Pahlawan Gurun Jilid 06

 
Jilid 06

Berubah air muka putri Minghui, makinya: “Kentut busuk. Ayahku baru saja meninggal , kalian lantas berani menghina aku? Perintahku kalian berani membangkang, apa dalam mata kalian masih ada aku ini tuan putrimu?” Putri Minghui menggunakan istilah ‘kalian’. Sudah tentu kedua Busu itu menjadi ketakutan, mereka membatin: “ Goanswe dan tuan putri bertengkar, kalau kita sampai terjepit ditengahnya pasti celaka dan konyol. Maka tanpa berjanji mereka menyurut mundur kesamping dan mengawasi pangeran Tin-kok mendelong.

Pangeran Tin-kok berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot, hardiknya marah2: “Baik, kalian tak berani turun tangan, biar aku sendiri yang meringkusnya.” ~ Saking marahnya hingga sama sekali tak terpikir olehnya bahwa kepandaian silat Nyo Wan jauh lebih tinggi dari pada kemampuannya, maka tanpa banyakpikir lagi ia menerjang sembari ulur tangan mencengkeram ke arah Nyo Wan.

Tenang2 saja Nyo Wan memasukkan pedangnya kedalam kerangkanya, sekali berkelebat ia luputkan diri. Pangeran tin-kok tidak tahu bahwa lawannya sengaja mengalah, lagi2 ia menubruk maju lebih ganas, kedua tangannya terpentang terus menyingkap ke depan, bentaknya: ‘Akan kulihat kemana kau akan lari!”

Putri Minghui tertawa mengejek: “Dia berani menghina aku, ada aku disini tak perlu takut, pukul dia se keras2nya!”

Nyo Wan memang sedang menunggu ucapan Putri Minghui ini maka dalam gebrak selanjutnya ia tidak berlaku sungkan lagi, begitu putar tubuh sebelah telapak tangannya terayun keras “plak!” telak sekali telapak tangannya mampir di pipi pangeran Tin-kok. Walaupun ia belum gunakan sepenuh tenaga tak urung pangeran Tin-kok terhuyung sempoyongan, pandangan gelap kepala pusing tujuh keliling.

Dasar muka pangeran Tin-kok sudah hitamlegam, maka tertampar menjadi bengap lagi mukanya menjadi jelek, panas dan kesakitan. Selama hidup ini ia selalu disanjung puji oleh orang, mana pernah mendapat hinaan begitu rupa? Saking murka matanya melotot besar, tanpa hiraukan kedudukan dan nama baiknya segera ia lolos goloknya terus membacok serabutan ke arah Nyo Wan.

Sebetulnya Nyo Wan bisa melolos pedang dan menusuknya terluka, namun sengaja ia tidak berbuat demikian malah pura2 terdesak, segera ia lari ber-putar2 dan dikejar oleh pangeran tin-kok. Kiranya dari kejauhan ia sudah melihat Dulai tengah membedal kudanya mendatangi. Kebetulan Tin-kok membelakangi kemah emas maka tidak mengetahui kedatangannya.

Saat mana pangeran Tin-kok tengah obat-abitkan goloknya mengejar Nyo Wan. Keruan Dulai menjadi gusar, kudanya dilarikan semakin cepat.

Pangeran tin-kok membentak gusar: ‘Siapa itu?” ~ Belum lenyap suaranya. “ser!” Dulai sudah memecut jatuh golok pusaka milik pangeran Tin-kok itu.

Waktu pangeran Tin-kok berpaling baru ia tahu yang memukul jatuh goloknya kiranya adalah Dulai. Sungguh murka pangeran Tin-kok bukan main, namun tak berani mengumbar napsu.

Dulai mendengus sekali, serunya: “Duli (nama asli pangeranTin-kok), sebagai seorang Goanswe, apa tidak malu kau menghina kaumperempuan yang lemah?”

Pipi pangeran Tin-kok yang ditampar Nyo Wan masih terasa pedas dan panas. Sudah tentu Dulai tidak tahu akan hal ini, sebaliknya mengingat kedudukannya, pangeran Tin-kok tak berani sesumbar lagi, betul2 seperti orang bisu yang tak bisa melimpahkan penderitaan.

Sebagai pihak yang salah, namun Putri Minghui pandai melihat gelagat, segera ia maju dan mengadu lebih dulu: “Si-ko, tepat betul kedatanganmu, coba kau memberi keadilan. Dia se-mena2 menuduh dayangku ini sebagai pembunuh gelap, bukankah fitnah yang menggelikan belaka?

Dayangku mana bisa menjadi pembunuh? Apalagi waktu peristiwa itu terjadi pelayanku ini sedetikpun tidak pernah terpisah dengan aku!”

Sambil menahan gusar segera pangeran Tin-kok mendekat: “Mereka sendiri yang menyaksikan, mana bisa salah?” Putri Minghui memanggil kedua Busu itu mendekat, tanyannya: ‘Pembunuh gelap yang kalian lihat pada malam itu laki atau perempuan?”

‘Seorang pemuda!” sahut kedua Busu itu. “Pemuda itu berwajah ganteng atau buruk?”

Malam itu Nyo Wan masih dalam penyamaran, mukanya dipolesi getah rumput yang membuat kulit mukannya berubah buruk, meski tidak begitu jelek namun cukup menjijikkan. Terpaksa kedua Busu itu menjawab sejujurnya sesuai dengan kenyataan: “Pemuda bermuka buruk.” Putri Minghui menjengek dingin, ejeknya: ‘Nah! Dayangku ini sebaliknya perempuan jelita. Dia bukan siluman yang bisa berubah menjadi pemuda buruk?”

Kedua Busu itu menjadi tergagap. Katanya: “Potongan badannya memang rada cocok, demikian juga kepandaian silatnya sama.”

Potongan badan yang sama tidak sedikit jumlahnya, perempuan yang punya kepandaian tinggi tidak sedikit pula, para prajurit bawahanku itu siapa yang tidak memiliki ilmu silat? Kata Minghui.

‘Coba kalian lihat lebih cermat lagi,apakah ada sesuatu yang mencurigakan?” demikian desak Dulai, maksudnya bahwa hanya perawakan badan yang hampir sama tidak dapat dijadikan bukti. Kedua Busu itu mengerti bahw Dulai berpihak pada Putri Minghui, maka ia merubah haluan mengikuti angin, cepat sahutnya: ‘Malam itu turun hujan rintik2, cuaca gelap sekali, kamipun tidak melihat jelas. Mungkin kami yang salah lihat,harap tuan putri memberi maaf!”

“Duli.” Jengek Putri Minghui. “apa lagi yang hendak kau katakan?”

“Apakah pembunuh gelap atau bukan biarlah kita sampingkan dulu. Tapi kau pantas menerima dan membela orang Han, ini terang kurang pantas!” Karena kedua Busu itu berani mengukuhi tuduhannya, sikap dan kata2 pangeran Tin-kok sendiri juga menjadi lembek.

Kata Dulai: ‘Dalam hal ini kau terburu napsu menyalahkan Minghui. Memang menurut peraturan dulu orang Han tidak boleh menjadi pemgikut atau pelayan pangeran dan tuan putri. Tapi sejak Khan agung berkeputusan hendak menelan Tiongkok, undang2 ini sudah diubah. Kita harus membuat orang Han secara suka rela mau diperalat oleh kita, maka janganlah bersikap hina terhadap mereka. Ini cara gamblang aku dapat menunjukkan buktinya , bukankah Li Hi-ko itu menjabat sebagai wakil panglimamu. Wakil panglima yang berkedudukan begitu tinggi boleh dijabat oleh orang Han apalagi hanya pelayan saja?”

Pangeran Tin-kok menjadi bungkam, akhirnya ia menyahut ter-sekat2: ‘Kau sebagai pengawas negara, kalau kau sendiri bicara begitu apa lagi yang dapat kulakukan?”

Dulai pun tidak mau membuatnya malu, segera ia membujuk dengan omongan halus: “Kau sebagai komando tinggi dalam milisi ini, urusan besar masih banyak yang harus kau kerjakan, urusan sekecil ini tak perlu kau risaukan. Kalau pelayan Han ini betul2 mencurigakan, biarlah aku bantu kau menyelidikinya!”

Sebelum Khan agung yang baru terpilih, pengawas negara merupakan pejabat pimpinan negara tertinggi di negara Mongol. Meskipun Tin-kok pegang kekuasaan besar dalam ketentaraan namun ia tak berani melawan Dulai. Maka dalam hati ia berpikir: ‘Benar, ucapan Dulai ini masih memberi ingat padaku. Biar aku tarik bala terntara kembali dan membantu Cahatai merebut kedudukan Khan agung ini, tatkala itu apa yang tidak dapat kucapai? Karena batinnya ini hatnya menjadi tentram dan tidak buat panjang urusan lagi.

Setelah pangeran Tin-kok dan kedua Busu itu pergi jauh, berkatalah Putri Minghui: “Adik Wan, mimbikin susah padamu saja. Kembalilah ganti pakaian, sebentar lagi aku kembali menyusulmu!” Baju Nyo Wan memang sobek ditarik oleh Busu tadi, dlam bertempur kena kotoran lagi, memang harus segera diganti, setelah mengucapkan terima kasih Nyo Wan lantas mengundurkan diri kembali ke kemah yang disediakan untuknya.

Dulai mengantar punggung Nyo Wan sampai jauh baru ia tertawa, katanya: ‘Pelayanmu ini benar2 bernyali besar. Kemarin ia hendak menangkap aku, hari ini berani pula melawan pangeran tin-kok. Darimana kau cari pelayan orang Han ini? Sekarang kau boleh beritahu kepadaku?”

“Bukan aku yang cari, justru dia sendiri yang lari kepadaku.” Sahut Minghui.

“Ah, aku menjadi tidak mengerti, seorang perempuan bagaimana bisa lari kedalam barisan besar tentara kita? Kapan hal itu terjadi? Kenapa kau terima dan pakai dia?”

“Pada malam hari dimana terjadi keributan pembunuh gelap itu.” Kata Minghui pelan, “Dia kepepet dan tak dapat lari lagi terpaksa aku tahan dan menolongnya. Sudah kau paham bukan?”

Dulai terkejut, tanyannya: “Apakah dia betul2 pembunuh itu?”

“Tidak slah,” sahut Minghui, “tapi malam itu yang hendak dibunuhnya bukan Tin-kok siburuk rupa itu. Yang hendak dibunuh adalah Sia It-tiong.”

“Siapakah Sia It-tiong itu?”

“Bangkotan tua pemalsu Li Hi-ko itulah orangnya, terlalu panjang kalai mau diceritakan.” Dulai ingin benar mengetahui peristiwa yang menyangkut Nyo Wan itu, segera ia menyela: “Perihal Sia It-tiong kita bicarakan nanti. Siapakah sebetulnya pelayan Hanini? Kau mau menerima dia tentu siang2 kau sudah kenal dia. Bagaimana pula kau bisa bersahabat dengan dia?”

Putri Minghui tersenyum, ujarnya: “Si-ko, apap kau kepincut olehnya? Kunasehatkan jangan kau membuang2 waktu dan tenagamu. Sebab seumpama sekuntum bungan dia sudah dipetik orang.” Dulai menjadi malu ter-sipu2, katanya: “Jangan kau guyon2, aku hanya ingin tahu asal usulnya saja. Seorang pembunuh menyelundup ke dalam barisan besar ini bukan urusan sepele.

“baiklah, kalau kau tiada maksud2 tertentu terhadapnya, biar ku ceritakan sejelasnya. Dialah calon istri Li Su-lam yang bernama Nyo Wan.”

Dulai terperanjat, tanyannya menegas: ‘Apa calon istri Li Su-lam?”

“Benar, kau sudah jelas duduk perkaranya? Bukankah Li Su-lam juga sebagai ‘anda’mu?

Dulai menjadi melongo dan tak habis herannya, katanya: “Calon istri Li Su-lam hendak membunuh wakil panglima perang kita? Kau, jelas kau sudah tahu asal usulnya, kenapa pula kau bersikap begitubaik terhadapnya?”

Walau secra terang Putri Minghui tdak memberitahukan is hatinya kepada Dulai, namun sikap dantidak tanduknya waktu berburu di pegunungan Ken tempo hari, dimana hubungan Li Su-lam dan Minghui begitu akrab dan mesra, betapapun tak dapat mengelabui pandangan Dulai. Untuk melindungi dan membela Li Su-lam Minghui tak segan2 bertengkar dengan pangeran Tin-kok, inipun telah disaksikan olehnya. Maka sekarang setelah mengetahui hubungan adiknya dengan Nyo Wan begitu akrab seperti adik sekandung layaknya, timbul keraguan dan herannya.

Putri Minghui menjadi geli, katanya: “Lalu menurut pendapatmu bagaimana aku harus bersikap kepadanya?”

“Aku tidak tahu,” sahut Dulai tergagap, “Tapi sekarang kau begitu baik terhadapnya, sungguh aku kagum kepadamu.”

Minghui menghela napas, ujarnya: ‘Aku paham akan maksudmu, bicara terus terang aku pernah sirik dan jelus kepada nona Nyo ini, malah pernah timbul niat jahatku hendak memisahkan sepasang kekasih ini. Tapi akhirnya aku berpikir dan berpikir kembali, dia seorang Han selama hidup ini tak mungkin kita menjadi suami istri, buat apa aku harus berbuat hal yang tercela dan merugikan orang lain? Apalagi hatinya hanya terpikat oleh Nyo Wan seorang.

Bahasa kita ada berkata: “memetik semangka yang masih muda takkan manis rasanya, seumpama aku bisa berhasil memisah mereka mengandal kekuasaanku, hatinya juga takkan menjadi milikku. Akhirnya aku tersadar dan terbuka pikiranku,aku harus rela berkorban demi kebahagiaan orang yang kucintai! Inilah sebabnya kenapa aku mau menerima Nyo Wan. Bicara terus terang, ini bukan karena dia, justru karena Li Su-lam lah!”

Dulai menjadi terharu akan sikap agung adiknya ini, katanya: “Kau benar Sam-moay, sikapmu sungguh harus dipuji. Kalau Li Su-lam tahu hal ini , tentu dia berterima kasih padamu.’

“Si-ko kau salah duga, bukan karena ingin dia berterima kasih aku lantas berbuat demikian.” “Ya, aku tahu. Tapi betapapun dia akan sangat berterima kasih kepadamu. Perbuatanmu ini langsung atau tidak mungkin malah membantu rencanaku kelak!”

‘Rencana apa?” tanya Putri Minghui tak mengerti.

Dulai tertawa, katanya: “Sekarang terpaksa kita hentikan inspansi ke selatan sementara waktu, akan datang saatnya kita menelan seluruh daratan Tiongkok. Li Su-lam merupakan pahlawan gagah diantara bangsa Han, kalau dia bisa keperalat “

Ternyata meski Dulai bersahabat dan angkat saudara dengan Li Su-lam, hakekatnya persahabatan ini mengandung kepentingan pribadi, sedikit banayk ia berniat mennggunakan tenaga Li Su-lam. Sudah pasti kelak ia hendak merebut kekuasaan militer pangeran Tin-kok, dan memimpin bala tentaranya menelan kerajaan Song selatan. Untuk ambisinya ini dia memerlukan bantuan orang2 Han yang berkepandaian tinggi.

Putri Minghui geleng2 kepala, katanya: “aku tahu watak Li Su-lam yang keras dan kukuh dalam pendirian. Aku kuatir dia takkan bisa dapat kau peralat menurut kemauanmu.”

“itu kan urusan kelak, biarlah dibicarakan kemudian. Sekarang bagaimana kau harus menyelesaikan urusan ini?” ‘Maksudmu bagaimana menyelesaikan persoalan nona Nyo itu?”

“Betul, dialah pembunuh yang hendak mengambil jiwa wakil panglima perang kita. Meski urusan ini bisa kita atasi hari ini, namu mata umum takkan dapat kita kelabui terus!”

“Sebetulnya Sia It-tiong itu memang pantas dibunuh!” demikian kata putri Minghui. Secara singkat ia lantas ceritakan bagaimana Sia It-tiong memalsu nama orang lain serta mencelakai kiwa Li Hi- ko.

Kata Dulai: “Durjana ini kelak tentu akan kubunuh, tapi saat ini tak mungkin terjadi. Maka segala tinadak tanduk kita selanjutnya harus lebih hati2.”

Putri Minghui termenung diam. Dulai tahu orang belum paham akan maksudnya, maka dengan kalem ia menjelaskan: “kedudukan Khan agung belum terpilih siapakah calonnya. Dilihat situasi sekarang bakal terjadi perebutan sengit antara Ogotai dan Cahatai. Aku sendiri tiada niat menduduki jabatan tinggi ini, tujuanku hanya ingin pegang tampuk pimpinan terttinggi kemiliteran. Kalau Sam- ko (maksudnya Ogotai) yang menjadi Khan agung masih rada mendingan dan menguntungkan bagi kita, aku justru pasti hendak membantu dia. Tapi pangeran Tin-kok justru menjadi begundal Cahatai, Sia It-tiong pun menjadi wakil komandannya, jikalau kau bawa pulang seseorang pembunuh yang hendak menamatkan jiwa Sia It-tiong ke Holin, mungkin, mungkin rada kurang leluasa, lebih celaka kalau titik kelemahan ini dibuat alasan oleh pihak lawan untuk menuduh dan menyerang kita. Kalau hal ini benar2 terjadi kedudukan Sam-ko dlam perebutan Khan agung juga bisa terpengaruh.”

Putri Minghui menghela napas, ujarnya: ‘Ai, tak terduga bahwa begitu lihai dan hebat pertentangan diantara kalian!” Menurut analisamu ini terpaksa aku harus berpisah dengan Nyo Wan.”

“Ya, dia calon istri Li Su-lam, sudahj seharusnya dia kembali mencari suaminya. Betapapun kau takkan bisa menahannya untuk selamanya. Setelah ia kembali kalau orang hendak memeriksa peristiwa itupun takkan dapat sumber penyelidikan.”

“Apakah mereka takkan lebih curiga?”

‘Ah, gampang saja, katakan bahwa dia mati diluar dugaan waktu terjadi peperangan, walaupun orang lain curiga namun tiada bukti2 yang nyata, apa yang mereka bisa perbuat atas dirimu. Apalagi tiga bulan lagi Sam-ko bakal menjabat sebagai Khan agung, tatkala itu kalau situasi sudah tenang, gampang saja aku bunuh Sia It-tiong itu, urusan kecil ini siapa lagi yang berani mengungkap?” “Sebelumnya aku berat berpisah dengan dia. Tapi menurut keteranganmu ini demi kepentingan pribadi lebih baik dia kembali. Tapi cara bagaimana aku mengantarnya pulang?”

“Aku sebagai pejabat pengawas negara, betapa gampangnya melepas seseorang. Suruh dia menyamar sebagai orang laki2, dan keluar menemui aku!”

Dalam pada itu Nyo Wan suah berganti pakaian dan tengah menunggu didalam kemah, tengah hatinya risau kebetulan Putri Minghui datang, katanya: “Nyo-cici, akan kuberi tahu padamu bahwa ayahku sudah meninggal!”

Nyo Wan sudah tahu bahwa penyakit Jengis Khan sangat berat dan tinggal menanti ajalnya saja, maka ia tidak merasa terkejut mendengar berita ini. Tapi dia seorang cerdik dan berotak encer, melihat Putri Minghui begitu serius memberitahu kepada dirinya,lantas terpikir olehnya tentu soal ini bisa menyangkut keadaan dirinya disini. Maka dengan lemah lembut ia menghibur hati Putri Minghui serta berkata: “jadi untuk selanjutnya apakah tuan putri hendak kembali lagi ke holin?” “Justru karena soal inilah yang membuatku sulit,’ sahut Putri Minghui, “semula aku pernah mengabulkan hendak mengantarmu kembali ke selatan, sekarang aku menjadi sangsi entah kapan hal itu bisa terlaksana!”

“Banyak terima kasih pada tuan putri yan telah menyembunyikan diriku disini, budi besar ini takkan kulupakan selama hidup. Sekarang tuan putri hendak kembali ke Holin, aku kurang leluasa ikut kesana. Harap tuan putri memberi ijin aku kembali saja.”

“Sudah sekian saat kita bersahabat laksana saudara sekandung, bicara dari lubuk hatiku yang dalam aku merasa berat berpisah dengan kau. Tapi tiada perjamuan yang tidak bubar, aku tak enak mengganggu masa remajamu. Ku doakan sekembalimu ini bisa selekasnya berjumpa dengan suamimu!”

Nyo Wan berpikir: “Sebenarnya tuan putri seorang yang sengsara dalam batin, kelihatannya ia masih terkenang kepada engkoh Lam, sayang dalam hal ini aku tak mampu membantunya.’ Segera ia nyatakan terima kasihnya kepada Putri Minghui serta tanyanya: “Kapan tuan putri akan kembali ke Holin?”

‘Hari ini juga aku akan berangkat.” ‘Kalau begitu aku “

“Kau tak perlu kuatir,” Kata Minghui tertawa. “siang2 aku sudah mengatur segala sesuatu yang kauperlukan.’

Kemah ini memang khusus untuk keperluan Putri Minghui dan para dayangnya, maka segala keperluan dalam kemah serba lengkap, setengah bulan yang lalu segala keperluan Putri Minghui pakaian umpamanya semua sudah dipindah kemari.

Putri Minghui membuka sebuah peti katanya: ‘kau kembali seorang diri, maka perlu berganti pakaian.” Sebetulnya Nyo Wan punya seperangkat pakaian pemberian Akai, namun baju itu sudah bedah dan butut tidak dibawa serta pula. Memang ia sedang kuatir dengan cara berpakaian sebagai dayang tuan putri tentu perjalanan kali ini serba sulit dan menyukarkan. Tapi dilihatnya Putri Minghui mengeluarkan seperangkat pakaian laki2, keruan girang hatinya, serunya: ‘Tuan Putri, kenapa sudah kau siapkan? Apa kau tahu bahwa hari ini aku hendak pulang?”

Putri Minghui tersenyum, katanya: Aku sendiri juga sering mengenakan pakaian laik2, hanya kau tidak pernah lihat saja. Inilah pakaianku peranti berburu,coba kau kenakan!”

Perawakan Putri Minghui tidak berbeda jauh dengan Nyo Wan ternyta sangat cocok dan pas dipakai Nyo Wan. Putri Minghui menanggalkan pedangnya sendiri serta katanya lagi: ‘Aku tahu kau biasa menggunakan pedang, bawalah pedangku ini!”

Pedang milik Putri Minghui ini adalah sebilah pedang pusaka yang terbuat dari baja murni tajam luar biasa, gagangnya disepuh mas dan bertatahkan berlian, harganya tak ternilai. Keruan Nyo Wan sangat terkejut, katanya: “Mana bisa aku menerima hadiah tak ternilai ini dari tuan putri?”  “Apakah nilai persahabatan kita tidak jauh lebih tinggi dari hadiah ini?” kata Putri Minghui, “Kalau kau menolak pemberianku ini terang kau menghina aku!”

Orang memberi secara tulus ikhlas dan bersungguh hati, terpaksa Nyo Wan menerima dengan perasaan haru.

“Baiklah,” kata Minghui, “Sekarang mari kita menemui Dulai.” “Harus menemui Dulai dulu?” kata Nyo Wan ragu an gelisah.

“Pangeran Tin-kok sudah menarik kembali milisinya, mungkin tentara yang bakal kau jumpai ditengah jalan besar berkurang. Tapi betapapun kau harus mempersiapkan diri. Dulai sebagai pejabat pengawas negara dia bisa memberikan segala fasilitas kepadamu. Persoalanmu sudah kusampaikan kepadanya dia menyatakan suka membantu kesulitanmu. Diapun bersahabat kental dengan Li Su-lam kau tak perlu kuatir.”

Waktu mereka keluar dari kemah tampak Dulai sudah menunggu diluar. Segera Dulai mengeluarkan sebatang anak panah katanya: “Batang panah ini terukir nama kebesaranku, kalau ada orang tanya katakan bahwa aku mengutusmu keselatan untuk menjadi mata2. Kupercaya takkan ada orang yang mempersukar perjalananmu.’

Waktu Nyo Wan hendak menyambuti panah itu terdengar Dulai berkata lagi: “Sekembalimu bila bertemu dengan Su-lam sampaikan salam hangatku kepadanya. Sekarang meskipun sementara waktu kita hentikan inspansi keselatan betapapun kelak kita tentu bercokol di tionggoan. Aku sudah mengambil keputusan aku sendiri yang akn pimpin penyerbuan kelak. Siapa tahu ada kalanya kita bakal bertemu lagi tak lama ini,”

Terketuk sanubari Nyo Wan seperti sadar dari lamunannya, ia berpikir: “Betapapun Dulai tak sama dibanding Putri Minghui, sebagai pejabat pengawas negara Mongol jikalau kelak ia menyerbu ke Tionggoan, dia menjadi musuh bangsaku nomor satu. Aku mana boleh ceroboh menerima segala budi pekertinya!” ~ Terpikir sampai disini, cepat2 Nyo Wan menarik tangannya yang sudah diulurkan hendak menerima batang panah itu, katanya: “harap maaf kalau aku tidak tahu kebaikan,panah kuasa ini silahkan pangeran tarik kembali saja.”

Dulai merasa diluar dugaan, alisnya berkerut dalam katanya: “Kenapa begitu?”

‘Kalau aku menerima budi pangeran yang besar ini, mungkin selama hidup ini aku dan Li Su-lam takkan mampu membalasnya!”

Dulai bergelak tawa, serunya: Aku dan Li Su-lam sebagai saudara angkat yang pernah bertukar kado, berarti kau sebagai kakak iparku. Bukankah seharusnya aku dapat membantu kesulitanmu, masa aku mengharap balas budi apa segala!”

“Bicara memang begitu, namun bagi adat istiadat kita bangsa Han, setelah menerima budi kebaikan orang lain berarti kita menunggak hutang yang besar, betapapun hutang itu harus dibayar lunas baru hati ini bisa tentram. Oleh karena itu meski pangeran tidak mengharap balasan, bagi aku bagaimana juga tidak berani menerima kebaikan ini.”

Alis Dulai bertaut semakin dalam, sejenak kemudian baru ia tertawa dan berkata: “Aku paham arti kata2mu. Baiklah aku bicar terus terang kepadamu. Marilah kita bedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Kuberikan panah kuasa ini sebagai persahabatan pribadi kita. Kelak seumpama karena utusan negara kalian suami istri hendak jumpa padaku dimedan perang aku takkan salahkan kalian. Sekarang boleh kau terima bukan?” Lahirnya Dulai bicara begitu manis, bahwasanya hatinya berpikir lain maksudnya memang hendak mengikat Su-lam dan Nyo Wan dengan budi demi kepentingannya sendiri.

Kata Nyo Wan sungguh2: “Hubungan pribadi dan kepentingan umum kadang2 juga sukar dibedakan. Aku maklum dan berterima kasih akan kebaikan pangeran ini, bagaimana juga aku tidk bisa mempersulit keadaan Li Su-lam!”

Melihat Nyo Wan begitu kukuh pendirian tak mau menerima, bertambah kagum dan memuji batin Putri Minghui, segera ia ikut bicara: “Tentara kita sudah ditarik mundur dari Liok-pan-san, daerah utara Ko-goan sudah tiada milisi kita, dari jalan utara kau kembali bahayanya lebih ringan, seumpama ada kejadian diluar dugaan boleh kau suruh mereka membaw akau menghadap aku. “Terima kasih akan petunjuk tuan putri.” Sahut Nyo Wan terus naik keatas kuda pemberian putri Minghui sembari melambaikan tangan ia keprak kudanya membedal kearah timur.

Mengantar pemberangkatan Nyo Wan yang membedal kudanya meninggalkan debu bergulung di angkasa Dulai meng geleng2 kepala, rona wajahnya membeku dan tidak enak dipandang.

‘Siko,’ kata putri Minghui, “Kau tidak salah kan sikapnya yang tidak tahu kebaikan bukan? Sebaliknya aku merasa kagum dan salut akan sikapnya yang kukuh itu.’

“Benar, memang harus dipuji,” jawab Dulai. “Tapi justru sikapnya yang kukuh ini bakal membuat aku susah tidur tidak enak makan.”

Putri Minghui tertawa cekikikan, ujarnya: “Kau takut dia kena halangan di jalan? Kukira tidak begitu serius sampai tak bisa tidau tidak enak makan bukan? Kuduga bukan melulu karena persoalan Li Su-lam saja tentu?”

Dulai menjadi uring2an, katanya kurang senang: “Bicaramu nglantur kemana?”

Melihat engkohnya bicar begitu sungguh2 dan prihatin terkejut hati putri Minghui, segera ia robah sikapnya tanyanya: “Lalu kenapa pula?”

“Coba pikirkan seorang wanita sebatang kara yang lemah ternyata punya pambek begitu besar apakah tidak menakutkan?”

Baru sekarang putri Minghui tersadar dan paham segala2nya, ujarnya: “O, jadi kau takut kelak kau tak mampu menundukkan dan menguasai bangsa Han.”

“Betul,” sahut dulai, “Sering aku mendengar bahwa mereka bangsa Han paling mengutamakan sikap dan pendirian. Janganlah ternggelam dan mabuk akan pangkat dan harta, janganlah menyesal karena miskin dan janganlah tunduk dan bertekuk lutut akan kekerasan yang tidak dilandasi oleh kebenaran. Sam-moay, kau pernah membaca buku bangsa Han apakah kau paham akan makna kata2 yang berbau tengik ini?”

Putri Minghui manggut2 , katanya: “Dulu guru bahasa Tionghoa yang mengajar aku pernah memberi penjelasan arti kata2 itu kepadaku.”

“Bagus, kalau begitu aku tidak perlu memberi penjelasan lebih jauh,” sambung Dulai. “Tapi walaupun dulu aku paham akan watak orang Han yang mengutamakan sikap dan pendirian itu, betapapun aku masih rada sangsi dan hampir tidak percaya, pikirku masa ada manusia yang serba lengkap begitu? Dengan sebelah tangan menjinjing pedang dan ditangan lain aku memegang harta benda dan pangkat jabatan siapa yang takkan tunduk dan bertekuk lutut di hadapanku? Sekarang setelah aku melihat nona Nyo ini baru terketuk lubuk hatiku bahwa betul2 ada orang macam begitu. Justru yang lebih menakutkan lagi adalah dia seorang wanita lemah yang sebatang kara.”

“Ya, namun belum tentu semua orang Han berwatak macam dia,” sanggah puri Minghui, “Bukankah masih ada manusia hina dina bangsa Han mereka macam Sia It-tiong yang rela diperbudak dan berlutut di hadapan kita?”

“Memang tapi aku kuatir jumlahnya sangat sedikit. Kalau bangsa Han mereka kebanyakan berwatak seperti nona Nyo itu, kelak seumpama kita bisa bercokol di tanah bangsa Han mungkin juga takkan kuat bertahan lama!”

“kalau begitu tak usahlah kau gempur tanah bangsa Han mereka.” Seru putri Minghui tertawa. “Masa kami berani membangkang akan perintah peninggalan ayah sebelum ajal itu?”

“Ayah sudah meninggal, kau patuh atau membangkang akan perintahnya hakekatnya beliau takkan tahu lagi, lalu siapa yang berani usil terhadap kau?”

Dulai mengerutkan kening, katanya: “Ah, ucapan anak2 yang tidak tahu urusan! Jikalau aku tidak serbu tanah luas orang Han mana mungkin aku bisa pegang kekuasaan kemiliteran, kalau aku tak kuasa akan kemiliteran bukan saja aku bakal dibunuh oleh Ji-ko (maksudnya Cahatai), kau sendiripun takkan punya perlindungan!”

Putri Minghui menjadi bungkam, matanya memandang jauh kedepan di ufuk selatan, Nyo Wan sudah tidak kelihatan lagi, namun debu yang mengepul tinggi ditengah udara maih kelihatan jelas terbawa angin. Diam2 berpikir putri Minghui: ‘Orang lain sama kepincut dan iri akan kedudukanku sebagai tuan putri, sebaliknya aku sangat kepengin seperti Nyo Wan, walaupun ia sudah kehilangan ayah bunda dan sebatang kara namun masih ada Li Su-lam, sebagai sahabat kental sepaham yang bisa menyelami sanubariku saja tiada. Dia bisa bebas kemana ia suka pergi, sebaliknya laksana burung kenari aku selalu terkurung dalam sangkar mas tidak bisa bebas. Ai, Nyo-cici betul2 jauh lebih bahagia dari aku. Semoga sepanjang jalan ini ia tidak menemui halangan apa2.”

Doa putri Minghui ternyata terkabul, memang sepanjang jalan ini Nyo Wan selamat tak menemui rintangan apa2. Menurut petunjuk putri Minghui ia berputar melalui utara kota Ko-goan melampaui Liok-pan-san terus putar balik kearah selatan, sepanjang jalan ini seorang tentara Mongolpun tak dijumpainya.

Kalau putri Minghui terkenang akan dirinya sebaliknya Nyo Wan terkenang akan Li Su-lam “Entah apakah engkoh Lam sudah melarikan diri tidak? Dunia seluas ini kemana aku harus mencarinya?” demikian pikir Nyo Wan.

Mendadak tergerak hati Nyo Wan, teringat olehnya kampung halaman Li Su-lam berada di Bu-seng di wilayah Soatang. Diam2 ia menerawang: ‘kalau engkoh Lam betul2 lolos dari mara bahaya tentu dia akan kembali ke kampung halaman menjenguk ibunya. Betul, aku kekota Buseng saja mencarinya!”

Perhitungan Nyo Wan memang tepat, tatkala itu memang Li Su-lam tengah dalam perjalanan menuju kampung halamannya. Tapi hal ini tak diketahui oelh Nyo Wan, dia sendiri menggembol harapan besar yang tersekam dalam sanubarinya untuk mencari Li Su-lam disana. Sebaliknya Li Su- lam sudah luntur dan putus asa terhadap dirinya dengan hati yang luka dan tak mungkin ditambal lagi, seorang diri ia beranjak dalam perjalanan kembali ke kampung halaman.

Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Li Su-lam sejak ia melarikan diri dari kota diluar perbatasan itu, sungguh hatinya dirundung duka lara yang menyekam lubuk hatinya, dia sangka bahwa Nyo Wan sudah nikah dengan orang lain bukan saja ia tidak berani memikirkan ‘rujuk kembali’ sampai untuk bertemu lagi dengan Nyo Wan pun tidak berani lagi. Dalam persoalan ini memang tidak bisa salahkan dia, karena dia pernah memeriksa tempat penginapan dimana Nyo Wan dan To Liong bermalam bersama dalam satu kamar. Malah dikamar itu pula ia temukan baju bekas yang ditinggalkan oleh nyo Wan, pula bertempur sengit melawan To Liong yang ber-kaok2 mengaku sebagai suami Nyo Wan. Mana terpikir olehnya bahwa di belakang semua peristiwa ini hakekatnya masih ada latar belakang yang ber-belit2?

Baju bekas milik Nyo Wan itu ia masukkan kedalam buntalan sendiri dan dibawa serta, setiap kali ia melihat baju bekas itu se-oleh2 ia melihat bayangan Nyo Wan, ber-tenger2 dihadapannya sehingga menimbulkan rasa duka dan rawan yang berlebihan. Batinnya; menghadapi kenalan baru adik Wan melupakan sahabat lama. Tapi inipun tak dapat salahkan dia, sebagai wanita lemah yang sebatang kara apalagi iapun tak tahu kabar beritaku mati atau masih hidup. Tapi sayang sekali ia rela menikah dengan manusia rendah pekerti dan hina dina, betapapun aku merasa kasihan dan menyesal sekali. Sungguh heran sebagai perempuan cerdik yang dapat meebut segala selukbeluk urusan kenapa ia bisa menikah dengan orang macam itu? Ah mungkin memang sudah jodoh, buat apa aku kasihan dan ikut resah toh tidak mungkin ditolong kembali. Ai, aku memikul tugas negara kenapa harus memikirkan urusan pribadi dan segala urusan tetk bengek.” ~ meski dalam batin ia berkata demikian, bagaimana juga hari2 yang telah lewat dimana dia hidup bersama Nyo Wan sekian lamanya mengalami berbagai tekanan dan penderitaan takkan mungkin terlupakan olehnya, wajah Nyo Wan betapapun takkan terlupakan dari lubuk hatinya.

Terkenang akan ibunda yang lemah dan sering sakit itu Li Su-lam lanjutkan perjalanan siang malam tak mengenal lelah, beruntung sepanjang jalan ini juga tak pernah mengalami rintangan, hari itu akhirnya yang kembali sampai di kampung halamannya.

Waktu Li Su-lam angkat kepala, kelihatan pintu besar rumahnya tertutup rapat, kotor lagi oleh gelagasi yang malang melintang diambang pintu seperti tak pernah diambah orang. Li Su-lam menjadi heran, pikirnya: ‘Ibu seorang yang paling suka kebersihan, apakah dia jatuh sakit sehingga tiada sempat menyapu dan membersihkan rumah? Tapi siang bolong begini kenapa menutup pintu rapat2?” Dengan telapak tangannya Li Su-lam mendorong terbuka pintu rumahnya sembari berteriak: “Bu, aku kembali!” ~ Suasana rumahnya sunyi senyap, terdengar gema suaranya sendiri. Jantung Li Su-lam menjadi berdetak keras, dengan langkah lebar segera ia memburu masuk kedalam, waktu sampai di ruang depan tampak sebuah layon terpampang ditengah ruangan.

Sungguh kejut Li Su-lam bukan alang kepalang, dengkulnya terasa lemas kontan ia jatuh berlutut didepan layon.

Lamat2 kupingnya mendengar suara yang welas asih memanggil namanya: “Li-siangkong, bangun, bangun!” Ter-sipu2 Li Su-lam merangkak bangun waktu ia angkat kepala melihat kiranya paman Thio dati tetangga sebelah, dengan perasaan hampa ia bertanya: “Panan Thio, ibuku ibuku ……….

“ ~ sebenarnya pertanyaan ini berlebihan, penghuni rumahnya ini tinggal ibundanya yang sudah lanjut usia, kalau bukan layon ibunya mana mungkin layon orang luar?

Paman Thio menghela napas, ujarnya: “Oh, anak yang sengsara, ibumu sudah meninggal!” ~ setelah menyeka air matanya paman Thio melanjutkan: “Badan ibumu memang rada kurang sehat, permulaan bulan yang lalu dia mengdengar kabar bahwa tentara Mongol bakal menyerbu kemari, kuatirnya bukan main. Dia berkata sangat menyesal menyuruhmu pergi mencari ayahnya, ia kuatir begitu terjadi perang mungkin kau sendiripun bakal tak kembali lagi. Berulangkali aku membujuk bahwa anak Lam seorang yang cerdik dan pintar tentu dia dapat menemukan ayahnya disana, seumpama tak ketemu juga pasti bisa kembali. Apa boleh buat meski lidahku hampir kering membujuknya bagaiamana juga ia tak dapat melepas tekanan batin yang menghimpit lubuk hatinya akhirnya ia jatuh sakit, dikampung kita ini tiada tabib pandai lagi, bertahan sampai tanggal sembilan bulan ini, ia tak kuasa bangun lagi dari pembaringan, diharap2 kaupun tak kunjung datang.

Keluargamu tiada sanak kadang lain maka terpaksa aku ambil putusan sendiri menyediakan peti mati ini secara sederhana, kurawat jenazahnya dan kutaruh disini menunggu kau kembali untuk menguburnya. Ai, anak Lam, kenapakah kau?”

Mata Li Su-lam terlongong, giginya menggigit bibirnya kencang2 sampai darah mengalir membasahi dagunya, tiba2 ia tumbukkan kepalanya kepeti mati seraya berteriak: “Bu, anakmu inilah yang tak berbakti, sehingga kau menderita sampai meninggal.”

Ter0gopoh2 paman Thio menariknya mundur serunya membujuk: “Anak Lam, keluarga Li tinggal kau seorang, kau harus dengar kata paman Thio, baik2 jaga kesehatanmu supaya ibumu bisa tentram beristirahat dialam naka.”

Li Su-lam rada sadar baru sekarang ia bisa menghamburkan tangisnya. Setelah puas ia menangis baru paman Thio berkata lagi: “Orang meninggal takkan hidup lagi, sekarang kau kembali lekaslah diatur supaya ibunya dikebumikan!”

Ter-sipu2 Li Su-lam berlutut menyembah tiga kali kepada paman Thio katanya: ‘Banyak terima kasih bantuan paman Thio yang telah merawat ibunda, budi besar ini takkan mungkin dapat kutebus. Urusan penguburan ibu selajutnya harap paman Thio suka membantu sekali lagi!”

Ah kita kan tetangga lama, sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong, apalagi dalam situasi yang kacau balau ini. Marilah bangun, carilah hari baik untuk melaksanakan penguburan ibumu.” Demikian bujuk paman Thio. “Hongsui (ilmu menilik baik buruknya pekuburan) aku tidak percaya,” demikian kata Su-lam “paman memangbenar, ada lebih baik ibu lekas dikebumikan supaya arwahnya bisa tenang dan tentram di alam baka. Besok pagi apakah paman senggang?” Panen sudah lewat aku memang menganggur. Besok kau boleh urus segala keperluan pekuburan biar aku panggil para tetangga unutk datang membantu.”

Hari keduia sesudah mengubur ibunya, semua barang peningalan dalam rumag di bagi2kan kepada para tetangga, Terutama Su-lam berikan sebagian besar barang2nya kepada paman Thio yang paling besar membantu dirinya, malah uang bekal selama perjalanan di Mongol pun seluruhnya diserahkan pula kepadanya.

Kata paman Thio: ‘Harta bendamu kau berikan kepadaku, apakah kau tidak mau lagi dengan rumah ini? Kau pulang tidak membawa harta, uangmu ini aku tak bisa terima!”

Perlu kuberitahukan kepada paman , besok aku akan berangkat lagi.” Kata Su-lam. Baru saja pulang kau mau pergi lagi?” tanya paman Thio.

Ayah ibuku sudah meninggal, aku tidak mau tinggal dirumah ini. Semasa hidup ayah pernah mengajar kepadaku, jaya runtuhnya negara merupakan tanggung jawab bangsa. Demi nusa dan bangsa kita kita harus berani berkorban baru terhitung seorang yang bijaksana dan berbakti.

Sekarang situasi sangat tegang pasukan Monol sudah mulai menyerbu ke selatan, kini tiba saatnya aku mendharma baktikan tenaga dan pikiranku,, amak aku berpikir ,aku tidak akan berkabung sampai begitu lama. Semoga arwah ibu tidak akan salahkan aku.’

Paman thi manggut2, katanya: ‘Benar, seorang laki2 harus punya tekad dan cita2, orang berbakat macam kau memang tidak seharusnya mengeram di kampung menunggu kebon. Baiklah, boleh kau berangkat besok. Rumah ini biar aku yang urus.”

Li Su-lam tertawa getir, katanya: “Setelah pergi entah kapan aku barui bisa pulang, rumah bobrok ini sebetulnya tak perlu diurus lagi, boleh dijadikan kandang api atau gudang pari saja. Diluar aku punya banyak teman tak perlu kuatir kelaparan di jalanan. Sedikit uang iniharap paman bisa terima!”

Karena kewalahan akhirnya paman Thio menerima juga, katanya: ‘Kalau begitu besok biar aku mengantar pemberangkatanmu.”

“Ah, menyusahkan paman saja, hari ini kau sudah bercapek lelah seharian. Besok sebelum terang tanah aku sudah akan berangkat.’

Setelah mengantar paman Thio pulang, Li Su-lam sesenggukan di depan meja pemujaan ibunya rasa duka dan rawan tak kuasa dibendung lagi, entah berapa lama ia tenggelam dalam duka cita. Tatkala itu hari sudah menjelang tengah malam, Li Su-lam tahu malam ini betapapun tak mungkin bisa tidur, maka dicainya sebotol arak di depan ruang layon situia tenggak arak untuk menghibur diri sambil menghabiskan waktu.

Arak simpanan itu berbau wangi dan cukup keras, namun begitu masuk ketenggorokan Li Su-lam terasa begitu pahit. Selama setahun ini penderitaan dan pengalaman pahit getir kini terbayang didepan mata. Teringat olehnya, waktu tahun lalu ia meninggalkan kampung halaman ini, ibunya pernah pesan wanti2. Untuk itu ia tidak menyia2kan harapan ibunya, setelah mengalami berbagai rintangan dan bahaya di gurun Gobi, akhirnya ia temukan ayahnya sejati dalam pelukan pegunungan belukar yang sepi itu. Sayang belum sehari mereka ayah beranak bersua, sang ayah yang hidup penuh penderitaan itu akhirnya menemui ajal dipelukannya.

Terbayang oleh Su-lam waktu ayahnya menjodohkan dirinya dengan Nyo Wan sebelum beliau menemui ajalnya. Ayahnya sangat kasih sayang kepada Nyo Wan masih jelas dalam ingatannya betapa gembira dan senang hati ayahnya waktu perjodohan mereka terikat. Begitu riangnya sehingga ia menghembuskan napas sewaktu bergelak tawa. “Waktu ayah meninggal sedikitpun ia tidak merasakan segala penderitaan, dia sangka tentu kami bisa sehidup semati sampai hari tua, ai, mana mungkin beliau tahu terjadilah peristiwa seperti yang kami alami ini.’ Pelan2 Su-lam membuka buntalan butut serta membolak balik baju bekas peninggalan Nyo Wan tak terasa terketuk sanubarinya, ditambah pengaruh arak yang cukup keras ia semakin tenggelam dalam duka lara.

Li Su-lam meng-geleng2 kepala, dalam alam pikirannya tiba2 terbayang bentuk seorang gadis itulah bayangan Beng Bing-sia tang sudah lama tak pernah terpikirkan oelhnya, entah kenapa dalam saat2 dirundung kedukaan ini bayangan pujaan hatinya muncul lagi. Ia geleng2 kepala lagi, se olah2 hendak melenyapkan bayangan Beng Bing-sia dari gelengan kepalanya, tapi seperti tamu yang tak diundang dan ndablek diusirpun tak mau pergi.

Li Su-lam berpikir: ‘Entah apakah To Hong dan Beng Bing-sia sudah kembali ke markas besar mereka? Begitu pasukan Mongol menyerbu datang, bala tentara kerajaan Kim takkan kuat bertahan lama. Yang bisa diandalkan hanyalah pasukan pergerakan. Semasa masih hidup To Pek-seng sebagai pejabat Bulim Bingcu, entahlah sesudah beliau wafat apakah orang2 gagah dari berbagai golongan dan rada liar itu mau mendengar komando To Hong? Haruslah aku kesana membantu kesulitan yang mereka hadapi?”

Sampai disini tiba2 terketuk hati Su-lam, diam2 ia terperanjay se-olah2 ia mendadak menemukan rahasia hati kecilnya: ‘Kenapa aku tidak bisa melupakan Beng Bing-sia?” Mengetahui rahasia hatinya ini seketika merah padam mukanya, ia mencela dirinya sendiri: ‘Li Su-lam wahai Li Su- lam, kenapa begitu cepat luntur cintamu? Bak umpama sepasang itik mandarin kita pernah mengalami bencana bersama, meski pbetul ia menikah dengan orang lain betapapun dia merupakan seorang yang sangat terpuja dan berkesan dalam sanubarimu!”

Sekali tenggak Su-lam habiskan sisa arak dlam botol, didepan matanya terbayang lagi bentuk Nyo Wan yang menderita dan penuh dikasihani. Lantas terpikir lagi dalam benak Su-lam: “Biarlah adik Wan yng ingkar padaku, asal buka aku yang ingkar kepadanya. Kalau karena hal ini aku tidak berani menemui Beng Bing-sia, betapapun harus diutamakan. Asal tugas bakti ini tidak dijadikan alasan seumpama setiap saat bergaul bebas dengan beng Bing-sia apapula halangannya?”

Begitulah dalam keadaan gundah dan perang batin, lamat2 Li Su-lam mendengar suara benturan senjata tajam dari kejauhan. Li Su-lam terperanjat, pikirannya rada sadar dari mabuknya, tepat pada saat itulah terdengar lengking sebuah suitan panjang dari kejauhan, didengar dari nadanya yang lencir terang adalah suitan seorang gadis.

Untung benar suitan itu bergema begitu panjang dan keras, tepat pada saat Li Su-lam berjingkrak kaget sebatang piau terbang melesat masuk dari luar jendela, secara gerak reflek Li Su-lam lontarkan botol araknya yang sudah kosong, sudah tentu botol arak itu terbanting hancur, namun senjata rahasia itupun tersampuk jatuh.

Betapa kejut Li Su-lam, namun lebih kejut lagi orang yang membokong diluar itu. Botol arak yang terbuat dari tanah liat yang mudah pecah, namun sekali sambit saja Li Su-lam mampu memukul jatuh senjata rahasianya yang terbuatdari besi, terang lwekangnya jauh diatas kemampuannya. Mau tak mau orang itu berpikir: “Tak heran semasa hidup Khan agung begitu kagum dan sangat menghargai kepandaiannya. Kepandaian bocah ini mungkin jauh berada diantara kawan2 kelompok Busu kemah mas kita.”

Kalau dikata lambat kenyataan begitu cepat, dengan gaya Yan-cu-coan-lian (burung seriti menerobos kerai) sekali loncat Li Su-lam menerjang keluar dari jendea, bentaknya gusar: “siapa kau? Tengah malam buta rata kenapa main bokong?”

Orang itu membalikan golok menangkis babatan pedang Li Su-lam, hardiknya: “Khan agung memberi berkah kepadamu, kenapa kau malah lari pulang kandang?”

Dibawah penerangan bulan sabit sekarangLi Su-lam suah melihat tegas wajah orang ini, samar2 masih dikenalnya waktu berburu di pegunungan Ken tempo hari. Orang ini merupakan slah seorang pengikut pangeran Tin-kok.

Li Su-lam menjadi murka: “Kurang ajar! Aku pulang ke kampung halaman sendiri kalian masih mengejar kemari? Hm, disini tanah bangsa Han kita, tak bisa kubiarkan kalian mengganas disini.” Orang itu berhasil memunahkan berbagai serangan Li Su-lam , namun seluruh kepandaian dan tenaga sudah tumplek keluar, keruan keadaannya menjadi serba sulit dan payah, insaf ia bahwa dirinya buka tandingan orang, mendadak ia ayun sebelah tangannya menyabitkan sebatang senjata rahasia. Li Su-lam miringkan badan menghindar “blum” senjata rahasia itu meledak memercikkan api.

Kiranya pada jaman Jengis Khan ini bangsa Mongol saudah berhasil membuat bahan peledak meski masih serba sederhana, namun senjata rahasia yang bisa meledak ini merupakan salah satu macam senjata peledak yang istimewa. Untung melulu senjata rahasia berbentuk ekcil dan daya bakarnya tidak begitu besar maka kekuatannyapun tidak begitu mengejutkan.

Tahu dirinya takka menang senjata rahasiapun tak dapat meukai Li Su-lam maka begitu mendapat kesempatan cepat2 orang itu lari sipat kuping. Li Su-lam tak sempat memadamkan api lagi yang penting mengejar musuh lebih dulu. Beberapa kali lompatan ia berhasil mengejar tiba dibelakang orang, bentaknya: ‘Diberi tidak membalas tentu kurang hormat, nih kaupun sambutlah kepunyaanku.”

Kedua jari Li Su-lam dijentikkan, creng. Creng dua buah mata uang ia sambitkan bersama sebagai senjata rahasia. Busu Mongol itu membalikan goloknya menyampok jatuh sebuah yang didepan, tapi mata uang yang kedua denga telak mengenai jalan darah ciam-kin-hiat. Kontan Busu Mongol itu terjungkaljatuh sambil berteriak nyaring.

Baru saja Li Su-lam memburu maju hendak membekuknya, mendadak terdengar pula suara suitan nyaring itu, nada suitan jauh lebih lemah dari pertama tadi terang napasnya sudah empas empis dan tenagapun hampir habis. Li Su-lam menjadi kaget, pikirnya: ‘Suitan ini terang suara seorang perempuan, siapakah dia? Lebih penting aku menolong orang, orang ini sudah ditotok jalan darahnya, sepulangnya nanti biar kukompes keterangannya.”

Cepat2 ia kembangkan ilmu rinagn tubuh Pat-pou-kan-sian (delapan langkah mengejar tonggeret) terus berlari kencang ke arah datangnya suara. Waktu itu dipinggir kampung tampak didepan sana seorang gadis berpakaian merah tengah bertempur sengit melawan laki2 yang menggunakan golok tunggal.

Dibawah cahaya bulan jelas kelihatan gadis berpakaian merah itu bukan lain adalah Beng Bing-sia adanya. Dalam sekejap itu hati Li Su-lam sungguh kejut dan girang bukan main hampir saja ia terkesima dan menjublek di tempatnya. Belum lama berselang baru saja ia berpikir apakah ia perlu pergi mencari Beng Bing-sia? Siapa tahu tanpa dicari sekarang Beng Bing-sia malah muncul dihadapannya.

Laki2 yang melawan Beng Bing-sia itu memang cukup lihai, permainan goloknya cukup ganas, dilihat dari kejauhan goloknya diputar begitu kencang seperti kilatan sinar putih membungkus segumpal awan merah. Baju Beng Bing-sia me-lambai2, terjang kiri terobos kanan betapapun tak berhasil keluar dari rintangan kilatan sinar putih itu.

Saat mana Beng bing-sia sudah melihat kedatangan Li Su-lam, keruan girangnya bukan kepalang, teriaknya: “Su-lam kau sudah pulang? Keparat ini keponakan Yang Thian-hui, mereka paman dan keponakan adalah anjing pengkhianat bangsa yang menjadi mata2 bangsa Mongol.” Belum habis kata2nya, mendadak laki2 itu membacok dengan goloknya, kontan Beng Bing-sia membalas dengan sebuah babatan terus diganti jurus berantai menyontek pundak menusuk lambung, ternyata permaian pedangnya cukup lihai pula.

Siapa tahu permainan golok laki2 itu ternyata memang hebat, jurus tersembunyi dalam jurus, tipu dilembari dengan tipu pula, se konyong2 telapak tangannya membalik bukan saja goloknya menyamber telapak tangannyapun ikut beraksi dengan serangan yang mematikan, tunjuk timur, gempur barat, babat selatan bacok utara, mendadak terdengar ia membentak: “Roboh!” sebuah pukulan dahsyat laksana geledek menyamber tiba2 sudah menyelonong didepan dada Beng Bing- sia. Saat mana pedang panjang Beng Bing-sia tertahan oleh golok lawan sehingga tak mampu bergerak dengan lincahnya, terang pukulan telapak tangan itu bakal mendarat dengan telak didada Beng Bing-sia dan tak mungkin dihindari lagi.

Untung gerak berbagai pihak adalah begitu cepat laksana kilat, di saat2 kritis telapak tangan laki2 itu hampir mendarat didada Beng Bing-sia, tangkas sekali Li Su-lam menerjang tiba tubuh dan bayangan pedangnya tergubat menjadi satu merangsak tiba denganjurus Pek-hong-koan jik (pelangi menembus sinar matahari), ujung pedangnyapun sudah mengancam tepat di punggung si laki2 itu. Laki2 itu adalah kepnokanan iblis besar Yang Thian-lui yang bernama Nyo Kian-pek. Yang thian- lui merupakan tokoh utama dari golongan sesat, karena tidak punya anak maka keponakannya ini dipandang sebagai anak kandung sendiri, sejak kecil Nyo Kian-pek diasuhnya hingga besar dan dididik ilmu silat, boleh dikata kepandaiannya sudah menelan sebagian kemampuan pamannya, sudah tentu ilmu silatnya sangat tinggi.

Begitu emndengar kesiur angin dibelakangnya dimana ujung pedang tengah mengancam punggungnya sigap sekali ia berkisar memutar tubuh sembari melintangkan goloknya menyampok miring pedang Li Su-lam. Jurus permainannya ini sungguh berbahaya dan untung dapat menyelamatkan dirinya. Li Su-lam sendiri merasa kagum dan memuji dalam hati batinnya: “tak heran suhu pandang Yang Thian-lui sebagai musuh bebuyutan yang paling tangguh selama hidup. Ternyata keponakannyapun sedemikian lihai.”

Ginkang Beng Bing-sia cukup tinggi, karena Nyo Kian-pek harus menggerakkan golok untuk menangkis pedang Li Su-lam, meski telapak tangan kiri masih menyelonong kedada Beng Bing-sia namun daya kekuatan pukulannya menjadi banyak berkurang. Sekali berkelebat dan mencelat Beng Bing-sia berhasil menghindar diri. Tapi ia tidak berhenti begitu saja, pedangnya ‘ser’ menukik balik menusuk kejalan darah Hun-kun-hiat dibawah ketiak Nyo Kian-pek.

Lekas2 Nyo Kian-pek merubah ilmu pukulannya dengan ilmu tangan kosong merebut senjata, kelima jarinya bagai cakar langsung mencengkeran pergelangan tangan Beng Bing-sia. Tapi gerak perubahan pedang Beng Bing-sia juga turun dan sedikit dimiringkan kesamping terus dibabatkan maju “crat!” ujung baju Nyo Kian-pek berlubang besar ditembus ujung pedang. Ini masih untung karena Beng Bing-sia harus menghindari cengkeraman tangannya, sehingga ujung pedangnya ikut tertarik miring, kalau tidak pasti ujung pedangnya sudah menusuk amblas kedalam lambungnya. Saking kaget keringat dingin membasahi tengkuk Nyo Kian-pek. Bentaknya dengan gusar: “Bagus, kalian majulah bersama. Li Su-lam, kalau aku takut aku tak bakal datang kemari!”

Istilah ‘maju bersama’ bagi pendengaran Li Su-lam sungguh sangat menusuk telinga, keruan mukanya menjadi jengah . Tapi sedikitpun ia tidak perlu sangsi, pedangnya dengan gesit bergerak lagi menusuk kepada musuh serta makinya: ‘Memang menghadapi pengkhianat bangsa yang menjadi antek musuh seperti tampangmu ini buat apa harus bicara tentang peraturan kangouw apa segala? Peduli kau takut atau tidak, bagaimana juga pedang pusakaku ini harus membabat habis segala kejahatan.”

Nyo Kian-pek menyeringai, ejeknya: “Mengandal kepandaian pasaran ini kau berani hendak membunuh aku?” ~ dimulut ia berkata garang dan congkak, namun menghadapi serangan pedang Li Su-lam yang hebat dan kuat itu betapapun ia harus tumplek segala perhatian untuk menghadapinya. Tat-mo-kiam-hoat yang dimainkan Li Su-lam adalah ajaran murni dari Siau-lim-pay, jurus permainan serta tipu2 nya mungkin tidak serumit ilmu pedang Beng Bing-sia, namun ilmu pedang ini memang peranti dan leluasa untuk menjaga diri dan balas menyerang, penjagaannya sangat rapat serangannyapun cukup keji. Apalagi lwekangnya jauh diatas Beng Bing-sia, maka kalau Nyo Kian- pek melawan Beng Bing-sia bisa berada diatas angin, namun menghadapi Li Su-am sukar baginya untuk dapat menang. Kini Li Su-lam dan Beng Bing-sia maju bersama mengeroyoknya keruan ia semakin terdesak hanya mampu bertahan tanpa kuasa balas menyerang lagi.

Sepuluh jurus telah berlalau, diam2 Nyo Kian-pek mengeluh dalam hati, pikirnya: ‘kalau aku tidak nekad dan menempuh bahaya mungkin jiwaku susah ditolong lagi,’ karena sengitnya segera ia kembangkan ilmu golok ajaran pamannya yang paling hebat, tak lupa dalam permainan goloknya ini ia kombinasikan pula dengan ilmu pukulan, kali ini yang diserang denga deras adalah Li Su-lam dengansebuah bacokan maut.

“awas, ilmu latihannya adalah Thi-sa-ciang!” teriak Beng Bing-sia memperingatkan.

“Tak menjadi soal,” jawab Li Su-lam. Sementara itu telapak tangan mereka sudah bertemu ditengah jalan. “Blang” begitu kedua telapak tangan masing2 kebentur, tubuh Nyo Kian-pek menggeliat terus jumpaltitan mundur tiga tombak jauhnya, sigap sekali Beng Bing-sia lompat mengejar seraya menusukkan pedangnya dan berhasil menggores sebuah luka panjang dipundaknya. Nyo Kian-pek menggerung kesakitan seperti binatang yang kena luka ia melarikan diri berlari lintang tukang sambil ber-kaok2.

Waktu Beng Bing-sia hendak mengejar dilihatnya Li Su-lam berdiri tegak tanpa bergerak sambil mengerutkan alisnya, naga2nya tiada maksud hendak mengejar musuh, keruan ia terkejut, serunya: ‘Li-toako,kenapa kau?”

Li Su-lam menghirup napas lalu mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya tiga putaran untuk menghimpas tekanan berat yang menyesakkan napasnya, setelah itu baru ia sempat berbicara: ‘tak apa2, Thi-sa-ciang bajinagn itu cukup lihai, sungguh diluar perhitunganku.”

Waktu ia ulurkan telapak tangannya kedepan Beng Bing-sia, tampak ditengah telapak tangannya terdapat bundaran merah yang menyolok mata seperti kena terbakar. Sungguh kejut dan merinding kuduk Beng Bing-sia melihat kehebatan ilmu lawan.

Ternyata lwekang Nyo Kian-pek sebetulnya tidak dibawah Li Su-lam kalau tidak mau dikatakan sebanding. Tapi karen ai harus waspada dan berjaga2 dari sergapan Beng Bing-sia terpaksa tidak bisa melimpahkan seluruh kekuatannya, tak heran dalam benturan tadi ia terkena tergetar mundur oleh tenaga pukulan Li Su-lam.

Tanya Li Su-lam: ‘Nona Beng, kenapa kau bisa datang ke kampungku ini? Secara kebetulan berjumpa disini atau sebelumnya kau sudah tahu niat jahat mereka?”

Beng Bing-sia tertawa, sahutnya: ‘Aku memang datang mencari kau! Peristiwa malam ini dikata kebetulan atau tahu sebelumnyapun boleh. Kalau diceritakan amat panjang biar nanti kita bicarakan pelan2. Orang she Nyo itu masih punya begundal apakah sudah kau gebah lari?”

“Busu Mongol itu sudah kutotok jalan darahnya, mari kita pulang untuk mengompes tawanannya di semak rumput di pinggir jalan, sangkanya pasti Busu Mongol itu masih rebah disana. Tak duga waktu mereka kembali bayangan Busu Mongol itu sudah tak kelihatan lagi, entah membuka jalan darah sendiri atau ditolong orang.

“he, dikampung ada kebakaran, apakah ” Teriak Beng Bing-sia, belum lagi ia bicara

habis tampak seseorang telah ber lari2 datang serta berteriak: ‘Li-siangkong, lekas kau kembali rumahmu kebakaran!” ~ ternyata senjata rahasia Busu Mongol yang meledak tadi telah menimbulkan kebakaran.

Untung segala peralatan dan harta benda Li Su-lam yang ada dalam rumah sudah dibagikan kepada para tetangga, tiada barang ketinggalan yang mudah terbakar, apalagi bara api tidak begitu besar sehingga kebakaran ini mudah diatasi. Waktu Li Su-lam sampai depan rumahnya, para tetangga sudah be-ramai2 memadamkan kebakaran ini.

Kata paman Thio: ‘Omitohud, kukira kau masih mendengkur dalam impianmu smapai tak tahu rumah sendiri terbakar. Untung kau berhasil lari keluar. Bagaimana terjadinya kebakaran ini? Siapakah nona ini?” ~ para tetangga menjadi heran dan ber tanya2 karena Li Su-lam kembali dengan seorang gadis yang mereka belum kenal.

“Ada begundal Mongol yang hendak mempersulit padaku,’ sahut Li Su-lam, “Tentu anjing keparat itulah yang melepas api ini. Nona Beng ini adalah kawanku, untung dia mengetahui musuh hendak mencelakai aku dan memanggilku keluar. Selain itu ada pula rampok yang telah dipukul mundur atas bantuannya.”

Tatkala itu hari sudah terang tanah orang2 kampung yang melihat keramaian semakin banyak keruan Beng Bing-sia semakin kikuk dan malu ditonton begitu banyak orang. Merek begitu kesima melihat penganten baru, malah merekapun ber bisik2 memperbincangkan Beng Bing-sia: “sungguh tak kira gadis rupawan yang lemah lembut ini ternyata punya kepandaian begitu lihai.’ ~ Lihatlah ia berdiri berendeng dengan Li-siangkong, betul2 sepasang jodoh karunia Tuhan,” betapapun polos dan lapang jiwa Beng Bing-sia, mendengar kisikan ini tak urung merah jengah selebar mukanya. “Memang aku sudah berkeputusan hendak berangkat pagi ini,” seru Li Su-lam, “Banyak terima kasih akan bantuan para saudara yang telah memadamkan kebakaran ini, sekarang kalian kebetulan berkumpul disini, maka aku mohon diri dan selamat berpisah.” Ia menjura dalam sambil memutar bada lalu membawa Beng Bing-sia meninggalkan kampung halamannya.

Di saat Li Su-lam dan Beng Bing-sia ambil berpisah dengan orang2 kampung, di lereng bukit diluar kampung di belakang sebuah pohon besar ada seorang juga tengah meninggalkan tempat sembunyinya secara diam2. Li Su-lam dan Beng Bing-sia tidak mengetahuinya. Setelah jauh keluar kampung baru mereka ada kesempatan bicara. Tanya Li Su-lam: “Untuk keperluan apa kau datang mencariku?”

“Waktu berada di lembah kupu2 si Sehe tempo hari Suheng To Hong yang bernama Ciok Bok pernah datang mencari kita. Dia bercerita tentang kau baru kami mengetahui pengalamanmu selama ini. Ai, Li toako, kaupun tidak perlu terlalu bersedih, Nona Nyo gugur sebagai pahlawan bangsa, kukira iapun takkan meneysal akan pengorbanannya.”

Ternyata waktu Ciok Bok bertemu dengan Beng Bing-sia di lembah kupu2 masih belum tahu bahw asebenarnya Nyo Wan belum mati, kemudian baru ia bertemu dengan Nyo Wan didalam kota kecil diperbatasan itu, baru diketahui olehnya bahwa NYo Wan sebetulnya masih hidup. Sejak berpisah dilembah kupu2 Beng Bing-sia tidak pernah bertemu dengan Ciok Bok.

Beng Bing-sia pun menyangka Nyo Wan betul2 sudah mati, dengan bujukan manis ia menghibur dan menasehati Li su-lam, membuat Li Su-lam serba runyam dan tertawa getir saja. Melihat Li Su- lam tidak menitikkan air mata dan bersedih sungguh heran dan diluar dugaan Beng Bing-sia malah, batinnya: “agaknya dia tidak begitu berduka merana, apakah hubungannya dengan Nyo Wan tidak begitu erat dan kekal sebagaimana dugaanku semula?”

Sebaliknya Li Su-lam sendiri saat itu juga tengah berpikir: ‘Benar,, meski Nyo wan masih hidup namun sekarang dia sudah menjadi istri orang lain, dalam lubuk hatiku anggap dia sudah mati saja!”

~ karena itu ia menyahut tawar saja: ‘Nona Beng, banyak terima kasih akan perhatianmu ini.” Beng Bing-sia menghela napas, ujarnya: “Aku takut kau berduka karenanya, kalau hatimu bisa terbuka itulah baik sekali.” ~ lahirnya ia berkata begitu namun dalam hati ia mencemooh: ‘Orang sering berkata jiwa laki2 rada sempit dan gampang luntur, kiranya benar!”

Li Su-lam tak ingin berkepanjangan membicarakan tentang Nyo Wan, segera ia putar pokok pembicaraan: ‘Nona Beng, kenapa kau tak berada di markas To Hong, malah seorang diri kemari?” To Hong sudah tahu musuh besar pembunuh ayahnya adalah iblis besar durjana Yang Thian-lui, sakit hati ini mungkin tak mudah dibalas. Demi membantu usahanya aku kembali dari Mongol dan kembali pula ke kanglam rumahku, mengundang ayahku keluar membantu.”

“Ayahmu suah datang?” tanya Su-lam.

“Para kawan Bulim di Kanglam tengah berunding cara bagaimana menghadapi serbuan tentara Mongol, ayah mungkin harus terlambat sedikit hari lagi baru bisa menyusul kemari.” Demikian Beng Bing-sia memberi keterangan, “Mengenai persoalanmu sudah kusampaikan kepada ayah, beliau pernah salah paham terhadap kau sekarang setelah tahu duduk perkara sebenarnya beliau sungguh menyesal dan mohon maaf.”

Itu tidak menjadi soal. Tapi baik juga kalau Beng tayhiap sudah tahu seluk beluknya.

Beng Bing-sia menyambung ceritanya: “Markas To Hong berada di Long gak san disebelah tenggara distrik Impeng, jaraknya tidak terlalu jauh kira2 empat lima hari perjalanan dari kota Bu- seng dan teringat akan kau. Aku tidak tahu apakah kau sudah pulang maka sengaja aku datang bertandang.’

“Terima kasih akan kunjunganmu ini.” Kata Su-lam.

“Bicara terus terang,” ujar Bing-sia tertawa, kedatanganku ini bukan melulu kangen lantas bertandang kemari, tujuanku adalah mengajak kau membantu To hong. Untuk sementara waktu ayahku tidak bakal datang, markas perlu beberapa tenaga yang berkepandaian tinggi.”

“Sudah menjadi kewajibanku untuk membantu, umpama kau tidak datang akupun hendakkesana mencari kalian.”

Untuk selanjutnya Beng Bing-sia bicara lagi: “Secara kebetulan aku melihat Nyo Kian-pek mencar tahu alamat rumahmu dikota Bu-seng, aku lebih waspada dan kukuntit mereka. Setelah mengetahui tempat tinggalmu ia berunding dengan bahasa Mongol dengan perwira itu, meski bicara dalam bahasa Mongol aku kurang lancar namun aku dapat mendengar arti pembicaraan mereka. Aku mendengar bahwa pamannya siang2 sudah menjadi antek orang Mongol, kali ini dia mendapat tugas bersama perwira itu dengan dua tujuan. Pertama melihat kau sudah kembali belum, kalau sudah kembali kau akan dibunuh dan kepalamu akan dipersembahkan kepada Sia It-tiong. Kalau kau belum kembali mereka akan menggeledah isi rumahmu. Menurut apa yang kudengar dari pembicaraan mereka agaknya dirumahmu ada tersimpan buku militer apa aku yang kurang terang, yang jelas bahwa Jengis Khan sendiri juga tengah mengincar buku itu.”

Baru sekarang Li Su-lam jelas segala2nya. Pikirnya : ‘memang aku pernah ngapusi Sia It-tiong bahwa buku catatan kemiliteran itu tidak kubawa serta. Tak heran ia kirim orangnya untuk menggeledah rumahku. Kalau hanya karena aku tak mungkin mereka bekerja begitu serius.”

Beng Bing-sia menyambung lagi: “Secara diam2 kukuntit mereka, siapa tahu ternyata mereka sudah waspada, begitu masuk kampung lantasjejakku konangan oleh mereka. Thi-sa-ciang orang she Nyo itu memang cukuop lihai, kalau kau tidak datang menolong tepat pada waktunya hampir saja aku terjungkal oleh tangan jahatnya.”

Kata Su-lam: “Konon To Pek-seng masih seorang putra yang bernama To-Liong, setelah ToPek- seng mati, apakah dia yang mewarisi jabatan Bulim Bingcu Itu? Mana Li Su-lam tahu laki2 yang mengaku sebagai suami Nyo Wan dan bertempur dengan dirinya dalam penginapan itu justru adalah to Liong.

“jangan kau singgung tentang orang ini,” kata Beng Bing-sia, “Orang inijahat dan bejat perangainya. Jiko To Hong yang brnama Liong Kang justru teraniaya sampai mati olehnya. Dia bersekongkol dengan ayah beranak Tun-ih Ciu sampah dunia persilatan, sudah banya bukti2 yang nyata menandakan mereka menjadi kakki tangan bangsa Mongol.

Li Su-lam menghela napas, ujarnya: “To Pek-seng seorang pahlawan yang gagah berani, ternyata punya putra bejat dan durhaka, sungguh sangat mengenaskan. Lali bagaimana To Hong dibandingkan engkohnya “

To Hong sudah putuskan hubungan persaudaraan denganengkohnya,” demikian Beng Bing-sia menjelaskan, ‘To Liong tidak berani pulang,sekarang seluruh anak buah To Pek-seng sudah mengangkat To Hong sebagai gantinya. Tapi karena usianya masih muda cetek pengalaman lagi, kalau anak buah ayahnya mau tunduk dan terima perintah, tapi para cecu lainnnya belum tentu mau tunduk kepadanya. Maka saat ini dia justru sangat perlu bantuan orang2 pandai.’

To Hong merupakan wanita perwira yang menuruni sifat2 gagah ayahnya, sang waktu akan menggemblengnya menjadi seorang yang bisa menegakkan wibawa dikalangan Bulim!” demikian puji Su-la.

To Hong memang gadis yang cerdik pandai, namun pelajaran atau ilmu perang sedikitpun ia tidak paham. Kau merupakan keturunan orang berpangkat, sering baca buku dan paham taktik peperangan maka bantuanmu sangat diperlukan disana.’

Li Su-lam tertawa,ujarnya: ‘Buku catatan kemiliteran peninggalan ayahku memang sudah kubaca apal, namun apa yang tercatat didalam buku adalahteori melulu, entah apakah dapat dilaksanakan dalam praktek? Aih Bicara sampai disitu mendadak ia berhenti se akan2 tengah

mendengarkan ssuatu suara.

‘Apa yang kau dengarkan?’ tanya Beng Bing-sia heran.

‘Dalam hutan sana agaknya ada seorang perempuan menghela napas!” “Apa betul? Kenapa aku tidak dengar?”

‘Biar kulihat kesana.”

Beng Bing-sia tertawa geli godanya: ‘Mungkin mantu orang yang tengah dirundung kesedihan karena jengkel pada mertuanya, buat apa kau urus tetek bengek ini?”

Li Su-lam tetap masuk kedalam hutan memeriksa, namun tak seorangpun ditemuinya. “Siapa kiranya yang kau duga sembunyi disini?” tanya Beng Bing-sia.

Li Su-lam rada sangsi pikirnya: ‘Apakah aku yang terlalu curiga atau salah pendengaran? Nyo Wan sudah menikah dengan orang lain , mana mungkin datang kemari?” Kiranya samar2 ia mengenal suaar hela napas itupersisi benar dengan suara Nyo Wan.

Su-lam segan menyinggung soal NyoWan lagi terpaksa ia menyahut meng-ada2: ‘Aku kuatir anak manu siapa yang lari kemari hendak mencari jalan pendek.”

‘Sudah sekarang kau boleh berlega hati bukan.” Goda Beng Bing-sia lagi, dalam hati ia tertawakan sikap Li Su-lam yang linglung ini.

Setelah keluar dar hutan entah mengapa hati Su-lam masih dirundung kekuatiran. Dengan ter mangu2 ia berjalan terus kedepan sambil menunduk. Teringat olehnya pada waktu berada dilembah gunung pedalaman saat ia melarikan diri bersama Nyo Wan. Duduk di pinggir kolam Nyo Wan membuang jelopak bunga kedalam air yang mengalir pelan dan hilang di kejauhan. Hari itu adalah hari kedua setelah ikatan jodoh mereka, Nyo Wan pernah menyatakan rasa kuatirnya bahwa ia hanya menurut akan perintah sang ayah baru bertunangan dengan dirinya, maka ia merasa rawan menghadapi keadaan yang menyedihkan ini , meminjam bunga ia bermain air untuk melampiaskan rasa duka nestapa yang tersekam dalam lubuk hatinya.

Hati Su-lam membatin: ‘Sungguh tak duga peristiwa yang dikuatirkan oleh adik Wan kini menjadi kenyataan. Tapi bukan karena aku ingkar janji adalah karena adik Wan sndir yang berubah.

Siapakah yang harus disalahkan. Gara2 pasukan Mongollah sehingga kita harus berpisah di tengah keributan itu, keadaan lah yang menentukan sehingga adik Wan merubah haluan. Ai, bunga rontok melayang, air mengalir sendiri, enta dimanakah sekarang adik Wan berada. Orang itu belum tentu suami yang baik, kasihan kalau adik Wan takkan bisa sehidup semati sampai hari tua.”

Teringat akan masa lalu tak kuasa hati Li Su-lam menjadi pilu, rasa duka dan rawan sukar dibendung lagi. Terlihat oleh Beng Bing-sia kelopak mata Li Su-lam mengembeng air mata, tak teras ia ikut tertegun, serunya: “Su-lam, persoalan apakah yang tengah kau risaukan?”

“Ayahku wafat dirantau orang, jauh2 aku kembali kekampung halaman tak kira ibundapun telah meninggal. Sekarang aku berpisah dengan tempat kelahiran selanjutnya tiada tempat menetap lagi, betapa hati ini takkan pilu.”

“Hidup manusia memang jamak mengalami berbagai bencana, apalagi dalam jaman yang kalau balau, apa hanya kau seorang saja yang mengalami malapetaka? Jauh didepan sana masih luas tanah yang dapat kau arungi, disana tiada tempat tinggal namun disana kau bisa berpijak dan menetap.

Kau pun tak perlu memeras diri!”

Li Su-lam menjadi sadar, katanya: ‘Tepat sekali ucapanmu, diluar sana masih luas tanah perdikan, aku harus kelaur menerobos lingkaran yang kubangun dalam angan2 ku sendiri.”

Dengan membekal perasaan hambar Li Su-lam ambil berpisah dengan kampung halaman kelahiran bersama Beng Bing-sia menuju arah timur.

Belum lama setelah Li Su-lam lewat terlihat seorang gadis beranjak keluar dari dalam hutan melewati sebuah jembatan batu, dimana tadi Li Su-lam mengenang masa lalu, disini gadis itu menghamburkan daun2 pohon kedalam sungai. Gadis ini tak lain tak bukan aalah Nyo Wan. Perasaan Li Su-lam memang tajam tadi ia tidak salah dengar, suara helaan napas dalam hutan itu memang suara Nyo Wan. Sayang Li Su-lam tidak memeriksa secara teliti. Kini waktu Nyo Wan berjalan keluar dia sudah pergi jauh bersama Beng Bing-sia. 

Diatas jembatan Nyo Wan melemparkan daun2 kering kedalam sungai, betapa duka lara lubuk hatinya boleh dikata jauh lebih parah dari Li Su-lam. Beruntung terhindar dari berbagai malapetaka ia berhasil lolos pulang ke negeri leluhur membekal harapan besar datang mencari Beng Bing-sia. Sungguh dilaur tahunya, Beng Bing-sia memang sudah ditemukanm, namun Beng Bing-sia pergi bersama Beng Bing-sia. Sang Mertua yang bakal ditemuinyapun sudah wafat,

Ucapan Beng Bing-sia tadi dapat didengarnya dengan jelas, bisak bisik para orang kampungpun ia sudah tahu. Tanpa merasa Nyo Wan berpikir: “Ternyata nona Beng itu menyangka aku sudah mati, tak heran ia datang mencari engkoh Lam.” ~ terpikir pula: “Omongan orang2 kampung itupun tak salah, engkoh Lam sangat cocok seperti apa yang dikatakan orang kampung merupakan jodoh karunia Tuhan.” ~ lantas terpikir pula olehnya: ‘Terang mereka menyangka aku sudah mati, buat apa aku muncul diantara mereka menjadi batu sandungan belaka? Ai, lebih baik aku anggap diriku sendiri sudah mati saja!”

Berpiir kearah yang menyedihkan ini ingin rasanya Nyo Wan terjun ke sungai bunuh diri saja. Namun terkilat dalam otaknya pikiran lain: “Sia It-tiong itu bukan saja musuh besar engkoh Lam juga musuh besarku. Sebelum dendam ini terbalas masa aku boleh mati begitu saja?” ~ Ucapan Beng Bing-sia yang dapat dicuri dengar tadi sekarang mendadak mengiang di pinggir telinganya: “ Diluar sana masih luas tanah perdikan, kenapa kau tidak melangkah kesana?” ~ Terpikir oleh Nyo Wan: “Nona Beng berhasil merebut engkoh Lamku, namun ucapannya ini betul2 sangat tepat.

Akupun harus berani menjebol segala rintangan dalam lingkunganku.” Tapi meski dunia sedemikian luas kemana pula aku harus menetap? Li Su-lam bisa pergi ke markas To Hong bersama Beng Bing-sia, sebaliknya kemana aku harus pergi? Dalam dunia ini ia tiada sanak kadang, sampai seorang terakhir yang pernah hidup bersama mengalami berbagai penderitaan seperti Li Su-lam pun telah ikut orang lain, siapa lagi yang dapat diandalkan olehnya sekarang?” Betapapun jalan ini harus ditempuh, seumpama didepannya tiada jalan lagi dan tiada kawan seorang diripun aku harus melangkah maju, pantang mundur. Dunia sebetulnya tiada jalan, hanya manusialah yang membuat jalan itu karena melewatinya.

Maka Nyo Wan menekan rasa duka lara, iapun meninggalkan kampung halaman Li Su-lam. Untuk selanjutnya tidak berharap berjumpa lagi dengan Li Su-lam maka dicarinya jalan lain yang ber liku2 di pedalaman. Waktu tengah hari ia sampai di sebuah gundukan tanah tinggi, dari dalam hutan terdengar dering beradunya senjata tajam, agaknya ada orang tengah bertempur sengit disana. Suara salah seorang diantaranya agaknya sudah kenal malah, Nyo Wan tak punya minat turut campur segala urusan tetek bengek, tapi pertempuran kedua orang dalam hutan serta bentakannya yang riuh rendah itu sungguh menarik perhatiannya.

Nyo Wan tertegun sebentar, tak terasa ia menghentikan langkahnya. Tepat pada saat itulah suara yang seperti telah dikenalnya itu tengah membentak: “Kau bersekongkol hendak mencelakai Li Su- lam, asal aku Ciok Bok masih hidup dan bisa bernapas betapapun jangan harap kalian bisa berhasil.”

Seorang lain lantas ter-kekeh2, serunya: “Memang aku hendak bunuh kau, sekarang kau mau jual nyawa sendiri untuk Li Su-lam, maka bolehlah kusempurnakan kau!”

Nyo Wan tersentak kaget, bergegas berlari masuk kedalam hutan dilihatnya seorang pemuda yang bersenjata pedang tengah bertempur seru melawan laki2 lain yang bersenjata sepasang gaetan.

Waktu Nyo Wan menegas dikenalnya pemuda yang bersenjata pedang adalah orang yang menjual golok dikota perbatasan tempo hari. Orang ini pula yang telah menghancurkan cawan araknya waktu To Liong hendak melolohnya dengan arak obat pada malam itu.

Saat mana Ciok Bok sudah melihat kedatangan Nyo Wan sungguh terkejut dan girang pula, cepat ia berteriak: “Bukankah kau nona Nyo?” ~ sedikit terpencar perhatiannya hampir saja lambungnya kena tergaet oleh senjata musuhnya yang tajam.

Tak sempat menjawab Nyo Wan melolos pedang terus merangsak maju pedangnya menusuk ke rusuk silelaki yang bersenjata sepasang gaetan. Ternyata kepandaian laki2 itu tidak lemah, dalam keadaan terjepit dari depan dan belakang ia masih mampu bergerak selincah itu tanpa gentar, sebat sekali sebuah gaetannya berputar membalik mudah sekali ia punahkan tusukan pedang Nyo Wan yang menggunakan tipu Giok-li-toh-so.

Terdengar laki2 itu ter-loroh2, ujarnya: “Ternyata kau inilah Nyo Wan, tapi apa kau tahu siapa aku ini?”

“Aku tahu kau adalah pengkhianat bangsa yang menjadi antek musuh,” bentak Nyo Wan.

“Salah, salah!” seru lai2 itu tertawa. Kalau dibicarakan boleh terhitung kau sebagai famili dekatku, kenapa kau berbalik membantu orang luar malah?”

“Omong kosong, lihat pedang!” maki Nyo Wan.

Ciok Bok ikut bicara: “Tepat, bajingan ini bernama Tun-ih Pin, begundal yang diundang oleh Nyo Kian-pek , mereka bersekongkol hendak menjebak Li Su-lam.”

Tun-ih Pin bergelak tertawa, serunya: “Benar, seorang laki2 berani terus terang. Tun-ih Pin adalah aku. Akulah Tun-ih Pin. Apakah To Liong tidak pernah membicarakan tentang aku dengan kau?” Nyo Wan ter heran2 dianggapnya orang mengomel karena otaknya sinting, namun gerak pedangnya tetap gencar menyerang musuh.

Sepasang gaetan Tun-ih Pin me nari2 dengan lincahnya, beruntun ia punahkan tiga jurus serangan bersama Nyo Wan dan Ciok Bok, mulutnya masih sempat mengoceh. “To Liong sudah setuju menjodohkan adiknya perempuan menjadi istriku. To-toaso (maksudnya Nyo Wan) To Liong adalah suamimu sedang aku adik ipar To Liong bukankah kau dan aku menjadi famili dekat?

Haha,melihat sikapmu ini agaknya To Liong belum memberitahukan kepadamu, To Liong adalah pemuda yang tidur sekamar dengan kau dan mengaku bernama Toh Hiong itu. Urusan kalian aku tahu se jelas2nya. Obrolan Tun-ih Pin ini sungguh membuat Nyo Wan murka bukan main sehingga pandangan serasa gelap. Kesempatan ini tak di sia2kan oleh tun-ih Pin, beruntun ia lancarkan serangan ganas, dimana kedua batang gaetannya berhasil memantek mati pedang panjang Nyo Wan.

Saat mana Ciok Bok tengah meloncat mundur tiga tindak, kebetulan Tun-ih Pin tengah lancarkan serangannya yang ganas ini, cepat Ciok Bok mengayun tangannya, sebatang Tok-liong-piau disambitkan kearah tun-ih Pin. Tun-ih-pin tahu betapa lihainya senjata rahasia berbisa ini, terpaksa ia gerakkan sebuag gaetannya untuk menangkis jatuh Tok-liong-piau yang menyamber tiba.

Nyo Wan rugi dalam adu tenaga yang terpaut jauh, kalau mengadu permainan pedang ilmu kepandaiannya cukup hebat dan jauh diatas kemampuan Tun-ih Pin. Begitu tekanan rada berkurang gaetan Tun-ih Pin menjadi kurang kuat bertahan dari perlawanan pedang Nyo Wan, mudah sekali Nyo Wan lancarkan tipu Sam-coan-hoat-lun dan berhasil memapas runtuh dua gigi gaetan.

Ciok Bok berteriak: “Nona Nyo, mulut anjing durjana ini takkan tumbuh gading, jangan kau tertipu oleh pancingannya.’

Nyo Wan menekan perasaannya, dengan mengertak gigi serangannya makin gencar, bentaknya: ‘bangsat durjana, kubunuh kau!”

Tujuan Tun-ih Pin hendak membuat jengkel Nyo Wan, baru dia ada pegangan mengambil kemenangan. Siapa tahu mau untung malah buntung, sekarang Nyo Wan melancarkan serangan nekad yang mematikan untuk gugur bersama, sungguh dahsyat dan susah dibendung.

Kalau seoarng lawan seorang menghadapi Nyo Wan, mungkin Tun-ih Pin boleh membanggakan kepandaiannya, tapi sekarang ia harus menghadapi keroyokan Ciok Bok, walaupun kepandaian Ciok Bok setingkat dibawahnya, betapapun merupakan lawan berat pula.

Ciok Bok lancarkan siasat tempur gerilya dan berlari putar2, setiap ada kesempatan lantas menyambitkan Tok-liong-piau. Justru Tun-ih Pin paling gentar dan takut menghadapi Tok-liong- piau karena bisa Tok-liong-piau sangat ganas begitu kena darah lantas bekerja sekejap mata jiwa lantas melayang. Keruan Tun-ih Pin kebat kebit.

Pedang Nyo Wan bergerak sangat lincah, tusuk timur membabat kebarat, stiap jurus serangannya mengarah tempat2 mematikan di tubuh Tun-ih Pin. Pedang yang digunkan adalah pedang pusaka pemberian putri Minghui, tajamnya dapat mengiris besi seperti memotong tahu. Sedikit Tun-ih Pin berlaku ayal ‘tang’ gaetan ditangan Tun-ih Pin terpapas kutung.

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan, Tun-ih Pin pura2 lancarkan serangan balasan gertakan terus loncat mundur, sambil lari ia tertawa dingin, jengeknya: “To-toaso, kau hendak bunuh aku untuk menutup mulutku bukan? Hehe, kalau ingin orang tak tahu janganlah berbuat. Perbuatanmu serong dengan To Liong seumpama tidak kusebarkan akhirnya Li Su-lam bakal tahu juga. Hm, huh, apakah dia masih sudi menerima kau? Menurut hematky lebih baik kau nikah dengan To Liong saja

, nasi sudah menjadi bubur, buat apa kau mengemis dan minta pengampunan pada Li Su-lam?” Sebetulnya Nyo Wan menekan perasaannya untuk bersabar, tapi serta mndengar perkataan kotor yang memfitnah itu berkobar pula amarahnya sehingga kedua dengkul terasa lemas sampai tak mampu mengejar.

“Tutup mulutmu!” bentak Ciok Bok seraya mengayun tangan, sekaligus ia sambitkan tiga batang Tok-liong-piau. Senjata Tun-ih Pin tinggal sebuah gaetan, dengan senjata tunggalnya ini ia berhasil menyampok jatuh dua piau, dan piau yang terakhir mengarah kelambung kanannya dan tak tertangkis lagi, lekas2 ia tekuk pinggang berusaha menghindar, namun tak urung tajam senjata ini telah menggore luka kulit daging bawah ketiaknya.

Tun-ih Pin cukup tabah dan keji, tanpa ayal gaetannya menggores kebawah terus mengiris kulit dagingnya yang terluka itu, keruan darah mancur bagai air ledeng, ia tak sempat bubuhi obat luka lagi, melarikan diri lebih penting. Meski ia harus mengorbankan sebagian daging diatas tubuhnya paling tidak nyawa sendiri dapat diselamatkan.

Ciok Bok mendengar suara gedebukan, lekas2 ia berpaling kebelakang, dilihatnya Nyo Wan jatuh diatas tanah, airmata tak terbendung lagi.

Bujuk Ciok Bok: “Nona Nyo, keparat itu seperti anjing gila saja layaknya, tak perlu kau marah dan berduka karen ucapannya tadi, kesehatanmu lebih penting.”

Nyo Wan menyeka airmatanya, pikirnya: “Bermula aku boleh anggap diriku sudah mati dan selanjutnya takkan jumpa lagi dengan engkoh Lam, tapi keparat itu memfitnah se-mena2, adalah jamak kalau berita ini bakal didengar oleh engkoh Lam, matipun aku tidk suci bersih lagi. Ai, aku tak bertemu dengan engkoh Lam tak menjadi soal, namun bagaimana juga akuharus berusaha supaya engkoh Lam tahu bahwa badanku ini masih suci bersih.”

Ter-sipu2 Nyo Wan bangkit terus menjura kepada Ciok Bok, katanya: ‘Ciok-toako, banyak terima kasih bahwa kau telah membongkar muslihat keparat itu, aku, sehingga aku tidak terjebak karenanya.”

Ciok Bok menjadi lega hati, katanya gegetun: “Sungguh aku sangat menyesal punya suheng sebejat itu.” Nyo Wan tertegun, tanyanya: “Apa, Toh Hiong adalah suhengmu?”

“Benar,” sahut Ciok Bok, “nama aslinya adlah To Liong, putra sulung suhuku To Pek-seng!” “Jadi adalah engkohnya To Hong?” Nyo Wan menegas.

“Walaupun sebagai saudara sekandung, namun sifat dan watak mereka berlainan. To Hong adalah seorang gadis yang baik,” demikian Ciok Bok memberi penjelasan sekadarnya.

‘Aku tahu,tempo hari aku pernah bertemu dengan dia.” ~ dalam hati Nyo Wan membatin: “engkoh Lam kebetulan hendak kemarkas To Hong, maka kabar angin itu lebih gampang didengar olehnya.” Tanya Ciok Bok: “Nona Nyo, kudengar Su-lam Toako sudah kembali apakah kau sudah pergi kerumahnay?”

“Memang aku baru saja keluar dari kampungnya,” sahut Nyo Wan, “Ya, memang ia sudah pulang.” “Jadi kau masih belum betemu dengan Su-lam toako?” tanya Ciok Bok Keheranan.

Kecut perasaan Nyo Wan, sahutnya gemes: “Sudah, aku sudah melihatnya.”

Ciok Bok bertambah tak mengert, tanyanya lagi: ‘Kenapa kau seorang diri, kemanakah Su-lam toako?”

“aku melihat dia, dia tidak melihat aku. Sekarang dia sudah pergi bersma Beng –lihiap.”

“O, Beng Bing-sia juga sudah datang? Tentu dia mewakili To Hong kemari mengundang Su-lam toako kemarkasnya bukan?”

“Benar,” kata Nyo Wan menerangkan, “Keparat Nyo Kian-pek itu justru dipukul mundur oleh mereka berdua.

Ciok Bok menduga dibelakang persoalan ini tentu ada latar belakang yang tak diketahui oleh dirinya, setelah berpikir sebentar segera ia berkata; ‘Kalau begitu lebih menghemat tenagaku. Tapi ada sepatah dua kata,entahlah apakah aku boleh bertanya kepadamu?”

“Ciok toako silahkan katakan saja!”

“kau sudah bertemu dengan Su-lam toako, kenapa kau tidak pergi bersama mereka?” Nyo Wan tertawa getir, ujarnya: “Sebab mereka menyangka aku sudah lama mati.”

Sejenak Ciok Bok menjadi tertegun. Tapi sebagai seoran yang pernah merasakan pahit getirnya permainan asmara sebentar saja ia lantas dapat menebak dari sikap dan rona wajah Nyo Wan, akhirnya ia paham seluruh persoalan ini, batinnya: “ternyata ia merasa jelus dan cemburu terhadap Beng Bing-sia.” ~ maka dengan lemah lembut segera ia membujuk: ‘Beng-lihiap adalah seorang gadis yang polos dan jujur, sifatnya bebas dalam hubungan antar laki dan perempuan.” “Perkenalan Su-lam dan Bing-sia jauh lebih dulu sebelum kenal dengan aku. Jangan kau salah paham menyangka aku sirik terhadap meeka.”

Ciok Bok tersenyum geli, katanya: ‘menurut apa yang kau tahu. Beng-lihiap dan To Hong sangat kagum dan sujud kepadamu. Kalau kaupun naik kegunung tentu mereka akan gembira.”

Nyo Wan menghela napas, ujarnya: “Untuk apa aku kesana? Ai, Ciok toako, kau, kau takkan paham!”

“Nona Nyo, agaknya kau ada sedikit salah paham terhadap Su-lm toako?” “Tidak, aku tidak salah paham terhadapnya.”

“Atau mungkin kau takut dia yang salah paham terhadap kau? Legakanlah, waktu di Sehe aku pernah bertemu dengan saudara Su-lam, dia sangat kangen kepadamu. Kalau tahu penderitaanmu ini tentu ia sangat simpatik dan belas kasihan, tak mungkin timbul salah paham. Kalau kau masih kurang lega, baiklah aku juga bisa bikin bersih persoalan ini.”

Merah malu wajah Nyo Wan, katnya: “Kau boleh beritahu dia apa yang kau lihat tentang diriku, tapi jangan sekali2 kau beritahukan jejakku kepadanya. Aku harap dia tetap anggap aku sudah mati saja.”

“kenapa begitu?”

“Tidak kenapa. Beruntung aku bisa tetap hidup setelah mengalami bencana itu, hatiku sudah lama tawar.”

Ciok Bok tahu apa yang diucapkan tidak selaras dengan isi hatinya, namun sesaat ia menjadi kehabisan kata2 untuk membujuk.

“Ciok toako,” kata Nyo Wan, “Terima kasih akan pemberian golok pusakamu ini kepadaku, sekarang kukembalikan kepadamu.” ~ Setelah mengembalikan golok itu segera ia menjura dan pamit.

‘nanti dulu!” seru Ciok Bok.

“Sekarang aku sudah peroleh sebilah pedang bagus, sudah seharusnya golok pusaka ini kukembalikan!”

“Bukan golok ini yang kupersoalkan, yang kumaksud adalah kau! Kuharap kau tunggu sebentar.” Nyo Wan tersenyum pahit, tanyanya: “Ada apa pula yang perlu diperbincangkan?”

“Nona Nyo seorang diri kemana kau hendak pergi?”

“Aku tidak tahu, kemana kakiku melangkah kesitulah aku pergi.”

Kata Ciok Bok: ‘Nona Nyo, tujuan tertentu kau tiada, kenapa tidak pergi kemarkas kita saja? Kita sepakat untuk membendung dan menahan serbuan pasukan Mongol, bukankah Mongol juga menjadi musuh besarmu? Kita punya musuh yang sama, kenapa pula tidk bisa sepakat dan bergabung untuk melawannya? Nona Nyo , musuh besar dihadapan kita, bolehkah sementara waktu kau kesampingkan dulu urusan pribadi, tenangkan pikiran dan pikirlah sekali lagi.”

Kata2 Ciok Bok diucapkan dengan serius dan tegas, Nyo Wan tergerak dan tersentuh lubuk hatinya, pikirnya: “Benar, mengandal tenagaku seorang betapapun takkan mudah membunuh Sia It-tiong!” setelah dipikir bolak balik akhirnya Nyo Wan mengambil keputusan, katanya: “Ciok toako,aku akan ikut kemarkas kalian, tapi kau harus menyetujui dua permintaanku!”

“baik,coba katakan!”

“Pertama, aku menyaru jadi laki2 ikut kau mendaftarkan diri jadi prajurit, tanggung jawabmu hanya sebagai perantara, jangan sekali2 kau bocorkan rahasiaku. Ingat aku tidak ingin menjadi Tahubak apa segala.”

Ciok Bok tertawa, ujarnya: “Rakyat yang menggabungkan diri kemarkas kita setiap hari ada banyak sekali, gampang saja kalau kau ingin menjadi prajurit rendahan. Cuma aku rada bingung kenapa kau harus berbuat demiian.”

“Sebab aku tidk ingin ada orang lain yang tahu asal usulku selain kau seorang.” “begitupun baik, aku setuju. Lalu yang kedua?”

“Jangan sekali2 kau beritahukan kepada Li Su-lam bahwa aku masih hidup dalam dunia fana ini. Sudah tentu perihal aku berada di merkas juga harus dirahasiakan.”

“Inipun bolehlah,’ sahut Ciok Bok. “Aku hanya beritahu dia bahwa aku pernah bertemu kau dikota kecil diperbatasan itu, selain itu apapun takkan kuceritakan. Namun betapapun aku tidak akan bohong dan menyatakan bahwa kau suah mati.” ~ Kini sedikit banyak Ciok Bok sudah dapat menyelami perasaan Nyo Wan.

“Baiklah, hidup mati biar dia main tebak sendiri. Kata2 seorang laki2 harus dapat dipercaya, kita tentukan perjanjian ini.”

Kiranya Nyo Wan berniat menjadi prajurit rendah untuk mengintip gerak gerik Li Su-lam. Kalau diketahui Li Su-lam benar2 mencintai Beng Bing-sia, dia bersedia tinggal pergi kalau peperangan sudah selesai, selama hidupini takkan muncul dihadapan Li Su-lam.

Setelah ada kata sepakat, Nyo Wan lantas ikut Ciok Bok menuju markas To Hong. Disebuah kota kecil mereka menginap semalam, disini Nyo Wan ganti pakaian menyamar jadi laki2, ia sudah berpengalaman berpakaian laki2, maka samarannya boleh dikata persis benar.

Ciok Bok menepati janjinya, setelah sampai dimarkas ia menutup rahasia ini serapat mulut botol. Dia mengatur segala sesuatunya begiturapi, memberikan Nyo Wan segala yang diperlukan, sejak hari itu Nyo Wan mendapat tugas sebagai peronda. Dipos penjagaan hanya diperlukan seorang petugas dan aplusan dengan prajurit tua, keadaan disini lebih leluasa dan bebas bergerak, karena tidk tercampur baur dengan prajurit lainnya.

Setelah selesai mengatur segala sesuatu yang menguntungkan Nyo Wan , baru Ciok Bok masuk menghadap kepada To Hong.

Waktu ia melangkah masuk keruang pertemuan tampak To Hong sedang bicara dengan para tamu, Li Su-lam dan Beng Bing-sia juga tampak hadir. Selain itu masih ada empat orang lain, mereka adalah Tang Khay-san dari Im-ma-coan, Ting Hwi dari Tiau-hou-ciam, Oh Tiu dari Ya-cu-lim dan Li Tan dari Wa-kong-ceh. Mereka adalah para Cecu dan wakil cecu dari berbagai pangkalan.

Melihat kedatangan Ciok Bok, To Hong tertawa, serunya: Ciok suko, kau kecelik bukan? Beng cici sudah mewakili kita mengundang datang Li toako.”

Suasana yang ramai ini sangat kebetulan bagi Ciok Bok malah, pertama karena ada tamu luar, kedua ia sudah setuju untuk merahasiakan persoalan Nyo Wan, maka tak enak mengisahkan perjalanan kali ini, secara samar2 dan sekarang basa basi ia memberi salam kepada Li Su-lam, Beng Bing-sia serta para tamu, lalu mencari tempat duduk.

Kata To Hong: ‘Ciok-suko, sungguh tepat kembalimu ini, aku sudah mengundang delapan belas cecu untukberkumpul disini besok pagi, bersama merundingkan cara bagaimana menghadapi musuh.” ~ Sekarang baru Ciok Bok tahu bahwa keempat cecu yang hadir ini sudah mendahului datang sebelum waktu yang ditentukan.

Tang Khay-san adalah sahabat karib To Pek-seng semasa hidupnya, wajahnya kelihatan rada gelisah dan kuatir, katanya kepada To hong: “Nona To, apakah kaupun mengundang Tun-ih Ciu?” “Mereka ayah beranak sudah bukan lagi kawan sepaham dan sealiran dengan kita, apakah paman Tang belum mengetahui?”

“Aku tahu, tapi ……… “ “Tapi apa?”

“Para kawan dalam bulim belum tentu semua mempunyai pandangan yang terang dan dapat membedakan baik dan buruk. Setelah ayahmu wafat, hanya Tun-ih Ciu yang paling terpandang dan tertinggi kedudukannya. Menurut apa yang kita ketahui, besar minatnya untuk ganti menduduki jabatan Bulim-bengcu, saat ini ia menyebar kaki tangan nya mengadakan kampanye. Kalau pertemuan besok pagi tidak mengundang dia, aku kuatir dia bakal mengacau dan membuat onar disini.”

“Seumpama kuundang diapun bakal mengacau saja, ada lebih baik tidak kuundang saja beres. Menurut hematmu bagaimana ia hendak membuat onar disini besok?”

“Kita semua sudah sepakat untuk angkat kau mewarisi ayahmu.” Kata Tang Khay-san. “Tapi bukan mustahil ada sementara orang yang telah diancam dan digertak oleh Tun-ih Ciu sehingga tidak berani hadir. Seumpama datang juga belum tentu seia sekata.”

Kata To Hong: ‘Aku masih muda dan cetek pengalaman, kedudukan Bulim bengcu ini betapapun aku tak berani terima. Tujuan utama dalam pertemuan besok pagi bukan melulu memilih calon bulim bengcu saja, yang terpenting adalah menentukan cara bagaimana kita melawan serbuan musuh bersama. Tun-ih Ciu sudah pasti bakal mengacau pertemuan kita besok pagi, hal ini siang2 sudah kuperhitungkan. Terserah berapa banyak dari delapan belas cecu yang bakal hadir besok pagi pendapat masing2 berlainan. Atau anggap saja kita peroleh kata sepakat. Perdebatan atau perebutan kedudukan haruslah kita kesampingkan dulu, akan kumohon kepada hadirin untuk mengutamakan persatuan bersama untuk melawan agresi pasukan Mongol. Aku percaya kebenaran akan selalu menjadi landasan kita beramai”.

Melihat To Hong begitu tegas dan kukuh serta punya jiwa patriot girang hati Tang Khay-san, katanya bergelak tawa: ‘Hahaha, ada ayah tentu ada putrinya. Keponakanku yang baik, bukan aku suka mengagulkan kau, kepandaian silatmu mungkin tak sepadan dibanding ayahmu, namun pengetahuan dan pandanganmu itu serta kesungguhan hati yang bertekad besar, sedikitpun tak terkalahkan oleh ayahmu. Bagaimana juga aku tentu menjunjung kau sebagai Bulim Bengcu!” Umum biasanya tahu adanya pameo yang berkata: ada ayah ada anak, namun Tang Khay-san mengganti kata2 ‘anak’ menjadi ‘putri’, sudah tentu istilah yang lucu ini menggelikan setiap hadirin. To Hong sendiri mencelos hatinya, pikirnya: “Koko menjadi putra durhaka, tentu para teman sudah tahu semua.” Teringat akan engkohnya hati To Hong menjadi pilu dan bersedih, mendengar pujian Tang Khay- san wajahnya rada bersungut sedikitpun tidak menunjukkan rasa girang, katanya: “Paman Tang terlalu memuji. Aku harap paman tang tidak memilih dan angkat aku menjadi Bulim Bengcu.

Pertemuan besok pagi ku punya rencanaku sendiri.” ~ Tang Khay-san beramai anggap ucapan ini hanya sekadar basa basi dan kata2 sungkan belaka, semua mandah tersenyum saja.

Para paman datang dari jauh tentu sudag capek dalam perjalanan, silahkan istirahat dulu,’ kata To Hong, Ciok suko silahkan kau bawa para paman istirahat dikamar yang telah disediakan!”

Diam2 Ciok Bok membatin: “Nyo Wan terfitnah oleh suheng yang durhaka, penasaran hatinya ini betapapun aku harus membantu untuk mencuci bersih. Agaknya hari ini tak mungkin aku bekerja. Untung Nyo Wan sekarangpun berada disini, cepat atau lambat tentu bakal dibikin benar, tak perlulah ter-gesa2. Setelah pertemuan besok pagi aku harus mencari kesempatam untuk disampaikan kepada Li Su-lam.”

Hari kedua para cecu dari pangkalan lainpun beruntun datang, waktu lohor yang datang sudah berjumlah tiga belas cecu. Pertemuan besar hari ini ditetapkan pada tengah hari. Sebetulnya To Hong tidak berani mengharap kedelapan bela cecu itu semua bisa datang, sekarang yang hadir sudah tiga belas, separoh lebih dari jumlah semestinya keruan girang hatinya susah dilukiskan dengan kata2. Maka menurut rencana yang sudah ditentukan, ia siap membuka pertemuan ini. Waktu semua orang mencari tempat duduk masing2, tiba2 terlihat seorang Thaubak lari ter-sipu2 dengan ketakutan, teriaknya: ‘Cecu celaka!”

“Ada urusan apa, kenapa begitu gelisah?” tanya To Hong.

“Keparat Tun-ih Ciu itu menerjang masukkemari, kita tak kuasa merintangi,” demikian lapor Thaubak kecil itu.

Belum habis laporannya, terdengar gelak tawa Tun-ih Ciu bergema diluar sana, serunya: “Lohu datang tanpa diundang, keponakan baik kau tidak menolak kedatanganku bukan?”

Tun-ih Ciu melangkah lebar memasuki ruang pertemuan ini. Dibelakangnya beruntun mengekor puluhan orang, lima orang diantaranya adalah cecu yang diundang dalam daftar To Hong, sedang enam tujuh yang lain adalah begundal yang diundang Tun-ih Ciu, kedudukan merekapun adalah cecu didaerah lain.

Meski To Hong sudah menduga Tun-ih Ciu bakal datang dan mengacau, namun tak terpikir olehnya bahwa ia membawa begitu banyak begundal dan kaki tangannya secara terang2an. Kekuatan kedua belah pihak sama besar, menjadi pihak yang berlawanan yang sembabat. Situasi cukup genting sedikit saja salah langkah bakal terjadi bentrokan hebat antar sesama kawan bulim.

Sebisa mungkin To Hong mengendalikan perasaan, sahutnya dingin: “Tun-ih cecu ikut datang entah ada petunjuk apakah?”

“Pertama untuk urusan pribadi , kedua untuk kepentingan umum.” Seru Tun-ih Ciu. “Kami mohon petunjuk lebih lanjut.’

“Putraku telah dobokong oleh Ciok Thauling kalian sengan Tok-liong-piau sehingga terluka, untung tidak sampai menemui ajalnya, ingin aku minta pengajaran terhadap Ciok Thauling. Harap tanya apakah Ciok Thauling hadir disini?”

Ciok Bok gegas berdiri, serunya: “Memang putra sayangmu terluka oleh piauku, tapi apa kau tahu kenapa sku sampai menyerangnya dengan Tok-liong-piau?”

“Aku tidak perduli apa sebabnya. Sudah lazim bagi kaum bulim kalau tidak ada kata sepakat lantas menggerakkan senjata. Tapi aku punya hubungan kental dengansuhu kalian, kalau secara terang2an kau bertanding denganputraku aku tidak ambil persoalan. Tapi kau melukainya dengan senjata berbisa yang jahat dan mematikan macam Tok-liong-piau betapapun kau harus bertanggung jawab.” Ciok Bok menjadi murka, debatnya dengan keras: ‘Baik kau bicara tak kenal aturan, silahkan cari perkara dengan aku, tuntutlah balas bagi putra sayangmu!”

Berubah rona wajah Tun-ih Ciu, jengeknya: ‘Kalau suhumu masih hidup diapun takkan berani menantang kepadaku? Hm, meski Tok-liong-paiu mu lihai belum tentu dpat mencabut jiwa anakku. Nanti kuberi kesempatan untuk bertanding melawan anakku lagi, asal kau tidak main keroyokan saja, akupun takkan turun tangan.” Tang Khay-san ikt berpikir: “Kalau dalam hari2 biasa urusan macam ini tentu dapat dibereskan, siapa salah dan siapa benar dihadapan sekian banyak cecu. Tapi betapa penting pertemuan hari ini, mana boleh karena urusan pribadi menggagalkan urusan besar?” ~ maka lekas2 ia tampil kedepan melerai: “menurut apa yang dikatakan Tun-ih cecu tadi biarlah setelah putramu sembuh luka2nya supaya CiokBok pergi kepesanggrahannya minta maaf saja.”

“Aku tidak berbuat salah, kenapa aku harus minta maaf, tidak bisa!” seru Ciok Bok lantang.

Para cecu lainnya sependapat dengan omongan Tang Khay-san tadi, be-ramai2 mereka maju membujuk: “Siapapun yang salah atau benar, urusan ini harus ditundadulu.” ~ maksudnya supaya urusan iniselesaikan oleh semua orang setelah pertemuan penting ini berakhir.

Mencelos hati Ciok Bok, tersentak sadar, pikirnya: “benar, jangan karena membawa adatsendiri sampai mengganggu urusan besar orang banyak. Apalagi didengar dari nada bangkotan tua ini, agaknya Tun-ih Pin sudah menceritakan cara bagaimana aku mengeroyoknya bersama Nyo Wan? Hal ini kebenaran malah, buat apa aku membeberkan soal ini dihadapan sekian banyak orang?” ~ Ia menjadi setuju untuk menutup rahasia Nyo Wan, terpikir ke arah itu kontan bungkam dan tak banyak bicara lagi.

To Hong menahan kedongkolan hatinya, serunya: “Baik, urusan ini kita tunda dulu. Alasan Tun-ih cecu mengenai kepentingan umum tadi silahkan terangkan sekali!”

Tun-ih Ciu menyeringai, jengeknya: “Nona To, kau mengundang delapan belas cecu berkumpul disini, jelek2 aku ini juga seorang cecu kenapa aku tidak menerima undanganmu. Malah kabar inipun ditutup rapat untuk mengelabui lohu.”

“Soalnya kau seorang cianpwe angkatan tua, pertemuan angkatan muda seperti kita beramai mana berani mengejutkan kau orangtua,” demikian To Hong main diplomasi.

“Persoalan yang hendak kita bicarakan dalam pertemuan ini juga bukan urusan bulim. Tak lain para kawan sepaham dan sehaluan berkumpul untuk mengobrol belaka.” ~ ucapan terakhir ini mengandung sindiran yang cukup pedas, maksudnya orang yang tidak sepaham dan sehaluan tidak diajak bekerja.

Tun-ih Ciu bergelak tawa, serunya: ‘kau tidak mau mengganggu aku, justru sekarang aku telah datang sendiri terserah kau hendak mengusir aku atau silahkan aku duduk ditempat paling rendah? Aku ini belum tentu sehaluan dan sepaham dengan kau nona To.”

Seorang begundal Tun-ih Ciu ikut bicara: “Sebetulnya kalau kita semua sehaluan dan sepaham, nona To menurut hematku, pertemuan inipun tak perlu diadakan lagi.” ~ debatnya ini cukup pedas juga, namun juga cukup beralasan.

To Hong tak rela pertemuan hari ini dikacau mereka, pikirnya: ‘begitupun baik, coba kulihat dia punya petunjuk apa? Keadilan tidak takut didebatkan, kita buka kedok palsunya dalam rapat nanti, situasi tentu menguntungkan pihak kita.” ~ maka segera ia bicara: ‘Aku kuatir sukar mengundang cianpwe kemari, sekarang cianpwe sudah tiba tanpa diundang sudah tentu kita merasa girang dan persilahkan.

Tak duga persoalan satu belum selesai persoalan lain sudah memburu tiba, baru saja To Hong hendak mengumumkan pertemuan ini dibuka, tiba2 Tun-ih Ciu berseru: “nanti dulu!”

“Tun-ih cianpwe ada petunjuk apa lagi?”

“Tuan rumah belum hadir, mana bisa pertemuan ini dibuka?” To Hong tercengang sebentar, serunya: “Tuan rumah siapa?”

“Bukankah markas kalian yang menjadi tuan rumah dalam pertemuan ini?” tanya Tun-ih Ciu. “Betul,” sahut To Hong pendek.

Tun-ih Ciu berkata dingin: “Kalau begitu silahkan engkohmu keluar untuk memimpin rapat ini!” “Tun-ih cianpwe mungkin rada khilaf,” sela Tang Khay-san. “Sejak To cecu wafat markas ini sudah diwariskan kepada nona To untuk memimpinnya.”

Sebetulnya Tun-ih Ciu sudah tahu hanya meng-ada2 saja. Tang Khay-san juga tahu bahwa Tun-ih Ciu memang sengaja memprovokasi cari gara2 belaka. Soalnya Tang Khay-san dan To Hong beramai menghindari sebelum rapat dibuka supaya tidak terjadi keonaran dulu, meski mereka tahu kalau Tun-ih Ciu sengaja mencari gara2, terpaksa memberi penjelasan dengan sabar.

Tun-ih Ciu membalikkan mata jengeknya menyeringai: ‘Menurut adat kebiasaan bulim, jabatan cecu diturunkan kepada putra tertua. To Pek-seng bukan tidak punya putra tertua. To Pek-seng bukan tidak punya putra, kukira belum saatnya menjadi giliran nona To untuk tampil kedepan.” “Engkohku sudah lama tidak tinggal dirumah,” demikian To Hong berbicara, “Para Taubak dan kedudukan cecu tak bisa kosong terlalu lama, maka terpaksa aku mengajukan diri untuk menanggulangi segala kesulitan, atas restu ibunda sementara aku menjabat kedudukan ini.” ~ betapapun buruk keadaan rumah tanggannya To Hong berusaha untuk menrahasiakannya, maka samar2 saja ia memberikan penjelasan.

“kalau begitu,” kata Tun-ih Ciu, “Kalau engkohmu kembali kedudukan cecu ini sudah seharusnya kau serahkan kepadanya bukan?”

Song Thi-lun bawahan To Pek-seng semasa masih muda adalah pembantu yang paling diandalkan sekarang dia sudah diangkat menjadi wakil cecu, wataknya keras dan berangasan, mendengar kata2 ini menjadi bergolak amarahnya , bergegas ia bangkit seraya berseru: “Ininkan urusan rumah tangga nona To , kau orang luar tidak perlu turut campur.”

Selamanya Tun-ih Ciu suka mengagulkan diri, terutama sejak kematian To Pek-seng, kedudukan Bingcu sudah dianggap sebagai jabatannya. Maka begitu Song Thi-lun berani mendebatnya dengan kasar para hadirin menjadi kuatir, mungkin dengan alasan ini dia bisa bikin onarmakin besar. Tapi diluar dugaan semua orang, ternyata Tun-ih Ciu tidak marah sebaliknya bergelak tawa, serunya: “kalau begitu menjadi aku yang salah karena brengsek. Tapi walupun urusan keluarga To aku tidak bisa turut campur, ada orang lain yang bisa mengurusnya.”

Belum habis ia bicara mendadak terdengar suara ‘blang’ yang keras, pintu besar ruang pertemuan yang tertutup rapat itu mendadak semplak terbuka karena ditendang orang. Semua orang terperanjat, siapakah yang bernyali begitu besar waktu angkat kepala tampak dua orang beriring berjalan masuk, salah seorang diantaranya bukan lain adalah To Liong, sedang seorang yang lain masih asing belum dikenal oleh para hadirin.

Baru sekararang Tang Khay-san dan hadirin lain paham, ternyata Tun-ih Ciu sudah berintrik dengan To Liong. Kalau tiada Tun-ih Ciu yang menjadi backingnya tentu To Liong takkan berani pulang.

Mendadak melihat yang muncul ternyata To Liong untuk sesaat Li Su-lam menjadi terlongong, sungguh perih dan kejut hatinya, diam2 ia membatin: “bagaimana diapun datang kemari? Kenapa NyoWan tidak datang bersama dia? Mungkinkah dia sudah tahu kalau akupun berada disini.” Begitu To Liong beranjak masuk kontan seluruh hadirin menjadi gempar, selain Tun-ih Ciu seorang yang sudah tahu sebelumnya, semua orang merasa kejut dan heran, mereka ber- bisik2.

Setelah menenangkan hatinya, pelan2 Li Su-lam berbisik tanya kepada Ciok Bok: “Siapakah orang ini?”

Belum Ciok Bok menjawab, tampak To Hong sudah berdiri dan berteriak menuding To Liong: ‘Kau, kau masih ada muka pulang kemari?”

To Liong menjengek keras2, sahutnya congkak: ‘Rumahku sendiri kenapa aku tidak boleh pulang?” Teringat kematian Liong Kang yang mengenaskan itu sungguh sedih dan gusar pula perasaan to Hong, bicaranyapun jadi gemetar: ‘Kau, kau, dengan tok-ciang kau mencelakai jiwa ji-suheng. Apa kau berani mungkir akan peristiwa itu?”

“Benar!” Sahut To Liong sinis, Liong Kang memang kupukul sekali sekarang dia sudah mati. Memang dia patur mampus, kenapa aku harus mungkir?”

To Hong menggertakkan gigi, serunya lantang dan serius, negara punya undang2, rumah tanggapun punya peraturan, kau bertindak se mena2 membunuh Liong Kang, tiada tempat lagi bagi kau dirumah ini!”

To Liong melirik sambil memicingkan mata, seringainya: ‘Jadi kau mendesak aku untuk mengatakan alasanku? Hm, aku masih menjaga gengsi dan nama baikmu, kalau benar kukatakan tiada untungnya bagi kau!”

Saking gusarnya alis To Hong berjengkit tinggi, dengan murka ia tampil kedepan serta serunya: ‘Ada apa yang perlu kutakuti,coba katakan? Silahkan, akan kulihat cara bagaimana kau mengudal mulut memfitnah orang!”

“urusan Ji-sute, Sam-sute dan kau sendiri tentu kau paham, jelek2 aku ini adalah engkohmu, betapapun aku tak bisa tinggal diam, kau membikin buruk nama perguruan!” Muka To Hong menjadi pucat saking menahan gusar, airmata sudah mengembeng dikelopak mata. Bentaknya: “Omong kosong, cara bagaimana aku merusak nama baik perguruan kita? Justru kau ini putra durhaka! Baik, kedatanganmu ini memang tepat, dihadapan para saudara sekian banyak ini serta para thaubak kita, mari selesaikan urusan kita siapa salah dan siapa benar. Bagaimana juga hari ini aku harus mewakili ayah mencuci bersih nama baik keluarga.”

To Liong ter-bahak2, ujarnya: “Aku belum mengadakan pembersihan perguruan kau sudah mau mencuci bersih nama baik keluarga? Budak busuk, disaat aku tidak dirumah kau bersekongkol denganpara saudara seperguruan, kau sangka kau dapat merambat keatas kepalaku? Hah, ayah sudah meninggal, segala urusan keluarga To kita, kau tiada hak pegang kuasa.”

Sepihak mengatakan hendak mengadakan pembersihan perguruan sedang pihak lain hendak mencuci bersih nama baik keluarga. Tun-ih Ciu dan para begundalnya berpeluk tangan menonton saja, kalau ada kesempatan malah menghasut dan mempertegang suasana. Sebaliknya Tang Khay- san, Ting Hwi dan lain2 menjadi kuatir. To Liong mengudal mulutnya yang kotor, lekas2 berdiri melerai: ‘To-siheng, antar saudara kandung sendiri buat apa harus bikin onar dibuat tertawaan orang saja!” ~ Nona To, hari ini kita berkumpul adalah untuk berunding cara bagaimana melawan serbuan tentara Mongol. Urusan keluarga kalian, apakah bisa dibicarakan nanti saja?”

Malah ada seorang cecu yang berangasan dan tidak tahu duduknya perkara ikut menyela: “Betul, kita datang bukan ingin menonton pertengkaran. Stelah pertemuan rapat ini peduli akan membersihkan perguruan atau membersihkan nama baik keluarga silahkan urus sendiri.” Bercekat hati To Hong, pikirnya: ‘Tepat, mereka sengaja memancing kemarahanku untuk menjatuhkan nama baik dan kedudukanku, supaya rencana mereka untuk menggagalkan rapat ini bisa terlaksana. Ah, kenapa aku harus meladeni mereka dan terjebak kedalam tipu muslihatnya.”

Sebetulnya Tun-ih Ciu punya rencana sendiri yang lebih keji. Melihat para hadirin tidak senang aka sepak terjang To Liong, lekas2 iapun merubah haluan menurut arah angin, ia tekan To Liong supaya dia tidak membuikin onar lebih besar.

Baru sekarang Li Su-lam tahu bahwa To Liong trenyata adalah engkok To Hong, keruan hatinya tambah gelisah dan gundah, pikirnya me-layang2 bagai mimpi. Pelan2 Beng Bing-sia berbisik dipinggir telinganya: ‘Li-toako, kejadian selanjutnya kukira kaulah yang harus tampil kedepan!” Alis Li Su-lam bertaut, pikirnya: “Kenapa aku yang harus tampil kedepan, apakah dia sudah tahu bahwa Nyo Wan sudah menikah dengan keparat ini? Kejadian ini merupakan pertikaian diantara kita bertiga. Urusan peribadi masa dibongkar dihadapan sekian banyak orang.’

Tatkala itu delapan belas cecu sudah menempati tempat duduknya masing2. To Liong dan orang asing itupun sudah maju dan tengah mencari tempat duduk. Suara ribut dan kacau berbisik tadipun sudah mereda dan tenang. Sudah tentu Li Su-lam menjadi tidak enak bertanya lebih anjut kepada Ciok Bok.

Mendadak Tun-ih Ciu bicara: ‘Nona To, silahkan kau menggir mengaso saja!”

Sungguh To Hong tidak menduga bahwa orang akan mengobarkan keributan lagi, keruan hatinya bertambah murka, hardiknya: “Apakah maksudmu ini?”

Tun-ih Ciu menjengek dingin: “Tiada maksud apa2, bukankah engkohmu sudah pulang, tempat tuan rumah sudah seharusnya diduduki olehnya!”

To Hong menarik muka, serunya keras: “Baru saja aku hendak mengumumkan. Disini tiada tempat lagi bagi To Liong!”

To Liong berjingkrak bangun, semprotnya gusar: ‘Kurangajar, ada aku disini masa kau berani pegang kuasa. Budak busuk macam kau berani mengusir aku?”

Tun-ih Ciu segera unujk sikap sebagai angkatan tua untuk memberi keadilan, ujarnya: ‘Nona To, kau ini rada keterlaluan? Dia kan engkohmu, kedudukannya sebagai Siau-cecu (tuan muda) dari Long-gak-san. Pertemuan hari ini adalah rapat besar kaum bulim, dengan alasan apa kau berani mengusirnya keluar?”

To Hong menjawab dengan nada dingin: ‘Jadi kau tanya alasannya. Baik terpaksa kubeberkan dihadapan umum To Liong disinyalir ada bersekongkol dengan kaki tangan bangsa mongol. Rapat besar hari ini adalah merundingkan cara bagaimana menghadapi serbuan pasukan Mongol, kalau diapun hadir disini, bukankah berarti didalam rapat pertemuan ini hadir pula mata2 musuh?” Berubah air muka To Liong, bentaknya: “kau punya bukti apa?”

“Kau bersahabat kental denganTun-ih Pin.’ Demikian kata To Hong kalem, “Setengah tahun yang lau, kalian berdua pernah bersama menuju ke Mongol, apakah ada kejadian itu?”

“Memang, aku pernah kesana dengan dia untuk menyelidiki musuh besar pembunuh ayah. Bukankah kau sendiri juga kesana?” demikian debat To Liong.

‘Apakah benar kau ada sekongkol dengan penjajah Mongol saat ini aku belum mendapatkan bukti2 yang nyata. Tapi Tun-ih Pin menjadi antek Mongol ini sudah gamblang dan tidak perlu diragukan lagi. Pada suatu hari dilembah kupu2 kita beramai disergap dan dikepung oleh sepasukan perwira Mongol, diantaranya Tun-ih Pin lah yang menjadi biang keladinya.”

Ber- Tun-ih Ciu bangkit berdiri hendak menyanggah perkataan To Hong, namun suaranya kelelap oleh gerungan gusar dan teriakan orang ramai.

Terdengar Tang Khay-san tertawa dingin, jengeknya: Tun-ih cianpwe, biar dia selesai bicara, baru nanti kau angkat bicara?”

Oh Cu juga ikut bicara: “Urusan rumah tangga mereka kita tidak perlu ikut campur tapi urusan besar demi jaya dan runtuhnya nya negara betapapun harus dibikin terang!”

Terdengar To Hong melanjutkan: ‘Waktu itu Tun-ih Pin lah yang memimpin sepasukan perwira Mongol menyergap kita, meski diantara mereka tiada To Liong, namun bukankah mereka berdua ke Mongol bersama. Setelah kembali To Liongpun terus menetap dirumah Tun-ih Pin tak kembali kerumah sendiri. Maka kukatakan dia punya kecurigaan yang terbesar, demi keselamatan kita beramai dan demi suksesnya rapat pertemuan ini =, maka aku usulkan supaya dia tidak diperbolehkan hadir dalam perundingan ini.”

“Eh, eh, kenapa bicara ngelantur keatas kepala kami ayah dan anak,’ tiba2 Tun-ih Ciu menyeringai sinis. “terpaksa akupun perlu membeber suatu urusan dihadapan umum. Ketahuilah nona To ini pernah ditunangkan dengan putraku, sekarang ia terlibat dlam cinta segitiga dengan kedua suhengnya, jelas tujuannya hendak membatalkan pernikahannya dengananakku,maka ia mengatur segala tipu daya ini. He he, omongannya itu tak bisa dipercaya seluruhnya bukan?”

Li Su-lam menjadi tak kuasa menahan sabar lagi, mendadak ia bangkit berdiri serta teriaknya: “ Akulah yang menjadi saksinya!”

Tun-ih Ciu melirik dan memalingkan mata, tanyanya menghina: ‘Siapakah dia?”

To Liong menyahut dingin: “Bocah ini bernama Li Su-lam. Ayahnya Li Hi-ko menjabat pangkat wakil panglima perang pasukan Mongol waktu penyerbuan ke kerajaan Kim!”

“Omong kosong, ayahku sudah meninggal,’ bentak Li Su-lam, “Wakil panglima perang Mongol itu bernama Sia It-tiong, dia memalsukan nama ayahku untuk menjabat kedudukan itu!”

“Dari mana kita tahu apakah ucapanmu ini benar atau ngelantur belaka?” jengek Tun-ih Ciu.

Beng Bing-sia dan Song Thi-lun suami istri bangkit berdiri, serunya berbareng: ‘Kita bisa menjadi saksinya akan kebenaran kata2 itu!” ~ Secara ringkas jelas Beng Bing-sia menceritakan bagaimana semula ayahnyapun salah paham dan mencurigai Li Su-lam, akhirnya setelah tahu seluk beluk keadaan sebenarnya baru kesalah pahaman itu tidak berbuntut lebih panjang.

Semua hadirin tahu Beng Bing-sia adalah putri beng tayhiap beng Siau-kang, dengan kedudukan mereka ayah dan anak tentu ucapannya dapat dipercaya. Song Thi-lun suami istri biasa sangat tenar sebagai sepasang suami istri yang jujur dan berjiwa lapang. Semua orangpun mempercayai ucapannya. Maka beramai2 mereka berkata: “Kalau begitu silahkan Li kongcu menceritakan kejadian hari itu.’

Kata Li Su-lam: “Hari itu waktu Tun-ih Pin membawa pasukan Mongol mengepung lembah kupu2 kebetulan akupun hadir disana, malah aku sendiri yang menempurnya.”

Mendengar penjelasan inikontan pandangan seluruh hadirin tumplek kemuka Tun-ih Ciu dan To Liong. Tang Khay-san berkata: ‘Tun-ih cianpwe, perjalanan putramu ke Mongol kali ini, mungkin banyak urusan dilakukan tanpa sepengetahuan kau? ~ Karena kuatir Tun-ih Ciu dari malu menjadi gusar dan segera mengumbar napsunya, maka ucapannya ini sedikit banyak memberi muka kepadanya. Maklum, kalau Tun-ih Ciu tahu tujuan perjalanan putranya itu berarti bahwa mereka ayah beranak memang berintrik.

Ting Hwicecu dari Tiau-hou-cuian adalah seorang yang berangasan, namun kali ini bicara serba kalem: ‘Kejadian ini harus diselidiki supaya menjadi terang. Tun-ih Cecu adalah locianpwe dari kaum bulim, tentu berpandangan luas, janganlah karena kepentingan pribadi lantas mengeloni anak sendiri! ~ jelas sekali maksud kata2 ini, mendesak kepada Tun-ih Ciu harus mengutamakan kepentingan umum dan menghukum anaknya yang salah.

Mendadak To Liong berseru dingin: “Seumpama betul ada hubungan dengan bangsa mongol, kan persahabatan antar bangsa yang menjadi tetangga biasa, kenpa harus diributkan!”

“Yang kumaksudkan bukan bangsa atau rakyat Mongol biasa, tapi adalah Busu Mongol. Tun-ih Pin ada intrik dengan Busu bawahan Jengis Khan, mencelakai an menindas orang2 gagah bangsa Han kita, apakah ini urusan kecil? Demikian Li Su-lam menekankan persoalan sesungguhnya.

Kata To Liong: “Waktu itu belum tentu Tun-ih Pin tahu siapakah orang2 yang berada dilembah kupu2 itu, mungkin kejadian itu merupakan kesalah pahaman belaka. Mungkin juga secara kebetulan ia lewat di lembah kupu2 itu bersama Busu Mongol, karena tiada kata sepakat lantas terjadi perkelahian itu, kesalahan sekecil ini kan boleh dimaafkan!”

Pegang kelemahan kata2 orang segera Li Su-lam mendebat dengan tandas: ‘kau sudah mengakui bahwa dia bergaul dengan Busu Mongol, apakah sepak terjangnya itu boleh dimaafkan?”

Seru To Liong: ‘Coba kutanya dulu kepada para hadirin, apakah kalian berpendapat bahwa para Busu Mongol itu semua pasti menjadi musuh kita?”

Semprot To Hong dengan gusar: “Apa2an ucapanmu ini? Penjajah Mongol menyerbu kedaerah tionggoan. Bukankah terang gamblang kalau Busu mereka menjadi musuh besar kita? Kecuali para Busu itu adalah pengkhianat atau membangkang atas perintah Khan agung mereka.’

Kata2 To Hong begitu tandas dan mengutamakan kebenaran, keruan para hadirin menjadi gempar, serunya beramai2: ‘Benar, kita harus dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kita harus bisa mengikuti situasi . bangsa Mongol menyerbu dan menduduki tanah leluhur kita, betapapun kita harus bersatu hati melawannya bersama?”

To Liong berteriak sembari angkat tangannya: “Para saudara harap tenang sebentar. Cobalah pikirkan sekali lagi, jangan terburu nafsu dan membaa adatnya sendiri sehingga mengecilkan arti kepentingan negara dan bangsa!”

“Begitupun baik,” sela tang Khay-san, “Marilah kita dengar dulu pendapat dari To-siaucecu!” “Soal ini bukan melulu pendapatku seorang,’ demikian To Liong kata sembari berpaling, “Su-tayjin silahkan berdiri!”

Orang asing yang datang bersama To Liong itu lekas2 bangkit. Para hadirin mendengar dia sebagai Su-tayjin apa segala, keruan semua melengak heran.

Tang Khay-san segera membuka mulut: ‘Pertemuan kita hari ini adalah rapat besar kaum Bulim, tuan pembesar Su, Su ini ……… “

“Su-tayjin datang dari Lingan (ibukota kerajaan Song selatan)” demikian seru To Liong memperkenalkan, “Penasehat raja Song raya yang bernama Su Mi-wan adalah paman kecilnya. Su- siangkok bersusah payah hendak merebut kembali daerah Tionggoan

Untuk mengusir penjajah bangsa Kim, maka diutusnya keponakannya ini menjadi kurir kemari untuk menjalin persatuan dengan berbagai pasukan pergerakan yang berada didaerah Hopak. Kita sebagai kaum persilatan yang cinta nusa dan bangsa. Maka kurir yang diutus oleh kerajaan kini sudah hadir disini apakah kalian akan tolak kehadirannya?”

Baru sekarang semua hadirin tahu bahwa orang asing ini ternyata kurir yang diutus oleh kerajaan Song selatan jadi bukan pembesar kerajaan Kim. Daerah Tionggoan dijajah musuh sudah ratusan tahun lamanya, semua orang ber-harap2 pada suatu ketika tanah air sendiri bakal bebas merdeka dari jajahan, maka begitu mendengar orang asing ini adalah utusan dari istana semua orang menjadi tegang dan bangkit semangatnya, se-olah2 kedatangan sanak kadang yang terdekat layaknya. Hanya Li Su-lam dan Beng Bing-sia berdua yang otaknya masih rada tenang dan dapat berpikir secara wajar, diam2 timbul kecurigaan dalam benak mereka.

Beng Bing-sia baru saja pulang dari Kanglam, ayahnya Beng Siau-kang adalah pemimpin kaum persilatan disana, berita penting apa saja yangtidak masuk kedalam telinganya. Dari penuturan ayahnya Beng Bing-sia tahu bahwa penasehat raja Song selatan yang bernama Su Mi-wan itu adalah bekas seorang buaya darat yang berotak tumpul tak punya kepintaran, suka main kuasa dan senang menjual pangkat demi keuntungan kantong sendiri. Meski tidak sejelek dan mencela seperti Cin Kui yang rela menjadi antek musuh dan menjual negara, betapapun dia seorang yang kejam dan suka memeras rakyat. Justru karena mendengar kisikan bahwa Su Mi-wan ini sedang berusaha mengirim kurir untuk bergabung dan berserikat dengan Mongol untuk menumpas Kim, maka Beng Siau-kang meluruk ke Mongol untuk mencari kebenaran berita yang didengarnya ini. Waktu Li su- lam bertemu dengan Beng Siau-kang digurun Gobi tempo hari juga pernah dengar perihal ini. Maka timbullah rasa curiga dalam benak mereka: ‘kurir yang diurus oelh Su Mi-wan ini tentu tidak mempunyai maksud yang baik dan menguntungkan bagi kita umumnya.”

Para cecu hanya tahu bahwa Su Mi-wan memang penasehat raja Song selatan, namun asal usul dan kelahiran bangsawan yang menanjak ini sedikitpun mereka tidak tahu jelas, maka ber-sama2 mereka berkata: “syukurlah duta dari istana sekarang sudah tiba, silahkan su-tayjin memberikan petunjuk dan umumkan perintah raja dalam rapat pertemuan kaum persilatan hari ini!” ~ tapi ada juga yang ramai2 dan bisik2 dengan rasa was2: ‘apakah kurir ini asli atau palsu.”

Su-tayjin itu segera mengeluarkan segulung kertas surat serta katanya: ‘Inilah surat mandat untuk tugas kali ini harap tuan2 suka periksa!” Memang gulungan kertas itu tersegel dengan lak warna merah yang peranti digunakan oleh instansi pemerintahan.

Ada beberapa cecu diantaranya pernah pergi ke Kanglam, mereka pernah membaca pengumuman pemerintah yang disegel dan dicap dengan lak yang sama, maka mereka tahu bahwa surat mandat ini terang adalah asli, sehingga tidak beragu lagi mereka menyilahkan Su0tayjin ini hadir dalam pertemuan Bulim ini. Dari apa yang tertulis diatas surat mandat itu diketahui bahwa Su-tayjin ini bernama Su Kong-bang.

Suasana menjadi rada kacau karena sang tamu seakan akan menjadi tuan rumah malah, sebab To Hong didiamkan saja ditempatnya.

Demikianlah dengan congkaknya To Liong segera berkata lantang: “silahkan Su-tayjin segera mengumumkan perintah atau petunjuk dari istana!”

Pelan2 Su Kang-bang berkata: “Menurut petunjuk istana adalah gabung dengan Mongol melenyapkan kerajaan Kim bersama. Begitu bala tentara Mongol memasuki Tionggoan, kitapun segera mengerahkan tentara menyeberangi sungai besar dan menyerang berbareng dari dua jurusan.”

Diantara para cecu itu ada pula yang berpengetahuan dan bisa melihat gelagat. Tang Khay-san bergegas berdiri serunya: “Mongol adaah negara imperialis, kalau kita gabung dan menuntun Mongol memasuki daerah kita, apakah kelak kita bisa minta kembali daerah dan tanah air kita sendiri masih merupakan persoalan, aku kuatir kelak tentu bakal banyak kesulitan yang harus kita hadapi!”

Kata Su Kong-bang: “Saudara sekalian tidak pelu kuatir, dalam hal ini sudah tentu pihak istana sudah memikirkan secara masak. Biar kuberi satu rahasia kepada saudara2. Kurir Jengis Khan pernah ke Lingan dan sudah menanda tangani perjanjian dengan pamanku. Dalam perjanjian itu berkata setelah melenyapkan kerajaan Kim, daerah yang pernah diduduki oleh Kim akan dikembalikan kepada kita, Mongol hanya kebagian daerah kerajaan Sehe dan negerinya sendiri. Hanya ransum yang diperlukan dalam penyerbuan kali ini harus dipikul oleh raj aSong kita. “Perjanjian ini kalau dipandang sepintas lalu memang pihak Mongol banyak mengambil keuntungan, namun hakekatnya pihak Song kitapun tak kena dirugikan. Malah boleh dikata kitapun telah mengambil hasil dan manfaatnya.

Apakah orang2 gagah kaum persilatan mau tunduk akan perintah raja? Apakah benar Su Kong-bang sebagai kurir dari istana?

Ikutilah pertandingan adu silat untuk memperebutkan kedudukan Bengcu pasukan Pergerakan ! Apakah To Hong atau Li Su-lam yang terpilih?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar