Musuh Dalam Selimut Bab 03 : Orang Sinting Di Tempat Penyelidikan.

 
3. Orang Sinting Di Tempat Penyelidikan.

„Dahulu pernah ada, tapi kemudian telah terjadi suatu kekacauan, sejak itu orang Han tak bisa dipakai lagi. Kejadian itu adalah tujuh tahun yang lalu, ketika seorang Han bernama Liu Goan-cong yang mahir ilmu silat dan pertabiban, karena namanya sangat tersohor, maka dia telah diundang untuk ikut menyelidiki rahasia-rahasia pusaka itu."

„Terhadap bangsa Han sebenarnya kita sudah mengadakan penjagaan dan pengawasan yang ketat, tak terduga pada suatu malam, di bawah penjagaan jago-jago keraton yang sedemikian rapatnya dia masih berhasil mencuri kabur tigabelas helai gambar penjelasan dari patung tembaga itu."

Apa yang diceritakan Wanyen Tiang-ci adalah apa yang terkenal dengan „peristiwa pencurian pusaka di keraton Kim''. Waktu Loh Si-hiong masih berkelana di Kangouw juga pernah mendengar cerita orang, hanya saja kejadian cerita itu tidak terlalu jelas dan tidak diketahui pusaka apa yang telah dicuri. Dan baru sekarang ia tahu jelas bahwa yang dicuri Liu Goan- cong itu kiranya adalah rahasia mengenai patung tembaga.

Lalu Wanyen Tiang-ci melanjutkan ceritanya: „Waktu itu Liu Goan-cong telah membunuh delapanbelas jago keraton kita, tapi dia sendiripun terluka parah. Aku menyangka dia sudah mati karena luka-lukanya itu, tapi akhir-akhir ini aku mendapat kabar bahwa dia belum mati, bahkan hidup bebas di daerah Kanglam."

Terhadap "peristiwa pencurian pusaka di keraton Kim itu rupanya Wanyen Tiang-ci tidak suka banyak cerita pula, maka sampai disini ia lantas membelokkan pokok pembicaraannya:

„Tapi kejadian demikian untuk selanjutnya dan untuk selamanya takkan terjadi lagi. Kita sudah mengambil segala tindakan penjagaan yang sempurna. Dan lantaran itu juga di dalam lembaga penyelidikan itu telah banyak tambah peraturan-peraturan dan larangan-larangan, ada beberapa larangan-larangan yang tentu akan kau rasakan tidak pantas dan mungkin melanggar prikemanusiaan. Apakah kau sanggup menerima kemungkinan-kemungkinan itu?"

„Demi untuk menjaga segala kemungkinan, adalah jamak jika diadakan penjagaan serapinya," sahut Si-hiong. "Hamba telah bersumpah setia akan berbakti kepada negara dan mengabdi kepada Ong-ya, terjun ke lautan api saja siap sedia, apalagi cuma sedikit derita yang tiada artinya itu. Cuma entah peraturan apakah itu, harap Ong-ya suka memberi penjelasan agar hamba dapat mentaatinya dengan baik."

„Tentang peraturan-peraturan dan larangan-larangan itu aku sendiri tidak ingat sebanyak itu, nanti bila kau sudah berada disana, tentu ada orang akan memberi keterangan padamu," demikian jawab Wanyen Tiang-ci secara hambar. ''Pengurus harian di dalam lembaga itu adalah ajudanku bernama Pan Kian-hau, setiap jam dia selalu berada disana. Sebaliknya aku sendiri tidak tentu, terkadang tiga hari atau lima hari baru berkunjung ke sana satu kali. Baiklah, karena kaupun sudah bertekad untuk berbakti kepada negara, maka hari ini juga kau sudah boleh mulai bekerja. Ini adalah sebuah medali emas, gunakanlah medali ini sebagai pengenal diri dan sekali-kali jangan sampai hilang. Medali ini ada orangnya juga tetap ada, medali hilang orangnya akan binasa. Harap kau ingat baik-baik pesanku ini."

Waktu Loh Si-hiong menerima medali itu dan dilihatnya, ternyata diatas medali emas itu terukir potretnya sendiri, dibawah potret ada tanda angka "124". Diam-diam ia terkejut, pikirnya: „Kiranya sebelumnya Ong-ya sudah menduga dengan pasti bahwa aku tentu akan menerima semua syaratnya dan telah menyiapkan segala sesuatu yang perlu bagiku. Angka pengenal ini mungkin adalah nomorku sebagai tanda orang ke-124 yang ikut dalam tugas rahasia ini.”

„Sebenarnya bila medali emas ini juga tak berguna bagi orang lain andaikan orang berhasil mencurinya darimu," kata Wanyen Tiang-ci dengan tertawa, „tapi bagimu medali ini sama dengan jimat penyelamat jiwamu. Penjaga-penjaga di kantor lembaga penyelidikan itu selalu berganti-ganti, jika ketemukan penjaga yang tidak kenal kau dan kau tidak sanggup memperlihatkan medali emas, maka kau pasti akan dibunuh. Sudah tentu, di ruangan sana kaupun tidak boleh sembarangan bergerak. Tapi nanti bila kau sudah berada disana, tentu Pan Kian-hau akan menerangkan segala peraturannya kepadamu. Nah, bolehlah kau berangkat sekarang."

Ketika Wanyen Tiang-ci membuka pintu kamar penjara itu, ternyata tembusannya adalah sebuah pintu pojok kebun istana pangeran itu. Di luar sudah menunggu sebuah kereta kuda, kusirnya adalah seorang tua yang jenggot dan rambutnya sudah ubanan semua dan sedang mengantuk di atas kereta.

Wanyen Tiang-ci memberi pesan pula: „Tentang dirimu sudah kukatakan kepada Pan Kian-hau, setibanya disana tentu dia akan mengatur segala sesuatu bagimu. Orang ini adalah khusus menjadi kusirmu, selanjutnya setiap hari dia yang akan mengantar kau pulang pergi." Sampai disini kusir tua itu barulah membuka mata dan menguap ngantuk. Lalu katanya: „Silakan naik, Loh-tayjin."

Dan baru saja Si-hiong hendak melangkah ke atas kereta, sekonyong-konyong pandangannya menjadi gelap, dengan kecepatan yang sukar dilukiskan kusir tua itu mendadak mengerudungi kepala Loh Si-hiong dengan sebuah kantong kain.

Sebagai seorang jago silat, menghadapi serangan mendadak ini secara otomatis Si-hiong lantas memberi reaksi, kedua tangannya terpentang hendak menjodok kusir itu, akan tetapi sudah kasip, tahu-tahu kusir tua itu telah menyekapnya dengan kencang seperti jepitan besi kuatnya sehingga Si- hiong tak bisa berkutik.

Tiba-tiba terkilas sesuatu pikiran dalam benak Si-hiong, segera ia tidak melakukan perlawanan lebih jauh. Pada saat itu juga terdengar Wanyen Tiang-ci telah berkata dengan tertawa: „Si-hiong, aku telah lupa memberitahukan padamu. Apa yang terjadi ini termasuk salah satu peraturan bagimu. Kedua matamu harus ditutup baru diperbolehkan berangkat kesana."

Si-hiong menghela napas lega dan diam-diam bersyukur dirinya tadi tidak bertindak sembrono. Jika dirinya mau meronta sekuat tenaga tidaklah mustahil dirinya akan dapat melepaskan diri dari cengkeraman si kusir, akan tetapi dirinya apakah dapat lolos dengan selamat tanpa mengalami sesuatu cidera, inilah yang dirinya tidak yakin. Ternyata kepandaian kusir tua ini masih di atas delapanbelas jago yang telah dikalahkan olehnya kemarin, hal ini yang membuat Loh Si- hiong rada-rada prihatin. Kantong kain itu dengan pas menutup rapat kepalanya dan dapat dijirat di bagian lehernya. Walaupun tidak kencang dan masih longgar untuk bernapas, tapi rasanya tidak enak juga.

Si-hiong tahu bahwa kusir tua ini tidak cuma bertugas mengantar dirinya saja, tentu masih berkewajiban mengawasi gerak-geriknya. Dengan duduk di dalam kereta, dari perasaan dan sentuhannya Si-hiong tahu di luar kereta tertutup pula sehelai tirai. Kusir itu duduk di depan dan membelakanginya, jika dirinya mau membuka kantong kain itu untuk mengintai rasanya tidaklah susah. Tapi mengingat tugas si kusir yang juga mengawasi gerak-geriknya, betapapun Si-hiong tidak berani sembarangan membuka kantong tutup kepala itu.

Kereta kuda itu dilarikan dengan sangat cepat. Dalam keadaan kepala dikerudung rapat Si-hiong merasa seakan- akan terapung di udara dan naik di atas awan. Diam-diam ia heran juga, pikirnya: “Menurut cerita Wanyen katanya Gian- keng-ih itu terletak di dalam istana raja. Dari istananya Wanyen Tiang-ci ke istana raja seharusnya jalannya sangat lapang, mengapa kereta kuda itu seperti naik turun di tanah pegunungan? Apakah barangkali tempat Gian-keng-ih telah dipindah ketempat yang dirahasiakan dan Wanyen Tiang-ci sengaja tidak memberitahukan padaku."

Ini adalah pengalaman yang misterius yang dialami Si- hiong untuk pertama kalinya selama hidup, dengan sendirinya perasaannya rada gelisah. Semalam waktu berada di tengah penjara itu ia merasa dirinya seperti digusur orang ke suatu tempat yang penuh rahasia dengan mata tertutup untuk menerima nasib yang belum dapat diramalkan. Sekarang perasaan demikian itu timbul pula, bahkan lebih hebat. Sebab keadaannya sekarang bukan lagi "seperti'', tapi benar-benar kedua matanya telah ditutup orang dan sedang dihantar ke suatu tempat yang penuh rahasia. Ditengah renungan Loh Si-hiong yang menggelisahkan itu, tiba-tiba terdengar si kusir berkata: „Sudah sampai. Kau sudah boleh membuka kantong itu!"

Waktu Loh Si-hiong melepaskan kerudung kepala itu, ternyata kereta itu berhenti di depan sebuah gedung yang megah dengan genting kaca warna hijau dan emas yang mengkilap, pintu gerbangnya bercat merah tua, dinding pagar tingginya lima-enam meter, tampaknya mirip sebuah istana, tapi lebih mirip sebuah benteng kecil. Sekitar pagar tembok yang tinggi itu penuh pepohonan yang rindang sehingga cahaya matahari tak tertembus. Kalau dipandang dari jauh sukar mengetahui bahwa dibalik pepohonan itu terdapat bangunan semegah itu. Si-hiong merasa bingung, apakah dirinya sekarang, sudah berada ditengah lingkungan istana?

Demikian ia bertanya-tanya dalam hati.

Terdengar petugas yang berjaga disitu menegur: „Siapa itu? Apakah orang baru?"

Kusir tua itu lantas menjawab: „Ya, dia adalah Loh Si- hiong, orang yang dipilih sendiri oleh Ong-ya, kemarin itu.”

Sesudah penjaga memeriksa medali emas, lalu dia menyilakan Loh Si-hiong masuk.

„Aku akan kembali lebih dulu, tiba waktunya kau akan pulang tentu aku akan memapak kemari,” kata si kusir.

Setelah Si-hiong memasuki pintu gerbang itu, seorang perwira telah menyambutnya dan membawanya melalui suatu serambi panjang. Sampai di depan sebuah kamar, perwira itu membuka pintu dan, berkata: „Silakan masuk!" tapi dia sendiri tidak ikut masuk ke dalam. Dengan rasa was-was Si-hiong masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam sudah menunggu dua orang dayang cantik, seorang membawa pakaian dan yang lain membawa kopiah, sepatu dan sebagainya. Dengan suara genit mereka berkata:

„Silakan Loh-tayjin berganti pakaian."

Si-hiong melengak, sebab di dalam rumah itu hanya ruangan terbuka dan tiada sesuatu perlengkapan sebagai tempat berganti pakaian segala, hanya kedua samping ada rak-rak kayu dan tampak tertumpuk peti-peti besi pada setiap kotak rak itu.

„Aku aku harus ganti pakaian disini?" tanya Si-hiong

ragu-ragu.

Dengan tertawa dayang yang berusia lebih tua menjawab:

„Ya, ganti pakaian ini adalah peraturan. Kau belum biasa karena baru datang, lama-lama tentu kau merasa biasa," sambil bicara terus meladeni Si-hiong untuk salin pakaian.

Mendengar kata-kata "peraturan'', Si-hiong tidak dapat menolak lagi, terpaksa ia membiarkan kedua dayang itu melepaskan pakaiannya.

Biarpun Si-hiong sudah terlatih dan gemblengan dalam tugasnya ini, tapi kini tanpa sehelai kainpun berdiri dihadapan kedua wanita muda yang cantik jelita itu mau tak mau ia menjadi merah jengah.

Tapi kedua dayang cantik itu anggap seperti biasa saja, mereka terus menukarkan pakaian Si-hiong dengan baju baru yang telah mereka sediakan itu.

„Apakah senjataku juga harus ditinggalkan disini? tanya Si- hiong. „Benar," sahut dayang tadi. „Segala benda yang kau bawa harus ditinggalkan disini kecuali medali emas pemberian Ong- ya kepadamu itu."

Diam-diam Si-hiong heran, pikirnya: “Sungguh peraturan yang aneh. Mungkin untuk menjaga bila kemasukan mata- mata musuh. Namun peraturan yang terlalu pelik ini sesungguhnya membikin orang rada-rada kikuk."

Setelah menyimpan pakaian Si-hiong beserta pedang dan benda-benda bawaannya ke dalam suatu peti besi, lalu dayang itu berkata: „Diwaktu akan pulang nanti boleh kau ambil kembali barang-barangmu berdasarkan medali emasmu. Mungkin saat mana bukan kami lagi yang dinas jaga.”

Si-hiong melihat peti besi tempat pakaian dan barang- barangnya disimpan itu bertanda nomor "124", yaitu nomor yang sesuai dengan nomor di atas medali emas miliknya.

Kemudian dayang itu membuka sebuah pintu, perwira tadi ternyata sudah menunggu di sini. Segera Si-hiong ikut di belakang perwira itu berseru: „Loh-ciangkun sudah datang!'' Lalu dengan setengah berbisik ia berkata kepada Si-hiong:

„Boleh kau masuk menemui Pan-huthongling.”

Si-hiong tahu Pan-huthongling (wakil panglima) dari pasukan pengawal kerajaan yang dimaksudkan adalah pemimpin Gian-keng-ih itu, maka ia tidak berani ayal, waktu berhadapan segera ia memberi hormat sebagai bawahan kepada atasan,

Pan Kian-hau bergelak tertawa, katanya: „Ong-ya sangat memuji dirimu. Kau tidak perlu sungkan-sungkan, silakan bangun.” -- sambil berkata kedua tangannya bergerak seakan- akan hendak mengangkat bangun Loh Si-hiong. Seketika Si-hiong merasa badannya diangkat oleh suatu tenaga, yang sangat besar, cuma ia masih sanggup bertahan sehingga dapat menjalankan penghormatan sekadarnya.

Dengan tertawa Pan Kian-hau memuji pula: „Pantas kau dipuji Ong-ya, usiamu mungkin belum lebih dari tigapuluh tahun? Dengan usiamu ini sungguh kepandaianmu sudah boleh dikata cukup hebat.”

Walaupun dirinya dipuji, tapi diam-diam Si-hiong sangat terkejut. Pikirnya: „Walaupun kepandaian Pan Kian-hau tidak melebihi Wanyen Tiang-ci, tapi, juga jauh di atasku. Kemarin aku sudah merasa senang karena dapat mengalahkan delapanbelas jago mereka, tapi kalau dipikir sekarang sungguh aku ini terlalu bodoh, sebab jago yang sesungguhnya belum lagi kuhadapi."

Sesudah bicara pula berapa saat secara ramah, kemudian Pan Kian-hau berkata: „Kamarmu sudah kusiapkan, sekarang juga aku membawa kau kesana"

Gian-keng-ih itu ternyata menempati suatu kompleks tanah yang luas, di dalamnya adalah sebuah taman bunga yang luas dan di sana-sini berdiri gedung-gedung secara terpisah sehingga mirip suatu keluarga besar. Setiap gedung itu mempunyai pekarangan sendiri dengan pepohonan dan tanaman bunga yang sedang mekar dengan indahnya.

Diam-diam Si-hiong membatin: „Tempat indah yang menyerupai sorga ini sungguh susah dicari bandingannya, sayang aku tak dapat berdiam disini untuk selamanya."

Belum habis ia berpikir, tiba-tiba terdengar suara kresak- kresek. Waktu ia berpaling, dilihatnya seorang laki-laki di tengah suatu pekarangan sedang menebarkan segenggam pasir ke atas pohon. Di tengah pekarangan rumah itu ada beberapa pohon Tho yang sedang mekar bunganya dan tawon madu bergerombol- gerombol tampak merubung bunga-bunga Tho itu untuk mengisap sari bunga. Ketika laki-laki itu menghamburkan pasirnya, serentak gerombolan tawon madu itu sama jatuh ke atas tanah. Ini masih tidak mengherankan, baru saja Loh Si- hiong menganggap laki-laki itu terlalu kejam karena menggunakan kawanan tawon madu itu sebagai sasaran latihan senjata rahasia, sekonyong-konyong dalam sekejap saja kawanan tawon yang jatuh tadi tahu-tahu telah terbang kembali ke udara.

Baru sekarang Si-hiong terperanjat. Harus diketahui bahwa, menyambit jatuh tawon madu sebanyak itu dengan segenggam pasir sudah terhitung kepandaian yang sulit dipelajari, walaupun Si-hiong sendiri sekadarnya masih mampu melakukannya, tapi kalau mesti menirukan cara orang itu, yaitu tenaga sambitannya tiba cukup untuk menyambit pingsan tawon itu tanpa membinasakannya sehingga dalam waktu singkat tawon kecil itu dapat terbang lagi, kepandaian menggunakan senjata rahasia demikianlah yang benar-benar sukar dilatih dan bahkan belum pernah dilihat oleh Loh Si- hiong.

Diam-diam Si-hiong membatin: „Kepandaian menyambit jarum seperti apa yang dipertunjukkan Wanyen Tiang-ci semalam mungkin masih kalah lihay kalau dibandingkan kepandaian orang ini. Tampaknya di tengah Gian-keng-ih ini benar-benar tidak sedikit terdapat orang-orang kosen."

Dalam pada itu terdengar Pan Kian-hau telah berkata dengan tertawa: „Sudah tiga tahun lamanya orang ini mempelajari gambar penjelasan Hiat-to-tong-jin dan sama sekali belum dapat memecahkan rahasia gambar itu, mungkin saking kesalnya jadi dia melampiaskan mendongkolnya kepada kawanan tawon. Tapi kita tak perlu gubris dia, marilah kita terus ke sana."

Setelah melewati dua gedung yang lain, kembali ketemu orang kosen dan peristiwa aneh pula.

Di ruangan gedung itu tengah duduk seorang kakek berjenggot dan rambut ubanan dan sedang menyambitkan

biji-biji catur ke atas dinding di sebelah depan. Setiap biji catur itu sama ambles dan tercetak di dalam dinding, dalam sekejap saja di atas dinding sudah terlukis sebuah papan catur.

Dengan tertawa Pan Kian-hau menyapa: „Janganlah kakek terburu-buru nafsu, pelajarilah secara pelahan-lahan saja. Lain hari aku akan mencari kawan bercatur bagimu."

Sembari bicara ia sudah melangkah ke dalam ruangan itu, mendadak lengan bajunya yang gondrong mengebas, secomot biji catur yang dihambur oleh sikakek beruban tadi telah kena digulung semua. Sambil tertawa Pan Kian-hau mengembalikan biji-biji catur itu kepada si kakek, lalu ia melangkah keluar kembali.

„Orang ini sudah tua, tidak tersangka tabiatnya masih begini keras," katanya kepada Loh Si-hiong.

„Ada apalagi dengan orang tua itu?" tanya Si-hiong.

„Dia telah mempelajari bab ketujuh dari kitab pusaka tinggalan Tan Hu, tapi dia telah kebentur pada suatu soal sulit. Sudah lima tahun lamanya dia berpikir secara tekun, tapi soal itu belum terpecahkan. Dia paling suka main catur, di waktu kesal dia tidak punya kesukaan lain, terpaksa dia main catur dengan dirinya sendiri untuk menghilangkan waktu iseng. Tapi akibatnya semakin kesal dan akhirnya dia melampiaskan rasa kesalnya dengan membanting papan catur dan melempar biji catur.”

„Aneh juga orang tua itu," ujar Si-hiong tertawa. Tapi diam- diam hatinya tambah was-was. Baru sekarang ia tahu bahwa, jago-jago kelas satu negeri itu tidak berada di tengah pasukan pengawal, tapi terhimpun di Gian-keng-ih, di lembaga penyelidikan kitab pusaka ini. Sungguh membikin orang patah semangat bilamana mengetahui bahwa tokoh-tokoh dan

orang-orang pandai sebanyak itu sama berubah sinting lantaran mempelajari rahasia kitab pusaka tinggalan Tan Hu serta patung tembaga itu.

„Beberapa orang ini masih mendingan, bahkan banyak diantara mereka benar-benar telah menjadi gila,” tutur Pan Kian-hau. „Cuma, sudah tentu kau berbeda daripada mereka, sebab dalam hal ilmu silat dan pertabiban kau sudah mempunyai dasar yang baik, usiamu muda dan tenaga kuat apalagi dengan izin khusus Ong-ya kau diperbolehkan pulang di waktu malam sehingga tidak seperti mereka, sedemikian tekunnya belajar sampai-sampai ada yang sepuluh tahun lamanya tak pernah keluar rumah ini.”

Sampai disini Pan Kian-hau merandek sejenak dan memandang Loh Si-hiong sekejap, lalu menyambung dengan tertawa: „Tidak pernah keluar rumah selama sepuluh tahun, pantas saja ada yang sampai gila. Sebab itulah sekarang aku telah banyak memberi kelonggaran mengenai tata tertib di sini, terkadang akupun mengizinkan mereka berhubungan satu sama lain untuk bersahabat, apa kesukaan mereka akupun dapat memenuhi keinginan mereka. Tapi, kau dikecualikan tentu, maka jangan kuatir."

Dari uraiannya ini teranglah bahwa setiap anggota Gian- keng-ih itu bukan saja tidak boleh sembarangan keluar rumah, bahkan biasanya juga dilarang berhubungan satu sama yang lain sampai hari tua.

Segera Loh Si-hiong berkata: „Banyak terima kasih atas perhatian Ong-ya dan Pan-tayjin terhadap diriku. Cuma akupun tidak ingin dikecualikan, bagaimana tata-tertib di sini biarlah aku lakukan saja seperti yang lain-lain."

„Kau adalah perwira kesayangan Tan-goanswe, kau telah banyak berjuang di medan bakti bersama beliau, jiwamu yang setia kepada negara dan Sri Baginda sudah tentu Ong-ya dapat mempercayai kau sepenuhnya. Pula, dengan cara pengaturan demikian Ong-ya juga mempunyai maksud tertentu, kau sendiri tidak perlu merasa rikuh."

Terpaksa Si-hiong mengiakan dan tidak berani banyak omong lagi.

Ketika kemudian Pan Kian-hau menyatakan sudah sampai di tempat tujuan, ia membawa Si-hiong ke dalam sebuah rumah, rumah ini ada tiga kamar, yang ditengah berbentuk kamar kerja, kedua kamar samping tertutup rapat dan entah apa isinya. Di bagian luar ada suatu pekarangan yang penuh tertanam tumbuh-tumbuhan bunga dan sebagainya.

Sesudah masuk kamar kerja itu, Pan Kian-hau bertepuk tangan satu kali, dari kedua kamar samping masing-masing lantas muncul seorang Kiong-go (dayang perempuan) dan seorang Wi-su (pengawal).

„Mulai hari ini kalian harus melajani Loh-tayjin ini," kata Pan Kian-hau.

Lalu katanya pula kepada Si-hiong: „Selanjutnya segala keperluanmu misalnya makanan dan minuman, dayang inilah yang akan melayani kau. Pengawal ini adalah pesuruhmu, jika kau ada urusan perlu mencari aku boleh suruh dia lapor kepadaku. Selain itu dia merangkap tugas juga agar bila terjadi sesuatu di luar dugaan kau sendiri tidak perlu repot. Misalnya ada orang gila mau menerobos masuk kesini, ini termasuk salah satu yang diluar dugaan itu."

Si-hiong mengiakan dengan mengangguk. Sudah tentu ia pun paham bahwa dayang dan pengawal itupun bertugas mengawasi dia.

„Di atas meja situ ada sebuah lukisan dengan keterangan- keterangan tentang Hiat-to-tong-jin, gambar itu adalah bahan penyelidikanmu, sesudah kau mempelajari segala rahasianya dengan jelas, silakan kau mencatat segala sesuatu hasil penemuanmu itu, lalu serahkan padaku bersama gambar itu," demikian kata Pan Kian-hau lebih lanjut. „Cuma, kau hanya boleh mempelajari dan menyelidikinya disini saja, secarik kertaspun dilarang dibawa keluar. Apa kau sudah mengerti?"

Si-hiong mengangguk, tanyanya kemudian: „Tentang patung tembaga itu seluruhnya ada berapa gambar?”

„Duabelas mengenai urat, 15 mengenai nadi, seluruhnya menjadi 27 gambar," sahut Kian-hau. „Selain itu masih ada urat nadi tersembunyi yang aneh dan berhubungan erat dengan ilmu silat tingkat paling tinggi, tentang ini telah dipecah ke dalam bagian penyelidikan rahasia Lwekang dan mempunyai 16 gambar tersendiri."

Tampaknya bibir Si-hiong bergerak-gerak seperti ingin bicara sesuatu, tapi urung diucapkan.

„Apa barangkali kau anggap sebuah gambar terlalu sedikit bagi penyelidikanmu?" tanya Kian-hau tertawa. „Harus diketahui bahwa banyak sekali kaum cerdik-pandai yang berkumpul disini, tapi sebuah gambar saja terkadang tiada diketemukan sesuatu apapun oleh mereka meski selama beberapa tahun mereka tekun menyelidiki dan menyelami. Sudah tentu, kau adalah murid pujian tabib sakti Tek- locianpwe, boleh jadi kau akan lebih hemat waktu daripada mereka. Namun ada baiknya juga bila kau tetap maju setindak demi setindak dan jangan terburu-buru ingin cepat".

„Benar, Wanpwe yang tidak berbakat ini mana berani terburu nafsu ingin cepat?" sahut Si-hiong. Dan karena itu, apa yang mestinya hendak diucapkan Loh Si-hiong lantas tidak jadi dikatakan.

„Dan buku-buku yang terdapat di rak dinding ini adalah kitab-kitab ilmu pengobatan yang bersangkut-paut dengan gambar yang akan kau selidiki ini, mungkin dapat kau gunakan sebagai bahan tambahan," kata Pan Kian-hau pula.

Sesudah Pan Kian-hau pergi, dayang itupun mengundurkan diri ke dalam kamar samping dan si pengawal berjaga di luar, di dalam kamar kerja kini hanya tinggal Si-hiong sendirian.

Ia coba memeriksa gambar itu, sampai sekian lamanya, akhirnya ia dapat mengetahui gambar itu adalah sebagian kecil daripada lukisan urat-urat nadi badan manusia, yaitu bagian kaki dan perut, hanya suatu bagian yang tidak terlalu penting daripada 12 urat nadi besar.

Diam-diam Si-hiong merasa kecewa, pikirnya: „Kukira akan dapat melihat bentuk patung tembaga yang asli, siapa tahu hanya sebuah gambar demikian ini. Jika demikian, sekali pun aku dapat melihat ke-27 gambar seluruhnya dan tetap belum bisa melihat patungnya juga masih belum lengkap artinya.

Apalagi masih ada kitab pelajaran Lwekang tinggalan Tan Hu, entah kapan lagi aku baru dapat melihatnya?" Namun demikian ia tahu melulu sebuah gambar itu saja sudah cukup ruwet untuk bisa memahaminya dengan baik, ia merasa dalam setahun saja rasanya belum yakin dirinya dapat memahaminya.

Menurut pikiran Loh Si-hiong, asalkan dapat melihat patung aslinya tentu hasilnya akan sudah tercapai separohnya. Tapi kini hanya sebuah gambar saja yang dihadapkan padanya, ini berarti kebalikannya daripada perhitungannya semula.

Ia menduga apa, yang diatur sekarang ini tentu disebabkan peristiwa pencurian pusaka oleh Liu Goan-cong dahulu itu, maka sekarang penjagaan sengaja diperkeras. Akan tetapi dengan demikian setiap orang hanya diberikan sebuah gambar yang satu dan lain tiada bersangkutan sehingga terpaksa harus mempelajarinya secara tidak menentu dan banyak tenaga serta waktu yang terbuang percuma, pantas saja di Gian-keng-hi ini sedemikian banyak orang menjadi sinting lantaran memikirkan isi gambar yang tiada ujung-pangkalnya itu.

Sesungguhnya Loh Si-hiong telah dapat melihat dimana letaknya pokok persoalan tadi sebenarnya iapun ingin mengajukan pendapatnya itu kepada Pan Kian-hau, tapi kuatir menimbulkan curiga orang, maka akhirnya ia telan kembali kata-katanya yang hampir diucapkan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar