Menuntut Balas Jilid 33 : Lagi, Ngo Bie Bay runtuh di tangan In Gak

Jilid 33 Hmm...

JIE IN mengangguk "Aku tahu," sahutnya.

"Saudara In, tahukah kau kenapa Kim Teng Toa-supe meminta tempo untuk pertandingannya? "

Ji In heran, ia mengawasi. "inilah aku tidak tahu," jawabnya. Tonghong Giok Kun menghela napas, ia agak masgul.

"Partai kami mempunyai seorang tertua yang hidup menyendiri di puncak Cian Hud Teng," ia menerangkan- "Ia lihay ilmu silat- nya. Selama tiga ratus tahun kemarin, ialah orang partai kami yang terlihay, ia bertabiat keras dan aneh, ia banyak menyebabkan banyak permusuhan, hingga Ngo Bi Pay menjadi banyak urusannya.

Untuk mencegah ia main gila terlebih jauh, oleh ciangbunjin kami dua generasi yang lalu, ia dihukum berdiam dikuil Ban Siu Si diatas puncak itu, supaya ia dapat hidup beribadat terus, Bukan cuma aku tidak mendapat ketika menemuinya, juga tertua-tertua kami.

Cuma Kim Teng Toasupe, karena kedudukannya sebagai ketua, saban bulan dua kali dapat bertemu dengannya, Sekarang toa-supe meminta tempo, aku kuatir dia hendak menemui tertua kami itu untuk minta bantuan atau mungkin dia mengadu dan mengogok-ogok."

Ji In nampak masgul. Terima kasih," katanya.

"Saudara In," kata Tonghong Giok Kun, kali ini sungguh- sungguh, "kaulah jago tergagah dijaman ini, meski begitu, kau harus berjaga jaga dari penyerangan gelap. sekarang ini kau telah menjadi musuh partai maka diempat penjuru disini ada tak sedikit mata yang mengawasimu.  Harap kau maafkan aku, aku tidak dapat membantu kau. Aku juga meminta diri.”

Pemuda itu memberi hormat, lantas ia berlompat untuk pergi menghilang.

Dilain pihak dari Sin cui Kok terlihat berkelebatnya sebuah tubuh putih, lantas Kang Yauw Hong sudah berdiri didepan sianak muda sembari tertawa dia kata: "Suhu mengundang Siauwmoay akan memimpin kau masuk kedalam. Engko In, maka marilah Kau turut padaku."

Ji In mengangguk terus ia bertindak mengikuti nona itu.

Belum lama dua orang itu masuk kedalam Sin cui Kok. maka didepan kuil Toa Ngo Sit seratus tindak terpisahnya dari tempatnya Ban In Suthay itu tampak munculnya empat bayangan orang, setelah tertampak nyata, merekalah tiga pendeta dan seorang biasa, Ketiga pendeta berusia rata-rata lima puluh lebih, semua bertubuh besar dan tangannya membekal sian-thung.

Orang biasa itu berumur lima puluh lebih kurang dipundaknya tergendol sepasang tongkat Hud-ciu koay matanya sangat tajam, Dia ini mengawasi ke Sin Cui Kok. lalu dia tertawa dingin dan kata: "Biar bagaimana Ji In terlalu menghina partai kita, dia memandangnya terlalu enteng, seperti juga kita disini tidak ada orangnya. Dia boleh gagah luar biasa, tetapi apakah dia dapat melawan kita berempat? Bukankah kita juga dibantu tiga orang utan yang tenaganya luar biasa? Rasanya tak sukar untuk membekuk dia hidup- hidup,”

"Tetapi disini bukan tempat yang tepat untuk membekuknya," kata pendeta yang lain- ”Jikalau Ban In Suthay muncul dan dia mencegah, kita akan jadi maju dan mundur serba salah, Laginya dengan Ji In berani datang sendiri kemari, mesti dia gagah, maka itu Peng Sute, janganlah kau sembrono."

Si orang tua bukan pendeta berdiam sebentar lalu dia mengangguk.

"Dia bakal lewat diluar rimba ini mari kita menantikan dia disana," katanya.

Ketiga kawan itu setuju, maka berempat mereka lantas berjalan pergi kearah luar rimba. Baru mereka berjalan atau dari pohon cemara yang lebat lompatlah tiga bayangan yang besar, yang berbulu, hingga segera terlihat tiga orang utan dengan mata merah dan gigi bercaling yang dapat berjalan sambil berdiri.

Sebagai manusia, romannya bengis luar biasa, Dengan mengikuti empat orang itu, lekas juga ketiga ekor binatang itu lenyap dibelakang pepohonan lebat dan gelap.

Maka sunyilah tempat itu. oo Matahari sedang ditengah-tengah langit ketika dari dalam Sin cui Kok terlihat turunnya tiga bayangan orang, diantara siapa yang sepasang nona-nona cantik dan yang ketiga yalah Jie In si tetamu yang tak diundang dari Ngo Bie San- sepasang nona lantas mengambil jalan tikungan dan lenyap tinggal Jie In sendiri berjalan dengan perlahan dan tenang kedalam rimba pohon cemara didepan kuil Toa Ngo Sie.

Begitu Jie In keluar dari dalam rimba, lantas ia tercengang, Disitu tampak empat orang tiga pendeta satu bukan pendeta.

Si orang bukan pendeta itu lantas maju dua tindak memapani,

"Apakah aku lagi berhadapan dengan Jie Tayhiap?" dia menanya, "Aku yang rendah yalah Peng Kiam i Ho. Aku berruntung sekali dapat melihat wajah tayhiap"

Jie In bersenyum.

"Peng Losu, ia berkata, "kita orang orang terhormat, kita tidak nanti melakukan apa-apa yang gelap. Bukankah sudah lama tuan menantikan aku si orang she Jie? Kalau boleh aku minta sukalah tuan omong dengan jujur"

Orang she Peng itu tertawa lebar, "Dasar Jie Tayhiap seorang yang polos" katanya, "Aku yang rendah hendak memohon sesuatu yang mungkin kurang pantas yalah aku minta supaya pada kami dikembalikan ciangbun sin-hu kami, supaya dengan begitu nama baik partai kami dapat dilindungi Atas pertolongan tuan ini kami akan mengingat budi."

Jie In melengak. itulah permintaan diluar sangkaannya ia dibikin sulit karenanya, ia seperti tengah menunggang harimau, Asal ia menyerahkan sin hu maka Kim Teng bakal segera pulih kedudukannya sebagai ciangbunjin atau ketua, Untuknya kemudian itu tidak berarti banyak tidak demikian bagi rombongannya Kang Yauw Hong, mereka itu pasti segera dipandang sebagai murid-murid murtad dan pengkhianat partai, Tapi ia tertawa. "Maaf Peng Losu," katanya tenang, Tadi pagi telah Ji In menjanjikan Ci Tiok Taysu akan mengembalikan sin-hu kepada keempat tiang lo, maka itu sulit untuk aku meluluskan permintaanmu Aku minta losu maklum saja."

Mendadak roman Peng Kiam Ho menjadi bengis.

”Ji Tayhiap. apakah benar-benar kau percaya bahwa kau bakal dapat mengalahkan ciangbunjin kami?" dia tanya.

"Perkara kalah atau menang itu, sukar untuk diterka," kata Ji In, sungguh-sungguh, "Jikalau aku si orang she Ji kalah, pastilah sin-hu segera kembali ketangannya Kim Teng Siang- jin. Kalau sebaliknya Kim Teng Siangjin yang tak beruntung dan kalah Peng Losu, apakah kau percaya kepandaianmu dapat melebihkan Siangjin?"

Peng Kiam Ho tertawa dingin, lantas kedua tangannya meraba kepunggungnya, maka dalam sekejab saja kedua tangannya sudah mencekal sepasang tongkatnya.

”Jikalau begini, percuma kita banyak omong" bentaknya, "Dengan sepasang senjataku ini aku yang rendah ingin belajar kenal dengan kepandaianmu yang lihay Ji Tayhiap"

Sambil berkata begitu, jago Ngo Bi ini sudah lantas menolakkan senjatanya, yang terus menerbitkan angin yang keras.

ooooooo

BAB 31

LIHAY Peng Kiam Ho. Begitu menolak kedua tangannya lantas terbuka, Dengan begitu maka kedua batang senjatanya lantas menyerang Ji In diatas dan dibawah, itulah tipu silat "Menunjuk langit, menggaris bumi,"

Ji In tidak suka menambah permusuhan Dengan sebat ia menjejak tanah untuk berlompat kesamping. Justeru itu ia melihat bayangan berkelebat ke pundaknya, disusul dengan bentakan bengis: ”Ji Sicu, maafkanlah pinceng" Dengan hanya melirik Ji In tahu bahwa ia sedang diserang dengan sianthung, Dengan sebat dan lincah, ia berkelit, tangannya diulur dengan jeriji-jeriji dibuka, mengancam hendak mencekal ujung tongkat itu.

Sambil berbuat demikian, orang she Ji ini merasa sulit, Disamping tidak ingin perdalam permusuhan, ia ingat baik sekali pesan Bu Liang Siangjin supaya sebelum mengumpul sepuluh laksa macam kebaikan, jangan ia melakukan pembunuhan-

Justeru kawannya menyerang, dua pendeta yang lain maju menerjang juga, Dengan begitu segera Ji In dikepung berempat, Tetapi ia tidak melawan, ia hanya main berkelit.

Menyaksikan kelincahan lawan, Peng Kiam Ho bertiga terkejut didalam hati, Tapi Kiam Ho penasaran, maka ia berlompat pula, guna mengulangi serangannya yang kesekian kalinya, Ji in berkelit. Untuk pertama kalinya, ia menggunai tipu silat cit Kim Sin Hoat, ilmu dari Tujuh Macam Unggas.

”Ji Sicu, apakah kau masih tak mau menyerah tertawan?" tiba tiba terdengar bentakan yang datangnya dari atas.

"Tidak" jawab Ji in, yang menghalau diri, hingga ia kembali lolos dari serangan sambil berlompat tinggi.

Keempat musuh itu berdiri kumpul, didalam hati mereka kagum bukan main-

Jie In berdiri dengan kedua tangan dikasih turun, sikapnya sangat sabar dan tenang. tengah disinari matahari, tampak ia bersenyum manis.

”Jie Tayhiap." kata Kiam Ho, "justeru kami belum menurunkan tangan jahat, paling baik kau serahkan sin-hu kami supaya dengan begitu kita pun jadi tak usah merusak persahabatan-"

Jie In tertawa tawar. "Peng Losu, buat apakah kau mencapaikan lagi lidahmu?" sahutnya sabar, ”Jikalau bukannya aku si orang she Jie telah bersumpah tak akan mencelakai orang, disaat ini pastilah tak dapat kau membuka mulut besarmu."

Mukanya Kiam Ho menjadi merah.

”Jikalau tetap tayhiap berkukuh dan berjumawa," kata dia sengit, "maafkanlah jikalau aku yang rendah berbuat kurang ajar terhadapmu"

Kata-kata itu ditutup dengan siulan yang nyaring yang menusuk telinga berkumandang didalam rimba dan lembah, lalu itu mendapat pekiknya tiga ekor orang utan, yang muncul dari dalam rimba, ketiga lari kepada Jie In, untuk lantas mengurung, dengan mementang kedua tangan dan mulutnya binatang itu mengapit dengar terus pekiknya.

Kaget juga Jie In mengawasi tiga ekor binatang luar biasa itu, yang baru pertama kali ini ia percaya, selain tenaganya luar biasa binatang itu mungkin kebal, tak mempan senjata, ia tidak takut. ia mengawasi terus ketiga binatang itu dengan dingin, ia tanya: "Peng Losu, adakah ini yang merupakan ancaman kamu?"

Kiam Ho belum menyahuti, dia didului oleh seorang pendeta yang berdiri disebelah timurnya, Pendeta itu kata setelah memuji: ”Jie Si-cu, ketiga orang utan ini binatang binatang yang aneh yang tenaganya besar luar biasa, dengan kukunya mereka dapat merobek kulit singa dan gajah, maka itu meskipun sicu sangat tangguh, kau tetap berkulit dan berdaging manusia Belum tentu sicu dapat bertahan terhadap ketiga binatang ini. Maka pinceng minta sukalah sicu tidak mengandalkan kegagahanmu sudilah kau memikirnya masak- masak"

"Kau mulia hati, taysu, aku mengucap terima kasib," kata Jie In, dingin, "Hanya dengan ancaman kamu ini nyata kau masih belum memperoleh penerangan keagamaan, padamu masih ada pikirannya si manusia biasa."

Pendeta itu menghela napas, dia berdiam-Peng Kiam Ho tidak suka orang bicara saja, ia terus berseru, atas itu ketiga orang utan itu berpekik keras, lantas mereka lompat menubruk Jie In

Sama sekali Jie In tidak menangkis atau berkelip ia tidak mundur, sebaliknya ia menyambut dengan tolakan Bi Lek Sin Kang huruf "Menggempur" dan "Menyentil" maka hebat dua diantara ketiga binatang liar itu tubuhnya terpental mundur sampai belasan tombak sampai dimuka rimba.

Yang ketiga berlompat dari lain arah untuk menyambutnya Jie in menggeser tubuh kekiri, terus tangan kanannya diluncurkan guna menangkap tangan kirinya binatang itu, terus ia memencet dan melemparkan Maka binatang itu terangkat dan terlempar tinggi.

Tanpa ampun ketiga orang utan itu jatuh berpekik terus tak berkutik pula, sebab jiwanya semua pada melayang pergi.

Peng Kiam Ho menjadi sangat gusar, ia maju sambil menyengir dan kata dengan sengit "Jikalau bukannya kau, tentu aku" Dengan sepasang senjatanya ia menyerang sehebat-hebatnya. Akan tetapi, begitu ia menyerang itu begitu ia melengak.

Hanya dengan satu kali berkelebat, lawannya seperti lenyap dari depan matanya, sebaliknya kedua lengannya segera terasa sakit sekali hingga senjatanya tak dapat dicekal lebih lama pula, kedua senjatanya itu terlepas dan jatuh sendirinya

Saking sakit ia menjerit dan merintih, berbareng dengan itu tubuhnya terpental jauh jatuh terkulai disamping ketiga orang utan, untuk tak berkutik lagi.

Ketiga pendeta melengak. kemudian mereka saling menatap setelah itu bertiga mereka maju dua tindak. untuk terus berkata: "Sicu benar luar biasa kepandaian si-cu Sekarang silakan si-cu menyambut kami bertiga"

Lantas mereka meluncurkan tangan mereka, kelihatannya perlahan tetapi tenaganya hebat.

Ji in bersenyum, tanpa membilang apa-apa ia mengangkat kedua tangannya, untuk dipakai menolak.

Ketiga pendeta menjadi kaget dan heran- Kembali mereka melengak. Tadinya mereka menduga akan satu bentrokan keras, tak tahunya tolakan mereka seperti masuk kelaut, mereka merasakan siuran hawa yang dingin, terus siuran itu berubah menjadi dorongan yang kuat.

Baru sekarang mereka berkuatir, lekas-lekas mereka menarik pulang, Tapi sekarang sudah kasip. Tangan mereka terasa dingin tubuh mereka seperti tergencet, sukar mereka bergerak. sekaranglah mereka ingat kepada kematian, hingga mereka merasa takut. Mau atau tidak. sendirinya mereka memperlihatkan roman takut...

Jie In menggunai Bi Lek Sin Kang huruf "Merubah" atau "melebur" dengan itu ia seperti melumerkan tenaga ketiga musuhnya, setelah itu dengan perlahan lahan ia berbalik mendesak Maka tak tahanlah ketiga pendeta itu. Mengawasi ketiga pendeta, mata Jie In bersinar tajam.

"Sam-wi taysu, aku minta janganlah kamu membawa lebih jauh sikapmu yang sembrono..." ia kata sabar, "Sekarang aku minta sukalah taysu kembali kedalam kuil, jikalau ada perbuatanku yang tak layaknya, tak dapatkah itu ditunggu sampai sebentar malam?"

Habis berkata itu Jie In menyimpan tenaganya, maka ketiga pendeta itu lantas memperoleh kebebasannya, akan tetapi tubuhnya tertotok hingga mereka mesti berjalan pergi. Mereka sendiri merasa tenaga mereka habis seperti orang baru sembuh dari sakit. Tanpa dapat berbuat apa-apa, melainkan saling bersenyum pahit, mereka menghilang didalam lebatnya pepohonan- Dengan masgul Jie In pun lantas berlalu, ia berjalan jalan disekitar situ, tak setindak juga ia menginjak kuil, ia berlaku waspada karena ia kuatir nanti ada lagi serangan gelap. Baru kemudian ia pergi kearah ceng Im Kok yang seperti dirangkul air didua jurusan, didalam kali kecil itu ada banyak ikannya.

Di-tengah kali ada sebuah batu yang dinamakan batu Gu Sim cio yang menyambung dengan dua buah jembatan yang bernama siang Kio ceng Im, itulah satu diantara tempat kesohor dari Ngo Bi San-

Dengan kagum Jie In berdiri ditepi kali kecil itu, mengawasi air yang mengalir. Meski begitu, ia dapat melihat ketika seorang pendeta dengan jubah kuning keluar dari ceng Im Kok menuju ke jembatan.

Begitu datang dekat pendeta itu tertawa sambil mengurut- urut kumis jeng gotnya yang putih seperti perak- dengan sikapnya yang manis itu dia berkata, ”Jie Sicu bersendirian saja, tentulah kau kesepian, maka itu dapatkah pinceng menemani kau?"

Jie In mengawasi sambil bersenyum. "Akulah seorang tetamu," katanya ramah, "asal taysu tidak mencela aku dan tak memandang aku sebagai musuh, aku suka sekali." Pendeta itu mengawasi, ia menghela napas, kemudian ia tertawa.

"Pinceng seorang yang insaf," ia berkata "tak sudi pinceng diganggu oleh peristiwa hari ini. Dapatkah sicu menempatkan dirimu sebagai tetamu yang biasa supaya aku pun dapat sebagai tuan rumah menyambutmu?"

"Aku bersedia menurut perintah mu taysu," sahut Jie In halus.

"Pinceng bernama Ko In," kata pendeta itu. "Silahkan sicu turut pinceng masuk ke dalam tempatku"

Ji in menurut, maka ia ikut masuk kedalam Ceng Im Kok. Sampai malam anak muda ini berdiam ditempat nya Ko In itu, baru ia keluar, dengan lantas ia menuju ke Kim Tian- ia berlari-lari keras, dengan begitu ia tiba dengan cepat.

Begitu ia sampai, didalam pendopo muncul seorang pendeta yang terus menyapa: ”Jie Sicu di-situ ingin pinceng menyampaikan berita bahwa ciangbunjin kami sudah mengubah tempat pertemuannya dengan sicu, Kim Tian menjadi puncak suci dari Ngo Bi Pay, maka itu ditukar dengan Cian Hud Teng."

Dengan lantas Jie In ingat keterangannya Tonghong Giok Kun. "Mana dia Kim Teng Siangjin?" ia tanya dingin, ia tertawa.

"Dia sekarang berada di Cian Hud Teng lagi menantikan sicu," sahut pendeta itu, "Pin-ceng diperintahkan untuk menyambut dan mengantarkan sicu kesana."

"Baiklah" sahut Jie In. "Sampai ini waktu pendeta tua itu masih tetap membawa lagaknya sebagai ketua"

Pendeta itu nampak gusar.

"Aku minta kau berhati hati mengeluarkan kata-katamu, sicu" katanya, "Haraplah sicu tidak mengundang sesuatu yang akibatnya tak menyenangi hati..."

Sepasang alisnya Jie In bangun.

"Mulutmu besar" katanya tak senang, "Apakah Kim Teng sipendeta tua masih berkuasa sebagai ciangbunjin dari Ngo Bi Pay?"

Pendeta itu melengak. Tak dapat ia menjawab pertanyaan itu, Tak dapat juga ia tidak menjawabnya. Memang benar Kim Teng Siang-jin sudah copot sebagai ketua mereka, bahkan dia telah kehilangan sin hu.

Jie In lihat orang serba salah, romannya tak sedap untuk dipandang, ia berlagak pilon. "Eh, kau kenapakah?" ia tanya berpura-pura. "Siapa membuat kau ketakutan?" Masih pendeta itu mendongkol.

"Kau mengganggu sicu" katanya, "Ijinkanlah pinceng mengundurkan diri silahkan sicu naik sendiri ke Cian Hud Teng"

Jie In tertawa lebar.

"Apakah kau menyangka tak dapat tidak aku mesti mengadu jiwa dengan Kim Teng si keledai bangsat itu?" ia kata. Terus ia berjalan pergi.

Pendeta itu terkejut, ia takut menyalahi tugasnya. "Sicu," ia berkata, "maaf untuk kelakuan pinceng yang

kurang ajar ini. Marilah pinceng memimpin sicu naik" Lalu ia mendahului si-anak muda berlari keatas, Sambil lari itu kadang-kadang ia menoleh kebelakang. Jie In tertawa, ia mengikuti.

Lewat dua puncak tibalah mereka disebuah-puncak yang tinggi sekali, Si pendeta sampai lebih dulu, dia berdiri diam dipuncak itu-

Jie In melihat kelilingan-"Inikah Cian Hud Teng?" ia tanya. "Itulah disana" sahut sipendeta seraya tangannya

menunjuk kedepan.

Jie In mengawasi. Terpisah dua puluh tombak lebih di sebelah depan tertampak sebuah puncak yang seperti masuk kedalam awan, diantara sinar rembulan disana tampak juga pepohonan- Seumumnya puncak itu gelap. Tidak ada jalan untuk sampai disana.

"Kenapa kau berhenti disini? "Jie In tanya sipendeta, "Kenapa kau tidak jalan terus?" ia tertawa dingin.

"Cian Hud Teng menjadi puncak suci, pinceng tidak berani naik kesana," pendeta im menjawab.

"Habis bagaimana jalannya untuk orang pergi kesana?" "Sicu toh mempunyai kepandaian ringan tubuh yang

mahir?" pendeta itu membaliki, "Apakah sicu tidak lihat disana - itu dua lembar jembatan rantai yang menghubungi satu dengan lain?" ia menunjuk.

Jie In heran juga maka lantas mengawasi ke tempat yang ditunjuk pendeta itu. Baru sekarang ia melihat dua lembar rantai, Memang orang dapat jalan disitu, tetapi disebabkan tiupan angin keras jembatan itu bergoyang goncang tak hentinya.

"Didalam ini mesti ada rahasianya..." ia berpikir, Maka ia berpaling kepada si pendeta dengan perlahan, acuh tak acuh.

Pendeta itu kaget ketika sinar matanya bentrok dengan sinarmata orang didepannya itu hatinya goncang.

"Kecuali jembatan kawat itu, apakah masih ada jalan lain untuk naik kepuncak?" tanya pula In Gak.

"Ada tapi tak dipakai," sahut si pendeta ”Jalanan itu menjadi jalanan terlarang selama seratus tahun lebih, Siapa lancang jalan disitu dia bagian mati orang kami yang dapat jalan d iatas jembatan rantai ini, kecuali ciangbunjin kami, belum pernah aku lihat seorang lain juga. Inilah bukan tak ada orang yang tak bisa hanya itu disebabkan larangan, yang tidak dapat dilanggar.”

Jie In tertawa.

”Kelihatan kau pun lihay,” ia kata, ”Silakan kau menunjuki jalan padaku. Aku jamin bahwa kau nanti turun pula dari Cian Hud Teng dengan tidak kurang sesuatu apa"

Pendeta itu kaget sampai mukanya menjadi pucat, Terang dia takut.

"Kepandaianku tidak berarti" katanya ”Tak dapat pinceng melintasi ini jembatan rantai, harap sicu tidak mentertawakannya..."

Jie In tertawa dingin, berbareng dengan itu tangannya menyamber jalan darah ji- khi dari pendeta itu hingga orang menjerit tertahan terus tubuhnya roboh dengan pingsan- Ketika itu angin bertiup keras. Jie In memandang kepada jembatan, yang bergoyang keras, ia mengawasi seraya berpikir.

"Pastilah ini tipu daya keji dari Kim Teng," ia menduga, "Selagi aku berjalan sampai ditengah dapat kejadian dua orangnya, yang berada di kedua seberang, nanti membikin putus jembatan istimewa ini, Dengan begitu pastilah aku bakal roboh hancur-lebur didasar jurang ini.

Sungguh dia jahat, Syukur aku curiga, Sekarang aku telah merobohkan ini satu orangnya bagaimana dengan yang diujung sana?..."

Ia menjadi bersangsi hingga ia mesti berpikir keras, Lantas ia ingat sesuatu, Maka ia berpikir pula: "Tak dapat aku dibikin bingung. jaraknya jembatan ini cuma kira-kira tiga puluh tombak dapat aku melompatinya dengan bantuan ilmu Leng Khong Hie Touw di gabung dengan Thian Liong Pat Sie, Kenapa aku tidak mau berlaku sebat? Sebelum mereka sempat memutuskan jembatan tentulah aku sudah sampai diseberang. Apa mereka bisa bikin atas diriku?"

Meskipun ia sudah berpikir demikian anak muda ini masih memandang kearah jurang yang dalam sekali, ia sukar melihat apa-apa, Didalam jurang itu, angin menderu keras.

"Sebenarnya apa bukan lebih baik untuk menyeberang dengan ambil jalan lain?" ia masih berpikir "Hanya buat apa aku menyebabkan Kim Teng si bangsat gundul memandang enteng kepadaku?"

Mengingat ini, semangatnya menjadi terbangun. Maka ia lantas mengambil keputusannya,

Terus ia lompat tujuh atau delapan tombak. ia berlompat dengan ilmunya, "Cian Liong Seng Thian" atau, "Naga naik kelangit." Begitu kakinya menginjak rantai ia lompat pula dengan berjumpalitan, hingga ia lewat lagi empat tombak" Ketika itu kepalanya berada di bawah dan kakinya diatas, Dengan kedua tangannya ia menjambret rantai, Tiba-tiba diantara suara angin ia mendengar pujian nyaring: "Sungguh ilmu silat Thian Liong Sin-Hoat yang lihay" Tentu sekali ia menjadi terkejut, apa pula itu waktu lantas ia mendapat lihat berkelebatnya satu bayangan didekat puncak menyusul mana terlibat juga sesuatu yang bersinar hijau menyambar kearah jembatan-

Diujung yang lain tampak sinar yang serupa, ia kaget karena ia dapat menduga apa artinya itu, itulah saat mati atau hidupnya...

Didalam keadaan yang mengancam itu. Jie In tidak menjadi bingung, Dengan tangan kanan ia mencekal rantai, ia menarik dengan menggentak keras, Maka itu bersama dua lembar rantai itu ia meluncur turun, menuju kesebuah batu besar ditembok jurang dari Cian Hud Teng.

Justeru itu ada tiga sinar pedang menyambar ke arahnya, Tidak ayal lagi ia menolak dengan tangan kirinya

Tiga kali terdengar jeritan paling susul lalu terlihat tiga bayangan orang terjatuh kedalam jurang .

Jie In sudah lantas tiba dibatu gunung dimana ia dapat menaruh kaki, Biar bagaimana ia kaget, Setelah dapat menetapkan hati, baru ia melongok kedalam jurang, ketepiannya, ia melihat banyak pohon rotan, dan lainnya yang kecil-kecil.

Tanpa oyot rotan, tak dapat orang merayap naik keatas atau turun ke dasar jurang, Akhirnya ia menghela napas.

"Sungguh Kim Teng jahat," katanya didalam hati, "Dilihat dari sini, berbahaya untuk aku manjat terus, Hanya bagaimana aku harus turunnya?.."

Lagi sekali Jie In mesti mengasa otak. ia menghadapi kesulitan disusun kesulitan, Lalu ia ingat ketiga orang yang terhajar roboh barusan, Mereka itu tentulah ketahui jalan naik dan jalan turun, Kalau tidak- tidak nanti mereka berada dipinggang jurang itu. Upamanya mereka tentulah bisa kembali dari tempat dari mana mereka datang...

Maka ia memandang tajam kesekitarnya, Lama-lama ia dapat lihat samar-samar, ia mendapatkan batu itu besar dan bundar sepuluh tombak lebih, ia heran, ia mengawasi terus, Dengan lewatnya sang waktu, ia dapat melihat dengan terlebih nyata pula.

Ada dua batang rotan dekat batu itu yang licin bekas dipegang-pegang atau dibuat main, Rotan itu meroyot turun, ia jadi curiga. "Mungkinkah dibawah batu ini ada jalannya?" pikirnya.

Tanpa berpikir lebih jauh Jie In pegang dua batang rotan itu dengan perantaraan itu, dia merosot turun, ia terus memasang mata, ia melihat dibawah batu sebuah lobang gua.

Dengan tubuh masih berayun ia menaruh kaki dimulut gua untuk masuk ke dalamnya, mendapatkan sebuah gua yang sangat gelap. Karena itu diwaktu bertindak ia berlaku hati-hati sekali, terutama ia memasang telinganya, ia bertindak dengan perlahan, Masuk kedalam hawa terasa dingin.

Terowongan pun makin sempit. jalanan banyak pengkolannya. Terang itulah jalan naik.

"Inilah tentu jalan untuk naik kepuncak Cian Hud Teng," pikirnya, ia jalan terus sejauh kira seratus tombak lebih ketika mendadak ia merandak. ia menangkap suaranya dua orang, Dengan lantas ia memasang telinga.

"Kenapa mereka bertiga masih belum kembali?" demikian suara yang satu. ”Jangan jangan Jie In tidak mau mengambil jalan di jembatan rantai itu, Untuk sampai di Cian Hud Teng, mesti ada jalan lainnya. Jie In pasti dapat memikir itu. Atau mungkin dia sudah tahu jalanan itu, Mustahil dia bersedia untuk menempuh bahaya?" ”Jalanan itu jalanan yang terlarang," kata yang lain- "Siapa jalan disitu dia bagian mati tanpa ampun lagi. Sudah seratus tahun lebih tak ada orang yang berani memakai jalan itu.

Mustahil Jie In berani jalan disana?"

"Apakah Jie In dapat dibikin takut oleh larangan itu? Bukankah dia liehay dan nyalinya besar sekali. Lihat saja, seorang diri dia berani mendaki Ngo Bie San dan nyelundup masuk ke Kim Tian mencuri sin-hu itulah tanda orang dengan keberanian luar biasa, Hanya Ciangbunjin seorang yang luas pengetahuannya, dia pandai menaksir hati orang Rimba Persilatan-

Dia percaya Jie In bakal mengandalkan kepandaiannya, meski karena keangkuhan atau kejumawaannya Jie In mengambil jalan jembatan rantai itu sedikitnya untuk dicoba- coba..."

Mendengar itu Jie In kagum berbareng terkesiap hatinya, Nyata ia sudah melakukan suatu pelanggaran kepada pantangan besar kaum Rimba Persilatan, Memang benar ia besar kepala, Memang tak seharusnya ia mengambil jalan jembatan rantai itu.

"Lain kali aku masti berhati-hati" katanya dalam hati. "Suhu memang mengatakan aku muda dan hatiku gampang goncang."

Ia kagum buat dugaanya Kim Teng Siangjin,

”Jadinya menurut kau pasti Jie In bakal mengambil jalan jembatan rantai itu?" kata pula yang kedua, "Kalau benar ini tentulah tubuhnya sudah hancur remuk di dasar jurang..."

"Belum tentu... Mungkin, mereka itu bertiga masih menunggu. Mereka bukan dari kelas satu tetapi mereka cerdik sekali. Atau ada kemungkinan lagi Jie In telah menduga kepada ancaman bahaya dan telah menggagalkannya... Ah, kasihan Kim Teng Ciangbunjin, kesukarannya bukan main, dia berduka tak terkira. Ciat In su-couw tidak sudi membantu padanya, hingga dia mesti menempuh bahaya seorang diri, jikalau usahanya itu gagal, pastilah Jie In bakal naik Cian Hud Teng itulah perbuatan berbahaya untuknya, tentu sekali Sucouw bakal menganggap ia melanggar larangan. Sucouw demikian liehay, mana sanggup Jie In melawannya?"

Mendengar pembicaraan lebih lanjut itu Jie In berpikir: "Benar sekali dugaan Tonghong Giok Kun. Benar-benar Kim Teng mencoba minta bantuan Ciat in Sucouw itu, Karena dia tidak dibantu, sekarang pastilah Kim Teng lagi menyembunyikan diri, Dia tentu hendak memancing aku supaya aku melanggar aturan Ciat in itu... Baiklah aku coba bekuk dua orang ini, guna mengorek keterangan dari mulutnya dimana Kim Teng sudah sembunyikan diri. Aku mesti langsung mencari dia, tak dapat aku menimbulkan lain urusan lagi."

Lantas In Gak memperhatikan dua orang itu. ia menduga ia terpisah lebih kurang sepuluh tombak dari mereka itu. Dengan berani ia menjejak tanah, untuk lompat kedepan,

Ia bergerak dengan sangat cepat tetapi ditempat seperti terowongan gua itu, suara anginnya bersiur nyata. Dua orang itu terkejut. "Siapa?" mereka tanya.

In Gak tidak menjawab, hanya sebelum-orang sempat berdaya, tangannya sudah menyambar pundak mereka itu.

Itulah gerakan tipu silat "Siang Liong Put cui," atau "Sepasang naga menyemburkan air" suatu jurus dari Hian Wan Sip-pat Kay bagian ci Liong ciu hoat atau "Mengekang Naga" Maka dua orang itu tak sempat berdaya menangkis atau berkelit, tubuh mereka lemas selekasnya mereka mengasih dengar suara kaget tertahan, keduanya roboh cuma mata mereka yang mendelong mengawasi.

"Apakah kau Jie In?" tanya yang satu yang suaranya parau, "Kau main membokong, kami tidak puas Aku minta kau bebaskan kami dari totokan, lalu kita bertempur satu lawan satu dengan begitu sekalipun mesti mati, kami puas."

"Tidak salah akulah Jie In" sahut In Gak yang menarik pulang kedua tangannya "Aku tidak berniat membunuh orang maka itu aku bokong kamu. Tidak dapat kamu menggunai kata-kata kamu untuk membikin aku gusar. Tidak bisa lain aku minta sukalah kamu bersabar sebentar"

Dua orang itu berdiam. Mereka merasakan tubuh- mereka makin lemah, Lantas mereka mengerahkan tenaga dalam, niatnya untuk melawan atau sedikitnya bertahan- Adalah keinginan mereka yang sangat untuk bisa membebaskan diri. Apa mau, justeru mereka mengerahkan tenaga justeru darah mereka menjadi mandek.

Bukan main kagetnya mereka. Cepat-cepat mereka menghentikan percobaan mereka itu.

"Kami masih mempunyai tiga kawan yang menjaga dimulut gua," berkata orang yang kedua, "Kenapa mereka belum juga kembali? Apakah mereka pun telan kena ditotok tuan?"

"Ketiga kawan kamu itu ?" Jie In mengulangi "Mereka itu menyerang aku dengan pedang mereka, aku mengalah dengan berkelit. Sayang mereka menyerang terlalu hebat, setelah serangannya gagal mereka tak dapat menguasai diri mereka, mereka terjerunuk masuk kedalam jurang dimana mereka mengubur diri mereka sendiri.”

Dua orang itu kaget, mereka mengawasi satu pada yang lain, mulut mereka bungkam.

"Aku si orang she Jie ingin memohon sesuatu kepada kamu, tuan-tuan” berkata Jie In kemudian- "Sekarang ini Kim Teng Siangjin bersembunyi dibagian mana di Cian Hud Teng? Aku minta kamu suka memberi keterangan kamu," suara itu perlahan dan sabar tetapi nadanya mengancam.

Dua orang itu mengangkat muka mereka, untuk mengawasi Jie In- Dengan lantas sinar mata mereka kedua belah pihak beradu, Dua orang itu terkejut. Sinar mata Jie In sangat tajam dan berpengaruh seperti pedang menusuk jantung hati mereka keruan berdebaran.

"Tuan apakah kau tidak menginsafi halnya siapa berbuat baik dia menanam kebaikan?" kata yang satu. "Bukankah baik untuk menahan diri guna tidak berlaku keterlaluan? Sungguh bagus kalau tuan bisa melepas tangan dimana tangan kau dapat dilepas. Bukankah Kim Teng ciangbun bukannya musuh besar turun temurun dari tuan?"

Lagi pula ilmu silat Kim Teng ciangbun tak ada dibawahan kau, tuan maka jikalau kamu sampai bertempur entahlah menjangan bakal terbinasa ditangan siapa, Maka itu jikalau menurut kami, suka kami memberi nasihat agar tuan menghentikan tindakanmu dan lantas pergi pulang saja..."

Jie In bersenyum.

"Kau bermaksud baik tuan tuan," kata ia. "Apakah tuan- tuan tidak tahu untukku ada jalan buat datang kemari tetapi tidak ada pintu buat pergi keluar? Bukankah sekarang ini anak panah sudah dipasang pada busurnya hingga jemparing tak dapat tak dilepaskan? sebenarnya aku si orang she Jie belum pernah aku bertindak keterlaluan dari itu kamu baiklah melegakan hati kamu. Tolong tuan tuan beritahukan dimana Kim Teng bersembunyi aku tahu bagaimana aku harus mengambil sikap terhadapnya."

Dua orang itu kaget.

"Apakah jembatan rantai sudah putus?" tanya yang satu. Dia tidak menanti jawaban, hanya dia menghela napas, Baru setelah itu dia menambahkan: "Sekarang ini Kim Teng ciangbun lagi menempatkan diri di kamar chong Keng Kok dari kuil Ban Siu Si, disebelah timurnya, pergilah tuan cari dia disana..."

Jie In mengangguk "Terima kasih," katanya, "Sekarang aku minta sukalah kamu berdiam terus disini, sebentar apabila telah tiba saatnya, kamu nanti dapat bebas sendiri."

Perkataan Jie In ini ditutup dengan totokannya kepada jalan darah tidur dari dua orang itu, setelah itu dengan cepat ia berlalu untuk maju terus kedepan.

Tidak lama maka tibalah Jie In diluar gua hingga ia melihat dirinya berada dipinggiran jurang cian Hud Gay.

Ketika itu rembulan sudah berada ditengah-tengah langit, bintang bintang mulai sirna. Sebaliknya sang angin menderu deru, suaranya berisik, dilembah terdengar kumandangnya.

Jie In memandang ke sekelilingnya. ia melihat sebuah kuil didepannya, ia percaya itulah Ban Siu Si. ia mendapatkan kuil sunyi dan tiada sinar apinya, Meski begitu, habis menghela napas ia toh lari kearah rumah suci itu.

Diatas chong Keng Kok. lauwteng tempat simpan kitab- kitab, diruang sebelah timur, di antara banyak para-para terdapat banyak sekali kitab, Didalam kamar itu, ditengah tengahnya seorang pendeta lagi duduk bersila diatas pouwtoan. Dia merangkap kedua tangannya dan kepalanya tunduk.

Dialah seorang pendeta tua, karena dia Kim Teng Siangjin ketua Ngo Bi Pay yang baru saja melepaskan kedudukannya sebagai ciangbunjin-

Nampak tegas pada wajahnya bahwa dia lagi mendongkol berbareng berduka, dari mulutnya saban saban terdengar suara tak tegas tanda dari pikirannya yang kacau, Dia telah memikir kalau tipu dayanya berhasil, pasti Jie In terkubur didasar jurang maka dari mayat orang dia akan mendapatkan pulang ciangbun Sin-hu, untuk dia memperoleh pula kedudukannya yang agung. Kalau tidak, tak dapat ia memikirnya... Tengah pendeta ini kelelap dalam pikirannya itu, tiba tiba ia mendengar satu suara perlahan yang nadanya dingin: "Aku si orang she Jie datang menetapi janji, Siangjin sungguh agung, taklah kecewa kau menjadi seorang ketua, aku si orang she Jie taklah sanggup menandingimu..."

Bukan kepalang kagetnya sipendeta, ia heran kenapa orang ketahui ia bersembunyi didalam chong Keng Kok. ia menduga kalau Jie In berhasil menyeberang ke cian Hud Sie, mestinya dia lagi mencari ubak-ubakan didalam Ban Siu Sie hingga dia mungkin kepergok Ciat In hingga dia bakal di ringkus pendeta berilmu itu. Tanpa menoleh lagi ia menggeraki tangannya kebelakang sambil tubuhnya bergerak. niatnya menyerang sambil berlompat bangun, Akan tetapi disaat ia mengerahkan tenaganya, mendadak ia merasa lengannya sakit lalu kaku, lalu napasnya mendesak mandek. hingga mau atau tidak, ia mesti mengasi dengar suara rintihan-

Jie In tahu baik orang liehay dan licik, dia menduga bakal menerbitkan suara untuk membikin kaget pada Ciat In Siansu maka itu dia sudah berlaku sebat mendahului dengan satu jurus Hian Wan Sip-pat Kay, "Kwe Seng menghitung binatang," dia mencekal lengan sipendeta, dia memencet dan mengangkat.

Maka itu ketika tubuh Kim Teng terangkat naik, tubuh itu lantas turun kembali tanpa menerbitkan suara.

Segera keduanya berdiri berhadapan, mata mereka saling menatap. Yang satu memandang keren, yang lain nampaknya likat sekali.

Jie In lantas berkata perlahan tetapi tajam: "Siangjin, hatimu sangat busuk." Mengapa kau hendak mencelakai aku sampai begini rupa? Sekarang apakah kau hendak bilang?"

Sekian lama Kim Teng Siangjin berdiam baru dia tertawa menyeringai malu dan berduka dan mendongkol.

"Kau beruntung sekali tak terkubur di dasar jurang, siecu itulah rupanya kehendakan Thian,” kata dia. "karena itu apa aku sipendeta tua bisa bilang? Hanya kalau kau mengatakan aku busuk. itulah tak tepat, Aku sipendeta tua menjalankan aturanku menghukum murid-muridku, tindakan itu tidak menyalahi atau menentang kau siecu, tetapi sebaliknya kau, kau telah membikin runtuh keagunganku sebagai seorang ketua partai hingga tak ada tempat untuk aku menaruh diriku.

Hal yang benar yalah aku melakukan perbuatanku saking terpaksa. Umpamakata kita berdua bertukaran tempat tidak nanti kau akan mengatakan aku sipendeta tua bertindak keterlaluan”

Jie In tertawa dingin-

"Jadi Siangjin hendak mengatakan aku si orang she Jie keterlaluan?" katanya. "Sicu ketahui sendiri, buat apa sicu menanya lagi."

Jie In mengawasi tajam, ia kata heran- "Kejadian hari ini mungkin seperti apa yang kau katakan, siangjin. Akan tetapi jikalau kau suka memikir dengan tenang, maka kau pastilah ketahui bahwa aku si orang tua she Jie telah bertindak dengan hati murah terhadapmu"

Kim Teng nampak melengak. "Sebenarnya aku cuma bertindak terlalu kukuh, sama sekali aku tidak bersalah terlalu besar," katanya, "Sekarang aku telah roboh ditangan kau, jikalau kau hendak mempersalahkan, pasti kau tidak kekurangan alasan..."

Jie In tertawa pula.

"Siangjin, bagus kata-katamu" katanya, "Apakah siangjin ingat halnya seorang yang bernama Twi Hun Poan Cia Bun? ketika dulu hari itu terjadi pengeroyokan pengecut di Siang Kang, itu telah terjadi karena kaulah yang berbuat, siangjin Mustahilkah siangjin tidak ingat itu dan tak menginsafi akan akibatnya?"

Mukanya Kim Teng Siangjin menjadi pucat, ia kaget bukan main- ia paksakan diri akan tertawa dan kata: "Ketika itu dua muridku telah dikorek matanya dan dikutungi anggauta tubuhnya, mereka digantung selama tiga hari, hingga mereka mati karenanya darahnya kering. itulah sebab utama permusuhan. Apakah pembalasan untuk itu tak layak?"

Mendengar bantahan itu, Jie In murka tak kepalang, hingga darahnya terasa bergolak.

"Tutup mulutmu" ia membentak, Jikalau bukannya murid- muridmu sangat jahat, mana bisa mereka mendapat hukumannya? Cia Bun adalah seorang tay-hiap. mana bisa dia membunuh orang tanpa salah-dosa?"

Diwaktu berkata demikian, hati Jie In sendiri bertentangan dengan sangat keras, ingin ia menuntut balas buat membunuh sipendeta, berbareng dengan itu ia seperti mendengar pesannya Bu Liang Siangjin untuk ia jangan membunuh orang, maka itu ia mengawasi sipendeta dengan matanya bersinar bengis sekali.

Kim Teng Siangjin telah menjadi nekad, ia pikir lebih baik mati daripada hidup, Maka itu dengan berani ia mengasih dengar tertawa dingin.

"Kiranya kaulah sahabatnya Cia Bun, sicu" katanya, "Kau mencari balas untuk sahabat-mu, kau harus dipuji, Dulu hari itu aku mengatur tipu jahat untuk menentang kejahatan, perbuatanku itu tidak ada orang yang mendapat tahu, tetapi sicu dapat juga menyelidikinya, kau benar cerdik luar biasa, coba itu waktu Cia Bun menangkap kedua muridku itu untuk diserahkan pada aku sipendeta tua, supaya aku sendirilah yang menghukumnya, pasti tak bakal terjadi peristiwa pengepungan di Siang Kang itu"

"Aku si orang she Jie bukannya lagi bekerja untuk sahabatku" kata Jie In lagi, "Aku lagi bekerja karena permintaan anaknya Cia Tay-hiap itu Tentang perbuatanmu dulu hari itu, jikalau kau ingin orang tidak mendapat tahu seharusnya janganlah kau kerjakan. Hm, Sampai saat ini kau masih memutar lidahmu yang lemas. Mari kita bicara dari kejadian hari ini itulah contoh. Kau sangat mengeloni murid- mu Maka seandainya dulu hari itu Cia Tay-hiap menyerahkan murid- niurid mu padamu siapa mau percaya bahwa kau bakal menjalankan aturanmu tanpa kau berlaku berat sebelah?"

Kim Teng kalah alasan, dia berdiam. "Sicu, jangan kau keterlaluan" katanya kemudian, "Tentang peristiwa dulu hari itu. sukar untuk dibicarakan sekarang, sulit buat mendapat tahu siapa benar dan siapa salah Cia Bun ada turunannya, kenapa turunannya itu tidak mau datang sendiri kemari?

Bukankah sakit hati ayah membuatnya orang tak dapat hidup bersama-sama dikolong langit? Sampai itu waktu aku sipendeta tua, aku akan mati puas.

Tapi sekarang sicu perlakukan aku secara memaksa. Dalam hal ini bukannya kepandaianku tidak berarti, itu cuma disebabkan kita belum mengadu jiwa, maka juga kekalahanku ini tak dapat aku terima"

Jie In masih mengendalikan diri, ”Turunannya Cia Tayhiap sekarang masih ada di gunung dimana ia lagi belajar silat, nanti ada saatnya dia bakal datang mencari sendiri padamu" katanya, "Sekarang ini aku siorang she Jie tidak mempunyai terlalu banyak tempo untuk melayani kau" ia lantas melepaskan cekalannya, ia kata pula: "Sekarang aku meminta diri, lain kali bakal datang-hari-nya yang kita akan bertemu pula"

Kim Teng Siangjin merasakan tenaganya habis, mau atau tidak- ia jatuh numprah.

Jie In ingin lompat ke jendela buat mengangkat kaki ketika ia mendengar satu suara orang tua yang keren yang datangnya dari arah jendela, katanya: "Apakah kau Jie In sendiri? Cian Hud Teng menjadi tempat terlarang semenjak seratus tahun, kau sengaja mendatanginya, kau benar bernyali besar dan lancang. Apa kau hendak bilang sekarang?" Jie In melengak. Didalam hatinya ia kata. "Akhir-akhirnya aku membikin kaget juga pada Ciat In Siansu Sudah terlanjur, biarlah" Maka ia lantas mengawasi keluar.

Di depan jendela dimana ada tanah pekarangan yang datar, dibawah sebuah pohon kayu yang besar dan daunnya lebat, nampak seorang pendeta tua bertubuh kurus dengan kumis dan jenggotnya telah putih semua, ia lantas lompat keluar untuk menghampirkan sampai kira delapan kaki.

Pendeta itu mengawasi tajam, terus dia membentak: "Ha, didepan lolap kau masih berani mempertontonkan kepandaianmu” Dia berkata begitu dengan matanya bersinar tajam, terus tangannya diulur buat dipakai menyambar. Itulah sambaran hebat sekali. Jie In berkelit dengan tindakan Hian Thian Cit Seng Pou.

Pendeta tua itu terperanjat. Sekejap saja orang dapat menyingkir dari tangannya yang lihay itu, Tapi ia tidak berhenti, ia lantas berdetak pula, Sambil tubuhnya memutar, tangan kanannya meluncur.

Lagi sekali sambaran itu tak mengenai sasarannya, Tubuh Jie In berkelebat dan bebas. Bukan main herannya Ciat In - demikian si pendeta tua.

"Tidak pernah ada orang lolos dari sambaranku," pikirnya, "Dia ini benar benar orang lihay.”

Ketika itu terdengar tertawa perlahan dari Jie In yang berada dibelakang si pendeta.

"Locianpwe, kenapa locianpwe tidak suka memberikan ketika untukku memberi keterangan?" tanyanya, "Taruh kata benar boanpwe sudah berbuat lancang, tetapi pelanggaran ini bukan pelanggaran sengaja, ada alasannya untuk memaafkannya ..." Ciat In memutar tubuh dengan perlahan.

"Benar- benarkah kau tak tahu adanya larangan?" ia menegas. Jie In memperlihatkan sikap menghormat

"Boanpwe belum pernah merantau, pengetahuan dan pendengaranku cetek sekali." ia berkata, "apa yang pernah boanpwe lakukan yalah menuntut penghidupan sebagai tabib, Kali ini boanpwe datang kemari karena menerima permintaan keponakan muridmu untuk memenuhi undangan Kim Teng Siangjin untuk menguji kepandaian diatas puncak Cian Hud Teng ini..."

"Tentang itu, lolap sudah tahu," kata Ciat In, "dan apa  yang kamu berdua bicarakan barusan, lolap telah dengar semua, Perihal urusan Ngo Bi Pay. lolap sudah bersumpah tidak mau mencampur tahu, Tapi siapa lancang datang ke cian Hud Teng, dialah bagian mati Benar- benarkah kau tidak ketahui larangan itu."

"Locianpwe," kata Jie In, ”jikalau apa yang boanpwe katakan tidak benar, silahkan locianpwe tanya pada Kim Teng siangjin pasti locianpwe akan mengetahuinya." ia hening sejenak. ia mengawasi pendeta tua itu, lalu menambahkan "Pastilah locianpwe menjadi orang tertua dari Ngo Bi Pay syukur boanpwe dapat mengunjunginya, Sukalah locianpwe memberitahukan nama dan gelaran locianpwe pada boanpwe?"

Pendeta itu mengawasi sejenak. "Namaku si orang tua sudah lama tak diketahui orang, maka itu tak usah kau tanya" ia menjawab "Biar bagaimana kau sudah naik ke Cian Hud Teng ini kau jadi sudah melanggar laranganku, Barusan kau dapat lolos dari samberanku, itulah bukti ilmu silatmu tak dapat dicela, maka sekarang lolap tidak mau membikin susah padamu, mari kau layani lolap. asal kau dapat bertempur sampai seratus jurus kau boleh berlalu dari sini dengan tidak terganggu." Jie In berdiam sekian lama, baru ia menjawab "Boanpwe tidak tahu diri, biarlah boanpwe menerima perintah locianpwe, cuma boanpwe mohon sukalah locianpwe berbelas kasihan..."

Ciat In siansu lantas berkata dingin: "Sebabnya kenapa sekarang lolap berada disini yalah karena belum pernah lolap mengenal kasihan, sudah lewat banyak tahun, masih lolap tak sudi merubahnya, maka itu sekarang setiap kali lolap turun tangan, pasti lolap tidak mau mengenal kasihan, karenanya segala apa lihat saja peruntunganmu"

Hati Jie In bercekat.

"Hebat orang tua ini," pikirnya. "Dia benar-benar jumawa dan keras hatinya. Kelihatannya malam ini tak dapat tidak, aku mesti keluarkan semua kepandaianku." Maka ia tertawa dengan jumawa, kakinya bertindak dengan tindakan Hian Thian Cit Seng Pou. ia bersiap dengan kedua tangan di dada, terus ia menjura, Habis itu ia kata: "Locianpwe, silahkan locianpwe memberikan pengajaranmu."

Alis putih dari Ciat In bangun, matanya pun bersinar bengis. "Benarkah kau berani tak memandang mata pada lolap?" tandanya membentak.

"Tidak. locianpwe," sahut Jie In tertawa, "Locianpwe sendiri yang hendak memberikan pengajaran padaku, Loeianpwe bilang aku dapat membebaskan diri dalam seratus jurus locianpwe akan membiarkan aku berlalu dengan tidak kurang suatu apa dari cian Hud Teng ini. Karena itu mana berani boanpwe menurunkan tanganku?"

Ciat In mengasih lihat wajah dingin.

"Kau berhati-hati" katanya, "Didalam seratus jurus itu lolap telah mengumpulkan semua macam ilmu silat dikolong langit ini maka itu lolap kuatir kau tak akan bertahan sampai semua seratus jurus itu..." Setelah begitu kedua tangannya lantas bergerak. cepat umpama kata kilat. Jie In menggeser tubuh kekiri, jauhnya setombak lebih. ia bergerak dengan sangat cepat, toh ia terkejut, Tangannya Ciat In meluncur terus kepadanya. Terpaksa ia bergerak lebih jauh dengan Hian Thian cit Seng Pou, tindakan Tujuh Bintang.

Ciat In menjadi jago Ngo Bi Pay yang utama, sudah begitu selama beberapa puluh tahun terkeram dipuncak cian Hud Teng, ia tidak alpa dengan ilmu silatnya, maka itu dapat dimengerti berapa jauh ia telah memperoleh kemajuan-

Jie In kaget mendapatkan ia disusul terus, ia tidak kena terjambret tetapi anginnya serangan sipendeta terasa menusuk telinganya. Maka ia kata dalam hatinya:

"Pendeta ini hebat luar biasa jikalau kepandaiannya ini diwariskan semua kepada orang-orang Ngo Bi Pay, pasti Ngo Bi Pay bakal jadi jago Rimba Persilatan-"

Tengah berpikir ini, Jie In menjadi kaget pula, ciat In menyerang ia dengan jurus "Ngo Gak Teng In" atau "Lima gunung besar menelan awan", Tanpa diketahuinya pundaknya di bagian jalan darah kin-Ceng telah kena disentuh.

Dalam sekejap pundaknya itu, pundak kiri menjadi kaku, Sambil mendaki ia segera melakukan pembalasan, Dengan lima jari tangan kanan dengan jurus "Hun Sui Kim Liong" atau "Memecah air menangkap naga" ia menyamber tangannya sipendeta, itulah suatu jurus Ci Liong Ciu Hoat dari Hian Wan Sip-pat Kay.

Ciat In terkejut ia merasa tangannya, di bagian nadi, kena tercekal lawan- Baru sekarang ia insaf lawan benar-benar lihay luar biasa. Untuk menolong diri, sambil menarik pulang tangan kanannya itu, dengan tangan kirinya ia menyerang.

Jie In tahu diri, ia mengenal batas, Tanpa menanti serangan tiba, ia sudah mencelat mundur tujuh kaki, inilah gerakannya yang dinamakan "Kim Lee To Coan Po" atau "Ikan gabus emas berjumpalitan menembusi umbak" ia melesat jauhnya delapan tombak. Hebat serangannya Ciat In itu, Kehilangan sasarannya, tangannya menghajar pohon aras dibelakang lawannya, hingga pohon itu bergoncang keras.

"Locianpwe, aku mohon tanya." Berkata Jie In, "apakah telah cukup jumlah seratus jurus?"

Tanpa merasa saking cepatnya, mereka sudah melewati banyak jurus.

Melihat kegesitan lawan, Ciat In menghela napas dalam hatinya dan berpikir: "Benarlah apa yang dibilang mengenai lihaynya orang ini, Aku merasa ilmu silatku sudah luar biasa hingga aku menjadi jumawa, tidak tahunya ada orang yang dapat menimpali aku, Aku ingat kata-katanya almarhum ciangbunjin bahwa aku, karena sesatku apabila aku campur urusan Ngo Bi Pay, aku bisa membikin NgoBiPay runtuh karenanya, ini pula sebabnya Kenapa aku telah bersumpah tidak mau mencampuri urusan Partai, Sekarang berbukti aku lagi menghadapi orang tangguh ini. Memang, apabila aku roboh ditangan dia ini, habislah sudah Ngo Bie Pay..."

Justeru ia berpikir, ia mendengar pertanyaannya Jie In itu. "Baru empatpuluh sembilan jurus" ia menjawab "Apakah kau jeri?" ia menjawab dingin.

Jie In tertawa tawar, ia menyahut: "Kepandaian boanpwe cetek sekali tak dapat boanpwe dibandingi dengan locianpwe, Akan tetapi locianpwe telan menjanjikan batas seratus jurus, boanpwe merasa bahwa dalam seratus jurus taklah sampai boanpwe kena dirobohkan" 

Mendengar itu sinar mata ciat In berubah menjadi sinar- pembunuhan, Teranglah bahwa hatinya menjadi panas.

"Benarkah katamu ini?" ia tegaskan- "Lo-lap..." Mendadak sinar mata itu beruba menjadi lunak pula,

Dengan menghela napas, ia kata: "Pergilah kau meninggalkan cian Hud Teng Lolap tidak akan melakukan pembunuhan Kim Teng sudah kehilangan kedudukannya sebagai ketua dengan begitu lolap menjadi dapat kawan untuk memahami pelbagai kitab guna melewatkan dihari-hari yang sunyi diatas puncak ini. Hanya baiklah kau ingat kalau nanti datang harinya Kim Teng pergi mencari kau itu artinya telah tiba hari dari kecelakaanmu"

Jie In melengak.

"Rupanya locianpwe hendak mewariskan semua kepandaian locianpwe kepada Kim Teng Taysu?" kata ia perlahan-

"Benar," menjawab sipendeta, suaranya keren, "Lolap sudah bersumpah tidak mempedulikan urusan Ngo Bi Pay, sumpah itu hendak lolap hormati. sebenarnya kau harus dihukum picis tetapi lolap tidak mau melanggar sumpah, maka selanjutnya tugas melindungi Ngo Bi Pay akan lolap serahkan pada Kim Teng keponakan muridku itu."

"Itulah urusan locianpwe, boanpwe tidak berhak mencampur tahu," berkata Jie In, "hanya ingin boanpwe tegaskan, Kim Teng berpikiran cupat, dia tinggal menanti saja hari kebinasaannya "

Habis mengucap begitu Jie In tertawa berkakak, lantas tubuhnya mencelat, jauhnya belasan tombak hingga dilain saat ia sudah meninggalkan kuil Ban Siu Si itu.

Didalam pendopo Kun Louw Tian dari kuil Tay Seng Si empat tianglo lagi duduk bersemedhi, Merekalah Ci Tiok serta saudara-saudara seperguruannya, Keempatnya bersila di- hadapan Sang Budha, tubuh mereka seperti digulung asap dupa yang harum, sedang seluruh ruang terang dengan api lilin-

Ketika itu sudah jam empat kira-kira. Sang malam sunyi sekali, Tapi kesunyian itu mendadak terganggu dengan jatuhnya sebuah genting dipayon diluar ruang, Keempat tiang- lo terkejut semuanya lantas mengangkat kepala untuk menoleh, mata mereka dibuka. Justeru itu mereka melihat suatu benda menyamber dari luar.

Kouw Siu Taysu mengangkat tangannya diulur guna menyambuti benda itu. Begitu ia sudah melihat jelas barang itu yalah ciangbun Sin-hu, ia berseru: "ltulah Jie In jangan kasih dia lolos atau nama Ngo Bi Pay runtuh"

Hampir berbareng, tubuhnya keempat tianglo mencelat dari tempat duduknya untuk berlompat keluar.

Dalam sekejap itu maka riuhlah suara genta. xxx

DI LUAR kota Seng-touw dimana ada Bu Houw Su atau kuil cu-kat Liang yang penuh dengan pepohonan pek yang lebat, hingga pepohonan itu seperti tak kenal musim rontok. disana terlihat In Gak lagi berjalan perlahan-lahan diantara jalanan yang berbatu, ia lagi pepat pikirannya, ia mencoba melegakan itu dengan jalan bersenandung.

Sekarang ini pemuda itu dibikin sulit dengan urusan di pulau Giok ciong To. Mundur tak bisa, maju sukar, Maka itu ia jadi mesti berpikir keras sekali.

Ketika kemarin dulu malam In Gak meninggalkan Ngo Bi San dimana ia membayar pulang ciangbun Sinhu dengan melemparkannya kepada Kouw Siu Tianglo berempat ia dikejar mereka itu tanpa hasil, jangan kata ia tertangkap. terkepung pun tidak. dalam sekejap ia hilang dari matanya sekalian pengejar itu.

Ketika mengejar dengan sia-sia sampai di kaki gunung, Pek Siang Taysu kata pada kawan-kawannya: "Aku lihat percuma kita mengejar Jie In. Kim Teng Suheng terlalu membawa dirinya sendiri, dia jumawa karenanya dia kehilangan kedudukannya sebagai ciangbunjin,  ”Saudara Kouw Siu taruh kata kira dapat menyusul Jie In, apa kita bisa bikin?"

Kouw Siu melengak. Akhirnya ia menghela napas dan memutar tubuhnya untuk pulang ke kuilnya.

Dua hari In Gak berdiam di Seng-touw. ia menanti kembalinya song Bun Kiamkek. Bersama Chong Si ia berniat meninggalkan cheng Shia menuju ke Touw-kang-yan, kekuil Ji Un Bio, ia mau minta chong Si bersama Lui Siauw Thian pergi ke Giok ciong To, ia sendiri ingin pergi ke cap In Gay, Pak Thian San-

Diwaktu mau berangkat ia telah minta bantuannya Leng Hui, untuk Leng Hui pergi ke Ke-leng, guna menggali kuburan ibunya, guna tulang belulang ibu itu diangkat dan dikubur menjadi satu dengan tulang belulang ayahnya, ia membuat peta gunung Po Hoa San agar Leng Hui tidak keliru, ia pun memesan wanti wanti sambil menjanjikan pertemuan pula dikuil Bu Houw Su di Seng touw itu.

Ia menghitung-hitung harinya, ia percaya Leng Hui akan sudah kembali, siapa tahu Leng Hui atau Song Bun Kiamkek, belum tiba juga, Maka ia menjadi berkuatir dan menduga- duga: "Mungkinkah ditengah jalan dia bertemu musuh dan menjadi terlambat karenanya...?"

Malam itu rembulan guram dan bintang-bintang jarang, suasana sunyi. Tengah In Gak merasa kesepian, ia mendengar suara melesat diluar tembok. lantas tertampak lompat masuknya satu bayangan orang yang segera tiba didepan kuil. Nyata dialah Leng Hui yang lagi ditunggu-tunggu itu.

"Syukur aku tidak mensia-siakan tugasku" kata Leng Hui sambil memberi hormat dan

bersenyum, "Ditengah jalan aku bertemu seorang sahabat dalam kesukaran, aku membantu dulu padanya yang meminta sangat bantuan, karena itu aku terlambat pulang, Aku membikin kau menanti lama siauwhiap. sukakah kau memaafkannya?"

In Gak tertawa.

”Jangan bilang begitu saudara Leng," katanya, "Malah aku tak dapat membalas kebaikanmu yang telah bekerja untukku, Kau tentu letih dan belum dahar, mari kita pergi kedalam kota untuk bersantap besok pagi kita pergi ke ceng Shia untuk mengajak Pit Tayhiap berangkat bersama."

Leng Hui setuju, maka itu berdua mereka meninggalkan kuil menuju kedalam kota.

XXX

Dikota Pian-keng, Pun Lui Kiam-kek Suma Tiong Beng, pemilik dari Thian Mapiauw Kiok, girang sekali menyambut kedatangannya Cia In Gak yang bersama-sama Pit Siauw Hong dan Leng Hui. ia menjamu mereka itu.

Piauwsu muda Suma Tiang siu muncul di dalam perjamuan itu bersama ciok Beng Kie isterinya. Mereka mengtaturkan terima kasih mereka. Beng Kie mengempo sepasang anaknya yang kembar.

"Lo-piauwsu, berbahagialah kau dengan sepasang cucumu ini" kata In Gak tertawa, ia memberi selamat kepada si piauwsu tua. Suma Tiong Beng tertawa bergelak.

"Inilah hadiahmu, laote” sahut piauwsu tua itu, "Menyesal kami tidak tahu dengan cara apa kami harus membalas budimu ini."

Pit Siauw Hong heran mendengar pembicaraan itu, Bagaimana In Gak dapat memberi cucu kepada piauwsu itu? Maka ia minta keterangan-

Suma Tiong Beng menjelaskan halnya Beng Kie ditolong hingga nyonya itu mendapat pulang kehebatannya guna memperoleh anak. Siauw Hong heran, Sekarang ia mengawasi sianak muda "Bagaimana siauwhiap" katanya, "Kau pandai ilmu tabib?" "Mengarti sedikit," In Gak menjawab, "Bukankah ada pepatah yang membilang, sekali tabib tolol didalam tempo sepuluh tahun mesti ada hari dari untung bagusnya? Begitulah kebetulan saja aku dapat memberikan pertolonganku."

"Siauwhiap gagah dan pandai" Siauw Hong memuji, "Siauwhiap cuma merendah saja."

Demikian orang bersantap dan minum dengan gembira, sampai seorang pegawai piauwklok terlihat datang dengan tergesa-gesa dan terus dia berbisik pada Suma Tiong Beng.

"Ya, aku tahu." kata tuan rumah seraya mengangkat tangannya, sedang alisnya terbangun.

Pegawai itu berlalu pula, sedang majikannya minum araknya dengan gembira seperti biasa.

In Gak heran-

"Ada apakah?" ia tanya tuan rumahnya.

"Kita sekarang lagi bergembira" kata tuan rumah tertawa, "Sebentar saja kira bicara pula"

In Gak tidak mau mengarti.

"Lo-piauwtauw sukalah memberi keterangan," ia mendesak. Suma Tiong Beng menghela napas, "inilah perkara Hui

Thian Auw-cu Law Keng Tek." katanya masgul, Alisnya In Gak terbangun "oh, dia" katanya keras, sedang matanya bersinar bengis.

”Jangan gusar, laote" kata Suma Tiong Beng tertawa, "Kita pun tak dapat sesalkan Law Keng Tek. Sudah tiga puluh tahun dia menjadi jago di Ho-lok. setelah dirobohkan laote dia lantas menjadi ciut nyalinya, Tapi tak dapat selamanya dia mengekang diri. Mana dia bisa tenteram hati melihat pelbagai piauwkiok tak menghormatinya lagi seperti dulu-dulu? Belum lama terdengar dia sudah membangun diri pula.

Katanya dia memperoleh bantuannya Leng Siauw cu ketua Hoa San Pay serta Soat San Jin Mo. Kabar itu aku tidak perhatikan, aku kira hanya kabar angin belaka, siapa tahu semua piauwklok lainnya percaya betul, mereka jadi bergelisah lantas mereka mengadakan rapat untuk bicarakan daya guna menghadapinya. Aku sendiri, aku minta mereka berlaku sabar..."

Mendengar disebutnya Leng Siauw ciu dan Soat SanJin Mo, In Gak menjadi gusar, "Apakah warta itu benar?" ia tegaskan, "kelihatannya tak dapat disangsikan lagi." sahut Tiong Beng.

"Barusan orangku memberitahukan bahwa telah diterima kabar halnya Leng Siauw ciu bersama Soat San Jin Mo telah tiba di Him Ji San pada tiga hari yang baru lalu, bahwa Ban Seng Piauw Kiok telah menampak kerugian digunung Him Ji San itu dimana piauwnya telah dirampas Law Keng Tek.

Katanya pihak perampas itu telah menyampaikan pesan supaya didalam tempo tujuh hari semua piauwkiok mengirim wakil untuk membuat kunjungan kegunung Him Ji San..."

In Gak tertawa dingin.

"Itulah mudah," katanya, Terus ia menyambungi perlahan kepada si piauwsu tua. Mendengar itu romannya Suma Tiong Beng menjadi terang. ia segera berbangkit.

"Kembali kita mengganggu siauhiap." katanya. "Nanti aku menyampaikan kabar pada mereka itu. Tuan-tuan, minumlah dengan perlahan-lahan, aku si orang tua hendak pergi sebentar, segera aku kembali." ia lantas bertindak pergi.

Leng Hui berbisik pada In Gak: "Apakah urusan ini tidak akan menghambat kepergian kita ke Giok ciong To?"

"Aku rasa tidak-" In Gak menjawab "Sekarang ini sekalian saja aku menuntut balas guna ayahku, Aku percaya urusan di Giok-ciong To bakal dapat dibereskan mereka itu."

Mendapat jawaban itu, Leng Hui tidak bilang apa-apa lagi. In Gak lantas berbangkit akan pergi keluar kantor piauwkiok.

Jit Goat Sianjin ciang Louw Kun lantas turut keluar, hanya ia langsung menuju k ke istal, untuk menuntun seekor kuda pilihan, ia menghampirkan si anak muda seraya berkata: "Siauwhiap. inilah kuda pilihan jempolan, dia dapat lari keras dan jauh. Semoga siauwhiap berhasil"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar