Pahlawan Gurun Jilid 04

 
Jilid 04

Li Su-lam dan Nyo Wan meneruskan perjalanan pula, yang dibicarakan Su-lam hanya hal2 yang hambar. Akhirnya Nyo Wan tidak tahan, dengan tertawa ia berkata : « Engkoh Lam, mengapa kau tidak ikut pergi ke tempat nona To itu. Nona Beng senantiasa teringat padamu, mengapa kau sendiri melupakan orang ? “

“Ai, rupanya ganjelan hatimu masih belum lenyap, memangnya kau ingin keperlihatkan hatiku?” sahut Su-lam dengan sungguh2.

Terharu juga Nyo Wan walaupun masih terasa cemburuan. Katanya kemudian : “Engkoh Lam, aku tahu kau tidak mau pergi menjenguknya demi diriku, tapi akupun tahu kau sebenarnya ingin menemui dia. Aku tidak ingin kau menyesal, lebih2 tak ingin menimbulkan salah paham kepada nona Beng bahwa aku melarang kepergianmu. Menurut To Hong tadi, katanya tempat mereka tidak jauh dari sini, bolehlah kau pergi mencarinya, nanti kita dapat berjumpa pula pada suatu tempat didepan sana.”

“Asalkan hati kita sudah sama2 paham, peduli apa dengan pndapat orang luar?” ujar Li Su-lam. “Memang, aku ada utang budi kepada nona Beng Bing-sia dan harus mengucapkan terima kasih padanya. Tapi urusan ini bukan sesuatu yang maha penting yang mesti harus diselesaikan segera. Wan-moay, selama ini kau telah banyak menderita mendampingi aku, semoga kita selekasnya bisa sampai di kampung halaman barulah hatiku merasa lega. Maka dari itu marilah lekas kita melanjutkan perjalanan.

Sesungguhnya Nyo Wan penuh menaruh kepercayaan kepada Li Su-lam, hanya secara samar2 ia merasa perasaan Li Su-lam terhadap Beng Bing-sia tentu belum lenyap sama sekali, tentu masih ada ikatan batin tertentu antara keduanya.

Su-lam sendiri merasa tidak enak bilamana ddi tengah jalan ketemu dengan Bing-sia, maka ia terus melarikan kudanya secepat terbang, tentu saja Nyo Wan kewalahan mengikutinya. Sambil melarikan kudanya, pikiran Li Su-lam me-layang2 jauh dengan kesal.

Pada saat yang sama To Hong juga sedang terombang ambing pikirannya oleh persoalan persahabatan dan cinta. Sambil melarikan kudanya terkenanglah kejadian2 dimasa dahulu kepada masa kanak2 nya.

To Hong masih ingat jelas, Liong Kang, Jisuhengnya berguru kepada ayahnya ketika To Hong sendiri berusia tujuh tahun. Sedangkan Samsuhengnya, Ciok Bok, datang dua tahun kemudian. Sejak kecil mereka bertiga suka bermain dan berlatih bersama, ada satu tentu ada tiga, hampir2 tidak pernah berpisah.

Kedua Suhengnya itu sangat baik kepadanya, To Hong juga sangat senang kepada kedua Suhengnya itu. Tapi sesudah ketiganya menanjak dewasa, dalam hati kecilnya mulai menaruh perasaan yang rada berbeda terhadap Samsuhengnya.

Liong Kang lebih tua tujuh tahun daripada To Hong, sedangkan Ciok Bok Cuma dua tahun lebih tua daripadanya. Jadi usia Ciok Bok lebih berdekatan dengan dia, maka diwaktu berkumpul, tanpa terasa To Hong menjadi lebih akrab pula dengan Ciok Bok, namun juga lebih sering bercekcok.

Sebaliknya dia tidak pernah bertengkar dengan Jisuhengnya. Liong Kang laksana kakaknya yang tertua, selalu mengalah padanya.

Kalau kedua Suhengnya sama2 baiknya terhadap To Hong, adalah sebaliknya kakak kandungnya sendiri malah tidak cocok dengan dia. Kakak kandung To Hong bernama To Liong, seusia Liong Kang, sejak kecil sudah ikut belajar silat pada ayahnya, dasarnya memang pintar, maka waktu berumur 18 tahun To Liong sudah tamat belajar dan mulai menjelajahi Kangouw.

Karena To Liong sangat muda sudah mengembara, yaitu selagi adik perempuannya dan kedua Sutenya masih tekun belajar, maka tidak lama dia sudah mulai terkenal didunia kangouw dan tidak sedikit mengikat persahabatan. Diantara sahabat2nya yang beraneka ragam itu ada beberapa diantaranya yang kurang baik tingkah lakunya. Pernah dia membawa pulang beberapa sahabatnya itu dan tidak sisukai To Hong. Selama itu To Liong juga tidak memusingkan adik perempuannya, oleh sebab itu dalam batin To Hong se-akan2 Liong Kang lebih menyerupai kakak kandungnya malah. Adapaun Ciok Bok dirasakannya seperti kakaknya, tapi terkadang mirip adikny ajuga yang memerlukan bimbingannya. Perasaan yang aneh ini kemudian menimbulkan rasa bingungnya setelah dia mulai menanjak dewasa.

To Pek-seng sendiri rada kuatir cara bergaul putra tunggalnya itu. Tapi pertama To Liong sudah dewasa, kedua, To Pek-seng sendiri lebih sering keluar rumah, maka To Liong menjadi lebih bebas bergeraknya.

Sang Waktu lalu dengan cepat. Dari seorang nona cilik ingusan To Hong telah berubah menjadi anak dara yang cantik menarik. Ibunya mulai me-nimbang2 soal perjodohan bagi anak perempuannya itu. Seringkali sang Ibu menanya anak perempuannya lebih menyukai siapa diantara kedua Suhengnya itu. Tapi selalu To Hong menjawab dengan muka merah : “Entah, tidak tahu.” Atau « Kedua Suheng sama saja bagiku.” Padahal dalam hatinya dia tahu tidaklah sama.

Liong Kang memang cekatan dan lebih dewasa sesuai dengan usianya, sedangkan Ciok Bok juga pintar dan polos. Selamanya nyonya To memandang sama mereka tanpa pilih kasih, ia bermaksud memilih slah satu diantara mereka itu untuk dijadikan menantu, tapi lantaran anak perempuannya tidak mau menyatakan sikapnya secara jelas, mau tak mau nyonya To manjadi sukar ambil keputusan dan menunda soal ini sambil menunggu pulangnya sang suami yang kali ini mengadakan perjalanan ke Mongol.

Menurut pesan To Pek-seng pada waktu berangkat, katanya kepergiannya ke Mongol ini akan memakan waktu tiga bulan sampai setengah tahun. Tak terduga tiga bulan dengan cepat sudah lalu, bahkan setengah tahun juga sudah lewat, malahan ditambah lagi setengah tahun dan sang suami tetap belum pulang tanpa ada kabar berita dari negeri yang jauh itu.

Nyonya To mendengar kabar desas desus bahwa sang suami sudah mengalami nasib malang di Mongol, hanya saja belum bisa membuktikan berita buruk itu. Karena makan pikiran, akhirnya nyonya To jatuh sakit. Dalam keadaan demikian urusan perjodohan anak2 tentu saja tak terpikirkan lagi olehnya.

Kalau ibunya tak sempat memikirkan perjodohannya, sebaliknya kakak laki2 To Hong yaitu To Liong lantas ikut campur.

To Liong punya seorang kawan baik bernama Tun-ih Pin. Ayah Tun-ih Pin bernama Tun-ih Ciu, juga seorang tokoh kalangan Hek-to yang disegani, namanya tidaklah kalah daripada To Pek-seng. Hanya saja pribadi masing2 rada berbeda. Tun-ih Ciu ganas dan culas, tidak punya patokan hidup yang tertentu, baik Hek-to maupun Pek-to tiada dihiraukan olehnya, mak dia tidak punya teman ataupun musuh yang terntentu pula. Yang dia utamakan adalah keuntungan semata dan bertindak sesuka hatinya.

Pribadi Tun-ih Pin lebih buruk daripada ayahnya, dengan sendirinya To Pek-seng kurang senang putranya bergaul dengan pemuda begajul begitu, hanya saja lahirnya dia tidak menunjukkan apa2. Namun begitu Tun-ih Pin cukup cerdik, ia tahu “paman” tuan rumah itu kurang menyukainya, maka selanjutnya iapun tidak pernah datang lagi.

Tanpa terasa tiga tahun sudah lalu, To Hong sudah hampir melupakan teman kakaknya itu. Tak terduga dua hari sebelum berita duka meninggal ayahnya diterima, tiba2 To Liong pulang lagi bersama Tun-ih Pin. Sekali ini rupanya ada maksud tujuan, terbukti To Liong lantas mengadakan kasak kusuk mengenai perjodohan adik perempuannya dengan Tun-ih Pin. Berbeda seperti biasanya, sekali ini To Liong tampak memperhatikan To hong, bahkan membawakan oleh2 sebuah kalung mutiara dan sepasang tusuk kundai yang amat bagus. Lebih lanjut To Liong mulai me- mancing2 persetujuan ibunya.

Akan tetapi sang ibu ternyata lebih condong memungut menantu salah seorang murid suaminya, yaitu Liong Kang atau Ciok Bok, dengan ketus orang tua itu menolak pemuda macam Tun-ih Pin yang sudah bejat moralnya.

Melihat sang ibu yang sukar dibujuk, To Liong lantas mengatakan adik perempuannya sendiri sudah setuju sebab sudah mau menerima “mas kawin” calon suami. Keruan To Hong terkejut, tidak disangkanya perbuatan sang kakak sedemikian kotornya. Ibunya juga berjingkrak marah dan berniat menghajar putranya, tapi baru dia angkat tongkatnya, dia terpeleset dan jatuh pingsan.

Setelah usahanya gagal, To Liong lantas mengatur langkah ke dua. Dia sengaja mengadu domba antara Liong kang dan Ciok Bok, malahan sengaja memancing agar Liong Kang bertanding dengan Tun-ih Pin.

Syukur To Hong keburu mendapat laporan, cepat ia memburu keluar dan benar juga dilihatnya Liong Kang sedang bertempur melawan Tun-ih Pin, tampaknya Liong Kang dalam keadaan terdesak dan mulai payah. To Liong sendiri tidak kelihatan berada disitu. Yang lebih menjengkelkan To Hong adalah mulut Tun-ih Pin yang kotor, Liong Kang telah di-olok2 dengan macam2 kata yang menusuk perasaan. Keruan To Hong menjadi gusar, segera ia membentak: “Berhenti.”

Baru sekarang Tun-ih Pin tahu To Hong telah berada disitu lebih dulu ia mendesak mundur Liong kang, lalu dengan cengar cengir ia berkata: “Eh, kiranya nona To juga datang. Aku hanya main2 saja dengan Liong-heng. O, ya, sedikit oleh2ku yang kutitipkan kepada kakakmu itu entah cocok tidak bagi seleramu?”

Mendadak To Hong ayun sebelah tangannya, kalung mutiara itu telah disambitkan sambil membentak pula: “Ini ambil kembali barangmu!”

Tidak kepalang kejut Tun-ih Pin, bahwasanya kalung mutiara yang tiada tara nilainya itu telah ditaburkan begitu saja oleh sinona, bahkan To Hong menyerangnya sebagasenjata rahasia dengancara “Thian-li-san-hoa” bidadari menabur bunga) yang hebat. Mutiara itu seluruhnya terdiri dari 36 biji, sekarang sekaligus telah menyerang 36 tempat Hiat-to ditubuhnya.

Sebenarnya kepandaian Tun-ih Pin jauh lebih tinggi daripada To Hong, tapi lantaran tidak ter- duga2, pula dia terus menghadapi Liong Kang, maka ada tiga Hita-to tubuhnya tetap kena tertimpuk oleh mutiara2 itu meski dia sudah berusaha menjaga diri dengan rapay, bahkan menyusul pundaknya kena dilukai pula oleh pedang To Hong sehingga mengucurkan darah.

Untung Tun-ih Pin sempat melompat mundur, dengan murka ia mengancam: “Bagus, selama hidup ini bila aku Tun-ih Pin tidak mampu mendapatkan dirimu, aku bersumpah tidak jadi manusia!” ~ Berbareng itu dia terus mengeloyor pergi.

“Hm, memangnya kau bukan manusia!” jengek To Hong. Habis itu iapun bertanya kepada Liong Kang: “Dimanakah Ciok-suheng?”

“Tadi ikut pergi bersama Toasuko ( maksudnya To Liong),” jawab Liong Kang.

To Hong menjadi kuatir, ia cukup kenal kakaknya yang berhati culas dan keji itu, bukan mustahil Samsukonya akan terjebak olehnya.

Sebaliknya melihat sang Sumoay sedemikian menguatirkan diri Samsutenya, Liong Kang menyadari bahwa orang yang benar2 disukai sang Sumoay kiranya bukan diriku melainkan Ciok- sute adanya.

Dan baru saja To Hong hendak mengajak Liong Kang menyusul Ciok Bok, tiba2 dari belakang bukit sana Ciok Bok sudah muncul dengan pucat dan lesu.

“Kenapakah kau Ciok-suko? Apakah kau terluka? Dimanakah kakakku?” tanya To Hong dengan kuatir.

“Ah, tidak apa2,” jawab Ciok Bok dengan hambar. “Toasuko sudah pergi bersama Tun-ih Pin, agaknya dia sudah mengetahui kau telah melukai kawannya itu.”

“Sungguh tidak pantas perbuatan Toako, sebenarnya apa yang telah dia bicarakan padamu?” tanya To Hong.

“Tidak bicara apa2,” jawab Ciok Bok dengan kaku. “Sudahlah, andaikan kakakmu bicara sesuatu padaku kau tentu akan tahu sendiri.” To Hong tertegun, ia menduga kakaknya tentu bicara urusan dirinya, terpaksa ia tidak tanya lebih lanjut karena Liong Kang masih berada disitu.

Gara2 perbuatan To Liong itu, To-hujin jatuh sakit memikirkan kelakuan putranya yang buruk itu. Terpaksa To Hong mendampingi ibunya sehingga tidak sempat bicara lagi dengan Ciok Bok. Tak terduga esok harinya Ciok Bok sudah menghilang tanpa pamit dan tidak meninggalkan secarik surat apapun. Dan baru sekarang dari mulut Liong Kang dapatlah didengar kabar tentang Samsuko itu........

Begitulah kisah dimasa lampau itu ter-bayang2 kembali dibenak To Hong. Sambil meraba kantong berisi abu jenazah yang tergantung dipelana kudanya, airmatapun bercucuran dengan perasaan seperti di-sayat2. Ia tahu demi untuk menyempurnakan perjodohannya dengan Ciok Bok maka Liong Kang rela menerima pukulan maut kakaknya tanpa banyak omong.

To Hong dapat membayangkan betapa pilu hati Liong Kang ketika menerima pukulan berbisa kakaknya itu, sudah jelas Liong Kang tahu To Hong mencintai Ciok Bok, tapi demi menghindarkan Ciok Bok dari sangkaan jelek To Liong, ia rela mengakui segalanya dengan harapan Ciok Bok akan bebas dari incaran keji To LIong. Alangkah baik hatimu, alangkah sucinya pengorbananmu Jisuko! Demikian To Hong meratap dalam hati.

Sekian lamanya To Hong Menangis, kemudian ia membaca pula surat yang ditulis Ciok Bok. Panjang juga surat ini. Bagian pertama Ciok Bok menyatakan tidak ingin keretakan antara To Liong dan To Hong kakak beradik, maka dahulu setelah mendapat teguran To Liong ia mau tinggal pergi. Bagian surat yang lain mengatakan bahwa dia mengetahui Jisukonya juga mencintai sang Sumoay, andaikan tidak mendapat teguran dari To Liong juga maksudnya untuk mengalah kepada Jisuko itu. Kemudian isi surat itu menguraikan pertemuannya dengan Liong Kang, katanya setelah mendengar isi hati Liong Kang yang timbul dari lubuk hatinya yang murni barulah diketahui bahwa pilihan sang Sumoay sebenarnya adalah Ciok Bok sendiri, berbareng dikatakan pula bahwa Liong kang telah memberitahu tentang kematian Suhunya, musuh pembunuh Suhu juga sudah diketahuinya, yaitu Yang Thian-lui. Dengan tegas dalam suratnya Ciok Bok menyatakan pasti akan pulang untuk bantu To Hong menuntut balas. Meski dalam surat tidak dinyatakan perubahan pikiran Ciok Bok akan kembali pada To Hong, tapi dia sudah menyatakan mau pulang, maka hal lebih lanjut kiranya tidak perlu dijelaskan lagi.

Beberapa kali To Hong mengulang baca isi surat itu, tanpa terasa airmata bercucuran pula. Sungguh bodoh kau,Ciok-suko, cinta murni antara kita berdua mana boleh ditengahi oleh orang ketiga?

Demikian pikirnya. Tapi iapun kenal watak Ciok Bok yang keras, entah dengan kata2 macam apa kakaknya yang keji itu telah menusuk lukai hati Ciok Bok sehingga pemuda itu lantas menghilang begitu saja? Teringat kepada kakaknya, seketika bencidan geram pula hati To Hong. Sudah memaksa pergi kekasihnya, sekarang membunuh lagi Liong kang yang selama ini dipandangnya sebagai kakak kandung sendiri itu.

“Jisuko, biarpun kau minta aku jangan membalas dendam, tapi paling tidak aku tak sudi mengakui lagi dia sebagai kakak,” demikian pikir To Hong.

Tanpa terasa hari sudah sore, To Hong telah berada kembali ditempat perkemahannya.

Tempo hari waktu Beng Siau-kang dan Beng Bing-sia menyampaikan berita duka meninggalnya To Pek-seng, saat itu To Hong sedang keluar memanggil tabib untuk mengobati ibunya, Liong kang dan dua-tiga anak buahnya lantas berangkat lebih dulu untuk mencari musuh pembunuh Suhunya.

Besoknya sesudah To Hong pulang dan melihat kesehatan ibunya rada baikan, barulah ia memimpin anak buah lain berangkat ke Mongol. Sepanjang jalan mereka mengikuti kode2 yang ditinggalkan Liong Kang sehingga sampai di Sehe, selain itu dikirim pula suatu rombongan menuju ke Mongol untuk menemui Song Thi-lun.

To Hong dan rombongannya berkemah disuatu tempat yang bernama Oh-tiap-kok (lembah kupu2), To Hong dan beberapa Thaubak menyebarkan diri untuk mencari Liong Kang, sedangkan Beng Bing-sia dan beberapa Thaubak lain tinggal berjaga dilembah itu.

Ketika mendekati kemahnya, timbul pikiran dalam benak To Hong: “Kemarin Beng-cici baru saja bicara padaku tentang Li Su-lam, dia tentu tidak menyangka bahwa hari ini juga lantas aku bertemu dengan pemuda itu.”

Suah sejak kecil To Hong kenal Beng Bing-sia, Cuma tempat tinggal mereka terpisah jauh, yang satu diselatan dan yang lain diutara, mereka jarang kumpul, namun keduanya adalah sahabat karib dan sama2 kenal sifat masing2 seperti saudara sekandung. Sebab itulah To Hong merasa penasaran bagi Bing-sia yang bertepuk sebelah tangan dalam hal percintaan dan anggap Li Su-lam berhati dingin, diam2 To Hong merasa dirinya lebih beruntung daripada Bing-sia.

Tengah To Hong berpikir sendirian, tiba2 didepan sana muncul Bing-sia yang menegurnya: “Kenapa kau terlambat pulang? Hampir saja aku berangkat menyusul kau.”

“Untung kau tidak jadi menyusul aku,” ujar To Hong.

“Kenapa?” tanya Bing-sia. Sekilas dilihatnya ada bekas2 airmata dimuka To Hong, ia terkejut dan tanya pula: “Kenapa kau? Dimanakah Liong Kang? Sudah ketemu belum?”

“Liong-suko sudah meninggal,” jawab To Hong dengan sedih. “Meninggal? Siapa yang membunuhnya?” Bing-sia menegas. “Kakakku sendiri,” jawab To Hong dengan kaku.

Bing-sia mengetahui urusan percekcokan To Hong dan kakaknya, maka iapun dapat menduga apa sebabnya To Liong membunuh Liong Kang.

“Pembunuh ayahku adalah Yang Thian-lui, hal ini telah diselidiki jelas Jisuko,” kata To Hong pula. “Baik, sakit hati ayahmu pasti akan kubantu menuntut balas, bila perlu akan kuminta bantuan ayahku,” ujar Bing-sia.

“Terima kasih,” kata To Hong sambil mengusap airmata. Ia turun dari kudanya dan jalan bersama Bing-sia. Saat itusang deqwi malam sudah mulai mengintip disebelah timur, puncak pegunungan yang penuh salju itu memutih bersih laksana bertaburan perak.

Untuk sekian lamanya mereka terdiam, kemudian To Hong membuka suara pula: “Coba terka siapa yang kutemukan tadi?”

“Jika kau tidak terangkan, darimana aku tahu?” jawab Bing-sia.

“Waktu aku mencari Jisuko, kebetulan ada dua kawan yang sedang merawatnya. Rupanya setelah terluka Jisuko dikejar musuh lain lagi, untung kedua orang itu telah menolongnya sehingga Jisuko bisa bertahan sampai bertemu dengan aku.

“Kedua orang yang simpatik itu sungguh harus dipuji, tentu mereka adalah kenalanmu.” “Mereka bukan kenalanku, tapi kenalanmu. Tidak, hanya satu saja kenalanmu, yang seorang lagi mungkin belum pernah kau kenal.”

“Siapakah kenalanku itu? Lekas katakan , jangan main teka teki lagi,” pinta Bing-sia. “Dia adalah orang yang pernah ditolong olehmu, Li-kongcu, Li Su-lam.”

“O, kiranya dia!” gumam Bing-sia kejut dan girang. “Kenapa iapun berada di Sehe sini? Siapa lagi seorang yang lain?”

“Seorang perempuan muda, semula kukira saudaranya, setelah kutanya kemudian baru diketahui dia bernama Nyo Wan. Sikap nona Nyo itu agak angkuh dan tidak mengacuhkan diriku. Entah dia pernah apanya Li Su-lam. Kuberitahu Li Su-lam tentang dirimu dan mengundang dia menjenguk kau, tapi dia menolak, tampaknya dia kurang senang karena aku tidak mengundang serta nona Nyo itu.”

“Ah, kau ini meng-ada2 saja, aku toh tidak perlu harus ditemui dia,” ujar Bing-sia.

“Dia kan utang budi padamu, sepantasnya dia mengunjungi kau sebagai tanda terima kasih.”

“Ai, masakah aku mengharapkan balas jasanya? Aku menolong dia karena aku tahu dia pasti bukan orang jahat.”

“Pandanganmu memang tidak salah, Beng-cici, Li Su-lam memang orang yang baik,” kata To Hong. “Kiranya orang yang membudak kepada orang Mongol itu bukanlah ayahnya, tapi seorang pengkhianat yang memalsukan nama ayahnya.” ~ Lalu iapun menuturkan apa yang didengarnya dari Li Su-lam.

Bing-sia, merasa sangat terhibur, katanya: “Jika betul demikian legalah hatiku. Untung aku telah mencegah maksud ayah tempo hari, kalau tidak tentu beliau akan salah membunuh orang baik.” “Akan tetapi dia tidak berbudi dan tidak punya perasaan, ini membuat aku mencela dia,” kata To Hong. “Aku dan dia Cuma kenal secara kebetulan saja, kenapa mesti mengharapkan dia membalas budi segala? Makin tak keruan kata2mu ini.”

Walupun begitu katanya, tapi aneh, bayangan Li Su-lam toh tetap menduduki sanubarinya dan sukar dihalau. Untuk pertama kalinya Bing-sia merasakan rahasia hatinya sendiri, kiranya dirinya pun sedemikian terkenang kepada Li Su-lam, tanpa terasa wajahnya bersemu merah. Tapi cepat ia mendusin dan segera meng-ada2, katanya: “Eh, hampir juga aku melupakan suatu urusan penting.” “Urusan apa?” tanya To Hong.

“Jika kukatakan tentu akan membikin kau kaget juga,” ujar Bing-sia. “Bukan Cuma kau saja ketemukan orang diluar dugaan, hari ini rombongan Tio Koa-lu juga ketemukan dua orang yang tak ter-duga2.”

Tio Koa-lu adalah salah seorang Thaubak, anak buah To Hong, yang juga ditugaskan keluar mencari Liong Kang.

“Dua orang macam apa?” cepat To Hong bertanya.

“Seorang diantaranya sudah kau kenal, seorang lagi takkan kukatakan, biar kau menerkanya dulu.” “Siapa yang kukenal itu?”

“Tun-ih Pin. Tentu tak kau duga bukan? Rupanya dia telah menguber kau kesini.”

“Hm. Kiranya keparat itu,” omel ToHong dengan muka masam. “Seorang lagi kuyakin pasti kakakku yang busuk itu.”

“Bukan. Tapi seorang Lama Merah, tak kau duga bukan?”

To Hong Melengak, katanya kemudian: “Sehe bertetangga dengan Mongol, dibawah Jengis Khan ada suatu kelompok Lama yang mahir ilmu silat. Lama merah itu tentu datang dari Mongol. Hm, jika demikian, rupanya keparat Tun-ih Pin itu juga telah bersekongkol denganpihak Mongol. Aku harus membikin perhitungan dengan bangsat busuk itu.”

“Kau tidak mencari dia juga dia akan mencari perkara padamu,” ujar Bing-sia. “Apa dia bicara sesuatu tentang diriku?” tanya To Hong dengan gusar.

“Ketika rombongan Tio Koa-lu ketemu dia, katanya dia telah mendapat kabar tentang meninggalnya ayahmu, maka dia hendak datang menghibur kau.”

“Hm, biarkan dia datang kalau aku tidak membinasakan dia,” kata To Hong dengan gemas.

“Tun-ih Pin menanyakan jejakmu kepada Tio Koa-lu, agaknya Tio Koa-lu cukup cerdik, dia tidak ingin menambah kesulitanmu pada saat ini karena dia tahu Tun-ih Pin telah berkomplot dengan pihak Mongol,” kata Bing-sia.

Rasa gusar To Hong reda pada mereka, setelah berpikir sejenak, katanya: “Ya, aku tahu Tio Koa-lu adalah orang yang bisa berpikir, tentu dia kuatir menghadapi lawan yang berjumlah lebih kuat.

Cuma menurut pendpatku, kalau Tun-ih Pin sudah berniat mencari perkara padaku, pula sudah berkomplot dengan orang Mongol, maka sukar kiranya biarpun kita ingin menghindarinya.”

“Hal ini dugaanmu memang tepat,” kata Bing-sia. “Benar juga Tun-ih Pin lantas paksa Tio Koa-lu untuk mengatakan jejakmu, akibatnya terjadilah pertempuran sengit. Tio Koa-lu dan dua kawannya menderita luka dan berhasi lari pulang. Menurut Tio Koa-lu, Lama Merah kawan Tun-ih Pin itu tidak ikut bertempur, kalau tidak tentu mereka tak bisa meloloskan diri. Tapi tak urung salah seorang Thaubak lain tertawan oleh Tun-ih Pin.”

To Hong terkejut. “Orang kita ditawan mereka, apakah kita perlu menghindari dia lagi?”

“Memang kita perlu berembuk tentang persoalan ini. Menurut pendapat Tio Koa-lu, untuk menuntut bals tidak perlu ter-buru2, kita harus mencari kesempatan yang baik. Apalagi sekarang Liong- suheng sudah meninggal, Song Thi-lun dan istrinya belum kembali, Tio Koa-lu terluka pula.

Sebaliknya kedatangan Tun-ih Pin sudah direncanakan, tentu dia tidak datang sendirian tanpa pembantu2. Maka menurut pendapatku juga lebih baik menghindarinya dahulu. Yang terang sekarang musuh pembunuh paman sudah diketahui adalah Yang Thian-lui, karena Yang Thian-lui setalh membudak kepada kerajaan Kim, tentu sekarang dia berada di Tay-toh (ibukota Kim).” “Benar. Menurut berita yang diperoleh Jisuko, setelah membunuh ayah, Yang Thian-lui sendiri juga terluka parah dan saat ini tentu sedang merawat lukanya di Tay-toh.”

“Maka dari itu kukira lebih baik kita pulang dahulu. Kalau sakit hati ayahmu sudah kita balas barulah kita membikin perhitungan dengan Tun-ih Pin. Sekarang Mongol sudah mulai mengerahkan pasukannya masuk ke negeri Kim, rasanya se-waktu2 kitapun ada kesempatan untuk bertempur dengan tartar Mongol.”

“Jika begitu pendapat kalian, baiklah akupun setuju,” jawab To hong.

Sementara itu mereka telah memasuki lembah sunyi dan sudah dekat dengan perkemahan mereka yang berada diatas bukit. Dari jauh kemah mereka sudah kelihatan. Anehnya keadaan sunyi senyap. Tergerak hati To Hong, ia heran mengapa Thaubak2 yang ditinggal di kemah begitu gegabah tanpa memasang pos penjaga. Sebagai anak Kangouw yang cukup berpengalaman, To Hong merasa curiga terhadap suasana yang luar biasa itu. Andaikan tiada penjaga, paling tidak suara keleningan kudanya tentu akan terdengar, masak sekarang tiada seorangpun yang namapk.

Belum lenyap rasa sangsinya, tiba2 dari semak2 rumput sana ada orang berseru: “Awas, di depan ada perangkap, kemah kita sudah diduduki musuh!”

To Hong terkejut, waktu menoleh, dilihatnya seorang laki2 brlumuran darah merangkak keluar dari tengah semak2 rumput. Siapa lagi dia kalau bukan Tio Koa-lu.

“He, kenapakah kau, paman Tio?” tanya To Hong.

Belum lenyap suaranya, “serrr”, tiba2 sebatang anak panah menyamber dari arah lain dan menembus leher sasarannya, kontan Tio Koa-lu binasa.

Dalam sekejap saja dari tempat2 sekitar situ muncul musuh2 yang bersembunyi. Orang yang paling depan jelas adalah Tun-ih Pin.

Kiranya pada waktu Bing-sia keluar mencari To Hong, secara diam2 Tun-ih Pin telah memimpin anak buahnya menyergap keatas gunung, dengan kepandaian Tun-ih Pin yang tinggi, dengan mudah saja para Thaubak yang jaga di perkemahan telah dibereskan, hanya Tio Koa-lu saja sempat melarikan diri dengan membawa luka.

Ketika Tun-ih Pin dan anak buahnya sedang mencari Tio Koa-lu, terdengarlah suara keleningan kuda, tahulah mereka To Hong telah kembali, segera Tun-ih Pin menyebarkan anak buahnya bersembunyi di sekitar situ dengan memasang lubang perangkap dan tali penjegal. Kalau Tio Koa- lu tadi tidak keburu berteriak tentu To hong sudah tertangkap karena tidak jauh di depannya adalah sebuah perangkap.

Meskipun gagal perangkapnya, namun Tun-ih Pin yakin pihaknya pasti menang, maka dengan senang ia tertawa dan berkata: “Nona Hong, syukurlah sekarang kau sudah datang, anak buahmu ini tidak becus semuanya, manabisa mereka membantu kau menuntut balas dendam ayahmu. Asalkan kau sudah jadi istriku, tentu aku akan bantu kau menuntut balas.”

“kemari sini!” seru To Hong dengan suara ketus.

“Baik, baik!” sahut Tun-ih Pin dengan lagak tengik yang di-buat2 sambil mendekati To Hong. “Kini aku sudah berada disini, apa kehendakmu silahkan katakan.”

“Aku hendak mencabut nyawamu!” bentak To Hong mendadak, sret, pedangnya terus menusuk. “Hm, budak busuk, kau berani menyembelih suami sendiri?” jengek Tun-ih Pin sambil mengelak. Menyusul senjatanya berbentuk gaetan lantas bergerak sehingga ujung pedang To Hong terkunci. “Turun kebawah!” bentak Tun-ih Pin sambil putar gaetan lain keperut kuda lawan.

Terpaksa To Hong menginjk pelana dan melompat pergi. Pedangnya tidak sampai dirampas musuh, namun kudanya harus dikorbankan dan mati tertusuk oleh gaetan Tun-ih Pin yang berujung tajam. Belum sempat To Hong berdiri tegak dari belakang Tun-ih Pin sudah menyerang tiba pula. To Hong menjadi gemas, bentaknya: “Biar kau yang mati atau aku yang binasa!” ~ Berbareng pedangnya susul menyusul menusuk tiga kali kebelakang, semuanyamenuju tempat2 mematika ditubuh Tun-ih Pin.

Tun-ih Pin terkesiap dan mengakui ilmu pedang To Hong yang hebat. Tempo hari ketika dirumah To Hong ia telah dikalahkan sinona. Hal ini membuatnya sangat penasaran, dengan sendiriny pertempuran sekarang sudah berbeda daripada dahulu, sebelumnya Tun-ih Pin sudah bersiap, namun dalam dua-tigapuluh jurus ternyat sedikitpun dia taknisa mengungkuli sinona dan baru sekarang ia tahu To Hong memang punya kepandaian sejati dan tidak bolh dipandang enteng.

Sementara itu disebelah sana Bing-sia juga sudah mulai bergebrak dengan Lama jubah merah. Ketika anak buah Lama itu menghujani Bing-sia dengan panah, terpaksa Bing-sia juga meninggalkan kudanya dan menerjang ketengah musuh, dengan cepat pedangnya telah merobohkan tiga Busu bangsa Mongol.

Lama Merah itu menjadi gusar, senjatanya bentu Kiu-goan-sik-tiang, tongkat timah bergelang sembilan, ia memapak Bing-sia terus menghantam, ketika pedang beradu dengan tongkat, terdengarlah suara gemerantang riuh yang diterbitkn gelang2 tembaga diujung tongkat Lama itu. “Hm, permainan apa ini?” jengek Bing-sia. Pedangnya berkelebat diatas dan memancarkan titik2 putih perak.

Lama itu tidak tahu dari arah mana pedang lawan hendak menyerang, terpaksa ia putar tongkatnya dengan kencang. Karena itu bunyi gelang pada ujung tongkatnya tambah ramai dan nyaring.

Semula Bing-sia tidak menaruh perhatian terhadap bunyi gelang tembaga itu, tak terduga lama2 hatinya menjadi gelisah, pikirannya menjadi kacau.

Kiranya suara yang diterbitkan oleh gelang2 tembaga itu telah merangkaikan suara2 yang kacau yang memang bisa menggoda pemusatan pikiran lawan, hal ini merupakan salah satu gaman si Lama untuk mengatasi lawan. Ditengah pertarungan sengit itu, sedikit lengah saja hampir2 dia kena disabet oleh tongkat Lama.

Untung Bing-sia mempunyai ginkang yang tinggi, dengan enteng sekali pada detik yang paling berbahaya ia tutul ujung tongkat dengan pedangnya, lalu meloncat kesamping.

Pada saat itulah seorang laki2 bersenjata golok dan seorang Busu bersenjata tombak telah mengepungnya dari kanan kiri. Yang pertama adalah jago kalangan Hek-to yang diundang Tun-ih Pin, yang kedua, adalah Busu Mongol, kepandaian mereka cukup tangguh, untuk mengalahkan mereka dalam waktu singkat rasanya sukar bagi Bing-sia. Sebaliknya si Lama telah menguber pula dari belakang.

Dengan satu lawan tiga Bing-sia masih mampu bertahan, tapi lama kelamaan tentu kewalahan juga. Namun disebelah lain keadaan To Hong ternyata lebih buruk daripada Bing-sia. Semula ia dapat menandingi Tun-ih Pin dengan sama kuat, tapi kepandaian Tun-ih Pin sesungguhnya lebih tinggi daripadanya, setelah lima-enampuluh jurus, ilmu pedang To Hong sudah mulai dikenal dengan baik, maka Tun-ih Pin segera melancarkan serangan2 yang gencar. To Hong kelabakan, hanya sanggup menangkis dan tidak mampu balas menyerang.

Dalam keadaan gawat itu, tiba2 terdengar suara derap kaki kuda yang ramai dan cepat sekali datangnya. Dengan tertawa Tun-ih Pin berkata: “Haha, baru sekarang mereka datang, namun permainan disini sudah hampir selesai. Hayo kawan2, cepat bekuk mereka. Tapi hati2, jangan sampai melukai istriku tercinta!”

Gemas dan kuatir pula To Hong dan Bing-sia. Mereka pikir daripada mati konyol ditangan musuh, kalau bisa bunuh dulu satu-dua orang musuh, habis itu barulah membunuh diri.

Mereka mengira yang datang itu adalah bala bantuan musuh, tak tahunya bahwa diantara diantara bala bantuan musuh itu bintang penolong merekapun tiba. Siapakah bintang2 penolong mereka itu? Tidak lain daripada Li Su-lam dann Nyo Wan.

Hari itu Li Su-lam dan Nyo Wan sedang melarikan kudanya dengan cepat, tanpa terasa sudah lewat lohor dan sudah berpuluh li meninggalkan rumah gilingan. To Hong pernah mengatakan rombongannya berkemah di Oh-tiap-kok, maka menurut perkiraan Li Su-lam lembah kupu2 itutentu sudah dilaluinya. Ia tidak tahu bahwa lembah itu justru berada didepan mereka, hanya saja tidak terletak pada jalan yang mereka tempuh.

Ditengah rasa bimbang oleh kecamuknya pertentangan batin, kebetulan saat itu mereka sampai disuatu persimpangan jalan tiga jurusan. Tiba2 dari depan datang suatu rombongan kira2 enam- tujuh penunggang kuda. Ternyata mereka adalah rombongan yang semalam datang kerumah gilingan untuk mencari buronan itu.

Melihat Li Su-lam, Busu Mongol yang memimpin rombongan lantas memapaknya, sambil berseru: “Li-kongcu, kedatanganmu sangat kebetulan!”

Walaupun semalam Su-lam telah memperlihatkan tanda2 pengenalnya, maka sekarang ia merasa kebat kebit juga kalau2 rahasianya ketahuan. Dalam pada itu Busu Mongol itu sudah berada didepannya, terpaksa ia balas menyapa: “Ya,sungguh sangat kebetulan. Kau ada urusan apa?” “Ada kabar baik yang dapat kuberitahukan,” kata Busu Mongol itu. “Buronan yang kami cari itu kini sudah diketahui jejaknya.” Su-lam tahu buronan yang dimaksudkna adalah Liong Kang, dalam batin ia merasa geli dan anggap ucapan orang Mongol itu sebagai omong kosong belaka. Tapi timbul juga rasa sangsinya, karena tidak jelas apa yang dikehendaki orang. Maka dengan tersenyum iapun menjawab: “O, baik sekali kalau begitu, tentu kau telah berjasa besar. Dimanakah kalian berhasil membekuk buronanmu?” “Bukan buronan yang telah kami bekuk, tapi suatu rombongan anak buah To Pek-seng telah datang ke Sehe sini, mereka berkemah di Oh-tiap-kok, diantara mereka terdapat dua dara, satu diantaranya adalah anak perempuan To Pek-sing.

Li Su-lam yakin anak dara yang lain yang dimaksudkan itu tentu Beng Bing-sia adanya. Ia menjadi ragu2 apakah mesti ikut pergi atau tidak. Belum lagi ia menjawab, tiba2 Nyo Wan mendahului berkata: “Kita sama2 mendapat tugas penting dari Khan Agung, kalau ada pekerjaan adalah sepantasnya kami ikut pergi membantu.”

Mendengar Nyo Wan sudah berkata demikian, segera Su-lam ikut menyatakan setuju. Busu Mongol itu sangat senang, be-ramai2 mereka lantas berangkat.

Begitulah kedatangan mereka sangat tepat karena saat itu To Hong dan Bing-sia lagi terdesak. Mereka menjadi heran melihat diantara bala bantuan musuh yan datang itu terdapat Li Su-lam, terutama Bing-sia merasa tidak tentram dan sangsi jangan2 Li Su-lam benar telah berkhianat. Iapun menduga wanita yang datang bersama itu tentu Nyo Wan seperti apa yang didengarnya dari To Hong.

Sementara itu rombongan pendatang itu sudah melompat turun dari kuda masing2 dan berlari keatas bukit. Si Lama jubah merah segera pula dapat mengenali Li Su-lam. Lama ini adalah Lama yang semalam ikut mendatangi rumah gilingan, disana dia telah dilukai Li Su-lam dan untung dpat menyelamatkan diri walaupun kedua kawannya terbinasa, habis itu barulah dia ketemu Tun-ih Pin. Sekarang dilihatnya Li Su-lam datang bersama kawan2nya orang Mongol keruan kejutnya tidak kepalang, cepat ia berseru: “He, ditengah kalian ada mata2 musuh!”

Tentu saja Busu Mongol itu merasa bingung, ia menjawab: “Apa? Siapa ……” belum lanjut ucapannya, tahu2 punggungnya terasa ditusuk sesuatu. Rupanya dengan cepat sekali Li Su-lam sudah menubruk dari belakang, sekali tusuk pedangnya telah menembus punggung Busu itu hingga keluar dada.

Berbareng dengan itu Nyo Wan juga lantas bertindak, ilmu pedangnya lebih ganas daripada Li Su- lam, “sret, sret” dua kali, kontan dua busu bangsa Sehe kena dirobohkan dan terguling kebawah bukit.

Su-lam cabut pedangnya dari tubuh korbannya, lalu membentak: “Sebagai putra bangsa Han, masakah aku sudi mengekor pada pihak pengganas. Sekarang kau sudah jelas belum?”

Busu Mongol itu mendelik, ia menjerit keras sekali, lalu roboh binasa.

Dalam rombongannya itu Busu Mongol yang berkepandaian paling tinggi sudah mati, menyusul adalah kedua Busu Sehe, sekarang ketiga orang ini sudah mampus semua, sisanya tinggal empat orang menjadi bingung, mereka sama melarikan diri serabutan.

“Jangan kuatir, To-cici, aku datang membantu kau!” seru Nyo Wan. Rupanya ia sengaja membiarkan Li Su-lam pergi membantu Bing-sia, maka ia sendiri mendahului berlari kearah To Hong.

Ketika mendadak mendengar samberan angin dari belakang, cepat Tun-ih Pin putar pedangnya untuk menangkis serangan Nyo Wan. Kesempatan itu segera digunakan To Hong untuk melompat kesamping, bentaknya mendadak: “Kena!” ~ Berbareng tiga buah Tok-liong-piau disambitkan susul menyusul dengan cara yang ber-beda2.

Laki2 yang bergolok bertenaga lebih besar, tapi kurang lincah. Dengan goloknya ia bermaksud menyampuk sebuah Tok-liong-piau yang menyambar kearahnya. Tapi goloknya ternyata menyampuk tempat kosong. Ia menjadi gugup dan bermaksud mengelak, namun sudah terlambat. Terasa iganya menjadi sakit, nyata Tok-liong-piau telah menancap dipinggangnya, ia ter-huyung2, lalu terjungkal.

Musuh yang bertombak itu lebih cekatan, ia sempat angkat senjatanya untuk memukul senjata rahasia yang menyamber tiba, “trang”, piau terbentur dan mental balik lewat diatas kepalanya. Terenduslah bau amis yang memusingkan kepala, keruan ia kaget, teriaknya: “Tok-liong-piau!” “Benar, rupanya tahu juga kau!” jengek To Hong. Sementara itu Tok-liong-piau ketiga sedang menyamber keleher Tun-ih Pin.

Hebat sekali Tun-ih Pin, ketika gaetan kiri menahan dan gaetan kanan menepuk, seketika Tok- liong-piau berganti arah menuju Nyo Wan.

Nyo Wan juga tak kalah tangkasnya, pedangnya memuntir, piau itu berubah arah lagi dan tahu2 menyamber kearah laki2 bertombak. Sekali ini dia tidak mampu mengelak lagi, “cret”, piau menancp dibahunya. Racun Tok-liong-piau adalah mematikan seketika bila kena pembuluh darah. Maka tanpa ampun bagi laki2 itu, belum sempat ia menjerit sudah roboh binasa.

“kerubut dia, jangan sampai dia sempat menggunakan senjata rahasia!” seru Tun-ih Pin sambil putar sepasang gaetan untuk menjaga diri.

Beberapa anak buahnya segera memburu maju dan menghujani To Hong dengan macam2 senjata rahasia, terpaksa To Hong putar pedangnya dengan kencang, bila ada kesempatan iapun balas menyerang dengan Tok-liong-piau.

Serang menyerang dengan senjata rahasia lebih menguntungkan To Hong sebab dia lebih lincah dan bagus pula ilmu pedangnya. Dalam sekejap dua musuh kena dirobohkan pula oleh Tok-liong-piau, tapi beberapa orang lain sempat menerjang lebih dekat. Dalam keadaan pertarungan dari jarak dekat dengan sendirinya senjata rahasia tidak banyak gunanya.

Di sebelah sana Li Su-lam juga telah berada disamping Beng Bing-sia. Yang mengerubut Bing-sia ada tiga orang. Datangnya Su-lam tepat pada waktunya, dengan cepat ia menabas dan menusuk sehingga kedua kawan Lama yang mengeroyok Bing-sia itu dipaksa mundur. Maka Bing-sia menjadi longgar, ia putar pedangnya dengan penuh semangat untuk melabrak si Lama jubah merah. Bagi Li Su-lam, kedua lawannya itu terlalu enteng baginya. Dalam sekejap saja ia sudah dapat menjajaki kelemahan musuh, pada suatu ketika ia sengaja menyelinap ke belakang seorang lawan dan secepat kilat menotok Hiat-to yang membuatnya berdiri kaku. Musuh satunya lagi Busu Mongol yang bertombak saat itu lagi menusuk, segera Su-lam menggunakan tawanannya sebagai tameng dan disodorkan ke ujung tombak musuh.

Busu Mongol itu terkejut dan lekas2 hendak menarik kembali senjatanya, namun terlambat sedikit, dada kawannya telah tembus. Seketika ia menjadi melongo kesima, sedikit meleng saja pedang Li Su-lam sudah menyamber tiba pula dan menembus perut Busu Mongol itu. “Nah, biar kalian menjadi teman saja di akhirat sana!” bentak Su-lam sambil tarik pedangnya. Kontan kedua korbannya roboh terkapar.

Ketika melihat munculnya Li Su-lam memangnya si Lama sudah jeri, sekarang kedua temannya yang tangguh dibinasakan oleh Su-lam, tentu saja ia tambah gugup, seketika permainan tongkatnya menjadi kacau dan ngawur. Kesempatan itu tidak di-sia2kan Bing-sia, ia menyerang dengan gencar, pedang berkelebat, darah muncrat, tahu2 bahu kanan Lama itu telah dilukai belasan senti panjangnya dengan darah mengucur deras.

Lama itu mengerang kesakitan, ia putar tubuh hendak melarikan diri. “Mau lari kemana?” bentak Su-lam.

Mendadak Lama itu menggetarkan tongkatnya, kesembilan gelang tembaga pada ujung tongkat lantas terlepas dan menyamber ke arah Su-lam dan Bing-sia. Gelang2 tembaga itu tidak Cuma mengacaukan pikiran lawan dengan suaranya yang berisik, tapi bila perlu dapat pula digunakan sebagai senjata rahasia.

Namun paduan pedang2 Su-lam dan Bing-sia laksana benteng baja yang tak tertembuskansuara gemerincing yang nyaring, gelang2 tembaga terpental semuanya dan ada yang terbelah menjadi dua.

“bersihkan sisa2 musuh lebih penting, lekas kau pergi membantu To Hong dulu!” seru Bing-sia sambil berlari kearah Nyo Wan. Rupanya Bing-sia sangat ingin berkawan dengan Nyo Wan, maka kesempatan hendak digunakannya untuk bahu membahu menghalau musuh bersama Nyo Wan.

Beberapa orang yang mengerubut To Hong tadi sementara itu sudah ketakutan mereka berteriak terus lari. To Hong juga tidak perduli mereka, segera ia mengejar si Lama jubah merah. Untuk menjaga kemungkinan2 Li Su-lam lantas menyusul untuk membantunya bila perlu. “Apakah Lama ini yang semalam hendak mencari Jisukoku?” tanyaTo Hong. “Benar,” jawab Su-lam. “Dia sudah dilukai oleh Beng-lihiap.”

“Jangan sampai dia lolos!” ujar To Hong dengan gemas.

Saat itu si Lama sudah berhasil merebut seekor kuda dan baru saja mencemplak ke atas kuda. Cepat To Hong menyambitkan Tok-liong-piau susul menyusul. Lantaran sebelah bahunya sudah terluka, gerakan tongkatnya menjadi kurang lincah, sebuah Tok-liong-piau kena dipukul jatuh, tapi Tok- liong-piau berikutnya telah mengenai punggungnya. Kontan Lama itu terjungkal ke bawah kuda dan menjerit ngeri, iapun binasa bermandikan darah.

Saat mana Nyo Wan lagi kewalahan menandingi Tun-ih Pin, syukur Bing-sia memburu tiba, sekali serang segera menggunakan jurus mematikan. Sudah tentu Tun-ih Pin bukan lawan enteng, ia putar gaetannya yang berujung tajam buat balas menusuk, serangan ini memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dahulu bila tidak ingin terluka bersama.

Cuma sayang perhitungan Tun-ih Pin rada keliru, yang dia hadapi bukan Cuma Bing-sia seorang, tapi di sebelahnya masih ada seorang Nyo Wan. Kesempatan baik itu telah digunakan Nyo Wan, tahu2 ujung pedangnya telah mengancam dada musuh.

Dalam keadaan tergencet dari kiri-kanan, terpaksa Tun-ih Pin harus menyelamatkan diri lebih dahulu. Namun betapa gesitnya Bing-sia, pedangnya putar membalik terus menabas miring ke bawah, kontan bahu kiri Tun-ih Pin terluka, untung Tun-ih Pin keburu melompat mundur, kalau tidak sebelah lengannya tentu sudah buntung.

“Tinggalkan nyawamu!” bentak To Hong. Begitu gemasnya terhadap Tun-ih Pin, sekaligus tiga buah Tok-liong-piau lantas disambitkan secara susul menyusul.

Tun-ih Pin benar2 hebat, meski sebelah lengan terluka, dengan sebelah gaetannya, ia masih sanggup menyampuk, terdengar “trang-trang” dua kali, dua Tok-liong-piau kena disampuk dan mencelat balik sehingga membentur piau yang ketiga. Tiga buah Tok-liong-piau jadinya jatuh semua ke tanah.

Dengan cepat sekali Tun-ih Pin lantas menyemplak keatas kuda dan dilarikan secepat terbang. Kudanya juga kuda pilihan sehingga sukar bagi To Hong untuk mengejarnya. Dengan menghela napas gegetun To Hong menyimpan kembali Tok-liong-piau yang lain, lalu menyapa kedatangan Su-lam. Sementara itu terlihat Bing-sia sudah mulai berbicara dengan Nyo Wan.

Dengan sikap hormat Bing-sia berkata: “Ini tentunya Nyo-cici bukan? To-cici telah mengatakan tentang dirimu, aku merasa menyesal tak dapat berjumpa dengan Nyo-cici, siapa tahu kalian telah datang menolong kami, sungguh kami harus berterima kasih padamu.”

“Ah, adalah sepantasnya kami bertindak demikian, apa lagi Beng-lihiap sendiri telah pernah menolong engkoh Lam,” jawab Nyo Wan. “Sungguh, akupun sangat ingin berjumpa dengan Beng- cici.”

Walaupun Nyo Wan merasa rikuh untuk mengatakan dirinya bakal istri Su-lam, tapi dari ucapannya ‘engkoh Lam” yang mesra itu sudah cukup mengatakan hubungannya dengan Su-lam yang berbeda daripada orang lain.

Su-lam sendiri merasa serba susah, tapi Beng Bing-sia bersikap sewajarnya saja sehingga suasana tidak terlalu kaku. Su-lam lantas menghaturkan terima kasih kepada pertolongan Bing-sia tempo hari serta menceritakan pengalamannya di Mongol tempo hari. Akhirnya ditambahkannya: “Sungguh malang ayahku telah dicelakai musuh, untung adik Wan telah merawatnya sehingga kami ayah dan anak sempat bertemu pada saat terakhir.”

Mendengar itu Bing-sia menjadi lebih jelas bahwa hubungan Su-lam dan Nyo Wan pasti tidak Cuma “kakak beradik” saja, hatinya rada masam, tapi bergirang juga bagi mereka. Pikirnya: “Nona Nyo ini berasal dari keluarga ternama, cantik lagi pandai. Dia memang pasangan yang paling cocok dengan Su-lam.”

Tengah bicara, tiba2 ditengah semak2 rumput sana suara orang merintih. Kiranya adalah seorang Busu Sehe terluka parah dan sedang meronta menanti ajalnya.

Hati To Hong tergerak. Segera ia mendekati Busu itu dan diseret keluar, diberinya obat luka padanya, lalu bertanta: “Aku ingin tanya padamu, kau harus mengaku etrus terang.”

Karena diberi obat, Busu itu mengira jiwanya dapat diselamatkan, maka ia lantas menjawab: “Silahkan nona tanya, apa yang kuketahui tentu akan kukatakan.”

“Lama ini kemarin berada bersama seorang Han yang bernama Eng jay, guru Eng Jay bernama Yang Thian-lui, pakah kau tahu?” tanya To Hong.

“Tahu,” jawab Busu itu. “Yang Thian-lui adalah jago terkenal dinegeri Kim, meski kami tinggal jauh di Sehe sini juga sudah lama mendengar namanya.”

“Nah, yang hendak kutanyakan adalah soal ini. Bukankah Mongol dan Kim sudah mulai perang, tapi mengapa Yang Thian-lui sebagai jago Kim malah mengirim anak muridnya bergaul dengan Lama negeri musuh?”

“Ini memang suatu rahasia besar. Lantaran nona sangat baik padaku, biarlah kuceritakan semuanya. Yang Thian-lui adalah manusia yang selalu mengikuti arah angin, pengaruh Mongol sekarang sangat besar, maka diam2 Yang Thian-lui sudah mengadakan hubungan rahasia dengan Cepe, suah siap untuk memberontak di kotapraja, Kim bilamana pasukan Mongol sampai dibenteng ibukota Kim itu.”

“O, kiranya begitu. Tapi mengapa kaupun berada bersama mereka? Jangan2 kaupun sudah siap menjadi mata2 mereka dinegeri Sehe sini.”

Wajah Busu itu menjadi merah, sahutnya dengan gelagapan: “Hamba hanya ……. hanya seorang pelaksana saja, apa yang kulakukan adalah terpaksa.”

Tiba2 Su-lam ikut bertanya: “Kabarnya pasukan Mongol akan dialihkan kebarat untuk menyerbu negeri kalian ini, apakah betul?”

“Kiranya kongcu juga tahu?” jawab Busu itu terkejut.

Padahal Li Su-lam hanya menerka saja berdasarkan kenyataan pasukan Mongol ditempatkan di Liong-sah-tui serta menurut gerak gerik pasukan musuh dan ternyata lantas terbukti dari pengakuan Busu Sehe itu.

“Rupanya kau juga sama2 pengkhianat yang menjual negara untuk kepentingan sendiri macam Yang Thian-lui,” jengek To Hong.

Keruan Busu itu ketakutan. “Nona, engkau mengatakan mau mengampuni jiwaku!” pintanya. “Siapa yang berjanji mengampuni kau,” jawab To Hong. “Dosa lain dapat diampuni, hanya pengkhianat tidak bisa diampuni,” ~ Cret, kontan ia tikam Busu itu dengan pedangnya.

Nyo Wan sampai terperanjat ole keganasan To Hong. Sungguh tak terduga olehnya bahwa nona secantik itu ternyata membunuh orang tanpa berkedip. Maklumlah asal usul Nyo Wan berbeda daripada To Hong dan Bing-sia, perangainya juga lain, maka sekalipun dalam hati ia mengagumi kegagahan mereka, namun terasa juga oleh Nyo Wan bahwa dirinya bukan sekaum dengan mereka dan tak mungkin bergaul dengan akrab. Tiba2 Nyo Wan merasakan sesuatu yang aneh, terasa dirinya seperti “orang luar” yang berada ditengah Li Su-lam dan Beng Bing-sia, meskipun Su-lam lebih banyak bicara padanya daripada dengan Beng Bing-sia.

Tanpa terasa hari sudah terang, pagi sudah tiba. Su-lam berkata: “Jika pasukan Mongol beralih kebarat, wilayah Sehe tentu akan menjadi medan perang. Tempat ini bukan tempat yang aman, lebih baik lekas kalian pulang saja.”

“Kami hendak menunggu kembalinya Song Thi-lun dan istrinya, setelah bergabung segera kami kembali, biarlah kalian berangkat dulu,” jawab Bing-sia.

“Ah, kamipun tidak ter-buru2 hanya untuk beberapa hari saja, biarlah kita berombongan kan lebih ramai. Bukankah demikian, engkoh Lam?” ujar Nyo Wan.

Belum lagi Su-lam menjawab tiba2 Bing-sia telah mendahului berkata: “Tapi kami masih harus bergabung dengan beberapa tokoh kalangan Hek-to, mungkin kalian kurang biasa bergaul dengan mereka. Apalagi pihak Mongol sedang menguber Su-lam, kukira kalian tidak perlu tertunda disini lebih baik berangkat lebih dulu saja.”

Agaknya Bing-sia kuatir Nyo Wan banyak menruh curiga, maka tidak ingin berombongan dengan mereka.

Karena begitu ucapan Bing-sia, dengan sendirinya Nyo Wan tidak dapat memaksa. Katanya kemudian: “Baiklah, jika begitu kami akan berangkat lebih dulu. Semoga sekembali di Tionggoan kita dapat berjumpa pula.” Begitulah mereka lantas meninggalkan lembah kupu2 itu. Sepanjang jalan Nyo Wan dan Su-lam sama2 tercekam oleh perasaan masing2.

Dua hari kemudian mereka sudah mendekati perbatasan negeri Sehe dan Kim. Tiba2 debu mengepul tinggi didepan sana, suatu rombongan besar kaum pengungsi membanjir tiba dalam keadaan ketakutan.

“Terjadi apa didepan sana?” Su-lam tanya kepada salah seorang pengungsi itu.

Memang Li Su-lam sudah menduga pihak Mongol pasti akan mengalihkan pasukan nya kebarat, tapi serbuan yang begitu cepat sungguh diluar dugaannya. Terpaksa Su-lam mengajak Nyo Wan untuk kembali kearah datangnya tadi untuk menghindari bahaya.

Sementara itu sepanjang jalan sudah penuh dengan pelarian pengungsi sehingga kuda mereka sukar melangkah. Terpaksa Su-lam mengajak Nyo Wan menyimpang kepinggir jalan. Tapi belum mereka keluar dari lautan kaum pengungsi, tahu2 pasukan Sehe yang kalah telah membanjir tiba pula.

Pasukan yang kalah itu hanya memikirkan menyelamatkan diri dan sama sekali tidak perduli mati- hidup rakyat jelata, kuda mereka terus menerjang ketengah lautan manusia, banyak kaum wanita, orang tua dan anak kecil ter-injak2 sehingga suara jeritan tangis gemuruh memekak telinga. Prajurit yan tak berkuda juga tahunya menerjang untuk cari selamat, banyak rakyat jelata yang tidak sempat menyingkir telah menjadi korban.

Su-lam menjadi gusar melihat kelakuan prajurit2 Sehe itu, takut terhadap musuh, tapi mengganas terhadap rakyat sendiri. Pantas pasukan Mongol dapat mengalahkan mereka dengan mudah.

Tiba2 suatu regu tentara kalah itu menerjang kearah mereka sambil ber-teriak2: “aku mau kudamu!

~ Aku ambil betinanya!” ~ belum apa2 mereka sudah ribut mau membagi rejeki.

Keruan Su-lam dan Nyo wan menjadi murka, mereka putar pedang membinasakan beberapa orang diantaranya, habis itu barulah tentara kalah itu kapok dan melarikan diri. Namun regu ini lari, regu yang lain sudah tiba pula.

Dengan gusar Su-lam siap membereskan pula tentara2 pengecut itu. Tapi mendadak tentara pelarian itu berceri berai kabur serabuatan tanpa meng-utik2 mereka lagi. Semul a Su-lam heran, tapi ia memandang kesana barulah tahu apa sebabnya, kiranya sepasukan tentara Mongol sudah mengejar tiba.

“Kau ikut dibelakangku, adik Wan!” seru Su-lam. Cepat ia rampas dua buah tombak panjang dan segera digunakan alat pembuka jalan lari. Setiba dipadang yang sepi, ia memanggil Nyo Wan tapi tidak mendapat jawaban, ia menoleh, ternyata Nyo Wan sudah hilang. Keruan kejut Su-lam tak terkatakan. Disangkanya sejak tadi Nyo Wan selalu mengikuti si belakangnya, siapa tahu nona itu telah diterjang oleh kekacauan sehingga terpisah.

Su-lam mengeluh, ia bermaksud kembali kesana untuk mencari Nyo Wan,tapi tertampak debu mengepul setinggi langit, be-ribu2 kuda lari bergemuruh, rupanya pasukan induk Mongol sudah tiba pula. Pasukan induk Mongol terus maju melalui jalan utama, kedua sayapnya terbagi dalam be- regu2 kecil sedang menyapu sisa2 musuh diladang belukar kedua tepi jalan.

Suatu regu kecil diantaranya telah mendekati tempat Li Su-lam. Tanpa pikir Su-lam angkat busur pemberian Jengis Khan dan membidikkan tiga anak panah, kontan tiga prajurit Mongol terjungkal dari kudanya. Dalam pada itu dengan cepat dua prajurit lain telah menerjang tiba. Su-lam menggertak satu kali, dengan tepat ia samber tombak seorang prajurit itu kena ditarik meninggalkan kudanya sambil masih pegang kencang2 tombaknya, ketika Su-lam memutar dengan cepat terus dilepaskan, kebetulan prajurit itu menumbuk kawan sendiri yang saat itutelah menerjang tiba. “Panah yang hebat!” tiba2 terdengar seruan seseorang.

Waktu Su-lam memandang kesana, tertampak sebuah panji besar ber-kibar2 tertiup angin, dibawah panji itu berdiri seorang panglima gagah berkuda sedang memandang kearahnya ditepi jalan sana. Panglima perang ini bukan lain daripada sipanah sakti Cepe adanya. Rupanya pasukan besar Mongol ini dibawah pimpinannya.

Karena sekujur badan Li Su-lam penuh debu kotoran, jaraknya rada jauh pula, maka Cepe tidak tahu siapa dia. Hanya saja melihat kepandaian panah Su-lam itu, ia menjadi gatal tangan juga dan ingin mengadu kepandaiannya. “Ser-ser-ser,” ber-turut2 iapun melepaskan tiga anak panah kearah Su-lam.

Ilmu memanah Cepe memang lebih tinggi daripada Li Su-lam. Dengan gendewanya Su-lam napat menyampuk jatuh anak panah pertama, anak panah kedua dapat dielakkan pula, tapi anak panah ketiga telah mengenai kudanya.

Habis itu kontan Su-lam juga balas memanah satu kali.

Mendengar suara mendengingnya anak panah, Cepe terkesiap dan tahu itulah bidikan dengan busur baja nomor satu. Dengan tangkas iapun tangkap anak panah itu dengan tangannya. Busur panah Jengis Khan adalah buatan khusus, sekali lihat saja Cepe lantas tahu siapa adanya Li Su-lam. “Kiranya kau!” bentak Cepe. “Hayo anak buahku, jangan sampai dia lolos!”

Mendengar perintah panglimanya, regu tentara tadi yang masih dua-tiga puluh orang itu lantas be- ramai2 mengejar kearah Su-lam.

Kuda Su-lam yang terkena panah tadi sedang lari kesakitan, tapi beberapa li jauhnya sudah tidak tahan dan roboh terguling. Cepat Su-lam berguling ditanah sambil putar pedangnya, belum berdiri tegak orangnya, lebih dahulu ia sudah babat putus delapan kaki kuda musuh sehingga ada empat prajurit pengejar itu jatuh kebawah.

Cepe juga ikut mengejar, belum tiba orangnya lebih dulu ia membidikkan panahnya lagi. Su-lam cengkeram seorang prajurit musuh dan digunakan sebagai perisai, ber-ulang2 ia tangkis tiga panah, tapi mendadak ketiaknya terasa sakit, rupanya sebuah panah Cepe itu menembus badan prajurit dan ujung panah melukai Su-lam. Untung juga ada perisainya sehingga luka Su-lam itutidak parah.

Akan tetapi Su-lam sudah kehilangan kuda, keadaannya menjadi sangat berbahaya.

Selagi Su-lam bertempur mati2an untuk mencari jalan lari, se-konyong2 suara angin men-deru2, debu pasir bertebaran memenuhi angkasa. Itulah “Liong-kwi-hong” (angin puyuh putaran naga) yang jarang terjadi di daerah tandus barat-laut, sungguh sangat keetulan, pada saat gawat demikian angin puyuh itu telah menyelamatkan Li Su-lam.

Debu pasir yang dijangkitkan oleh angin puyuh itu laksana be-ratus2 lapis tabir yang menutupi angkasa dan menyelimuti bumi, ditengah kabut pasir itu hanya tampak bayangan2 manusia belaka, sukar untuk membedakan kawan atau lawan apalagi di ladang belukar yang terbuka itu angin sangat kencang, kedua pihak sama2 ingin mencari tempat sembunyi dan tidak pikir bertempur lagi.

Menghadapi angin puyuh yang begitu hebat, posisi pasukan induk Mongol menjadi kacau juga. Sebagian tawanan menggunakan kesempatan baik itu untuk merampas senjata dan kuda buat melarikan diri ditengah keributan itu.

Sebagai seorang panglima dengan sendirinya Cepe tak bisa meninggalkan pasukannya dalam keadaan kacau, terpaksa ia putar balik ke tengah pasukannya. Ia pikir Su-lam sudah terluka, nanti kalau angin sudah reda akan dilukis parasnya dan disebarkan agar dilakukan penangkapan oleh pos2 penjaga di perbatasan.

Su-lam tidak pernah berhenti di tengah angin puyuh itu, dengan tekad yang teguh ia terus berlari meski beberapa kali hampir saja ia terguling.

Angin puyuh itu berlangsung hampir satu tanakan nasi baru mereda. Habis itu Su-lam coba lihat sekitarnya, ternyata dirinya sudah berada di kaki gunung, di belakang tiada pengejar. Kedua kakinya terasa linu pegal, tulang2 sekujur badan se-akan2 retak, lukanya juga terasa sakit, ia cona meraba luka dekat ketiak itu, basah rasanya entah air keringat atau darah.

Ia membawa rangsum kering serta obat luka, untung perbekalan itutidak jatuh. Segera ia robek bajunya, lukanya dibersihkan, lalu dibalut. Ia pikir bahaya belum lenyap seluruhnya, makin jauh masuk pegunungan akan makin baik. Maka dengan menahan haus, ia makan dua buah kue kering, dengan mengumpulkan semangat ia mendki gunung di depan. Sampai hari sudah magrib barulah ia mencapai diatas gunung. Untung diketemukan sebuah parit berair bening, setelah kenyang minum dan membersihkan bagdan, pulihlah semangatnya. Ia coba bersemadi untuk menghimpun tenaga dalam, akhirnya ia merasa lukanya tidak berhalangan barulah ia berbangkit. Sayup2 terdengar suara terompet, entah sudah sampai dimana prajurit kedua pihak yang berperang itu.

Menghadapi bayangan sendiri dibawah sinar bulan, Su-lam menjadi berduka teringat kepada Nyo Wan yang hilang itu, terkenang macam2 kebaikan Nyo Wan, tapi sekarang dirinya tinggal sendirian dan sinona tak diketahui mati hidupnya. Ia pikir kepandaian Nyo Wan cukup tinggi, tentunya dapat menyelamatkan diri pula. Maka dalam hati ia bersumpah betapapun pasti akan mencari dan menemukan si nona.

Tengah ngelamun, tiba2 didengarnya suara kresek2 ditengah semak2 rumput, Ia mengira ada binatang2 kecil sebangsa kelinci yang sembunyi disitu. Ia pikir sangat kebetulan akan dijadikan daharan. Segera ia jemput dua potong batu kecil, ia sambit semak2 rumput itu dengan maksud membikin binatang yang sembunyi disitu kaget dan lari keluar, lalu akan menyambit pula unutk menangkapnya.

Diluar dugaan, yang melompat keluar bukanlah binatang kecil, tapi ada seorang laki2, sebelum batu kedua disambitkan Su-lam, orang itu sudah menubruk tiba. Dibawah sinar bulan kelihatan jelas laki2 itupun kotor badannya dan berlepotan darah, entah orang mana dan bangsa apa, yang jelas berpakaian orang Mongol.

Su-lam menyangka orang suruhan Cepe untuk menangkapnya, tanpa pikir ia lantas lolos pedang terus menusuk. Serangan yang mengarah Hiat-to musuh ini menurut perhitungan Su-lam akan dapat merobohkan musuh dengan mudah. Siapa duga laki2 itu ternyata sangat gesit dan cekatan. “Trang”, secepat kilat orang itupun sudah cabut pedangnya untuk menangkis, menyusul terus balas menyerang kemuka Li Su-lam.

Sambil mengelak Su-lam sampuk pula pedang lawan. Tapi orang itu terus memutar kesamping Su- lam dan kembali pedangnya menusuk iga Su-lam dengan cepat luar biasa. Syukur Su-lam sempat menggeliat pada saat berbahaya sehingga melesetlah serangan musuh. Ia terkesiap akan tusukan musuh yang mengincar Hiat-to berbahaya itu, kini ia tidak berani memandang enteng lawannya lagi.

Dalam pada itu dengan cepat luar biasa orang itu menubruk maju pula dan ber-turut2 melancarkan belasan kali serangan. Sebenarnya kepandaian Li Su-lam tidak dibawah laki2 itu. Soalnya kalah tenaga, perutnya lapar lagi. Setelah menangkis belasan kali mulai terasa payah. Untungnya laki2 itupun seperti kekurangan tenaga juga, setelah melancarkan serangan2 tadi gerak pedangnya pun mulai kendur.

Tiba2 hati Su-lam tergerak karena merasa ilmu pedang lawan seperti sudah dikenalnya. Baru saja bermaksud menegur, se-konyong2 lawannya melompat keluar kalangan dan membentak: “Siapa kau?”

“Seorang laki2 sejati tidak perlu ganti she dan palsukan nama, aku adalah putra Han tulen Li Su- lam adanya, dan kau sendiri siapa?”

“kau putra Han tulen, akupun putra han sejati,” jawab orang itu ter-bahak2. “Kita tidak perlu berkelahi lagi. Li-heng, kalau aku tidak salah terka, tentunya kau dari Siau-lim-pay. Entah siapakah gurumu yang terhormat?”

“Guruku adalah murid Siau-lim-pay dari kalangan preman, beliau she Kok bernama Peng-yang,” jawab Su-lam.

“O, kiranya Li-heng adalah murid Kok-tayhiap, pantas begini bagus Tat-mo-kiam-hoatmu,” kata orang itu.

“Dan cayhe sendiri belum lagi mengetahui nama saudara yang terhormat?” “Siaute she Ciok bernama Bok.”

“Ai, kiranya Ciok-heng adanya, pantas ilmu pedangmu tampaknya sudah kukenal.” “Darimana Li-heng bisa mengenali ilmu pedang perguruanku?”

“Gurumu bukankah To-tayhiap, To Pek-sing?” jawab Su-lam. “Sumoaymu To Hong bahkan kemarin berada bersama kami.”

Terkejut dan girang sekali Ciok Bok, cepat ia menegas: “To-sumoay berada dimana? Masih ada seorang Jisuko kami, apakah Li-heng juga berjumpa dengan dia?”

“Nona To dan seorang nona Beng berada dilembah kupu2 untuk menunggu kembalinya Song Thi- lun dan istrinya. Tentang Liong-suheng, dia dia, sayang sudah meninggal.” “Liong-suheng meninggal?” Ciok Bok menegas dengan terperanjat.

Su-lam lantas menceritakan apa yang diketahuinya. Gemas dan duka hati Ciok Bok mendengar sebab kematian Liong Kang, dengan mengembeng airmata ia bacok sebuah batu padas dengan pedangnya dan bersumpah: “Jahanam Tun-ih Pin yang membikin celaka Liong-suheng, bila aku tidak membunuh keparat ini aku bersumpah tidak menjadi manusia.”

Sejenak kemudian Su-lambertanya: “Ciok-heng, mengapa kau berada disini dan sebab apa berdandan begini?”

“Sungguh memalukan bila kuceritakan,” jawab Ciok Bok. “Kemarin aku kepergok pasukan besar Mongol, karena kewalahan menghadapi jumlah musuh sekian banyak, akhirnya aku tertawan.

Ditengah jalan tadi untung terjadi angin puyuh selagi pasukan Mongol mengejar pasukan Sehe yang melarikan diri, kesempatan itu telah kugunkakan untuk meloloskan diri.

“benar2 sangat kebetulan, aku juga lolos dari kejaran musuh karena angin puyuh yang hebat tadi,” ujar Su-lam dengan tertawa. “Ciok-heng tentunya sangat lapar, aku masih ada sedikit makanan kering.”

“Barusan aku dapat membunuh seekor kelinci, apakah Li-heng membawa batu api?” kata Ciok Bok. Lalu dari semak2 dilekuarkannya seekor kelinci. Segera Su-lam membuat api unggun untuk memanggang kelinci. Selesai makan semangat mereka banyak terbangkit kembali.

Su-lam menjadi teringat lagi kepada Nyo Wan, ia coba tanya: “Ditengah pasukan yang kacau balau tadi apakah Ciok-heng melihat seorang nona.” ~ lalu ia menguraikan ciri2 Nyo Wan. Sebenarnya ia hanya tanya sekadarnya saja, sebab tahu sangat tipis harapan akan diketemukannya bakal istrinya itu.

Tak disangka, setelah mendengar ciri2 Nyo Wan, tentang wajah dan pakaiannya, tiba2 Ciok Bok menjawab: “Aku melihatnya. Cuma, ai, sungguh malang nasib nona itu. ” ~ tiba2 ia bertanya:

“Entah nona itu pernah apanya Li-heng?”

Berdebar jantung Su-lam, jawabnya kemudian: “O, kawanku seperjalanan. Kami sama2 hidup terlunta dinegeri orang yan sedang berkecambuk oleh peperangan, maka kami sama2 ingin pulang kekampung halaman, tak terduga ditengah kekacauan kemarin dia telah terpencar dariku. Entah bagaimana nasibnya, dapatkah kau menceritakan?”

Ia kuatir Ciok Bok tidak mau menceritakan seluk beluk daripada apa yang dilihatnya, maka tidak dikatakan bahwa Nyo Wan adalah bakal istrinya.

Begitulah maka Ciok Bok mulai menutur

: “kejadian ini terjadi sebelum terjangkitnya angin puyuh. Ditengah barisan tawanan kaum wanita yang terpisah tidak jauh dari rombongan tawanan laki2 kulihat ada seorang nona baju merah yang mirip nona yang kau tanyakan itu.”

“benar, kemarin dia memang memakai baju merah jambon,” kata Su-lam. “Kiranya dia telah tertawan musuh. Apa yang terjadi atas dirinya?”

“hendaklah kau jangan berduka, dia dia mungkin tak bisa pulang lagi,” kata Ciok Bok.

Mendadak Su-lam mencengkeram bahu Ciok Bok dan berteriak: “Bagaimana duduk perkara? Lekas katakan padaku!”

“Kulihat seorang perwira Mongol tertarik oleh kecantikan nona itu dan coba2 menggodanya, watak nona itu tampaknya sangat keras, dia mencabut sebilah belati, sekali tikam perwira itu telah dibunuhnya. Ketika prajurit2 Mongol mengepungnya, sinona lantas menikam ulu hati sendiri dengan belatinya. Dia telah membunuh diri.”

Kepala Su-lam seperti dikemplang dengan keras, seketika ia ter-mangu2 seperti orang gendeng dengan mata terbelalak, tapi tanpa airmata.

“Li-heng! Li-heng! Kenapakah kau?” Ciok Bok coba menyadarkannya.

Sejenak kemudian barulah Su-lamdapat menangis, ratapnya: “O, Wan-moay, alangkah malang nasibmu. Bila kau mati, mana aku dapat hidup sendiri?”

Melihat keadaan Su-lam itu, Ciok Bok dapat menduga huibungan antara Su-lam dan Nyo Wan yang ditanyakan tentu tidak terbatas “kawan biasa” saja. Segera ia menghiburnya: “Li-heng jangan sedih dulu, mungkin penglihatanku keliru, apalagi kejadian itu kulihat dari jauh, apakah nona baju merah itu betul sudah meninggal atau belum tidaklah diketahui denganpasti. Pula, kukira kaum kita harus berpandangan jauh dan berpikir luas, jangan cuma memikirkan kemalangan kawan atau sanak keluarga sendiri saja.”

Ucapan terakhir ini seperti kemplangan diatas kepala Li Su-lam, ia tersentak kaget, jawabnya kemudian: “Ya kata2 Ciok-heng memang benar, akulah yang salah.”

“Dalam pertempuran yang kacau entah betapa banyak jatuh korban rakyat tak berdosa,” Ciok Bok berkata pula. “Kalau nona baju merah yang gugur itu betul adalah nona yang dimaksud Li-heng, maka Li-heng justru harus berani hidup terus untuk menuntut balas baginya dan juga untuk membalas dendam bagi mereka2 yang tak berdosa itu.”

Muka Su-lam menjadi merah, katanya: “Banyak terima kasih atas nasihat emas Ciok-heng,” kata Su-lam sambil mengusap air matanya. Waktu dia mendongak, ternyata hari sudah terang.

“Aku harus berangkat sekarang, banyak terima kasih ata sberita Li-heng tentang diri Sumoay, aku ingin mencari mereka ke Lembah Kupu2,” kata Ciok Bok. “Adakah Li-heng mempunyai rencana selanjutnya? Bila engkau tidak ter-buru2 harus pulang, bagaimana kalau kita berangkat bersama?” “pasukan berkuda Mongol pergi datang secepat angin, saat ini mereka tentu sedang menerjang ibukota Sehe, kesempatan ini akan kugunkan untuk melintasi perbatasan, kalau samapai pasukan Mongol putar balik tentu sukar melewati rintangan.”

Ciok Bok tahu Su-lam adalah buronan dari Mongol, karena alasannya memang tepat, segera ia menjawab: ‘Baiklah. Kita sampai bertemu pula kelak.”

“pakaianmu yang berlepotan darah ini terlalu menyolok, kalau suka silahkan Ciok-heng pakai bajuku ini,” kata Su-lam sambil menanggalkan baju dalamnya yang cukup bersih.

Ciok Bok juga tidak menolak, perawakan merekapun hampir sama, maka cocok juga bagi Ciok Bok, ia mengucapkan terima kasih dan bertanya apakah Su-lam tiada pesan lain2.

Su-lam seperti merenungkan sesuatu, sejenak kemudian baru menjawab: “Tidak ada pesan apa2, cukup sampaikan salamku saja kepada Sumoaymu dan nona Beng, katakan aku sudah pulang dengan selamat.”

Setelah Ciok Bok pergi, seorang diri Su-lam mengheningkan cipta dan berdoa: “Adik Wan, aku bersumpah bagimu, tak perduli engkau sudah meninggal atau masih hidup, yang pasti selama hidupku ini aku takkan menikah lagi. Jika engkau betul telah meninggal, maka aku pasti akan membunyh Tartar Mongol se-banyak2-nya untuk membalas sakit hatimu.”

Sumpah Su-lam ini bukannya ber-lebih2an, soalnya pada waktu berada bersama Nyo Wan telah diketahui nona itu paling menguatirkan hubungan Su-lam dengan Beng Bing-sia, hal ini cukup dipahami Su-lam sendiri. Sebabnya dia tidak mau ikut Ciok Bok kembali ke lembah kupu2 justru disebabkan hal itu. Jika Nyo Wan masih hidup umpamanya, baginya masih dapat mempertahankan persahabatannya dengan Bing-sia, ia sendiri tidak tahu apakah ia kuatir dirinya tidak sanggup mengatasi emosi sendiri atau karena takut menusuk hatinya yang sudah terluka lantaran kematian Nyo Wan itu?

Sesungguhnya semua itu adalah rahasia yang tersembunyi didalam lubuk hatinya, bahkan ia sendiripun tidak berani mengeluarkan isi hatinya itu. Sekarang dia mengambil keputusan demikian hanya sekadar sebagai kompensasi penyesalannya terhadap Nyo Wan. Padahal apakah Nyo wan benar sudah mati atau masih hidup sesungguhnya masih suatu teka teki.

Memang betul, nona baju merah yang dilihat Ciok Bok itu memang Nyo Wan adanya, pada saat dikerubut oleh kawanan prajurit Mongol yang ganas itu Nyo Wan memang betul juga rela membunuh diri daripada teraniaya. Tak terduga pada saat ujung belatinya menempel badan sendiri, tiba2 pergelangannya terasa sakit seperti digigit semut, ujung belati menjadi menceng ke samping. Ia terkejut, belati itupun jatuh ketanah.

Dan pada saat itulah angin puyuh berjangkit dan mengamuk dengan hebatnya, terdengar jerit tangis yang memilukan, beberapa prajurit Mongol yang hendak mendekatinya juga mendadak terguling. Di tengah pertempuran kacau serta mengamuknya angin puyuh, terjai pula pemberontakan diantara kawanan tawanan dan sama berusaha melarikan diri. Kesempatan yang baik itupun digunakan Nyo Wan untuk lari. Memangnya kepandaiannya tidak lemah, ditambah ginkangnya sangat hebat, ditengah kekacauan itu dia dapat menyingkirkan perintang2nya dan berhasil meloloskan diri. Dalam kegelapan sukar dibedakan kawan atau lawan, ia tidak berani lari ke tempat yang banyak orangnya, tapi menuju ke tanah pegunungan yang sunyi. Sementara itu angin kencang sudah mulai mereda.

Dengan bingung Nyo Wan memandang sekitarnya sambil berpikir: “Entah bagaimana keadaan engkoh Lam? Aku tidak kenal jalan disini, bagaimana baiknya sekarang?”

Selagi serba susah, tiba2 dilihatnya seorang berlari datang dengan cepat luar biasa, tampaknya ginkang pendatang ini tidak kalah daripada Nyo Wan sendiri. Keruan ia terkejut, disangkanya musuh. Pedangnya sudah hilang ketika tertawan musuh, belatinya juga sudah jatuh ketika lari tadi, sungguh runyam menghadapi lawan tangguh tanpa senjata.

Ditengah kecemasan Nyo Wan, sementara pendatang itu sudah berada didepannya. Diluar dugaan pendatang ini ternyata seorang pemuda tampan dengan perawakan yang gagah, tampaknya bukan orang jahat. Yang legih aneh, sudah pasti Nyo Wan tidak pernah lihat pemuda ini, tapi rasanya seperti sudah kenal mukanya.

Pemuda tampan itupun cukup sopan, sampai didepan Nyo Wan lantas memberi hormat dan menyapa: “Maaf, ku kuatir nona tak bisa terhindar dari bahaya. Sekarang nona tampaknya tak apa2 bukan?”

“Siapa kau?” tanya Nyo Wan dengan ragu2.

“Aku she Toh bernama Hiong,” jawab pemuda itu.

“Darimana kau mengetahui aku terancam bahaya?” tanya Nyo Wan pula.

Pemuda itu tidak menjawab, tapi mengeluarkan sebilah belati yang ada bekas kotoran darah, belati itu diangsurkan kepada Nyo Wan dan berkata: “Ini milik nona bukan? Nona telah melawan musuh secara ksatria, sungguh aku sangat kagum.”

Baru sekarang Nyo Wan sadar tentang apa yang terjadi tadi. Katanya: “O, kiranya kau adalah orang yang menolong aku tadi.” ~ Cepat ia mengucapkan terimakasih pula.

“Tadi akupun mencampurkan diri ditengah kaum tawanan, untung angin puyuh berjangkit secara kebetulan sehingga usahaku berhasil. Kita sama2 senasib, adalah pantas saling memberi pertolongan. Eh, belum kutanyakan nama nona yang terhormat, sudikah memberitahu?”

Lalu Nyo Wan mengatakan namanya sendiri.

“Sekarang nona Nyo hendak kemana?” tanya Toh Hiong.

Dari pada orang agaknya ada maksud mengajaknya menjadi teman perjalanan, Nyo Wan pikir orang telah menolongnya, pula tampaknya adalah kaumpendekar budiman, kalau bicara terus terang padanya mungkin tidak berhalangan, maka dijawabnya: “Mestinya kami suami istri sedang dalam perjalanan pulang kekampung halaman. Suamiku bernama Li Su-lam, kami terpencar ditengah medan perang yang kacau, entah engkau pernah melihat seorang macam dia?” ~ Lalu diuraikannya pakaian serta wajah Su-lam.

“O, kiranya demikian,” kata Toh Hiong sambil berpikir sejenak, lalu menghela napas gegetun dan berkata pula: “Ya, memang aku ada melihat seorang yang mirip suamimu itu. Waktu itu kami ber- sama2 menerjang kesana kemari ditengah pasukan musuh yang kacau, tapi hendaknya kau jangan berkecil hati atas apa yang terjadi. Kulihat seorang perwira Mongol sangat lihai, tampaknya dia sudah kenal suamimu dan terus mengejarnya dengan kencang, pada suatu ketika suamimu telah terbunuh oleh panahnya yang lihai.”

Ditengah pasukan musuh Nyo Wan juga pernah melihat panji kebesaran Cepe, sekarang Toh Hiong menyatakan seorang perwira Mongol, maka Nyo Wan yakin yang dimaksudkan tentu Cepe adanya. Ilmu panah Cepe cukup diketahui Nyo Wan, kalau Toh Hiong bilang Li Su-lam mati dipanah Cepe, hal ini dapat dipercaya Nyo Wan.

Seketika itu Nyo Wan merasa langit dan bumi se-akan2 berputar, ia sempoyongan dan hampir2 tak sadar. Dalam keadaan setengah sadar itu tiba2 Nyo Wan merasa sebuah tangan yang kuat telah merangkulnya, seketika Nyo Wan terkejut, sekuatnya ia tolak tangan itu. Waktu membuka mata, dilihatnya Toh Hiong berdiri disampingnya dengan wajah merah dan berkata dengan tergagap: “Kukuatir engkau jatuh pingsan, maka ……. Maka aku telah memegangi kau.”

Sebagai keturunan keluarga ternama, biasanya Nyo Wan sangat mengutamakan adat istiadat yang sopan, ia pikir meski orang bermaksud baik, tapi mana boleh aku diladeni oleh orang laki2 yang belum kekenal. Aku harus bertahan dan jangan sampai pingsan. Syukur Nyo Wan punya pikiran demikian sehingga dia tidak sampai jatuh pingsan.

Dengan menahan airmata kemudian Nyo Wan berkata: “Banyak terima kasih atas beritamu ini, maaf kalau aku tidak dapat membalas kebaikanmu. Sekarang bolehlah engkau pergi saja!” Melihat keadaan Nyo Wan yang sayu menawan itu, makin tertarik hati Toh Hiong, pikirnya: “ Perempuan cantik seperti kau kemana harus dicari? Kalau aku dapat memperistrikan dia rasanya tidak sia2 hidupku ini. Aku tidak boleh ter-gesa2, lambat laun makanan ini toh menjadi milikku. Aku harus membuatnya menjadi istriku secara sukarela barulah kurasakan bahagianya.” Kepandaian Toh Hiong sebenarnya diatas Nyo Wan, kalau dia mau pakai kekerasan tentunya Nyo

Wan tak bisa membebaskan diri. Tapi lantaran dia telah mengetahui siapa Nyo Wan serta sikapnya yang agung, tanpa terasa timbul rasa segan dalam hati Toh Hiong, maka ia telah ubah pikirannya untuk mendapatkan Nyo Wan dalam jangka panjang secara sabar.

“Sekarang Li-toaso hendak kemana?” tanyanya kemudian. “Hendaklah Li-toaso teguhkan hati, kita harus melanjutkan perjuangan Li-toako yang belum selesai. Kini suasana kacau balau dilanda peperangan, Tionggoan masih be-ribu2 li jauhnya, tentunya tidak leluasa seorang diri Li-toaso menempuh perjalanan sejauh ini. Kebetulan akupun hendak kembali ke Tionggoan, bagaimana kalau kita menjadi teman perjalanan dan saling menjaga, entah engkau setuju tidak?”

Nyo Wan pikir orang didepannya ini tampaknya adalah pemuda baik2, tapi seorang laki2 dan seorang perempuan menempuh perjalanan jauh bersama, betapapun kurang leluasa. Namun lantas terpikir lagi kepada siapa dirinya harus bersandar agar bisa membawanya pulang ke Tionggoan? Selagi ragu2, Toh Hiong seperti sudah meraba perasaan Nyo Wan, ia berkata: “Suasana kacau begini memang sulit untuk bicara tentang adat istiadat. Sebagai anak kangouw kitapun jangan terlalu kolot mengenai urusan laik2 dan perempuan. Asalkan kita pegang teguh tata adat yang baik apa halangannya kita berada bersama? Li-toaso, boleh kau anggap saja aku sebagai sanak keluargamu, bila ditanya orang katakan kita adalah ”

“Benar, kita dapat mengaku sebagai kakak beradik,” sambung Nyo Wan. “Engkau menyelamatkan jiwaku, aku tidak bisa membalas, terpaksa menghormat dan anggap kau sebagai kakak sekadar membalas kebaikanmu.”

Toh Hiong tertawa, katanya: “Aku memang punya maksud begitu, syukur kaupun punya pikiran yang sama. Jika demikian biarlah aku memanggil kau adik.” ~ Tapi dalam hati ia pikir sekarang aku panggil kau adik, kelak pada suatu hari tentu aku akan panggil kau sebagai istriku.

Sejak itulah mereka menjadi teman seperjalanan. Beberapa hari pertama Nyo Wan selalu waspada dan menjaga diri dengan hati2, kemudian ia mulai merasa lega setelah kelakuan Toh Hiong tampak tetap sopan padanya.

Agaknya Toh hiong sangat apal tempat2 yang mereka lalui, Nyo Wan diajaknya ber jalan diwaktu malam dan mengaso di siang hari, yang dilalui selalu jalan pegunungan. Diwaktu tidur di hutan belukar sunyi itu Toh Hiong selalu menyingkir agak jauh. Semula Nyo wan masih sangsi, tapi lama2 ia merasa syukur mempunyai seorang teman baik. Ia tidak tahu bahwa sikap Toh Hiong itu justru disengaja untuk memikat hatinya.

Beberapa hari lagi hubungan mereka menjadi makin akrab, ketika Toh Hiong menanyakan pengalamannya di Mongol, apa yang Nyo Wan merasa boleh diceritakan lantas dituturkannya, hanya urusan kematian To Pek-sing, pertemuannya dengan To Hong dan sebagainya tidak diceritakan kepada Toh Hiong.

Asal usul Toh Hiong sendiri juga diceritakan dengan samar2, Nyo Wan hanya mengetahui dia berasal dari keluarga Bulim, ayah meninggal, ibu sakit di rumah, punya adik perempuan, tapi satu sama lain tidak cocok, apa sebabnya, Nyo Wan merasa tidak enak untuk tanya lebih jauh.

Sepanjang jalan tiada terjadi apa2, suatu hari mereka sudah melintasi wilayah Sehe dan sampai disuatu kota kecil yang belum terlanda api peperangan. Dengan gembira Nyo Wan berkata: “Akhirnya kita telah sampai di tanah leluhur. Entah di kota kecil ada toko pakaian jadi atau tidak? Kuingin beli beberapa perangkat pakaian.”

“Benar, selama belasan hari ini debu kotoran benar2 telah menyelimuti kecantikanmu,” kata Toh Hiong tertawa. “Ku kira kau harus beli pula cermin dan sisir, kita mencari sebuah hotel, malam ini dapatlah kau mandi dan berdandan se-puas2nya.”

Watak Nyo Wan sebenarnya memang suka akan kebersihan, meski kata2 Toh Hiong itu rada2 berlebihan, tapi disangkanya karena hubungan mereka yang semakin akrab, maka pemuda itu sengaja berkelakar dengan dia.

Maka dengan tertawa Nyo Wan menjawab: “Cermin dan sisir sih tidak penting, kukira harus membeli sebatang pedang atau golok.”

“Ya, akupun ingin membeli dua ekor kuda tunggangan,” kata Toh Hiong. “Marilah kita coba cari ke sana.”

Kota ini sangat kecil, tapi berhubung banyak pengungsi yang pendah kesitu, suasana menjadi tambah ramai. Nyo Wan menemukan sebuah toko pakaian bekas, pemilik toko adalah kaum wanita. Nyo Wan merasa sangat kebetulan maka ia pesan agar Toh Hiong pergi mencari kuda dan senjata, nanti dirinya akan menyusul kesana.

Toh Hiong merasa si nona sekarang sudah sangat jinak rasanya tak mungkin lari sendiri, maka tanpa sangsi iapun tinggal pergi.

Selesai memilih beberapa pasang pakaian yang cocok ukuran dan warnanya, Nyo Wan bayar harganya, lalu keluar dari toko untuk mencari Toh Hiong.

Di depan toko pakaian bekas itu ada seorang laki2 memakai sebuah caping yang bagian depannya hampir menutupi separoh wajahnya. Ketika Nyo Wan keluar, terdengar laki2 itu bersuara heran sangat perlahan.

Mula2 Nyo Wan tidak menaruh perhatian, setelah berjalan sebentar, tiba2 ia merasa orang bercaping itu menguntit di belakangnya. Ketika Nyo Wan memutar ke sauatu gang kecil dan keluar jalanbesar pula, ternyata orang itu selalu mengintil saja.

Dengan mendongkol mendadak Nyo Wan berhenti, keruan orang itu hampir2 menyeruduknya dan lekas2 berhenti. Dengan nada dingin Nyo Wan menegur: “Apa kehendakmu, mengapa kau terus mengikuti aku?”

Berdiri berhadapan, laki2 itu merasa lebih pasti akan diri Nyo Wan, ia pikir di dunia ini masakah ada orang yang begini mirip? Tentu dia adanya. Padahal tempo hari kusaksikan sendiri dia sudah membunuh diri, mengapa dia masih hidup? Sebaiknya kupancing dia ke suatu tempat terpencil untuk berbicara dengandia. Demikan pikirnya.

Melihat orang memandangnya dengan kesima, Nyo Wan tambah mendongkol. Baru saja ia hendk mendamprat tiba2 orang itu berkata dengan menghormat: “Aku adalah kaum pengungsi, aku kekurangan sangu, maka ingin menjual sebilah golok pusaka padamu. Apakah nona mau beli?” Memangnya Nyo Wan lagi ingin beli senjata, segera ia menjawab: “Mana goloknya? Coba lihat!” Dari pinggangnya orang itu menanggalkan sebilah golok dan diangsurkan kepada Nyo Wan, ketika golok itu dilolos keluar dari sarungnya, ternyata gemerlapan menyilaukan mata. Mau tak mau Nyo Wan memuji kebagusan golok itu. Tapi lantas timbul curiganya, tanyanya kemudian: “Dari mana kau tahu aku ingin membeli senjata?” ~ Pada umumnya tidaklah banyak kaum wanita membeli golok, maka ia merasa sangsi dan heran apakah percakapannya dengan Toh Hiong tadi telah didengar oran ini.

Tiba2 orang itu balas bertanya: “Nona baru buron dari Sehe bukan? Adakah punya kawan?” “Ada apa kau tanya demikian,” jawab Nyo Wan.

“Seorang perempuan dapat menyelamatkan diri ditengah kekacauan perang, tentunya dia mahir ilmu silat, sebab itulah kupikir nona tentu ingin punya senjata untuk menjaga diri.”

Meski alasan yang dikemukan orang itu timbul secara mendadak, tapi cukup masuk diakal. Maka Nyo Wan tidak mendebatnya lagi dan bertanya: “Golok ini akan kau jual berapa duit?”

“Yang kuharapkan adalah pembeli yang tepat dan bukan soal harganya, kalau pemakainya tidak tepat, biarpun seratus ribu tahil emas juga tidak kujual,” kata orang itu. Cuma, sebelumnya aku ingin tanya sesuatu pada nona, apakah nona bisa singgah sebentar diwarung minum sana untuk bicara.”

Nyo Wan menjadi heran, tanyanya: “Kau hendak bicara apa? Boleh katakan saja disini.” “Disini bukan tempatnya untuk bicara,” ujar orang itu. Heran dan sangsi Nyo Wan, pikirnya: “Orang ini rada aneh, selamanya aku belum kenal dia, tapi apa yang hendak ia bicarakan padaku? Jangan2 dia bermaksud jahat padaku.”

Tapi setelah dipikir lagi ia merasa geli juga, masakah dirinya harus takut terhadap orang begini. Tertarik oleh rasa ingin tahu, segera Nyo Wan bermaksud menerima usul orang itu. Tapi sekilas bayangan Toh Hiong tampak berjubelan ditengah orang lalu lalang sana, segera ia berseru: “Toh- toako, lekas kemari, coba lihatlah golok ini bagus tidak?”

Toh Hiong ber-lari2 mendatangi sambil berseru: “Dari mana kaumendapatkan golok bagus?” “Toako ini yang menjual padaku, dia tidak pasang harga, tapi kukira harus memberi penilaian yang pantas, kau taksir berapa harganya yang pantas?” kata Nyo Wan.

Tapi mendadak Toh Hiong terbelalak heran katanya: “Toako penjual siapa? Mana dia?”

Nyo Wan menjadi terkejut ketika berpaling dan tahu2 laki2 penjual golok tadi ternyata sudah menghilang.

“Sungguh aneh, mengapa golok ini ditinggalkan padaku tanpa minta uang, kemana perginya dia?” ujar Nyo Wan dengan melongo heran.

Setelah Toh Hiong menerima golok itu, iapun merasa herandan sangsi. “Ada apa, Toh-toako? Apakah sesuatu mencurigakan?” tanya Nyo Wan.

Toh Hiong ter-mangu2 sejenak, setelah agak tenang barulh menjawab: “Tidak apa2. Golok ini memang bagus, buatan sebuah toko senjata yang ternama di Lokyang. Tentunya penjualnya tadi adalah orang Tionggoan juga.”

“Benar, melihat bentuknya memang bangsa Han,” kata Nyo Wan. “Apa saja yang dibicarakan padamu?” tanya Toh Hiong.

“Dia memang bermaksud mengajak bicara padaku, tapi belum sempat karena kau keburu datang,” jawab Nyo Wan. Lalu diceritakan pula wajah serta dandanan orang itu.

“Aku sudah penujui dua ekor kuda, dipojok sana itu penjualnya, coba kau periksa lagi, bila cocok boleh dibeli saja, ini uangnya. Kau tunggu saja disana, aku akancoba cari orang tadi,” kata Toh Hiong sambil menyerahkan dua potong uang emas, lalu tinggal pergi dengan ter-gesa2.

Nyo Wan menjadi sangsi mengapa Toh Hiong tidak mengajaknya bersama pergi mencari orang tadi. Terpaksa ia mendatangi pasar hewan, dilihatnya kuda2 pilihan Toh Hiong memang baik, setelah tawar menawar lantas dibayarnya.

Sampai sekian lamanya ia menunggu barulah Toh Hiong kembali. “Bagaimana? Ketemu tidak?” tanya Nyo Wan.

Toh Hiong menggeleng. Jawabnya: “Tidak, sungguh aneh orang itu, entah lari kemana dia?” Nyo Wan menjadi bingung, katanya: “Entah dari aliran apakah orang itu? Harga goloknya malah belum kubayar.”

“Sudahlah, tak perlu urus dia,” kata Toh Hiong tertawa. “Salah dia sendiri, bukan kita sengaja mengalap barangnya. Marilah kita pergi mencari hotel.”

Kota yang kecil ini biasanya sangat sepi, kini dalam suasana perang mendadak tambah makmur karena membanjirnya pengungsi, maka tidak sedikit rumah makan dan rumah penginapan yang baru dibuka. Namun hampir semuanya penuh dengan tamu. Dengan susah payah akhirnya mereka mendapatkan sebuah hotel besar dengan janji bayaran lipat. Pemilik hotel tanya mereka apakah suami istri. Dengan muka merah Nyo Wan menjawab bukan dan mengaku kakak beradik.

“Tapi kami hanya tinggal sebuah kamar ini, kakak beradik juga tiada halangannya tidur sekamar,” ujar pemilik hotel.

“Mengapa hanya ada sebuah kamar?” ujar Nyo Wan sambil mengerutkan kening.

Cepat Toh Hiong me-narik2 lengan baju Nyo Wan sambil berkata: “Jika tiada kamar lebih, terpaksa kami gunakan satu kamar.” ~ Lalu ia membayar uang sewa dan pelayan mengantar mereka kekamar yang dimaksud.

Ternyata kamar itu adalah kamar yang paling baik dilengkapi dengan ruang terpisah, legalah hati Nyo Wan. Ia pikir Toh hiong adalah seorang ksatria sejati, tidur dihutan belukar saja menyingkir jauh2, apalagi tinggal di hotel, rasanya tiada halangannya Toh Hiong disuruh tidur diruangan tamu. Hanya dalam hal berdandan dan membersihkan badan memang rada repot.

Rupanya Toh Hiong tahu pikiran Nyo Wan, setelah pelayan pergi, ia berkata: “Kamar sukar dicari, harap maafkan bila tadi aku menyewanya tanpa berunding dulu dengan kau. Tapi engkau boleh pakai dulu kamar ini, aku akan keluar sebentar untuk beli barang2 keperluan sambil mengawasi kalau2 ketemukan penjual golok tadi.”

Dalam hati Nyo Wan berterima kasih atas kebaikan Toh Hiong. Setelah pemuda itu pergi, segera ia suruh pelayan mengambilkan air dan mandi sepuasnya.

Perlengkapan kamar itu cukup lengkap, ada sebuah cermin tembaga. (jaman dulu belum ada kaca) yang mengkilap. Menghadapi cermin Nyo Wan menghela naps gegetun, pikirnya: “Sayang engkoh Lam tak dapat mendampingi aku untuk menyaksikan aku bersolek.”

Ketika dalam cermin terbayang suatu titik merah, Nyo Wan sendiri tercengang, tanpa terasa ia menghela napas panjang.

Kiranya titik merah itu adalah “Siu-kiong-she” diatas lengannya yang putih itu. Siu-kiong-she artinya andeng2 merah cicak, yaitu titik merah yang ditisik oleh ibunya ketika dia akan meninggalkan rumah. Andeng2 merah itu tak bis dicuci atau dibusek. Sebaliknya akan lenyap sendiri bilamana sudah kawin. Dus kalau masih perawan suci andeng2 merah itu akan tetap “menyala” diatas lengannya.

Melihat titik merah itu ia menjadi teringat kepada ibunya, kepada kakaknya, dengan sendirinya terkenang pula kepada Li Su-lam. Bila engkoh Lam masih hidup, tentu dia akan percaya penuh padaku kalau melihat andeng2 merah ini, demikian pikirnya.

Selagi Nyo Wan merasa gegetun, tiba2 diluar kamar ada orang mendehem, lekas is tenangkan dir dan menegur: “Apakah Toh-toako yang kembali?”

“Benar, bolehkah saya masuk?” tanya Toh Hiong.

Nyo Wan membukakan pintu, lantaran pikiran kacau sehingga lengan baju lupa diturunkan, andeng2 merah sekilas sempat dilihat toh Hiong. Sebagai pemuda yang berpengalaman, ia tahu apa artinya andeng2 merah itu, ia tersenyum girang didalam hati. Untuk menutupi pikiran jahatnya, ia pura2 tak acuh dan berkata: “Tampaknya kau sudah selesai berdandan,nah apa kataku kan betul, kini engkau benar2 tambah cantik.”

Nyo Wan menurunkan lengan bajunya dan menjawab: “ah, aku sudah terhitung janda kematian suami, harap Toako jangan bergurau. Eh, bagaimana ketemu tidak orang itu?”

Toh Hiong bersikap prihatin pula dan menjawab: “Tidak ketemu. Cuma aku telah memperoleh dua berita penting.”

“Berita2 penting apakah?” tanya Nyo Wan.

“Pertama mengenai ibukota Sehe yang telah dibobolkan oleh pasukan Mongol, raja Sehe takluk kepada musuh dengan menyerahkan putrinya yang cantik,” kata Toh Hiong.

“Berita kedua mungkin sama sekali diluar dugaanmu. Setelah menaklukkan Sehe, kini pasukan Mongol dengan cepat dialihkan keselatan lagi dan kembali menyusup ke wilayah Kim. Cuma bukan melalui jurusan ini, tapi bisa jadi membagi pasukannya kesini dan yang penting, coba terka siapakah panglima garis depan pasuka Mongol itu?”

“Darimana aku tahu?” sahut Nyo Wan.

“Yang menjadi panglima pasukan garis depan adalah calon menantu Jengis Khan, yaitu pangeran Tin-kok dengan wakilnya orang Han keparat yang memalsukan nama Li Hi-ko tapi nama aslinya Sia It-tiong itu. Tentu tak kau duga bukan?”

Tentang ayah Li Su-lam dicelakai oleh Sia It-tiong dan sebagainya memang telah diceritakan Nyo Wan kepada Toh Hiong. Maka dengan gregetan Nyo Wan berkata: “Ya, keparat Sia It-tiong itu pantas dimampuskan, memang tak terduga bahwa dia akan datang sedemikian cepatnya.” “Setibanya di Tionggoan, kalau kita mau membinasakan bangsat she Sia itu akan jauh lebih gampang daripada di Mongol,” ujar Toh Hiong. “Bila perlu aku dapat mengajak kawan2 pejuang untuk mencari kesempatan buat membunuh pengkhianat itu.”

Nyo Wan bergirang karena apa yang diucapkan Toh Hiong ini sesuai dengan rencana Li Su-lam sebelum “meninggal” maka dengan terharu ia menjawab: “Pekerjaan ini teramat bahaya, apakah engkau benar2 rela melaksanakannya?”

Dengan sikap ksatria To Hiong sengaja berkata: “Manusia berhati binatang seperti Sia It-tiong itu pantas dibunuh. Kutahu dia adalah musuh besarmu, hanya untukmu saja aku harus membunuhnya sekalipun harus mengorbankan jiwaku, apalagi dia juga musuh bersama bangsa kita.”

Kata2 Toh Hiong sangat mengharukan perasaan Nyo Wan, dengan airmata berlinang ia lantas memberi sembah, katanya: “Begini baik Toh-toako kepadaku, entah cara bagaimana aku harus berterima kasih padamu.”

Dengan tersenyum Toh Hiong membangunkan Nyo Wan, jawabnya: “Ah, jangan adik Wan berkata demikian se-akan2 kita ini baru kenal saja. Demi kau, kelautan api atau terjun keair mendidihpun aku tidak menolak. Tentunya kau paham perasaanku.”

Nyo Wan menjadi tercengang ole kata2 Toh hiong itu, ia heran ucapan pemuda itu malam ini agaknya berbeda daripada biasanya, apa artinya dia mengutarakan perasaannya kepadaku? Hanya demi persaudaraan saja atau masih ada kehendak lain?

Kasihan Nyo Wan, dasar masi hijau dan polos, sampai asst demikian ia masih anggap Toh Hiong sebagai penolong yang baik hati dan tidak berani berprasangka buruk atas diri pemuda itu.

Sementara itu Toh hiong berkata pula dengan tersenyum: “Adik Wan, apakah kau masih senantiasa teringat kepada mendiang suamimu?”

Nyo Wan terkesiap, jawabnya dengan kereng: “Aku dan Su-lam telah bersumpah sehidup semati, soalnya sakit hatinya belum terbalas, maka aku bertahan hidup sampai sekarang.”

Toh Hiong geleng2 kepala, katanya pula: “Adik Wan, harap engkau dapat menerima nasehatku. Orang mati takkan bisa hidup lagi, yang masih hidup mana boleh berkorban masa muda selamanya bagi yang sudah mati? Engkau adalah pahlawan diantara kaum wanita, janganlah kau terlalu terikat oleh adat istiadat kolot yang membikin susah orang.”

“Apa maksudmu? Kau suruh aku menikah lagi dengan orang lain?” jengek Nyo Wan.

Dari sikap sinona dan padanya Toh Hiong sudah tahu gelagat jelek, tapi ia masih mencoba membujuk: “Adik Wan, sejak kenal kau sungguh aku sangat kagum terhadap keteguhan jiwamu dan kepintaranmu. Syukur engkau telah sudi mengikat persaudaraan denganku dan tampaknya kita cocok satu sama lain. Kini kita senasib pula, mati-hidup bersama, maka kupikir, kupikir apakah persaudaraan kita tak bisa ditingkatkan lebih maju selangkah, umpamanya kalau aku dapat membalaskan sakit hatimu dan untung akupun tidak tewas, lalu sudikah engkau menerima ……… menerima ………..

Mendadak Nyo Wan berubah tidak senang, jawabnya ketus: “Ternyata kau memang punya maksud tertentu. Ingin kukatakan padamu, hidup atau mati aku sudah menjadi anggauta keluarga Li, tekadku ini tak bisa berubah. Karena kau ada tujuan tertentu, maka akupun tidak berani mengharapkan bantuanmu lagi. Biarlah sekarang juga aku mohon diri.”

“Nanti dulu, adik Wan!” seru Toh Hiong cepat ketika melihat Nyo Wan melangkah pergi. Menyusul ia terus menampar pipi kanan kiri sendiri.

Perbuatan Toh Hiong itu rada diluar dugaan Nyo Wan, tanpa terasa ia melengak dan tidak jadi melangkah pergi. Didengarnya Toh Hiong sedang berkata pula: “Adik Wan, rupanya otakku ini sudah kopyor sehingga tanpa sadar mengucapkan kata2 yang menusuk perasaanmu. Cuma, sesungguhnya aku memang sangat kesemsem padamu, mohon kau dapat memaafkan kecerobohanku tadi. Selanjutnya aku bersumpah akan mendampingi kau menurut adat, pasti tak berani mengucapkan kata2 yang kurang pantas.”

Pada umumnya kalau seseorang menyatakan jatuh hati kepada seorang gadis, maka betapapun akan diterima dengan senang oleh sigadis biasanya sigadis merasa jemu terhadap orang itu. Apalagi sekarang Nyo Wan memang sudah punya kesan baik kepada Toh Hiong, lebih2 ia merasa pernah ditolong olehnya. Maka setelah Toh Hiong menyatakan penyesalannya serta berjanji akan berlaku sopan padanya seterusnya, mau tak mau Nyo Wan merasa tidak tega dan duduk kembali ke tempatnya.

Yang sudah ya sudahlah, akan kuanggap tidak pernah dengar kata2mu tadi dan kaupun tidak perlu menyinggungnya pula. Selanjutnya kita tetap bersaudara,”kata Nyo Wan.

Dalam hati Toh Hiong sangat senang, tapi ia pura2 besikap likat, katanya kemudian: “Terima kasih, dengan demikian barulah lega hatiku. Tentang sakit hatimu tentu akan kubantu menuntut balas. Eh, hari sudah malam, tentunya kau sudah lapar bukan?”

Untuk mengalihkan pokok pembicaraan, dengan terus terang Nyo Wan menjawab: “Ya, memang terasa agak lapar. Panggilkan pelayan dan pesan sedikit daharan saja.”

“Sudah sejak tadi kupesankan,” kata Toh Hiong dengan tertawa. Lalu ia keluar, ketika kembali lagi, benar juga pelayan telah ikut datang dengan membawa daharan2 semeja penuh.

“Ai, mengapa begini banyak, mana bisa habis termakan?” ujar Nyo Wan.

“Sudah cukup lama kita menderita, suah waktunya kita makan enak,” kata Toh Hiong. “Silahkan makan saja mana yang kau sukai.”

Habis itu Toh hiong memberi tanda agar pelayan pergi, artinya tidak perlu melayani disitu. Maka setealh siapkan meja perjamuan itu dengan baik, lalu pelayan itupun keluar.

Toh Hiong ber-ulang2 membujuk Nyo Wan agar makan yang banyak, beberapa kali ia menyumpitkan daging san sayur untuk si nona. Lalu ia menuang dua cawan arak, katanya: “Adi Wan, marilah kita habisi satu cawan sebagai tanda selamat telah lolos dari bahaya.”

“Aku tak bisa minum arak,’ kata Nyo Wan.

“Arak ini tidak keras, hanya satu cawan saja tak bisa membikin mabuk,” ujar Toh Hiong. “Selesai makan, aku akan mencari suatu tempat lain untuk bermalam. Sebagai laki2 , tidur di mana2pun jadi.” ~ Kata2nya itu se akan2 hendak menghilangkan rasa sangsi Nyo Wan kepadanya.

Nyo Wan menjadi rada rikuh, pikirnya selama alam perjalanan memang pemuda itu tidak perlu brbuat hal yang tidak sopan padanya, tampaknya dia masih terhitung seorang laki2 yang punya tata krama.

Selagi Nyo Wan merasa ragu2, disana Toh Hiong suah menenggak habis isi cawannya, lalu katanya: “Aku telah minum lebih dahulu sebagai penghormatan padamu. Adik Wan bila kau tidak minum berarti kau masih marah padaku.”

Karena kata2 itu, terpaksa Nyo Wan angkat cawannya dan berkata: “Baiklah, sesungguhnya aku memang tidak bisa minum arak, tapi akan kuminum juga secawan ini bagimu.”

Girang Toh Hiong tak terkatakan melihat Nyo Wan sudah mau minum arak. Tapi bru saja Nyo Wan Angkat cawannya, baru cawan itu menempel bibir, se-konyong2 terdengar ‘Trang” satu kali, tahu2 dari luar jendela menyamber tiba sebuah senjata rahasia mata uang, kontan cawan arak yang dipegang Nyo Wan itu pecah berantakan.

Keruan Nyo Wan terkejut. Terdengar seorang berseru di luar jendela: “Dalam arak dicampur obat tideu, jangan minum!” ~ dari suaranya itu Nyo Wan mengenalnya sebagai laki2 penjual golok siang hari tadi.

Dengan gusar Toh Hiong terus menolak daun jendela dan melompat keluar sambil membentak: “Bagus, kiranya kau! Sudah kuampuni jiwamu, tapi kau masih berani mengacau padaku?”

Orang itu terus melompat turun dari wuwungan rumah sambil berteriak: “Toasuko, perbuatanmu yang membinasakan Jisuko adalah terkutuk, sekarang kau memeras otak bermaksud menjebak pula seorang nona sebatang kara, apakah kau masih terhitung manusia? Nona Nyo, kau jangan percaya omongannya. Li Su-lam masih ”

Belum habis omongannya Toh Hiong sudah mengejarnya dan secepat kilat menusuk dengan pedangnya. Orang itu menangkis denagn pedang juga, tapi tangannya terasa pegal kesemutan, hampir senjatanya terlepas, terpaksa ia lari pula secepat terbang.

“Ciok Bok,” dengan gusar Toh Hiong membentak dengan suara terathan, ‘Kau sendiri yang cari mampus, malam ini tak bisa kuampuni kau lagi.”

Kiranya laki2 penjual golok itu bukan lain daripada laki2 yang dijumpai Li Su-lam diatas gunung tempo hari itu, ialah Ciok Bok, kekasih To Hong. Sedangkan Toh Hiong ini adalah nama samaran To Liong, kakak laki2 To Hong.

Setelah berpisah dengan Li Su-lam tempo hari mestinya Ciok Bok bermaksud mencari Sumoaynya ke lembah kupu2, tapi karena jalanan masih kacau oleh pasukan2 musuh, terpaksa ia sembunyi sana sini sehingga tertunda beberapa hari, setiba di lembah tujuan sang Sumoay dan rombongannya sudah pergi. Terpaksa Ciok Bok bermaksud pulang ke Sanceh (perbentengan kayu digunung) untuk menjenguk ibu gurunya, tak terduga dikota kecil inilah dia ketemu dengan Nyo Wan. Semula iapun tak percaya Nyo Wan adalah nona baju merah yang pernah dilihatnya membunuh diri itu, tapi makin dipandang tampaknya makin mirip, akhirnya ia gunakan alasan hendak menjual senjata untuk mengajak bicara pada Nyo Wan. Sayang sebelum dia sempat menyampaikan kabarnya Li Su- lam sudah lantas kabur karena datangnya To Liong. Sebab itulah dengan menyerempet bahaya terpaksa ia mendatangi tempat penginapan mereka, maksudnya hendak memperingatkan Nyo Wam agar waspada, dan secara kebetulan sekali ia menyaksikan sandiwara permainan To Liong yang hendak menjebak si nona dengan arak beracun.

Sudah tentu To Liong kuatir kalau2 Ciok Bok membeberkan lebih banyak tipu muslihatnya, maka begitu mengejar tiba segera ia melancarkan serangan2 maut. Tenaga dalam Ciok Bok tak bisa menandingi sang Suheng, tapi ginkangnya lebih tinggi, mak sambil bertempur iapun berusaha melarikan diri serta meneriakkan berita“ Li Su-lam masih hidup.”

Dengan murka To Liong terus mengejar dan memaki: “ Li Su-lam masih hidup, kaulah yang takkan hidup lagi!”

Karena kalah tenaga dalam, setelah kejar mengejar belasan li jauhnya, akhirnya To Liong dapat menyusul Ciok Bok, terpaksa Ciok Bok mengadakan perlawanan sengit.

Kalimat “Li Su-lam masih hidup” tidak terdengar secara lengkap oleh Nyo Wan, tapi cercaannya terhadap To Liong telah didengar jelas olehnya, ia menjadi ter-mangu2 bingung, terutama disebutnya nama “Li Su-lam” oleh “penjual golok” itu. Jika demikian orang itu tentu kenal engkoh Lam. Dia mengatakan arak ini dicampur obat tidur, entah betul atau tidak? Apakah memang sedemikian kotor dan rendah pribadi Toh Hiong itu? Demikian pikir Nyo Wan.

Selagi merasa sangsi, tiba2 ia dikejutkan oleh suara “meong”, kiranya seekor kucing telah melompat masuk dari jendela. Rupanya kucing itu mencium bau ikan, maka mendekati Nyo Wan sambil mengeluarkan suara minta makan.

Tergerak hati Nyo Wan, segera ia sumpit sepotong ikan dan dicelup lebih dulu arak yang tumpah tadi. Lalu diberikan kepada kucing. Sungguh luar biasa, sepotong kecil ikan itu tentunya tak bisa bikin kenyang si kucing, tapi setelah makan, mendadak kucing itu jatuh menggeletak dengan mulut berbuih.

Keringat dingin seketika membasahi tubuh Nyo Wan, ia ter-mangu2 sejenak, mendadak ia melonjak bangun pula sambil berteriak: “Kiranya Toh Hiong benar2 menaruh obat tidur didalam arak!” Sesaat itu Nyo Wan merasa terkejut dan gusar karena merasa telah dibodohi Toh Hiong, sungguh tidak nyana pemuda cakap yang disangkanya orang baik kiranya adalah manusia berhati binatang.

Serentak mengkirik juga Nyo Wan mengingat dirinya hampir2 “termakan.”

“Orang tadi mencerca Toh Hiong dan menyebut nama engkoh Lam, rasanya dia tentu akan menyampaikan kabar apa2 tentang engkoh Lam padaku. Ya, benar, aku harus mencarinya. Pula aku harus bikin perhitungan kepada manusia berhati binatang itu,” demikian pikir Nyo Wan.

Segera ia melompat keluar jendela. Tapi ia tidak tahu Ciok Bok lari kearah mana, lebih dulu ia mencarinya ke arah timur, tak tahunya justru menuju jurusan sebaliknya………

Kita bercerita dulu tentang To Liong yang telah berhasil menyusul Ciok Bok. Begitu mendekat segera ia menyerangnya dengan Tok-liong-piau. Cepat Ciok Bok putar pedangnya ke belakang menyampuk, “trang”, piau berbisa itu se-akan2 menyerempet dahinya. Rupanya tenaga To Liong sangat kuat, Ciok Bok hanya mampu memukul menceng Tok-liong-piau yang disambitkan olehnya dan tidak dapat memukulnya jatuh.

Ciok Bok cukup kenal kelihaian Tok-liong-piau, ia tidak berani memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menyambitkan piau kedua, apalagi sudah kepepet, terpaksa ia mendahului melancarkan serangan. Segera ia menubruk maju sambil membentak: “Kau sudah menewaskan Jisuko dan sekarang hendak membunuh aku pula, hubungan sesama saudara perguruan kita sudah putus, hari ini kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang mati. Ini, lihat pedangku!”

“Hm, kau telah menerima budi keluargaku, kau tidak tahu balas, sebaliknya menggoda adik perempuanku dan menyesatkan hidupnya, dosamu ini manabisa kuampuni,” jengek To Liong. “Baiklah, jika kau ingin mengadu jiwa akan kusempurnakan maksudmu ini.”

Sembari bicara sedikitpun To Liong tidak kendurkan serangannya, pedangnya menusuk ke kanan dan ke kiri, dalam sekejap saja ia sudah melancarkan belasan kali tusukan, seluruhnya mengarah Hiat-to mematikan ditubuh Ciok Bok.

Untung Ciok Bok cukup paham ilmu pedang perguruan sendiri sehingga sanggup bertahan sekuatnya. Namun tenaga dalam To Liong jauh lebih kuat, pengalaman tempurnya juga lebih luas, biarpun Ciok bok telah mengeluarkan segenap kepandaiannya tetap juga tidak sanggup balas menyerang. Selang 50-an jurus kemudian keadaan ciok bok tambah payah, ia sudah terkurung ditengah sinar pedang lawan.

Tampaknya Cipk Bok tak sanggup bertahan lagi, baru saja ia bermaksud menggunakan suatu jurus hancur bersama musuh, tiba2 terdengar suara orang berseru: “Eh, bukankah itu dia Ciok Bok? Eh, Ciok Bok, mengapa kau berkelahi dengan Toasuhengmu?”

Sekilas memandang, alangkah girangnya Ciok Bok. Kiranya yang datang ini adalah Song Thi-lun. Diantara beberapa Thaubak adalah Song Thi-lun yang ada hubungan paling baik dengan Ciok Bok, pula tiada sebulan yang lalu merekapun pernah bertemu disekitar lembah kupu2 sehingga urusan Liong Kang dicelakai To Liong telah didengarnya juga.

Begitu Ciok Bok lantas berseru: “Song-toako, hendaklah kau memberi keadilan. Tadi dia hendak menjebak seorang wanita bersuami dan kepergok olehku, tapi lantas dia hendak membunuh aku.” “Ngacau belo,” bentak To Liong. “Aku menghajar dia karena dia telah melanggar peraturan perguruan.”

“Peraturan apa yang kulanggar? Hm, kau sendirilah yang mengkhianati ajaran Suhu, kau telah membinasakan Jisuko, kau berkomplotan pula dengan bangsa lain serta memaksa Sumoay kawin dengan orang yang tak disukainya ……”

“Tutup mulutmu!” bentak To Liong dengan gusar. “Dengan dasar apa kau menuduh aku membunuh Liong kang? Ayah sudah meninggal, maka akulah yang mengepalai Sanceh kita. Kau berani membangkang padaku, maka aku berhak menghukum mati kau.” ~ Berbareng ia putar pedangnya lebih kencang dan menyerang denganlebih ganas.

Melihat gelagat jelek, cepat Song Thi-lun menggunakan kedua rodanya untuk menahan pedang To Liong dambil berseru: “Siaucecu, ada urusan apa boleh dibicarakan secara baik2, jangan cekcok diantara orang sendir.”

To Liong menjadi gusar, teriaknya: “Song Thi-lun, apa kau ingin membantu bocah ini untuk melawan aku?”

Watak Song Thi-lun sebenarnya sangat benci kepada kejahatan, tapi mengingat To Liong adalah tuan muda pimpinan, sebelum dosanya terbongkar dan mendapat celaan para bawahan, rasanya tidak enak Song Thi-lun hendak melawannya. Pula iapun tahu kepandaian To Liong, biarpun bergabung dengan Ciok Bok juga belum tentu mampu mengalahkannya. Dan kalau To Liong sudah nekad, bukan saja jiwa Ciok Bok akan melayang, bahkan jiwa Song Thi-lun sendiri juga bisa amblas.

Maka dengan menahan perasaannya Song Thi-lun menjawab: “Siaucecu, aku hanya bantu pihak yang benar dan tidak pandang orang. Hendaklah kalian berhenti berkelahi dulu, nanti kalau urusan telah diusut dengan jelas, bila tuduhan Ciok Bok padamu memang betul, dusta, maka bukan saja engkautakbisa mengampuni dia, malahan aku juga tidak bisa melepaskan dia.”

Song Thi-lun cukup paham To Liong adalah pihak yang salah, apa yang dia katakan itu hanya membuka jalan bagi To Liong untuk menyudahi pertarungan. Bila betul harus mengusut persoalannya, tentunya akan memakan waktu cukup lama, sementara ini To Liong yang merasa berdosa tentu akan mengacir sendiri tanpa dipaksa.

Tak terduga, biarpun berdosa masih juga To Liong belum mau ngacir. Sekarang dosanya telah dibongkar oleh Ciok Bok, mana bisa orang yang tahu rahasianya dibiarkan hidup. Begitulah pikiran “membunuh untuk menghapus saksi” akhirnya menguasai benak To Liong. Dengan sekuatnya ia menolak pergi sepasang roda Song Thi-lun itu sambil membentak: “ Song-thauleng, hendaklah kau jangan ikut campur selagi aku selaku Ciangbun-suheng mengadakan pembersihan dalam perguruan sendiri!”

Tapi Song Thi-lun hanya mundur satu langkah, segera ia mengadang ketengah lagi ketika To Liong hendak menyerang pula. Serunya: “Nanti dulu!”

“Song-thauleng, jadi kau sengaja merintangi aku?” damprat To Liong. “Sudah kukatakan agar kau jangan ikut campur urusan ini.” “Benar, memang urusan perguruan kalian aku tidak ikut campur,” kata Song Thi-lun. “Tapi ada satu orang yang berhak ikut campur soal ini.”

“Siapa?” tanya To Liong dengan membentak.

“Adik perempuanmu, nona Hong. Dia sedang mencari Ciok Bok, iapun pernah pesan padaku agar bantu mencarinya. Sekarang kalian telah berkelahi sedemikian rupa, sukar bagiku untuk tinggal diam karena adanya pesan nona Hong itu.”

To Liong terkejut. “Dimana budak itu sekarang?” tanyanya.

Song Thi-lun tidak menjawab, tapi ia lantas melepaskan sebatang panah berapi (roket) keangkasa, lalu jawabnya: “Harap tunggu sebentar, segera nona Hong akan datang.”

“Hm, aku justru hendak memberi ajaran2 padanya, masakah dia berbalik hendak mencampuri urusanku?” jengek To Liong dengan gusar. “Dimata budak itu hanya ada Ciok Bok seorang, mana dia ingat lagi pada kakak sendiri. Hm, aku justru tak ingin angan2nya terkabul. Song-thauleng, bila kau tahu aturan sebaiknya kau jangan ikut campur urusan dalam rumah tangga kami.”

“Aku telah dipesan oleh nona Hong, apapun kehendakmu boleh kau lakukan nanti bila adik perempuanmu sudah tiba,” jawab Thi-lun tegas.

To Liong menjadi ragu2. Bukannya ia takut kepada To Hong, soalnya dia sendirian, kalau benar sebentar To hong muncul dan mengeloni pihak sana, maka sukarlah baginya untuk membunuh Ciok Bok.

Malahan kalau To Hong sudah datang, bukan mustahil To Liong sendiri yang sukar meloloskan diri.

Teringat demikian, To Liong menjadi jeri, segera ia pura2 berlagak garang, jengeknya: ‘Hm, siapa ada tempo buat menunggu budak itu. Baiklah, kalau dia datang nanti suruh dia dan Ciok bok menemui aku dihotel paling besar di kota ini.”

Habis berkata To Liong lantas mengeloyor pergi tanpa menghiraukan seruan Song Thi-lun. Melihat kelakuan To Liong itu, Thi-lun tertawa geli.

Ciok Bok sendiri menantika datangnya sang Sumoay dengan tak sabar, ketika mendengar Song Thi- lun tertawa, ia melengak, tapi segera paham persoalannya, tanyanya: “Song-toako, apa kau cuma menggertak dia saja?”

“Benar,” jawab Thi-lun. “Bila aku bilang Sumoaymu akan datang masakah dia bisa digertak lari?” Dengan sendirinya Ciok Bok rada kecewa. Tapi Song Thi-lun lantas berkata pula: “Namun Sumoaymu memang benar2 pernah pesan aku agart mencari dirimu. Dia benar2 sangat menguatirkan kau.”

“kau bertemu muka dengan adik Hong?” Ciok Bok Menegas.

“Ya, kira2 lima hari sesudah kita berpisah lantas bertemu dengan mereka, dia berada bersama nona Beng, Putri Beng-tayhiap. Aku telah menyampaikan berita tentang dirimu, dia sangat senang. Cuma dia dan nona Beng buru2 harus pulang, katanya hendak mengundang Beng-tayhiap untuk membantunya menuntut balas. Sebab itulah dia minta aku mencari kau lagi.”

Ciok Bok merasa girang karena telah mendapatkan berita yang pasti mengenai diri To Hong, tapi kecewa pua karena sang nona tak bisa datang sendiri. Dengan menghela napas ia berkata: “Tak apalah kalau Sumoay tak bisa datang, yang kukuatirkan adalah nona yang tertipu oleh To Liong itu, sekembalinya To Liong ke hotel mungkin nona itu sukar lolos dari cengkeramannya, kita berdua saja rasanya sulit untuk menolong dia.”

“Nona yang kau katakan itu apakah tunangan seorang kawan baikmu? Siapakah dia?” tanya Song Thi-lun.

“Yaitu Li Su-lam yang pernah kukatakan padamu,” jawab Ciok Bok.

Thi-lun ter-bahak2: “Haha, kiranya Li Su-lam, jika demikian tak perlu kau kuatir.” “Sebab apa?” tanya Ciok Bok heran.

“Tunangannya bernama Nyo Wan, dia pernah bergebrak dengan aku, ilmu pedangnya sangat bagus. Kepandaian To Liong mungkin lebih tinggi sedikit dari nona itu, tapi tidak gampang untuk mengalahkannya. Apalagi kau telah membongkar tipu muslihat To Liong, masakah sinona tidak lekas2 kabur?”

Ciok Bok rada lega, katanya: “Walaupun begitu lebih baik kita coba mencarinya saja. Aku masih utang budi kepada Li Su-lam dan belum sempat membalas.”

“Baiklah, kita mencarinya dan bertindak menurut gelagat,” kata Thi-lun.

“Sebab apa kau pernah bertempur dengan Li Su-lam dan bakal istrinya?” tanya Ciok Bok. “Sungguh memalukan kalau diceritakan,” kata Thi-lun, “aku slah paham bahwa ayahnya menjadi pengkhianat, tak tahunya pengkhianat itu adalah seorang bangsat yang memalsukan nama ayah Li Su-lam. Duduk perkara ini aku baru tahu setelah bertemu dengan Sumoaymu.”

“Ya, Li Su-lam pernah katakan padaku bahwa dia pernah bertemu dengan Sumoay di lembah kupu2. Tentunya Sumoay juga kenal nona Nyo itu.”

“Tentu saja kenal,” ujar Thi-lun dengan tertawa. “Malahan dia dan nona Beng sangat menyesalkan meninggalnya nona Nyo, siapa tahu berita yang kau sampaikan itu ternyata tidak betul.”

“Sekarang nona Nyo belum mendapatkan tempat tinggal yang tetap, kalau kita ketemukan dia lantas ajak dia ke Sanceh, biar Sumoay ikut bergirang nanti,” kata Ciok Bok.

Ciok Bok tidak tahu bahwa pada saat yang sama itu Nyo Wan juga sedang mencarinya.

Waktu itu dengan murka Nyo Wan sedang mencari To Liong buat bikin perhitungan. Sekeluar dari hotel ia lantas ber-lari2 belasan li jauhnya dan masih belum menemukan To Liong, si penjual golok juga tak kelihatan batang hidungnya. Setelah ber-lari2 sejauh itu, teringatlah Nyo Wan, ia keluarkan saputangan untuk mengusap air keringat di dahinya. Cahaya bulan malam ini cukup terang, terlihatlah olehnya sepasang burung merpati yang tersulam diatas saputangan itu.

Nyo Wan tertegun, teringat olehnya saputangan itu adalah tanda mata pemberian Karosi ketika mereka hendak berpisah. Saputangan itu selalu disimpannya dalam baju, sekarang tanpa sengaja telah dikeluarkan dan digunakan.

Menghadapi saputangan itu, tanpa terasa timbul macam2 perasaan dalam benaknya. Teringat olehnya suara merdu biduanita padang pasir Karosi yang cantik itu ketika tertawan oleh jago2 Sehe dan dirinya dan Li Su-lam telah menyelamatkannya. Waktu itu Karosi sedang mengikuti sang kekasih yang sedang berangkat ke medan perang, gadis yang setia dan suci murni cintanya itu sungguh jarang ada ddi dunia ini. Nyo Wan menjadi terbayang akan nasib sendiri yang hampir sama, ia pikir nasibku mungkin lebih buruk daripada Karosi, selama hidup ini mungkin aku tak bisa bertemu pula dengan Su-lam.

Tiba2 terkilas pula setitik sinar harapan baginya, sebab teringat olehnya apa yang diucapkan si penjual golok yang belum selesai lantas dipaksa kabur oleh To Liong itu. Penjual golok itu menyerukan agar dia jangan percaya pada To Liong dan menyebut pula nama Li Su-lam. Menurut jalan pikirannya, orang itu telah membongkar muslihat To Liong yang hendak memberi minum arak beracun padanya, maka yang dia anjurkan agar jangan percaya kepada To Liong tentu adalah suatu urusan lain atau ada hubungannya dengan Su-lam sebagaimana disebut olehnya. Ah, jangan2 Su- lam masih hidup si dunia ini dan keparat ‘Toh Hiong” itu sengaja mendustai aku.

Dapatkah Nyo Wan menyelamatkan diri?

Kemana perginya To Liong dan bagaimana dengan nasib Li Su-lam?

Bagaimana akibatnya dengan penyerbuan pasukan Jengis Khan ke wilayah Kim?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar