Musuh Dalam Selimut Bab 07 : Orang Aneh Dengan Tugas Aneh

 
7. Orang Aneh Dengan Tugas Aneh

Sang tempo telah lalu dengan cepat, Dalam sekejap saja lima tahun sudah lampau.

Pada hari ketiga sesudah menikah Loh Si-hiong dan isterinya lantas pindah rumah keluar istana pangeran. Rumah mereka adalah bekas rumah orang tua Tokko Hui-hong yang telah diperbaharui oleh Wanyen Tiang-ci.

Akan tetapi kehidupan selama lima tahun itu benar-benar dirasakan sangat kaku dan hambar oleh Loh Si-hiong. Setiap pagi ia berangkat ke Gian-keng-ih dan malamnya pulang ke rumah, pulang pergi itu tetap dihantar oleh si kusir tua seperti biasa. Sudah tentu, selama lima tahun ini suasana di rumah tangga Loh Si-hiong juga sudah berubah sedikit. Terutama keluarganya telah bertambah dua jiwa baru, yaitu tahun kedua sesudah menikah Hui-hong telah melahirkan seorang anak laki-laki dan tahun yang lalu bertambah seorang anak perempuan.

Makin lama Loh Si-hiong juga makin banyak mendapat kepercayaan dari Pan Kian-hau. Kedudukannya di dalam lembaga penyelidikan itu makin tinggi juga. Terhadap rahasia Hiat-to-tong-jin juga, lumayan hasil penyelidikannya. Cuma gambar patung itu memang terlalu luas dan jelimet, maka sampai sekarang, hasil yang diperolehnya paling-paling baru dua atau tiga bagian saja dari keseluruhannya. Ke-27 gambar patung itu yang pernah dilihatnya juga cuma tujuh lembar saja. Mengenai kitab Lwekang tinggalan Tan Hu itu hakikatnya Si-hiong belum pernah melihatnya. Sebagai menantu pangeran kerajaan Kim yang paling berkuasa sudah tentu Loh Si-hiong mendapat penghormatan istimewa. Tapi tata tertib di dalam Gian-keng-ih itu tetap harus dipatuhi, seperti biasa, setiap hari pulang pergi dia masih harus dikerudungi oleh si kusir.

Mereka suami-isteri juga sering berkunjung ke istana pangeran untuk menyenguk Wanyen Tiang-ci. Wanyen Ting- kok sudah rada beda sikapnya, rupanya ia sudah tidak memikirkan Hui-hong lagi, hal ini telah meringankan pikiran Loh Si-hiong.

Namun Si-hiong masih mempunyai dua persoalan pelik.

Pertama, entah kapan dia baru dapat membaca seluruh rahasia patung tembaga serta kitab Lwekang tinggalan Tan Hu itu? Kedua, siapakah “si naga sembunyi"? Teka-teki ini sampai kini masih belum terpecahkan. Sejak malaman pengantin itu dia mendapat tahu munculnya "si naga sembunyi" di kotaraja, sejak itu pikirannya lantas tidak tenteram.

Ia tidak tahu siapakah si naga sembunyi itu. Cuma dari seseorang pernah didengar sedikit keterangan tentang asal usul naga sembunyi itu, katanya adalah seorang jago pilihan dari kerajaan Song selatan, jejaknya sukar dibayangi karena sangat pandai menyamar. Mukanya yang asli selamanya belum dikenal, bahkan tua atau muda, laki-laki atau perempuan juga belum diketahui. Jadi hanya sekelumit saja tentang si naga sembunyi yang diketahui oleh Loh Si-hiong, ia hanya diperingatkan agar hati-hati terhadap naga sembunyi yang merupakan lawannya yang paling kuat.

Untuk menghadapi "naga sembunyi" itu Wanyen Tiang-ci telah mengerahkan segenap anak buahnya yang paling cerdik dan pandai, akan tetapi selama bertahun-tahun meski setiap pelosok yang dicurigai di tengah kotaraja sudah diselidiki toh jejak naga sembunyi itu masih belum diketemukan. Tugas Loh Si-hiong yang paling penting adalah menyelidiki rahasia Hiat-to-tong-jin, karena sudah sekian tahun jejak si naga sembunyi tidak diketemukan, maka persoalan menggerebeg mata-mata musuh itupun dikesampingkan olehnya dan perhatiannya khusus dicurahkan dalam pekerjaannya. Cuma iapun tahu, selama naga sembunyi itu tidak muncul keadaan akan baik, tapi sekali bila naga itu muncul, maka pasti akan merupakan lawannya yang paling berat. Sekarang Si-hiong sudah punya keyakinan mampu melayani Wanyen Tiang-ci sebab dia tahu sang ayah mertua itu sudah tidak menaruh syak apa-apa lagi padanya.

Sebaliknya ia tidak punya keyakinan mampu melayani naga sembunyi itu, lantaran itulah naga sembunyi itu tetap merupakan suatu bayangan hitam yang mencengkam sanubarinya.

Hari itu, seperti biasa Si-hiong keluar dari kediamannya dan siap menaiki kereta kuda yang hendak mengantarnya ke Gian- keng-ih. Menurut biasanya kusir tua itu seharusnya sudah menunggu dia di depan rumah.

Akan tetapi hari ini ternyata ada sedikit perubahan. Kereta kuda itu tetap berhenti di depan gedungnya, tapi kusirnya telah berganti seorang baru.

Kusir baru ini berusia sangat muda, tampaknya belum ada 30 tahun. Wayahnya ada satu jalur bekas luka, air mukanya kaku dingin sehingga membuat seram orang yang memandangnya.

Waktu Si-hiong keluar tadi kusir baru itu sedang mengantuk di dalam kereta, sesudah dipanggil "Sam-ya" beberapa kali barulah dia menongol keluar. Kusir tua yang dulu she Moa dan bernama Sam. Si-hiong tahu Moa Sam berkepandaian tinggi, untuk menghormatinya selalu Si-hiong memanggilnya "Sam-ya" (tuan Sam).

Kusir yang baru itu hanya memandang dingin sekejap kepada. Si-hiong dan menjawab: „Moa-samya tidak datang lagi, selanjutnya akulah yang menggantikan dia."

Habis berkata ia lantas pentang kantong kain yang besar seperti biasanya terus mengerudung ke atas kepala Si-hiong.

Peraturan ini adalah peraturan lama seperti biasa. Tapi karena orangnya telah ganti orang baru, betapapun Si-hiong merasa curiga. Pertama Gian-keng-ih itu adalah tempat yang dirahasiakan, jika bukan orang kepercayaan Ong-ya sekali-kali takkan diberi tugas sebagai pengantar Loh Si-hiong. Padahal selama lima tahun keluar masuk istana pangeran, boleh dikata semua orang kepercayaan Ong-ya sudah dikenalnya, namun orang baru ini selamanya belum pernah dilihatnya. Kedua, jika ganti pengantar mestinya sebelumnya Ong-ya akan memberitahukan padanya. Ketiga misalkan dia memang benar orang yang dikirim Ong-ya seharusnya, juga membawa sesuatu tanda bukti atau pengenal, mengapa hanya memberitahu secara lisan saja yang sukar dipercaya oleh Si- hiong.

Karena hal-hal yang menyangsikan itu, ditambah lagi sikap kusir baru yang aneh, dengan sendirinya Si-hiong menjadi curiga dan kuatir jangan-jangan akan kena perangkap musuh.

Sebagai seorang yang sudah cukup terlatih, sedikit menaruh curiga saja segera ia ambil keputusan. Ketika kantong kain tadi menutup tiba, segera jari tangannya menutuk kebelakang, "cret", dengan tepat kena sasarannya. Pikirnya tak peduli siapa dia, yang penting robohkan dia dulu, perkara belakang. Ilmu menutuk Loh Si-hiong itu adalah kepandaian curian yang dia pelajari dari lukisan Hiat-to-tong-jin itu, jadi ada persamaannya dengan "Keng-sin-ci-hoat" yang dibanggakan Wanyen Tiang-ci itu. Ilmu Tiam-hiat demikian sekali-kali sukar dipunahkan oleh sembarangan jago silat biasa.

Maka begitu tutukannya mengenai sasaran, segera ia hendak melepaskan kantong kain yang menutup kepalanya itu. Tapi mendadak badannya terasa enteng. ternyata kusir baru itu telah mengangkat badannya sehingga sedikitpun Si- hiong tak bisa berkutik lagi.

„He, kau mau apa?" terlak Si-hiong terkejut.

„Apakah Yang Mulia sudah melupakan tata-tertib Gian- keng-ih?" sahut orang itu dengan nada dingin. Sekali tangannya bergerak, Si-hong lantas dilemparkan ke dalam kereta.

Orang itu bukan saja dapat membuka Hiat-to sendiri yang tertutuk, bahkan dapat dengan kecepatan luar biasa sekaligus membekuk Si-hiong. Betapa tinggi Lwekang dan jurus ilmu silatnya sungguh membikin Si-hiong patah semangat.

Padahal ilmu silat Si-hiong sudah cukup lihay, selama lima tahun ini banyak pula yang dapat dipelajari di Gian-keng-ih itu. Tapi segampang ini kusir baru jang masih muda ini ternyata dapat membekuknya, keruan ia mengeluh bisa celaka apabila kusir muda ini adalah musuh.

Dalam pada itu kusir baru itu lantas melompat ke atas kereta dan segera dilarikan.

Karena sudah sangat apal dengan jalanan yang menuju ke Gian-keng-ih, biarpun kepalanya berkerudung, juga Si-hiong mengetahui kereta kuda itu memang betul mengambil jalan yang biasa ke Gian-keng-ih itu, baru sekarang hatinya merasa lega.

Kusir itu hanya mencurahkan perhatiannya pada mengendalikan keretanya, sama sekali ia tidak menyinggung hal Si-hiong menutuknya tadi seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa. Sebaliknya Si-hiong yang tidak tahan rasa ingin tahunya segera ia tanya: „Dimana Moa-samya? Mengapa dia tidak datang?"

„Dia sudah terbaring didalam peti mati, dengan sendirinya dia tak bisa datang menyemput kau," kata kusir itu. Si-hiong terkejut. „Dia Moa-samya sudah mati?" tanyanya.

Kusir itu hanya mendengus pelahan saja tanpa menjawab.

Padahal dengan kedudukan Si-hiong sebagai menantu pangeran yang paling berkuasa, selama beberapa tahun ini dia hanya disanjung puja oleh orang banyak dan tidak pernah dijengek atau dihadapi sikap dingin dari orang lain. Keruan sekarang ia mendongkol juga atas sikap kusir itu. Cuma tidak enak untuk mengumbar perasaannya, maka terpaksa ia tutup mulut tanpa bicara lagi.

Namun didalam hati Si-hiong lantas timbul suatu pertanyaan baru: „Mengapa mendadak Moa-samya bisa mati? Padahal kemarin ia masih dijemput dan dihantar pulang oleh kusir tua itu, orang yang tampak sehat walafiat itu mengapa mendadak bisa mati?

Agaknya kusir muda itu dapat menerka apa yang sedang dipikirkan Si-hiong, tiba-tiba ia membuka suara dengan nada dingin: „Kau punya medali bernomor 124 bukan? Jika kau masih menyangsikan diriku, kau bebas untuk tidak menumpang keretaku ini." „Mana aku berani sangsi," sahut Si-hiong tertawa. „Saudara she apa?"

„Beng," sahut orang itu singkat.

Si-hiong hanya tanya she-nya dan orang itu juga cuma menyawab she-nya saja, sampai-sampai namanya juga malas untuk disebut.

Diam-diam Si-hiong membatin: „Apa barangkali sifat orang ini memang tidak suka banyak bicara atau memang mengandung rasa permusuhan padaku?"

Tapi sekarang ia bisa lebih mempercayai si kusir baru ini karena nomor pengenalnya ternyata dapat disebutnya dengan tepat. Jadi pasti bukan orang luar.

Tidak lama kemudian sampailah mereka di depan Gian- keng-ih, seperti adat biasanya kereta kuda itu berhenti di depan pintu, setelah melepaskan kantong kerudung kepala, asal Si-hiong memperlihatkan medali emasnya kepada penjaga akan dapat masuk ke gedung itu dengan bebas. Tapi hari ini ternyata ada sesuatu yang luar biasa. Yang menjaga, di depan pintu tidak cuma pengawal biasa saja, bahkan terdapat pula Pan Kian-hau.

Lekas-lekas Si-hiong memberi hormat, dan baru hendak bicara, terlihat Pan Kian-hau sedang mengangguk kepada kusir muda tadi dan menyapa: „Kau sudah pulang?”

Si-hiong terkejut. Baru sekarang ia tahu bahwa sebabnya Pan Kian-hau menunggu didepan pintu bukanlah karena hendak memapak dia, tapi adalah untuk menyambut kusir muda itu. Dari hal ini saja sudah dapat dibayangkan kedudukan kusir itu yang sebenarnya. Kusir itu lantas memberi salam pula kepada Pan Kian-hau dan menjawab: „Ya, sudah pulang tiga hari lamanya. Apakah baik-baik, Pan-tayjin?"

„Baik. Kami senantiasa memikirkan kau," kata Pan Kian- hau. „Sayang Moa Sam telah mati sehingga terpaksa Ong-ya telah menyuruh kau mewakilkan dia secara darurat. Baru saja Ong-ya mengirim orang memberitahukan hal ini kepadaku."

Lalu ia berpaling kepada Loh Si-hiong dan berkata dengan tertawa: „Moa Sam pagi buta tadi telah mati, maka Ong-ya suruh Beng-laute mewakilinya memapak kau, hal ini tidak sempat memberitahukan lebih dulu padamu Tapi kalian tentu tidak terjadi salah paham bukan?"

Si-hiong berasa kikuk dan menjawab: „0, tidak."

Sedangkan kusir muda itu lantas berkata juga dengan tertawa: „Ah, Loh-ciangkun adalah seorang yang pegang disiplin."

Melihat orang tidak menyinggung kejadian tadi, diam-diam Si-hiong merasa rada terima kasih karena orang rupanya sengaja tak mau membikin malu padanya.

„Ya, memangnya akupun yakin kalian tentu tak sampai terjadi salah paham,” ujar Pan Kian-hau. „Cuma aku merasa Beng-laute baru pertama kali datang ke Gian-keng-ih sini dan untuk pertama kali pula memapak Loh-ciangkun, maka aku tetap merasa kuatir dan keluar kesini untuk menunggu.

Sekarang aku boleh merasa lega karena kalian telah datang dengan baik-baik."

Terhadap seorang kusir kereta Pan Kian-hau telah menyebutnya sabagai "Laute" (saudara), nadanya juga rada segan dan hormat, keruan hal ini membuat Loh Si-hiong tampak heran dan lebih ingin tahu pula akan betapa tinggi dan pentingnya kedudukan kusir muda itu.

Dalam pada itu kusir itu telah mohon diri.

Sesudah kusir itu pergi, Si-hiong ikut Pan Kian-hau masuk ke dalam Gian-keng-ih itu. Karena masih penuh tanda tanya, segera Si-hiong bertanya: „Siapakah orang tadi, mengapa aku belum pernah melihatnya dari dulu?”

„Dia adalah pengawal pribadi kesayangan Ong-ya," tutur Kian-hau. „Dahulu Ong-ya mempunyai seorang pengawal pribadi yang paling dipercaya, yaitu ayahnya Hui-hong.

Sesudah beliau gugur gantinya adalah Beng-laute tadi, namanya Tiong-hoan, katanya ayahnya Hui-hong yang mengajukan Beng-laute sebagai calon penggantinya. Kira-kira dua bulan sebelum kau masuk istana pada lima tahun yang lalu Ong-ya telah mengirim Beng-laute ke Mongol untuk sesuatu tugas rahasia dan baru sekarang dia pulang, sudah tentu kau belum pernah kenal dia."

„Wah, jika demikiankan terlalu merendahkan dia, masakah dia disuruh menjadi kusirku, mana aku berani menerimanya," kata Si-hiong dengan serba salah.

„Gian-keng-ih ini tidak boleh sembarangan didatangi orang luar. Maka tugas mengantar kau pulang pergi setiap hari juga amat penting," demikian jawab Pan Kian-hau. „Pula Ong-ya sendiri tentu sudah memikirkan hal ini, maka kau tidak perlu merasa gelisah."

Rada tenteramlah perasaan Si-hiong, tapi rasa sangsi yang lain segera timbul pula: „Jika betul orang she Beng ini adalah pengganti yang diusulkan oleh ayahnya Hui-hong, Ong-ya juga sangat sayang padanya, mengapa selama ini Hui-hong tak pernah membicarakan dia kepadaku?" Teringat kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ini, meski antara suami-isteri cukup memperlihatkan rasa kasih sayang, tapi diantara kedua orang rasanya masih tetap terpisah oleh sesuatu. Kehidupan "rapat dilahir dan pisah di batin” ini dapat dirasakannya tapi sukar diutarakan. Terpikir sampai disini, tanpa merasa diam-diam ia menghela napas.

„Paling akhir kabarnya “naga sembunyi” itu muncul lagi. Di kotaraja, apa kau tahu?" tanya Pan Kian-hau tiba-tiba.

Si-hiong terkejut: „Apakah ada orang yang pernah melihatnya?”

„Tidak, masih tetap seperti dulu, orang hanya mendengar ceritanya, tapi tak pernah melihat mukanya dan tak tahu apakah betul-betul ada orangnya atau tidak. Cuma cerita sekali ini mempunyai beberapa titik dasar. Bukankah kau masih ingat kedua orang yang pernah membantu kau membunuh juragan she Nyo itu?"

„Ya, ada apa dengan kedua orang itu?” Si-hiong menegas.

„Telah dibunuh orang secara gelap,” sahut Pan Kian-hau.

„Sesudah membunuh mereka, pembunuh itu telah melukiskan seekor naga di atas dinding dengan menggunakan darah kedua korbannya.”

„O, peristiwa demikian masih belum kuketahui," kata Si- hiong.

„Inipun peristiwa yang terjadi semalam,” kata Kian-hau.

„Kita menduga naga yang dilukis di atas dinding itu pasti tanda, yang ditinggalkan oleh 'naga sembunyi' itu. Sudah tentu ada kemungkinan orang lain memalsukan tanda pengenalnya. Tapi betapapun kita harus waspada. Sebab itulah kukira, Ong-ya sengaja mengutus Beng Tiong-hoan untuk menjadi kusirmu, maksud beliau adalah sekalian dapat menjaga keselamatanmu. Meski kepandaianmu tinggi, tapi naga sembunyi itu muncul dan menghilang tak menentu bilamana kau kepergok sendirian dengan dia mungkin akan repot. Tapi kalau Beng Tiong-hoan berada bersama kau Ong- ya takkan kuatir lagi."

„Banyak terima kasih atas perhatian Ong-ya dan Pan- tayjin,” sahut Si-hiong dengan rendah hati. Tapi diam-diam ia tertawa. Padahal pagi tadi waktu Tiong-hoan hendak mengerudung kepalanya malahan dirinya menyangsikan orang she Beng itu bisa jadi adalah "si naga sembunyi”.

Begitulah, setelah bicara tentang peritiwa naga sembunyi itu Pan Kian-hau lantas kembali ke tempatnya sendiri. Si-hiong juga menuju ke tempat kerja, biasanya sesudah salin pakaian oleh dayang-dayang cantik.

Biasanya, bila memasuki kamar dia, akan terus membuka gambar yang telah diletakkan di atas meja, lalu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mempelajari isi gambar itu. Tapi hari ini pikirannya ternyata tidak tenteram dan sukar memusatkan perhatian.

Meski tahu kusir baru itu bukanlah si naga sembunyi. Tapi teringat kepada gerak-geriknya yang aneh lebih-lebih sorot matanya yang dingin tajam waktu bertemu pertama kalinya seakan-akan penuh mengandung rasa permusuhan, mau tak mau Si-hiong masih menaruh curiga.

Hal lain yang membuat perasaan Si-hiong tidak enak adalah Wanyen Tiang-ci yang telah begitu mempercayainya mengapa sama sekali tidak pernah memberitahukan padanya tentang si kusir muda itu yang menurut cerita Pan Kian-hau adalah pengawal pribadi kesayangan Ong-ya itu. Begitu pula Hui- hong, mengapa juga tldak pernah menyebut adanya pemuda aneh ini?

Setelah termenung-menung sekian lamanya, kemudian barulah Si-hiong membuka berkas gambar yang telah disediakan Pan Kian-hau itu. Waktu gambar itu terbentang di atas meja sungguh di luar dugaan, girang Si-hiong tak terkatakan.

Selama lima tahun ini setiap hari gambar yang dipelajari adalah gambar Hiat-to-tong-jin. Maka tadi ia mengira gambar yang tersedia tentu juga salah satu dari gambar mengenai patung tembaga itu. Siapa tahu setelah dibuka ternyata hari ini yang disediakan Pan Kian-hau ternyata adalah sebagian dari pada pelajaran Lwekang ciptaan Tan Hu.

Adalah terlalu dalam untuk bisa menjajaki rahasia gambar patung tembaga itu, tapi kalau sudah mempelajari lebih dulu Lwekang tinggalan Tan Hu itu dan kemudian baru menyelidiki rahasia patung itu, maka hasilnya tentu akan lain dari pada apa yang telah dicapainya sekarang. Walaupun yang dihadapinya sekarang hanya satu bagian dari pada sebagian pelajaran Lwekang Tan Hu itu, tapi setidak-tidaknya ini adalah suatu tanda permulaan yang baik.

„Dilihat dari ini agaknya Ong-ya dan Pan Kian-hau masih dapat mempercayai sepenuhnya padaku,” demikian pikir Si- hiong. Saking senangnya untuk sementara ini ia telah mengesampingkan rasa curiganya terhadap si kusir muda tadi.

Ia mencurahkan segenap semangatnya untuk mempelajari lembaran yang berisi inti Lwekang mujijat itu tanpa mengenal lelah sehingga tanpa merasa hari sudah petang, sudah tiba waktunya dia pulang. Tapi saat ini dia sedang menyelami satu titik persoalan yang merupakan kunci dari pada Lwekang itu, jika soal ini dapat dipecahkan, maka pelajaran selanjutnya akan dapat ditembus dengan lancar.

Lantaran itu ia lantas suruh seorang penjaga untuk memberitahukan kusir kereta bahwa pulangnya akan terlambat satu jam.

Soal kelambatan demikian pernah juga terjadi beberapa kali selama Si-hiong mempelajari gambar patung tembaga itu.

Cuma hari ini adalah hari pertama datangnya kusir baru itu, ini baru teringat oleh Si-hiong sesudah dia melangkah keluar Gian-keng-ih.

Sementara itu hari sudah mulai gelap, waktu Si-hiong sampai di luar, terlihat kereta kuda itu sedang menunggu di tempat biasa, tapi kusir baru itu tidak kelihatan. Diam-diam Si- hiong merasa tidak enak, jangan-jangan kusir muda itu merasa mendongkol dan telah pergi, demikian pikirnya.

Namun seorang penjaga. telah memberitahukan: „Beng- toako sedang berjudi dengan kawan-kawan disana, biar aku memanggilnya."

„Beng-toako itu tampaknya bersikap dingin dan tidak suka omong, tapi ternyata bisa cocok dengan kalian?" kata Si-hiong kepada pengawal yang lain. Diam-diam ia heran mengapa orang she Beng itu mau merendahkan derajatnya untuk bergaul dengan kawanan penjaga itu, padahal Pan Kian-hau saja memanggil "saudara" padanya.

Maka pengawal itu telah menjawab: „Beng-toako adalah seorang yang sangat ramah, mengapa Loh-ciangkun bilang dia bersikap dingin kepada orang? Selamanya dia sangat baik terhadap kami dan suka taruhan dengan para kawan-kawan." Tengah bicara tampak Beng Tiong-hoan sudah mendatangi, dibelakangnya beberapa orang pengawal telah berseru padanya: „Besok siangan dikit Beng-toako, agar kita bisa main sepuas-puasnya.”

Akan tetapi berhadapan dengan Loh Si-hiong kembali wajah Beng Tiong-hoan berubah kaku lagi.

„Maaf, Beng-toako, bikin kau menunggu terlalu lama," demikian kata Si-hiong.

„Ah, tak apa, orang seperti kami memang, sudah seharusnya melayani orang sebaik-baiknya. Silakan naik kereta."

Kembali Si-hiong menerima sikap yang tak bersahabat, terpaksa ia tidak bicara lagi, ia mengerudungi kepalanya sendiri dan naik ke atas kereta.

Di atas kereta Si-hiong merenungkan kembali hasil penyelidikannya sehari tadi, diam-diam ia membatin: „Hm, orang she Beng, jangan kau berlagak, ada kalanya kepandaianku kelak pasti akan melebihi kau."

Sampai dikediamannya, kembali terjadi sesuatu yang di luar dugaan Loh Si-hiong. Yaitu Tokko Hui-hong ternyata sudah menunggu di depan pintu. Padahal selama ini Hui-hong tak pernah berbuat demikian biarpun Si-hiong beberapa kali pernah pulang terlambat.

Dengan sendirinya Si-hiong tercengang. Katanya kemudian:

„Aku pulang terlambat sehingga membikin kau menunggu. Tapi aku telah membawa seorang kenalan lama bagimu."

Air muka Hui-hong tampak rada pucat. Mendengar ucapan Si-hiong itu barulah pelahan-lahan dia mengalihkan sorot matanya ke arah kusir muda itu. Segera Beng Tiong-hoan melangkah maju dan memberi hormat, sapanya: „Hormat kepada Tuan Puteri dan selamat pula, maafkan hamba tidak sempat memberi kado apa-apa pada waktu pernikahan Tuan Puteriku.”

Sebisanya Hui-hong menahan perasaannya dan wajah semakin pucat. Ia hanya mendengus saja, lalu bertanya:

„Selama beberapa tahun ini kau berada dimana? Apa kau sudah berkeluarga?"

„Selama beberapa tahun ini berada di Mongol, di tengah gurun luas, berada dirantau orang, asalkan dapat pulang dengan selamat saja sudah untung, mana hamba berani pikir soal berkeluarga segala."

Si-hiong terkesiap: „Jadi beberapa tahun dia berada di Mongol. Wah, jika demikian harus hati-hati terhadap dia."

Dalam pada itu Tokko Hui-hong hanya diam saja. Maka Beng Tiong-hoan berkata pula: „Jika Tuan Puteri tiada perintah apa-apa biarlah hamba mohon diri saja.”

Sikap Tokko Hui-hong tampak seakan-akan orang kehilangan sesuatu, katanya kemudian: „Kalian pulang terlambat, bolehlah kau bersantap malam disini. Kedua anakku juga belum pernah kau lihat.”

„Terima kasih, tapi aku sudah makan di Gian-keng-ih sana biarlah lain hari saja akan kujenguk Pangeran-pangeran cilik itu," sahut Beng Tiong-hoan.

Setelah Beng Tiong-hoan pergi, Si-hiong lantas berkata:

„Kabarnya dia adalah orang yang diusulkan ayahmu kepada Ong-ya, tentu kau sangat kenal dia?" „Waktu tinggal di dusun dia adalah tetangga kami, tapi tidak lama kemudian dia lantas pindah ke tempat lain," demikian tutur Hui-hong. „Kami hanya kenal diwaktu kecil sehingga tidak dapat dikatakan kenalan baik. Mungkin di tengah pasukan kemudian ayah bertemu lagi dengan dia."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar