Pahlawan Gurun Jilid 08

 
Jilid 08

Setelah urusan penting selesai, semua orang sama2 gembira, Su-lam memberi hormat lagi kepada Beng Siau-kang. Sebaliknya Beng Siau-kang meminta maaf karena salah pahamnya dulu terhadap LI Su-lam.

Melihat betapa simpatiknya Beng Siau-kang terhadap Li Su-lam, para ksatria sama berpikir besar kemungkinan Beng-tayhiap akan memungut mantu bengcu baru itu dan tampaknya Li-bengcu juga setuju. Memang bengcu yang masih muda itu dengan nona Beng merupak pasangan yang sangat setimpal. Demikian pikir mereka.

Ditengah suasana riang gembira itu ternyata ada seorang yang merasa cemas dan sedih, lalu diam2 meninggalkan Long-sia-san. Orang ini tak lain tak bukan ialah Nyo Wan. Ia sudah datang sejak tadi Su-lam dan Bing-sia berdua menempur Tun-ih Ciu dengan sengit. Karena dia dalam penyamaran sebagai prajurit biasa sehingga tiada seorangpun yang memperhatikan dia.

Waktu Li Su-lam menghadapi bahaya tadi pernah juga mendengar suara jeritan orang yang seperti telah dikenalnya, hanya saja Su-lam tak pernah menyangka bahwa suara itu adalah suaranya NYo Wan.

Kemudian ketika menyaksikan Su-lam dan Bing-sia lolos dari bahaya, ia menjadi girang dan kecut pula rasanya. Akhirnya ia tambah pilu demi menyaksikan Su-lam, Bing-sia dan Beng Siau-kang bertiga dikerumuni orang banyak dalam suasana gembira ria, sebaliknya diri sendiri hanya menonton saja dari jauh, sungguh waktu itu air mata hampir2 menetes.

Namun ia telah teguhkan hatinya dan berkata pada diri sendiri: ‘Tidak, aku tidak boleh menangis dan tak boleh diketahui olehnya. Nona Beng memang lebih sesuai baginya daripada diriku. Biarlah dia anggap aku sudah mati saja, buat apa aku msti merintangi perjodohannya yang setimpal dan bahagia itu?”

Begitulah diam2 Nyo Wan telah pergi dengan menahan air mata, kasihan sedikitpun Li Su-lam tidak mengetahui hal itu. Yang dipikir oleh Li Su-lam pada waktu itu hanya memenuhi kewajiban untuk melaksanakan cita2nya bagi kepentingan bangsa dan negara.

Pada saat itu pula ternyata ada seorang lagi yang merasa tidak tenteram. Orang ini adalah Ciok Bok. Ia merasa serba susah melihat suasana gembira itu, melihat gelagatnya Beng Siau-kang bermaksud menjodohkan putrinya kepada Li Su-lam, tampaknya To hong juga pasti akan mendukung maksud ini karena berkawan baik dengan Bing-sia. Lantaran tidak tahu keadaan Nyo Wan, bisa jadi Su-lam juga jatuh hati terhadap Bing-sia. Padahal Ciok Bok telah berjanji pada Nyo Wan untuk menyampaikan keadaan nona itu kepada Li Su-lam. Kalau sekarang hal itu ciceritakan, jelas akan merupakan suatu pukulan keras bagi Beng Siau-kang dan putrinya, mungkin To Hong juga akan menyalahkan tindakannya. Sebaliknya kalau tidak dikemukakan, itu berarti dia tidak memenuhi janjinya kepada Nyo Wan.

Begitulah Ciok Bok menjadi serba susah, apalagi saat itupun bukan waktunya untuk bicara urusan2 pribadi. Terpaksa ia mencari kesempatan lain untuk menyampaikan nasib Nyo Wan yang sebenarnya kepada Li Su-lam.

Dalam pada itu To Hong telah memerintahkan diadakan perjamuan besar untuk merayakan kemenangan mereka. Tiba2 Li Su-lam ingat satu orang. Ia coba memandng sekelilingnya dan ternyata tidak nampak orang yang dicari. Cepat ia tanya: “Kemanakah perginya ksatria she Ci yang mengalahkan Cui Tin-sn tadi itu?”

Maklumlah, kalau bicara tentang jasa, sudah tentu jasa Beng Siau-kang paling besar, begitu pula jasa Li Su-lam sendiri, tapi jasa Ci In-hong juga tidak kecil. Tidak hanya mengalahkan Cui Tin-san saja, bahkan dia telah menandingi Liu Tong-thian dengan sama kuat. Maka dalam perjamuan besar sebagai tanda menghormati pahlawan2 yan gberjasa mana boleh kekurangan pahlawan seperti Ci in-hong? Akan tetapu orangnya ternyata sudah menghilang.

Baru sekarang To hong ingat juga kepada Ci In-hong itu. Tadi ia mengira Ci in-hong tentu berada diantara orang banyak pula, siapa tahu sudah menghilang malah. Cepat ia suruh anak buahnya keluar mencari, tapi sampai sekian lamanya takdapat ditemukan.

Sementara itu pesta perayaan sudah siap, tempat duduk juga sudah diatur dengan baik. Tempat duduk untuk Ci In-hong disediakan disebelah Li Su-lam, satu meja dengan Beng Siau-kang dan Bing-sia serta To Hong, tapi yang bersangkutan tidak ada, terpaksa tempatnya dikosongkan. “Sungguh sayang saudara Ci Tidak hadir sehingga pesta ini kurang semarak,” ujar Li Su-lam. “Siapakah Ci in-hong yang kalian maksudkan itu,” tanya Beng Siau-kang.

Segera Bing-sia menerangkan apa yang telah terjadi dalam pertandingan antara Ci In-hong melawan Cui Tin-san dan kemudian menempur Liu Tong-thian pula dengan sama kuat.

Beng siau-kang menjadi heran, ilmu pukulan Cui Tin-san dan ilmu pedang Liu Tong-thian terhitung kepandaian yang menonjol didunia kangouw, tapi sekarang angkatan muda yang tak terkenal dapat mengalahkan yang satu dan menandingi sama kuat dengan yang lain, sungguh luar biasa. “Anehnya, mengapa akupun tidak tahu ada seorang angkatan muda sehebat itu,” ujar Beng Siau- kang. “kalian tidak kenal asal usulnya, apakah dari ilmu pedangnya juga tak dapat diraba?”

“Ilmu pedangnya tidak sama dengan aliran2 yang terdapat di Tionggoan sehingga sukar diketahui asal usulnya, “ kata Bing-sia.

“Beng-tayhiap berpengalaman luas, mungkin dapat menerka asal-usul orang ini?” Su-lam ikut bicara.

“Ilmu pedangnya tidak sama dengan aliran2 ilmu pedang Tionggoan, inilah luar biasa. Umurnya kira2 berapa?” tanya Beng Siau-kang kemudian.

“Baru likuran,” jawab Su-lam.

‘O, masih begitu muda? Sukar bagiku untuk menerkanya,” kata Siau-kang. “Setahuku, memang ada satu-dua tokoh persilatan yang mengasingkan diri dengan ilmu pedang yang hebat, tapi anak muridnya mereka sedikitnya juga sudah setengah umur. Padahal ksatria muda she Ci ini baru likuran, seumpama dia mendapat petunjuk dari guru sakti juga rasanya takkan mencapai tingkatan sesempurna itu.”

“Sayang dia lantas menghilang, tapi lain hari tentu dapat menyelidiki asal-usulnya,” ujar To Hong. “marilah sekarang kita minu mdulu satu cawan untuk keselamatan bersama.”

Suasana riang gembira meliputi pesta pora itu. Be-ramai2 para hadirin saling memberi hormat dengan sama2 mengeringkan isi cawan masing2, ber ulang2 Beng bing-sia juga menyuguhkan arak kepada li Su-lam. Dibawah pengaruh alkohol, Su-lam menjadi ngelamun dan samar2 bayangan Bing-sia yang cantik itu se-akan2 berubah menjadi Nyo Wan.

Beng Siau-kang dan Bing-sia dapat melihat keadaan Li Su-lam yang ter-mangu2 itu, segera Beng Siau-kang berkata: ‘mungkin kau sudah lelah, boleh pergi mengaso saja lebih dulu.”

Setelah Li Su-lam mengundurkan diri, tiba2 Ciok bok berkata padanya: ‘Biarlah kuantar kau kembali kekamarmu, Li-heng!”

“Memangnya kau kuatir aku mabuk?” ujar Su-lam dengan tertawa. Tapi maksud baik Ciok Bok itupun tak ditolaknya.

Sementara itu sudag menjelang tengah malam, sekeluarnya dari ruang perjamuan, Ciok Bok berkata pula: “Apakah benar sekarang juga Li-heng sudah mengantuk dan ingin tidur? Malam ini sinar bulan cukup terang, kalau aku tentu tidak mau tidur sedini ini. Bagaimana kalau kita omong2 dulu sambil menikmati bunga bwe yang baru mekar dibelakangh gunung sana?”

“Jika Ciok-heng punya minat, tentu saja aku akan mengiringi kau,” sahut Su-lam. Tiba2 hatinya tergerak pula,ia heran mengapa tanpa sebab mendadak Ciok bok mengajaknya omong2 dan menikmati bunga bwe segala? Jangan2 dia ada urusan yang perlu dibicarakan padanya secara berduaan.

Segera Su-lam mengikuti Ciok Bok menuju kehutan bwe, setiba disana , belum sempat pasang omong, tiba2 tertampak dua penunggang kuda mendatang dari bawah gunung. Ciok bok heran malam2 begitu ada orang naik keatas gunung.

Sesudah dekat, dikenalnya seorang diantaranya adalah thaubak yang ditugaskan menjaga rumah makan dibawah gunung itu. Rumah makan itu adalah milik Long-sia-san yang dipimpin To hong ini, tugasnya adalah mata2 dan juga mengantar tamu yang perlu menemui sang cecu. Seorang lagi adalah laki2 kekar yang tak dikenal Ciok Bok.

Melihat Ciok Bok, Thaubak itu cepat berhenti dan memberi hormat seraya memberi lapor bahwa kawannya itu adalah suruhan dari Hui-liong-san, katanya ada urusan penting yang harus disampaikan cecu.

Ciok Bok merasa tidak enak untuk tanya lebih jelas karena urusan penting itu harus disampaikan kepada To hong sendiri, maka segera iapun menyilahkan mereka naik keatas gunung.

Sesudah kedua orang pergi, suasanan disitu menjadi sunyi kembali. Dengan tertwa Su-lam berkata: “Ciok-toako, mengapa malam ini kau menjadi iseng?”

“Terus terang aku ingin bicara sedikit dengan Li-heng,” kata Ciok bok. “Tentu Li-heng masih ingat ketika kita bertemu di Mongol tempo hari, kau kan pernah tanya kabar beritanya nona Nyo kepadaku?”

Seketika Li Su-lam menarik muka, katanya: “Sekarang aku tidak lagiingin tahu tentang dia.” ‘tapi sekarang aku justru mengetahui dia, apakah benar kau tidak ingin tahu?” tanya Ciok Bok.

Hati Su-lam menjadi pedih, ingin menyatakan tak mau mendengarkan, namun akhirnya ia menghela napas dan menjwab:”Tak kau katakan juga aku sudah tahu. Ai, urusan yang menyedihkan buat apa disebut pula?”

“kau tahu apa?” tanya Ciok Bok.

“Aku tahu dia masih hidup didunia ini, tapi aku tak mau bertemu lagi dengan dia.” “Sebab apa?”

“Jangan kau paksa aku bicara, Ciok-toako,” pinta Su-lam. Ia pikir “bunga sudah dipersunting orang, buat apa di-sebut2 pula.

Tiba Ciok Bok berkata dengan tertawa: “Li-heng, biarpun kau tidak menjelaskan jug aaku tahu apa yang sedang kaupikirkan. Padahal semua pikiranmu itu keliru, Li-heng.”

Su-lam menjadi melengak, jawabnya: “darimana kau yakin pikiranku keliru?”

“Aku tahu tentu kau berpendapat “bunga sudah dipersunting orang’, padahal kau keliru sangka, sama sekali keliru!”

Ucapan Ciok Bok ini membikin Su-lam melonjak kaget, serunya: “Ciok-toako, apakah kau …… kau kau mengetahui sesuatu apa lagi?”

“Ya,aku tahu kau telah dibohongi oleh to liong, kau tertipu olehnya!” kata Ciok bok. “Meski To liong adalah suhengku, tapi aku dapat mengatakan lasana sicebol hendak mencapai bulan jika dia ingin mempersuntingkan nona Nyo.”

“jadi maksudmu ……… maksudmu adalah tidak benar nona Nyo telah menjadi istri To Liong?” Su-lam menegas dengan ter-gagap2.

‘Ai,” Ciok Bok menghela napas. “Bukan Cuma sehari dua hari saja Li-heng berkumpul dengan nona Nyo, mengapa kau masih tidak percaya padanya?”

Kejut dan girang pula hati Su-lam, tapi ia masih ragu2, katanya: ‘Tapi …… tapi dengan mata kepala sendiri aku melihat hubungan mereka dan bukan Cuma berdasarkan ocehan To Liong belaka.”

“Kau menyaksikan mereka berada bersama di suatu tempat?” tanya CiokBok.

Su-lam mengangguk, hatinya menjadi seperti di-sayat2 demi teringat apa yang dilihatnya tempo hari itu.

“Benarkah kau melihat nona Nyo berada di kamar hotel kecil itu? Ah, kukira yang kau lihat adalah To Liong bukan?” ujat CiokBok.

‘He, mengapa kaupun tahu kejadian itu?” Seru Su-lam sambil melonjak pula.

“Benar, aku memang tahui kejaidan itu, tidak saja To Liong, bahkan aku juga melihat nona Nyo disana. Aku datang ke kota kecil itu satu hari lebih dulu daripada kau, sayang kita kehilangan kesempatan buat berjumpa disana, kalau tidak tentu kau takkan salah paham terhadap nona Nyo.” “Sebenarnya bagaimana duduknya perkara? Ciok toako, lekas kau ceritakan padaku!” pinta Su-lam sambil pegang kedua bahu Ciok Bok.

Diam2 Ciok Bok geli, tadi bilang tidak ingin tahu urusan diri Nyo Wan, sekarang berbalik ingin lekas2 tahu secara tidak sabar. Iapun tidak ingin membikin gelisah pada Su-lam, maka dengan jelas dituturkan apa yang dilihatnya tempo hari, tentang Nyo Wan diapusi oleh to Liong, untung dia keburu menolongnya di kamar hotel itu, begitu pula apa yang didengarnya dari penuturan Nyo Wan tentang kepalsuan To Liong juga diceritakan pula kepada Su-lam.

Habis mendengarkan, tak kepalang pedih dan gemas serta malu pula hati Li Su-lam. Ia pedih atas nasib Nyo Wan dan gemasterhadap kelicikan To Liong yang kotor itu. Iapun malu terhada diri sendiri yang tolol.

Dengan muka merah akhirnya ia berkata: ‘Ciok-toako, sungguh aku sendiripun takkan mengampuni ketololanku sendiri ini. Sekarang aku hanya ingin mohon padamu, beritahukan padaku dimana nona Nyo berada kini? Saat ini juga aku ingin pergi mencarinya untuk minta maaf barulah hatiku dapat merasa tenteram.”

“Sekarang dia berada dimana, aku sendiripun tidak tahu,” jawab Ciok bok setelah merenung sejenak. “Apalagi kini kau telah menjabat bengcu baru, mana boleh kau meninggalkan urusan maha besar hanya untuk mencari nona Nyo saja?”

“Bukan maksudku hendak meninggalkan urusan yang lebih penting, aku Cuma ingin tahu jejaknya agar dapat berusaha menemukan dia,” kata Su-lam. ‘Sama juga seperti diriku, iapun menanggung sakit hati keluarha dan negara, bila dia berada disini tentu akan dpat ikut memberikan sumbangan pikiran dan tenaganya. Ciok toako, kau tentu tahu jejaknya, dapatkah kau memberitahukan padaku?”

“kau ingin minta maaf pada nona Nyo,kukira tidak perlu ter-buru2 pada waktu ini,” kata Ciok bok dengan tertawa. “Asalkan dalam lubuk hatimu tetap terukir bayangannya, pada suatu hari kelak dia pasti aka tahu juga isi hatimu dan dia sendiri tentu akan mencari padamu. Percayalah padaku, lakukanlah menurut kata2ku ini, tentu tidak salah lagi.”

Dibalik kata2 Ciok bok itu se akan2 menyampaikan apa yang telah menjadi tekad Nyo Wan, Su-lam menjadi ragu2 apa benar begitulah keinginan Nyo Wan.

Selagi ia hendak tanya lebih jelas, tiba2 datang seorang pelayan To hong memanggil Ciok Bok. Dapat diduga tentu ada sangkut pautnya dengan kedatangan utusan Hui-liong-san tadi. Segera Ciok bok berkata kepada Su-lam: ‘Li-heng, kau tentu sudah cukuo lelah, malam ini hendaklah kau istirahat dan tidur senyenyaknya. Besok aku akan bicara lagi dengan kau.”

Karena To Hong tidak mengundang serta Li Su-lam, dengan sendirinya Ciok Bok tidak enak mengajaknya pula ketempat perundingan.

“Silahkan saja, aku akan tinggal sebentar lagi disini,” kata Su-lam.

Setelah Ciok Bok berangkat, Su-lam mondar mandir sendiri dasitu dengan pikiran yang kusut. Teringat kata To Liong siang tadi, ia pikir jangan2 Nyo Wan memang berada juga didalam sanceh (markas bangunan gunung) situ. Kalau demikian mengapa adik Wan tidak menemui saja aku?

Apakah dia salah sangka aku telah mencintai orang lain?

Selagi melamun, tiba2 terdengar suara kresek, seorang jelita mendadak muncul dari semak2 sana. Jantung Su-lam berdetak, waktu dia mengawasi, dengan tersenyum simpul nona itu sudah berdiri dihadapannya. Su-lam rada kecewa, tanpa terasa ia berseru: “O, kiranya kau, Bing-sia!” “Memangnya kau kira siapa?” sahut Bing-sia rada heran.

Wajah Su-lam menjadi merah, katanya dengan kikuk:”aku menyangka Ciok Bok telah kembali lagi.”

“Mungkin dia harus banyak berundingan dengan To Hong,” kata Bing-sia, “Dia bilang kau berada disini, setelah ebrtempur seharian ternyata kau masih punya minat untuk pesiar kesini?”

“Ciok Bok mengajak omong2, maka ku mengiringinya kesini,” sahut Su-lam. “Mengapa kaupun belum tidur?”

“Akupun sedang omong2 dengan ayah,” kata Bing-sia. “Ayah sangat senang padamu, ber-ulang2 dia memuji kau, masih muda, cakap, tapi sudah menjadi pemimpin yang bertanggung jawab.” “Ah, jangan terlalu menyanjung diriku,” ujar Su-lam dengan tertawa. “Bila ayahmu tidak keburu datang, tentu kedudukan bengcu sudah dipegang Tun-ih Ciu. O ya, entah ada urusan apakah dari Hui-liong-san sehingga nona To Hong pelu ajak berunding dengan Ciok-toako?”

“Ya, Hui-liong-san memang ada urusan penting yang perlu minta bantuan To Hong,” kata Bing-sia. “Cuma yang akan dirundingkan To hong dengan Ciok Bok tidak melulu urusan Hui-liong-san saja, tapi masih ada urusan mengenai kakaknya. Ya, akupun ingin tanya padamu, ketika dia bertempur dengan kau siang tadi agaknya dia sangat dendam kepadamu. Sungguh aku dan To Hong sangat kuatir bagi kalian.”

“Benar, aku memang sangat benci padanya, tapi sekarang rasa benci itu sudh banyak berkurang.” “Aeeh, mengapa begitu?” Bing-sia ter-heran2.

“Sebenarnya tiada permusuhan apa2 antara dia dan aku, aku hanya benci pribadinya yang buruk itu. Tapi sekarang dia mau tinggal dirumah, mungkin dia sudah mulai menyesal atas perbuatannya, maka rasa benciku padanya menjadi berkurang.” Sudah tentu ia tidak enak untuk membicarakan soal Nyo Wan yang menjadikan bencinya kepada To Liong, terpaksa ia menerangkan secara samar2.

Bing-sia menyangka yang dimaksudkan Su-lam adalah persekongkolan To Liong dengan Tun-ih Ciu serta bermaksud takluk kepada pihak Mongol. Segera iapun berkata: “Penghianatan To Liong itu sungguh harus dikutuk, tapi jangan kau kira dia akan menyesal secara begitu mudah. Bukan mustahil berdiamnya dia disini justru mempunyai tipu muslihat tertentu, maka kita perlu waspada. Betapapun jahatnya To Liong tetap kakaknya To Hong, maka apa yang akan dilakukannya tentu akan membikin To Hong serba susah. Sebab itulah To Hong mencari Ciok Bok untuk berunding.’ “Utusan Hui-liong-san itu entah datang untuk urusan apa, dapatkah aku diberitahu?” tanya Su-lam. “Sebagai bengcu, sudah seharusnya kau diberitahu, mungkin To Hong menyangka kau sudah tidur, maka tidak ingin mengganggu ketentramanmu,” tutur Bing-sia. “Kau tentu tahu letak Hui-liong-san itu berada diperbatasan antara propinsi2 Holam dan Siamsay, tempat strategis yang harus dilalui tartar Mongol bila ingin menyerbu kedaerah Tionggoan.”

Su-lam terkejut, cepat ia tanya:”Apakah disana telah melihat gerak-gerik musuh?”

“Benar. Pertemuan di Liong-sia-san kali ini pihak Hui-liong-san tidak mengirim wakil, semulakita mengira karena jauhnya perjalanan, tapi sekarang baru tahu bahwa mereka sedang mencurahkan segenap tenaga untuk siap menghadapi serbuan pihak Mongol.”

“Waktu aku meninggalkan Sehe pasukan Mongol masih bercokol di Liong-soa-tui, masakah begitu cepat kini sudah sampai di Hui-liong-san?” ujar Su-lam.

“Pasukan berkuda pihak Mongol terkenal karena gerak cepatnya yang sukar diduga, bahkan saat ini mungkin pasukan pelopornya sudah memasuki wilayah Hui-liong-san.”

“Jika begitu kedatangan utusan Hui-liong-san itu adalah minta bantuan. Siapakah cecu mereka, sungguh harus dipuji kepahlawanannya melawan musuh hanya dengan kekuatan suatu sanceh saja sebagai Hui-liong-san yang kecil itu.”

“Cecu Hui-liong-san itu bernama Toh An-peng, didunia Lok-lim terkenal dengan ilmu pukulan Bian-ciang, konon wataknya sangat keras, untuk memikatnya To Pek-seng perlu bertanding dengan dia baru menaklukkannya. Biasanya ia tidak pandang pihak, apakah kalangan Pekto atau Hek-to tak diperduli olehnya, maka iapun tidak tergolong kaum ksatria yang terpuji. Cuma sekali ini dia berani angkat senjata melawan tartar Mongol, sungguh diluar dugaan dan patut dikagumi.”

“Perbuatan setiap orang memang harus dinilai dari segi kepentingan umum, kalau ada kesalahan kecil tidaklah perlu diungkat. Cuma jarak Hui-liong-san dari sini rada jauh, bala bantuan yang akan dikirim mungkin tidak keburu lagi.”

“Rupanya Toh-cecu juga telah memperhitungkan hal demikian, maka di samping minta bala bantuan, dia minta dikirim dahulu beberapa jago yang punya pengaruh dan dapat diandalkan untuk membantu dia memimpin pasukan, terutama jika terpaksa harus mengadakan perang secara terbuka. Dia berharap To Hong sendiri dapat berangkat kesana, sebagai puteri mendiang Bengcu yang dahulu tentu akan punya daya penarik terhadap rakyat jelata dan sisa sisa pasukan sukarela setempat yang tercerai berai.”

“Kukira To Hong tidak dapat meninggalkan sancehnya,” ujar Su-lam.

“Memang benar. Dia justru kuatir kakaknya akan mengacau pada waktu dia tidak dirumah, bukan mustahil pula Tun-ih Ciu juga akan menggunakan kesempatan itu untuk menyerbu tempat ini dengan bersengkongkol dengan To Liong, bila terjadi demikian tentu akan sangat berbahaya.” “Sebagai bengcu, bagiku tugas ini merupakan tanggung jawabku, biarlah kubicarakan dengan To Hong, aku saja yang berangkat ke Hui-liong-san.”

“Ya, selaku bengcu sudah tentu kau ada hak buat menentukan siapa yang harus berangkat kesana. Namun kukira akulah yang lebih tepat untuk minta izin padamu.”

“Minta izin apa?” tanya Su-lam heran. “Izin ke Hui-liong-san,” sahut Bing-sia.

“Kau juga ingin pergi kesana?” Su-lam menegas. “Kukira kau lebih baik tinggal disini saja untuk membantu nona To. Kupikir akan mengajak Song Thi-lun dan istrinya saja yang mengiringi aku, menyusul Ciok Bok boleh berangkat pula dengan pasukan bala bantuan, dengan demikian kurasa sudah cukup.”

“Bing-sia menjadi rada kurang senang sebab mengira Li Su-lam sengaja menjauhinya, namun sebagai seorang wanita sejati, iapun tidak banyak bicara lagi, katanya kemudian: “Kukira kau perlu pembantu yang dapat diandalkan, Song Thi-lun dan istrinya meski tidak lemah, tapi sukar membantu kau jika ketemukan musuh setangguh Tun-ih Ciu. Bagaimana kalau aku minta ayah mengiringi kau kesana?”

“Sudah tentu baik sekali jika Beng-locianpwe ikut pergi. Cuma disini juga perlu pembantu yang kuat. Bila ayahmu disini tentu Tun-ih Ciu tidak berani sembarangan bergerak. Sungguh sayang Ci In-hong menghilang begitu saja, kalau dia berada disini, sungguh cocok sekali dia kuminta menjadi pembantuku. Tapi biar kita berunding saja dengan nona To.”

“Dugaan Bing-sia ternyata tidak salah, Li Su-lam memang sengaja menjauhi dia demi untuk mencegah salah sangka, yaitu kuatir menimbulkan salah paham Nyo Wan.

Li Su-lam tidak tahu bahwa saat itu juga NYo Wan justru berada disekitar hutan bwe itu, yaitu ditempat pos penjagaan yang terletak tidak jauh dari situ.

Waktu itu kebetulan Nyo Wan tidak dinas jaga, ia melihat Su-lam dan Ciok Bok menyusuri hutan bwe tadi, ia ingin tahu apa yang hendak dibicarkan Ciok Bok pada Su-lam, maka diam2 iapun mengintil dibelakang mereka. Namun dia tidak sempat mendengar percakapan mereka yang menyangkut dirinya sebab pesuruh To Hong keburu datang memanggil Ciok bok. Yang diketahuinya adalah Ciok Bok telah menepati janjinya tanpa membocorkan jejaknya. Setelah Ciok Bok pergi, selagi dia ragu2 apakah mesti keluar menemui Li Su-lam atau tidak, saat itulah tiba2 Bing-sia muncul.

Begitulah, dari tempat sembunyinya NyoWan menyaksikan bayangan Li Su-lam dan Beng Bing-sia yang semakin menjauh, hatinya menjadi pedih. Pikirnya: “Tampaknya Beng Bing-sia benar2 jatuh hati kepada engkoh Lam, malahan dari ucapannya tadi agaknya Beng tayhiap juga penujui engkoh Lam sebagai menantunya. Akan tetapi mengapa engkoh Lam menolak ikut sertakan Bing-sia ke Hui-liong-san? Apakah lantaran diriku?”

Berpikir demikian, rada lega dan manis juga rasanya,wajahnya menampilkan senyuman. Tapi senyuman manis itu hanya sekilas saja laksana bulan purnama yang tiba2 tertutup pula oleh awan tebal. Pikirnya pula: ‘Biarpun engkoh Lam belum melupakan diriku, namun sedikitnya nona Beng juga telah mengisi sebagian hatinya. Tampaknya nona Beng memang lebih setimpal dengan dia daripada diriku. Aku sudah yatim piatu, paling2 hanya akan menjai beban bagi engkoh Lam.

Sebaliknya ayah nona Beng adalah seorang pendekar besar pada jaman ini, bila engkoh Lam mengikat jodaoh dengan nona Beng akan berari punya sandaran yang kuat.”

Karena merasa dirinya dalam macam2 hal tidak dapat menandingi orang, tanpa terasa ia menjadi putus asa. Dasar watak Nyo Wan memang selalu mengejar hal2 yang sempurna, yangmutlak, kalau tidak sempurna lebih baik tidak. Dan begitulah perasaannya sekarang.

Ia tahu bila unjuk diri sekarangpasti Li Su-lam takkan mengingkari dia, betapapun Beng Bing-sia sukar berlomba dengan dia. Akan tetapi dia tidak mau berbuat demikian, sebab ia merasa hubungannya dengan Li Su-lam sudah ada retaknya, sudah ada cacatnya dan tidak sempurna lagi. Pelahan2 ia keluar dari hutan bwe itu, sang dewi malam yang menghias ditengah cakrawala sudah condong kebarat. Kembali terpikir pula olehnya: “Besok juga apakah dia pergi bersama Bing-sia atau Beng-tayhiap yang pasti hubungan mereka entu akan tambah rapat lalu buat apa aku mesti berpihak di tengah2 mereka?”

Tampaknya ia telah ambil keputusan yang tegas namun hatinya tetap sukar terlepas dari memikirkan diri Li-Su-lam. Betapapun juga ia takdapat menyetop perasaannya terhadap pemuda itu. Teringat olehnya besok juga Li Su-lam akan berangkat ke Hui-liong-san, se konyong2 ia seperti tersentak dari lumunannya karena tiupan angin pegunungan yang diangin. Tiba2 ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Ia pikir kedatangan uusan Hui-liong-san itu adalah buat minta bala bantuan karena ada tanda2 pihak musuh telah mulai bergerak. Ketika Beng Bing-sia memberitahukan hal itu kepada Li Su-lam, pernah Li Su-lam menunjukkan rasa sangsinya atas gerakan musuh yang begitu cepan. Hanya saja gerak cepat pasukan berkuda Mongol memang terkenal gesit di seluruh dunia, maka rasa sangsi Li Su-lam itupun lantas lenyap.

Dan yang dirasakan rada tidak benar adalah soal ini, ia cpba mengikuti jalan pikirannya itu dan diselami lebih mendalam, makin dipikir makin terasa kejanggalannya.

Bahwasanya Jengis Khan telah wafat di Liok-pan-san, Dulai diangkat sebagai “mangkubumi”. Pasukan Mongol telah seluruhnya ditarik kembali ke Holin. Keempat putera pangeran dan para perwira tinggi Mongol besera kepala2 kelompok suku akan mengadakan sedang besar di Holin untuk memilih Khan baru. Hal2 ini belum diketahui Li Su-lam, tapi cukup diketahui oleh Nyo Wan lantaran waktu itu dia berada bersama puteri Minghui.

Menurut perhitungan Nyo Wan, lantaran pertarungan di belakang layar antara para pangeran Mongol seperti Ogotai, Cahatai dan lain2 untuk memegang kekuasaan tertinggi, sebelum kedudukan Khan dietapkan, rasanya pihak Mongol tidak akan mengerahkan pasukannya. Dan untuk itu diperkirakan akan makan waktu lebih setengan tahun, padahal dirinya baru tiga bulan berpisah dengan Minghui muncul di daerah timur pada saat sekarang?

Berdasarkan perhitungan dan apa yang diketahuinya itu, Nyo Wan dapat memastikan bahwa apa yang dilaporkan Toh-cecu dari Hui-liong-san itu tentu laporan palsu. Untuk apa dia menyampaikan laporan bohong memang sukar diketahui yang jelas tentu dibalik itu ada suatu intrik keji. Kalau sekarang Su-lam berangkat ke Hui-liong-san bukankah akan berarti measuk perangkap musuh?

Tapi ia menjadi serba susah pula. Muslihat musuh itu pantas harus dikemukakan kepada pimpinan, tapi dia justru tidak ingin bertemu dengan Su-lam. Lalu bagaimana baiknya?

Akhirnya ia mendapat akal. Su-lam belum kenal tulisannya, dia akan menyampaikan secara tertulis saja asalkan tulisannya dibikin tada kasar sehingga tidak terduga ditulis oleh kaum wanita.

Segera Nyo Wan kembali ke kamarnya untuk menulis surat, lalu ia menyusup ke tempat tinggal Li Su-lam. Saat itu sudah lewat tengah malam, dengan leluasa dapatlah Nyo Wan mencapai tempat Su- lam. Baru saja ia hendak mencari jalan masuk ke kamarnya, tiba2 dilihatnya sesosok bayangan muncul di atas wuwungan. Nyo Wan terkejut, cepat ia sembunyi di belakang sepotong batu besar.

Dibawah sinar bulan yang remang2, samar2 dapat dikenali orang yang muncul ini adalah Ci In- hong yang menggemparkan kalangan pertandingan siang tadi.

Nyo Wan menjadi heran. Ci In-hong tidak mau menghadiri pesa perayaan kemenangan, sebaliknya malam2 mendatangi kamarnya engkoh Lam, apa tujuannya? Belum habis Nyo Wan berpikir, se2- konyong2 dari balik pohon sana melayang keluar pula sesosok bayangan lain terus mengejar ke arah bayangan pertama tadi. Melihat bayangan kedua itu jelas To Liong adanya.

Tergerak hari Nyo Wan, jangan2 ada persekongkolan kotor diantara mereka. Segera iapun mengintil di belakang mereka dengan Gikangnya, dilihatnya bajangan To Liong telah menyisup ke dalam hutan Bwe, segera ia memutar dan menyusup pula kedalam pepohonan itu melalui arah lain. Didengarnya ada suara tepukan tangan tiga kali, menyusul seorang lagi juga tepuk tangan tiga kali, kemudian saling mengucapkan kode, kedua orang lantas sama tertawa dan menampakkan diri.

“Ci-heng ternyata betul orang sendiri, utung Siaute tidak sembarangan bertindak,” terdengar To Liong berkata.

“Siaute lebih2 tidak mengira To-heng juga kawan dari satu garis yang sama,” jawab Cin In-hong. Mendengar itu, kejut sekali Nyo Wan di tempat sembunyinya. Sungguh tak pernah terduga olehnya bahwa Cin In-hong yang berjasa besar pada siang hari itu ternyata adalah sekomplotan dengan To Liong.

Lalu buat apa siang tadi ia membantu Su-lam? Hal yang bertentangan ini sungguh membikin Nyo Wan tidak habis paham.

Dalam pada itu terdengar To Liong sedang bicara sebagaimana menjadi pertanyaan Nyo Wan itu, katanya: “Ci-heng dapat bekerja dengan rapi, sungguh Siaute sangat kagum. Hanya Siaute rada heran, apakah sebelumnya Ci-heng sudah tahu akan kedatangan si tua bangka Beng Siau-kang?” “Aku tidak punya kepandaian menghitung hal2 yang terjadi sebelumnya, darimana bisa tahu?” sahut In-hong.

“Jika begitu, mengapa siang tadi Ci-heng malah muncul membela pihak lawan, habis itu mengapa pula menghindari pertemuan dengan Li Su-lam?” tanya To Liong.

“Tentunya kau belum lagi kenal asal-usulku bukan? Bunga yang merah dan daun yang hijau meski tumbuh dari satu sumber yang sama, tapi persamaan sumber di kalangan kita harus pula bertindak bagi majikan masing2 . apakah To-heng paham maksudku?”

“O, jadi Ci-heng mempunyati junjungan yang serupa dengan Tun-ih Cecu, sama2 berjuang bagi Khan Agung Mongol. Entah siapakah junjungan Ci-heng?

“Sebenarnya tiada berhalangan kuberi tahu, hanya setelah kau mengetahui, jangan2 malah akan menimbulkan rasa tidak enak bagimu.”

To Liong menjadi bingung dan kuatir, katanya: “Kalau………..kalau tidak… ”

Belum habis ucapannya, se-konyong2 Ci In-hong angkat sebelah tangan dan menepuk sebatang pohon Bwe. Dalam sekejap saja bunga Bwe rontok bertebaran dan akhirnya tinggal dahan yang gundul saja.

Nyo Wan menyaksikan juga cara Ci In-hong mengalahkan Cui Tin-san dengan ilmu pukulannya, walaupun pukulannya sekarang tampaknya lebihj hebat daripada siang tadi, tapi tidak perlu diherankan.

Tidak demikian dengan To Liong, biarpun siangnya iapun menyaksikan kepandaian Ji In-hong, tapi sekarang kepandaian Ji In-hong membikin rontok bunga Bwe dengan tepukan perlahan itu telah membuatnya terperanjat sekali. Ia tertegun sejenak baru kemudian sanggup membuka suara: “Apakah……apakah kau murid Yang Thian-lui?”

“Muridnya atau bukan, kau mau apa?” jawab Ci In-hong dengan nada dingin. “Tajam juga pandanganmu, dapat mengenali pukulanku ini menggunakan Thian-lui-sin-kang.” ~ Meski dia belum mengaku sebagai muridnya Yang Thian-lui, tapi nada ucapannya itu sudah memberi petunjuk bahwa sedikitnya dia ada hubungan kekeluargaan dengan Yang Thian-lui.

Sekarang Nyo Wan benar2 sangat terkejut. Yang Thian-lui itu tak lain tak bukan adalah pembunuh To Pek-seng. Hal ini telah dibuktikan oleh To Hong dan Toas suhengnya, yaitu Liong Kang, ketika mereka menyelidiki kedaerah Mongol.

Diam2 Nyo Wan ingin tahu cara bagaimana To Liong akan menghadapi murid pembunuh ayahnya itu. Tapi didengarnya To Liong berkata pula: “O, kiranya demikian, pantas kau bilang akan menimbulkan rasa tidak enak bagiku. Tapi aku tidak perduli apakah kau murid Yang Thian-lui atau bukan, yang jelas pembunuh ayahku hanya Yang Thian-lui dan bukan kau. Dalam perjuangan kita mempunyai garis yang sama, Kita harus bahu membahu. Tapi sakit hati ayahku tetap akan kutuntut, jika kau membela perguruanmu, terpaksa kita berhantam mati2an, yang terang aku takkan mulai menyerang kau.” ~ Ucapan terakhir ini jelas hanya untuk menutupi rasa malunya saja.

Diam2 Nyo Wan menggerutu To Liong yang pengecut itu, percuma saja ksatria gagh perkasa sebagai To Pek-seng itu mempunyai seorang putra seperti dia itu.

“Seorang ksatria harus bisa melihat gelagat,, keputusan To-heng harus kupuji,” ujar Ci In-hong sambil bergelak tertawa. “Baiklah, apakah kau akan menuntut balas atau tidak kepada Yang Thian- lui adalah urusanmu. Yang pasti urusan di sanceh ini aku tentu akan membantu kau .”

Nyo Wan memang gadis yang cermat, ia menjadi heran mendengar Ci In-hong menyebut nama Yang Thian-lui secara begitu saja, kalau betul muridnya tentu tidak pantas menyebut langsung nama sang guru.

“Ci-heng,” kata To Liong pula, “Setelah kau mendapat nama siang tadi, kenapa kau menghilang pula, apakah kuatir rahasiamu diketahui orang?” “Ya, sebab aku tahu seorang utusan Hui-liong-san akan tiba hari ini, utusan itu kenal asal usulku,” jawab in-hong.

“Ah, dalam hal ini agaknya Ci-heng hanya tahu yang satu, tapi tidak tahu yang dua,” ujar To Liong. “O, kalau begitu aku minta To-heng suka memberi penjelasan yang kedua itu?”

“Hui-liong-san juga kawan kita, Toh-cecu sengaja mengirim berita palsu, hal ini sebelumnya sudah dirundingkan dengan aku?”

”Buat apa mengatur berita militer yang tidak benar?”

“Ini namanya tipu ‘memancing harimau meninggalkan sarangnya’. Ci-heng adalah orang pintar, masakah tidak paham maksudku?”

“O, jadi kau sengaja pasang perangkap dengan Toh An-peng untuk memancing adikmu meninggalkan tempat ini.”

“Benar. Bila budak ini meninggalkan sanceh bersama anak buahnya, dengan sendirinya aku dapat bertindak sesukanya disini.”

“Hebat benar akalmu, sampai2 tidak sayang bersekongkol dengan orang luar untuk menjebak adik perempuan sendiri. Sungguh aku sangat kagum,” ujar Ci In-hong dengan nada menyindir.

“Kata peribahasa: Tidak keji bukanlah laki2. Habis dia telah merebut kedudukan cecu dariku, tidak menghormati aku pula sebagai kakak. Cuma akupun tidak bermaksud mencelakai adikku sendiri, aku justru bermaksud baik mencarikan suami baginya. Terus terang, saat ini putranya Tun-ih Cecu, yaitu Tun-in Pin, justru sedang menunggu di Hui-liong-san.”

Mendengar berita itu, Nyo Wan terkejut dan bergirang pula. Ternyata dugaannya tidak salah, Hui- liong-san memang benar berkomplot dengan to Liong, bahkan To Liong hendak menjerumuskan adik perempuannya sendiri, sungguh terkutuk.

Terdengar Ci In-hong berkata: “Tapi menurut pikiranku, adik perempuanmu agaknya takkan berangkat ke Hui-liong-san, besar kemungkinan bocah she Li sendiri yang akan pergi.”

“Jika demikian akan lebih baik lagi,” kata To Liong. “Perginya rintangan besar ini akan lebih leluasa bagi pekerjaanku disini. Ci-heng, begitu Li Su-lam berangkat segera pula aku akan bergerak, harap engkau memberi bantuan.”

“Tapi masih ada Beng Siau-kang disini,” ujar Ci In-hong.

“Masakah Ci-heng tidak tahu Beng Siau-kang ada maksud menjodohkan anak perempuannya kepada Li Su-lam. Kalau Li Su-lam berangkat, tentu Beng Siau-kang dan putrinya akan ikut serta. Maka cukup kau bantu menaklukkan budak Hong dan Ciok Bok, dengan gampang aku akan dapat menguasai sanceh ini.”

“Aku pasti akan bantu usahamu ini,” kata Ci In-hong.

Nyo Wan pikir sudah cukup apa yang didengarnya, sebaiknya lekas pergi saja untuk memberitahukan apa yang diketahuinya itu kepada Ciok Bok. Diluar sadarnya, baru saja timbul pikirannya itu sudah keburu jejaknya diketahui To Liong. Rupanya apa yang didengarnya itu membuatnya berdebar sehingga lupa menahan napas, keruan lantas didengar oleh To Liong.

Mendengar disekitarnya ada orang, To Liong pura2 tidak tahu, mendadak ia menubruk ketempat sembunyi Nyo Wan.

Pada saat yang sama juga tiba2 Ci In-hong juga membentak: “Siapa yang sembunyi disitu, lekas menggelinding keluar.”

Untung karena suara bentakan Ci In-hong itu sehingga Nyo Wan tersentak kaget dan sadar akan tubrukan To Liong itu. Cepat ia mengelak dan sempat pula menghindarkan serangan To Liong. Diam2 To Liong sangat mendongkol akan tindakan Ci In-hong itu, tpi karena dia masih mengharapkan bantuannya, terpaksa menahan perasaannya dan berseru: “Ci-heng, tak perlu urus siapa dia, binasakan saja dia!”

Rupanya Nyo Wan dalam keadaan menyamar sebagai laki2, mukanya dipoles pula dengan obat bubuk pemberian Akai tempo hari, maka dibawah sinar bulan yang remang2 To Liong tidak tahu bahwa orang dihadapannya bukan lain adalah Nyo Wan yang sedang dicarinya itu. 

Saking gemasnya Nyo Wan ingin sekali tabas membinasakan To Liong, tapi terpaksa dia harus memperhitungkan kekuatan Ci In-hong yang kini berdiri dipihak To Liong itu. Ia pikir sementara ini lebih baik bersabar daripada menggagalkan urusan yang lebih pentin, yaitu membongkar tipu muslihat penghianatan mereka.

Namun To Liong tidak memberi kesempatan kabur baginya, segera ia melancarkan pukulan pula. Tapi siangnya To Liong baru terkena Tok-liong-piau, meski sudah minum obat pemunah, namun tenaganya belum pulih seluruhnya, lantaran ini Nyo Wan tidak terlalu sukar untuk menangkis setiap serangan To Liong.

Hanya belasan jurus saja To Liong lantas curiga, ia merasa gerak gerik lawan seperti telah dikenalnya? Tentu bukan prajurit biasa, kalau prajurit biasa tentu tidak berkepandaian setinggi ini? “To-heng, biar kubinasakan dia!” bentak Ci In-hong tiba2 sambil memukul dari jauh.

Diam2 Nyo Wan mengeluh. Tak terduga ketika tenaga pukulan Ci In-hong tiba, rasa Nyo Wan seperti didorong saja, sebaliknya To Liong yang lantas menjerit malah sambil ter-huyung2 kesamping.

Nyo Wan sempat melompat pergi karena tenaga dorongan itu, menyusul ia terus kabur dengan ginkangnya yang tinggi.

Melihat ginkang orang itu barulah To Liong tahu siapakah prajurit samaran itu, segera ia bermaksud mengejar, tapi Ci in-hong keburu mendekatinya dan memegang bahunya sambil berkata: “Maaf, mengapa tenaga pukulan salah mengenai kau malah?”

Malu dan dongkol pula To Liong, terpaksa ia berseru: “Jangan urus aku, bekuk dulu budak itu!” Dia, dia itu Nyo Wan adanya!”

“Baiklah, marilah kita lekas mengejarnya!” ujar In-hong.

Akan tetapi saat itu Nyo Wan sudah lari keluar hutan bwe. Tiba2 tergerak pula hatinya, timbul rasa sangsinya: “Aneh, dengan kepandaian Ci In-hong mustahil dia tidak mampu merobohkan aku, sebaliknya salah menyerang To Liong? Tenaga pukulannya tadi se-akan2 membantu aku malah?” Tapi tiada waktu baginya untuk memikirkan lebih lanjut, ia harus segera menyiarkan suasana yang gawat itu agar orang2 be ramai2 menangkap mata2 musuh. Segera ia berlari ketempat yang tinggi, lalu berteriak dengan suara yang dikasarkan: “Tangkap mata2 musuh! Ci In-hong adalah mata2 musuh! To Liong juga mata2 musuh! Mereka bersekongkol! Jangan sampai mereka lolos!”  Setelah berteriak dengan lwekangnya yang cukup kuat sehingga cukup jelas didengar orang2 sekitarnya, lalu ia mengeluyur kembali kepondoknya dan tidak muncul lagi.

Dalam sekejap saja terdengarlah tanda2 bahaya dibunyikan riuh rendah, dimana2 orang sibuk mencari mata2 musuh. Setelah ribut2 sekian lamanya barulah suasana reda kembali. Nyo Wan tidak keluar lagii dari pondoknya sehingga tidak tahu apakah Ci In-hong dan To Liong kena dibekuk atau tidak.

Besok paginya waktu Nyo Wan berdinas jaga, diam2 Ciok Bok datang mencarinya digardu penjagaan.

Nyo Wan bergirang, katanya: “Memangnya aku hendak mencari kau, tapi kau sudah datang lebih dulu.”

“Yang berteriak tangkap mata2 musuh semalam kau bukan?” tanya Ciok Bok.

“Benar, aku telah mendengar perundingan gelap mereka dihutan bwe sana,” jawab Nyo Wan. “Bahwasanya To Liong adalah mata2 musuh tidak mengherankan, tapi Ci In-hong juga mata2 musuh, inilah yang diluar dugaan kita.”

“Memangnya, waktu itu akupun hampir2 tidak percaya kepada telingaku sendiri,” kata Nyo Wan. “Ada lagi seorang yang juga datang sebagai mata2 musuh ”

“Kau maksudkan utusan dari Hui-liong-san itu bukan? Dia diperintahkan Toh An-peng untuk menyampaikan berita palsu bukan?”

“Surat apa?” Nyo Wan ter heran2.

“Surat yang diketemukan dikamarnya Li Su-lam ini menyingkap tipu muslihat Hui-liong-san. Kukira kau yang tulis surat ini, mengapa kau sendiri tak tahu? Rupanya aku telah salah duga.” Nyo Wan tambah heran. Ia coba minta lihat surat yang dikatakan itu. Ternyata isi surat itu tiada banyak bedanya daripada apa yang ingin ditulisnya, gaya tulisannya indah, hanya goresannya rada kaku, terang tulisan orang lelaki yang hendak menirukan gaya tulisan orang perempuan.

“Benar2 aneh,” ujar Nyo Wan dengan tertawa. “Terus terang semula aku memang hendak menyampaikan suratku yang isinya tidak banyak berbeda dengan surat ini, tapi tadi malam aku tidak sempat menaruh suratku kedalam kamarnya Su-lam. Ini, suratku masih berada disini.” Setelah membandingkan isi kedua surat iu, Ciok Bok juga sangat heran. Katanya kemudian: ‘Jadi kau melihat Ci In-hong menyelinap keluar dari tempat Li Su-lam? Apakah, apakah mungkin pula dia adalah mata2 musuh.”

“Ya, makanya akupun sangat heran,” kata Nyo Wan. “Jelas Ci In-hong dan To Liong saling berhubungan dengan kode rahasia mereka sendiri, menyusul mereka berunding pula cara merebut kekuasaan Sanceh ini. Ketika kulihat Ci In-hong muncul dari tempat Li Su-lam, tadinya aku mengira dia hendak berbuat apa2 yang tidak menguntungkan kita. Tapi melihat surat ini sekarang aku menjadi sangsi kepada dugaanku semula.”

“Bisa juga surat ini ditulis oleh orang lain?” ujar Ciok Bok.

“Ci In-hong dan To Liong apakah sudah kena bekuk?” tanya Nyo Wan. “Tidak semuanya dapat kabur.”

“Jika Ci In-hong bermaksud membantu kita, kenapa dia tidak bicara hal yang terjadi sebenarnya dan buat apa mesti lari?”

“Benar, akupun berpikir begitu.”

“Urusan ini kelak pasti akan menjadi jelas persoalannya, sementara ini kita kesampingkan dulu,” ujar Nyo Wan. “Apakah surat ini telah dilihat engkoh Lam dan nona To?”

“Sudah, mereka sudah melihat semua.”

“Lalu bagaimana rencana kalian untuk menghadapi muslihat mereka?”

“Tetap melanjutkan rencana semula, Li Su-lam dan Beng Tayhiap akan berangkat ke Hui-liong- san.”

“Kan sudah tahu disana terpasang jebakan, mengapa tetap dituju?” tanya Nyo Wan. “Rencana semula tetap kita laksanakan, Cuma cara bertindak rada diubah,” tutur Ciok bok.

“Rencana semula adalah Li Su-lam berangkat ke Hui-liong-san bersama utusan yang datang itu, tapi sekarang yang berangkat hanya Li-bengcu bersama Beng-tayhiap saja. Utusan itu sudah kita tahan, namun dia tetap tidak mau mengaku tipu muslihat yang telah mereka atur itu.”

Baru sekarang Nyo Wan tahu duduk perkara. Katanya: “Jadi keberangkatan engkoh Lam ini bertujuan menyelidiki kebenaran muslihat musuh.”

“Ya, sebagai bengcu baru tentu Li-heng takkan dikenali orang Hui-liong-san. Kalau disana ia dapat memegang bukti persekongkolan Toh An-peng dengan pihak Mongol, sebagai bengcu dengan sendirinya beliau berhak mengambil keputusan seketika. Dia dibantu pula oleh Beng tayhiap, tentu Toh AN-peng tidak sukar diatasi.

“Jika demikian akupun tak perlu kuatir lagi,” kata Nyo Wan.

“Malahan akan kuberitahukan lagi sesuatu dan akan membuat kau lebih2 tidak perlu kuatir,” kata Ciok Bok dengan tertawa. “Aku sudah omong2 dengan Li-heng, ternyata cintanya padamu benar2 sangat mendalam, ketika dia mengetahui penderitaanmu, sungguh dia sangat menyesal dan sedih, bahkan dia menyatakan akan mencari kau untuk minta maaf.

“Wajah Nyo Wan menjadi merah, katanya: “Aku sudah dengar percakapan kalian, tapi saat ini aku masih tidak ingin bertemu dengan dia.”

“Baiklah, boleh juga kalian bertemu nanti kalau dia sudah pulang dari Hui-liong-san. Jangan2 dia takmau lagi berangkat jika mengetahui kau berada disini,” kata Ciok Bok dengan tertawa.

Pada saat itu juga tiba2 terdengar suara Bing-sia sedang memanggil: “Ciok-toako! Ciok-toako!” Nyo Wan terkejut, dengan suara tertahan katanya terhadap Ciok Bok: “Celaka! Hendaknya kau meng aling2i rahasia diriku.”

Ciok Bok mengangguk, lalu ia berseru menjawab: “Aku berada disini!”

Maka muncullah Bing-sia, katanya: “Segera Su-lam akan berangkat. Apakah kau telah menemukan sesuatu tanda tentang surat kaleng itu?” ~ Ia menjadi heran ketika meliha yang sedang bicara dengan Ciok Bok adalah seorang prajurit biasa yang dinas jaga. Mendadak tergerak pula hatinya karena merasa prajurit itu seperti sudah pernah dilihatnya, hanya sudah lupa entah dimana?

Maklumlah, meski dalam penyamaran, namun perawakannya tak bisa diubah, biji matanya yang hitam indah itupun pernah memberi kesan yang mendalam kepada Bing-sia setelah pertemuan mereka dahulu. “Siapakah namamu?” tanya Bing-sia kemudian. “Apakah Ciok-thauleng yang memasukkan kau kesini?”

Nyo Wan sembarangan mengatakan suatu nama palsu dan menerangkan baru datang beberapa hari yang lalu.

“Akulah yang terima dia ketika dia baru datang, ilmu silatnya lumayan juga stelah diuji, maka kutugaskan dia mengawasi pos penjagaan ini,” kata Ciok Bok.

“Orang yang dipuji Ciok-toako tentulah tidak salah,” ujar Bing-sia. Diam2 ia pikir bila senggang nanti akan dicobanya kepandaian orang, maka katanya pula: ‘Bila nanti habis tugas, harap mencari aku kemarkas pusat, aku dan To-cecu ingin tahu kepandaianmu. Masa sekarang kita memang perlu orang pandai sebanyak mungkin, bila kau punya kepandaian sejati tentu kau akan diberi tempat yang sesuai dengan dirimu.”

Setelah Bing-sia pergi bersama Ciok Bok, diam2 Nyo Wan merasa ragu2, melihat gelagatnya, agaknya Bing-sai sudah menaruh curiga padanya. Mungkin suker baginya untuk menetap lebih lama di Sanceh ini.

Setelah pikir lagi berulang, akhirnya Nyo Wan ambil keputusan harus angkat kaki. Ia pikir mengapa dirinya tidak berangkat juga ke Hui-lionh-san? Dalam keadaan menyamar sekarang rasanya Li Su- lam sukar juga mengenalnya, asal menguntitnya secara hati2 mungkin takkan ketahuan dan bila perlu akan memberi bantuan pula.

Segera Nyo Wan menulis sepucuk surat mohon diri, dengan alasan minta cuti, diserahkan teman jaga agar bila Ciok-thauleng mencarinya hendaklah surat tersebut diserahkan kepada Ciok-tahuleng. Habis itu diam2 ia meninggalkan Long-sia-san.

Ketika Bing-sia dan Ciok Bok sampai diruang besar, dilihatnya Li Su-lam dan To Hong sedang menantikan kedatangannya.

“Kemana kau pergi, Ciok-suko, semua orang sedang menunggu kau untuk memberi selamat jalan kepada Li-toako,” omel To Hong.

“Dia sedang mengobrol dengan seorang prajurit, kalau tidk kudesak, mungkin dia belum mau kembali,” sela Bing-sia dengan tertawa. “Menurut Ciok-toako, katanya kepandaian prajurit itu lumayan juga, dari sinar matanya memang tampaknya rada luar biasa. Malahan aku merasa seperti sudah pernah mengenalnya.”

“Apa betul?” kata To Hong. “Wah, seorang Ci In-hong yang tak diketahui asal usulnya sudah cukup membikin panik kita, jangan lagi sampai ada Ci In-hong kedua. Siapakah prajurit itu, apakah sudah lama berada disini?”

“Ciok-toako sudah kenal dia, rasanya To-cici tak perlu kuatir,” ujar Bing-sia.

“Akupun tidak terlalu jelas tentang dia,’ kata Ciok Bok. “Yang jelas dia anak yatim piatu yang perlu dikasihani, sebab itulah iapun mengabungkan diri dengan pasukan pergerakan kita. Tentang kepandaiannya masih boleh juga. Bagaimanapun juga Beng-lihiap telah perintahkan dia menghadap, kalau perlu nanti kalian boleh tanya dia lebih jelas.

Ciok Bok sengaja mengatakan kepandaian Nyo Wan hanya lumayan saja agar tidak menimbulkan curiga To Hong dan Bing-sia, soal besok kalau Nyo Wan diperiksa oleh mereka, tentu Nyo Wan akan berbua menurut keadaan dan bila dia mau mengaku terus terang siapa dirinya, maka urusan akan menjadi selesai.

“Dan orang yang berteriak adanya mata2 musuh semalam itu, apakah sudah diketahui siapa gerangannya?” tanya Su-lam.

“Belum tahu,” jawab Ciok Bok.

“Silahkan kau berangkat ke Hui-liong-san, urusan disini kau tak perlu kuatir , tentru akan kuusut hingga jelas,” kata To Hong.

“Aku tidak kuatir, hanya kejadian2 yang berturut turut ini rada mengherankan aku,” kata Su-lam. “Siapakah yang menulis surat kaleng itupun belum diketahui sampai sekarang.”

Tiba2 Beng Siau-kang berkata: “Ciok Bok, coba serahkan surat itu padaku,” ~ Setelah terima surat kaleng itu, Siau-kang membacanya dengan teliti, kemudian seperti merenungkan sesuatu, agak lama kemudian barulah ia simpan kembali surat itu.

“Apakah Beng-pepek melihat sesuatu yang janggal?” tanya To Hong.

“Gaya tulisannya mirip seorang sahabatku, Cuma orang ini sudah lama mengasingkan diri, tidak mungkin dia datang kesini,” jawab Beng Siau-kang.

“Biarlah surat ini kusimpan sementara, bila sempat ketem sobatku iu akan kutanya dia.” “Siapakah dia?” tanya To Hong.

“Seorang Locianpwe yang tindak tanduknya aneh dan namanya tak mau diketahui orang,” sahut Beng Siau-kang. “Menurut pendapatku, agaknya Ci In-hong juga belum pasti adalah mata2 musuh.” “Darimana ayah dapat menarik kesimpulan demikian?” ujar Bing-sia.

“Kalau dia mata2 musuh, setelah mendapat kepercayaan kita karena telah mengalahkan Tun-ih Ciu, masakah dia mau pergi dari sini dengan begitu saja?” ujar Beng Siau-kang.

“Tapi mengapa orang yang ber-teriak2 mata2 musuh itu menghubungkan nama To Liong dan Ci In- hong, mungkin dia melihat mereka berada bersama,” kata Bing-sia.

“Biar begitu juga takbisa menjawab kesangsianku tadi,” kata sang ayah. “Sudah jelas dia telah mendapat kepercayaan kita, buat apa pada malam pertama juga dia mengadakan pertemuan dengan To Liong? Tidakkah lebih baik dia menunggu aku dan Su-lam berangkat ke Hui-liong-san saja, kan segala gerak geriknya akan lebih leluasa dijalankan? Kukira soal ini tak perlu dirisaukan, hanya saja kalian disini suka waspada saja menghadapi segala hal.”

Habis itu Li Su-lam dan Beng Siau-kang lantas berangkat sehingga Ciok Bok dan Bing-sia tidak sempat bicara dengan Su-lam.

Petangnya ternyata Nyo Wan tidak datang, Bing-sia menjadi curiga dan segera mencari Nyo Wan ditempat penjagaan. Ketika tanya pada prajurit yang dinas jaga, ternyata Nyo Wan sudah menghilang, hanya sepucuk surat permohonan cuti yang katanya ditujukan kepada Ciok-hucecu. Bing-sia lantas terima surat itu dan berjanji akan diteruskan kepada Ciok Bok. Lalu ia meninggalkan pos penjagaan itu untuk mencari Ciok Bok. Dari Tulisan diatas sampul surat dapat dilihat jelas bahwa penulisnya pasti seorang perempuan. Hal ini mengingatkan dia pula akan perawakan serta sorot mata ‘prajurit’ yang aneh itu. Makin dipikir makin terasa ‘prajurit kecil’ itu memang tidak memper seorang lelaki.

“Pantas waktu itu Ciok Bok tampaknya rada gelisah, kiranya diam2 ia menyembunyikan anak perempuan,” demikian pikir Bing-sia. Tapi segera terpikir pula: “Ah, rasanya tidak bisa jadi, Ciok Bok cukup prihatin, teman To Hong sejak kecil, mana mungkin dia ganti pacar dengan begitu saja? Pasti dibalik persoalan ini ada sesuatu yang luar biasa.”

Begitulah dengan penuh tanda tanya dalam benaknya Bing-sia pergi mencari Ciok Bok, kebetulan Ciok Bok juga sedang mencari Nyo Wan, maka bertemulah mereka ditengah jalan.

Begitu melihat Ciok Bok terus saja Bing-sia menjengek: “Ciok-toako, bagus sekali perbuatanmu!” “Apa yang kau maksudkan nona Beng?” sahut Ciok Bok melengak.

“Kau tak perlu membohongi aku, segala urusan sudah kuketahui,” kata Bing-sia. “Siapakah perempuan itu? Mengapa kau menutupi penyamarannya?”

Baru sekarang Ciok Bok tahu yang dimaksudkan Bing-sia adalah urusan Nyo Wan, ia menjadi heran darimana Bing-sia mendapat tahu?

Bing-sia lantas perlihatkan surat yang dibawanya dan berkata: “Inilah surat yang dia tinggalkan untukmu, bacalah sendiri. Hm, urusan ini sebaiknya kau bicara terus terang saja daripada nanti diketahui To Hong tentu akan ………”

“Jangan salah paham, nona Beng,” Cepat Ciok Bok menerangkan dengan muka merah. “Ai, terpaksa keberitahukan duduknya perkara padamu. Dia ….. Dia adalah Nyo Wan.”

“O, jadi dia masih hidup?” seru Bing-sia terkejut. Tapi segera iapun sadar: “Pantas aku merasa sudah kenal dia, kiranya dia adalah nona Nyo.”

Sambil membaca isi surat berkatalah Ciok Bok dengan nyengir: “Kiranya ada dal2 yang sukar dikatakannya karena dia tidak ingin diketahui oleh Li Su-lam dan kau. Akupun tidak mengira dia akan meninggalkan sanceh ini secara mendadak. Beng-lihiap, harap maaf, urusan ini ”

“Tak perlu kau katakan lagi, aku ah hu!” sela Bing-sia terus tinggal pergi. Hati Ciok Bok menjadi tidak enak bagi Bing-sia. Pikirnya: “Urusan begini memang sulit, selalu harus ada seorang yang menderita. Kalau mengetahui persoalannya lebih dini rasanya akan lebih baik bai Bing-sia.”

Begitulah dengan hati bimbang Bing-sia pulang sendirian, ia harus memikirkan persoalan ini secara mendalam karena urusan ini sama sekali diluar dugaannya. Makin dipikir makin kusut dan tidak enak diri, tapi bagi Nyo Wan malah. Ia pikir sebabnya Nyo Wan minggat jelas karena kesalah pahaman nona itu padanya. Maka aku harus mencari dia untuk menyatakan pendiriannya. Demikian ia ambil ketetapan.

To Hong menjadi heran ketika melihat Bing-sia mencarinya dengan sikap yang aneh. “Ada urusan apa? Sudahkah kau menemui prajurit penjaga itu?” tanyanya.

“Dia bukan lain ialah Nyo Wan, dia sudah pergi.” Jawab Bing-sia. “Makanya sekarang juga aku ingin mohon diri padamu.”

To Hong melengak kaget. “Dia …….dia Nyo Wan adanya? Kau hendak pergi mencarinya?” Bing-sia mengangguk, katanya: “Ya, hanya dengan cara demikian barulah dapat mempersatukan kembali mereka suami istri.”

“Enci Sia, semua orang menyangka nona Nyo sudah meninggal, meski apa yang akan kau lakukan adalah baik, tapi kau sendiri yang akan menderita,” kata To Hong.

Bing-sia mengerut kening, katanya dengan tersenyum getir: “Rupanya kaupun sama dengan Ciok Bok dan mengira aku mencintai Li Su-lam? Teman karib sebagai kaupun salah sangka padaku, pantas Nyo Wan juga berpikir demikian.”

To Hong kenal Bing-sia yang tidak pernah berdusta, ia menjadi heran, katanya: ‘Maaf, kukira kau dan Su-lam cocok satu sama lain, tentu kau akan suka padanya.”

“Suka dan suka ada dua,” jawab Bing-sia. “Aku memang suka padanya. Tapi ‘suka’ ini tidak sama dengan ‘suka’mu kepada Ciok Bok. Aku memandangnya sebagai kawan baik saja, pahamkah kau?” Bing-sia adalah gadis yang dapat berpikir, apa yang dia katakan itu memang timbul dari lubuk hatinya yang murni. Dia mempunyai kesan baik terhadap Li Su-lam, kalau tiada terselip Nyo Wan ditengah, bisa jadi perasaan mereka akan berkembang menjadi pasangan asmara. Tapi pada saat sekarang hubungan mereka memang baru mencapai tingkat sahabat baik saja.

Baiklah jika demikian hatiku lega juga,” kata To Hong dengan tertawa. “Nona Nyo itupun rada sempit pikiran, kenapa dia mesti mengelak buat bertemu dengan kita? Padahal segala kesalah pahaman akan menjadi jelas dengn cepat bilamana dia mau memperlihatkan dirinya.”

Tak bisa menyalahkan dia, dia berasal dari keluarga bangsawan, dengan sendirinya mempunyai jalan pikiran yang berbeda pula dengan kita,” kata Bing-sia. Cuma Nyo Wan harus dikasihani juga, dia pernah mengalami malapetaka dan beruntung dapat menyelamatkan diri, keluarganya telah tewas semua, tinggal dia sebatang kara, kini satu2nya sanak keluarga hanya Li Su-lam seorang.

Maka takbisa menyalahkan dia yang merasa kuatir kehilangan orang satu2nya yang menjadi sandarannya itu, dengan sendirinya macam2 pikiran cemburu dan curiga akan berkecambuk dalam benaknya.

“Enci Sia, aku paling kagum pada jiwa besarmu, selalu bepikir bagi kebaikan orang lain,” kata To Hong. “Nah, urusan disini boleh kau tinggalkan sasja, semoga kau berhasil menemukan nona Nyo.” Besok paginya Bing-sia lantas berangkat. Ia dapat meraba isi hati Nyo Wan, maka ia yakin Nyo Wan takkan pergi ke-mana2 selain mengintil Li Su-lam secara diam2. Begitulah Bing-sia lantas menuju ke Hui-liong-san juga. Sepanjang jalan ia tidak lupa tanya2 apakah ada seorang yang bermuka “buruk” lewat disitu.

Suatu hari sampailah dia disuau kota, waktu itu sudah petang, ia lantas cari rumah penginapan didalam kota.

Tak terduga beberapa hotel yang didatanginya ternyata menyatakan kamar penuh. Bing-sia menjadi heran. Padahal kota itu boleh dikata kota mati, lalu lintas sepi, suasana perang membikin orang menjadi takut keluar rumah, manabisa semua hotel disitu penuh terisi. Apakah barangkali mereka tidak mau terima tamu perempuan? Akan tetapi adat istiadat didaerah utara berbeda dengan selatan, kedudukan kaum wania tidak banyak berbeda dengan kaum pria. Maka kaum wanita yang mengadakan perjalanan sendirian adalah umum, walaupun tidak terlalu banyak. Bing-sia coba mendapatkan hotel terakhir, jelas tertampak hotel itu sangat sepi, banyak pegawainya tampak menganggur, tapi ketika ditanya sipengurus juga menyatakan kamar penuh. Kejutan Bing- sia sangat mendongkol. Ia coba minta keterangan, apakah kuatir tidak bayar sewa kamar, takut asal usulnya tidak jelas atau sebab2 lain? Sudah terang banyak kamar kosong, mengapa bilang penuh? Bila perlu biarlah kubayar sewanya dua kali lipat. Demikian Bing-sia menyatakan.

Namun pengurus hotel menjawab: “Bayar berapapun kamar tetap tidak disewakan padamu.” “Sebab apa? Coba terangkan!” seru Bing-sia dengan menahan marahnya.

“Tidak sebab apa2, hanya tidak disewakan kepada tamu perempuan!” sahut si pengurus.

Hampir meledak amarah Bing-sia. Tapi hatinya lantas tergerak. Semua hotel menolak terima tamu perempuan, tentu ada alasannya. Agaknya mereka takut kepada sesuatu yang tidak dijelaskan padanya.

Timbul rasa ingin tahu Bing-sia, tanpa omong lagi ia tinggalkan hotel itu. Ia pikir paling perlu makan kenyang dulu, hotel urusan belakang. Segera ia mendatangi sebuah restoran, ia pikir bisa jadi disitu akan dapat diperoleh keterangan tentang sebab2nya hotel tidak terima tamu perempuan. Tak terduga baru saja ia menginjak pintu restoran itu sipengurus sudah memapaknya dan berkata: “Maaf, disini tidak melayani tamu perempuan!”

Tidak kepalang dongkolnya Bing-sia jengeknya: “Hm, aturan manakah ini? Sudah banyak tempat yang kujelajahi, selamanya tidak pernah dengar tamu perempuan dilarang masuk restoran.” “Ditempat lain tidak ada aturan demikian, disinilah yang ada,” kata sipengurus. “jika tidak percaya boleh kau coba daang ke restoran lain.”

Bing-sia tidak ingin ribut2, terpaksa ia meninggalkan resoran itu. Makin dipikir makin heran. Betapapun persoalan ini harus diselidiki hingga jelas. Tapi kepada siapa ia dapat mencari keterangan. “Sungguh sial, jangan2 malam ini aku harus kelaparan!”

Selagi Bing-sia meragukan apa yang harus dihadapinya nanti, tiba2 seorang kakek mendekati dia berkata setengah berbisik padanya: “Jangan sedih nona, apakah kau tidak punya sanak famili di kota ini?” Orang tua ini bicara dengan nada gugup dan takut2.

Bing-sia masih ingat kakek ini tadipun sedang minum minum direstoran, segera ia menjawab: “Bila punya sanak famili disini kan aku tidak perlu mencari pondokan dan rumah makan. Aku kebetulan lewat disini saja dalam perjalanan ke Lengbu.”

“O, sebaiknya kau jangan melanjutkan perjalanan,” ujar kakek itu. “Kenapa?” tanya Bing-sia

“Disini bukan tempat bicara yang baik” kata kakek itu. “Sungguh kasihan kau, sudah malam begini. Jika kau suka, biarkan kau bermalam saja dirumahku.”

“Semua hotel dan restoran menolak diriku, tentu mereka ada alasannya, apakah kau tidak takut tersangkut urusan?” kata Bing-sia.

“Aku hanya punya seorang teman tua, semuanya sudah berumur, takut apa lagi?” ujar sikakek. Watak Bing-sia memang tidak suka pura2, segera ia menyatakan terima kasih dan terima baik ajakan dikakek.

Begitulah setelah membelok beberapa jalanan akhirnya sikakek membawa Bing-sia sampai dirumahnya. Diam2 Bing-sia heran, tampaknya sudah tua, tapi langkah kakek itu ternyata sangat gesit.

“Hai, kawan tua, lekas buka pintu, ada tamu!” seru sikakek setelah menutup pintu.

Maka keluarlah seorang nenek, heran juga dia melihat Bing-sia, katanya: “Nona ini…….” “O ya, belum lagi mengetahui nama nona yang terhormat,” kata si kakek.

Segera Bing-sia memberitahukannya.

“Nona ini hendak pergi ke Lengbu dan lewat disini, tapi sukar mendpatkan rumah penginapan,” tutur si kakek.

“Aku sangat berterima kasih atas budi baik bapak, tapi kalau sampai bikin susah kalian tentu akupun tidak enak, biarlah aku mencari tempat lain saja,” kata Bing-sia.

“Nona jangan salah paham, kami hanya kuatir terjadi apa2 atas dirimu sehingga bikin susah padamu,” kata si nenek.

“O, rasanya kalian tidak perlu kuatir terhadap diriku,” kata Bing-sia. “Entah yang dikuatirkan nenek itu urusan apa?”

Baru nenek mau menutur, sikakek sudah menyela:”Nona belum lagi makan malam, buatkan sedikit daharan dulu, aku saja yang ceritakan padanya.”

Begitulah sinenek lantas sediakan makanan bagi Bing-sia, sedang si kakek lantas menutur:”Aku she Ho, nomor sembilan dalam urutan saudaraku, maka aku dipanggil Ho Kiu, yang menghormati aku suka menambahkan lagi panggilan engkong sehingga biasa mereka panggil aku Ho Kiu-kong. Aku tidak punya anak cucu, maka maaf, dirumahku akan kupandang nona sebagai cucuku sendiri. Aku tidak sungkan2, kaupun jangan malu2. Tentang suasana genting dikota ini, soalnya akhir2 ini telah berjangkit “Jay-hoa-cat” (maling tukang petik bunga, penjahat pemerkosa).

“Aneh, hanya seorang Jay-hoa-cat saja mengapa setiap orang menjadi ketakutan sehingga tamu wanita ditolak di mana2?” ujar Bing-sia.

“Soalnya Jay-hoa-cat itu sangat kejam,” tutur Ho Kiu-kong. “Dia telah banyak berbuat kejahatan dilain tempat, akhir2 ini baru melakukan kejahatan dikota ini. Pertama kali yang menjadi korban adalah anak perawan dari keluarga Sun. Hartawan Sun hanya punya seorang putri tunggal, umurnya baru delapan belas, sudah dekat hari nikahnya. Keluarga Sun juga banyak memakai jago pengawal, siapa duga suatu malam telah digerayangi Jay-hoa-cat. Beberapa jago pengawal itu telah dibunuh dan dilukai, sedang anak gadis Sun tetap dibawa lari. Peristiwa kedua terjadi dua hari yang lalu, kediaman komandan militer kota sendiri atas diri anak menantu perempuannya, lantaran menantu bapak komandan tidak mau menurut, akhirnya telah dicekik mati oleh penjahat itu. Padahal disekitar kediaman pembesar kota itu sendiri ada be ratur2 prajurit penjaga, meski jay-hoa-cat itu dihujani anak panah, dia masih mampu lolos.”

“Macam apakah Jay-hoa-cat itu. Tentu ada yang pernah melihatnya bukan?” tanya Bing-sia. “Kabarnya pemuda yang baru berumur lima atau enam likuran, berperawakan tinggi, ada andeng2 ditengah jidatnya,” kata Ho Kiu-kong.

Sejak kecil Bing-sia sudah ikut ayahnya berkelana didunia kangouw, maka macam2 tokoh persilatan sudah dilihat dan didengarnya. Tapi keterangan Ho Kiu-kong tentang Jay-hoa-cat itu sungguh sangat diluar dugaannya, sebab gambaran Jay-hoa-cat itu ternyata mirip Ci In-hong, baik umur maupuh perawakan, begitu pula andeng2 ditengah jidat adalah ciri2 khas Ci In-hong.

Tapi waktu kejadian terang tidak cocok, ada kemungkinan perbuatan dirumah komandan kota itu dilakukan oleh Ci In-hong, tapi kejadian pertama pasti bukan, sebab waktu itu terang Ci In-hong masih belum kabur dari Long-sia-san.

Bing-sia menjadi sangsi, ia coba tanya: “Apakah kedua peristiwa itu dilakukan Jay-hoa-cat yang sama?”

Tampaknya Ho Kiu-kong rada heran, jawabnya: “Mengapa nona menyangsikan Jay-hoa-cat itu ada dua orang? Satu saja sudah kalang kabut, kalau dua kan lebih celaka lagi. Tapi akupun tidak tahu dengan pasti, sebab dari prajurit2 dirumah komandan kota dan para jago pengawal dirumah hartawan Sun tiada keterangan yang menyatakan penjahat yang mereka hadapi itu ada persamaannya.”

Bing-sia merasa kecewa karena tidak mendapat keterangan yang memuaskan. Tapi sekarang iapun tahu duduknya perkara, kiranya ditolaknya dia menginap dihotel dan makan direstoran adalah karena orang2 itu takut ikut tersangkut oleh urusan Jay-hoa-cat, sebab siapa tahu bila malamnya sang tamu lantas diculik oleh penjahat itu.

“Makanya nona cantik sperti kau hendaklah hati2, nona Beng,” kata Ho Kiu-kong pula. “Tapi tampaknya kau seperti tidak takut terhadap hali begitu?”

“Aku justru berharap Jay-hoa-cat itu menyantroni diriku,” sahut Bing-sia. “Kiu-kong, tampaknya kaupun seorang yang berisi, rupanya aku salah lihat tadi.” ~ Berbareng itu sebelah tangannya terus mencengkeram kepundak Ho Kiu-kong.

Kakek itu terkejut, dengan sendirinya ia berusaha menangkis. Akan tetapi pergelangan tangannya lantas kena dipegang Bing-sia. Sekali pegang segera Bing-sia dapt menjajaki tinggi rendahnya kepandaian orang, ternyata tidak seperti dugaannya semula.

“Jangan bergurau, nona, tulang2 tua bisa retak semua,” seru Kiu-kong.

Bing-sia melepaskan cekalannya dan berkata: “Maaf Kiu-kong. Terpaksa aku menjajal engkau supaya kau perlihatkan dirimu yang sebenarnya.”

“Ai, sudah tua, hanya beberapa jurus cakar kucing saja juga tak berguna,” kata Kiu-kong. “Aku malah tidak menyangka kepandaian nona yang hebat ini, tampaknya akupun tidak perlu kuatir lagi.” “Ah, kau terlalu memuji,” kata Bing-sia. “apakah Kiu-kong pernah menyelidiki jejaknya Jay-hoa- cat itu, kalau ada tanda2 yang dapat dicari akupun ingin coba2 menghadapi dia.”

“Terus terang Jay-hoa-cat itu terlalu lihay, hanya dengan beberapa jurus kepandaianku ini mana aku berani mencari perkara padanya?” sahut Ho Kiu-kong.

Menurut penilaian Bing-sia, memang ucapan Ho Kiu-kong itu cukup beralasan.

Didengarnya kakek itu berkata pula: “Nona Beng, maafkan bila aku berbicara terus terang. Jay-hoa- cat itu sesungguhnya terlalu lihai, betapapun juga seorang diri bagi nona sukar menghadapi dia.

Sayang aku sudah tua bangka, kepandaianku juga tidak dapat membantu banyak pada nona. Tapi aku ada suatu pikiran, entah dapat dijalankan atau tidak.”

“Silahkan Kiu-kong bicara, coba kita rundingkan lebih lanjut,” ujar Bing-sia.

“Cecu dari Long-sia-san terkenal suka membantu yang lemah dan memberantas kejahatan, namanya termashur di segenap penjuru. Cuma sayang kabarnya cecu tua sudah meninggal, entah cecu penggantinya masih tetap baik atau tidak. Kalau mereka bersedia membantu, seorang Jay-hoa-cat tentu tidak perlu ditakuti. Hanya tidak tahu cara bagaimana kita dapat minta bantuan kesana walupun jaraknya tidak terlalu jauh dari sini.”

“Jika Kiu-kong bermaksud minta bantan ke Long-sia-san adalah putri cecu lama, adalah temanku yang paling karib. Aku sendiri akan menyelidiki dua-tiga hari dulu disini, bila tidak menemukan sesuatu, nanti akan kutulis sepucuk surat padamu untuk dibawa ke Long-sia-san.”

“Wah, sungguh segenap penduduk kota ini harus berterima kasih kepada nona,” kata Ho Kiu-kong dengan girang. Pada saat itu juga si nenek telah muncul pula, segera si kakek berseru: “He, kawan tua, tentu kau tidak mengira bahwa nona Beng sebenarnya adalah teman karib cecu baru Long-sia- san dan telah menyanggupi akan bantu kita menumpas Jay-hoa-cat itu.”

Si nenek tampaknya rada sangsi, katanya dengan tertawa: “O, baik sekali kalau begitu. Cuma sebelum terjadi sesuatu, sebaiknya nanti malam nona harus hati2. Sungguh tk terduga nona adalah tamu agung, maaf kalau kami tak dapat menyuguhkan daharan enak dan Cuma semangkok mie kuah saja.”

“Ah, nenek terlalu baik hati,” jawab Bing-sia sambil menerima semangkok mi godok yang disodorkan. “Jika tiada bantuan kalian, tentu malam ini aku akan kelaparan, bahkan tiada tempat buat bermalam.”

Kemudian ia menghabiskan semangkok mie itu, ia merasa mi tersebut adalah makanan paling enak yang pernah ia rasakan selama hidup ini. Diam2 ia merasa geli dan mengakui kebenaran tentang orang lapar tentu tidak pilih makanan, bahkan terasa paling lezat setiap makanan yang diperoleh pada saat kelaparan.

Selesai makan, si nenek menyilahkan Bing-sia mengaso dan membawanya ke kemar yang telah disediakan. Sebelum tinggal pergi nenek itu memberi pesan pula agar Bing-sia ber-hati2 tengah malam nanti, bila mendengar apa2 boleh berteriak agar mereka suami-isteri tua dapat memberi bantuan seperlunya.

Bing-sia mengucapkan terima kasih. Namun diaas tempat tidurnya ia tak dapat pulas. Pikirannya bergolok, kalau menurut gambaran si kakek, ciri2 Jay-hoa-cat itu mirip dengan Ci In-hong, apakah mungkin pemuda itu melakukan perbuatan terkutuk ini? Ia menjadi teringat kepada kelakuan Ci In- hong yang aneh serta nada ucapan ayahnya tempo hari tentang diri pemuda itu, walaupun tidak tegas2 mengatakan terus terang, namun ayahnya seperti menaruh kepercayaan penuh kepada pribadi Ci In-hong.

Begitulah dengan penuh tanda tanya ia berbaring tanpa buka pakaian, sampai jauh malam tetap tak bisa pulas. Entah berapa lama, akhirnya Bing-sia mulai lelah dan ngantuk.

Tiba2 terdengar suara “kletik” sekali, seperti suara orang menyeletik pelahan di daun jendela. Suara pelahan itu seketika membikin rasa ngantuk Bing-sia lenyap seluruhnya, semangatnya terbangkit: “Jangan2 yang datang benar2 si dia!” demikian pikirnya.

Diam2 ia pegang pedangnya dan pura2 tidur nyenyak untuk menantikan segala kemungkinan. Tak terduga setelah suara kletik pelahan tadi, daun jendela ternyata tidak dibuka orang, sebaliknya telinga Bing-sia seperti mendengar suara orang memanggilnya: “Jangan bersuara nona Beng, aku Ci In-hong adanya, aku ingin bicara dengan kau, harap kau bicara sebentar!”

Suara itu sangat lirih, tapi cukup jelas. Terang yang digunakan adalah semacam Lwekang yang di sebut “Thoan-im-jip-bit” (dengan gelombang suara), yang dapat dengar hanya orang memiliki Lwekang tinggi, kalau tidak biarpun di sebelah Bing-sia juga takkan mendengar.

Bing-sia menjadi ragu2, ia pikir mungkin Ci In-hong memang bukan Jay-hoat-cat seperti disangkanya. Tapi segala apa lebih baik ber-jaga2 sebelumnya. Segera ia melompat keluar melalui jendela dengan pedang terhunus. Dibawah sinar bulan yang remang2 dilihatnya diatas wuwungan ada sesosok bayangan. Rupanya Ci In-hong juga sudah menduga dirinya akan dicurigai, maka sudah menyingkir ke tempat yang jauh lebih dulu. Segera Bing-sia melompat ke atas wuwungan pula.

Rumah penduduk disitu sebenarnya tidak terlalu tinggi, dengan Ginkang Bing-sia sebenarnya dengan mudah dapat melompat ke atas. Ak terduga ketika dia kumpulkan tenaga, mendadak bagian dada terasa rada kemeng, kakinya menjadi berat dan hampir2 menginjak pecah genting rumah ketika melayang keatas wuwungan. Untung Ci In-hong lantas menariknya sehingga tidak sampai menerbitkan suara.

Ci In-hong terkejut, tanyanya dengan suara tertahan: “Apakah kau merasa ada sesuatu yang tidak beres?”

Bing-sia tahu maksud baik orang, ia coba bernapas dalam2 dan terasa tiada sesuatu gangguan, jawabnya kemudian: “Tidak ada apa2.”

“Baiklah, kalau begitu lekas kita pergi dari sini,” ajak In-hong.

“Apakah kau maksudkan tuan rumah disini bukan orang baik2?” tanya Bing-sia.

“Kurang terang, yang pasti dia berasal dari kalangan Hek-to dan tidak begitu baik namanya,” sahut In-hong. “Daripada terjadi apa2 diluar dugaan, kukira lebih baik pergi saja dari sini.”

“Darimana kau mengetahui aku berada disini?” tanya Bing-sia pula.

“Ketika kau keluar dari restoran itu siang tadi, aku telah melihat kau,” jawab In hong.

“Tentunya kaupn sudah tahu bahwa ada orang menyamar sebagai dirimu dan melakukan perbuatan terkutuk disini?”

“Ya, tahu. Kedatanganku kesini justru untuk persoalan ini.”

“Kau sengaja datang kesini?” Bing-sia melengak. “Jadi kau menyangsikan Ho Kiu-kong bisa jadi sekomploan dengan Jay-hoa-cai itu?”

“Memang kusangsikan demikian,” kata In-hong. “Sebab itulah kuanjurkan kau pergi dari sini saja.” “Tapi katanya kau ingin mencari Jay-hoa-cat itu? Jika betul Ho Kiu-kong sekomplotan dengan penjahat itu, bukankah tempat ini paling tepat untuk menunggu kedatangannya?” ujar Bing-sia. “Akupun belum yakin benar akan tepatnya dugaanku,” kata In-hong. “Tapi kau jangan lupa, kita hanya berdua dan mereka bertiga.”

Baru saja Bing-sia hendak menerangkan kepandaian Ho Kiu-kong yang tak berarti itu, tiba2 In- hong mendesis: “Wah, sudah terlamba. Keparat itu sudah keburu datang!”

Waktu Bing-sia memandang kesana, dilihatnya sesosok bayangan sedang melayang tiba secepat terbang. Cepat In-hong menarik Bing-sia sembunyi di balik wuwungan rumah sambil berbisik: “Jangan sembarangan bertindak dulu, kita harus mengikuti permainan apa yang akan mereka lakukan!”

Tidak lama kemudian sesampai dirumah Ho kiu-kong, “krek”, segera Jay-hoa-cat itu terlalu sembrono, kalau mendadak dari dalam kuserang dia tentu dia akan terluka parah andaikan tidak mampus.

Sejenak kemudian, terdengar Jay-hoa-cat itu bersuara heran didalam kamar sambil menggumam: “He, kemana perginya anak dara itu!?”

Menyusul lantas terdengar suara bentakan Ho Kiu-kong: “Maling, cabul jahanam, berani kau menjatroni rumahku!”

“Hm, tua bangka yang tak tahu diri, apa kau minta mampus? Lekas serahkan anak dara itu!” damperat si maling perusak perawan. Lalu terdengar suara gedebrakan orang bertempur dibawah. Bing-sia segera bermaksud menerjang kebawah. Tapi keburu ditahan Ci In-hong dan menyuruhnya tunggu sebentar lagi.

Tidak lama kemudian suara benturan senjata sudah reda, sebaliknya dari rumah lantas dinyalakan pelita. Rupanya Ho Kiu-kong telah dirobohkan oleh Jay-hoa-cat. Dengan sinar lampu lampu iu maksud Jay-hoa-cat hendak mencari dimana sinona cantik disembunyikan. 

Kemudian terdengar suara sinenek memohon dengan suara gemetar: “Ampun Tay-ong (raja besar,sebutan kepada para bandit), kamu hanya orang tua berdua, tidak punya anak perempuan.” “Kurangajar! Kau berani membohongi aku? Kau tidak punya anak perempuan, tapi dimana itu anak dara yang mondok ditempamu kemarin? Dimana kau sembunyikan dia, lekas mengaku!” bentak Jay-hoa-cat itu.

“Jangan bicara, teman tua, biarpun mati juga jangan kita mengorbankan anak perempuan yang tak berdosa itu! Seru sikakek Ho. “Hm,boleh kau bunuh saja kami!”

“Hm, kau tidak mengaku, apa aku tak bisa mencarinya?” jengek si maling. “Keparat benar, agaknya kalian tua bangka ini perlu dihajar adat supaya tahu rasa!”

Habis itu agaknya maling cabul itu lentas meringkus Ho Kiu-kong dan isterinya, menyusul terdengarlah suara “plak-plok” yang keras, tentu suami-isteri tua itu sedang dihajar. Sikakek masih bisa bertahan tapi sinenek lantas merintih kesakitan.

Hati Bing-sia menjadi ikut perih merasakan penderitaan sinenek, ia tidak tahan lagi, mendadak ia menerjang kebawah sambil mengertak.

Jay-hoa-cat itu melengak melihat Bing-sia menerjang masuk. Tapi segera ia bergelak tertawa dan berkata: “hahahaaah! Tak tersangka seorang nona yang pintar main senjata pula! Sungguh kebetulan, boleh kau menjadi isteriku yang resmi saja, kita…..”

“Tutup kacotmu!” bentak Bing-sia, pedangnya terus menusuk.

Dibawah cahaya lampu, ia lihat perawakan dan wajah Jay-hoa-cat itu benar2 memper Ci In-hong, ditengah jidatnya juga ada andeng2. Tapi begitu pandang segera Bing-sia mengetahui juga bahwa andeng2 itu buatan saja, bukan asli. Jadi air muka Jay-hoa-cat itu adalah samaran belaka untuk menyamai muka Ci In-hong.

Bahwa Jay-hoa Cat itu sengaja menyamar sebagai Ci In-hong sudah dalam dugaan Bing-sia. Anehnya, biarpun penjahat itu telah menutupi wajah aslinya, namun kesan Bing-sia adalah orang itu seperti sudah pernah dikenalnya. Hanya mendadak tidak ingat dimana ia pernah melihatnya.

Dalam pada itu Jay-hoa-cat sudah lantas mengelak sambil hendak merebut pedang Bing-sia sehingga si nona tidak sempat berpikir lebih banyak, ia tidak berani sembrono, cepat pedangnya memutar dan segera menusuk lagi dari samping.

Namun Jay-hoa-cat itupun sangat cepat, ia menggeser mundur dan segera balas menusuk. Ketika Bing-sia menangkis, se-konyong2 lawan terus menubruk maju, tangan terpentang dan bermaksud mencengkeram k epundak Bing-sia dengan menyeringai.

Bing-sia belum sempat menarik kembali pedangnya dan tampaknya sukar mengelak cengkeraman itu. Pada saat itulah mendadak terdengar suara “blang”, pintu didobrak orang, sesosok bayangan menerjang masuk. Kiranya Ci In-hong adanya. Belum dekat orangnya segera Ci In-hong menghantam dari jauh, tenaga pukulannya mendorong Bing-sia ke belakang, menyusul In-hong terus menubruk ke arah Jay-hoa-cat.

Begitu pukulan kedua orang beradu dan menerbitkan suara keras, Jay-hoa-cat itu terhuyung kebelakang beberapa tindak.

“Kiranya kau!” bentak Ci In-hong.

“Memangnya mau apa?” jengek si Jay-hoa-cat. “Hm, dihadapanku kau berani kurang ajar?” “Hm, jangan kau salah lihat, memangnya kau sangka aku ini apa?” jawab In-hong dengannn

tertawa. “Kau berani memalsukan diriku untuk melakukan kejahatan, bukan saja aku harus ajar kau, bahkan akan kubunuh kau.”

“Kaupun salah sangka,” jengek si maling cabul. “Aku memalsukan namamu karena sssudah lama kukkkenal kau bukan orang baik2. Sungguh menggelikan kau malah mengira aku yang salah pandang dirimu?”

Kedua orang saling adu mulut, tapi adu senjata juga tetap berlangsung, di tengah ucapan2 mereka itu belasan jurus sudah berlangsung.

Dalam pada itu Bing-sia telah menyingkir ke pinggir, ia merasa jantungnya berdetak keras dan napas memburu, ia terkejut dan heran mengapa keadaannya bisa berubah begitu runyam? Ia mendengar si nenek lagi merintih kesakitan sehingga membikin Bing-sia tambah kacau pikirannya. Pertarungan Jay-hoa-cat dengan Ci In-hong ternyata semakin sengit, sedikit saja meleng tentu akan mandi darah. Karena itu tiada seorangpun berani bicara lagi, keduanya sama2 memusatkan perhatian untuk bertempur . Cuma tertamapak keadaan Ci In-hong rada unggul sedikit.

Setelah tenangkan diri, sebenarnya Bing-sia bermaksud membantu In-hong. Keika didengarnya si nenek lagi merintih kesakitan pula, ia pikir seharusnya menolong dulu kedua orang tua itu, maka cepat ia mendekati si nenek untuk membuka tali ringkusannya.

Nenek itu diikat berduduk di atas kursi, selagi Bing-sia sibuk memotongi tali pengikatnya, sekonyong-konyong terdegar suara mendesir, suara angin menyamber dari belakang. Semacam senjata sebangsa rujung yang lemas atau cambuk tahu2 mneyabet dari belakang. 

Bing-sia terkejut. Untung dia sudah cukup pengalaman, biarpun kejut tidak menjadi bingung, cepat ia melompat ke samping, maka melesetlah sabetan cambuk itu. Namun begitu tidak urung punggungnya juga keserempet sehingga sakit pedas.

Berbareng Bing-sia ayun pedangnya ke belakang “sret”, cambuk lawan terpapas sebagian. Waktu ia berpaling, ia menjadi melongo kesima setelah mengetahui siapa penyerang gelap itu.

Siapakah penyerang gelap itu? Kiranya tak lin tak bukan adalah tuan rumah yang baik itu itu , Ho Kiiu-kong adanya.

Rupanya Ho Kiu-kong telah melepaskan diri dari tali ringkusannya dan mengunakan tali panjang itu untuk menyerang Bing-sia. Tali yang panjang itu memangnya mirip benar dengan cambuk.

Bahkan Bing-sia tambah kaget pula ketika mendadak pundaknya terasa kesakitan, ia ter-huyung2 dan hampir roboh. Didengarnya si nenek lagi berkata dengan menyeringai: “Nona Beng, kau telah masuk perangkap kami!”

Baru sekarang Beng-sia percaya bahwa Ho Kiu-kong dan isterinya itu ternyata benar komplotan si maling cabul perusak gadis itu. Keadaan loyotan si nenek itu hanya pura2 saja, sebenarnya dia cukup kuat, bahkan ilmu silatnya terhitung lihay pula. Lebih2 kepandaian Ho Kiu-kong jelas sekali jauh diatas penilaian Bing-sia semula.

Kejut dan gusar pula Bing-sia, sungguh tidak nyana kepalsuan manusia sampai sedemikian rupa. Kini pundah kanannya sudah kena dicengkeram oleh sinenek, untung tulak pundaknya tidak sampai cidera. Namun sebelah lengan terasa kaku kesemutan. Saking gemasnya Bing-sia pindahkan pedang ke tangan kiri, segera ia menggertak: “Tua bangka keparat, keji amat muslihat kalian! Kalian harus tebus dosamu dengan nyawa kalian!”

“Hahaha! Apakah nona bermaksud mengadu jiwa dengan kami? Hm,kukira kau Cuma napsu besar tenaga kurang! Kalau tidak percaya boleh kau coba!” jengek Ho Kiu-kong.

Waktu pedang Bing-sia menusuk benar juga, tenaganya tidak mau mengikuti hasratnya. Mestinya serangannya itu akan susul menyusul tiga kali, akan tetapi baru menusuk satu kali saja rasanya sudah kehabisan tenaga.

Sebaliknya Ho Kiu-kong lantas putar talinya itu sebagai cambuk, terdengar suara “plak-plok”, kembali Bing-sia kena disabet dua kali.

“Haha! Bagaimana? Betul tidak?” jengek pula si kakek.

Mengapa keadaan Bing-sia bisa begitu? Kiranya Ho Kiu-kong dan isterinya telah mengerjai nona itu dengan menaruh semacam bubuk obat didalam mi kuah yang disuguhkannya itu. Bubuk itu berkasiat membikin otot lemas dan tulang linu, waktu dimakan tidak terasa, tapi satu jam kemudian barulah obat itu mulai bekerja.

Melihat si nona terdesak, cepat Ci In-hong berseru: “Tahan nona Bing, harus bersabar!” Berbareng itu “sret”, pedang lantas menusuk, mengarah mata si Jay-hoa-cat.

Cepat Jay-hoa-cat itu mengegos terus balas menyerang dengan jurus “Ki-hwe-liau-thian” (angkat obor menjuluh langit), pedang menusuk perut Ci In-hong.

Namun pada saat lawan sedang mengegos tadi segera Ci In-hong melompat ke samping, “bret”, ujung bajunya terobek oleh pedang si Jay-hoa-cat, sebaliknya Ci In-hong sendiri sudah melompat sampai disebelah Bing-sia. Dan begitu tiba segera Ci In-hong memutar pedangnya, sekaligus ia menyerang tiga tempat Hiat-to penting di tubuh si nenek.

Keruan nenek itu terkejut, terpaksa ia dijatuhkan diri dan menggelinding ke sana seperti bola, dengan demikian barulah jiwanya dapat diselamatkan.

“Bocah kurang ajar, jangan temberang!” bentak Ho Kiu-kong sambil memburu maju.

“Tua bangka, kaupun rasakan kelihaianku!” balas Ci In-hong, secepat kilat ia paksa di nenek menjatuhkan diri, menyusul ia terus menerjang ke tengah lingkaran cambuk panjang si kakek.

Di tengah sinar pedang dan bayangan tali, tertampaklah se-potong2 benda hitam terbang bertebaran kiranya dalam sekejap itu tali yang dipakai sebagai sejata oleh Ho Kiu-kong yang panjangnya beberapa meter itu elah dipapas oleh pedang Ci In-hong dan menjadi belasan potong kecil2, sisanya tidak lebih Cuma satu meteran saja.

Ho Kiu-kong menggunakan tali panjang itu sebagai cambuk, kini tinggal sepotong saja tentu tak berguna lagi, kalau dia tidak lekas2 tarik tangannya mungkin jari tangan akan terpapas pula oleh pedang Ci In-hong.

Keruan kejut Ho Kiu-kong tak terkatakan, lekas2 ia melompat minggir. Pada saat itulah Jay-hoa-cat baru menyusul tiba. Sambil menangkis segera Ci In-hong menarik Bing-sia dan diajak lari. “Trang”, pedang Ci In-hong tersampuk ke samping, pundaknya tergores pedang lawan.

Sebenarnya kepandaian Ci In-hong setingkat lebih unggul daripada si maling cabul itu. Tapi dia harus membagi perhatiaannya unuk membantu Bing-sia melarikan diri, dalam hal demikian ia menjadi lena.

Namun demikian pergelangan tangan si Jay-hoa-cat juga hampir2 terpapas oleh pedang Ci In-hong, iapun terkejut sehingga tidak sempat menyusulkan serangan lain, maka dapatlah Ci In-hong membawa Bing-sia menerjang keluar rumah.

Setelah keluar pintu, mendadak Ci In-hong mendak sambil merangkul pinggang Bing-sia yang ramping itu.

Karena rangkulan yang mendadak, Bing-sia menjadi tercengang. Tapi Ci In-hong sudah lantas mendempelkan punggungnya, Bing-sia terus digendongnya sambil berseru: ”Pegang erat2 pundakku!”

Bing-sia baru tahu maksud Ci In-hong hendak menggendongnya kabur. Memangnya Bing-sia adalah nona yang berjiwa maju, berwatak seperti laki2. Kini iapun merasa dirinya tidak sanggup menggunakan ginkang untuk melarikan diri, karena keracunan, terpaksa ia tidak benyak berpikir lagi tentang sirikan antara laki2 dan perempuan. Padahal selama hidupnya belum pernah ia berdekatan begitu dengan seorang laki2, keruan mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar keras menggemblok di punggung Ci In-hong.

Luka di pundak kiri Ci In-hong itu hanya luka lecet saja, tidak berhalangan,hanya saja darah bercucuran. Bing-sia tidak berani memegang pundak yang terluka itu, maka yang dipegang hanya pundak sebelah lain. Hatinya sangat berterima kasih dan kikuk pula.

Sementara itu si Jay-hoa-cat sudah memburu keluar, sambil menggendong Bing-sia baru saja Ci In- hong melompat keatas genting rumah.

“Mau lari kemana?” bentak Jay-hoa-cat. “Turun saja!” ~~ Berbareng ia terus menghantam dari jauh, maksudnya hendak memaksan lawan turun kembali dengan pukulannya yang dahsyat. “Kau punya Thian-lui-kang masih kurang sempurna, pulang saja dan berlatih lagi dua tahun!”

jengek In-hong. Dari atas rumah iapun sambut lawan dengan pukulan yang sama. Karena gempuran tenaga pukulan yang hebat itu, wuwungan rumah sampai ambrol dan berhamburan pecahan genting. Namun Ci In-hong tidak jatuh kejeblos, ia masih sempat melompat ke rumah penduduk di sebelah sana.

Sebaliknya Jay-hoa-cat itu yang tergentak mundur beberapa tindak, dadanya seperti kena digodam keras2 dan hampir2 roboh. Keruan ia terkejut, pikirnya: “Thian-lui-kang keparat ini memang benar lebih lihai daripada diriku, meski dia sudah terluka, kalau kukejar dia sendirian mungkin sukar mengalahkan dia.” ~ Rupanya ia insaf Ho Kiu-kong dan istrinya tiada berguna diharapkan bantuannya untuk mengejar Ci In-hong diatas genting. Dan karena rasa jerinya itu, terpaksa Jay- hoa-cat itu harus menyaksikan Ci In-hong kabur begitu saja dengan menggendong Bing-sia. Sambil menggemblok diatas punggung Ci In-hong dengan suara terharu Bing-sia berkata: “Ci- toako, sungguh aku tidak pantas mencurigai kau, ternyata kau adalah orang yang sangat baik hati.” “Kini belum waktunya bicara, lekas pegang kencang pundakku,” sahut In-hong. Meski musuh tidak berani mengejar, namun ia harus ber-jaga2 segala kemungkinan.

Setelh lari keluar kota, melihat musuh tidak mengejar, legalah hati mereka. Ci In-hong menggendong Bing-sia kedalam sebuah hutan yang rindang, lalu diturunkan dan duduk mengaso di situ.

Bing-sia lantas mengeluarkan obat untuk dibubuhkan diatas luka Ci In-hong. Ia merasa tidak enak ketika melihat jidat in-hong penuh keringat, katanya: “Ci-toako, aku hanya bikin susah padamu saja. Badanku masih terasa lemas, tulang juga linu, bagaimana baiknya sekarang?”

“Aku masih ada sisa Siau-hoan-tan pemberian Siau-lim-si kepada Suhuku, coba nona minum pil ini, nanti kubantu melancarkan darah untuk mengembalikan tenagamu, dengan demikian engkau tentu dapat pulih dalam waktu tidak lama,” kata In-hong.

Lwekang yang dilatih Ci In-hong memang sudah sangat tinggi, setelah minum Siau-hoan-tan, Bing- sia mendapat bantuan pula saluran tenaga dalam pemuda itu sehingga tiada satu jam semangat

Bing-sia sudah segar kembali, ia coba gerak2 kali dan tangannya, ternyata tenaga sudah pulih sebagian besar.

“Sungguh hebat lwekangmu, nona, kau tidak malu sebagai putrinya Beng-tayhiap,” puji In-hong. “Bila orang lain, setelah kena racun pelemas tulang musuh tentu tak dapat disembuhkan dalam waktu sesingkat ini.”

“Ah, yang harus dipuji adalah kau, sebaliknya kau malah memuji diriku.” Jawab Bing-sia dengan tertawa. “Sekarang agaknya kita mesti bicara urusan yang penting. Aku ingin tanya padamu, pertama:siapakah Jay-hoa-cat itu? Nampaknya kau sudah cukup kenal siapa dia bukan?”

“Tidak Cuma kenal saja, malahan dia adalah saudara seperguruan kami,” kata Ci In-hong. “Ayahnya adalah Toasupekku.”

“Siapakah Toasupekmu?” tanya Bing-sia.

“Yang Thian-lui, yang menjabat Koksu (imam negara) dinegeri Kim sekarang,” tutur Ci In-hong. “Hah, kiranya Yang Thian-lui adanya!” seru Bing-sia kaget. “Pembunuh gelap To Pek-seng sudah diselidiki dengan baik oleh to Hong, pembunuh itu justru Yang Thian-lui. Apakah hal inipun diketahui olehnya?”

“Tahu, bahkan akupun mengetahui disamping menjadi koksu kerajaan Kim, berbareng dia bersekongkol dengan pihak Mongol pula. Tahun yang lalu ia pernah mengirim putra satu2nya ke Mongol. Putranya itu bernama Yang Kian-pek, yaitu Jay-hoa-cat yang kau lihat semalam itu.” “O, pantas makanya aku merasa seperti pernah kenal dia,” ujar Bing-sia.

“Kau pernah melihat dia?” In-hong menegas dengan heran.

“Ketika Yang Kian-pek itu pulang kesini bukankah dia ditemani oleh seorang busu bangsa Mongol?” tanya Bing-sia.

“Benar, busu Mongol itu bernama USa, terhitung satu diantara ke-36 jago kemah emas yang dibanggakan Jengis Khan. Ketika kuterima kabar demikian, pernah aku mengikuti jejak mereka. Cuma sayang aku rada lengah sehingga ditengah jalan aku kehilangan jejak arah tujuan mereka.” “Betul jadinya kalau begitu,” ujar Bing-sia.

“Dimana kau pergoki mereka?” tanya In-hong. “Di kampung halaman Li-bengcu (Li Su-lam).”

“O, tahulah aku. Sesudah Li-bengcu melarikan diri dari Holon, tentu mereka diperintahkan Jengis Khan untuk menyusul dan membereskan jiwa Li-bengcu.”

“Menurut cerita Li-bengcu, katanya Busu Mongol itu bermaksud mencuri sejilid kitab pusaka di rumahnya,adapun maksud tujuan Yang Kian-pek kurang jelas. Yang terang pada malam itu secara diam2 busu Mongol itu telah menyusup masuk kerumah keluaraga Li, sedang YangKian-pek mengawasi diluar rumah. Kebetulan pada malam itu juga aku pun pergi mencari Li-bengcu, tengah malam buta aku telah bergebrak dengan dia didakam hutan dan hampir2 aku dikalahkan. Untung Li-bengcu telah merobohkan busu mongol itu dan keburu tiba sehingga Yang Kian-pek dibikin ngacir. Akan tetapi busu Mongol yang roboh karena Hiat-to tertotok oleh Li-bengcu itupun sempat kabur.”

Mendengar sampai disini, In-hong ter-heran2, ia menyela: “Aneh, sebagai murid Kok-tayhiap dari Siau-lim-pay yang termashur itu, ilmu Tiam-hiat Siau-lim tentunya lain daripada yang lain, mengapa Usa yang tertotok oleh li-bengcu itu mampu kabur?”

“Hal inipun mengherankan aku,” jawab Bing-sia. “Menurut keadaan waktu itu, terang Yang Kian- pek tidak mungkin sempat menolong Usa.”

“Kalau kepandaian Usa sendiri rasanya juga tidk mampu membuka Hiat-to sendiri yang tertotok,” kata In-hong. “Apakah mungkin ada orang ketiga yang menolongnya?”

Teringat kepada kejadian malam itu, hati Bing-sia menjadi rada kesal, terutama kesalahan paham Nyo Wan justru berpangkal pada kedatangannya ke rumah Li Su-lam pada malam itu. Maka ia tidak meneruskan lagi, tapi lantas tanya: ”kini giliranmu untuk bercerita.”

“Ai, cerita ini sangat panjang kalau diuraikan,” ujar In-hong sambil menghela napas. “Kakek guruku mempunyai empat murid. Yang Thian-lui adalah murid pertama, jadi dia adalah Toasupek. Jisupek sudah meninggal waktu muda, beliau tidak mempunyai pewaris. Sisusiok menghilang pada belasan tahun yang lalu dan tidak diketahui dimana berada sekarang. Suhuku adalah murid ketiga, boleh dikata satu2nya Sute Yang Thian-lui,”

“Ayah Yang Thian-lui adalah orang Han, ibunya orang Kim, pantasnya dia terhitung bangsa Han karena mengikuti nama keluarga ayahnya. Akan tetapi dia kemaruk pada kedudukan, dia lebih suka mengaku sebagai bangsa Kim pada waktu itu dan mengabdikan tenaganya bagi Kim, berkat ilmu silatnya yang memang tinggi, setiap tahun dia naik pangkat, akhirnya pada tiga tahun yang lalu dia diangkat sebagai Koksu baru untuk menggantikan koksu lama yang menjadi gurunya itu.

“Sudah tentu, cita2 yang berbeda menyebabkan renggangnya hubungan, sejak Toasupek menjual tenaganya kepada kerajaan Kim, guruku lantas mengasingkan diri dipegunungan sepi dan jarang mengadakan hubungan dengan Toasupek. Hanya terkadang saja Toasupek dalam kedudukannya yang agung itu suka mengirim anak muridnya kerumah suhu dan sekalian bermaksud mengundang guruku datang kekota raja Kim untuk membantunya, namun guruku selalu menolakk dengan halus. “Guruku suka mengatakan padaku bahwa dua tahun permulaan beliau masuk perguruan, Toasupeklah yang mewakilkan kakek guru mengajarkan ilmu padanya. Orang persilatan kita paling mengutamakan budi perguruan, sebab itulah guruku tidak dapat putuskan hubungan sama sekali dengan Toasupek. Selain itu guruku juga mempertimbangkan kemungkinan pembalasan dari Toasupek yang terkenal kejam dan keji itu bila terang2an menolakmaksudnya, sebab itulah guruku selalu bersabar dan menyepi hingga sekarang.”

Baru Bing-sia mengetahui bahwa guru Ci In Hong sukar memutuskan hubungan dengan sesama saudara seperguruan sendiri meski tidak dapat membenarkan perbuatannya. Dengan hambar iapun berkata: “Tapi sekarang kau telah terang terangan bergerak dengan putra Yang Thian Lui, apakah kau tidak kuatir bikin susah pada gurumu?”

“Sekarang keadaan sudah lain, hendaklah kau dengarkan pula uraianku,” jawab Ci In Hong dengan tertawa. “Tiga tahun yang lalu Toasupek telah menjadi koksu kerajaan Kim, maka iapun makin mendesak dan memancing dengan berbagai janji muluk2 kepada guruku agar mau membantunya. Paling akhir Toasupek sendiri berkunjung ketempat kediaman guru dan bertanya secara tegas apa maksud guruku sesungguhnya, mengapa selalu menolak untuk membantunya? Lantaran terdesak, terpaksa Suhu menggunakan siasat mengulur waktu, pura2 menyatakan akan mempertimbangkan undangannya, tapi sebelum berangkat masih ada urusan2 rumah tangga yang perlu dibereskan dulu. Setelah Toasupek memberikan batas tempo tertentu, kemudian beliau baru angkat kaki.

“Setelah Toasupek pergi, Suhu telah mengeluarka nisi hatinya padaku, katanya: ”Kita sama2 orang Han, sebaliknya Toasupekmu sekarang telah menjadi Koksu negeri Kim dan secara kejam membunuh pahlawan2 bangsa yang menentang Kim, kejahatannya makin lama makin menyolok, aku tak sudi mementingkan hubungan baik pribadi dan melupakan kepentingan negara dan bangsa. Sesungguhnya sudah lama aku ingin melabrak dia, tapi pertama karena kekuatanku tidak dapat menandingi dia, kedua kepandaianmu juga belum sempurna, bila kuadu nyawa dengan dia akan berakhir ilmu perguruan kita akan putus ditanganku, sebaliknya tinggal Yang Thian-lui saja yang monopoli kepandaian perguruan kita, hal ini aku merasa berdosa kepada leluhur perguruan, sebab itulah aku bersabar sampai sekarang. Beberapa tahun terakhir ini kupercepat memberi petunjuk ilmu silat padamu, sementara dapat menghindari perpecahan dengan Yang Thian-lui, aku harap kau dapat memahami jerih ayahku ini. Tapi kini aku tak dapat main ulur waktu lagi, boleh kau melarikan diri keselatan saja.”

“Sejak kecil aku sudah piatu dan dibesarkan Suhu, budi kebaikan perguruan melebihi ayah-bunda sendiri. Dengan sendirinya aku tidak membiarkan Suhu sendiri yang menghadapi kesukaran. Aku mengusulkan agar diriku saja yang pergi melakukan pembunuhan gelap terhadap Yang Thian-lui, tapi Suhu tidak mengizinkan. Sebelum mengambil keputusan apa2, sementara itu batas waktu yang diberikan Yang Thian-lui sudah hampir tiba. Syukur pada saat itu seorang sobat baik Suhu telah datang, pembicaraan sang tamu itulah yang telah menyelesaikan persoalan rumit kami. Coba kau terka, siapakah sang tamu itu?”

Bing-sia melengak, jawabnya kemudian: “Darimana aku bisa tahu?” “Ialah ayahmu, Beng-tayhiap?” kata In-hong dengan tertawa.

“O, kiranya ayah dan gurumu adalah kawan kawan baik, pantas saja!” kata Bing-sia. “Pantas apa?” tanya In-hong dengan heran.

“Sebentar akan kuceritakan, kini kau meneruskan dulu kisahmu,” kata Bing-sia.

“Waktu ayahmu datang kebetulan aku tidak dirumah, maka apa yang dikatakan ayahmu hanya kudengar dari uraian guruku saja. Lebih dulu ayahmu tanya guruku apakah beliau akan pergi kekotaraja Kim untuk menantang bertempur secara terang2an kepada Yang Thian-lui. Guruku menjawab memang begitulah maksudnya, sebab sudah kepepet, selain jalan demikian rasanya tiada jalan lain lagi. Namun ayahmu mengoyang kepala, beliau menyatakan tidak setuju. Guruku lalu minta pendapat ayahmu. Menurut ayahmu, lebih baik suruh aku yang mewakilkan guruku dan pura2 bekerja bagi Yang Thian-lui. Ayahmu mengatakan: Kejahatan Yang Thian-lui yang paling menyolok tidak hanya menghianati perguruan saja, tapi adalah perbuatannya yang membantu pihak yang lalim, membantu kim membunuhi pahlawan2 yang menentaang musuh itu. Maka tujuan mengirim diriku ketempat Yang Thian-lui sesungguhnya sebagai mata2 saja. Cara demikian akan jauh lebih berguna daripada melakukan pembunuhan gelap terhadap Yang Thian-lui yang juga belum tentu berhasil.

“Guruku merasa usul yang cukup bagus, Cuma dikuatirkan Yang Thian-lui tidak mau menerima diriku sebagai pengganti Suhu. Sebaliknya ayahmu berpendapat Yang Thian-lui akan menilai diriku lebih berharga daripada guruku datang sendiri, sebab Yang Thian-lui cukup mengetahui guruku tidak mempunyai anak, selamanya aku disayang lebih daripada anak kandung sendiri. Apalagi ilmu silatku sudah memperoleh ajaran Suhu seluruhnya, tentu Yang Thian-lui lebih suka memakai tenaga muda daripada orangtua yang bandel sebagai guruku.”

“Pantas Yang Kian-pek itu memaki kau, tentunya kau telah berbuat menurut rencana yang sudah diatur itu,” ujar Bing-sia tertawa.

“Memang betul.” Kata In-hong. “Aku telah melaksanakan usul ayahmu itu dan pergi menemui Yang Thian-lui, benar juga dia lantas menerima diriku sebagai wakilnya Suhu, bahkan aku diberi pangkat sebagai jago pengawal kelas dua. Lebih dua tahun aku berkecimpung dimarkasnya, banyakjuga berita penting yang kuperoleh, beberapa kali dia mau menangkap pahlawan2 penetang kim, untung sebelumnya kuberikan kabar kepada kawan seperjuangan itu sehingga mereka dapat lolos dengan selamat. Kaypang cabang Taytoh (Ibukota Kim, Peking sekarang) ada hubungan gelap dengan aku, maka setiap kali berita rahasia selalu kukirim melalui kaum pengemis itu, aku sendiri tidak pernah memperlihatkan diriku.”

“Tapi kejadian begitu kalau terlalu sering, tentu Yang Thian-lui akan curiga bukan?” ujar Bing-sia. “Benar dugaanmu,” sahut In-hong. “Dan inilah sebabnya aku harus angkat kaki dari sana. Semula aku tak dicurigai sehingga tidak sedikit orang yang mati penasaran terbunuh olehnya, tapi lamban laun akulah yang dicurigai. Aku merasa tidak enak, maka sebelum dia turun tangan, pada suatu malam aku lantas kabur dengan membawa surat tugas palsu.”

“Setelah lari keluar dari Taytoh, apakah kau langsung menuju ketempat To Hong sana? Apa kau sudah mengetahui ayahku bakal datang pula?” tanya Bing-sia.

“Bukan. Hanya tentang Tun-ih Ciu dan To Liong bersekongkol dengan pihak Mongol, hal inilah yang kuketahui malah.”

“Jika begitu, jadi maksudmu datang ke Long-sia-san hendak membongkar rahasia mereka itu?” Ci In-hong mengangguk, sambungnya pula: “Namun semula aku tidak tahu jiwa To Hong yang sebenarnya, aku kuatir dia membela kakaknya sendiri, makanya aku tidak berani bicara sembarangan melaporkan rahasia busuk kakaknya itu padanya. Hanya tiga hari setibaku di Long-

sia-san lantas ketemukan siang pleno kaum persilatan disana itu. Dengan adanya sidang itu barulah aku mengetahui To Hong adalah seorang ksatria sejati, seorang pahlawan yang bijaksana, rasa sangsiku padanya lantas lenyap. Tapi tatkala itu tidak perlu lagi lagi kulaporkan rahasia yang kuketahui, sebab kau dan Li bengcu sudah keburu membongkar perbuatan mereka yang khianat didepan sidang.

“Jika begitu, mengapa pada malam itu kau tidak hadir dalam pesta perayaan?” tanya Bing-sia. “Soalnya ketika di Taytoh aku pernah melihat wakil Toh-cecu dari Hui-liong-san datang mengunjungi Tang Thian-lui, maka aku menjadi curiga jangan2 Hui-liong-san juga sekomplotan dengan mereka, hanya belum mendapatkan buktinya. Aku pikir kalau curigaku itu memang betul, tentu To Liong mengetahui latar belakang kedatangan utusan Hui-liong-san yang minta datang minta bantuan To Hong itu, juga ingin tahu tipu muslihat apa yang mereka atur terhadap Long-sia- san, makanya aku harus mencari kesempatan untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan To Liong. Dan kalau aku hadir dalam pesta kalian itu akan berarti rencanaku gagal total.”

“Surat kaleng yang kau tinggalkan dikamar Li Su-lam tentunya kau pula yang tulis bukan?” tanya pula Bing-sia.

“Benar, Cuma sayang pertemuanku dengan To Liong telah dipergoki nona Nyo. Keadaan pada waktu itu serta seluk beluk dan lika likunya tidak memungkinkan aku memberi penjelasan serta membela diri, maka terpaksa aku harus menyingkir untuk sementara.”

“Ya, tempo hari hari akupun mengira kau adalah mata2 musuh,” ujar Bing-sia dengan tertawa. “Malahan ayahku seperti tahu akan dirimu, beliau suruh kami jangan suka curigai orang baik sebelum segala sesuatunya menjadi terang.”

“Sungguh aneh, padahal tempo hari ayahmu belum melihat diriku,andaikan melihat juga belum tentu kenal aku, sebab waktu ayahmu datang ketempat guruku dua tiga kali dahulu aku masih anak kecil, juga tidak pakai nama seperti sekarang ini.”

“Bolehkah aku mengetahui nama gurumu yang terhormat?”

Ci In-hong lantas katakan nama gurunya. “O, kiranya adalah Hoa Thian-hong locianpwe,” ujar bing-sia. “Ayah memang sering menyebut nama gurumu, katanya gurumu seorang yang berpengetahuan luas, serba pandai dalam macam2 ilmu. Mungkin kau sudah banyak memperoleh kepandaian gurumu itu. Antara lain tentu kau banyak belajar ilmu kesusasteraan dari beliau, tulisanmu tentunya mirip tulisan gurumu bukan?”

Tiba2 In-hong merasa paham duduknya perkara, serunya: “Ah, tentu ayahmu telah membaca surat yang kutulis untuk Li Su-lam itu, dari tulisan surat itu beliau menduga akan asal usulku tentunya.” “Kukira begitulah adanya,” kata Bing-sia. “Sebab itu ayahpun tidak berani yakin pasti kau adanya. Tidak nyana disinilah dapat kujumpai dirimu, kelak bila kau ketemu ayah, tentu beliau akan sangat senang. Sudah berapa lama kau berada disini? Apakah kau datang kesini karena mengetahui dirimu dipalsukan orang?”

Muslihat busuk apa dibalik pemalsuan Yang Kian-pek atas diri Ci In-hong?

Dapatkah Nyo Wan menyusuk Li Su-lam ke Hui-liong-san dan peristiwa apalagi yang akan terjadi?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar