Menuntut Balas Jilid 21 : Kekasih yang dirindukan datang

Jilid 21 : Kekasih yang dirindukan datang

SELAGI berkata itu, kembali dia memandang ke tempat jauh, dia seperti melihat sesuatu, Matanya bersinar tajam.

Ketika itu selagi api memain, mega pun semakin tebal. Sudah mendekati tengah malam, hawa dingin sekali, Angin tetap bertiup santer. hingga kumisnya Pit Siauw Hong berkibar-kibar. Jago ceng Shia Pay ini berdiri diam saja, tetapi hatinya berpikir:

"Mungkinkah kata-katanya bhiksuni tua ini ada hubungannya dengan ceng Shia Pay?" Maka ia jadi berpikir keras.

Selagi begitu sekonyong-konyong tubuh Nio-kiu Ki mencelat, berlompat ke arah belakang cian Siong Gay hingga lantas saja dia menghilang di tempat yang gelap. Yan San Sin Ni terperanjat dia lantas memutar tubuh ke kiri, untuk menyerang dengan pukulan Tay Seng Poun Jiak ialah "Prajna" atau "Kebijaksanaan Mahayana."

Berbareng dengaNitu di sana terdengar bentakan: "Kau kembalilah, cian Siong Gay bukan tempat dimana kau boleh main banyak tingkah"

Berbareng dengaNitu pula tubuh Nio-kiu Ki tertampak mental balik, wajahnya menyatakan dia sangat mendongkol dan gusar.

Yan San sin Ni mendengar nyata suara itu, ia mengenali suaranya Tiat ci Pipe Yu Su Hong, ia heran-

Bu Eng Sin ciang Pit Siauw Hong pun heran sekali.

Menyusul bentakaNitu muncullah orangnya yang berlompat ke luar dari tempat gelap. Dia benar-benar Yu Su Koh, yang tangannya memegangi pipe besinya, Dengan mata tajam, nyonya itu mengawasi mayat bergelimpangan dari Koat chong Sam Lo, agaknya dia gusar sekali sebab matanya bagaikan api menyala marong.

Nio-kiu Ki mengawasi Yan San Sin Ni, sekarang sikapnya menghormat ia kata halus: "Boanpwe telah bertahun-tahun saling menyinta dengan Leng Giok Song murid locianpwe itu, sekarang boanpwe ingin mengajak dia pergi ke Giok Ciong To untuk menemui ayahku, boanpwe minta locianpwe sudi memberi perkenanmu."

Yan San Sin Ni ketahui urusan si pemuda ini mencintai Giok Song, bahkan dia tergila-gila sendiri, Giok Song sendiri tidak menyukai si anak muda, sedang disamping itu si nona sudah bertunangan-

Kepada gurunya Giok song sudah omong terus terang dan meminta perlindungan sin Ni merasa sulit. Kalau ia menolak, ia kuatir Nio-kiu Ki menjadi gusar, itulah berbahaya, terutama untuk Rimba persilatan Tionggoan-

Maka itu untuk sementara guru ini menganjuri muridnya menyambut baik tuan muda dari Giok ciong To itu, untuk memperpanjang waktu, guna melihat perkembangan terlebih jauh, supaya Nio-kiu Ki tahu diri dan nanti mundur teratur.

Siapa tahu Nio-kiu Ki tetap tergila-gila hingga dia berani mendatangi gunung Bu Leng San. Maka itu mendengar permintaan anak muda itu, si bhiksu-ni menjadi sulit sekali.

Yu Su Hong mendengar permintaan itu, dia tertawa dingin dan kata: "Puteri harimau mana tepat dipasangi dengan anak anjing?"

Mukanya si anak muda menjadi merah padam, sambil tertawa dingin tangan kanannya menyamber ke arah si nyonya tua, yang hendak dicekuk untuk dipencet nadinya.

Pit Siauw Hong terkejut, ia kenali tipu silat yang tadi dipakai membikin ia mati daya.

Selagi Nio-kiu Ki menyerang itu, untuk menangkap tangan si nyonya tua, dari lain arah dari tempat gelap ada benda putih yang melayang memapaki lima jari tangannya itu, hingga benda itu kena terjambak. ia menjadi kaget, apa pula benda itu ialah topengnya tadi yang terbuka dan terbang dibawa angin, ia jadi gusar sekali.

"Siapa di sana?" ia membentak "Bagaimana kau berani main" gila di hadapan Nio-kiu Ki? Kenapa kau tak mau perlihatkan dirimu?"

Diantara suara angin terdengar tertawa dingin dan jawaban ini, "Anak muda tidak tahu selatan coba bukan aku lagi mempunyai urusan, pastilah aku sudah patah kan sebelah tangan dan sebelah kakimu. Baiklah aku pesan kata-kata kepada ayahmu bahwa Hong In Pat Jiauw bukannya ilmu silat yang berarti. Lagi sepuluh tahun, aku nanti kirim muridku ke Giok ciong To untuk mencoba ilmu silat kau itu. Aku sudah bicara, maka lekas kau angkat kaki dari cian Siong gay ini"

Mendengar suara itu Yu Su Hong memperlihatkan air muka girang. Yan San Sin Ni melihat roman orang itu, maka ia menduga pelayannya ini pastilah ada hubungannya dengan orang di tempat gelap itu, bahkan mungkin orang itulah yang menolongnya dari ancaman maut.

Nio-kiu Ki mengasih lihat roman gusar dan bengis, belum berhenti suara orang, ia sudah lompat ke tempat gelap itu, Untuk itu ia mesti lewat di sampingnya Yu Su Koh, Nyo-nya ini tertawa dingin, sebelah tangannya diangkat guna menotok iga orang, di jalan darah thian-ju.

Si anak muda melihat serangan tak disangka-sangka itu, ia kaget, ia pun kaget untuk jurus itu, yang ia dapatkan lebih lihay daripada "Hong Jiu Pat Jiauw", Terpaksa ia berkelip hingga ia batal berlompat terus ke tempat gelap. ia mengawasi tajam padanyonya tua ini.

Yan San Sin Ni pun heran menyaksikan cara penyerangan Su Koh. ia tidak dapat mengenali ilmu silat itu. Karena ini, ia melirik kepada Pit Siauw Hong. juga jago ceng Shia Pay melongo, Dia merasa lebih heran daripada bhiksuni itu.

Su Koh mengawasi si anak muda, ia tertawa dan kata, "Tadi kau lancang memasuki kelenting dimana kau mencelingukan ke empat penjuru, jikalau aku tidak ingat kepada Nona Leng tidak nanti aku membiarkan kau keluar pula dengan tubuh utuh. Pula jikalau bukannya am-cu kami memandang kaulah anak tunggal tocu dari Giok ciong To, tidak nanti dibiarkan banyak lagak di atas jurang Cian Siong Gay ini Maka itu sekarang, kau dengarlah nasihat aku si orang tua, kau matikan hatimu, lantas kau berlalu dari sini."

Parasnya Nio-kiu Ki pucat pasi, pikirannya kacau. "Sungguh aneh" demikian otaknya bekerja. " Ketika aku

naik ke mari. aku melihat Yu Su Koh lagi dihajar loboh oleh Koat chong Sam Lo, dia terluka hebat di dalam. Turut pantas dia mesti segera putus jiwa, Kenapa dia hidup pula dan menjadi begini kosen? Mestilah dia telah ditolongi orang Kalau dia begini lihay, kenapa dia kalah melawan Koat chong Sam Lo?" Pusing anak muda ini.

"Mungkinkah si penolongnya yang mengajari dia ilmu silat nya ini?" demikian ia berpikir pula, "Tak bisa jadi, "ia menggoyang-goyang kepalanya, ia mengoceh pula: "Mana bisa dia belajar begini cepat? Aku diajari Hong im pat Jiauw sampai dua tahun, baru aku paham betul. Tak mungkin..."

Karena pikirannya ruwet itu, ia berdiri diam saja, matanya mendelong.

Kecuali sang angin, orang terbenam dalam kesunyian-

Yan San Sin Ni memandang Pit Siauw Hong dan Yu Su Koh. "Mari kita pulang" dia mengajak ia lantas berangkat lebih

dulu, jago ceng Shia Pay mengikut.

Yu Su Koh pun mengundurkan diri, hanya dia menghilang ke samping.

Nio kiu Ki sadar ketika ketiga orang itu sudah lenyap di tempat gelap. ia membanting kaki, kedua matanya menyiarkan sinar bengis, Lantas ia kata sengit: "Tak dapat penasaranku ini dilampiaskan jikalau aku tidak membikin ci ci Am rata dengan bumi."

"Sudahlah" ia mendengar suara orang sekali lagi suaranya masih belum berhenti, "Nona Leng toh tidak mencinta kau sebenarnya dia jemu terhadap mu, dia melayani kau saking terpaksa, kecewa kau yang tak melihatnya Jikalau aku menjadi kau aku malu bukan main-pasti ku buang pikiranku yang bukan-bukan itu. Kenapa kau masih memikir untuk membumi ratakan Ci Ci Am? Sungguh, belum pernah aku melihat di kolong langit ini orang semacam kau yang sangat tidak tahu malu"

Seumurnya Nio Kiu Ki belum pernah terhina semacam ini, ini juga kekuatirannya yang pertama kali, ia pun bingung sebab ia tidak tahu dari mana datangnya suara orang yang tidak dikenal itu, ia mendengarnya suara seperti datang empat penjuru, ia mencoba menetapkan hati, lalu ia tertawa dingin. "orang semacam kau, tuan, yang main sembunyi saja, yang takut melihat orang, barulah orang sangat tidak tahu malur katanya. Perkataan itu tajam tetapi tidak memperoleh jawaban.

Akhirnya jago muda Giok Ciong To itu habis daya, ia berlompat menghilang...

Dengan berlalu nya si anak muda, bersihlah Cian Siong Gay dari manusia, Tapi tak lama, muncullah seorang yang menjadi pengganti mereka itu. Dia ini mengenakan pakaian hitam.

Paling dulu dia mengawasi mayatnya ketiga jago dari Koat Chong, dia menghela napas.

Lantas dia bekerja menutupi mayat-mayat itu dengan salju, Untuk itu ia membuat dulu sebuah lubang besar. Setelah itu dia menghilang ke arah ke mana perginya Nio kiu Ki.

Jago muda dari Giok Ciong To menuju ke kelenting Ci Ci Am, Dia penasaran, dia mau menemui Leng Giok Song, ia tidak percaya Nona Leng tidak mencintai dianya, sedikitnya dia ingin bertemu lagi satu kali.

Selagi berjalan itu, hatinya panas, dadanya bergolak. Dia membenci sangat orang yang bersembunyi itu. Kalau dapat, dia ingin mencincangnya. Dia pun menyesal. Tadi, tengah Yu Su Koh dibikin terpental musuhnya, dia mendengar dua jeritan yang berbareng. Dia menduga kepada Giok Song dan adik seperguruan si nona.

Kalau dia tidak usil, hanya segera dia memburu ke arah suara jeritan itu, mungkin dia dapat menemui si nona untuk dibawa lari pulang ke pulaunya. Secara paksa begitu akan membikin Yan San Sin Ni tidak berdaya.

Apa mau dia melayani dulu Koat chong Sam Lo. sekarang dia menyesal sesudah kasip.

Ketika itu di kamar paling belakang dari kelenteng ci ci Am, Yu Su Hong duduk berkumpul bersama Giok Song dan Wan Lan- Nona Leng berpakaian serba putih tampak sekali kecantikan dan kehalusan dirinya.

Gerak-geriknya pun lembut, Dia dapat tertawa manis. Tidak heran Nio-kiu Ki tergila-gila kepadanya.

"Su Koh." Wan Lan tanya, "kau-terluka parah di tangan Koat chong Sam Lo, siapakah sudah tolongi kau? Kau belum mau memberi keterangan kepada kami. Buat apa kau menahan harga? Kau membikin orang mendongkol saja."

Ia benar-benar mencibirkan mulutnya.

Nyonya tua itu mengawasi dengan sinar matanya yang mengandung arti, ia bersenyum.

"Sebenarnya dia siapa, aku si perempuan tua tidak mendapat tahu," dia menjawab, "Aku cuma melihat seorang dengan pakaian serba hitam, yang dadanya lebar dan pinggangnya langsing, tubuhnya tinggi. Aku percaya dialah seorang muda yang tampan."

"Heran- kata si nona, " Wajah orang kau tak lihat, bagaimana kau bilang dia seorang muda yang tampan?"

Nyonya tua itu tertawa.

"Aku si orang tua sudah kenyang merantau," dia berkata, "aku telah melihat banyak orang, hingga aku dapat menduga orang tampan atau jelek dengan melihat potongan tubuhnya saja aku tak akan salah atau sembilan dalam sepuluh"

"Sungguh tak tahu malur kata Nona Ni, "Berani kau mementang mulut"

Su Koh tertawa pula.

"Habis dia menyembuhkan lukaku," kata dia tanpa mempedulikan si nona yang lagi diguyon itu, "dia tanya aku bahwa aku bermusuh dengan siapa. Dia sebal melihat lagaknya Nio-kiu Ki. maka dia lantas megajari aku serupa tipu silat yang aku telah pergunakan itu. Aneh ilmu silat itu, Paling akhir dia menanyakan satu hal.."

Selagi begitu itu, dia tertawa matanya mengawasi tajam kepada nona Ni. Dia tertawa dan meneruskan, bertanya: "Tahukah kau apa yang dia tanyakan..." "Hm" kata si nona tawar. "Mana aku tahu dia tanya apa ?" Toh di dalam hatinya ia ragu-ragu. Aneh sikapnya perempuan tua ini. Mau atau tidak ia akat dalam hati: "mungkinlah dia yang datang ?" maka ia menjadi bingung, pikirannya menjadi tidak tenteram...

"Pertanyaan paling belakang dari dia itu begini." Kata Su Koh kemudian- "Dia tanya, apakah nona Lan baik? Tolong sampaikan hormatku kepadanya" Habis itu dia menghilang di tempat gelap.”

Hati si nona memukul.

"Sebenarnya siapa dia ?" ia tanya. "Mustahil kau tidak melihat nyata padanya, sedang kau berdiri dekat sekali dengannya." Yu Su Koh mementil pipenya.

"Trang Traang Trang" terdengar suaranya. Ia menggeleng kepala.

"Kau maafkan aku si nenek-nenek" sahutnya. " Habis terluka parah mataku masih kabur tak dapat aku melihat tegas..."

Wan Lan mendongkol sehingga ia membanting-banting kaki. Glok Siong mengawasi ia bersenyum.

Tengah nenek itu berdiam, mendadak di ambang pintu muncul seorang dengan pakaian putih. Tahu-tahu dia berkelebat bagaikan bayangan- Mereka terperanjat, lantas semua mengangkat kepalanya masing-masing.

Itulah Nio Kiu Ki, tuan muda dari Giok Ciong To yang terus mengawasi nona Leng. Glok Song berdiam, kepalanya tunduk.

Nio-Kiu Ki masih mengawasi tatkala ia mendapatkan tiga batang jarum menyamber ke arahnya. Ia mendengar suara anginnya. Ia lantas berkelit, hingga ketiga jarum menghajar tembok papan di belakangnya, di luar kamar. Ia terus berdiri diam, matanya dipasang. "Kau masih belum mau pergi? Kau tunggu apa di sini?" Yu Su koh menegur bengis. Anak muda itu bersikap dingin. "Aku hendak bicara dengan Nona Leng " katanya tawar. "Aku cuma mau menanya sepatah kata. Perlu apa kau membuka mulutmu yang "

Ia hendak menyebut "mulut yang tak ada giginya" mendadak ia membatalkannya, Muka-menjadi pucat seperti ia tiba-tiba dipagut ular. Gesit luar biasa tubuhnya lompat menghilang.

Selagi Nio-kiu Ki muncul, Ni Wan Lan telah memegang pedangnya untuk dihunus, ia mau lompat menerjang anak muda itu, Tapi ia dicegah Giok Song, yang menariknya, Sekarang melihat orang berlalu, benar-benar ia lompat menyusul. Sampai di luar ia tidak melihat siapa juga. ia berdiri diam sebentar, baru ia kembali ke dalam.

Ketika itu Yu Su Hong dan Leng Giok Song bicara kasak- kusuk. melihat Nona Ni kembali mereka lantas berdiam. Tapi Wan Lan dapat melihat gerak-gerik mereka, ia heran, ia menjadi curiga.

"Bilanglah, siapa itu si baju hitam?" kemudian ia tanya Su Koh, ia lompat kepada si nyonya yang merangkulnya, "Bilanglah" ia mendesak.

Su Koh tengah kewalahan waktu Yan San Sin Ni terlihat masuk. Wan Lan lantas berdiri diam.

"Anak Lan, pergi kau ke depan," kata guru itu: "Kau antar Pit Locianpwe ke kamar timur untuk dia beristirahat."

Guru ini mengerutkan kening.

Nona Ni berlalu, meskipun hatinya tak puas. "Suhu" Giok Song menyapa, perlahan-Guru itu bersenyum.

"Anak Song, kali ini kau berbuat baik-baik sekali," katanya, Jikalau bukannya kau, tidak nanti itu anak celaka datang ke mari. dan tanpa datangnya dia, gurumu tidak berdaya mendapatkan perdamaian dengan Pit Locianpwe.. Terus ia menoleh pada Su Hong, mengawasi dengan tatapan mata ragu-ragu. "Am-cu," kata si nyonya tua yang terus menjelaskan pengalamannya tadi, ia bicara dengan perlahan. Bhiksuni itu mengangguk.

"Syukurlah asal si Lan - mendapat kepastian untuk hidupnya di belakang hari," ia kata. "Pergilah kau bicara dengan anak itu"

Tidak lama, Wan Lan sudah kembali.

Yan San Sin Ni mengawasi muridnya, tanpa membilang apa apa, ia mengundurkan diri, Yu Su Koh mengawasi orang dan tertawa, "Nona Lan, mari aku si orang tua bicara dengan kau" katanya, "Engko In-mu yang kau mimpikan selalu itu sudah datang. Aku si orang tua justru ditolongi oleh dianya sekarang kau sudah mengerti bukan?"

Hati Wan Lan tergerak. Sejenak itu ia merasakan manis dan getir berbareng, ia girang berbareng mendongkol. Karena itu untuk sementara pikirannya menjadi kacau. Ia berdiri menjublak saja.

Melihat si nona Su Koh berduka, "Nona Lan, baiklah kau dengar perkataanku si orang tua," ia berkata kemudian- "Kau sangat cerdas tetapi cacadmu ialah kenakalanmu. Tentang asmara aku si orang tua mirip dengan ahli. Aku pernah merasainya. Pemudi ada sifatnya masing-masing. Pria itu menghendaki kehalusan budi pihak sana, maka pihak sana haruslah menjadi seperti anak burung yang manis. Kau sebaliknya, kau terlalu tangkas kalau bicara, kau tidak suka memberikan ketika kepada lain orang, Sifat itu cuma mem- bikin jeri pihak sana, lihatlah Giok Song yang dijuluki Kong Han Sian-cu, si dewi dari kahyangan- Kau sebaliknya, kau dinamai Losat Giokli, si raksasa, Mengenai ini, kau tahulah sekarang..."

Wan Lan sangat berduka, ia menangis sesenggukan

“Jangan kau menangis," Su Koh menghibur "Sekarang ini tentulah engko In-mu itu lagi bertempur mati-matian dengan Nio-kiu Ki di atas cian Siong Gay, jikalau kau tidak lekas menyusul ke sana, mungkin kau kasip."

"Ya, pergilah lekas" Giok Song pun menganjuri.

Tanpa berkata apa-apa, Wan Lan lari ke luar, terus kejurang cian siong Gay. Tiba di sana, ia tidak melihat apa- apa. Sang malam gelap. Tengah ia berdiam, ia mendengar suara belasan tombak jauhnya, itulah suara yang ia kenal baik sekali.

"Nio-kiu, ini kali ini aku suka memberi ampun padamu" demikian suara itu, "Aku menyayangi kau karena cintamu yang buta, karena kau belum pernah melakukan kejahatan yang melewati batas, Tapi ingat, jikalau kau datang pula ke Tionggoan, sedikitnya aku akan mengutungi kedua kakimu."

"Baik" terdengar suaranya Nio kiu Ki keras. “Jikalau dalam tempo sepuluh tahun aku tidak dapat membalas sakit hati ini, aku sumpah tak mau menjadi orang"

Habis itu sunyilah jurang itu, Dengan menurut arah suara, Wan Lan pergi berlari, ia merasa sangat berduka, hingga ia menangis.

"Engko In" ia memanggil, masih terisak. kakinya lari terus.

Tiba-tiba ia merasa sebuah tangan yang kuat menyambar lengan kanannya, ia lantas ditarik. Dilain detik ia telah berada di dalam rangkulan orang laki-laki..."

Dalam gelap itu sukar orang melihat tegas satu pada lain- Wan Lan mengangkat kepalannya untuk menatap. Ia tidak dapat melihat mata, cuma rasanya ia mengenali potongannya In Gak. Untuk sejenak ia bersangsi. "Engko In..." katanya perlahan, "Benarkah kau?"

Dari pihak sana terdengar helahan napas perlahan, lalu kata kata ini, perlahan juga:

"Nona Lan, apakah kebijaksanaanku Cia In Gak hingga kau begini tergila-gila kepadaku?"

Wan Lan menatap terus segera juga ia melihat nyata In Gak berpakaian serba hitam. Pakaiannya model pakaian pelajar dan wajahnya menunjuki ialah seorang berusia empat puluh lebih. Di tangannya terpegang sepotong kemala yang tertaburkan mutiara, justru itulah benda yang mendatangkan sinar terang hingga ia dapat melihat tegas. In Gak mengawasi si nona, demikian Wan Lan merasa dari tatapan orang. Dia bersenyum.

Segera setelah itu tangannya ditarik. dituntun berjalan- Disitu juga ia memasuki sebuah gua yang cukup lebar untuk empat lima orang berduduk. Di situlah mereka berdiam dan si anak muda menyingkirkan topengnya, hingga nampak wajahnya yang tampan-

Bukan main girangnya Wan Lan, sampai ia bingung saking tersengsam, ia berdiam ia membuat main rambutnya sendiri kemudian ia sesapkan kepalanya didada orang, masih ia bungkam saja.

In Gak pun berdiam, ia membiarkan orang menaruh kepala di dadanya itu.

Salju berterbangan hawa dingin, Tapi di dalam gua itu, muda-mudi itu merasakan hangat di tubuh dan di hati, Sebab di situ dua hati bertemu setelah mereka berpisah sekian lama. Mulanya yang satu mau menyingkir, yang lain mengejar terus.

Tangan Wan Lan membuat main topeng kulit dari pemuda yang ia puja itu, Ketika masih saja orang berdiam ia mengangkat mukanya, untuk menatap. In Gak mengawasi tajam ke luar gua. ia seperti lagi memikirkan sesuatu. In Gak seperti baru sadar, ia tertawa.

Sekarang barulah mereka membuka mulut akan saling bertanya, buat saling menutur tentang pelbagai pengalaman mereka sebegitu jauh. Banyak mereka bicara. Kadang kadang itu disela dengan gelak tawa mereka, ada kalanya mereka terharu juga...

"Masih banyak yang aku mesti bereskan, adik Lan," kemudian si pemuda kata. "Kau baiklah tunggu di sini, Nanti di musim semi, selagi bunga pada mekar, aku akan datang ke mari."

Wan Lan tertawa.

"Apakah kau tidak mau menemui guruku?" tanyanya. In Gak menggeleng kepala.

"Tidak dapat aku pergi ke sana." katanya perlahan, "Di sana ada Pit Siauw Hong. sebagai ketua ceng Shia San, dia roboh di tangannya Nio-kiu Ki, bagaimana dia tidak malu? jikalau dia ketahui aku menyaksikan peristiwa tadi, pasti dia sangat berduka dan malu sekali. Tadi pun aku melihat dia berduka luar biasa, kalau tidak gurumu memanggil dan mengajaknya, mungkin dia buang diri ke dalam jurang." ia berdiam sebentar, lalu ia menambahkan:

"Nio-kiu Ki memang lihay sekali, tanpa aku menggunai tipu tidak nanti dia

terkalahkan- Aku berhasil menotok jalan darahnya. jalan darah ceng cok. tapi aku juga kena terhajar sekali dengan tangannya."

Nona Lan terkejut. "Kau... kau tidak kenapa-napa?" dia tanya cepat, hatinya berdebar.

In Gak terharu melihat orang begitu memperhatikan padanya, ia bersenyum, kepalanya digoyang.

"Tidak apa apa," ia menyahut "Kau tahu Hong In Pat Jiauw itu ilmu silat partai mana?”

Wan Lan menggeleng kepala, ia mengasi.

"Aku tahu." Kata si anak muda. "Sekarang ini Pit siauw Hong berada di dalam kelentingmu, pasti pikirannya lagi bekerja memikirkan ilmu silatnya pulau Giok ciong To itu. Sebenarnya ilmu silat itu ilmu silat ceng Shia-pay sendiri. Pelajaran itu didapatkan dari sebuah kitab ilmu silat ceng Shia- pay juga.

Kitab itu ialah kitab yang dianggapnya tidak berguna, yang dibiarkan saja di Lauwteng cheng Leng Koan Kok di gunung cheng Shia-san. Karenanya, kitab itu menjadi seperti sarang laba-laba, maka datanglah suatu hari yang Nio Kiu kisu datang ke ceng Shia-san mengunjungi Thian Ko Totiang.

Kebetulan dia dapat lihat kitab itu dalam lauwteng tersebut, diam-diam dia memperhatikan itu, lalu malamnya dia curi itu. Kehilangan kitab itu baru diketahui sesudah Nio Kiu Kisu pergi. Mulanya Thian Ko Totiang tidak menghiraukan itu, baru belakangan ia menjadi heran, sebab apa Nio Kiu Kisu menyukai kitab itu, yang bernama Hong In cin Keng. Karena itu ia turun gunung, ia pergi ke Giok ciong To. Nio Kiu Kisu tidak mau menemui tetamu nya ini, ia menyingkir dengan alasan bikinan bahwa ia tengah pesiar. Maka itu Thian Ko Totiang pulang dengan kecele. Tiga tahun selewatnya itu barulah Thian Ko Totiang mendapat tahu kitab itu kitab penting.

Kebetulan ia membaca tulisan ketuanya yang keenam belas, di situ ada ditulis halnya kitab itu memuat ilmu silat yang sulit di-pelajarinya. Ketua itu bilang dia sendiri tak dapat memahamkannya, maka ia pesan untuk orang-orang partai mencoba menyelidikinya. Kitabnya ilmu silat itu dapat membikin makmur partai mereka. Setelah sadar itu, Thian Ko pergi pula ke Giok Ciong To.

Kali ini Nio-kiu Kisu suka menemui tetamunya, Thian Ko tanya apa benar Nio Kiu Kisu mengambil kitabnya. Nio-kiu Kisu menjawab membenarkan, malah sambil tertawa dia kata: Tlong in ciu Keng merupakan kitab dari ilmu silat yang luar biasa, maka sayanglah itu disa-sia Kau membuang, aku mengambil, kenapa tidak boleh?"

Muka Thian Ko Totiang menjadi membiru, ia lantas minta pulang kitabnya itu. Nio-kiu Kisu menolak. Mereka tak dapat kecocokan- kejadiannya mereka bertempur, Thian Ko Totiang kena dikalahkan, delapan kali ia kena cengkraman Hong In Pat Jiauw, itulah pukulan yang membikin napas sesak.

Dengan menguati hati, Thian Ko Totiang lari pulang, ia mesti melakukan perjalanan selaksa li, ketika akhirnya ia sampai di ceng Shia San, napasnya sudah empas-empis. sebenarnya ia mau menuturkan halnya kitab ilmu silat partainya itu, tapi napasnya sudah pendek. baru ia dapat menyebut enam belas huruf itu, ia lantas menutup mata.. "

“Engko In, bagaimana kau ketahui ini begini jelas?" tanya Wan Lan heran-

"Tadi Pit siauw Hong memasang omong dengan gurumu di hud-tong, aku mendengar itu." sahut si anak muda.

"Kenapa guruku ketahui hal lenyapnya kitab itu di tangan Thian Ko Totiang"

"Mengenai itu, aku tidak tahu. Kalau dugaanku tidak keliru, tempo Thian Ko Totiang lari pulang dengan lukanya itu, mungkin di tengah jalaNia bertemu gurumu dan ia lantas ditolongi. Memang sulit untuk ia pulang dalam keadaan luka parah itu. Rupanya ia telah menutur jelas segala apa kepada gurumu itu."

Wan Lan mengangguk. Keterangan itu beralasan

Sampai disitu mereka lantas bicara dari hal lain sampai sang pagi datang dan

cuaca terang In Gak menyimpan mutiara mustikanya.

Tiba-tiba ada angin bertiup masuk, begitu dingin, hingga si nona menggigil.

"Dingin." katanya.

Ketika itu salju sudah berhenti turun tetapi angin masih bertiup terus. Di luar gua, segala apa tampak putih mulus. Tengah mereka berdiam di mulut gua, mata mereka melihat empat orang berlari naik ke atas jurang, gerakannya sangat gesit, lompatnya tinggi. 

"Kenapa diwaktu begini ada orang datang ke mari," kata Nona Ni berbisik, "Kenapa mereka berani lancang memasuki daerah ini? Nama suhu terkenal sekali, suhu telah memberi batas lima li di sekitar sini tak dapat siapa pun lancang datang, orang orang jalan Hitam dan Jalan Putih di enam propinsi Utara tak ada yang tak ketahui larangan itu. Apakah mereka ini mau mencari mampus?" In Gak tidak bilang apa-apa, ia melainkan bersenyum.

Keempat orang itu telah sampai di atas jurang, Terlihat nyata mereka rata-rata berusia diatas lima puluh tahun- Mereka itu memandang ke empat penjuru seperti yang lagi mencari apa-apa.

"Ketiga sahabat dari Koat Chong pasti sudah terobohkan tangan jahatnya si nikouw tua dari Yan San," berkata yang seorang. "Telah dijanjikan pertemuan di sini diwaktu fajar, Kenapa mereka tak nampak?"

Orang yang kedua jalan mundar-mandir, ia menendang nendang salju yang bertumpuk, Mendadak ia membungkuk seraya berkata nyaring: "Lihat, saudara-saudara apa ini?"

Tiga yang lain berlompat menghampirkan.

"Inilah tiga batang jarum," kata seorang, " Dan es ini ada tanda darahnya... Pasti tadi malam sudah terjadi pertempuran yang seru, Ketiga sahabat dari Koat Chong tidak nanti menghalangi kepercayaannya, maka itu tentulah benar seperti kata kau saudara Khouw, mereka pasti sudah terkena tangan jahat." ia lantas memutar tubuh, matanya melihat tajam, setelah itu ia bertindak ke sebuah pohon cemara tua.

"Dia bermata lihay." puji In Gak dalam hati.

Dengan kedua tangannya, orang itu menghajar tumpukan salju, ia lakukaNitu beberapa kali, maka dilainsaat, di depan matanya tampak tiga mayat. ia melongo, demikian pun tiga kawannya. Mereka tidak mengatakan apa-apa, cuma mereka saling memandang, lantas semuanya lari turun dari Cian Siong Gay.

"Inilah berbahaya," kata In Gak. "Rupanya mereka mau pergi ke Ci Ci Am. Adik Lan, lekas kau pulang, untuk memberikan bantuan- mu”

"Kau sendiri?" Wan Lan tanya sambil mengawasi.

"Aku akan membantu secara menggelap." sahut si pemuda, " Lekas lah" Nona Ni mengangguk. ia terus lari pergi, ia mengambil jalan motong.

In Gak mengenakan topengnya, ia laripada ketiga mayat untuk menguruknya pula, setelah itu ia lari turun, guna menyusul. Maka terlihatlah ia bagaikan bayangan berkelebatan menuju ke kelentingnya Yan San Sin Ni.

Wan Lan sampai di kelentingnya, terus mendapatkan Yu Su Koh dan Leng Giok Song yang masih duduk memasang omong. Segera ia menuturkan apa yang ia saksikan tadi di atas jurang dan halnya orang lagi mendatangi kelenteg mereka.

"Hm" kata Su-Koh tak senang, ia berlompat bangun.

Glok Song pun bangun, akan bersama Wan Lan lari ke hud tong.

Belum mereka bertiga memasuki ruang pemujaan, mereka sudah kaget. Hidung mereka membaui harumnya hio yang luar biasa, yang membikin tubuh mereka limbung hendak jatuh. "Celaka" Su Koh berseru, "Lekas tahun napas"

Benarlah, dengan tak bernapas mereka tak merasai gangguan hio itu. Lantas mereka bertindak masuk, Segera mereka tercengang. Mereka. melihat Yan san Sin Ni rebah terkulai di atas tempat duduknya dan Pit Siauw Hong meringkuk di pojok tembok, semuanya tak bergerak.

"Lihat" Giok Song berseru, tangannya menunjuk kepada gurunya serta si orang she Pit itu.

Wan Lan dan Su Koh memandang ke arah yang ditunjuk Nona Leng itu. Mereka melihat dua ekor ular hijau yang kecil, panjang cuma lima dim, lagi menggigit belakang kepala Sin Ni dan Siauw Hong, dijalan darah hoa Jiu. Tentu sekali mereka menjadi sangat kaget.

Wan Lan berseru, pedangnya - pedang Hu song Kiam lantas dipakai menyontek ular hijau di kepala gurunya itu.. Ular itu serta kawannya bermata celi dan gesit sekali keduanya melepaskan pa g utannyauntuk lompat ke arah pintu, untuk molos-di sela-selanya dan kabur.

Berbareng dengan itu di luar pintu terdengar tertawa nyaring dari beberapa orang.

Yu Su Koh gusar bukan main, ia lantas membuka pintu, untuk lompat ke luar, ia di turut kedua nona.

Di luar itu berdiri di antara salju nampak empat orang, yang sisa tertawanya masih belum lenyap.

"Bayar jiwanya am-cu ku" Su Koh membentak sambil ia lompat bersama pipenya untuk menyerang.

Kedua nona yang tidak kurang gusarnya pun lompat maju.

Keempat orang itu tertawa pula,

"Bagus perkataan kau" kata yang satu. "Habis kepada siapa kami harus menagih jiwanya ketiga sahabat kami dari Koat Chong?" Lalu bersama ketiga kawannya, ia menghunus senjatanya buat melakukan perlawanan-

Selagi orang bertempur itu, satu bayangan mencelat masuk seperti segumpal asap. hingga kedua belah pihak tak ada yang mendapat lihat.

Pertempuran itu hebat sekali, Su Koh bertiga lihay, akan tetapi pihak sana berempat tak kurang lihaynya. Mereka itu dapat membikin perlawanan dengan baik. Maka itu terlihat sering kedua pihak merapat, sering juga mereka merenggangkan diri. Su Koh menjadi habis sabar.

"Awas" dia berseru seraya mementil tali pipenya hingga bersuara nyaring, menyusul mana melesatlah jarum rahasianya Gu-Nio Hui-ciam.

Seorang tua mengasih turun goloknya untuk mengibas dengan tangan bajunya, maka runtuhlah semua jarum rahasia itu. Setelah itu dia berseru: "Si nenek sudah mampus, buat apa kita berdiam lama-lama di sini Baik kasih ampun pada mereka ini Mari kita pergi" Orang tua itu berkata seraya berniat memutar tubuhnya.

Ketika kawannya akur, mereka pun bersikap serupa.

Tiba-tiba dari dalam kelenting terlihat dua sosok tubuh lompat keluar cepatnya bagaikan kilat. Empat orang itu belum sempat melihat nyata, mereka sudah merasakan tindihan keras kepada dada mereka, hingga mereka sukar bernapas, mata mereka menjadi gelap. Mereka merasakan sakit yang sangat, hingga mereka menjerit tertahan. Menyusul itu tubuh mereka terpental, terus roboh terbanting, mulut mereka menyemburkan darah hidup. Di detik itu juga, mereka terbang melayang.

Kapan dua orang dari dalam kelenting itu menaruh kakinya di tanah, terlihat merekalah Yan San Sin-Nie bersama Bu-Eng Sin-Ciang Pit Siauw Hong. Sin Nie mengawasi keempat mayat, ia merangkap kedua tangannya. " Dalam gusar, tecu kembali telah membuka pantangan membunuh..." katanya perlahan-

Yu Su Koh bertiga tercengang, Luar biasa sekali, Sin Ni dan sahabatnya itu hidup pula dengan tidak kurang suatu apa.

Wan Lan ingat apa-apa, ia lompat lari masuk ke hud-tong.

Ruang itu kosong. Cuma di atas meja ada selembar kertas yang tertindih, yang sering terangkat angin, ia samber kertas itu, yang merupakan surat dengan huruf hurufnya yang indah. Ia lantas membaca:

"Adik Lan,

Kalau nanti bunga-bunga mekar di dalam musim semi yang hangat, itu waktu kita nanti bertemu pula, Sekarang aku pergi dulu,

Dari: In".

Surat itu masih belum kering, suatu tanda baru saja habis ditulis. Matanya Wan Lan merah. Air matanya mengembeng, ia merasa kesepian-.. Surat itu terlepas, terbang dibawa angin-..

xxx BAB 25

DI GUNUNG Tiang Pek San, salju berterbangan dipermainkan angin yang santer. Semua pohon Nampak putih, Dengan begitu, kampung Hoan Pek sanchung pun tak menjadi kecuali seluruhnya tertutup benda putih yang dingiNitu. Untuk penghuni sanchung itu masih ada gangguan lainnya.

Losancu Kang Thian Tan nampak sangat berduka, hingga alisnya seperti saling susun, Kesulitan membikin orang tua itu saban-saban menarik napas panjang.

Nyonya san-cu yang muda sedang berbadan dua, hal itu membikin lo-sancu dan isterinya girang bukan main- Kedua- duanya memang sangat ingin mengempo cucu, Mereka sering nampak bersenyum-senyum. Tapi pada suatu hari datanglah peristiwa buruk- Mendadak datang serbuan oleh Hok San Siu serta kawan-kawannya berjumlah beberapa puluh orang Kang ouw, Gangguan itu dapat disingkirkan kawanan penyerbu terpukul mundur.

Diluar dugaan, nyonya sancu yang muda itu terganggu kandungannya. Mulanya dia tidak merasakan sesuatu, sampai tahun baru, bayi dalam kandungannya bergerak tak hentinya, Dia menderita sangat, kepalanya pusing, matanya kabur, terus dia rebah saja di atas pembaringannya .

Lo-sancu berduka dan berkuatir, lebih-lebih ketika ia mengundang tabib. Tabib yang memeriksa nyonya mantunya itu menggeleng kepala dan pergi tanpa memberikan obat atau resep. ia menjadi bingung, kedukaannya bertambah.

Beberapa tabib lain diundang, Umumnya mereka membilang, kalau bayi itu terlahir, susah buat ditolong, bahkan sang ibu mungkin tak tertolong juga.

Belasan hari setelah itu, tengah lo-sancu berduka, beruntun ia kedatangan rombongan-nya Hu Llok Koan, Hu Wan, Pek Ie, Kouw YanBun, Tio Kong Kiu dan Ciu Wi Seng, begitu juga Lian Cu dan Goat Go. ia menyambut- mereka itu dengan girang. Lian Cu meninggalkan peternakannya Hong Piu karena cemburu dan jelus, hingga hatinya menjadi panas, siapa sangka setibanya di Hoan Pek san chung ini, ia justeru melihat Hu Wan dan Yan Bun, kejelusannya bertambah.

Baik dengan sinar matanya maupun dengan kata-katanya ia suka berlaku kasar terhadap dua nona yang dianggap sebagai saingannya itu. Kong Kiu ketahui itu ia menegur dan memberi nasihat kepada putrinya, Lian Cu tidak dapat menguasai diri, bahkan ia lantas meninggalkan san-chung, katanya tak tahah ia dengan hawa dingin di situ, ia berangkat ke Kanglam, katanya untuk sekalian pesiar. Kong Kiu bersama Wie Seng dan Goat Go terpaksa menysul anak dara itu yang berhati keras.

Selagi Lian Cu pergi, Say-Hoa-To Gui Peng Lok tiba, Kiong Thian Tan girang bukan main, ia mendapat harapan- Lantas ia minta tolong tabib itu memeriksa nyonya mantunya.

Pemeriksaannya beberapa tabib terdahulu itu tidak keliru," kata Peng Lok habis memeriksa nadi menanti tuan rumah. "Siauw-hujin mengandung bayi kembar, kandungannya tergerak maka bayi-bayinya mendapat goncangan-

Tubuh nyonya muda panas dan dingin, aku kuatir tak dapat aku menolong dua-duanya. Baiklah ibunya saja yang ditolong lebih dulu, Cuma obat Gu-Hong Ceng Sim Tan yang dapat menolong nyonya muda. Tentang bayinya, terserah kepada Thian-.."

Sedikitnya Kiong Thian Tan merasa lega juga. Tak apa kehilangan cucu, jangan nona mantu, yang di belakang hari masih dapat memperoleh anak pula, Toh ia tetap berduka.

"Tadi aku menyebutkan obat Gu-Hong Ceng sim Tan" kata Peng Lok kemudian- "obat itu cuma dipunyai - Im Liong Hoat- su Huketu, lama dari wihara Potala di Sin-tek. Tapi pendeta lama itu menyayangi obatnya seperti dia menyayangi jiwanya sendiri, sukar untuk mendapatkannya, sekalipun kita menempur dia, belum tentu dia sudi menyerahkannya. Lain dari itu, habis makan obatku, liwat lima hari nyonya bakal melahirkan, jadi temponya pun sudah tidak ada..."

Ketika Kouw Yan Bun mendengar perkataannya tabib she Gui itu, diam-diam dia meninggalkan Hoan Pek san-chung untuk pergi ke Sin-tek, ke wihara Potala itu. Tidak ada orang yang mengetahui kemana perginya dia.

Tiga hari kemudian Lui Siauw Thian tiba bersama Gak Yang, Ketika Kian Kun Ciu mendengar kesulitan nyonya san-cu yang muda itu, ia kata: Jikalau shate ada di sini, aku tanggung ibu dan anak selamat semuanya."

"Kau terlalu," kata Peng Lok, kurang puas. "Di dalam enam propinsi Utara dan tujuh propinsi Selatan ini, apakah masih ada lain orang yang dapat melebihkan aku si orang she Gui? Walaupun Cia Siauwhiap mengerti ilmu obat-obatan, untuk melebihkan aku, tak mungkin”

Siauw Thian tertawa.

"Kau tidak percaya, aku si orang she Lui tidak bisa bilang apa-apa," katanya.

Mendengar disebutnya nama In Gak. Thian Tan suami istri dan Leng Hui lantas ingat anak muda itu, roman siapa lantas berbayang di depan mata mereka.

"Kalau dia datang dan benar seperti katanya Siauw Thian, kita ketolongan-.." mereka kata di dalam hati.

Hati mereka itu tak dapat dibikin tenang, lebih-lebih Leng Hui.

Dihari kelima, Yan Bun kembali, ia membawa Gu Hong Ceng Sim Tan dari In Gak serta dua helai resep obat begitu pun sepucuk surat untuk lo-saucu. Ketika Peng Lok memeriksa resepnya In Gak. dia menghela napas.

"Anak itu benar benar luar biasa," katanya, "Benar-benar aku tak dapat melawan dia. Tanpa melihat surat obat ini, sungguh sukar orang mempercayai." Memang selama makan obat tabib ini menantunya lo sancu masih suka pingsan-

Siauw Thian tertawa.

"Apa aku kata?" bilangnya, "Gelaran Say Hoa To kau baiklah kau serahkan pada shate kami itu"

Peng Lok mendelik. "Kunyuk" bentaknya.

Kiong Thian Tan membaca suratnya In Gak. dia lantas tertawa lebar, kumis jenggotnya di-urut-urut. Kemudian ia serahkan surat In Gak itu pada Peng Lok.

In Gak menulis, habis makan Gu Hong Cong sim Tan dan dua rupa obatnya itu kandungan nyonya Leng Hui bakal selamat, selamat ibu dan anak dan besokannya bakal melahirkan-

Dikatakan, meski kelahiran itu belum tepat waktunya, kalau terawat baik, sepasang bayi kembar tak akan kurang suatu apa.

Surat pun menambahkan halnya GurPeng Lok.

Katanya tabib ini terlalu berhati hati, hingga dia tak berani sembarang membuat resep. jadi dia bukannya kurang pandai.

Peng Lok tertawa.

"Cia Siauwhiap tahu hatiku, dia sungguh sahabat sejati." dia memuji. Thian lun lantas menyuruh orang membeli obatnya In Gak itu

Benar sekali, di hari kedua, nyonya sancu yang muda telah melahirkan dengan selamat dan anaknya satu laki-laki dan satu perempuan hingga losancu semua menjadi sangat girang. Maka lenyaplah kedukaan Koan Pek San-chung, semua orang bergembira.

Sementara itu Ghak Yang bergaul erat sekali dengan Pin-ji.

Usia mereka berdua memang sebaya, Setiap hari hampir mereka tak mau berpisah. Pin Ji senantiasa ingat In Gak. ia telah dijanjikan, kapan si anak muda kembali ke san-chung, ia bakal diajari satu atau dua rupa ilmu silat, ia ada begitu baik, ia ajari Gak Yang ilmu melepaskan panah yang ia peroleh dari nyonya losancu.

Demikian itu hari, habis bersantap. selagi orang tak memperhatikannya, kedua bocah ini pergi ke rimba yang berdekatan.

"Ghak Yang," kata Pin ji, " ilmu panah mu sudah mahir, bagaimana kalau kita mencoba dengan- memanah beberapa ekor mencak?"

Ghak Yang setuju, bahkan ia girang sekali. Maka keduanya lantas lari berkeliaran mencari binatang yang bakal dijadikan mangsa mereka. Tanpa merasa mereka sudah berlari-lari kira tiga puluh li.

"Lihat," kata Pin Ji, tangannya menunjuk-" Coba kaupanah"

Didepan mereka, di bawah sebuah pohon, terlihat kepalanya seekor mencak yang tubuhnya teraling pohoNitu. Mereka sendiri bersembunyi, mengawasi binatang itu yang bercelingukan.

Ghak Yang sudah lantas menyiapkan batang anak panah nya, tepat ketika ia hendak menimpuk. mencak itu lari kabur sesudah dia nampak kaget, seperti dia melihat sesuatu yang menakutkannya.

"Sayang" kata di bocah, menyesal seraya membanting kaki. "Sstt" PinJi menutup mulutnya, mencegah kawaNitu

bersuara, sedang matanya memperlihatkan sinar kaget, mata itu di arahkan kedepan.

Ghak Yang heran, ia mengawasi dan-tidak melihat sesuatu, Memang diwaktu itu, selagi-angin bertiup dan salju berjatuhan mereka tak dapat melihat lebih jauh daripada belasan tombak. Tapi selagi ia hendak menegaskan kawannya, ia segera melihat tiga orang yang baru tiba, yang lantas berhenti berlari tiga tombak lebih terpisahnya dari mereka berdua.

Ketiga orang itu imam semua, jubahnya abu2, kondenya tinggi, Mereka pada membekal pedang dengan ronce merah. Mereka tak mirip dewa tetapi roman mereka bukan roman sembarangan-

"Heran," PinJie berpikir "Di sekitar lima puluh li dari Hoan Pek San- chung ini ada penjaganya gelap dan perangkap dan umpama kalau ada tetamu, mesti ada pengantarnya, kenapa mereka ini cuma bertiga saja? pastilah mereka musuh dan bukannya sahabat, Bagaimana caranya mereka masuk ke mari?"

Dari tiga imam itu yang satu, yang jangkung kurus dan lurus berewoknya tipis dan mukanya kuning, terdengar berkata: "Heran. mana mereka itu? Terang sekali pinto mendengar tindakan kaki berlari-lari, Mungkinkah pinto salah dengar?"

"Sudah biarkan saja." berkata imam yang kedua. "Kita datang ke mari untuk mencari saudara Ang Ban Thong, jikalau bisa lebih baik kita jangan sampai turun tangan- Kita baik jaga agar si orang tua she Kiong tidak mengatakan orang Bu Tong Pay menghinanya."

"Hm" kata si jangkung, yang matanya terbuka lebar, bersinar tajam, suatu tanda dia sedang gusar, "jikalau bukan kedua saudara mencegah berulang-ulang dan menganjuri aku mendapatkan bukti-bukti dulu, pasti sudah aku serbu Hoan Pek San-chung ini untuk membikinnya jadi seperti langit ambruk dan bumi gempur"

Mendengar suara itu, Pin Jie panas hati. Terdengar si imam berkata pula: "Saudara Ban Thong itu menghilang dari dunia Kang ouw sepuluh tahun yang lalu, telah aku cari ia di empat penjuru, tidak aku berhasil menemuinya, ataupun mendengar saja namanya. Baru belakangan aku mendengar bahwa pada tiga tahun yang lalu dia telah meninggalkan Hoan Pek San chung ini.

Tiga bulan yang lalu telah aku datang kemari, menurut Klong Thian Tan dan menanyakannya, Thian Tan bilang bahwa sejak kepergiannya tiga tahun yang lalu, ia tak mendengar apa-apa lagi mengenai saudaraku itu. Aku tidak percaya, aku menegur dia. Dia gusar, dia mengangkat cawan tehnya, Itulah tanda dia mengantar tetamu pergi.

Maka itu, aku berlalu dengan mendongkol Di tengah jalan, tanpa disengaja, aku mendengar orang omong halnya saudara Ban Thong dibinasakan secara diam-diam dalam Hoan Pek San-chung."

"Sute, di mana kau mendengarnya?" tanya imam yang ketiga.

"Di saat aku meninggaikan mulut gunung, yang bicara yalah beberapa penjaga, bicaranya sambil tertawa-tawa."

"Ah kau keliru." kata sang kawan, "Kau tidak bekuk orang itu mana ada saksinya? Mana si tua- bangka she Klong mau mengarti? Kau sembrono."

Selagi mereka itu bicara, dari dalam rimba terdengar satu suara bocah: "Tuan tuan bertiga bangsa lurus yang berkenamaan, semua orang suci, kenapa tuan-tuan lancang memasuki tempat ini? Kenapa tuan-tuan tidak mau melaporkan diri dulu? Lancang memasuki tempat orang- apakah itu tak bakal jadi buah omongan ?"

Ketiga imam terkejut. berbareng mereka menoleh, bahkaNimam yang jangkung dengan mengawasi tajam, sudah lantas lompat kearah dari mana suara itu datang, untuk menerkam. Itulah gerakan "si kera" salah satu macam ilmu kepandaiaNistimewa dari Bu Tong Pay.

Akan tetapi ia gagal. Di belakang pohon, di mana ia menyangka orang bersembunyi, tak ada siapa juga.

Merekalah murid-murid turunan kedua Bu Tong Pay, nama mereka Ceng Seng, Ceng Hoat dan Ceng Beng, dan yang menyerang gagal ini yalah Ceng Beng Cinjin. Mereka memang datang untuk mencari Ang Ban Thong, yang menjadi kakaknya ceng Beng itu.

Ceng Beng menduga Kiong Thian Tan, majikan dari Hoan Pek san Chung, yang membunuh saudara itu. Dugaan ini bukan tak beralasan, Sebab katanya Ang Ban Thong pernah berdiam didalam san-chung itu. ceng Seng, dan ceng Hoa: diminta bantuannya, maka itu mereka datang bertiga.

Pula memang sengaja mereka masuk dengan diam-diam, sebab maksudnya yalah lebih dulu mencari keterangan- Sekarang mereka dipergoki orang yang tidak dikenal, tak heran mereka kaget sekali, Maka ceng Beng sudah lantas berlompat untuk menangkap orang, ia kecele hingga ia melengak.

"Sute, jangan sembarangan" ceng seng berkata. "Kita sudah kepergok. mari kita masuk secara berterang Mintalah sahabat ini, yang menemui kita, untuk tolong mengantar kita" ceng Beng tak setuju, ia menggoyang kepala.

"Dengan begitu berarti kita melakukan perjalanan sia sia belaka," ia kata, "Mana si tua bangka she Klong suka omong terus terang? Bahkan ada kemungkinan dia akan mengejek kita atau menerka kita tak keruan-ruan datang mengacau.

Apakah itu tidak memalukan? Menurut aku baiklah kita bekuk saja bocah ini" ia lantas melihat tajam kelilingan, guna mencari si bocah.

"Sungguh muka tebal" terdengar satu suara makian membarengi menyambernya serupa barang putih seperti bola.

Ceng Beng menyampok dengan tangan bajunya, barang itu terkena dan jatuh hancur sebab itulah sepotong es. Berbareng dengan itu ia lompat pula ke kiri, untuk menyamber pula, seperti yang semula barusan, ia kembali gagal.

Di situ tidak ada seorang jua, maka mukanya menjadi merah, hatinya panas.

"Tidak sukar jikalau kamu mau keluar dari Hoan Pek San- chung," terdengar satu suara lain, dari sebelah kanan- "Kamu turunkan saja pedang kamu masing-masing Rimba ini dipanggil Kay Kiam Lim, yaitu rimba tempat meloloskan pedang, sama aturannya seperti Kay Kiam Gay, tempat melepaskan pedang di gunung Bu Tong San kamu." Ceng Beng menoleh. ia heran, ia mengenali dua rupa lagu suara. Kalau di situ mestinya ada dua orang bocah.

Ceng Seng dan Ceng Hoat berdiam terus semenjak tadi. Mereka dapat bersikap tenang, Tapi, mendengar kata-kata untuk menurunkan pedang, mereka terkejut, air muka mereka berubah tegang

Ceng Beng kembali lompat, sekarang ke kanan- Hanya baru satu tombak. ia sudah mencelat pula ke kiri.

Itulah siasat yang lihay, yang dilakukan dengan kecepatan luar biasa, ia menyamber cabang pohon, sampai cabang itu patah dan saljunya jatuh berhamburan-Tapi lagi-lagi ia gagal, rimba itu sunyi, ia berdiam, matanya dipasang tajam. Tiba-tiba satu bayangan tubuh melesat di sebelah kiri.

"Kemana kau hendak lari?" membentak imam yang bertabiat keras ini, yang sudah jadi sangat mendongkol dan penasaran, ia hendak berlompat menubruk.

Tapi sekarang ia di-dului, Bayangan itu berkelebat sambil tangannya terayun, menimpukkan tiga potong barang yang berwarna perak. yang datangnya bersusun dua di bawah, satu di atas. ia lihay dan gesit, ia berkelit sambil menanggapijeriji tangannya yang kiri menjepit dua, yang kanan satu, lalu yang kanaNitu terus dipakai menimpuk balik, sebab itulah semacam panah tangan-

"Aduh" terdengar jeritan tajam, lantas orang itu tak lari lebih jauh, sebab ia terpanah pundaknya, yang terus mengeluarkan darah. Dia ternyata Ghak Yang adanya, Dia memegangi pundaknya, dia mengawasi tajam. Kena terserang itu, dia terhuyung beberapa tindak, Ceng Beng lantas lompat maju, berniat membekuk bocah itu.

Mendadak Pin Jie muncul di lain arah, "Bangsa bulu campur aduk tua bangka" ia membentak. "Jangan kau lukai adikku"

Ceng Beng mendengar suara itu, ia segera menoleh, ketika melihat ada serangan, ia menggeser tubuh ke kiri, berbareng dengan itu kaki kanannya menyapu, sapuannya ini tidak memberi hasil. orang yang diserang berhenti jauhnya lima kaki dari ianya, ia melihat seorang kacung tampan umur dua atau tiga belas tahun, yang mengawasi ia dengan roman gusar.

Walaupun ia seorang imam, pikiran Ceng Beng cupat, sedang ketika itu, hatinya panas bukan main ia dipermainkan dua orang bocah.

"Anak-anak tidak tahu selatan cara bagaimana kamu berani mempermainkan cinjin kamu" dia membentak.

Tapi Pin Jie gusar, bahkan ia mendamprat "Bulu campuran tak tahu selatan cara bagaimana kau berani lancang memasuki tempat kami dan sekarang melukai juga saudara kami? Apakah kau tidak mau lekas mengganti jiwa?"

Bocah ini memegang sebatang rotan, dengan itu ia lantas menyerang, mengarah alis si imam, ialah bocah sangat disayang Pek Hoat Kiu tiang-po Yap Han Song, istrinya lo- sancu dari Hoan Pek san-chung maka itu ia telah diajarkaNilmu tongkat si nyonya tua, yang diberi nama "Kiu Hong SinThung" yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus, ia juga cerdas dan berbakat baik, maka itu ia dapat bersilat dengan baik.

Kelemahannya ialah usianya masih terlalu muda hingga tenaganya masih sangat terbatas, Dalam kesebataNia tak kalah dengan sembarang orang Kang Ouw yang lihay.

Ceng Beng kaget melihat lawan cilik ini demikian lihay, ia berkelit, tangan kanannya diangkat untuk menangkap rotan itu.

Pin Ji benar benar gesit, ia menarik pulang rotannya terus ia menyerang pula, sekarang kejalan darah simji.

"Celaka" kata Ceng Beng dalam hati. Jikalau aku tidak berhasil merampas rotannya bocah ini, nama besarku bisa menjadi runtuh..." Maka ia lantas berkelit sambil menggerak pula tangan kanannya, menabas dari atas ke bawah, itulah tipu silat "Kim cian cian ek", atau " Gunting emas menggunting sayap." Kelihatannya ia bergerak lambat, sebenarnya sangat cepat. ^

Dengan terdengar suaranya, rotan Pin Jie terkurung empat dim. ia kaget sekali, Toh ia tidak takut, bahkaNia menjadi mendongkol ia menjejak tanah, untuk mengapungi diri guna segera menyerang dari atas ke bawah.

Ceng Beng terperanjat ia lompat mundur. ia jadi habis sabarnya, ia terus menghunus pedangnya, yang mendatangkan cahaya berkilauan- Dengan senjata tajamnya itu, ia melayani si bocah, ia menimpali Ghak Yang menyaksikan pertempuran itu begitu asyik hingga ia lupa pada sakit di pundaknya, ia pikir: "Bagaimana bagus kalau aku mempunyai kepandaian silat seperti Pin Jie pasti cari si bulu campuran ini untuk memberi rasa padanya- Ah. imam busuk jangan kau bertingkah"

Jikalau ada guruku di sini, pasti kau bakal dibikin sengkok tangan dan kakimu pendeknya nanti datang harinya yang aku pun akan mendaki Bu Tong San, guna membikin kamu di sana ayammu terbang gelapakan dan anjingmu ngiprit terkuwing- kuwing kalau tidak demikian, jangan panggil aku Ghak Yang."

Itulah kata kata hebat, karena bocah ini berakibat keras dan mestinya ia bakal membuktikan ancamannya itu...

Ceng Seng dan ceng Hoat menonton dengan alis mengkerut, Heran mereka menyaksikan seorang bocah demikian lihay ilmu tongkatnya.

"Suheng," kata ceng Hoat, rkelihatannya ilmu silat bocah ini ilmu tongkat Yap Han song, maka dialah tentu muridnya nyonya itu. Kalau toh ceng Beng Sute menang, namanya bakal rusak juga, sebab ia seperti mempermainkan anak kecil Paling baik ia dipanggil mundur untuk kita memikirkan daya lain-"

Ceng Seng berpikir, dia menggeleng kepala.

"Memang selayaknya kita mundur siang-siang," katanya masgul. "Apa mau sute ceng Beng bertabiat keras dan ia mengumbar tabiatnya itu. Sekarang ini busur telah disiapkan- jenparing tak bisa tak dilepaskan- Aku pikir, sebelum pertempuran berakhir, baik kita menguasai itu bocah yang satu guna menghentikannya untuk menanyaka keterangan mereka itu, jikalau benar Ang Ban Thong bukan terbinasa di cang in Kiong Thian Tan dan ia benar-benar tidak ada di sini, kita dapat lekas mundur.."

Ceng Hoat setuju, ia mengangguk. Mendadak ia berlompat, tangannya diulur.

Ghak Yang kaget ketika tahu tahu sebelah tangannya sudah kena disamber. ia tungkulan nonton hingga ia menjadi alpa.

"Kau mau apa" dia tanya, suaranya parau. Biar bagai mana dia jeri.

Jangan takut, sahabat kecil." berkata si imam. "Pinto tidak bermaksud jahat?"

Ketika itu gerakannya Pin Jie mulai kendor mereka bentrok maka ia merasai lengannya ngilu, ia kaget mendapatkan Ghak Yang tercekal imam lainnya. Justeru itu, rotannya disampok hingga tak ampun lagi, senjatanya itu terlepas, terlempar tinggi, lalu jatuh nancap di salju ia sendiri hampir menjerit karena tangannya sakit sampai susah diangkat.

Masih bocah ini tak takut, ia mengawasi tajami ia sangat mendongkol.

Ceng Beng cinjin tertawa berkakak. "Aku kira kau liehay bagaimana" katanya mengejek, "Bagaimana kau berani mempermainkan toya kamu?" Terus dia mengasi lihat roman bengis, Dia kata keras: "Sekarang aku hendak tanya kau.

Mana Ang Ban Thong? Apakah dia ada di sini? Kau omong terus terang toyakamu akan tak membikin susah padamu" Pin Jie cerdik, "Hm" dia perdengarkan suara menghina.

"Kau hendak mencari Ang Locianpwe buat main gila di hadapannya? kau dapat mengalahkan aku, itu tidak ada artinya Tapi terhadap Ang Locianpwe, sepuluh kau pun tak berarti" Ceng Seng heran, bahkan bingung. Suara si bocah berarti mungkin Ang Ban Thong berada di dalam Hoan Pek Sanchung, ia ingat: "Pada tiga tahun dulu, ketika aku datang ke mari, aku perkenalkan diri sebagai adik kandung kakak Ban Thong, kalau kakak ada di sini kenapa dia menyangkal? Sekarang bocah ini mengatakan begini?" ia hening sejenak baru ia tanya pula:

"Aku cuma tanya kau, Ang Ban Thong ada di sini atau tidak Kenapa kau berkata tidak karuan-"

"Tidak. dia tidak ada di sini." sahut Pin Jie, alisnya bangun, “Ang locianpwe telah berlalu dari sini pada tiga tahun dulu, terhitung sampai sekarang ini, dia tak ada kabar beritanya Eh. apakah perlunya kau menanyakan locianpwe itu?"

Ceng Beng melengak. jawaban bocah ini sama dengan jawaban Klong Thian Tan dulu.

hanya, Toh ia dengar penjaga disini sendiri yang mengatakan kakaknya itu sudah dibinasakan secara diam- diam. ia berpikir keras, ia lebih percaya pendengarannya itu.

"Setan cilik, kau berani permainkan toyakau?" dia membentak gusar, "Kau cari mampusmu sendiri," Pin ji tertawa.

"Kau tidak percaya, buat apa kau tanya banyak-banyak?" katanya.

Ceng Beng tetap bersangsi, ia mau berpikir mungkin Klong Thian Tan merahasiakan urusan kakaknya itu terhadap ini bocah yang belum tahu apa apa. Dengan mendadak ia menotok di tiga tempat yaitu jalan darah tuli, gagu dan pingsan, Maka kacung itu lantas roboh tak sadarkan diri.

Ilmu totok Bu Tong Pay itu, untuk menutup jalan darah, akan punah sendirinya selang tujuh hari.

Ghak Yang kaget, hatinya ciut- Sedang begitu ia ditanya pula Ceng Hoat, ia berdiam saja, nampaknya ia bingung.

Ceng ^ Hoat tidak berniat melukakan bocah itu yang terus- terusan menyangkal. Jawabannya selamanya "Tak tahu", Memangnya dia benar-benar tidak tahu urusan Ang Ban Thong itu.

"Suheng aku terpaksa berbuat begini, untuk menjaga jangan perbuatan kita ini ketahuan orang," kata Ceng Beng pada kedua kakak seperguruannya.

"Sute, kau berbuat keterlaluan- Ceng Seng menegur, wajahnya suram, "Turut apa yang aku dengar Pek San it Ho Klong Thian Tan jujur dan dengan kakakmu itu dia bersahabat kekal, maka itu kenapa dia mesti membikin celaka kakakmu. Di tempat mana yang kakakmu tak dapat menyembunyikan diri?

Bukankah dunia ini luas? Kenapa dia justru pergi ke Hoan Pek San-chung ini? Ada, kemungkinan benar-benar dia telah berlalu pada tiga tahun dulu itu, Sekarang kau mendesak Kiong Thian Tan, bagaimana dia dapat menjawab?"

Ceng Beng berdiam.

"Inilah benar," pikirnya^ "Bagaimana sekarang? Aku mengajak dua saudaraku ini dengan paksa, aku kata hendak mencari kakakku yang hilang sejak sepuluh tahun yang lalu. sekarang kakakku itu tak dapat dicari, dia tidak ada di sini. Tapi aku mendengar omongan orang di mulut gunung itu... Bagaimana? Coba tadinya aku berdamai dulu, tidak nanti terjadi seperti sekarang, hingga aku tak dapat turun dari punggung harimau..."

Ia menyahuti: "Tapi, saudara, sakit hati kakakku itu menjadi bakal terpendam dalam penasaran tak habisnya..."

Ceng Seng agak jengah, tapi wajahnya tetap suram. "Sute, kau terlalu sembrono," kata dia. "Bukti tidak ada,

cara bagaimana kau bisa bilang kakakmu sudah mati? sebaliknya sekarang ini pamor Bu Tong Pay bakal runtuh di tangan kau. coba pikir apa kita mesti buat terhadap dua bocah ini? Mereka bakal mendusin selang tujuh hari. Apa kata jikalau mereka membeber perbuatan kita ini dan mengatakan kita menghina anak-anak? Kita pun sudah lancang masuk ke mari, kita melanggar aturan mereka, Bagaimana jikalau Kiong Thian Tan pergi ke gunung kita untuk mengacukan protes kepada ketua kita? Kita yang bersalah, apa kita mesti bilang?"

Ceng Beng melengak. Dia berdiam saja. Tiba tiba ceng Hoat tertawa.

"Suheng, janganlah kau terlalu mendesak sute," ia kata, "Kita sudah menunggang harimau, tak dapat kita berbuat lain- Pula kecurigaannya sute bukannya tak ada alasannya.

Kakaknya bersembunyi di Hoan Pek San-chung, itu tentu disebabkan kakak itu ada musuhnya. itu tentulah untuk menyingkirkan diri, soalnya sekarang ialah Kiong Thian Tan mesti mengetahui kenapa Ang Ban Thong bersembunyi di rumahnya. Maka marilah kita ajak kedua bocah ini pergi padanya, untuk menanyakan demikian, inilah lain daripada kita menuduh dia mencelakai Ban Thong atau mendesak ke mana perginya saudaramu itu, Kita menemui Kiong Thian Tan untuk menghaturkan maaf, baru kita mengajukan pertanyaan itu.

Aku percaya Thian Tan tidak bisa tidak menjawab." "Urusan akulah yang mulai, biar aku sendiri yang

bertanggung jawab." kata Ceng Beng, "Urusanku tak dapat membawa-bawa partai dan saudara-saudara semua, Bagaimana kalau dua bocah ini disembunyikan dulu dan aku sendiri pergi menyelidikinya?"

“Jikalau kau mau pergi, mari kita pergi bertiga." kata Ceng Seng, "Kita sudah berbuat, kita mesti bertanggung jawab. Nah mari kita pergi bersama,"

Ketiga saudara ini bicara asyik sekali ketika Ceng Beng berpaling, untuk melihat Ghak Yang dan Pin Ji, dia terperanjat. Kedua bocah, yang tadi ditinggaikan, lenyap tidak keruan paran- Di situ cuma terlihat salju bekas mereka meringkuk.

Entah kapan dan ke mana lenyapnya bocah-bocah itu. Ceng Seng dan Ceng Hoat turut terkejut Bertiga mereka berdiri menjublak Mereka heran dan malu. Merekalah jago- jago Bu Tong, mereka lihay, tetapi mereka kehilangan kedua bocah yang seperti berada di depan mata mereka...

Tak mungkin bocah itu dapat kabur sendirinya, Tapi kalau ada orang menolongi mereka, siapa orang itu? Kenapa dia tak terlihat? Mungkinkah ada orang yang demikian lihay, yang mendekati mereka tanpa mereka melihat atau engah.

Akhirnya mereka menjadi masgul.

"Ah..." Ceng Seng menghela napas, "Robohlah kita bertiga, kita yang dikenal sebagai Bu Tong Sam Eng. Sudah tak usah kita pergi ke Hoan Pek San-chung... Dengan kepandaian kita ini jikalau orang hendak mengambil kepala kita, sungguh mudah."

Ceng Beng dan Ceng Hoat bungkam, Mereka malu dan bersusah hati. Memang runtuhlah

sudah kehormatan Bu Tong Sam Eng – tiga jago gagah perkasa dari Bu Tong Pay...

Selagi berdiam itu ketiga imam ini menggigil sendirinya.

Angin yang santer meniup mereka, hawanya dingin luar biasa.

Mendadak ceng Beng cin-jin kata sengit: "jikalau aku tidak membalaskan sakit hati kakakku, mana dapat aku menjadi manusia? Saudara-saudara sudah, silahkan saudara berdua pulang, nanti aku yang pergi sendiri."

Tepat suara itu habis, angin menghembus pula.

Heran ketiga imam itu, itulah angin tak wajar, Mestinya itu angin buatan manusia, Mereka bingung. Siapa demikian lihay tenaga dalamnya? Salju berterbangan hingga mata mereka itu sukar melihat tegas. justru itu mereka kaget pula. Mereka merasakan sesuatu yang membentur pundak mereka, Tahu- tahu lenyap pedang mereka masing masing. Mereka saling mengawasi lantas mereka melihat kelilingan, Tengah mereka bingung itu, mereka melihat seorang keluar dari belakang pohon di dalam rimba. Dialah seorang tua dengan kayu kuning yang pendek dan sepan, Dia bertubuh kecil dan kurus, kumisnya pendek.

Mata kirinya buta tapi kanannya bersinar tajam sekali, Di tangannya, dia mencekal tiga batang pedang. Dia bertindak sambil tertawa, menghamplrkan ketiga imam itu, Kata dia Jenaka: "Tolong sampaikan pesanku kepada Lan Sam si hidung kerbau. Bilang janji pertemuan mati dua puluh tahun bakal lekas tiba."

Ketiga imam kaget, muka mereka menjadi pucat sekali Mereka lantas mengenali orang tua itu. Tanpa omong lagi, mereka mengibaskan tangan baju mereka, lantas mereka lari ke luar rimba.

Di dalam rimba itu lantas terdengar tertawa yang nyaring dan panjang, yang dapat meng g iriskan hati. Tertawa itu berkumandang tinggi, baru perlahan-lahan menjadi keodor dan akhirnya berhenti, lenyap. Dengan begitu sunyi pulalah rimba itu...

Di dalam Hoan Pek San chung, orang masih tetap dalam kegembiraan- Baru kemudian Kian Kun ciu heran, ia tidak melihat Ghak Yang. "Eh, ke mana perginya dia?" dia kata pada tuan rumah yang tua. Kiong Thian Tan tertawa.

"Anak-anak gemar bermain-main," katanya, "Tentulah dia pergi bersama-sama Pin Ji, Biarlah mereka bersuka ria, kita tak usah pedulikan-"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar