Postingan

 
Jilid 09

Ci In-hong membenarkan pertanyaan Bing-sia tentang maksud kedatangannya kekota kecil ini, katanya: “sebenarnya sebelumnya aku sudah menduga siapa yang telah memalsukan diriku.

Mungkin sekali Yang Kian-pek sudah mengetahui lolosnya diriku dari Taytoh, bisa jadi ayahnya yang menyuruh dia berbuat seperti begini.”

“Ya, dari nada ucapannya agaknya dia sudah mengetahui tentang pembangkangan mu terhadap ayahnya,” kata Bing-sia. “Maka dengan sendirinya dia sangat benci padamu. Cuma aku tidak paham mengapa dia membikin susah padamu dengan cara serendah itu? Sebagai koksu negeri Kim, tentunya anak buah Yang Thian-lui yang lihai tidaklah sedikit. Untuk membekuk kau cukup dia kerahkan anak buahnya dan tidak perlu memakai cara yang kotor.”

“Nona Beng didunia ini masih banyak manusia yang berjiwa rendah dan kotor, untuk mencelakai orang lain mereka tidak segan2 menggunakan cara licik,” kata Ci In-hong. “Menurut perkiraanku pertama, sekarang Yang Thian-lui menginjak dua perahu, disatu pihak dia bersekongkol dengan tartar Mongol, hal ini dengan sendirinya tidak boleh diketahui jago2 kerajaan Kim, dengan begini orang yang dia utus untuk memburu diriku tentu terbatas dan orang yang paling dapat dipercaya adalah putranya sendiri. Kedua, Tang Kian-pek sengaja memalsukan namaku untuk berbuat kecabulan, dengan merusak nama baikku, dengan sendirinya aku akan dibenci oleh kaum pendekar dunia persilatan sehingga aku tidak punya jalan untuk menggabungkan diri dengan kaum pergerakan itu. Ketiga, jika aku tidak terima namaku tercemar, dengan sendirinya aku akan muncul untuk mencari perhitungan dengan maling cabul itu, dengan begini tanpa susah2 mereka akan dapat menemukan diriku. Yang Kian-pek itu sangat takabur, dalam pertarungan tadi, apalagi dia dibantu pula oleh tua bangka Ho Kiu-kong dan istrinya.”

“Dan sekarang setelah kau mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, lalu bagaimana tindakanmu selanjutnya?” tanya Bing-sia.

“Setelah kejadian semalam, terang bangsat she Ho itu akan pindah tempat, andaikan kita menemukan mereka juga kita berdua belum tentu sanggup melawan mereka yang berjumlah lebih banyak. Maka sementara itu akupun tidak punya pendapat yang baik.”

“Memang, kau terluka, akupun masih lemah, untuk bertempur lagi memang tidak menguntungkan kita. Kukira urusan ini ditunda saja sampai kita bertemu dengan ayahku.”

“Nona Beng, mengapa pula kau meninggalkan Long-sia-san sendirian?” Mestinya kau hendak kemana?”

“Aku ingin mencari ayah ke Hui-liong-san.”

“Li-bengcu berangkat bersama ayahmu, masakah kau masih kuatir?” ujar In-hong dengan tertawa. Wajah Bing-sia berubah merah, iapun rada mendongkol karena orang rupanya juga salah terka sebagaimana anggapan To Hong tentang hubungannya dengan Li Su-lam.

Melihat airmuka Bing-sia yang kurang senang itu barulah Ci In-hong menyadari ucapannya keliru, namun menyesalpun sudah terlambat. Tapi dia lantas merasa aneh pula terhadap dirinya sendiri mengapa bisa mengucapkan kata2 begitu, padahal mereka baru saja kenal, apakah diluar sadarnya dalam hati kecilnya juga menaruh cemburu kepada Li Su-lam.

Dengan hambar kemudian Bing-sia menjawab: “Ilmu silat Li Su-lam sangat hebat, orangnya juga cerdik, rasanya aku tidak perlu kuatir baginya. Yang kukuatirkan adalah seorang lain lagi.”

“O, maaf,” kata Ci In-hong. “Soalnya Li-bengcu memikul tanggung jawab yang berat sehingga aku rada2 menguatirkan dia. Dan entah siapa pula yang dikuatirkan nona Beng itu?”

“Tunangan Li-bengcu,” sahut Bing-sia.

Ci In-hong menjadi melengak, ia menegas dengan heran: “O, jadi li-bengcu sudah bertunangan? Dimanakah bakal istrinya itu sekarang? Mengapa kau merasa kuatir baginya?”

“Malam itu, orang yang berteriak tangkap mata2 musuh itulah bakal istri Li Su-lam,” kata Bing-sia. “Waktu itu dia menyamar sebagai prajurit biasa.”

“Hah, mengapa dia perlu menyamar segala?” In-hong tambah heran.

“Urusan pribadi orang tak perlu kita cari tahu lebih jauh,” ujar Bing-sia dengan tertawa. “Yang pasti tunangan Li-bengcu itu kini juga sedang menempuh perjalanan kejurusan ini pula. Karena pengalamannya yang masih cetek, maka aku merasa kuatir.”

“O, jadi maksudmu hendak melindungi dia secara diam2,” kata In-hong.

Bing-sia enggan mebceritakan seluk beluknya, terpaksa menjawab seadanya: ‘Ya, boleh dikatakan demikian.”

In-hong menjadi tertawa tidak kepalang, pikirnya: “Tadinya kukira nona Beng jatuh hati kepada Li Su-lam, tak tahunya aku telah salah wesel. Ya, asalkan benar demikian, buat apa aku mencari tahu urusan pribadi prang lain?” Maka Ci In-hong segera mengajak berangkat menuju Hui-luong-san. Yang dia harapkan sekarang asalkan dapat berada bersama Beng Bing-sia, tentang urusan Li Su-lam dan Nyo Wan dia merasa tidak perlu tanya lagi.

Sesudah Bing-sia memberitahukan persoalan Nyo Wan kepada Ci In-hong, kemudian terpikir pula olehnya bahwa apa yang diucapkannya itu tidak pada tempatnya, ia merasa heran terhadap dirinya sendiri sebagaimana Ci In-hong tadi. Begitulah kedua muda mudi itu tanpa terasa telah sama2 menemukan rahasia isi hati sendiri.

Kembali pada Nyo Wan dengan hati bimbang ia menempuh perjalanan sendirian. Ia menyamar sebagai anak muda yang bermuka jelek sehingga tidak menarik perhatian, oleh karena itu tidak mengalami hal2 yang mengesalkan hati seperti pengalaman Bing-sia. Ditengah jalan iapun mendengar tentang peristiwa maling cabul segala, tapi karena dia sendiri ada urusan, maka terpaksa ia tidak sempat menyelidiki kejahatan itu. Sementara itu berita tentang penyerbuan pasukan Mongol ke selatan sudah tersiar, maka semakin keutara semakin sepi orang berlalu lalang.

Lantaran ingin buru2 sampai di Hui-liong-san, tanpa merasa Nyo Wan melampaui tempat bermalam, ketika hari sudah gelap baru dia sadar, namun sukar lagi mencari pondokan.

Hawa daerah utara jauh lebih dingin daripada daerah selatan, saat itu baru permulaan musim semi, begitu cahaya sinar matahari hilang dan hari mulai gelap, maka dinginnya menyerupai musim dingin, bunga salju mulai bertebaran pula.

Karena hati menanggung asmara, tanpa terasa terkenang oleh Nyo Wan akan masa dahulu. Pernah dia dan Su-lam dalam perjalanan pulang ke kampung halaman juga mengalami malam bersalju seperti sekarang ini, namun waktu itu mereka berkumpul dengan mesra, penuh harapan dan bahagia kepada masa yang akan datang. Akan tetapi kini keadaan telah berubah menjadi pahit getir, Nyo Wan menempuh perjalanan sendirian dan kedinginan. Apakah engkoh Lam masih ingat padaku?

Ah, dia sudah punya orang baru, manabisa ingat kepada orang lama? Demikian pikirnya.

Ketika mendongak, tiba2 dilihatnya di depan sana ada sebuah kelenteng kuno. Ia pikir kebetulan sekali, biarlah malam ini kulewatkan di kelenteng itu saja.

Ketika melangkah masuk pintu kelenteng itu, dilihatnya diatas tanah ada segundukan api unggun, kayu bakar sudah hampir menjadi abu, tapi masih menganga dengan api yang sebentar2 memanjang keatas.

Ketika itu ternyata tiada penghuninya. Ia pikir yang membuat api unggun itu bisa jadi adalah kaum pengungsi yang kebetulan lewat disitu, mungkin pula kaum pengemis. Tapi setelah membuat api, malam2 begitu meapa mereka tinggal pergi?

Karena tidak dapat menerka dengan pasti, sekenanya Nyo Wan menambahkan beberapa batang kayu bakar sehingga api kembali berkobar lagi.

Dengan pakaianku yang kotor dan rombeng ini, tampaknya akupun mirip kaum pengungsi. Seumpama nanti ada orang datang rasanya akupun tidak perlu menghindari.

Suasana malam sunyi demikian mirip sekali dengan malam di rumah gilingan bersama Li Su-lam dahulu itu, bedanya dahulu itu adalah rumah gilingan dan sekarang adalah kelenteng. Selain itu didampingnya sekarang juga kekurangan seorang Li Su-lam.

Selagi ngelamun, tiba2 Nyo Wan mendengar tiga kali suara tepukan tangan, suara itu datang dari arah pintu kelenteng sana. Menyusul dari kanan kiri juga ada suara jawaban tepukan tangan tiga kali.

Se-dikit2 Nyo Wan sudah punya pengalaman Kangouw, ia tahu sedikit2 tangan itu tentu tanda rahasia diantara orang2 itu. Ia terkejut: ‘Kiranya kelenteng ini akan dipakai tempat pertemuan orang Hek-to (kalangan hitam).”

Bila yang datang adalah kaum pengungsi tentu Nyo Wan tidak perlu menghindari, tapi yang datang adalah kaum Hek-to, mau tak mau Nyo Wan harus menyingkir dari siu. Maklum, orang Hek-to paling pantang bila rahasia mereka diketahui orang luar.

Kelenteng kuno itu sudah cukup bobrok, tapi altar tempat pemujaan masih cukup baik, patung diatas altar tingginya menyerupai manusia, bahkan ada aling2 kelambu tua. Lantaran tiada tempat sembunyi yang baik, terpaksa Nyo Wan menyingkap kelambu altar itu dan sembunyi di belakang patung.

Baru selesai sembunyi, terdengar suara tindakan orang sudah memasuki pintu kelenteng. Waktu Nyo Wan mengintip, dilihatnya pendatang itu adalah tiga orang laki2 kekar. Seorang yang jalan ditengah mukanya codet, bekas luka. Terdengar orang ini bersuara heran: “He, apakah tadi kalian sudah datang kesini?”

Orang yang berada di sebelah kanan menjawab: “Tidak, ada apa Kim-toako?”

“Aku ingat waktu pergi tadi tidak menambah kayu bakar, mengapa api unggun ini menyala sebesar ini,” kata orang bermuka codet yang dipanggil Him-toako itu.

“Mungkin Ho Kiu-kong telah datang kesini,” ujar orang sebelah kiri. “Dia dan kau kan sama2 tuan rumah disini.”

Him-toako itu mengangguk, sahutnya: “Ya, tentu Kiu-kong yang datang kemari.” “Entah ada urusan apa Kiu-kong mencari kita?” tanya orang sebelah kanan tadi.

Sebelum yang dipanggil Him-toako membuka suara, orang sebelah kiri sudah berseru: “Itu dia, Kiu-kong sudah datang!”

Ternyata Ho Kiu-kong juga datang bersama dua orang. Ketiga orang yang datang lebih dulu tadi memberi hormat, lalu dua diantaranya bertanya: “Dan dimana Ho-toanio?”

“O, semalam rumah kiu-kong telah kedatangan tamu agung, apakah kalian berdua belum lagi tahu?” ujar orang she Kim dengan tertawa.

“Tamu agung siapa?” tanya kedua orang tadi.

Sebentar akan kuceritakan,” kata Ho Kiu-kong. “Him-lotoa, apakah sudah kau beritahukan urusan malam nati kepada mereka?”

“Thio-thocu dari Im-ma-jwan dan Ciok-pangcu dari Ya-ti-lim sudah mengetahui, hanya belum diberitahukan kepada Him-cengcu dari Tay-him-ceng yang baru saja datang kemari,” sahut laki2 yamh bermuka codet.

Kedua orang yang datang bersama Ho Kiu-kong itupun bicara: ‘Kami juga baru saja tiba, entah ada urusan apakah Kiu-kong menyampaikan undangan kilat?”

“O, aku hanya dimintai bantuan orang agar mohon saudara2 sudi memberi bantuan pula,” kata Ho Kiu-kong. “Sebenarnya juga tiada urusan maha besar apa2, hanya mina saudara2 bantu menyelidiki jejak dua orang.

“Apakah kedua orang itu adalah musuh temanmu?” tanya Thio-thocu dari Im-ma-jwan. “Ya, juga musuhku,” sahut Ho Kiu-kong sambil mengangguk.

“Haha, jika begitu urusan menjadi gampang,” Kata Him-cengcu dari Tay-him-ceng dengan tertawa. “Begitu kami melihat jejak kedua orang itu segera kami bekuk mereka dan diserahkan kepada Kiu- kong. Silahkan Kiu-kong memberi keterangan ciri2 kedua orang itu dan kami segera berangkat mencarinya.”

Orang yang dipanggil Ciok-pangcu agaknya lebih bisa berpikir, ia tahu kepandaian Kiu-kong tidak rendah, tapi untuk menghadapi dua orang saja perlu mengerahkan kawan sebanyak itu, pasti dapat diperkirakan orang2 yang dimaksud pasti bukan orang sembarangan. Maka dengan hati2 ia bertanya: “Siapakah kedua orang itu?”

“Terdiri dari laki2 dan perempuan,” sahut Kiu-kong. “Yang laki berumur 20-an dan yang perempuan lebih muda sedikit.”

“Haha, kiranya Cuma dua anak muda ingusan saja, apa susahna membekuk mereka,” Him-cengcu melatah pula. “Siapa nama kedua bocah itu?”

“Ci In-hong dan yang perempuan Beng Bing-sia,” tutur Kiu-kong.

Ciok-pangcu terkejut, ia menegasi: “Beng Bing-sia? Bukankah dia puteri Beng Siau-kang, Kanglam-tayhiap yang termashur itu?”

“Benar,” sahut Kiu-kong.

Him-cengcu juga terkejut, seketika ia tidak dapat tertawa lagi. Katanya kemudian dengan ragu2: “Kabarnya Ci In-hong adalah anak buah kepercayaan Yang Thian-lui, Koksu kerajaan Kim, entah sama tidak orangnya?”

“Benar, memang dia itulah,” sahut Kiu-kong pula. “Bukan saja dia anak buah Yang Thian-lui, bahkan Sutitnya.” Ucapan ini membikin semua orang saling pandang, kata Ciok-pangcu: “ Mengapa anak perempuan Beng-tayhiap bisa berada bersama Sutit Yang Thian-lui, sungguh aneh sekali. Untuk ini harap Kiu- kong sudi memberi penjelasan.”

Nyo Wan yang bersembunyi dibelakang patung itu pun ter-heran2. Pikirnya: “Orang she Ci itu ternyata benar mata2 musuh. Tapi Beng Bing-sia yang bertemu dengan dia seharusnya melabraknya, entah mengapa mereka malah melanjutkan perjalanan bersama. Dan kenapa tua bangka she Ho ini hendak menangkap Bing-sia dan Ci In-hong berdua? Sebenarnya gerombolan orang she Ho ini membantu pihak mana?”

Dalam pada itu terdengar Ho Kiu-kong telah berkata dengan tertawa: “Urusan ini sedikitpun tidak perlu dibuat heran. Soalnya kalian belum tahu persoalannya. Dahulu Ci In-hong memang jagoan kerajaan Kim. Tapi itu sudah lalu. Kini dia sudah selisih paham dengan Yang Thian-lui. Maka kalian tidak perlu kuatir terhadap Yang Thian-lui, bahkan bila berhasil membekuk Ci In-hong kita akan mendapat hadiah malah.”

“Supaya kalian tidak sangsi, aku dapat memberitahu pula sesuatu,” sela laki2 bermuka codet tadi. “Tadi Kiu-kong menyatakan dimintai bantuan orang, coba kalian terka siapa orang yang dimaksudkan?” ~ Orang ini bernama Him Cong, adalah pembantu Ho Kiu-kong.

“Saudara sanak, harap kau bicara terus terang saja, jangan main teka teki,” kata Him-cengu. Kedua orang sama2 she Him, termasuk sesama kerabat.

Dengan pelahan Him Cong lalu menutur: “Orang yang dimaksud Kiu-kong adalah putra Yang Thian-lui sediri, tuan muda Yang Kian-pek. Yaitu Jay-hoa-cat yang akhir2 ini membikin geegr seluruh kota itu.

Semua orang merasa bingung dan bertanya mengapa Yang Kian-pek tidak tinggal dikotaraja Kim, sebaliknya keluyuran kemari dan menjadi Jay-hoa-cat.

“Hal ini ada hubungannya dengan Ci In-hong,” kata Ho Kiu-kong. “Diwaktu melakukan perkara, Yang Kian-pek menyamar sebagai Ci In-hong.”

“O, barangkali sengaja memancing munculnya Ci In-hong?” kata Thio-thocu.

“Memang tepat dugaan Thio-thocu,” kata Ho Kiu-kong dengan tertawa. “Cuma sayang, Ci In-hong sudah terpancing keluar, kemudian kabur pula.” ~ Lalu diceritakannya kejadian semalam sehingga tahulah semua orang akan duduk perkaranya.

Nyo Wan juga terkejut dan malu pula pada dirinya sendiri mendengar cerita itu. Ia pikir terlalu sembrono, belum2 sudah anggap Ci In-hong sebagai mata2 musuh hanya berdasar apa yang dilihatnya pada malam itu. Pantas waktu itu dia seperti sengaja membiarkan aku kabur. Tapi entah mengapa dia bersekongkol pula dengan To Liong secara diam2.

Meski dia masih bingung akan persoalannya, tapi sedikit banyak ia sudah dapat memperkirakan duduknya perkara. Ia yakin dibalik semua itu tentu ada sebab2nya. Ci In-hong pasti bukan satu aliran dengan To Liong, kalau tidak mana bisa Beng bing-sia menggabungkan diri dengan dia. “Dan sebenarnya yang kuharapkan hanya berita tentang jejak musuh saja,” kata Ho Kiu-kong lebih jauh. “Asal jejak mereka diketahui, hendaklah segera kalian mengirimkan berita, lalu Yang-kongcu sendiri yang akan menghadapi mereka. Apalagi anak dara she Beng itu sudah kena dilolohi obat istriku.”

“Baik, urusan jangan terlambat, segera kita pulang dan menyebarkan orang untuk mencari jejak musuh,” kata Ciok-pangcu.

Kiranya orang2 yang dikumpulkan Ho Kiu-kong ini adalah benggolan kaum Hek-to didaerah sini. Dengan perintahnya ini berarti seluas beberapa ratus li telah terpasang jaring yang rapat.

Meski Nyo Wan tidak berkesan baik terhadap Bing-sia, tapi demi mendengar ia kena cidera, diam2 iapun kuatir baginya. Ia pikir cara bagaimana aku dapat membantu mereka? Cara paling baik sekarang ialah sekaligus binasakan orang2 yang hendak memusuhinya sekarang ini. Tapi Ho Kiu- kong dan begundalnya itu berjumlah enam orang, bagaimana kepandaian mereka juga belum dikenal, bila nanti tidak sanggup melawan mereka kan urusan bisa menjadi runyam malah.

Selagi ragu2, terdengar Ho Kiu-kong telah memberi aba2 pertemuan telah selsai dan masing2 bolehj bubar.

Tiba2 Nyo Wan mendapat akal, tampaknya Ho Kiu-kong adalah kepala mereka, bila sebentar mereka bubar dan berpencar, sebaiknya kukuntit tua bangka itu dan membinasakan dia. Tentang jejak Ci In-hong dan Bing-sia menurut perhitungan hanya ada dua kemungkinan: “Pulang ketempat To Hong atau menuju ke Hui-liong-san. Jika jalan pertama yang ditempuh, maka rasanya mereka akan mendapat bantuan orang2nya To Hong dan tidak perlu dikuatirkan. Bila jalan belakangan yang diambil, kebetulan jurusan mereka sama dengan aku, asalkan sepanjang jalan aku pasang mata dan telinga, mungkin akan dapat menjumpai mereka. Demikina setelah ambil keputusan, Nyo Wan menjadi tidak sabar dan ingin Ho Kiu-kong dan begundalnya itu lekas2 pergi.

Tak terduga, selagi orang2 itu be-kemas2 hendak pergi, mendadak Him Cong, itu pembantu Ho Kiu-kong, bicara: “Tunggu sebentar saudara2, ada sesuatu urusan perlu dibikin terang dahulu.” “Ada urusan apalagi?” tanya Ho Kiu-kong kurang senang.

“Tentang urusan tadi, apakah tadi Ho Kiu-kong atau lainnya sudah datang kemari?” tanya Him Cong.

“Tidak! ~ Belum!” sahut orang2 itu.

“Ada apa kau tanyakan hal ini?” tanya Ho Kiu-kong.

“Tadi waktu aku keluar memapak kalian, aku ingat betul lupa menambahkan kayu bakar pada api unggun ini, tapi aneh, ketika kembali api unggun justru sedang berkobar. Malahan kami sangka Ho Kiu-kong sendiri telah datang kemari.”

Ho Kiu-kong terkejut, serunya: “Hah, jika demikian tentu ada orang luar telah datang kesini.” “Benar, hal ini tidak perlu disangsikan lagi,” ujar Ciok-pangcu. “Entah orangnya sudah kabur atau belum.”

Him Cong memang berwatak tidak sabaran, segera ia berteriak: “Mungkin masih bersembunyi didalam kelenteng, hayolah kita memeriksanya.’

Dengan hati ber-debar2 Nyo Wan memegang gagang pedangnya, asal mereka menyingkap kelambu altar segera ia akan menerjang musuh.

Tampaknya Him Cong segera akan memulai memeriksa ruangan kelenteng, tiba2 Ho Kiu-kong berkata: “Tidak, kukira orangnya tentu sudah pergi. Ruangan kelenteng sekecil ini, mana mungkin dapat dibuat sembunyi. Lebih baik kita keluar mencarinya, mungkin masih dapat membekuknya kembali.”

Hati Nyo Wan rada lega mendengar itu dan anggap kawanan penjahat itu terlalu goblok. Dari tempat sembunyinya apa yang dapat diintipnya hanya terbatas saja, ia tidak tahu saat itu Ho Kiu- kong sedang mengedipi kawan2nya, segera orang2 itupun tahu maksud Ho Kiu-kong, mereka adalah kawakan Kangouw semua, sama sekali tidak goblok sebagaimana sangkaan Nyo wan.

Ho Kiu-kong berlagak hendak pergi, tapi mendadak ia memutar balik, sebelah tangannya terus menghantam kearah altar sambil membentak: ‘Keluar, bangsat cilik!”

Pukulan cukup dahsyat itu telah membikin patung yang dipakai aling2 Nyo Wan itu roboh kesana sehingga menindih ketubuh sinona.

Kiranya ruangan kelenteng itu tiada barang2 lain kecuali altar pemujaan itu. Dasar Ho Kiu-kong memang licin dan licik, ia yakin bila ada orang sembunyi di dalam kelenteng, maka tiada tempat lain kecuali dibelakang patung. Sebab itulah ia pura2 hendak melangkah pergi, tapi mendadak lantas menyerang.

Untung Nyo Wan memiliki ginkang yang hebat, pada saat patung ambruk ke arahnya, sebelah tangannya sempat menahan dan mendorong ke samping, terdengar suara gemuruh, patung roboh dan Nyo Wan keburu melompat pergi, berbareng pedang dilolos pula.

Him-cengcu ter-bahak2,serunya: “Kiu-kong memang maha pintar, bangsat cilik itu kena di pancing keluar. Setan cilik, jangan kau harap bisa lari, lekas mengaku siapa yang “ belum habis

ucapannya, se-konyong2 sinar pedang berkelebat, tahu2 pedang Nyo Wan sudah menyamber tiba. Diantara beberapa orang itu ilmu silat Him-cengcu terhitung paling rendah, sudaah tentu serangan kilat Nyo Wan itu sukar dielakkan baginya. “Krek”, dua jarinya tertabas kutung. Saking kesakitan Him-cengcu sampai ber-kaok2, tiba2 ia merasa enteng, tubuhnya terlempr pergi beberapa meter jauhnya. Kiranya melihat gelagat jelek dengan cepat Ciok-pangcu keburu melemparkan kawan sendiri dari ancaman pedang musuh.

Karena jatuh terkapar dengan kesakitan, Him-cengcu menjadi gusar dan mendamprat: “Ciok-losam, mengapa kau menyerang kawan sendiri?”

“Hm, kalau bukan tindakan Ciok-losam itu mungkin alat makan nasimu suah terpisah dengan tubuhmu,” jengek Ho Kiu-kong.

Him-cengcu tercengang sejenak, kemudian iapun sadar apa yang terjadi, rupanya Ciok-pangcu justru telah menyelamakan jiwanya dari samberan pedang sinona.

Ciok-pangcu itu memakai sepasang Boan-koan-pit, kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada Him- cengcu, dalam pada itu dia sudah menempur Nyo Wan dengan sengit.

Nyo Wan bertempur dengan cepat dan lincah, sekaligus ia telah melancarkan belasan jurus serangan sehingga Ciok-pangcu terdesak mundur ber-ulang2, namun sepasang Boan-koan-pit nya juga dapat bertahan dengan rapat sehingga sukar pula bagi Nyo Wan untuk melukainya.

“Kurang ajar, bangsat cilik ini boleh juga,’ seru Him-cengcu. “Ciok-losam, biar kubantu kau. Bangsat cilik ini menabas kutung dua jariku, aku harus balas kutungi dua lengannya.”

Habis berkata ia terus menyiapkan goloknya yang tebal, tapi sebegitu jauh ia tidak lantas maju. Tupanya ia sudah jeri setelah kedua jarinya ditabas putus oleh Nyo Wan, dia gembar gembor hanya untuk menutupi rasa malunya saja.

“Tidak perlu berkaok,” kata Ho Kiu-kong. “Silahkan Him-cengcu melihat keluar apakah ada begundal bangsat cilik ini atau tidk, urusan disini serahkan padaku saja.”

Sudah tentu hal ini kebetulan sekali buat Him-cengcu, segera ia mengiakan terus lari keluar.

Ho Kiu-kong lantas mengeluarkan cambuknya, serunya: “Kepung dia, tamgkap hidup2!” ~ berbareng cambuknya lantas berputar dengan kencang, segera ia mendahului menerjang maju untuk membantu Ciok-pangcu sebelum kawan2nya mengerubut maju.

Saat itu Ciok-pangcu lagi kelabakan dibawah serangan Nyo Wan yang gencar dan tak bisa menghindar lagi, terdengar suara “trang”, senjata kedua orang kebentur, lelatu api meletik, Boan- koan-pit Ciok-pangcu tergumpil, bahkan pedang Nyo Wan terus melingkar balik untuk memapak cambuk Ho Kiu-kong yang menyamber tiba, “krek’, ujung cambuk lawan tertabas sepotong.

Kiranya pedang yang digunakan Nyo Wan ini adalah pedang pusaka pemberian putri Minghui, tajamnya dapat memotong besi seperti merajang sayur.

Keruan Ho Kiu-kong terkejut, serunya: “Kau terhitung kawan dari garis mana? Lekas katakan supaya tidak bikin susah sendiri!” ~ Karena melihat seorang bocah ingusan yang bermuka buruk bisa memiliki pedang pusaka sebagus itu dengan ilmu pedang yang hebat pula, maka ia menjadi curiga dan tidak dapat meraba asal usul Nyo Wan.

Lebih dulu Nyo Wan menyerang tiga kali, habis itu baru menjawab: “Aku adalah putra ibu pertiwi sejatai, kaum pengkhianat seperti kalian jangan harap akan berkawan dengan diriku.” “Kurangajar!” damprat Ho Kiu-kong dengan gusar. “Anak ingusan macam kau, memangnya kau kira aku jeri padamu.”

Permainan cambuk Ho Kiu-kong cukup lihai juga, setelah kecundang satu kali, kini ia putar cambuknya dengan lebih hidup laksana ular, maka sukar bagi Nyo Wan untuk menabas cambuknya pula. Apa lagi sekarang kawan2nya juga mengerubut maju, mereka telah mengepung dari berbagai jurusan, dengan satu lawan lima, Nyo Wan menjadi kerepotan.

Untung pedang Nyo Wan cukup membikin jerio Ho Kiu-kong, kalau tidak melalui Ho Kiu-kong dan ciok-pangcu berdua saja sudah cukup untuk mengalahkan Nyo Wan.

Melihat gelagat jelek, segera Nyo Wan ganti siasat bertempur, ia keluarkan ilmu pedang yang sukar diduga musuh, mendadak serang sini, lalu tusuk sana, ia sengaja membikin bingung musuh agar mereka harus berjaga diri masing2.

Dengan cara begitu untuk sementara Nyo Wan dapt bertahan. Akan tetapi lama2 ia menjado lemas, maklum satu lawan lima.

Ditengah pertarungan sengit itu, tiba2 terdengar suara “cret”, baju Thio-thocu telah robek tertusuk oleh pedang nyo Wan. Tapi Thio-thocu bergelak tertawa malah, katanya: “Anak manis, kau tidak kuat main pedang lagi, berikan saja pedangmu kepadaku!”

Rupanya pedang Nyo Wan itu meski menusuk robek baju Thio-thocu, tapi tidak kuat mencapai tubuhnya sehingga Thio-thocu tidak sampai terluka, sebab itulah kepayahan Nyo Wan lantas ketahuan . Ditengah gelak tertawanya Thio-thocu terus menerjang maju, dengan bertangan kosong segera ia hendak merebut pedang pusaka Nyo Wan. Sementara itu cambuk Ho Kiu-kong juga sudah menyambar datang kearah kaki si nona, tampaknya pedang Nyo Wan pasti akan terampas dan orangnya juga akan tertawan.

Pada saat berbahaya itulah se-konyong2 terdengar him-cengcu yang disuruh berjaga diluar kelenteng itu sedang mem bentak2: “Siapa itu? Tak boleh masuk!” ~ menyusul lantas terdengar suara gedebukan , suara orang jatuh. Lalu suara Him-cengcu ber-kaok2 pula: “Kurang ajar, berani kau memukul aku!” ~ Belum lenyap suaranya, tahu2 seorang telah menerjang kedalam kelenteng. Biarpun tidak becus, paling tidak Him-cengcu itu juga tergolong kawakan kangouw, tapi hanya sekali gebrak saja sudah kena dijungkalkan oleh pendatang itu, keruan Ho Kiu-kong dan lain2 sama2 terkejut.

“Berhenti semua!” terdengar pendatang itu berteriak.

Ho Kiu-kong lebih hati2 daripada kawan2nya, ia menegur lebih dulu: “Saudara dari garis mana, harap perkenalkan diri dahulu!”

Sebaliknya Thio-thocu lebih berangasan, tanpa pikir ia lantas menyambitkan senjata rahasia sambil membentak: “Kurang ajar! Ada kepandaian apa. Bocah macam kau jug aberani campur tangan urusan orang lain!”

Senjata rahasia Thio-thocu adalah sejenis Thi-cit-le (biji besi berduri) yang cukup berat bobotnya, tak terduga, baru sampai tengah jalan sudah terdengar suara nyaring dibentur oleh sebuah piay emas lawan.

“Hm, kepandaianku sih tidak seberapa, hanya piau ini saja hendaklah kalian mau berkenalan dengan aku,” sahut orang itu dengan tak acuh.

Senjata rahasia piau adalah senjata yang terlalu umum, tapi piau dari emas adalah jarang. Pengalaman Ho Kiu-kong lebih luas, tiba2 teringat olehnya kepada seseorang, hatinya tergetar dan cepat berteriak: ‘Berhenti dulu, berhenti! Jangan sembrono!”

Piau emas tadi setelah membentur jatuh Thi-cit-le, bahkan masih melayang cepat jedepan dan menancap dipilar. Dalam sekejap itu semua orang sama mengendus bau amis, barulah mereka tahu bahwa piau itu bykan Cuma piau emas yang jarang terlihat, bahkan juga piau berbisa.

Kalau Ho Kiu-kong dan begundalnya sama terperanjat, maka tidak kepalang pula kejut Nyo Wan. Sebelum nampak siapa pendatang itu tadinya Nyo Wan menyangka yang datang adalah penolongnya, adalah kawan sendiri. Siapa tahu yang muncul sebaliknya adalah mush malah, musuh yang jauh lebih kejam dan culas daripada Ho Kiu-kong dan begundalnya, bahkan musuh yang paling dibenci oleh Nyo Wan.

Diam2 Nyo Wan membatin: ‘hari ini jiwaku pasti melayang, daripada mati konyol, paling tidak aku harus berusaha gugur bersama dengan bangsat jahanam itu.”

Setelah membikin Ho Kiu-kong dan begundalnya keder, lalu pendatang tadi berkata: “Nama Tok- liong-piau tentunya telah kalian kenal bukan?”

“Mohon tanya, saudara pernah apanya mendiang To-tayhiap, Lok-lim bengcu yang lalu?” tanya Ho Kiu-kong.

“Haha, tajam juga pandanganmu,” sahut orang itu dengan tertawa. “Terus terang kukatakan, mendiang To-bengcu tak lain tak bukan adalah ayahku.”

Kiranya pendatang ini bukan lain daripada To Liong adanya.

Legalah hati Ho Kiu-kong, segera iapun bergelak tertawa: “Aha, kiranya To-kongcu adanya. Ini namanya air bah melanda segara,orang sendiri tidak kenal pada orang sendiri.”

Sebenarnya Ho Kiu-kong belum pernah kenal To Liong, Cuma dari Yang Kian-pek pernah didengarnya bahwa To Liong juga salah seorang yang telah berkomplot dengan pihak Mongol, hanya saja To Liong adalah kelompoknya Tun-ih Ciu dan bukan orangnya Yang Thian-lui dan Yang Kian-pek. Walaupun begitu tujuan mereka adalah sama, yaitu bekerja sama bagi pihak Mongol.

“O, barangkali kalian adalah bawahan Yang-koksu kiranya?” tanya To Liong, rupanya iapun dapat menduga siapa Ho Kiu-kong dan kawan2nya itu.

“Secara resmi kami belum beruntung menjadi anak buah Yang-koksu, Cuma putra beliau telah menyanggupi akan menerima tenaga kami.” Kata Ho Kiu-kong. “Terus terang berkumpulnya kami sekarang ini hendak melaksanakan sesuatu perintah Yang-kongcu tapi kebetulan rahasia kami didengar oleh bocah yang sembunyi disini, maka kami harus bereskan dia, entah mengapa To- kongcu hendak membela dia malah?”

“Hahaha! Rupanya kalian telah salah lihat,” seru To Liong dengan tertawa. “Bocah ini sesungguhnya bukan lelaki, tapi dia adalah istriku.”

Ucapan To Liong itu membikin kawanan bandit itu ter-heran2, Ho Kiu-kong memang lebih ahli daripada kawan2nya, sedikit diperhatikan segera ia menemukan sesuatu kelainan pada diri Nyo Wan, yang paling menyolok ialah pada leher Nyo Wan tiada biji leher yang menonjol, itulah ciri khas kaum wanita.

Namun Ho Kiu-kong tetap heran mengapa To Liong terima ambil istri seorang bermuka buruk. Pula budak ini jelas mencaci maki persekongkolan kami dengan Mongol, mengapa mau menjadi istri To Liong yang juga bekerja bagi negeri musuh itu?”

Agaknya To Liong dapat membaca pikiran Ho Kiu-kong, segera ia berkata pula: “Istriku telah disesatkan orang sehingga melarikan diri dengan cara menyamar, pantas kalau saudara2 bertengkar dengan dia. Tapi mengingat dia adalah istriku, harap kalian suka memberi muka padaku, biar aku sendiri yang menyelesaikan urusannya.”

Ho Kiu-kong menaksir dibalik urusan ini tentu ada apa2 lagi, iapun tidak tanya lebih lanjut, dengan tertawa ia menjawab: “Haha, cekcok antara suami istri adalah kejadian biasa. Urusan rumah tangga To-kongcu sudah tentu kami tidak ikut campur.” ~ Lalu ia berpaling dan memberi hormat kepada Nyo Wan, katanya: “Maaf, kami tidak tahu engkau adalah nyonya To.”

Habis itu Ho Kiu-kong dan kawan2nya lantasmenyingkir ketepi untuk melihat apa yang akan dilakukan To Liong terhadap ‘istrinya’.

Sejak tadi Nyo Wan menahan perasaannyadan sedang mengumpulkan tenaga, maka terhadap tingkah laku mereka yang meng-olok2 dianggapnya tak didengarnya.

To Liong mengira Nyo Wan tidak dapat lolos lagi dari cengkeramannya, maka sinona sudah mau menyerah, ia menjadi kegirangan, ia melangkah maju dan berkata: “Nona Nyo, hendaklah kau pikirkan kembali, aku takkan mempersoalkan urusan yang telah lalu, aku akan tetap cinta padamu.” “Kentut anjingmu!” bentak Nyo Wan sambil menusuk dengan pedangnya. “Pendek kata hari ini kau yang mampus atau aku yang hidup.

”Karena tidak menduga-duga akan serangan Nyo Wan itu, lekas2 To Liong mendak ke bawah sambil mengebut dengan lengan bajunya. Memangnya Nyo Wan sudah kehabisan tenaga karena pertarungan sengit tadi, meski ilmu pedangnya cukup lihai, tapi tenaga kebutan To Liong itu telah membikin pedangnya menceng ke samping, “bret”, hanya lengan baju lawan saja yang tertusuk robek.

To Liong melihat pedang yang digunakan Nyo Wan adalah pedang pusaka, diam2 ia merasa beruntung, kalau saja pedang Nyo Wan terus diputar keatas, maka tentu tangannya akan buntung tertabas.

Ho Kiu-kong juga terkejut, serunya: “To-kongcu, istrimu sedang marah2, kau mesti hati2, janggan sampai terluka olehnya!”

Untuk menjaga gengsi, To Liong berlagak seperti tidak apa2, sahutnya: “Wahai istriku yang baik, pertengkaran antara suami istri kan tidak perlu main senjata segala. Coba, sampai para kawan sama mentertawakan. Tapi, aku tahu hatimu tetap cinta padaku, betapapun kau pasti tidak tega melukai aku.”

“Belum habis ucapannya “sret-sret-sret,” kembali Nyo Wan menusuk tiga kali secara berantai, setiap serangan selalu mengincar tempat yang berbahaya ditubuh To Liong.

Dasar Him-cengcu memang rada dungu, tanpa terasa ia berteriak: “Wah, tampaknya rada tidak benar, To-kongcu! Istrimu tidak saja mau melukai kau, malahan hendak mencabut jiwamu!” Kini To Liong telah siapkan goloknya dan segera mematahkan serangan Nyo Wan, lalu berseru:

‘Jangan kuatir kawan2, istriku tampaknya saja rada keras diluar, tapi sebenarnya halus didalam, dia Cuma pura2 hendak melabrak aku. O, istriku yang manis, kaupun agak keterlaluan sehingga ditertawai teman2ku. Lekas kau taruh senjatamu, kalau tidak terpaksan aku akan bikin susah padamu.”

Mestinya To Liong bermaksud menawan hidup2 Nyo Wan, tapi dibawah serangan sinona yang gencaR, terpaksa ia meninggalkan niatnya itu. Pikirnya: “Jika dia tidak mau menuruti keinginanku, terpaksa aku akan bereskan dia agar Li Su-lam juga tidak berhasil mempersunting dia.”

Berpikir demikian, rasa cemburunya seketika membakar, napsu membunuhnya timbul segera. Goloknya diputar dengan kencang, iapun melancarkan serangan2 berbahaya.

Memangnya kepandaian To Liong lebih tinggi setingkat daripada Nyo Wan, kini menang pula dalam hal tenaga, maka hanya belasan jurus saja dia sudah di atas angin. Untung Nyo Wan memakai pokiam, pedang pusaka, betapapun To Liong harus berpikir dua kali pada setiap serangannya. Apalagi Nyo Wan sudah nekat, biarpun terdesak iapun melancarkan serangan2 maut. To Liong menjadi kalap juga, serangannya tambah gencar, setiap serangan selalu mengarah tempat lawan yang mematikan.

“Ini manabisa disebut pertengkaran antara suami istri, tapi lebih mirip pertarungan mengadu jiwa!” demikian Him-cengcu yang dungu menggerundel sendiri.

Ho Kiu-kong mengedipinya agar jangan sembarangan buka bacot. Soalnya To Liong sudah menyatakan orang lain jangan ikut campur. Pula Ho Kiu-kong dan lain2 juga sudah melihat jelas bahwa keadaan Nyo Wan sudah payah, akhirnya pasti kalah, maka merekapun lebih suka menonton saja daripada ikut turun tangan.

Begitulah To Liong menyerang semakin gencar, tiba2 suatu jurus serangan golok diikuti dengan pukulan tangan, bentaknya: ‘Lepas pedangmu!” ~ Berbareng itu goloknya terus menabas miring dari atas.

Saat itu pedang Nyo Wan masih belum sempat digunakan menangkis, kalau tidak lekas tarik senjatanya tentu sebelah lengan itu akan tertabas buntung.

Pada saat berbahaya itulah tiba2 seorang membentak dengan suara halus nyaring: ‘Berhenti!” Begitu terdengar suara bentakan itu, berbareng pula seorang busu yang berhidung besar dan bermata cekung melangkah masuk pintu kelenteng. Padahal suara bentakan itu jelas suara kaum wanita, tapi yang masuk ternyata seorang busu Mongol. Keruan Ho Kiu-kong dan lain2 sama2 tercengang.

Him-cengcu berjaga di pintu kelenteng, melihat seorang busu Mongol menerobos masuk, selagi ragu2 apakah mesti merintangi atau tidak, mendadak busu itu telah membentak: ‘Minggir!” ~ Berbareng tangannya menyengkelit, dengan cepat luar biasa tahu2 Him-cengcu jatuh terjungkal, cara bagaimana orang membuatnya terjungkal sampai Him-cengcu sendiri tidak tahu.

Golok To Liong tadi sedang menabas, ketika mendengar suara bentakan halus nyaring itu, hatinya memjadi tergetar,se konyong2 teringat satu orang olehnya, tapi ia tidak berani percaya bahwa orang itu bisa mendadak muncul disini.

Pada saat To liong merasa sangsi itulah dan goloknya belum ditabaskan kebawah, saat mana juga Him-cengcu disengkelit terjungkal oleh si busu Mongol, dengan gusar busu itu membentak pula: ‘Kau berani membangkang perintah tuan putri!” ~ Serrr, seutas tali dilemparkan ke depan To Liong, sebelum To Liong sempat berkelit, tahu2 goloknya terbelit oleh ujung tali sehingga goloknya terbetot lepas dan jatuh dilantai.

Waktu To Liong hendak menabas tadi, Nyo Wan tidak rela menarik kembali pedangnya, ia sudah nekat biarpun sebelah lengan akan terkutung, tapi tangan lain iapun balas menghantam. Tak terduga ada perubahan mendadak, golok To Liong kena dirampas oleh tali yang dilemparkan si busu Mongol, keruan to Liong yang menjadi konyol, ia kena ditempeleng dengan keras oleh Nyo Wan sehingga mukanya bengap.

Ho Kiu-kong dan Ciok-pangcu terkejut, cepat mereka memburu maju untuk melindungi To Liong. Nyo Wan tahu kepandaian kedua orang itu tidak lemah, maka iapun tidak menyerang lebih lanjut, ia kembalikan pedang ke dalam sarungnya, dengan kegirangan ia lantas menemui si busu Mongol yang baru datang itu, sapanya: “Akai, kiranya kau yang datang!”

Kiranya busu Mongol itu bukan lain daripada Akai, teman baik Nyo Wan dan Li Su-lam. Nyo Wan pernh menyelamatkan jiwa tunangan Akai,kemudian Akai juga pernah membantu Nyo Wan menyelundup kedalam pasukan Mongol ketika hendak menyergap musuhnya. Belum habis ucapannya, tertampak dua nona muda melangkah masuk bersama. Nona yang jalan di depan memakai mantel bulu, sikap agung, ternyata memang benar Putri Minghui adanya. Nona yang ikut di belakangnya berdandan secara sederhana, tapi cantik molek,ialah tunangan Akai , Kalusi.

Sementara itu Him-cengcu telah merangkak bangun sambil meraba jidatnya yang benjol dan menggerundel sendiri: “Tadi datang seorang To-kongcu yang mengaku sebagai suami orang dan menyengkelit jatuh diriku, sekarang muncul lagi seorang tuan putri apa segala dan membikin aku terjungkal. Ai, sungguh sial tiga turunan!”

Ho Kiu-kong dan lain2 juga tercengang oleh kegesitan Akai tadi, apalagi didengar mereka bahwa yang datang adalah tuan putri apa, keruan mereka tambah jeri, mereka Cuma saling pandang saja dan tidak berani buka suara.

To Liong pernah datang ke Mongol, pernah menjadi tamu bangsawan Mongol serta pernah ikut dalam perburuan kaum bangsawan itu, maka dia kenal putri Minghui. Ia tahu Minghui adalah putri terkecil dan tersayang Jengis Khan, adik perempuan Mangkubumi Mongol yang sekarang, yaitu Dulai. Cuma sama sekali tak diduganya bahwa mendaak Minghui bisa muncul disini, keruan ia menjadi bingung dan kejut, cepat ia menjura kepada Minghui dan berkata; ‘Maaf, kami tidak tahu akan kedatangan Tuan Putri kesini.” ~ Sudah tentu Ho Kiu-kong dan lain2 juga lantas ikut berlutut. “Mengapa kau menyakiti nona Nyo ini?” tanya Minghui dengan ketus.

Keruan To Liong merasa heran, dimana putri Mongol itu bisa kenal dengan Nyo Wan. Sudah tentu tidak tahu kisah hidup Nyo Wan di Mongol dahulu. Ketika untuk pertama kalinya Nyo Wan berkenalan dengan Minghui bahkan juga berdandan sperti sekarang ini.

Tapi ia tidak berani sembarangan omong di hadapan Minghui, terpaksa ia menjawab: ‘Tuan putri sudah kenal nona Nyo ini, tentunya sudah tahu pula dia adalah bakal istri Li Su-lam. Bukankah Li Su-lam justru adalah buronan yang sedang dicari oleh negeri Tuan Putri?”

Dasar dungu, tanpa pikir Him-cengcu terus menimbrung: ‘Lho, katanya dia adalah istrimu, mengapa dia dikatakan bakal istri orang she Li apa segala?”

“Hm,” Minghui menjengek. Rupanya kau sendiri mengincar nona Nyo, tapi pakai alasan hendak berbuat pahala bagi kami.”

To Liong menjadi ketakutan dan ber-ulang2 menjura jawabnya: ‘Mohon Tuan Putri maklum, hamba benar2 setia kepada Khan agung dan mengabdi dengan sepenuh hati.”

Kembali Minghui menjengek: ‘Hm, Khan agung memburu kembalinya Li Su-lam justru hendak memakai tenaganya apakah kau tahu?”

“Tapi mungkin Li Su-lam tak bisa dipakai lagi tenaganya,” ujar To Liong sambil menjura pula. “Sekarang dia sudah menjadi Bengcu dari pasukan sukarela bangsa Han.”

“Tidak perlu kau banyak mulut tentang buronan yang kami inginkan,” omel Minghui. Lekas kalianenyah dari sini.”

Dengan rasa takut To Liong mengiakan, lalu bersama Ho Kiu-kong dan lain2 melangkah pergi. Nyo Wan mengusap keringat dingin yang telah membasahi dahinya, lalu memberi hormat dan terima kasih atas pertolongan Minghui. Kemudian Nyo Wan bertanya: ‘Mengapa Tuan Putri tidak berada di Holin, sebaliknya datang kesini?”

“Kini aku sudah bukan Tuan Putri lagi, bangsat tadi tidak tahu hal ikhwal diriku, makanya masih kena kugertak pergi,” kata Minghui.

Nyo Wan terkejut. “Mengapa Tuan Putri berkata demikian?” ia menegas. “Karena kepergianku dari Holin adalah melarikan diri,” kata Minghui.

“Bukankah Dulai pernah berjanji akan membela kau. Apakah pangeran Tin-kok membikin susah padamu?”

“Kau tidak paham akan kesukaranku Nyo-cici,” kata Minghui. Hidup sebagai Tuan Putri sesungguhnya paling tidak beruntung. Lahirnya saja mewah, agung, padahal segala sesuatu harus menurut peraturan, harus didalangi orang lain. Diantara saudara2ku meski Dulai paling baik padaku, tapi menghadapi pilihan antara untung dan rugi, iapun sama seperti ayahku, ia lebih suka mengorbankan diriku demi untuk mempertahankan kekuasaannya.

“Menurut tradisi kami, pengganti Khan agung harus diangkat oleh sidang besar Kurultai. Dalam sidang ini para panglima yang memegang kekuasaan tentara besar sekali pengaruhnya. Dalam perebutan kedudukan Khan Agung, peran utamanya adalah Cahatai dan Ogotai. Dulai mendukung Ogotai, maka Ogotai berjanji akan memberikan kekuasaan militer kepada Dulai bilamana dia diangkat menjadi Khan Agung. Akan tetapi para panglima lain lebih banyak yang mendukung Cahatai.

“Tin-kok adalah salah seorang panglima tentara diantara keempat angkatan, demi untuk memperoleh dukungannya Ogotai bersedia menerima syarat yang dia minta. Maka Tin-kok telah emngajukan syarat utama diriku harus kawin dengan dia, syarat kedua harus mengangkat dia sebagai wakil panglima besar angkatan perang. Karena ambisi Dulai hanya kekuasaan militer yang diincar, sedangkan Tin-kok rela menjadi wakilnya, dengan sendirinya tukar menukar syarat itu lantas disetujui bersama. Sungguh celaka aku sama sekali tidak mengetahui tipu muslihat mereka, dimulut Dulai menyatakan membela diriku, tapi diam2 membiarkan Tin-kok melaksanakan maksud kejinya atas diriku. Untung Akai mendengar berita buruk ini, diam2 aku diberitahu, berkat bantuannya akhirnya aku dpat kabur dari Holin.”

‘Apa yang kulakukan adalah demi kebahagiaanku dengan Kalusi,” Akai menambahkan. “Aku sendiri dudah bosan dengan peperangan, terutama aku menyaksikan keganasan yang telah dilakukan oleh prajurit2 kami, belumlagi para perwiranya. Aku pernah berpikir seumpama ada orang yan hendak merebut Kalusi yang kucintai dari tanganku, lalu apa yang harus kulakukan?” Menyusul Akai berkata pula: “Sebenarnya sangat berbahaya bagi kami yang melarikan diri kenegeri musuh. Syukur dandanan kami tidak menimbulkan curiga orang. Wajahku jelas bukan bangsa Han, tapi rada mirip dengan orang Kim yang dibesarkan di utara. Untung aku fasih bicara bahasa Nuchen (kerajaan Kim diperintah oleh suku bangsa Nuchen) maka sepanjang jalan kami seringkali disangka bangsawan kerajaan Kim malah bila ketemu prajurit dan perwira Kim. Beberap kali kami ketemukan juga kawanan bandit rendahan saja, beberapa kali hantam saja sudah bikin mereka ngacir.

Meski kami dapat mengelabui mata prajurit dan pembesar Kim, tapi dinegeri musuh, terutama orang penting sebagai Tuan Putri, betapapun kami harus hati2. Maka sepanjang jalan, kami sudah biasa jalan malam dan siang mengaso. Beberapa hari yang lalu kami mendengar didaerah ini terjadi peristiwa2 pemerkosaan, tadi waktu kami lewat dibawah gunung, kami melihat kelenteng ada cahaya lampu,terdengar pula suara teriakan kaum wanita, semula kusangka disini terjadi pula peristiwa gangguan pada kaum waniya, tapi kemudian kamipun dapat mengenali suaramu.” “Kepandaianmu sudah banyak maju, syukur kau telah berhasil merampas golok bangsat tadi,” puji Nyo Wan.

‘Ah, kepandaian apa, itu Cuma kepandaianku yang biasa, mencari sesuap nasi saja,” kata Akai dengan tertawa. “Aku hidup sebagai pemburu, seringkali menggunakan tali laso untuk menangkap binatang buas. Padahal kalau berhantam sungguhan, aku pasti bukan tandingan bangsat tadi.” Kaupun tidak perlu rendah diri, kepandaianmu bergulat dikalangan busu Mongol kita jarang ada tandingannya,” ujar Minghui.

Tiba2 Kalusi tertawa, katanya: ‘Nona Nyo, malam ini kalau kami tidak bersama Tuan Putri mungkin aku tidak mengenali kau lagi, mengapa kau berubah menjadi begini?”

Kiranya setelah bertempur sengit, Nyo Wan menjadi mandi keringat sehingga penyamarannya tampaknya menjadi aneh, polesan mukanya banyak yang luntur sehingga kelihatan sangat lucu. Segera kalusi mengeluarkan kantong air dan diberikan kepada Nyo Wan agar mencuci muka dahulu. Orang Mongol sudah biasa membawa kantong air dalam perjalanan, meski mereka datang kedaerah selatan yang tidak kekurangan air, namun kebiasaan mereka tidak berubah.

Setelah bertempur, memangnya Nyo Wan sangat letih, setelah mencuci muka ia menjadi segar kembali.

“Mimpipun kami tidak menduga akan bertemu kau disini,” kata Kalusi pula. “Coba kau terka mengapa Tuan Putri tidak pergi ketempat lain, justru kesini?”

Nyo Wan sudah dapat meraba tujuan Minghui, tapi ia pura2 tidak tahu, jawabnya: ‘Ya, memang aku hendak bertanya Tuan Putri hendak pergi kemana?”

Minghui menghela napas, katanya: “ Sekarang aku benar2 tidak punya tempat berteduh,ada rumah tak bisa pulang, ada negeri tak bisa kembali. Kini aku bergelandangan dirantau orang, tiada sanak tiada kadang, kemana aku harus pergi? Eh, ya, bagaimana dengan Li, Li-kongcu?” ~ Sejak tadi Nyo Wan tidak sebut2 Li Su-lam, terpaksa Minghui yang bertanya.

Kalusi yang suka bicara blak2an segera menambahkan: ‘Nona Nyo, hendaknya maklum, Tuan Putri kami tiada sanak pamili dinegeri kalian ini, yang dikenal beliau Cuma kalian berdua saja, maka beliau benar2 anggap kalian sebagai sanak saudaranya. Sekali ini beliau justru datang buat mencari kalian. Kabarnya kampung halaman Li-kongcu adalah kota Bu-seng di Soatang, maka kami bermaksud pergi kesana, tidak nyana disinilah kami ketemukan kau. Haya, nona Nyo, mengapa kau berada disini sendirian. Li-kongcu sekarang berada dimana?”

Nyo Wan menjadi murung mendengar mereka menyinggung diri Li Su-lam.

Minghui slah paham malah dan menyangka Nyo Wan masih merasa sirik padanya dan tidak ingin dia datang ketempat Li Su-lam, segera ia berkata: “Nona Nyo, kami ingin mencari kalian, tapi akupun tahu kalian tidak leluasa menerima kami, sebab itu aku tidak ingin mengganggu ketentraman kalian, kau jangan kuatir. Bangsa Mongol kami sudah biasa hidup berkelana, kami adalah suku bangsa yang hidup tidak menentu tempat tinggalnya, negeri Tiongkok seluas ini, kebetulan kami ada kesempatan untuk menjelajahi tempat2 yang terkenal. Bila suatu waktu kami sudah bosan, mungkin kami akan mencari suatu tempat menetap yang tenang. Aku membekal sedikit benda mestika yang berharga, rasanya tidak menjadi soal bagi biaya hidup kami.”

Nyo Wan sangat terharu, tanpa terasa airmatanya berlinang, ia genggam kencang tangan Minghui dan berkata: “Kau salah paham, Tuan Putri. Kau sangat baik padaku, sekalipun badanku hancur lebur juga sukar membalas budimu. Hanya saja Su…… Su-lam ”

Melihat Nyo Wan menangis, Minghui menjadi terkejut, ceopat ia bertanya: ‘kenapa dengan Li Su- lam?”

Setelah mengusap airmatanya, lalu Nyo Wan menjawab dengan menahan perasaannya: ‘Dia tidak apa2, Cuma dia sudah berpisah dengan aku.”

“Mengapa begini?” tanya Minghui bingung.

Nyo Wan tidak ingin menceritakan kisah sedihnya, secara singkat ia menjawab: “Tempo hari kami kepergok oelh pemanah sakti negerimu yang terkenal, yaitu Cepe, ditengah pertempuran gaduh itulah kami telah terpencar.”

Minghui merasa lega, katanya dengan tertawa: “O, kiranya demikian, kusangka kalian berdua telah bertengkar. Nyo-cici, sungguh aku merasa malu, bangsaku yang telah membikin susah padamu sehingga suami istri kalian tercerai berai, yang memberi perintah penangkapan kalian juga ayahku. Cuma kau boleh tak usah kuatir, jika Li-kongcu sampai tertangkap atau mengalami sesuatu yang tidak baik, tentu Cepe akan menyampaikan laporan kepada kakakku yang keempat. Namun selama aku di Holin tidak pernah mendengar sesuatu berita tentang diri Li Su-lam.”

“Dan sekarang nona Nyo sudah mendapatkan berita tentang Li-kongcu belum?” tanya Kalusi. Setelah ragu2 sejenak, kemudian Nyo Wan baru menjawab: “Belum!”

“Kepandaian Li-kongcu sangat tinggi, aku yakin dia pasti akan aman dan selamat,” ujar Kalusi. “Pantas juga kau merasa sedih, ketika aku berpisah dengan Akai dahulu, siang malam akupun senantiasa terkenang kepadanya.”

“kalau aku sih tidak terkenang padanya,” kata Nyo Wan.

Melihat sikap Nyo Wan yang sungguh2 dengan ucapannya itu, Kalusi menjadi tercengang, katanya kemudian dengan tertawa: ‘Memangnya kau sudah tahu dalam hati Li-kongcu hanya ada engkau seorang, tentu saja kau tidak perlu kuatir atas dirinya.” ~ Kata2 Kalusi ini berbalik menyinggung perasaan duka Nyo Wan malah.

Dengan hambar Nyo Wan berkata pula: “Dijaman kekacauan begini, berita kedua pihak terputus, bilamana dia ketemukan gadis yang lebih baik daripada diriku, bukan mustahil dia akan berubah pikirannya.”

“Tanggung tidak,” kata Minghui. “Orang lain tidak tahu betapa mendalamnya cintanya padamu, tapi aku cukup tahu. Jangankan kau adalah wanita yang serba baik, sekalipun ada perempuan lain yang cantik laksana bidadari turun dari kayangan, aku berani menjamin Li-kongcu pasti takkan goyah imannya. Aku percaya penuh padanya, masakah kau malah tidak mempercayai dia?” Akai dan kalusi tidak tahu bahwa Minghui pernah menyukai Li Su-lam, hanya Nyo Wan saja yang mengerti, maka ia menjadi sangat terharu mendengar ucapan Minghui itu. Pikirnya: ‘Ya, demi membela diriku,Su-lam tidak segan2 membangkang perintah Jengis Khan, demi diriku dia lebih suka meninggalkan segala kemewahan dan kedudukan yang dapat diperolehnya dengan mudah.

Minghui bukanlah wanita biasa, kecantikannya jarang ada bandingannya. Kalau engkoh Lam seorang laki2 yang rendah imannya tentu sejak dulu2 ia telah menjadi menantu Jengis Khan.” ~ Berpikir sampai disini, biarpun rasa cemburunya terhadap Minghui belum lenyap sama sekali, tapi rasa kepercayaannya terhadap Li Su-lam telah bertambah banyak.

Setelah mengucapkan kata2 tadi, tanpa terasa Minghui jadi terkenang kepada kejadian dimasa lampau dan merisaukan nasibnya sendiri, ia menjadi muram.

Kalusi menjadi bingung, katanya: “He, apa2an kalian berdua ini? Nona Nyo agaknya Cuma bergurau, sebaliknya Tuan Putri malah menasehati dia dengan sungguh2.”

Untuk menutupi kekikukan kedua pihak, segera Nyo Wan berkata dengan tertawa: “Benar, aku Cuma omong kelakar saja. Banyak terima kasih atas perhatian Tuan Putri. Kini bicara urusan yang betul saja. Kukira bukanlah cara yang baik bilamana kalian terluntang luntung didunia kangouw. Sebenarnya aku ada suatu tempat bagus, Cuma entah Tuan Putri sudi kesana atau tidak?”

“Yang kuharap hanya tempat meneduh saja, masakah pakai sudi atau tidak?” kata Minghui.

 “Aku ada seorang teman karib, dia adalah Cecu suatu pangkalan pegunungan, jika Tuan Putri mau bernaung kesana, rasanya pasti akan aman,” kata Nyo Wan.

Minghui menjadi ketarik, pikirnya: ‘Ceceu bukankah nama lain daripada kepala bandit?” ~ Ia coba tanya: “ Cecu itu laki2 atau perempuan?”

Nyo Wan dapat menerka pikiran Minghui, sahutnya dengan tertawa: ‘Perempuan. Meski dia seorang perempuan kalangan Lok-lim, tapi sama sekali berbeda daripada kawanan bandit umumnya. Mungkin anak buahnya jauh lebih berdisiplin daripada prajurit2 kalian.”

“Jika ada seorang ksatria wanita begini hebat, baik juga aku berkenalan dengan dia,” ujar Minghui dengan tertawa.

“Supaya Tuan Putri maklum , kawnku ini bernama To Hong, dia adalah putri To Pek-seng, To- tayhiap yang terkenal itu,” tutur Nyo Wan. “Mungkin Tuan Putri pernah mendengar nama To- tayhiap bukan?”

Minghui terkejut, sahutnya: ‘Setahuku, To-tayhiap pernah membikin geger negeri Kim, kemudian lari ke Mongol, koksu kerajaan Kim, yaitu Yang Thian-lui sendiri telah meng-uber2nya kenegeri kami. Waktu itu kami belum perang dengan Kim, maka Yang Thian-lui mendapat bantuan busu ayah baginda dan To Pek-seng telah dibinasakan dipadang pasir. Kalau nona To itu nanti mengetahui diriku adalah putri Mongol, mungkin dia akan anggap aku sebagai musuhnya.”

“Nona To itu cukup bijaksana dan dapat membedakan dengan jelas antara kawan dan lawan,” kata Nyo Wan. “Yang membunuh ayahnya adalah Yang Thian-lui serta jago2 kemah emas kalian, aku berani menjamin dia pasti takkan memusuhi Tuan Putri yang tiada sangkut pautnya dengan tewasnya ayahnya. Untuk ini Tuan Putri tidak perlu kuatir.”

“Kuatirnya bawahannya tidak seluruhnya sebijaksana dia.’ Ujar Minghui.

Nyo Wan berpikir sejenak, katanya: ‘Begini saja; Sementara ini Tuan Putri tidak perlu terangkan asal usul dirimu, biar kubawakan sepucuk surat, aku Cuma mengatakan kalian adalah sobat2ku saja. Cuma ada suatu hal yang pernah kukatakan, mereka adalah kaum pergerakan, bila pasukan Mongol kalian menyerbu kemari, pasukan mereka pasti akan berbangkit untuk melawan.

Minghui menjadi serba susah, katanya kemudian: “Aku tahu prajurit kami mendatangi tempat kalian untuk perang, kesalahan ini terletak dipihak kami. Jika nanti terjadi kenyataan demikian, aku akan menyingkir saja ketempat lain. Nyo-cici, harap kau memahami kesulitanku. Aku sendiri tidak setuju rencana ayah mengirimkan tentaranya menjajah negeri kalian, tapi akupun tidak dapat bermusuhan dengan ayah dan negaranya sendiri.”

Nyo Wan mengangguk, katanya: ‘Aku paham akan soal ini.” Didalam kelenteng itu masih ada sisa kerta yang disediakan bagi tamu yang ingin menuliskan sedekah, maka Nyo Wan lantas robek secarik kertas itu buat menulis sepucuk surat. Katanya kemudian: ‘Setiba kalian di Long-sia-san, lebih dulu kalian mencari wakil cecu yang bernama Ciok Bok, dia ini yang akan membawa kalian menemui nona To.”

Maklumlah, di Long-sia-san itu hanya Ciok Bok seorang saja yang tahu jelas akan diri Nyo Wan, dengan To Hong persahabatan Nyo Wan belum dapat dikatakan karib, sebab itu Nyo Wan minta bantuan Ciok Bok untuk menerima Minghui bertiga.

Minghui simpan surat itu, katanya dengan tertawa: “Tempo hari kau melarikan diri ke tengah markas pasukan Mongol kami, sekarang aku minta perlindungan di sanceh bangsa Han kalian, ini benar2 sangat kebetulan dan setimpal.”

“Hari sudah terang, sinar sang surya gilang gemilang, hari ini tentu bercuaca bagus,” kata Akai sambil mendongak.

“Banyak terima kasih Nyo-cici, hari sudah terang, sudah waktunya kita berpisah,” kata Minghui. “Nyo-cici, semoga kau lekas berjumpa kembali dengan Li-kongcu untuk berkumpul selamanya dan tidak terpisahkan lagi seperti aku dan Akai,” kata Kalusi. “Engkau adalah penolong kami, sayang kami tidak dapat membantu ap2 padamu.”

Melihat Kalusi membawa Tombra (sebangsa alat petik) , Nyo Wan jadi ingat Kalusi adalah biduanita terkenal di mongol, katanya dengan tertawa pilu: “Semoga demikianlah harapanku, hanya saja aku mungkin tidak seberuntung kau. Eh, Kalusi, suara nyanyianmu sangat merdu, apakah kau dapat menyanyi dan memetik tombra sekali bagiku?”

“Baik, akan kunyanyikan suatu lagu rakyat padang rumput kami sebagai doa kami agar engkau lekas bertemu kembali dengan kekasihmu,” kata Kalusi dengan tulus hati.

Kemudian Kalusi menarik Akai, katanya: ‘Marilah kita nyanyi bersama!” ~ Segera ia memetik tombra dan mulai menyanyikan suatu lagu rakyat yang peuh perasaan sehingga Nyo Wan terkesima.

“Banyak terima kasih, Kalusi, hebat sekali nyanyianmu,” puji Nyo Wan.

Belum lenyap suaranya, tiba2 ada orang menyambung: ‘Ya, sungguh nyanyian yang merdu, memang tidak omong kosong ‘si kenari dari padang rumput.’ Lalu seorang lagi berkata: ‘Mereka ternyata masih disini.’

Maka masuklah empat orang, kepalanya adalah Ho Kiu-kong, orang kedua adalah wanita tua, orang ketiga busu Mongol, yaitu orang yang memuji nyanyian Kalusi tadi, dan orang yang jalan paling belakang adalah pemuda berusia likuran. Melihat orang terakhir ini, Nyo Wan terperanjat.

Kiranya pemuda ini bukan lain daripada Yang Kian-pek, putera Yang Thian-lui daripada kerajaan Kim.

Pada malam itu Yang Kian-pek dan seorang busu Mongol mendatangi rumah Li Su-lam buat mencuri kitab pusaka, kebetulan Bing-sia jug adatang kesana hendak mencari Li Su-lam, dibelakang kediaman keluarga Li itulah kedua orang kepergok dan terjadi pertempuran sengit, Bing-sia hampi2 kalah, untung Li Su-lam dapat mengalahkan busu Mongol dan kemudian membantu Bing-sia membikin Yang Kian-pek ngacir.

Malam itu kebetulan Nyo Wan juga sampai disana, ia sembunyi didalam semak2 pohon sehingga dapat menyaksikan semua kejadian itu. Maka Nyo Wan dapat mengenali Yang Kian-pek, menyusul iapun dapat mengenali busu yang datang bersama Ho Kiu-kong sekarang ini juga sama dengan busu Mongol tempo hari itu.

Keempat orang yang datang itu ada tiga orang dikenal Nyo Wan, hanya istri Ho kiu-kong saja ia belum mengenalnya. Keruan ia terkejut, pikirnya: “Ho Kiu-kong datang kembali, tentu dia ada maksud buruk. Kepandaian Yang Kian-pek ini tidak lebih rendah daripada engkoh Lam, aku sendiri pasti bukan tandingannya. Ho Kiu-kong dan busu Mongol itupun tidak lemah, ditambah lagi seorang nenek yang belum diketahui betapa tinggi ilmu silatnya, mungkin Akai juga belum mampu melawannya.”

Belum lenyap pikirannya, busu Mongol itu sudah berdiri berhadapan dengan Minghui, dia memberi hormat dan berkata: ‘Khan agung Ogotai dan Mangkubumi Dulai mengharapkan pulangnya Tuan Putri!” “Aku ingin pesiar ke daerah Tionggoan sini untuk menghibur hati masgul, sementara initidak ingin pulang,” kata Minghui.

“Harap Tuan Putri mengingat keselamatanmu yang berharga, tidaklah aman berada terlalu lama di negeri musuh,” kata busu itu. “Nanti bila kita sudah basmi negeri Kim dan Song, setelah seluruh Tionggoan dipersatukan, saat mana barulah Tuan Putri pesiar lagi kesini sepuasnya.”

“kau berani merintangi keinginanku, Busa,” damprat Minghui dengan gusar.

“Hamba tidak berani, hamba hanya melaksanakan perintah Khan Agung saja,” sahut busu itu yang bernama Busa, dia termasuk salah satu busu, jagoan pilihan diantara ke-18 jago kemah emas yang terkenal. Ilmu silanya tidak terlalu hebat, tapi dia adalah orang kepercayaan Dulai. Sebab itulah Dulai menyuruh dia mengiringi Yang Kian-pek kembali ke Tionggoan dengan tugas mengawasi gerak gerik Yang Kian-pek dan ayahnya, selain itu Dulai juga memberi beberapa tugas rahasia lain. Minggatnya putri Minghui dari Mongol terjadi sesudah Yang Kian-pek kembali ke Tionggoan, tapi DUlai segera mengutus orang untuk memberitahukan kepada Busa, baru tiga hari yang lalu Busa menerima perintah dari Dulai itu agar mengawasi jejak Minghui.

Dirumah Ho Kiu-kong itulah Busa berjumpa dengan Yang Kian-pek, kebetulan Ho Kiu-kong juga lari pulang dan menyampaikan pengalamannya bahwa dikelenteng bobrok inilah dia ketemukan Putri Minghui bersama dengan seorang nona she Nyo. Sudah tentu hal ini sangat kebetulan bagi Yang Kian-pek dan Busa, segera mereka buru2 datang kembali ke kelenteng ini.

To Liong bukan satu komplotan dengan Yang kian-pek, bahkan ayahnya dibunuh oleh ayah Yang Kian-pek, maka sesungguhnya mereka adalah musuh, biarpun To Liong sudah bertekad menjual diri kepada musuh, soal sakit hati kematian ayahnya sudah dikesampingkan, tapi secara terang2an ia masih sungkan bergaul dengan pihak musuh, sebab itulah semalam To Liong sudah berangkat pergi sendirian.

Yang Kian-pek adalah manusia bangor yang suka main perempuan, ketika dia mendengar tunangan Li Su-lam yang bernama Nyo Wan juga berada dikelenteng bobrok itu, diam2 ia bergirang, pikirnya: “Sudah lama kudengar nona Nyo itu berasal dari keluarga ternama, cantik dan pintar, dengan macam2 tipu daya To Liong tidqak berhasil mendapatkan diri sijelita, tidak tersangka sekarang kepergok olehku, mana boleh kulepaskan kesempatan bagus ini.” ~ Begitulah maka malam2 mereka lantas memburu kelenteng itu. Tentang Him-cengcu dan lain2 sudah lebih dahulu disuruh kembali kepangkalan masing2 dengan tugas mengawasi jejak Ci in-hong dan Beng bing-sia sesuai rencana Yang Kian-pek semula.

Begitulah Minghui menjadi marah kepada Busa dan mendamprat: ‘Jangan kau menggertak aku dengan nama Khan, kau pulang saja dan katakan padanya bahwa aku tidak ingin menjadi Tuan Putri segala, sejak kini aku tidak dibawah perintah mereka dan merekapun tidak perlu urus diriku.”

Busa memperlihatkan sikap serba susah, katanya: ‘Tuan Putri boleh membangkang perintah Khan Agung, tapi hamba betapapun tidak berani.”

“Lalu kau mau apa?” jengek Minghui.

“Harap Tuan Putri pulang saja!” kata Busa sambil melangkah maju, segera ia bermaksud menarik Minghui.

“Kau berani kurangajar!” bentak minghui.

Dengan cepat luar biasa, mendadak terdengar suara “bluk” yang keras, tahu2 Busa telah kena dibanting oleh Akai.

Busa tahu Akai adalah ahli gulat terkemuka di Mongol, sebenarnya dia sudah siap2, tapi tetap tak terhindarkan bantingan Akai itu.

Setelah merangkak bangun dengan gusar Busa membentak: “Rupanya kalian berdua ini yang telah menyelewengkan Tuan Putri, kalian harus digiring pulang juga!” ~ Sekali putar segera ia menerjang, tapi yang diarah ternyata Kalusi.

Akai telah memakai peraturan gulat dikalangan jago Mongol, ia pentang kedua tangan dan menantikan serangan balasan Busa, siapa tahu yang diterjang Busa justru adlah Kalusi, hal ini sungguh tak terduga oleh Akai.

Syukur Nyo Wan keburu mengebut dengan lengan bajunya sambil membentak: ‘Bangsat tidak tahu malu, rebahlah!” ~ Dibawah lengan bajunya jarinya terus menotok pula hiat-to dibawah iga lawan. Meski kepandaian Busa tidak lebih tinggi daripada Nyo Wan, tapi dia tergolong jago kemah emas, dengan sendirinya tidak lemah kepandaianny. Dia memiliki ilmu Tiat-poh-sam, ilmu kekuatan otot dan kulit, meski Hiat-to ditotok, dia hanya merasakan kesemutan saja dan tidak sampai roboh.

Dalam pada itu Akai sudah lantas menubruk maju, dampratnya dengan gusar: ‘Percuma kau sebagai jago kemah emas, kalau berani bertandinglah dengan aku, mengapa menyerang seorang perempuan yang lemah?” ~ Belum lenyap suaranya dia sudah bergebrak beberapa kali denganBusa.

Karena rasa kesemutan dan ilmu totokan Nyo Wan tadi belum lenyap, kepalan Busa menjadi kurang kuat, ia berhasil menghantam dua kali ditubuh Akai, tapi dirasakan sebagai pijatan saja bagi Akai. Sebaliknya mendadak kaki Akai menjegal terus membanting pula, kembali Busa mencium tanah.

“Awas!” se-konyong2 Nyo Wan berteriak.

Tiba2 Akai merasa angin menyamber dari belakang, ia tahu ada orang menyergapnya. Segera ia mendak kebawah, tangan mencengkeram kebelakang. Inilah salah satu jurus bantingan yang menjadi kebanggaan Akai dalam ilmu gulatnya.

Tak terduga, cengkeramannya tidak mengenai sasarannya, sebaliknya tangan Akai kena dipegang oleh penyergap itu. Lekas2 Akai membungkuk kedepan sambil membetot sekuatnya, seorang kena ditarik melompat kedepan, kiranya penyergap itu adalah Yang Kian-pek.

Yang Kian-pek tidak mau melepasan pegangannya atas pergelangan tangan Akai, ketika dia ditarik sekuatnya, setengak badan Akai menjadi lemas dan sukar mengeluarkan tenaga, lekas2 ia balas menjotos kedagu lawan.

Namun Yang Kian-pek sempat mendoyong kebelakang sehingga kepalan Akai melayang lewat diatas mukanya. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa NYo Wan juga telah menusuk dengan pedangnya, terpaksa Yang Kian-pek melepaskan Akai sambil melompat kesamping untuk menghindarkan serangan Nyo Wan itu.

“Hebat benar ilmu pedangmu, nona Nyo,” seru Yang Kian-pek dengan tertawa. “Cuma sayang tenagamu sudah kurang, mungkin tak bisa menandingi aku. Nona manis sebagai kau tentunya aku tidak tega melukai kau, bagaimana kalau kau ……… “

“Jangan banyak bacot, lihat pedang!” bentak Nyo Wan, secepat kilat ia memberondongi lawan dengan beberapa kali serangan, semuanya menuju tempat2 berbahaya.

Yang Kian-pek sempat menangkis sampai serangan terakhir, mendadak terdengar “krek” sekali, pedang Yang Kian-pek tergempil oleh benturan pedangNyo Wan. Maklum pedang yang digunakan Nyo Wan adalah pedang pusaka, meski tenaga Nyo Wan tidak cukup, tapi bila kedua senjata kebentur, tentu pedqaang biasa tak bisa menahan tajamnya pedang pusaka.

Keruan Yang Kian-pek terkejut, seketika ia cep-klakep, tak bisa tertawa dan tak bisa membual lagi. Segera Nyo Wan menyerang dengan lebih gencar, “sret”, ia menusuk tenggorokan lawan.

Sekuatnya Yang Kian-pek menangkis. “Trang”, kembali kedua pedang kebentur sehingga pedang Yang Kian-pek gempil lagi, Cuma sekali ini tidak sama dengan tadi, Nyo Wan tergetar oleh tenaga dalam lawan yang kuat, tangannya kesakitan, hampir2 tidak kuat menggenggam senjatanya, ia terkejut dan lekas2 melangkah mundur.

Karena yakin akan lebih unggul, kembali Yang Kian-pek tertawa senang, katanya: “Nona Nyo, biarpun kau punya pedang pusaka juga tak bisa meng apa2 kan diriku, kalau tidak percaya boleh kau coba lagi.”

Nyo Wan percaya tenaga dalam lawan lebih kuat, melulu mengandalkan ketajaman pedang pusaka tak dapat sekaligus mengutungi senjata lawan, bergebrak keras lawan keras akhirnya diri sendiri juga akan kewalahan. Maka dengan mengertak gigi ia melancarkan serangan pula dengan cara lincah sehingga dalam waktu singkat Yang Kian-pek tidak mampu mengalahkan sinona, terpaksa hanya dapat bertahan saja.

Akai melihat tangan sendiri yang dipegang Yang Kian-pek tadi ada guratan merah seperti kena tanggam. Dengan gusar ia melepaskan tali yang melibat dipinggangnya,ia putar tali itu hingga menerbitkan angin terus menjirat ke leher Yang Kian-pek.

Ho Kiu-kong juga tidak tinggal diam, ia menyangka Akai sudah terluka, maka dengan cambuknya iapun menyabet ke bagian kaki Akai. Busa juga tidak mau menganggur, ia mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang roda, diangkat tinggi2 kedua roda itu untuk meng-aling2i Yang Kian-pek dari serangan tali Akai tadi. Roda yang digunakan Busa itu bergigi tajam, jika tali Akai sampai kejepit, kalau tidak putus tentu juga akan kecundang.

Disinilah kelihatan ketangkasan Akai, talinya seperti ular hidup saja, ditengah udara mendaak tali itu memutar ke arah lain dan cepat menahan sabetan cambuk Ho Kiu-kong.

Tali dan cambuk menjadi satu, tali lebih panjang daripada cambuk, ujung tali yang berlebihan itu menjulur kebawah, ketika Akai menyendal sekuatnya, bagian ujung tali itumendadak menegak, “plok”, dengan tepat tulang kaki Ho Kiu-kong tersabet.

Mestinya Ho Kiu-kong hendak menghajar Akai yang disangkanya kalah kuat dalam hal tenaga dalam, tak disangka dia sendiri malah kena disabet, keruan kaki kesakitan, tanpa kuasa tubuhnya ikut doyong kedepan, malahan akan terseret oleh tali Akai itu.

Untung bininya keburu menolongnya, dengan tongkat kepala naga segera Ho-popoh mencungkil bagian tengah tali lawan. Saat itu tali yang panjang itu sedang tertarik dengan kencang sebagaimana talibusur yang dipentang, ketika dicukil tongkat Ho-popoh, ternyta tali itu lantas terpental lepas, tidak urung tangan sineenk tergetar kesakitan. Berkat bantuan istrinya itu barulah cambuk Ho kiu- kong dapat terlepas dari libatan tali lawan dan dapat berdiri tegak lagi.

Kiranya Akai tidak pernah berlatih lwekang, tapi tenaga pembawaannya sangat kuat. Dia sudah biasa hidup sebagai pemburu, menangkap binatang buas dengan tali adalah kepandaiannya yang khas. Talinya itu terbuat dari kulit kerbau yang diuntir, jadi tidak ubahnya seperti cambuk yang lemas. Kepandaiannya memainkan tali secara khas itu boleh dikata lebih lihai daripada permainan cambuk Ho Kiu-kong.

Segera Busa putar kedua rodanya dan menerjang Akai. Ia cukup kenal kepandaian teman sejawatnya itu, rodanya yang bergigi tajam itu memang merupakan senjata anti tali Akai yang lihai itu.

“Hm, percuma saja kau menjadi jago kemah emas, terhitung orang gagah macam apa, berani main keroyok?” jengek Akai.

“Aku ingin menangkap pengkhianat, kau adalah buronan Khan Agung sekarang, siapa sudi bicara tentang peraturan busu segala dengan kau?” jawab Busa.

“Baik, biarpun kau main kerubut, memangnya aku takut?” kata Akai dengan gusar. Segera ia putar talinya dengan kencang dan lincah sebagai ular naga, dengan satu lawan tiga ia tetap lebih banyak melancarkan serangan daripada bertahan.

Talinya yang panjang itu dapat mencapai sejauh beberapa meter, dibawah putaran Akai yang bertenaga raksasa, lingkaran talinya makin lama makin meluas, Busa dan lain2 terdesak sampai hampir2 tidak sanggup menancapkan kaki didalam kelenteng.

Diam2 Busa mengakui kehebatan Akai, pantas pangeran Tin-kok juga segan padanya.

Di lain pihak Yang Kian-pek yang berkepandaian lebih tinggi dari kawan2nya, ia sudah diatas angin dalam pertarungannya melawan Nyo Wan, hanya saja dibawah ancaman tali Akai itu, banyak kesempatan baik terpaksa harus di-sia2kan. “Hm, permainan orang kampung juga berani pamer disini,” jengek Yang Kian-pek. “Jangan kuatir, Kiu-kong, akan kubereskan keparat ini!”

Mendadak ia melompat maju, secepat kilat pedangnya menabas. Segera Akai menarik talinya, tapi kalah cepat, tahu2 talinya sudah terkutung sebagian.

Nyo Wan lantas menusuk, dia paksa Yang Kian-pek harus menjaga diri, benar juga Yang Kian-pek lantas memutar balik dan kembali menghadapi serangan Nyo Wan.

Akai memiliki tenaga sakti pembawaan, Cuma sayang tidak pernah belajar lwekang, dalam hal pemakaian tenaga menjadi tidak semahir Yang Kian-pek. Di tengah pertarungan sengit itu, bilamana ada kesempatan Yang Kian-pek lantas melompat kesana untuk menabas tali Akai. Karena itu, lamban-laun tali Akai yang panjang itu sudag tertabas beberapa kali, tali yang panjangnya beberapa meter itu sekarang tinggal tidak lebih dari tiga meteran saja.

Nyo Wan menyadari bila terjadi apa2 atas diri Akai, maka keselamatan sendiri juga sukar dipertahankan. Ia menjadi nekat dan melancarkan serangan cepat untuk menahan Yang Kian-pek agar tidak sempat memotong tali Akai lagi. Mestinya ilmu pedang Nyo Wan mengutamakan kecepatan dan kegesitan, tapi lantaran kalah tenaga, kini keadaannya sudah payah sehingga gerak pedangnya berbalik tidak secepat lawannya.

Kembali Yang Kian-pek berhasil mengutungi tali Akai dua kali lagi, dia yakin pasti menang, maka dengan bergelak tertawa ia berkata: ‘Nona Nyo, asal kau mau menurut padaku, tentu aku takkan bikin susah kau. Orang liar ini bukan sanak kadangmu, buat apa kau mengurus dia. Hehe, Kiu-kong, kukira kalian tidak perlu lagi bantuanku bukan?”

“Orang liar ini kini sudah seperti ikan didalam jala, tentu saja akan kami bekuk dengan mudah, Yang-kongcu tidak perlu pikirkan sebelah sini, silahkan curahkan perhatianmu untuk meladeni sicantik saja,” kata Busa dengan cengar cengir.

“Ya, kaupun tekun sedikit membereskan lawanmu dan sicantik dari padang rumput tentu pula akan menjadi milikmu. Kita seorang dapat satu, adil bukan,” sahut Yang Kian-pek dengan tertawa.

Selama hidup Akai paling hormat dan mencintai istrinya, Kalusi. Keruan ia menjadi murka karena istrinya ikut di-olok2. Namun talinya kini sudah tinggal dua meteran panjangnya, dengan sendirinya daya serangnya telah banyak berkurang, banyak tipu2 serangan yang khas sukar dilontarkan pula.

Tapi Akai pantang mundur,ia tetap bertempur dengan mati2an.

Dilain pihak serangan Ho Kiu-kong tambah bersemangat, cambuknya menjulur mengkeret dengan lincah, selalu mengarah bagian kaki Akai. Sebaliknya tongkat Ho-popoh juga selalu mengancam bagian perut dan pinggangnya, sedangkan Busa dengan senjata rodanya terus menyamber di bagian atas. Tadi mereka bertiga dihajar Akai sehingga kalang kabut, kini berkat bantuan Yang Kian-pek mereka berbalik dipihak penyerang malah, dengan sendirinya sekarang mereka ingin membalas dendam.

Dalam keadaan demikian, biarpun tenaga Akai sangat kuat, dibawah kerubutan tiga musuh, akhirnya ia hanya sanggup berkelit kesini an menghindar kesana saja.

Keadaan nyo Wan lebih2 payah, hendak menangkis serangan lawan saja rasanya sulit. Untung Yang Kian-pek bertekad hendak menawannya hidup2, maka terhadap cara bertempur Nyo Wan yan gnekat itu mau tak mau ia rada2 repot.

Lama2 keadaan Nyo Wan tambah lemah, ia pikir: ‘Betapapun aku tidak boleh jatuh ditangan bangsat ini!”

Selagi ia bermaksud membunuh diri saja, se-konyong2 terdengar Yang Kian-pek membentak: “Siapa itu?” ~ Berbareng terdengar Busa juga berseru kaget.

Agaknya Yang Kian-pek sedang ter-heran2, setelah mendesak mundur Nyo Wan, segera ia tarik ekmbali pedangnya dan berpaling mengawasi gerak gerik seseorang.

Melihat ada orang datang dan belum diketahui kawan atau lawan, dengan sendirinya Nyo Wan mengurungkan niatnya membunuh diri.

Tertampak pendatang itu memakai kedok kain hitam, hanya sepasang biji matanya yang menyorot tajam sedang menatap keadaan sekeliling ruangan kelenteng, pe-lahan2 orang itu mendekati Busa, tapi sepatah katapun tidak buka suara.

Sungguh kejut Nyo Wan tak terkatakan setelah mengenali orang berkedok ini. Sebab orang ini sudah pernah dilihatnya tempo hari.

Malam itu ketika dia sembunyi didalam hutan dan menyaksikan Busa ditotok roboh oleh Li Su-lam, lalu Su-lam buru2 pergi membantu Beng bing-sia menempur Yang Kian-pek. Selagi Nyo Wan hendak mengikuti pertarungan Li Su-lam melawan Yang Kian-pek, tiba2 muncul seorang berkedok sehingga Nyo Wan tidak jadi keluar dari tempat sembunyinya.

Dilihatnya orang berkedok itu menyeret bangun Busa, dengan cepat membuka Hiat-to yang tertotok Li Su0lam tadi. Orang dapat membuka totokan Li Su-lam yan gkhas itu, hal ini membuat Nyo Wan ter-heran2. Bahkan sesudah itu orang berkedok itu lantas tinggal pergi sebelum Busa sempat mengucapkan terima kasih padanya.

Kemudian sesudah Li Su-lam dan Bing-sia mengalahkan Yang Kian-pek, mereka menjadi heran dan bingung karena Busa sudah melarikan diri, siapa yang membuka hiat-to orang Mongol itu tidak diketahui mereka.

Teka teki ini hanya Nyo Wan saja yang tahu, tapi juga tidak jelas seluruhnya, sebab ia sendiri tidak tahu hubungan apa antara orang berkedok itu dengan Busa. Jika suatu komplotan, pantasnya tidak lantas tinggal pergi setelah menolongnya. Tapi apapun juga dia adalah penolong Busa, seumpama bukan sekomplotan, tentu juga satu haluan. Dan kini orang yang baru datang ini adalah orang berkedok yang dilihat Nyo Wan dahulu itu.

Sebenarnya Nyo Wan menaruh harapan semoga yang datang ini adalah kaum ksatria, siapa tahu yang datang kembali adalah musuh. Keruan Nyo Wan sangat kecewa dan cemas.

Dalam pada itu terdengar Busa telah berseru dengan girng; ‘He, bukankah engkau adalah tuan penolongku tempo hari itu?” Terima kasih atas pertolonganmu.”

“Persetan kau,” tiba2 orang berkedok itu mendamprat dengan nada sepat.

Keruan ucapan ini membikin kaget kedua pihak. Dengan heran Busa berkata pula: ‘He, mengapa tuan penolong “ belum lenyap suaranya mendadak orang itu mencengkeram Busa terus

dilemparkan keluar kelenteng seperti lempar bola saja.

“kau tidak mau enyah, biar kuenyahkan kau!” kata orang itu dengan dingin.

Perubahan hebat ini sama sekali diluar dugaan orang banyak. Ho Kiu-kong dan istrinya berdiri disebelah Busa, tapi mereka toh tidak keburu menolongnya. Dengan terkejut Ho Kiu-kong lantas membentak: ‘Keparat darimana kau, berani menyakiti orang?” ~ segera cambuknya menyabet.

Orang itu ternyata tidak berkelit dan tidak menghindar, ketika cambuk Ho Kiu-kong menyamber tiba, dengan gerakan “Yu-liong-tam-jiau” (naga meluncur main cakar), dua jarinya mendadak menjepit seperti gunting tajamnya, “cret”, tahu2 cambuk Ho kiu-kong itu telah dipotong menjadi dua bagian.

Dalam pada itu dengan cepat sekali tongkat Ho-popoh juga lantas mengemplang dari depan. “Hm, pasangan suami istri bangsat seperti kalian ini juga lekas enyah saja dari sini!” jengek

orangberkedok. Berbareng itu dengan cepat luar biasa, bagaimana caranya sampai Ho-popoh sendiri tidak jelas, tahu2 tongkatnya sudah dirampas lawan.

Ketika orang berkedok itu menggertak sekali, tertampak tongkat rampasan itu sudah menancap kedalam tanah, hampir2 masuk seluruh batang tongkat itu. Keruan sukma Ho Kiu-kong dan istrinya hampir terbang ke awang2 saking kagetnya, tanpa pamit lagi mereka terus kabur menyelamatkan diri.

“Sungguh perkasa!” puji Akai setelah menyimpan kembali talinya yang tinggal separoh itu. “kau sanggup satu lawan tiga, kau juga sangat perkasa!” balas orang berkedok itu dengan tersenyum.

Dalam sekejap saja orang berkedok itu telah melemparkan orang, memotong cambuk dan merampas tongkat, ber-turut2 tiga jagoan kena dibikin keok, betapa tinggi ilmu silatnya membikin Yang Kian-pek rada terkejut juga. Tapi keadaan Nyo Wan dan Akai kini sudah sangat payah, asalkan dia mampu mengalahkan orang berkedok itu, kemenangan tetap akan dipihaknya, sebab itu meski rada terkejut ia tetap ingin mempertahankan kemenangannya itu.

Kemudian orang berkedok itu berpaling dan menatap Yang Kian-pek dengan sinar mata yang tajam, katanya: ‘Perbuatanmu yang kotor dan rendah, apakah kau tidak kuatir menodai nama baik perguruan?” ~ Dibalik ucapannya itu se-akan2 dia sudah tahu jelas perbuatan cabul Yang Kian-pek yang banyak memperkosa gadis2 itu.

Tergetar juga hati Yang Kian-pek. “Siapa kau sebenarnya?” tanyanya.

“kau tidak perlu tanya. Jika kau tetap tidak mau menyadari kejahatanmu, maka aku adalah rasul pencabut nyawamu!” sahut orang berkedok itu dengan tenang.

Yang Kian-pek menjadi murka, bentaknya: ‘Bagus, kau berani bermulut besar, aku menjadi ingin coba2 kepandaianmu. Lihat saja nanti apakah kau mencabut nyawaku atau aku yang bikin jiwamu melayang!”

Baru selesai ucapannya, mendadak ia meloncat keatas, dengan gerakan “Ngo-eng-bok-tho” (elang lapar menyamber kelinci), orangnya berikut pedangnya terus menusuk dari atas.

Namun orang berkedok itu cepat menunduk sambil mengegos, berbareng ia sudah lolos pedangnya dan balas menyerang, kedua pedang kebentur, “trang”, Yang Kian-pek melayang kesamping, sedangkan orang berkedok mundur dua tindak.

Gebrakan pertama in boleh dikata sama kuat, tiada seorangpun menarik keuntungan. Tapi orang berkedok melolos pedang setelah lawan menyerang, maka kalau bicara kegesitan jelas ia lebih unggul daripada Yang Kian-pek.

Nyo Wan menjadi ragu2 dan heran menyaksikan pertarungan itu. Ia sedang meng-ingat2 kembali ilmu pedang orang berkedok ini, sebab ia merasa seperti pernah melihatnya. Tiba2 ia teringat, bukankah ilmu pedang yang dimainkan oleh Ci in-hong tempo hari.

Tempo hari, waktu Li Su-lam berebut Bengcu dengan Tun-ih Ciu, mendadak muncul Ci in-hong yang mewakilkan Li Su-lam untuk bertanding dengan jago pedang lawan Liu Tong-thian, pertandingan berakhir dengan seri, hal ini membikin para ksatria ter-heran2. Nyo Wan sendiri berada diantara para penonton itu, kesannya cukup mendlam terhadap ilmu pedang Ci In-hong yang aneh dan hebat itu.

Kini Nyo Wan menjadi ragu2 apakah orang berkedok ini adalah samaran Ci in-hong, tapi kalau mlihat perawakan dan suaranya terang tidak sama.

Belum habis berpikir, se-konyong2 terdengar Yang Kian-pek membentak: “Ci In-hong, kau jangan main sandiwara segala!” ~ Maklum, baik suara maupun perawakan, bila cara menyamarnya pintar juga dapat berubah, Yang Kian-pek sendiri adalah ahli dalam ilmu menyamar, maka ia anggap orang berkedok ini pasti Ci in-hong adanya.

Selagi Nyo Wan tertegun oleh gertakan Yang Kian-pek itu, tak terduga orang berkedok itu berbalik tanya: ‘Ci In-hong itu siapa?”

“kau masih tidak mengaku!” jengek Yang Kian-pek terus menerjang pula, dibawah serangan pedangnya disertai pula pukulan yang dahsyat.

Orang itu menggunakan pedang untuk menangkis pedang dan tangan lai menghadapi pukulan, “blang”, Yang Kian-pek berbalik tergetar mundur.

“Baik, apakah kau Ci In-hong atau bukan, yang pasti kau sengaja memusuhi aku, “ bentak pula Yang Kian-pek.

Adu pukulan tadi, yang digunakan kedua orang ternyata sama”Thian-lui-kang. Ilmu pukulan “Thian-lui-kang adalah kepandaian khas perguruan Yang Kian-pek, hanya tokoh terkemuka perguruannya saja yang mahir menggunakan ilmu pukulan itu. Setahu Yang Kian-pek, selain ayahnya dan paman guru Hoa Thian-hong, angkatan yang lebih muda hanya ia sendiri dan Ci In- hong saja yang berhasil meyakinkan ilmu pukulan itu. Dengan sendirinya orang berkedok ini bukanlah paman gurunya, lalu siapa lagi kalau bukan Ci In-hong?

Setelah tergeliat dan berdiritegak lagi, orang berkedok tadi lantas berkata: ‘O, pahamlah aku. Mungkin Ci in-hong yang kau maksudkan adalah murid Hoa Thian-hong bukan? Tentunya dia tidak cocok dengan perbuatan kalian, betul tidak?”

Dengan percobaan pukulan tadi Yang Kian-pek telah dapat menguji Thian-lui-kang lawan tidak banyak selisih jauh dengan kepandaian sendiri, rasanya malah lebih rendah sedikit daripada Ci in- hong. Tapi cara pihak lawan menyambut pukulannya tadi ternyata cukup lihai. Yang Kian-pek menjadi ragu2 apakah benar orang ini adalah Ci in-hong seperti sangkaannya?

“Seorang laki2 tidak perlu main sembunyi2, jika kau bukan Ci In-hong, lalu siapa kau? Katakan saja!” bentak Yang Kian-pek.

“Hm, kau sendiri berbuat hal2 yang kotor,apakah kau ingin kubongkar tingkah lakumu yang busuk itu?” jawab orang itu. “Sekarang aku tidak ingin beritahukan siapa diriku, soalnya aku belum mau membinasakan kau. Kelak kau sendiri tentu akan paham. Kini aku Cuma ingin tanya padamu, kau mau enyah dari sini atau tidak? Kalau tidak jangan kau salahkan tanganku yang tidak kenal ampun ini!”

Dari malu Yang Kian-pek menjadi murka, bentaknya pula: ‘Jika kau adalah murid perguruan kita, kau seharusnya tahu ayahku adalah ciangbunjin, kau berani bersikap kurang ajar padaku?”

“Hm, kau masih berani bicara tentang perguruan segala,” jengek orang itu. “Coba kau jawab dulu, bagaimana bunyi pasal pertama daripada peraturan rumah tangga perguruan kita?”

Menurut peraturan rumah tangga yang ditetapkan oleh cikal bakal perguruan Yang Thian-lui dahulu, diantara sepuluh pasal itu pasal pertama itu menyatakan bahwa setiap orang yang mengkhianati negara dan takluk pada musuh, maka setiap anak murid perguruan boleh membunuhnya. Pasal kedua juga menyatakan siapa yang mengkhianati perguruan dan membangkang perintah guru dihukum mati. Dengan pertanyaan orang berkedok tadi, jelas dia memang benar orang seperguruan dengan Yang Kian-pek.

Yang Kian-pek menjadi lebih malu dan tambah gusar pula, sahutnya: “Peraturan apa segala,ayahku adlah pejabat ketua sekarang, apa yang dia ucapkan adalah peraturan. Kau berani menggertak aku dengan peraturan perguruan apalagi?”

“Tutup bacotmu!” bentak orang itu dengan sinar mata yang tajam. “Kalian ayah dan anak menjual negara untuk kepentingan pribadi, mengkhianati perguruan dan lupa pada ajaran orang tua, masakah kau punya harganya buat bicara sesama perguruan dengan aku?”

Sudah tentu Yang Kian-pek tidak mau tunduk, apa lahi dia sudah biasa malang melintang, segera ia menubruk maju pula dengan menggerang murka.

Diantara angin pukulan dan samberan pedang, mendadak Yang Kian-pek mencengkeram kepundak lawan. Tapi orang berkedok sempat mengegos terus balas memukul.

“Blang”, kembali kedua tangan beradu, sekali ini Yang Kian-pek tergetar mundur lebih jauh lagi. Tanpa ayal orang berkedok itu lantas menubruk maju pula, karena kerepotan melayani berondongan serangan lawan, terpaksa Yang Kian-pek mengadu tangan lagi.

Pukulan orang berkedok itu sebagai geledek, samberan pedang sebagai kilat, dalam sekejap saka sudah beradu tangan delapan kali dengan Yang Kian-pek, suara nyaring benturan pedang mendering panjang, entah berapa kali pula kedua pedang berbenturan.

Setelah mengadu tangan delapan kali, Yang Kian-pek merasa dadanya sesak, keringat dingin mengucur, jantung ber-debar2.

Sebenarnya kekuatan kedua orang adalah sembabat, tapi lantaran kemarin malam Yang Kian-pek sudah mengadu “Thian-lui-kang” dengan Ci In-hong, banyak tenaga murninya terbuang dan belum dapat pulih dengan segera. Sebab itulah ia merasa kewalahan menghadapi Thian-lui-kang orang berkedok ini.

Tidak dapat mengalahkan orang berkedok itu, ditambah lagi Nyo Wan juga siap menghadapinya disamping, mau tak mau Yang Kian-pek menjadi gugup, ia pikir kalau terjadi kerubutan, mungkin dirinya sukar meloloskan diri. Paling selamat sekarang kabur saja lebih dulu.

Begitulah segera ia pura2 menyerang, habis itu mendadak ia melompat mundur terus melarikan diri. “Hm, hari ini biarlah aku mengampuni kau, semoga kau pulang kerumah merenungkan kembali perbuatanmu yang durhaka itu!’ jengek orang berkedok.

Setelah musuh lari, Nyo Wan dan Akai lantas maju mengucapkan terima kasih.

“Sesama orang persilatan, adalah pantas kalau saling membantu,” kata siorang berkedok dengan rendah hati.

“Oran gagah, sungguh orang gagah!” puji Akai sambil mengacungkan ibu jarinya. “Pembesar kami seringkali mengatakan orang Han licik, ternyata kami telah tertipu. Baru sekarang aku mengetahui bahwa orang Han adalah sahabat baik sejati. Padahal kita tidak pernah saling kenal, tapi kau telah sudi menyelamatkan jiwaku.”

Untuk menghilangkan curiga orang, segera Nyo Wan menambahkan: “Sobat ini meski kawan dari Mongol, tapi dia tidak sudi jual nyawa bagi Khan Mongol, dia lebih suka lari kesini.”

“Aku tahu,” kata orang berkedok. “Percakapan kalian dengan kedua bangsat tadi sudah kudengar semua. Orang Mongol juga sama dengan orang han kita, ada orang baik dan ada orang jahat.” Akai sangat senang, serunya pula: ‘orang gagah, apakah kau sudi bersahabat dengan diriku?” “tentu saja, mengapa tidak,’ sahut orang berkedok.

“Aku bernama Akai dan kau siapa?” tanya Akai.

“Nama Cuma sebagai tanda pengenal, boleh kau panggil aku orang berkedok saja,” ujar orang itu. “Yang pasti, biarpun namaku si kucing atau si anjing tentu pula kau sudi bersahabat dengan aku bukan?”

Setelah berkelana sekian lamanya, Nyo Wan tahu sedikit pantangan2 orang kangouw, ia menduga orang berkedok ini tentu ada urusan yang sukar diterangkan, makanya tidak mau memberitahukan namanya kepada orang lain.

Akai tampak manggut2, katanya: ‘Benar juga ucapanmu. Banyak orang Mongol kami yang berpangkat pakai nama yang indah didengar, tapi sembilan diantara sepuluh orang adalah orang2 busuk.” Kalusi mengerut melihat Akai ajak bicara terus menerus dengan orang, segera ia membisiki Akai: ‘Nona Nyo ingin bicara dengan dia, jangan kau menimbrungnya.”

Begitulah Nyo Wan lantas membuka suara pula: ‘O, kiranya kau telah mendengar percakapan kami tadi, jika begitu tidak perlu kuterangkan lagi. Aku sendiri bernama Nyo Wan.”

“Nona Nyo, aku ingin tanya padamu tentang diri seseorang,” kata orang berkedok. “Siapa? silahkan bicara,” sahut Nyo Wan.

“Seorang nona yang berusia sebaya dengan kau, namanya Beng Bing-sia, putri Kanglam-tayhiap Beng Siau-kang,’ tutur orang itu. Lalu sambungnya pula dengan tertawa: “Semula aku menyangka dirimu adalah nona Beng, ternyata aku telah salah kuntit. Tapi kesalahan ini membawa kebaikan pula.”

“Ah, kiranya engkau adalah sahabat nona Beng,’ seru Nyo Wan dengan girang.

“Tak dapat dikatakan sebagai sahabat,” kata orang itu. “Cuma aku kenal baik dengan ayahnya, sebaliknya Cuma ketemu satu dua kali dengan nona Beng. Apakah engkau kenal dia?”

“Tidak Cuma kenal saja, bahkan beberapa hari yang lalu kami malah berada bersama. Sekarang dia dan ayahnya sudah berangkat ke Hui-liong-san. Apakah engkau hendak mencari mereka ayah beranak?”

“Bukan maksudku sengaja hendak mencarinya,” kata orang berkedok. “Bila bertemu harap engkau suka menyampaikan salamku saja kepada Beng-tayhiap, katakan pernah bertemu dengan seorang macamku ini dan Beng-tayhiap tentu akan tahu.”

Nyo Wan merasa serba susah, sebab ia tidak ingin mengunjuk diri di hadapan Beng bing-sia, tapi ia merasa akhirnya toh mesti bertemu kembali dengan Li Su-lam dan dengan sendirinya juga tak dapat mengelabui Bing-sia. Agar tidak membikin kecewa siorang berkedok, maka ia lantas menyanggupi permintaannya.

Setelah diam sejenak, lalu Nyo Wan bertanya pula: ‘tadi engkau bilang salah menguntit, sebenarnya apa yang telah terjadi?”

“Kemarin malam nona Beng pernah uncul dikota ini dan malam itu juga di dalam kota terjadi peristiwa pemerkosaan, cuma sayang aku tidak ketemukan kejadian itu,” kata orang berkedok. “Tapi seluk beluk kejadian itu dapat kudengar cukup jelas. Kejadian berlangsung di rumah Ho Kiu- kong. She Ho ni adalah bandit besar yang sengaja menyembunyikan diri, iapun benggolan utama dari kalangan hitam di sekitar beberapa kota ini, sudah banyak kejahatan yang dia lakukan, maka dapat diduga apa yang yang terjadi itu tentu adalah perangkap yang dia pasang. Hanya saja akhir kejadian itu kabarnya pihak Ho Kiu-kong dan Jay-hoa-cat bersangkutan yang kecundang, tamu perempuan yang bermalam di rumah Ho kiu-kong itu telah mendapat pertolongan seorang pendekar muda tak dikenal dan berhasil terhindar dari ancaman Jay-hoa-cat, sebaliknya Jay-hoa-cat itu malah kena dihajar hingga kabur, Ho Kiu-kong sendiri juga melarikan diri ketempat lain dan tidak berani pulang lagi kerumahnya.”

‘Aneh juga kejadian itu,” ujar Nyo Wan. ‘Aneh tentang apa?” tanya orang berkedok.

‘kalau yang perempuan sekiranya Beng-lihiap adanya, lalu pendekar muda itu siapa.

“Menurut nada Yang Kian-pek tadi, agaknya pendekar muda itu adalah orang yang bernama Ci In- hong. Kalau tidak tentu Yang Kian-pek takkan salah sangka terhadap diriku sebagai Ci In-hong.

Dibalik ucapannya tadi agaknya iapun pernah telan pil pahit dari pemuda she Ci itu. “Ya, akupun berpikir demikian, makanya merasa heran,” ujar Nyo Wan.

“Mengapa begitu? Apakah ada sesuatu yang tidak betul antara nona Beng dengan orang she Ci itu?” “Setahuku, agaknya Ci In-hong dan Beng Bing-sia bukanlah orang sehaluan.”

“O, habis siapakah orang she Ci itu, tentu kau mengetahuinya.”

“Sedikitpun aku tidak tahu asal usulnya,” sahut Nyo Wan. “Cuma beberapa hari yang lalu di Long- sia-san pernah terjadi dua peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan orang she Ci. Tindak tanduknya sangat aneh, semua orang mencurigai dia sebagai mata2 yang bekerja bagi Mongol.” ‘Mata2 Mongol? Rasanya tidak! Apakah dapat kau jelaskan kedua peristiwa itu?”

“Begini, beberapa hari yang lalu di atas Long-sia-san diadakan suatu pertemuan besar para tokoh kalangan Lok-lim untuk memilih Bengcu “ Hal ini sudah kuketahui,” sela orang berkedok, “kabarnya disatu pihak mencalonkan pendekar muda Li Su-lam yang baru terkenal di kalangan Bu-lim dan dilain pihak menjagoi tokoh Lok-lim angkatan tua Tun-ih Ciu.”

“Ya, ketika pertandingan sedang berlangsung, tiba2 muncul Ci In-hong yang tidak dikenal asal usulnya, tapi dia membantu pihak Li Su-lam mengalahkan seorang jago pihak lawan, menyusul ia bertanding sama kuatnya dengan ahli pedang Liu Tong-thian dari pihak lawan. Berhasilnya Li Su- lam menduduki jabatan Bengcu harus diakui tidak sedikit memperoleh bantuan dari Ci In-hong.” “Jika begitu Ci In-hong jelas juga dari kalangan pendekar ksatria, mengapa kau bilang dia tidak sehaluan dengan nona Beng?”

“Soalnya pada malam itu juga dia mengadakan pertemuan rahasia pula dengan To Liong, sedangkan To Liong sudah etrbukti adalah mata2 pihak Mongol. Secara tidak sengaja malam itu aku dapat mencuri dengar percakapan mereka, bahkan mereka merencanakan hendak merebut kedudukan cecu Long-sia-san. O, ya, supaya kau maklum, To Liong adalah kakak To Hong, Cecu perempuan Long-sia-san sekarang. Mereka kakak beradik mempunyai haluan yang berbeda.”

“Jika begitu memang benar2 rada aneh,” kata orang itu. “Cuma bisa jadi Ci In-hong sengaja hendak emmancing rahasia To Liong. Sebab kalau dia benar2 mata2 musuh, tentunya kemarin malam dia takkan bergebrak dengan Yang Kian-pek, apalagi dari nada Yang Kian-pek terang sedemikian bencinya terhadap Ci In-hong, hal inipun membuktikan dia bukan mata2 musuh.”

“Tindak tanduk CiIn-hong yang penuh rahasia itu sukar juga untuk diraba, apakah kau perlu ke Long-sia-san untuk menyelidiki sejelasnya?”

“Aku memang ingin mencari tahu seluk beluk tentang diri Ci In-hong, kemarin karena aku hendak mencari dia, makanya salah kuntit. Cuma pada waktu ini aku belum dapat pergi ke Long-sia-san. Kupikir Ci In-hong dan nona Beng juga belum pasti akan kembali kesana.”

Orang itu manggut2, katanya: “Banyak terima kasih atas keterangan2 mu, nona Nyo. Kukira sudah waktunya aku harus berangkat. Sampai berjumpa pula kelak.”

Tiba2 Akai mendekati orang itu, katanya: “Sungguh aku sangat senang dapat bersahabat dengan kau, bila sudi, haraplah kau suka menerima sedikit tanda terima kasihku ini.” ~ Ternyata Akai telah menyerahkan saputangan sutera putih.

Orang berkedok itu tahu apa yang dimaksudkan Akai itu adalah suatu adat istiadat orang Mongol, memberi tanda mata saputangan disebut “mempersembahkan harta” yaitu suatu tanda hormat dan penghargaan terhadap kawan karib.

Maka dengan tulus orang berkedok itupun menjawab: “Kau adalah sahabat Mongol pertama bagiku, sudah tentu akupun sangat senang mempunyai kawan segagah kau. Cuma sangat menyesal,aku tidak punya hadiah apa2 yang dapat kuberikan padamu.”

Habis itu, sesuai dengan adat Mongol, ia menerima saputangan itu sambil berpelukan dengan Akai. Tapi mendadak orang berkedok itu lantas berseru: ‘He, apa yang kau lakukan?” ~ Berbareng itu ia mendorong pergi Akai yang dipeluknya itu.

Kiranya pada waktu mereka berpelukan, se konyong2 Akai menarik kedok orang itu. Sama sekali tak terduga oleh siapapun juga bahwa Akai yang ke-tolol2an itu dapat berbuat demikian secara mendadak.

Setelah kedok terbuka, terdengar Kalusi dan Minghui menjerit kaget berbareng. Akai juga melongo terkejut. Hanya Nyo Wan saja yang tiak berteriak kaget, tapi demi melihat wajah asli orang itu, mau tak mau ia merasa ngeri juga.

Betapa jelek muka orang itu sungguh diluat dugaan siapapun juga. Pada wajah orang itu tertampak beberapa jalur bekas luka yang malang melintang mirip simpang empat dari jalan kereta api.

Lantaran bekas luka itu benjal benjol tidak rata, maka kulit daging pada mukanya juga berkerutan disana sini, begitu buruk mukanya hingga terasa seram bagi siapapun yang melihatnya.

Semula Nyo Wan masih rada menyangsikan dia adalah amaran Ci In-hong, tapi sekarang setelah melihat wajahnya, yakinlah dia dugaannya tadi tidak betul. Berbareng Nyo Wan juga paham apa sebabnya orang memakai kain kedok. “Rupanya dia kuatir menakuti orang lain dan bukan sengaja merahasiakan wajah sendiri bagi Yang Kian-pek,” demikian pikir Nyo Wan.

Setelah terdorong mundur, Akai tertegun sekian lamanya, kemudian baru berkata dengan ter- gagap2: ‘Ma …..maaf, aku …….aku tidak tahu, tidak tahu sebab cara bersahabat orang Mongol kami memang …….. memang begini dan ” dia memang tidak pandai bicara, maka kini ia

tambah bingung entah cara bagaimana baru dapat menunjukkan rasa menyesalnya.

Rupanya Akai berjiwa polos dan berpikiran sederhana, ia beranggapan kalau sudah bersahabat masakah tak boleh mengetahui bagaimana wajah asli sang kawan. Terhadap musuh boleh merahasiakan muka sendiri, terhadap sahabt tentunya tidak perlu. Begitu saking senangnya mendapat sahabat baru, berdasarkan jalan pikiran sendiri itulah Akai terus menarik kedok orang. Ternyata orang berkedok itupun tidak marah, dengan tersenyum getir ia berkata: “Tidak apa2, aku tidak menyalahkan kau. Padahal buat apa kau harus malu pada kejelekan sendiri? Wajahku yang begini bukanlah pembawaan sejak lahir, tapi kalau sekarang sudah berubah begini, apa halangannya diperlihatkan kepada orang lain? Nah, Akai apakah kau takut kepada wajahku yang jelek ini?” Dengan tulus Akai menjawab: “Meski wajahmu jelek, tapi hatimu baik. Aku justru sangat suka padamu, masakah takut?”

Orang itu menengadah dan bergelak tertawa, serunya dengan rasa puas: “Apa artinya bermuka cakap, paling penting persahabatan yang kekal. Kau tidak mencela kejelekan mukaku, sungguh aku sangat gembira!”

Melihat orang tidak menyesali perbuatannya tadi, legalah hati Akai, dengan ke-tolol2an iapun berseru: “Kau tidak marad padaku, akupun sangat gembira!”

Sedangkan Nyo Wan sendiri lagi membatin: “Wajah asli orang ini tentulah seorang pemuda cakap. Meski ucapannya tadi kedengaran wajar, tapi sesungguhnya dia merasa kesal akan perubahan wajah sendiri itu.”

Kemudian orang berkedok itu berkata pula sambil menghela napas: “Tapi banyak manusia didunia ini lebih mengutamakan muka yang bagus, rasanya tidaklah banyak orang yang tidak takut kepada mukaku yang jelek ini seperti kalian. Maka biarlah aku tetap menjadi orang berkedok saja!” ~ Habis berkata kembali ia pasang kain hitam dimukanya, ditengah suara tawanya yang panjang nyaring dengan cepat ia melangkah pergi.

Sesudah orang itu menghilang, dengan tertawa Minghui berkata: “Kukira Tin-kok adalah lelaki paling jelek mukanya didunia ini, siapa tahu masih ada orang yang lebih jelek daripada dia. Cuma orang inipun rada istimewa. Aneh juga, kepandaiannya begitu tinggi, entah cara bagaimana mukanya dirusak orang?”

“Ini namanya tinggi gunung masih ada gunung yang lebih tinggi,” ujar Nyo Wan.

“Tapi orang yang merusak mukanya itu pasti juga orang jahat,” kata Minghui. “Orang jahat berkepandaian setinggi itu, sungguh bukan hal yang baik.”

“Ya, ucapan Tuan Putri memang tidak salah,’ kata Nyo Wan. Tiba2 ia teringat kepada Li Su-lam. Sekarang ia sudah tahu Yang Kian-pek adalah putra Yang Thian-lui dan juga orang yang hendak menyergap Li Su-lam pada malam itu.

Mau tak mau terpikir pula oleh Nyo Wan: ‘Sungguh tidak sedikit orang jahat yang hendak mencelakai engkoh Lam dan semuanya berkepandaian tinggi pula. Kepergian ke Hui-liong-san mungkin juga sangat berbahaya walaupun dia ditemani Beng-tayhiap.

Berpikir sampai disini, sungguh kalau bisa Nyo Wan ingin terbang ke Hui-liong-san dalam waktu singkat, biarpun takdapat membantu banyak pada Li Su-lam, sedikitnya akan dapat membagi kesukarannya.

Begitulah segera ia berkata kepada Minghui bertiga: “Hari sudah terang tanah, aku harus berangkat sekarang, kalian boleh pergi ke Long-sia-san, tunggulah aku disana!”

“Semoga kau lekas berjumpa dengan Li-kongcu dan sampaikan salamku kepadanya,” kata Minghui. Lalu keduanya berpisahan dengan rasa berat.

Nyo Wan berangkat sendirian menuju utara, makin jauh makin sedikit orang yan berlalu lalang. Ia mwnjadi teringat kepada cerita orang berkedok itu bahwa semalam Beng Bing-sia kepergok keparat Yang kian-pek, sedangkan Ci In-hong telah membantu Bing-sia mengalahan Yang Kian-pek. Bila benar hal ini, maka sungguh diluar dugaan. Entah mereka melanjutkan perjalanan bersama atau tidak? Ci In-hong itu kawan atau lawan masih belum jelas. Cuma, diharap saja sebagaimana dikatakan orang berkedok itu, semoga Ci In-hong adalah orang baik. Begitulah dalam lubuk hati Nyo Wan sedikit banyak masih menaruh cemburu dan sirik kepada Bing-sia, sebab itu dia berharap Ci In-hong adalah orang baik, semoga mereka menempuh perjalanan bersama, lalu bibit asmara keduanya bersemi.

Hari itu hawa sangat dingin, habis saja turun salju, didepan hanya nampak pemandangan salju yang putih buram, diatas tanah salju tiada satupun bekas tapak kaki binatang, jangankan tapak kaki manusia. Dalam hati Nyo Wan membatin pula: “Mungkin mereka bukan menuju ke Hui-liong-san. Tapi kalau benar mereka dalam perjalanan bersama, aku menjadi tidak perlu rikuh lagi bertemu dengan Bing-sia.”

Nyo Wan tidak tahu bahwa saat ini Bing-sia juga sedang mencarinya. Bahkan hasrat Bing-sia ingin bertemu dengan dia jauh lebih bernapsu daripada Nyo Wan sendiri.

Malam itu setelah Bing-sia dan Ci In-hong lolos dari rumah Ho Kiu-kong, setelah Ci In-hong menyembuhkan luka Bing-sia, sebelum pagi tiba mereka sudah lantas melanjutkan perjalanan.

Ci In-hong cukup cerdik, ia menduga Yang Kian-pek dan Ho Kiu-kong tentu masih ada begundal lain, setelah kecundang tentu mereka akan mengerahkan kawan2ny untuk mengejar. Meski luka Bing-sia sudah baik, tapi tenaga belum pulih, ada lebih baik ber-hati2 dan waspad. Sebab itulah mereka tidak mengambil jalan besar, tapi memilih jalan kecil, jalan pegunungan yang sepi untuk menghindari pencarian musuh.

Walaupun waktu itu sudah permulaan musim semi, namun salju yang menyelimuti lereng pegunungan masih belum cair, sepanjang perjalanan, masih sedikit sekali orang lalu, apalagi jalan pegunungan lebih2 sepi.

Perangai kedua muda mudi itu hampir sama, dalam perjalanan itu tanpa terasa mereka menjadi seperti sahabat lama saja, tanpa canggung2 lagi satu sama lain.

Melihat Bing-sia seringkali memeriksa tanah salju apakah ada bekas tapak kaki orang sambil merenungkan sesuati, dengan heran Ci In-hong lantas bertanya: “Adakah sesuatu yang kau pikirkan, nona Beng?”

“Aku ingin mencari seorang teman, yaitu prajurit yang berteriak tangkap mata2 musuh pada malam itu,” kata Bing-sia.

“Benar, kau pernah mengatakan bahwa prajurit itu adalah bakal istri Li Su-lam, betul tidak?” kata Ci In-hong dengan tertawa. “Malam itu aku bermaksud memancing rahasianya To iong, tapi telah membikin nona itu salah sangka akan diriku. Maka akupun berharap lekas bertemu dengan dia untuk memberi penjelasan padanya.”

“Besar kemungkinan dia sedang menuju ke Hui-liong-san untuk menyusul Li Su-lam, tutur Bing- sia. “Aku justru kuatirkan dia akan kepergok oleh rombongan Yang Kian-pek, tentu dia bisa celaka. Sekarang kita mengambil jalanan kecil ini , mungkin sukar bertemu dengan dia.”

“Yang diincar Yang Kian-pek adalah nona jelita seperti kau, bila nona Nyo itu masih tetap dalam samarannya sebagai prajurit, tanggung takada bahayanya,” ujar Ci In-hong dengan tertawa.

“Ai, orang gelisah, kau justru berkelakar denganku,’ omel Bing-sia. “Dia sendirian, betapapun hatiku baru lega bila sudah berjumpa dengan dia.”

“Jika betul dia menuju ke Hui-liong-san, lambat atau cepat tentu akan berjumpa , gelisah juga tiada gunanya,’ kata Ci In-hong. “Tampaknya kau bersahabat sangat baik dengan nona Nyo itu bukan?”

Dapatkah Bing-sia berjumpa dengan Nyo Wan dalam suasana yang akrab?

Siapakah orang berkedok itu? Ada hubungann apa antara dia dengan Ci In-hong dan Yang Kian-pek pula?

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar