Musuh Dalam Selimut Bab 10 : Siapakah Si Naga Sembunyi? (Tamat)

 
10. Siapakah Si Naga Sembunyi?

„Dan mengapa Loh-taynio mau bersekongkol dengan kalian dan mau membiarkan kau memalsukan anaknya?" tanya Hui- hong pula. Teka-teki ini sudah terpikir beberapa tahun olehnya dan belum terpecahkan selama ini, sebab itulah pada saat sebelum suaminya pergi untuk selama-lamanya masih tidak lupa diajukan pertanyaannya ini untuk memecahkan teka-teki yang belum terjawab.

„Ini kan sangat sederhana," sahut Si-hiong tertawa. „Orang kami telah menangkap anaknya dan berjanji padanya asalkan, dia suka bekerja sama dengan kami, kelak dia akan dipertemukan kembali dengan puteranya di Mongol, jika tidak, maka anaknya akan dibunuh. Dengan ancaman ini masakah dia berani membangkang kepada keinginan kami?"

„Keji amat cara ini,” ujar Hui-hong. „Lalu, dimanakah Loh Si-hiong yang tulen itu?"

„Aku tidak tahu," sahut Si-hiong dengan menunduk. „Aku

.... akupun tidak diberitahu lagi tentang dia."

Kiranya ibu dan anak itu setibanya di Mongol sudah lantas dibunuh oleh orang-orangnya, lantaran malu terhadap perbuatan itu, maka Si-hiong tidak berani bicara terus terang.

„Ya, pertanyaanku yang terlalu bodoh. Sudah tentu mereka takkan hidup lagi," kata Hui-hong sambil menghela napas. „Si- hiong sungguh aku tidak nyana kau ”

„Tidak nyana, aku sedemikian kejam bukan?'' sambung Si- hiong. „Tapi aku juga terpaksa. Habis siapa yang suruh kedua negeri kita sama-sama hendak merajai dunia? Dalam peperangan, jangankan cuma sepasang suami-isteri atau dua orang ibu dan anak, bahkan beribu-ribu rumah tangga juga bisa hancur. Seumpama kau, bukankah kaupun pernah minta aku pergi membunuh juragan she Nyo itu?”

„Ucapanmu memang tepat,” kata Hui-hong. „kita hanya boneka yang didalangi orang. Tapi kalian telah berbuat curang terhadap seorang anak yang sudah kehilangan ayah, hal ini betapapun aku tak dapat memaafkan kau.”

„Baiklah," sahut Si-hiong dengan lesu. „Pulangku ini hanya untuk sekali lagi melihat kau dan anak-anak, sekarang cita- citaku sudah terkabul, terserah apa yang hendak kauperbuat atas diriku.” Kembali Hui-hong menghela napas, katanya kemudian:

„Boleh kau pergi saja. Meski aku tak dapat memaafkan kau, tapi akupun tidak ingin membunuh kau."

Setelah mempengaruhi perasaan Hui-hong, kini Si-hiong sudah ada harapan untuk menyelamatkan diri, diam-diam ia merasa girang. Tapi pada saat akan berpisah untuk selamanya ini mau tak mau timbul juga perasaan murninya terhadap sang isteri. Tanpa merasa ia genggam tangan Hui-hong dan berkata: „Kau tak dapat memaafkan aku, tapi aku akan berterima kasih kepadamu untuk selamanya. Baiklah, aku akan pergi, harap kau menjaga dirimu baik-baik.”

Hui-hong mengebaskan tangannya yang dipegang itu, tapi mendadak ia menarik kembali tangan Si-hiong dan berkata:

„Jangan keluar melalui pintu depan. Ong-ya adalah seorang yang amat cermat, aku sudah tahu malam ini dia tidak berdiam di rumah, kaupun tidak melihat dia di Gian-keng-ih, hal-hal ini sangat meragukan. Jika perbuatanmu telah diketahui, tentu dia akan menduga kau akan pulang lagi ke sini."

Si-hiong terkesiap, katanya: „Benar, jika begitu biar aku berangkat melalui pintu belakang."

Sudah tentu iapun dapat menduga bilamana Ong-ya benar- benar mau menangkapnya, tentu pintu muka dan belakang sudah diawasi dengan ketat. Cuma dia berharap dengan pintu belakang akan mengurangi sedikit risikonya.

Namun Hui-hong telah tersenyum, katanya: „Aku mempunyai jalan lain yang dapat kau gunakan. Di dalam kamar ini ada pintu rahasia yang menembus ke tengah gunung-gunungan buatan dan dari sana ada sebuah jalan di bawah tanah yang menembus keluar." Apa yang dikatakan Hui-hong ini adalah jalan rahasia yang pernah digunakannya untuk pergi menemui Beng Tiong-hoan tempo hari.

Keruan Si-hiong sangat girang, katanya: „Hui-hong, kau benar-benar tuan penolongku yang berbudi."

Belum habis ucapannya mendadak Tokko Hui-hong bersuara kaget.

„Ada apa?" tanya Si-hiong bingung.

Hui-hong, tampak sangat terperanjat dan gugup, katanya:

„Sungguh aneh pesawat pintu rahasia ini agaknya telah rusak, Aku aku tak dapat membukanya."

„Biar aku mencobanya lagi,” kata Si-hiong. Sebagai orang ahli sekali coba saja segera ia mengetahui bahwa pintu rahasia itu telah dikunci oleh orang dari sebelah sana.

Pada saat itulah, selagi Si-hiong mengeluh, terdengarlah suara orang bergelak tertawa di luar: „Loh Si-hiong, apakah kau masih mau coba melarikan diri?''

Cepat Si-hiong menerjang keluar kamar, terlihatlah di depan gunung-gunungan sana telah berdiri seorang dengan membawa sebatang tongkat bambu. Kiranya adaiah pangeran muda Wanyen Ting-kok.

„He..he..he..he, kau tidak sangka akan kepergok olehku bukan?" seru Wanyen Ting-kok sambil menyeringai dan menuding Si-hiong dengan tongkat bambu yang hijau itu.

„Hm, jangan kau kira aku bukan tandinganmu, jika kau berani bergerak sedikit saja sebentar lagi tanggung kau akan dihujani anak panah hingga badanmu mirip landak." Waktu Si-hiong melirik sekitarnya, dibalik semak-semak telah penuh dengan bayangan orang, banyak ujung anak panah yang menonjol keluar dan tampak gemilapan dalam kegelapan. Nyata pangeran muda itu telah menyembunyikan pasukannya di sekeliling taman.

Hui-hong juga telah ikut keluar. Melihat keadaan demikian seketika wajahnya pucat pasi. Pikirnya: „Cara bagaimana mereka mengetahui? Padahal Ong-ya biasanya tidak mencurigai Si-hiong, jangan-jangan Tiong-hoan yang telah melaporkannya? Ah, tapi tidak mungkin. Tiong-hoan sudah berjanji padaku, tidak nanti dia ingkar janji.”

Dalam pada itu Wanyen Ting-kok tengah tertawa pula, katanya: „Adik yang baik, kau telah lupa bahwa gedungmu yang megah ini adalah ayah yang membangun bagi kalian, segala pesawat rahasia yang diatur di dalam rumahmu ini masakah dapat mengelabui aku? Cuma akupun tidak menyangka bahwa ternyata sedemikian setiamu kepada sang suami sehingga melupakan budi kebaikan ayah yang telah membesarkan kau."

Karena merasa sukar untult melarikan diri lagi, Hui-hong menjadi tenang malah, sahutnya: „Urusan sudah ketelanjur begini, aku tidak ingin bicara apa-apa. Boleh terserah kepadamu apa yang hendak kau lakukan. Tapi kedua anakku itu tidak berdosa, hendaklah kau jangan membikin susah mereka. Ya, aku memang sudah menerima budi kebaikan keluargamu. tapi selama ini akupun sudah banyak berjasa bagi kalian, betapapun kalian tidak boleh melupakan hal ini.”

„Eh, adikku yang manis, kenapa kau berkata, demikian," kata Ting-kok dengan cengar-cengir. „Kepadamu aku hanya ada cinta, masakah aku tega membunuh kalian ibu dan anak? Bahkan untuk mengampuni jiwa Si-hiong juga masih dapat kupertimbangkan bila kau memintanya. Sudah tentu, semuanya ini tergantung kepada dirimu pula."

Saking gusarnya alis Hui-hong sampai menegak.

Damperatnya: „Ting-kok, kau kau tidak tahu malu."

Melihat Sang isteri toh tidak mau mengkkhianatinya pada saat berbahaya itu, sungguh hati Si-hiong sangat terhibur. Serunya segera: „Hui-hong, tak perlu gubris padanya. Paling- paling hanya mati saja bagiku." - Habis itu ia berbalik ketawa terbahak-bahak terhadap Wanyen Ting-kok.

„Gila, kematianmu sudah di depan mata, apa yang kau tertawakan?'' bentak Wanyen Ting-kok.

„Aku mentertawai kalian ayah dan anak, kalian telah tertipu olehku, tapi masih berlagak menang dan merasa senang," seru Si-hiong dengan tertawa. „Apakah kau sudah mengetahui bahwa kedua macam pusaka di Gian-keng-ih itu sekarang, sudah jatuh di tangan kami. Biarpun kau membunuh aku juga, tiada gunanya, toh kalian tetap sudah kalah.”

Tiba-tiba Wanyen Ting-kok juga bergelak tertawa, bahkan tertawanya lebih lantang daripada Si-hiong.

Keruan Si-hiong melengak malah, damperatnya: „Hm, apa yang kau tertawakan?"

„Aku mentertawai ketololanmu," jawab Ting-kok sesudah puas tertawa. „Memangnya kau mengira kami telah kau tipu, siapa tahu justeru kaulah yang telah masuk perangkap kami. Terus terang kukatakan bahwa sudah lama ayah mengetahui tipu muslihatmu, beliau sengaja membiarkan kau mengatur pesawat-pesawat rahasia dan memberi kesempatan kepadamu untuk mencuri kedua macam pusaka itu. Ini adalah tipu menjaring ikan sekaligus, tahu tidak?'' Mendengar jawaban demikian, seketika wajah Si-hiong pucat sebagai mayat, ia benar-benar mati kutu dan tak bisa bersuara lagi.

Luar biasa senangnya Wanyen Ting-kok. Ia kuatir Tokko Hui-hong masih belum jelas duduknya perkara, maka sengaja, dia memberi keterangan lebih jauh: „Loh Si-hiong, apakah kau tahu sebab apa kami tidak menangkap kau sewaktu kau turun tangan mencuri pusaka? Jika kau tidak tahu, biar kukatakan padamu. Sebab kalau kau ditangkap di Gian-keng-ih sana, paling-paling yang tertangkap hanya kau seorang, sebaliknya kalau kau dibiarkan lolos keluar, tentu begundalmu akan dapat dijaring sekaligus. Padahal di tengah hutan sana sebelumnya sudah penuh dijaga oleh orang-orang kami dan sekarang tinggal menunggu kedatangan kawanmu untuk masuk jiratan sendiri. Sekarang kau sudah paham belum?

Betapapun tabahnya Loh Si-hiong, setelah mendengar keterangan itu mau tak mau badannya menjadi gemetar juga. Pikirnya: „Gebrakan ini benar-benar aku telah mengalami kekalahan habis-habisan. Jiwaku sendiri tidak menjadi soal, celakanya jiwa Ci-ma juga akan menjadi korban lantaran kecerobohanku."

Dalam pada itu Wanyen Ting-kok lantas membentak:

„Sekarang kau sudah tahu duduknya perkara, nah, apakah kau tidak lekas menyerahkan diri?”

Tak terduga, belum lama ia merasa senang dan bangga, pada saat dia membentak agar Si-hiong menyerah itulah sekonyong-konyong terdengar suara tertawa orang yang panjang, sesosok bayangan secepat terbang tahu-tahu melayang lewat gunung-gunungan itu, belum lagi pemanah- pemanah yang disembunyikan disitu itu melihat jelas siapa yang datang, tahu-tahu orang itu sudah berdiri di depan Wanyen Ting-kok.

„Hah, Beng Tiong-hoan, kau? Untuk apa kau datang kemari?" seru Ting-kok dengan terkejut.

Belum lenyap suaranya sekali cengkeram Beng Tiong-hoan sudah berhasil membekuknya. Selisih ilmu silat Wanyen Ting- kok dengan Beng Tiong-hoan terlampau jauh sehingga sama sekali ia tak bisa berkutik lagi.

Pada saat itulah baru ada beberapa anak panah yang dibidikkan oleh pemanah-pemanah tersembunyi tadi, tapi Tiong-hoan lantas angkat Wanyen Ting-kok ke atas sambil membentak: „Baiklah, boleh kalian panah mampus majikanmu!"

Sudah tentu pasukan pemanah itu takut membikin celaka pangeran muda mereka, maka hujan panah tidak jadi dilancarkan, semuanya hanya melongo kesima tak berdaya.

„Beng-toako, ken kenapa kau berkhianat, selamanya

ayah tidak jelek terhadapmu," seru Ting-kok.

„Benar,” sahut Tiong-hoan, „sebagai kusir keluargamu aku memang sudah menerima budi kalian. Kalau tidak siapa diriku saat ini tentu sudah diketahui orang."

„Hah, siapakah kau sebenarnya?" teriak Ting-kok terkejut.

„Ha..ha..ha..ha!" Tiong-hoan bergelak tertawa. Ia banting Ting-kok ke atas tanah dan menginyak dadanya dengan sebelah kaki, lalu serunya lantang-lantang: „Aku tak lain tak bukan adalah 'si naga sembunyi’ yang hendak kalian tangkap itu!” Tokko Hui-hong ikut terkejut dan bergirang pula. Baru sekarang ia melihat jelas bahwa badan Beng Tiong-hoan berlepotan darah, terang lukanya tidak enteng. Cepat ia berseru: „Beng-toako, mengapa tidak dulu-dulu kau memberitahukan padaku?" - Tanpa merasa ia memburu maju ke samping Beng Tiong-hoan dan mengeluarkan sapu tangannya untuk membersihkan darah di atas badan bekas kekasihnya itu.

Ia tahu sebabnya Beng Tiong-hoan mau datang kesitu dalam keadaan terluka pasti karena ingin mencarinya. Kalau tidak, sesudah terluka dan beruntung dapat meloloskan mestinya dia dapat kabur dengan leluasa.

Terdengar Beng Tiong-hoan berseru dengan tegas: „Hui- hong, marilah kita pergi. Biarpun jiwaku melayang juga aku akan membawa kau pergi dari sini."

Maka pahamlah Si-hiong duduknya perkara, pikirnya:

„Pantas selama beberapa tahun sebagai suami-isteri Hui-hong dan aku hanya rukun dilahir tapi berbeda dalam batin. Kiranya orang yang dia kasihi adalah 'si naga sembunyi'."

Sambil mengnela napas akhirnya Si-hiong berkata: „Benar Hui-hong, silakan kau ikut pergi bersama dia."

„Dan bagaimana dengan kau?” tanya Hui-hong.

„Aku tidak dapat melaksanakan perintah Khan (raja Mongol) yang besar, aku malu untuk pulang kesana,” sahut Si- hiong.

Hati Hui-hong terasa pilu, katanya: „Si-hiong, boleh jadi aku bersalah padamu. Tapi jauh sebelumnya, aku sudah kenal dia, sama halnya seperti kau dan Ci-ma." „Ya, aku tahu," sahut Si-hiong sambil menunduk „Dan entah bagaimana dengan nasib Ci-ma?"

„Kau jangan kuatir, Ci-ma sudah lama meninggalkan kotaraja kata Beng Tiong-hoan. „Dia tidak mendapatkan kedua macam pusaka itu, tapi telah menemukan kembali jiwanya.

Benda-benda pusaka itu telah kuambil, akulah yang suruh Ci- ma lekas pergi dari sini."

Si-hiong melengak: „Kau maksudkan kau yang telah merintangi pengejar-pengejarnya dan membiarkan dia sempat melarikan diri?"

„Benar, malahan aku menasihatkan dia lebih baik jangan pulang ke Mongol," kata Tiong-hoan. „Dia adalah seorang nona yang baik dan tiada harganya untuk menjual nyawa bagi keangkara-murkaan Khan besar kalian. Sebaliknya tugasku tidak sama dengan kalian, sebab kedua macam benda itu asalnya memang milik negara kami, maka kami harus mengembalikannya ke kandangnya semula. Kalian mencurinya hanya untuk memenuhi nafsu keserakahan Khan kalian, maknanya sama sekali berbeda. Apakah kau sudah paham?"

„Ya, cuma sayang aku terlambat memahaminya," sahut Si- hiong dengan lesu. „Banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada Ci-ma. Selanjutnya Hui-hong juga perlu perlindunganmu."

Habis berkata mendadak goloknya menikam dadanya sendiri. Hui-hong menjerit kaget, namun tidak keburu lagi untuk menolongnya. Si-hiong sudah terkulai dengan mandi darah, dengan suara lemah dan terputus-putus ia masih berkata: „Le lekas kalian pergi!"

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang menjengek: „Hm, ingin lari? Jangan mimpi!" Siapa lagi dia kalau bukan Wanyen Tiang-ci. Terlihat dia menggandeng Siau-liong dan tangan lain membopong Siau- hong, selangkah demi selangkah ia mendekati Hui-hong.

Kemudian ia mendengus pula: „Hui-hong, sungguh tidak nyana kaupun mengkhianati aku?"

Wajah Hui-hong pucat pasi, katanya: „Ong-ya, kau boleh membunuh aku, tapi anak-anak itu tidak tahu apa-apa, mereka tidak berdosa."

Dalam pada itu Siau-liong telah memanggil-manggil ‘ibu’ dan Siau-hong menangis ketakutan.

„Jangan kuatir, Hui-hong," seru Tiong-hoan. „Jika dia tidak mengembalikan anak-anakmu, segera akupun mencabut nyawa putera anjingnya ini." Menyusul ia terus cengkeram Wanyen Ting-kok dan memalangkan goloknya di atas kuduknya.

Saking murka Wanyen Tiang-ci menyeringai malah, katanya: "Beng Tiong-hoan, keji amat caramu ini. Baiklah, anggaplah aku yang terjungkal ditanganmu. Tapi kau ‘si naga sembunyi' ini akhirnya toh kelihatan juga belangnya. Apakah kau mengira akan dapat lolos keluar dari kotaraja ini dan pulang ke negerimu dengan selamat?"

Kiranya Wanyen Tiang-ci sudah bergebrak dengan Beng Tiong-hoan di tengah hutan sana. Tiong-hoan berhasil menerjang keluar kepungan sesudah dilukai beberapa tempat oleh Wanyen Tiang-ci. Setelah pertarungan itu dengan sendirinya Wanyen Tiang-ci mengetahui siapa sebenarnya Beng Tiong-hoan. Maka dengan ketus Tiong-hoan menjawab: „Dapat lolos atau tidak adalah urusanku. Sekarang aku hanya ingin tanya padamu, kau mau terima tawaranku tadi atau tidak?"

„Baik, marilah kita tukar orang!" sahut Wanyen Tiang-ci.

„Tapi aku tak dapat mempercayai kau,'' ujar Tiong-hoan.

„Kau sendiri harus mengantar kami keluar kota, kira-kira sepuluh li di luar kota barulah kita menukar tawanan."

Terpaksa Wanyen Tiang-ci menurut, katanya: „Baiklah, aku setuju." Ia anggap Tiong-hoan sudah terluka, betapapun ia tidak kuatir padanya.

„Biarlah malam ini untuk pengabisan kalinya aku menjadi kusir pangeran kerajaan Kim yang paling berkuasa," kata Tiong-hoan dengan tertawa. „Hui-hong, marilah kita naik ke atas kereta." Dengan mengempit Wanyen Ting-kok ia mengajak Hui-hong menuju kereta kuda yang berhenti di luar gedung seperti biasa.

„Aku tidak menumpang keretamu," kata Wanyen Tiang-ci. Lalu ia memanggil Pan Kian-hau, seorang membopong satu anak mereka naik kuda mengikut di belakang kereta Beng Tiong-hoan itu.

Hari masih pagi buta, pintu gerbang benteng belum dibuka.

Tapi atas perintah pangeran yang paling berkuasa, dengan leluasa rombongan mereka lantas dibukai pintu.

Kira-kira belasan li di luar kota barulah fajar menyingsing. Wanyen Tiang-ci menahan kudanya dan berseru: „Seorang laki-laki sejati omong pasti pegang janji. Marilah tukar orang menurut perjanjian." Beng Tiong-hoan lantas melompat turun dari keretanya dengan tetap mencengkeram Wanyen Ting-kok.

Tokko Hui-hong mengikuti dibelakangnya.

Diam-diam Wanyen Tiang-ci mengedipi Pan Kian-hau, maksudnya bila sudah tukar tawanan segera mereka akan melabrak musuh. Mereka yakin dengan gabungan dua orang tentu dengan mudah akan dapat membekuk ‘si naga sembunyi’.

Tapi sebelum tukar tawanan dilakukan, mendadak Beng Tiong-hoan bersuit nyaring, dari lereng sana lantas muncul tiga penunggang kuda dengan cepat.

„Ong-ya, hendaklah kau jangan pakai akal licik, kata Tiong- hoan dengan tertawa. "Nah, Hui-hong, boleh kau pergi menerima kembali anak-anakmu. Sesudah kau terima kembali anak-anakmu barulah aku melepaskan tawanan kita."

Terpaksa Wanyen Tiang-ci tak bisa berbuat apa-apa. Setelah Hui-hong menerima kembali kedua anaknya, lalu Wanyen Ting-kok juga dibebaskan oleh Beng Tiong-hoan dan menggabungkan diri dengan ayahnya.

Tiba-tiba Hui-hong berkata: „Tiong-hoan, harap kau pondongkan anak-anak ini."

Tanpa curiga sedikitpun Tiong-hoan memondong kedua anak kecil itu dari pangkuan ibunya.

Waktu itulah Wanyen Tiang-ci telah berkata: „Hm, persiapan kalian memang sangat rapi, tapi juga jangan bergirang dulu. Mungkin tidak begitu mudah bagi kalian melarikan diri keluar wilayah negeri ini." „Ha..ha..ha, sekarang juga boleh kau saksikan keberangkatan kami," sahut Tiong-hoan sambil terbahak- bahak. Dengan memondong kedua anak kecil segera ia mendahului naik ke atas kereta.

„Coba kucium dulu anak-anak itu," pinta Hui-hong. Segera ia menciumi Siau-liong dan Siau-hong yang berada dalam pondongan Beng Tiong-hoan yang sebelah kakinya sudah melangkah ke dalam kereta.

„Anak baik, anak manis, jangan menangis dan jangan ribut, ya, menurutlah kepada kata-kata paman," demikian Hui-hong tepuk-tepuk badan bocah-bocah itu dengan pelahan.

Setelah menaruh kedua anak itu di dalam kereta, lalu Tiong-hoan berseru: „Hui-hong, mengapa kau tidak lekas naik kemari?"

Tapi mendadak Hui-hong menjawab: „Tiong-hoan, ada kau yang sudi menjaga mereka, maka aku takkan kuatir lagi."

Keruan Tiong-hoan terkejut, cepat ia melompat turun dan berseru: „Apa yang hendak kau lakukan?"

Namun sudah terlambat sedikit, tertampak Tokko Hui-hong sudah rebah di atas tanah, di atas dadanya menancap sebilah belati.

„Tiong-hoan," dengan suara lemah Hui-hong masih dapat bicara, "maafkan, aku, ... aku tak dapat menjadi isterimu.

Ong-ya, budi kebaikanmu yang telah membesarkan aku kini kubalas dengan kematianku, dengan demikian dapatlah kau merasa puas."

Sebagai seorang ahli, dari lukanya dapatlah Tiong-hoan mengetahui keadaan Hui-hong yang parah dan sukar ditolong lagi, seketika hatinya mencelos. Sambil menahan air mata Tiong-hoan memberi tanda untuk memanggil ketiga penunggang kuda tadi. Sesudah mereka mendekat, lalu Tiong- hoan bertanya: „Apakah benda-benda pusaka itu sudah dikaburkan?"

„Jangan kuatir, Beng-toako," sahut satu yang lebih tua diantara mereka itu. „Semalam orang kita sudah menyusup keluar kota, saat ini paling sedikit sudah berada ratusan li dari sini."

„Kau dengar tidak, Ong-ya?" tiba-tiba Tiong-hoan berseru kepada Wanyen Tiang-ci dengan gelak tertawa. „Sekarang sekalipun kau membunuh kami juga kau tetap kalah."

Habis itu ia berpaling pula kepada ketiga orang tadi, perintahnya: „Kalian harus mengantar kedua anak ini ke tempat yang aman, mumpung mereka belum mengerahkan pasukan untuk mengejar, lekas kalian gunakan kereta yang bertandakan istana pangeran ini, sepanjang jalan tentu tiada orang yang berani merintangi kalian."

„Dan kau bagaimana, Beng-toako?" tanya ketiga orang itu.

„Jangan urus diriku," sahut Tiong-hoan tegas. „Ini adalah perintah, lekas kalian berangkat!"

Tiada jalan lain terpaksa ketiga orang itu menurut, segera mereka melarikan kereta kuda itu bersama kedua anaknya Loh Si-hiong dan Tokko Hui-hong.

Dalam pada itu Wanyen Tiang-ci telah melangkah maju, namun Tiong-hoan telah menghadang didepannya dengan golok terhunus, jengeknya: „Ong-ya, semalam aku kena dilukai karena kalian berjumlah lebih banyak. Tapi kalau satu lawan satu terang kau bukan tandinganku. Aku sendiri akan dapat mengakhiri diriku, tapi kalau kau berani melangkah maju biarlah aku mengadu jiwa padamu."

Terhadap si ‘naga’ yang sudah terluka itu nyatanya Wanyen Tiang-ci rada jeri sehingga tidak berani sembarangan maju.

Kemudian Beng Tiong-hoan memangku Tokko Hui-hong yang sudah mandi darah itu, katanya dengan suara pelahan:

„Jangan kuatir, betapapun kita akan selalu berada bersama bukan?"

Hui-hong membuka matanya dengan sinar mata yang guram, katanya lemah: „Kau kau tidak berangkat," begitu

lirih suaranya sehingga cuma Beng Tiong-hoan saja yang dapat mendengarnya.

„Ya, aku akan senantiasa berada didampingmu, Hui-hong," sahut Beng Tiong-hoan.

Habis berkata iapun menikam uluhatinya sendiri dan robohlah tubuhnya di sisi Tokko Hui-hong.

Pelahan-lahan Tokko Hui-hong menutup kedua matanya dengan mengulum senyuman puas.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar