Musuh Dalam Selimut Bab 01 : Cara Menguji Yang Aneh

 
1. Cara Menguji Yang Aneh

Dua baris pasukan pengawal bersenjata lengkap berdiri tegak di depan istana berbatu pualam putih. Mata setiap orang terbelalak memusatkan perhatian atas diri seorang Busu (jago, kesatria) muda.

Kesatria muda itu seakan-akan tidak mau tahu terhadap segala apa yang terjadi disekitarnya. Pandangan semua orang terpusat atas dirinya, maka iapun sedang mencurahkan segenap perhatiannya kepada seorang lain. Orang itu adalah seorang sakit yang terbaring di balai-balai.

Dari pakaiannya yang mentereng jelas dia adalah seorang perwira kerajaan Kim. Perawakannya tampak kekar tegap, tapi mukanya pucat, napasnya senin-kemis seakan-akan setiap detik dapat menghembuskan napasnya yang pengabisan.

Dua orang perajurit pengawal yang berdiri paling belakang sedang berbicara dengan bisik-bisik. Kata seorang di antaranya: „Sungguh jarang Ong-ya kita berlaku secermat dan sedemikian seriusnya, apakah kau tahu siapakah pemuda ini?"

„Konon dia bernama Loh Si-hiong," jawab perajurit pengawal yang lain." Katanya dia adalah putera seorang bawahan Ce-jin-ong Tan-goanswe (pangeran Tan berpangkat jenderal) dan sangat disayang oleh Tan-goanswe."

"O, pantas Ong-ya kita juga sedemikian menghargai dia."

„Tidak, tidak demikian halnya. Tan-goanswe dan Ong-

ya kita adalah orang-orang yang tegas tanpa pandang bulu. Jika pemuda ini tidak memiliki kepandaian sejati pasti takkan terpakai oleh Ong-ya kita. Lihat saja, bukankah sekarang juga dia akan diuji di depan umum untuk membuktikan ketegasan Ong-ya yang tidak pilih kasih."

„Apa yang akan diuji? Mengapa Ci-camciang yang sudah jatuh sakit bertahun-tahun tak tersembuhkan itu sekarang pun digotong kesini?"

„Akupun tidak tahu tentang ini. Ah, toh sebentar juga kita akan mengetahuinya, kita tunggu saja. Nah itu! Ssst, Ong-ya sudah datang!"

Yang diceritakan ini terjadi di pendopo istana Wanyen Tiang-ci, panglima pasukan pengawal kerajaan Kim. Wan¬yen Tiang-ci sendiri adalah paman Sri Baginda kerajaan Kim yang bertahta sekarang. Namun bukanlah lantaran beliau adalah paman raja yang bertahta sehingga beliau diberi tugas sebagai pimpinan tertinggi dari pasukan pengawal kerajaan, tapi jabatan itu diperolehnya memang berdasarkan kepandaiannya yang sejati, sebab ilmu silat Wanyen Tiang-ci memang sangat tinggi dan terpandang sebagai jago nomor satu di negeri Kim.

Saat itu Wanyen Tiang-ci tampak muncul bersama seorang tua yang berambut ubanan. Kakek ini adalah tabib kerajaan, konon adalah tabib nomor dua di seluruh negeri, kepandaiannya hanya dibawah Ih-un (tabib sakti) Tek Jong- hu.

Ketika Wanyen Tian-ci dan tabib kerajaan sudah duduk di tengah ruangan, keadaan menjadi sunyi senyap, tiada seorangpun yang berani bersuara. Suasana yang hikmat itu membuat hati Loh Si-hiong rada tidak tenteram. Ia tahu ujian ini sangat besar menyangkut kepentingannya, apakah akan berhasil atau akan gagal, seluruh hari depannya akan ditentukan oleh hasil dari pada ujian yang sedang dihadapinya ini.

Sesungguhnya ia cukup yakin dirinya sendiri pasti akan dapat mengatasi ujian ini dengan baik, cuma saja waktu ujian hanya akan terjadi dalam sekejap saja, ini adalah ujian yang memerlukan ketenangan yang sangat serta tehnik yang tinggi dan tepat.

Kini ujian justru harus dilakukannya dibawah saksi pandangan orang sekian banyak dan suasana terasa begini tegang pula, jika perasaannya sedikit terpengaruh sehingga cara turun tangannya rada meleset saja, maka akibatnya sukarlah dibayangkan. Begitulah sesudah Loh Si-hiong memberi hormat, Si tabib kerajaan lantas bertanya: „Apa kau sudah siap?"

„Sudah siap!" jawab Si-hiong.

Wanyen Tiang-ci mulai ketok-ketok meja, dengan sorot mata yang tajam ia pandang Loh Si-hiong, katanya pelahan:

„Hendaklah kau mendengarkan pula yang jelas! Jika dia sampai mati, maka kau harus mengganti nyawanya. Bila kau mau mengurungkan ujian ini, sekarang juga masih dapat ditarik.”

Cara ujian demikian sesungguhnya jauh lebih berat dari pada dugaan Loh Si-hiong semula. Namun dia masih tetap bersikap tenang dan menjawab: „Aku bersedia menerima ujian ini."

Wanyen Tiang-ci manggut-manggut. Mendadak ia berseru:

„Baik mulai!"

Baru saja pangeran itu mulai bersuara, cepat sekali Loh Si- hiong sudah melolos sebilah belati yang sangat khas bentuknya, panjangnya kira-kira setengah meter, lebarnya hanya tiga-empat senti, tipisnya luar biasa seakan-akan bening tembus.

Dan baru saja ucapan "mulai” tercetus dari mulut Wanyen Tiang-ci, seketika juga pisau Loh Si-hiong itu terus menyayat ke arah si penderita sakit yang terbaring itu. Walaupun kedua baris pasukan pengawal itu sama mendengar Ong-ya mereka yang memberi aba-aba "mulai", tapi kejadian yang mendadak itu tidak urung menerbitkan jerit kaget orang banyak. Bahkan ada dua orang perajurit yang agak bebal, lantaran tak bisa berpikir, mereka malah terus melolos golok dan memburu maju sambil membentak-bentak: „Bangsat! Ong-ya telah memperingatkan kau jika dia sampai mati, maka kau harus mengganti nyawa. Tapi sekarang kau malah sengaja membunuhnya!"

Tampaknya golok kedua perajurit itu segera akan mampir di atas tubuh Loh Si-hiong, namun Wanyen Tiang-ci keburu menggebrak meja dan membentak: „Tolol! Enyah sana!"

Karena itu pikiran kedua perajurit pengawal itu baru terbuka, mereka baru paham bahwa Loh Si-hiong bukan sengaja hendak membunuh orang, tapi justru sedang melakukan operasi untuk menyembuhkan perwira yang sakit parah itu.

Perhatian Loh Si-hiong sendiri hanya terpusat kepada si penderita sakit sehingga segala apa yang terjadi di sekitarnya sama sekali dia tidak ambil pusing.

Ketika bagian perut si penderita tersayat, darah lantas merembes keluar. Segera Loh Si-hiong mengerjakan pisau operasinya lagi, dengan cara yang amat lincah dan cepat, pisaunya mengorek sepotong daging dalam bentuk uci-uci sebesar cangkir teh lantas diiris keluar dari dalam perut.

Segera ada dua orang melangkah maju untuk menjahit luka si penderita. Mereka adalah asisten si tabib istana.

Loh Si-hiong mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya, perlahan-lahan ia menyimpan kembali pisau operasinya. Dan baru saja perasaan tegangnya tadi mulai mengendur, sekonyong-konyong kedua pembantu yang baru selesai menjahit luka di atas perut si penderita itu menjerit:

„He, Ci-camciang telah meninggal!"

Wanyen Tiang-ci terkejut, tapi sebelum dia bertindak apa- apa, terlihat si tabib istana tersenyum-senyum padanya. Lalu omelnya kepada kedua pembantunya itu: „Kalian sudah sekian tahun ikut aku, mengapa kalian masih begini bodoh, masakah orang mati benar-benar atau pingsan saja tidak tahu?"

Kedua asistennya saling pandang dengan bingung, yang satu tidak berani bersuara yang lain menjawab: „Tapi. tapi

napasnya sudah putus, apakah apakah ini bukan

tandanya sudah meninggal?''

Loh Si-hiong juga lantas memberi hormat kepada Wanyen Tiang-ci dan berkata: „Mohon Ong-ya jangan kuatir, sebentar juga dia akan hidup kembali." Habis berkata ia lantas mengeluarkan sebatang jarum perak terus ditusukkan di ujung dahi si penderita sambil memberi penjelasan: „Penyakitnya bersumber pada urat Jimmeh, sebab itulah di dalam perutnya timbul sepotong daging mati. Sekarang aku menjarumi Thay- yang-hiat di pelipisnya, entah tepat atau tidak terapiku ini."

Ucapannya yang terakhir ini adalah dalam kedudukannya, sebagai kaum muda yang sedang mohon nasihat kepada si tabib istana. Cuma saja jawabannya tidak perlu diberikan lagi oleh si tabib, sebab pada waktu jarum peraknya dicabut keluar, si penderita segera dapatlah bersuara merintih, kedua matanya lantas melek juga.

Dengan wajah tersenjum puas si tabib istana berkata:

„Kepandaianmu memang boleh juga, yang harus dipuji adalah ketenanganmu, sungguh kau tidak malu sebagai muridnya Ih- un Tek Jong-hu.

„Ya, benar-benar ilmu tabib yang sakti," Wanyen Tiang-ci ikut memuji. „Muridnya saja begini hebat, pantasnya Tek Jong-hu harus diakui sebagai tabib nomor satu di dunia ini. Tapi mengapa ada orang mengatakan dia masih kalah bila dibandingkan Liu Goan-cong?” Terdengar tabib istana itu menghela napas, katanya:

„Sebab Liu Goan-cong sudah hampir dapat memahami rahasia semua Hiat-to di atas patung tembaga. Dalam hal ini mungkin Tek Jong-hu tak dapat menandinginya. "

Wanyen Tiang-ci tampak merenung sejenak, kemudian ia memanggil komandan pasukan pengawal dan bertanya:

„Bagaimana hasil ujian ilmu silatnya pada babak pertama?"

„Ke delapanbelas jago pilihan dari pasukan telah dikalahkan semua olehnya," lapor komandan pengawal itu.

„Bagus, sangat bagus!" Wanyen Tiang-ci tersenyum. „Baik ilmu silat maupun ilmu pertabibanmu ternyata terpilih semua, asal kau dapat lulus pada ujian yang terakhir nanti, dengan segera kau akan dapat diterima.”

Diam-diam Loh Si-hiong terkejut, tanyanya hati-hati:

„Apakah masih ada ujian lagi? Entah apa yang diuji nanti?"

„Ya, justru ujian terakhir inilah yang akan menentukan," sahut Wanyen Tian-ci. „Tentang apa yang diuji dan kapan dilakukan, sebelumnya aku tak dapat memberitahukan padamu. Ya, mungkin juga nanti atau bisa juga besok, tapi boleh jadi juga beberapa hari lagi. Nah, sudahlah, kau sudah lulus dari ujian dua babak, tentu kau sudah lelah, boleh kau pergi mengaso dulu. Pondoknya sudah disiapkan belum?"

„Sudah siap," lapor komandan pengawal.

„Baiklah, boleh kau mengantarkan dia dan berikan bantuan seperlunya," kata Wanyen Tiang-ci.

Malamnya komandan pasukan pengawal itu telah menjamu Loh Si-hiong dengan segala kehormatan, beberapa perwira diundang untuk menemani pula. Mereka telah memberi selamat kepada Loh Si-hiong dan memandangnya sebagai kawan sejawat yang akan datang, mereka mengatakan kedua babak ujian yang berat saja sudah dilalui Loh Si-hiong dengan baik, tentu ujian yang terakhir juga takkan menjadi soal.

„Sebenarnya aku kurang mengerti," demikian komandan pengawal itu berkata, „kau toh tidak akan diangkat sebagai perwira kesehatan, mengapa kau diuji dalam hal ilmu pertabiban? Apakah kau sudah tahu tugas apa yang akan diberikan kepadamu oleh Ong-ya?"

Loh Si-hiong sendiri hanya tahu bila lulus ujian tentu akan dapat dipakai, ini adalah janji dari mulut Wanyen Tiang-ci sendiri sebagai panglima pasukan pengawal kerajaan. Adapun tentang kedudukan atau tugas apa yang akan diberikan padanya ia sendiri pun tidak tahu. Namun demikian, diam- diam iapun sudah dapat menerka beberapa bagian, bahkan ia dapat menduga pertanyaan yang diajukan komandan pengawal ini justru sengaja hendak memancing sampai berapa banyak ia dapat menerka.

Maka dengan sikap seperti tidak ambil pusing terhadap tugas atau jabatan yang akan diterimanya kelak, sekenanya Loh Si-hiong menjawab: „Boleh jadi Ong-ya mengetahui aku pernah belajar ilmu pertabiban, maka sengaja menguji aku dalam bidang ini. Bagiku asalkan dapat mengabdi kepada Ong-ya, tentang tugas apa saja yang akan kuterima tentu akan kulakukan dengan senang hati."

Begitulah selesai makan dan obrol sampai mendekat  tengah malam, komandan pengawal itu mengantar Loh Si- hiong ke kamar yang telah disediakan baginya. Setelah melalui serambi yang berliku-liku, akhirnya sampai di depan sebuah rumah batu. „Inilah kamarmu, silakan mengaso dan bersiap-siap untuk ujian babak terakhir," kata kepala pengawal itu.

Dan begitu Loh Si-hiong melangkah masuk kekamar itu, "blang", segera terdengar suara pintu ditutup dari luar oleh kepala pengawal. Dari suaranya yang keras dan berat itu segera Loh Si-hiong tahu pintu itu terbuat dari besi.

Keadaan di dalam kamar batu itu gelap gulita, sampai jari tangan sendiri tidak kelihatan. Loh Si-hiong coba meraba-raba sekitarnya, ternyata kamar ini kosong melompong, jangankan tempat tidur, sedangkan sebuah kursi saja tidak ada. Kecuali dinding batu yang mengelilingi hanya ada empat pilar yang sama dinginnya seperti dinding itu. Cuma dari perasaannya ia tahu pilar itu bukan buatan dari batu, hanya terbuat dari apa kurang jelas baginya, yang pasti bukanlah pilar kayu.

„Ini lebih mirip sebuah kamar penjara, mengapa aku disuruh tidur disini?" demikian pikir Loh Si-hiong. Biarpun nyalinya cukup besar, tapi dalam keadaan terkurung begini hatinya menjadi gelisah juga. Pikirnya pula: „Mengapa aku disekap disini? Jangan-jangan Ong-ya telah menaruh curiga padaku?"

Namun Loh Si-hiong dapat berpikir secara tenang, setelah direnungkan kembali, ia merasa tiada sedikitpun gerak- geriknya dapat menimbulkan kecurigaan orang. Akhirnya pikiran gelisahnya dapat dikuasainya kembali. Ia yakin Wanyen Tiang-ci tidak nanti mempermainkan dirinya tanpa alasan. Apa yang berlangsung sekarang ini tentu ada maksud tujuan tertentu, hanya sebab apa masih belum jelas baginya. Daripada susah-susah memikirkan lebih baik kumpul tenaga dan himpun semangat untuk menghadapi ujian babak terakhir yang setiap saat bisa terjadi. Demikian akhirnya Leh Si-hiong mengambil keputusan. Tapi teringat kepada ujian babak terakhir nanti, tidak urung hati Loh Si-hiong menjadi gelisah pula. Sungguh sukar dibayangkan ujian terakhir itu entah bagaimana aneh caranya. Terhadap sesuatu kejadian yang telah diketahui sebelumnya betapapun seseorang masih berani menghadapinya. Tapi sekarang Loh Si-hiong seperti ditutup kedua matanya, lalu digusur orang kesuatu tempat yang penuh rahasia untuk menerima nasib yang belum dapat diramalkan. Dalam keadaan demikian biarpun cukup yakin dirinya akan mampu lulus dari segala ujian yang betapa beratnya toh hatinya terasa kebat-kebit juga.

Lantaran siangnya dia sudah mengalami dua babak ujian yang cukup berat dan tegang, yaitu pertama bertanding melawan delapanbelas jago pengawal, kemudian diuji tentang kepandaian operasi orang sakit kanker dibawah penyaksian orang banyak, maka kini ia benar-benar sangat letih lahir- batin. Sebab itulah lambat-laun iapun terpulas dalam kegelapan kamar itu.

Entah sudah berapa lamanya ketika samar-samar ia merasakan sesuatu. Sebagai orang yang sudah terlatih baik, serentak Loh Si-hiong lantas melompat bangun. Memang benar, kamar penjara yang mestinya sunyi senyap itu rasanya seperti ada suatu suara napas yang sangat pelahan. Pasti di dalam kamar batu ini ada orang lain.

Sebenarnya Loh Si-hiong bermaksud menubruk ke tempat suara yang hampir-hampir tak terdengar itu, tapi sekilas teringat sesuatu olehnya sehingga maksudnya diurungkan.

Maklumlah, rumah batu yang ditempati Loh Si-hiong itu berada di tengah istana panglima pasukan pengawal kerajaan, suatu tempat yang diberi penjaga yang sangat keras dan rapat. Kamar batu ini sedemikan rapat, jangankan manusia, lalatpun tak bisa masuk. Jika sekarang di dalam kamar batu terdapat orang lagi, maka dapatlah diperkirakan orang macam apa dia.

Dan sebelum Loh Si-hiong menegur, orang itu sudah mendahului bersuara, logatnya sangat aneh, seperti orang bicara dengan penjet hidung, bahkan apa yang dikatakan sukar dimengerti, entah bahasa daerah mana yang diucapkannya Hanya kalimat yang diucapkan seperti berbunyi:

„Klen, kur-kucihap!" dan entah apa artinya?"

„Siapa kau!" bentak Loh Si-hiong.

Kembali orang itu mengulangi ucapannya yang tidak dike¬tahui artinya itu.

„Kau bilang apa? Aku tidak paham!'' sahut Loh Si-hiong.

Mendadak penjara, yang gelap gulita itu menjadi terang benderang. Kiranya keempat pilar itu terbuat dari batu kristal yang bening tembus, ditengahnya kosong sehingga mirip semprong raksasa, ditengahnya dinyalakan lilin yang besar.

Pada saat di dalam rumah mendadak terang benderang, orang itu lantas berseru pula sambil menuding Loh Si-hiong:

„Aku bilang, kau adalah mata-mata musuh!” Sekali ini kata- katanya itu diucapkan dalam bahasa ibukota yang tulen.

Dalam keadaan demikian, bila orang lain pasti akan terperanjat. Namun sikap yang diperlihatkan oleh Loh Si-hiong ternyata kemarahan belaka, sama sekali tiada tanda-tanda terkejut. Padahal sikap marah itu sebenarnya juga cuma buatan belaka, cuma saja caranya sangat wajar dan mirip sekali, biarpun orang paling teliti juga sukar mengetahui kepalsuannya. Begitulah dibawah aling-aling kemarahan yang diperlihatkan itu, dengan tenang Loh Si-hiong mengamat- amati orang itu.

Ternyata tinggi orang itu tidak lebih dari satu setengah meter, tapi mempunyai suatu kepala yang amat besar, sama sekali tidak seimbang dengan badannya. Malahan rambutnya kusut masai seperti alang-alang kering, mukanya kaku tanpa perasaan sehingga membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa seram.

Dengan suara keras Loh Si-hiong lantas berteriak:

„Berdasarkan apa kau menuduh aku sebagai mata-mata musuh? Marilah kita pergi mengadu kepada Ong-ya."

„Hm, mengadu apa?' jengek orang itu. „Justru Ong-ya yang memerintahkan aku kesini untuk menangkap kau, sebab Ong- ya sudah tahu kau adalah agen rahasia musuh."

„Kau mengaco-belo, aku tidak percaya," sahut Si-hiong.

„Ha..ha..ha, kau tidak percaya? Apakah kau masih bermimpi muluk-muluk tentang kedudukanmu yang agung kelak? Coba kau pikir sendiri, kau adalah orang yang dikirim oleh Tan-goanswe, jika bukan karena Ong-ya sudah mengetahui kau adalah mata-mata musuh, mengapa kau dipenjarakan disini?"

„Hm, apakah kau datang kesini benar-benar atas perintah Ong-ya?" jengek Loh Si-hiong.

„Sudah tentu! Kalau tidak cara bagaimana aku mampu masuk kesini?''

„Baik, jika demikian bolehlah kau meringkus aku saja, kenapa mesti banyak cincong pula?" „Jadi kau sudah mengaku dirimu adalah agen rahasia musuh?''

„Siapa, bilang aku sudah mengaku? Asal diriku suci bersih, kenapa aku mesti takut difitnah orang? Hayolah, sekarang juga kita pergi menemui Ong-ya agar aku dapat mohon penjelasan kepada beliau."

Tiba-tiba orang itu menghela napas dan menggerutu: „Ai, tolol! Sungguh tolol! Apakah kau sangka, dapat mengelabui orang dengan begini saja? Ong-ya sudah memegang bukti- bukti yang nyata dan telah mengetahui asal-usulmu dengan jelas. Tidak menjadi soal jika kau sendiri yang mati, tapi urusan besar akan menjadi runyam."

„Siapa kau sebenarnya?” bentak Loh Si-hiong mendadak.

„Sssst, jangan keras-keras!" tiba-tiba orang itu mendesis sambil goyang-goyang tangannya, „Kau jangan takut. Aku sengaja datang untuk menolong kau!”

„Sesungguhnya kau siapa? Aku tidak perlu ditolong olehmu."

„Dihadapan dewa tidak perlu berdusta. Sampai kini masakah kau masih berlagak pilon padaku?" ujar orang itu.

„Aku serupa dengan kau, sama-sama datang dari Kang-lam. Kau telah berhasil menyusup ke dalam markas besar Tan- goanswe dan menjadi perwira bawahannya, aku sendiri berhasil nyelundup ke dalam istana Ong-ya, dan menjadi pengawalnya. Sekarang kau sudah jelas belum?"

„O, jadi kau adalah agen rahasia dari Lim-an (ibukota kerajaan Song)," kata Loh Si-hiong, „Ah, sama-sama, setali-tiga-uang," sahut orang itu tertawa,

„Untung malam ini aku yang disuruh kemari, kalau tidak tentu kepalamu sudah berpisah dengan tubuhmu. Sudahlah, jangan omong kosong lagi, lekas kau lari saja.“

„Baik!” kata Loh Si-hiong sambil mendekati orang itu. Tapi mendadak jarinya terus menjojoh, Thay-yang-hiat dipelipis orang itu lantas ditutuknya.

Karena sama sekali tidak menyangka, ketika cepat berkelit, namun tidak urung dahi orang itupun sudah tertutuk. "Tjret'', tapi Loh Si-hiang merasa jarinya seperti menutuk diatas kulit busuk, seakan-akan bukan tubuh manusia.

„Tangkap mata-mata musuh!" demikian Loh Si-hiong malah berteriak-teriak.

Kepandaian orang itu ternyata sangat lihay sekali melangkah ke samping, cepat ia membalas, memotong pergelangan tangan Loh Si-hiong.

Sambil menghindar, secepat kilat Loh Si-hiong lantas melolos pedang, "sret", kontan ia menusuk.

Gerakan orang itu memang sangat lincah dan gesit, waktu tusukan Loh Si-hiong dilontarkan, tahu-tahu orang itupun sudah mencabut goloknya. "Trang", golok membentur pedang sehingga lelatu meletik.

Secepat kilat Loh Si-hiong lantas menusuk pula ke ulu hati lawan dalam jurus "pelangi menembus cahaya matahari". Tak terduga tusukannya telah mengenai tempat kosong, orang itu tahu-tahu sudah melingkar kebelakangnya, goloknya lantas membacok kepundaknya. Tanpa menoleh Loh Si-hiong memutar pedang ke belakang untuk menangkis, selagi ia hendak mengerahkan tenaga dalam untuk menggetar jatuh senjata musuh, namun lebih dulu orang itu sudah menarik kembali goloknya, dengan jurus

„menyapu bersih seribu perajurit", kembali goloknya berkelebat dan membabat kedua kaki Loh Si-hiong.

Lekas-lekas Si-hiong melompat keatas. Walaupun dapat menghindar, tapi tidak urung Loh Si-hiong terkesiap juga dan harus mengakui kepandaian lawan yang tidak lemah dan tidak boleh dipandang enteng itu.

Begitulah pertarungan mereka makin lama makin sengit.

Ilmu golok orang itu ternyata sangat aneh. Meski Loh Si-hiong sudah mengeluarkan segenap kepandaiannya toh masih selalu terdesak.

Sekaligus orang itu telah melancarkan tigapuluh enam kali serangan, goloknya berputar cepat laksana kilat, serangan membadai itu membuat Loh Si-hiong berulang-ulang main mundur dan tampaknya akan segera terdesak sampai di pojok dinding.

„Kena!" sekonyong-konyong Loh Si-hiong menggertak satu kali, "sret", ujung pedangnya telah menusuk sobek kulit muka musuh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar