Pahlawan Gurun Jilid 10

 
Jilid 10

Pertanyaan Ci In-hong tentang hubungan Bing-sia dengan Nyo Wan menimbulkan kecemasan Bing-sia pula terhadap keselamatan Nyo Wan, terpaksa ia hanya mengangguk saja karena tidak enak untuk menceritakan hal likhwal kesalah pahaman Nyo Wan itu. Terdengar Ci In-hong berkata pula: “Nona Beng, engkau simpatik sekali terhadap teman!” “Kau sendiri juga,” sahut Bing-sia dengan tersenyum. “Coba kau tidak membantu aku, saat ini

manabisa terjadi aku dalam perjalanan bersama kau, tentu sejak tadi2 diriku sudah diringkus oleh Yang Kian-pek.”

“Ah, kembali kau sungkan2 lagi padaku,” ujar In-hong dengan rasa hangat. “Eh kembali turun salju, kau dingin tidak?”

“Memangnya kau anggap aku sebagai putri pingitan yang tak tahan angin?” sahut Bing-sia dengan tertawa. “Pemandangan salju justru sangat menarik bagiku, dingin sedikit, apa halangannya?” “Aku dibesarkan di daerah utara sehingga pemandangan seperti ini sudah biasa bagiku,” kata In- hong. “Sebaliknya aku belum pernah ke Kanglam, terhadap pemandangan Kanglam yang indah sudah lama aku ingin menikmatinya.”

“Untuk itu adalah mudah sekali, asal kau menjadi tamu kerumahku, aku bersedia menjadi petunjuk jalan bagimu untuk pesiar ke seluruh Kanglam,” kata Bing-sia.

“Apa betul? Jika demikian aku harus berterima kasih lebih dulu padamu. Semoga hari yang ku- harap2kan itu lekas tiba.”

Mendengar ucapan orang yan gmengandung arti tertentu itu, tanpa terasa air muka Bing-sia menjadi merah.

“Eh, kau sedang bikin apalagi?” tanya Ci In-hong dengan tertawa.

“Aku Cuma menguatirkan nona Nyo, apalagi yan gkupikirkan? Sebaliknya isi hatimu sendiri belum dikatakan padaku.”

Tergetar hati Ci In-hong, hampir2 ia membeberkan perasaannya terhadap sinona. Tapi perkenalan mereka baru beberapa hari saja, sudah tentu ia tidak berani menyatakan perasaannya secara gegabah. Ia coba tenangkan diri, lalu berkata dengan tertawa: ‘Aku memang ada sesuatu isi hati, entah kau dapat membantu aku atau tidak?”

“Apa yang kau inginkan bantuanku?” tanya Bing-sia dengan berdebar hati.

“Aku ingin bantuan kalian ayah dan anak untuk mencari kabar seseorang,” kata In-hong. Bing-sia tidak menyangka bahwa yang dikatakan In-hong adalah urusan mencari orang, maka perasaannya menjadi rada tenang, tapi juga rada kecewa. Segera iapun bertanya: ‘Siapakah gerangan yang kau cari?”

“Seorang Susiokku,” kata Ci In-hong. “Beliau sudah menghilang hampir 20 tahun, kabarnya lari kedaerah Kanglam, selama ini tiada kabar beritanya. Diantara sesama saudara perguruan, Suhu paling baik dengan dia, maka Suhu sangat merindukannya. Ayahmu adalah Kanglam-tayhiap yang termashur, pergaulannya luas, maka aku minta bantuanmu.”

“Siapakah nama Susiokmu itu?” tanya Bing-sia.

“Angkatan yang setingkat dengan Suhu semuanya memakai nama “Thian”, maka Sisusiok yang she Kheng itu bernama Thian-hong.”

“Kheng Thian-kong?” Bing-sia mengulangi nama itu sambil merenung sejenak. “Rasanya belum pernah kudengar nama demikian.”

“Bisa jadi Kheng-susiok sudah ganti nama,” kata Ci In-hong. “Tapi sebagai seorang jago kelas wahid, asalkan beliau pernah perlihatkan sejurus dua tentu akan diketahui oleh orang persilatan. Sebagai tokoh utama didaerah Kanglam, bila ada jagoan dari luar, tentu ayahmu akan diberi laporan. Maka dari itu coba nona ingat2 kembali, adakah pernah mendengar seoran gjago silat uang demikian ini?”

“Jago dari utara memang ada, tapi asal usul mereka cukup dikenal ayah, rasanya tidak cocok dengan paman-guru yang kau katakan itu.” Lalu Bing-sia menguraikan beberapa nama, umur dan aliran. Memang benar bukanlah Kheng Thian-hong yang dimaksudkan Ci In-hong.

“Padahal ayahku kenal gurumu, tentang menghilangnya susiokmu tentu diketahui pula oleh ayah. Tapi selama ini ayah tidak pernah mengatakan hal ini padaku,” kata Bing-sia pula.

“Apa sebabnya Kheng-susiok menghilang selamanya guruku juga tidak pernah ceritakan padaku,” tutur Ci In-hong. “Aku Cuma tahu tidak lama Kheng-susiok meninggalkan perguruan lantas menghilang jejaknya. Maka bisa jadi ayahmu juga tidak mengetahui akan kejadian itu.”

Tiba2 Bing-sia ingat sesuatu dan bertanya: “Semalam ketika kau bergebrak dengan Yang Kian-pek, agaknya dia terkejut ketika mengadu tangan dengan kau. Lalu kau mengejek kepandaiannya belum sempurna. Kepandaian yang kau sebut itu kalau tidak keliru dengar agaknya bernama Thian

……..Thian-lui-kang, apa betul?”

“Ya, memang tidak salah,’ sahut In-hong. “Ini adalah ilmu pukulan istimewa dari perguruan kami, menyerupai kehebatan Kim-kong-ciang dari Siau-lim-pay. Tapi jarang sekali orang yang mampu menyakinkannya dengan sempurna.

“Namanya Thian-lui-kang,apakah diciptakan oleh Yang Thian-lui?” tanya Bing-sia.

“Buakn,” jawab In-hong. “Thian-lui-kang diciptakan oleh cikal bakal perguruan kami. Perguruan kami terkenal dengan dua macam ilmu yang khas, yakni ilmu pedang dan ilmu pukulan Thian-lui- kang. Tapi lebih diutamakan adalah Thian-lui-kang. Diantara keempat saudara seperguruan Suhuku, Yang Thian-lui adalah murid paling sempurna meyakinkan Thian-lui-kang, sebab itulah kakek guru mengangkat dia sebagai ahli warisnya. Kebetulan angkatan setingkatannya memakai nama “Thian”, maka kakek guru menganugerahi sekalian nama “Thian-lui” padanya, sebenarnya ini merupakan kebanggaan baginya, tak terduga harapan kakek guru atas dirinya ternyata sia2, bukannya mengembangkan nama baik perguruan, bahkan menjual negara demi kepentingan diri sendiri.” “Banyak melakukan kejahatan pasti akan mati sendiri, betapapun tinggi kepandaian Yang thian-lui belum tentu segala sesuatu akan terkabul dengan leluasa,” kata Bing-sia. “Gurumu sendiri tidak dapat membiarkan dia berbuat se-wenang2, tentu pula ayahku takkan tinggal diam.”

“Benar katamu, banyak melakukan kejahatan akhirnya Yang Thian-lui pasti akan menerima akibatnya,” kata In-hong. “Hanya saja guruku ingin membersihkan perguruan sendiri, maka beliau ingin mencari bantuan tenaga dari Sisusiok.”

Menurut peraturan dunia persilatan, untuk mengadakan pembersihan perguruan hanya boleh dilakukan oleh orang2 dari perguruan sendiri, orang luar tidak boleh diminta bantuannya.

“Untuk sementara kita kesampingkan dulu persoalan YangThian-lui,” tiba2 Bing-sia berkata: “In- hong, aku menjadi ingin lihat sekali lagi kau punya Thian-lui-kang.”

“Thian-lui-kang yang kulatih baru mencapai enam-tujuh bagian, menghadapi Yang Kian-pek semalam aku menggunakannya, buat apa kau suruh aku pamer lagi?”

“Janganlah kau rendah hati, coba perlihatkan padaku, gunakan pohon ini sebagai percobaan,” kata Bing-sia.

“Atas permintaan Siocia, terpaksa aku main2 sedikit,” kata In-hong dengan tertawa. Segera telapak tangannya memutar suatu lingkaran, terdengar suara menderu yang dijangkitkan tenaga pukulannya itu, menyusul ia terus menghantam batang pohon.

Pohon itu cukup besar, tampaknya tidak bergoyah sedikitpun, tapi selang sebentar terdengarlah suara krak_krak yang ramai, berpuluh tangkai pohon sama patah dan rontok jatuh. Daun pohon yang memang sudah rontok, kini pohon itu menjadi tinggal batangnya saja yang gundul.

“Jika guruku yang menggunakan Thian-lui-kang ini, sekali hantam pohon ini akan dirobohkan, kepandaianku sendiri memang masih selisih jauh,” kata In-hong.

Hati Bing-sia terkesiap mengingat kepandaian Yang thian-lui masih lebih tinggi daripada guru Ci In-hong sebagaimana dikatakan pemuda itu tadi.

Melihat Bing-sia seperti ngelamun, In-hong bertanya: ‘Sebab apa tampaknya kau sangat menaruh minat terhadap Thian-lui-kang?”

Bing-sia tidak lantas menjawab, sejenak kemudian ia seperti menggumam sendiri: ‘Ya, memang betul, gayanya dan kelihaiannya sama, terang pasti Thian-lui-kang adanya.”

“Kau bilang apa?” tanya In-hong heran.

“Aku pernah melihat seorang yang juga mahir menggunakan Thian-lui-kang,” sahut Bing-sia. “Apa betul? Siapakah dia? Dimana?” tanya In-hong pula dengan tidak sabar.

“Kulihat orang itu kira2 empat tahun yang lalu, tatkala mana dia Cuma seorang pemuda berusia duapuluhan, dengan sendirinya dia bukan Sisusiokmu,” jawab Bing-sia. Tapi karena mahir Thian- lui-kang, bisa jadi dia adalah anak murid Sisusiokmu itu.”

Maka terbayanglah dalam benak Bing-sia suatu adegan dimasa lampau.

Empat tahun yang lalu, ketika itu Bing-sia baru berumur 17, ilmu silat keluarganya baru saja tamat dipelajarinya. Tahun itu ayahnya berangkat ke utara untuk menemui seorang kawan, lantaran kepandaian Bing-sia masih cetek, kuatir terjadi apa2, maka Beng Siau-kang tidak membawa serta putrinya itu.

Beng Siau-kang mempunyai seorang taci anak paman yang menikah dengan Giam Seng-to, seorang pendekar besar di Sucwan barat. Giam Seng-to, punya seorak anak perempuan bernama Giam Wan dan berguru kepada Bu-siang Sin-ni dari Go-bi-pay. Usia Giam Wan lebih tua dua tahun daripada Bing-sia, sudah tamat belajar ilmu silat dan sedang menjadi gadis pingitan yang menantikan jodoh. Kuatir anak perempuannya kesepian dirumah, Beng Siau-kang lantas suruh Bing-sia pergi kerumah Giam Seng-to sekalian menyambangi Piauci (taci misan) yang belum pernah dikenalnya itu.

Setiba dirumah sang bibi, sudah tentu suasana sangat menggirangkan pertemuan antara bibi dan keponakan itu. Cuma Bing-sia menjadi heran ketiga sang paman dan taci misan tidak nampak menyambut kedatangannya. Syukur sebelum dia bertanya, sang bibi sudah lantas menyuruh pelayan pergi memanggil sang Siocia (putri).

“Apakah paman tidak dirumah,” tanya Bing-sia kemudian.

“Tadi baru kedatangan seorang tamu, tamu itupun kenalan Piaucimu, maka anak Wan lagi mengiringi ayahnya menemui tamu,” tutur bibinya.

“Jika begitu, biarlah bila tetamu sudah pergi baru kutemui Piauci,” ujar Bing-sia.

“Tamunya seorang lelaki, sebagai anak perempuan, Piaucimu hanya sekedar menemuinya saja dan segera akan mengundurkan diri, tentu sebentar saja kewajibannya sudah selesai,” tutur sang bibi. Bing-sia sendiri sudah biasa hidup bebas, ia menjadi heran keluarga sang bibi ternyat masih begini kolot.

Tidak lama benar juga Giam Wan sudah muncul, sudah lama sesama saudara misan mengenal nama saja, untuk pertama kalinya sekarang mereka bertemu muka.

Waktu itu Bing-sia belum lagi kenal To Hong, belum punya teman yang sebaya, maka ia menjadi sangat senang melihat sang Piauci serba cantik dan pintar serta tinggi pula ilmu silatnya. Dalam waktu singkat saja kedua saudara misan menjadi sangat akrab. Giam Wan tampaknya sangat senang, cumaterkadang pikirannya seperti rada bimbang, se-akan2 terganggu oleh suatu urusan. Meski waktu itu Bing-sia belumpaham soal2 kehidupan, tapi iapun dapat menduga sang Piauci tentu punya ganjelan hati apa2, hanya saja baru bertemu untuk pertama kali ia merasa tidak enak untuk cari tahu.

“Pagi2 tadi kudengar suara burung kutilang berkicau, benar saja kita kedatangan dua tamu,” kata sang bibi kepada putrinya, “lebih2 piaumoaymu datang dari jauh, kebetulan bagimu mendapatkan teman baru sehingga kau tidak perlu banyak tingkah lagi. Bing-sia, ketahuilah bahwa Piaucimu ini terlalu liar, selalu minta aku meluluskan dia berkelana di dunia kangouw. Padahal anak perempuan sepantasnya berdiam di rumah , selalu menonjolkan diri diluar bukanlah hal2 yang baik.”

Bing-sia tidak berani mendebat sang bibi, tapi iapun berkata dengan tertawa: ‘Sifatku juga suka keliaran, sejak kecil ayah sudah biasa membawa aku berkelana kian kemari, malahan aku menjadi uring2an ketika sekali ini beliau tidak membawa serta diriku ke daerah utara.”

Sang bibi mengerut kening, katanya: ‘Usiamu masih kecil, tidak menjadi soal keliaran didepan umum. Tapi dua tahun lagi kukira ayahmu sudah waktunya membatasi gerak gerikmu.”

“Eh, ibu ini memangnya kenapa? Piaumoay baru saja datang dan engkau sudah menghajar adat padanya,’ ujar Giam Wan dengan tertawa.

“Ya, ya, aku tahu anak muda seperti kalian ini tentu anggap kami yang tua ini suka bawel, cerewet melulu. Tapi ketahuilah bahwa justru karena sayang padamu, makanya terpaksa aku harus banyak omong,” kata sang bibi dengan tertawa. “Bing-sia meski aku bukan saudara sekandung ayahmu, tapi sanak-pamiliku hanya dia saja seorang yang setingkatan dengan aku, makanya aku anggap kau seperti anak perempuanku sendiri, tentu kau takkan menganggap bibimu ini cerewet.” Sesungguhnya dalam hati Bing-sia merasa tidak sepaham, tapi terpaksa menjawab: “Ya, banyak terima kasih atas petuah bibi.”

Sebenarnya sang bibi hendak buka suara pula, tapi tiba2 terdengar suara langkah orang, kiranya Giam Seng-to sedang mengantar keberangkatan tamu.

Ketika Bing-sia memandang keluar melalui balik jendela, dilihatnya tamu itu adalah seorang pemuda yang gagah dan cakap. Saat itu Giam Wan tertampak juga menggeser mendekati jendela dan memandang keluar dengan ter-mangu2.

“Anak Wan, ambilkan secangkir the,” tiba2 Giam-hujin, ibunya berseru. Wajah Giam Wan menjadi merah dan cepat mengiakan.

Padahal tidak sedikit pelayan yang menunggu perintah, Giam-hujin tidak menyuruh pelayan sebaliknya menyuruh anak perempuannya, terang hanya sebagai alasan belaka untuk menyingkirkan anak perempuannya dari situ.

Selesai antar tamu, Giam Seng-to lalu datang menemui Bing-sia. “Apakah tamunya sudah pergi?” tanya Giam-hujin.

“Ya, aku tidak menahan dia, rupanya dia sendiri merasa kikuk duduk terlalu lama, terpaksa mohon diri,” ujar Giam Seng-to. Setelah menghela napas, lalu katanya pula: “Kalau dibicarakan sesungguhnya aku masih utang budi padanya, tapi apa boleh buat, tiada jalan lain.”

Bing-sia merasa bingung oleh kata2 itu, ia heran sikap sang paman itu, katanya utang budi pada orang, tapi mengapabersikap begitu tawar terhadap tamunya itu? “Apa boleh buat”, entah apa artinya istilah ini?”

Dalam pada itu Giam Wan telah keluar lagi membawakan the buatn ibunya, tanyanya: “Ayah, tamu datang dari jauh, mengapa tidak suruh dia tinggal barang satu dua hari disini?”

“di rumah banyak anggota keluarga perempuan, tidak pantas menerima tamu,” jawab Giam Seng-to dengan hambar.

Diam2 Bing-sia anggap sang paman juga berpikiran kolot, benar2 pasangan setimpal dengan sang bibi.

“Apakah orang ini adalah pemuda yang kalian kenal di Siau-kim-jwan dahulu itu?” tanya Giam- hujin. “melihat usianya masih sangat muda, tak nyana dia memiliki kepandaian begitu hebat.” “Ya, kalau tidak mendapat bantuannya, waktu itu aku pasti akan dikalahkan Tin-lam-jit-hou walaupun jiwaku dan keselamatan anak Wan bisa diselamatkan,” kata Giam Seng-to.

Bing-sia menjadi heran dan kejut, ia tahu pamannya itu terkenal sebagai Cwan-se-tayhiap (pendekar Sucwan barat), betapa tinggi ilmu silatnya tidak perlu dijelaskan. Tapi kedengarannya hampir2 dia sukar menyelamatkan diri bilamana tidak ditolong oleh pemud yang bertamu tadi.

Tiba2 terdengar Giam Seng-to bertanya: ‘Bing-sia, kau sudah bertunangan belum?”

Airmuka Bing-sia menjadi merah, sahutnya dengan kikuk: “usiaku masih terlalu muda, selamanya ayah juga tak pernah bicarakan soal ini denganku.”

“Apakah kau bermaksud menjadi comblang bagi Bing-sia?” sela Giam-hujin dengan tertawa. “Benar,” sahut Giam Seng-to. “Kebetulan sekarang ada seorang calon yang setimpal, Cuma sayang entah kapan barulah Siau-kang dapat pulang, mungkin aku sendiri tiada tempo buat mengunjungi dia di Kanglam.”

“Tidak, tidak, aku akan mengawani ayah untuk selama hidup,” kata Bing-sia dengan muka merah jengah.

“Ah, omongan anak kecil saja,” goda Giam-hujin. “Tapi usia Bing-sia memang benar masih terlalu kecil, maka persoalan ini boleh dibicarakan lagi kelak. O, ya, akupun tidak tahu maksud kedatangan orang itu. Apakah dia inginkan sesuatu berhubung dia merasa pernah menolong kau?”

“terkaanmu benar separo saja,” jawab Giam Seng-to.

“Paman,sudilah kau menceritakan kisahmu dahulu?” tiba2 Bing-sia menyela.

“Benar, ada baiknya juga kuceritakan padamu agar angkatan muda seperti kalian ini bisa lebih tahu betapa culasnya orang kangouw pada umumnya, bahwasanya diatas langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai,” kata Giam Seng-to. “Permulaan tahun ini aku membawa anak Wan pergi ke Siau-kim-jwan untuk menemui seorang Supeknya, guru Wan-ji adalah Bu-siang Sin- ni, ketua Go-bi-pay sekarang, tapi paman gurunya itu tinggal mengasingkan diri di Jing-tiok-lim didaerah Siau-kim-jwan.

“Keberangkatanku itu tidak terjadi apa2, tapi waktu pulang, ketika lewat di Jing-liong-kang yang tempatnya berbahaya itu telah ketemu dengan Tin-lam-jit-hou (tujuh harimau dari Tin-lam (Yunan) Selatan). Ketujuh orang itu adalah bandit terkenal didaerah Tin-lam, mereka angkat saudara dan menyebut diri mereka sebagai tujuh harimau. Entah mengapa merekapun datang ke Siau-kim-jwan dan kebetulan kepergok ditengah jalan. “aku memang ada sedikit perselisihan denganToan Tiam-jong, kepala dari Tin-lam-jit-hou itu, kini kepergok ditengah jalan sudah tentu sukar menghindarkan pertarungan sengit. Aku sudah melukai dua orang diantara mereka, sebaliknya kena disambit senjata rahasia berbisa oleh Toan Tiam-jong, dibawah kerubutan mereka, akhirnya aku terkepung dan sukar meloloskan diri. Pada saat yan gawat itu, aku sudah nekat akan mengadu jiwa dengan mereka, tiba2 terdengar suara derapan kaki kuda, datanglah seorang penolong ksatria muda yang bernama Kok Ham-hi, yaitu tamu yang datang tadi.” “Kok Ham-hi?” diam2 Bing-sia mengulangi nama itu didalam hati. “Aneh, belum pernah terdengar nama ini. Mengapa seorang ksatria muda begini tak pernah kudengar dari cerita ayah? Apakah ayah juga tidak mengenalnya?”

“Ilmu silat pemuda she Kok itu sangat hebat,” demikian Giam Seng-to melanjutkan, “Dengan ilmu pedang dan pukulannya dia melukai pula dua orang diantara Tin-lam-jit-hou, jadi sudah lebih separo diantara ketujuh orang itu sudah terluka, sisanya merasa tidak sanggup melawan lebih jauh, terpaksa mereka melarikan diri dengan membawa kawan2nya yang luka. Ai, sungguh memalukan jika dipikir. Aku sudah malang melintang seumur hidup di dunia kangouw, siapa tahu diwaktu tua harus menerima budi pertolongan dari seorang muda.”

“Bagaimana asal usul orang itu?” tanya Bing-sia.

“Waktu itu aku terluka senjata rahasia berbisa sehingga tidak sempat bicara dengan dia,” sahut Giam Seng-to. “aku Cuma tanya namanya, lalu mengundangnya kemari untuk bertemu kembali. Kedatangannya hari ini adalah untuk ememnuhi undanganku itu.”

“Ya, akupun ingin tanya padamu, apakah kini kau sudah tahu asal usulnya?” sela Giam-hujin. “Dan apa pula maksud tujuan kedatangannya hari ini? Inginkan balas budi darimu atau ada kehendak lain?”

“Semula anak Wan ikut hadir, kuatir timbulkan salah paham, aku meras tidak enak untuk tanya asal usulnya,” tutur Giam Seng-to. “Kemudian setelah Wan-ji mengundurkan diri, dalam pembicaraanku dengan dia, rasanya kurang cocok, tidak lama kemudian iapun ter-buru2 mohon diri, maka kembali aku tidak sempat menanyai dia.”

Dengan rasa ingin tahu Bing-sia menyela pula: “Jika orang ini pernah membantu kesukaran paman, pada saat berbahaya, mengapa dalam pembicaraan kalian terasa tidak cocok pula?”

“Sebagai seorang yang merasa hutang budi, undanganku padanya agar berkunjung kesini adalah karena aku ingin tahu apakah diapun ingin bantuanku untuk menyelesaikan sesuatu,” tutur Giam Seng-to. “Tak kuduga, setelah mengetahui maksud tujuan kedatangannya, aku sendiri menjadi serba susah. Terpaksa aku memberi gambaran secara samar2 bahwa persoalan yang dia inginkan terpaksa takbisa kuterima.”

“Dia inginkan apa darimu?” tanya Giam-hujin.

“Dia tidak langsung memohon padaku,soal demikian memangnya jugatidak leluasa dikatakan langsung padaku olehnya sendiri,” sahut Giam Seng-to dengan ogah2an untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya.

“Sesungguhnya urusan apa? Yang hadir disini toh tiada orang luar, boleh terangkan saja,” ujar Giam-hujin.

“Dia membawa surat dari tokoh Jing-sia-pay Giok-hong Totiang, isi suratnya ada maksud melamar,” tutur Giam Seng-to.

Sejak tadi Giam Wan ikut mendengarkan dengan prihatin, mukanya menjadi merah ketika mendengar ayahnya bilang “melamar”, sebab sudah jelas yang dilamar adalah dia.

“O, kiranya Giok-hong Totiang mendak menjadi perantara bagi Piauci, kan baik sekali urusan ini?” ujar Bing-sia. Dalam anggapannya, pemuda she Kok itu berilmu tinggi, cakap pula serta pernah menolong pamannya, kalau dijodohkan sang Piauci jelas adalah pasangan yang sangat setimpal.

Tapi sekilas dilihatnya air muka sang paman rada masam2, hal ini membuatnya bingung juga. Giam-hujin telak meliriki Bing-sia, agaknya merasa sinona terlalu banyak ikut bicara, dengan hambar nyonya rumah itu berkata padanya: “Piaucimu sudah punya tunangan.”

Keruan Bing-sia menjadi kikuk, cepat ia berkata: ‘O, jika begitu aku harus ucapkan selamat kepada piauci, maafkan aku tidak tahu sebelum ini. Siapakah tunangan Piauci?”

“Putera seorang pamanmu, anak murid Bu-tong-pay, Thio Goan-kiat namanya,” kata Giam-hujin. Kemudian Giam Seng-to menutur pula: “Setelah membaca surat Giok-hong Totiang, aku tidak memberi komentar apa2. Setelah mengobrol sejenak barulah aku beritahukan kepada tamu kita bahwa tanggal delapan bulan dua tahun depan nanti diharap dia dan Giok-hong Totiang sudi hadir meramaikan perjamuan yang akan kita adakan. Hah, demi mendengar ucapanku itu, air mukanya sebentar merah dan sebentar lagi pucat, lalu mohon diri padaku. Aku merasa tidak enak, tapi apa boleh buat. Jika urusan lain, biarpun masuk lautan api juga akan kulakukan untuk membalas budinya.”

“Anak Wan,” Giam-hujin berkata dengan nada dingin, “Kau adalah gadis yang hampir menikah, selanjutnya tingkah-lakumu harus dijaga sebaiknya. Meski orang itu ada budi terhadap kita, namun kau sudah menjumpainya sekali sebagai tanda terima kasih padanya, selanjutnya kau jangan berhubungan lagi dengan dia.”

“Jika ibu mencurigai aku, boleh aku ditutup saja didalam kamar,” sahut Giam Wan. “Hm, ada hubungan apa antara dia dengan aku? Jika ayah tidak suruh aku menemuinya masakah aku tahu siapa tamu kita tadi?”

“Aku Cuma mengingatkan kebaikan bagimu saja untuk menjaga segala kemungkinan, mengapa kau uring2an padaku?” kata Giam-hujin.

“Sudahlah, urusan sudah lalu tak perlu dipikirkan lagi,” sela Giam Seng-to. “Kukira selanjutnya diapun takkan datang lagi kesini.”

“Aku memang tidak perlu pikir lagi, tapi bagaimana kau bisa melupakan dia?” ujar Giam-hujin. “Kau telah utang budi padanya, sebelum membalas kebaikan orang apakah hatimu bisa tenteram?” “kau memang istriku yang sejati,” sahut Giam Seng-to dengan tertawa. “Aku memang tidak biasa menerima kebaikan dari orang lain, apalagi kebaikan dari anak muda, mau tak mau aku harus mencari jalan untuk membalasnya. Cuma sayang kita tidak mempunyai anak perempuan yang lain.” Giam-hujin memandang sekejap kepada Bing-sia, lalu bertanya: “Anak Sia, bagaimana pendapatmu tentang pemuda she Kok itu?”

“Aku tidak kenal dia, darimana bisa tahu?” sahut bing-sia. “Cuma dia mampu menolong paman, tentu ilmu silatnya sangat tinggi.”

“Ya, orangnya juga cakap,” sambung Giam-hujin. “Hanya asal usulnya saja yang tidak jelas. Tapi soal inipun gampang, Giok-hong Totiang adlah teman baik pamanmu, kelak kita dapat mencari keterangan kepada Giok-hong Totiang.”

Betapapun bodoh Bing-sia juga tahu apa maksud sang bibi itu, apalagi dia adalah gadis cwerdik, hanya usianya masih kecil, dalam soal laki2 dan perempuan belum pernah terpikir olehnya. Namun kini iapun sadar akan kata2 paman dan bibinya itu, pikirnya: “Pantas berulang paman menanyai aku sudah tunangan belum, kiranya dia bermaksud menggunakan diriku untuk membalas budi kebaikan orang. “Hm, padahal yang disukai orang itu adalah Piauci, masakah aku yang hendak dijadikan pengganti, sungguh paman dan bibi terlalu menilai rendah dan tidak menghormati diriku.”

Sebagai seorang nona yang berhati polos bersih, krena hatinya kurang senang, pada wajahnya lantas kelihatan. Maka ia tidak memberi reaksi apa2 lagi dan membiarkan paman dan bibinya bicara sendiri.

Rupanya Giam Wan dapat merasakan suasana yang kurang harmonis itu. Segera ia mohon diri dan mengajak Bing-sia kembali kekamarnya.

Setelah masuk kamar dan tutup pintu, dengan tertawa Giam Wan lantas berkata kepada Bing-sia: “Memang begitulah sifat ibu, sungguh akupun ikut rikuh. Tentunya Piaumoay merasa kepala pusing oleh kata2nya tadi bukan?”

“kalau tabiat ayahku cukup dapat mengikuti pikiran anak muda,” ujar Bing-sia. “Tapi biarpun bibi rada keras terhadapmu, betapapun juga timbul dari kasih sayang seorang ibu yang ingin kan kebaikan anaknya.”

“Aku sangat iri mempunyai baik seperti kau.” Kata Giam Wan. “malahan ibuku juga sangat sayang padamu, kau paham tidak, beliau tadi bermaksud menjadi comblang bagimu, dan bagaimana dengan pendapatmu?”

“Yang dilamar adalah kau, bagaimana pendapatmu sendiri belum lagi kau katakan padaku,” kata Bing-sia dengan tertawa. Tiba2 airmuka Giam Wan berubah masam, matanya menjadi merah basah. Bing-sia menjadi menyesal akan ucapannya itu, cepat ia menambahkan: ‘Maaf, Piauci aku sembarangan omong dan melupakan kau akan menikah beberapa bulan lagi. Bakal Piaucihu (kakak ipar) adalah anak murid aliran ternama, ilmu silatnya tentu pilihan. Apakah kalian sudah pernah bertemu muka?”

“Kami dipertunangkan sejak kecil,” sahut Giam Wan. “Dia pernah kemari, tapi aku tak pernah menjumpai dia. Sudahlah, kita jangan bicara soal ini lagi. Bagaimana kalau kau mengajarkan beberapa jurus ilmu pedang ajaran ayahmu yang terkenal sakti itu?”

Bing-sia menduga tentunya Giam Wan tidak begitu suka kepada calon suaminya itu. Maka iapun tidak tanya lebih jauh, segera mereka bicara urusan ilmu silat masing2 dan saling tukar pikiran, karena perangai keduanya hampir sama, maka satu sama lain merasa saling mencocoki.

Malamnya Bing-sia tidur sekamar dengan Giam Wan. Sebelum tidur Giam Wan menyalakan dupa kayu wangi disuatu anglo kecil, katanya: “Bau kayu cendana yan harum mempunyai kasiat menenangkan pikiran, maka aku menjadi biasa tidur dengan membakar dupa ini.”

Bing-sia coba menghirup bau harum itu, tanpa terasa ia menguap ngantuk, katanya: “Ya, sedap sekali baunya, aku menjadi ingin tidur juga.”

“kau tentu sangat lelah dalam perjalanan, memangnya kau perlu tidur dengan senyenyaknya,” kata Giam Wan dengan tertawa.

Semalaman tiada kejadian apa2, besok paginya ketika Bing-sia mendusin, ia melihat matahari sudah terbit tinggi diangkasa, ternyata bangunnya justru Giam Wan yang memanggilnya. Bing-sia mengira badannya terlalu capek sehingga tidurnya begitu lelap, maka iapun tidak menaruh  perhatian apa2.

Sejak itu, setiap hari selalu begitu saja, bila iseng, kedua saudara misan lantas berlatih silat ditaman bunga. Melihat keakraban kedua nona itu, Giam Seng-to suami istri juga sangat senang. Lantaran urusan tempo hari suasana menjadi kurang menyenangkan, maka baik Giam-hujin maupun Bing-sia selalu menghindarkan persoalan yang menyangkut “si dia” bagi Giam Wan itu.

Selama tinggal dirumah sang bibi, selain terkadang merasa sang bibi agak cerewet, tapi pada umumnya Bing-sia merasa kerasan tinggal disitu. Cuma setelah lewat beberapa hari, ada sesuatu yang membuat Bing-sia rada heran, yaitu setiap pagi hari terjadi seperti pagi hari kedua ketika dia datang, selalu Giam Wan yang membangunkan dia, kalau tidak mungkin sekali Bing-sia akan tertidur sampai siang hari.

Setiap malam sebelum tidur, seperti biasa Giam Wan pasti menyalakan dupa wangi. Lewat beberapa hari, mau tak mau tombul curiga Bing-sia. Pikirnya didalam hati: “Malam pertama itu bisa jadi aku terlalu lelah sehingga tidurnya lupa daratan. Tapi sesudah sekian hari, mengapa tidurku masih tetap begini lelap? Biarpun dupa wangi ini mempunyai kasiat menenangkan pikiran, rasanya toh tidak sampai lup bangun terus2an?”

Ayah Bing-sia adalah seorang kangouw kawakan, pada umumnya orang yang biasa berkelana di kangouw tentu membekal beberapa macam obat2an, seperti obat luka dan obat penawar racun. Beng Siau-kang mempunyai obat penawar bikinan sendiri, namanya Giok-loh-wan, pil embun putih, sangat mujarab untuk menyegarkan pikiran bila terkena obat bius. Maka bila keluar rumah Bing-sia sendiri juga membawa beberapa macam obat itu sebagaimana ayahnya sering memberi pesan agar siap sedia bagi segala kemungkinan, terutama menghadapi orang kangouw yang culas dan jahat.

Sudah tentu Bing-sia percaya Giam Wan takkan membikin celaka padanya, yapi ia menyangsikan dupa cendana yang dibakar sang piauci itu apakah obat tidur? Kalau tidak mengapa tidurnya begitu lelap sehingga waktu pagi selalu mesti dibangunkan?

Karena itu, malamnya Bing-sia telah minum obat penawar lebih dulu serta memperhatikan setiap gerak gerik sang piauci. Kira2 mendekati tengah malam, didengarnya ada suara kresak kresek, kiranya diam2 Giam Wan telah bangun dan ganti pakaian. Dari cahaya bulan yang menembus masuk melalui jendela samar2 terlihat Giam Wan mengganti pakaian hitam mulus, yaitu pakaian peranti keluar malam.

Baru sekarang Bing-sia paham duduknya perkara: “Kiranya setiap malam piauci selalu keluar kamar dengan mengelabui diriku. Dan kemanakah dia pergi?” Dasar usianya masih muda, hakikatnya dia tidak pikir bahwa sang piauci sengaja keluar rumah malam2 diluar tahunya, maka sepantasnya dia mesti menghindari mencari tahu rahasia sang piauci. Karena rasa ingi ntahu, ia berbalik menguntit dibelakang giam Wan secara diam2.

Ginkang Bing-sia jauh lebih tinggi daripada Giam Wan, apalagi sudah beberapa malam Giam Wan melihat Bing-sia tidur seperti babi, mimpipun ia tidak menyangka bahwa malam ini bisa terkecuali, sebab itulah sedikitpun ia tidak curiga diiukuti Bing-sia.

Dibawah sinar bulan yang remang2, Bing-sia menguntit masuk hutan cemara dibelakang rumah keluarga Giam itu. Tiba2 didengarnya sang Piauci bertepuk tangan pelahan tiga kali, menyusul didalam hutan ada orang membalas tepuk tangan tiga kali pula. Baru sekarang Bing-sia tahu sang Piauci ada perjanjian bertemu dengan orang, ia menjadi menyesal telah menguntit datang, sungguh tidak pantas dia mengintip rahasia orang.

Akan tetapi sudah terlambat biarpun ia bermaksud memutar balik, terpaksa Bing-sia melompat keatas pohon yang rindang agar tidak diketahui orang yang akan ditemui Giam Wan itu.

Baru saja Bing-siamenyembunyikan diri, tiba2 sesosok bayangan sudah melayang tiba.

Ketika Bing-sia memandang dari atas, ternyata pendatang ini adalah pemuda cakap she Kok yang bertamu kerumah Giam Wan itu. Keruan ia terkejut, kiranya orang ini belum pergi, tapi setiap malam mengadakan pertemuan rahasia dengan Piauci disini. Ai, sungguh berani dia, begitu pula Piauci, kalau diketahui oleh paman dan bibi entah akan bagaimana akibatnya?

Dalam pada itu terdengar Kok Ham-hi lagi berkata: “Adik Wan, malam ini mungkin adalah pertemuan kita yang terakhir, maka aku datang untuk mohon diri padamu.”

Rupanya Giam Wan terkejut, tanyanya: “Apa kau, kau akan pergi?”

“benar,” sahut Kok Ham-hi. “Besok juga aku pulang. Cara kita in ikukira bukan cara yang baik. Aku selalu kuatir bagi dirimu yang keluar menemui aku setiap malam. Kata peribahasa: “Terlalu sering naik gunung akhirnya pasti kepergok harimau. Pada suatu hari perbuatan kita ini pasti akan diketahui oleh ayah bundamu. Padahal ayah-bundamu begitu keras, mungkin kau akan dianggap merusak nama baik keluarga dan takkan mengampuni dirimu.”

“kau jangan kuatir tentang ini, ayah-ibuku pasti takkan tahu,” kata Giam Wan dengan tertawa. “Berdasar apa kau begitu yakin?” tanya Kok Ham-hi.

“Sebab dirumahku telah datang seorang tamu,” tutur Giam Wan.

“O ya, tempo hari kau dipanggil pelayan, katanya ada tamu yang datan gdari jauh, hal mana belum kutanyakan padamu sampai sekarang. Siapakah gerangan tamu itu? Tapi apa sangkut pautnya dengan persoalan kita ini?”

“Kau pasti sudah kenal nama ayah tamu kami itu, dia adalah putri kesayangan Kanglam-tayhiap Beng siau-kang, terhitung Piaumoayku pula.”

“O, kiranya Kanglam-tayhiap Beng Siau-kang adalah pamanmu, ya, memang sudah lama aku mengagumi namanya. Cuma dengan kedatangan Piaumoaymu itu, bukankah kau bertambah satu rintangan, mengapa kau malah anggap lebih leluasa untuk menemui aku?”

“Jika aku sendirian, mungkin sekali ibu akan mengawasi aku dengan se-keras2nya. Tapi kini Piaumoayku datang dantidur sekamar dengan aku, betapapun ibu pasti tidak menyangka aku selalu keluar menemui kau setiap tengah malam.”

“Apakah kau telah menceritakan persoalan kita kepada Piaumoaymu dan sudah bersekongkol dengan dia agar menutupi rahasiamu?”

“Tidak,” kata Giam Wan. “Setiap malam aku mencampurkan sesuatu wewangian dikala membakar dupa gaharu, namanya Hek-kam-hiang, kasiatnya sama seperti dupa pembius, setiap orang yang menyedot bau harum dupa itu tentu akan tertidur nyenyak sampai pagi, bahkan takkan mendusin bila tidak dibangunkan.”

Kok Ham-hi tampak geleng2 kepala, katanya: “Cara begini hanya bisa langsung untuk sementara saja dan tidak bisa berlangsung selamanya. Bahwa rasanya juga tidak pantas memperlakukan Piaumoaymu secara demikian.”

“Aku terpaksa,” kata Giam Wan. “Mestinya aku ingin minggat bersama kau, tapi kau tidak mau. Coba katakan,apakah kau punya akal baik bagi hari depan kita?”

“En entahlah, akupun tidak tahu,” sahut Kok Ham-hi dengan menghela napas. “Tapi aku tahu musim semi tahun depan kau akan menikah, ayahmu sendiri yang memberi tahukan hal ini padaku. Maka aku tak dpat merusa nama baik dan kesucian dirimu.”

“O, jadi kau anggap persoalan kita sudah tak bisa diubah, makanya ingin pergi saja dan habis perkara?”

“Ti tidak, tidak, aku bukan manusia demikian, hendaklah kau jangan salah paham,” cepat

Kok Ham-hi menjawab. “Tapi, ai, entah apa yang harus kukatakan, aku sendiri belum ada akal yang baik, Cuma, Cuma ”

Tiba2 Giam Wan mengikik tertawa, katanya: ‘Aku malah mempunyai pendapat yang baik.” “Pendpat baik apa?” tanya Ham-hi.

“Tentang Piaumoayku,” sahut Giam Wan. “Baik wajahnya maupun ilmu silatnya adalah kelas pilihan, hanya sayang usianya masih sedikit muda.”

Mendengar dirinya disinggung, diam2 Bing-sia mengomeli kebrengsekan sang Piauci.

Tapi Kok Ham-hi lantas berkata dengan sikap sungguh2: “Adik Wan, jangan kau sembarangan bergurau. Dalam hatiku hanya ada kau seorang, masakah kau masih tidak percaya padaku? Pendek kata, hubungan kita andaikata takbisa berlangsung maka selama hidup ini akupun takkan menikah.” “Memangnya kau bertekad begitu, apakah aku takkan sama?” ujar Giam Wan. “Betapa nama baikku akan rusak seperti katamu, bila kita berdua tak bisa terikat menjadi suami istri, masakah aku mau dinikahkan dengan orang lain?”

“Bukan maksudku hendak meninggalkan kau dan habis perkara, aku Cuma ingin pulang untuk berunding dengan Giok-hong Totiang, ingin kuminta beliau memikirkan akal yang baik bagi kita berdua. Begitu pula disini kaupun dapat berdaya upaya dengan segala usaha “ 

“Aku bisa berdaya apa? Kukira tiada jalan lain kecuali minggat bersama!”

“Tapi, tapi kau masih dapat membujuk ibumu, anak perempuan tentu lebih leluasa bicara dengan ibu sendiri. Kau jangan malu, ceritakan terus terang saja pada ibumu bahwa orang yang kaucintai adalah diriku, mohon beliau menyempurnakan jodoh kita ini, kukira bibi tentu akan meluluskan permintaanmu.”

Giam Wan menggeleng, katanya dengan menghela napas: “Biarlah kukatakan terus terang kepadamu, seperti mimpi saja jika kau ingin aku minta bantuan ibu. Watak ibu lebih sukar didekati daripada ayah. Sedikitnya ayah masih ingat kepada budi pertolonganmu dan menyatakan akan membalas kau. Sebaliknya ibu malah melarang aku bertemu lagi dengan kau. Setiap hari dia selalu mengajar aku agar taat kepada tata adat, sedapat mungkin aku akan dipingit dan harus menuruti jalan pikirannya. Coba, cara bagaimana aku harus bicara dengan dia?”

“Jika demikian mohon saja kepada ayahmu, mungkin ada harapan?” kata Ham-hi.

Kembali Giam Wan menghela napas, katanya: “Keluarga Thio adalah kawan baik ayah, dia pasti tidak mengizinkan dibatalkannya perjodohanku. Meski sifat ayah tidak sekukuh ibu, tapi beliau juga seorang yang suka menjaga nama baik, hal2 yang dianggapnya akan merusak kehormatan keluarga betapapun takkan dilakukannya. Dengan bantuanmu kepada ayahku di Siau-kim-jwan, tadinya kukira urusan kita akan ada perubahan, siapa tahu masih tetap begini. O ya, aku menjadi ingin tanya padamu, mengapa tempo hari sedemikian kebetulan sehingga kau memergoki kejadian itu?” “Bukan kebetulan, tapi aku sengaja mengikuti kalian,” sahut Kok Ham-hi tertawa. “Kau mengatakan akan mengadakan perjalanan ke Siau-kim-jwan, maka aku sudah menunggu hampir sebulan dijalanan sana, malahan Tin-lam-jit-hou baru datang kemudian.”

Sampai disini baru Bing-sia tahu duduknya perkara, sang Piauci dan Kok Ham-hi sudah lama kenal, jadi bukan sekali melihat lantas jatuh cinta.

“Sungguh sayang, jerih payahmu ternyata sia2 belaka,” kata Giam Wan. “Maksudmu akan pulang berunding dengan Giok-hong Totiang kukira takbisa banyak menolong persoalan kita. Biarpun Giok-hong Totiang adalah orang yang dihormati ayahku, tapi lebih penting adalah kehormatan keluarga, betapapun ayah takkan sudi punya anak perempuan yang membatalkan pertunangan yang dia tetapkan sendiri.”

“Jika begini, jadi kita benar2 tidak punya akal lagi?” kata Ham-hi.

“Dengan caraku, kau sendiri tidak setuju,” ujar Giam Wan sambil menghela napas. “Minggat maksudmu?” Ham-hi menegas. “benar. Selain minggat masakah masih ada jalan lain?”

“Apakah takkan membikin murka ayah-bundamu nanti? Aku kuatir kau takkan tahan omongan iseng orang luar, kelak kau akan malu didepan umum, kau bisa menyesal.”

“Sudah kupikirkan sebelumnya, memang kepergian kita begini saja tentu akan membikin ayah ibu marah besar, tentu aku takkan diakui lagi sebagai anak. Tapi selang tiga atau lima tahun lagi bila ayah ibu sudah tambah tua, tentu mereka akan merindukan diriku. Tatkala mana kita dapat mohon ampun kepada mereka, kukira beliau2 itu besar kemungkinan akan menerima kembali kita.

Mengenai omongan iseng orang luar hakikatnya tidak menjadi soal bagiku. Ini adalah urusan pribadi kita berdua, asalkan kita bahagia, peduli apa dengan omongan orang lain?” Mendengarkan sampai disini, diam2 Bing-sia memuji akan tekad sang Piauci yang teguh itu,

sebagai lelaki tampaknya Kok Ham-hi malahan penakut. Sebenarnya Bing-sia sendiri semula tidak dapat menyetujui cara minggat sang Piauci itu, tapi sekarang tanpa terasa ia menjadi terpengaruh oleh keberanian Giam Wan itu dan berbalik kuatir kalau Kok Ham-hi tidak berani menerima ajakan Giam Wan.

Pada saat itulah ada angin meniup semak2 rumput berkeresekan, lantaran sedang mendengar denganpenuh perhatian, sama sekali Bing-sia tidak tahu bahwa suara desiran angin itu rada2 luar biasa.

Tiba2 terdengar Kok ham-hi berkata dengan tegas: “Baik, jika kau tidak takut apalagi yang kutakuti? Apakah kau perlu pulang dulu kemasi barang2mu?”

“Tidak, aku Cuma inginkan kau, lain2 aku tidak perlu lagi,” ujar Giam Wan dengan tertawa girang. “baik, sekarang juga kita lantas berangkat!” ajak Ham-hi.

Tapi mendadak suara seorang menjengeknya: “Hm, berangkat? Apakah begitu gampang sesukamu?”

Menyusul dari semak2 rumput sana se-konyong2 melompat keluar lima orang, yang bersuara itu adalah seorang pemuda berumur likuran, tangan memengang pedang, mukanya bersengut, terang menahan gusar yang tak terhingga.

Keruan Kok Ham-hi terkejut. “Kau …..kau si “ belum lagi habis kata “Siapa” terucapkan

dalam hati ia sudah paham beberapa bagian sehingga tidak jadi tanya lebih lanjut.

Pemuda tadi menjengek pula: “Hm, orang she Kok, mungkin kau tidak kenal aku, tapi perempuan hina itu tentu kenal diriku.”

Seorang laki2 jangkung yang mengikut disebelahnya lantas mendengus pula: “Nah, sudah kukatakan bakal binimu bergendakan dengan orang lain, tapi kau tidak percaya, sekarang kau menyaksikannya sendiri bukan? Tangkap maling tangkap bukti, tangkap perjinahan tangkap dua2nya, sekarang mereka tertangkap basah, bukti sudah nyata, buat apa kau banyak cingcong lagi dengan mereka.”

Kiranya pemuda tadi adalah bakal suami Giam Wan, yaitu Thio Goan-kiat. Dia pernah berkunjung kerumah Giam Seng-to beberapa kali, meski Giam Wan tidak pernah menemuinya, tapi pernah juga mengintip dari balik kerai, maka kenal padanya.

Tiga orang lainnya juga dikenali Giam Wan sebagai saudara seperguruan Thio Goan-kiat, hanya laki2 jangkung itu saja tidak diketahui siapa gerangannya.

Dengan nada dingin Giam Wan lantas menanggapi: “karena kau sudah menyaksikan sendiri, makaakupun tidak perlu mendustai kau. Yang kusukai adalah dia, aku tidak mau menikah padamu. Perjodohan ini ditentukan oleh ayahku, maka boleh kau mencari ayah untuk membatalkan pertunangan kita.”

Ucapan Giam Wan ini benar2 sangat mengagetkan. Maklumlah, pada jaman dinasti Song itu, pada umumnya orang sangat mengutamakan tata krama, taat pada adat istiadat, soal jodoh anak berada ditangan orang tua, dengan perantara comblang juga sudah umum. Sungguh bakal suami Giam Wan itu mimpipun tidak menduga tunangannya dapat mengucapkan kata2 demikian, saking gusarnya sampai sekijur badannya terasa dingin semua. “Perempuan hina dina,” segera Kiau Goan-cong, Toasuheng Thio Goan-kiat mendamprat, “Sungguh berani kau mengucapkan kata2 begitu! Thio-sute, kau tidak tega turun tangan biar aku yang mewakilkan kau!”

Habis berkata serentak kelima jarinya sebagai kaitan telah mencengkeram kepundak Giam Wan dengan Kim-na-jiu-hoat yang lihai. Bila sampai terpegang, tulang pundak Giam Wan pasti akan remuk.

Sudah tentu Kok Ham-hi tidak tinggal diam, melihat bahaya mengancam Giam Wan itu, segera ia melompat maju, sekali tangkis ia bikin Kiau Goan-cong tergetar mundur.

Rupanya Goan-cong dapat merasakan kelihaian lawan, dengan gusar ia berseru: ‘Ki-sute dan Nio- sute, kalian bekuk perempuan hina itu. Thio-sute, bocah keparat ini telah merebut bakal istrimu, apakah kau telan mentah2 penghinaan demikian dan terima menjadi pengecut?”

Kiranya Hiau Goan-cong biarpun terhitung Toa-suheng, tapi diantara anak murid Bu-tong-pay angkatan kedua yang paling tinggi ilmu silatnya adalah Thio Goan-kiat, smsutenya, sebab itulah Kiau Goan-cong sengaja membikin murka sang sute untuk membantunya karena dia sendiri merasa bukan tandingan Kok Ham-hi.

Thio Goan-kiat tertegun sejenak, lalu sepeerti tersadar dari impian buruk,namun bakal istrinya bergendakan dengan pemuda lain adalah kenyataan dan bukan khayal belaka. Seketika timbul napsu membunuhnya, demi mendengar olok2 sang Toasuheng tadi, dengan murka ia terus melolos pedang dan menubrk kearah Kok Ham-hi sambil membentak: “Kperata, biar aku mengadu jiwa padamu saja!”

Disebelah lain Jisuhengnya, Ki Goan-lun dan Si-sutenya, Nio Goan-hian, keduanya juga sudah lolos pedang mengerubuti Giam Wan.

Dengan gusar Giam Wan lantas mendamprat: “Sebenarnya aku tidak ingin gubris kalian mengingat hubungan ayah dengan Bu-tong-pay kalian, tapi kalian sengaja menista diriku dan main kekerasan, memangnya kau sangka aku Giam Wan boleh sembarangan disakiti?

Berbareng itu pedangnya lantas bekerja, dengan dua jurus kekanan dan kekiri, sekaligus ia patahkan serangan kedua pengeroyoknya. Menyusul ia berseru pula: ‘Kok-toako,orang tidak sungkan padamu, buat apakah kau segan kepada mereka?”

Kepandaian Thio Goan-kiat memang benar hebat diantara anak murid Bu-tong-pay angkatan muda, meski di tengah kemurkaan dia masih dapat menyerang dengan sangat lihai, sekali sinar pedang berkelebat, tahu2 ujung pedangnya sudah sampai didepan tenggorokan Kok Ham-hi, hampir berbareng dengan itu kedua telapak tanagn Kiau Goan-cong juga menyerang sekaligus, tangan kiri menyodok kedada dan tangan kanan menabok batok kepala Kok Ham-hi.

Kedua saudara seperguruan itu menyerang bersama, serangan mereka sekaligus hendak mematikan lawannya. Dalam keadaan demikian betapapun sabarnya Kok Ham-hi juga tidak tahan lagi.

Pikirnya: “Sekalipun kau dendam karena aku merebut tunanganmu, tidak seharusnya kau menyerang aku secara begitu keji.” ~ dengan gusar iapaun tidak sungkan2 lagi, segera iapaun balas menyerang.

Ditengah bayangan pukulan dan sinar pedang terdengarlah suara mendering nyaring memekak telinga. Kiranya sekejap itu Kok ham-hi juga sudah mengeluarkan pedangnya, dengan pedang melawan pedang dan tangan lain melawan pukulan musuh, ber-turut2 ia gempur mundur Thio Goan-kiat dan Kiau Gioan-cong berdua.

Kepandaian Thio Goan-kiat lebih tinggi dari Suhengnya, dalam sekejap saja ia sudah menyerang delapan kali, sebab itulah benturan kedua senjata menerbitkan suara mendering yang mengerikan. Pada jurus serangan kesembilan, “sret”, baju Thio Goan-kiat tertusuk oleh pedang Kok Ham-hi, keruan Thio Goan-kiat terkejut dan lekas2 melompat jesamping. Sedangkan Kiau Goan-cong hanya sanggup menerima tiga kali pukulan Ham-hi, lebih dari itu ia sudah tidak kuat, darah dalam rongga dada terasa bergolak hebat, terpaksa ia melompat mundur untuk ganti napas.

Dengan xcepat sekali Kok ham-hi menangkis, menghindar dan balas menyerang sehingga kedua jago muda Bu-tong-pay pilihan itu kena didesak mundur, mereka menjadi jeri dan tidak berani menerjang maju lagi.

“Hm, jika kalian mau bicara pakai aturan, maka aku bersedia minta maaf, namun urusanku dengan nona Giam kalian tidak boleh ikut campur,” kata Ham-hi. “Bila kalian hendak main kerubut, jiwa orang she kok hanya satu, kalau mampu boleh coba kalian merengutnya dariku.”

Rupanya Kiau Goan-cong sudah merasa jeri, ia tidak berani maju lagi. Pada saat itulah tiba2 terdengar suara mendesir ramai, kiranya laki2 jangkung tadi melakukan serangan gelap kepada Kok Ham-hi dengan senjata rahasia Tau-kut-ting (paku penembus tulang). Tiga buah paku tajam itu terbagi dari atas-tengah-bawah masing2 mengarah tenggorokan, perut dan bagian selangkangan.

Ketiga tempat ini adalah bagian2 mematikan, kalau salah satu paku itu kena sasarannya, andaikan Kok ham-hi tidak lantas binasa tentu juga akan terluka parah.

Mengendus bau amis yang menyamber tiba, Ham-hi tahu senjata rahasia musuh berbisa, maka ia tidak berani ayal, segera ia putar pedangnya dengan cepat, “tring-tring” dua kali, paku2 yan gmengarah bagian perut dan selangkangan itu kena disampuk hingga terpental balik. Menyusul Ham-hi mendakkan kepalanya sehingga paku yang mengarah tenggorokan juga kena dielakkan. Baru Ham-hi hendak bersuara, terdengar sijangkung telah menjengek: ‘Hm, tangkap perjinahan masakah perlu bicara tentang peraturan kangouw segala?” ~ Berbareng orangnya lantas menerjang maju, dibawah tabasan goloknya, tangannya yang lain juga ikut menghantam.

Memangnya Thio Goan-kiat sangat gusar, kini melihat sijangkung telah ikut turn tangan, diam2 ia merasa tidak pantas kalau dirinya tidak menerjang maju lagi, sedangkan orang luar saja sudah turun tangan membantunya. Bila tidak balas sakit hati direbutnya bakal istrinya, lalu kemana lagi mukanya akan disembunyikan?

Karena itu, dengan nekat ia menerjang maju lagi sambil membentak: ‘Anak keparat, bisa saja kau membela diri, bagiku hanya bikin kotor telingaku saja, yang kuinginkan hanyalah jiwamu.” “bagus, memangnya sudah kukatakan tadi, bilamana mampu bolehlah kau renggut jiwaku ini,” jawab Kok Ham-hi.

Kiau Goan-cong cukup kenal kepandaian laki2 jangkung, semangatnya menjadi terbangkit setelah sijangkung ikut turun tangan . Segera ia membentak lagi: “Baik, keparat ini ingin mengadu jiwa, biarlah kita memenuhi saja harapannya.”

Serentak kiau Goan-cong, Thio Goan-kiat dan si jangkung menerjang dari tiga jurusan. Namun gerak tubuh Kok ham-hi cepat luar biasa, mendadak ia melayang kesana melalui sela2 dua pohon cemara tua, maksudnya hendak begabung dengan Giam Wan.

Tak terduga sijangkung juga tidak kalah cepatnya, bahkan dia dapat mendahului selangkah sehingga menhadang didepan Ham-hi, jengeknya: “Eh, bukankah kau hendak mengadu jiwa, mengapa mau kabur?”

Begitulah sijangkung lantas menyerang, golok menabas dari atas kebawah, sedangkan tangan yang lain memutar satu lingkaran, dari kiri ditarik kekanan terus disodok kedepan. Golok dan tangan menyerang berbareng secara rapi sekali.

Mau tak mau hati Kok ham-hi terkesiap, diam2 ia mengakui kepandaian sijangkung tidaklah lemah dan tidak boleh dipandang enteng. Yang lebih mengejutkan Kok ham-hi bahkan adalah sinar golok yang dijangkitkan oleh samberan golok lawan yang melengkung itu, sinar golok yang gemerdep menyilaukan itu membawa samberan angin yang berbau amis.

Sebagai seorang ahli silat segera Kok ham-hi menyadari bahwa golok yang digunakan sijangkung itu adalah golok berbisa, bahkan pukulannya juga pukulan berbisa.

Tiada waktu berpikir lagi bagi Kok ham-hi, “sret”, segera pedangnya menusuk, serangan ini sebenarnya hanya untuk menjaga diri, lihainya luar biasa, yang dia arah adalah tenggorokan lawan, seketika bacokan sijangkung dapat dipatahkan, sebab musuh terpaksa memutar balik goloknya untuk menangkis pedang Ham-hi.

Namun demikian pukulan berbisa lawan sukar untuk ditangkis begitu saja, sedangkan sodokan telapak tangan sijangkung itu sudah tiba, dalam keadaan begitu rasanya tiada jalan lain bagi Ham-hi kecuali harus menangkis dengan tangan.

Diam2 sijangkung merasa girang, ia yakin bila sampai terjadi adu tangan, biarpun dirinya akan menanggung sedikit luka dalam, tapi bocah ini terkena pukulanku yang berbisa, rasanya tiada jalan lain kecuali menuju akhirat alias jiwa pasti melayang.

Selagi orang itu merasa senang, tiba2 dilihatnya Kok ham-hi menjulurkan jari tengah, ujung jari tepat mengarah “Lau-kiong-hiat” ditengah telapak tangannya. Keruan sijangkung terkejut, lekas2 ia menarik kembali tangan sendiri. Sebab kalau tengah telapak tangan sampai tertotok, bukan mustahil ilmu pukulannya yang berbisa itu akan buyar dan untuk berlatih sedikitnya diperlukan waktu sepuluh tahun.

Setelah membikin keder lawan dengan totokannya, diam2 Kok ham-hi besyukur bahwa pihak musuh tidak berani keras lawan keras, sebab kalau sampai terkena pukulan berbisa lawan, biarpun tidak sampai binasa, sedikitnya akan terluka parah dan pasti sukar lolos dari cengkeraman musuh yang jumlahnya lebih banyak.

Dalam pada itu ber-turut2 Kiau-Goan-cong dan Thio Goan-kiat lantas menubruk maju lagi. Kok ham-hi sendiri belum sempat menjaga diri karena baru saja mendesak mundur sejangkung, “bret” pedang Thio Goan-kiat menyerempet lewat dibahu kirinya sehingga terluka dan berdarah. “Bocah ini sudah terluka!” seru Kiau Goan-cong dengan girang.

Giam Wan menjadi kuatir, serunya: “Koko-toako, lekas kau melarikan diri, tak perlu memikirkan diriku!”

Ia tahu kepandaian Kok ham-hi cukup tinggi, kalau satu lawan satu pasti lebih unggul dari lawan2nya, asalkan Kok ham-hi mau menerjang pergi tentu sukar dirintangi oleh para pengerubut itu.

Begitulah Kiau Goan-cong lantas mengejek: “Coba saja lari?”

Sedangkan Goan-kiat tambah murka melihat bakal istrinya itu tetap condong kepada “gendak” nya. Dengan penuh rasa dendam segera ia putar pedangnya semakin kencang. Sementara itu sijangkung juga sudah menerjang maju lagi. Dengan tenaga tiga orang segera Kok ham-hi terkepung lagi ditengah.

Disebelah sana kedua anak murid Bu-tong-pay yang lai njuga sedang mengerubut Giam Wan. Mereka menyerang dengan ganas, Cuma mengingat Giam Wan adalah putri pendekar ternama didaerah Sucwan barat, betapapun mereka tidak berani mencelakainya, serangan mereka hanya untuk menggertak saja supaya sinona menyerah.

Sudah tentu Giam Wan tidak terima dihina, “sret sret” dua kali, ia balas menyerang dengan tidak kurang ganasnya. Karena tak ter-daga2, Ki Goan-lun hampir2 tertusuk mukanya, untung dia sempat mengegis sehingga kopiahnya saja yang tersampuk jatuh.

Sebagai murid Bu-tong-pay dan terdorong oleh darah muda, tentu saja Ki Goan-lun menjadi murka. “Perempuan hina, memangnya kau sangka aku takut padamu!” ~ Dengan kalap segera ia melancarkan serangan tanpa ampun lagi.

Bu-tong-pay terkenal dengan 72 jurus “Lian-goan-toat-beng-kiam-hoat”, ilmu pedang pencabut nyawa yang hebat, apalagi sekarang mereka berdua menghadapi Giam Wan seorang, betapapun mereka menang dalam hal tenaga, maka tiada lama Giam Wan sudah mulai terdesak dan tak sanggup balas meneyrang lagi.

Panca indra Kok Ham-hi sangat tajam, melihat Giam Wan terdesak, tiba2 ia endengus: ‘Hm, sekarang biarpun kalian mohon kepergianku juga aku tidak sudi.” ~ Se-konyong2 ia meloncat keatas, sinar pedang berkelebat, langsung ia menerjang kearah Thio Goan-kiat. 

Goan-kiat sudah merasakan kelihaian orang, lekas2 ia palangkan pedang untuk menangkis, diluar dugaan tampaknya Kok Ham-hi menerjang ke arah Goan-kiat, tapi sebelah tangan terus menggablok kebelakang, maka terdengarlah suara “plak” yang keras tanpa ampun Kiau Goan-cong yang bermaksud menyergap dari belakang itu kena gampar sekali, akan tetapi punggung Ham-hi sendiri juga kena oleh pukulan Goan-cong.

Lwekang Ham-hi cukup tinggi, pukulan yang mengenai punggung itu tidak jadi soal baginya. Tidak demikian dengan Goan-cong, mukanya seketika bengap kena gamparan Ham-hi itu. Rupanya Ham- hi benci kepada mulutnya yang kotor, maka sengaja hajar adat padanya.

Melihat suhengnya kecundang, Goan-kiat menjadi kuatir, cepat ia menusuk untuk mencegah serangan lebih lanjut kepada sang suheng. Tusukannya cukup lihai dan memaksa musuh harus menjaga diri lebih dulu. Tak terkira Kok Ham-hi ternyata lebih cepat daripadanya, tusukan Goan- kiat itu mengenai tempat kosong dn tahu2 Ham-hi telah melayang lewat sebelahnya.

Sudah tentu Goan-kiat menginsyafi bahaya yang mengancam, tidak memalukan juga sebagai murid Bu-tong-pay yan tangguh, mendadak ia mendak kebawah, pedang menangkis keatas untuk melindungi kepala. Maka terdengarlah suara “trang” yang nyaring, kedua pedang beradu, tangan Goan-kiat terasa kesakitan, hampir2 pedang terlepas dari cekalan.

Terdengar Kok Ham-hi mendengus sekali, tahu2 sudah berada dua tiga meter didepan sana dan telah bergebrak dengan si jangkung.

Wajah Goan-kiat menjadi merah, diam2 ia merasa malu dan bersyukur. Maklumlah tadi sebenarnya Kok ham-hi sudah ada kesempatan untuk menyerangnya terlebih gencar, kalau benar Ham-hi melancarkan jurus serangan maut, mustahil jiwa Goan-kiat tak melayang seketika. Akan tetapi hal itu ternyata tidak dilakukan oleh Kok Ham-hi.

Dalam keadaan demikian, biarpun Goan-kiat sangat dendam kepada Kok Ham-hi juga cukup tahu diri, timbul juga rasa herannya: “Jelas ia tahu aku hendak membinasakan dia, mengapa dia malah bermurah hati padaku?”

Dalam pad itu terdengar sijangkung sedang membentak: “Jangan temberang, keparat! Hadapi aku dahulu!” ~ berbareng goloknya lantas menabas dari samping disertai pukulan pula. Baik golok maupun tangan musuh adalah berbisa, meski kepandaian Kok Ham-hi lebih tinggi dari lawannya juga sukar mematahkan serangan campuran itu dalam keadaan, apalagi dia harus memikirkan racun pada senjata dan tangan musuh.

Di sebelah sana, Kiau Goan-cong yang merasakan gamparan Kok Ham-hi tadi, seketika timbul napsu membunuhnya, dengan murka ia membentak: “Keparat, hari ini bukan kau yang mampus biarlah aku yang mati!” ~ dengan muka berdarah, seperti kerbau gila saja ia terus menerjang ke arah Kok Ham-hi.

Thi- Goan-kiat tertegun sejenak, menyusul iapun menyerang maju pula. Gebrakan tadi disadari Goan-kiat bahwa pihak lawan sengaja bermurah hati padanya, tapi sang tunangan direbut orang, dendam ini mana bisa dikesampingkan, pula sang suheng sedang bertempur mati2an, mana boleh dia tinggal diam? Sebab itulah ia harus menempur lagi dengan sengit.

Dengan satu lawan tiga sedikitpun Kok Ham-hi tidak gentar, masih lebih banyak menyerang daripada diserang. Cuma bahu kirinya sudah terluka,setelah beberapa puluh jurus gerak geriknya mulai lamban.

Keadaan Giam Wan disebelah sana lebih gawat daripada Ham-hi sendiri, dibawah keroyokan Ki Goan-lun dan Nio Goan-hian, semula Giam Wan masih sanggup bertahan, tapi setelah puluhan jurus, lamban laun ia menjadi kewalahan, sampai akhirnya untuk menangkis saja sudah susah.

Pertarungan sengit ini membikin Bing-sia yang mengintip diatas pohon itu ikut ber-debar2. Ia menjadi ragu2 apakah perlu ikut didalam pergolakan itu atau tidak. Dalam pada itu dilihatnya Giam Wan sedang menghadapi serangan musuh yang berbahaya, baru saja Bing-sia bermaksud melompat turun untuk membantu sang Piauci, tiba2 terdengar bentakan Kok Ham-hi yang menggelegar.

Karena gertakan itu, hati Goan-kiat tergetar dan tanpa terasa mundur dua tindak, Goan-cong juga terdesak mundur oleh pukulan Ham-hi, berbareng itu Ham-hi terus menerjang keluar kepungan sambil berteriak: “Berhenti dulu, dengarkan kataku!”

“Hm, begini bagus perbuatanmu ini, kau masih mau bilang apa lagi?” jengek sijangkung.

“Hehe, kukira siapa, kiranya kau tak lain adalah Sutenya Ca-ih-hou Toan Tiam-jong!” kata Ham-hi sambil tuding si jangkung.

“Jadi dia adalah Hui-pah-cu?” seru Giam Wan.

“Benar, Sutenya Ca-ih-hou adalah Hui-pah-cu Ci Jing-san!” kata Ham-hi.

Kiranya “Ca-ih-hou Toan Tiam-jong, di harimau bersayap, adalah kepala dari Tin-lam-jit-hou. Dahulu waktu Giam Seng-to dikerubut Tin-lam-jit-hou didaerah Siau-kim-jwan, luka yang dideritanya adalah perbuatan Toan Tiam-jong.

Hui-pah-cu Ci Jing-san, simacan tutul terbang, tidak termasuk dalam Tin-lam-jit-hou, tapi kepandaiannya lebih tinggi daripad ketujuh orang itu termasuk suhengnya sendiri si harimau bersayap Toan Tiam-jong.

Karena permusuhan Giam Seng-to dengan Tin-lam-jit-hou, untuk menjaga bila Vi Jing-san membantu suhengnya, maka Seng-ti pernah menceritakan simacan tutul terbang ini kepada anak perempuannya, bahkan memperingatkan agar hati2 bila berkelana di dunia kangouw. Sungguh tidak terduga bahwa Hui-pah-cu yang disebut ayahnya itu sekarang juga datang bersama tunangannya. Tapi Giam Wan lantas paham juga persoalannya, pikirnya: “Rupanya Ci Jing-san ini yang menyampaikan kabar tentang diriku dan membawa Goan-kiat kesini untuk membuktikan “perjinahan”ku. Bisa jadi secara diam2 Ci Jing-san telah menyelidiki gerak gerikku sehingga hubunganku dengan ham-hi diketahui olehnya.”

Begitulah Ci Jing-san menjadi tercengang, tapi segera ia bergelaktertawa seperti tidak terjadi apa2, katanya: “Saudara benar awas sekali sehingga dapat mengenali diriku. Memang benar, aku adalah Hui-pah-cu Ci Jing-san, lalu kau mau apa?”

Kok Ham-hi tidak menjawabnya, tapi terus berseru kepada pihak Thio Goan-kiat: “Coba, kalian adalah anak murid Bu-tng-pay yang terkenal, mengapa kalian bergaul dengan orang yang terkenal kejahatannya dikalangan Hek-to seperti dia ini, apakah kalian tidak tahu malu? Apakah kaliantidak tahu bahwa Tin-lam-jit-hou justru adalah musuh Cwan-say-tayhiap Giam-locianpwe?”

“Orang she Kok, jangan kau mencampur adukkan dua urusan yang tiada sangkut pautnya satu sama lain,” jengek Goan-kiat. “Yang jelas, kau, kau telah mencemarkan tunanganku, betapapun aku tidak bisa melepaskan kau.”

“Sungguh aku menyesalkan dirimu, mungkin kau telah tertipu oelh orang jahat,” kata Ham-hi. “Kau tidak perlu pura2 baik hati!” bentak Goan-kiat dengan gusar. “pendek kata, aku takkan percaya kepada ocehanmu.”

Kiau Goan-cong juga ikut menjengek: “kau sendiri juga orang jahat yang tidak tahu malu, masakah kau malah menuduh orang lain? Apapun mengenai Ci-toako, yang penting dia adalah saksi yang akan kami temukan kepaa Giam-locianpwe. Kami justru kuatir kau sendiri tiada muka buat bertemu dengan Giam-locianpwe.”

“Buat apa banyak omong dengan dia!” jengek Ci Jing-san.

“benar!” sahut Kiau Goan-cong, berbareng ia terus menubruk maju, kembali ia hantam pula kemuka Kok Ham-hi dengan murka.

Maklumlah, sebagai jago muda dari Bu-tong-pay, mukanya telah digampar Kok Ham-hi hingga bengap dan berdarah, sekarang kemenangan pihaknya kelihatan didepan mata, sudah tentu ia ingin membalas sakit hati tamparan tadi.

Melihat sang suheng sudah turun tangan, tanpa pikir Goan-kiat juga menusuk dengan pedang. Mereka berdua sudah biasa “maindobel”, ilmu pedang diserta I ilmu pukulan, kerja sama mereka sangat rapat, lebih2 serangan pedang Tio Goan-kiat, lihai luar biasa. Sedangkan Ci Jing-san juga tidak mau ketinggalan, iapun menerjang maju.

Walaupun terluka tidak parah, tapi Kok Ham-hi merasa tidak sanggup bertempur lebih lama lagi, ia tahu bila terkepung sekali lagi oleh ketiga musuh itu untuk meloloskan diri terang tidaklah mudah. Segera ia keluarkan jurus aneh, dengan tangan menghadapi pedang dan dengan pedang menusuk tangan lawan.

Saat itu Kiau Goan-cong sedang menghantam dengan pukulan yang dahsyat, tapi tahu2 ia dipapak oelh ujung pedang Kok Ham-hi, lekas2 ia tarik kembali tangannya. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa telapak tangan kiri Kok Ham-hi telah memotong kedada Thio Goan-kiat. Baru saja Goan- kiat bermaksud menangkis dengan pedang, tahu2 pergelangan tangan terasa kesemutan, edang telah kena dirampas oleh Kok Ham-hi.

Dengan kepandaian Goan-kiat sebenarnya tidak segampang itu pedangnya dapat dirampas orang, soalnya cara bertempur Kok Ham-hi sangat aneh, kelihatan menyerang Goan-cong, tahu2 menghantam pula kearahnya sehingga pertahanan bersama antara Goan-cong dan Goan-kiat menjadi bobol, pula Goan-kiat sama sekali tidak menyangka lawan berani merampas pedangnya dengan bertangan kosong, sebab itulah secara tak terduga pedangnya lantas berpindah tangan. “Ini terima kembali!” bentak ham-hi sambil melemparkan pedang rampasan kearah Ci Jing-san. Ci Jing-san merasa tidak sanggup menerima pedang itu, lekas2 ia mengelak kesamping.

Melihat gerak lemparan pedang Kok Ham-hi itu adalah gaya ilmu silat Bu-tong-pay yang disebut “Jong-liong-tiau-bwe” (naga tua memutar ekor), Goan-cong menjadi kaget dan sangsi pula.

Terpaksa ia meloncat keatas, tangannya meraup, dengan gaya indah ia tangkap kembali pedang sutenya itu. Sementara itu Kok Ham-hi sudah membobol kepungan dan lari kehutan didepan sana. Tapi entah mengapa, ia tidak terus kabur, sebaliknya lantas berhenti dibawah pohon.

“Kok-toako,lekas pergi, jangan pikirkan aku, mereka tidak berani mengganggu diriku!” seru Giam Wan dengan girang.

Tapi ia lantas kelabakan lagi karena diserang oleh Ki Goan-lun dan Nio Goan-hian dengan gencar “trang”, tusuk kondainya kena ditabas oleh pedang Goan-hian.

“Hm, memang kami tak berani mengganggu kau,” jengek Goan-lun. “Tapi akan kami bekuk kau untuk dihadapkan kepada ayahmu, coba dimana pamor Cwan-say-tayhiap akan disembunyikan bila mengetahui putri hina dian macam kau ini.”

Setelah Goan-cong mengembalikan pedang kepada Goan-kiat, dengan muka bersengut ia berkata: “hendaklah sute jangan lupa akan pesan suhu ketika menyerahkan pedang padamu. Nama baik perguruan sekarang terletak diatas bahu kita.”

Hendaklah diketahui bahwa Bu-tong-pay termashur karena ilmu pedang dan lwekang. Dikala setiap anak murid tamat belajar, pada upacara pemberian pedang oleh sang guru selalu diberi pesan bahwa “pedang ada orang hidup, pedang hilang orang mati.” Sebab itulah setiap murid Bu-tong-apy memandang pedang sendiri sebagai jiwanya sendiri pula.

Sekarang pedang Goan-kiat kena direbut oelh Kok Ham-hi, biarpun dapat disamber kembali oleh sang suheng, tapi hal ini sudah merupakan penghinaan besar bagi Goan-kiat, jauh lebih memalukan daripada tamparan yang diderita Goan-cong tadi. Sebab itulah Goan-cong sengaja mengungkit pesan sang guru diwaktu memberikan pedang, artinya Goan-kiat harus berani mengadu jiwa demi kehormatan perguruan.

Sambil terima kembali pedangnya, muka Goan-kiat sebentar merah sebentar pucat, katanya dengan mengertak gigi: “Mati atau hidup adalah urusan kecil, kehormatan perguruan lebih penting, tanpa peringatan suheng juga siaute tahu cara bagaimana harus bertindak!”

Begitulah kedua orang lantas menerjang maju kesana, yang satu hendak menuntut balas tamparan, yang lain hendak membalas sakit hati direbutnya pedang.

Sebenarnya Kok Ham-hi dengan leluasa dapat melarikan diri, tapi dia malah berhenti didepan hutan sana. Keruan Giam Wan merasa kuatir dan ber-ulang2 mendesak sang kekasih lekas kabur.

Tampaknya Goan-cong dan Goan-kiat sudah memburu tiba. Ci Jing-san juga sudah mencegatnya dari jurusan lain, namun Kok Ham-hi tetap tenang2 saja, se-konyong2 ia menggertak: “Ini, biar kalian kenal kelihaianku!” ~ Berbareng itu telapak tangannya lantas memotong kebatang pohon disampingnya. Serentak bergemuruhlah suaranyam pukulannya ternyata membawa suara menderu sebagai guntur ditengah halilintar.

Terdengar suara gemuruh dan berderak patahnya ranting kayu yang ertebaran, pohon itupun tergetar se-akan2 tumbang. Pada saat itulah diatas pohon mendadak muncul sesosok bayangan orang, laksana burung saja, orang itu lantas melayang kebawah.

Kiranya Bing-sia kebetulan sembunyi diatas pohon itu. Mendadak Kok Ham-hi menggunakan Thian-lui-kang untuk menghantam pohon itu, karena tergetar dengan hebat, hampir2 saja Bing-sia terjungkal dari atas pohon, untung ginkangnya sangat tinggi, waktu jatuh kebawah ia sempat menutul kakinya sehingga tubuhnya melayang kesan dan tepat jatuh dekat Giam Wan.

Tadi Kok Ham-hi belum mau mengeluarkan Thian-lui-kangnya yang ampuh, soalnya ia belum tahu asal usul Ci Jing-san, pula merasa tidak enak hati merebut tunangan orang, sebabitulah ia ingin mengalah sedapat mungkin. Kini setelah terpaksa barulah ia perlihatkan Thian-lui-kang untuk menakuti lawan2nya. Diluar dugaan pukulan pameran itu malah “menjatuhkan” Bing-sia pula dari atas pohon.

Kejadian tak ter-sangka2 itu membikin terkejut juga anak murid Bu-tong-pay dan Ci Jing-san. “Nah, siapa diantara kalian inginkan jiwaku boleh silahkan maju!” seru Ham-hi kemudian. “Cuma kalian harus tahu, akupun tidak sungkan2 lagi untuk membalas kalian dengan cara yang sama.”

Ci Jing-san menjadi jeri melihat kehebatan Thian-lui-kang anak muda itu, ia pikir pantas sehengnya bertujuh sampai kecundang, nyatanya anak muda itu memang memiliki kepandaian sakti.

Kiau Goan-cong dan Thio Goan-kiat juga saling pandang dengan keder. Tapi mereka berdua sama2 terhina, mana mereka rela menyerah mentah2. Tiba2 Goan-cong berseru: “Tangkap dulu perempuan hina itu!”

Dalam pada itu ketika mendadak Bing-sia melompat turun dari atas pohon dan tepat berdiri didekatnya, Giam Wan menjadi terkejut dan heran, serunya: “Kiranya kau, Piaumoay! Apakah ibu menyuruh kau kesini?”

Semula Ki Goan-lun dan nio Goan-hian juga tercengang ketika tiba2 melihat seorang melayang turun dari atas pohon, tapi demi mendengar seruan Goan-cong, serentak mereka menyerang lagi kearah Giam Wan.

Memangnya Giam Wan sudah kewalahan menghadapi mereka, kini diserang lagi secara mendadak, tahu2 ujung pedang Goan-hian yang gemilapan sudah menyamber tiba didepanleher. Sebisanya Giam Wan menangkis dengan pedangnya, namun pedang Goan-lun juga sudah menusuk tiba kepergelangan tangan, bila Giam Wan tidak lepaskan pedang akan berarti tangannya harus terluka. Tapi kalau lepas padang berarti pula dia akan tertawan.

Melihat Giam Wan terancam bahaya, Kok Ham-hi menjadi kuatir, segera ia bermaksud menerjang kesana membantu, tapi segera ia dirintangi Goan-kiat dan Goan-cong dengan serangan2 lihai.

Syukurlah pada saat gawat itu, Bing-sia yang berdekatan dengan Giam Wan itu sudah dengan sendirinya tidak tinggal diam, cepat Bing-sia membentak: “Lepas pedang?”

Saat itu Goan-lun mengira tusukannya pasti akan berhasil, tak terduga mendadak selarik sinar perak berkelebat, bukan pedang Giam Wan yang terlepas , sebaliknya pedang Goan-lun sendiri yang harus dilepaskan.

Rupanya Goan-lun dan Goan-hian tidak begitu menghiraukan seorang nona cilik sebagai Bing-sia itu walupun tahu anak dara itu berada didekat Giam Wan situ. Tak tersangka kepandaian Bing-sia bahkan lebih lihai daripada Giam Wan, tahu2 Bing-sia sudah menubruk tiba dengan lihai luar biasa, seketika pedang Goan-lun kena direbutnya.

“Kau tidak mahir menggunakan pedang, biar pedangmu pinjamkan aku saja,” ejek Bing-sia dengan tertawa. Memangnya ia tidak membawa senjata, sama sekali ia tidak tahu pantangan orang Bu-tong- pay bila kehilangan pedang berarti guurnya pemilik pedang. Bahkan setelah merampas pedang Goan-lun itu segera ia gunakan menusuk kearah Goan-hian sambil berkata: “Pedang suhengmu sudah kurampas, bila pedangmu tidk kuambil pula rasanya kurang adil!”

Ilmu pedang Bing-sia aneh sekali, betapapun Goan-hian bukan tandingannya, apalagi saat itu dia sedang menghadapi Giam Wan, ketika tiba ia terkejut tahu2 pergelangan tangan kesemutan, pedang jatuh ketanah.

Dengan senang Bing-sia mengejek: “ Ini namanya senjata makan tuan, makanya kalian jangan coba2 memaksa piauciku melepaskan pedangnya!”

Disebelah sana Goan-cong bertiga sudah mulai mengerubuti Kok Ham-hi pula, Melihat Giam Wan sudah terbebas dari bahaya, hati Kok Ham-hi menjadi lega, rasa dongkol tadi segera dilampiaskannya terhadap ketiga orang lawan, yang pertama menjadi sasaran adalah Kiau Goan- cong, begitu kedua tangan beradu ”blang” kontan Goan-cong terlempar pergi beberapa meter jauhnya.

Ilmu pukulan Kok Ham-hi itu dilontarkan secara berantai, tangan kanan membikin Goan-cong terpental, tangan kiri dengan dahsyat juga menuju Thio Goan-kiat.

Dengan mata merah berapi Goan-kiat sudah kalap juga, dengan murka ia membentak: “Biar kuadu jiwa dengan kau!” ~ Ditengah berkelebatnya sinar pedang dan samberan angin pukulan, tusukan Goan-kiat ternyata mengenai tempaty kosong,sebaliknya tubuhnya terasamengapung, iapun kena dilemparkan Kok Ham-hi.

Ditengah udara Goan-kiat sempat berjumpalitan, ketika turun kebawah, darah dirongga dada terasa bergolak, Cuma lukanya ternyata tidak seberat sangkaannya semula. Meski napasnya sesak tidak sampai terluka dalam, hanya sebuah tulang rusuknya saja patah. Lukanya tidak seberat Kiau Goan- cong yang sampai muntah darah.

Rupanya terhadap Thio Goan-kiat memang Kok Ham-hi tidak tega turun tangan keji, soalnya meras telah merebut tunangan orang, kalau membinasakannya pula dalam hati nurani rasanya tidak enak. Sebab itulah tenaga pukulannya tadi hanya tiga bagian saja yang ditujukan kepada Goan-kiat.

Sudah tentu Goan-kiat bukan anak bodoh, setelah tertegun sejenak, segera ia membangunkan sang suheng. Seketika ia menjadi bingung apa yang mesti dia lakukan.

Dalam pada itu Ci Jing-san sudah bergebrak tiga kali dengan Kok Ham-hi. Sampai gebrakan keempat, segera Kok Ham-hi mengeluarkan Thian-lui-kng. Ketika kedua tangan beradu, terdengarlah suara keras. Ci Jing-san ter-huyung2 mundur beberapa langkah. Tapi dia malah meras girang tampaknya, setelah berdiri tegak segera ia berseru dengan tertawa: “Bocah ini sudah payah, kawan2 hayolah maju ber-sama2!”

Setelah membikin lawannya ter-huyung2 mundur, Kok Ham-hi sendiri merasa dadanya rada sakit dan tangannya juga gatal2 pegal. Rupanya Thian-lui-kang yang dia latih belum mencapai tingkatan yang paling sempurna, ketika dia tidak tega membinasakan Thio Goan-kiat dan menarik ekmbali tenaganya, dalam keadaan ter-buru2 kembalian tenaga itu menggetar badan sendiri sehingga kekuatan sendiri banyak berkurang. Agaknya Ci Jing-san dapat melihat kelemahan Kok Ham-hi itu, makanya berani mengadu pukulan dengan dia, biarpun adu pukulan itu dimenangkan Kok Ham-hi, tapi pukulan berbisa Ci Jing-san juga mengenai Kok Ham-hi dan keracunan. Dalam keadaan demikian ia harus mengerahkan tenaga untuk melawan menjalarnya racun, bila Goan-cong dan Goan-kiat maju lagi mengerubut bersama Ci Jing-san, sebentar lagi tentu celaka bagi Kok Ham-hi. Untung Goan-cong terluka cukup parah, maksudnya juga mau bertempur lagi, tapiu apa daya, hati tak sampai. Dengan sendirinya Goan-kiat tidak berani sembarangan bertindak mengingat lawan sudah dua kali bemurah hati padanya.

Keruan Ci Jing-san tidak berani menyerang lagi dengan sendirian. Sebaliknya Kok Ham-hi lantas melotot padanya dan membentak: “Ci Jing-san, hayolah maju!”

“Kalian ini bagaimana?” jengek Ci Jing-san terhadap Goan-cong dan Goan-kiat. “Bocah ini adalah musuhmu, sekiranya kalian terima dihina, biarlah aku segera angkat kaki dari sini daripada ikut menanggung malu.”

Terpaksa Goan-cong mengisiki sutenya agar maju membantu. Terpaksa Goan-kiat mengiakan, ia meninggalkan sang suheng, segera ia putar pedangnya hendak menerjang maju lagi.

Kok Ham-hi sudah kena racun, iapun insyaf bila pertempuran dilanjutkan terpaksa tidak kenal ampun lagi, segera ia kumpulkan tenaga dan menarik napas panjang2, ia siap untuk bertempur mati2an.

Tampaknya pertarungan mati2an segera akan berlangsung, se-konyong2 suara seorang tua membentak: “Siapa berani bikin gara2 didekat rumahku sini, berhenti semuanya!”

Suaranya berkumandang dari jauh, jelas orang itu memiliki ilmu lwekang “Thoan-im-jip-bit” (mengirimkan gelombang suara). Padahal didaerah ini tiada orang kosen lain kecuali Cwan-say- tayhiap Giam Seng-to sendiri.

Benar juga belumlenyap kumandang suaranya, menyusul Giam Seng-to sudah muncul juga, bahkan tidak sendirian, dia datang bersama istrinya malah.

Goan-kiat urung menerjang maju, segera ia berseru: “Kebetulan sekali kedatangan Gakhu-tayjin (bapak mertua terhormat).”

Giam-hujin tertampak gusar sekali, bentaknya dengan suara ter-engah2: “Budak ingin mampus, aku bisa mati kaku karena perbuatanmu. Bing-sia tak kusangka kau bersekongkol dengan piaucimu dan mengelabui aku. Hayo lekas kalian berhenti semua!” Kiranya saat itu Ki Goan-lun dan Nio Goan- hian masih bernapsu hendak merebut pedang mereka dan masih mengerubuti Bing-sia.

Sekali mencungkit dengan ujung kaki, Bing-sia membikin sebatang pedang yang jatuh ditanah tadi melayang kearah Goan-hian. Menyusul pedang yang dipegang lantas dibalik, gagang pedang disodorkan kepada Ki Goan-lun sambil berkata: “ini, terimalah kembali pedangmu!”

Dengan rada bingung Goan-lun lantas pegang pedang itu, habis itu baru ia tersadar perbuatannya benar2 memalukan, segera ia berkata: “Utangmu ini kucatat didalam hati, mengingat kedatangan Giam-tayhiap, sementara ini kutunda perhitungan kita ini.”

Dilain pihak, Goan-hian juga sudah menangkap kembali pedang yang melayang kearahnya itu, dengan pedang terhunus ia melototi Bing-sia dengan gusar.

Giam-hujin cukup kenal peraturan Bu-tong-pay, dari gusar ia menjadi terkejut pula, katanya dengan membanting kaki: ‘kalian Kalian berdua budak ini benar2 terlalu kurang ajar! Kalian

benar2 ingin membikin aku mati kaku!” “Soal ini tiada sangkut pautnya dengan Piauci, kata Bing-sia. “Akulah yang merebut pedang mereka. Habis mereka mengeroyok Piauci seorang. Coba apakah pantas perbuatan mereka? Bibi, kau jangan kuatir, ada akibat apa2 biar aku yang bertanggung jawab. Nah, dengarkan kalian, aku bernama Beng Bing-sia, ayahku Beng Siau-kang namanya, ada urusan apa2 boleh cari aku di Sohciu.”

Giam-hujin menjadi serba geli dan mengkal, tapi kini yang membuatnya kuatir adalah urusan anak perempuannya yang memalukan itu, sebab itu untuk sementara ia tidak sempat menggubris Bing- sia.

Setelah kedua pihak sudah berhenti bertempur, dengan pelahan barulah Goan-kiat bicara: “Gakhu- tayjin, apa yang terjadi ini sudah engkau saksikan sendiri, rasanya tidak perlu kuterangkan lagi.

Maka urusan yang lebih jelas silahkan tanya sendiri kepada putrimu.”

“Ayah, engkau sendiripun menyaksikan bahwa orang itu adalah Hui-pah-cu Ci Jing-san, sute Toan Tiam-jong, musuh besar kita,” demikian Giam Wan juga mengadu. “Tapi anak murid Bu-tong-pay sengaja datang bersama dia, jelas mereka memang ingin mencari perkara kepada kita.”

“Dengan tenag Ci Jing-san memberi hormat kepada Giam Seng-to, lalu berkata: “Ya, memang betul, Suhengku ada sedikit perselisihan dengan Giam-tayhiap, tapi sama sekali tiada sangkut pautnya dengan persoalan malam ini. Terus terang Giam-tayhiap, biarpun terjungkal ditanganmu, namun suhengku sebenarnya sangat kagum padamu, yang membikin dia penasaran adalah campur tangan bocah ini sehingga engkau sendiripun terhina. Hehe, soal ini mestinya tidak perlu kukatakan sebab Giam-tayhiap sendiri sudah melihatnya. Bocah ini bukan saja sudah lama kenal putrimu, bahkan ada hubungan gelap diluar tahumu. Masakah nama baik Giam-tayhiap sudi dinodai begitu saja olehnya? Terus terang kedatanganku ini ingin membantu engkau agar persengketaan kita bisa diselesaikan secara diam2, dengan demikian peristiwa malam inipun dapat ditutupi sehingga takkan membikin malu masing2 pihak.

Memang Giam Seng-to paling mengutamakan kehormatan, sekarang anak perempuannya tertangkap basah sedang main pat-pat-gulipat dengan gendaknya, sudah tentu hal ini membuatnya sangat malu. Maka ia menjadi bungkam, mukanya membeku menakutkan.

Biarpun dia tidak segera mengumbar perasaannya, tapi setiap oran tahu itulah tanda2 akan datangnya angin badai, maka tiada seorangpun berani membuka suara, keadaan menjadi sunyi tapi tegang. Termasuk Goan-kiat, iapun ber-debar2, sebab tidak tahu dengan cara bagaimana Giam Seng-to akan menyelesaikan anak perempuannya.

“Ayah,” kata Giam Wan dengan tabahkan diri, “Anak tidak berbakti, mohon …… “

“Tutu mulut!” bentak Giam Seng-to mendadak. “Bagus benar perbuatanmu, masih ada muka kau memanggil ayah padaku?” ~ Ia terus melangkah maju, tangan terus hendak menghantam keatas kepala Giam Wan.

Giam Wan sudah menyadari keadaan buruk itu, tapi tak disangka olehnya sang ayah akan membinasakannya begitu saja tanpa tanya persoalan yang lebih jelas. Seketika itu ia menjadi ketakutan sehingga tertegun ditempatnya tanpa pikir buat menyelamatkan diri.

Untung Bing-sia sudah siap sedia, pada detik berbahaya itu secepat kilat ia menubruk maju, sebelah tangannya mendorong tubuh Giam Wan sambil berseru: “Lekas lari Piauci!”

Melihat Bing-sia merintanginya, terpaksa Seng-to menarik kembali tangannya.

Karena dorongan Bing-sia tadi, Giam Wan benar2 lolos dari renggutan elmaut, dia baru sadar bahwa jiwanya hampir saja melayang. Ia menyadari ayah ibunya suda htidak bisa mengampuninya lagi, ia harus mengadakan pilihan diantara kekasih dan orang tua.

Pilihan demikian merupakan pilihan yang maha sulit karena menyangkut kepentingan selama hidupnya. Bila urusan belum betbuka, mungkin ayah-ibunya masih dapat mengampuninya. Tapi kini apa yang terjadi disaksikan orang luar, betapappun ayahnya tidak dapat menanggung rasa malu demikian dan pasti akan membinasakannya, untuk minta ampun rasanya sukar. Tapi kalau tinggal pergi, padahal ayah-ibu hanya mempunyai anak perempuan dia satu2nya, apakah tega meninggalkan mereka dan membikin mereka merana selamanya? Demikian Giam Wan menjadi bingung karena pertentangan batin itu. Akhirnya ia mengambil keputusan dan bertekad penuh, ia terus berlari menuju kearah Kok Ham-hi. Girang dan kejut pula Kok Ham-hi, ia pentang kedua tangannya menyambut kedatangan Giam Wan. Dengan erat sinona genggam kedua tangan kekasihnya itu sambil berkata pelahan: ‘Kok- oako, hanya engkau satu2nya sandaran bagiku sekarang. Marilah engkau membawa serta diriku, kita pergi saja!”

Bing-sia merasa lega melihat sang piauci telah berlari kepada Kok Ham-hi. Ia pikir pemuda itu pernah menolong pamannya, betapapun rasanya sang paman tidak sampai membalas budi dengan benci. Asalkan sang paman tidak melabrak Kok Ham-hi, dengan gabungan kekuatan Kok Ham-hi dan Giam Wan tentunya takdapat dihalangi oleh rombongan Kiau Goan-cong.

Sebenarnya tindakan Bing-sia menyelamatkan Giam Wan juga sangat berbahaya, untung ilmu pukulan Giam Seng-to sudah terlatih sempurna dan dapat ditarik kembali seketika, kalau tidak pasti Bing-sia sudah terbinasa oleh pukulannya tadi.

Setelah tenangkan diri, kemudian Bing-sia berkata: ‘Harap paman jangan marah dahulu, segala sesuatu hendaknya dibicarakan secara baik2.”

Pada saat itulah Goan-cong tampil kemuka dengan berlumuran darah, katanya dengan dingin: “Orang tua Thio-sute tidak berada disini, sebagai suheng terpaksa aku mengambil keputusan baginya. Tentang perjodohan ini jelas kami tidak berani meng-harap2kan lagi. Tentang bocah ini akan membawa kabur putrimu, boleh atau tidak adalah urusan Giam-tayhiap sendiri.”

“Bocah she Kok itupun tidak jelek,” Ci Jing-san ikut mengejek. “Giam-tayhiap, selamat engkau telah mendapat menantu lagi.”

Giam-hujin merasa malu dn gemas pula, amarahnya lantas ditumplekkan kepada Bing-sia, dampratnya sambil menarik Bing-sia kesamping: “Disini bukan tempatmu untuk ikut bicara, kau tidak boleh campur urusan orang.”

Dengan wajah guram Giam Seng-to lantas membentak: “Kok Ham-hi, lepaskan dan tinggalkan anak perempuanku!”

“Ayah, boleh anggap saja diriku sudah mati.” Kata Giam Wan dengan air mata ber-linang2. “Maafkan anakmu yang tidak berbakti ini, anak sudah bertekad akan ikut pergi bersama dia.” “Budak hina dina, sungguh kau tidak tahu malu,” damprat Giam-hujin dengan gusar. “Pendek kata betapapun aku melarang kau pergi bersama dia, kecuali aku sudah mati.”

Giam Seng-to tidak urus anak perempuannya, tapi bicara langsung kepada Kok Ham-hi: “Kok- siauhiap, kau pernah menolong aku, budi ini takkan kulupakan selama hidup. Tapi kau hendak membawa lari putriku dan membikin malu keluargaku, hal ini se-kali2 tak boleh terjadi. Orang she Giam selamanya tegas membedakan antara budi dan dendam, jika kau bertekad akan berbuat demikian, terpaksa aku akan membereskan sekalugus dengan membalas budi dan membalas dendam disini dengan kau.”

Mendengar ucapan sang paman yang berarti hendak mengajak “duel” Kok Ham-hi Bing-sia menjadi terkejut dan kuatir. Sebaliknya Goan-cong dan Goan-kiat merasa girang. Sedangkan Ci Jing-san setengah girang dan setengah mendongkol, sebab Giam Seng-to mengaku pernah utang budi kepada Kok Ham-hi hal ini berti dia tetap anggap Tin-lam-jit-hou sebagai musuh dan menolak tawaran damai dari Ci Jing-san tadi.

Dengan mata melotot Giam Seng-to menyambung pula: “Ilmu silat Kok-siauhiap sangat hebat, umpama aku mati ditanganmu adalah pantas. Jiak beruntung tidak mati dan berbalik aku mencelakai kau, maka akupun pasti membunuh diri untuk membalas budi pertolonganmu kepadaku dahulu itu.”

Baru sekarang semua orang paham apa yang dikatakan Giam Seng-to tentang membalas budi dan membalas dandam sekaligus tadi. Semua orang menjadi tercengang akan tekad yang luar biasa ini. “Wanpwe se-kali2 tidak berani bergebrak dengan Giam-tayhiap,” kata Kok Ham-hi.

“Baik, jika demikian boleh kau pergi saja sendirian, dalam sepuluh tahun selangkahpun kau tidak boleh menginjak wilayah Sucwan barat sini,” kata Giam Seng-to pula. “Tapi bila kau ada urusan memerlukan tenagaku, silahkan memberi kabar dan aku segera akan memenuhi panggilan siang dan malam menuju ketempat yang kau tunjuk.”

Pengusiran sudah dikeluarkan, jika Kok Ham-hi tidak pergi akan berarti harus bertarung melawan Giam Seng-to. Dan sekali bertarung, baik kalah ataupun menang Giam Seng-to harus menebus dengan jiwanya. Dalam keadaan demikian mana bisa Kok Ham-hi membawa pergi anak perempuan orang setelah membikin mati ayahnya.

Dalam sekejap itu perasaan Kok Ham-hi benar2 bagai di-sayat2, timbul macam2 pikiran dalam benaknya, akhirnya ia berkata dengan penuh rasa duka: “Adik Wan, rupa2nya hidup kita ini ditakdirkan begini, hendaklah selanjutnya jangan kau pikirkan diriku lagi.”

Cara penyelesaian Kok Ham-hi ini benar2 diluar dugaan semua orang. Goan-kiat menjadi gemas dan dendam, pikirnya: ‘Perempuan yang sudah tidak suci masakan dapat kuterima kembali? Tapi bocah ini sama2 tidak mendpatkan perempuan hina itu, rasanya terlampias juga dendamku ini.” Kalau Kok Ham-hi lantas pergi tentunya urusan akan menjadi beres, tak terduga mendadak Giam Wan berseru: “nanti dulu, Kok-toako!”

“Urusan sudah begini, terpaksa kita berpisah, apa mau dikata lagi?” sahut Ham-hi sambil menoleh dengan wajah sedih.

“Urusan ini timbul dari diriku, maka biar aku pula yang menyelesaikannya sendiri untuk menghilangkan persoalan,” kata Giam Wan. “Ayah, hendaklah kau jangan marh kepada Kok-toako, sesudah aku mangkat harap engkau menganggapnya sebagai puteramu!”

“Apa katamu?” seru Giam Seng-to terkejut.

Belum lenyap suaranya tertampak Giam Wan mendadak melolos pedang terus menikam kedada sendiri. Pada saat yang sama, terdengar pula jeritan ngeri Kok Ham-hi.

Dibawah sinar bulan yang remang2, tertampak wajah Kok Ham-hi penuh darah, bajunya juga berlumuran titik2 merah, mukanya yang putih cakap itu kini bersilang oleh dua goresan luka. Menyusul itu terdengarlah suara “trang”, pedang yang dipegang Giam Wan terlepas dan jayuh ketanah.

Kiranya muka Kok Ham-hi itu dilukai oleh pedang Thio Goan-kiat, sedangkan pedang Giam Wan dipukul jatuh oleh ibunya.

Rupanya rasa cemburu Thio Goan-kiat benar2 seperti api disiram minyak, ketika melihat bakal istrinya telah jatuh kedalam pelukan lelaki lain, saking tak tahan ia terus menyerang tanpa pikir. Meski ia tahu kepandaian Kok Ham-hi jauh lebih tinggi, tapi dibawah pengaruh rasa cemburu, ia menjadi mata gelap dan tanpa pikir panjang lagi. Walaupun demikian iapun tidak lupa bahwa dua kali Kok Ham-hi telah bermurah hati kepadanya, sebab itulah sergapannya ini ditujukan kemuka Kok Ham-hi dan tidak sengaja hendak membinasakan lawan asmara itu.

Agaknya Goan-kiat merasa rendah harga diri karena kecakapan Kok Ham-hi itu, maka ketika menyergap tela htimbul pikirannya buat merusak muka yang bagus itu andaikan tidak jadi menewaskannya.

Saat itu Kok Ham-hi sedang berduka lantaran keputus asaannya gagal mempersunting Giam Wan, sama sekali ia tidak menduga Goan-kiat akan meneyrgapnya. Sedangkan serangan Goan-kiat itu sangat cepat lagi tepat, ketika Kok Ham-hi merasa mukannya dingin disertai rasa kesakitan, tahu2 wajahnya yang cakap itu sudah digores seperti huruf X.

Ketika goan-kiat menyergap Kok Ham-hi adalah tepat saat giam Wan sedang melolos pedang hendak bunuh diri. Ketika mendengar jeritan Kok Ham-hi, Giam Wan terkesiap sehingga tanpa terasa ujung pedang yan hampir menancap ulu-hati sendiri itu terhenti sejenak. Pada saat itulah Giam-hujin sempat menyambitkan sebuah cincin sehingga pedang giam Wan terbentur jatuh selagi anak dara itu tertegun oleh wajah Kok Ham-hi yan gterluka itu.

Sambil menutup muka sendiri, konta Kok Ham-hi balas menendang sehingga Goan-kiat terjungkal, bilamana dia mau menambahi tendangan sekali lagi jiwa Goan-kiat pasti akan melayang. Untung baginya tiba2 timbul pikiran Kok Ham-hi yan ganeh, karena sudah tak dapat memperistri Giam Wan, buat apa mesti membunuh bakal suaminya itu? Maka sambil menutup mukanya Kok Ham-hi lantas berlari pergi.

Sungguh mimpipun Goan-kiat tidak menyangka sergapannya akan berhasil secara begitu lancar menghadapi lawan yang berkepandaian jauh lebih tinggi, sebenarnya ia sudah bernekad mengadu jiwa, tapi sekarang jiwanya selamat, bahkan berhasil melukai muka musuh, biarpun kena dibalas sekali tendangan rasanya cukup berharga juga baginya. Tapi aneh juga, waktu ia merangkak bangun, sedikitpun tiada rasa puas dan senang dalam hatinya, sebaliknya ia merasa hampa. Giam Wan juga tertegun sejenak, kemudian sepeerti tersadar dari impian segera memburu kearah Kok Ham-hi. Akan tetapi baru saja melangkah beberapa meter jauhnya, tiba2 tangannya terasa kencang, ternyata ibunya telah menyeretnya kembali …….

Begitulah Bing-sia dan Ci In-hong melanjutkan perjalanan ditanah bersalju, ketika hujan salju berhenti ternyata cerita Bing-sia belum lagi selesai. Sampai disini Bing-sia rada menggigil. “Apakah kau kedinginan?” tanya In-hong.

“Badanku tidak dingin, hatiku yang merasa dingin, karena ngeri kepada kejadian dahulu itu,” sahut Bing-sia.

“Benar, ceritamu belum tamat, kemudian bagaimana?” tanya In-hong.

“Memang cerita ini adalah suatu cerita yang belum dapat diketahui bagaimana akhirnya,” ujar Bing- sia. “Yang kuketahui hanya Kok Ham-hi terluka parah, tapi luka hatinya mungkin jauh lebih parah daripada luka tubuhnya. Piauci telah diseret pulang oleh bibi dan ikatan mereka berdua telah dipisahkan secara paksa. Ai, tentu kau belum pernah melihat Kok Ham-hi, sebenarnya dia adalah pemuda yang sangat cakap, tapi mukanya telah digores oleh pedang Goan-kiat yan gtajam, kula yang bersilang itu, sungguh , ai, aku tidak tega untuk bercerita lagi.”

Bing-sia memejamkan mata se-akan2 teramat ngeri membayangkan wajah Kok Ham-hi yang sudah rusak dan mnyeramkan itu.

Dalam hati Ci In-hong juga merasa pedih bagi Kok ham-hi. Selang sejenak barulah ia berkata: “Boleh bercerita tentang piaucimu saja. Menuruti watak piaucimu, dia pasti tidak mau menikah dengan Thio Goan-kiat bukan? Lalu bagaimana dia kemudian? Masakah dia terima dikurung selamanya di rumah?”

“Dengan sendirinya dia takkan menjadi istri Thio Goan-kiat,” kata Bing-sia. “Dia punya Toasuheng sudah secara resmi membatalkan pertunangan Goan-kiat dan piauciku dihadapan paman dan bibi, setelah bibi menyeret pulang piauci, anak murid Bu-tong-pay dan Ci Jing-san juga lantas pergi semua.”

“Dan kau sendiri bagaimana wakt uitu?” tanya In-hong.

“Menuruti watakku sebenarnya akupun tidak mau tinggal lebih lama lagi di rumah bibi, tapi mengingat piauci, aku tetap ikut mereka pulang kerumah. Bibi telah mengurung Piauci di suatu kamar gudang, semula aku dilarang menjenguknya, tapi kemudian Piauci mogok makan, ber-turut2 beberapa hari dia tidak mau makan. Terpaksa bibi pura2 tidak tahu ketika aku mengantar daharan kepada piauci dan membujuknya supaya berpikir panjang, kukatakan Kok ham-hi toh belum mati, jika dia mati tidak makan dan diketahui Kok Ham-hi, tentu pemuda itupun akan menghabisi jiwa sendiri, dengan begitu berarti kedua orang akan mati sia2. Padahal kalau keduanya sama2 beriman teguh, asal jiwa tetap selamat, bukan mustahil kelak masih ada kesempatan bertemu kembali. Piauci mau terima bujukanku, tapi dia minta bantuanku agar menolong dia melarikan diri. Meski tahu kelihatan paman dan bibi, tapi demi kebahagiaan piauci, secara berani aku telah terima permintaannya. Diluar dugaan urusan ternyata berjalan dengan sanga lancar. Malam itu juga aku berhasil membuka pintu gudang dan membebaskan piauci, lalu kami berdua melarikan diri bersama tanpa diketahui oelh paman dan bibi. Ya, barangkali mereka tah tapi pura2 tidak tahu karena sengaja hendak melepaskan anak perempuan mereka.”

Ci In-hong manggut2, katanya: “memang di dunia ini tiada ayah-bunda yang tidak sayang kepada putra-putrinya. Aku yakin setelah kejadian malam itu, betapapun Giam Seng-to dan istrinya pasti merasa menyesal juga.”

“Setelah berpisah dengan piauci, selama ini aku tidak pernah menerima beritanya, entah dia berhasil menemukan Kok ham-hi tidak,” sambung Bing-sia.

“Apakah kau telah beritahukan ayahmu tentang peristiwa itu?” tanya In-hong.

“Sebelum tiba dirumah ayah sudah mengetahui lebih dulu,” shut Bing-sia. “Hubungan ayah dengan Bu-tong-pay cukup erat, karena itulah maka Kiau Goan-cong dan para sutenya tidak berani merecoki ayah, tapi tak urung aku telah didamprat oleh ayah, bahkan ayah sendiri datang ke Tu- tong-san untuk meminta maaf kepada guru Kiau Goan-cong dan Thio Goan-kiat, dengan demikian barulah urusan terselesaikan.””Sebenarnya ayah juga menaruh simpatik terhadap Kok Ham-hi.” Kata Bing-sia lebih lanjut. “Cuma sayang, tiak lama pulang segera ayah mengadakan perjalanan pula ke utara, maka beliau tidak sempat pergi ke Sucwan barat untuk mencari tahu asal usul Kok Ham-hi kepada Giok-hong Totiang.”

In-hong ter-mangu2 sejenak, katanya kemudian: “Jika menurut ceritamu tenaga pukulan yang digunakan Kok ham-hi untuk menggetarkan pohon itu memang Thian-lui-kang adanya.Berdasarkan kejadian itu, besar kemungkian dia adalah murid Sisusiok.”

“Jika demikian kan berarti pula dia adalah saudara seperguruanmu,” Bing-sia menambahkan. “Cuma sayang aku tidak kenal dia punya Thian-lui-kang. Setelah mendengar ceritaku, ayah juga menyangka dia adlah jago muda yang belum terkenal, siapa tahu dia adalah anak murid dari aliranmu ini. Kalau tahu,tentu sejak dulu ayah mencarinya atau meminta bantuan teman untuk mencarinya, mengingat persahabatan ayah dengan gurumu.”

“banyak terima kasih atas ceritamu ini,” kata In-hong. “Sudah sekian lamanya guruku sangat rindu kepada sisusiok, selama berpuluh tahun tiada sedikitpun memperoleh berita tentang diri sisusiok, kini sedikit tanda2 jejaknya telah ditemukan. Cita2 guruku selama ini adalah menemukan sisusiok, bersama sisusiok diharapkan mereka berdua akan berhasi membikin pembersihan perguruan dan meenyapkan Yang Thian-lui yang durhaka dan khianat itu. Kupikir bila guruku mendapat kabar tentu beliau akan berkunjung sendiri ke daerah Kanglam untuk mencari jejak mereka (Kok ham-hi dan gurunya).

“Ya, semoga gurumu berhasil menemukan mereka, akupun sangat ingin tahu bagaimana kesudahannya antara Piauci dengan Kok Ham-hi,” ujar Bing-sia.

“Semoga ceritaku ini akan ditutup dengan ‘akhir bahagia.’

Sudah tentu Bing-sia tidak tahu bahwa pada saat itu Kok Ham-hi juga sedang mencari dia, bahkan juga sangat mengharapkan dapat bertemu dengan Ci In-hong. Bing-sia tidak tahu dimana beradanya Kok Ham-hi, sebaliknya Ham-hi tahu Bing-sia dan Ci In-hong sedang berada dalam perjalanan ini. Kiranya Kok Ham-hi bukan lain daripada orang yang berkedok yang dijumpai Nyo Wan dan Putri Minghui di kelenteng kuno itu.

Kok Ham-hi juga sedang merasakan kosongnya perasaan dalam perjalanan di tanah bersalju yang mulus laksana kaca raksasa yang bersih tanpa cacat dibawah sinar bulan yang remang2. Tapi hati Kok Ham-hi sudah terluka dan menetekan darah, banyak kenangan lam, baik pahit-getir maupun manis kecut dan suka-suka serentak bergejolak dalam benaknya.

Setelah mengalami istirahat empat tahun, sang waktu memang adalah tabib yan gpaling baik, luka lahir dan batinnya sudah sembuh semua. Luka pada wajahnya sudah lama sembuh semua. Luka batin juga sudah dia tutupi dengan perasaannya yang dingin dan hampa.

Akan tetapi malam ini luka batinnya kembali kambuh oleh sentuhan Akai dan Nyo Wan, sebab Nyo Wan telah menyebut namanya Bing-sia dan Akai telah menyingkap kain kedoknya ae-akan2 mengingatkan dia bahwa dia adalah seorang laki2 yang bemuka jelek. Ia tidak tahu bahwa Giam Wan sedang merana dan mencarinya, tapi ia memang sengaja menyembunyikan diri menghindari Giam Wan. Selama empat tahun nian di tidak pernah mencari tahu jejak Giam Wan, juga tidak mendapat kabar apa2 tentang nona itu.

Sungguh tidak nyana perasaan yang aman tenteram selama empat tahun itu kini telah bergelombang lagi, karena ditimpuk sepotong batu kecil oleh ucapan Nyo Wan. Nona ini telah memberitahukan padanya bahwa Bing-sia juga berada dalam perjalanan ke arah yang sama ini. Berita inilah merupakan ‘batu’ yang menimbulkan gelombang perasaannya.

Bing-sia berada dalam arah perjalanan ini, lalu dimana lagi Giam Wan?

Kok Ham-hi pikir Bing-sia adalah adik misan Giam Wan, bila berjumpa dengan Bing-sia tentunya akan bisa diperoleh kabarnya Giam Wan. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa setelah Bing-sia membantu kaburnya sang piauci dari rumah, habis itu mereka berdua saudara misan juga putus kabar berita selama empat tahun.

Selama empat tahun ini meski dia sengaja menghindari Giam Wan , tapi sesungguhnya betapa pula ia mengharapkan berita tentang diri si nona.

Harus pergi mencari Bing-sia dan coba tanya padanya tentang diri Giam Wan atau tidak? Pertanyaan inilah yang menggelora didalam hati Kok Ham-hi. Jantungnya berdebar, luka dimukanya juga seperti sedang terbakar. Tanpa terasa ia membuka kain kedoknya, maka terbayanglah suatu wajah yang jelek pada tanah bersalju yang putih licin laksana cermin itu. Ia tersenyum getir sendiri, pikirnya: “Dengan wajahku ini masakah ada nilainya menerima cinta seorang gadis? Apalagi diantara diriku dan Giam Wan terdapat banyak rintangan. Kami harus berpisah, ini sudah suratan nasib. Sekalipun dia tidak mencela mukaku yang buruk ini seperti Akai, tapi akupun tidak tega membuatnya berduka lagi. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan dia, lalu buat apa membuatnya mengetahui aku masih hidup didunia ini?” ~~ Berpikir demikian, hampir2 ia membatalkan niatnya mencari Bing-sia untuk minta keterangan padanya tentang diri Giam Wan.

Akan tetapi selain Bing-sia masih ada lagi seorang yang sangat ingin dijumpainya, yaitu teman seperjalanan Bing-sia , Ci In-hong.

Setelah mendengar kata2 Yang Kian-pek tempo hari ia sudah yakin bahwa Ci In-hong pasti adalah saudara seperguruannya. Bahkan Ci In-hong juga memusuhi Yang Thian-lui. Yang Kian-pek dan sebangsanya.

Tiba2 Kok Ham-hi terkenang kepada kejadian dimasa lalu yang membuatnya sangat terharu

………. “

Dahulu, sesudah dia dipaksa berpisah dengan Giam Wan, dalam keadaan terluka batin, ia menjadi putus asa dan pulang beristirahat selama lebih tiga tahun lamanya, luka tubuhnya sudah lama sembuh, tapi luka hatinya sungguh sukar disembuhkan, seorang pemuda yang tadinya gagah ganteng telah berubah menjadi lesu, pendiam dan patah semangat.

Pada suatu malam mendadak gurunya, Kheng Thian-hong, bertanya padanya: “Kau mengetahui gurumu ini bukan orang Kanglam, tapi apakah kau tahu sebab apa Suhu meninggalkan kampung halamannya dan menyingkir kedaerah Kanglam yang jauh ini?”

Selamanya Kok Ham-hi memang tidak pernah mendengar sang guru bercerita tentang asal usul sendiri, sekarang gurunya menyinggung sendiri hal demikian dengan sendirinya ia ingin tahu sebab musababnya.

Dengan sorot mata yang tajam Kheng Thian-hong lantas bercerita: “Sebab musababnya sangat sederhana, yaitu karena aku tidak pernah melupakan bahwa diriku adalah bangsa Han, aku tidak tahan berada dibawah penjajah bangsa lain, makanya aku mencari kebebasan. Kakek gurumu adalah seorang pendekar besar yang mengasingkan diri, selama hidup beliau senantiasa berjuang bagi kepentingan bangsa. Cuma sayang diantara muridnya terdapat seorang pengkhianat. Bahkan ilmu silat murid durhaka itu paling tinggi, sudah memperoleh seluruh ajaran beliau dan menjadi murid pertama ahli waris.”

“Barangkali kakek guru kurang bijaksana, mengapa mengangkat murid durhaka begitu sebagai ahli waris?” ujar Kok Ham-hi.

Orang itu memang sangat pintar ber-pura2, kemunafikannya memang sangat sukar diketahui,” tutur Keng Thian-hong pula. “Waktu masih berada dalam perguruan sedikitpun dia tidak memperlihatkan jiwanya yang khianat. Bukannya Kakek guru kurang bijaksana, tapi beliau terlalu sayang kepada murid yang berbakat. Apalagi dia adalah murid pertama, paling giat belajar, cerdas pula orangnya, paling sempurna pula meyakinkan “Thian-lui-kang” kebanggaan perguruan kita, sebab itulah ia berhasil mengelabui kakek guru, lalu dia diangkat sebagai ahli warisnya.”

“Sesudah kakek guru wafat, secara terang2an dia lantas menyerah kepada musuh. Dikatakan menyerah kepada musuh sebenarnya tidak benar seluruhnya, sebab ayahnya adalah bangsa Han, sedangkan ibunya bangsa Kim. Setelah kakek gurumu wafat, dia lantas anggap dirinya sebagai orang Kim. Bisa jadi dia adalah mata2 yang diselundupkan bangsa Nuchen kedalam perguruan kita, artinya dia memang musuh kita, hanya dia pandai menutupi gerak geriknya sehingga kita kena dikelabui.”

“Jika begitu tinggi ilmu silat orang itu, setelah menyerah kepada pihak Kim tentunya tenaganya sangat dihargai. Siapakah gerangannya?” tanya Kok Ham-hi.

“Dia adalah Yang Thian-lui, koksu kerajaan Kim sekarang ini.” Sahut Kheng Thian-hong. Yang Thian-lui terkenal sebagai jago nomor satu dinegeri Kim, kebusukan namanya sudah bukan rahasia lagi, maka Kok Ham-hi juga pernah dengar namanya, Cuma tidak menyangka dia justru Toasupek (paman guru paling tua) sendiri. Maka dengan tegas ia berkata: “Sungguh suatu noda besar bagi perguruan kita. Suhu, jangan2 engkau terpaksa menyingkir karena perbuatan pengkhianat itu?” “Ya, sudah tentu dia termasuk salah satu sebabnya, sehingga aku terpaksa menyingkir jauh kesini,” sahut Kheng Thian-hong. “Cuma yang memaksa aku meninggalkan kampung halaman terutama adalah pemerintah penjajah Kim itu. Biarlah malam ini akan kuceritakan seluruh kisahku, aku ingin kau melakukan sesuatu tugas penting untuk memenuhi cita2ku yang belum terlaksana. Kau harus ingat betul2 ceritaku malam ini. Jangan melupakan pesanku ini!”

Melihat gurunya bicara dengan sungguh2 dan prihatin, cepat Kok Ham-hi menjawab: “Tecu dibesarkan oleh Suhu, budi ini melebih ayah-ibu, maka ada urusan apa silahkan Suhumemberi pesan.”

“Ketahuilah bahwa kakek gurumu mempunyai empat murid,” tutur Kheng Thian-hong lebih lanjut. “Aku adalah murid buncit. Diantara ketiga suhengku, Jisuheng Hoa Thian-hong paling cocok dengan aku. Sedangkan Toasuheng adalah murid durhaka Yang Thian-lui. Ketika masih sama2 berada dalam perguruan, meski gerak gerik durhaka Yang Thian-lui belum nampak jelas, namun aku sudah merasa tidak cocok dengan dia. Waktu itu secara diam2 aku sudah masuk barisan pergerakan dan hal ini hanya diketahui oleh Suhu saja. Sebenarnya urusanku itu dapat kuberitahukan kepada Jisuheng, tapi lantaran Jisuheng mempunyai kelemahan, meski orangnya jujur, tapi wataknya lemah, menghadapi sesuatu urusan tidak dapat mengambil keputusan tegas.

Karena itu aku tidak ingin memaksa dia ikut dalampergerakan, aku ingin dia menyatakan pandangannya sendiri barulah akan kuberitahukan rahasiaku padanya.

“Setelah Suhu meninggal dunia, tahun kedua Yang Thian-lui lantas secara terang2an menjadi budak pemerintah Kim. Mendapat kabar itu segera aku menemui Jisuheng, maksudku hendak mengajak dia mengadakan pembersihan dalam perguruan sendiri. Siapa tahu Jisuheng ternyata takut kena perkara, ia tidak berani melawan Toasuheng, sebelum aku datang dia sudah menyingkir entah kemana.

“Aku merasa kepandaianku selisih sangat jauh dengan Yang Thian-lui, bila menghadapi dia seorang diri pasti tiada harapan, sebabitulah disatu pihak aku giat meyakinkan ilmu dengan lebih sempurna, dilain pihak aku mencari jejak Jisuheng, aku berharap dapat menemukan dia, akan kurunding dan bujuk dia agar suka bekerja sama dan bersatu padu dengan aku.

“Di rumahku sendiri aku masih ada ibu yang sudah tua, aku sudah bertunangan, bakal istriku adalah Piaumoayku sendiri yang sejak kecil tinggal dirumahku, untunglah Piaumoay yang telah mewakilkan aku menjaga ibu dengan baik sekali. Maksud ibu menunggu setelah aku tamat belajar dan pulang menikah dengan Piaumoay. Aku sendiri karena tidak berhasil menemukan Jisuheng, akupun berpikir kawin dulu, urusan lain terpaksa ditunda, maka aku lantas pulang ke rumah. “Akupun tahu Yang Thian-lui pasti takkan melepaskan diriku, kalau tidak memaksa aku mengekor padanya tentu akan membinasakan aku. Aku mengira dia tidak tahu rahasiaku dalam barisan pergerakan, kutaksir dia takkan buru2 mencari perkara padaku, akupun tidak pernah berpikir bahwa dia akan menggunakan cara yang licik dan kotor untuk membikin susah ibu dan bakal istriku. Sudah sekian lamanya aku berpisah dengan ibu dan tunangan, kini menghadapi saat2 bahagia perkawinan, sudah tentu hatiku diliputi rasa girang dalam perjalanan pulang kerumah itu.

“Siapa tahu ketika sampai dirumah, demi melihat keadaan rumah, seketika aku seperti diguyur air dingin, rasa girangku yang meliputi seluruh benakku itu serentak terhanyut seluruhnya. Kulihat di daun pintu rumahku telah disegel oleh pembesar setempat, ibu dan piaumoay telah ditangkap, dimana mereka ditahan juga tidak diketahui.

“Selagi aku terkesima menghadapi rumahku yang tertutup rapatitu, seorang tua tetanggaku telah menarik aku kedalam rumahnya dan memberitahukan apa yang terjadi. Maka barulah aku mengetahui bahwa keparat Yang Thian-lui sendirilah yang memimpin pasukan petugas ke rumahku untuk menangkap ibu dan bakal istriku, bahkan meninggalkan sepucuk surat kepada paman tua tetangga itu agar disampaikan kepadaku bila aku pulang.”

“Bangsat Yang Thian-lui itu benar2 manusia berhati binatag,” kata Kok Ham-hi dengan gemas dan sedih pula bagi nasib sang guru. “Sungguh tidak tahu malu dia. Apa saja yang dia katakan didalam surat itu?” Dapatkah cinta Kok Ham-hi dan Giam Wab terjalin kembali dan bagaimana pula kisah guru Kok Ham-hi yang mengharukan itu?

Cara bagaimana Ci In-hong dan Beng Bing-sia mencapai Hui-liong-san dan melabrak musuh bersama Nyo Wan dan Li Su-lam?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar