.

“Nona Beng, kau lekas pergi saja!” seru Ci In-hong.

“Tidak, hidup atau mati bersama, ada kesukaran biarlah ditanggung berbareng,” sahut Bing-sia. Maklumlah jiwanya pernah diselamatkan Ci In-hong, mana dia mau membiarkan pemuda itu melawan musuh tangguh sendirian? Sebab itulah iapun memperlihatkan tekadnya akan bertempur bahu membahu bersama Ci In-hong. Tapi setelah mengucapkan kata2 tadi barulah dia menyadari telah terlanjur omong. Kata2 “hidup atau mati bersama” tidaklah pantas diucapkan diantara teman biasa. Tanpa terasa wajahnya menjadi merah.

Maka orang she Loh tadi lantas menjengek: “Hehe, anak dara ini rupanya cinta amat padamu. Cuma sayang, sungguh sayang!”

“Sayang apa?” orang she Ciu sengaja pura2 bertanya.

“Sayang bocah she Ci ini sudah tidak dapat menikmati hidup bahagia lagi,” sahut orang she Loh. “Ya, kecuali kalau dia brubag pikiran dan mau inaf, kalau dia mau ikut kita pulang kekotaraja dan minta ampun kepada Koksu, kalau tidak tentu jiwanya sukar dipertahankan, cara bagaimana pula dia dapat merasakan hidup bahagia disamping sicantik?”

“Omong seperti kentu!” bentak Bing-sia dengan gusar. “Sret”, segera pedangnya menusuk.

Hati Ci In-hong teras syur juga oleh ucapan Bing-sia tadi, seketika semangatnya terbangkit, ber- turut2 ia melancarkan serangan beberapa kali sehingga kedudukannya dapat diperbaiki.

Cuma sayang kesehatan Bing-sia belum pulih, meski ilmu pedangnya sangat bagus, namu tenaganya kurang. Rupanya orang she Ciu melihat akan kelemahannya ini sehingga serangannya terus diarahkan kepada sinona dengan gencar.

Dengan demikian Ci In-hong perlu membagi perhatiannya pula untuk emnjada Bing-sia, posisi yang telah diperbaikinya itu hanya sebentar saja sudah berubah lagi, kembali ia terdesak dibawah angin. Tapi majunya Bing-sia juga telah membantu sedikit kerepotannya, yaitu ikut menanggung daya serangan musuh sehingga Ci In-hong tidak terlalu payah seperti tadi. Sebab itulah ikut tempurnya Bing-sia itu boleh dikata ada untung dan ada ruginya bagi Ci In-hong.

Di tempat sembunyinya Kok Ham-hi melihat dan mendengarkan apa yang terjadi tadi, pikirnya: “Dalam sekejap saja beberapa tahun sudah lewat dan si nona cilik beng Bing-sia ini ternyata sudah punya kekasih pula. Entah Giam Wan tahu tidak akan hal ini? Ilmu pedang keluarga Beng sangat terkenal, kepandaian Bing-sia tampaknya jauh lebih maju daripada dulu. Cuma tampaknya tenaganya rada kurang , apakah barangkali dia terluka dalam?”

Baru saja Kok Ham-hi bermaksud keluar untuk emmbantu, tiba2 terdengar Ci In-hong membentak, berbareng tampak dia mengalingkan tubuhnya didepan Bing-sia, kedua tangannya memukul ber- turut2 sehingga orang she Ciu tadi digempur mundur. Kiranya waktu itu Bing-sia sedang menhadapi serangan berbahaya lawan, pedangnya telah kena dicakar oleh senjata siorang she Loh. Karena harus menolong Bing-sia dan terlalu banyak megeluarkan tenaga, ternyat Ci In-hong sudah mandi keringat. Tapi dia massih berkata: ‘Adik Sia, boleh kau mengaso dulu di pinggir,sebentar kau boleh maju lagi.”

Untuk pertama kalinya ini dia memanggil “adik: kepada Bing-sia selama mereka bergaul sekian hari, tanpa terasa Bing-sia merah jengah pula mukanya mendengar panggilan itu, namun tak terkatakan rasa manis di dalam hati.

Setelah ikut bertempur sejenak saja Bing-sia sendiri sudah merasakan tenaga sendiri memang masih lemah. Diam2 ia menimbang anjuran Ci In-hong itu, ia pikir daripada akhirnya gugur bersama Ci- toako, ada lebih baik ganti cara bertempur saja, siapa tahu akan dapat mengubah keadaan yang berbahaya ini.” Perlu diketahui bahwa ilmu Am-gi (senjata rahasia) keluarga Beng terhitung juga kepandaian yang khas di dunia persilatan, soalnya Bing-sia berwatak jujur dan suka blak2an, ia merasa melukai orang dengan senjata rahasia kurang gemilang, makanya ia tidak suka menggunakannya. Kini dalam keadaan terpaksa barulah terpikir olehnya akan menggunakan Am-gi. Cara menggunakan senjata rahasia keluarga Beng tidak pasti dalam bentuknya, yang diutamakan adalah caranya yang istimewa,benda apapun yang dipegang setiap saat dapat digunakan sebagai senjata rahasia.

Waktu itu orang she Loh lagi digempur oleh Thian-lui-kang Ci In-hong, dadanya laksana digodam, isi perutnya se-akan2 terkocok, seketika ia tidak berani mengerahkan tenaga murni untuk melawan. Sebab itulah biarpun dalam keadaan payah Ci In-hong masih dapat bertahan dengan satu lawan dua. Bing-sia lantas mundur kesamping dan menjemput batu kecil di tanah, dengan cara “Thian-li-san- hoa” (bidadari menabur bunga) ia sambitkan batu2 itu secara tepat kearah hiat-to berbahaya ditubuh kedua musuh tanpa salah melukai Ci In-hong.

Dengan lwekangnya yang kuat, orang she Ciu itu mengayun kedua tangannya sehingga angin keras terjangkit, batu yang disambitkan Bing-sia itu terguncang jatuh sebelum tiba pada sasarannya.

Sedangkan orang she Loh yang mahir ginkang hanya dapat main mengegos saja, dengan caranya “mendengarkan angin membedakan arah” dia mengetahui darimana batu yang disambitkan kepadanya itu.

Tak terduga cara Bing-sia menggunakan senjata rahasia sungguh lain daripada yang lain. Orang she Loh itu sempat mengelakkan beebrapa biji batu, ia merasa bangga dan bermaksud men-olok2 Bing- sia. Tapi belum sampai bukamulut, tiba2 terdengar suara mendesingnya batu menyamber ke “Ih-gi- hiat” dibawah iga kiri. Cepat ia mengegos kekanan. Tak tahunya sekaligus Bing-sia menyambitkan dua potong batu, waktu mendekati sasarannya kedua batu itu mendadak saling bentur terus berpencar dan ganti arah. Secara tak ter-duga2 tepat mengenai Koh-cing-hiat dibahu kanan orang she Ciu.

Cuma sayang tenaga Bing-sia sudah lemah, meski batu itu kena Koh-cing-hiat musuh, tapi Cuma membikin orang she Cu itu merasa pegal dan kaku, tenaga yang kurang itu kehilangan daya memukul Hiat-to yang dapat membikin lumpuh itu.

Karena mendapat malu di depan temannya, orang she Ciu itu menjadi murka, jengeknya: “Bagus, kau mau main Am-gi, akan kulayani kau. Ini,kaupun coba2 aku punya!”

Tiba2 orang she Loh berseru: “Ciu-heng, gunakan senjata yang tak berbisa, pertahankan jiwa anak dara itu!”

“Eh, rupanya Loh-heng juga gemar akan paras elok,” si orang she Ciu ter-bahak2.

“Orang yang gemar paras elok adalah orang lain dan bukan aku,” ujar she Loh dengan tertawa. “Apakah kau telah lupa kepada Yang-kongcu kita?”

“Oya, kalau kita persembahkan si cantik ini kepada Yang-kongcu pasti akan mendapat pahala besar,” sahut si orang she Ciu. Berbareng itu ia terus menghamburkan tiga biji gundu besi tak berbisa.

Lihai juga kepandaian menggunakan Am-gi si orang she Ciu, tiga biji gundu besi itu sekaligus mengarah tiga tempat hiat-to ditubuh Bing-sia. Akan tetapi dalam pandangan sinona hujan senjata rahasia itu hanya permainan sepele saja.

“Huh, mainan anak kecil saja juga dipamerkan disini!” jengek Bing-sia. Berbareng satu potong batu kecil terus diselentik kedepan dan membentur gundu besi yang tengah, batu dan gundu itu mencelat kesamping kanan dan kiri sehingga membentur pula kedua gundu besi dikanan-kiri. Hanya dengan satu potong batu saja sekaligus ketiga biji gundu besi itu telah dipukul jatuh ketanah.

“Awas adik Sia, ada orang!” Tiba2 Ci In-hong berseru.

Semula Bing-sia mengira In-hong memperingatkan dia agar awas terhadap senjata rahasia musuh, tapi ketika mendengar “ada orang”, dia baru terkejut dan cepat berpaling maka tertampaklah seorang berkedok sedang melompat keluar dari balik batu besar sana.

Cepat sekali datangnya orangberkedok itu, baru lenyap suara Ci In-hong tahu2 orang itupun sudah berada di depan Bing-sia.

Keruan tak terkatakan Bing-sia, pikirnya: “Mereka ternyata ada begundal lain lagi, betapapun harus kurintangi agar tidak dapat maju membantu kawan2nya sekalipun jiwaku akan melayang.” ~ Kedua pengerubutnya itu, kini ditambah lagi seorang. Ia tahu keadaan Ci In-hong sudah payah menghadapi kedua pengerubutnya itu, kini ditambah lagi seorang berkedok ini, melulu dari kecepatan ginkangnya saja sudah dapat dinilai kepandaiannya pasti diatas she Ciu tadi, maka dari itu Bing-sia bertekad akan merintanginya agar mengurangi beban Ci In-hong.

Begitulah segera Bing-sia mendahului menyerang, “sret”, pedangnya lantas menusuk orang berkedok itu. Dalam pada itu tiga gundu besi untuk kedua kalinya disambitkan orang she Ciu tadi kini kebetulan juga menyamber tiba.

Saat itu siorang berkedok berdiri didepan Bing-sia, jadi senjata rahasia siorang she Ciu se-akan2 menyamber dari belakangnya, sedangkan dari depan pedang Bing-sia mengancam pula, jadi orang berkedok itu berada dalam posisi diserang dari muka dan belakang. 

Disinilah tertampak kepandaian sejati siorang berkedok, dia tidak ambil pusing terhadap samberan Am-gi dari belakang, tapi ia menyelentik pelahan pedang bing-sia yang menusuknya itu, menyusul terdengarlah suara”plok-plok-plok” tiga kali, ketiga gundu besi yang disambitkan orang she Ciu seluruhnya mengenai tubuhnya dan tepat kena pula pada hiat-to, tapi sedikitpun orang berkedok itu seperti tidak berasa, bahkan tubuhnya terhuyungpun tidak.

Tiba2 orang berkedok itu berkata dengan suara tertahan kepada Bing-sia: “Nona Beng, akaulah adanya! Masih ingat padaku? Aku adalah orang yang pernah datang kerumah bibimu pada empat tahun yang lalu itu.”

Untuk sejenak Bing-sia tertegun, habis itu iapun berseru: “He, kau kiranya! Kau adalah Kok Ham- hi!” ~ Sungguh mimpipun dia tidak menyangka akan bertemu dengan Kok Ham-hi disini.

Dalam paa itu Kok Ham-hi sudah lantas meninggalkan Bing-sia dan bwerlari kesan sambil berseru: “Ci-suheng, Lui-tian-kau-hong!”

“Lui-tian-kau-hong” (kilat dan halilintar menggelegar) adalah satu jurus mematikan dalam Thian- lui-ciang, jurus pukulan ini harus dilakukan sekaligus dengan dua tangan, tangan yang satu laksana guntur dan tangan yang lain seperti sambaran kilat, cepat dan dahsyat luar biasa. Lantaran kedahsyatan jurus pukulan ini, maka bila tenaga dalam kurang, untuk menggunakan jurus ini diperlukan tenaga dua orang, kalau tidak tentu akan berbalik merugikan diri sendiri. Orang yang mampu menggunakan jurus “Lui-tian-kau-hong” pada jaman ini hanya Yang Thian-lui serta guru Ci In-hong saja, Ci In-hong sendiri masih perlu berlatih dua tiga tahun lagi untuk bisa menggunakan jurus pukulan sakti itu.

Begitulah ketika mendadak orang berkedok itu memanggil “Ci-seheng” padanya, menyusul terdengar disebutnya jurus “Lui-tian-kau-hong” pula, keruan Ci In-hong terperanjat dan ter-heran2 pula. Dalam pada itu Kok Ham-hi sudah melancarkan pukulan yang diserukan tadi, tangan kirinya memutar setengah lingkaran terus dipukulkan kedepan dengan pelahan, sedangkan tangan kanan menjulur dengan tiga jari menegak seperti unjung pedang, gerakannya jauh lebih cepat daripada tangan kiri. Jelas inilah gerak serangan jurus ”Lui-tian-kau-hong”.

Dalam batin Ci In-hong sudah dapat menerka beberapa bagian apa artinya itu, tanpa pikir lagi ia terus melancarkan jurus serangan itu sebagaimana diserukan orang berkedok itu, meski serangan bersama itu sedikit berselisih waktu sehingga tidak dapat menarik manfaat sepenuhnya, namun kedua orang she Ciu dan she Loh itu sudah tidak tahan lagi, terdengar suara “blang-blang” dua kali, kedua orang terguling berbareng. Orang she Ciu terkena pukuln itu tepat dari depan, lukanya lebih parah, ia menggeletak tak berkutik dengan mengeluarkan darah dari mata-hidung-mulut dan telinga, tampaknya jiwanya pasti akan amblas. Sedangkan orang she Loh itu masih m-ronta2 sekarat diatas tanah, tapi jelas tak bisa bangun lagi.

Ci In-hong tidak sangsi2 lagi, segera ia menyapa: “Apakah saudara ini Kok-suheng murid Kheng- susiok?”

“Benar, siaute memang Kok Ham-hi adanya,” sahut orang berkedok itu.

“Kebetulan sekali, memangnya aku sedang mencari kau,” kata In-hong dengan girang. “Akupun sedang mencari kau,” ujar Kok Ham-hi dengan tertawa.

Dalam pada itu orang she Loh yang me-lonjak2 sekarat itu segera akan dibinasakan Bing-sia lantaran kata2nya yang kurang ajar tadi, syukur sebelum sinona ayun pedangnya, tiba2 terdengar seruan Kok Ham-hi: ‘Tahan dulu, nona Beng!” Lalu Kok Ham-hi berkata pula kepada In-hong: “Ci-suheng, sebentar kita bicara lagi, kini ada sesuatu yang penting mesti kutanyakan kepada keparat ini.” ~ Ia terus seret bangun orang she Loh itu, kemudian bertanya: “Dimana anak perempuan Giam Seng-to saat ini, kalian telah mengapakan dia,lekas mengaku!”

Bing-sia menjadi terkejut, cepat ia bertanya: “Apa katamu, piauci juga datang disini! Dia jatuh ditangan musuh?”

“Aku telah mencuri dengar percakapan mereka tadi, mereka hendak memperalat Giam Wan untuk mengancam ayahmu, mungkin sekali dia tertawan oleh mereka,” sahut Kok Ham-hi.

Tiba2 orang she Loh itu merintih dan berseru menahan sakit: ‘Ya, aku toh sudah hampir mati, buat apa mesti aku bicara padamu.”

“Asal kau mengaku terus terang jiwamu akan kuampuni, malahan akan kuberi obat padamu,” kata Kok Ham-hi.

“Apa betul, kau tidak bohong?” orang she Loh menegas.

“Sekali bicara pasti pegang janji, orang she kok selamanya tidak pernah mencla mencle,” kata Kok Ham-hi pula.

“Baiklah, akan kukatakan padamu,” tutur orang she Loh. “Dia …… Dia berada di Oh ……Oh-ciok

……… “

Selagi orang she Loh itu bicara sekuatnya dengan naps ter-sengal2, sampai disini se-konyong2 ia menjerit, sebelum ucapannya lebih lanjut napasnya sudah putus.

Tiba2 terdengar orang she Ciu yang tadi nampaknya tidak berkutik itu berkata dengan menyeringai: “Coba kau bocorkan rahasia lagi!”

“Kurang ajar! Biar kumampuskan kau!” bentak Kok Ham-hi dengan gusar.

Tapi sebelum Kok Ham-hi turun tangan,orang she Ciu itu sudah lebih dulu menggigit lidah sendiri dan binasa seketika.

Kiranya orang she Ciu itu memiliki sejenis senjata rahasia jarum berbisa jahat, biarpun dia terluka parah, tenaga untu menjentik jarum kecil itu masih ada. Ia tahu kepandaian Kok Ham-hi dan Ci In- hong yang tidak dapat dilukai oleh jarumnya, tapi kawannya she Loh itu dalam keadaan sekarat, untuk menyerangnya dengan jarum boleh dikata terlalu mudah. Ia menyadari jiwa sendiri yang tidak dapat tertolong lagi, ia menjai sirik pula bila teman sendiri dapat menyelamatkan diri, sebab itulah dengan tenaga terakhir ia turun tangan keji membinasakan teman sendiri. Karena Kok Ham- hi dan lain2 asyik mengikuti pengakuan orang she Loh itu, mereka menjadi tidak menduga akan serangan gelap siorang she Ciu.

“Kematian kedua orang itu tidak perlu disayangkan, yang harus disesalkan adalah sedikit keterangan yang hampir kudapatkan ini telah kena dibuyarkan oelh keparat she Ciu ini. Sekarang kemana aku harus mencari Giam Wan?” ujar Kok Ham-hi dengan gegetun.

 “Jangan kuatir , Kok-toako,” kata Bing-sia. “Kalau mereka benar hendak menggunakan Piauci sebagai sandera, setibanya di Hui-liong-san tentu kita akan mendapatkan keterangan tentang dia.” “kau tentu kenal watak piaucimu, masakah dia mau menyerah berada didalam cengkeraman musuh?” Mungkin sebelum tiba di Hui-liong-san dia sudah bunuh diri,” kata Kok Ham-hi.

Ci In-hong tidak ikut bicara, dia berdiri diam disamping seperti sedang merenungkan sesuatu. Kok Ham-hi menghela napas, teringat olehnya pesan sang guru agar lebih mengutamakan kepentingan negara daripada urusan pribadi. Katanya kemudian: “Ya, urusan sudah begini, tiada gunanya merasa gelisah. Masih ada urusan penting yang perlu kita selesaikan. Nona Beng, apakah kau dan Ci-suheng hendak menuju Hui-liong-san?”

“Benar,” sahut Bing-sia sambil mengangguk.

“Mengapa kau tidak berangkat bersama ayahmu?” tanya Kok Ham-hi. “Dari percakapan mereka kudengar katanya ayahmu sudah berangkat ke Hui-liong-san bersama seorang ksatria she Li yang baru menjabat Lok-lim Bengcu.”

“Ya, panjang juga kalau kuceritakan hal ini,” kata Bing-sia. “Mestinya ayah tidak memerlukan keberangkatanku, aku pergi kesana dengan tujuan mencari satu orang. Cuma, lebih baik bicara tentang dirimu saja, darimana kau mengetahui aku berada disini dan bagaimana pula kau mengetahui Ci-toako adalah suhengmu?”

“Semalam akupun ketemukan satu orang, orang inilah yang memberitahukan padaku,” sahut Kok Ham-hi.

“Siapakah gerangan orang itu?” tanya Bing-sia heran. “Seorang nona she Nyo,” tutur Kok Ham-hi.

“Hah, jadi kau bertemu dengan Nyo Wan? Akupun hendak mencari dia. Apakah dia tahu akan tujuanku ini?” tanya Bing-sia dengan terkejut dan girang.

“Semalam dia dikerubut oleh Yang Kian-pek, Ho Kiu-kong dan begundalnya disuatu kelenteng kuno, kebetulan aku lewat disana dan berhasil membantunya, dari pihak Ho Kiu-kong itulah nona Nyo mendapat tahu pengalamanmu yang berbahaya kemarin malam itu,” tutur Kok Ham-hi pula. “Kemudian ketika aku bergebrak dengan Yang Kian-pek, dia telah sangka aku sebagai Ci-suheng, sebab itulah aku menduga orang yang menolong kau dari rumah Ho Kiu-kong itu pasti Ci-suheng adanya. Apakah dia mengetahui kau sedang mencarinya, hal ini aku tidak jelas.”

“Apa2 lagi yang telah diceritakan nona Nyo padamu?” tanya Bing-sia.

“Dia bilang kenal padamu, tapi dia juga heran mengapa Ci-suheng bisa berada bersama dengan kau,” kata Kok Ham-hi.

“Pantas juga kalau dia merasa heran, aku sendiri juga baru kemarin malam mengenal jelas akan siapa diri In-hong,” kata Bing-sia dengan tertawa. “Kukira nona Nyo sampai saat ini mungkin masih menyangsikan dia sebagai agen rahasia negeri Kim.”

Lalu Bing-sia menceritakan apa yang terjadi di Long-sia-san tempo hari, kini Kok Ham-hi baru tahu seluk beluk persoalan mereka.

“Apakah dia juga hendak pergi ke Hui-liong-san?” kembali Bing-sia bertanya.

“Dia tidak memberitahukan padaku hendak kemana dia, Cuma dia berada bersama dengan beberapa orang Mongol itu,” tutur Ham-hi. “Satu diantara busu Mongol itu bernama Akai malah busu Mongol itu telah mengikat persahabatan dengan aku. Dua orang Mongol yang lain adalah anak perempuan, tampaknya seperti majikan dan pelayan. Putri Mongol itu tampaknya sangat agung dan berwibawa, jelas bukan anak perempuan keluarga biasa.”

Kok Ham-hi tidak tahu bahwa “putri Mongol” itu justru adalah putri Jengis Khan yang termashur itu, sedangkan Bing-sia pernah mendengar dari Li Su-lam tentang putri Minghui itu, maka dia yakin putri Mongol yang dimaksudkan Kok Ham-hi itu tentu Minghui adanya.

Diam2 Bing-sia juga merasa heran Nyo Wan bisa berkumpul dengan Minghui, entah mengapa putri Mongol yang diagungkan itu mendadak bisa berada di tionggoan. Tapi kalau Nyo Wan berada bersama dia, rasanya pasti takkan pergi ke Hui-liong-san.

Dugaan Bing-sia sekali ini hanya tepat separohnya saja, sudah tentu Putri Minghui takkan pergi ke Hui-liong-san, tapi Nyo Wan masih tetap akan pergi kesana.

“Rupanya kepergianmu ke Hui-liong-san adalah hendak mencari nona Nyo itu?” tanya Ham-hi kemudian. “Semula kukira tujuanmu kesana adalah urusan dengan Bengcu she Li itu.”

Wajah Bing-sia menjadi merah, pikirnya: “Apa barangkali Nyo Wan telah ceritakan persoalan segitiga kami kepadanya? Tapi mereka baru berkenalan masakah sudah bicara sejauh itu?” Maka ia coba bertanya: “Mengapa kau bisa berpikir demikian?”

“Dari kedua keparat itu tadi kudengar sesuatu rahasia, katanya Toh-cecu dari Hui-liong-san itu adalah begundalnya Yang Thian-lui, sekali ini mereka sengaja mengatur perangkap untuk emnjebak Li-bengcu,” tutur Ham-hi. “Maka aku menyangka kau dan Ci-suheng juga sudah mendapat berita tentang rahasia ini dan buru2 menuju Hui-liong-san untuk membongkar tipu muslihat musuh.”

“O, kiranya yang kau maksudkan adalah rahasia ini,” ujar Bing-sia. “Ya, memang benar, kami sudah tahu akan rahasia ini, malahan Ci-suhengmu inilah yang memberitahukan padaku.”

Ci In-hong lantas menyambung. Lantaran Thian-lui-kang guru belum terlatih sempurna dan tidak sanggup bertarung dengan Yang Thian-lui. Ketika Yang Thian-lui paksa Suhu keluar membantunya, terpaksa Suhu menyuruh aku pura2 menurut perintah Yang Thian-lui. Sebagai wakil Suhu aku lantas bekerja bagi Yang Thian-lui, tapi sebenarnya aku juga memberi berita rahasia bagi pihak pasukan pergerakan. Beberapa bulan yang lalu perbuatanku menimbulkan curiga Yang Thian- lui. Terpaksa aku melarikan diri dari taytoh dan secara terang2an mengkhianati dia. Kini dia sedang meng-uber2 diriku dengan menyebarkan tidak sedikit begundalnya.

“Kiranya demikian, pantas keparat Yang Kian-pek itu terus mencaci maki diriku sebagai orang yang khianat, kiranya dia telah salah sangka diriku sebagai Ci-suheng,” kata Ham-hi.

“Kau telah menimbulkan salah sangka Yang Kian-pek, akupun pernah menimbulkan salah paham nona Nyo itu,” ujar Ci In-hong dengan tersenyum kecut.

“Jika begitu setelah ayah nona Beng mengetahui tipu muslihat musuh, mengapa tetap meneruskan perjalanan kesarang musuh?” kata Ham-hi.

“Ya, hal ini memang disengaja oleh Li-bengcu itu,” tutur Bing-sia. “Beliau mengatakan kalau tidak masuk sarang macan mana bisa mendapat anak macan. Maka tipu musuh itu sengaja dipakai sebagai tipu kita pula untuk membongkar muslihat musuh dengan harapan anak buah Toh An-peng nanti dapat kita ambil alih. Dosa Toh An-peng takbisa diampuni, tapi anak buahnya toh masih dapat kita pakai tenaganya.”

“Li-bengcu itu sungguh bijaksana, tidak sia2 kalian mendukung sia sebagai Bengcu,” ujar Kok Ham-hi.

“Dia bernama Li Su-lam, pernah melakukan hal2 yang mengguncangkan tartar Mongol. Dia adalah tunangan nona Nyo itu. Kok-suheng, setiba di Hui-liong-san tentu kau dapat bertemu dengan dia.

Orang seperti dia cukup berharga untuk dijadikan sahabat.”

“Ayahmu dan LI-bengcu adalah orang2 yang ingin kutemui,” kata Ham-hi setelah merenung sejenak. “Cuma mereka kini sudah pergi kesana dengan siap siaga, aku menjadi tidak perlu ter- buru2 kesana. Ai, sayang keterangan yang kucari sekarang putus tengah jalan, entah kemana aku harus mencari piaucimu?”

“Kok-suheng, boleh coba kau mencari kesuatu tempat,” kata CiIn-hong tiba2. “Menurut keterangan orang she Loh yang setengah2 tadi, nama ‘Oh-ciok’ yang dia sebut itu tentu menyangkut nama orang atau nama setempat. Nama tempat Oh-ciok-ceng, setahuku kira2 tiga ratus li di selatan Hui- liong-san ada sebuah desa bernama Oh-ciok-ceng, selain itu ada seorang bandit besar, seorang tosu, gelarnya Oh-ciok Tojin, Cuma jejak Oh-ciok Tojin ini sukar dicari, tak menentu tempat tinggalnya. Maka menurut pendapatku, sebaiknya Kok-suheng coba2 menyelidik ke Oh-ciok-ceng saja.” “Banyak terima kasaih atas keterangan Ci-suheng,” kata Kok Ham-hi. Entah di Oh-ciok-ceng itu apakah ada tokoh bulim yang mencurigakan?”

“Di Oh-ciok-ceng ada seorang hartawan besar berjuluk ‘Hoat-giam-lo’ (raja akhirat hidup), tapi aku tidak tahu apakah dia mahir ilmu silat atau tidak? Tutur In-hong.

“Baiklah, dengan keterangan ini aku harus coba mencarinya kesana,”kata Ham-hi. “Kok-toako, buknakah kau takut bertemu dengan piauciku?” tanya Bing-sia mendadak. “Dari mana kau mendapat tahu?” balas Kok Ham-hi.

“Aku tahu selama ini dia senantiasa mencari kau, tapi sudah lewat empat tahun kalian masih tidak pernah berjumpa, tentunya kau yang selalu menghindari dia,” ujar Bing-sia.

Lantaran isi hatinya tepat kena dikorek, terpaksa Kok Ham-hi menunduk sebagai tanda membenarkan. Selang sejenak barulah ia menghel anapsa dan berkata: “Sebenarnya aku tidak mau berjumpa lagi dengan dia, tapi kini dia dalam bahaya, mana boleh aku tinggal diam?”

“Kau tidak mau berjumpa dengan dia, hal ini kukira tak pantas,” kata Bing-sia dengan sungguh2. “Apakah kau tahu betapa piauci ingin bertemu dengan kau? Demi untuk bisa bertemu dengan kau diatidak segan minggat dari rumahnya, coba katakan apakah kau tidak perlu bertemu lagi dengan dia?”

Lalu Bing-sia menceritakan apa yang terjadi dahulu sesudah Giam Wan pulang kerumah pada malam itu, Kok Ham-hi menjadi terharu sehingga mencucurkan airmata.

“Nona Beng,” kata Kok Ham-hi kemudian, “Aku tahu demi untuk diriku dia tidak sayang mengorbankan segalanya, tapi kau tidak tahu bahwa “

“Aku tahu sebabnya kau tidak berani bertemu dengan dia adalah karen alukamu yang belum sembuh,” tiba2 Bing-sia menyela. “Malam itu kau telah dilukai pedang Thio Goan-kiat, peang itu tidak menusuk pada mukamu, tapi menusuk dilubuk hatimu.”

“Benar, mungkin luka hatiku yang belum sembuh,” jawab Kok Ham-hi karena kembali isi hatinya kena dikatai pula. “Tapi bila kau sudah melihat wajahku, mungkin kaupun akan terperanjat.” “Yang dia sukai adalah dirimu, pribadimu, mana dia mempersoalkan wajahmu segala?” kata Bing-

sia. “Kau terluka demi dirinya, tentu dia akan lebih suka, lebih cinta padamu. Tapi kalau lantaran itu kau justru menghindari dia, ini berarti kau terlalu meremehkan dirinya.”

Sakit jiwa harus diobati dengan kejiwaan, kata2 Bing-sia itu sepeerti kemplangan yang tepat mengenai kepla Kok Ham-hi, seketika terbukalah pikirannya, tanpa pikir ia menyingkap kain kedoknya dan berkata: ‘Benar, seorang laki2 sejati kenapa mesti takut memperlihatkan wajah sebenarnya kepada orang lain!”

Mendadak melihat wajah Kok Ham-hi yang menyeramkan itu, dalam hati Bing-sia sebenarnya rada takut juga. Tapi ia lantas bergelak tertawa dan berkata : “Kok-toako, dlama pandanganku kau masih tetap sama seperti dahulu.”

“Apa betul masih tetap sama seperti dahulu?” Kok Ham-hi menegas.

“Ya, dahulu kau adalah seorang pendekar yang suka membela keadilan, sekarang kau adalah seorang pahlawan pembela negara yang tidak segan2 masuk sarang musuh,” sahut bng-sia. “Maka dari itu, sesungguhnya dirimu yang sekarang ini jauh lebih mengagumkan daripada dirimu yang dahulu itu.”

“Banyak terima kasih kau telah membuka batinku yang tertekan selama ini, semoga aku sesuai sebagaimana kau katakan tadi,” kata Kok Ham-hi dengan tertawa.

Lalu ia mengadakan perjanjian akan bertemu lagi dengan Ci in-hong di hui-liong-san kelak, habis itu ia melangkah pergi, pada saat itu subuh hampir tiba.

“Tidak nyana ksatrian sebagai Kok-suheng juga bisa tergoda oleh persoalan yang sebenarnya sepele itu,” kata In-hong dengan tertawa.

“Maklumlah dahulu dia memang seorang pemuda yang cakap,” kata Bing-sia. “Tapi, setiap orang sedikit banyak tentu juga mempunyai sesuatu pikiran, hanya dia sendiri saja tidak mengetahui.”

Ci Ih-hong seperti menyadari sesuatu, katanya: “Kiranya nona Nyo itu adalah tunangan Li Su-lam, kalau tadi kau tidak menerangkan tentu sampai saat ini aku belum lagi mengetahui.”

“Ini adalah urusan orang lain yang tidak begitu penting, tahu atau tidak ada sangkut-paut apa dengan kau?” ujar Bings-ia dengan tertawa.

“Tidak ada apa2. Hanya ada satu hal yang aku tidak paham, mengapa dia sengaja menyamar sebagai laki2 dan tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya? Sekarang dia berangkat sendirian pula sehingga kau ikut repot pergi mencari dia?”

Bing-sia tertawa, katanya: “Aku tidak percaya kau masih tidak paham, kau ini sudah tahu tapi pura2 tanya?”

Semula Bing-sia tidak ingin Ci Ih-hong mengetahui persoalan salah paham antara dia dan Nyo Wan, tapi setelah berkumpul sekian lamanya, kedua orang sudah cocok dan dapat menyesuaikan diri satu sama lain, maka Bing-sia merasa tidak perlu menutupi kejadian itu lagi. Apa yang dia katakan kepada Kok Ham-hi tadi sebenarnya juga sengaja diperdengarkan kepada Ci Ih-hong.

Ci Ih-hong sendiri juga sudah dapat menerka hal itu, pikirnya: “Bing-sia adalah nona yang berpikiran terbuka, buat apa aku menahan perasaan sendiri,” Segera iapun berkata dengan tertawa: ‘Apakah barangkali nona Nyo itupun punya ganjelan hati?”

Bing-sia mengangguk dengan wajah bersemu merah.

“Sakit pikiran Kok-suheng telah kau sembuhkan, sakit pikiran nona Nyo mungkin juga perlu penyembuhanmu. Bing-sia, sungguh tidak nyana kau adalah seorang tabib sakti pengobatan sakit batin.”

“Jangan kau meng-olok2 aku, In-hong,” kata Bing-sia dengan pura2 mengomel. “Aku justru sangat berterima kasih padamu, mana bisa meng-olok2 kau.” “Terima kasih padaku? Terima kasih tentang apa?”

“Terima kasih padamu karena kau juga telah menymbuhkan sakit pikiranku!” Seketika Bing-sia menjadi bingung, tanyanya: “Apa maksudmu?”

“Terus terang, semula aku sendiripun mempunyai sakit pikiran serupa nona Nyo, aku aku menyangka kau “

Kata2 selanjutnya tak perlu diucapkan Ci Ih-hong dengan sendirinya sudah diketahui oelh bing-sia. Lantaran In-hong salah sangka Bing-sia jatuh cinta kepada Li Su-lam, maka dia tidak berani mengatakan isi hatinya kepada si nona.

“Tapi sekarang kau sudah tahu jelas bukan?” ujar Bing-sia dengan wajah merah.

“Ya, sudah jelas seluruhnya,” kata In-hong. “Sekarang aku boleh merasa lega benar2, Bing-sia.” “Ai, kau ini memang bodoh!” kata Bing-sia dengan mengikik tawa. Bayangan gelap yang tadinya masih menyelimuti perasaan masing2 kini sudah tersapu bersih oleh tertawa mereka yang gembira sekarang.

“Semoga semua kekasih di dunia ini dapat menjadi suami-istri yang bahagia, hendaklah kepergian Kok-suheng inipun akan datang kembali dengan membawa piaucimu,” bisik In-hong.

Kembali kepada Kok Ham-hi, setelah berpisah dengan Ci In-hong dan Bing-sia, sendirian ia melanjutkan perjalanan ke timur, menuju ke Oh-ciok-ceng yang terletak 300 li ditenggara Hui- liong-san untuk emncari Giam Wan.

Di suatu kota kecil ia membeli sebuah kotak obat dan beberapa jenis bahan obat2an yang biasanya sering digunakan, dengan menggendong peti obat itulah dia menyamar sebagai tabib kelilingan, pedangnya disimpan di dalam peti obat.”

Siang hari kedua Kok Ham-hi sudah sampai ditempat tujuan. Sepanjang jalan beberapa kali Kok Ham-hi ketemu orang berkuda dilarikan melampauinya, penunggang2 kuda itu sama membawa senjata, jelas orang kangouw. Paling akhir kira2 belasan li sebelum Oh-ciok-ceng ia melihat pula dua orang penunggang kud, yakni dua perwira.

Dengan perasaan heran Kok Ham-hi masuk sebuah warung di tepi jalan untuk minum sambil mencari sedikit kabar tentang seluk-beluk Oh-ciok-ceng.

Melihat seorang laki2 bengis berwajah codet memasuki warungnya, pemilik warung menjadi kaget, dengan gugup lekas2 ia menyuguhkan teh. Habis minum Kok Ham-hi meogoh saku bermaksud membayar, tapi pemilik warung tiba2 berkata: “Ini …… ini adalah suguhan sekadarnya saja, bilamana engkau ingin dahar, silahkan pesan saja.”

“ah, mana boleh, kau jualan kecil2an, masakah minum gratis,” kata Kok Ham-hi sambil menyodorkan dua buah uang ketip perak dan paksa si pemilik warung menerimanya.

Padahal harga semangkuk the paling2 Cuma satu sen tembaga saja, dua ketip uang perak cukup untuk embeli seekor ayam panggang dan sepoci arak.

Dengan sikap serba susah si pemilik warung berkata: “Warungku yang kecil ini hanya sedia sedikit dendeng sapi dan makanan kecil lain, makanan enak lain tidak ada lagi. Bila engkau mau minum arak dan satu kati dendeng mungkin masih sedia.”

“Aku tidak lapar, hanya haus saja, kau tidak perlu repot2,” sahut Kok Ham-hi dengan tertawa. “Habis minum, sekarang aku akan berangkat.

Se pemilik warung menjadi tercengang, katanya: “Tapi tuan telah membayar dua ketip ”

“Ya, maaf, aku tidak mambawa uang receh, maka kau tidak perlu memberi kembaliannya, sisanya buat kau,” kata Kok Ham-hi.

Sipemilik warung masih taku2 dan enggan menerima, tapi setelah dipaksa dan melihat sikap Kok Ham-hi yang ramah tamah,akhirnya diterimanya juga. Pikrinya: “Tadinya kukira dia orang dari kalangan hita, tidak tahunya dia adalah orang baik meski mukanya jelek dan bengis.”

Setelah mengucapkan terima kasih, kemudian pemilik warung itu bertanya: “Sebenarnya tuan tamu hendak pergi kemana?”

“Kabarnya didesa tempat kalian sini ada seorang hartawan besar, entah dimana kediamannya?” tanya Kok Ham-hi.

Air muka sipemilik warung tampak berubah, tapi lantas menjawab: “O, kiranya tuan juga akan menghadiri pesta dirumah Seng-toacaycu ( hartawan Seng), maafkan, maafkan bila pelayananku kurang sempurna!”

“O, tidak, tabib kelilingan semacam aku manabisa bersahabat dengan Seng-toacaycu?” lalu Kok Ham-hi menahan suaranya dan menyambung pula denga tertawa: “Terus terang, aku kesana hanya untuk cari2 untung saja, eh, barangkali laku obatku ini.” Tampaknya pimilik warung itu merasa lega, katanya kemudian: “Jika begitu aku ingin nasehatkan sebaiknya kau batalkan niatmu ini.”

“Sebab apa?” tanya Kok Ham-hi.

Dengan suara tertahan sipemilik warung berkata: “Saudara adalah orang dari daerah lain, maka aku tidak kuatir untuk emmberitahukan padamu. Seng-toacaycu ini adalah seorang hartawan yang culas dan judas, orang memberi julukan padanya sebagai ‘Hoat-giam-lo’. Kalau dia tidak mengincar orang miskin sebagai kita sudah untung, masakah kau malah ingin mengincar hartanya ? Kalau sampai obatmu diketahui palsu, Wah, sedikitnya kau akan menjadi kuli kontrak tiga tahun baginya tanpa dibayar.”

“Wah, masakah begitu hebat? Kata Kok Ham-hi sengaja meleletkan lidahnya. “Kalau tidak hebat masakah berjuluk ‘Hoaat-giam-lo’ ?” ujar pemilik warung.

“sebenarnya keluarga Seng ada kerja hajat apa? Sepanjang jalan kulihat banyak penunggang kuda, apa barangkali tamu2 undangannya?”

“Hari ini dia mengawinkan puteranya. Selama dua hari memang tidak sedikit tamu2 yang lewat diwarungku ini, sebab itulah tadi akupun mengira engkau hendak kondangan kesana.” Sampai disini sipemilik menahan suaranya pula dan berbisik: “Perkawinan ini adalah cara paksa!”

“Kawin paksa?” Kok Ham-hi menegas dengan terkejut.

“Ya, perempuan yang harus dikasihani itu malahan juga orang dari daerah lain!” kata pemilik warung.

Kok Ham-hi tambah terkejut, ia pikir2 jangan2 dia inilah Giam Wan adanya?

“Saat ini upacara mungkin sedang berlangsung,” kata sipemilik warung pula. “ai, anak perempuan itu sungguh kasihan ”

Baru saja ia hendak bercerita tentang anak perempuan itu, tiba2 Kok Ham-hi mengucapkan terima kasih padanya, lalu berangkat dengan ter-buru2.

Menurut jalan pikiran Kok Ham-hi, dengan kepandaian Giam Wan tidaklah pantas jatuh kedalam cengkeraman seorang hartawan kampungan, tapi siapa tahu kalau terjadi sesuatu diluar dugaan sehingga anak dara itu tertawan. Ia pikir tak peduli anak perempuan itu Giam Wan atau bukan, yang pasti dirinya harus ikut campur terhadap kawin paksa itu.

Saat itu tepat lohor, menurut pemilik warung tadi katanya upacara kawin sedang berlangsung, kalau upacara selesai dan kedua mempelai masuk kamar pengantin, untuk emnolong dan bawa lari pengantin penrempuan tentu akan lebih sulit. Karena pikiran demikian, segera Kok Ham-hi percepat langkahnya dan berlari memasuki Oh-ciok-cecng. Benar juga, lantas didengarnya suara alat tetabuhan yang ramai, ia terus berlari menuju kearah suara ramai2 itu tanpa menghiraukan pandangan orang2 ditepi jalan yang ternganga melihat cara berlarinya yang kesetanan itu.

Jurusan yang dia tempuh tidak keliru, hanya sebentar saja Kok Ham-hi sudah berada didepan rumah Seng-toacaycu. Sambil melangkah maju pelahan ia pikir dengan cara bagaimana akan menyusup kedalam gedung hartawan itu. Ia merasa kalau kepepet, terpaksa harus menerjang kedalam secara kekerasan.

Belum lenyap pikirannya, tiba2 terdengar suara kuda meringkik, ada empat penunggang telah datang sekaligus, tapi keempat tamu ini agaknya bukan satu rombongan, yang jalan didepan adalah tiga laki2 berbaju hitam, seorang yang menyusul dari belakang adalah pemuda berjubah putih.

Wajah pemuda jubah putih inipun cakap dan putih, kuda tunggangannya juga putih mulus, tampaknya lebih ganteng dan gagah.

Seketika perhatian Kok Ham-hi menjadi tertarik oleh pemuda ini, bukan tertarik oleh karena kecakapannya, tapi adalah kuda putih tunggangannya. Rupanya Kok Ham-hi m,ahir memilih kuda, sekali pandang ia lantas tahu kuda putih itu adalah kuda bagus yang sukar dicari.

Melihat pemudajubah outih itu, tertampak ketiga laki2 baju hitam tadi rada terkejut dan girang pula, mereka lantas menyapa: ‘Eh, Pek-kongcu juga hadir? Apakah ayahmu Pek-locianpwe baik2 saja?” Melihat sikap hormat ketiga orang itu, agaknya pemuda she Pek ini adalah orang yang punya kedudukan dan disegani.

Dalam pada itu Pek-kongcu itu sedang membalas hormat dan menjawab: ‘Eh, kiranya kalian Ciok- si-sam-hiong (tiga jagoan keluarga Ciok) juga berada disini. Selamat bertemu. Ayahku seringkali bicara tentang kalian kepadaku.”

Sementara itu penyambut tamu keluarga Seng lantas maju memapak para tamunya, terhadap pemuda she Pek itu tampaknya menaruh hormat lebih tinggi.

Setelah melompat turun dari kudanya, Pek-kongcu itu lantas berkata: “harap kuda ini diberi perawatan yang baik, setelah mengikuti upacara segera aku akan berangkat.”

“Ai, kenapa ter-buru2, silahkan Pek-kongcu tinggal barang dua-tiga hari lagi agar majikan kamu sempat melakukan kewajiban sebagai tuan rumah yang layak,” kata penyambut tamu keluarga Seng tadi.

“Sebenarnya aku ada urusan harus pergi ke Sohciu, kebetulan lewat sini dan mendengar tuan muda kalian menikah, maka sengaja mampir buat memberi selamat,” kata Pek-kongcu.

“Jika begitu, baiklah kami pasti akan menjaga kuda tuan yang baik,” kata penyambut tamu itu. Sambil ikut dibelakang mereka segera Kok Ham-hi bermaksud masuk kedalam, tapi penyambut tamu itu telah berkata: ‘Pek-kongcu, Ciok-toako, apakah sobat ini adalah rombongan kalian?” “Siapa tahu dia siapa? Tak kenal,” kata slah seorang laki2 berbaju hitam yang dipanggil sebagai Ciok-toako itu dengan angkuh.

Sebaliknya sipemuda baju putih memandang sejenak kepada Kok Ham-hi, ia rada heran dan menjawab: “Akupun tidak kenal. Numpang tanya, siapakah nama saudara yang terhormat ini?” Rupanya dari sorot mata tajam itu ia dapat melihat Kok Ham-hi bukanlah sembarangan tamu, sebab itulah ia berbicara dengan cukup ramah.

“Ah, aku hanya seorang tabib keliling saja, namaku yang rendah tiada harganya untuk diketahui,” sahut Kok Ham-hi.

Mendengar Kok Ham-hi tiada sangkut pautnya dengan para tamunya, para penjaga keluarag Seng itu lantas maju menghalanginya. Sementara itu Pek-kongcu dan ketiga saudara Ciok sudah tinggal masuk kedalam tanpa pedulikan Kok Ham-hi lagi.

“Persetan, kau ini pengemis dari mana, berani main gila kesini?” demikian para budak keluarga Seng lantas mem-bentak2.

”Eh, majikan kalian sedang pesta-pora, aku datang memberi selamat, kenapa kalian tidak mengizinkan aku masuk?” ujar Kok Ham-hi.

Ketika itu Pek-kongcu dan Ciok-si-sam-hiong yang sudah masuk keruangan dalam itu sedang bicara dengan para kenalan yang menyongsong kedatangan mereka. Tiba2 dari percakapan mereka sayup2 Kok Ham-hi mendengar ada kata2 “kawin paksa”, ia tergerak dan cepat pasang telinga.

Kiranya Ciok-loji, yaitu orang kedua dari Ciok-si-sam-hiong itu sedang berbicara dengan seorang temannya dipojok pintu masuk. Dengan ketajaman pendengaran Kok Ham-hi, samar2 ia masih dapat mengikuti percakapan mereka itu.

Terdengar Ciok-loji sedang tertawa dan berkata: “Wah, sungguh kejadian sama yang sangat kebetulan!”

Saat itu para budak keluarga Seng sedang memaki dan menghalangi Kok Ham-hi sehingga satu kalimat pembicaraan mereka itu tak terdengar jelas. Tapi menyusul terdedngar lagi orang itu lagi berkata: “O, kiranya disana juga terjadi peristiwa yang sama.”

“Ya, Seng-cengcu berarti juga Oh-ciok-cengcu, makanyaaku bilang kejadian serupa yang sangat kebetulan!” terdengar Ciok-loji menanggapi.

Dalam pada itu kawanan budak keluarga Seng menjadi murka melihat Kok Ham-hi tidak gubris kepada mereka, dengan bengis mereka memaki: “Keparat, apakah kau berlagak dungi? Lekas enyah,” ~ Berbareng itu seorang lantas hendak mendorong Kok Ham-hi.

Tak terduga yang didorong tidak apa2, sebaliknya budak itu sendiri lantas jatuh terjungkal. Rupanya melihat keadaan sudah gawat, Kok Ham-hi telah ambil keputusan akan masuk kedalam secara paksa saja. Maka dengan sedikit sengkelit saja budak yang hendak mendorongnya itu sudah dibikin terguling.

Sambil menggeletak dilantai, budak garang itu masih memaki: “Keparat, kau berani memukul orang!”

“Jangan kuatir, bila kau terluka, sebentar akan kuberi obat,” kata Kok Ham-hi dengan tertawa. Ketika kedua tangannya bekerja pula, kembali beberapa orang budak dibikin terjungkal, lalu ia menerobos kedalam. Budak2 yang lain menjadi jeri dan tidak berani mendekat, mereka hanya ber- teriak2 saja, tapi tidak berani mengejarnya.

Kebetulan saat itu lantas terdengar riu hramai petasan, ruangan upacara juga bergema suara musik, sepasang mempelai sedang melakukan upacara nikah.

Karena itu suara ribut2 didepan menjadi tenggelam oleh suara petasan dan bunyi musik, orang didalam tidak tahu apa yan gterjadi diluar, disangkanya cuma urusan kecil saja, maka tiada orang yang keluar mengurusnya.

Ditengah suara riuh ramai dan mengepulnya asap petasan, segera Kok Ham-hi menyusup diantara orang banyak dan mendesak sampai di ruangan upacara, ia coba mencari Ciok-loji, tapi tidak kelihatan, hanya terdengar Ciok-lotoa sedang berkata: “Kita datang tepat pada waktunya, malahan tadi aku kuatir terlambat.”

“Sebenarnya upacarasudah harus berlangsung tepat lohor tadi, kabarnya pengantin perempuan tidak mau keluar, maka tertunda sampai sekarang,” terdengar seorang menimbrung disampingnya.

Diam2 Kok Ham-hi membatin: “Pengantin perempuan mau keluar melakukan upacara nikah, besar kemungkina bukanlah Giam Wan. Tapi sudah terlanjur datang kesini, betapapun urusan ini harus kuselidiki hingga jelas.”

Belum lenyap pikirannya, tertampak sepasang pengantin baru sudah keluar bersama, pengantin perempuan diapit oleh dua perempuan pengiring dari kanan kiri, jelas dipapah keluar secara paksa. Maka pembawa acara mulai berseru menyebutkan upacara nikah, sepasang mempelai diharuskan berlutut dan menyembah. Sampai disini, mendadak suara seruannya berubah menjadi suara jeritan aget, rupanya Kok Ham-hi telah melompat keluar dari tengah2 tetamu, secepat kilat ia menyelinap ke-tengah2 pasangan pengantin itu.

Pembawa acara itu adalah seorang guru sekolah desa yang sudah tua, ketika mendadak melihat wajah Kok Ham-hi yang seram itu, tanpa dipukul dia sudah jatuh pingsan.

Setelah berdiri di tengah2 pasangan pengantin itu, sebelah tangan Kok Ham-hi mencengkeram pengantin laki2, tangan lain terus menarik kain kerudung pengantin perempuan dengan hati ber- debar2. Tapi setelah kerudung pengantin perempuan itu tersingkap, ia menjadi sangat kecewa, ternyat pengantin perempuan itu memang bukan Giam Wan.

Ketika mendadak melihat wajah Kok Ham-hi yang menakutkan itu, pengantin perempuan itu juga menjerit kaget dan muka pucat, hanya saja dia sudah kenyang tersiksa selama beberapa hari ini, perasaannya sudah beku, biarpun takut juga tidak sampai pingsan seperti si guru sekolah yang tua itu.

Kok Ham-hi lantas berkata kepadanya: ‘kau jangan takut,aku datang untuk menolong kau. Rumahmu berada dimana? Apakah kau masih punya ayah-ibu?”

“Hayo,lekas kalian bekuk “ dengan kejut dan gusar Seng-cengcu lantas membentak, tapi

mendadak teringat putra kesayangannya berada dalam cengkeraman penyatron itu, terpaksa ia harus pikir dua kali dan cepat ganti suara memohon: ‘Eh, tahan dulu, sobat, tahan dulu,kau menginginkan apa, silahkan bicara saja, asalkan jangan bikin susah puteraku itu.”

“Sebenarnya aku hendak binasakan putramu ini,” kata Kok Ham-hi. “Jika kau ingin kuampuni jiwanya, maka kau harus tunduk kepada perintahku!”

“Ba …..ba… baiklah, silahkan tuan bicara dan tentu akan kuturuti,” jawab Seng-cengcu dengan

gugup.

“Memangnya kau berani membangkang!” jengek Kok Ham-hi. Baru saja ia hendak menguraikan syaratnya, se-konyong2 ada angin tajam menyamber dari belakang. Kiranya dua orang telah menyambitkan senjata rahasia ke arahnya, sebuah Tau-kut-ting (paku penembus tulang_ dan sebuah Oh-tiap-piau (piau kupu2) berbareng menghantam Hiat-to bagian punggungnya.

Tapi punggung Kok Ham-hi laksana punya mata, tanpa menoleh, mendadak tangan menyelentik kebelakang, terdengar suara “crang-creng” dua kali, kedua senjata rahasia itu menyambe balik kesana dan kontan senjata makan tuan. Tau-kut-ting menancap dibatok kepala orang. Oh-tiap-piau juga bersarang di batok kepala seorang lagi, tanpa ampun kedua penyerang gelap itu terbinasa oleh senjata rahasianya sendiri.

“Hayolah, siapa yang sudah bosan hidup boleh coba2 lagi!” seru Kok Ham-hi dengan mendengus. Keluarga hartawan Seng itu biasanya sangat ditakuti didaerah kekuasaannya, sebab Seng-cengcu itu mempunyai hubungan rapat dengan pejabat setempat dan bergaul pula dengan tokoh2 kalangan hitam. Sekarang diantara tamu2 undangannyasebagian besar juga mahir ilmu silat. Tapi demi nampak betapa lihainya Kok Ham-hi semuanya menjadi kuncup dan ketakutan. Yang bisa menahan diri masih coba berdiam di situ untuk menanti perkembangan selanjutnya. Tapi ada sebagian tamu yang bernyali kecil sudah lantas berebut melarikan diri keluar.

Di tengah suasana ribut itu, Kok Ham-hi mendengar suara seorang menjengek: ‘hm, memaksa orang dengan sandera, terhitung orang gagah macam apa?” ~ Pembicara ternyata bukan lain daripada si pemuda she Pek tadi. Kok Ham-hi balas menjengek, se-konyong2 ia dorong pergi si pengantin laki2, lalu ia melayang cepat kesana untuk mengadang di depan orang banyak, ia berdiri ditengah ambang pintu. Kebetulan saat itu ada dua perwira yang sedang lari keluar ruangan, kedua tangan Kok Ham-hi bergerak dari jauh, ia kerahkan “Thian-lui-kang” yang dahsyat, terdengar suara “blang-blang” dua kali kedua perwira itu kontan terguling ke bawah undak2an gedung dan menggeletak tak berkutik lagi. Tanpa ampun mereka telah binasa oleh tenaga pukulan Kok Ham-hi dari jauh itu.

Sambil mengadang diambang pintu, lalu Kok Ham-hi membalik tubuh, kedua tangan nya mencengkeram dengan cepat dan dilemparkan ber-turut2 sepeti elang menyambar anak ayam saja, satu tangan satu orang, orang2 yang ber-jubel2 diambang pintu hendak melarikan diri itu telah dilemparkan kembali kedalam ruangan, dalam sekejap saja sudah belasan yang dilemparkan secara demikian.

“Satupun tidak boleh lari!” bentak Kok Ham-hi. “Siapa yang berani lari , kedua perwira itu adalah contoh kalian!”

Melihat keperkasaan Kok Ham-hi, yang lain2 menjadi ketakutan dan terpaksa mencari tempat sembunyi disana sini.

“Hm, hendak lari saja tidak boleh, sungguh terlalu,” kata pemuda she Pek tadi.

“Memang, belum pernah kulihat orang segarang dia, marilah kita maju berbareng untuk bereskan bocah itu,” ajak Ciok-lotoa dengan gusar.

Akan tetapi banyak diantara hadirin itu sudah jeri dan pecah nyalinya oleh ketangkasan Kok Ham- hi itu, maka tiada seorangpun yang menanggapi ajakan Ciok-lotoan itu. Bahkan pemuda she Pek yang dianggap berkepandaian paling tinggi itupun tidak memberi sambutan atas usul Ciok-lotoa itu, soalnya diapun merasa mengalahkan Kok Ham-hi jika satu lawan satu, sebaliknya kalau main kerubut sebagaimana ajakan Ciok-lotoa itu ia merasa akan menurunkan derajatnya, maka dari itu ia anggap tidak dengan kata2 Ciok-lotoa tadi, sebaliknya ia mendekati pengantin laki2 yang dilempar pergi oleh Kok Ham-hi tadi dan berusaha membuka hiat-to yang tertotok. Tak terduga totokan Kok Ham-hi itu adalah cara perguruannya yang khas, betapapun pemuda she Pek itu tidak mampu membuka hiat-to yang tertotok itu.

Setelah tiada seorangpun yang berani terima tantangannya, lalu Kok Ham-hi mendekat sipemuda she Pke,katanya: ‘Hm, kau anggap aku terlalu garang dan menggunakan tawanan untuk emnggertak, sekarang tawananku telah berada ditanganmu, mengapa kau tidak mampu menyelamatkan dia?”

“Apa maksudmu?” jawab pemuda she Pek itu terpaksa.

“Cobalah pukulanku ini!” bentak Kok Ham-hi sambil sebelah tangannya menolak kedepan.

Cepat pemuda she Pek mengerahkan segenap tenaganya dan menangkis dengan kedua tangan. Akan tetapi mana dia sanggup menahan kekuatan Thian-lui-kang yang dahsyat itu, ketika tenaga kedua pihak kebentur, Kok Ham-hi tidak goyah sedikitpun, sebaliknya pemuda she Pek tanpa kuasa tergentak sempoyongan kebelakang beberapa langkah.

Melihat lawannya tidak tergetar jatuh, diam2 Kok Ham-hi mengakui kekuatan lawan itu tidaklah lemah. Kalau bertambah lagi seorang lawan yang sama kuatnya seperti itu mungkin akan sukar dilayani nanti.

Sebaliknya setelah menyambut tenaga Thian-lui-kang secara paksa, dada pemuda she Pek itu se- akan2 digontok oleh palu raksasa, untuk sejenak ia tidak berani buka suara dan maju lagi.

Melihat gelagat jelek, Seng-cengcu, tuan rumahnya, hampir2 menangis ketakutan, ber-ulang2 ia minta ampun: ‘Orang gagah, harap sudi memneri kelonggaran, janganlah kami dipukul lagi. Apa yang tuan kehendaki pasti akan dituruti.”

“Dari mana kau menculik nona ini, aku ingin segera kau memulangkan dia,” kata Kok Ham-hi. “Baiklah, ayahnya sekarang juga berada disini, segera kusuruh dia membawanya pulang,” kata Seng-cengcu.

DAlam pada itu sipengantin perempuan telah dapat tenangkan diri, ia merasa bersyukur setelah mengetahui Kok Ham-hi bermaksud menolongnya, cepat ia memberi hotmat dan mengucapkan terima kasih. Dari tengah2 orang banyak lantas tampil juga seorang tua dengan air mata ber- linang2, melihat orang tua itu, sipengantin perempuan lantas memburu maju dan merangkulnya sambil berseru: “Ayah” ~ Kedua ayah beranak itu seketika salaing berpelukan dan menangis sedih. “Sudahlah kalian jangan menangis lagi,” seru Kok Ham-hi. “Kalian berasal dari mana, mengapa anak perempuan kena dogondol kesini olehnya?”

“Aku adalah seorang siucay miskin, berasal dari Jingjiu, bersama anak perempuanku sebenarnya kami bermaksud mencari kerjaan ketempat sanak pamili di Sohciu, tak terduga sampai disini kami telah diculik oleh mereka, bahkan aku dipaksa membikin surat penjualan anak perempuanku,” demikian tutur orang tua itu.

Dengan gusar Kok Ham-hi lantas berkata: “Nah bangsat she Seng, sekarang juga kau kembalikan bukti kontrak penjualan anak perempuannya itu, selain itu kau harus memberi ganti rugi sepuluh tahil emas kepada mereka.”

“Baik, baik tuan,” sahut Seng –cengcu, lekas2 ia perintahkan pembantunya melaksanakan apa yang diminta oleh Kok Ham-hi itu.

“Aku tidak ingin emasnya, hanya ingin kembalinya anak perempuanku,” kata orang tua tadi. “Harta yang tidak halal, apa halangannya diambil, boleh kau menerimanya buat modal usaha kelak,” kata Kok Ham-hi. Habis itu, ia coba periksa sekeliling ruangan itu, pelahan2 ia mendekati meja sembahyangan yang terletak di-tengah2 ruangan besar itu.

Diatas meja sembahyang itu tersulut sepasang lilin besar, banyak barang2 sesajian pula, sekaligus Kok Ham-hi menyapu barang2 sesajian itu sehingga jatuh berserakan memenuhi lantai, lilin dicabutnya dan dibuang, lalu ia angkat sebelah tangannya dan berkata: ‘Bangsat tua she Seng, coba pentang matamu lebar2, lihatlah yang jelas ini!”

Ketika tangan memukul, terdengar suara gemuruh meja yang terbuat dari kayu cendana yang keras itu tidak bergerak. Hal ini rada diluar dugaan orang padahal sekali hantam saja tadi Kok Ham-hi telah membinasakan dua perwira, sekarang hantamannya ternyata tak bisa menghancurkan meja. Belum habis pikir, tiba2 terdengar suara gemeretak yang ramai, mendadak meja sembahyang tadi roboh verserakan menjadi keping2an kecil.

Kiranya Kok Ham-hi telah menghantam meja itu dengan Thian-lui-kang yang ampuh, tenaga pukulannya menjalar sekeliling meja secara bergelombang, sebab itulah meja itu baru hancur sejenak kemudian. Keruan semua orang ternganga dan ketakutan.

“Nah, bangsat she Seng, sudah lihat jelas tidak. Sekiranya kau berkepala batu juga tak lebih keras daripada meja ini,” jengek Kok Ham-hi. “Selanjutnya jika kau berani membikin susah lagi kepada mereka ayah beranak, maka aku pasti hancurkan kepalamu, bahkan kubabat habis seluruh anggota keluargamu tanpa kecuali.”

Dengan ketakutan Seng-cengcu lantas berlutut dan menyembah, katanya: “Tidak berani, pasti tidak berani!”

“Memangnya kau berani?” jengek Kok Ham-hi. “Sekarang buka pintu lebar dan antar keberangkatan mereka ayah beranak!”

Setelah orang tua itu dan anak perempuannya pergi, lalu Kok Ham-hi berkata pula: ‘Kekayaanmu kau peroleh secara tidak halal, kau suka meninda rakyat jelata, mestinya aku binasakan kau, tapi sementara ini biarlah kuampuni kau, kau dihukum memberi sedekah kepada fakir miskin tiga ribu tahil perak, dalam waktu tiga hari hal ini harus kau laksanakan, bilamana kau tidak menurut maka jiwamu akan segera melayang.”

Ber-ulang2 Seng-cengcu menjura dan menyatakan akan taat kepada perintah itu.

Selesai menjatuhkan hukuman kepada Seng-cengcu, kemudian Kok Ham-hi bicara kepada para tamu: “Sekarang kalian boleh pergi. Cuma ada seorang diantara kalian harus tetap tinggal disini!” ~ Mendadak ia mendelik dan menuding seorang yang berdiri di pojok sana dan berkata pula: ‘Ciok- loji, kau yang tinggal disini,aku ingin tanya sesuatu padamu.”

Rupanya tujuan Kok Ham-hi melarang keluarnya para tamu ituadalah kuatir Ciok-loji melarikan diri dalam kekacauan tadi. Keruan Ciok-si-sam-hiong menjadi terkejut dan mendongkol pula, mereka tidak tahu apa maksud Kok Ham-hi dengan menahan Ciok-loji disitu.

Tetamu lain segera berebut meninggalkan tempat pesta itu, tiada seorangpun yang ambil pusing kepada ketiga saudara she Ciok itu.

Tiba2 pemuda she Pke tadi berkata: ‘Ciok-toako, kita ada untung dirasakan bersama, ada malang dipikul bersama.

Maklumlah, ayah pemuda she Pek itu adalah seorang tokoh yang ternama didunia persilatan, dirumahnya dia sudah biasa disanjung puji, kini kena dihajar oleh Kok Ham-hi sudah tentu ia tidak rela dihina mentah2. Ia pikir Ciok-si-sam-hiong meski bukan jago kelas satu,tapi kalau mereka bertiga mau membantunya mungkin akan mampu menandingi orang galak bermuka buruk ini.

Begitulah Kok Ham-hi lantas menanggapi: “Aku hanya ingin tanya sesuatu kepada Ciok-loji, tapi kalau kalian bermaksud menantang berkelahi padaku, maka akan kugunakan kesempatan ini untuk menghajar ada kepada kalian. Nah, majulah lekas tidak perlu banyak omong!”

Karena Kok Ham-hi telah menyatakan hendak menghajar adat kepada mereka, dalam keadaan kepepet terpaksa Ciok-si-sam-hiong menerima tantangan itu. Segera mereka berdiri sejajar, Ciok- lotoa lantas berkata: ‘Manusia punya muka, pohon punya kulit, saudara sesungguhnya terlalu menghina orang, memangnya kami bertiga lantas takut padamu. Namun kita selamanya tiada permusuhan apa2, bilamana kami kalah, bolehlah kau tanya apa yang kau kehendaki, sebaliknya kalau saudara kalah,kamipun takkan bikin susah padamu, hanya urusan kami hendaklah kau jangan ikut campur!” ~ Biarpun keras mulutnya, namun nadanya lemah dan hati sudah jeri.

Kok Ham-hi bergelak tertawa, katanya: “Baik, baik! Kalian mengaku sebagai sam-hiong, aku justru ingin tahu apakah kalian benar2 jagoan atau betina. Nah, mulai!”

Baru saja Kok Ham-hi mengucapkan “mulai”, berbareng ketiga saudara Ciok itu lantas menerjang maju. Tiga buah toya dan tiga buah gelang emas menghantam sekaligus kearah Kok Ham-hi.

Toya dan gelang adalah senjata has yang dilatih dengan tekun dan selama ini digunakan Ciok-si- sam-hiong untuk malang melintangdi daerahnya. Tangan kiri gelang besar dan tangan kanan memegang toya, kedua macam senjata yang berbeda jauh itu dapat bekerja sama dengan rapat sekali, benar2 sejenis ilmu silat yang lain daipada yang lain.

Melihat dua macam senjata yang aneh itu, mau ta mau Kok Ham-hi terkesiap juga, diam2 ia waspada da tidak berani meremehkan lawan.

Sedangkan pemuda she Pek tadi juga tidak tinggal diam, bahkan ia lebih licik daripada Ciok-si- sam-hiong, Ketika Kok Ham-hi bicara tadi,diam2 ia sudah siap siaga. Begitu Ciok-si-sam-hiong mulaui bergerak,berbareng iapun menggertak sambil menggeser kebelakang Kok Ham-hi dengn

cepat, dengan jurus “Yu-liong-tam-jiau” (naga meluncur menjulur cakar), kelima jarinya yang mirip kaitan terus mencengkeram ke Tay-cui-hiat dipunggung Kok Ham-hi. Hiat-to ini kalau sampai tercengkeram, betapapun lihai ilmu silatnyajuga akan lumpuh dan tidak bisa berkutiklagi.

Akan tetapi Kok Ham-hi tidak gampang kecundangbegitu saja, ditengah samberan angin pukulan dan bayangan toya, tiba2 terdengar suara “blang” yang keras, Kok Ham-hi mendak kebawah,peti obat yang digendongnya itu terus melayang satu kitaram diatas kepala, tiga buah toya Ciok-si-sam- hiong kena mengemplang diatas peti obat sehingga pti itu hancur.

Sedangkan cengkeraman pemuda she Pek tadi tampaknya sudah hampir kena sasarannya, tahu2 Kok Ham-hi mendak kebawah sehingga cengkeramannya Cuma selisih beberapa senti saja. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa Kok Ham-hi sudah membaliki sebelah tangannya terus menangkap pergelangan tangan lawan, mau tak mau pemuda she Pek melompat mundur kalautidak mau tertawan.

Setelah peti obat pecah, pedang Kok Ham-hi yang tersimpan didalam peti lantas jatuh kelantai, sekali kaki Kok Ham-hi mencungkit, pedang itu mencelat keatas dan tepat kena ditangkapnya, sebelum pedang dilolos dari sarungnya, segera ia gunakan dulu untuk menangkis ketiga toya lawan yang sementyara itusudah menyerang pula.

Sementara itu sipemuda she Pek sudah mengeluarkan senjatanya sejenis golok tebal, serunya: ‘Baiklah, akan kucoba lagi ilmu pedangmu!” ~ Rupanya ia sudah jeri terhadap ilmu pukulan Kok Ham-hi tadi, kini ia berharap dapat memperoleh kemenangan dalam hal ilmu gogloknya yang sudah terlatih.

Sudah tentu Kok Ham-hi tidak gentar, dengan tertawa ia lantas lolos pedangnya, sekali putar, seketika sinar perak gemerdep menyilaukan mata, Ciok-si-sam-hiong dan pemuda she Pke itu sama2 mundur satu tindak karena merasakan sinar perak yang tajam itu.

Diam2 pemuda she Pek itu rada mengkeret, sungguh tidak nyana ilmu pedang lawan juga sehebat ini. Lekas2 ia menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berkelit, menubruk, lalu menggeser lagi kesamping, ia terus melompat kesana sini, bila ada kesempatan baru balas menyerang, sedapat mungkin ia menghindari gebrakan langsung dengan Kok Ham-hi.

Ilmu golok pemuda she Pek disebut “Yu-sin-pat-kwa-to”, ilmu golok Pat-kwa, permainan ilmu golok ini mengutamakan kecepatan dan kegesitan. Sebenarnya ilmu pedang Kok Ham-hi juga terkenal gerak serangan yang aneh, tapi ber-turut2 beberapa kali serangannya ternyata dapat dihindarkan pemuda itu. Diam2 Kok Ham-hi berpikir harus ganti siasat, lebih dulu Ciok-si-sam- hiong dibereskan baru nanti melayani lagi pemuda she Pek itu.

Sekali bersuit panjang, mendadak ia menerjang kearah Ciok-si-sam-hiong secara menbadai, tanpa menghiraukan lagi pemuda she Pek. Begitu keras serangan pedangnya sehingga beberapa bagian kekuatan Thian-lui-kang sudah tersalur keujung pedangnya, maka ketika golok sipemuda she Pek mencapai lingkaran sinar pedangnya lantas terguncang pergi.

Kok Ham-hi menambah tenaga dalamnya, gerak pedangnya dari cepat menjadi lambat, ujung pedang se-akan2 diganduli benda berat, sebentar menusuk kekanan dan lain saat menabas kesini, tampaknya tidak selihai permulaan, tapi kekuatannya bertambah lipat ganda, asal kebentur ujung pedangnya tentu tangan tergetar dan napas sesak.

Dengan tiga toya mereka, Ciok-si-sam-hiong bertahan dengan rapat, namun kerja sama mereka yang bagus itu ternyata tidak tahan oleh terjangan tenaga dalam Kok Ham-hi. Tidak antara lama ketiga saudara itu sudah mandi keringat dan naps ter-engah2.

Melihat sudah tiba waktunya, se-konyong2 Kok Ham-hi membentak: “Kena!” ~ Tahu2 pedangnya menusuk masuk ketengah gelang emas Ciok-loji dan tepat mengenai pergelangan tangannya. “Trang”, gelang emas yang besar itu jatuh kelantai, Ciok-lotoa dan Ciok-losam terkejut, sepasang gelang dan dua toya mereka segera menyerang berbareng, akan tetapi barisan serangan mereka sudh kehilangan sebuah gelang emas, mana mampu menahan serangan Kok Ham-hi yang dahsyat itu.

Terdengar suara “crat-cret” ber-ulang2, sekali menabas, kontan pedang Kok Ham-hi membikin kedua toya lawan terkutung. Menyusul jarinya menotok secepat kilat, hanya sekejap saja hiat-to ketiga orang lawan sudah tertotok.

Pemuda she Pek tadi sungguh sangat licin, begitu melihat gelagat jelek, segera ia menerjang keluar pintu, setelah dipelataran luar ia lantas berseru: “Ilmu pedang saudara sungguh hebat, aku sangat kagum! Mohon tanya siapa nama saudara yang terhormat?”

Rupanya pemuda itu mengira setelah lari keluar pintu, Kok Ham-hi yang sibuk membereskan Ciok- si-sam-hiong tentu tidak keburu mengejarnya, maka dia pura2 tanya nama orang segala untuk menutupi kekalahannya.

Tak terduga, cara Tiam-hiat Kok Ham-hi cepat luar biasa, begitu Ciok-si-sam-hiong ditotok roboh, baru saja pemuda she Pek itu lari keluar, tahu2 iapun sudah mengejar tiba.

“Hehe, untuk apa kau tanya namaaku, maksudmu hendak menuntut balas di kemudian hari bukan? Haha, tidak perlu repot2, sekarang juga aku sudah datang kepadamu!” jengek Kok Ham-hi ebgitu muncul di depan pintu.

Keruan kejut pemuda she Pek tak terhingga, tak tersangka olehnya Kok Ham-hi bisa datang sedemikian cepat. Semula ia bermaksud lari kekandang kuda untuk mencari kuda sendiri, tapi kini ia tidak sempat lagi. Melihat datangnya Kok Ham-hi, lekas2 ia cemplak keatas seekor kuda yang berada disitu terus dilarikan secepatnya.

Agaknya saking banyaknya tetamu, kandang kuda keluarga Seng menjadi penuh dan tidak muat, banyak kuda para tamu terpaksa ditambat dipelataran depan, sebab itulah pemuda she Pek sempat melarikan diri dengan seekor kuda rampasan.

Kok Ham-hi bergelak tertawa melihat pemuda itu melarikan diri dengan seekor kuda jelek, maka iapun tidak mengejer lebih jauh melainkan berseru: “Kau minta tanya namaku, tapi aku cukup minta kau tinggalkan kudamu saja!”

Rupanya ia telah penujui kuda putih sipemuda she Pek yang bagus itu, maka sengaja pura2 mengejar keluar untuk menakut2i saja. Kini ia perlu kembali kedalam untuk menanyai keterangan Ciok-loji, sudah tentu ia tidak ingin mengejar sipemuda she Pek.

Setiba kembali di ruangan tengah, Ciok-si-sam-hiong sedang me-rintih2 payah. Ciok-lotoa memohon dengan suara lemah: ‘maafkan atas kecerobohan kami, ampuni kesalahan kami, orang gagah!”

“Sudah tentu aku mau mengampuni kalian, Cuma seperti kataku tadi, aku hanya ingin minta keterangan kepadamu, apa yang kutanya kalian harus katakan sejujurnya, tidakboleh bohong atau kubinasakan kalian!” kata Kok Ham-hi.

“Silahkan tuan tanya, kami pasti akan bicara sejujurnya,” sahut Ciok-lotoa.

Setelah membuka Hiat-to ketga tawanan itu, lalu Kok Ham-hi bertanya: “Ciok-loji, tadi kau bicara dengan kawanmu tentang sesuatu kejadian yang sangat kebetulan dan serupa, apa maksudnya kejadian serupa itu?”

Ciol-loji terkejut, pikirnya: “Aneh, obrolanku dengan si Han kuda cepat dengan suara pelahan tadi kenapa bisa didengar olehnya?”

Mestinya peristiwa itu tidak boleh dikatakan kepada sembarang orang, tapi dibawah ancaman Kok Ham-hi, terpaksa Ciok-loji harus cari selamat lebih dulu. Setelah tenangkan diri barulah ia berkata: “Ya, dijalanan utara antara Hopk dan Soasay juga terjadi suatu peristiwa yang serupa dengan kejadian disini.”

“seorang kawan kalangan hek-to disana juga telah berhasil merampas seorang perempuan,” Ciok- loji menambahkan.

“Siapakah kawan kalangan hitam yang kau maksudkan itu?” tanya Kok Ham-hi.

“Seorang Tosu,” tutur Ciok-loji. “Dia juga biasa melakukan perdagangan tanpa modal dikalangan Hek-to seorang diri.”

Apa yang dia maksudkan adalah perbuatan merampok, membegal, artinya Tosu yang dikatakan itu adalah seorang bandit.

“Oh-ciok Tojin bukan maksudmu?” tanya Kok Ham-hi. Nama ini didengarnya dari Ci In-hong. “Benar, memang Oh-ciok Totiang adanya,” sela Ciok-losam. “Apakah tuan kenal dia?” Ia menyangka Kok Ham-hi ada hubungan baik dengan Oh-ciok Tojin, diam2 ia merasa girang.

Tapi Kok Ham-hi lantas menjengek, sahutnya: “Ya, memang aku kenal dia, aku sedang mau cari dia!”

Melihat air muka Kok Ham-hi yang berubah itu, Ciok-lotoa tahu gelagat jelek, cepat ia menyambung: “Tosu bau busuk itu memang suka berbuat sembrono, kami sering mengutuk perbuatannya. Seperti sekali ini, ia menggondol lari anak perawan orang, perbuatannya ini terang tidak pantas.”

Ciok-losom yang lebih muda dan ke-tolol2an itu belum mengetahui akan maksud ucapan saudaranya itu, dia malah merasa tidak adil bagi Oh-ciok Tojin, segera ia berkata: “Meski Oh-ciok Tojin suka berbuat se-wenang2, tapi biasanya dia bukan manusia yang suka kepada perempuan.

Konon menurut apa yang kudengar, katanya perempuan yang dia rampas itu bukan untuk diri sendiri melainkan akan dipersembahkan kepada orang lain. Orang yang inginkan perempuan itupun tidak bermaksud hendk mencemarkan kehormatan tawanannya itu.”

“Pendek kata seorang Tosu betapapun tidak pantas berbuat begitu,” ujar Ciok-lotoa sambil melototi saudaranya.

“Sudahlah, kalian hanya perlu katakan apa saja yang kalian tahu, tak perlu urus baik buruk pribadinya Oh-ciok Tojin,” sela Kok Ham-hi dengan tidak sabar. “Nah, Ciok-losam, coba kau saja yang bicara. Oh-ciok Tojin merampas perempuan itu untuk dipersembahkan kepada siapa?” “Kabarnya hendak disumbangkan kepada Toh-cecu di Hui-liong-san,” jawab Ciok-losam. Diam2 Kok Ham-hi terperanjat. Segera iapun berkata dengan suara keras: “Perempuan itu she Giam bukan?”

“O,kiranya engkau sudah tahu juga,” ujar Ciok-losam.

“Memangnya kau kira aku tidak tahu?” kata Kok Ham-hi. “Aku cuma ingin tahu apakah pengakuan kalian ini cocok tidak dengan apa yang kuketahui. Aku ingin tahu apakah kalian berbohong atau tidak.”

“Ya, ya,” sahut Ciok-losam dengan ter-sipu2. “Konon perempuan itupun orang dunia persilatan, putri Cwan-say-tayhiap Giam Seng-to.”

Dari tadi Kok Ham-hisebenarnya sudah menduga perempuan yang dimaksudkan itu pasti giam Wan adanya, kini keterangan itu ternyata cocok dan tidak urung iapun terkejut pula, tanpa terasa ia bertanya: “Cara bagaimana dia sampai tertawan oleh Tosu keparat itu.”

“ya, mula2 Oh-ciok Tojin bahkan hampir kecundang oleh nona itu, kemudian dia menggunakan senjata rahasia pembius barula nona Giam kena tertawan,” tutur Ciok-loji.

Ciok-lotoa memang pintar melihat gelagat, dari sikap Kok Ham-hi yang terkejut dan cemas itu ia dapat menduga Kok Ham-hi pasti mempunyai hubungan akrab dengan nona itu, demi untuk mengambil hati Kok Ham-hi, segera ia berkata: “Kemarin dulu kami bertemu dengan Oh-ciok Tojin diluar kota Sohciu, dia mengatakan hendak mengantar perempuan itu ke Hui-liong-san untuk diberikan kepada Toh-cecu. Kalau disusul dari sini dengan kuda yang baik rasanya masih dapat menyusulnya sebelum dia mencapai Hui-liong-san. Biarpun teman sendiri, sebenarnya kamipun tidak menyetujui perbuatan terkutuk seperti dia itu. Cuma sayang kepandaian kami selisih jauh dengan dia, kalau tidak tentu akupun akan memebri hajaran padanya.”

“Biar dia sudah sampai ujung langit juga akan kususul dia,” kata Kok Ham-hi dengan mengertak gigi.

“bagus, sungguh seorang pendekar sejati, jika engkau menyusulnya sekarang tentu masih keburu mencegatnya ditengah jalan. Eh, Seng-cengcu, lekas kau siapkan seekor kuda pilihan bagi tuan ini!” seru Ciok-lotoa. Bicaranya seperti memuji Kok Ham-hi, ia sendiri lupa bahwa kedatangannya ini justru menghadiri pesta perkawinan paksa dengan pengantin perempuan berasal dari rampasan.

Ciok-losam yang ke-tolol2an itu mendadak berseru: “He, Lotoa, mengapa kau bicara begitu, sebagai teman tentu kita kenal pribadi Oh-ciok Tojin, meski dia yang menangkap nona Giam itu, tapi biangkeladinya adalah Toh-cecu dari Hui-liong-san. Tuan pendekar budiman, aku ingin mohon sesuatu padamu.”

“Tak perlu kau buka mulut, aku tahu kau ingin minta aku mengampuni Tosu busuk itu bukan? Tidak bisa, takkan kululuskan permintaanmu!” kata Kok Ham-hi. Meski dia gemas terhadap Oh- ciok Tojin, tapi dalam hati rada suka kepada Ciok-losam yang ke-tolol2an tapi polos itu.

Mengapa Giam Wan sampai tertawan oleh Oh=ciok Tojin dan bagaimana nasibnya nanti setiba di Hui-liong-san?

Cara bagaimana Kok Ham-hi menyusul ke Hui-liong-san dan menolong Giam Wan?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar