Musuh Dalam Selimut Bab 02 : Rahasia Patung Tembaga

 
2. Rahasia Patung Tembaga

Rupanya Loh Si-hiong telah menggunakan tipu pancingan, ia sengaja mengalah supaja pihak musuh merasa unggul, tapi pada suatu kesempatan yang lain ia lantas balas menyerang dengan ilmu pedangnya yang lihay dan dengan gerakan yang amat cepat pedangnya telah merobek “kulit muka" lawan, menjusul segera ia bermaksud menutuk Hiat-to untuk merobohkannya.

Diluar dugaan, disamping mereka masih ada seorang pula yang bertindak lebih cepat daripada Loh Si-hiong, ketika ujung pedang Loh Si-hiong sudah hampir menusuk di tempat Hiat-to yang diincar, mendadak terdengar "tring" satu kali, tangan Loh Si-hiong terasa kesemutan, pedangnya terpental jatuh terbentur sambitan senjata rahasia seseorang.

Ternyata senjata rahasia yang digunakan penyambit itu tidak lebih hanya sebatang jarum Bwe-hoa-ciam saja.

Jarum adalah senjata rahasia yang punya bobot paling ringan, tapi benda sekecil itu ternyata bisa menimpuk jatuh pedang yang terpegang ditangan Loh Si-hiong, hal ini sungguh-sungguh sukar dibayangkan. Bahkan lebih dari itu, ilmu silat orang yang belum kelihatan itu pasti lebih-lebih sukar di ukur, sebab di dalam kamar penjara itu hanya terdapat Loh Si-hiong serta orang aneh yang berkepala besar itu, jadi sudah pasti penyambit jarum itu masih berada di luar kamar. Padahal sekeliling kamar batu itu hanya dinding belaka tiada terdapat jendela atau lubang lain, pastilah jarum kecil itu disambit masuk melalui sebuah lubang yang amat kecil.

Tapi yang membuat kejut Loh Si-hiong tidak melulu karena pedangnya tertimpuk jatuh oleh jarum kecil itu, masih ada pula sesuatu yang dirasakannya sebagai hal yang luar biasa.

Sesudah “kulit muka" orang berkepala besar itu tertusuk robek, mendadak orang itu lantas mengeletek kulit mukanya yang lebih mirip sebuah selubung kepala, maka tertampaklah rambut yang panjang terurai dan sepasang alis yang lentik menaungi sepasang mata yang celi, nyata sekali yang berhadapan dengan Loh-Si-hiong sekarang ternyata adalah seorang nona yang amat cantik yang tadinya memakai kedok. Memang sedari semula Loh Si-hiong sudah menduga lawannya pasti memakai kedok, hanya tidak disangkanya bahwa orang itu adalah seorang wanita, bahkan adalah nona sangat cantik yang selamanya belum pernah dilihatnya.

Begitulah, pada saat si nona membuka kedoknya sendiri, segera pintu kamar batu itupun didorong dan masuklah seorang sambil bergelak tertawa: „Ha..ha, ujian babak terakhir sekarangpun sudah selesai!"

Siapakah orang yang melangkah masuk dengan bergelak tertawa itu? Ternyata bukan lain daripada tuan rumah, panglima pasukan pengawal kerajaan Wanyen Tiang-ci adanya.

Baru sekarang Loh Si-hiong sadar bahwa apa yang dialaminya tadi tak lain tak bukan adalah ujian ketiga atau terakhir yang telah sengaja diatur oleh Wanyen Tiang-ci. Diam-diam ia bersyukur dan merasa beruntung atas ketabahan hatinya tadi, kalau tidak tentu rahasianya

sendiripun sudah terbongkar. "Semoga selanjutnya takkan ada percobaan-percobaan yang aneh-aneh lagi, kalau tidak, tentu tugasku bisa runyam," demikian pikirnya.

Sudah tentu, akan ada percobaan lagi atau tidak hanya Wanyen Tiang-ci saja yang bisa memberi jawaban tepat. Melihat wajahnya yang berseri-seri, jelas sekali ia merasa sangat puas terhadap hasil ujian Loh Si-hiong tadi. “Mungkin dia takkan mengadakan percobaan-percobaan sulit padaku lagi," demikian Loh Si-hiong membatin pula.

„Ha..ha..ha, sesudah berkelahi, sekarang kalian harus berkenalan," demikian Wanyen Tiang-ci berkata. „Mari kuperkenalkan kalian. Dia adalah perwira muda kepercayaan Tan-goanswe, namanya Loh Si-hiong. Dan ini adalah puteriku, namanya Hui-hong."

Si-hiong terkejut, cepat-cepat ia menanggapi: „Wah, hamba tidak tahu adalah tuan puteri adanya sehingga berlaku kasar kepada Keke (sebutan puteri bangsawan negeri Kim), harap Ong-ya sudi memberi ampun."

Walaupun begitu omongnya, tapi diam-diam Loh Si-hiong rada ragu-ragu, sebab menurut keterangan Tan-goanswe, katanya Wanyen Tiang-ci hanya punya seorang anak laki-laki dan tidak punya anak perempuan. Apakah mungkin Tan- goanswe tidak tahu jelas keadaan keluarga pangeran ini atau jangan-jangan Hui-hong Keke ini adalah ..............

Rupanya Wanyen Tiang-ci dapat melihat rasa sangsi Loh Si- hiong itu, segera ia menerangkan: „Meski Hui-hong adalah puteri-angkatku, tapi aku paling sayang padanya. Ilmu silatnya adalah ajaranku sendiri. Bagaimana, lumayan bukan?"

Baru sekarang Si-hiong paham duduknya perkara: “Benarlah kalau begitu. Kiranya nona ini adalah 'Ciong- thian¬hong' (cenderawasih terbang dilangit) yang tersohor itu, ternyata memang tidak bernama kosong!"

Kiranya Wanyen Tiang-ci mempunyai seorang punggawa pribadi yang she Tokko, selama hidupnya sangat setia kepada majikannya itu dan telah banyak mendampingi Wanyen Tiang- ci di medan perang. Pada suatu peperangan dengan kerajaan Song selatan pengawai pribadi she Tokko itu telah gugur dan meninggalkan seorang puteri yang masih kecil. Puteri itu kemudian diambil dan dibesarkan oleh Wanyen Tiang-ci.

Ilmu silat Tokko Hui-hong sangat tinggi, lincah dan cerdik pula sehingga sangat disayang dan dipercayai oleh Wanyen Tiang-ci. Tidak hanya urusan-urusan rumah tangga sang pangeran saja yang dipasrahkan kepada puteri angkatnya itu, bahkan banyak urusan dinas, persoalan kenegaraan yang penting sering-sering Wanyen Tiang-ci juga ajak berunding dan minta pendapat Tokko Hui-hong.

Hui-hong sudah biasa hidup bebas dan suka naik kuda menyelajahi seluruh wilayah ibukota. Sering juga ia diganggu oleh pemuda-pemuda bangor yang tidak kenal asal-usulnya, tapi akibatnya pemuda-pemuda bangor itu mendapat hajaran setengah mati. Setelah peristiwa demikian terjadi beberapa kali, akhirnya setiap penduduk ibukota lantas kenal Hui-hong adanya dan tiada seorangpun yang berani lagi main gila padanya.

Begitulah maka Tokko Hui-hong telah mendapat julukan "Ciong-thian-hong" dari penduduk ibukota untuk ketangkasannya. Nama julukan ini baru dikenal Loh Si-hiong setibanya di kotaraja. Maka sekarang setelah mengetahui siapa si nona, Si-hiong tidak berani lagi, cepat ia memberi hormat: „Ilmu silat Keke benar-benar sangat lihay, sungguh hamba sangat kagum."

Tokko Hui-hong hanya mendengus saja acuh tak acuh tampaknya.

Dengan tertawa Wanyen Tiang-ci berkata: „Anak Hong, meski kau kalah satu jurus, tapi tidak berarti kau kehilangan muka. Kau tidak tahu bahwa delapanbelas jago pilihan kitapun dikalahkan olehnya. Nah, tentunya kaupun merasa kagum terhadap kepandaiannya bukan?''

„Benar," sahut Hui-hong sambil menjengkitkan mulutnya yang kecil, „jurus serangannya tadi memang boleh juga. Tapi tindakan ayah tadi yang tidak betul." Wanyen Tiang-ci melengak, ia merasa ucapan puteri angkatnya itu rada aneh, apakah maksudnya mengomel atau menganggap rencana yang telah diaturnya itu tak tepat? Ia pikir nanti perlu ditanyakan lebih jelas kepada si nona. Segera dengan tertawa ia berkata: „Ya, memang jarum yang kusambitkan tadi rada kasip sedikit sehingga kau hampir tercidera. Maklumlah, selama beberapa tahun terakhir ini aku kurang berlatih, rasanya kepandaianku telah banyak mundur."

Lalu ia berpaling kepada Loh Si-hiong dan berkata pula: “Kepandaianmu ternyata lebih tinggi daripada perkiraanku semula. Tadinya kusangka akan dapat menimpuk jatuh pedangmu, siapa duga seranganmu sedemikian cepatnya sehingga anak Hong hampir-hampir terluka. Tapi untung juga kau tidak sampai melukainya, kalau tidak, he..he, mungkin jarumku juga akan kutimpukkan dengan cara lain."

Si-hiong terkesiap dan membatin: “Baiknya aku telah pakai perhitungan dan tahu si nona memakai kedok, tujuanku hanya ingin menyingkap kedoknya untuk melihat wajah aslinya saja dan sama sekali tidak bermaksud melukai dia. Kalau tidak tentu urusanku bisa runyam dan rencanaku bisa gagal total."

Walaupun didalam hati merasa was-was, namun lahirnya Si-hiong berlaku tenang saja dan berkata: „Kepandaian menimpuk jarum Ong-ya benar-benar sudah maha sempurna, dibandingkan kepandaianku yang mirip cakar ayam sungguh hamba boleh dikata tidak ada artinya lagi."

„Kaupun tidak perlu merendah hati," ujar Wanyen Tiang-ci.

„Asal kau giat berlatih, tidak sampai sepuluh tahun tentu kau akan melampui aku. Cuma saja aku masih ada suatu persoalan yang hendak kutanyakan padamu."

„Silakan Ong-ya tanya," sahut Si-hiong dengan hormat. Dengan wajah serius Wanyen Tiang-ci berkata: „Dalam keadaan tadi, anak Hong telah mengatakan dia adalah mata- mata musuh Song, mengapa kau lantas hendak membunuhnya? Apa barangkali kau sudah tahu dia berdusta dan kenal siapa dia?"

Dengan sangat hati-hati dan hormat Loh Si-hiong menjawab: „Hamba benar-benar tidak tahu. Cuma menurut pendapat hamba, segala sesuatu yang terjadi di tengah istana, tak peduli menyangkut siapa, adalah seharusnya dimintakan keputusan kepada Ong-ya, itulah hamba tidak berani sembarangan membunuh orang."

„Ehm, tindakanmu sangat tepat," puji Wanyen Tiang-ci dengan tertawa. „Orang berkepandaian tinggi mudah dicari, tapi orang yang pandai berpikir dan selalu hati-hati dalam setiap langkahnya yang sukar dicari. Baiklah, ujianmu yang terakhir ini hasilnya sangat memuaskan aku. Sekarang aku akan memberikan tugas kepadamu. Cuma aku masih harus tanya dulu pendapatmu.”

„Asalkan dapat mengabdi dibawah pimpinan Ong-ya, biar pun terjun ke lautan apipun hamba siap sedia,'' sahut Loh Si- hiong.

Tiba-tiba Hui-hong memberikan hormat kepada ayah angkatnya dan berkata: „Kalian hendak bicara urusan dinas, biarlah anak mohon diri saja."

Setelah Tokko Hui-hong pergi perlahan-lahan Wanyen Tiang-ci bicara pula: „Apakah kau mengira aku akan memberi tugas berat kepadamu. Ucapanmu tadi sebenarnya salah. Aku tidak perlu kau terjun ke lautan api segala. Sebab pada hakikatnya aku tidak akan memberi tugas padamu untuk pergi ke medan perang." Si-hiong melengak. Sahutnya kemudian: „Terserah kepada perintah Ong-ya, segala pekerjaan pasti, akan hamba lakukan dengan baik."

„Sebenarnya dengan ilmu silat yang kau miliki sekarang seharusnya kau menjabat sesuatu tugas kemeliteran, tapi sekarang tugas yang akan kuberikan justru memerlukan ketekunan seperti kaum pelajar yang asyik bersekolah di dalam kamar, setiap hari kau harus menutup diri di dalam rumah dan mungkin selama hidupmu akan kau lewatkan secara demikian, segala nama, pangkat dan kemewahan takkan kau rasakan pula. Apakah kau siap menerima tugas demikian?"

„Hamba hanya tahu mengabdi bagi Ong-ya, asal Ong-ya memberi perintah setiap saat hamba siap melaksanakannya.”

„Bagus. Jika demikian, sekarang juga aku dapat memberitahukan apa yang harus kau kerjakan. Aku ingin tanya dulu padamu, apakah kau tahu benda apa "Hiat-to- tong-jin” (boneka atau patung tembaga berlukiskan Hiat-to)? Sebab tugasmu ini harus dimulai dari pengenalan patung tembaga ini.”

“Hamba tidak tahu tentang patung demikian itu."

„Apakah gurumu juga tidak pernah bercerita padamu?" tanya Wanyen Tiang-ci pula dengan rada heran.

„Tidak pernah."

Wanyen Tiang-ci manggut-manggut, ternyata gurumu dapat tutup mulut sedemikian rapatnya. Biar kuberitahu sekarang juga, Hiat-to-tong-jin itu adalah pusaka negara Tiongkok". „Hah, pusaka negara Tiongkok?" Si-hiong menegas. „Lalu apa manfaatnya bagi kita?"

„Manfaatnya sangat besar," sahut Wanyen Tiang-ci sambil tersenyum. „Patung tembaga kita. Dahulu, belasan tahun yang lalu waktu kita menyerbu kesana, ke kotaraja Song, kita telah dapat menawan dua raja mereka, yaitu raja Wi dan Gim, lantaran itu kerajaan Song terpaksa mengungsi ke daerah selatan. Soal kita dapat melawan kedua raja musuh itu adalah tidak mengherankan, yang paling berharga adalah Hiat-to- tong-jin yang kita rampas itu."

„Dimanakah letak manfaat patung tembaga itu?" tanya Si- hiong.

„Diatas badan patung tembaga itu terukir titik-titik Hiat-to secara sangat terperinci, urat-nadinya terlukis sangat terang, setiap kitab ilmu silat atau ilmu pertabiban yang menyangkut pelajaran Hiat-to tiada yang lebih jelas terang daripada patung tembaga ini. Maka dari itu siapa saja, apakah dia tabib sakti atau maha guru ilmu silat, yang diharap-harapkan tentu juga dapat melihat bentuk asli patung tembaga ini."

Terhadap ilmu silat dan ilmu pertabiban Loh Si-hiong memang telah pernah mempelajarinya secara mendalam, maka sekali dengar saja segera paham. Ia mengangguk dan berkata: „Jika demikian patung itu benar-benar benda mestika yang tiada bandingannya di dunia."

Wanyen Tiang-ci memandang Loh Si-hiong sekejap, lalu berkata pula: „Gurumu adalah tabib nomor satu dari negeri kita, gurumu yang kedua juga ahli silat terkemuka. Kabarnya Taysuhumu (gurumu yang pertama) sangat ahli dalam hal Ciam-kiu (pengobatan dengan tusuk jarum, akupuntur). Maka terhadap Hiat-to tentunya kaupun sudah mempelajarinya dengan baik?" „Menurut ilmu pertabiban yang telah kupelajari tentang urat-nadi dan Hiat-to ditubuh manusia adalah sangat ruwet dan macam-macam bentuknya. Ada 12 Keng-meh, ada 15 Keng-loh, ada pula yang disebut titik-titik Hiat-to tersembunyi yang disebut Ki-keng-pat-meh di dalam isi perut. Taysuhuku pernah berkata padaku bahwa apa yang telah dipahami beliau tentang Hiat-to tidak lebih hanya tiga atau empat persepuluh bagian saja. Sedangkan kepandaian Suhu yang diajarkan kepadaku juga cuma satu-dua bagiannya saja, sebab itulah sesungguhnya aku belum dapat dikatakan mempelajari tentang Hiat-to segala."

„Ah, kau terlalu rendah hati," kata Wanyen Tiang-ci tersenyum. „Sesungguhnya keajaiban urat nadi dan titik-titik Hiat-to di tubuh manusia memang terlalu mendalam dan sampai sekarang belum terpecahkan secara ilmiah. Tentang patung tembaga itu kita sudah pernah mengundang puluhan, bahkan ratusan ahli-ahli silat serta tabib-tabib kelas tinggi di seluruh negera untuk mempelajarinya bersama selama sepuluh tahun, tapi sampai kini rahasianya masih tetap belum dipecahkan."

Sampai disini Wanyen Tiang-ci berhenti sejenak, kemudian melanjutkan pula: „Sebab itulah aku sebenarnya ada suatu pertanyaan yang belum terjawab. Bahwasanya Hiat-to-tong-jin itu adalah benda mestika yang sangat diingini oleh ahli silat dan tabib sakti manapun juga, walaupun hanya dapat melihatnya saja, lantaran itu orang yang aku undang tiada satupun yang tidak hadir dengan penuh minat, tapi hanya ada satu orang saja yang terkecuali, orang itu bukan lain adalah Taysuhumu."

„Taysuhu sendiri" tidak pernah bicara tentang hal ini kepadaku, maka hambapun tidak tahu duduknya perkara," sahut Si-hiong. „Tapi menurut sepanjang tahuku, sejak sepuluh tahun yang lalu Taysuhu menderita penyakit yang tak tersembuhkan, berkat kepandaian beliau dalam hal ilmu pengobatan barulah beliau dapat bertahan sampai saat ini.

Maka beliau selama ini tidak pernah menggunakan otak lagi, yang dia lakukan hanya mengajarkan apa yang telah beliau pahami dan tidak mau peras otak untuk memikirkan urusan lain."

„O, kiranya demikian, pantas dia telah mau melepaskan kesempatan yang bagus untuk melihat benda mestika yang sukar dicari ini," ujar Wanyen Tiang-ci. „Tapi kau jangan salah paham, sekali-kali aku tidak punya prasangka apa-apa kepada Taysuhumu, kalau tidak, tentu akupun takkan menerima kau atas usul Tan-goanswe. Aku hanya sekadar ingin tahu apa sebabnya Taysuhumu tidak ikut hadir ke sini."

„Hamba paham, atas kebijaksanaan Ong-ya sungguh hamba sangat berterima kasih,” sahut Si-hiong.

„Tapi Taysuhumu hanya mengetahui adanya sebuah patung tembaga mestika, padahal masih ada suatu benda mestika lain yang tak diketahui olehnya. Mestika ini ada sangkut-paut yang erat dengan patung tembaga, biarlah kuceritakan pula kepadamu. Benda ini adalah mestika kedua dari kerajaan Song, bicara tentang nilainya boleh dikata tidak dibawah patung tembaga itu, malahan benda ini mempunyai suatu cerita tersendiri dalam sejarah.

„Kau sendiri pernah ikut berperang dengan kerajaan Song, tentu kaupun cukup tahu sedikit banyak sejarah kerajaan musuh kita itu. Tio Khong-in, itu raja cakal bakal dinasti Song, bagaimana asal usulnya, apakah kau tahu?"

Pertanyaan ini rada diluar dugaan Loh Si-hiong, dengan sangat hati-hati ia menjawab: „Kabarnya raja Song yang sekarang, Tio Ko, adalah seorang penguasa yang lalim tapi lemah. Adapun mengenai raja cikal bakal mereka, karena termasuk sejarah lama, hamba tidak banyak mempelajarinya."

„Tapi sedikit banyak tentupun tahu bukan?"

„Ya, konon Tio Khong-in adalah seorang panglima perang yang mahir. Waktu pasukannya berpangkalan di Hong-kiu, anak buahnya telah mengadakan pemberontakan kepada kerajaan Ciu, lalu mendukung Tio Khong-in sebagai raja dengan sebutan Song. Konon Tio Khong-in adalah seorang ahli militer yang lihay."

„Memang, Tio Khong-in bukan saja seorang ahli kemiliteran, bahkan dia adalah seorang jago silat yang ahli."

„O, kiranya demikian. Hal ini hamba tidak tahu," kata Si- hiong.

„Di dalam pasukan kalian, apakah 'Thay-co-kun' dan 'Ji- seng-pang' cukup populer?" tanya Wanyen Tiang-ci.

„Ya, memang sangat banyak perajurit yang mempelajari kedua macam kepandaian itu. Cuma menurut pendapatku, kepandaian itupun tidak lebih daripada ilmu pukulan dan permainan toya yang umum."

„Ah, soalnya karena orang yang mempelajarinya tidak memperoleh didikan murni dari kedua macam kepandaian itu," ujar Wanyen Tiang-ci. „Sesungguhnya ilmu pukulan dan ilmu permainan toya itu sangat hebat. Tapi yang ingin kubicarakan bukanlah tentang ilmu pukulan dan permainan toyanya, tapi adalah asal-usul kedua macam ilmu silat itu. Apakah kau sudah tahu?"

„Pengetahuan hamba terlalu dangkal, mohon Ong-ya memberi petunjuk," sahut Loh Si-hiong. „Seperti diketahui, sebagai cakal-bakal kerajaan Song, maka Tio Khong-in memakai sebutan 'Song-thay-co'. Jadi 'Thay-co-kun-hoat' (ilmu pukulan Song-thay-co) itu adalah ilmu pukulan andalan Tio Khong-in ketika dia malang- melintang di dunia Kangouw sebelum menjadi panglima perang. Adapun 'Ji-seng-pang' (permainan toya dwi agung), nama ini diperoleh karena selain Tio Khong-in juga termasuk pula adiknya Tio Khong-in yang bernama Tio Khong-gi.

Mereka berdua sama-sama mahir main toya. Tio Khong-gi kemudian naik tahta menggantikan Tio Khong-in dengan sebutan Song-thay cong, sebab itulah dia dan Tio Khong-in disebut sebagai ‘Ji-seng' (dwi agung).

„Asal-usul Tio Khong-in adalah dari keluarga rakyat jelata yang miskin, masa mudanya sudah luas menjelajahi Kangouw, kemudian menjadi orang militer dan lambat laun menjadi panglima raja Ciu. Kepandaian Tio Khong-¬gi adalah ajaran Tio Khong-in, tapi otak Tio Khong-gi memang cerdik, dalam ilmu permainan toyanya mempunyai caranya sendiri yang khas, mereka berdua saudaralah yang telah menciptakan 'Ji- seng-pang-hoat' yang terkenal itu."

„Kiranya demikian asal-usulnya," kata Loh Si-hiong. „Jika begitu, jadi kepandaian yang dipelajari perajurit-perajurit kita berasal dari orang Han dan sampai sekarang kita masih mempertahankan nama aslinya. Hal ini bukanlan rada-rada janggal?"

Hal ini tidak menjadi soal dan tidak perlu dibuat sirikan," ujar Wanyen Tiang-ci tertawa. "Tio Khong-in memangnya adalah Song-thay-co. Apa halangannya kalau perajurit kita mempelajari kepandaian ajarannya serta tetap menggunakan nama aslinya? Yang penting, asalkan kita mahir mempelajari kepandaian musuh untuk mengalahkan musuh, inilah titik pokoknya yang harus dipegang teguh." „Benar, memang pandangan Ong-ya jauh lebih luas, sungguh hamba amat kagum," sahut Si-hiong.

„Sekarang marilah kita bicara tentang persoalan pokok," kata Wanyen Tiang-ci lebih lanjut. "Tio Khong-in tidak hanya mahir ilmu pukulan dan main toya saja, bahkan Lwekangnya juga mempunyai keyakinan yang mendalam. Senjata berhubungan erat dengan kepandaian Lwekang, hal ini tentu kau sudah paham."

„Ya, memang demikian halnya. Jika tidak beralaskan Lwekang, senjata apapun takkan memancarkan daya tempurnya yang hebat."

„Dan harus diketahui bahwa ilmu silat Tio Khong-in itu diperoleh dari ajaran orang kosen dari Hoa-san yang bernama Tan Hu yang biasanya dipandang sebagai dewata oleh bangsa Han. Menurut ceritanya, katanya pada masa sebelum jayanya Tio Khong-in, dia telah main catur bersama Tan Hu dipuncak Hoa-san, anehnya yang dibuat taruhan adalah gunung Hoa itu. Akhirnya Tio Khong-in kalah dan mengakui hak Tan Hu atas gunung itu. Main catur bukanlah soalnya yang pokok, yang benar Tan Hu telah mengajarkan ilmu silatnya kepada Tio Khong-in pada kesempatan itu. Tan Hu telah menulis pengetahuan Lwekangnya di dalam satu buku 'Ci-goan-bian' yang disertakan didalam kitab ajaran ilmu pukulan, semuanya itu telah diturunkan kepada Tio Khong-in."

"Jika demikian, bila Tio Khong-in tidak jadi raja tentu akan menjadi seorang maha guru ilmu silat kelas satu," ujar Si- hiong dengan tertawa. „Tapi mengapa kerajaan Song sedemikian lemah dan bobrok? Sampai kini bukan saja tak bisa memadai kerajaan Kim kita, bahkan dibandingkan orang Mongol saja juga kalah kuat." „Soalnya Tio Khong-in terlalu mementingkan diri pribadinya," kata Wanyen Tiang-ci. „Sesudah menjadi raja, disangkanya seluruh negeri sudah aman sentausa, ia telah menerima usul perdana menteri Tio Bok, kekuasaan militer para panglima perangnya satu per satu dilucuti dan lebih mengutamakan pemerintahan sipil. Sejak itu negeri, dinyatakan kembali pada keadaan normal, tapi sesungguhnya malah banyak melahirkan pembesar-pembesar korup yang tahunya cuma cari pangkat dan mengumpulkan harta.

Sesudah Song-thay-cong Tio Kong-gi keadaan semakin runyam lagi, satu turunan lebih buruk daripada turunan yang lain, yang dipikirkan hanya kenikmatan hidup sebagai penguasa dan tidak pernah berlatih silat pula. Adapun mengenai kitab ajaran ilmu silat dan Lwekang berasal dari Tan Hu itu hanya tersimpan di dalam keraton saja tanpa guna."

„Apakah yang Ong-ya maksudkan sebagai benda mestika kedua selain Hiat-to-tong-jin itu adalah Kun-keng-sim-hoat (kitab-kitab ajaran silat dan Lwekang) ciptaan Tan Hu itu? tanya Si-hiong.

„Benar," sahut Wanyen Tiang-ci, "Dahulu, ketika pasukan Kim kita membobolkan ibukota kerajaan Song, kita telah angkut semua benda mestika keraton Song ke Tay-toh (ibukota, Peking sekarang) sini. Di antara benda-benda mestika itu juga terdapat Hiat-to-tong-jin serta kitab-kitab pelajaran hasil karya Tan Hu itu."

„Semua benda pusaka kerajaan Song telah berada di negeri kita, sungguh suatu anugerah dan kebahagiaan Kim raya kita," puji Si-hiong.

„Tapi sayang, ilmu ajaran Tan Hu itu juga teramat mendalam sehingga sampai saat ini kita masih belum dapat memahaminya," kata Wanyen Tiang-ci lebih jauh. Setelah memandang Loh Si-hiong sekejap, lalu sambungnya: „Maka sekarang aku ingin minta bantuanmu."

„Ah, ucapan Ong-ya teramat jauh, silakan Ong-ya memberi perintah saja," sahut Si-hiong gugup.

„Begini soalnya. Setelah Sri Baginda memperoleh kedua benda pusaka itu, beliau telah mengadakan suatu lembaga penyelidikan khusus dan mengundang semua orang pandai di seluruh negeri untuk mempelajari rahasia Hiat-to di tubuh patung tembaga serta intisari Lwekang ajaran Tan Hu itu.

Akulah yang ditugaskan memimpin lembaga penyelidikan itu. Sekarang akupun mengundang kau ikut masuk sebagai anggota lembaga itu. Boleh jadi urusan ini akan sangat berguna bagi hari depanmu kelak. Apakah kau mau?"

„Demi kepentingan negara, dan untuk mengabdi kepada Ong-ya, masakah hamba berani menolak? Soalnya hamba kuatir pengetahuan hamba terlalu cetek dan mungkin sekali akan mengecewakan harapan Ong-ya."

„Kau tidak perlu sungkan-sungkan," kata Wanyen Tiang-ci.

„Ada tiga syarat yang telah kau penuhi, makanya aku telah penujui kau. Pertama kau adalah murid kesayangan tabib sakti Tek Jong-hu, tabib istana juga memuji akan kepandaianmu.

Kedua, peyakinan ilmu silatmu juga sudah cukup hebat, yang terang tiada seorang perwiraku yang mampu menandingi kau. Hanya orang yang sudah memiliki dasar yang kuat barulah dapat mempelajari ilmu sakti ajaran Tan Hu itu, malahan untuk mempelajari isi Hiat-to-tong-jin itu diperlukan orang yang selain paham ilmu silat yang tinggi juga perlu pengetahuan ilmu pertabiban yang luas. Dalam hal ini kau telah memenuhi syarat kedua-duanya, dengan sendirinya kau adalah calon yang paling cocok. Ketiga, kau adalah bangsa Kim, orang kepercayaan Tan-goanswe pula, maka aku dapat menerima. Kau Harus diketahui, jika kau bukan orang Kim dan cuma memenuhi kedua syarat saja masih belum dapat diterima olehku."

„Apakah di dalam lembaga penyelidikan itu tiada terdapat anggota bangsa Han?" tanya Si-hiong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar