Menuntut Balas Jilid 19 : Wihara Potala di Tibet

Jilid 19 : Wihara Potala di Tibet

IN GAK menduga mesti terjadi sesuatu di gunung-nya, ia tidak tahu apa itu, ia pun tidak berani menanyakannya.

"Apakah suhu tidak mau kembali ke Selatan?" ia tanya.

Beng Liang mengasih dengar suara di hidung perlahan- "Kau telah melukai parah kepada suslok-couw kau, untuk

mengobatinya aku memerlukan waktu setengah tahun," sahutnya, Jikalau dia belum sembuh seluruhnya mana dapat aku meninggalkannya? "

In Gak tunduk. ia berdiam saja.

"Apakah kau sangka benar-benar suslok-couw- mu itu telah dilukakan kau?" kata pula si guru.

Sabar suaranya tapi nadanya masih nada menegur, "Dia mengenali ilmu silat kau berasal satu pokok dengan ilmu silatnya, ketika dia menurunkan tangannya, dia mengira-ngira, Dia mempunyai latihan di atas seratus tahun, mungkin dia tak dapat melawan kau yang seumpama cahaya terangnya sang kunang kunang? Hanya salahnya ialah kau, disamping ilmu silat kita, kau mencampur itu dengan ilmu silatmu sendiri, hingga susiokcouwmu itu alpa dan kena terhajar sampai napasnya tak jalan benar, hingga dia jadi sangat gusar, hingga dia lupa segala apa dan telah menggunai jarum beracun Bu Eng San-hoa-Ciam itu, walaupun benar pandangan  susiokcouw kau itu cupat, kalau kau menjadi dia, apa kau bakal lakukan?"

In Gak tunduk berdiam, akan tetapi matanya mengeluarkan air dan keringatnya pun mengucur.

Sepasang alisnya Beng Liang Taysu terbangun ia kata pula dingin: "Kau ingatlah, luber itu rugi, merendah itu berfaedah, itulah kata-kata kuno. Segala perbuatanmu selama setahun ini semua itu terlihat di mata gurumu, tanganmu telengas melebihkan, tangan ayahmu dulu hari. Kau pun terlibat asmara. Semua itu mungkin nanti merugikan lain orang berbareng merugikan diri sendiri.

Pernah aku bertemu dengan Ay Hong Sok Keng Hong, dari dia aku mendengar segala apa. Tidak dapat kau tak memandang jauh, jangan kau suka tak memberikan ketika kepada lain orang, Tanpa sebab yang kuat, kau sudah melukakan Kheng Tiang Siu..”

Parasnya In Gak memain, merah dan pucat, pucat dan merah, ia ingat Ni Wan Lan, ia menyesal telah menolak getas nona itu.

Masih Beng Liang Taysu berkata lagi: "Perbuatan kau ialah perbuatan tanpa perasaan Kau tak menghormati orang yang terlebih tua tingkatnya, jikalau bukannya ce Tan-wat yang bicara baik untukmu, harusnya ilmu silatmu dihapus, kau mesti diusir keluar dari rumah perguruan Maka sekarang kau ingat baik-baik, seberesnya di sini, kau mesti lekas pergi kepada Yan San Sin Nie untuk menghaturkan maaf, guna mencari keberesan.

Terserah kepada kau sendiri, kau dapat menyelesaikannya atau tidak. Yan San Sin Ni lihay luar biasa, kecuali kakek gurumu, sukar ada yang dapat menandinginya, maka jikalau kau tidak melayaninya dengan bijaksana bukan saja tak dapat kau menuntut balas untuk sakit hati ayahmu, mungkin kau nanti tersesat seperti ayahmu itu, hingga kau meneladnya, Maka itu aku pikir, kecuali telah tiba saatnya hidup atau mati, jangan kau gunai ilmu silat warisan ayahmu yang telah menjadi ilmu silat rahasia."

In Gak menyahuti berulang-ulang bahwa ia akan perhatikan pesan itu, Disebelah itu diam-diam ia mengeluh sendirinya, itulah pesan yang berupa seperti larangan-

Kemudian Beng Liang Taysu mengawasi bergantian kepada Gak Yang, Tio Lian cu dan Ciu Goat Go, kacung dan kedua nona itu, ia bersenyum.

"Sekarang ini lolap mesti mengajak Bu Liang pulang ke Cap In Gay," ia berkata ramah, "karena itu tak dapat lolap berdiam lebih lama pula di sini,Jikalau ada jodohnya, lain kali kita bertemu pula."

Habis berkata pendeta itu menjejak tanah dan tangannya mengibas, maka tubuhnya mencelat keluar dimana ia lenyap diantara badai salju....

"Suhu" In Gak memanggil sambil dia berlompat menyusul.

Tak lama pemuda ini kembali atau ia mendapatkan Lian Cu berdua Goat Go, si cantik manis, mukanya pucat dan air matanya mengembeng mau menangis, lompat naik ke atas kuda, mau berangkat meninggaikan peternakan- ia menjadi heran, ia mau menduga pada duduknya hal. Yalah tentu Siauw Thian sudah didesak nona-nona itu hingga Kian Kun Ciu tak dapat mendusta dan mesti menutur dengan jelas mengenai lelakonnya yang berhubung dengan Ni Wan Lan dan Kouw  Yan Bun. Tapi ia berlagak tenang. "Kamu hendak pergi ke mana?" tanya ia sambil tertawa kepada mereka itu.

"Siapa mau kauperdulikan" sahut Lian cu keras seraya terus dia kata pada Goat Go: "Adik mari" ia membunyikan cambuknya, membikin kudanya kabur, ia diikut Nona Ciu serta sekalian pengiringnya hingga mereka berjumlah belasan penunggang kuda. cepat sekali mereka lenyap diantara salju dan angin keras seperti Beng Liang Taysu tadi.

Si anak muda tercengang, pikirannya kacau. ia mengheLanapas panjang, ia jadi ingat segala perbuatannya. ia merasa bahwa ia tidak keterlaluan akan tetapi ia tidak memperoleh pengertian sampaipun gurunya turut menegur keras sekali. Si nona nona gusar dan penasaran, bagaimana nantinya...

Ketika tadi ia menyusul gurunya, ia telah menyusul sampai dua puluh li. sebenarnya ia mengantari guru itu, Selama itu, gurunya tetap berdiam, sikapnya bersungguh-sungguh. Paling belakang, ketika mereka mau berpisah, guru itu baru berbicara Katanya: "Siapa memuat lebih, perahunya karam.

Siapa terlalu mau menang, dia akan membunuh dirinya sendiri, permusuhan itu harus dibuyarkan, bukannya diperhebat.Jikalau orang tetap saling bermusuhan, saling membalas, sampai kapan akhirnya itu? Kau ingatlah ini, nanti besar faedahnya untuk penghidupanmu..."

Sebagai seorang cerdas, In Gak menginsafi pesan itu. Sang guru mengingati ia kalau lagi menghadapi lawan tak dapat ia berlaku telengas.

Maka itu, ia mengheLanapas pula, ia kata sendiri: "Mesti aku ingat pesan suhu..."

Masih lama In Gak berdiri diam, mukanya disampoki angin dan salju hingga mukanya itu dan pakaiannya demak. Tatkala kemudian ia menoleh ke arah rumah, ia melihat semua orang berdiam mengawasi padanya. Karena tak ada yang berani mengganggunya. Siauw Thian berdiam, menyeringai.

"Tak ada gunanya aku menegur dia," pikir In Gak.

Pikiran ini dapat menenangkan hatinya, maka ketika ia bertindak masuk, ia dapat bersenyum.

"Shate..." kata Siauw Thian, yang tidak dapat menahan diri.

In Gak bersenyum, ia mengedipi mata mencegah kakak itu berkata terus, ia hanya berkata pada Hong Piu: "Katanya ada dua letnan ditahan di sini, apakah tiangcu suka merdekakan mereka? Aku yang rendah ingin bicara dengan mereka itu."

"oh" berkata orang she Gouw itu. Jikalau siauwhiap tidak menimbulkannya, aku melupai mereka..."

Ia lantas memerintah orang membawa kedua orang tawanannya itu ke luar.

Begitu melihat Hong Piu, kedua letnan mau membuka mulutnya mendamprat tetapi In Gak mendahului mereka, Dengan roman keren, si anak muda membentak: "Aku telah menitahkan Gok o menarik pulang pasukan tentaranya. sekarang pulanglah kamu Kamu harus ketahui kalau dibelakang kali ada gangguan pula kepada peternakan ini, meski ada rumputnya yang tertiup angin, maka Gok O harus bertanggung jawab."

Heran kedua letnan itu. Sebaliknya, mereka ciut untuk sikap keren dari si anak muda, hingga mereka mau menduga pemuda ini mestinya seorang berpangkat besar yang menjadi utusan dari kota raja. Terpaksa mereka mengundurkan ciri dengan kuncup,

In Gak lantas berkata pada Lui siauw Thian Jiko, “Tolong kau ajak Gak Yang berangkat lebih dulu ke Tiang Pek San Aku sendiri setelah beres urusan di Yan San, akan aku lantas menyusul."

Siauw Thian menurut tanpa menanya apa-apa lagi, ia lantas berangkat bersama si kacung she Gak. Hong Piu dan Kim Go kagum. Mereka tahu anak muda itu mau lantas berangkat. mereka mencegah Mereka minta penolong itu berdiam dua hari lagi. "Menyesal tak dapat," kata In Gak. "Aku mesti lekas berangkat." Dan dengan hanya satu kali berkelebat, ia menghilang di antara hujan salju.

XXX

Pada suatu hari kota Sin-tak telah kedatangan seorang muda yang asing, ia masuk dalam sebuah rumah makan, untuk lantas memesan beberapa rupa sayur serta arak. untuk ia dahar dan minum seorang diri.

Ketika itu matahari tak dapat menyorotkan sinarnya yang panas, Dia dikitari meja. Di jalan-jalan, salju telah merupakan es yang beku, hingga kuda kereta lewat di situ dengan mengasih dengar suara derap serta rodanya yang nyaring.

Diwaktu begitu, rumah makan itu sudah penuh delapan bagian, Dia memang rumah makan yang kesohor, apa pula araknya arak Tek-yap-ceng. Dengan arak orang hendak melawan hawa dingin-

Tak lama di situ datang pula lima tetamu, Mereka menyingkap kain pintu, lantas mereka mengambil tempat menjadi tetangganya si anak muda, Mereka itu membekal senjata di pundak mereka. nampak mereka menyolok sekali. Mulanya mereka dahar dan minum tanpa bersuara, sesudah air kata kata mulai bekerja, lantas mereka berbicara.

"Saudara Tan," berkata seseorang dengan perlahan, "perjalanan kita kali ini ke Potala lebih banyak bahayanya daripada selamatnya, sampai sekarang ini Tiam Chong Sin- kiam Ie-su Kim It Peng masih belum tiba, itu berarti kita kekurangan satu tenaga bantuan yang berharga besar sekali. Benar-benar aku menguatirkan kesulitan yang bersusun- susun…itu.."

"Saudara ong, kau terlalu pendek pikiran," kata seorang yang lain, "Memang pendeta-pendeta lama dari wihara Potala kosen setiap orangnya, akan tetapi sebaliknya kau harus mengerti mereka itu terang kita gelap. jikalau kita terus bertindak dengan berhati-hati, mustahil kita tidak bakal berhasil menolongi Coa San-cu?"

Si anak muda terlihat matanya bersinar mendengar disebutnya Coa San-cu, ia lantas berpikir "Yang disebut Coa San-cu ini apakah bukannya Ya Jin San-cu Coa Hok? Kenapa dia ditangkap pendeta-pendeta lama dari Potala?" Ia mendengari terus, matanya melirik kepada orang yang berbicara itu.

orang itu berkata pula: "Pendeta-pendeta dari wihara Potala itu berjumlah tiga ratus jiwa lebih, kecuali lima pemimpinnya si pendeta-pendeta lama besar yang mengenakanjubah kuning, yang lainnya semua berkepandaian biasa saja. Hanya walaupun demikian, kita harus mengingat juga bahwa jumlah kita sangat kecil, jadi benar katanya saudara ong, kita bakal menghadapi kesulitan-.." Dia mengerutkan alis, lalu menceguk araknya.

"Tetapi kita bukannya bangsa tak berguna," kata seseorang yang ketiga, "Tidak peduli banyak kesulitannya, kita mesti pergi dengan membesarkan hati, Ya bicara sebenarnya, Tiam chong sin-kiam lesu Kim It Peng memanglah suatu pembantu yang berharga besar sekali, Belum setengah tahun dia muncul, dia sudah merobohkan delapan belas jago dari Bin Kang, ilmu pedangnya itu telah mencapai puncaknya kemahiran- Dia biasa sangat memegang janji, kenapa dia masih belum tiba juga?"

orang ini baru berkata begitu atau mendadak dia berkata pula keras: " Lihat Apa itu bukannya dia telah datang?"

Si anak muda yang romannya tampan, sudah lantas menoleh ke luar, ia mendahului keempat orang itu. Maka ia melihat datangnya seorang imam umur belum tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan bersih, ada kumis dan jenggotnya yang pendek. Begitu dia menyingkap kain pintu, imam itu memandang kepada kelima orang itu, terus dia menyapa mereka sambil bersenyum, terus dia mengambil tempat duduk. Kelima orang itu menyambut dengan gembira sekali.

Diam-diam si anak muda yang tampan, ialah Cia In Gak kita, menaruh perhatiannya ia baru saja sampai dari peternakannya Hong Piu, untuk pergi ke gunung Yan San- Dalam tempo dua hari ia sampai di kota Sia-tek ini, hingga ia terpisah tinggal lagi seratus li lebih akan tiba di gunung itu - gunung Burung Walet, ia mampir karena sekalian ia lagi memikirkan bagaimana harus bicara biLananti ia menemui Yan San Sinni, si pendeta wanita yang kesohor gagah, ia merasa sulit sekali, andaikata Nona Ni Wan Lan tetap bersusah hati, hingga nona itu mungkin mengambil sikap memusuhinya.

Ia ingin tak terlibat asmara, ia mencoba untuk menyingkirkan diri, akan tetapi ia toh tergubat, ia berhenti berpikir karena pembicaraannya kelima tetamu itu, yang disusul dengan tibanya Kim It Peng, datangnya imam itu menarik perhatiannya lantaran dia menggendol sepasang pedang yang panjang yang melihat dari sarungnya saja mestinya pedang yang tajam luar biasa.

"Maafkan aku," kata Kim It Peng tertawa, "Barusan ditengah jalan aku mencampuri urusan nganggur, karena mana aku jadi terlambat, hingga aku membikin saudara- saudara menantikan lama."

"Tidak apa," berkata si orang she Tan, "Sebenarnya kita lagi mengharapi kau, Kim Losu, Tanpa losu, kami ada bagaikan naga tanpa kepala... Sekarang silahkan losu memberikan titah-titah mu” Orang she Kim itu bersikap merendah.

"Aku merantau baru setengah tahun," katanya, "pengetahuan dan pengalamanku masih cupat sekali, maka itu, mana dapat aku memegang pimpinan dalam urusan saudara-saudara ini? inilah urusan yang orang luar tak dapat mencampurinya secara berlebihan, Aku cuma menjangkapi jumlah saudara semua. Sudah lama aku mendengar Tan Losu pintar dan gagah, maka itu, aku pikir baiklah losu yang tetap memimpin kami. Untukku, aku bersedia menuruti segala perintah losu."

"Pantas Kim Losu berasal dari perguruan yang kenamaan, kau bisa sekali merendah." kata orang she Tan itu, yang sebenarnya bernama Pek Seng dan gelarannya Ti Ho, si Rase cerdik.

"Pantas Kim Losu lekas sekali telah mengangkat nama, Baiklah, maafkan aku yang aku mesti memegang tampuk pimpinan, sekarang masih siang, bagaimana jikalau kita berembuk pula sebentar lagi." ia bersenyum.

Mereka itu berbicara dengan perlahan, di lain pihak. ramai suaranya lain-lain tetamu, maka suara mereka seperti kelelap di antara suara banyak orang ilu, akan tetapi tidak demikian dengan In Gak si tetangga meja, ia hanya belum mengerti jelas duduknya hal, maka ia terus memasang telinga.

"Oleh karena Coa San-cu terkurung di dalam wihara Potala, tak dapat tidak. kami terpaksa mengharapi bantuan kau, Kim Losu," berkata pula Pek Seng, "Sudah lama kami mengagumi ilmu pedang Tiam Chong Pay, yang dikenal sebagai ilmu pedang nomor satu di kolong langit, ilmu pedang itu pasti bakal dapat menunduki ilmu silat Liu In Cit-si dari Huketu.

Tahun dulu itu setahu untuk urusan apa, Kauw Gwa Liok Hiong sudah menyateroni Huketu, yang mereka keroyok, belum tiga jurus mereka sudah kena dirobohkan, dada mereka pada berlubang, darahnya mengucur, tubuhnya roboh binasa.

Lantaran itu Huketu jadi kesohor di Utara, setiap mulut memujinya, Sejak itu, siapa mencari Huketu, sesuatunya roboh- terhadap ilmu silatnya itu. Kami pikir, kecuali ilmu silat pedang Ban Hoa Toat Kim partai kau, Kim Losu, tidak ada lain ilmu yang bisa mengalahkan ilmu pedangnya pendeta lama itu. Maka dengan memberanikan diri, kami mengundang losu, untuk memohon bantuanmu." Mendengar itu, In Gak tidak puas, ia tidak percaya ilmu pedang Tiam Chong Pay dapat menjadi ilmu pedang nomor satu di kolong langit.

Dasarnya ia masih muda, diangkat-angkat Tan Pek Seng,

Kim It Peng nampak juga kejumawaannya, Dia bersenyum puas.

"Kau sangat memuji Tan Losu, kau membikin aku malu," kata dia merendah. "Pada tiga puluh tahun dulu, mungkin dapat ilmu pedang kami disebut ilmu pedang nomor satu di kolong langit tetapi sekarang ini tidak demikian sekarang ini tak sedikit ahli pedang yang baru muncul, kepandaian mereka itu dapat melewati ilmu pedang kami. Umpama pada tahun yang baru lalu, di Kang lam sudah muncul seorang muda she Cia, Kakak seperguruanku Shi Goan Liang, telah roboh di tangan dia. pemuda she Cia itu malah mengatakan didalam lima tahun, dia bakal mengunjungi gunung kami.

Guru kami mengetahui ilmu pedangnya telah mulai merosot, maka ia telah menciptakan satu yang baru, yang diberi nama Ban Hoa Toat kiam, atau Gubahan Selaksa Bunga, ilmu silat itu dilatih lebih hebat setelah diterimanya warta dari shi suheng itu.

Lima belas saudara kami, yang terpilih diwajibkan mempelajari sungguh-sungguh ilmu pedangnya itu. Untuk belajar pedang seorang murid harus berbakat, maka itu syukur sekali, aku telah terpilih oleh guruku itu. Hahahaha..." Imam itu nampak girang bukan main-

Mendengar itu In Gak berpikir: "Benarkah Ban Hoa Toat Kim dapat melebihkan Hian Thian Cit Seng? Tak mungkin Baiklah aku menguntit dia, untuk menyaksikan sampai dimana lihaynya Liu In Cit Si dan Ban Hoa Toat Kim itu..."

Baru ia memikir begitu, begitu lekas juga hati In Gak dingin. inilah sebab ia segera ingat pesan gurunya bahwa perahu yang muat berlebihan bakal karam dan siapa mau menang sendiri, dia bakal roboh terlebih dulu, Maka ia lantas berpikir pula: Belasan tahun aku telah dididik suhu, aku cerdas dan mengerti segala apa, mengapa aku tidak mau menenangkan diri? Kenapa untuk sakit hati ayahku seorang aku mesti memusuhkan dunia? suka menang ialah semacam kesukaan yang bakal merupakan suatu kebiasaan atau tabiat buruk. Ya, urusan mereka itu ada apa sangkutannya dengan aku?" Maka ia lantas menghirup araknya, ia bersikap tenang.

Hanya sebentar mendadak pemuda kita ingat suatu hal, dari itu ia kata di dalam hatinya: "Suhu membilang sakit hati harus dibikin habis, tidak boleh dibikin panjang, Mereka sekarang mau pergi ke tempat berbahaya, kenapa aku tidak mau membantu mereka, guna menghabiskan persengketaan pihak mereka dengan pihak pendeta lama itu? jika lau aku dapat menolongi coa San-cu, tentu permusuhan bisa dihabiskan-.. Tidakkah itu bagus?"

Ia mengawasi keenam orang itu, nampak mereka minum dengan riang sekali.

Ketika itu di meja dipojokan ada seorang tetamu yang berbangkit dari kursinya. Dia bertubuh kekar, bajunya kuning, kepalanya ditutupi kopiah yang melesak kejidatnya, Dia berjalan lewat di samping Tan Pek Seng, sambil lewat, tangan kanannya mengusap mukanya terus tangan itu dikasih turun pula.

Selagi berjalan itu, dia pun berdehem keras, suaranya nyaring seperti suara lonceng yang mendengung di seluruh ruang bersantap itu.

Kim It Peng semua terkejut, hingga mereka menghentikan mengangkat cawan mereka, semua mengawasi dengan tercengang.

Orang itu bertindak cepat dan gesit, sebentar saja dia sudah sampai di luar.

In Gak bermata celi maka itu ia mendapat lihat, ketika orang itu mengangkat

tangannya ke muka menyusut keringatnya disebabkan dia telah menenggak susu macan, selagi diturunkan dua jari tangan itu berkutik menyentil, sedang selagi tiba di ambang pintu, nampak dia bersenyum dingin.

Tiba-tiba ia ingat suatu apa, ia letaki sepotong perak di atas meja. terus ia bertindak ke luar Dari sini ia melihat orang itu menuju ke sebelah kanan, tindakan kakinya gesit, ia lantas menguntit.

Begitu lekas ketahuan orang menuju ke arah heng-kiong yaitu istana peristirahatan atau persinggahan raja. In Gak yang bercuriga lantas memastikan kecurigaannya bahwa orang ini ialah seorang pendeta lama dalam penyamaran-

Heng-kiong itu terletak di sebelah barat laut, duduknya diapit di kiri dengan telaga dan di kanan dengan gunung, luas sekitarnya delapan belas li, banyak pepohonannya, pohon siang dan pek. Wuwungan istana berwarna kuning, Dilihat seumumnya, itulah istana indah

Orang itu berjalan terus, ketika ia sudah mendekati tembok pekarangan, mendadak ia memutar tubuhnya, untuk memandang tajam kepada si anak muda yang lagi jalan mengikutinya. In Gak melihat itu, ia terperanjat akan tetapi ia dapat menetapi hati, ia jalan terus acuh tak acuh.

"Berhenti" mendadak orang itu membentak. Ia menurut, ia menghentikan tindakannya.

"Sang Buddha kamu tak kelilipan pasir" kata orang itu keras, "Selagi kau minum arak tadi, Buddha kamu selalu memperhatikan kau. Hm Kau berkonco dengan mereka itu atau tidak?"

In Gak mengawasi, matanya dibuka lebar. Ia nampak heran.

"Siapakah mereka itu?" ia balik menanya, suaranya dalam, "Tuan, kau terlalu Bukankah rumah makan rumah umum dimana berkumpul orang-orang dari lima penjuru dunia? Kalau aku duduk bersantap di sana, bukankah aku tidak melanggar undang-undang negara? Kau membentak menyuruh aku berhenti tuan, apakah maksudmu?" orang itu bersenyum tawar.

"Kalau begitu, mengapa kau mengikuti sang Buddha kamu?" dia tanya.

In Gak tidak menjawab, sebaliknya, ia tertawa berlenggak, suaranya itu nyaring dan berkumandang, sampai orang terkejut. Pikir orang itu: "Ah, dia mempunyai tenaga dalam yang mahir sekali, Tadi aku menyangka dialah orang biasa, nyata aku keliru..."

Akan tetapi ia tidak takut, ia malah membentak: "Bocah, kau tertawa apa? jikalau Buddha kamu tidak memberitahukan namanya, pasti kau tidak tahu Buddha kamu orang macam apa..."

In Gak tidak menanti orang menyebut namanya, dia mendahului, dingin: "Kau siapa, itu tak sangkutannya denganku Biar kau menyebut namamu, kau tak bakal membikin aku jeri Aku mempunyai urusanku sendiri, tak sempat aku melayani kau ngoceh tidak keruan-"

Ia lantas memutar tubuh, untuk berjalan pergi.

Orang itu jengah dan mendongkol karena orang tidak menggubrisnya, dalam gusarnya ia membentak: "Bocah, kau berani tidak memandang mata pada Buddha kamu? ini tandanya kau cari mampusmu sendiri" Dia lantas lompat menyerang, lima jerijinya diluncurkan menyambar.

In Gak tidak berbalik, akan tetapi, seperti belakangnya ada matanya, ketika ia diserang itu, mendadak ia menggeser tubuh ke kiri, terus berputar, ia mengawasi dengan bengis.

Orang itu melengak sebab samberannya gagal. Lalu ia tertawa dingin, romannya bengis, ia kata: "Aku tidak sangka bahwa ini hari aku Inpuntala telah dapat bertemu dengan orang lihay" Di mulut ia berkata begitu, di hati ia pikir: "Ilmu apakah yang bocah ini pakai?" ia merasai orang gesit luar biasa. Kalau orang ini musuh, sungguh berbahaya... In Gak bersenyum ewah.

"Tuan muda kau tidak berani menerima sebutan orang lihay" katanya, "Aku cuma minta supaya kau jangan ngoceh di depanku Paling benar kau lekas-lekas menggoyang ekor-mu dan pergi."

Mukanya Inpuntala menjadi pucat dan merah bergantian, Dia gusar sekali, Dia berdiri tegak di antara salju, bajunya memain diantara tebaran sang angin. Dia mendongkol orang berani memandang hina kepadanya sedang untuk di tempatnya itu dalam wilayah sintek dan sekitarnya, dia terkenal dan dimalui, sampai kawanan anak-anak mengenalnya. Dialah kam-ih, pengurus dari wihara Potala, yang kesohor untuk ilmunya luar dan dalam.

In Gak mengawasi ia tahu orang telah menjadi sangat gusar. Inpuntala tertawa.

"Tak salah dugaan sang Buddha kamu" katanya, nyaring, "Kau benarlah konconya mereka itu Sayang aku keliru menyayangi jiwa- mu, mereka sudah mendekati akherat, dari itu kau tak harus dikasih tinggal hidup lebih lama pula" kata- kata itu ditutup dengan tolakan dua tangan secara mendadak.

In Gak memang curiga, sekarang ia mendengar kata-kata orang, ia mengerti ketika tadi dia meninggalkan rumah makan, pendeta lama ini sudah melakukan sesuatu guna mencelakai rombongannya Tan Pek Seng, ia membenci orang jahat, ia pun gusar, ia lantas menyambut tolakan dengan tolakan kaget, untuk itu ia menggunai tenaga huruf "Menyentil" dari Bi Lek sin Kang.

Dengan keras kedua tenaga menolak bertemu satu dengan lain, akibatnya pun keras sekali. Tubuhnya si pendeta terpental mundur beberapa tombak. salju di kakinya terbang muncrat. Yang hebat ialah ia mental masuk ke dalam pekarangan. Tapi tak lama terlihat dia muncul pula, kopiahnya sudah tidak terlihat sehingga sekarang terlihat kepala gundulnya. "Bocah" dia kata bengis, "jikalau kau berani sebentar malam aku nantikanmu di dalam wihara Potala"

In Gak menyahuti dingin: "Inpuntala, kau menerbitkan gara-gara tanpa sebab, maka jangan kau sesalkan tuan mudamu Sayang bukannya kau menyesal, kau justru menantang aku. Baiklah, biarnya potala merupakan gedung naga dan gua harimau, sebentar malam pasti tuan mudamu akan datanginya"

Mendengar itu, Inpuntala memutar tubuh, lantas lari pulang.

In Gak mengawasi sebentar lantas ia lari balik ke rumah makan tadi.

Ketika itu sang malam sudah tiba. cuaca gelap. lantaran sang rembulan dihalangi sang mega. Angin bertiup keras. Saij u tertampak putih di mana mana, Dapat dimengerti bahwa diwaktu demikian, orang yang mundar mandir cuma beberapa gelintir saja.

In Gak berlari pulang sambil berpikir: "Inpuntala tak dapat dipandang enteng, Aku mentaati pesan suhu, aku menggunai tenaga tujuh bagian, pendeta lama itu lihay, dia dapat mundur dengan mengikuti tolakanku. oleh karena itu, sebentar malam pasti aku bakal bekerja keras..."

Sebentar kemudian, tibalah ia di rumah makan- Ketika ia masuk sambil menyingkap kain pintu, yang paling dulu ia lihat ialah meja yang tadi dipakai rombongannya Tan Pek Seng ia lantas melihat pemandangan yang luar biasa yang mengejutkan hatinya.

Pek Seng berenam duduk sambil tangannya mengangkat cawan masing- masing, Mereka berduduk tak bergerak. muka mereka pucat gelap. mata mereka mendelong dan mulut mereka mengeluarkan ilar,

Lain-lain tetamu di situ rupanya tak melihat mereka, atau mereka disangka tengah hendak minum dengan memberi selamat satu dengan lain... Menampak demikian, In Gak berlompat.

xxx

BAB 21

MELIHAT lagaknya si anak rnuda, barulah lain-lain tetamu terkejut, hingga mereka semuanya berpaling.

Yang paling dulu dilakukan In Gak ialah mengangkat cawan araknya Pek Seng, untuk memeriksa. Untuk herannya warna arak itu bening dan berbau harum, tak ada warna atau bau lainnya yang mencurigakan- Tapi ia mengerti, maka ia kata dalam hatinya: "Inpuntala kejam, dia menggunai racun tanpa warna dan tanpa bau... ia lantas panggil jongos, untuk minta sebatang tusuk konde perak. yang mana ia masuki ke dalam cawan arak itu.

Begitu ujung tusuk konde tercelup ke dalam arak. arak itu menghembuskan hawa seperti asap dan tusuk kondenya dari putih berubah menjadi merah kehitam-hitaman-Semua tetamu kaget, Mereka tahu apa artinya itu.

In Gak sudah berniat menepuk punggung Pek Seng guna mengeluarkan racun dengan bantuannya tenaga dalam Poute Sian Ciang ketika ia ingat suatu apa, maka ia membatalkan niatnya, kepada jongos ia terus kaia: "Mereka ini terkena racun yang jahat, untuk mencoba menolongi mereka, aku hendak membawa mereka ke rumah sahabatku, maka itu lekas kau tolong carikan kereta" Jongos itu mengerti, dia lantas pergi.

In Gak mengambil sikapnya ini untuk mencegah jangan orang menjadi gempar, hal mana bisa menyebabkan kawanan pendeta dari Potala nanti mendapat tahu.

Tak lama jongos tadi kembali dengan sebuah kereta keledai, maka Pek Seng semua lantas dinaiki ke dalam kereta, untuk dibawa pergi meninggalkan rumah makan itu, rumah makan dengan merek Tiang Hin- Dengan membunyikan cambuk, sang keledai dikasih lari keras, In Gak duduk berendeng dengan kusir di sebelah depan-

XXX

Malam gelap. sang angin bertiup tajam sang salju berterbangan Di dalam kegelapan itu, segala apa Nampak putih, Diwaktu begitu di dalam sebuah rimba di luar kota Sin- tek, tujuh orang tampak duduk menguarkan api unggun yang kayunya cabang-cabang cemara, berbunyi berkeretekan- Cahaya api menerangkan tegas wajah mereka itu.

Merekalah In Gak serta rombongannya Pek Seng. "Siauwhiap telah menolongi kami, tak nanti budi ini aku

lupakan," kata Pek Seng, sangat bersyukur "Lain kali, jikalau siauwhiap hendak menitahkan sesuatu kepada Pek Seng meskipun mesti mati, tidak nanti aku menampik."

"Kau terlalu merendah, saudara Tan," kata In Gak, bersenyum. "Pertolongan ini tidak berarti apa-apa, aku cuma mengangkat tanganku. Mana bisa itu disebut budi? Adalah sebentar diwaktu menghadapi Inpuntala, aku mengharapi bantuan saudara semua."

Kim It Peng kagum sekali melihat si anak muda halus budi pekertinya.

“Janganlah merendah, siauwhiap." ia berkata. "Belum lamap into merantau tetapi pinto telah melihat tenaga dalam siauwhiap mahir sekali, mestinya siauwhiap murid dari seorang yang berkenamaan. Sayang siauwhiap tidak sudi menyebutkannya, hingga pinto pusing menerkanya ... "

In Gak tertawa.

"Bukannya aku bertingkah tetapi benar-benar ada kesulitannya untuk aku menyebutnya," ia berkata, "Tunggulah sebentar, setelah Coa Sancu dapat ditolongi, mungkin losu semua akan mengetahui tentang diriku."

It Peng tidak memaksa. "Tentunya Tan Losu telah mengetahui jelas keadaan wihara Potala," kata ia pada Pek Seng, "Wihara itu luas dan banyak bangunannya, yang dapat membingungkan orang luar. kalau kita lancang memasuki, kita seperti mencari bahaya kematian sendiri."

Pek Seng tertawa.

"Kim Losu benar tetapi tak usah losu berkuatir," ia bilang, "Dua hari sudah aku membuat penyelidikan, rasanya aku ketahui segala apa dengan jelas. Aku pun sudah membuat petanya, rasanya aku tak keliru lagi."

"Maaf." kata It Peng mengangguk "jikalau losu tidak menyebutkannya, aku lupa bahwa losu-lah ahli pembuat peta. Ya Jin San jadi demikian tangguh semua itu karena rencana dan pengaturan losu."

Pek Seng tertawa, dari sakunya ia mengeluarkan sehelai kertas, yang terus ia beber, maka di situ mereka melihat lukisan tempat berikut pelbagai bangunannya, rumah, ranggon, paseban, dan pengempang, Semuanya jelas sekali. In Gak kagum hingga ia memberi pujian-nya.

"Wihara Potala menempati tempat yang luas sekali," kata Pek Seng. "Lihat saja, bangunannya hitung ratusan buah, yang semuanya bersender kepada gunung, Maka itu, menurut aku, diwaktu pergi ke sana, tak baik kita berpencaran, hanya harus kita menuju langsung ke pendopo Pat Liong Hud thian, tempat kediamannya kelima lama besar jubah kuning, Di sana aku minta Kim Losu bersama siauwhiap melayani lama kepala Huketu, kami berlima akan pergi ke lauwteng chong Keng lauw di samping kirinya guna menolongi Coa San-cu."

Pikiran ini mendapat persetujuan umum, keenam orang lainnya pada mengangguk.

Sampai itu waktu In Gak masih tidak menanyakan Tan Pek Seng sebabnya coa San-cu tertawan dan dikurung di dalam wihara Potala. Tan Pek Seng tidak menceritakan ia membiarkannya. Selama itu api dijaga menyala terus oleh Kvvan Tek Lin, salah seorang kawan mereka, yang duduk di sisi Pek Seng.

Baru mereka berhenti bicara itu, mendadak Kim It Peng mendengar suara apa-apa di belakangnya. Dengan mendadak ia berbangkit seraya memutar tubuh, untuk berlompat dengan pesat, sambil lompat itu ia menghunus sepasang pedangnya, maka ia dapat terus menabas. Akibatnya itu ada pohon yang roboh dengan suaranya yang berisik.

Yang lainnya turut berlompat bangun, Mereka menduga kepada musuh gelap. cuma In Gak yang tetap duduk bercokol, cuma tangannya menimpuk dua kali dengan dua potong cabang kayu cemara.

Ketika Pek Seng berlima sampai di sisi It Peng, mereka mendapatkan imam itu lagi berdiri melengak mengawasi ke depannya dimana di tanah, terlihat bangkainya dua ekor rase yang kepalanya pecah dan mengeluarkan darah. Kwan Tek Lin menunjuki jempolnya.

"Tak heran Kim Losu sangat kesohor," kata dia memuji. "Sekarang berbukti mata losu sangat tajam, bisa melihat segala apa di tempat gelap seperti disiang hari Pula hebat pedang tosu, yang tak pernah gagal Kami semua kami malu, tak dapat kami berbuat demikian..."

It Peng tertawa.

"Kau sangat memuji, saudara Kwan" katanya, "Aku tidak sangka bahwa aku telah salah mendengar seperti ini. sebenarnya aku merasa malu."

Ia masuki pedangnya ke dalam sarungnya, lantas ia kembali ke unggun api.

Mereka melihat In Gak menggunai cabang cemara menggurat-gurat di tanah, mereka tak tahu orang lagi memikirkan apa. It Peng kagum. Orang sangat tenang.

"Aku tak seperti kau, siauwhiap." ia kata, "Kau tidak kena terganggu gerak-gerik rase tadi."

Si anak muda tertawa. Justru Kim Losu yang telinganya sangat terang," ia kata, "Barusan losu cuma terkelirukan angin. Pendeta lama itu sudah ditakdirkan terbinasa, Mari duduk. tidak ada bahaya apa-apa."

Kata-kata itu mengherankan keenam kawan itu. Kim It Peng heran dan tidak percaya, Dia menyambar sebatang kayu yang menyala dan lompat, untuk memeriksa ke sekitarnya diterangi api obor itu. Pek Seng berlima menyusul.

Kira enam tombak jauhnya dari mereka di mana ada banyak pohon cemara bergelimpangan di atas salju, kedapatan belasan mayat pendeta lama, akan tetapi tubuh mereka tidak terluka, itulah tanda mereka roboh tertotok jalan darahnya.

Tiam chong sin-kiam malu sekali, ia likat sendirinya, Sekarang ia merasa bahwa ia tak berhak untuk merebut nama didalam Rimba Persilatan- Kalau dibandingkan ia masih jauh dengan lain orang...

Pek Seng sekalian tak ubahnya semua mengagumi si anak muda. Mereka tak bicara banyak lagi kecuali memuji.

Habis itu mereka bertujuh dalam rupa bayangan, kabur ke arah barat laut, cuaca tetap gelap karena rembulan dan bintang-bintang tak nampak. Mereka lenyap seperti ditelan salju.

XXX

Wihara Potala di Sin-tek itu sebuah wihara yang paling besar disamping istana Potala di Lhassa, Thibet. Bangunannya besar, indah dan agung. Letaknya di luar kota sebelah barat laut. Memang di Jehol, tetangganya Mongolia, ada banyak sekali wihara kaum pendeta lama. Hanyalah wihara Potala ini terbesar dan paling ternama, kesana rombongannya Tan Pek Seng menuju.

Selagi mendekati samping wihara, In Gak berhenti lari dan membisiki Pek Seng semua: "Kita datang ke mari untuk menolongi orang, maka itu paling benar ialah kita menyingkir dari pertempuran dengan para lama. Sekarang ini baiklah aku sendiri yang mencoba pergi dulu ke chong Keng Lauw, lauwteng tempat menyimpan kitab itu, guna menolongi coa San-cu. jikalau selewatnya satu jam aku belum kembali barulah aku minta saudara-saudara pergi membantu aku."

Sekarang orang tahu lihaynya ini kawan baru, hanya setelah berpikir sejenak. mereka memberikan persetujuan mereka. Kim It Peng berkata, "cuma dengan begitu kita membikin siauhiap yang bekerja paling berat. Baiklah siauwhiap membekal ini sebelah pedangku, guna menjaga diri."

"Tak usah, terima kasih," kata In Gak tertawa, "Akupun membekal pedang lunak di

pinggangku."

Habis berkata, pemuda ini lantas lompat pergi, hingga dia lenyap di balik tembok pekarangan-

Wihara itu sunyi kecuali dari suara angin serta cabang- cabang pohon yang menjadi barang permainannya sang angin. Karena langit gelap dan sinar api pun tidak ada.

In Gak cuma dapat melihat sejauh sepuluh tombak. Selagi memikirkan petanya Tan Pek Seng, yang ia ingat-ingat di luar kepala, ia bersembunyi dulu di belakang sebuah pohon cemara. Wihara gelap seluruhnya, rupanya kawanan pendeta tengah menantikan mangsanya. 

Kecuali berisiknya sang angin dan daun, In Gak diganggu hawa dingin, Tapi ia tidak menghiraukan itu, ia telah pikir: "Memang aku harus menyingkirkan bentrokan senjata, Pesan suhu masih mendengung di telingaku. Tak usah aku pedulikan tantangan Inpuntala..."

Maka ia maju terus, Baru belasan tombak ia melihat dua bayangan lari mendatangi dengan cepat kepadanya ia lantas mengenali dua ekor anjing - anjing-anjinng galak dari Thibet- Dengan tindakan Hian cit Seng Pou, ia berkelip selagi kedua binatang itu lewat sebab tak berhasil menerkam padanya, ia membalas menghajar.

Hanya dengan sekali gempuran kedua anjing terlempar sambil menjerit kesakitan, terus badannya roboh terbinasa.

Setelah itu si anak muda lompat naik ke pohon di sampingnya, Dari sini ia naik ke gen-ting, terus sampai di wuwungan dari sebuah pendopo, ia berdiam seraya memasang mata, Samar-samar ia melihat tiga pendeta lama di atas pendopo itu, yang terdekat terpisah dari ia empat tombak lebih. Lama itu rupanya melihat ada orang datang tanpa bersuara dia memburu. Dia nampak gesit.

In Gak tidak takut, bahkan dia maju untuk menyambut.

Si pendeta heran, hingga dia berpikir: " Inilah tak biasanya, Rupanya dia berkepandaian lihay maka dia tak takut mati" Selagi dia heran itu, lawan sudah tiba, Mendadak ia merasa tertotok dijalan darah ceng cok. Tak sempat dia bersuara, dia roboh tak sadarkan diri.

In Gak berkiam sebentar baru ia maju pula. ia menuju ke pendopo Pai Liong Hud-thian. ia berlaku waspada, guna menyingkirkan bentrokan Tak mau ia terlibat oleh para lama yang melakukan penjagaan di sana sini.

Pendopo itu juga gelap sekali. Sukar untuk ke dalamnya, Toh In Gak ingin masuk ke dalam situ untuk membuat penyelidikan ia baru menindak, ketika ia mendengar suara orang bicara perlahan:

"Entah apa sebabnya, hari ini Hok-hoat Taysu Kim Liong sangat beda daripada biasanya, Tak pernah ia tak bersenyum atau tertawa tetapi kali ini ta terus berdiam, romannya bergelisah, ia sampai tak suka mendengar kata-katanya Inpuntala. baru mendengar dua patah, ia sudah lantas meninggalkannya, ia cuma memesan kita untuk dengan tentu- tentu mengantari makanan kepada si nona..." In Gak heran- ia tidak melihat apa-apa. Maka ia terus mendengari, matanya tetap dipasang. Baru kemudian samar- samar ia melihat tubuh bagaikan bayangan dari dua kacung lama di dalam pendopo yang gelap itu.

Ia mendengar suaranya kacung lama yang kedua: "Biasanya Kim Liong Taysu paling

menyayangi kau. Kau mestinya ketahui sebab dari perubahan sikapnya itu. Kenapa hari ini ia tidak tenang?"

"Sebenarnya aku tidak tahu, Yang mengetahuinya mungkin kelima tay hoat-su. Apa yang aku tahu, katanya dari wihara lama Yong Ho Kiong di kota raja telah dikirim serombongan lama datang kemari, bilangnya buat urusan sangat penting."

"Sekarang ke mana perginya Kim Liong Taysu?" "Katanya dia pergi untuk menyambut pendeta-pendeta

lama dari Yong Ho Kiong itu."

Tiba tiba terdengar suara tertawa, yang terus disambungi kata-kata ini: "Katanya taysu tidak gemar paras elok. mengapa sekarang melihat nona itu, semangatnya seperti sudah terbang pergi? Apakah ini yang dinamakan jodoh? Tapi nona itu lihay, dan dengan mengandalkan pedangnya, tak dapat taysu mendekatinya, hingga setiap hari ia cuma mengintai dari luar kamar batu itu. Ada kalanya ia mengucap juga satu dua patah, habis itu ia pergi sambil menggeleng kepala dan menarik napas..."

"Sebenarnya nona itu sangat cantik, jangan kata taysu, aku sendiri tertarik hatiku... “

Menyusul itu kembali suara tertawa riang.

In Gak heran- Perlu apa utusan pendeta-pendeta lama dari kota raja itu? Siapa si nona yang tengah dikurung Kim Liong Taysu? Tapi ia tidak dapat memikir banyak-banyak. Ia mempunyai tugasnya sendiri menolongi coa San-cu. ia pikir untuk membikin kedua bocah tak berdaya, guna mendengar keterangannya di mana dikeramnya orang yang ia mau tolongi itu. "Sekarang sudah tak siang lagi," terdengar salah satu kacung- "Kita harus pergi mengantari barang makanan kepada mereka itu sebenarnya aku benci itu orang tua she coa.

Dia galak sekali, sering-sering dia mau menerkam, Kalau aku tidak menyukai si nona, ingin aku membikin dia kelaparan barang dua hari. sayangnya mereka bertempat di kamar yang bertetangga."

Setelah itu, mereka itu berjalan pergi, inilah ketika yang baik sekali tanpa ayal pula, In Gak menguntit.

Kedua kacung itu berjalan dengan masih bicara dan tertawa-tawa, Mereka tidak tahu adanya orang yang mengikuti mereka. Dari pendopo itu mereka pergi ke belakang, keluar di lorong kanan, bertindak di undakan tangga, untuk naik ke atas.

In Gak mengikuti tanpa kuatir tindakannya dapat didengar orang. Sang angin menyarunya ia cuma harus berjaga-jaga agar tak ada lain orang yang memergokinya, itu waktu ia tidak mendengar lagi suara genta tanda waktu. Penjagaan pun rupanya telah tarik pulang, ia menduga mesti terjadi sesuatu dalam wihara ini. Atau orang semua pergi melakukan penyambutan di latar Gong-hud peng.

Kedua kacung jalan terus sampai di sebuah kamar tanpa penerangan, hanya dari situ tersiar bau barang makanan daging dan arak. ia tahu orang mau mengambil barang makanan, maka ia menantikan di luar.

Tak lama kedua kacung keluar pula, masing masing tangannya menengteng naya.

In Gak kembali mengikuti, ke kiri, terus ke kanan, tiba di depan sebuah kamar yang besar sekali.

Tanpa curiga apa-apa, kedua kacung membuka pintu untuk masuk ke dalam. Mereka tidak mengunci pintu, pintu melainkan dirapatkan dari itu In Gak dengan mudah dapat turut masuk. Di dalam kamar itu, kedua kacung jalan di sebuah gang yang sempit, Di sini ada cahayanya sebuah pelita minyak, yang apinya kedap- kedip. Pelita itu tergantung di lelangit gang. cahaya api itu cuma mendatangkan suasana seram saja. Kedua kacung berhenti di depan tembok. Di situ ada sebuah lubang kecil.

"Nona, kami membawakan barang makanan-" kata satu di antaranya sambil melongok dilubang itu dengan kedua kakinya berjingkat. Kata-kata itu tidak lantas memperoleh jawaban.

In Gak heran melihat kamar itu, Di kedua tepi gang itu kedapatan lubang kecil setiap jarak tiga tombak. tingginya lubang sependirian orang biasa pantas si kacung mesti berjingke, Yang mengherankannya ialah kamar itu tanpa pintu, jadi kamar tahanan itu mestinya mempunyai pintu rahasia, atau pintunya berada di lain bagian-..

Dua kali kacung itu memanggil, tetap mereka tidak mempeoleh jawaban. Mereka lantas memutar tubuh. Bukan main kagetnya mereka akan melihat seorang muda berdiri dua tombak di belakangnya, mata mereka di buka lebar, muka mereka pucat, Ketika keduanya membuka mulut, untuk berteriak. In Gak sudah lompat ke depannya seraya tangannya di leher mereka masing-masing, mengancam untuk mencekik. "Dimana dikurungnya coa San cu Lekas bilang"

Kedua kacung takut tak kira. Mereka cuma bisa menunjuk ke liang yang sebelahnya.

"Bagaimana harus masuk ke kamar ini ?" In Gak tanya pula. "Apakah kamu tahu jalannya?"

Kedua kabung menggeleng kepala.

In Gak bergelisah sendirinya, ia berkuatir, Tanpa bersangsi, ia menotok kedua kacung itu, membuatnya roboh. Tanpa merasa, ia sudah meliwati waktu kira satu jam, ia kuatir Kim it Peng berenam nanti menyusul, ia lantas melongok ke dalam kamar si nona. Kamar itu suram, ia melihat satu tubuh langsing, yang berlutut membelakanginya, kedua tangannya dibawa mukanya, Mungkin nona itu lagi bersembayang.

Rambutnya kusut. setelah mengawasi, ia merasa seperti mengenali tubuh orang.

Nona itu masih berdiam sekian lama, baru terlihat dia menurunkan kedua tangannya, Lalu terdengar suaranya perlahan- "Inilah kedukaan tak habisnya, seperti air sungai mengalir terus ke timur..."

Mendengar suara itu, si anak muda kaget. "Yan Bun..." ia kata.

Si nona rupanya mendengar suara itu, ia menoleh dengan perlahan, Tentu sekali ia tidak dapat melihat wajah si anak muda dilubang kecil itu. In Gak sebaliknya dapat melihat tegas, bahkan ia merasa sangat terharu, Nona itu mandi air mata, mukanya sangat kucai.

"Yan Bun, aku," ia berkata pula, "Aku Cia In Gak."

Suaranya itu tak keras tapi nyata terdengar si nona, Dia terkejut, lantas dia lompat bangun lari ke arah lubang.

"Engko In" katanya, halus tapi bernada menyeseli, "Lekas tolongi aku Di sini aku melewati satu hari seperti satu tahun-" ia mengulur sebelah tangannya untuk si anak muda mencekalnya...

Girang dalam kedukaan, si nona tak dapat bicara banyak.

Airmatanya lantas mengucur deras...

In Gak menggenggam tangan orang yang halus, sebenarnya ia mau menanya kenapa si nona terkurung di situ, akan tetapi karena melihat orang menangis, ia tak dapat bicara, iapun di bikin bingung, apa daya untuk menolongi nona itu. Tiba-tiba tengah ia berdiam itu, ia mendengar suara.

"Hm Hm di belakang nya. Waktu ia segera menoleh, ia mendapatkan sejarak tak setombak tubuh tinggi besar dan seorang lama yang berjubah kuning, yang romannya sangat keren dan matanya tajam se kali. Lama itu berumur lebih- kurang empat-puluh tahun, kumis dan jenggotnya pendek. hidungnya mancung.

Pintu tertutup sedikit, maka angin dingin saban-saban menghembus masuk, hingga api di situ berkelak-kelik mau padam.

Ada lagi yang aneh pada lama itu. Di antara sampokan angin, dari bajunya terlihat darah mengucur, bahkan darah yang berbau amis. Entah itu darah dari tubuhnya sendiri atau bukan, tapi terang itu mesti akibatnya suatu pertempuran-

Ada kemungkinan itu bukan darah dari tubuhnya, Agaknya dia liehay. Kalau benar, dia dapat menahan mengalirnya itu. Hanya kalau itu darah lain orang, selagi hawa hangat dingin, itu mestinya sudah beku.

Sambil melengak, In Gak menatap. Baru sekarang ia melihat jubah orang ada enam atau tujuh lubangnya bekas tikaman-

Kedua pihak masih saling mengawasi sampai si nona yang mengintai di lubang berseru kaget: "Engko In, dialah Kim Liong Hoat-su Huketu Dari dia dapat engko menanyakan cara untuk keluar dari kamar ini..."

Mendadak mata Huketu nampak guram. Dia pun mengheLanapas.

"Benar," katanya, "Pinto masuk keluar kamar ini cuma kami berlima kepala yang mengetahui dan sekarang ini cuma aku seorang Yang lainnya sudah berangkat ke nirwana, Tadi aku telah memikir untuk meninggalkan wihara ini, lalu aku ingat kata nona sebagai orang yang seumurku paling aku menyukainya hanya habis pertempuran dahsyat, otakku terasa menjadi tidak jernih hingga aku tidak ingat lagi dimana ada pesawat rahasianya..."

Tiba-tiba ia menumbuk kepalanya, terus ia mengoceh: "Aku kenapa? Aku kenapa ya...?" Kembali ia menghela napas dalam, sekonyong-konyong dia memutar tubuh lari keluar. Kouw Ya n Bun kaget.

"Lekas susul" dia berseru, "Di tubuhnya pun ada itu obat Gu Hong ceng Sim Tan"

In Gak terperanjat. ia heran sekali atas kelakuannya pendeta lama itu. Kenapa dia terluka? Kenapa dia berdiam saja? Kenapa sekarang dia kabur? Dia pun heran atas seruannya Yan Bun. Mendengar disebutnya obat ceng Sim Tan itu, ia bagaikan sadar, ia menduga obat itu barang penting sekali. Maka ia lantas lompat mengejar ia masih dapat melihat ujung baju si pendeta.

Ketika itu Yan Bun berseru memesan: "Engko In, lekas pergi dan lekas kembali"

In Gak sampai di luar dimana keadaan gelap sekali, akan tetapi ia melihat tubuhnya si pendeta berkelebat di atas genting di depan-nya, tanpa ayal lagi ia lompat menyusul. Maka itu, di atas genting itu, mereka saling susul.

Tiba di ujung genting, Huketu merandek sedetik, lantas ia lompat turun, In Gak menyusul ke ujung itu, ia pun lompat mengejar terus, Anak muda itu melihat sebuah pekarangan besar dimana bergelimpangan banyak mayat. Huketu memandang semua itu, dia menghela napas, lalu mendadak dia tertawa terbahak-bahak. suaranya hebat mendengung ke udara. Tertawanya itu bernada sedih.

Habis tertawa, Huketu menoleh kepada In Gak lalu mengawasi.

"Tuan, mengapa kau terus-terusan mengikuti aku?" dia tanya membentak.

In Gak masih terbenam dalam keheranan waktu ia ditanya itu, Karena melihat sejumlah mayat kira kira delapan puluh orang, Ketika ditanya itu, ia bukan menjawab ia justru menanyai "Apakah semua mayat ini terbinasa di tangan Liu In cit Si dari taysu?" Huketu melengak. "Apa? Liu in cit Si?" tanyanya bingung, "oh, Liu In cit Si? Ya tak salah Dari semua mayat itu, separuh terbinasa oleh Liu in cit Si dari aku, sebagian lagi ditangannya Lama dari wihara Yong Ho Kiong."

"Mana dia Lama Besar itu?" In Gak tanya. Kelihatan Huketu gusar.

"Bukankah barusan telah aku bilang mereka mati di tangan Liu in cit Si dari aku" Habis berkata itu, ia memutar tubuhnya untuk berlalu. "Taysu" In Gak memanggil ia agak bingung.

Huketu memutar tubuh dengan perlahan dengan sinar mata guram, ia mengawasi si anak muda.

Tatkala itu sang mega yang menutupi si puteri Mala m sudah tertiup angin, maka itu nampak tegas segala pemandangan di situ terutama itu puluhan mayat. Biar bagaimana suasana menyeramkan-

In Gak berkata pula: "Aku yang rendah tidak berani menghalang halangi taysu pergi. Aku cuma mau minta tolong taysu memberitahukan jalan masuk keluar dari kamar tahunan tadi serta sekalian minta juga sebutir pil Gu Hong ceng Sim Tan-.."

Mata guram si pendeta lama memain bersinar ke empat penjuru, ia pun tertawa perlahan-

"Gu Liong ceng Sim Tan?" dia mengulangi Dia merogo ke dalam sakunya dan mengeluarkan satu peles kecil, terus dia melemparkannya pada si anak muda ia kata: "Kau ambillah"

In Gak mengulur tangannya menyambut peles itu. "Aku sudah tak tahu lagi jalan untuk mebuka kamar

tahanan itu," kata pula Huketu, "Kau menanya aku Habis aku mesti menanya siapa?.

Begitu suaranya berhenti, begitu pendeta ini lompat pergi memasuki pepohonan lebat di samping mereka.

In Gak berdiri terbengong seorang diri, ia berada sendirian saja - di tempat yang luas itu, dalam kesunyian diantara puluhan mayat bergelimpangan- Tanpa merasa hatinya giris dan tubuhnya bergidik, Yang hebat ialah hampir semua mayat pecah remuk batok kepalanya, polo dan darahnya mengumplang menjadi satu, membeku dan berbau amis, mendatangkan rasa hendak muntah-muntah. pemandangan itu sangat menggiriskan-

cuma sebentar, In Gak lantas sadar, Maka ia mengenjot tubuhnya, berlompat naik ke genting, untuk lari kembali ke tempat tadi- Di tengah jalan ia memikirkan: "Apakah benar separuh dari semua mayat itu terbinasa di tangan Liu In cit Si dari Huketu. Bagaimana lihaynya ilmu silat itu? Sayang aku tidak berkesempatan melihatnya... Rupanya Huketu kena terhajar tangan yang kuat pada kepalanya hingga asabatnya menjadi terganggu hingga ia banyak lupa...”

Segera ia tiba di dalam kamar tahanan-"Yan Bun Yan Bun" ia memanggil.

"Ya" menjawab si nona, suaranya kaget dan girang, ia pun melongok di lubang tembok sambil menanya apa engko In itu sudah menanyakan jalan untuk keluar dari kamar tahanan itu.

In Gak menggeleng kepala, ia nampak bingung dan masgul.

Nona Kouw menjadi masgul sekali.

Yan Bun bingung, ia berkuatir dan berduka sekali. "Bagaimana... bagaimana sekarang?" tanyanya, air

matanya terus meleleh. "Yan Bun, sabar," kata In Gak melihat air mata orang "Pasti aku akan menolongmu."

Nona itu menarik pulang kepalanya, Lantas terdengar dia membanting-banting kaki dan mengutuk Huketu.

In Gak berdiam sebentar, lantas ia menghampirkan lubang dari kamar yang sebelah.

"Coa Sancu" ia memanggil. Tidak ada jawaban-

"Coa Sancu" Tn Gak memanggil pula.

Kali ini ia memperoleh penyahutan, ialah bentakan bengis: "Siapa itu di luar berkaokan bagaikan hantu? Aku si orang tua belum mati, buat apa kau rewel?"

Senang In Gak memperoleh jawaban, ia tidak gusar, sebaliknya ia bersenyum.

"Tua bangka ini beradat keras," katanya di dalam hati, ia lantas menyahuti: "Sancu, jangan salah mengerti, Akulah orang yang datang ke mari atas permintaan murid-murid san- cu, untuk menolongi." Sunyi pula di dalam kamar tahanan itu.

"Engko In, kau bicara dengan siapa?" In Gak dengar Yan Bun menanya. Si nona melongok pula.

Anak muda ini bersenyum, ia mengulapkan tangannya. "Kau siapa?" terdengar pula suara di dalam, keras dan

bengis.

"Aku yang rendah Jie In-" In Gak menjawab ia mengangkat pundak dan tertawa.

Coa Hok berdiam, Hanya sebentar dia lantas menanyai "Kau Jie in? Apakah kau masih mendendam peristiwa di chin Su? Apakah kau datang ke mari untuk menghina aku?"

In Gak tertawa.

"Aku yang rendah tak mendendam apa-apa terhadap san- cu." ia menyahut. "Buat apa san-cu pikirkan itu?" Kembali sunyi di dalam kamar.

In Gak melongok ke dalam, ia tidak melihat apa-apa. Kamar tahanan- itu gelap sekali-Ia menggeleng kepala, ia kembali ke muka lubang kamarnya Yan Bun. ia mengetok dua kali ke tembok.

"Adik Yan, apakah pedang Leng Ku Kiam masih ada padamu?"

"Ya, ada" menyahut si nona. Girang In Gak hingga ia berjingkrak.

"Leng Ku Kiam tajam dapat memutuskan logam," ia kata girang, " Kenapa kau tidak mencobanya untuk menghajar lubang ini supaya menjadi lebih besar? Dengan begitu dapat kau molos ke luar." Di dalam terdengar tertawanya Yan Bun.

"Ya, mengapa aku tidak memikirnya" katanya. "Sungguh celaka, aku telah membiarkan diriku dikurung di sini selama tiga hari"

In Gak tidak berkata apa-apa, hanya ia mengawasi ke daam. Lantas ia melihat sinar berkelebat dan suara nyereset, ia tahu pedang mustika si nona telah dihunus. Lantas itu disusul suara nyaring beberapa kali, ia mengundurkan diri. ia melihat mayatnya kedua kacung tadi, ia menjadi ingat lukanya Huketu, yang ingatannya terganggu, Aneh segala kejadian di dalam wihara ini.

Tidak lama anak muda ini memperoleh kesempatan melamun, Suara berisik di dalam kamar tahanan itu sudah berhenti, lubangnya telah menjadi besar, dari situ terlihat si nona lompat ke luar.

Yan Bun sudah lantas berdiri di depan si anak muda, wajahnya tersungging senyuman-

"Apakah kau benar-benar menyangka aku tidak ingat menggunai pedangku?" katanya, tertawa, "Hal yang benar bukannya demikian, Yang benar ialah aku menguatirkan pedangku rusak. Laginya Huketu sangat lihay. jikalau aku tidak mengandali tindakan Kiu-kiong ceng hoan im-yang-pou yang kau ajari mungkin aku telah dibikin hina olehnya."

In Gak tertawa.

"Mari aku pinjam pedangmu" katanya. Yan Bun memberikan.

Si anak muda menghampirkan kamarnya Coa Hok. lantas ia menyerang ke lubang, hingga ia mendapatkan lubang cukup besar untuk ia berlompat masuk ke dalamnya, sambil berlompat ia mengajak si nona.

Di dalam gelap tetapi sinar pedang meneranginya.

In Gak dan Yan Bun tiba di dalam dengan hati mereka tergerak sangat, Coa Hok rebah dipojokan, batok kepalanya pecah, darahnya berhamburan- Tulang pipanya telah ditusuk dan diikat rantai yang ada durinya tajam jadi satu itu lelah dikurung dengan dirantai.

Muda-mudi itu saling mengawasi Lama juga mereka berdiam, baru si pemuda menghela napas.

"Aku tidak sangka orang tua ini beradat begini keras," katanya, "Mendengar aku datang menolongi dia, dia malu menemui aku, dia menghajar remuk kepalanya sendiri, Tahu begini pasti aku menyuruh Tan Pek Seng beramai yang menolongi.."

Yan Bun heran, akan tetapi kekuatirannya besar. "Engko In," ia kata, "baiklah kita lekas berlalu dari sini..." Dan ia menarik tangan si pemuda.

In Gak mengikut, setibanya mereka di luar mereka melihat cahaya si Puteri Malam yang guram. Mereka lompat naik ke atas genting, untuk memandang kelilingan- Angin dingin-Salju bertumpuk di cabang cabang pohon tembok dan atas genting. sekitarnya sunyi, menyedihkan dan menguatirkan juga...

Tengah berdiam itu, mendadak muda-mudi itu dikejutkan angin dingin dan keras ke arahnya, samar-samar mereka mendengar tertawa mengejek, tak keras tetapi nyata terdengar nya. Suara itu mendatangkan rasa giris. Dengan segera keduanya menoleh.

Tiga tombak di hadapan mereka, mereka menampak dua orang pendeta dengan jubah abu-abu berdiri berendeng, Tubuh mereka itu kurus kering bagaikan rebung, muka mereka perou, Wajah mereka tak tampak nyata. cuaca guram sekali, cuma terlihat empat biji matanya yang bersinar bengis.

Yan Bunjeri hingga ia mundur ke belakang si pemuda.

In Gak bersikap tegak. ia percaya orang lihay, kalau tidak, tidak nanti ia tidak ketahui datangnya mereka itu.

"Siapakah kamu, jiwi?" ia tanya, " Kenapa jiwi mengikuti kami?" Kedua pendeta itu tidak menyahuti, sebaliknya tubuh mereka bergerak. tangan mereka diluncurkan untuk menjambak ke dada sianak muda, gerakannya sangat gesit, Ketika itu mereka terpisah kira tiga tombak.

In Gak berlambat untuk menyambut samberan itu. sebenarnya ia merasakan serangan hebat, Berkelit, berbahaya untuk Yan Bun. Mundur, si nona menghalangi ia. Terpaksa ia melawan-

Bentrokan itu hebat, keduanya terkejut Kedua pendeta terus berlompat tinggi, melewati si anak muda, untuk menaruh kaki di belakangnya. In Gak terkejut, Bahaya mengancam Yan Bun- Dengan sebat ia memutar tubuh.

Justeru itu terdengar teriakan nyaring dari Nona Kouw, yang pedangnya berkilauan Sebab si nona - walaupun dia jeri

- dia toh melawan ketika kedua pendeta menyamber kepadanya, Sekarang ini pendeta-pendeta itu memegang pedang di tangan kanan dan tangan kirinya menyamber- nyamber.

Menampak demikian, In Gak lupa pesan gurunya, Terpaksa ia menggunai Hian Wan Sip-pat Kay. ia melihat bahwa ia lagi menghadapi lawan tangguh, Dulu-dulu belum pernah ada lawannya seperti dua pendeta ini.

Kedua pendeta kaget, mereka mengasih dengar suara "Hm" itulah sebab tangannya kena dicekal si anak muda, Meski demikian, ketika mereka memutar tangannya itu, lantas lolos dan bebas, Mereka lompat mundur, dengan sangat heran- Mereka mendapatkan orang sangat lihay, Maka mereka tidak maju pula hanya berdiri mengawasi. Yan Bun bermandikan peluh saking kaget, Memang ia melawan saking terpaksa. "Engko In," ia kata, "dua pendeta ini sangat jahat, kau bereskanlah mereka"

Kedua pendeta mendengar suara itu, mereka nampak gusar, roman mereka tambah bengis, Dengan suara tawar mereka kata: "Seumur lolap sudah tak terhitung jumlah lolap membereskan orang, akan tetapi belum pernah lolap mendengar ada orang yang dapat membereskan lolap Karena kata-katamu ini maka haruslah kamu disingkirkan dari dunia ini"

In Gak heran- Tidak saja orang berpotongan dan bermuka serupa, suara mereka pun bareng dan sama, kata-katanya sama juga seperti itu keluar dari satu hati.

"Rupanya kamu tak senang ditegur" ia kata kepada mereka itu, tawar. Jangan sesalkan kami? Kenapa kamu justeru bertindak lancang? Apakah kamu datang ke wihara ini cuma untuk mencari aku yang rendah?"

Kedua pendeta itu mengawasi. Mereka agaknya heran. "Apakah kau melihat itu mayat-mayat bergelimpangan di

Gwa Ing Hud-peng?" mereka tanya, suara mereka menyeramkan.

Si anak muda manggut. "Ya, aku telah melihat itu," ia menjawab. "Mungkinkah mereka itu dibinasakan kamu berdua?"

Kedua pendeta tidak menyahuti, hanya mereka menanya. "Apakah kamu melihat Huketu?" demikian pertanyaannya.

"Ya, tadi" sahut In Gak. "Sekarang ini entah dia pergi ke mana."

“Jikalau begitu kamulah pembantunya Huketu?" Suara itu keras.

“Jangan kamu sembarang menuduh" In Gak membentak. ia tidak puas. "Aku dan Huketu tidak mengenal satu dengan lain Kenapa aku mesti menbantu dia ?..."

Selagi berkata begitu, ia melihat kedua pendeta berpaling dengan mendadak. seperti ada sesuatu yang sangat menarik perhatiannya di sampingnya, ia lantas turut menoleh. Di luar wihara, di tengah sebuah puncak terlihat sinar pedang.

"Huketu..." kedua pendeta itu berseru tertahan, Terus mereka berlompat pergi, berlari ke arah puncak itu, hingga lekas juga mereka lenyap di tempat yang guram sekali. In Gak mencekal tangan si nona, "Adik Bun, mari kita pun pergi" ia mengajak.

Yan Bun menurut, maka keduanya berlalu dengan cepat, Mereka menyusul kedua pendeta itu sampai di tengah puncak dimana tampak Huketu berdiri keren bagaikan patung.

Tangannya mencekal pedang, jubah nya bertebaran di antara sang angin, Di belakang pendeta lama itu ada rombongannya Kim It Peng berenam, yang sudah siap sedia untuk pertempuran.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar