Musuh Dalam Selimut Bab 06 : Pembunuhan Di Malam Pengantin

 
6. Pembunuhan Di Malam Pengantin

Karena alasan Hui-hong cukup masuk diakal, dengan sendirinya Wanyen Tiang-ci dapat menerima. Apalagi iapun kuatir Ting-kok bikin onar pula bila Hui-hong tetap tinggal di dalam istana, membikin malu istana masih tidak menjadi soal, celakanya rencana yang telah diatur dan berjalan lancar jangan-jangan akan runyam malah. Maka sambil mengangguk ia berkata: „Kalian akan berumah tangga sendiri juga ada baiknya. Tapi apakah kau tahu maksud tujuanku dengan menyodohkan kau kepada Si-hiong?"

„Jika Si-hiong mempunyai sesuatu tujuan tertentu, tentu gerak-geriknya akan sangat berhati-hati di dalam istana untuk menutupi perbuatannya, maka ada lebih baik kalau menyelidiki dan mengikuti tingkah-lakunya di luar istana," kata Hui-hong.

„Benar-benar anakku yang baik dan pintar, tidak percumalah kasih sayangku kepadamu selama ini," puji Wanyen Tiang-ci. „Sebenarnya aku hendak memberitahukan maksud tujuanku padamu, tapi ternyata kau sudah dapat memahami hatiku.”

„Anak pasti akan memupuk kesetiaan Si-hiong kepada ayah dan pasti takkan membiarkan dia punya maksud jelek", sahut Hui-hong.

Wanyen Tiang-ci merenung sejenak, kemudian berkata, pula dengan suara pelahan: „Si-hiong adalah orang yang dikirim oleh Tan-goanswe, pantasnya dia tidak perlu dicurigai, cuma segala apa ada lebih baik berhati-hati. Aku ada suatu akal untuk menguji dia begini (ia membisiki Hui-hong). Sesudah diuji, coba dia sanggup melakukannya tidak, habis itu barulah kau pindah keluar istana.”

„Sungguh bagus akal ayah puji Hui-hong. „Baiklah, malam nanti juga anak akan menguji dia. Menyelang pagi tentu akan ketahuan hasilnya."

Dalam pada itu Loh Si-hiong rada gelisah juga menunggu di luar. Ia heran mengapa dirinya tidak dipanggil masuk kekamar oleh dayang. Apa saja yang dibicarakan Ong-ya dengan puterinya sesudah sekian lamanya mengantar pengantin perempuan ke dalam kamar pengantin?

Diam-diam ia masih merasa curiga terhadap peristiwa di tengah pesta tadi. Mengapa pangeran muda itu memandangnya seakan-akan musuh besarnya? Apakah tidak suka dirinya menjadi iparnya atau masih ada sebab-sebab lain?

Sebagai pemuda yang cerdik dengan sendirinya Si-hiong juga dapat berpikir jangan-jangan dibalik kejadian itu menyangkut pula persoalan asmara muda-mudi. Tapi yang lebih dikuatirkan olehnya adalah kemungkinan dirinya dicurigai oleh Wanyen Tiang-ci ayah dan anak itu. Bukan mustahil apa yang diperbuat oleh Wanyen Ting-kok tadi justeru atas suruhan ayahnya sebagai suatu ujian pula padanya.

Begitulah makin dipikir makin ruwet persoalannya. Teringat olehnya ujian-ujian aneh yang telah dialaminya sejak memasuki istana pangeran dan entah ujian apalagi yang masih dihadapinya dikemudian hari.

Sementara itu bulan sabit sudah tergantung ditengah langit, suara musik di tengah pesta di dalam taman sayup- sayup masih terdengar diseling dengan bunga api yang gemilapan di udara. Namun di tengah suasana pesta pora yang ria itu, Si-hiong merasakan hatinya teramat sunyi, tanpa sadar pikirannya melayang-layang kembali ke tempat yang jauh, kepadang rumput yang luas dimana bayangan seorang nona cantik terkenang pula.

Tiba-tiba ia tersadar oleh suara kentongan dua kali. Tak peduli untung atau buntung, yang pasti sebagai menantu pangeran kerajaan Kim yang paling berkuasa harus dilakukannya terus, demikian akhirnya Si-hiong meneguhkan tekadnya.

Pada saat itulah seorang dayang Tokko Hui-hong telah keluar memanggilnya masuk kamar.

Waktu Si-hiong masuk kekamar pengantin, terlihat cahaya lilin terang benderang, tirai setengah tergulung. Kamar pengantin terhias dengan indah semarak dengan segala kemewahan. Pengantin perempuan yang cantik bagai bidadari tampak sudah menunggu.

Walaupun di dalam lubuk hati Loh Si-hiong tersimpul suatu bayangan seorang nona lain, tapi menghadapi gadis cantik seperti Tokko Hui-hong yang akan menjadi isterinya betapapun hatinya berdebar-debar juga.

Tokko Hui-hong seperti tidak tahu masuknya Si-hiong ke dalam kamar, sedikitpun ia tidak menggeser dari tempat duduknya dan tidak mengangkat kepala untuk memandangnya. Sungguh aneh, di malaman pengantin ini bukannya gembira, sebaliknya pengantin perempuan tampaknya muram durja.

Si-hiong menjadi ragu-ragu. Selang agak lama Hui-hong masih diam saja. Terpaksa Si-hiong melangkah maju dan menyapa lebih dulu: „Aku berasal dari keluarga yang rendah, akupun tahu tidak sesuai memperisterikan Tuan Puteri, maka bila sekiranya Tuan Puteri merasa tidak senang atas perjodohan ini ”

„Jangan kau berkata, demikian," sela Hui-hong tiba-tiba.

„Akupun serupa kau. Ayahmu adalah bawahan Tan-goanswe, ayahku tidak lebih juga cuma punggawa Ong-ya. Asalkan kau tidak mencela diriku, maka puaslah hatiku."

Lega dan nikmat rasa hati Loh Si-hiong, katanya pula:

„Terima kasih isteriku. Dan jika demikian, apakah kemurungan isteriku adalah karena ada urusan lain?''

„Ya, memang aku sedang sedihkan sesuatu urusan," kata Hui-hong.

„0 entah urusan apa, dapatkah Tuan Puteri menerangkan padaku?" tanya, Si-hiong. Dari panggilan isteriku berubah menjadi sebutan Tuan Puteri pula, hal ini menunjukkan guncangan perasaan Si-hiong yang tidak tenteram.

Baru sekarang Hui-hong menengadah, sambil menatap Si- hiong ia berkata: „Kau menikah dengan aku adalah karena menurut perintah Ong-ya saja atau dengan setulus hati kau suka padaku?"

Pertanyaan demikian terpaksa dijawab oleh Loh Si-hiong:

„Tuan Puteri cantik dan pintar tiada bandingannya, hamba sendiri yang merasa beruntung dapat mempersunting Tuan Puteriku, apalagi yang mesti kuharapkan pula," meski dia tidak bicara secara jujur, tapi sesungguhnya di dalam hati kecilnya telah menyukai Tokko Hui-hong.

„Jika begitu, jadi kau benar-benar suka padaku?'' Hui-hong menegas. „Ya, semoga selama hidup ini hidup berdampingan dan menghamba bagi Tuan Puteri," sahut Si-hiong.

Tersenyumlah Tokko Hui-hong, katanya pula: „Apakah kau benar-benar akan menurut segala keinginanku, apa yang kukatakan akan kau lakukan?"

„Ya, kelautan api, ke dalam air mendidih juga takkan menolak," sahut Si-hiong.

„Baik, malam ini juga aku ingin minta kau melakukan sesuatu, apakah kau sanggup?"

„Silakan Tuan Puteri mengatakan,"

„Malam ini juga aku minta kau pergi membunuh satu orang." kata Hui-hong dengan suara pelahan.

Si-hiong terkejut. „Ah, tentunya isteriku hanya bergurau saja?" katanya kemudian dengan tertawa. „Malaman pengantin yang bahagia ini masakah aku disuruh membunuh orang?"

„Siapa yang bergurau padamu?" kata Hui-hong dengan menarik muka. „Sebelum kentongan lima kali nanti bila kau tidak pulang dengan membawa kepala orang itu, maka kaupun jangan harap memasuki kamar pengantin."

Si-hiong ragu-ragu sejenak, tapi akhirnya menjawab:

„Baiklah, akan kulaksanakan. Siapakah yang harus dibunuh?"

„Di jalan Tiang-an sana ada sebuah Gang Kopiah, dimana ada tinggal seorang pengusaha toko kulit, juragannya she Nyo. Pernah satu kali aku hendak membeli kulit rase untuk membikin mantel, tapi dia telah mengeluarkan kata-kata tidak sopan. Pergilah kau membunuh orang she Nyo itu." Tergetar hati Loh Si-hiong, sedapat mungkin ia mengekang perasaannya itu dan dengan tenang menjawab: „Hanya urusan sekecil ini membunuh orang itu, apakah ini tidak

.........”

„Kau hendak berkata apakah ini tidak keterlaluan, bukan?" Hui-hong menegas.

„O, tidak. Cuma kukira dosa orang itu tidak sampai mesti dihukum mati."

„Dia berani main gila padaku, apakah ini urusan kecil? Hm, baru saja kau mengoceh siap terjun ke lautan api bagiku segala, tapi sedikit pekerjaan saja sekarang kau sudah menolak dengan macam-macam alasan. Apa barangkali kau kenal baik kepada orang she Nyo itu dan tidak sampai hati untuk membunuhnya?"

Dengan mengertak gigi terpaksa Si-hiong menjawab: „Baik, saat ini juga aku lantas berangkat. Sebelum kentongan kelima aku akan kembali membawa kepalanya.''

„Hendaklah kau dengar yang jelas, juragan she Nyo itu berusia tiga puluhan, berbadan sedang, rambut pendek dan bergodek, pipi sebelah kiri ada tahi lalat besar dan paling gampang untuk dikenali. Jangan kau salah membunuh orang lain."

„Dengan keterangan sedemikian jelas aku pasti takkan salah membunuh." sahut Si-hiong.

Sudah tentu Si-hiong tahu bahwa Tokko Hui-hong bukannya kuatir dia salah membunuh, tapi kuatir dia sembarangan membunuh seorang lain lalu pulang sekadar mempertanggung jawabkan tugasnya itu, sebaliknya orang she Nyo itu sempat lolos. Tapi dengan menegaskan ciri-ciri orang she Nyo itu, Si-hiong tak bisa menggunakan bukti kepala palsu lagi.

Padahal Loh Si-hiong tidak perlu keterangan sejelas itu dari Tokko Hui-hong, sebab terhadap orang she Nyo itu mungkin Si-hiong jauh lebih tahu daripada keterangan-keterangan yang ada pada Hui-hong.

Orang she Nyo pengusaha toko kulit yang dimaksudkan Tokko Hui-hong itu adalah keturunan panglima Nyo dari kerajaan Song, yaitu Nyo Leng-kong yang termashur. Sudah tentu keturunan panglima keluarga Nyo itu tidak mungkin jauh-jauh tinggal di negeri Kim bilamana tiada punya maksud tujuan tertentu, dia memang punya tugas rahasia.

Malahan Loh Si-hiong juga tahu ilmu silat juragan Nyo itu sangat tinggi, dirinya belum tentu dapat menandinginya.

Begitulah setelah meninggalkan istana, diam-diam Si-hiong tersenyum kecut. Sungguh tak terduga bahwa Wanyen Tiang- ci toh masih sangsi padanya dan sekarang barulah-benar- benar suatu ujian yang berat baginya. Ia dapat menerka bahwa sebabnya Tokko Hui-hong minta dia membunuh orang she Nyo itu tentulah atas perintah Wanyen Tiang-ci. Dan kalau orang she Nyo itu hendak dibunuh, maka teranglah bahwa Wanyen Tiang-ci sendiripun sudah cukup tahu siapa dan apa kerjanya orang she Nyo itu.

Betapapun beraninya Loh Si-hiong, sekarang dengan tugas membunuh orang keturunan panglima Nyo kerajaan Song itu, mau tak mau dia dicengkam juga oleh rasa gelisah dan takut.

Pergi kesana atau tidak? Membunuhnya atau tidak? Boleh jadi dirinya tidak mampu membunuh orang, sebaliknya malah jiwa sendiri melayang dibawah golok orang she Nyo, Tapi kalau tidak membunuhnya tentu urusannya sendiri bisa runyam.

Dalam keadaan ragu-ragu, akhirnya ia sampai juga di jalan yang dituju. Sementara itu kentongan sudah berbunyi tiga kali, padahal kentongan kelima tugasnya harus selesai. Waktu sudah mendesak dan tidak memberi kesempatan padanya untuk berpikir pula sekalipun pikirannya masih belum pasti.

„Dia jadi berangkat dan membunuhnya atau tidak?" demikian saat itu Hui-hong juga sedang mengemukakan kesangsiannya kepada Wanyen Tiang-ci.

Sesudah memberangkatkan Loh Si-hiong segera nona itu pergi menemui ayah angkatnya.

Dengan tertawa Wanyen Tiang-ci menjawab: „Ya, akupun tidak tahu. Biarlah kita menunggu dulu, dalam waktu tidak lama tentu dapat diketahui. Jika dia membunuh orang itu, maka dapatlah kita mempercayai dia sepenuhnya. Kalau tidak, maka dia pasti mata-mata musuh dari kerajaan Song."

„Tapi kalau kalau dia sesungguhnya ingin mengabdi

kepada ayah dengan setia dan malah jiwanya melayang dibawah golok orang she Nyo itu. Lalu bagaimana ”

„Untuk ini kau jangan kuatir," ujar Wanyen Tiang-ci „Aku sudah mengirim dua jago kepercayaanku dan selalu menguntit di belakangnya. Asal dia bertempur sungguh-sungguh dan tak sanggup melawan orang she Nyo, pada saat yang gawat kedua jago utusanku pasti akan membantunya. Tapi kalau dia berpikiran lain dan mau menyeleweng, maka kedua jago itupun akan membinasakan dia. Anak Hong, apakah kau

benar-benar suka padanya?" Tokko Hui-hong menjadi mengkirik sendiri. Pikirnya: „Cara ayah ini sungguh keji dan ganas juga." Tapi dimulut ia menjawab: „Ya, jika dia toh tak bisa dipercaya, buat apalagi aku menjadi isterinya. Sekalipun ayah tidak membunuhnya juga aku akan membunuh dia."

Apa yang diucapkan Hui-hong memang tidak pura-pura.

Jika Loh Si-hiong mata-mata musuh memang dia bisa membunuhnya. Cuma dia justeru mengharap Si-hiong bukanlah mata-mata musuh, sebab diam-diam dia sudah rada suka padanya.

„Caranya aku menguji dia begini adalah demi kepentinganmu, anak Hong," kata Wanyen Tiang-ci pula.

„Coba pikirkan, jika dia tak bisa membuktikan kesetiaannya mana boleh aku mengizinkan dia meninggalkan Gian-keng-ih dan boleh pergi pulang setiap hari. Ya, jika dia tak dapat pulang pergi setiap hari, lalu apa artinya lagi kau menjadi isterinya? Jadi harap kau paham akan maksudku yang baik ini.”

Muka Hui-hong menjadi merah, katanya sambil menundukkan kepala: „Anak paham, terima kasih atas perhatian ayah."

Tapi diam-diam ia benci kepada Wanyen Tiang-ci yang telah menggunakan perkawinannya sebagai alat belaka. Pikirnya: „Sekarang upacara pernikahan sudah selesai, aku sudah menjadi isterinya. Tapi kalau ujian malam ini membuktikan dia adalah mata-mata musuh dari kerajaan Song, maka bukan saja ayah akan membunuhnya, bahkan perkawinankupun akan gagal dan membikin susah hidupku selanjutnya."

„Sebenarnya cara aku menguji dia ini masih terasa agak sayang," kata pula Wanyen Tiang-ci dengan tertawa. Hui-hong melengak karena tidak tahu arah ucapan ayah angkatnya itu. Tanyanya: „Apa yang disayangkan ayah?”

„Kau tentu tahu bahwa sudah sejak lama aku mengetahui siapakah orang she Nyo itu, jika aku mau membunuh dia boleh dikata semudah tanganku sendiri. Tapi mengapa aku menunggu sampai sekarang baru menyuruh Loh Si-hiong membunuhnya?"

„O, jadi maksud ayah adalah mengulur tali pancing untuk memancing kakap?" tanya Hui-hong, baru sekarang ia paham duduknya perkara.

„Ha..ha..ha. kau sungguh pintar, anak Hong," Wanyen Tiang-ci bergelak tertawa. „Jika orang she Nyo itu dibiarkan tetap berusaha dengan toko kulitnya, maka setiap orang Kanglam yang datang kemari tentu tak terlepas dari pengawasan kita. Bukankah ini jauh lebih berguna daripada kita membinasakan dia? Tapi sekarang disebabkan dirimu aku harus menguji Si-hiong dengan mengorbankan nyawa orang she Nyo itu, maka untuk selanjutnya bila mau menyelidiki mata-mata musuh dari selatan terpaksa aku harus mencari jalan lain dan tentu akan lebih banyak memakan tenaga dan pikiran lagi."

„Sedemikian baik perhatian ayah kepadaku, sungguh anak merasa terima kasih tak terhingga," kata Hui-hong. Tapi di dalam hati ia berpikir: „Ya, cuma kuatirnya jangan-jangan tiga pihak akan sama-sama runyam."

Apakah yang dimaksudkan "tiga pihak'' biarlah sementara ini para pambaca boleh berpikir.

„Mungkin kau kuatir dia takkan lulus ujian terakhir ini bukan?" tiba-tiba Wanyen Tiang-ci bertanya pula. „Waktunya sudah hampir sampai, coba tunggu lagi sebentar dan segala persoalan tentu akan menjadi jelas."

Hui-hong merasa tidak tenteram. Menunggu "sebentar" ternyata dirasakan seakan-akan bertahun-tahun lamanya dan mirip seorang pesakitan yang sedang menantikan keputusan hakim.

„Sudahlah, sekarang kau boleh merasa lega, dia sudah pulang," tiba-tiba Wanyen Tiang-ci berkata.

Waktu Hui-hong pasang kuping, benar juga terdengar ada suara orang memasuki pekarangan belakang. Tapi yang datang apakah Loh Si-hiong atau bukan? Jika dia, apa dia berhasil membunuh orang she Nyo itu?

„Coba kita keluar menyambut kedatangannya," kata Tiang- ci dengan tertawa.

Dengan perasaan kebat-kebit Hui-hong ikut keluar untuk memapak pulangnya Loh Si-hiong. Mendadak terdengar suara “bluk”, sesosok tubuh kebetulan melintasi pagar tembok dan berdiri seakan-akan jatuh dihadapannya. Suara jatuhnya itu rada berat.

„Kan terluka, Si-hiong?” tanpa merasa Hui-hong berseru kuatir.

Yang datang ini memang Loh Si-hiong adanya. Ia telah dapat berdiri tegak kembali. Lebih dulu ia memberi hormat kepada, Wanyen Tiang-ci dan sengaja memperlihatkan rasa terkejut, lalu berkata: „Kiranya ayah pangeran juga berada disini." - Habis itu dia baru berkata kepada Hui-hong: „Tak apa-apa, meski aku kena dibacok dua kali, untung tidak parah." Wanyen Tiang-ci belum tidur, bahkan berada bersama Tokko Hui-hong sedang menunggu pulangnya, hal ini memang sudah di dalam dugaan Loh Si-hiong. Yang diluar dugaannya adalah pertanyaan Hui-hong tadi, bukannya tanya dia berhasil membunuh sasarannya atau tidak, sebaliknya menguatirkan dulu lukanya. „Tampaknya dia benar-benar rada menaruh cinta padaku,” demikian pikir Si-hiong dan dengan sendirinya timbul rasa mesra di dalam hati.

„Dari anak Hong kudengar kau disuruh pergi membunuh seseorang, karena merasa kuatir, maka akupun menunggu kau,” kata Tiang-ci kemudian. „Tampaknya lukamu juga tidak ringan, marilah kekamarku dulu untuk membalut lukamu."

Melihat sekujur badan Si-hiong bermandikan darah, walaupun tidak cinta, tapi mengingat lukanya itu adalah lantaran gara-garanya, Hui-hong merasa menyesal juga. Maka ia sendiri lantas memayang Si-hiong ke dalam kamar untuk membersihkan darahnya dan dibubuhi obat luka.

Dalam pada itu terdengar suara kentongan tepat dipalu lima kali. „Untung tidak sampai gagal. Silakan periksa kepala ini apakah benar orang yang harus kubunuh itu?"

Segera dari sebuah kantong kulit Si-hiong mengeluarkan sebuah kepala manusia yang masih berlumuran darah.

Legalah hati Hui-hong demi mengenali kepala itu. Jelas kepala itu bergodek dan berambut pendek, pada pipi kiri ada sebuah tahi lalat besar, air mukanya yang tampak murka masih belum hilang dari wajah yang telah meninggalkan tubuhnya itu. Hui- hong sangat girang, katanya: „Benar, inilah orang she Nyo yang telah kau bunuh."

Selagi Tokko Hui-hong mengamat-amati kepala yang dibawa pulang Loh Si-hiong itu, adalah Wanyen Tiang-ci sedang memperhatikan mimik yang timbul pada air muka Loh Si-hiong pula.

Perasaan Si-hiong pada saat itu sangat kusut, ia sedang berpikir: „Jika orang she Nyo itu dibiarkan tetap hidup memang ada gunanya bagiku, tapi juga ada ruginya. Setelah dia terbunuh berarti aku telah berkurang seorang saingan berat." Lantaran pikiran demikian, maka wayahnya sedikitpun tidak mengunjuk rasa menyesal, sebaliknya malah berseri-seri senang.

„Apakah ilmu golok orang she Nyo ini sangat lihay?'' demikian Tokko Hui-hong telah tanya.

„Benar-benar sangat lihay," sahut Si-hiong. „Semula, aku menyangka jiwaku akan melayang dibawah goloknya, siapa tahu pada saat terakhir, waktu dia membacok dengan goloknya, entah mengapa tangannya mendadak menjadi lemas. Kesempatan itu tidak sia-sia bagiku, segera pedangku menabas lehernya." - Ia bicara dengan tertawa, padahal didalam hati masih merasa ngeri membayangkan detik berbahaya tadi.

„Apakah kau ingin tahu mengapa tangan orang she Nyo itu mendadak menjadi lemas?" tiba-tiba Wanyen Tiang-ci bertanya dengan tertawa. Waktu ia menepuk tangan, segera masuklah dua orang berbaju hitam. Setiap orang menghaturkan sebatang jarum perak yang masih berdarah.

Baru sekarang Si-hiong sadar, katanya: „Banyak terima kasih atas bantuan ayah pangeran secara diam-diam. Kiranya juragan she Nyo itu sebenarnya dibunuh oleh kedua Toako ini."

„Bukan, bukan kami yang membunuhnya, tapi adalah Yang Mulia sendiri," sahut kedua orang itu. „Jika Yang Mulia tidak bertempur dengan gigih sehingga orang she Nyo itu terpaksa memusatkan perhatiannya, mana bisa senjata rahasia kami dapat mengenai sasarannya?"

„Sudahlah, kalian boleh pergi, laksanakan rencanaku, ciduk semua begundal orang she Nyo itu," demikian Wanyen Tiang- ci memberi tanda dan kedua orang berbaju hitam lantas membeli hormat dan mengundurkan diri.

„Sekarang aku harus mengucapkan selamat kepada Si- hiong yang telah berjasa besar," kata Tiang-ci pula dengan tertawa.

Si-hiong berlagak tidak paham, jawabnya: „Hanya seorang pedagang kulit saja, jasa apa yang dapat ditonjolkan?"

„Orang yang memiliki ilmu silat setinggi itu masakah cuma seorang pengusaha toko kulit begitu saja? Biar kuterangkan asal-usulnya yang sesungguhnya."

Padahal Si-hiong sendiri sudah tahu siapa sebenarnya orang she Nyo itu. Katanya: „Sungguh tidak nyana bahwa dia, sebenarnya adalah pimpinan mata-mata musuh kerajaan Song yang diselundupkan kemari."

Wanyen Tiang-ci tidak bicara lebih banyak lagi, ia mengeluarkan sebotol kecil obat bubuk dan menetesi kepala orang she Nyo itu dengan setitik obat bubuk itu, hanya sekejap saja kepala itu sudah hancur luluh menjadi air darah.

„Sekarang menjadi giliran anak untuk mengucapkan selamat kepada ayah karena telah ditumpasnya suatu bahaya besar," kata Si-hiong kemudian.

Disangkanya dirinya sudah boleh merasa lega setelah ujian- ujian yang telah dilaluinya. Tak terduga Wanyen Tiang-ci masih menggoyang kepala pula dan berkata: „Tidak, masih ada suatu bahaya yang lebih besar. Orang ini sukar diketemukan seperti setan yang tak menentu tempatnya.

Walaupun belum pasti apakah dia berasal dari kerajaan Song, tapi jelas dia jauh lebih sulit dilayani daripada orang she Nyo itu."

„Siapa orang itu?" tanya Si-hiong dan Hui-hong berbareng karena sama-sama terkejut.

„Tiada diketahui siapa namanya,'' sahut Tiang-ci. „Hanya diperoleh keterangan bahwa dia mempunyai julukan Lam-hay- ciam-liong (naga sembunyi dari laut selatan). Naga sembunyi ini telah menyusup ke kotaraja kita ini, kita telah mengerahkan orang untuk mencarinya, tapi belum dapat menangkap dia. sebaliknya belasan jago kita malah sudah terbunuh olehnya. Untuk selanjutnya boleh jadi diperlukan juga tenaganya Si-hiong."

Si-hiong tergetar, sahutnya cepat: „Jika tenagaku diperlukan, setiap saat aku pasti siap mengabdi bagi ayah."

„Sudahlah, bolehlah kalian kembali ke kamar untuk mengaso, jangan sampai jasa yang telah kau buat ini mengacaukan malaman pengantinmu", kata Tiang-ci akhirnya.

Setibanya kembali di dalam kamar pengantin, meski pasangan pengantin haru itu sudah teramat letih, tapi mereka toh tak bisa pulas.

„Siapakah ‘naga sembunyi’ itu?'' demikian pertanyaan yang timbul dibenak mereka.

Si-hiong memang pernah mendengar julukan “Naga sembunyi dari laut selatan" itu, tapi tidak tahu siapakah sebenarnya si Naga sembunyi itu? 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar