Menuntut Balas Jilid 32 : Murid yang lebih pandai dari sang guru

Jilid 32 : Murid yang lebih pandai dari sang guru

MAKA pecahlah kepalanya itu, remuk tulang-tulangnya, darahnya muncrat pula, Dengan roboh tubuhnya, jiwanya juga melayang pergi.

Hoat In Siangjin memuji pula, tetapi ia meneruskan berkata: "Siauwhiap. kau telah membawa datang ancaman mara bahaya untuk kaum Rimba persilatan di Tionggoan . .

In Gak heran hingga ia melongo.

"Aku minta taysu jangan buat kuatir," kata ia kemudian, "Berhubung dengan perkara ini aku sendiri akan pergi kepulau Giok Ciong To untuk berurusan dengan Nio Tocu untuk membereskannya, Melainkan aku minta supaya peristiwa ini janganlah disiarkan dulu."

Ketika itu Lui Siauw Thian menghampirkan saudara angkatnya,

"Shate," ia berkata, "kita perlu lekas pergi ke Thian San, akan tetapi sekarang ada dua urusan yang membutuhkan yang kau sendiri harus menyelesaikannya. Aku Lui Losu, aku bingung, Sekarang aku mau tanya kau, bagaimana kau hendak bertindak.."

In Gak tercengang, ia mengawasi kakak angkat yang nomor dua itu. Tempo ia hendak menanya, ia mendengar suara batuk-batuk dari Chong Si, sang kakak pertama, ia lantas menoleh kepada kakak itu. ia melihat orang mengerutkan alis.

"Tidak perduli ada urusan apa juga, sekarang marilah kita turun gunung dulu" berkata pengemis itu. "Sebentar barulah kita bicara pula." Lantas dia menoleh kepada Hoat in dan pihak ceng Shia San, untuk memberi hormat, buat meminta diri.

Cian Yap tidak dapat menahan lagi, maka ia mengantarkan semua tetamunya itu turun gunung.

Ketika hendak berpisahan didepan kuil Tiang Seng Kiong, In Gak memberikan janjinya dengan berkata: "Kapan nanti aku yang muda pergi ke Giok-ciong To pasti aku akan mengambil pulang kitab Hong In Pat Jiauw, untuk diantar pulang kegunung ini."

Pit Siauw Hong yang turut mengantar menyahuti: "Kalau nanti siauwhiap pergi kepulau itu aku minta mesti siauwhiap mengabarkan padaku, Aku mau turut pergi bersama Apakah siauwhiap setuju?"

"Baik," menjawab In Gak.

Maka berangkatlah mereka meninggalkan gunung ceng Shia San- Ditengah jalan Lui Siauw Thian berkata: "Shate, Biauw ciu Kun Lun Ce Hong pun turut datang bersama, oleh karena sebelumnya dia sucikan diri dia bermusuh dengan ceng Shia Pay, dia tidak turut dalam rombonganku. Sekarang dia lagi menunggui kau dikuil Jie ong Bie di kecamatan Koan koan."

In Gak mengasi dengar suara "oh" ia tidak membilang apa- apa, ia berdiam, kelihatannya ia berpikir keras.

oooo

Kuil Jie ong Bic ada kuil untuk menghormati Lie Peng ayah dan anak. Lie Peng adalah orang dari jaman Kerajaan Cin dan ia berjasa karena ialah ahli pengairan untuk propinsi Su-coan. Bersama puteranya ia membuat waduk sungai Touw Kang di Goan-koan yang mendatangkan berkah itu.

Maka orang membangun kuil itu buat menghormati dan memujanya Di dalam situ sekarang berkumpul bersama rombongannya, Disitulah Lui Siauw Thian omong banyak.

"Shate, adakah tidak selayaknya ketika di In Bong Tek kau meninggalkan kita tanpa bicara lagi," demikian Kian Kun ciu menyesalkan adik angkatnya itu, "Karena itu Kim Teng Siangjin mendapat ketika memaksa Kang Yauw Hong, Lo Siang Bwe, Kiang cong Yauw dan Tonghong Giok Kun pulang ke Ngo Bi San untuk menerima hukumannya.

Kau tahu, kepala keledai gundul itu sangat membenci kau tidak datang sendiri kegunungnya untuk minta maaf, dia hendak merusak juga mukanya Yauw Hong katanya supaya kau puas..."

In Gak mengerutkan alis, lalu alis itu terbangun kedua matanya mengeluarkan sinar tajam.

Lui Siauw Thian mengangkat tangannya untuk mencegah orang membuka mulut, ia berkata pula: "oleh karena itu keempat nona Tio, Ciu, Kouw dan Hu sudah berangkat ke Ngo Bi San untuk menemui Ban in Su-thay guna memohon bantuan, sayang sekali, Ban in Su-thay tidak dapat menolongi Yauw Hong, ia kata kalau ketuanya telah mengeluarkan putusan, ia menjadi tidak berdaya lagi... inilah baru satu gelombang.

Gelombang ini belum lagi tenang lantas mendampar gelombang yang lain-nya. Di Giok ciong To ada Ni Wan Lan serta adiknya yang memerlukan pertolongan kau. Aku tahu kau sendiri, dimuka tanggal satu bulan delapan, kau sudah mesti berada digunung Thian San. Kau lihat, kau harus memecah diri Bagaimana itu? Bagaimana sekarang kakakmu beramai harus bertindak?"

In Gak berdiam tetapi dadanya berombak-Benar-benar ia lagi menghadapi soal sulit dan hebat. Bagaimana ia mesti memecah diri untuk menolongi dua-dua pihak yang sangat membutuhkan tenaganya itu? oleh karena ia berdiam, perlahan-lahan ia dapat juga menenangkan hati. ia berpikir terus.

"Perkara telah menjadi begini rupa kita bingung juga tidak ada faedahnya," kata ia kemudian "Aku juga tidak dapat menentang perintah guruku, Mana dapat aku memecah diriku? sekarang begini saja, Aku minta Kheng Sipe bersama ce Losu pergi ke NgoBi San- tolong kamu perlihatkan kepandaian  kamu untuk mencuri sin-hu dari NgoBi Pay, supaya untuk sementara waktu, Kim Teng Siangjin tidak dapat menjalankan kekuasaannya sebagai ketua. Kapan sinhu itu telah didapatkan harap sipe berdua kembali kekuilJi ong Bin ini menantikan aku." Kheng Hong tertawa terbahak.

"Buat guna kau keponakanku," ia kata, "baiklah tak segan aku pergi pesiar ke Ngo Bi San untuk mempertunjuki kepandaianku yang buruk disana"

Mukanya In Gak merah saking jengah.

"Chong Toako," ia terus kata pada chong Si, "dapat atau tidak kau buat gunaku pergi ke Giok Ciong To?"

Kiu ci sin Kay si Pengemis Sembilan Jari, bersenyum. "Shate," katanya tenang tenang, "urusanmu yalah urusanku, diantara kita tidak ada soal lagi, maka itu pasti aku dapat pergi kepulau itu."

Orang muda she Cia itu jadi sangat terharu, Bagaimana besar saudara-saudara angkatnya menyayangi dia.

"Toako." ia berkata pula, "tolong kau bersama LuiJiko pergi ke Giok Ciong To. Daya apa pun kamu dapat gunakan, guna menolongi Yan San Sin Ni semua, cuma pesanku yalah jangan toako memperlihatkan dirimu, jangan kamu memandang enteng kepada musuh. Artinya, toako berdua harus bekerja secara menggelap."

Sampai disitu, It Goan Kisu menyelak: "Aku si tua bersama anakku, suka aku pergi turut chong Losu"

In Gak dapat menerima baik tawaran tenaga itu. "Terima kasih" ia mengucap.

Maka itu selesailah sudah rapat mereka bahkan habis itu, semua lantas berangkat ke masing-masing tujuannya.

Pak Thian San, yaitu gunung Thian San bagian Utara, bermandikan salju selama seluruh tahun, maka itu dimana- mana didalam wilayah gunung itu, putih segala apa, Dilembah angin bertiup keras, membikin potongan-potongan es beterbangan merupakan seperti kabut.

Diwaktu demikian maka taklah dapat dibedakan yang mana langit dan yang mana bumi....

Justeru itu, dalam bulan ketujuh In Gak telah berada dilembah cap in Gay, ia menyaksikan salju beterbangan, ia merasakan hawa dingin yang menusuk tembus ketulang tulang, ia mesti menempuh terjangan angin selagi ia bertindak dilembah bertaburkan es itu, Syukur ia dapat bertahan, kebagian karena waktu ia baru tiba di Tekshoa, disana ia telah membeli baju kulit yang dapat menutupi seluruh tubuh dan kepalanya kecuali mata, hidung, dan mulutnya, ia berjalan sambil tunduk. kadang-kadang saja ia memandang kedepa atau kekiri dan kanan-

Telinganya terus mendengar, bahkan terserang sang angin, yang suaranya seperti memecah angkasa. Kedua matanya pun sampai sukar dibuka kapan angin lagi menyamber santer. Pula jalanan yang mendaki sukar sekali dijalani, Karena itu ia mesti menggunai ketiga macam ilmu ringan tubuhnya yaitu "cit Kim", "Te ciong" dan Thien Liong Pat Si" untuk dapat naik keatas.

Dan akhirnya pemuda ini sampai juga di atas puncak cap In Gay, hampir ia tak dapat pertahankan diri dari kerasnya sampokan angin dari serangannya, lempengan lempengan salju yang beterbangan, yang menyamber-nyamber kemulutnya.

Selagi kabut tertampak putih disekitarnya mendadak In Gak melihat berkelebatnya satu bayangan yang disusul dengan ini pertanyaan perlahan: "Anak In, disana?"

Perlahan suara itu, bagaikan suara nyamuk akan tetapi In Gak mengenali baik suara Beng Liang Taysu, gurunya hingga ia menjadi girang tak kepalang. "suhu" ia berseru.

Mendadak In Gak merasa tangan kanannya tersamber keras, belum ia tahu apa-apa, ia sudah lantas tertarik kedepan, hingga ia mesti menutup kedua matanya. Ketika sesaat kemudian tak terdengar lagi suara angin dan ia membuka kedua matanya, ia mendapatkan dirinya sudah berada didalam sebuah kamar batu dimana hawa pun hangat. ia lantas melihat wajah gurunya, yang nampak terlebih tua sedikit akan tetapi kesehatannya tetap sebagaimana sedia kala dan romannya tetap ramah tamah.

Dengan lantas ia menjatuhkan dirinya, untuk memberi hormat, Tak dapat ia mencegah rasa terharunya, lantas saja air matanya meleleh keluar dan ia menangis terisak-isak. "Anak In," berkata guru itu sabar, "bagaimana halnya kau selama setengah tahun ini?"

In Gak menjawab gurunya dengan menuturkan semua pengalamannya, sampai pun ia membeber urusan di Giok Ciong To dan Ngo Bi San- ia tidak berani menyembunyikan apa juga. Beng Liang Taysu bersenyum.

"Anak In, aku beri selamat padamu yang sakit hatimu telah tertuntut balas," kata guru yang baik hati ini. "Dengan begitu maka arwah ayah bundamu dilain dunia dapat dibikin tenteram dan berbahagia, Tentang kejadian di Ngo Bi San dan Giok ciong To, kejadian itu telah merupakan kenyataan, mengenai itu gurumu tidak hendak menegur kau, cuma aku mengharap sukalah kau ingat kepada Thian, jangan sekali kau sembarang melakukan pembunuhan supaya kau tak sampai menelad mendiang ayah-mu"

Hatinya In Gak menggetar "Murid akan menurut pesan suhu," ia ber-kata, Baru sekarang ia mengangkat kepalanya dan sempat menoleh kekiri dan kanan, ia heran tidak mendapatkan Bu Liang Siangjin diantara mereka..

"Mana suslok-couw?" ia tanya - menanyakan paman kakeknya.

Mendengar pertanyaan itu, sang guru memperlihatkan roman duka. ia menghela napas. "Setelah itu hari gurumu menemani suslok couwmu pulang ke cap in Gay ini," ia berkata memberi keterangan, "aku lantas mengobati suslokoouwmu itu yang kesehatannya terganggu. Setelah berselang setengah tahun, syukur aku berhasil menyembuhkannya, sementara itu selama setengah tahun itu, susiokcouw mu telah memperoleh kesadaran, Hanya sekarang ini...”

In Gak heran, ia menatap gurunya itu, ia tidak berani lancang menanya.

"Belum lama ini kebetulan saja susiokcouw-mu itu dan gurumu telah mendapatkan surat wasiat sucouwmu," Beng Liang Taysu menyambungi perkataaanya, "Pesan kakek gurumu itu berbunyi begini: "Lolap pernah menakluki Soat San Jin Mo Wi Sun, si manusia hantu dari gunung salju, setelah menggunai tempo tiga tahun barulah dia dapat dikurung didalam kamar dalam tanah didalam gua dibelakang jurang cap in Gay kita ini.

Wi Sun lihay luar biasa Lolap telah beritahukan dia, didalam tempo seratus tahun, dia tidak boleh lancang keluar dari dalam kamarnya itu, jikalau dia berani keluar, dia bagian mati tanpa ampun lagi. Setelah nanti dia sadar dan insaf, apabila sudah cukup temponya seratus tahun, baru dia dapat kemerdekaannya, Meski demikian lo-lap telah menghitung hitungi, tahun ini dibulan tujuh tanggal lima belas, dia bakal berdaya membebaskan dirinya.

Sekarang mengenai Bu Liang, Dia berbakat baik tetapi dia ada cacadnya, yalah satu sifat buruk. Selama hidupku belum berhasil lolap melenyapkan sifatnya itu, Maka itu terus lolap mendayakan-nya, supaya dia sadar sendirinya, Laut kesengsaraan tak ada ujung pangkalnya, orang cuma mesti memalingkan kepalanya sendiri, baru dia dapat mencapai tepian, Lolap harap dia nanti berhasil memperoleh kesadaran, agar dia dapat bertindak guna mencegah perlawanannya Wi Sun itu.

Baik bencana, baik kebahagiaan, dua-duanya tak ada pintunya, pada itu bergantung diri orang yang bersangkutan sendiri. Demikian pesan lolap."

Lohu itu yalah kata-kata dengan apa sucouwmu menyebut dirinya, Nyatanya ketika surat wasiat itu diketemukan kita, harinya yalah fajar tanggal lima belas bulan tujuh. Pula di detik itu juga, kita lantas mendengar suara bergemuruh digua belakang.

Kita menjadi terkejut, kita pergi sambil berlari lari melihatnya. Kita mendapatkan guha batu sudah gempur dan disana ada satu terowongan, Aku lantas mau maju untuk mencegah Wi Sun kabur, Susiokcoumu mencegah aku. Dia kata, untuk mentaati pesan sucouwmu dia sendiri yang mesti maju. Tidak dapat aku menantang susiokcoumu itu maka aku membiarkan dia masuk seorang diri kedalam gua itu, Tiga hari sudah lewat, guha sepi saja, Aku adi heran dan berkuatir. Akhirnya aku lompat turun kedalam gua untuk melihat.

Lalu aku mendapatkan Wi sun dan susiokcouwmu lagi duduk bersila berhadapan, kedua tangan mereka saling diluncurkan- jadinya keduanya lagi mengadu tenaga dalam mereka, Mereka sama tangguhnya. itulah alamat bahwa mereka bakal runtuh bersama.”

In Gak terkejut.

"Bagaimana kesudahannya, suhu?" ia tanya. "Sampai sekarang ini, susiokcouw sudah

bertempur lamanya setengah bulan, Apakah suhu tidak memikir untuk membantu?" Beng Liang Taysu menggeleng kepala, dia menghela napas.

"Kenapa gurumu tidak dapat memikir ini?" katanya, "Aku membantui, aku menghadapi kesulitan- Diantara susiokcouwmu dan Wi Sun dalam gelanggang dua tombak sekitarnya, tenaga dalam mereka telah merupakan semacam tembok tangguh, Tak dapat aku memasuki itu, jikalau aku memaksa, meski benar Wi Sun bisa dirobohkan, tetapi juga susiokcouwmu bisa turut bercelaka sendirinya.

Oleh karena itu gurumu menjadi tak berdaya, terpaksa setiap hari tiga kali gurumu pergi kedalam gua itu untuk melongok, Selama itu selalu gurumu memikirkan daya untuk menolongi, selalu aku tidak berhasil...”

Habis berkata itu Beng Liang menjadi berduka.

In Gak berpikir keras.

"Suhu, dapatkah suhu mengijinkan murid pergi dalam gua itu?" ia tanya kemudian "Murid ingin melihat ada jalan atau tidak untuk mencoba membantui susiokcouw." Beng Liang Taysu berpikir keras. "Baiklah," katanya sejenak kemudian "mari gurumu mengantarkan kau. Tapi ingat jangan sekali kau sembrono turun tangan supaya kau tidak mencelakai susiokcouw-mu."

"Murid tahu suhu," kata In Gak berjanji Lantas berdua guru dan murid itu pergi kebelakang keguha, In Gak lantas melihat terowongan yang dikatakan gurunya. Lubang itu luas setombak bundar, ia berdiri dimuka lubang, untuk mengawasi kedalamnya. Gelap segala apa tak terlihat nyata.

"Suhu, berapakah dalamnya gua ini?" ia tanya.

"Kira-kira dua puluh tambak." sahut Beng Liang Taysu. "jikalau kau lompat turun dengan menggunai Te ciong sut, kau dapat naik pula, Wie Sun pun dapat keluar jikalau ia mau, apa mau dia di sangsikan ancaman sucouwmu maka itu dia keburu dirintangi susiokcouwmu. Mari"

Guru itu terus mencekal tangan muridnya maka bersama- sama mereka lompat turun.

In Gak cuma mendengar suara angin, lantas kakinya menginjak tanah ia terus memasang mata, Samar samar ia melihat dua orang berduduk diam bagaikan patung-patung tanah liat, Sesudah lewat sekian lama ia menjadi biasa ditempat gelap. ia dapat melihat dengan terlebih nyata pula.

Wie Sun itu mempunyai rambut panjang yang menutupi kepalanya, juga tangan dan kakinya, hingga dia mirip seekor orang hutan-

Kedua matanya bersinar sangat tajam, Kedua tangannya ditaruh didepan dadanya.

Bu Liang Siangjin duduk bersikap sama seperti Wie Sun, Maka itu keduanya tetap saling mendorongkan tenaga dalam mereka, Susiok-couw ini meram matanya, sikapnya tenang tapi tegang.

Diam diam In Gak meluncurkan tangannya lantas ia merasakan tenaga menolak yang kuat, maka lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu. Segera ia berpikir keras, ia mengasah otaknya, ia ingin mendapat jalan untuk memisahkan kedua orang itu dengan kesudahan susiokcouwmu terlindung keselamatannya dan Soat San Jin Mo, sihantu manusia dari gunung salju-soat San- dapat dikuasai, inilah kesulitan paling sulit yang ia pernah dihadapkan-

Beng Liang Taysu berdiam saja, matanya mengawasi muridnya ini. ia tahu murid yang cerdas itu lagi mengasa otak. ia tidak mau mengganggu.

In Gak terus berdiam ia ingat ilmu Pouw-te pwe Yap Sian Kang. Pikirnya: "Kenapa aku tidak mau menggunai ini supaya aku bisa berbareng menolongi orang dan melukai lawan?" ia tidak berpikir lama untuk mengambil putusannya, Maka ia lantas memilih tempat untuk segera duduk bersila untuk lantas membaca mantara sedang kedua tangannya diangkat perlahan-lahan-

Beng Liang Taysu heran menyaksikan gerak gerik muridnya itu, Meski demikian, ia tetap tidak hendak mengganggu .

Dalam suasana tegang itu ia dapat menguasai diri untuk terus bersikap tenang.

Belum lama maka Wie Sun merasa ia tertiup hawa bagaikan angin bersilit lembut. ia heran hingga hatinya bercekat, Lantas juga ia terkejut, ia merasakan siliran hawa itu berubah menjadi berat, sangat mendesak kepadanya.

Dengan perlahan tetapi tentu perubahan desakan itu berlanjut terus, Makin berat, makin berat, lalu dadanya sesak. susah ia bernapas, ia menjadi kaget sekali, ia lantas melirik kearah dari mana hawa itu datang ia melihat seorang muda tengah meluncurkan tangan kearahnya, ia menjadi kaget dan bingung.

"Celaka aku apabila aku tidak balas menyerang dia," pikirnya, Maka timbullah niatannya untuk menyerang supaya kedua pihak bercelaka bersama ia pun tidak bepikir lama, Mendadak ia berseru, mendadak ia menggeraki kedua tangannya, yang dikerahkan dengan tenaga penuh dua belas bagian.

Dengan tangan kanan ia menolak Bu Liang Siangjin secara kaget, dengan tangan kirinya ia menyerang si anak muda.

In Gak lantas merasakan gempuran, yang membuat tubuhnya bergeming beberapa kali hingga ia mengeluarkan suara "Hm" ia tetap duduk tegaki tubuhnya tertutup terlindung, tenaga menolaknya tak berkurang, bahkan bertambah.

Wi Sun menjadi bertambah heran dan kaget, ia lantas mengulangi serangannya, sekarang dengan kedua tangannya, ia menarik pulang tangan kanannya yang dipakai menolak Bu Liang Siangjin.

Melihat datangnya serangan dahsyat itu, matanya In Gak mengeluarkan sinar tajam. Tubuhnya terus bergerak mumbul, ia pun membarengi menyerang, dari atas kebawah.

Segeralah terjadi satu bentrokan yang maha dahsyat, Kamar gua itu bagaikan gempa, suaranya sangat berisik, Akibatnya itu yalah Wi Sun memperdengarkan jeritan hebat dan tubuhnya roboh, sedang In Gak juga jatuh.

Beng Liang Taysu kaget bukan main, Paling dulu ia melihat Bu Liang Siangjin duduk menyender ditembok. kedua matanya terus meram. Paman itu lagi meluruskan jalan napas-nya, ketika ia melihat In Gak, ia mendapatkan murid itu rebah ditanah mukanya pucat dari mulutnya keluar darah, Tubuh murid itu diam tak berkutik. Ketika itu tubuh Wi Sun bergerak. rupanya dia mau berbangkit bangun.

Melihat demikian, Beng Liang Taysu berlompat kepada hantu manusia dari Gunung Salju itu, kedua tangannya digeraki, untuk menyerang. Tiba-tiba Wi Sun tertawa menyeringai dan kata: "Aku situa bakal segera berangkat ke alam baka, apakah taysu masih hendak menurunkan tangan atas diriku?"

Beng Liang Kuatir orang menggunai akal licik, ia mengawasi bengis, kedua tangannya terus siap sedia.

Wi Sun kembali tertawa menyeringai ia berkata pula: "Pendeta tua Bu Wi benar-benar pendeta sakti, dia dapat menduga yang aku si tua tentu tidak bakal dapat bertahan berdiam didalam guna ini hingga seratus tahun. Dia telah mengatakan, jikalau aku paksa keluar juga, aku pasti bakal terbinasakan, sekarang kata-katanya itu berbukti Aku s itua, aku mati dengan mata meram... Kau pernah apa dengan Bu Wi si pendeta tua itu?"

"Bu WiSiangjin yalah guruku," sahut Beng Liang. Wi Sun menunjuk pada In Gak. "Siapa dia itu?"

"Dialah muridku," sahut pula Beng Liang suaranya dalam.

"Si Hwesio tua sakti" kata Wi Sun. "Aku yang tolol"

Mendadak dia roboh seraya muntah darah, Tapi dia tertawa menyeringai dan kata, "Si Hwesio tua pernah membilangi aku bahwa aku bakal terbinasa ditangan cucu muridnya, dia nyata tidak omong kosong: Aku si tua tadinya menyangka bahwa kecuali aku dikolong langit ini sudah tidak ada lawanku, siapa sangka... Eh muridmu itu juga tidak bakal tertolong lagi, maka aku situa dapat memejamkan mataku." Lagi sekali dia muntah darah, hanya kali ini terus kepalanya lemas dan napasnya berhenti. Maka didalam guha itu terdengarlah doa pujian-..

ooo

BAB30

Setelah mengawasi Wie Sun dan memuji, Beng Liang menoleh kepada Bu Liang Siangjin, dan Cia In Gak. ia memandangnya bergantian Bu Liang mengejar pada tembok dipojokan mukanya pucat seperti kertas. Teranglah bahwa ia telah terluka didalam hebat sekali, walaupun ada obat mujarab, dalam beberapa tahun ini tak dapat ia berjalan atau bergerak seperti biasa, Sebagai ahli obat-obatan dengan sekali melihat saja pendeta itu mengetahuinya, sebaliknya hatinya bercekat mendengar ucapan Wie Sun bahwa In Gak pun tak bertahan lama sedang ia tahu tak selayaknya muridnya berumur pendek. Maka itu, ia lantas bertindak menghampirkan muridnya itu.

Luar biasa kasih sayang diantara guru dan murid ini, sembari bertindak perlahan itu airmatanya Beng Liang meleleh turun.

In Gak melihat gurunya menghampirkan ia membuka kedua matanya, ia paksakan bersenyum.

Beng Liang heran hingga ia menghentikan tindakannya. ia melihat pada matanya murid itu, selainnya sinar tak tenteram ada juga sinar yang menyatakan supaya sang guru jangan mendekatinya, ia mengawasi terus dengan perlahan ia menbacakan doa Thian Liong Sian Ciang.

Melihat gurunya merandak, In Gak merapatkan matanya pula.

Tiba tiba Bu Liang Siangjin mengasi dengar suaranya yang lemah "Beng Liang, tak usah berdoa lebih jauh. Lolap tahu dosaku berat sekali, tidak nanti lolap mencapai nirwana dari itu tak usahlah lolap didoakan agar lolap bebas dari segala dosaku itu, hanya muridmu itu... Ah..."

Dia mengawasi In Gak sekian lama, mendadak dia terperanjat, matanya bersorot tajam. "Beng Liang, kau lihat tidak?" katanya.

"Lihat paras muridmu-dia nampak merah mukanya. Terang dia lagi menggunai tenaga dalamnya menyembukan lukanya Lukanya itu lebih parah daripada lukaku tetapi darimana datang tenaganya yang luar biasa itu? Aku tidak percaya kau dapat mendidik murid hingga kepandaiannya jauh melebihkan kau sebagai gurunya...

Beng Liang pun menatap muridnya itu, ia mendapat bukti dari kata katanya Bu Liang itu, Memang paras mukanya In Gak berubah dari sangat pucat menjadi merah dadu. Tentu sekali disamping berlega hati, ia heran bukan main-

Bu Liang mengawasi terus, terdengar ia menarik napas dan kata: "Nampaknya untuk memajukan Pak Thian San, selainnya anak ini tidak ada lain orang lagi. Baru sekarang lolap mendapat bukti bahwa takdir itu sudah tertulis dan sedikit juga tidak dapat ditentang”

Beng Liang mendengar suaranya Bu Liang makin lama makin perlahan lemah.

"Susiok jangan suslok terlalu banyak omong," katanya, "Tecu masih mempunyi beberapa butir pil Tiang cun Tan- silakan suslok makan, Lalu susiok beristirahat"

"Obat itu untuk menyembuhkan penyakit yang tak mematikan dan Sang Buddha menyeberangi orang yang berjodoh dengannya," kata dia lemah. "Tentang kepandaian kau dalam ilmu pengobatan aku tahu betul kau dapat melebihi Hoa To atau Pian ciok. akan tetapi disamping itu lolap ketahui diriku baik sekali, ketika barusan aku beradu tangan dengan Wie Sun, aku terluka hebat dibagian dalam, maka sekarang lolap sudah bagaikan minyak habis pelita pudar Meskipun ada obat dewa Kiu coan Sin Tan tak dapat jiwaku ditolong pula.

Maka itu buat apa mengurbankan lagi Tiang cun Tan?"

Beng Liang berlompar maju, ia mencekal lengan kanan Bu Liang ketika ia meraba nadi, alisnya berkerut.

Justeru itu, In Gak pun berlompat menghampirkan- Muka murid ini bersinar terang, Dia tertawa dan kata: "Suhu, jangan berduka dan berkuatir, biarkanlah muridmu yang melayani mungkin susiok-couw dapat ditolong"

Bu Liang heran tetapi hatinya lega sedikit "Benarkah kau dapat menolong?" tanya ia. Lantas ia nampak girang.

In Gak belum menjawab gurunya, atau Bu Liang menyeringai dan berkata: "Lolap sudah berusia seratus lebih, dosaku telah bertumpuk hingga sukar ditebus, maka itu apa perlunya aku mencari hidup lama didalam dunia ini? In Gak jangan kau menyusahkan diri untukku Semoga kau ingat Thian dan suka menanam kebaikan, dengan begitu maka lolap didalam neraka akan memperoleh keringanan hukuman-.." ia menghela napas pula.

Demikian pendeta itu yang insaf setelah ia merasa tiba saat akhir hidupnya hingga ia ingat segala kekeliruannya. inilah cocok dengar kata-kata: Burung mau mati, suaranya sedih, Manusia hendak menutup mata, kata- katanya sempurna.

In Gak bersikap sangat menghormat, ia kata: "llmu tabib yalah ilmu peri kemanusiaan, maka itu tak dapat tecu melihat kematian tetapi tidak menolongnya...

Bu Liang menjadi sangat bersyukur, ia menatap pemuda itu, lalu terlihat senyumannya yang mengasihi.

"Lukaku berat sekali, belum tentu kau dapat menolong aku" katanya, "Tetapi kau baik hati tak dapat aku menampik kebaikan kau itu, sekarang begini saja. Dosaku banyak sekali, kau harus melakukan selaksa kebaikan untuk menebus dosaku itu. Dapatkah kau melakukannya?”

"Susiokcouw menitakan, mana tecu berani menentang?" sahut si anak muda.

"Kau ingat, sebelum kau mengumpul jasa sepuluh laksa itu, tak dapat kau membunuh orang itu artinya kau bakal menambah dosaku, sekarang kau tolonglah aku"

Diluar gua suara angin menderu- deru mengutarakan kegusarannya, hawa pun dingin meresep ke dalam tulang- tulang, Walaupun demikian, hawa dijalan gua hangat dan nyaman seperti dimusim semi. Didalam gua In Gak duduk numprah didepannya Bu Liang Siangjin, kedua tangannya di letaki dijalan darah beng bun pendeta itu, lalu ia mengerahkan tenaga dalamnya menurut ilmu Poute Pwe yap Sian-kang, guna mulai menolong susiokcouwnya itu...

Beng Liang Taysu berada dipinggiran, ia mengawasi aksi muridnya itu. Ia heran tetapi la mengasi lihat roman girang.

ooo

Selang tiga hari In Gak sudah bertindak turun diantara es dan salju di cap In Gay, ia menuju ke kuil Jie ong Bio di Touwkang-yang di kecamatan Hoan-koan, ia memikirkan urusan di Ngo Bie San, maka ia ingin dengan satu tindak saja tiba di tempat tujuan itu, ia ingin segera mendapat keterangan Ay Hong-sok Kheng Hong berhasil atau tidak mencuri sin-hu dari ciangbunjin dari Ngo Bie Pay.

Demikian, ia melakukan perjalanan siang dan malam cuma berhenti untuk menangsal perut dan bermalam. Ketika ia tiba di wilayah Hoan koan, sudah musimnya bunga kui hoa menyiarkan keharumannya, Itulah di pertengahan musim rontok.

Matahari lohor sedang bersinar ketika akhirnya In Gak berada didepan kuil Jie ong Bio yang mentereng diantara pepohonan lebat dan rimbun disitu, Disana ia melihat Ay Hong-sok di belakang siapa ada Kauw ciu Kun Lun ce Kong keduanya lagi berdiri sambil menggendong tangan-.. ,

Memdadak mata Ce Hong bersinar, "Kheng Losu, lihat disana" katanya sambil menunjuk. "Lihat itu yang lagi jalan di jembatan. Bukankah dia Cia Sia uwhiap?"

Kheng Hong terpaling, ia mengawasi "Kalau bukan dia, siapa lagi?" ia berseru, alisnya yang pulih terbangun, ia girang luar biasa setelah mengenali In Gak yang lagi berlari-lari di atas jembatan. Sebentar saja, tibalah anak muda itu, bahkan ia lantas menegur: "Kheng Siepe ce Tayhiap Bagaimana dengan perjalananmu ke Ngo Bie San-?" Itulah pertanyaan pertama pemuda itu, yang sangat bernapsu. Mata Kheng Hong mengedip-ngedip.

”Jangan terlalu tergesa, hiantit," katanya, ia tertawa, "Kau harus ingat pepatah bahwa urusan penting itu diurus dengan perlahan, bahwa air sedikit dapat berkumpul menjadi kobakan atau pengempang, Kau tentu letih, mari masuk dulu kedaam untuk beristirahat, baru kita bicara"

Dengan menahan keinginan tahunya yang keras, In Gak bertindak masuk ke-dalam bio Bertiga meereka duduk berhadapan.

Ce Hong mengawasi si anak muda yang tangannya mencekal cangkir teh dengan romannya ber-duka, nampak hatinya tidak tenteram.

"Siauwhiap." katanya, "syukur Kheng Tay-hiap dan aku tak mensia-siakan tugas kami, kami berhasil mencuri sinhu dari Ngo Bie Pay. Keempat nona Tio, Ciu, Kouw dan Hu tak dapat menanti siauwhiap. mereka sudah lantas berangkat ke pulau Giok ciong To. Kami kuatir Kim Teng Siangjin nanti mencurigai sinhu tercuri oleh keempat nona, maka juga kami menanti sampai lewat tiga hari kepergian mereka itu, baru kami turun tangan,"

Sembari berkata Kiauw ciu Kun Lun menyerahkan sebuah kantung kulit pada sianak muda terus dia menambahkan: "Inilah sinhu itu, harap siauwhiap menyimpannya baik-baik, Baik siauwhiap lekas berangkat. Sampai ini waktu, mungkin Kim Teng belum ketahui prihal kehilangan itu. Kedua nona Kang dan Lo berada di Ngo Bie San mereka lagi menanti hukumannya. Kim Teng siangjin sudah menetapkan tanggalnya, tanggal delapan belas bulan depan-Jadi masih ada tempo tiga hari... cuma karena Ban In Su-thay telah ketahui duduknya hal, paling baik siauwhiap..." Sampai disini dia melanjuti dengan pelahan sekali, In Gak mengangguk beberapa kali, lalu airmukanya nampak sedikit terang.

Kheng Hong mengawasi dengan kedua matanya dikecilkan, habis Ce Hong berbicara itu, ia membukanya lebar-lebar, terus ia tertawa nyaring, tandanya mengurut-urut kumisnya.

"Ah Losu mengapa kau bicara begini cepat?" katanya, "Menurut aku si orang ini, aku akan membiarkan dia berduka dan berkuatir terus hingga setengah harian. Siapa suruh dia gemar sekali main asmara? Kenapa orang demikian halus gerak geriknya di sebaliknya membawa lagaknya? Kecuali dia berhati keras, tibalah saat nya dia kabur dari medan perang..."

Mukanya sianak muda menjadi merah.

"Pantas siepe menegur aku," katanya, Janganlah siepe main mutar-mutar Apakah siepe ketahui apa sebabnya sikapku itu?" Kheng Hong tertawa.

"Sekarang ini kaulah si jago muda yang utama," katanya "maka itu aku yang menjadi siepemu, tidak berani omong langsung..."

"Siepe kau bikin aku malu..." kata sianak muda, benar benar mukanya menjadi sangat merah.

"Sudah," Ce Hong menyela, "Mari kita masuk didalam, aku mempunyai arak untuk menyambut siauwhiap."

In Gak menurut, maka bertiga mereka masuk keruang dalam, untuk minum dan bersantap Lalu besoknya seorang diri In Gak menuju ke Ngo Bie San, ia berpisah dari Kheng Hong dan Ce Hong.

ooo

Diantara enam gunung diSeSiok. maka gunung NgoBie San yang terutama, di sampingnya barulah gunung ceng Shia San, lalu Kim Pin San lalu Pek Yam dan KiamBun. Yang ke enam yalah Bin San, Ngo Bie terdiri dari dua gunung yang berdiri berhadapan yang pun disebut Gie Mui San- Gunung itu menjadi cabang dari gunung Bin San, maka itu juga disebut Sam Ngo, yalah Toa Ngo. Tiong Ngo, dan Siauw Ngo. Gunung Toa Ngo itu yang terbesar, banyak jurang dan guanya, lembahnya, dan untuk mendaki separuhnya saja sudah harus melewati delapan puluh empat tanjakan, dan jalannya sekira enampuluh lie, baru sampai dipuncaknya.

Digunung itu pula kedapatan seratus dua belas tempat suci yang dipanggil cio kam, duabelas gua besar dan duapuluh delapan buah gua kecil, umpama gua-gua saini Hie, Dewi Lie Ho dan Dewa Kwie Kok. Satu gua lain yaitu Lui Tong, atau Guha Guntur, dimana sering keluar mega dan hujan, maka itu umum menyebutnya guanya Malaikat Geledk, Belum lagi sepuluh tempat lainnya yang kesohor pemandangan alamnya yang indah

Kim Ting atau puncak Emas yang menjadi puncak tertinggi, masih kalah beberapa tombak dari puncak Ban Hud Teng, tetapi disana salju terus turun seluruh tahun, kelihatannya tinggi seperti langit, pemandangannya sering berubah-rubah.

Pada tanggal delapanbelas bulan delapan pagi maka ramailah suara genta dipuncak Kim Teng itu, hingga seperti memecah mega dan salju, mengalun dilembah-lembah.

Dibawa h puncak. daun daun rontok terbang berhamburan, sedang pohon cemara danpek bagaikan saling bersaing dalam kesegarannya, Banyak orang tampak berlari-lari naik kepuncak ke pendopo ciat In Tian.

Di sana orang berkumpul dengan roman berduka, Semua berdiam, Dan Ban in Suthay nampak matanya bersinar tajam. Ia didampingi Kang Yauw Hong dan Lo Siang Bwe, yang romannya berduka, terlihat nyata bekasnya menangis.

Kiang cong Yauw bersama Tong-hong Giok Kun berdiri dipojokan, airmuka mereka menyatakan mereka tidak puas. Lalu terlihat seorang pendeta kurus menghampirkan Ban In suthay untuk memberi hormat seraya merangkap kedua tangannya untuk berkata sambil bersenyum: "Harap sebentar sumoay jangan berselisih mulut dengan ciangbun kita, dikuatir urusan nanti menjadi bertambah sulit hingga sukar untuk dibereskan, kakakmu akan mencoba sebisanya guna mendamaikannya."

Bie in Suthay tertawa dingin.

“Jikalau ada harapannya, tak nanti urusan berlarut menjadi seperti sekarang ini" katanya, mendongkol, "Pek siang Saieng tak usahlah kau berduka buat urusan siauw-moay ini.

Siauwmoay tahu bagaimana harus bertindak. Dulu pun suhu pernah membilang kalau Kim Teng suheng tidak merubah sifatnya, dia bakal makan sendiri buah usahanya. Dia bertindak secara bertentangan, dikuatir sebentar dia nanti kehilangan muka bertemu dengan orang banyak..."

Pek tiang Taysu menghela napas tanpa kata apa apa lagi, ia kembali kepinggiran.

Diatas puncak kembali terdengar suara genta tiga kali.

Mendengar itu rombongan ini lantas bertindak berbaris keluar dari pendopo ciat In Tian untuk pergi kepuncak dimana, didalam Kim-tian pendopo Emas terlihat seorang pendeta tua lagi berduduk diam romannya keren.

Dia beralis dan berambut putih, matanya bersinar tajam Dibelakangnya berdiri Keng Tiang siu, romannya yang tampan rusak dengan banyak titik atau tapak luka. ia melihat kebawah tetapi tegas ia sangat mendongkol atau bergusar.

Di kedua samping berdiri delapan pendeta dengan jubah hitam, tangan mereka memegang toya, Ketika itu, mereka semua tunduk. Teranglah mereka situkang melaksanakan hukuman-..

Murid murid tiga generasi dari Ngo Bie Pay dengan beruntun memasuki pondopo, mereka tak bersuara tetapi sikap mereka keren. Sunyi seluruh ruang hingga pastilah terdengar suaranya andaikata ada jarum jatuh.

Kim Teng Siangjin mengawasi semua orang, baru dia kata perlahan: "Sekarang ini lolap hendak menjalankan aturan, aturan, Bia-sanya lolap tak lancang atau sembarang dan itu cuma untuk dijadikan teladan bagi mereka yang muda, supaya tak ada muridku yang murtad, ini pula untuk menjaga nama baik Partaiku" ia terus menoleh kepada Ban in Suthay, untuk menambahkan- "Sumoay lolap tak berat sebelah lolap menjadi keadilan, maka itu sebelum hukuman dijalankan apalagi kau hendak bilang?"

Ban in Su thay berdiam sejenak baru ia menjawab. "Ciangbun suheng menanya, tak dapat siauw-moay tak

bicara," sahutnya, "Barusan suheng bicara dari hal nama baik Partai, Nama baik apakah itu?"

Airmuka Kim Teng berubah keren- "Muka Keng Tiang Siu dirusak Cia in Gak" katanya keras, ”Cia in Gak juga telah memandang enteng kepada lolap." Dengan begitu tak ubahnya dia dengan musuh kami Sudah begitu sebaliknya Kang Yauw Hong, Lo Siang Bwe, Kiang cong Yauw dan Tong hong Giok Kun bersahabat kekal dengan dia, itu tandanya mereka tak menghiraukan urusan Tiang Siu itu. perbuatan mereka itu berarti terhadap Partai mereka tidak menghormati. Maka itu nama baik Partai kami terletak pada diri mereka berempat jikalau mereka itu tidak dihukum lolap kuatir mereka dapat menjadi contoh buruk, Bagaimana sumoay pikir apakah lolap tidak adil?"

Ban In Suthay memberikan jawabannya, suaranya sungguh sungguh.

"Didalam hal ini martabat ciangbunjin yalah yang utama" katanya, "Kalau seorang ciangbun bertindak tepat, tidak nanti ada murid atau murid-muridnya yang membilang sesuatu, Mengenai Keng Tiang Siu ingin siauwmoay mengatakan bahwa dia telah mencari-cari sendiri kehinaannya itu, Nie Wan Lan menjadi murid dari Yan San, nona itu sudah kenal In Gak buat banyak tahun mereka saling menyukai, hanya kemudian karena suatu urusan kecil, mereka berselisih paham, mereka menuruti adat mereka tak mau mereka saling mengalah.

Justeru itu Keng Tiang Siu yang melihat hal mereka itu telah memikir inilah ketikanya yang baik untuk turun tangan.

Begitulah dia gilain Nie Wan Lan, dia melihat tak sudah nya pada nona itu, Sebaiknya Nie Wan Lan tidak menghiraukannya, seharusnya Tiang Siu mengundurkan diri. Sayang dia tidak kenal selatan, dia tetap masih mengintil Wan Lan Maka kejadianlah di Sinchung, Shoatang dia bertamu dengan In Gak.

Ketika itu salah paham diantara In Gak dan Wan Lan masih belum teredakan, Dari situ Tiang Siu mencaci In Gak ceriwis dan tak tahu malu, bahwa perbuatannya bagaikan binatang, Pasti In Gak tak dapat menerima penghinaan itu. Maka terjadilah mereka benterok. Tiang Siu menyerang dengan hek cie-ie senjata rahasianya, In Gak menyampok itu balik, Tiang Siu makan buah pekerjaannya sendiri Senjata rahasianya itu makan tuan Maka sekarang ingin aku menanya ciangbun suheng, siapakah yang bersalah?"

Kim Teng Siangjin terkejut tetapi ia tidak kentarakan itu. "Bagaimana sumoay ketahui hal itu begini jelas?" ia tanya,

berlagak pilon. "Lebih dulu daripada ini belum pernah lolap mendengar kau menceritakannya."

"Tak usah suheng tanya siauwmoay ketahui jelas perkara itu" Ban in menjawab, "Keng Tiang Siu berada disini, suheng tanya saja dia benar atau tidak kejadian itu?"

Kim Teng menoleh.

"Tiang Siu benarkah itu?" Keng Tiang Siu bertindak maju, mukanya pucat, Didalam hati ia malu dan menyesal. Tapi didalam seperti sekarang tak dapat ia tak mengambil putusan- ia jeri ketika ia mendapat kenyataan semua mata diarahkan kepadanya, ia tidak membenci Kang Yauw Hong berempat ia cuma membenci In Gak satu orang, ia tidak menyangka gurunya mengambil sikap begini rupa, urusan yang dianggapnya kecil telah diperbesar menjadi mengenai kehormatan Partai. Dengan lantas ia mengeluarkan peluh dalam tetes tetes besar. ia maju tetapi ia tunduk. mulutnya bungkam.

Kim Teng mengawasi, ia dapat mengerti kesalahan berada pada Tiang Siu. Kalau tidak murid ini tidak nanti menutup mulut. Toh ia mendongkol ia menyesali Ban In Suthay sudah tak memberitahukannya dari siang-siang hari, hanya justeru disaat ini. ia menjadi serba salah. Kalau ia bersikap tetap keras, pasti ia akan dituduh berat sebelah pasti martabatnya rusak. Maka dengan sinar mata bengis ia mengawasi pendeta wanita itu.

"Sumoay Ban In lolap mengerti hatimu" katanya dingin. "Kang Yauw Hong itu muridmu. pantas kau membelanya supaya dia bebas dari hukuman, Memang Tiang Siu bersalah tetapi kenapa Cia In Gak tidak datang untuk diadu keterangannya?... Baiklah supaya kau menjadi puas, nanti aku menghukum Tiang Siu..."

Ketika itu Pek siang Taysu bertinkak maju, "Ciangbunjin..." katanya, ia berhenti dengan tiba tiba sebab ia disela Kim Teng.

"Lolap sudah memutuskan harap sute jangan banyak omong lagi" kata ketua itu, yang mengulapkan tangan, sedang sepasang alisnya bangun berdiri. Pek Siang kembali ketempatnya ia menghela napas perlahan.

Ban In Suthay tidak puas, "Suheng begini angkuh apalagi yang siauw moa y dapat bilang?" katanya, "Peraturan Partai kita sudah tigapuluh tahun belum pernah dijadikan lagi walaupun demikian siauwmoay masih ingat itu seperti kejadian yang baru, siaumoay mohon suheng menjalankan peraturan yang benar, tak dapat ada yang dirobah" Kim Teng Siangjin menjadi gusar tak terkira. Dengan mendongkol ia menjawab: "Baik sekali sumoay telah memberi ingat ini kepada lolap. lolap bersyukur. Lalu dia berkata pula: "Minta Hiat Tian"

Dua pendeta yang memegang toyadi barisan kanan bertindak maju, terus mereka lari ke dalam.

Kim Teng Siangjin berseru pula: "minta Leng hu" Dari sebelah kiri, dua pendeta lantas lari ke dalam juga.

Tidak antara lama dua pendeta yang diperintah minta "Hiat lian" sudah kembali. Mereka membawa nenampan diatas mana ada sesuatu yang ditutup dengan sutera kuning, Mereka berjalan dengan perlahan.

Dua pendeta yang diperintah minta Leng-hu atau sin hu, kembali dengan tergesa-gesa, romannya gelisah mereka membungkuk didepan Kim Teng Siangjin seraya berkata gugup, "Leng hu tak kedapatan-.."

Kim Teng kaget seperti mendengar guntur, ia sampai duduk menjublak. Semua orang pun heran dan bingung karenanya.

Kemudian Kim Teng mengawasi Ban In Suthay matanya suram, sinarnya dingin.

Ban In berdiri diam, sikapnya tawar. ia tahu ketua itu gusar sekali, maka entah apa bakal terjadi disitu. ia siap sedia untuk melayani sesuatu kemungkinan meskipun hatinya pepat, ia tidak mengarti kenapa leng hu lenyap.

Kim Teng perpikir keras Melihat sikapnya Ban In ia mau menduga mungkin adik seperguruan ini ketahui hal lenyapnya leng hu itu, hanya ia sangsi apa benar siaumoay berani melakukan semacam kedosaan besar sekali, itu pun perbuatan kurang ajar terhadap couw su mereka.

"Didalam kehilangan ini, tugas yalah tugas si penjaga leng- hu," kata Kim Teng kemudian, "meskipun demikian, aku tak lepas dari tanggangjawab seluruhnya. Baiklah, sebentar akan aku mengaku salah didepan couwsu, Hanyalah mestinya bukan tanpa sebab Leng-hu lenyap...

Diantara para hadirin lantas terdengar seorang yang suaranya nyaring, Menurut pasal 5 dari kitab Hoit Sian jikalau ciangbunjin membikin hilang Leng hu, maka dengan sendirinya ciangbunjin tidak dapat menjalankan peraturan partai kita. Karena itu kewajiban ciangbunjin harus diserahkan untuk diwakilkan oleh empat Hok Hoat Tianglo, juga ciangbunjin di bebankan tugas mencari Leng hu sampai dapat, untuk ini tidak dapat ciangbunjin menolak untuk meloloskan diri tak peduli dengan alasan apa juga..."

Kim Teng siangjin menghela napas: "Sudah Kouw Siu Sute tak usah kau bicara lebih banyak pula "pendeta itu memotong "Lolap akan terima ini tugas sangat berat. Hanya masih ada satu kata kataku yang belum aku ucapkan, Leng-hu itu lenyap itu mestinya dilakukan oleh satu orang dalam pasti dia tak puas dengan tindakan loiap ini maka dia telah melakukan itu perbuatan hina dina ..."

Sabar kata-kata itu akan tetapi terang itulah tuduhan terhadap Ban In Suthay, Para hadirin dapat menduga itu, maka semua mata lantas diarahkan kepada itu bhikshuni. Parasnya Ban In suram. ia perdengarkan tertawa dingin.

"Orang angkuh dan jumawa dan cupat pandangannya, dia mana pantas menjadi seorang ciangbunjin" katanya keras, "Suheng Kim Teng, tak usah kau- memanah bayangan, jangan kau menyembur orang dengan darah jikalau siauwmoay yang melakukan perbuatan yang hina dina itu disini juga siauwmoay akan membunuh diri"

Kata-kata itu keras dan tajam, semua orang terkejut mendengarnya. Memang mulanya orang menyangsikan bhiksuni ini. Tetapi orang tahu Ban In selama puluhan tahun selalu menghargai dirinya hingga orang menghormatinya, Maka sekarang orang menjadi bingung, Semua lantas berdiam mereka cuma bisa saling mengawasi

Kim Teng pun berdiam tetapi hatinya panas bukan main, hampir tak dapat ia mengendalikan diri.

Selagi keadaan sangat tegang itu seorang pendeta terlihat datang berlari-lari, Dia berbaju abuabudan tangannya mencekal tongkat sian thung yang panjang Dia menuju langsung ke depan Kim Teng siangjin, untuk melaporkan-

"Di bawah gunung ada datang seorang bernama Ji In yang mengaku menjadi pamannya Cia In Gak. dia mohon bertemu dengan ciangbunjin. Dia kata dia membawa serupa barang yang hendak dipulangkan-"

Matanya Kim Teng bersinar dengan mendadak. "Dimana adanya Ji In sekarang?" dia tanya.

"Dia berada di Kauw Kok Si dimana dia lagi ditemani teh," sahut pendeta pembawa laporan itu.

Belum berhenti suaranya sipendeta maka dari luar pendopo sudah lantas terdengar suara tertawa yang nyaring, yang disusul dengan ini kata kata terang dan jelas: "Aku yang rendah Ji In, tanpa diundang lagi aku datang ke- mari, aku minta sukalah siangjin tidak menegurnya"

Lantas setelah itu tertampak seorang sasterawan usia pertengahan bertindak tenang memasuki pendopo

Kang Yauw Hong bersama Lo Siang Bwe, Kiang Cong Yauw dan Tonghong Giok Kun mengenali Ji In itu, didalam hati, mereka girang sekali, tanpa merasa mereka bersenyum. Kim Teng Siangjin merangkap kedua tangannya.

"Lolap tidak tahu Ji Sicu datang kemari, tak dapat lolap menyambut dari jauh jauh, maka itu lolap mohon diberi maaf” katanya.

Hormat katanya pendeta ini tetapi kedua tangannya itu dirangkap bukan untuk dirangkap saja hanya ketika diajukan dia menolak dengan tenaga dalamnya yang dahsyat. Ji In bersenyum. ia juga merangkap kedua-tangannya.

"Maaf” katanya. "Aku yang rendah datang di saat Siangjin lagi menjalankan peraturan Partai kamu, dari itu aku mohon diberi ijin untuk berdiri dipinggiran guna menyaksikan-nya . "

Kim Teng kaget, Tolakannya itu lenyap tidak keruan, Mukanya pun menjadi merah.

"Upacara sudah selesai," ia berkata. "Barusan muridku dari generasi ketiga mengabarkan bahwa sicu datang dengan niat membayar pulang suatu barang milik Partai kami, maka itu lolap mohon tanya, barang itu barang apa-kah?"

Tiba-tiba JiJn memperlihatkan roman lesu. agaknya dia kecewa, Dia pun terus menghela napas.

"Oh kalau begitu aku yang rendah menjadi tidak mempunyai untung bagus untuk menyaksikan upacara yang besar," katanya, menyesal "Siangjin menanyai tentang barang yang hendak dipulangkan bukan? Mengenai itu baiklah sebentar kita bicarakannya. Sekarang aku yang rendah mohon menanya: Siangjin mencari keponakanku yang bernama In Gak, yang katanya harus datang kegunung ini guna menghaturkan maaf, apakah Siangjin suka mengas keterangan padaku, urusan itu urusan apa?"

Sudah sekian lama Kim Teng menahan kemendongkolannya, yang tak dapat dilampiaskan maka sekaranglah ketikanya.

"Kenapa keponakanmu itu tidak turut datang" dia tanya bengis, "Bukankah siapa berutang ada yang mengutanginya dan penasaran itu ada sebab musababnya? Ji Sicu, kedatangan kau ini rasanya ada bersifat menghinakan dan mendesak..."

Ji In tertawa.

"Siangjin menjadi orang Bu Lim terhormat Siangjin ketua sebuah partai, kenapa Siangjin omong seperti anak kecil?" dia meneguk "Datangku yang rendah kemari ini dengan maksud menyudahi urusan Syukurlah aku seorang sabar, jikalau keponakanku yang datang, apakah bukan Siangjin mencari malu sendiri?"

"Mendengar perkataan kau ini, Sicu, rupanya kepandaian keponakan kau itu dapat membuatnya memandang kaum Rimba persilatan secara angkuh" kata Kim Teng gusar. "Rupanya partai kami tak akan bertahan untuk serangan satu jurus saja Kalau begitu kenapa keponakanmu tidak datang? walaupun lolap sudah berusia delapan puluh lebih, penglihatan dan pengetahuanku tidak luas, lolap mirip dengan katak dalam tempurung.”

Ji in mengerutkan alis, tetapi dia bersenyum.

"Siangjin, janganlah Siangjin memancing hawa amarahku," ia berkata tenang, "Aku yang rendah datang kemari bukannya buat menghina Partai Siangjin, Tapi mengenai keponakanku itu, dapat aku membilangi bahwa dia berbakat sangat baik, hasil latihannya tak ada dibawahanku hanya yang beda yalah dia muda dan sedang gagahnya, maka kalau dia datang kemari, aku kuatir karena murkanya, dia nanti menerbitkan bahaya tumpah darah itu pula sebabnya kenapa aku yang rendah sudah memberanikan diri datang kemari untuk mewakilkannya, Baik aku menjelaskan dalam perkara itu, kesalahan ada pada Keng Tiang Siu yang menjadi muridmu, oleh karena itu aku minta, karena ini urusan kecil, Siangjin nanti tidak menerbitkan hal yang tak ada perlunya...

Matanya Kim Teng bersinar tajam, dia tertawa dingin, Dia sebenarnya mau membuka mulutnya atau Ban In Suthay sudah mendahuluinya:

”Jie Siecu, aku minta sukalah siecu menanti sebentar," kata ia, yang terus menoleh kepada suhengnya yang menjadi ciangbunjin itu untuk meneruskan berkata: "Siauwmoay tidak mau terlibat didalam urusan ini, maka itu siauwmoay meminta diri, untuk mundur dari pendopo Kim-tian ini. Saudara saudara yang siapa diantara saudara yang setuju dengan sikap siauwmoay ini, yang ingin menaruh dirinya di luar kalangan silakan turut mengundurkan diri Tentang jabatan ciangbunjin, siauwmoay minta sukalah itu diwakilkan kepada keempat suheng Kouw Siu, Pek siang, Cie Tiok dan Sim Jie."

Mendengar suara sumoay itu Kim Teng menghela napas. "Mana dapat karena kegusaranku satu saat aku membikin

goncang akarnya partai kita?" katanya, "Semua urusan lolap seoranglah yang menanggungjawab benar apa yang sumoay bilang" Lalu ia menambahkan nyaring: "Sekarang ini tugas ketua aku serahkan dulu kepada keempat sute yang disebutkan barusan untuk mewakilkannya dan aku sendiri dengan tubuhku yang berdosa, akan aku cari Leng hu yang hilang itu"

Dari antara para hadirin lantas muncul empat pendeta yang kumis jenggotnya telah putih semua, romannya tenang tetapi agung. Mereka lantas menjura kepada Kim Teng Siangjin dan berkata: Maafkan kami yang menerima tugas sementara ini"

Kim Teng sudah lantas menggeser kesamping. Keempat pendeta itu sebaliknya maju untuk berdiri berendeng Dengan begitu mereka mengambil kedudukan ketua. Lalu yang disebelah kiri, pedeta yang kedua merangkap tangannya.

"Lolap bernama Cie Tiok." ia kata "lolap ingin menanya sesuatu kepada Jie sie cu, Dapatkah?"

Jie In bersenyum.

”Jikalau ada pertanyaan, taysu, silakan ajukan," ia kata manis, "Aku yang rendah nanti menjawab dengan sebenar benarnya."

"Tadi siecu omong hendak mengembalikan suatu barang penting Partai kami kepada kami," tanya cie Tiok "bukankah itu Leng-hu kami adanya?"

Jie In bersenyum pula. "Memang, itulah sin-hu dari Partai taysu beramai, "jawabnya. "Kemarin dulu malam selagi Kim Teng Siangjin membaca doa aku yang rendah mengambil dari belakangnya."

Keempat tiang lo dan Kim Teng kaget hingga muka mereka berubah menjadi pucat, lebih-lebih Kim Teng sendiri, wajahnya sampai tak sedap untuk dipandang.

Sungguh celaka untuknya, ia tidak mengetahui orang nyelundup masuk dan mencuri leng hu mereka, Bukankah itu menyatakan lihaynya pihak sana?

"Si cu berani mencuri sin hu kami bukankah si cu mengandung sesuatu maksud?" tanya ci Tiok setelah ia dapat menenteramkan hatinya.

"Taysu ketahui itu buat apa taysu menanyakannya lagi"? Ji In baliki, Ci Tiok tunduk. ia memuji.

"Maaf jikalau aku sipendeta tua banyak mulut," katanya kemudian- Jikalau sin-hu diserahkan kembali kepada Kim Teng Suheng maka dengan sendirinya Kim Teng Suheng lantas menjadi pula ketua kami dengan begitu tak usahlah kami berempat mewakilkannya."

Ji In berdiam saja lalu ia menjawab, "Dalam hal itu terserah kepada kepandaian Kim Teng Siangjin, sanggup atau tidak dia merampas pula sin hu itu dari tanganku..."

"Omitohud" Ci Tiok memuji terus ia menarik napas panjang.

”Jikalau umpamanya Kim Teng Suheng tidak memperoleh kemenangan bukankah itu berarti leng-hu kami itu seterusnya tak bakal kembali lagi?" ia tanya.

Ji In bersenyum.

"Dalam hal itu taysu jangan berkuatir," sahutnya, manis, "Disaat aku yang rendah hendak meninggalkan gunung, itu waktu sin-hu itu bakal diserahkan kepada taysu berempat."

Ci Tiok merangkap kedua tangannya. "Sicu seorang yang dapat dipercaya, semoga hatimu sama dengan apa yang dikatakan mulut sicu" katanya, ia memberi hormat pula lalu bersama ketiga saudaranya ia bertindak mengundurkan diri dari pendopo Emas itu, di belakang mereka turut semua pendeta lainnya, Kang Yauw Hong dan Lo Siang Bwe girang sekali, mereka heran dan kaget melihat munculnya si anak muda. Tonghong Giok Kun dan Kiang Cong Yauw

ragu-ragu sedikit maka itu ketika kedua nona keluar, mereka saling melirik.

Dengan berlalunya banyak orang disitu tinggal belasan orang lagi, Bersama-sama Kim Teng Siangjin semua mereka itu mengawasi Jie In.

Mendadak tetamu tidak diundang itu tertawa nyaring dan lama tangannya menuding kepada Keng Tiang Siu.

"Dalam perkara ini kaulah si biang celaka" katanya bengis, "Ketika dulu hari itu Cia In Gak memberi hidup terus padamu itulah karena dia ingat kau bukannya bangsa kurcaci kau dapat diberi maaf Siapa sangka kau tidak saja sudah tidak menyesal dan bertobat bahkan kau sebaliknya memutar lidahmu yang jahat, hingga sekarang kau menimbulkan kejadian yang bukan-bukan Bagaimana kau masih mempunyai muka untuk berdiam didalam pendopo Kim Tian ini?"

Keng Tiang Siu tidak takut, ia ada bersama gurunya, Maka ia pun tertawa dingin.

"Tiang Siu, jangan banyak omong" berkata Kim Teng, yang mengulapkan tangan, mencegah muridnya membuka mulut, Tadinya murid itu hendak menggoyang lidahnya, Kemudian sambil memandang tetamunya, Kim Teng berkata terus: Ji Si- cu, walaupun lolap baru mendengar sebelah pihak saja kau sendiri dan keponakanmu bersikap keterlaluan Baiklah lolap akan mencoba segala kepandaianku untuk main-main dengan kau untuk merampas pulang sin-hu Hanya lolap minta tempo sampai malam ini supaya lolap dapat ketika untuk menyelesaikan segala apa urusanku, Entah sicu suka meluluskan atau tidak?"

Ji In bersenyum, tanpa mengucap sepatah kata ia lantas berlalu dari pendopo itu.

Malam itu malam Tiong ciu, rembulan indah, apapula keindahan itu tampak diatas puncak Ngo BiSan yang kesohor permai, Maka itu dengan perlahan Jie In berjalan, matanya melihat kesekitarnya. Ketika ia sampai dijalan yang sempit mendadak ia mendengar samberan angin dibelakangnya, ia heran-

Justeru itu, ia merasakan angin itu menolak keras. Tidak tempo lagi ia berkelit sambil lompat jauhnya kira sepuluh tombak, Habis angin itu ia mendengar seruan perlahan, seperti orang heran-

Tanpa menoleh lagi Ji In berjalan terus. Tapi sekarang ia memasang telinga, ia mendengar suara orang menguntitnya. Didalam hatinya ia tertawa, ia sengaja memperkendor tindakannya.

Tiba tiba terdengar pula suara angin yang membawa suara tertawa dingin disusul dengan ini kata-kata bengis: ”Ji In, berhenti"

Tidak ayal lagi Ji In menghentikan tindakannya sambil terus berpaling, ia melihat seorang usia pertengahan alisnya tebal, matanya besar, kumis dan berewoknya lebat. Sinar mata orang itu tajam, penuh dengan kemurkaan-

"Apakah kau murid Ngo Bi Pay?" ia menegur tawar, "Hari ini aku Ji In cuma berurusan dengan Kim Teng Siangjin seorang maka janganlah kau campur tahu hingga kau dapat menerbitkan onar."

Orang itu tertawa j umawa. J i In, percuma kau bertingkah" katanya, bengis, "Apakah kau sangka malam ini kau dapat meninggalkan gunung ini dengan masih bernyawa?" sepasang alisnya Ji In terbangun.

"Belum tentu kau dapat melakukan itu" katanya dingin, "Apakah datangmu ini atas titahnya Kim Teng Siangjin-.."

Belum habis Ji In menanya atau mendadak orang itu sudah menyerang ia dengan samberan tangan kanan kejalan darah kin-ceng sedang tangan kirinya dengan lima jeriji yang kaku menyerang keiga kanannya Tidak salah lagi orang itu hendak merampas sin-hu.

Ji In berkelit kesamping, mengasih lewat tangan orang yang kanan itu sedang dengan tangan kanannya, dengan dua jeriji ia menyamber kenadi kirinya perampas tak dikenal itu, itulah gerakan "Burung walet menggores pasir"

Sembari balas menyerang itu, ia tertawa dan kata: "Tuan mengapa kau berlaku begini hina? Aku si orang she Jie jemparingku sudah berada pada busurnya tak dapat aku tidak melepaskannya Baiklah tuan lekas kembali."

Orang itu kaget. Bukan saja serangannya sendiri gagal sebaliknya tangan kirinya terasa sakit, meskipun jari tangan orang itu belum mengenai telak padanya, Lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu.

Jie In berkata begitu tetapi ia tidak lantas berhenti bergerak ia menggulang telapakan tangannya untuk dijadikan kepalan, lalu dengan cepat luar biasa ia menolak, menolak dengan huruf "Menolak" dari Bie Lek Sin Kang.

Orang itu merasakan dadanya tertolak keras mau atau tidak. ia kena tertolak hingga terpental mundur. ia merasa syukur ketika ia menginjak tanah dengan tegak ia tidak terluka Dan ketika ia memandang Jie In, oarang itu sudah pisahkan diri jauhnya belasan tombak ia heran hingga ia melengak lantas ia menggoyang-goyang kepala terus ia lenyap kesampingnya dimana ada pepohonan lebat. Jie In tidak kenal jalanan disitu, ia jalan sejalannya saja. ia turun gunung, Beberapa kali ia bertemu orang-orang murid Ngo Bie Pay, ia tidak hiraukan, Mereka itu juga tidak mengganggu, melainkan air muka mereka dingin, sikap mereka tidak menghiraukannya.

"Pantaslah mereka tidakpuas terhadapku, memang perbuatanku ini memandang rendah pada mereka" pikir Jie In. "Tapi perbuatanku ini pantas sekali" ia ingat halnya Kim Teng Siangjin sudah berkomplot dengan rombongan orang yang mengepung ayahnya. mendadak ia dapat serupa pikiran-

Tengah berjalan itu Jie In berpapasan dengan seorang pendeta muda. cepat sekali ia lompat kedepannya pendeta itu, hingga dia jadi terhalang.

"Numpang tanya, disebelah mana dapat kediamannya Ban In Suthay?" sambil bersenyum tanya pendeta itu.

Kelihatannya orang beribadat itu bimbang, sapanya dia merasa sulit, Tapi kemudian dia menjawab juga.

"Dari sini siecu pergi langsung keselatan sana" ia menunjuki jalan. "Disana disisi kuil Toa Ngo Sie ada ranggon Sin Cui Kok. itulah ia...

Habis berkata mendadak ia menjejak tanda guna mengenjot tubuhnya maka dilain saat, dengan lompat lewat diatas kepalanya Jie In, ia sudah melanjuti perjalanannya dengan terus berlari-lari.

Jie In tidak berbuat apa-apa atas sikap si pendeta, ia hanya lantas mengubah tujuan kearah selatan, Untuk ini ia mesti melintasi rimba. Karena ia berjalan dengan cepat, dengan cepat juga ia telah tiba didepan kuil Toa Ngo Sie.

Disitu ada sebuah pohon aras, yang daun nya lebat dan menawungi seperti payung, Untuk herannya dibawah pohon itu ia melihat Kang Yauw Hong lagi berdiri diam, seperti ada sesuatu yang nona itu lagi pikirkan- Nona itu segera mengangkat kepalanya dan berpaling. ia dikejutkan oleh suara tindakan kaki. ia tidak menyangka pada Jie In maka juga ia melengak. Hanya sebentar, ia nampak penasaran, airmatanya pun lantas meleleh keluar Jie In menduga sinona sudah mengenali padanya, maka ia menghampirkan-

”Jangan bersikap begini, adik Hong" kata ia perlahan "Kau nanti mendatangkan kecurigaan- Mana gurumu? Mari kau ajak aku pergi menemui gurumu itu."

Yauw Hong dapat menenangkan diri, ia tertawa meskipun tertawanya sedih...

"Sejak berlalu dari Kim Tian- guruku bersembahyang diruang sian tong," kata dia, "sampai sekarang masih belum selesai, coba tunggu sebentar, hendak aku melihatnya. Kau tunggu diluar situ, jangan pergi jauh-jauh." Lantas nona itu memutar tubuh masuk ke dalam Sin cui Kok.

Ji In mengawasi orang bertindak pergi, ia menghela napas, Ia lantas ingat beginilah hasilnya ia merantau selama setahun lebih. Tugasnya belum selesai, ia sendiri terlibat dalam asmara dan penasaran-

"Sungguh sulit hidup dalam dunia Kang ouw." pikirnya, "Musuh bertumpuk sebagai bukit, penasaran dalam bagaikan lautan, sekarang muncul soal asmara... Dimana sebenarnya tempat yang tenang?"

Tiba tiba terdengar suara halus dari alat-alat tetabuan suci, suara bokhi yang tercampur pembacaan doa sembahyang Suara itu keluarnya dari dalam kuil Toa Ngo Si itu.

Ji In memandang kesekitarnya, ia melihat gunung indah dan tenang, ia menjadi ketarik hati, hingga pikirannya melayang: Bagaimana senang untuk mendapatkan gunung indah ini sebagai kawan-.. Tengah tersengsam itu, Jie In mendengar tindakan kaki perlahan mendatangi dibelakangnya, terus ia mendengar juga sapaan: "Kakak Jie In, sejak kita berpisah apakah kau baik baik saja?" ia lantas menoleh maka ia menampak Tonghong Giok Kun menghentikan tindakan kira tujuh tombak jauhnya, roman orang tersenyum tetapi pada itu terlihat sinar kedukaan- Ia mengawasi anak muda itu, ia bersenyum "Tonghong Siauwhiap. apakah kau tak kuatir pertemuan kita ini mendatangkan kecurigaan?" ia tanya.

Tonghong Giok Kun menghampirkan untuk berdiri berendeng.

"Saudara In, berat usaha kau ini," kata ia. "Ada orang- orang tertua pihak kita yang mengerti tanpa tindakanmu ini, Kim Teng Siangjin sukar dikasih mengerti dan ia pasti terus akan berbuat kukuh dan sewenang-wenang, hanya dengan begitu juga, kau kehilangan kesan baik.

Perbuatan kau ini melanggar kehormatan Partai kami, Kalau nanti kau berlalu dari sini ada kemungkinan kau nanti terancam serangan. Aku percaya kau murah hati, aku harap saja kau nanti melayani mereka sampai dibalas hanya saling towel..."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar