Pahlawan Gurun Jilid 07

 
Jilid 07

Saudara2 harus tahu, sejak junjungan kita hijrah ke selatan selama ratusan tahun ini, meski kita punya tekad besar untuk merebut kembali tanah yang diduduki musuh, hasrat ini takkan pernah menjadi kenyataan? Itulah karena pihak musuh kuat dan kita lemah. Kalau hanya mengandal tenaga Song raja kita masih jauh dikatakan mampu, apalagi harus mengusir penjajah. Sekarang Tuhan telah memberikan petunjuk dan jalan kepada kita, dengan kekuatan tentara Mongol sekarang yang kuat tiada lawan diseluruh jagat, mereka rela dan sudi berserikat dengan Song kita, apalagi syarat yang diajukanpun tidak terlalu berat. Coba saudara2 pikir, bukankah ini suatu kesempatan yang sulit didapat selama ini?

“Maka menurut perintah dari istana diserukan supaya pasukan pergerakan didaerah Hopak jangan ambil sikap bermusuhan dengan Mongol, dimana pasukan Mongol tiba kalian harus membantu sekuat tenaga, seumpama harus bekerja berat dan rada menderita juga jangan dirisaukan. Tujuan kita adalah merobohkan kerajaan Kim dan merebut kembali tanah air kita yang dijaajh musuh, kalau ini bisa terlaksana berarti saudara2 sekaligus sudah membantu dan memberikan harapan besar kepada raja kita.”

Selain delapan belas Cecu yang diundang To Hong dalam pertemuan ini hadir pula begundal undangan Tun-ih Ciu. Kedelapan belas Cecu itupun belum tentu sepaham dan sepandangan dengan To Hong, yang terang lima diantaranya berpihak kepada Tun-ih Ciu, tigabelas Cecu lainnya adalah yang rada tumpul otaknya dan kurang terpelajar, maka setelah mendengar penjelasan atau ‘pidato’ duta yang diutus istana, mereka menjadi bingung, walaupun dalam hati terasa ganjel karena harus membantu pihak Mongol dari sikap semula yang bermusuhan, namun terasa oleh mereka bahwa petunjuk inipun rada masuk akal. Apalagi karena ini perintah raja maka mereka menjadi tak berani banyak bicara lagi.

Melihat semua orang ber-sungut2 dan bungkam Li Su-lam menjadi gopoh, keadaan ini terlalu tidak menguntungkan, seketika bergolak darah dalam rongga dadanya, tanpa benyak pikir segera ia bangkit serta serunya lantang: ‘Aku baru saja kembali dari Mongol, menurut apa yang kutahu Jengis Khan punya ambisi yang besar untuk merobohkan kerajaan Kim, kalau kerajaan Kim sudah lenyap merekapun hendak mencaplok Song sekalian. Maka menurut pendapatku petunjuk dari istana itu tidak mungkin dilaksanakan!”

Tun-ih Ciu menggeram, jengeknya: ‘Perintah dari istana kaupun berani bangkang? Berapa banyak mengetahui bocah ingusan macam kau, mana bisa lebih tinggi dari para menteri?”

To Liong juga menyeringai dingin, ejeknya sinis: “Maksud hati Jengis Khan, bocah macam kau darimana bisa tahu?”

“Aku dengar dari mulut Jengis Khan sendiri!” Sahut Li Su-lam tegas.

To Liong tertawa sinis, jengeknya: “bagaimana mungkin Jengis Khan membicarakan persoalan ini dengan kau?”

“Aku dengar waktu ia memberi wejangan kepada anak buahnya waktu berburu. “segera ia ceritakan pengalaman waktu berburu dipegunungan Ken dengan jela.

Kata To Liong: “Menurut ceritamu waktu berburu kau telah menolong jiwa putri Jengis Khan. Sudah semestinya Jengis Khan sangat berterima kasih kepadamu, bagaimana mungkin dia mau melepas kau pulang?”

“Betul,” sahut Li Su-lam dengan tegas dan angkat dada. “Dia menganugerahkan pangkat Busu Kemah Emas kepadaku. Aku tidak rela menghamba dan mengabdi dibawah perintahnya, maka hari kedua dengan menempuh bahaya aku berhasil lari dari Holin!”

To Liong tertawa dingin, jengeknya: “Karangan ceritamu memang cukup menarik, sayang kurang dapat dipercaya dan menyangsikan!”

“Tunggu sebentar.” Kata Li Su-lam, “Akan keperlihatkan sesuatu kepada para hadirin.’

Ketika Li Su-lam masuk ruang belakang, Beng Bing-sia lantas berdiri dan angkat bicara: ‘Aku dan ayah pernah menjelajahi daerah Mongol selama lebih setengah tahun. Apa yang kami lihat dan dengar memang benar pihak Mongol sedang menyiapkan penyerbuan kenegeri Kim dan mencaplok Song kita.” ~ Lalu ia menceritakan keadaan pihak Mongol yang sedang melatih angkatan laut dibeberapa danau besar serta mencari jago2 pelarian Han yang mau diperalat.

Para hadirin cukup hormat dan percaya kepada Bing-sia mengingat ayahnya yang termashur, tentunya sinona takkan berdusta. Mereka menjadi saling pandang setelah mendengar laporan keadaan musuh itu.

Sementara Li Su-lam telah keluar dengan membawa seperangkat busur dan panah, katanya: “ini adalah busur baja pribadi Jengis Khan, lantaran aku pernah menyelamatkan jiwa anak perempuannya, maka dia memberi hadiah busur ini kepadaku. Silahkan lihat, busur dan panah ini rasanya tidak sembarangan dapat dibuat oleh tukang didaerah Tionggoan kita.”

Memang busur Jengis Khan itu adalah gemblengan dari baja keluaran pegunungan Altai, bobotnya jauh lebih berat daripada busur biasa. Tatkala itu Mongol sudah mengimpor ilmu teknik menggembleng baja dari persia,sudah mahir membuat baja yang lemas sehingga busur dapat ditarik hingga membulat. Teknik gembleng baja yang maju itu belumdapat dilakukan oleh pandai besi didaerah Tionggoan waktu itu.

Karen itu, para hadirin menjadi tambah percaya kepada kata2 Li Su-lam.

Namun To Liong masih berusaha menyanggah: “Sekalipun busur itu buatan orang Mongol, tapi darimana bisa diketahui adalah milik Jengis Khan? Seumpama benar milik pribadi Jengis Khan, darimana pula dapat dibuktikan Jengis Khan menyatakan akan menyerbu Kim dan mencaplok Song?”

“Sejak Mongol berbangkita, tidak sedikit negeri2 lain yang telah dirampasnya,” kata Tang Khay- san. “Kalau menurut kekuatan militernya sekarang, untuk membasmi Kim boleh dikata kekuatannya masih berlebihan, buat apa mesti berserikat dengan Song, jelas karena bertujuan mengorbankan kekuatan Song saja. Maka menurut pendapatku daripada tidak percaya, lebih baik kita percaya akan rencananya mencaplok Song kita.”

“Pihak pemerintah sudah menentukan arah politiknya, apakah kalian ingin melawan keputusan pemerintah?” ujar Tun-ih Ciu.

Tang Khay-san menjadi aseran, serunya: “Pemerintah boleh menetapkan keputusan nya, kita kaum Lok-lim juga punya peraturan Lok-lim sendiri, kita tidak terima gaji dari pemerintah, kenapa kita harus patuh kepada keputusan pemerintah?”

“Ucapan Tang cecu memang tidak salah, kalau saudara2 kaum Lok-lim ingin membentuk pasukan sukarela, maka harus memikirkan kepentingan rakyat banyak,” sambung Su-lam. “Kita akan sokong keputusan pemerintah jika menguntungkan rakyat banyak, kalau merugikan tentu akan kita tolak.

Penyerbuan Mongol ke Tionggoan mengenai kepentingan bangsa, yang terbunuh adalah bangsa kita, kenapa kita malah membantu dan bekerja sama dengan mereka?”

Tun-ih Ciu berteriak dengan muka merah: “Melulu gabungan kaum kita yang tiada artinya ini apakah mampu membendung musuh dan melawan serbuan tartar Mongol? Betapapun juga negeri Song adalah tanah air kita, kaisar Song adalah raja kita, maka aku mengusulkan taat kepada keputusan pemerintah.”

Begitulah kedua pihak saling tidak mau mengalah dan makin meruncing ucapan masing2 pihak, kedua pihak sama2 mempunyai pendukung, suasana ruang sidang menjadi ribut.

Cecu tua Go Hing dari Pak-bong-san ikut bicara: “Percuma cara kita ribut2 begini. Ular juga mesti ada kepalanya. Maka menurut pendapatku, lebih dulu kita harus memilih seorang Bengcu, habis itu kita harus patuh kepada perintah sang Bengcu.”

Go Hing adalah angkatan tua kaum Lok-lim, ucapannya tidak saja disokong oleh orang2 pihak Tun- ih Ciu, diantara ke-18 cecu juga ada sebagian besar menyatakan setuju dengan usulnya itu.

Segera Tang Khay-san bicara pula: “Sejak To-bengcu meninggal, rasanya tiada seorang pemimpin Lok-lim lagi yang berwibawa. Menurut pendapatku, bengcu tidak berarti boleh berbuat sesukanya, segala urusan harus mengutamakan musyawarah.”

Semua orang sama menyatakan akur dalam hal pemilihan bengcu baru. Maka Ting Hui dari Tiau- hou-kan, salah seorang pemimpin ke-18 cecu, segera berkata: “Mendiang To-bengcu dahulu dipilih sebagai bengcu karena beliau adalah cecu dari Long-sia-san yang terbesar dikalangan Lok-lim kita. Sekarang Long-sia-san dipimpin oleh nona To Hong, maka adalah pantas dan kayak jika kedudukan Bengcu ini diwariskan sekalian kepada nona To saja.”

“Hm, bukankah To Pek-seng masih punya seoarng anak laki2 disini?” jengek Tun-ih Ciu. “Kalau mau bicara tentang ahli waris kan lebih tepat harus diwariskan kepada To Liong, putra mendiang To-bengcu.”

“Ah, cayhe punya kepandaian apa sehingga berani melampaui Tun-ih Ciu yang lebih bijaksana dan punya nama, bahkan mendiang ayahku biasanya juga sangat kagum kepada Tun-ih cecu. Maka kedudukan bengcu adalah lebih pantas kalau dipegang oleh Tun-ih cecu,” demikian To Liong.

Serentak begundal Tun-ih Ciu bersorak menyatakan setuju, teriak mereka: “To-siaucecu memang seorang yang punya pandangan jauh. Kedudukan bengcu memang lebih tepat diduduki oleh seorang yang lebih berpengalaman, maka maksud baik To-siaucecu tadi hendaklah jangan ditolak oleh Tun- ih Cecu.

Tun-ih Ciu pura2 sungkan, katanya: “Ah, usiaku sudah tua, mana aku sanggup memikul tugas seberat ini. Tapi kalau kalian sudah sepakat, apa boleh buat, terpaksa aku bertindak sekuat tenaga.” “Nanti dulu!” mendadak Song Thi-lun berteriak. “Pemilihan belum lagi dilakukan, tidakkah Tun-ih cecu terlalu ter-gesa2 mengucapkan kata2mu itu?”

“Aku saja sudah rela, apakah budak cilik seperti To Hong juga berani merebut bengcu dengan Tun- ih Locianpwe?” seru To Liong gusar.

“Kau rela mengalah adalah urusanmu, yang pasti kami tetap mendukung nona To Hong,” jawab Song Thi-lun.

Cepat To Hong berdiri, serunya: ‘Kalian jangan ribut dulu, dengarkanlah kataku.”

“Hm, coba apa yang akan kau katakan, ingin kulihat betapa tebal kulit mukamu,” jengek To Liong. To Hong tidak menggubrisnya, ia mulai bicara: “Urusan yang paling penting sekarang adalah cara bagaimana kita harus melawan serbuan Mongol. Maka menurut pendapatku Bengcu yang dipilih nanti harus disebut sebagai bengcu pasukan sukarela, dengan demikian pejuang2 dari luar kalangan Lok-lim juga dapat ditampung dan para cecu yang hadir sekarang adalah pula pimpinan pasukan sukarela ditempat masing2. Namun orang yang dicalonkan menjadi bengcu nanti tidak harus berasal dari kalangan Lok-lim.”

Tang Khay-san yang per-tama2 menyatakan akur, menyusul para cecu juga memberi suara setuju. Tapi dengan tertawa dingin To Liong menanggapi; “Aku tidak peduli dari kaum mana orang yang akan menjadi bengcu, yang jelas kau tidak sesuai untuk menjadi bengcu.” 

“Betul juga ucapanmu, aku memang tidak sesuai untuk menjabat bengcu,” jawab To Hong. “Tugas yang paling utama sekarang adalah tartar Mongol, maka bengcu baru nanti tidak hanya ilmu silatnya harus tinggi, bahkan harus mahir pula ilmu militer. Sekarang aku sudah mempunyai seorang calon yang tepat, tentunya para hadirin dapat menyetujuinya.”

“Siapa?” tanya To Liong.

“Dia tak lain tak bukan adalah Li-siauhiap, Li SU-lam yang baru pulang dari Mongol ini!” sahut To Hong.

Su-lam sendiri terkejut, cepat ia berseru: ‘He, mana boleh jadi? Aku adalah orang baru, selamanya tiada hubungan apa2 dengan para kawan disini.”

To Hong lantas melanjutkan: “Pertama Li-kongcu adalah keturunan keluarga panglima perang dan tentu mahir ilmu militer. Kedua, dia adalah murid Kok-tayhiap dari Siau-lim-pay, asal usulnya sudah jelas dari perguruan yang ternama dan aliran yang terpuji, bila menjadi bengcu tentu akan menarik para pahlawan diluar kalangan Lok-lim untuk menggabungkan diri. Ketiga, dia baru pulang dari Mongol dan cukup memahami keadaan musuh, untuk menghadapi musuh yang kuat kita perlu tahu akan kekuatan pihak sendiri dan paham akan kekuatan musuh. Li Su-lam memenuhi ketiga syarat ini, maka menurut pendapatku tiada calon bengcu lain yang lebih cocok daripada dia.” Kiranya diantara ke-18 cecu yang diundang oleh to Hong sudah ada separoh telah dihubungi oleh To Hong, yang lain juga lantas menyatakan setuju demi mendengar uraiannya cukup beralasan.

Li Su-lam sendiri bermaksud menolak, tapi Bing-sia lantas berkata: ‘Kau harus berani memikul tugas berat ini. Apakah kau sudah lupa akan dendam keluarga dan negara? Jika kau ingin menuntut balas, melulu tenaga seorang saja tidaklah cukup. Apalagi soalnya bukan Cuma urusanmu sendiri saja, kita telah mencurahkan segenap harapan dan cita2 keatas pundakmu, kenapa kau malah mengelakkan diri?”

Karena teguran Bing-sia yang mengutamakan tugas berdharma bakti kepada nusa dan bangsa itu, terpaksa Su-lam tidak bersuara lagi.

Tapi To Liong lantas berteriak: “Biarpun yang akan dipilih adalah bengcu pasukan sukarela dan tidak harus berasal dari tokoh Lok-lim, tapi calonnya harus pula seorang yang punya nama baik dan bijaksana.”

“Apakah sekongkol dengan tartar Mongol termasuk terhormat dan bijaksana?” ejek Song Thi-lun. Kata2 ini membikin air muka Tun-ih Ciu dan To Liong berubah seketika.

Dengan gusar To Liong berteriak: ‘Berserikat dengan Mongol, ini adalah keputusan pemerintah, pula sidang sekarang juga belum mengambil sesuatu ketetapan, berdasarkan apa kau menuduh orang yang pro Mongol sebagai pihak yang berdosa?”

“Ya, maka soal paling penting sekarang adalah memilih dahulu bengcu baru agar dapat melaksanakan langkah2 kaum Lok-lim kita,” kata Tang Khay-san.

Karena sekarang To Liong dan To Hong sudah melepaskan hak berebut Bengcu, maka yang tinggal hanya dua calon saja yaitu Tun-ih Ciu dan Li Su-lam, masing2 sama mempunyai pendukung2 tersendiri.

“Menurut peraturan Lok-lim, bila ada persengketaan tentang kedudukan bengcu, maka harus ditentukan melalui ilmu silat masing2,” kata Go Hing sebagai angkatan tua.

“Tadi nona To sudah mengatakan, ilmu silat bukan segi terpenting dalam perjuangan melawan tartar,” kata Ciok Bok.

“Dahulu To-bengcu dipilih bengcu juga berdasarkan pertandingan di tengah2 para calon yang lain,” ujar Go Hing. Rupanya dia telah dijanjikan sesuatu oleh Tun-ih Ciu sehingga ber-ulang2 ia berpegang teguh kepada peraturan Lok-lim. Tampaknya dia ingin adil, tapi sebenarnya membela pihak Tun-ih Ciu.

Serentak begundal Tun-ih Ciu bersorak menyatakan setuju: “Benar!” Seorang bengcu memang harus memiliki kepandaian yang tinggi. Yang menang menjadi raja, kenapa mesti banyak bicara?” Maklum bahwa Tun-ih Ciu adalah tokoh Lok-lim yang namanya sama tenarnya dengan To Pek- seng, setelah To Pek-seng meninggal bicara ilmu silat tentu dia yang paling kuat bila ditentukan secara bertanding.

Pihak To Hong sudah tentu tahu Go Hing membela pihak Tun-ih Ciu, tapi urusan sukar dicapai persepakatan, terpaksa mereka mengikuti peraturan yang dikemukakan itu. Segera Tang Khay-san berkata: “Pertandingan boleh dilakukan secara bergilir oleh jago2 yang diajukan masing2 pihak.

Bila salah satu pihak sudah tidak sanggup bertanding lagi dan rela mengaku kalah, maka pihak yang menang boleh mengajukan calon bengcu yang didukungnya. Demikian bukan peraturannya?” “Benar”,jawab Go Hing. “Tapi calon bengcu juga harus ikut bertanding dan harus memenangkan pertandingan. Nah, sekarang masing2 pihak boleh menampilkan jago masing2.”

Tun-ih Ciu menjaga harga diri, sudah tentu ia tidak maju pertama. Dalam pihaknya ada dua tokoh yang berilmu tinggi silat tinggi, yaitu Liu Tong-thian, cecu dar Hek-sin-kang, ilmu pedangnya Lian- goan-toat-beng-kiam-hoat ( ilmu pedang pencabut nyawa ) yang meliputi 72 jurus terkenal lihai.

Seorang lagi aalah Cui Tin-san, seorang bandit besar dari Liautang, gwakangnya sudah mencapai tingkatan sempurna yang hampir2 kebal terhadap senjata tajam.

Begitulah Tun-ih Ciu coba menatap kedua kawannya itu, maksudnya agar mereka maju berkalangan. Tak terduga Liu Tong-thian sengaja menghindarkan pandangannya. Cui Tin-san lebih lucu lagi, ia sengaja duduk diam seperti orang samadi, pura2 tidak tahu maksud Tun-ih Ciu itu.

Keruan Tun-ih Ciu mendongkol. Katanya kemudian: ‘Keng-ciat, kau saja maju dulu!”

Oh Keng-ciat adalah Hucecu, wakil Tun-ih Ciu sendiri, dengan sendirinya harus menurut perintah. Dengan memegang golok tebal ia lantas maju ketengah kalangan dan berseru: ‘Li-kongcu, maaf aku ingin belajar kenal dengan Siau-lim-kiamhoatmu!”

Mengingat Oh Keng-ciat adalah jago yang sama tingkatnya dengan Tun-ih Ciu, segera Tang Khay- san hendak mewakili Li Su-lam menerima tantangannya. Tapi mendadak seorang sudah melompat maju. Kiranya Beng Bing-sia adanya.

“Tang-pepek,” kata Bing-sia, “Sudah lama kudengar golok Oh-locianpwe yang termashur, kesempatan ini hendaknya berikan padaku untuk minta belajar ilmu goloknya.”

Memangnya Tang Khay-san tidak yakin akan dapat mengalahkan Oh Keng-ciat, maka majunya Bing-sia menjadi kebetulan baginya, dengan tertawa iapun menyerahkan babak pertama itu kepada Bing-sia.

Sebaliknya Oh Keng-ciat menjadi terkejut, bukannya takut kepada Bing-sia, tapi kuatir mencelakai anak perempuan Kanglam-tayhiap Beng Siau-kang yang disegani itu. Terpaksa ia menghadapi dan berkata: ‘Beng-lihiap jangan sungkan2, aku dan ayahmu juga kenalan lama. Biarlah kita bertanding secara persahabatan, kalau menyenggol lantas anggap berakhir saja. Beng-lihiap silahkan mulai.” “Wanpwe mohon Oh-locianpwe mengajar tiga jurus lebih dulu,” kata Bing-sia.

“Wah, besar amat mulutnya sehingga mau mengalah tiga jurus lebih dulu, memang nya golok Oh- cecu dianggap sebagai besi karatan belaka?” demikian To Liong meng olok2.

“Hm, kau tidak perlu mengadau domba, bila tidak terima sebentar kau boleh maju pula,’ jengek Bing-sia.

Ucapan Bing-sia sebenarnya ditujukan kepada To Liong tapi tanpa sengaja telah menyinggung juga harga diri Oh Keng-ciat se-akan2 kemenangan sudah pasti dipihak Bing-sia sehingga sebentar lagi masih akan menghadapi To Liong. Dengan mendongkol segera Keng-ciat angkat golok dan menabas dari kanan dan kiri dua kali. Tapi goloknya Cuma menyamber lewat diatas rambut Bing- sia tanpa menyenggolnya. Bing-sia sendiri berdiri tegak tenang tanpa menghiraukan serangan itu. Keruan semua orang sama berseru kaget.

Rupanya Bing-sia mengetahui serangan2 Oh Keng-ciat itu hanya serangan kembangan saja. Walaupu begitu dengan golok yang tebal dan berat itu ternyata dapat digunakan dengan begitu tepat,kemahiran Oh Keng-ciat menguasai senjatanya sungguh harus dipuji pula.

“Hm, ditengah kalangan tidak kenal kawan, setiap gerakan tidak kenal ampun, disini bukan tempatnya orang beramah tamah!” jengek To Liong pula.

Oh Keng-ciat menjadi gusar dan dongkol oleh olok2 To Liong itu. Dia memang sengaja menyerang dengan gerakan pura2 mengingat dirinya adalah angkatan tua, tapi Bing-sia justru sengaja memberi serangan tiga kali lebih dulu, sudah tentu Keng-ciat jug aingin menjaga harga diri. Kalau cuma di- olok2 To Liong saja tidak menjadi soal, kuatirnya Tun-ih Ciu ikut2 curiga, hal ini bisa runyam.

Berpikir demikian, terpaksa Oh Keng-ciat tidak sungkan2 lagi, goloknya lantas bekerja dengan kencang, sekali bacok sekarang bukan serangan pura2 lagi, tapi serangan maut.

“Ilmu golok Oh-locianpwe memang hebat,’ puji Bing-sia sambil berkelit. Menyusul iapun mulai melancarkan serangan balasan. Namun Oh Keng-ciat menang dalam hal tenaga, goloknya diputar kencang pula sehingga penjagaan sangat rapat. Ber-ulang2 Bing-sia gagal menerobos pertahanan lawan. Terpaksa Bing-sia main kegesitan sambil mengitar kesana kemari untuk mncari kesempatan. Sampai berpuluh jurus ternyata senjata kedua pihak tidak pernah kebentur.

“Diam2 Oh Keng-ciat juga mengeluh, lawannya lebih lincah, lama2 tenaganya sendiri tentu akan terkuras habis jika main kucing2an begitu.

“Hm, macam pertandingan apa ini? Kalau berani gebraklah apa mestinya!” kembali To Liong meng-olok2, sekali tijukan kepada Bing-sia.

Belum lenyap suaranya, mendadak Bing-sia berhenti langkah, secepat kilat pedangnya membuat beberapa lingkaran, lingkaran satu disusul dengan lingkaran lain sehingga sinar golok Oh Keng-ciat se-akan2 terkunci, terdengar suara gemerincing nyaring ber-ulang2.

Diam2 To Liong bergirang karena menyangka sinona terpancing oleh olok2nya dan bukan mustahil dalam waktu singkat dapat dikalahkan oleh Oh Keng-ciat. Namun dia ternyata salah sangka.

Lingkaran2 sinar pedang Bing-sia semakin kerap dan semakin rapat, ketika lingkaran2 sinar itu mendadak mencurah kebawh, terdengarlah suara ‘trang’ sekali, golok Oh Keng-ciat yang tebal itu tahu2 mencelat terlepas dari cekalan.

Kiranya pada waktu Bing-sia berputar tadi telah didapatkan akal membobolkan pertahanan musuh, yaitu putaran pedang yang melingkar yang semakin cepat. Golok Oh Keng-ciat menjadi terselubung oleh lingkaran2 sinar pedang itu dan sukar melepaskan diri. Ketika lingkaran2 sinar pedang semakin cepat, sama halnya sepotong batu yang terikat, kalau diputar secepatnya kemudian akan mencelat lepas. Begitulah Bing-sia lantas menyimpan kembali pedangnya lalu berkata: “Maaf atas kesembronoan wanpwe.”

OH Keng-ciat menjadi malu, ia jemput kembali pedangnya dan mendekati Tun-ih Ciu, katanya: “Cayhe tidak becus sehingga dikalahkan lawan, sejak kini cayhe rela mengundurkan diri pulang ke kampung halaman saja, sekarang juga cayhe ingin mohon diri.”

Tun-ih Ciu mengerut kening, jawabnya: ‘kalah atau menang adalah soal lumrah dikalangan pertandingan, engkau masih tetap wakilku kenapa mesti terburu napsu begitu?”

Dengan muram Keng-ciat menjawab: ‘Sekalipun cecu dapat memahami kekalahanku, namun cayhe merasa malu sendiri. Dibawah cecu masih banyak ksatria muda perkasa, oran tua lapuk seperti cayhe sudah sepantasnya tahu diri dan menyerahkan tempatnya kepada kaum muda yang lebih tangkas.”

Habis berkata, tanpa menunggu jawaban Tun-ih Ciu, segera Keng-ciat melangkah pergi. Rupanya ngambeknya Oh Keng-ciat itu tidak melulu merasa malu saja dikalahkan oleh seorang nona muda, soalnya dia tidak tahan atas olok2 dan ejekan To Liong tadi.

Tun-ih Ciu sangat mendongkol, tapi didepan orang banyak sudah tentu ia tiak enak membujuk dan menahan kepergian Oh Keng-ciat, sebab hal ini akan lebih membuatnya kehilangan muka, terpaksa ia membiarkan Keng-ciat pergi.

Rupanya To Liong juga mempunyai perhitungan sendiri, ia tahu anak buah ayahnya telah meninggalkan dia an mendukung adik perempuannya. Tapi kalau dirinya dapat menjadi wakil Tun- ih Ciu, walaupun kedudukannya lebih rendah setingkat, tapi sedikitnya sudah dapat menambal kehilangannya itu. Sebab itulah dia memang sengaja hendak membikin malu Oh Keng-ciat dan membuatnya tidak kerasan dan akhirnya angkat kaki sendiri.

Akan tetapi beberapa kata Oh Keng-ciat sebelum pergi rada membikin To Liong serba susah. Kata2 tadi jelas ditujukan kepadanya bahwa ada ksatria muda yang lebih tangkas, maka kalau To Liong ingin mempertahankan kehormatannya dia harus maju kekalangan untuk menggantikan bertanding pula melawan Bing-sia.

Dipihak Tun-ih Ciu itu, yang berkepandaian tinggi seprti Liu Tong-thian dan Cui Tin-san jelas tiada niat maju bertanding. To Liong merasa dirinya tidak sanggup mengalahkan Bing-sia, maka ia menjadi ragu2. Padahal dia sendiri tadi sudah omong besar, kalau sekarang ia tidak berani menghadapi Bing-sia, ini benar2 kehilangan muka yang terbesar. Karena itu terpaksa To Liong berbangkit dan bermaksud maju.

Tiba2 seorang laki2 tegap mendahului maju kedepan dan berseru: ‘Nona Beng, silahkan kau mengaso dulu. Song-cecu, sudah lama aku ingin berkelahi dengan kau, mungkin sekarang ada kesempatan, marilah maju, aku ingin men-coba2 kau punya sepasang roda.”

Kiranya laki2 kasar itu bernama Ciu Tin-hay, adalah sutenya Cui Tin-san. Kepandaiannya jauh dibawah sang suheng, tapi wataknya berangasan. Pernah satu kali dia bertengkar dengan Song Thi- lun, keduanya sama2 berwatak keras, seketika mereka main jotos, Cuma waktu itu mereka lantas dilerai orang banyak sehingga tidak jadi berkelahi.

Tentu saja To Liong merasa kebetulan dengan majunya Ciu Tin-hay, katanya dengan lagak ksatria: “Baik nona Beng sudah bertanding satu babak, sudah sepantasnya dia mengaso dulu.”

Sudah tentu Bing-sia dapat meraba kelicikan orang, jengeknya: ‘Hm, boleh kau menyelami dulu cara bagaimana melayani ilmu pedangku dan maju dalam babak berikutnya.”

Begitu Song Thi-lun segera juga terima tantangan Ciu Tin-hay tadi. Mula2 mereka bertanding senjata. Ciu Tin-hay pakai gaman toya dari bongkotan rotan, toya yang keras2 lemas. Sebaliknya Song Thi-lun memakai sepasang roda tajam dari baja. Sifat kedua orang sama2 berangasan, begitu maju lantas berhantam tanpa banyak bicara.

Begitu hebat pertarungan mereka berdua sehingga lebih 50 jurus sudah lalu masih belum tampak kalah dan menang, bahkan makin lama keduanya makin tangkas. Akhirnya Ciu Tin-hay kehilangan sabar, tanpa peduli roda lawan yang diputar begitu kencang, segera toyannya mengemplang sekuatnya dari atas. Ketika Song Thi-lun angkat kedua rodanya dan mencakup keatas , maka terdengar suara “trang” yang memekak telinga. Ditengah suara nyaring itu terdengar pula …. Suara ‘krak’ yang keras. Srentak para penonton sama berdiri dengan mata terbelalak untuk melihat bagaimana akibat hantaman keras lawan keras itu. Ternyata kedua seteru di tengah kalangan sama2 melompat mundur. Toya ditangan Ciu Tin-hay tinggal sebagian pendek saja, sebaliknya sebuah roda Song

Thi-lun mencelat keudara, roda yang lain juga rompal beberapa buah giginya. Rupanya toya terjepit patah oleh kedua roda, sebaliknya Song Thi-lun juga tidak tahan oleh tenaga kemplangan toya yang dahsyat itu.

Su-lam bersyukur karena kedua pihak sama2 tidak cedera apa2, kedua orang ituu sama2 mempunyai watak yang polos, maka Su-lam mengira mereka akan mengakhiri pertandingan sampai disitu saja.

Tak terduga Ciu Tin-hay mendadak menubruk maju lagi sambil berseru: “Sekarang aku ingin belajar kenal dengan ilmu pukulan Song-toako!” ~ Dari nadanya yang memanggil ‘toako’ kepada lawan, jelas Ciu Tin-hay sudah menaruh hormat kepaa Song Thi-lun.

Tentu saja Song Thi-lun juga tidak mau mengalah,serunya: ‘Baik, sudah lama akupun kagum terhadap ilmu pukulan Ngo-heng-kun Ciu-toako yang hebat, kebetulan hari ini kita dapat mencobanya disini.’ ~ habis berkata, ia lemparkan rodanya dan pasang kuda2, segera kedua orang mulai berhantam lagi.

Kembali para penonton iut berdebar lagi karena pertarungan yang ramai itu. Ngo-heng-kun, ilmu pukulan kebanggaan Ciu Tin-hay mengutamakan serangan melulu. Gebrakan pertama telah ditangkis oleh Song thi-lun secara keras melawan keras, dua arus tenaga kebentur dan ternyata sama kuat.

Mendadak Song thi-lun menggertak, dari pukulan berubah menjadi tendangan, kakinya susul menyusul melayang keatas.

“Bagus!” sambut Ciu Tin-hay sambil mengegos kesamping. Berbareng dengangerak cepat telapak tangannya menyorong betis lawan.

Kedua orang sama2 cepatnya, ber-turut2 Song thi-lun menendang beberpa kali, beruntun Ciu Tin- hay juga memotong bebrapa kali, tendangan Song thi-lun tidak kena sasaran, tabasan Ciu Tin-hay juga tidak kena, keduanya tetap sama kuat.

Tendangan berantai seperti dilakukan Song thi-lun itu tidak tahan lama, terpaksa ia main pukulan pula sehingga keduanya kembali serang menyerang dengangesit.

Lama2 Song thi-lu menjadi tidak sabar, ia pasang kuda2 kuat, ditengah pukulannya disertai pula Kim-na-jiu-thoat, mencengkeram dan membetot.

Secara membadai Ciu Tin-hay melancarkan serangan gencar, namun Song thi-lun tetap berdiri dengankukuh, sedikitpun tidak terdesak mundur. Keadaan demikian mau tak mau membuat keduabelah pihak sama2 mengagumi pihak lawannya.

Paa saat yang menentuka, mendadak kepalan Ciu Tin-hay menghantam batok kepala Song Thi-lun dengan sekuat tenaga. Cepat Thi-lun menangkis sambil balas menyerang. Tapi tenaga kepalan lebih kuat daripaa telapak tangan, sakit juga telapak tangan Song thi-lun, terpaksa dia urungkan membetot, tapi terus dikipatkan kesamping sehingga tenaga pukulan lawan dipatahkan.

Ciu Tin-hay ternyata sangat kepala batu, setelah hantamannya gagal, seharusnya dia mundur dulu untuk ganti serangan alin. Tapi dia tidak mundur, sebaliknya malah melangkah maju, kepalan terus menerobos dari bawah keatas, langsung ia tonyor muka lawan. Nama pukulan ini disebut” Ciong- thian-bau” atau meriam menmbus angkasa lihai luar biasa. Dengan menggunakan pukulan ini Ciu Tin-hay sudah bertekad mengakhiri pertarungan ini secepatnya.

Ditengah jerit kaget orang banyak karena menyangka Song Thi-lun pasti terkena pukulan yang hebat itu. Tak terduga mendadak Song Thi-lun memutar tubuh sedikit, tangan terus membalik untuk mencengkeram sambil membentak: ‘Kena!” ~ Berbareng telapak tangan lain menyusup dibawah ketiak Ciu Tin-hay, kedua tangan bekerja sekaligus karena tekukan itu, seketika tulang lengan Ciu Tin-hay dipatahkan.

Ciu Tin-hay menggerung kesakitan, berbareng kepalannya jug amenghantam dan tepat mengenai dada, Song Thi-lun terpental dua-tiga meter jauhnya. Sebaliknya saking kesakitan karen atulang patah, Ciu Tin-hayjatuh kelengar.

Dengan kuatir cepat Liu Sam-nio berlari maju untuk menolong sang suami. Ciu Tin-san juga lekas2 mamburu maju untuk membangunkan sutenya.

Tapi sebelum Liu Sam-nio mendekati sang suami, tahu2 Song Thi-lun sudah melompat bangun. Maka legalah hati Sam-nio mengetahui suaminuya tidak terluka parah.

Begitu melompat bangun Song thi-lun lantas berseru: “Kepandaian Ciu-toako sungguh hebat, aku perpukul roboh dan terluka, babak ini aku terima mengaku kalah!” ~ Habis berkata baru darah segar tersembur dari mulutnya.

Bahwasanya Song thi-lun terima mengaku kalah, hal ini sungguh diluar dugaan para ksatria. Biarpun Thi-lun terluka dan muntah darah, tapi lawan lebih parah. Kalau dinilai sepantasnya Ciu Tin-hay dipihak yang kalah.

Rupanya setelah pertarungan sengit tadi, diam2 timbul rasa kagum dan hormat antara Song Thi-lun dan Ciu Tin-hay. Karena terpaksa Song Thi-lun harus mematahkan tulang lengan orang, dalam hati ia merasa tidak enak, makanya terima ngaku kalah sebagai tanda hormat pada lawannya.

Saat itu Cui Tin-san lagi meng urut2 tubuh Ciu Tin-hay sehingga keadaan Tin-hay sebenarnya dalam keadaan setengah sadar. Ketika mendengar ucapan Song thi-lun, tanpa menghiraukan lengan yang kesakitan itu, cepat iapun berseru: ‘Tidak, tidak bisa! Mana boleh aku dianggap menang?

Lukaku lebih parah daripadamu sudah tentu aku yang kalah, aku tidak mau terima kemurahanmu.” Kalau orang berebut menang adalah kejadian lumrah, tapi sekarang mereka berebut saling mengaku kalah keruan semua orang sama merasa geli dan kagum pula.

Segera Tang Khay-san menengahi: “ Sudahlah, kedua ksatria memang sama2 laki2 sejati dan berjiwa ksatria. Pertandingan kalian tadi biar dianggap seri saja, buat apa mempersoalkan luka parah dan luka ringan segala.”

Ucapan ini memang cocok dengan pikiran semua orang, maka kedua pihak juga tidak menyanggah. Tun-ih Ciu mengeluarkan obat luka untuk Ciu Tin-hay, lalu menolongnya pula dengan mengapit tulang lengan yang patah itu dengan dua potong papan. Caranya mengobati sungguh cekatan. Lalu katanya kepada Cui Tin-san: “Sutemu rela mengaku kalah, sungguh seorang ksatria sejati. Tapi Song Thi-lun hanya jago kelas dua di dunia Lok-lim, apakah kau tidak kuatir orang lain memandang rendah kepada Ngo-heng-kun kalian?”

Cui Tin-san cukup tahu bahwa ucapan Tun-ih Ciu itu bernada memancing kemarahannya. Tapi karena orang tengah menolong sutenya, pula menyangkut kehormatan perguruan, maka walaupun enggan membela pihak Tun-ih Ciu terpaksa Cui Tin-san menjawab: “ Tun-ih cecu, orang she Cui cukup tahu membedakan antara budi dan sakit hati. Bahwa engkau telah menolong nsuteku, tentu aku akan mencari jalan untuk membalas kebaikanmu.”

Dalam paa itu ketika Liu Sam-nio hendak memapah kembali suaminya kesana, tiba2 pihak Tun-ih Ciu melompat maju seorang sambil berseru: ‘Liu Sam-nio, tunggu dulu!”

“O, kiranya Pok-cecu,” kata Liu Sam-nio sambil menoleh. “Apakah Pok-cecu bermaksud memberi pelajaran juga?”

“Benar,” kata orang itu. “Sudah lama aku mendengar permainan cambuk dan senjata rahasia Sam- nio yang lihai, maka mumpung sekarang bertemu disini, aku menjadi ingin belajar kenal dengan kepandaian Sam-nio tersebut.”

Kiranya orang ini bernama Pok Toh-lam dan berjuluk “To-pi-wan” (sikera bertangan banyak), terkenal dengan kepandaian menggunakan Am-gi (senjata rahasia). Tapi sejak Liu Sam-nio muncul di dunia kangouw, dia menjadi punya saingan dalam hal am-gi. Seperti kata peribahasa “satu gunung tidak mungkin hidup dua harimau”, makanya dia sudah lama ingin mencari Liu Sam-nio untuk bertanding.

Sudah tentu Liu Sam-nio tidak manda dipandang pengecut, segera ia terima baik tantangan orang, jawabnya” Ah, kepandaian Pok-cecu juga sudah lama kukagumui. Bila Pok-cecu sudi memberi pelajaran, silahkan mulai saja.”

“Sebagai tamu, silahkan Sam-nio saja mulai lebih dulu!” jawab Pok Toh-lam. Nadanya ramah, tapi sikapnya angkuh.

Dikalangan Lok-lim sebenarnya nama Pok Toh-lam tidaklah begitu harum, apalagi sikapnya yang angkuh sekarang, tentu saja Liu Sam-nio mendongkol. Segera ia ayun cambuknya tanpa sungkan2 lagi. “Tarrr”, cambuknya lantas menyabet. Pok Toh-lam menggunakan senjata Boan-koan-pit, potlot baja. Pada umumnya Boan-koan-pit terdiri dari sepasang, tapi Pok Toh-lam hanya memakai sebuah saja, hanya ukurannya lebih panjang daripada biasa sehingga dapat pula digunakan sebagai tombak. Ketika cambuk Liu Sam-nio menyabet tiba, segera ia menyampuk dengan Boan-koan-pitnya.

Begitulah pertandingan kembali dimulai pula dengan sengit. Setelah berpuluh jurus, amndadak csambuk Liu Sam-nio melibat dibatang potlot lawan. Se-konyong2 Pok Toh-lam menggertak sekali, potlotnya menyendal sehingga cambuk lawan tergetar lepas. Ditengah bayangan cmbuk itu Pok

Toh-lam terus menubruk maju, potlotnya terus menotok ‘Ih-gi-hiat’ lawan.

Cepat Liu Sam-nio berkelit, tubuhnya melompat kesana dan cambuknya juga berputar, dimana ujung cambuknya menyamber, tahu2 kopiah Pok Toh-lam sudah tersabet jatuh. Sementara itu Liu Sam-nio telah memutar balik, katanya dengan dingin: ‘Pok-cecu, apakah kau perlu mengaso sebentar?”

Rupanya Liu Sam-nio telah melancarkan serangan cambuk yang hebat, lebih dulu ia libat potlot lawan, setelah tak berhasil merampas senjata musuh, segera ia menyabet pula dan akhirnya kopiah lawan tersabet jatuh.

Bicara tentang tenaga dalam memang Pok Toh-lam lebih kuat, dia dapat menggetar lepas cambuk lawan yang melilit potlotnya itu, tenaga dalamnya jelas jauh lebih tinggi daripada Liu Sam-nio.

Tapi bicara tentang tipu serangan jelas Pok Toh-lam sudah kalah satu jurus, sebagai tokoh ternama dikalangan Lok-lim seharusnya dia mengaku kalah. Tapi karena dia mengetahui tenaga dalam sendiri lebih kuat daripada lawan, pula kepandaian sendiri yang paling diandalkan belum lagi dikeluarkan, mana dia mau menyerah begitu saja.

Begitulah Pok Toh-lam telah mendengus, berbareng ia menyambitkan tiga buah senjata rahasia mata uang yang terbagi tiga juruan, atas-tengah-bawah, masing2 mangarah batok kepala , dada dan dekat selangkangan.

Disinilah Liu Sam-nio memperlihatkan pula ketangkasannya, sedikit menunduk ia hindarkan mata uang yang menyamber kebatok kepalanya itu, berbareng ia menyampuk sehingga mata uang yang mengarah dadanya disabet jatuh, pada saat yang sama sebelah kakinya juga mendepak sehingga mata uang bagian bawah mencelat pergi. Rupanya sepatunya pakai lapisan sol besi sehingga tidak takut pada senjata rahasia sekecil itu.

Yang satu menyerang dengan cepat, yan glain juga menghindar dengan bagus, serentak bersoraklah para penonton. Ternyata Pok Toh-lam tidak memberi kesempatan bernapas bagi Lis Sam-nio, menyusul senjata rahasia lain dihamburkan pula, sekarang terdiri dari tiga buah mata bor. Namun dengan cara yang indah, semua senjata rahasia Pok Toh-lam kembali dielakkan pula oleh Liu Sam- nio.

“Pok-cecu, senjata rahasia apalagi yang kau miliki, silahkan gunakan saja semuanya!” seru Liu Sam-nio dengan tertawa.

Olok2 ini tentu saja membikin Pok Toh-lam mendongkol. Betapapun ia adalah jagoan Lok-lim yang sudah terkenal, dia tak ingin dipandang hina oleh orang lain, terpaksa ia menjawab dengan tertawa: ‘Baiklah, sekarang giliranku menyaksikan kemahiran Sam-nio!”

“Ah, Pok-cecu terlalu rendah hati,’ ujar Liu Sam-nio. “Kepandaianku yang tak berarti ini masih perlu petunjuk2 Pok-cecu nanti!”

Habis berkata segera Liu Sam-nio menghamburkan tiga buah pisau sekaligus. Akan tetapi Pok Toh- lam juga sengaja pamer, ia menyambitkan tiga buah mata uang sehingga ketiga pisau lawan dibentur jatuh.

Menyusul Liu Sam-nio menghamburkan lagi enam pisau, cara menyambernya pisau2 itu lain daripada yang lain, tidak langsung menuju sasaran, tapi ber-putar2 siudara dan ada yang saling bentur.

Pok Toh-lam menjadi heran permainan apaka hitu. Tanpa pikir ia lantas merogoh segenggam mata uang pula terus ditaburkan diudara, jadi mata uang itu berjumlah lebih banyak daripada pisau2 terbang, maka terjadilah hujan pisau dan mata uang.

Namun mata uang itu tidak seluruhnya bisa membentur pisau, soalnya pisau2 itu lebih dulu saling bentur dan terpental sehingga arahnya telah berganti, habis itu pisaunya terus membalik dan menyamber kearah Pok Toh-lam.

Keruan Pok Toh-lam terkejut,pisau yang menyamber tiba2 itu jaraknya terlalu dekat, dalam keadaan kepepet terpaksa Pok Toh-lam melindungi kepalanya dengan Boan-koan-pit, berbareng ia menjatuhkan diri ketanah terus ber-guling2 kesamping.

Maka terdengarlah suara ‘trang-tring’ dua kali, dua pisau kena disampuk jatuh oleh Boan-koan- pitnya, dua pisau lagi menyamber lewat pundaknya, dua pisau lain jatuh dibelakangnya dan hampir2 menancap dipahanya.

Walaupun tidak sampai terluka oleh pisau2 terbang itu namun cara Pok Toh-lam menghindar kelihatan sangat konyol. Waktu ia melompat bangun lagi, bajunya sudah kotor, kaki dan tangannya juga berlepotan tanah.

Teringat keadaannya yang berbahaya tadi, diam2 Pok Toh-lam bersyukur dirinya dapat mengelak pada waktunya. Ia pikir pertandingan ini tentu dapat dianggap seri mengingat dirinya tidak sampai terluka.

Baru dia hendak buka suara, tiba2 kulit kepalanya terasa sakit perih seperti digigit semut. Pada saat itulah Song Thi-lun sedang menanggalkan kopiahnya dan berkata: “Wah, pertarungan sengit kalian membikin aku ikut berkeringat kegerahan.”

Anehnya sambil bicara sorot mata Song thi-lun menatap keatas kepala Pok Toh-lam. Sudah tentu Pok Toh-lam merasa curiga, ia pikir apakah diri sendiri telah kecundang? Cepat iapun menanggalkan kopiah sendiri, waktu diperiksa, ternyata diatas kopiah itu menancap tiga batang Bwe-hoa-ciam (jarum) yang lembut, hanya kelihatan ujung jarum menonjol sedikit, orang lain pasti tidak melihatnya kalau tidak diperiksa dari dekat.

Dari ujung jarum yang mengkilat itu, Pok Toh-lam tahu jarum itu tidak berbisa, lega juga hatinya. Sebagai ahli senjata rahasia segera ia menyadari apa yang sudah terjadi tadi. Kiranya Bwe-hoa-ciam itu disambitkan Liu Sam-nio bercampur dengan pisau2 terbang, jarum itu lembut sekali, Pok Toh- lam hanya dapat menghindarkan pisaunya, tapi sukar menghindarkan samberan jarum.

Diam2 Pok Toh-lam membatin: ‘kalau lawan berhati keji dan jarum itu mengarah pelipis atau hiat- to lain yang mematikan, tentu sejak tadi jiwanya sudah melayang. Jelas pihak lawan sengaja bermurah hati agar dia tidak malu didepan banyak orang.

Terima kasih dan malu pula rasa Pok Toh-lam. Segera ia memberi hormat dan berkata; ‘Kepandaian Am-gi Liu-hingcu memang jauh diatasku, orang she Pok ini terima mengaku kalah.”

Sudah tentu banyak orang merasa heran, ada yang ber-teriak2: ‘Pok-cecu belum lagi kalah, mengapa sudah menyerah? ~ Ya, pertandingan babak ini harus dianggap seri.”

Tapi Tun-ih Ciu cukup mengetahui duduk perkara, dengan muka bersengut ia berkata: “Buat apa ribut2? Kalah atau menang adalah soal biasa dikalangan pertandingan, mengapa banyak urusan? ~ Eh, Cui-heng,keadaan sutemu tentu tidak berhalangan bukan?”

Dengan sendirinya Cui Tin-san tahu maksud Tun-ih Ciu, terpaksa ia mesti membela orang yang telah mengundangnya, maka pelahan2 ia tampil ketengah kalangan dan berkata: ‘Mumpung hari ini kita bertemu disini, maka orang she Cui juga ingin belajar kenal dengan para hadirin, silahkan ksatria mana yang sudi memberi pelajaran?”

Kepandaian Cui Tin-san yang terkenal adalah Tay-lik-kim-kong-ciang (pukulan bertenaga raksasa), semua orang tahu kepandaiannya jauh diatas sutenya,yaitu Ciu Tin-hay. Maka sukar rasanya mencari seorang yang mampu menandinginya dengan sama kuat. To Hong pikir yang dpat mengalahkan Cui Tin-san mungkin Cuma Li Su-lam, tapi Li Su-lam perlu menahan diri dan memupuk tenaga untuk menghadapi Tun-ih Ciu nanti. Pula Cui Tin-san terkenal dengan ilmu pukulan, kalau Li Su-lam mengalahkan dia dengan pedang juga tidak gemilang kemenangannya.

Sedang To Hong menimbang siapa jago yang akan diajukannya, tiba2 tertampak Tang Khay-san melangkah maju, serunya: “Sebenarnya tua bangka macam diriku sudah tidak pantas berebut menang dengan Cui-heng, tapi pertandingan ini dilakukan berdasarkan persahabatan, menang atau kalah adalah soal sepele, maka tiada jeleknya aku main2 dengan Cui-heng beberapa jurus saja.

Tang Khay-san terkenal dengan kepandaian “Tay-sui-pi-jiu”, yakni ilmu pukulan dengan telapak tangan yang dahsyat. Dimasa mudanya pernah sekaligus dia mengalahkan tujuh jagoan terkenal di Hoksiok. Hanya saja sebagaimana dikatakannya tadi, usianya sudah lanjut, sebab itulah dalam pertimbangan To hong tadi tidak pernah menginginkan mengajukan dia sebagai jagonya. Begitulah Cui Tin-san lantas menyambut: ‘Jika Tang-locianpwe sudi memberi pelajaran, sungguh aku merasa sangat beruntung. Sudah lama kudengar tay-sui-pi-jiu yang hebat, biarlah kita coba2 saja dalam hal ilmu pukulan.”

Sebagai kaum muda, segera Cui Tin-san mendahului menyerang sebagai tanda hormat kepda lawan. Telapak tangan nya mendorong pelahan kedepan Tang Khay-san juga sudah siap, ia menunggu seranagn orang sudah mendekat baru mendadak memapak dengan telapak tangan pula ‘blang’ terdengar suara keras, Cui Tin-san tergentak mundur dua tiga tindak.

Orang2 dipihak To Hong sama bergirang dan bersyukur Tang Khay-san ternyata tua2 keladi, bisa jadi Cui Tin-san sebentar lagi akan dirobohkan olehnya.

Akan tetapi Tang Khay-san sendiri cukup paham bahwa bukan saja Cui Tin-san sengaja mengalah sejurus, bahkan tenaga belum dikerahkan sepenuhnya. Pukulan Cui Tin-san itu disebut “Liong-bun- san-kik-lang” (Ombak mendampar tiga kali digerbang naga), kalau tenaga pukulannya dilancarkan seluruhnya, maka berturut2 akan terpancar tiga gelombang kekuatan yang satu lebih hebat dari pada yang lain. Namun Cui Tin-san tadi hanya mengerahkan gelombang tenaga pertama saja, lalu bertahan dan mundur.

Cui Tin-san sendiri tak menduga akan tergentar mundur. Semula ia mengira usia Tang Khay-san sudah lanjut, kalau terlalu kuat menggunakan tenaga bisa jadi lawan itu tak tahan. Tapi setelah bergerak satu jurus baru diketahui kekuatan pukulan tang khay-san ternyata diatas penilaiannya walaupun masih kalah kuat daripada tenaga pukulan dirinya.

Orang persilatan paling mengutamakan nama kebaikan atau kehormatan, biarpun Cui Tin-san tidak ingin mencelakai kaum tua, tapi juga tidak mau dikalahkan. Maka sesudah menjajal satu jurus tadi, lamban laun ia mulai menambahkan tenaga pukulannya. Pertarungan segera mulai tegang.

Tidak lama kemudian, kepala Tang Khay-san mulai mengepulkan hawa tipis, yaitu haw yang menguap dari air keringatnya. Sebaliknya jidat Cui Tin-san tidak tampak sebutir keringatpun. Diam2 To Hong merasa kuatir, biarpun nampaknya tidak bermaksud mencelakai lawan yang sudah tua, tapi dalam pertarungan sengit itu bukan mustahil akan terjadi cedera yang susah dielakkan. Ia menyayangkan Tang Khay-san mengapa tidak mau mengaku kalah saja daripada bertahan secara susah payah.

Rupanya To Hong tidak tahu kedua orang yang bertanding itupun punya pikiran serupa dengan dia. Soalnya Tang Khay-san itu hidupnya paling ter-gila2 kepada ilmu silat, sudah lama ia mengagumi Tay-lik-kim-kong-ciang lawan, maka sedapat mungkin ia bertahan agar bisa mengetahui sampai dimana ilmu pukulan lawan selengkapnya.

Cui Tin-san juga sudah memikirkan kalau pertarungan itu dilanjutkan, biarpun Tang Khay-san akhirnya tak dilukai tentu juga akan jatuh sakit payah karena terlalu banyak keluar tenaga itu. Segera ia memberi suatu gerakan pancingan agar kedua tenaga Tang Khay-san menyerang dari depan tengah, berbareng itu ia lantas menarik, diangkat dan ditolak, dengan pelahan Tang Khay-san ditolak kesamping beberapa langkah jauhnya.

Tiga kali gerakan menarik, angkat dan ditolak kesamping itu dilakukan sekaligus dengan cepat, sebelum semua orang melihat jelas caranya ia bergerak itu, tahu2 Cui Tin-san sendiri juga tergentar mundur beberapa tindak.

Setelah Tang Khay-san dapat menahan tubuh sendiri dan baru saja hendak bicara, tiba2 Cui Tin-san sudah mendahului buka suara: “Ilmu pukulan Tang-locianpwe memang hebat, atas kesudian mengalah sehingga pertarungan ini berakhir dengan seri.”

Akan tetapi Tang Khay-san lantas ter-bahak2, allu berkata dengan gegetun: “ah, aku sudah tua, sudah tak berguna lagi. Pertarungan ini jelas Cui-lote yang telah mengalah paaku, mana berani aku menerimanya sebagai seri. Jelas aku telah kalah.”

Sejak tadi Tun-ih Ciu bersengut saja karena Cui Tin-san tidak bertempur dengan sungguh2. Kini setelah mendengar ucapan Tang Khay-san itu barulah dia merasa senang, segera ia menimbrung: ‘Keduanya sama2 ksatria yang terpuji, sungguh hebat.”

Tiba2 Tang Khay-san berkata pula: “Tapi sayang, sungguh sayang!” “Sayang apa?” Cui Tin-san melenggak. “kabarnya kau punya Kim-kong-ciang meliputi 8 X 8 = 64 gerakan, sayang aku hanya melihat 48 gerakan saja tadi sehingga belum lengkap,” kata Tang Khay-san.

Cui Tin-san tersenyum, sahutnya: ‘banyak terima kasih atas pujian Tang-locianpwe dan untung cayhe tidak sampai kalah. Biarlah diantara hadirin siapa lagi kiranya yang sudi maju memberi pelajaran pula?”

Menurut aturan, pihak pemenang ada hak buat bertanding lagi satu babak. Maksud ucapan Cui Tin- san ini pertama menyatakan dia sanggup bertanding lagi, kedua juga secara tidak langsung telah memenuhi permintaan Tang Khay-san, asalkan ada orang yang mau bertanding lagi dengan dia, maka dia bersedia mempertunjukkan Tay-lik-kim-kong-ciang-hoat yang meliput 64 gerakan secara lengkap.

Tapi dengan demikian To Hong sibuk berunding, tiba2 seoran laki2 baju kuning tampil kemuka dan berseru: “Cayhe yang bodoh ini ingin belajar kenal beberapa jurus dengan Cui-cecu.”

Umur orang ini hanya duapuluhan, wajahnya cakap, lebih mirip seorang anak pelajar daripada diaktakan jago kaum Lok-lim.

Anehnya keduabelah pihak sama2 tidak kenal siapa pemuda ini tentu saja semua orang pada heran dan membatin: “Siapakah dia? Berani benar!”

Cui Tin-san telah menjawab: “Numpang tanya siapakah nama saudara? Kawan dari garis mana kiranya?”

‘Ah, cayhe hanya seorang Bu-beng-siau-cut (prajurit tanpa nama) saja di Long-sia-san sini,” jawab pemuda baju kuning.

Tiba2 To Hong menjengek: “Hm, apakah Bu-beng-siau-cut atau pahlawan sejati dan jago ternama, sedikitnya kan punya nama?”

Dengan pelahan barulah pemuda itu berkata: “Cayhe she Ci bernama In-hong. Yang kuharap bukanlah ingin terkenal atau dipuji, tapi dengan tulus hati ingin belajar kenal dengan para tokoh2 kosen. Maka dari itu aku telah tampil secara sembrono, harap para maklum.”

“Ci In-hong? Nama ini tidak pernah terdengar!” demikian semua orang sama melengak. Karena pemuda she Ci itu mengaku dari Long-sia-san, mau tak mau To Hong menjadi sangsi apakah orang ini baru saja datang? Mengapa sebelumnya tak pernah dilihatnya?

“Jika mau saling tukar pikiran tentang ilmu silat, hendaknya Ci-heng jangan sungkan2, silahkan mulai!” demikian Cui Tin-san menanggapi.

Segera kedua tangan Ci In-hong mengepal didepan dada dengan sedikit diangkat sebagai tanda penghormatan, lalu ia mengadakan serangan pembukaan dengan menolak kepalan kedepan.

Gerak tangan Ci In-hong ternyat lamban tak bertenaga. Para penonton sama berkerut kening. Sebagai jago pihak Long-sia-san, jika kepandaiannya Cuma begitu saja bukankah akan membikin malu pihak yang diwakilinya?

Selagi semua orang menilai rendah pemuda baju kuning ini, sementara itu Cui Tin-san sudah mengadu pukulan satu kali dengan lawan. Kedua telapak tangan kebentur, tanpa suara dan tiada bunyi, sama sekali berbeda daripada pertandingan Cui Tin-san melawan Tang Khay-san tadi.

Setelah adu pukulan itu, air muka Cui Tin-san tampak menunjuk rasa ke-heran2an.

Kiranya gerak pukulan Ci In-hong itu tampaknya pelahan tapi tenaga raksasa pukulan Cui Tin-san ternyata tidak mampu membikin lawannya bergoyah sedikitpun. Begitu kedua tangan kebentur, segera suatu arus tenaga yang lunak memunahkan tenaga raksasa Cui Tin-san itu. Gambaran ini sama seperti sepotong batu besar dilempar kedalam air.

Keruan Cui Tin-san ter-heran2, sungguh tidak nyana pemuda cakap ini memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Mau tak mau ia harus ber-hati2 bila tidak ingin terjungkal ditangan seorang pemuda yang tak terkenal. Segera Ia melangkah maju dengan tipu “Gwa-hou-ting-san” (naik harimau mendaki gunung), tenaga dikerahkan hampir penuh, ber-turut2 ia menyerang tiga kali dengan dahsyat.

Namun Ci In-hong tetap mematahkan pukulan lawan dengan cara yang lunak, tertampak tubuhnya bergerak enteng dengan gaya yang indah. Pukulan2 Cui Tin-san yang dahsyat itu ternyata takbisa meng-apa2kan lawannya.

Baru sekarang para ksatria ikut terkejut juga. Beng Bing-sia cukup berpengalaman karena sejak kecil telah berkelana ikut jejak ayahnya. Dengan suara perlahan ia berkata kepada To hong: ‘Caranya itu adalah pukulan bertenaga dalam yang paling tinggi. Selamat To cici sungguh aku tidak tahu bahwa ditempatmu ini ada seorang kosen begini.”

Bagi Cui Tin-san sejak namanya tersohor belum pernah ketemukan tandingan sehebat ini, maka ia menjadi bersemangat, makin lama makin dahsyat pukulannya, angin menderu dengan hebat terbawa oleh setiap pukulannya, 64 gerakan Kon-kong-ciang telah dimainkan dengan lengkap dan hebat.

Pertarungan sengit ini membikin para penonton ikut ber-debar2. Meski To Hong telah mengetahui Ci In-hong adalah seorang Lwekeh (ahli lwekang) , diam2 diapun merasa kuatir kalau2 pada akhirnya pemuda ini dikalahkan juga oleh tenaga pukulan raksasaa Cui Tin-san yang dahsyat itu. Orang tiak tahu bahwa tampaknya saja hampir seluruh serangan yang dilakukan oleh Cui Tin-san, sebaliknya Ci In-hong hanya menangkis dan memunahkan daya serangan lawan, hanya terkadang balas menyerang satu-dua kali saja. Tapi bagi Cui Tin-san sendiri sebenarnya sudah merasakan daya tekanan setiap jurus serangan lawan itu. Maka akhirnya bukan Ci In-hong yang payah, sebaliknya Cui Tin-san mulai mandi keringat dan mengeluh dalam hati.

Tanpa terasa 64 gerakan pukulan Kim-kong-ciang telah diulangi Cui Tin-san sampai dua kali. Ditengah pertarungan sengit itu, se-konyong2 Ci In-hong berkelit dan menubruk kedalam lingkaran pukulan Cui Tin-san, berbareng tangan kanan memegang dan tangankiri menarik, seketika Cui Tin- san tidak mampu berdiri tegak dan melompat kesamping beberapa meter jauhnya dengan tubuh ber- putar2 beberapa kali.

Setelah berhasil dengan jurusnya Ci In-hong juga segera melompat kepinggir dan sama2 berputar beberapa kali.

“Benar2 tandingan yang sama tangguh, babak ini kembali seri lagi!” seru Li Su-lam.

Padahal ia cukup paham bahwa Ci In-hong juga sengaja mengalah kepada Cui Tin-san. Tadi Cui Tin-san mengalah kepada Tang Khay-san dan sekarang Ci In-hong melakukan hal yang sama.

Cui Tin-san menghela napas katanya: “Gelombang laut memang selalu dari belakang mendorong kedepan, tunas baru selalu pula melebihi yang lama. Ci-heng selamanya aku berbangga Kim-kong- ciangku tidak pernah ketemu tandingan, tapi sekarang mau tak mau aku harus menyerah padamu.” Semua orang terperanjat mendengar Cui Tin-san sendiri mengaku kalah. Maka ramailah para hadirin saling mencari tahu asal usul Ci In-hong itu. Tapi ternyata tiada seorang pun yan mengenalnya.

Baru saja Cui Tin-san mengundurkan diri, dari pihak Tunih Ciu tiba2 tampil lagi seorang laki2 pertengahan umur berbaju putih. Deangan tersenyum dia berkata: “Ilmu pukulan Ci-heng sungguh luar biasa. Aku menjadi ikut tertarik dan ingin belajar kenal pula.” 

Orang ini adalah kawan baik Cui Tin-san, salah seorang tokoh undangan Tun-ih Ciu yang diandalkan. Namanya Liu Tong-thian.

Liu Tong-thian lebih tenar daripada Cui Tin-san dan dikenal sebagai ahli pedang, ilmu pedangnya Lian-goam-toat-beng-kiam-hoat (ilmu pedang pencabut nayawa) yang meliputi 72 gerakan secara berantai itu sangat disegani orang Bu-lim, meski mungkin belum bisa dijajarkan dengan Beng Siau- kang, Kok Peng-yang dan pendekar2 pedang angkatan tua lainnya, tapi telah diakui oleh dunia persilatan bahwa paling tidak dia sudah terhitung satu diantara kesepuluh pendekar pedang pada jaman ini.

Seperti juga Cui Tin-san, karena melihat tujuan Tun-ih Ciu yang kurang baik, maka sebenarnya Liu Tong-thian juga enggan membantu pihak Tun-ih Ciu. Tapi kemudian setelah menyaksikan Cui Tin- san dikalahkan seorang pemuda yang tidak terkenal, timbul juga rasa ingin tahu Liu Tong-thian untuk menjajal si pemuda berbareng untuk membela kehormatan kawan.

“Liuheng,” tiba2 Tang Khay-san membuka suara, “engkau adalah ahli pedang, tidakkah lebih baik bila nanti Li-kongcu saja yang melayani kau?”

Tak terduga Liu Tong-thian lantas menjawab: “Sebutan sebagai ahli pedang, tidak berani kuterima. Tapi kalau sebentar Li-kongcu sudi memberi pelajaran bolehlah nanti kulayani. Sekarang biarlah lebih dulu aku belajar kenal ilmu pukulan dengan Ci-heng.”

Ternyata Liu Tong-thian siap melayani Ci In-hong dengan ilmu pukulan, hal ini sungguh diluar dugaan siapapun. Padahal Liu Tong-thian terkenal karena ulmu pedangnya sebaliknya ilmu pukulan Ci In-hong telah disaksikan kelihaiannya tadi.

Hanya Tun-ih Ciu saja yang kenal Liu Tong-thian tidak melulu ilmu pedangnya yang hebat, bahkan ilmu pukulannya “Bian-ciang” juga sangat lihai, sekali pukul bisa membikin hancur batu, ilmu pukulannya tidak dibawah Cui Tin-san. Soalnya dia terkenal sebagai ahli pedang sehingga ilmu pukulannya jarang digunakan, maka orang Lok-lim jarang yang mengetahui kelihaian ilmu pukulannya itu. Dari itu Tun-ih Ciu yakin dengan ilmu pukulan “bian-ciang” rasanya Liu Tong- thian sanggup mengalahkan lawannya.

Terdengar Ci In-hong lantas menjawab: “Sudah lama kukagumi ilmu pedang Liu-thocu yang sakti, sungguh beruntung hari ini aku dapat bertemu tokoh yang termashur, maka kesempatan baik ini harus kupakai untuk minta belajar beberapa jurus kepada Liu-thocu. Karena itu pula cayhe lebih suka minta belajar ilmu pedang dari Liu-thocu.”

Kalau tadi semua orang heran karena Liu Tong-thian hendak bertanding ilmu pukulan dengan lawan, adalah sekarang semua orang menjadi terperanjat pula karena Ci In-hong justru menantang bertanding dengan ilmu pedang. Mereka heran apakah mungkin anak muda belia ini serba mahir sehingga ilmu pedangnya juga sudah terlatih dengan baik? Betapapun juga, kegagahannya yang tak gentar terhadap musuh sudah mengagumkan setiap orang.

Segere Ciok Bok menyela: “Ci-heng, apakah kau perlu menggunakan pedangku ini!”

‘Terima kasih, siaute sendiri membawa senjata,” jawab Ci In-hong. Sekali ia memutar tubuh dengan cepat, tahu2 tangannya sudah memegang sebatang pedang.

Kiranya pedangnya itu sangat lemas dan biasa terpakai sebagai sabuk dipinggangnya, orang lain memang tidak tahu kalau dia membawa senjata aneh demikian.

Sekali pandang segera Liu Tong-thian tahu pedang orang pasti pedang pusaka dan mengucap: ‘Silahkan”. Se-konyong2 terdengar suara gemerincing yang nyaring, ternyata dalam beberapa jurus saja senjata kedua orang sudah berbenturan beberapa kali.

Ditengah sorak puji oran gbanyak, mendadak Liu Tong-thian meloncat keatas dengan menggunakan tenaga mental pedang lawan, kemudian ia terus menikam ke bawah mengarah Hong-hu-hiat dibelakang pundak Ci In-hong.

Tapi dengn cepat sekali Ci In-hong putar pedengnya kembali terdengar suara “trang”, Liu Tong- thian sudah turun kembali ke bawah, sebaliknya Ci In-hong sukar menahan tubuhnya sehingga berputar satu kali.

Setelah bergebrak dua kali, kedua pihak sama2 periksa dulu senjata sendiri2. Liu Tong-thian merasa lega melihat pedangnya tidak cacat sedikitpun. Tapi dalam hati tidak habis heran, ari aliran manakah pemuda ini? Mengapa aku sama sekali tak bisa mengetahui dari gaya permainan pedangnya?”

Pedang Ci In-hong juga tidak rusak, walaupun senjata kedua pihak sama2 tidak cedera apa2, namun Ci In-hong jauh lebih terkejut daripada lawannya. Maklumlah bahwa kwalitas pedangnya lebih bagus daripada pedang lawan, kalau kedua pihak sama2 tidak cacat, maka jelas ilmu pedang lawan harus diakui lebih tinggi setingkat.

Biarpun terkejut, tapi Ci In-hong tidak patah semangat. Sebab ada suatu segi lain yang lebih menguntungkan dia yakni Liu Tong-thian sudah terkenal sebagai pendekar pedang da ilmu pedangnya juga sudah lama diketahui olehnya, sebaliknya ilmu pedang Ci In-hong sama sekali belum dikenal oleh Liu Tong-thian.

Meski kedua pihak sama2 memandang pertandingan itu sebagai pertandingan persahabatan, tapi bila pertarungan sudah memuncak, sudah tentu keduanya sama2 tidak mau mengalah. Ilmu pedang Liu Tong-thian mengutamakan serangan dengan cepat. Begitu hebat serangan yang dilancarkan Liu Tong-thian sehingga tampaknya setiap saat Ci In-hong dapat ditembus oleh pedangnya. Hanya sekejap saja beberapa puluh jurus sudah berlangsung.

Anehnya ilmu pedang Ci In-hong ternyata jug atidak kurang hebatnya, hal ini benar2 diluar dugaan siapapun. Seringkali tampaknya Ci In-hong pasti sukar menghindarkan sesuatu serangan Liu Tong- thian, tapi entah cara bagaimana, pada saat terakhir selalau ia dapat mematahkan lawan sehingga Liu Tong-thian dipaksa dari menyerang berbalik menjadi terserang. Padahal banyak juga ahli pedang diantara para penonton, namun tiada seorangpun yang jelas gerak apa yang telah dilakukan oleh Ci In-hong.

Kalau para penonton ter-heran2, ternyat Liu Tong-thian juga tidak kurang terkejutnya. Dia terhitung seorang ahli pedang yang seba tahu, sebenarnya cukup beberapa jurus atau belasan jurus tentu asal usul ilmu pedang lawan akan datang diketahuinya. Tapi kini sudah berlangsung berpuluh jurus dan sedikitpun belum dapat meraba asal ilmu pedang lawan. Walaupun begitu Liu Tong-thian tidak menjadi gentar, betapapun ia tetap pada pihak yang lebih banyak menyerang daripada diserang.

Tanpa terasa ratusan jurus sudah lewat, lama2 Liu Tong-thian menjadi tidak sabar, ia keluarkan segenap kemahirannya sehingga setiap serangannya begitu hebat dan ganas. Diam2 Li Su-lam dan lain2 sama kuatir bagi Ci In-hong.

Saat itu jidat Ci In-hong memang tampak mulai berkeringat, Cuma dia masih tetap tenang. Yang satu menyerang dengan gencar, yang lain bertahan dengankuat. Terkadang bila serangan Liu Tong- thian sudah sedemikian lihainya, mendadak Ci In-hong melancarkan serangan balasan satu-dua kali dan keadaan berubah menjadi sama kuat lagi.

Akhirnya Liu Tong-thian melakukan serangan berbahaya, sinar pedangnya menyamber laksana kilat, satu jurus mengandung tujuh gerakan secara berantai. Sesaat itu suasana menjadi sunyi dan tegang, semua orang ikut ber-debar2. Se-konyong2 dua larik sinar perak melayang keudara, dua sosok bayangan juga cepat terpisah kepinggir, berbareng merekapun berseru; ‘Kiam-hoat hebat!” Selang sejenak baru terdengar pula suara “trang-trang”, yang nyaring, dua batang pedang jatuh bersama dan menancap kedalam bumi hampir sebatas gagang.

Berakhirnya pertandingan sengit itu secara demikian sudah tentu memikin senang dan lega hati para penonton. Serentak bersoraklah orang banyak. Tang Khay-san dan lain2 tertawa dan berseru: ‘Keduanya sama2 hebat dan sama2 kuat, sungguh membikin orang sangat kagum!”

Karena pedang kedua orang sama2 terlepas, maka pertandingan itu memang pantas dianggap seri. Maksud ucapan Tang Khay-san justru untuk menyatakan pendapat demikian. Tak terduga Tun-ih Ciu lantas menanggapi: ‘Ah, belum tentu, lihat saja sebentar lagi!”

Sementara itu Ci In-hong dan Liu Tong-thian telah sama2 mencabut kembali pedang masing2. Air muka Ci In-hong mendadak berubah, segera ia berseru: ‘Memang tidak salah ucapan Tun-ih Cecu, pertandingan ini aku mengaku kalah.”

Kiranya pada pedang masing2 terdapat cedera kecil, sedikit gumpil. Namun pedang Ci In-hong adalah pedang pusaka yang sangat tajam, sebaliknya senjata Liu Tong-thian Cuma pedang biasa saja. Sekarang kedua pedang sama2 gumpil, ini menandakan tenaga Liu Tong-thian lebih unggul setingkat.

“Ah, Ci-heng jangan merendah diri, dalam hal Kiam-hoat aku tidak dapat mengalahkan kau.” Kata Liu Tong-thian dengan sejujurnya.

Hasil pertandingan ini sungguh diluar dugaan siapapun juga, siapapun tidak mengira seorang Ci In- hong yang tak terkenal itu ternyata sanggup menandingi Liu Tong-thian yang tersohor itu dengan seri, apalagi sebelumnya Ci In-hong sudah bertanding satu babak melawan Cui Tin-san.

Dengan suara pelahan Bing-sia berkata kepada Su-lam, “kalau Ci In-hong sebelumnya tidak mengeluarkan tenaga bukan mustahil Liu tong-thian akan dikalahkan olehnya.”

“Jelas tenaga Liu Tong-thian lebih kuat, ilmu pedangnya jug atidak kalah bagusnya, kukira Ci In- hong sukar untuk mengalahkan dia,” ujar Su-lam.

Pada saat itu tiba2 Liu Tong-thian menantang pula, serunya sambil menatap Li Su-lam: “sebagaimana sudah kukatakan tadi, sekarang cayhe ingin belajar kenal ilmu pedang Li-kongcu pula!”

Rupanya Liu Tong-thian pernah dengar cerita dari To hong tentang asal usul Li Su-lam, katanya anak muda ini adalah murid kesayangan Kok Peng-yang, ahli waris Tat-mo-kiam-hoat dari Siau- lim-si, sebab itulah timbul rasa ingin menang pada diri Liu Tong-thian dan karena itu pula ia ingin coba2 sampai dimana ilmu pedang itu yang kini dicalonkan sebagai bengcu oleh pihak Leng-sia- san. Karena tantangan itu, mau tak mau Li Su-lam harus turun ketengah kalangan. Calon bengcu maju sendiri, sudah tentu pertandingan babak ini sangat menarik perhatian. Ilmu pedang Liu Tong-thian sudah disaksikan tadi, sebaliknya sampai dimana kehebatan ilmu pedang Li Su-lam belum diketahui orang banyak kecuali To hong dan Beng Bing-sia saja.

Sementara itu Li Su-lam sudah maju ke tengah sambil memegang pedangnya di depan dada, ia memberi salam kepada Liu Tong-thian dan mengucapkan “silahkan”, lalu pasang kuda2 dengan gaya biasa, sikapnya seenaknya saja.

Liu Tong-thian pikir anak muda ini harus diberi rasa lebih dulu. Segera iapun mengucapkan ‘maaf’ dan segera pedangnya menusuk secepat kilat kedada lawan.

Serangan ini tidak menurut cara umum, sebab biasanya pedang mengutamakan serangan dari samping, tapi sekarang baru jurus pertama Liu Tong-thian sudah lantas menyerang dari depan, ini jelas mengandung maksud menghina lawannya.

Kiranya Liu Tong-thian tidak sengaja menghina lawannya, tapi hal itu merupakan siasatnya saja. Dia Cuma sengaja memancing kemarahan Li Su-lam. Sebagai seorang ahli ilmu silat ia cukup tahu kunci kalah menang dalam suatu pertandingan, asal salah satu pihak timbul rasa tidak sabar dan naik darah, maka akibatnya pasti akan merugikan diri sendiri.

Namun Li Su-lam ternyata tenang2 saja, dia tetap berdiri tegak, ketika ujung pedang lawan sudah mendekati dadanya baru mendadak ia gerakkan pedangnya, dengan tipu ‘kim-peng-tian-ih’ (rajawali emas pentang sayap), pedangnya cepat menabas kesamping.

Gerak pedang Li Su-lam itu sangat cepat pada waktunya. Tergetar juga hati Liu Tong-thian. Cepat ia tarik pedang dan ganti gerakan. Untung diapun cepat, kalau tidak, sebelah lengannya sama seperti diangsurkan untuk dikutungi lawan.

“Bagus!” Su-lam memuji, menyusul iapun tarik kembali serangannya dan ganti gerakan,tapi tidak ter-gesa2 untuk menyerang pula.

Sekali pancingannya tidak berhasil, diam2 Liu Tong-thian juga agum terhadap Li Su-lam. Terutama ketenangan dan kesabaran Li Su-lam sungguh harus dipuji mengingat usianya masih begitu muda. Setelah gebrak tadi, kedua pihak sama2 tidak berani gegabah lagi. Pertarungan mereka lanjutkan dengan sama2 prihatin. Sesudah belasan jurus lagi, ternyata gerak serangan Li Su-lam masih tetap sabar saja, tiada sesuatu yang istimewa, padahal dari mula semua orang ingin tahu sampai dimana kehebatan ilmu pedangnya.

“mengapa tat-mo-kiam-hoat hanya begini saja?” kata Tang Khay-san kepada Bing-sia dengan suara tertahan.

“Memang beginilah tat-mo-kiam-hoat yang asli,” sahut Bing-sia dengan tertawa. “Malahan aku tidak menyangka Li Su-lam dapat memainkan ilmu pedangnya sebagus ini.”

“mengapa aku tidak melihat letak kehebatannya?” ujar Tang Khay-san dengan sangsi. “Coba bandingkan, ilmu pedang Liu Tong-thian begitu cepat dan lincah, sebaliknya gerak gerik Li Su-lam lamban dan berat tampaknya.”

“menurut ayahku, ilmu pedang harus mengalahkan kegesitan lawan dengan kesabaran, harus menggunakan akal. Kalau melihat tingkat yang telah dicapai oleh Li Su-lam sedikitnya ilmu pedangnya sudah berlatih 20 tahun, padahal usianya baru likuran saja, makanya aku bilang tidak menyangka ilmu pedangnya bisa begini bagus,’ kata Bing-sia “Tapi silahkan ikuti saja kelanjutannya.”

Sudah tentu Tang Khay-san kurang percaya, tapi sesudah sekian lamanya lagi, mau tak mau ia harus percaya juga. Dilihatnya Li Su-lam mulai putar pedangnya secara wajar, sedikitpun tidak pakai variasi atau kembangan. Namun betapapun juga Liu Tong-thian melancarkan serangan aneh dan lihai,setiap kali selalu kena ditangkis oleh Li Su-lam.

Siam2 Liu Tong-thian terkejut juga, ia pikir kalau sampai lama tak bisa membobol pertahanan lawan, akhirnya diri sendiri yang pasti akan ri=ugi. Segera ia ambil keputusan akan lekas menyelesaikan itu dengan serangan kilat. Serentak 72 gerakan Lian-goan-toat-beng-kiam-hoat dilancarkan secara membadai, sinar pedang gemilapan sehingga membikin silau para penonton. Tampaknya saja Liu Tong-thian yang memegang kunci serangan, tapi dalam pandangan kaum ahli, terlihat Li Su-lam sudah berada dipihak yang unggul. Maksud Liu Tong-thian melancarkan serangan kilat adalah ingin memaksa Li Su-lam mengikuti gerak cepatnya sehingga akan kelihatan lubang kelemahannya. Tak terduga Li Su-lam tetap menghadapi dengan tenang dan sabar,serangan demi serangan Liu Tong-thian telah dipunahkan. Jadi sama sekali Liu Tong-thian tidak dapat menemukan titik kelemahan Li Su-lam. Sebaliknya ia menjadi banyak keluarkan tenaga percuma dan mulai tampak payah.

Begitu makin lama makin cepat serangan Liu Tong-thian, sebaliknya makin lama makin lambat pula gerakan Li Su-lam, ujung pedangnya seperti diganduli benda berat gerak geriknya sangat lamban. Tapi sungguh aneh, berbalik Liu Tong-thian yang sudah mandi keringat, airmukanya tampak masam. Sebaliknya Li Su-lam masih seenaknya saja tanpa kelihatan gugup sedikitpun. Sampai disini barulah Bing-sia benar2 merasa yakin dan lega, katanya kepada Tang Khay-san dengan suara tertahan: “Liu Tong-thian terburu2 ingin menang, tapi jadinya malahan akan membuat kalah lebih cepat.”

Benar juga, segera terlihat Liu Tong-thian melompat keatas, ia mengeluarkan jurus serangan berbahaya dari kanan kiri. Tampaknya Li Su-lam sudah terkurung dibawah sinar pedangnya dan segera tubuhnya akan tertembus pedang lawan.

Ditengah jerit kuatir orang banyak terlihat Li Su-lam sedikit mendak kebawah, menyusul terus melompay kesamping, tahu2 kopiahnya telah jatuh ketanah. Keruan orang2 pihak Tun-ih Ciu kegirangan dan bersorak gemuruh: ‘Menanglah Liu-thocu akhirnya!”

Tapi ditengah pekik seru aneh orang2 itu terselip pula terial nyaring seorang: ‘Ah,akhirnya Li- kongcu yang menang!” ~ Kiranya suaranya Beng Bing-sia adanya.

Mendengar ucapan bing-sia itu barulah Liu Tong-thian sempat memeriksa keadaan sendiri, ternyata memang betul apa yang dikatakan itu. Sektika wajahnya menjadi merah.

Kiranya baju di bagian dadanya jelas ada tiga lubang sebesar mata uang. Tak perlu ditanyakan lagi tentu lubang itu adalah hasil kerja Li Su-lam.

Dengan tersenyum kemudian Li Su-lam berkata dengan tersenyum: ‘siaute kurang hati2 sehingga membikin rusak baju Liu-siansing, harap sudi memaafkan.” ~ waktu ia membuka sebelah tangannya,terlihat tiga cuil robekan kain bulat kecil.Walaupun Liu Tong-thian juga berhasil emnjatuhkan topi Li Su-lam, tapi hal demikian lebih mudah daripada melubangi baju lawan di bagian dada,bahkan lubang2 itu tiga buah dan sama besarnya.

Selain itu Li Su-lam telah berhasil menghindarkan dari serangan Liu Tong-thian tadi, meski kurang sempurna cara mengelaknya, tapi lawan juga Cuma mampu mengenai kopiahnya saja dan tiak dapat melukai badannya. Sebaliknya tusukan Li Su-lam itu boleh dikata berlainan sama sekali, hakekatnya Liu Tong-thian tidak tahu bajunya berlubang, jadi kalau Li Su-lam mau mencelakai dia, cukup tusukannya disorong lebih maju tentu dadanya sudah berlubang tiga. Sebab itulah kalau dinilai, bukan saja Liu Tong-thian sudah kalah satu jurus, bahkan jiwanya sebenarnya telah diampuni oleh Li Su-lam.

Liu Tong-thian menjadi malu dan berterima kasih, dengan menghela napas ia berkata: “Benar2 diatas langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai. Li-heng, ilmu pedangmu jauh lebih tinggi dariku, pertandingan ini siaute terima mengaku kalah.”

Lalu ia simpan kembali pedangnya dan mendekati Cui Tin-san, katanya dengan tersenyum getir: “Cui-heng, kaupun sudah balas kebaikan Tun-ih cecu, marilah kita berangkat saja,” lalu ia berpaling dan berkata pada Tun-ih Ciu: “Tun-ih cecu, kami berdua sama2 maju dua babak bagimu, untung tidak sampai rugi. Maka kami ingin mohon diri saja sekarang.”

Sebagaimana diketahui dalam pertandingan2 tadi Cui Tin-san telah mengalahan Tang Khay-san dan kalah terhadap Ci In-gong, sedang Liu Tong-thian mengalahkan Ci In-hong dan dikalahkan oleh Li Su-lam. Jadi menang satu kalah satu, makanya mereka menyatakan tidak sampai bikin rugi kepada Tun-ih Ciu.

Rupanya Tun-ih Ciu juga tahu kedua orang itu tak mungkin berjuang mati2an baginya, setelah basa basi sekadarnya, iapun tidak menahan lebih jauh. Bersama Ciu Tin-hay yang patah tulang itu, segera Cui Tin-san bertiga berangkat pergi.

Setelah mengalahkan Liu Tong-thian, be-ramai2 para ksatria lantas mengucapkan selamat kepda Li Su-lam. Namun bagi Li Su-lam sendiri kemenangannya tadi sebenarnya diperoleh dengn cukup tegang, makanya juga tidak memuaskan baginya.Melihat suasana senang pihak lawan, Tun-ih Ciu menjengek: “Hm, belum apa2 sudah mengadakan perayaan kemenangan, apakah tidak ter-buru2 sedikit?” ~ Segera ia bermaksud maju sendiri untuk menantang Li Su-lam, tapi To Liong ternyat sudah mendahului maju.

Akan tetapi To Liong tidak menantang Li Su-lam, yang ditantang adalah Beng Bing-sia. Menurut perhitungan To Liong, betapapun dirinya harus bertanding satu babak, bukan melawan

Beng Bing-sia tentu juga melawan Li Su-lam. Tapi secara diam2 ia telah minta pendapat Tun-ih Ciu atas ilmu pedang Beng Bing-sia, maka dia yakin sekalipun sukar mengalahkan nona itu, rasanya dirinya juga sukar dikalahkan. Maka ia pikir daripada menantang Li Su-lam ada lebih menguntungkan menantang Beng Bing-sia saja.

Melihat To Liong tampil kemuka, seketika Li Su-lam naik darah dan segera melangkah maju. “Li-kongcu,” kata To Liong dengan tertawa, “kau baru saja bertanding, lebih baik mengaso dulu saja sebentar. Nona Beng, kau sudah istirahat, biarlah aku minta pelajaran padamu saja.” “Baik,” sambut Bing-sia sambil maju ketengah kalangan.

Tapi sebelum dia minta Su-lam mundur, tiba2 Su-lam malah mencegahnya dan berkata: ‘Menurut peraturan bertanding aku masih boleh bertanding satu babak lagi. Nah To Liong, bila kau mampu mengalahkan aku barulah nanti minta pelajaran kepada Nona Beng. Sudah tentu lain soalnya bila kau jeri terhadapku.”

Biasanya Li Su-lam sangat sopan dan ramah tamah tutur katanya, tapi sekarang dia sampai bicara dengan kasar terhadap To Liong, hal inisangat mengherankan para ksatria yang tidak mengetahui adanya perselisihan mereka.

Bing-sia sendiri menyangka Nyo Wan sudah meninggal dantidak mengetahui peristiwa To Liong mendustai dan menipu Nyo Wan. Maka iapun ter-heran2 dan ragu2 mengapa Li Su-lam begitu marah dan sedemikian bencinya terhadap To Liong.

“Baiklah, babak ini kuberikan padamu pula, Cuma ……. Cuma hendaknya kau jangan membinasakan dia mengingat adiknya ,nona Hong,” kata Bing-sia kemudian dengan suara tertahan. Li su-lam hanya mendengus pelahan saja tanpa menjawab karen asaat itu pikirannya menjadi kacau, walaupun ucapan Bing-sia itu pelahan, tapi cukup jelas didengar oleh To Liong.

Dalam keadaan demikian , sekalipun To Liong merasa jeri kepada Su-lam, mau tak mau ucapan Bing-sia itu menimbulkan rasa marahnya juga. Segera iapun beteriak: ‘Baiklah Li Su-lam, jika kau mampu bolehlah ambil jiwaku ini!”

“Kenapa ribut!” sela Tun-ih Ciu seperti tidak sabar.

“kalau mau berhantam mati2an boleh dimulai, mengapa naik pitam segala?” ~ Ucapannya seperti memarahi To Liong, tapi sebenarnya mengingatkan sesuatu kepada To Liong.

Seketika To Liong tersadar, pikirnya: ‘Memang betul, menghadapi musuh tangguh se kali2 tidak boleh naik darah. Orang she Li ini barusan sudah bertanding dan tentu banyak buang tenaga,sekarang dia marah2 padaku, hal ini kbetulan malah bagiku. Maka aku harus menghadapi dia dengan sabar.”

Karena itu To Liong sengaja melirik hina kepada Li Su-lam dan berkata: ‘baiklah, mengingat tadi kau bertanding, biarlah aku memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang lebih dulu.”

‘tidak perlu kau memberi kesempatan segala!” sahut Beng Bing-sia dengan gusar.

Belum lenyap suaranya,se-konyong2 pedang To Liong sudah menyambar tiba, berbareng itupun To Liong berseru: ‘Baik, akupun tidak perlu sungkan2 lagi kalau begitu!”

Melihat kelicikan To Liong itu, padahal saat itu Beng Bing-sia bahkan belum sempat melolos senjatanya. Keruan banyak diantara ksatria itu sma mencemoohkan To Liong dengan gusar. Maka terdengarlah suara ‘trang’, sambil menggeser kesamping, berbareng Beng Bing-sia melolos pedang dan menangkis serangan lawan. Beberapa gerakan itu dilakukan sekaligus dengan cepat

sekali. Kalau semula para penonton sama mencaci atas kelicikan To Liong itu, sebaliknya sekarang mereka bersorak bagi Beng Bing-sia.

Namun kepandaian To Liong tidak lemah juga, menyusul kembali ia melancarkan serangan berantai tiga kali secara ganas.

Beng Bing-sia menjadi murka, kalau kau ingin mengadu jiwa, terpaksa aku tidak perduli lagi. Begitulah kedua pihak sama2 timbul hasrat membinasakan lawan, tipu serangan masing2 semakin lama semakin lihai.

Dahulu Beng Bing-sia sudah pernah bergebrak dengan To Liong dan yakin akan cukup mampu untuk mengalahkannya, sebab itulah dia menjadi rada memandang enteng lawannya itu. Tak terduga meski pbelasan jurus sudah lalu, sedikitpun Beng Bing-sia tidak lebih unggul, berbalik beberapa kali ia harus menghadapi serangan maut lawan.

Harus diketahui bahwa ayah To Liong , yaitu To Pek-seng adalah seorang tokoh persilatan dengan bakat yang tinggi, boleh dikata serba bisa menggunakan macam2 senjata. Meski To Liong belum memperoleh seluruh kemahiran sang ayah, namun sedikitnya juga telah mendapatkan beberapa bagian kepandaian orang tua, lebih2 ilmu silat ciptaan To Pek-seng sendiri yang terkenal ganas sudah tentu telah dilatihnya dengan baik, sebab itulah kalau cuma ilmu pedang saja kepandaian To Liong boleh dikata tidak dibawah Liu Tong-thian. Namun begitu Li Su-lam masih dapat mengalahkan dia. Soalnya Su-lam sudah dibikin marah dulu oleh To Liong, padahal pertandingan antara jago silat paling pantang naikdarah. Apalagi semula iapun rada pandang enteng lawannya, karena itu begitu mulai bergerak ia menjadi pihak yang tercecer malah.

Syukurlah Li Su-lam memang seorang ahli silat tunas muda yang hebat, sesudah menghadapi serangan maut beberapa kali, segera ia sadar akan kekeliruannya. Cepat ia tenangkan pikiran dan ganti siasat bertempur. Dibawah serangan To Liong yang gencar itu ia main mundur beberapa kali, dengan demikian setiap serangan To Liong dapat dipatahkan dan segera dapat menyerang pula.

Diam2 To Liong terkesiap melihat lawan yang tenang dan ccekatan itu, lamban laun ia sendiri berbalik dipihak terserang dan hany amampu menangkis saja. Sedankan Li Su-lam tidak memberi kesempatan lagi kepada To liong untuk balas menyerang. Sinar pedangnya ber-gulung2, dalam sekejap saj aseluruh tubuh To Liong sudah terbungkus ditengah sinar pedangnya.

To Liong mengeluh dan menyadari bila keadaan demikian berlangsung terus, akhirnya dirinya akan mati konyol dibawah lawan. Mendadak ia mendapat akal, dengan mengerut kening ia menjengek: ‘Hm, sekalipun kau bunuh diriku, juga nona Nyo belum tentu mau menikah dengan kau!”

“kau mengoceh apa?” dmaprat Li Su-lam dengan gusar.

“Hm, dia sudah datang lebih dulu, bukankah kau bersekongkol dengan adik perempuanku dan telah mengurungnya secara diam2,” kata To Liong. “Hendaklah mengetahui Li Su-lam, nona Nyo sudah menjadi istriku,jangan kau coba menggangunya atau kau harus tebus dosamu jika terjadi apa2 atas diri istriku tercinta itu.”

Sambil berkata pedang To Liong tidak menjadi kendor dan terdengar suara mendesing beradunya kedua pedang, karena iu suara bicaranya menjadi tidak terdengar oleh orang lain, hanya tampak bibirnya bergerak, tapi tak jelas apa yang dikatakan, sebaliknya sikap Li Su-lam tambah lama tambah gusar.

Li Su-lam tidak ingin mengungkat namanya Nyo Wan, hanya dengan gemas ia menjawab: “biar apapun yang kau ocehkan, yang pasti hari ini takkan kuampuni jiwamu!”

Biar begitu katanya, namun pikirannya menjadi kacau juga oleh godaan ucapan To Liong tadi. Ia ragu2 apakah benar Nyo wan telah datang juga. Lalu bagaimana pikirannya jika Nyo Wan menyaksikan pertarungan nya melawan suaminya sekarang ini?

Bagi To lionh sendiri memang dia menyanskan Nyo Wan sudah berada di Long-sia-san, tujuannya pulang kesini juga karena ingin menemukan NyoWan. Kini melihat sikap Li Su-lam itu , tahulah dia bahwa Su-lam belum lagi berjumpa dengan Nyo Wan, maka legalah hatinya.

Karena kusutnya pikiran, serangan2 Li Su-lam menjadi rada kacau pula, kesempatam ini segera digunakan oleh To Liong untuk membalas menyerang. “Bret”, tiba2 ujung pedangnya telah merobekkan lengan baju Li Su-lam.

Sekalipun serangan ini tidak sampai melukai Li Su-lam, tapi sudah terhitung menang satu jurus bagi To Liong. Serentak orang2 dipihak Tun-ih Ciu sama bersorak memberi semangat kepada To Liong. Namun sorak puji lawan itu berbalik membuat pikiran Su-lam menjadi tenang kembali pikirannya: “Aku takkan membunuh dia, tapi takkan pula kubiarkan diamembunuh diriku.”

Setelah tenangkan pikiran, segera pedangnya berputar kencang, ia melancarkan serangan hebat pula sehingga keadaan terserang diputar balik lagi. Seketika orang2 yang bersorak memuji To Liong tadi menjadi bungkam.”Sudah waktunya sekarang!” pikir Li Su-lam. Segera ia menyerang lebih gencar secara membadai. Jangankan tak mampu balas menyerang, bahkan untuk menagkispun To Liong sudah mulai repot.

Dengan penuh perhatian To hong mengikuti pertarungan sengit itu dengan hati yang ber-debar2. Sudah tentu ia berharap kemenangan diperoleh Li Su-lam, akan tetapi ia hanya mempunyai seorang kakak, sekalipun tingkah laku sang kakak tidak baik, namun rasa kasih antara kakak beradk sedikit banyak tentuny ada pula. Kini To Liong telah terkurung ditengah sinar pedang Li Su-lam, serangan Su-lam juga tambah ganas, tampaknya setiap saat jiwa To Liong bisa melayang. Diam2 To Hong menjadi kuatir, bagi dirinya tidak menjadi soal andaikan jiwa sang kakak akhirnya melayang, yang pasti tidak tahan pukulan peristiwa demikian adalah ibunya.

Belum habis pikir, tiba2 seorang pelayan kecil mendekati To hong dan membisiki sesuatu kepada To Hong. Kiranya sejak ayahnya meninggal, ibu To Hong terus jatuh sakit, sebab itulah dia tidak keluar sendiri dan hanya suruh pelayan memberitahu kepada To Hong agar jangan bertengkar dengan kakak sendiri dan To Liong disuruh masuk menemui sang ibu. Ibunya kuatir terjadi perkelahian antara kakak beradik itu, tak tahunya kini yang sedang bertempur dengan To Liong adalah orang luar.

To Hong menjadi tambah tidak tenteram memikirkan pesan ibunya itu. Persoalan hari ini tidak melulu urusan keluarga saja,tapi adalah pertarungan antara Cing-pau dan Sia-pay, perebutan bengcu antara dua golongan , kalau dirinya lebih mementingkan urusan pribadi tentu akan ditertawai oleh para ksatria.

Di sebelah sana Li Su-lam juga sudah mengetahui datangnya pelayan cilik yang telah membisiki To Hong, iapun dapat menduga apa artinya itu. Saat itu To Liong sudah terancam dibawah lingkaran sinar pedangnya. Seketika pikirannya bergolak, kelakuan lawannya terkenal jahat, telah merampas pula bakal istrinya, apakah orang demikian harus dibunuh atau diampuni? Tapi ia menjadi ragu2 pula, kalau dibunuh, itu berarti hidup Nyo Wan juga akan menjadi korban. Dan mungkin nona Beng dan nona To juga takkan memaafkan diriku, demikian pikirnya.

Karena itu, akhirnya Su-lam tidak tega membunuh To Liong, mendadak ia membentak: “Enyahlah!” ~ berbareng pedangnya menyampuk kebawah, ‘trang’, pedang To Liong dihantam jatuh, menyusul sebelah kakinya lantas melayang, To Liong ditendang hingga terguling.

Tak terduga, kalau Su-lam mau mengampuni To Liong, sebaliknya To Liong ternyata tidak mau tahu. Setelah terguling, segera iapun menyiapkan Tok-liong-piau, sebelum dia berbangkit, tiga buah Tok-liong-piau sekalgus lantas disambitkan.

Pertandingan sudah berakhir dengan jelas siapa yang menang dan siapa yang kalah, bahkan Li Su- lam sengaja mengampuni jiwa To Liong, siapapun tidak menyangka mendadak To Liong bisa lakukan perbuatan keji itu, membalas air susu dengan air tuba.

Keruan To Hong dan Bing-sia terkejut, berbareng mereka memburu maju. ToHong bermaksud mengatasi kakaknya, sedang Bing-sia ingin melindungi Su-lam dari hujan Tok-liong-piau. Namun sudah terlambat. Tiga buah Kim-ci-piau (senjata rahasia mata uang) yang disambitkan Bing-sia ternyata meleset membentur Tok-liong-piau, sebaliknya ketia buah Tok-liong-piau secepat kilat telah menyamber tiba dan tampaknya akan menancap semua ditubuh Su-lam.

Pada saat berbahaya itu, se-konyong2 Su-lam melompat keatas terus berjumpalitan satu kali. Terdengar suara “cring”, sebuah Tok-liong-piau telah jatuh ditanah, menyusul “cring” pula satu kali, Tok-liong-piau kedua tahu2 menyamber balik ke arah To Liong, sedangkan Tok-liong-piau ketiga telah menyamber lewat disisi pundak Li Su-lam dan menancap batang pohon di belakangnya. Kiranya dalam sekejap itu Li Su-lam telah menggunaan tiga gerakan yang indah untuk menghindari ketiga buah Tok-liong-piau yang menyamber dari atas tengah bawah. Lebih dulu ia depak jatuh

Tok-liong-piau bagian bawah, ketika meloncat keatas pedangya menghantam kuat Tok-liong-piau bagian tengah sehingga mencelat balik kesana. Tok-liong-piau ketiga menyamber lewat tubuhnya karena dia sempat berjumpalitan diatas. Mula2 para penonton menjerit kuatir, segera mereka bersorak memuji ketangkasan Su-lam.

Namun ditengah tampik sorak ramai itu, tiba2 terdengar To Liong menjerit ngeri. Kiranya telah terjadi senjata makan tuannya, Tok-liong-piau yang disampuk balik oleh Li Su-lam telah menancap di bahunya.

Jeritan To Liong itu benar2 ngeri dan menggetar sukma. Sebab semua orang tahu racun Tok-liong- piau itu sangat lihai, begitu masuk darah segera korban akan mampus. To Liong harus terima akibat perbuatannya sendiri, semua orang sama merasa senang, tapi juga saling pandang dengan terkesiap. Seketika suasana menjadi sunyi senyap, semua orang sama menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Meski To Liong juga membekal obat pemunah racun, tapi begitu kena Tok-liong-piau, dalam sekejap saja badannya lantas kaku dan gatal, tenaga sedikitpun tak ada, mana sanggup dia merogoh obat pemunah didalam kantong.

“Kau …… kau …….. bukan …….. bukan manusia, kau ” demikian sebenarnya To Hong

hendak mendamprat habis2an sang kakak, tapi demi melihat keadaan To Liong itu, ia tidak tega menyaksikan to Liong mati konyol oleh Tok-liong-piau sendiri. Maka ia urung memaki lebih lanjut dan cepat memburu maju mendekati sang kakak, ia menotok tiga tempat Hiat-to disekeliling luka agar racun Tok-liong-piau tidak merembes dan menyerah jantungnya. Habis itu ia lantas mengeluarkan obat pemunah dari saku kakaknya serta diminumkan padanya, kemudian Tok-liong- piau dicabut dan dibubuhi obat pula tempat luka itu. To Hong cukup paham cara mengobati luka piau beracun itu, maka jiwa To Liong dapatlah diselamatkan.

“Aku tidak sengaja, tapi terpaksa melukainya,” ujar Su-lam dengan menyesal. “Aku tahu, bukan salahmu,” sahut To Hong.

Mendadak To Liong bangkit berduduk dan menjengek dengan melotot: “Hm, kalian tidak perlu main sandiwara di hadapanku!”

Sedih an gemas pula To Hong, katanya: “Koko, sudah begini kau masih tidak insaf akan dosamu?” Akan tetapi To Liong malah mendelik, jelas rasa benci dan dendamnya kepada Li Su-lam tidak menjadi berkurang, Cuma dia sudah lemas sehingga tak bicara lagi. Ia menggape pelayan kecil tadi dan berseru dengan lemah: “Jun-lan, kem kemari sini, papak aku ke dalam!”

“kau mau apa?” tanya To Hong tercengang.

“Rumahku sendiri masakah aku tidak boleh masuk?” jengek To Liong sekuat tenaga.

Setelah makan obat pemunah racun, memang To Liong perlu dirawat lagi dan perlu suatu tempat istirahat yang baik. To Hong tidak sampai hati, katanya kepada pelayan kecil tadi: “Jun-lan, bawalah dia keruang belakang, sementara jangan beritahukan ibu, nanti aku akan mengurusnya sendiri.”

Begitulah setelah terjadi kegaduhan sebentar, ketika To Hong kembali ketempatnya tadi, Li Su-lam dang Bing-sia juga akan mundur kepinggir, ternyata jago utama lawan yaitu Tun-ih Ciu sendir sudah maju ketengah kalangan.

“Hm, bertanding silat sudah tentu sukar terhindar akan mati atau terluka, kenapa kalian mesti ribut2?” jengek Tun-ih Ciu. “Nah, sekarang paling perlu urusan pokok harus diselesaikan. Siapa yang akan maju untuk coba2 dengan diriku?”

Kalau bicara kepandaian berkelahi satu lwan satu maka dipihak To Hong rasanya tiada seorangpun yang mampu menandingi Tun-ih Ciu. Diam2 To Hong membatin: “Kalau ayah masih hidup, tidak sampai seratus jurus tentu dapat mengalahkan dia. Tapi sekarang siapa yang dapat diajukan untuk menandingi dia?”

Para ksatria menjadi kuncup dan bungkam. Tak terduga mendadak Li Su-lam kembali masuk kalangan dan berseru: “Tun-ih cecu, biar aku terima tantanganmu!” Apa kau sanggup? Kau sudah bertarung dua babak tadi,” koar Tun-ih Ciu tak acuh.

“Benar,” jawab Su-lam. “Tapi aku, aku rela melepaskan istirahat dulu, kan boleh toh?” Tun-ih Ciu hanya mendengus saja dan tidak menyatakan pendapatnya lagi. Sebaliknya para ksatria lantas berteriak: “Tidak adil kalau begitu! Tidak adil.”

Sebenarnya majunya Li Su-lam itu tentu saja kebetulan bagi Tun-ih Ciu. Tapi demi mendengar teriakan orang banyak itu, untuk menjaga kehormatan diri sendiri, terpaksa sengaja bersikap tidak sudi, ia mengerut kening dan berkata: “Biarpun kau maju dengan sukarela, tapi aku tak sudi menarik keuntungan darimu.”

“Baiklah, biar aku saja yang minta pelajaran kepada Tun-ih cecu,” tiba2 Bing-sia menyela. Bicara tentang angkatan, jelas Bing-sia lebih muda satu tingkat,selain itu Bing-sia tadi juga sudah bertanding satu babak. Bila Tun-ih cecu menolak bertanding denganLi Su-lam dengan sendirinya iapun tidak lantas menerima tantangan Bing-sia. Tapi baik Su-lam maupun Bing-sia tidak mau mengundurkan diri, sama2 ingin menempur Tun-ih Ciu.

Tiba2 hati Tun-ih Ciu tergerak, katanya kemudian: ‘Baiklah, kalian boleh maju saj aberdua. Dengan demikian menjadi adil bukan?”

Menurut perhitungannya, Li Su-lam sudah bertempur sengit dua babak, tenaganya tentu sudah lemah, ilmu peangny ayang hebat itupun dapat dipatahkannya, sedangkan Bing-sia lebih12 tak dipandang sebelah mata olehnya.

Usukl Tun-ih Ciu itu sebenarnya tak diterima oleh Li Su-lam, tapi Bing-sia sudah lantas berkata: “Baik, engkau adalah angkatan tua, kalau kami berdua melawan kau sendirian belum terhitung menarik keuntungan darimu. Baiklah kami terima tantanganmu!”

Karena Bing-sia sudah setuju, terpaksa Su-lam menuruti. Mereka berdua lantas berdiri berjajar, pedang masing2 sudah dilolos. “Tun-ih cecu, silahkan keluarkan senjatamu!” kata Su-lam. “Hahahaha!” tiba2 Tun-ih Ciu bergelak tertawa. “To Pek-seng sudah mati, bagiku kedua gaetan yang selamanya mendampingi aku menjadi tidak berguna lagi. Maka kedatanganku hari ini tidak membawa apa2?”

Dibalik kata2nya itu hendak artikan kalau To Pek-seng belum mati, maka senjatanya masih dapat digunakan untuk melawan teman tua itu. Tapi sekarang dia tidak perlu ;agi menggunakan senjata untuk melayani kaum muda.

“Baik, jika kau hendak melayani kami dengan bertangan kosong jug aboleh!” sahut Bing-sia. Karena soalnya mengenai perebutan kedudukan bengcu bagi Li Su-lam, maka Bing-sia pikir takkan kehilangan gengsi melawan orang bertangan kosong dengan senjata mengingat su-lam dan dirinya adalah kaum muda.

Tak terduga Tun-ih Ciu lantas menjawab dengan tertawa: ‘Sebenarnya bertangan kosong jug aboleh, Cuma tampaknya aku menjadi kurang hormat terhadap ayahmu. Begini saja, aku akan sembarangan menggunakan sesuatu benda sebagai senjata.”

“Ciok-seheng, harap suruh mengeluarkan ke-18 macam senjata agar Tun-ih Cecu memilih sendiri senjata yang akan dipakai,” ujar To Hong.

“Tidak perlu,’ kata Tun-ih Ciu. “Seorang pemain silat, setiap benda yang dipegangnya adalah senjata.”

“Baiklah, nah peganglah benda yang kau hendak pegang, tidak perlu omong kosong!” Tang Khay- san menjengek dengan aseran.

Tun-ih Ciu tertawa, katanya: “Nona To, aku ingin pinjam sebentar genta besar markasmu ini!” Di tengah ruang latihan silat itu tergantung sebuah genta tembaga besr, bila ada urusan penting, genta itu dibunyikan sebagai tanda berkumpul.

Setelah bicara tadi, tanpa menunggu jawaban To Hong segera Tun-ih Ciu ayun tangannya dan mendadak genta raksasa itu jatuh kebawah, keruan orang2 yang berada didekat situ sama menyingkir ketakutan.

Kiranya dengan sebuah mata uang Tun-ih Ciu menyambit dan memutuskan tali penggantung genta. Berbareng Tun-ih Ciu terus menubruk maju, kedua tangannya menjulur dan genta itu kenapa dipegang olehnya.

Padahal mata uang yang disambitkan itu bukan senjata rahasia “Kim-ci-piau” yang tepinya diasah hingga tajam, tapi toh dapat memotong putus tali yang cukup besar itu. Tenaga dalam ini saja sudah cukup mengejutkan. Apalagi genta itu beratnya ada beberapa ratus kati, ketika jatuh kebawah, untuk menangkapnya sedikitnya orang harus punya kekuatn beribu kati. Dalam sekejap saja Tun-ih Ciu sudah memperlihatkan dua macam kepandaian yang mengejutkan itu, sekalipun orang tidak suka kepada pribadinya, mau tak mau banyak juga yang bersorak memuji.

Nah, dengan benda berat inilah aku akan main2 dengan kalian,” kata Tun-ih Ciu kemudian. “hayolah mulai! Li-kongcu, asalkan kalian dapat mengalahkan aku, maka jabatan bengcu ini boleh kau duduki.”

Sudah tentu Li Su-lam tidak manda diejek, tapi menghadapi musuh tangguh iapun tidak berani gegabah, segera ia pasang kuda2 dan membuka serangan. Ia pikir genta besar ini sukar ditembus dari depan, sebaikny amenyerang dari samping. Segera pedang berputar kebawah dan ujung pedang menusuk “Hong-ji-hiat” di dengkul Tun-ih Ciu. Beng bing-sia juga punya pikiran sama, segera ia bekerja sama dengan Su-lam, secepat kilat pedangnya menusuk “Ih-gi-hiat” di pinggang lawan.

Tak terduga Tun-ih Ciu ternyata sangat tangkas, biarpun memegangi genta yang berat toh gerak geriknya tetap sangat gesit. Sambil pegang genta ia terus berputar, maka terdengarlah suara “trang- trang” dua kali, serangan dari kedua sayap telah kena ditangkis semua. Li Su-lam tidak merasa apa2, tapi genggaman tangan Bing-sia sudah terasa kesemutan, hampir2 pedang terlepas dari cekalan.

Menyusul itu dengan cepat luar biasa Tun-ih Ciu lantas mendorong gentanya ke arah Li Su-lam, cepat Su-lam berkelit, dengan ilmu pedangnya yang lincah ia menghadapi lawan yang bertenaga besar itu.

Serangan2 cepat terjadi pula, terdengar serentetan suara nyaring tersntuhnya genta oleh ujung pedang, ternyata semua serangan Su-lam dan Bing-sia kena dihalau oleh genta besar.

Melihat serangan2 selalu gagal, segera Su-lam dan Bing-sia ganti tipu serangannya, seringkali menyerang sungguhpun kadang2 hanya pancingan belaka, mereka tidak membentur genta lawan lagi, tapi mencari lubang kelemahan musuh.

Meski tenaga Tun-ih Ciu sangat besar, tapi genta yang digunakannya itu betapapun terlalu besar sehingga kurang leluasa dimainkan sebagai senjata sebangsa pedang atau golok. Karena itu dia memang dapat berjaga dengan rapat tapi untuk balas menyerang menjadi kurang bebas.

Pertandingan ini benar2 lain daripada yang lain. Di tengah pertarungan sengit itu tiba2 Tun-ih Ciu menolak gentanya ke tubuh Bing-sia, namun ginkang sinona ternyata hebat sekali biarpun tenaga lemah, terdengar suara angin mendesir, Bing-sia melompat keatas, kakinya menutul bagian atas genta, tubuhnya terus melayang lewat diatas kepala Tun-ih Ciu laksana burung terbang.

Sebelum Bing-sia mencapkan kaki kebawah, ujung pedang sudah lantas menusuk “Tay-cu-hiat” di punggung mush. Saat itu Tun-ih Ciu sedang menahan tusukan pedang Li Su-lam dari depan, tapi mendadak sebelah tangannya meraup kebelakang, dengan ilmu tangan kosong merebut senjata ia hendak merampas pedang Bing-sia, begitu cepat dan tepat se-akan2 di punggungnya jug atumbuh mata. Namun Bing-sia juga cukup gesit, tusukan pedanga meleset segera ia menghindar kesamping

,lalu melancarkan serangan pula.

Karena sebelah tangan Tun-ih Ciu terpaksa harus dipisahkan untuk melayani serangan Bing-sia dari arah belakang, dengan sendirinya kekuatan gentanya banyak berkurang. Sebaliknya dengan menyerang dari muka dan belakang, posisi pertarungan itu seketika berubah, belasan jurus kemudian Tun-ih Ciu sudah repot melayani, beberapa kali hampir2 ia termakan oleh pedang li Su- lam.

Diam2 Tun-ih Ciu mengeluh: ‘Mereka bertempur dengan cara main putar, sedangkan genta yang kupakai ini cukup berat, lama kelamaan bila sedikit lengah saja tentu akan memberi kesempatan pada mereka untuk menyerang.

Karena pikiran demikian, segera ia ganti cara bertempur. Waktu itu Li Su-lam masih coba2 menyerang dari depan. Se-konyong2 Tun-ih Ciu menggertak, genta teru sdilemparkan ke depan, mulut genta yang menganga itu terus memangkup keatas kepala Li Su-lam.

Su-lam terkejut, untung dia keburu melompat minggir pada detik terakhir. Dalam pada itu Bing-sia juga telah menusuk punggung Tun-ih Ciu. Namun Tun-ih Ciu sudah keburu melompat kedepan, gentanya didorong pula sebelum genta itu jatuh ke tanah, seketika genta itu berganti arah dan menyamber ke jurusan Bing-sia.

Dengan ginkang yang tinggi Bing-sia meloncat keatas sehingga genta itu melayang lewat bawah kakinya, namun ujung pedangnya tidak urung menggeser genta itu sehingga tangannya tergetar sakit, waktu turun kembali kebawah langkahnya juga rada sempoyongan.

Sementara itu dengan cepat luar biasa Tun-ih Ciu telah memukul gentanya dengan kepalan sehingga genta itu kembali menyamber ke arah Li Su-lam. Dan baru saja Li Su-lam sempat meloncat untuk menghindar, tahu2 Tun-ih Ciu memburu maju lagi, genta digosok pelahan terus ditolak lagi kedepan, untuk kedua kalinya genta itu melayang kearah Bing-sia. Waktu itu Bing-sia baru saja berdir tegak, napas masih memburu dan tahu2 genta sudah menyamber tiba pula, terpaksa ia harus menghindar lagi. Tapi tenaganya sudah lemah, lompatannya kurang jauh, sedangkan genta musuh kedengaran sudah menyusul sampai dibelakangnya. Diam2 ia mengeluh jiwanya pasti akan melayang. Pada saat berbahaya itulah tiba2 ia merasa tubuhnya menjadi enteng dan mumbul keatas. Kiranya Ii Su-lam keburu melompat tiba dan menariknya meloncat kesana dengan ginkang yang tinggi.

Pada detik yang berbahaya itu, para penonton ada yang menjerit kuatir bagi keselamatan Bing-sia. Ditengah jerit kuatir itu samar2 Su-lam mendengar suara seorang perempuan yang seperti sudah dikenalnya. Tergetar hati Su-lam tapi dalam saat genting itu iapun tidak sempat memikirkan suara siapakah gerangannya.

To hong juga berkeringat dingin menyaksikan keadaan Su-lam dan Bing-sia yang terdesak itu, ia bermaksud menyuruh kedua kawannya itu mengakhiri pertandingan itu saja dan mengundurkan diri. Tapi kalau mereka menyerah kalah, meski jiwa selamat, namun kedudukan bengcu terang akan amblas dan jatuh ketangan Tun-ih Ciu.

Sedang ragu2, To Hong melihat keadaan ditengah kalangan sudah mulai berubah. Semula Su-lam dan Bing-sia memang rada repot diuber oleh genta musuh, tapi lama2 mereka menjadi tenang dan bisa saling membantu, mereka terus berlari mengitar kalangan untuk mengelak. Sebaliknya Tun-ih Ciu harus menggunakan tenaga untuk menggeser dan menolak gentanya yang berat itu. Sebab itulah keadaan sekarang menjadi adu kekuatan bertahan, bila Tun-ih Ciu kehabisan tenaga dan menghentikan melayangnya genta, hal ini berarti memberi kesempatan bagi Li Su-lam berdua untuk melancarkan serangan balasan.

Rupanya Tun-ih Ciu menjadi gopoh juga sehingga kehilangan sabar, satu kali Ia menolak terlalu keras sehingga genta melayang dengan cepat kedepan, untuk menyusulnya sudah rada kasip.

Kesempatan ini tidak di-sia2kan Li Su-lam, cepat ia menyusup lewat amping genta dan secepat kilat sudah menerjang ke hadapan Tun-ih Ciu, pedangnya terus menusuk.

Lantaran ketinggalan oleh melayangnya genta yang lebih cepat itu, sekarang Tun-ih Ciu jadi berhadapan dengan Li Su-lam dan terpaksa melawannya dengan tangan kosong.

Dalam pada itu genta yang kehilangan kemudi itu sudah melayang keluar kalangan, para penonton sama menyingkir dengan ketakutan. Tapi ada beberapa orang yang kurang cepat menghindar, tampaknya mereka pasti akan hancur tertimpa oleh jatuhnya genta itu.

Justru ditengah jerit kaget dan kuatir orang banyak itulah, tiba2 sesosok bayangan melayang datang secepat burung terbang. Ketika semua orang mengetahui apa yang terjadi, terdengarlah suara ‘trang’ yang keras, genta itu telah jatuh di tanah dan diatas genta berduduk seorang dengan ongkang2.

“He, Beng-tayhiap!” seru orang banyak berbareng.

Kiranya oran ini adalah Beng Siau-kang, ayah Bing-sia. Kedatangannya tepat pada saat genta raksasa itu melayang keluar kalangan, segera ia meloncat ke atas, dengan cara membikin berat tubuhnya ia tekan mentah2 genta itu sehingga jatuh kebawah sebelum melayang jauh kesana. Sementara itu Bing-sia sedang menerjang kearah Tun-ih Ciu, ia menjadi kegirangan melihat kedatangan sang ayah sehingga rada merandek di tempatnya. Dengan sendirinya Li Su-lam sendirian menjadi kewalahan melawan Tun-ih Ciu, sekali tersentil, kontan pedangnya ,encelat dari cekalannya.

Bing-sia tersentak kaget, lekas2 ia tangkap pedang Su-lam itu dan berlari maju untuk menahan desakan Tun-ih Ciu sambil mengangsurkan kembali pedang kepada Li Su-lam.

“Tun-ih Ciu, kau sudah kehilangan senjata, apakah kau masih leluasa untuk bertempur lagi?” seru Beng Siau-kang sambil maju ketengah kalangan dengan mengangkat genta besar.

“Apakah aku mesti dianggap kalah?” sahut Tun-ih Ciu dengan gusar.

“Baik, anggap saja kedua bocah itu yang kalah dan babak berikutnya biar aku yang main2 dengan kau,’ ujar Beng Siau-kang.

Tun-ih Ciu terkejut. “Apa? Kau juga mau bertanding?” ia menegas.

“kalau kau sudah melarak anak perempuanku, memangnya aku hanya berkelakar saja dengan kau?” sahut Beng Siau-kang.

“Baiklah, anggap pertandingan tadi seri saja,” kata Tun-ih Ciu. “Nah, beng-tayhiap, tentu kau tak perlu marah lagi bukan?”

“Bukan maksudku berkelakar dan juga tidak marah padamu, pendek kata babak berikutnya aku yang turun kalangan untuk bertanding dengan kau,” kata Siau-kang.

“Pertandingan ini dalam rangka perebutan bengcu, aku membantu pihak Li Su-lam, menurut peraturan aku diperbolehkan bertanding dengan kau bukan?”

Menurut aturan pertandingan, setiap orang berhak bertanding dua babak bilamana babak pertama mendapat kemenangan. Maka Tun-ih Ciu menjadi serba susah. Kalau dia anggap dirinya mengalahkan kedua lawannya, mau tak mau ia harus terima tantangan Beng Siau-kang yang merupakan tenaga baru dan terkenal dengan “pedang sakti” didunia kangouw. Dia hanya dapat mengelakkan pertandingan dengan Beng Siau-kang jika dia menyerah kalah terhadap Li Su-lam dan Bing-sia, sudah tentu dia tidak sudi mengaku kalah begitu saja.

Dalam keadaan serba sulit itu, tiada jalan lain terpaksa Tun-ih Ciu menjawab: “Baik, pertandingan tadi boleh dianggap seri. Dan kalau Beng-tayhiap ingin mencoba diriku, babak berikutnya terpaksa kulayani. Cuma aku tidak membawa kedua senjataku, kalau dikalahkan Beng-tayhiap rasanya masih ada harganya.”

“Hm, kau tidak perlu kuatir, masakah orang she Beng dapat menarik keuntungan darimu bila kau bertanding tanpa senjata?” ujar Siau-kang. “nah, ingin kutanya lebih dulu, senjata apa yang akan kau pilih?”

Tiba2 Tun-ih Ciu mendekati genta dan berkata; “Aku akan teatp menggunakan benda berat ini saja.”

Rupanya Tun-ih Ciu menyadari biarpun bersenjatakan sepasang gaetan yang biasa dia pakai juga sukar melawan pedang sakti Beng Siau-kang yang lhai itu, maka ia pikir ada lebih baik menggunakan genta besar itu saja, dengan demikian malah akan lebih menguntungkan baginya dalam hal pemakaian senjata, hal ini terbukti dari pertandingan nya dengan Su-lam dan Bing-sia , genta itu ternyata lebih enak digunakan melayani kedua pedang Li Su-lam dan Bing-sia. Sudah tentu Beng Siau-kang bukan Su-lam dan Bing-sia, akan tetapi ia Cuma sendirian dan taknbisa mengerubutnya dari muka dan belakang, untuk melayani tentu akan lebih gampang. Sebab itulah Tun-ih Ciu memutuskan tetap memakai genta itu sebagai senjata.

Bagi semua hadirin, termasuk Tun-ih Ciu sendiri, semuanya menganggap Beng Siau-kang pasti akan menggunakan pedang sebagai senjata andalannya, lantaran itulah Tun-ih Ciu merasa tidak perlu tanya senjata apa yang hendak digunakan lawan itu.

Tak terduga Beng Siau-kang lantas berkata: “Baiklah, jika kau menggunakan genta besar itu, maka aku hanya bertangan kosong saja agar lebih menguntungkan kau dalam hal senjata. Tentu kau tidak perlu banyak omong lagi.”

Ucapan Beng Siau-kang membuat semua orang terkejut. Sekali Tun-ih Ciu mendorong gentanya berarti tenaga yang dikerahkan ribuan kati, hal ini masakah mampu ditangani dengan badan manusia biasa.

Li Su-lam juga merasa heran dan sayang pula tak bisa menyaksikan ilmu pedang Beng siau-kang yang terkenal itu.

“Nanti dulu!” tiba2 Beng Siau-kang berkata pula dengan tertawa: ‘Tadi kau sudah bertanding satu babak, dalam hal tenaga rasanya tidak enak jika aku menarik keuntungan darimu. Boleh begini saja, harap nona To menyulut sebatang hio (dupa) dan menancapkan diatas tanah hanya sepertiga bagian batang hio itu.”

To Hong rada bingung atas permintaan itu, tapi iapun menuruti, ia suruh ambil sebatang hio dan ditancapkan kedalam tanah sehingga tinggal sepertiga bagian yang masih kelihatan diatas tanah. Lalu dengan pelahan Beng Siau-kang berkata pula: “Sekarang kita boleh mulai, bila api dupa itu padam dan pertandingan kita belum berakhir, maka anggaplah kau yang menang.”

Padahal waktu menyala sepertiga bagian sebatang dupa itu kira2 sama dengan waktu pertandingan bersenjata selama tiga puluhan jurus saja. Rupanya Beng Siau-kag sungkan menghitung jumlah jurus pertandingan, maka memberi kelonggaran kepada Tun-ih Ciu.

Memangnya yang dikuatirkan Tun-ih Ciu adalah tenaga nya yang sudah banyak terbuang karena pertandingan melawan Li Su-lam tadi, kini usul Beng Siau-kang itu tentu saja sangat kebetulan baginya. Tapi disamping girang iapun mendongkol pula, sebab dengan cara begitu menandakan pula Beng Siau0kang sangat memandang enteng kepadanya dan yakin dalam waktu nyala api sepertiga bagian batang hio itu pasti akan dapat mengalahkannya.

Dengan gusar akhirnya Tun-ih Ciu menjawab: ‘Baiklah, kau sendiri yang menghendaki, kalau kau kalah jangan menyesalkan diriku!”

“Ya, asalkan api dupa padam dan kau masih sanggup melawan, maka aku akan mengaku kalah. Nah, mulailah sekarang, tak perlu banyak omong!” kata Siau-kang dan minta To Hong menyalakan api dupa.

Setelah diberi kelonggaran itu dengan sendirinya Tun-ih Ciu main ulur waktu lagi. Ia sudah ambil keputusan akan melancarkan serangan2 lebih dulu, habis itu barulah akan bertahan sekuat mungkin. Segera ia angkat genta besar itu dengan gaya “Thay-sn-ap-teng” (gunung raksasa menindih kepala), segera ia mengepruk keatas kepala Beng Siau-kang.

Ternyata Beng Siau-kang tidak berkelit juga tidak menghindar, tubuhnya Cuma mendak sedikit, telapak tangan kiri menabok genta, kepalan kanan menyusuk menghantam pula. Maka terdengarlah suara “trang” yang keras memekak telinga. Beng Siau-kang tertampak tetap berdiri ditematnya tanpa menggeser sedikitpun, sebaliknya Tun-ih Ciu tergetar mundur beberapa tindak malah.

Kiranya sekali tabok dan sekali hantam tadi, sekaligus Beng Siau-kang telah menggunakan tenaga lunak dan tenaga keras berbareng. Tabokan tangan kiri telah emnyampingkan tenaga dorong yang kuat dari lawan, habis itu kepalan menghantam sehingga lebih kuat daripada tenaga lawan, hal ini berarti dua arus tenaga menyerang kembali kepada Tun-ih Ciu sendiri. Keruan Tun-ih Ciu tidak tahan, masih boleh juga dia hanya mundur beberapa tindak saja dan tidak sampai terjungkal.

Setelah kecundang sekali, segera Tun-ih Ciu menggunakan posisi bertahan, genta selalu bertedeng di depan dada dan tidak didorong lagi untuk menghantam musuh.

Seketika banyak orang menyoraki dan meng-olok2. Ada yang mengejek: ‘Huh, tidak tahu malu! Apa ingin mengulur waktu?” ~ Ada yang menyindir: “Katanya mau rebut jabatan bengcu, tapi kenapa main mengkeret seperti kura2, tahu malu tidak?”

Namun Tun-ih Ciu anggap tidak dengar atas ejek tawa orang2 itu.

“Tun-ih Loji, genta ini takkan bisa melindungi kau, sekalipun kau ingin menjadi kura2 yang mengkeret juga tidk jadi,” ujar Beng Siau-kang dengan tertawa. Berbareng ia terus mendesak maju “tang”, kembali kepalan menghantam diatas genta.

Tenag apukulan Beng siau-kang ini hanya menggunakan tenaga sendiri dari balik genta sehingga Tun-ih Ciu masih sanggup bertahan, namun tangan yang memegang genta terasa sekali kaku pegal. Sekali mulai menyerang, segera pukulan2 Beng siau-kang selanjutnya susul menyusul sebagai air bah yang membanjir. Ya menghantam dengan kepalan, ya menabok dengan telapak tangan, dalam sekejap saja ia sudah memukul tujuh kali dan menabok delapan kali, suara “trang-treng” berbunyi ber-ulang2 memekak telinga.

Kalau orang yang menonton disamping dapat emnutupi kuping masing2 untuk menahan getaran suara keras itu, sudah tentu Tun-ih Ciu tak dapat berbuat demikian, ia harus jinjing genta besar itu sehingga anak telinganya se-akan2 bergetar pecah oleh suara nyaring itu.

Hanya sebentar saja Tun-ih Ciu sudah merasa napas memburu dan darah bergolak didalam rongga dada, setiap kali pukulan Beng Siau-kang mengenai genta, setiap kali pula dadanya merasa seperti dipalu dengan keras.

Diam2 Tun-ih Ciu mengeluh, sebelum kehabisan tenaga, cepat ia ganti siasat bertempur, sekuatnya ia lempar genta kedepan.

Tadi ia telah menguber Li Su-lam dan Beng Bing-sia dengan genta yang dikemudikan berada diatas angin. Sekarang dia tidak sanggup bertahan, terpaksa ia mengulangi caranya tadi, walaupun dia harus lebih banyak mengeluarkan tenaga. Tapi sebagian batang dupa yang menyala itu kini sudah tinggal sepotong kecil saja, menurut perhitungan Tun-ih Ciu, asalkan Beng Siau-kang tiga kali menghindari timpukan genta saja tentu api dupa itu sudah padam, padahal Beng Siau-kang menyatakan sendiri, bila api dupa padam, dia akan menyerah kalah.

Diluar dugaan Tun-ih Ciu, justru Beng Siau-kang menghendaki dia berbuat demikian. Ketika genta dilemparkan kedepan, segera Beng Siau-kang bersuit panjang, bentaknya: “Bagus!” ~ Berbareng ia terus meloncat memapak genta yang menyamber tiba dari depan itu, ia keluarkan kemahirannya cara mengalihkan tenaga serangan lawan, telapak tangannya menabok pelahan, seketika genta itu berganti arah dn berbalik menyamber kejurusan Tun-ih Ciu, keruan Tun-ih Ciu kaget, cepat ia menggeser kian kemari dalam bentuk zigzag, walaupun terhindar juga oleh timpaan genta, tapi serba konyol jug atampaknya.

“Bagus, ini senjata makan tuan!” sorak Tang Khay-san.

Dengan tertawa Bing-sia juga berkata: “Anggapnya kaum cianpwe tapi si tua Tun-ih Ciu ini ternyata harus meniru kepandaian kita, entah dia tahumalu atau tidak?”

Kiranya cara Tun-ih Ciu menghindarkan genta yang menyamber balik itu tepat sama seperti cara Su-lam dan Bing-sia berlari tadi.

Maka Ii Su-lam jug aberkata dengan tertawa: “Sayang lawannya ialah ayahmu, biarpun dia meniru cara kita juga sukar terhindar dari kekalahan!”

Walaupun begitu, dalam hati Su-lam merasa kuatir juga soalnya bukan kepandaian yang bertanding

, tapi adalah soal waktu, sepertiga bagian batang dupa yang disulut itu dalam waktu singkat akan habis terbakar, kini sisanya hanya tinggal sedikit saja. Bila api dupa padam, itu berarti Beng Siau- kang harus dianggap kalah biarpun nanti Tun-ih Ciu roboh terhantam gentanya.

Dalam pada itu mendadak terdengar suara “tang” satu kali pula, kembali Beng Siau-kang menghantam genta sehingga menyamber lebih epat kedepan. Pada saat kepepet, daya pikir Tun-ih Ciu menjadi tambah cerdik pula, seluruh perhatiannya dicurahkan untuk meng-amat2i gerak gerik Beng Siau-kang. Bila telapak tangan Beng Siau-kang menghantam arah kiri, segera ia mendahului berkelit kesebelah kanan.

Tak tersangka cara Beng Siau-kang menggunakan tenaga pukulannya ternyata sukar diraba, ia sengaja membiarkan lawan melihat gerak pukulannya untuk memancing nya masuk perangkap. Suatu kali tampaknya dia menabok kearah kiri, tapi ketika kena genta, tenaga yang digunakan adalah tenaga memelintir, tenaga efek. Maka terdengarlah “tang” satu kali, baru saja Tun-ih Ciu berkelit kekanan, tahu2 genta juga ganti haluan dan menyamber kearahnya.

Keruan kejut Tun-ih Ciu tak terkatakan, hampir sukma meninggalkan raganya. Untuk berkelit rasanya sudah kasep, terpaksa ia menjatuhkan diri kebawah sambil ber-guling2 kesamping.

Dengan cepat luar biasa Beng Siau-kang lantas memburu maju, kedua tangan memegang genta, mulut genta yang menganga tepat mengancam diatas batok kepala Tun-ih Ciu, bentaknya: ‘Sekarang kau menyerah atau tidak?”

Dalam keadaan begitu, asalkan Beng Siau-kang menjatuhkan gentanya, seketika jiwa Tun-ih Ciu pasti melayang. Tiada pilihan lain, terpaksa Tun-ih Ciu berseru: “Ampun Beng –tayhiap! Aku ……. Aku mengaku kalah!”

Beng Siau-kang bergelak tertawa sambil angkat gentanya lalu bertanya:”Nona To, api dupa padam belum?”

“tepat sekali waktunya, api dupa masih merah membara!” sahut To Hong dengan tertawa.

Waktu Tun-ih Ciu merangkak bangun dan memandang api dupa, ternyata persis baru habis terbakar dan masih ada sisa satu titik pucuk api yang belum padam. Diam2 Tun-ih Ciu gegetun dan merasa sial, Cuma kalau sanggup bertahan sejenak lagi, betapapun Beng Siau-kang harus mengaku kalah padanya.

Setelah menaruh gentanya, lalu Beng Siau-kang berkata: “Jika kau sudah mengaku kalah, bolehlah kau pergi saja. Hendaknya untuk selanjutnya kau bisa perbaiki dirimu dan tidak berbuat kejahatan lagi.”

Begundal Tun-ih Ciu ada belasan orang, kecuali Liu Tong-thian bertiga yang sudah pergi lebih dulu, sisanya masih cukup banyak. Tapi begitu pertandingan berakhir, sebagian diantaranya serentak mengerumuni Li Su-lam untuk memberi selamat padanya yang pasti akan menduduki jabatan bengcu itu. Sebagian lagi merasa tertipu oleh Tun-ih Ciu yang diam2 bersekongkol dengan Mongol, karena itu tiada seorangpun yang mau mendekatinya lagi.

Tentu saja Tun-ih Ciu kehilangan muka dan terpaksa mengeloyor pergi seorang diri.

Utusan pemerintah Song jug amaju menyampaikan selamat kepada Li Su-lam dengan permintaan agar Su-lam dapat bekerja sama dengan pemerintah untuk melawan Mongol dan Kim. Akan tetapi dengan sikap dingin Li Su-lam menyatakan pihaknya mempunyi pendirian dan cita2 perjuangan sendiri dan tidak terikat dibawah perintah kerajaan Song. Lantaran tidak memperoleh kata sepakat, terpaksa utusan Song juga mengeloyor pergi meninggalkan gunung.

Siapakah gerangan Ci In-hong dan dari mana asal-usulnya?

Kemana perginya Nyo Wan dan bagaimana pengalaman selanjutnya?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar