Musuh Dalam Selimut Bab 04 : Perjodohan “Paksa”

 
4. Perjodohan “Paksa”

Padahal peraturan yang jelimet demikian sebenarnya sudah ada sebelum terjadinya “peristiwa pencurian pusaka di keraton Kim” Hanya saja sesudah peristiwa itu pembagian gambar itu dipecah-pecah lebih banyak lagi.

Diantara anggota-anggota Gian-keng-ih itu yang pernah melihat patung tembaga hanya Wanyen Tiang-ci sendiri. Bahkan hanya Wanyen Tiang-ci saja yang memiliki seluruh gambar penjelasan patung itu secara lengkap serta kitab "Ci- goan-bian", yaitu kitab pelajaran Lwekang tinggalan Tan Hu itu. Malahan Wanyen Tiang-ci sendiri juga tidak punya kuasa untuk membawa keluar kedua macam pusaka itu dari ruang Gian-keng-ih. Kedua macam pusaka itu tersimpan di dalam sebuah kamar rahasia yang hanya boleh dimasuki oleh Wanyen Tiang-ci sendiri. Tentang rahasia ini baru diketahui oleh Loh Si-hiong sesudah banyak tahun kemudian.

Daripada terburu nafsu dan menggagalkan segala usahanya, diam-diam Loh Si-hiong bertekad akan bersabar dahulu, biarpun mesti mengeram selama delapan tahun atau sepuluh tahun, bahkan seumur hidup juga akan dilakukannya untuk bersabar dan mempelajari gambar itu dengan baik.

Begitulah tanpa merasa hari sudah sore. Segenap perhatian Loh Si-hiong hanya dicurahkan untuk mempelajari dan menyelami gambar itu sampai datangnya Pan Kian-hau baru dia seperti sadar dari mimpi. Nyata satu hari telah dilaluinya dengan cepat.

Tempo sehari ini hanya digunakan oleh Loh Si-hiong sebagai pembukaan dalam usahanya mencari titik permulaan saja, dan titik permulaan inipun cuma mengenai sebuah Hiat- to, jadi masih jauh jaraknya jika mau menyingkap rahasia yang tercakup di dalam gambar yang ruwet itu. Namun demikian sedikit hasilnya ini ternyata cukup memuaskan Pan Kian-hau.

Sesudah menyimpan kembali gambar itu, kemudian Pan Kian-hau berkata: „Hari ini adalah hari pertama, kau boleh pulang agak siangan.

Baru saja Si-hiong mau menyatakan siap taat kepada segala peraturan, begitu pula mengenai waktu bekerja dan waktu pulang. Namun dengan tersenyum Pan Kian-hau sudah berkata lagi: „Rupanya Ong-ya sangat memikirkan dirimu. sekarang beliau sudah mengirim orang untuk menyemput kau."

Begitulah dengan medali emasnya Si-hiong datang ke kamar pakaian dan sekali lagi berganti baju dihadapan kedua dayang cantik. Diam-diam ia membatin: „Cara demikian memang adalah cara terbaik untuk menjaga segala kemungkinan. Hanya saja terlalu repot dan membikin kikuk saja."

Segala sesuatu dilakukan pula seperti waktu dia datang, kembali Si-hiong diberi kerudung kepala dan dinaikkan ke atas kereta kuda, kusir tua itu mengantarkan dia pulang ke istana Wanyen Tiang-ci.

Diam-diam Si-hiong mengingat jalan-jalan yang pernah dilalui kereta kuda itu, dimana ada tikungan, dimana menanjak dan dimana pula menurun. Pikirnya: „Jika jalanan ini tidak berubah setahun kemudian biarpun kedua mataku tetap ditutup juga aku sanggup pulang pergi sendiri tanpa dihantar."

Setibanya di istana, ternyata Wanyen Tiang-ci sudah menunggu padanya di suatu kamar rahasia.

„Menurut laporan Kian-hau, katanya hasil penyelidikanmu hari ini sangat baik. aku ikut merasa senang,'' demikian kata Wanyen Tiang-ci. „Tapi sekarang aku cuma ingin omong- omong dengan kau tentang urusan pribadi. Kau tidak perlu merasa rikuh, marilah kita bicara secara bebas saja."

Di dalam kamar rahasia itu Wanyen Tiang-ci tampak sangat ramah, sedikitpun tidak berlagak sebagai seorang pangeran atau panglima yang berkuasa, dia bicara kepada Si-hiong dengan ramah-tamah.

Sudah tentu hal ini rada-rada diluar dugaan Si-hiong. Ia tahu pangeran berkuasa itu mau membiarkan dia masuk menjadi anggota Gian-keng-ih tentunya juga perlu mengetahui dengan jelas sesuatu mengenai dirinya atau asal- usulnya. Cuma dia tidak menduga Wanyen Tiang-ci sendirilah yang langsung tanya padanya dan waktunya juga jauh lebih daripada perhitungannya.

„Entah urusan pribadi apa yang hendak ditanyakannya padaku?" demikian diam-diam Si-hiong membatin.

Belum selesai pikirannya melayang-layang, terdengar Wanyen Tiang-ci sudah mulai bertanya: „Kabarnya kau adalah anak piatu?"

„Ya," sahut Si-hiong. „Limabelas tahun yang lalu ayahku ikut Tan-goanswe berperang dengan pasukan Song dan malang beliau telah gugur dimedan bakti."

„Berapa usiamu tahun ini?"

„Dua puluh tiga."

„O, jadi waktu ayahmu gugur kau baru berumur delapan tahun. Apakah kau dibesarkan oleh ibumu?"

„Tidak, ibupun meninggal dunia pada tahun kedua sesudah ayah gugur."

„Waktu ayahmu gugur, apakah kalian ibu dan anak tinggal di rumah?" „Tatkala itu suasana kacau-balau, kampung halaman kami pernah juga diserbu dan diduduki oleh pasukan Song.

Ibu telah mengungsi bersama hamba dan karena tidak tahan penderitaan dalam pengembaraan, akhirnya ibu meninggal ditengah perjalanan."

„Lalu kau dirawat dan dibesarkan oleh siapa? Apakah kau bersedia menceritakan padaku mengenai pengalamanmu dimasa kanak-kanak?"

„Sesudah ibu meninggal, untunglah ada suatu keluarga petani yang sudi memelihara hamba. Tidak lama kemudian utusan Tan-goanswe datang mencari kami dan hamba telah diketemukan disana. Sejak itulah hamba terlepas dari penderitaan."

„Apakah kau masih ingat kepada keluarga petani itu?"

„Ingat. Keluarga itu she Tho dan berada di suatu desa di daerah Cengciu. Cuma sayang, tiga tahun yang lalu hamba telah berusaha mencari mereka dengan maksud hendak membalas budi kebaikan mereka, namun mereka ternyata sudah pindah dari tempat semula dan entah tinggal dimana kini."

„Siapakah utusan yang dikirim Tan-goanswe untuk mencari kau itu?"

„Adalah seorang perwira sejabat dengan ayahku. Sungguh malang, beliaupun sudah gugur di medan perang pada lima tahun yang lampau."

„Apakah perwira itupun kenal kau pada waktu kau masih kecil." „Kami adalah orang sekampung, setiap kali pulang kampung halaman tentu beliau datang menjenguk kami ibu dan anak. Pada waktu ayah gugur, tahun itu beliaupun pernah mampir dirumah hamba sebelum berangkat bertugas."

„Ya, pertanyaanku ini sungguh bodoh," ujar Wanyen Tiang- ci tertawa. „Sudah tentu Tan-goanswe takkan mengutus seorang yang tidak dikenal untuk mencari kalian."

Apa yang ditanyakan Wanyen Tiang-ci ini sebenarnya sudah pernah dikemukakannya juga kepada Tan-goanswe, cuma dia ingin tahu lebih jelas, maka tanpa bosan-bosan ia bertanya langsung pula kepada Loh Si-hiong.

Diam-diam Wanyeng Tiang-ci berpikir: „Jika bukan bocah yang dicari oleh utusan yang dikirim Tan-goanswe itu tentu tak bisa terlepas dari penyelidikan utusan itu. Selama beberapa tahun ini Loh Si-hiong telah banyak berjasa pula dibawah pimpinan Tan-goanswe, rasanya dia bukanlah mata- mata yang dikirim oleh kerajaan Song selatan."

Setelah berpikir dan merasa tiada sesuatu dari gerak-gerik dan tutur kata Loh Si-hiong yang mencurigakan, segera Wanyen Tiang-ci mengambil keputusan. Tanyanya pula:

„Dirumahmu masih ada anggota keluarga siapa lagi?"

„Aku adalah putera tunggal ayah-ibu dan tiada punya anggota keluarga lain," sahut Si-hiong.

„Anggota keluarga juga tidak terbatas pada saudara sekandung saja. Maksudku, apakah kau pernah mengikat perjodohan, misalnya?"

Tergeraklah hati Si-hiong. Dengan hati-hati ia menjawab:

„Sejak kedua orang tua hamba wafat, hamba hidup sebatang kara dan dengan sendirinya belum mengikat jodoh." — Sampai disini samar-samar ia sudah dapat menduga apa maksud tujuan ucapan Wanyen Tiang-ci itu.

Terdengar Wanyen Tiang-ci berkata pula: „Kedua gurumu mempunyai hubungan yang sangat luas di dunia persilatan. Selama sepuluh tahun kau belajar dibawah asuhan mereka apa juga belum pernah ketemu dengan gadis yang mencocoki?"

„Toa-suhu menderita sakit dan selamanya tinggal menyepi di gunung. Ji-suhu juga merasa berat meninggalkan Toa-suhu sehingga beliaupun jarang keluar rumah. Selama sepuluh tahun hamba belajar disana, tamu yang datang menjenguk kebanyakan adalah sahabat lama Suhu. Sesudah meninggalkan perguruan hamba lantas bekerja dibawah pimpinan Tan-goanswe dan jarang bergaul dengan orang Kangouw, apalagi hendak ketemukan gadis yang mencocoki."

„Ya, hal ini kemarin juga sudah kau ceritakan padaku, akulah yang lupa. Cuma, kau seperti bilang gurumu baru menderita penyakit jahat itu pada sepuluh tahun, bukan?"

Terkesiap hati Loh Si-hiong, pikirnya: „Teliti benar Ong-ya ini, apa yang pernah kukatakan ternyata tiada satu katapun yang dilupakan olehnya."

Perlu diketahui bahwa usia Loh Si-hiong sekarang adalah 23 tahun, pada waktu berumur delapan tahun, utusan Tan- goanswe telah dapat menemukan dia, lalu mengirim dia belajar silat kerumah kedua saudara Tek Jong-hu. Tek Jong- hu sendiri paling mahir dalam ilmu pertabiban dan boleh dikata tiada bandingannya di seluruh negeri Kim. Adiknya Tek Jong-bong hanya belajar silat dan tergolong tokoh-tokoh terkemuka yang dapat dihitung dengan jari di negeri Kim. Loh Si-hiong belajar sepuluh tahun dibawah pimpinan kedua saudara Tek itu, pada umur delapanbelas baru dia meninggalkan perguruan. Sebab itu kalau dihitung waktunya. jika Tek Jong-hu mendapat penyakit jahat (kanker) tentunya terjadi lima tahun kemudian sesudah Loh Si-hiong mengangkat guru padanya.

Begitulah dengan hati-hati Si-hiong lantas menyawab: „Ya, pada waktu hamba berguru kepada beliau memang Toa-suhu belum kena penyakit jahat itu, cuma saja sedikit-sedikit sudah mulai ada tanda-tandanya maka tidak lama kemudian beliau lantas membawa hamba mengasingkan diri ke pegunungan dan tidak mau tahu urusan duniawi pula. Lantaran itu pula beliau telah mendapatkan julukan tabib sakti pengasingan."

„Jika demikian, jadi memang gurumu sama sekali belum pernah membicarakan perjodohan bagimu?"

„Ya. Umur hamba masih terlalu muda. Yang kupikir adalah berbakti kepada negara, apalagi di tengah pasukan, maka tiada punya pikiran untuk berkeluarga.”

Wanyen Tiang-ci bergelak tertawa. katanya: „Bagus! Sungguh seorang pemuda yang berjiwa patriot. Cuma sekarang kau sudah meninggalkan pasukan, umurmu juga sudah 23 tahun, kini sudah tiba waktunya kau berkeluarga. Sesudah berkeluarga juga masih tetap berbakti bagi negara.''

Melihat Loh Si-hiong diam saja, selang sejenak Wanyen Tiang-ci menyambung pula: „Dari berkelahi kau menjadi kenal dengan anak Hong. Ilmu silat dan mukanya kau sudah tahu. Apakah kau suka padanya?"

„Ah, hamba tidak berani," sahut Si-hiong.

„Jadi kau dapat dikatakan suka padanya bukan?" ujar Wanyen Tiang-ci dengan tertawa. „Baiklah, sekarang juga sebagai walinya aku menjodohkan dia kepadamu." Kemana maksud tujuan Wanyen Tiang-ci sejak permulaan pembicaraan sebenarnya Loh Si-hiong sudah dapat menduga beberapa bagian. Tapi kini demi mendengar dari mulut sang pangeran sendiri telah menjodohkan puterinya itu kepadanya, mau tak mau Si-hiong merasa tersipu-sipu juga.

Maka dengan rada gugup Si-hiong menjawab: „Banyak terima kasih atas kebaikan hati Ong-ya, cuma hamba kuatir tidak sesuai untuk menerima anugerah setinggi itu."

„Kau tidak usah rendah hati. Bukan maksud aku memuji puteriku sendiri, sesungguhnya dia dan kau adalah suatu jodoh yang setimpal baik wajah kalian maupun kepandaian. Kau tidak perlu menolak lagi, hari bahagia kalian sudah kupilihkan, yaitu jatuh besok pagi. Aku sengaja memberikan tiga hari libur bagimu."

Segera Si-hiong berlutut memberi sembah dan menyatakan terima kasih. Sekarang ia telah ganti sebutannya dengan

„Ayah mertua''.

Wanyen Tiang-ci membangunkan Si-hiong dan berkata pula: „Orang yang sudah masuk Gian-keng-ih sebenarnya tidak boleh sembarangan keluar kecuali kalau ada urusan khusus, terkadang dua-tiga tahun baru boleh minta cuti. Sudah tentu, hanya beberapa orang tertentu saja yang diberikan kekecualian dan kau termasuk satu diantaranya. Nah, sekarang dapatlah kau memahami apa sebabnya aku sedemikian memperhatikan dirimu bukan? Ha..ha..ha, tentunya aku tidak inginkan puteriku kesepian di kamar pengantinnya, ya toh?"

Wajah Si-hiong merah jengah, katanya: „Atas kebaikan ayah, biarpun hancur lebur badan anak juga belum cukup untuk membalas budimu." „Ucapanmu ini sebaiknya kau katakan kepada isterimu di dalam kamar pengantin nanti," ujar Wanyen Tiang-ci tertawa.

„Baiklah, sekarang kau boleh istirahat. Malam ini boleh kau tidur disini saja, besok barulah pindah ke kamarmu yang baru."

Wanyen Tiang-ci menyuruhnya istirahat, tapi Si-hiong sendiri golak-galik tak bisa pulas. Entah disebabkan terlalu girang hatinya atau lantaran terlalu letih. Atau karena rasa ketakutan atas nasibnya sendiri dikemudian hari yang sukar diramalkan itu? Memang, sekarang dia sudah mulai mencapai tujuannya, selangkah demi selangkah dia sedang menuju ke jalan yang sukses bagi tugas rahasianya, tapi iapun mulai merasakan keletihan lahir batin yang susah dilukiskan.

Ia memadamkan lampu pelita kamarnya dan memandang jauh keluar jendela. Terlihat bintang-bintang berkelip-kelip di atas langit, bulan menghias di tengah cakrawala.

Pemandangan ini menimbulkan kenangannya yang wajar sebagai seorang pemuda. Pikirannya melayang-layang dan mengelamun jauh ke sana, ke suatu tempat yang amat jauh, dalam benaknya timbul suatu bayangan seorang gadis jelita yang pernah bergaul bersama sekian lamanya.

Lama dan lama sekali ia mengelamun. Tanpa merasa terdengarlah sayup-sayup suara kentongan, ternyata hari sudah jauh lewat tengah malam. Si-hiong seperti sadar dari impian, teringat olehnya dirinya sekarang berada di dalam istana pangeran kerajaan Kim yang paling berkuasa, bahkan besok juga dirinya akan menjadi pengantin lelaki. Bayangan si gadis jelita yang terkenang tadi lantas terdesak lenyap oleh bayangannya Tokko Hui-hong.

Sang pangeran telah menjodohkan puterinya kepadanya, bahkan pengantin perempuan ini cantiknya seperti bidadari, adalah Tokko Hui-hong yang namanya terkenal di seluruh negeri. Ini benar-benar penemuan aneh yang sedikitpun tak terduga sebelumnya, malahan mimpipun tak pernah diterkabul. Akan tetapi sekarang Loh Si-hiong menjadi rada gelisah malah.

„Akan bahagia atau celaka?" Inilah yang menjadi pertanyaan. Tapi siapa yang dapat meramalnya?

Si-hiong tersenyum kecut sendiri, terpaksa ia tidak memikirkan lagi, ia memejamkan mata untuk tidur. Jalan yang terbaik baginya adalah pasrah nasib saja.

Pada saat yang sama itu, di dalam suatu kamar lain Tokko Hui-hong juga sedang murung dan gelisah mengenai perkawinan ini.

Waktu dia diberitahu tentang keputusannya oleh Wanyen Tiang-ci, dengan alis menegak dan mulut menjengkit ia menjawab: „Tidak, anak tidak mau menikah."

Dengan tertawa Wanyen Tiang-ci membujuknya:

„Sudahlah, jangan seperti anak kecil saja. Pemuda sudah dewasa harus nikah, perempuan sudah besar harus kawin. Inikan soal jamak."

„Tapi di dunia ini juga adalah perawan tua, yang tidak menikah. Biar anak selama hidup tidak kawin dan rela mendampingi ayah saja."

Melihat kesungguhan ucapan Tokko Hui-hong yang tampaknya bukan pura-pura itu, mau tak mau Wanyen Tiang- ci sendiri menjadi melengak malah. Pikirnya: „Jangan-jangan disebabkan puteraku itu?" Maka dengan suara halus Wanyen Tiang-ci membujuk lagi:

„Anak Hong, apakah kau memandang rendah akan pangkat Loh Si-hiong? Jika demikian halnya boleh tak usah kuatir.

Sesudah menjadi menantuku dengan sendirinya aku akan menuntun dan membela dia, aku tanggung tidak lama kemudian dia akan naik pangkat dan mendapat kedudukan yang baik, masakan kau kuatir takkan mendapatkan kemewahan sepenuhnya? Sesudah kalian menikah, kalian masih boleh tetap tinggal di dalam istana sini. Kita ayah dan anak juga masih tetap dapat bertemu setiap hari."

„Tapi tapi bukan karena soal ini bagiku," sahut Hui-hong dengan terputus-putus. Air matapun berlinang-linang.

Diam-diam Wanyen Tiang-ci juga merasa menyesal.

Pikirnya: „Masakah aku sendiri tidak tahu hubungan antara kau dengan puteraku sendiri itu. Tapi mana boleh aku menjodohkan kalian?"

Sesudah terdiam agak lama, kemudian Wanyen Tiang-ci berkata pula sambil membelai-belai rambut Hui-hong: „Anak Hong, turutlah kata-kataku. Aku dapat mengerti perasaanmu. Tapi saat ini aku sedang memerlukan tenaga yang cakap, dan untuk ini Si-hiong akan sangat membantu kebutuhanku itu.

Aku kuatir dia menyeleweng, untuk ini diperlukan seorang kepercayaanku untuk mendampingi dia. Jika kau menjadi isterinya, terhadap diriku, terhadap negeri Kim kita yang jaya akan banyak manfaatnya. Apakah kau sudah paham? Apalagi baik muka maupun ilmu silat Loh Si-hiong juga tiada yang terbuang, malahan menurut pandanganku, Si-hiong masih lebih unggul setingkat daripada kakakmu."

Keruan malu dan dongkol pula Tokko Hui-hong mendengar kata-kata itu. Pikirnya: „Darimana kau bisa mengetahui perasaanku? Memangnya kau sangka aku kepingin menjadi anak menantumu?" Akan tetapi, betapapun ia tak dapat menceritakan isi hatinya kepada Wanyen Tiang-ci, walaupun merasa penasaran juga tak bisa membela diri, terpaksa dengan mendongkol ia menjawab: „Anak telah menerima budi dari ayah dan sukar membalas kebaikan ini, maka apa yang ayah kehendaki sudah tentu anak akan menurut saja."

Wanyen Tiang-ci tampak merasa puas, katanya: „Bagus, inilah baru puteriku yang baik. Besok juga kau akan menjadi pengantin, maka malam ini boleh kau mengaso agak siangan."

Sebenarnya Wanyen Tiang-ci juga dapat meraba perasaan Tokko Hui-hong, di dalam hati tentu si nona tidak suka atas perjodohan itu, tapi mengingat sesudah menikah nanti mereka tentu akan menjadi baik dan lambat-laun juga akan timbul cinta kasih antara suami-isteri. Jika Hui-hong sudah mau menurut, maka soal inipun sudah beres berjalan dengan lancar.

Begitulah malam itu Hui-hong juga serupa Loh Si-hiong, ia bergulak-galik ditempat tidurnya tak bisa pulas.

Sambil berbaring dan memandangi langit-langit kamar, Hui- hong sedang melamun: „Dimanakah dia berada sekarang?"

„Dia". Ya, antara Loh Si-hiong dan Tokko Hui-hong saat itu sedang sama-sama mengenangkan si dia. Cuma ada sedikit berbeda. Kalau Loh Si-hiong masih mengetahui dimana beradanya si "dia'', adalah sebaliknya Tokko Hui-hong punya si

„dia" sudah lama putus kabar beritanya.

Tokko Hui-hong sedang berpikir pula: „Seumpama aku mengetahui dia berada dimana sekarang, lantas apa yang dapat kulakukan? Apakah aku bisa pergi mencarinya? Dan setelah bertemu dapatkah aku menjadi isterinya? Sudah pasti ayah pangeran takkan meluluskan perkawinan kami.

Dan, kalau toh tak dapat menjadi suami-isteri dengan dia, ya, apa boleh buat, biarkan saja, terserah kepada nasib.

Hanya saja setelah dia mengetahui hal ini entah betapa sedih hatinya?"

Sama sekali Tokko Hui-hong tidak tahu bahwa orang yang sedang murung dan kesal dalam urusan mereka ini tidak cuma dia dan Loh Si-hiong berdua, tapi masih ada lagi orang ketiga.

Sesudah Wanyen Tiang-ci pulang ke kamarnya, pikirannya juga timbul tenggelam tak tetap. Selagi hendak suruhan orang pergi memanggil puteranya, tiba-tiba terdengar pintu kamar diketok pelahan dan terdengar suara: „Ayah, apakah engkau belum tidur?"

Kiranya sebelum dipanggil putera kesayangannya itu sudah datang sendiri. Wanyen Ting-kok, putera tunggal Wanyen Tiang-ci.

Setelah masuk kamar, wajah Wanyen Ting-kok tampak murung dan lesu. Sebelum ditanya ia sudah lantas membuka suara: „Ayah, kabarnya engkau telah menjodohkan adik perempuan kepada orang yang bernama Loh Si-hiong itu?"

„Benar, apakah kau mempunyai pendapat apa-apa tentang hal ini?" tanya Wanyen Tiang-ci.

„Adik Hong bukan adik-kandungku sendiri, maka anak ingin memperisterikan dia."

„Apakah kau sudah gila ? Ini mana boleh jadi?" sahut Tiang-ci. „Ayah, selamanya kau suka memuji kepandaian dan kecerdikan adik Hong, jika dia menjadi menantumu tentu selama hidupnya akan tetap menjadi pembantumu yang terpercaya, cara demikian bukankah paling baik?"

Wanyen Tiang-ci menghela napas, katanya: „Ting-kok, cara demikian tentu akan ditertawai orang. Pertama, Hui-hong hanya anak seorang punggawa kita, soalnya ayahnya pernah menolong aku tanpa menghiraukan jiwanya sendiri, maka aku telah mengambilnya sebagai puteri angkat. Walaupun aku sangat sayang padanya dan memandangnya seperti anak kandungku sendiri, tapi betapapun dia berasal dari kaum hamba, mana boleh dia dijadikan permaisurimu? Kedua, tadi aku memang sudah menjodohkan dia kepada Loh Si-hiong, jika sekarang aku tarik kembali keputusanku, tentu aku akan ditertawai dan diejek orang. Anak Kok, janganlah kau berpikir macam-macam. Yelu-siangkok ada maksud menjodohkan puterinya kepadamu, dalam waktu singkat ini juga aku akan mengirim utusan untuk melamarnya bagimu. Kita harus berbesanan dengan keluarga perdana menteri Yelu, dengan demikian barulah setimpal."

Padahal Wanyen Tiang-ci masih ada suatu alasan yang tidak dikemukakannya, yaitu ia ingin memperalat Loh Si-hiong, untuk ini dia perlu memelet dan mengambil hati perwira muda itu.

Begitulah Wanyen Ting-kok menjadi putus-asa dan semakin lesu. Ia ingin bicara pula, tapi dengan suara bengis sang ayah telah mengomelnya: „Hendaklah kau berpikir secara sadar bahwa apa yang ayah lakukan adalah demi kepentinganmu pula dan kau membikin susah hari depanmu sendiri.

Ketahuilah bahwa Sri Baginda tidak punya anak laki-laki, kita terhitung pangeran yang terdekat, ayahmu memegang kuasa penuh kemiliteran, semuanya ini adalah jaminan bahwa hari depanmu tak terbatas, apa kau dapat memahami maksudku?" Mendengar uraian ayahnya itu, Wanyen Ting-kok tahu bahwa sang ayah sudah ada rencana bilamana Sri Baginda yang bertahta sekarang wafat, maka dengan kekuasaannya yang dipegang sekarang ayahnya bermaksud merebut takhta. Soalnya pangeran-pangeran dari keluarga raja yang terdekat tidak cuma Wanyen Tiang-ci saja sendiri, maka ia perlu mencari dukungan di antara para pembesar, lebih-lebih perdana menteri Yelu yang memegang pemerintahan sipil.

Maka bergiranglah Wanyen Ting-kok, ia manggut-manggut dan menjawab: „Ya, anak paham."

Setelah pembicaraan ini Wanyen Tiang-ci mengira Ting-kok sudah tunduk kepada kata-katanya itu. Ia tidak tahu, meski Wanyen Ting-kok juga sangat kepingin menjadi putera mahkota, walaupun dia patuh juga kepada kata-kata sang ayah dan tidak berkeras ingin memperisterikan Tokko Hui- hong lagi, namun dia toh masih belum melepaskan minatnya kepada Tokko Hui-hong.

Di dalam kamarnya Tokko Hui-hong masih terus bergulang- guling tak bisa tidur. Suara kentongan sudah berbunyi tiga kali, suasana sunyi senyap. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketok. Dengan cepat Hui-hong melompat bangun dan membentak: „Siapa itu?"

„Sssst, jangan bersuara adikku, akulah yang datang!" demikian terdengar jawaban Wanyen Ting-kok di luar pintu dengan suara tertahan.

Tokko Hui-hong terkejut. „He, apakah kakak Ting-kok? Ada urusan apa kau datang kemari pada waktu begini?"

„Bukalah pintu dahulu, marilah kita membicarakannya di dalam," pinta Ting-kok. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar