Menuntut Balas Jilid 05 : Empat Mestika Raja Naga

Jilid 5 Empat Mestika Raja Naga

Ang Ban Thong sendiri pun bergerak untuk menyerang.

Hanya untuk kagetnya dia mendapat kenyataan tubuh orang maju dan kedua lengannya segera tercekal keras, akibatnya yang mana dia merasakan sakit dan gatal sekali pada seluruh tubuhnya! Celakanya terus dia tidak berdaya, hingga tinggal air matanya yang menetes turun ke lantai lauwteng. Orang tidak dikenal itu memegang dengan tiga jari dari masing-masing tangannya, semua jari tangannya itu dipencet dan dikendorkan bergantian.

“Sekarang kau dengar, aku akan memberitahukan kau!” berkata pula orang itu. “Kau perlu diberitahu supaya kau mati puas! Hendak aku Tanya kau: Dulu hari ketika orang mengeroyok Cia Bun, kau ada satu diantaranya atau tidak?

Kau mesti omong terus terang, dengan jujur, supaya dapat aku memberi kepuasan kepadamu!”

Mendengar pertanyaan itu, Ban Thong merasa dia seperti mendengar Guntur. Dia lantas merasakan matanya berkunang-kunang.

„Apa ?" tanyanya, suaranya menggetar. “Kau…..kau pernah apa dengan Cia Bun?”

“Aku?” orang itu menyawab. “Si wilayah Sam siang pernah kita bertemu muka! Kau pasti tidak pernah melupakannya!

Aku ialah itu bocah yang digendong di punggungnya Cia Bun!”

Bukan kepalang kagetnya Ang Ban Thong.

„Apt ?" katanya„ “Kamu jadinya tidak mati? Habis mayat kecil di gunung Bu Kong San mayat siapa ?''

Seperti melupakan sakitnya, Ban Thong lantas berpikir.

Orang itu tertawa dingin berulang-ulang. Tak sedap tertawa itu masuk kedalam telinga si orang she Ang.

„Benar, tuan kecil kau masih belum mati!” berkata orang itu,

bengis. “Kau tidak menyangkanya bukan? Sekarang tuan kecil kau dating kemari untuk menagih hutang lama! Sekarang aku Tanya lagi padamu! Di rumah ini masih ada dua orang lain yang pernah mengeroyok ayahku! Mereka itu tinggal di bagian mana dari Hoan Pek San Chung ini? Disamping mereka itu, siapa-siapa lagi yang telah turut mengepung ayahku itu? Kau bicaralah!” Pertanyaan itu hebat tetapi itu seperti juga suatu keringanan untuk Ban Thong.

„Bencana itu tidak ada pintunya seperti juga rejeki," dia mengoceh seorang diri, „Bencana itu dicari oleh orang yang bersangkutan sendiri…malam ini aku menemui saatku ini, aku cuma harus menyesalkan diriku sendiri…” Lantas dia tertawa sedih, dia menyebutkan tentang dua orang yang ditanyakan itu. Dia menuturkan roman, usia dan tempat sembunyi mereka. Tentang yang lainnya, ia menunjuk lima orang Ceng Hong Pay.

„Lainnya aku tidak tahu," katanya akhirnya, terus ia meram, untuk menyambut kematiannya.

Orang itu menghela napas.

„Baiklah, aku menyempurnakan kau!" katanya seraya terus ia menotok didada, maka robohlah tubuh Ang Ban Thong, menyusul mana orang itu seperti bayangan seperti munculnya tadi, Iantas menghilang dari lauwteng Kioe Kiong Kok itu, lenyap diantara pepohonan yang lebat.

Besok pagi, gemparlah Hoan Pek San-chung. Telah didapat tahu bahwa tiga orang yang menumpangi diri, telah meninggal dunia tidak keruan paran. Merekalah Ang Ban Thong, Ong Soei dan Lee Siang.

Lo-sancoe Kiong Thian Tan kaget dan heran, dia sendiri Iantas pergi melihat, untuk. memeriksa. Semua mayat tidak ada tanda lukanya, cuma ada tanda

bekas totokan. Dan kecuali pintu lauwteng Kioe Kiong Kok yang gempur, dua kamar yang lainnya tak rusak sama sekali, dan tak ada juga tanda-tandanya bekas orang bertarung, sedang ketiga orang itu dikenal liehay, yang tak gampang- gampang orang merobohkannya. Maka diakhirnya tuan rumah ini ingat akan warta yang dibawa Leng Hoei, puteranya, hal dua peristiwa yang menggemparkan di Tionggoan. “Benarkah ini perbuatannya Twie Hun Poan Cia Bun?” ia tanya dirinya sendiri, “Rupanya dialah yang itu malam membantui aku secara diam-diam. Sungguh hebat sepak terjangnya!”

Thian Tan menjadi masgul. Ban Thong bertiga menumpang padanya, sekarang mereka itu terbinasa diluar tahunya, sebagai tuan rumah, ia harus bertanggung jawab, menurut aturan kaum Kang Ouw, tidak dapat ia melepaskan diri. Tapi, bagaimana ia harus bekerja ? Siapa si pembunuh gelap ?

Bagaimana kalau dia benarlah Cia Boen, yang pernah menolongnya dari ancaman Hok San Jie Sioe ? Pasti ia tidak dapat turun tangan terhadap Cia Boen.

Perdamaian lantas diadakan diantara ayah dan anaknya. Masih mereka tidak berdaya. Apa yang mereka bisa lakukan ialah mengirim beberapa orang untuk membuat penyelidikan.

Sang hari berjalan terus, cepat lewatnya. Satu bulan telah berselang semenjak peristiwa aneh dan hebat itu atas diri Ang Ban Thong bertiga. Sekarang ini gunung Tiang Pek San seperti ditutupi salju, yang terbang turun berhamburan. Seluruh gunung, seantero lembah, putih mengkilap dengan sinarnya benda dingin itu. Kapan hawa udara telah menjadi sangat dingin, berhenti!ah turunnya salju yang membeku. Malam itu pun angin keras. Salju tebalnya sampai satu kaki. Sampai matahari muncul, salju itu tak dapat lantas tersinarkan lumer. Hawa udara jadi semakin dingin. Baru belakangan terlihat jatuhnya tetesan-tetesan air.

Jie In dengan mengenakan baju kulitnya yang gerombongan pergi keluar kamarnya, ia berdiri diam dengan kedua tangannya dimasuki kedalam tangan baju. Ia melihat jauh ke sekitarnyarnya. Ia menikmati keindahannya musim dingin itu. Lama juga ia berdiam diluar itu, ia seperti memikir sesuatu, setelah batuk-batuk dua kali, ia bertindak masuk kekamar tulis.

„Pin Jie !" ia memanggil.

Kacung itu berada disamping rumah, sambil jongkok ia tengah memasak teh, sekalian menghangatkan dirinya. Ketika mendengar panggilan, ia lantas menyahuti, panjang suaranya.

„Bukankah sinshe memanggil aku ? Baik, aku lantas datang..."

Dan ia masuk sambil membawa poci teh.

„Pin Jie," berkata si guru sekolah, "coba kau pergi melihat loo-sancoe, ia sedang luang temponya atau tidak, jikalau dia lagi senggang, kau undanglah ia datang kemari sebentar. Kau bilang saja bahwa aku ada satu urusan yang hendak dibicarakan dengannya."

Pin Jie terima titah itu, ia menyahuti dan lantas pergi keluar.

Tidak selang lama, muncullah Thian Tan bersama kacungnya . Ia tertawa

Ketika ia melihat guru cucunya.

„Jie Sinshe," katanya riang, “Pin Jie membilangi aku bahwa shinse mempunyai urusan yang hendak dibicarakan, benarkah

? Urusan apakah itu ?"

„Sabenarnya aku kangen pada kampong halamanku, “ ia menyahut, „Aku hendak minta cuti supaya aku dapat pulang menyambangi kuburan leluhurku. Lain tahun bulan tiga pasti aku akan kembali kemari. Bagaimana pikiran loo sancoe?”

Kiong Thian Tan pun tertawa.

“Aku kira urusan penting apa” katanya, “Biasanya saja kalau orang kangen dengan kampong halamannya. Cuma sekarang ini hawa udara sedang buruknya, tidak lama lagi akan tiba saatnya salju besar menutupi gunung, jalanan menjadi sukar dilalui. Untuk kami kaum rimba persilatan masih tidak apa, tidak demikian dengan sinshe seorang anak sekolahan…Apakah tidak lebih baik sinshe menunggu sampai musim semi lain tahun..?”

Tanpa menanti tuan rumah berhenti bicara, Jie In berkata: “Terima kasih untuk kebaikan loo-sancoe, aku bersyukur sekali, hanya apa mau dikata, keras sekali niatku pulang, jikalau mesti menunggu sampai lain tahun, tak sanggup aku. Perihal jalanan sukar, itu tak menjadi halangan untukku, itulah sudah biasa untuk kaum perantau."

Melihat orang demikian mendesak, Thian Tan tidak mau mencegah lagi.

“Jikalau demikian aku tidak bisa bilang apa-apa lagi” katanya, “Cuma aku minta sukalah sinshe menanti sampai tiga hari lagi, supaya cucuku dapat memberi selamat jalan”

“Oh loo sancoe, tak usahlah demikian berabeh!” kata Jie In mencegah, “Aku toh akan kembali dalam bulan ketiga lain tahun? Toh ini bukannya perpisahan untuk selama-lamanya? Aku anggap tak usahlah loo sancoe mengadakan perpisahan secara demikian”

Thian Tan berbangkit, ia tertawa.

“Putusan sudah tetap, tak usah sinshe pakai banyak aturan lagi” ia kata, lalu dengan perlahan-lahan ia bertindak keluar.

Jie In terpaksa menerima, dengan hormat ia mengantarkan majikannya pergi.

Syukur ada kelambatan tiga hari itu maka terjadilah Jie In dapat menolongi Kiong Thian Tan dari ancaman bahaya maut.

Beruntun dua hari telah diadakan perjamuan perpisahan, oleh loo-sancoe, oleh nyonya ru mah,, lalu oleh Leng Hoei, oleh isterinya tuan muda ini.

Selagi menghadiri pesta, Nyonya Leng Hoei, Jie In melihat perut si nyonya telah menjadi besar, ia agaknya terperanjat. Leng Hoei tajam matanya, ia melihat itu, hingga ia jadi heran. la lantas tanya kenapa si sinshe kaget.

Jie In bersenyum, ia bersuara perlahan, entah apa ia bilang. la tidak menjawab. Tentu sekali tuan muda itu jadi semakin heran dan penasaran juga.

“Sinshe, ada apakah?” ia Tanya, suaranya keras, “Omonglah, sinshe, kami kaum Rimba Persilatan, kami tidak mengenal pantangan!”

Jie In tertawa.

“Siauw sancoe, kau dengar” ia menyahut akhirnya, “Suatu soal, apabila ia tidak diperhatikan, tidak ada soalnya, tetapi sekali diperhatikan, dia dapat mengacaukan pikiran.

Sebelumnya aku bicara, ingin aku memberi selamat kepada loo-sancoe, bahwa pada tahun yang mendatang kau bakal memperoleh cucu!”

Kata-kata itu menggirangkan Leng Hoei suami isteri begitupun Thian Tan dan Yap Han Song Sioe In pun girang, dia mengawasi gurunya.

„Anak, lain tahun kau bakal mendapat adik laki-laki!” kata Jie In „Tidakkah kau akan girang sekali?"

„Tentu, tentu!" kata anak itu, yang terus menghampirkan ibunya, sambil menunjuk perut ibunya yang besar ia tanya, Ibu, apakah adikku didalam situ?”

Nyonya Leng Hoei likat tetapi ia girang, ia tertawa seperti kedua mentuanya dan suaminya itu.

Jie In tidak menghiraukan orang tertawa riang. Ia mengawasi Nyonya Leng Hoei

dan nanya „Siauw-hoejin, didalam bulan ini kau pernah melakukan pertempuran atau tidak?"

Nyonya itu heran hingga tercengang. la menggeleng kepala. „Tidak," sahutnya. „.Ah, pada sepuluh hari dimuka, pernah aku berlatih dengan suamiku. Apakah kandunganku tergerak?”i

“Kandungan tidak tergerak hanya kedudukannya tergeser” kata si tabib tertawa, “Kandungan bergeser artinya melahirkan sedikit sukar. Syukur aku melihatnya, menjadi masih ada daya memperbaikinya. Siauw sancoe, sebentar malam sukalah kau datang kekamarku, nanti aku mengajari kau ilmu memulihkan kandungan, setelah itu dengan makan beberapa bungkus obat saja, siauw hujien tak usah menguatirkan apa-apa lagi”

Leng Hoei girang,

“Budimu besar sekali, sinshe," ia kata, „Aku tak dapat balas budimu ini. Kalau nanti anakku terlahir, biarlah dia mengangkat kau sebagai ayah pungutnya."

Jie In tertawa.

„Aku tidak mempunyai rejeki itu, siauw-sancoe," ia kata.

„Untukku cukup asal aku dapat dahar beberapa telur- merahnya ."

Belum berhenti suara guru sekolah ini atau Thian Tan mendadak menjerit dan tubuhnya terguling kebelakang bersama kursinya.

Jie In terkejut, mukanya pucat, tetapi segera dia melesat ke cim chee dimana dia berlompat naik, Ketika Kiong Leng Hoei lompat menyusul, guru sekolah itu sudah berada jauh beberapa puluh tombak dan didepan si guru ada tiga orang lagi berlari-lari. Mereka terlihat tegas sebab salju terang sekali.

Heran dan kaget menjadi satu dalam hati Leng Hoei.

Selama beberapa bulan ia tinggal sama guru sekolah merangkap tabib itu, tidak ia ketahui orang sebenarnya liehay ilmu silatnya, baru sekarang ia mengetahuinya. Ia hanya heran kenapa guru itu menyimpan diri demikian rupa. Bukankah dia tidak mengandung maksud busuk apa-apa terhadap Hoan Pek San Chung?

Sembari berpikir, tak berhenti tuan muda ini dari larinya, bahkan ia lari sekeras bisa untuk menyusul. Ia mendapatkan Jie In sudah mendahului dua diantara tiga orang, dia memutar tubuhnya untuk memegat. Ia tidak lihat bagaimana orang turun tangan, ketika ia menyandak, dua orang itu sudah roboh tidak berkutik, demikian juga orang yang ketiga, yang dapat dicandak si guru sekolah.

Melihat tibanya Leng Hoei, Jie In berkata, “Aku mau lantas pulang menolongi loo-sancoe, tolong siauw sancoe membawa pulang mereka ini untuk mengompes keterangannya” Habis berkata dia lantas lompat. Sekali saja dia sudah pergi tujuh atau delapan tombak, maka dilain saat tubuhnya segera lenyap didalam san-chung.

Kembali Leng Hoei kaget dan heran. itulah ilmu ringan tubuh yang sangat mahir. Yang ia tahu, orang cuma dapat lompat lima tombak. Tapi ia tidak sempat berpikir, ia lantas bekerja.

Jie In sendiri, setibanya ia didalam rumah, ia melihat semua orang bergelisah. Loo-sancoe telah ditotok untuk tutup jalan darahnya oleh isterinya, dia telah dibawa masuk kedalam kamarnya dimana dia direbahkan diatas pembaringan. Disitu pun berkurnpul banyak anggauta Cian San Pay, yang mendapat kabar sancoe mereka terluka, tapi ketika mereka mau pergi menyusul si orang jahat, si guru mencegah.

“Ketiga penjahat itu sudah dapat ditotok siauw sancoe, sebentar mereka dibawa pulang” katanya. Ia sendiri menghampirkan Thian Tan yang rebah dengan gigi terkancing, matanya mendelik, tubuhnya menggigil tak hentinya. Nyonya sancoe tua nampak sangat berduka. ,,Jie Sinshe," kata nyonya itu, “Tidak aku melihat bahwa kau sebenarnya seorang luar biasa. Loo sancoe telah terkena pukulan tang pek koet Han Hong Ciang, kabarnya pukulan itu tidak ada obatnya, benar aku telah menotok menutup jalan darah suamiku, mungkin dia tak akan bertahan lama "

Habis berkata, tak dapat dicegah lagi, airmatanya si nyonya tua bercucuran.

„Aku bukan orang luar biasa, loo-hoejin," kata Jie In merendah. „Tentang sedikit luka dari loo-sancoe, janganlah dibuat kuatir, dapat aku mengobatinya."

Ketika itu Leng Hoei sudah kembaIi, sembari tertawa, tabib ini berkata: „Siauw-sancoe, hebat tanganmu, tak sampai sepuluh jurus telah berhasil kau membekuk mereka bertiga!

Sungguh aku kagum!"

Leng Hoei melengak, tetapi lantas ia mengerti. „Tahulah ia guru sekolah ini tetap tak ingin orang mengetahui dia pandai silat, maka terpaksa ia berdiam, cuma ia bersenyum. Melihat keadaan ayahnya, sebaliknya ia berduka dan berkuatir.

„Bagaimana lukanya ayahku?" ia tanya.

Jie In mengangguk, terus ia berbisik„Siauw-sancoe, tolong ajak semua orang keruangan depan, dan jagalah agar mereka tak mengetahui aku mengerti silat."

“Aku mengerti” sahut Leng Hoei. “Hanya kenapa aku tidak dapat membebaskan totokan tiga orang itu?”

“Sebentar, sehabis menolongi loo-sancoe kita nanti bicara pula” kata si guru, tetap berbisik.

“Baiklah, tentang ayahku, aku mengandal pada sinshe” kata Leng Hoei, yang lantas mengajak semua orang keluar, hingga didalam kamar tinggal Jie In bersama kedua nyonya serta Sioe In. Diluar pintu berdiri satu orang, yaitu Pin Jie. Dia ini agaknya menyesal yang selama beberapa lama tidak mengetahui si guru sekolah demikian lihay. Maka tanpa merasa, ia sampok kepalanya sendiri.

Berselang dua jam maka di dalam kamar terdengar tertawa yang nyaring dari loo-sancoe Kiong Thian Tan. Itulah bukti yang san-coe tua itu sudah sembuh. Maka habis mendengar itu, Pin Jie Iari keluar keruangan besar untuk memberi kabar kepada tuan mudanya.

Menyusul kaburnya si kacung, Jie In muncul untuk pulang kekamarnya sendiri. Disini ia duduk menjublek dikursi malasnya, agaknya ia berpikir keras.

Tidak lama gorden tersingkap, sebuah kepala orang nongol.

Hanya sebentar, kepala itu ngelepot lenyap.

“Ha, kunyuk kecil” berkata si guru sekolah. “Jikalau kau mau masuk, masuklah, jangan diluar saja dengan lagakmu sebagai setan! Awas nanti aku keset kulitmu!”

Pin Jie lantas muncul, ia lantas memberi hormat sehormat- hormatnya kepada si guru sekolah seraya ia berkata: “Sinshe, pandai sekali kau bersandiwara! Sungguh sinshe tega kepada Pin Jie tidak diberikann sesuatu yang ada harganya sebagai hadiah”

“Kunyuk cilik!” Jie In tertawa, “Beginilah lagakmu!” “Tetapi sinshe,” kata kacung itu, “Pin Jie belum pernah

mengabaikan kau…”

“Sudahlah!” kata guru sekolah itu. “Lain tahun aku akan datang pula, itu waktu kau pasti akan menerima sesuatu dari aku”

Belum sempat si kacung berkata apa-apa lagi, Leng Hoei telah datang masuk kedalam kamar Jie In, maka dia lantas mengundurkan diri, sedang si guru sekolah lantas mengajari sancoe muda itu caranya bagaimana harus memperbaiki kandungan, setelah mana ia membuatkan tiga macam resep, kemudian ia mengajari pula ilmu menotok bebas kepada ketiga orang tangkapan yang membokong sancoe tua.

Leng Hoei girang sekali, setelah mengerti semua, ia berlalu dengan cepat.

Besoknya pagi, Thian Tan bersama isterinya datang menemui Jie In untuk menghaturkan terima kasih mereka.

“Rupanya” berkata tuan rumah kemudian tertawa, “Ketika itu malam Hok San Jie Sioe datang, sinshe-lah yang telah menghindarkan aku dari mara bahaya!”

Guru sekolah itu tertawa, ia tidak menyahut.

“Jikalau aku tidak keliru menerka” kata pula Thian Tan tetap tertawa, “Kebinasaannya Ang Ban Thong bertiga tentulah perbuatan sinshe juga, sebab mereka itulah orang- orang liehay, lain orang tidak nanti demikian gampang dapat turun tangan atas diri mereka! Menurut anakku, sinshe sangat liehay, langka orang dengan kepandaian yang dimiliki sinshe”

Mendadak saja Jie In menatap tajam tuan rumahnya. “Benar, itulah perbuatanku yang rendah!” katanya, tertawa,

“Apakah loo-sancoe berniat membalaskan?”

“Jangan salah mengerti, sinshe!” kata tuan rumah itu, yang mengulapkan tangan dan tertawa manis, “Untuk kau, urusan bagaimana besar juga, aku bersedia bertanggungjawab! Aku hanya heran diantara sinshe dan mereka itu sebenarnya ada permusuhan apakah? Mungkinkah diantara sinshe dan Twie Hoen Poan ada sesuatu hubungannya?”

Ketika itu Leng Hoei pun muncul bersama isterinya, untuk menghaturkan terima kasih mereka.

Jie In tergerak hatinya mendengar pertanyaan tuan rumah yang tua itu, ia tertawa tetapi sedih tertawanya.

“Tentang hubunganku dengan Twie Hoen Poan Cia tayhiap, maaf tidak dapat aku menjelaskan sekarang ini!” sahutnya. “Asal sancoe sekalian suka berjanji akan tolong merahasiakannya, lain kali sancoe semua akan mengetahuinya”

Tuan tumah yang tua tertawa terbahak.

“Jie sinshe, kita kenal satu dengan lain sudah sekian lama, apakah sinshe masih tidak mempercayai Kiong Thian Tan?

Asal kau tidak menyuruhnya aku pun tidak nanti membocorkan rahasiamu ini. Apa yang aku hendak minta ialah sudikah kau menjadi sahabatku untuk selama-lamanya?”

Jie In menggoyang kepala.

“Aku masih terlalu muda, sebenarnya pantaslah kalau aku menjadi keponakan sancoe” berkata ia. Dengan menjadi ‘sahabat untuk selama-lamanya’ itu Thian Tan maksudkan pengangkatan saudara.

Thian Tan heran tetapi ia tertawa seraya bertepuk tangan. “Kau telah berusia empat puluh lebih, sinshe, mengapa kau

mengatakan usiamu masih terlalu muda?” ia bertanya.

Jie In pun tertawa, lalu dengan tangannya ia merabah. kebelakang telinganya, untuk menariknya, maka Iocotlah topengnya, hingga Thian Tan suami-isteri, juga Leng Hoei dan isterinya, melihat seorang muda yang tampan.

Leng Hoei terkejut tetapi ia maju menghampirkan. “Kau…kau..” katanya, seperti orang gugup, “Kau bukankah

si pelajar aneh yang menggemparkan Sungai Besar Selatan dan Utara?”

Dengan cepat Jie In mengenakan pula topengnya. Ia tertawa tanpa menjawab.

Thian Tan heran sebentar, lantas ia tertawa lagi. “Dengan begini mestilah kita menjadi saudara angkat!” katanya, suaranya tetap, “Biarlah aku membesarkan hatiku menyebut kau loo-teetay!”

“Loo sancoe” berkata Jie In, “Meskipun benar apa yang loo- sancoe katakana tetapi sepak terjang loo-sancoe ini akan menyulitkan kepada siauw sancoe! Aku lihat baiklah kita tetap seperti semula..”

“Kita tetap dengan kita, biarlah Leng Hoei memanggil apa yang ia suka!” kata tuan rumah yang tua itu, yang ngotot dengan keputusannya itu”

Jie In tidak membilang apa-apa, tetapi ia menimbulkan urusannya.

“Hari ini aku mau meminta diri untuk kembali ke Selatan” demikian katanya, “Lain tahun disaat loo-sancoe menggempo cucu, aku akan datang kemari untuk menggerecok secawan arak kegirangan Keluarga Kiong!”

“Loo-teetay,” berkata Thian Tan, „Kau hendak pulang ke Selatan, baiklah, kami tidak akan menahan kau, asal lain tahun kau pasti kembali ! Baiklah loo teetay ketahui, Hoan Pek san Chung kami ini ada seperti kepunyaan loo-teetay sendiri, jadi kapan kau sudi datang, kapan kau datang, dan kapan kau suka pergi, kapan kau boleh pergi!”

Sembari berkata, ketua Cian san Pay itu mengeluarkan sebuah leng-cian, yang ia serahkan pada si anak muda seraya ia menambahkan: “Inilah pertanda paling tinggi dan dimuliakan dari Partai kami, asal didalam wilayah Partai, dengan ini orang dapat lewat tanpa rintangan, serta kapan ada ditemukan orang-orang kami yang berbuat salah, loo- teetay dapat menggunai untuk menjalankan hukuman terhadapnya, guna membersihkan Partai kami dari anggauta- anggauta yang buruk” Jie In tidak berani terima leng-cian atau panah-titahan itu, tetapi Kiong Thian Tan mendesaknya, akhirnya ia menerima juga. Untuk itu ia menghaturkan terima kasih, karena dengan itu telah dibuktikan yang ia diberikan kepercayaan sangat besar.

Sampai disitu pertemuan mereka, Jie In segera berkemas, lantas ia berangkat turun gunung dengan tetap menggunai tandu seperti pada waktu datangnya.

Thian Tan dan Leng Hoei mengantar sampai dimulut gunung, berat mereka mesti berpisah dengan si guru sekolah penolong besar dari mereka, hingga mereka mesti menepas air mata.

XII

Hari itu salju putih turun beterbangan seperti bulu angsa, salju itu ditiup angin keras hingga bagaikan lagi menari.

Dibidang yang luas salju belaka yang tertampak. Hawa udara sebenarnya dingin akan tetapi di jalan besar Peng-ciu-too terlihat satu penunggang kuda lagi mengaburkan binatang tunggangannya dengan dia seperti mendekam di punggung kuda, dengan sebelah tangannya tak hentinya mengayun cambuknya hingga kabur tak perduli hidung dan embun- embunannya terus mengeluarkan uap putih. Dimana dia lewat, kuda itu meninggalkan tapaknya yang besar dan dalam.

Sesudah kabur setengah jam, penunggang kuda itu melihat samar-samar dusun kecil didepannya. Ia menghela napas lega, ia mengendorkan larinya kudanya. Ia menepuk-nepuk punggung binatang itu sambil berkata: “Mungkin hari ini kita tidak dapat tiba di San-im, maka baiklah didusun didepan itu aku memberikanmu ketika untuk beristirahat dan makan kenyang, besok baru kita melanjuti perjalanan kita ini.”

Kuda itu seperti mengerti perkataan majikannya, dia menggoyang-goyang kedua kupingnya, dia meringkik perlahan lalu dia menggeraki pula keempat kakinya untuk lari pula dengan keras.

Penunggang kuda itu ialah Jie In si guru sekolah atau In Gak kita, yang tetap menyamar sebagai seorang pelajar usia pertengahan. Sejak meninggalkan Hoan Pek San Chung, langsung dia menuju ke Charhar Utara, akan berdiam ditempat peternakannya Hui In Ciu Gouh Hong Piu, setelah tiga hari, ia melanjuti perjalanannya ke propinsi Shoasay, Hong Piu telah memberikan ia seekor kuda jempolan, ialah kuda yang ia tunggangi itu. Setelah melintasi Hoay-jin, ia memikir akan tiba di San-im, siapa tahu ia terhadang salju, ia kesasar, syukur ia bertemu serombongan saudagar yang menunjuki ia arah San-im. Tapi ia tetap terganggu benda putih yang dingin itu, hingga terpaksa ia mesti singgah di dusun di sebelah depan itu dimana cuma ada kira-kira lima puluh rumah. Ia berhenti di rumah yang ketiga, yang kebetulan losmen adanya, mereknya An Lie.

Pegawai hotel sudah lantas muncul, karena dia mendengar kelenengan kuda.

“Silahkan masuk, tuan, angin keras. !" dia menyambut.

Jie In menyerahkan kudanya seraya minta binatang itu dikasi makan, habis itu ia menyingkap gordrn untuk masuk kedalam rumah dimana ruangan dihangatkan tabunan kotoran-kotoran binatang, yang apinya berkobar-kobar. Diatas tabunan itu ada digantung teko besar dari tembaga, yang airnya melonjak-lonjak naik.

Tidak lama masuklahpelayan tadi maka Jie In minta arak dan nasi serta lauk-pauknya untuk ia dahar sendirian sambil menenggak arak perlahan-lahan. Ia memilih sebuah meja kosong. Ia memperhatikan setiap tetamu lainnya, yang umumnya terdiri kaum saudagar. Segera ia tertarik perhatiannya oleh seorang tetamu kurus, yang duduk mencil di pojokan, sebab dia terus mengawasi dua saudara diarah depannya.

Kedua saudagar itu dandan perlente, keduanya bicara asyik, meskipun perlahan suaranya sering-sering mereka tertawa. Mata mereka pun tajam, sikap mereka tawar ketika mereka memandang si kurus. Maka itu Jie In menduga orang mestinya orang Kang-ouw yang lagi menyamar.

“Mungkin bakal terjadi sesuatu,” Jie In berpikir pula. Kedua saudagar itu gembira sekali, dari bicara perlahan,

mereka omong keras dan nyaring juga tertawanya. Selagi begitu, gorden tersingkap angin menghembus masuk, dususul masuknya tiga orang, yang besar tubuhnya. Mereka ini lantas memandang kelilingan, hingga pandangan mereka tak lolos dari si kurus dan kedua saudagar itu. Mereka lantas menggebriki salju dipakaian mereka.

“Hawa udara dingin sekali, disini kita dapat minum untuk melawan hawa dingin itu!” kata satu diantaranya tertawa. “Mari!”

Dia bicara dengan lagu suara orang Hoo-lam. Dua kawannya itu tertawa.

Ketiganya lantas duduk didekat pintu.

Si kurus, yang tubuhnya kate, mengawasi ketiga orang itu, lantas dia tunduk, tangannya membeset bahpauwnya.

Mata Jie In melintas dari tiga orang baru itu kepada si kate- kurus, didalam

Hatinya, ia kata : „Mereka bertiga dan si kurus ini orang satu golongan, sengaja mereka berpura-pura tak kenal satu dengan lain. Mungkin bakal terjadi lelakon yang menarik hati..” Ketika ia memandang kedua saudagar, diam-diam ia menggeleng kepala. Dua orang itu seperti tidak merasakan sesuatu, tetap mereka berbicara dengan asyik. Jie In memperhatikan kedua saudagar, yang usianya masing-masing lebih kurang empat puluh tahun. Yang satu bermuka bundar, alisnya tebal, matanya jernih, jenggotnya pendek, tubuhnya ditutup baju kulit. Dia senantiasa bersenyum. Dan kawannya yang mukanya panjang, mempunyai kumis dan jenggot yang panjang yang terpecah tiga. Dia pun mengenakan baju kulit. Selalu dia mengawasi kawannya.

“Saudara Khoe,” berkata si muka bundar, setelah mereka bicara pula, “Dalam usaha pegadaian ada kata-kata terkenal, tiga tahun tidak berusaha, tiga tahun dapat hidup. Ketika dulu hari aku menjadi kuasa rumah gadai, majikanku menghargai aku, pendapatanku satu tahun, dapat dimakan untuk lima tahun. Thian memberkahi aku. Pada suatu hari kami kedatangan seorang yang mirip pemuda hartawan rudin, dia mau menggadaikan serenceng mutiara, untuk dua puluh ribu tail perak, untuk selamanya dia tidak mau menebusnya.

Majikanku menggoyang kepala. Aku lihat mutiara itu ada harganya, majikanku tetap menolak. Pemuda itu mengurangi harga satu perlimanya. Majikanku tetap menolak. Akhirnya aku kata kalau majikanku tidak mau membeli, biarlah aku yang membelinya. Majikanku setuju, maka jadilah aku yang membelinya. Setelah orang itu pergi, majikanku bilang harga mutiara itu terlalu murah, bahwa harga sebenarnya mungkin delapan puluh sampai seratus ribu tail perak, ia tidak mau membeli sebab mungkin asal-usulnya tidak jelas, bahwa mungkin itulah barang dari keratin, jadi dia takut. Dia kata padaku, karena aku berani membeli, mungkin malaikat bintang terang datang padaku. Ketika aku masuk ke kamarku, aku meneliti mutiara itu. Bagaimana girangku! Benar-benar mutiara itu berharga, apapula empat diantaranya, yang besar, yang harganya sudah sukar untuk dinilai”

Si muka panjang tertawa.

“Apakah yang kau dapatkan itu?” tanyanya. “Keempat butir itu berlainan satu dari lain, warnanya merah, ungu, biru dan putih masing-masing…”

“Saudara Lie kau belum menyebutkan khasiat atau kebaikannya…”

“Sabar, saudaraku,” kata si Lie tertawa lebar, “Mari aku beritahukan kau hal yang merah dulu. Itulah mutiara pemunah racun. Siapa keracunan, tak perduli lihaynya racun itu asal dia mengemu mutiara itu, dia sembuh seketika. Yang lainnya dapat menolong kita dari bahaya api, air dan pengaruh sesat. Itulah semua mutiara yang disebut Liong Kiang Su Po atau empat mustika raja naga. Syukur orang tak tahu aku memiliki mutiara mustika itu. “Ha..ha..ha..!”

Selagi orang itu, juga kawannya tertawa, Jie In mendengar satu suara perlahan: “Besok kamu bakal jadi mayat kaku, sekarang kamu masih tertawa riang..” Ia terperanjat, ia lantas memandang kearah darimana suara datang. Kata-kata itu diucapkan satu diantara tiga tetamu tadi.

Kedua orang itu juga dapat mendengarnya, sesaat mereka mengerutkan dahi, tetapi lekas gembira kembali, bahkan si muka bundar kata: “Saudara Khoe, maukah kau melihatnya? Nanti aku keluarkan..”

“Jangan!” kata si muka bundar, yang mengulapkan tangan, “Benda mestika mana dapat diperlihatkan ditempat terbuka? Biar, nanti saja aku melihatnya sesudah kita tiba ditempat tujuan..”

“Tempat apa…?” kata suara halus tadi tetapi tegas. “Tempat ini, Yoo Kee Cip, ialah tempat akhirmu..!”

Dua saudagar itu berbicara terus, mereka agaknya tidak mendapat dengar suara itu, yang mirip suara nyamuk. Jie In memperhatikan kedua pihak. Dengan lantas ia mengerti kedua saudagar itu mempunyai barang berharga, dan keempat orang, si kate kurus dan tiga yang baru datang itu, menguntitnya. Mungkin kedua saudagar liehay, empat orang itu tidak lantas turun tangan, mereka menantikan ketika dan mencari bantuan, dari itu Yo Kee Cip dijadikan tempat yang terpilih untuk turun tangan.

“Entah bagaimana liehaynya kedua saudagar ini maka mereka bernyali begini besar dan si penjahat menjadi jeri karenanya.” Jie In berpikir.

Justeru itu diluar terdengar ringkikan kuda. Kaget Jie In. Ia mengenali suara kudanya. Lantas saja ia berbangkit dan lari keluar. Baru ia menyingkap gorden, ia sudah melihat kudanya dikurung empat orang, yang satu lagi menarik tali lesnya.

Kuda itu seperti mengenali majikannya, dia tidak mau diseret pergi, dia meringkik seraya berjingkrakan.

Ketika itu salju sudah berhenti dan tinggal angin Barat daya yang masih bertiup terus, dan sang mega, yang melayang- layang, membuatnya cuaca mulai guram.

“Binatang!” membentak si pencuri kuda, yang menjadi panas hati karena bandelnya binatang itu. Dia mengangkat tangannya, hendak menyampok kuda itu atau mendadak angin bersiur kearahnya terus tangannya itu tak dapat turun, hingga dia menjadi kaget dan tercengang.

Jie In tiba tepat ketika kudanya hendak dihajar itu, tubuhnya mencelat dengan gerakannya “Leng Khong pou hie” atau “Tindakan kosong ditengah udara” terus tangannya menanggapi tangan si pencuri tanpa penjahat itu sempat melihatnya atau berkelit. “Kuda yang bagus, siapa yang melihat, siapa yang menyukainya!” ia kata sambil tertawa dingin.”Meski demikian, jikalau kau menyukai kuda ini, harus kau tanya dulu pemiliknya, dia suka menyerahkannya atau tidak! Mana dapat kau berlaku sebagai tikus pencuri makanan? Adakah perbuatanmu ini ajarannya orang tuamu yang tolol?”

Pencuri itu kaget dan malu, ia menyesali dirinya karena kurang awas dan kurang gesit, tetapi mendengar teguran itu, darahnya naik. Dia pun tertawa dingin dan kata dengan tajam: “Orang tuaku ialah leluhurmu! Orangtuamu ini, asal dia melihat barang yang disukai, dia lantas hendak mengulur tangannya!”

Belum berhenti suara itu tetapi toh mesti mesti berhenti sendiri. Satu gaplokan yang nyaring yang membuatnya itu. Si pencuri kuda kesakitan tanpa bisa menjerit, lantas mukanya menjadi bengap dan merah, bahkan beberapa buah giginya goyah! Baru belakangan separuh merintih dia sambil memegangi pipinya itu!

“Dan orangtuamu paling gemar menggaplok orang!” kata Jie In tertawa. “Asal aku melihat sesuatu yang tak cocok dengan hatiku, lantas ingin aku turun tangan! Benar demikian bukan?”

Pencuri kuda bukan cuma bengap mukanya dan sakit rasanya itu, juga matanya berkunang-kunang, sesaat kemudian barulah dia menjadi sangat murka, maka sambil berteriak dia menghunus goloknya, untuk menyerang.

“Kau cari mampus?” kata Jie In dengan seraya dia mengajukan tangannya, untuk menanggapi tangan si penyerang di bagian nadi. Penyerang itu menjadi kaget, percuma dia mau mengelakkan tangannya, dalam sedetik itu juga goloknya telah kena dicekal, dan ketika tangan kiri si pemilik kuda membarengi, tubuhnya terpental tinggi, jatuh terbanting didepan pintu losmen, hingga tubuhnya melesak diantara salju.

Jie In tidak berhenti sampai disitu, dengan mengerahkan tenaganya, ia membikin golok si pencuri menjadi patah beberapa potong, terus patahan itu ia lemparkan, kemudia ia mengawasi ketiga penjahat lainnya sambil ia bersenyum berseri-seri.

Tiga orang itu mendongkol, berbareng jeri hatinya karena mereka telah menyaksikan liehaynya si pemilik kuda.

Sebenarnya tadi mereka hendak mencegah kawan mereka mencuri kuda itu, tetapi sebelum sempat mereka mencegah Jie In sudah keluar dan turun tangan. Lantas yang satu kata dengan dingin:

“Benar kawanku salah akan tetapi dia tidak melukai kudamu, mengapa kau melukai dia? Hari ini kami mempunyai urusan, urusan ini baik dicatat saja sampai lain waktu! Baiklah kami memberi batas tempo dua hari untuk hidupmu !”

Jie In gusar mendengar kata-kata galak itu.

“Kamu yang bersalah, kamu masih berani banyak tingkah?” katanya dalam hati. Maka ia lantas mengibas kepada tiga orang itu, atas mana mereka itu lantas terpelanting roboh jauhnya beberpa tombak. Tanpa memperhatikan lagi pada mereka, ia menuntun balik kudanya.

Apa yang kejadian itu membikin heran dan kagum beberapa orang lain, antaranya rombongan tiga orang lainnya serta kedua saudagar yang pakaiannya perlente itu, sebab ketika mereka mendengar ringkikan kuda serta larinya Jie In keluar, mereka lantas lari keluar juga untuk menyaksikan karena mereka percaya mesti terjadi sesuatu yang menarik hati untuk ditonton. Benarlah dugaan mereka, hanya kesudahannya itu diluar dugaannya.

Satu diantara yang tiga itu kata perlahan pada kawan- kawannya: “Kenapa si kunyuk kumat penyakitnya? Dia tengah bertugas, kenapa dia menimbulkan gara-gara?”

Kedua saudagar itu tidak berkata-kata, mereka cuma saling mengawasi saking herannya.

Si pencuri kuda pingsan karena terbanting itu, ketika dia mendusin, dia mengawasi tiga kawan, yang berdiri didepannya, yang memandangnya dengan sorot mata gusar. Dia hendak mengatakan sesuatu, ketika seorang meninju dadanya hingga dia terguling pula.

Jie In lewat disamping ketiga orang itu, ia tidak membilang apa-apa, Cuma dari hidungnya terdengar suara : “Hm!”

Kedua saudagar itu turut masuk, untuk mendapatkan Jie In lagi bersantap. Mereka saling pandang dan saling tertawa pula, terus mereka pun kembali ke meja mereka.

Masih ada tetamu lainnya, rata-rata mereka mengawasi dengan keheranan pada si pelajar usia pertengahan itu.

Sedang diluar, masih ramai suaranya kawan-kawannya si pencuri kuda, yang masih memarahi kawannya yang bertangan panjang itu.

Api tabunan berkobar terus, kadang-kadang terdengar suara mereteknya.

Tak lama masuk pula tiga orang tadi. Untuk sekelebatan, mereka memandang bergantian kepada Jie In dan si kedua saudagar. Kedua saudagar itu berlaku tenang, tapi mereka agaknya dapat menerka tentulah mereka bertiga lagi menduga-duga Jie In itu kawannya atau bukan. Si kate kurus, yang tadi keluar, tidak masuk pula, maka dapatlah diduga, dia tentu pergi untuk mencari bala bantuan.

Jie In dahar dengan lahapnya, ia masih meminta daging lagi. Diam-diam ia memperhatikan si kate kurus, yang tetap tak muncul, maka kemudian ia ngoceh sendiri:

“Sahabat yang baik, kau menanti aku menunggu, kau menghitung aku menghitung juga! Rupanya tak menanti terang tanah, hanya diwaktu malam, kamu hendak turun tangan ! Benarkah ? Apakah kamu menyangka aku tidak bakal mengulurkan tanganku? Baiklah! Mala mini tentu tidak ada yang akan masuk tidur..!”

Kedua saudagar itu heran, mereka mendongkol tetapi setelah mereka berpikir sejenak, diam-diam girang hati mereka.

Mereka menduga orang tentu bakal membantui mereka. Maka itu, kalau tadinya mereka rada berkuatir, sekarang hati mereka lega betul-betul.

Jie In masih terus ngoceh sendirian dengan suara tak tandas.

Ketiga orang itu, kawan penjahat, menjadi heran. Mereka pun dengar suaranya Jie In dan dapat menerka maksudnya kata-kata yang samar-samar itu. Memang tadi, selagi mau masuk kedalam, mereka telah memberi tanda dengan tangan mereka kepada si kate kurus yang terus tidak muncul lagi itu. Mereka heran kenapa Jie In dapat membade maksud mereka. Mereka mau turun tangan malam itu sebab mereka tahu, kalau mereka menanti besok sesudah memasuki kota Gan bun-kwan, sulit usaha mereka. Gan bun-kwan masuk wilayah Ceng Hong Pay dan mereka curiga Ceng Hong Pay nanti turun tangan juga, kalau mereka didului, pasti rugilah mereka.

Mereka pun tahu baik, kedua saudagar itu licin sekali, semenjak dari kotaraja mereka menguntit, saban-saban dua orang itu dapat meloloskan diri. Mereka tidak takut kepada kedua saudagar tapi mereka jeri terhadap si pelajar usia pertengahan itu, yang kepandaiannya mereka telah saksikan sendiri.

Lewat lagi sekian lama, para tetamu mulai bubaran. Ada yang masuk tidur, ada yang pulang kerumahnya. Akhirnya tinggal tiga orang itu, si saudagar dan Jie In. Seorang pelayan menghampirkan Jie In, menanya kalau-kalau tetamu ini mau masuk tidur.

“Kau tidak tahu, sahabat, sekarang ini pikiranku lagi ruwet!” kata Jie In bersenyum. “Maka itu, meski aku ingin tidur, tidak nanti aku tidur pulas. Baik kau membawakan aku arak dan sayurannya, sebentar mungkin aku gembira dan membuka pertunjukan sulap, umpama bagaimana mempermainkan kunyuk atau rase! Sebentar kau boleh membuka matamu!”

Pelayan itu menyahuti “Ya” tapi ia heran. Ia heran karena sudah malam tetamunya masih mau main sulap.

Tiga penjahat itu kaget dalam hati. Kebetulan sekali Jie In menggedor hati mereka. Mereka justru Chin Pak Sam Ho, atau tiga rase dari Shoasay Utara, ialah Thong Thian Ho Cu Kwie, Bu Eng Ho Khouw Kiat dan Bong Tok Ho Teng Giok Hay.

Justru suasana sunyi itu, di kejauhan terdengar siulan yang nyaring dan panjang.

Jie In mengangkat kepalanya, ia tertawa dan berkata sendirian:

“Nah temponya telah sampai! San tuan telah tiba! Kenapa kamu berdiam saja? Aku telah menanti sekian lama! Bukankah bakal ada pertunjukan yang menarik hati? Kenapa kamu sengaja membuat aku menanti sia-sia belaka?”

Jie In orang Selatan, sekarang ia mengasi dengar logat suara orang Utara, suaranya jadi kaku, janggal didengarnya. Hati Chin Pak Sam Ho berdebar, lantas mereka bangun berdiri, kepada Jie In mereka mendelik, terus mereka pergi kabur.

Kedua saudagar itu lantas berbangkit setelah mereka mendengar siulan itu. Untuk sejenak, mereka nampak sungguh-sungguh, tak lagi acuh tak acuh seperti tadi.

Sebelum mereka berbuat apa-apa, dari luar mereka dengar suara nyaring ini:

“Khu Lin! Lie Siauw Leng! Ketua kami sudah tiba, silahkan kamu keluar untuk berbicara!”

Suara itu keras dan panjang.

Khu Lin dan Lie Siauw Leng, kedua saudagar itu, mengasi dengar suara tertawa mereka yang dingin, lantas keduanya lompat kearah pintu, lebih dulu keduanya menyerang gorden, lantas menyusuli terpentangnya kain itu, keduanya lompat keluar.

Jie In kagum menyaksikan gerak-geriknya dua orang itu.

Mereka tabah hatinya dan berpengalaman.

Khu lin dan Lie Siauw Leng menduga tepat. Ketika gorden terpentang, mereka mendengar suara senjata rahasia, yang mengenai gorden, setelah itu, buru-buru mereka lompat keluar. Kembali mereka tertawa.

Jie In menyusul. Ia menduga, dua saudagar ini mesti menghadapi lawan berat. Benar saja, diluar, antara tanah bersalju, tertampak rombongan dari puluhan orang, yang seperti telah mengurung Hotel Lie An.

Kedua saudagar, dengan pedang ditangan, mengawasi sekalian musuhnya.

Diantara rombongan itu tertampak seorang tua yang romannya bengis sekali, matanya bersinar tajam, tubuhnya tinggi delapan kaki, dia nampak berdiri tegar seperti menara besi. Menghadapi kedua saudagar, dia tertawa dengan lagu suaranya tidak enak, kemudian dia membentak:

“Kedua sahabat, berlakulah tahu diri sedikit! Lekas kamu serahkan ho-siu ouw serta Liong Kiong Su Po yang kamu bawa itu! Ketahui oleh kamu, aku si orang tua masih hendak berbuat baik kepada kamu! Jangan kamu terlalu andalkan pelajarannya Thian Tie Tiauw Siu yang menjadi gurumu itu!

Aku si orang tua, Leng-koan Kie Sat Ang Tiang Ceng, aku tidak memandang mata kepada gurumu itu! Lihat saja, kamu dapat lolos dari sini atau tidak?”

“Hm, bangsat tua!” Lie Siauw Leng mendamprat, “Kau jangan memikir yang tidak-tidak! Benda yang lain orang dengan susah payah mendapatkannya, mana dapat itu dengan gampang saja diserahkan kepada kamu? Baiklah, jangan kita membuang-buang tempo, mari kita mengandalkan kepandaian masing-masing! Apa maumu? Maju satu lawan satu atau kau hendak main keroyok?”

Sementara itu Ang Tiang Ceng heran menyaksikan Jie In berdiri di belakang dua saudagar itu, terpisahnya hampir lima tombak, hatinya bekerja: Turut katanya Siu long Touw Hoan, pelajar ini liehay tenaga dalamnya, dengan sekali bergerak saja dia dapat melemparkan Empat tikus tetapi aku tidak melihat tanda-tanda dari keliehayannya itu..Apa mungkin aku keliru? Karena ini, ia berlambat menjawab tantangan.

Maka Chin Pak Sam Ho yang berdiri di belakangnya, lantas lompat maju lalu satu diantaranya, yaitu Bu-eng Ho Khouw Kiat, kata sembari tertawa mengejek:

“Sahabat-sahabat, janganlah kamu tidak minum arak pemberian selamat, sebaliknya menenggak arak dendaan! Untuk kamu kami datang tanpa menghiraukan perjalanan jauh beribu lie! Untuk apakah? Maka kamu keluarkanlah dua barang kamu itu, urusan beres, jikalau tidak, kami dari Hek liong Pay, kami tidak mau mengerti! Penolakan kami berarti dusun Yo Kee Cip ini tempat pekuburan kamu!”

Khu Lin tertawa dingin.

“Memang aku telah melihatnya, kamu bukan orang yang dipelihara orang!” katanya, menghina. “Untuk urusan mala mini, tak usah kamu menggunai lidah kamu!”

Kata-kata itu disusuli serangan kepada Bu-eng Ho Khouw Kiat si Rase Tanpa Bayangan, yang ditikam pinggangnya.

Khouw Kiat mendapatkan julukannya itu disebabkan kegesitannya tetapi tikaman Khu Lin membuatnya kaget, dalam gugup dia menjejak tanah, untuk berlompat tinggi. Syukur untuknya, pedang lewat di bawahan kakinya. Tapi lawan tidak berhenti sampai disitu, dia ditikam pula, terus sampai tiga kali, megarah tiga jalan darahnya: kiu-bwee, ngo- kie dan ciang-bun. Baru dia bebas, atau tikaman yang keempat sudah menyusul lagi. Syukur dia lantas dapat membalas menyerang, hingga dia tak usah terdesak lebih jauh.

Pedang Khu Lin kalah berat, ketika bentrok, pedang itu mental.Senjatanya Khouw Kiat semacam tempuling long-gi- cie, yang panjang dua kaki lebih. Habis menyerang yang mana dapat digagalkan Khu Lin, dalam murkanya, dia terus menyerang dengan senjata rahasia, yang berupa besi cagak, yang jumlahnya dua belas buah.

Si Saudagar terancam bahaya. Karena mereka terpisahnya dekat, ia seperti dibokong. Disaat berbahaya itu, mendadak ia mendengar seruan di belakangnya, lantas terasa tubuhnya ditarik mundur. Ia pun masih mendengar sambaran angin, yang membikin senjata rahasia itu runtuh sendirinya, jatuh ke tanah. Orang yang menolongi itu ialah Jie In, tidak bekerja kepalang tanggung. Ia melesat kepada Bu Eng Ho, tangannya diluncurkan. Sebelum si Rase Tanpa Bayangan tahu apa-apa, tangannya sudah kena ditangkap, cuma telinganya mendengar tertawa mengejek disusuli kata-kata ini: “Mala mini tidak dapat kamu menggunai senjata rahasia, atau Yo Kee Cip ini akan menjadi tempat runtuhnya kamu kaum Hek Liong Pay.” Kata- kata itu ditutup dengan samparan, sehingga Khouw Kiat terpelanting lima tombak lebih.

Kie Leng sat Sin menyaksikan bagaimana orangnya dihalang-halangi dan dirobohkan, dia heran sekali. Dialah satu ahli tetapi dia tidak dapat mengenali si pelajar menggunai ilmu silat dari partai mana. Dia pun lantas mengerti, kalau tetap pihaknya dirintangi, maksudnya pasti tak akan tercapai.

Mendadak dia mendapat ingatan busuk. Ialah selagi Khu Lin terbengong dan Lie Siauw Leng keheran-heranan, ia berlompat maju, kelima tangannya yang besar, diulur kepada kedua saudagar itu untuk dicekuk.

Kedua saudagar itu kaget, dengan berbareng mereka menangkis dengan pedang mereka, tetapi hebat jago Hek Liong Pay itu, jago kawanan Naga Hitam, pedang mereka kena disampok patah, menyusul mana, serangannya dilanjuti.

Jie In melihat kedua saudagar terancam, ia mau menolongi.

Kedua rase lainnya melihat ketuanya bakal berhasil, mereka maju untuk mencegah si pelajar. Tindakan mereka ini disusul oleh mepat kawannya yang lain.

Melihat orang berlaku curang demikian, Jie In jadi gusar. Untuk menghalau perintang-perintang itu, sembari berlompat ia menyambut dengan tangan kiri dengan satu jurus dari Bie Lek Sin Kang. Tepat tangkisannya, ia membikin enam musuh itu terpental mundur, hingga dengan tangan kanannya, dapat ia bertindak terus terhadap Ang Tiang Ceng, lima jeriji tangannya dipakai menjambak pundak.

Ang Tiang Ceng kaget sekali. Ia merasakan pundaknya itu terjepit jeriji-jeriji tangan yang keras, hingga matanya kegelapan, batal menyerang kedua saudagar, ia menyampok ke belakang, sedang kakinya menjejak untuk berlompat ke depan.

Jie In tertawa, tangannya dilepaskan, maka itu Tiang Ceng terpental hanya dua tombak. Kepala Hek Liong Pay ini dapat memberatkan tubuhnya, hingga dia tak usah mental jatuh.

Khu Lin dan Siauw Leng tidak bebas seluruhnya. Karena Jie In dirintangi enam orang, ia terlambat. Maka itu leher mereka kena juga terlukakan sedikit hingga darahnya bercucuran.

Tanpa pertolongan itu, benar seperti katanyaTiga Rase dari Shoasay Utara, Yo Kee Cip bakal jadi tempat dimana mereka dikubur, sebab tangannya Kie Leng Sat Sin sangat berbahaya.

Ang Tiang Ceng segera membalik tubuhnya, matanya mengawasi Jie In. Ia mendapatkan mata musuh ini sangat tajam, ia heran menyaksikan tujuh orangnya roboh dalam sekejap. Ia mengerti, ia lagi menghadapi musuh yang tidak dapat dipandang enteng.

Ketika itu angin Utara menderu-deru, menyapu mega hitam, maka langit menjadi terang, sang bulan yang tampak indah diatas langit. Jagat tampak putih, segala apa tampak tegas. Demikian tertampak orang-orang Hek Liong Pay ditempatnya masing-masing. Diatas salju, diatas wuwungan, diatas payon hotel.

Ang Tiang Ceng mengawasi orang-orangnya, ia merasa puas. Hanya sedetik kemudian ia agaknya masgul. Inilah sebab ia ingat liehaynya si pelajar usia pertengahan itu, yang tidak dikenalnya.

Jie In sebaliknya memasang matanya. Ia tidak mau bertindak sembarangan. Begitulah, ia melihat lima orang, yang baru muncul dari ujung salju yang jauh, yang lari menghampirkan Ang Tiang Ceng, untuk berhenti di depan ketua Hek Liong Pay itu.

Aneh semua kelima orang ini. Mereka semua keriputan mukanya, baju yang mereka pakai ialah baju panjang warna abu-abu, yang besar gerombongan hingga memain tak hentinya diantara sampokannya angin. Mereka mirip dengan Kie Leng Sat Sin. Alis mereka lanang, hidung mereka melesak, kulit muka mereka seperti tidak ada darahnya. Di antara kedua bibirnya terlihat gigi tonggos putih seperti caling. Di saat demikian, memandangi roman mereka, orang dapat menggigil bahna seramnya.

Ang Tiang Ceng tertawa lebar dan berkata dengan nyaring: “Sungguh aku tidak sangka juga, Liong-bun Kun Tiong telah tertarik hatinya! Benar-benar inilah diluar dugaanku!”

“Kiranya mereka bersaudara, pantas romannya mirip semua,” kata Jie In di dalam hatinya. Liong-bun Kun Tiong itu berarti persaudaraan dari Liong-bun.

Kelima orang baru itu dengan serentak mengasi dengar suara mereka yang dingin, “Ang Tong-kee! Di dalam hal ini, tindakanmu kurang tepat! Barang-barang ada demikian langka dan berharga, maka untuk kau memikirnya menelan sendiri, itulah tidak dapat!”

Kedua matanya Kie Leng Sat Sin bersinar menyala, kembali dia tertawa dan berkata, “Wilayah Shoasay Utara ini ialah wilayah pengaruh kami kaum Hek Liong Pay, maka itu apa yang aku orang she Ang suka lakukan, aku melakukannya! Tapi kamu…hm!..kamu hendak turun tangan didalam air keruh, kamu ingin mendapatkan barang yang tersedia, sungguh itu bukanlah soal yang mudah dan enak untuk kamu! Barang berharga luar biasa itu berada didalam tangannya itu tiga orang di hadapanmu, jikalau kamu hendak  mengambilnya, kamu ambillah! Tapi harus diketahui oleh kamu, mereka bertiga adalah tangan-tangan yang keras, maka aku duga, baru kamu berlima, tidak gampang-gampang kamu berhasil!”

Suara yang tajam tadi lantas terdengar pula; “Kami lima saudara dari Liong-bun, asal kami mau turun tangan, walau pun orang sudah lari ke neraka, masih dapat kami membetotnya kembali! Biasanya tidak ada apa juga yang kami tidak dapat mengurusnya! Jikalau kau hendak meminjam golok lain orang untuk melakukan pembunuhan, bicara terus terang, artinya kau hendak menggunai tenaga kami, oh itulah tak dapat terjadi walaupun kau lagi bermimpi!”

Ang Tiang Ceng tertawa dingin pula: “Jangan kamu mengira yang manusia Liong-bun Ngo Koay sudah mengagetkan langit dan mengejutkan bumi!” katanya. “Omong terus terang. apakah kamu dapat membikin orang hanya terperanjat? Hm?”

Ang Tiang Ceng berlaku cerdik, ia lagi mengebor untuk membikin panas hatinya lima saudara Liong-bun itu yang dijulukkan Liong-bun Ngo Koay atau Lima Siluman dari Liong- bun. Ia tahu kegagahan mereka berimbang sama kegagahannya sendiri, maka biarlah mereka itu yang menempur lebih dulu pada orang aneh di depannya ini. Ia sendiri memang ragu-ragu dapat mengalahkan Jie In, maka kebetulan sekali datang lima orang ini. Ia telah memikir selagi Jie In dilibat Liong-bun Ngo Koay, hendak ia menyerbu Khu Lin dan Lie Siauw Leng. Ia hanya tidak memikir lebih jauh kepada pepatah yang membilang, sang cengcorang hendak menangkap sang tonggeret ada si burung gereja! Barang- barangnya kedua saudagar itu telah menyebabkan berkumpulnya orang-orang Kang-ouw kalangan Jalan Hitam di dusun Yo Kee Cip itu.

Liong-bun Ngo Koay bukannya tidak dapat menangkap maksud hatinya Ang Tiang Ceng itu hanya mereka memikir baik mereka merampas dulu barang berharga, baru mereka melayani ketua Hek Liong Pay itu.

Ketika itu Khu Lin dan Lie Siauw Leng sudah membalut luka di leher mereka. Syukur luka itu tidak membahayakan. Karena pedang mereka sudah patah dan berserakan di tanah bersalju, terpaksa dengan tangan kosong mereka berdiri di samping Jie In. Selagi menghampirkan, mereka mengangkat tangan memberi hormat.

Jie In memandang mereka, ia tertawa dan berkata: “Apakah luka tuan-tuan berdua tidak berbahaya? Jangan kuatir, peristiwa malam ini pastilah tidak ada bahayanya, cuma mengejutkan! Tuan-tuan baiklah berdiri di pinggiran untuk menonton saja!”

“Terima kasih!” berkata kedua saudagar itu. Memang luka mereka tidak berarti akan tetapi sekarang hati mereka tidak tenteram. Di depan sana ada musuh-musuh yang tangguh. Mereka harus mendengar si pelajar mengatakan, bahaya tidak ada, yang ada cuma hal yang mengejutkan.

Liong-bun Ngo Koay itu galak sekali. Dengan tindakan lebar, mereka maju hingga di depan Jie In dan kedua saudagar itu.

Jie In berlaku sangat tabah, tenang sekali sikapnya. Ia berdiri sambil menggendong tangan, ia memalingkan mukanya dan berkata sambil tertawa kepada kedua saudagar itu: “Saudara-saudara, tahukah kamu mala mini malam pesta besar? Inilah malam yang sukar didapatkannya! Kecuali Hek Liong Pay dan Liong-bun Ngo Koay, masih ada orang-orang lainnya yang datang hadir!”

Suara itu tidak nyaring tetapi terdengar nyata dan terdengarnya jauh hingga ke tegalan di sekitarnya.

Liong-bun Ngo Koay heran, mereka lantas berpaling.

Benarlah, mereka melihat munculnya beberapa puluh bayangan lain, yang dengan lekas sudah datang dekat mereka. Mau atau tidak mereka begitu pun Ang Tiang Ceng berubah air mukanya. Orang-orang yang baru datang itu tinggi-kate dan gemuk-kurus tubuhnya masing-masing.

“Baiklah kita nerobos pergi!” kata kedua saudagar pada Jie In. Mereka bicara perlahan sekali, hati mereka berdebaran.

Jie In menggeleng kepala, dia tertawa.

“Meski kawanan bangsat ini besar jumlahnya, buat tempo sejenak tidak nanti mereka dapat mengganggu kita,” katanya tenang. “Baiklah kita menonton mereka itu saling bentrok sendiri! Jikalau kita menyingkir, itu justeru bakal mendatangkan bahaya…”

Dua saudagar itu bingung, mereka menghela napas.

Di sana lantas terdengar suara berisik. Itulah disebabkan mereka itu berebut omong. Akhirnya Ang Tiang Ceng tertawa berkakak dan berkata dengan suara nyaring: “Barang mestikanya cuma dua rupa, tetapi sekarang ini rekan-rekan yang datang, berikut kami dari pihak Hek Liong Pay, berjumlah tak kurang dari seratus lebih orang, maka itu ingin aku menanyai kamu, kalau nanti kita berhasil, bagaimana kita membaginya?”

Seorang yang suaranya nyaring berkata: “Setelah barang didapat, kita lantas mengadakan satu pertemuan mengadu kepandaian, siapa yang keluar sebagai pemenang nomor satu, mestika itu menjadi kepunyaannya! Sekarang ini percuma kita saling berebutan terlebih dulu, itulah angin busuk belaka!”

“Tuan, pikiran kau ini bagus sekali!” kata Ang Tiang Ceng, mengejek. “Sekarang aku hendak menanya, sebelum kita mengadu kepandaian, mustika itu hendak dititipkan kepada siapa?”

Tepat pertanyaan ini. Semua orang lantas bungkam, hingga redalah suasana kacau itu. Justeru itu dari wuwungan losmen terdengar suara nyaring ini: ”Jikalau itu dititipkan pada aku si orang tua, bukankah tepat?”

Kata-kata itu segera disusul dengan lompat turunnya tiga bayangan orang, selagi yang lainnya masih mengawasi. Jie In telah lantas mengenali siapa mereka itu, ialah Ay Hong Sok Kheng Hong bersama Hek Molek Kiang Yauw Cong dan Thian Hong kiam Tonghong Giok Kun.

Mendapatkan mereka ini, pemuda ini mengerutkan alis, ia jadi ingat kepada Kang Yauw Hong, Bagaimana dengan Nona Kang di Ngo Bie San di tempatnya Ban In Su-thay? ia pun merasa sulit, Tidak dapat ia segera memperkenalkan diri kepada mereka itu.

Sesudah Kheng Hong bertiga datang mendekat, maka berisik pulalah rombongan penjahat itu, segera terdengar satu suara nyaring: "Lihat, apakah kedua orang itu bukannya dua bocah dari Ngo Bie Pay? Susah-susah mereka dicari, siapa sangka mereka justru mengantarkan diri mereka Hahaha" orang itu tertawa bergelak, habis mana, teriihatlah majunya dua orang dengan senjata terhunus.

"Mundur" berseru seorang dari Liong-bun Ngo Koay, yang mengibaskan sebelah tangannya. Hebat kibasan itu, kedua orang tadi mundur terpelanting satu tombak jauhnya hingga muka mereka menjadi pucat. "Kalau kalian mempunyai sangkutan, pergi kalian cari lain tempat di mana kalian dapat membuat perhitungan" berkata anggota Liong-bun Ngo Koay itu. "Malam ini kami lima bersaudara hendak bekerja, kami larang siapa pun campur tangan, jangan orang mengharap mengail Ikan diair keruh"

Diantara kedua orang itu, yang satu berkata keras: "Lao-su dari Keluarga Jim, jangan kau bertingkah Nanti kau akan menerima pembalasan Apakah kau kira pihak sana itu makanan yang empuk? Hm"

"Hm" bersuara pula kelima Siluman dari Liong-bun, Mereka tidak menggubrisnya, sebalik-nya, mereka mengawasi Khu Lin dan Lie siauw Leng sambil memperdengarkan tertawa mereka yang aneh.

Liong bun Ngo Koay baru muncul belasan tahun yang lalu, setiap keluar mereka tentu berlima. Mereka sama-sama telengas, kalau mereka turun tangan. tidak pernah mereka meninggalkan orang yang masih hidup,

Kalau satu diantaranya tak dapat melayani musuh, mereka lantas meluruk berlima sampai sebegitu jauh belum ada orang yang dapat lolos dari ilmu silat bersatu padu dari mereka, yang diberi nama Hong-in sip-pat Ciang, atau Delapan belas Tangan Bencana, itulah yang menyebabkan nama mereka tersohor dan disegani.

Daerah pengaruh mereka ialah daerah Hoo-lok. Mereka lima saudara, she mereka ialah Jim, dan nama mereka menuruti urutan Liong, Houw, Pa, Him dan Hong, atau naga, harimau, macan tutul, biruang dan burung hong, Merekalah murid- muridnya sam Cian Mo Kun dari gunung Kauw Louw san di propinsi Kwiesay.

Segera terdengar tertawanya Jim Him, yang terus berkata dengan dingini "Tuan-tuan, kafau kalian suka berjanji kedua mustika itu dibagi masing-masing separuh kepada kami, suka kami membantu kaliaa, membantu dari awal hingga diakhirnya dan kami menjamin keselamatan kalian sebaliknya, terserah kepada kalian kalian adalah orang-orang yang mengerti selatan, kalian pasti dapat mempertimbangkan dengan baik"

Dari samping kedua saudagar she Khu dan she Lie itu terdengar tertawa bergelak dan kata-kata nyaring: "Sunggun aneh, Liong-bun Ngo Koay dapat mengucapkan kata-kata manis seperti ini" itulah suaranya Ay Hong sok Kheng Hong, yang telah menempatkan diri di dekat kedua saudagar itu.

"Anjing tua, siapa kau?"Jim Liong membentak "siapa menghendaki kau ikut campur urusan."

suara itu keras dan tajam. Kheng Hong tertawa bergolak pula.

"Namaku si orang tua ialah Kheng Hong" sahutnya, " kalian tentu sudah pernah mendengar-nya Ketika aku si orang tua mulai muncul dalam dunia Kang-ouw, kalian masih berada dalam kandungku anjing, maka sampai sekarang ini kalian masih belum dapat bicara seperti manusia"

Jim Liong murka bukan buatan, dia lantas mengenjot tubuhnya melompat jauh, untuk dengan sebelah tangannya menghajar orang yang menghinanya. Bukan main sebalnya gerakannya itu.

Ay Hong sok menyambut dengan tertawa bergolaknya, Kedua pundaknya lantas bergerak. Belum lagi Jim Liong tiba, ia sudah mencelat mundur satu tombak. Dia mengawasi dengan mata dibikin kecil, dengan roman jenaka ia berkata: " Kabarnya kalian lima siluman biasanya menerjang bersama, kalian pun rada bersifat iblis, maka karena sekarang kau maju sendiri, aku si orang tua bukanlah tandinganmu. Kau harus mengetahui sekalipun si siluman aneh Sam Cian, mereka masih lebih muda dua tingkat dari aku" Kelima siluman itu mendongkol bukan main, Di muka umum itu, mereka sangat dihina, Benar Kheng Hong berguyon, toh mereka merasa terejek, Maka empat siluman lainnya lantas maju, hingga mereka jadi berdiri berbaris dengan saudara tua mereka, lalu bersama-sama, dengan saling susul, mereka menyerang, hingga serangan mereka itu mendatangkan desiran angin yang keras.

Biasanya, siapa tenaga dalamnya belum mahir, terkena serangan anginnya saja dia dapat mati karena keluarnya darah dari mulut, hidung, mata dan lainnya lagi.

Ay Hong sok mengenali serangan itu, ia tidak takut. ia mengandalkan pada tenaga Ngo Heng ciang kepunyaannya sendiri, siapa tahu, hebat adalah Hong-in sip-pat CiaNg dari kelima siluman dari Liong-bun itu, ketika ia merasa dirinya mulai terkurung, ia mengerahkan tenaganya untuk bertahan. ia bergerak ke arah barat, guna meloloskan diri

Di sana pun ada tenaga yang mendesaknya balik Tapi ia tidak takut, ia mengerahkan pula tenaganya, untuk mendesak pada Jim Liong dan Jim pa, hingga mereka berdua mundur dua tindak. Akan tetapi, ia berhasil di sini, di sana datang desakan lain, dari Jim Houw dan Jim Him.

Kembali ia melawan, justru itu, dari belakangnya, datang desakan yang lainnya lagi, Karena itu, ia tidak berpikir lagi untuk menyerang, ia hanya berpikir untuk membela diri, Kembali ia mengerahkan tenaga dalamnya, yang telah ia latih selama dua puluh tahun, dengan itu ia melayani musuh- musuhaya yang tangguh itu. syukur ia lihay, kalau tidak, cepat juga ia akan kena dirobohkan.

Selagi kelima siluman itu menempur Kheng Hong, di pihak lain juga sudah mulai mau bergerak.

Ang Tiang Ceng melihat Liong-bun Ngo Koay ngotot melawan Ay Hong sok. Ia percaya mereka berlima tidak dapat memecah perhatian, maka sambil tertawa riang ia berkata: "Tuan-tuan Kita orang datang ke mari untuk kedua rupa mustika itu, oleh karena itu sudah selayaknya kita bekerja sama Kita ini, bergabung kita beruntung, bercerai kita gagal. Maka tindakan utama dari kita sekarang ialah lebih dulu membereskan itu lima orang lagi di pihak sana , setelah kita berhasil dan mendapatkan mustika mereka, baru kita berunding bagaimana harus mengatur pembagiannya tentang ho-siu-ouw, dapat kita membaginya dengan memotongnya, sedang mustika lainnya, aku pikir baiklah kita menggunakan cara undian, Bagaimana tuan-tuan?"

"Bagus" banyak suara menyatakan setuju, karena tampaknya tidak ada cara lain yang lebih baik dari itu, Bahkan lima orang lantas melompat ke arah Khu Lin berlima.

Tonghong Giok Kun dan Kiang Yauw Cong tertawa menyaksikan lagak kelima orang itu, mereka lantas maju untuk mencegat, tetapi karena mereka hanya berdua saja, ada yang lainnya yang maju terus kepada Khu Lin, Lie siauw Leng dan Jie In bertiga.

Ketika itu Jie In tengah berpikir la sendiri, ia tak takuti apa pun juga, akan tetapi untuk melindungi kelima orang itu, rada sulit. Pihak lawan terdiri dari orang-orang ternama, ia juga tidak mau menggunakan Bie Lek sin Kang atau Hian Wan sip- pat ciang, karena ia takut dikenali Kheng Hong.

Juga dengan digunakannya kedua rupa kepandaiannya itu, ia bakal semakin dikenal, hingga ia akan jadi kurang leluasa bergerak. Tapi la tak sempat berpikir terlalu banyak. Dua musuh sudah lantas tiba di depannya, ia tertawa panjang, ia menyambut mereka, ia masih belum berhenti tertawa atau kedua musuhnya sudah terpental, pedang mereka pindah ke dalam tangannya, hingga terus saja ia menyerahkan itu kepada si kedua saudagar. Khu Lin dan Lie siauw Leng saling mengawasi, mereka menyambut pedang itu, tetapi mereka jengah, semenjak pedang mereka dirusak Ang Tiang Ceng, mereka sudah bingung, Atas datangnya musuh barusan, mereka terpaksa hendak menyambut dengan tangan kosong, Untuk herannya mereka. begitu si pelajar mendahutui melompat maju sambil tertawa, orang telah berhasil merampas senjata kedua musuh itu

Mereka juga kagum menyaksikan gerakan sangat cepat dari si pelajar, sampai mereka seperti tidak melihatnya Mereka merasa, sekalipun guru mereka, Thian Tie Tiauw su, si Pengail dari telaga Thian Tie, tidak selihay pelajar ini.

Habis menyerahkan pedang,Jie In berkata sambil tertawa pada kedua saudagar itu:

"Saudara berdua murid-muridnya Thian Tie Tiauw siu, aku percaya lihay ilmu silat kalian, akan tetapi sekarang tuan-tuan menghadapi musuh yang berjumlah jauh lebih besar, baiklah tuan-tuan memikirkan jalan untuk menyelamatkan diri sendiri saja, Terutama hadapilah musuh dengan tenang, Musuh berjumlah besar dan tangguh, tetapi aku percaya, mereka tidak dapat mengganggu kita dalam waktu yang pendek. Maka aku lagi berpikir supaya kita bisa mundur dari sini dengan tidak kurang sesuatu apa pun. Kie Leng sat sin Ang Tiang Ceng lagi meminjam tenaga orang untuk membunuh orang, supaya setelah kita letih, dia sendiri yang turun tangan.

Diantara musuh bukan cuma Ang Tiang Ceng dan Liong- bun Ngo Koay yang lihay, masih ada yang lainnya yang belum memperlihatkan diri, maka kita harus tenang, jangan kita mengobral tenaga kita."

Khu Lin dan Lie siauw Leng mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.

Tonghong Giok Kun dan Kiang Yauw Cong sudah memperoleh kemenangan dalam beberapa gebrak, mereka dapat menabas kutung leher seorang musuh dan membuat cacad kaki dan tangan dua musuh lainnya, maka salju di dekat mereka menjadi merah tersemprot darah hidup, darah mana lantas beku sendirinya.

Di pihak Kheng Hong, pertempuran berjalan sangat hebat, Kelima siluman itu tidak dapat menerima penghinaan sambil bertempur mereka mengasih dengar suara mereka yang berisik, hingga suara itu berkumandang di empat penjuru.

Mereka maju merapatkan diri, Ay Hong sok memperlihatkan sorot mata yang bengis, setiap kali lawan merangsak. la menyerang dengan pukulannya yang lihay, hingga selalu salah satu lawannya terpukul mundur.

Hanya, setiap kali musuh mundur, setiap kali juga dia maju lagi, hingga mereka terus dapat mengurung, Maka percuma ia beraksi, ia tidak dapat memecahkan kepungan.

Jie In melihat. keadaannya si Tonghong sok Kiat, Di kepung secara demikian, dia akhirnya bakal jadi letih dan lelah dan akan roboh atau terbiasa karenanya Maka ia memikirkan jalan untuk memberi pertolongan supaya kawan itu selamat berbareng namanya tetap terhormat ia tidak mengambil waktu lama, ia telah mendapatkan jalan yang dicarinya itu.

Demikianlah, di saat Kheng Hong menyerang, ia menyerang dengan diam-diam.

Jim Him adalah lawan pertama yang dijadikan korban, orang she Jim yang nomor empat itu lagi maju, dia diserang Kheng Hong. Berbareng dengan itu Jie In pun menyerang, menotok jalan darah sam-yang di dada nya. sambil menyerang itu Jie In berpura - pura tenang, berbicara sambil tertawa dengan Khu Lin dan siauw Leng.

Ketika itu Tonghong Giok Kun berdua Kiang Yauw Cong, setelah robohnya tiga penyerangnya, terancam akan dikeroyok enam orang lain, yang melompat maju ke arahnya. Jie In melihat itu, lekas ia maju, tangannya ditolakkan ke depan. Tepat dia berhasil menahan mereka, hingga mereka menjadi heran.

Tanpa memperdulikan orang heran, si pelajar berkata dengan perlahan tetapi bengis: " Kalau kalian tidak menggunakan aturan Kang-ouw dan mau menang dengan main keroyok. itu artinya saat kematian kalian sudah tiba. Aku peringatkan kalian dapat berkelahi satu lawan satu, terutama jangan kalian menggunakan senjata rahasia Tahukah kalian?" Habis berkata Jie In mundur pula.

Keenam orang itu ialah Liang- ciu Liok sat, enam jago dari Liang ciu, Mereka biasanya besar kepala, sekarang mereka dicegah sipelajar, mereka jadi serba salah. Menempur mereka jeri, mundur mereka malu. Mereka lantas saling mengawasi, kemudian yang lima maju, yang satu mundur, Yang lima itu mau menempur terus pada Tonghong Giok Kun, Kiang Yauw Cong dan jie In serta Khu Lin dan Lie Siauw Leng.

Liok sat yang menghampiri Jie In tetap kecil hatinya, tangannya yang mencekal senjata bergemetaran, melihat mana, si pelajar tertawa dalam hatinya. Dengan cepat ia menggerakkan tangan kanannya, menggaplok kuping drang sambil membentak: "Apakah kau masih tidak mau mundur? Dapatkah manusia seperti mu melayani aku?"

Jago Liang cin ini tidak berdaya, terpaksa ia mundur, percuma ia memegang senjata. ia sekarang mesti mengusap- usap pipinya yang bengap.

Adalah empat Liok sat lainnya, yang jadi bertempur dengan seru, Kheng Hong terus menghadapi Jim Him. Musuh ini, yang terpukul mundur, karena dia tertotok Jie In, merasakan punggungnya dingin. Mulanya dia tidak menghiraukannya, dia menyangka punggungnya itu terkena angin oleh karena baju- nya tipis, hanya sesaat kemudian, dia menjadi heran, lantas dia menjadi kaget.

Perubahan perasaan datang dengan cepat, ialah terasakan otot-ototnya menjadi lemas dan ngilu, tenaganya berkurang sendirinya Jie In menotok jalan darah sam-yang, kalau dia di totok jalan darah kin-siunya, pasti dia roboh segera.

Orang menjadi heran menyaksikan keadaan Jim Him ini, mereka lantas menduga dia pasti terkena "tangan jahat", tetapi tidak ada orang yang melihat serangan gelap itu. sebaliknya, Kheng Hong yang melihat tenaga musuhnya berkurang, menjadi girang sekali, ia menggunakan waktunya untuk menyerang pula.

Jim Him kena terhajar, dia terpelanting lima tombak, terus roboh, tak dapat dia bangun pula.

Dengan robohnya satu orang, runtuhlah pengepungan persaudaraan she Jim itu. Ay Hong sok lolos, ia lantas menerjang dengan hebat, maka sekarang ialah yang sebentar- sebentar mendesak lawannya mundur.

"Tahan" Jim Liong berteriak ketika ia melirik kepada

adiknya yang roboh itu, tubuh siapa rebah melingkar, sedang mulutnya memperdengarkan suara yang menyayatkan hati,

"Hari ini kami lima bersaudara mengaku kalah. Tapi ini bukan disebabkan kami kalah darimu, Kheng Losu, melainkan disebabkan adikku sakit mendadak Baiklah, Kheng Losu, kami tidak menghendaki pula barang-barang mustika itu sampai berjumpa pula"

Habis berkata, saudara tua ini lantas menghampiri adiknya, Ketika itu, tubuh Jim Him menjadi ciut, tenaganya habis sama sekali, hingga tubuh itu menjadi lemas dan lunak. Dia pun tidak berteriak-teriak lagi, dia cuma bisa merintih perlahan, Tanpa merasa, Jim Liong mengucurkan air mata, juga tiga saudaranya yang lain, Berbareng dengan itu, mereka heran atas lihaynya Kheng Hong, Tentu saja, tidak dapat mereka berdiam lama-lama di situ Jim Him lantas dipondong, untuk di ajak pergi menghilang.

Ay Hong sok tertawa lebar, Tapi la tertawa dengan merasa heran, karena ia tak tahu sebabnya mengapa tubuh Jim Him menjadi ringkas.

Pertempuran diantara keempat Liok sat dan Tonghong Giok Kun beramai berjalan dengan seru tetapi kipa, inilah disebabkan jago-jago Liang- ciu itu sudah ciut hatinya, Maka setelah lewat dua puluh jurus, mereka kena dikalahkan. Liok sat yang kedua pun berkata di dalam hatinya: "Di sini ada sipelajar rudin, tidak ada harapan lagi untuk dapat merampas mustika, kalau kami tidak mengangkat kaki sekarang, mau menunggu kapan lagi?" Demikianlah, seperti Liong-bun Ngo Koay, ia mengajak lima saudaranya menyingkir untuk pulang ke Liang ciu.

Menyaksikan kesudahannya pertempuran itu, Ang Tiang Ceng girang berbareng berduka. Girang sebab ia telah berhasil menjalankan tipu dayanya, meminjam golok orang lain.

Bersusah lantaran ia sudah kepalang tanggung, seperti orang yang menunggang harimau, sukar turun, Dalam keadaan bingung itu, sekian lama ia berdiam saja, ia seperti tidak melihat kaburnya Ngo Koay dan Liok sat.

Sikap Kie Leng sat sin ini membangkitkan amarahnya Thong Thian Keng Ong Ek. si ikan Hiu dari hulu sungai Hong Hoo serta siauwyauw Ie-su Pheng Hui, imam dari kuil Kim Thian Koan di Lian-ciu.

Mereka dapat melihat akal muslihatnya si orang she Ang. Pheng Hui lantas memandang tajam pada ketua Hek Liong Pay itu, sembari memperdengarkan tertawa dingin, dia berkata: "Ang Tongke, jangan kau diam-diam saja dengan akalmu ini Kami sudah menjual jiwa kami, kau sendiri tetap berduduk untuk menerima hasilnya Aku Pheng Hui tidak dapat terpedayakan olehmu. Malam ini kami tidak mau turun tangan dulu, ingin kami melihat lagak kalian kaum Hek Liong Pay.

Andaikata kau merasa tidak mempunyai guna, baiklah kau lekas mengangkat kaki, supaya dengan begitu tak usahlah kau mencampuri urusan kami"

"Benar, saudara Pheng benar" Ong Ek menimpali "Ang Tongke, sungguh kau sangat tidak memandang sebelah mata kepada saudara-saudara kaum Kang-ouw"

Ang Tiang Ceng menunduk sambil meram, mendengar

kata-kata kedua orang itu, ia mengangkat kepalanya, matanya lantas menjadi bersinar tajam.

"Tuan-tuan, kalian mau menang sendiri" ia berkata, tertawa dingin, " Wilayah shoasay Barat ini ialah daerah pengaruh kami, dan juga urusan ini termasuk urusan kami, untuk mana kami sudah berpikir masak lama-lama dan bekerja keras sekali, kalian tahu, kami sudah menguntit hampir satu bulan. Di sinilah, di Yo Kee Cip. kami telah bersiap-siap untuk turun tangan, tetapi kalian, kalian hendak enak saja, kalian mau mendapat bagian sambil duduk menganggur

kalian yang melanggar hak, kenapa sekarang kalian berani menegur kami? Coba aku tidak ingat kepada persahabatan lama dari kita, Yo Kee Cip ini dapat menjadi tempat penguburan tulang-tulang kalian"

Mulanya Tiang ceng bicara perlahan, lalu makin lama makin keras, ketika kawan-kawannya telah mendengar semua, mereka menjadi kurang senang, tampak kemurkaan mereka pada wajah mereka.

Muka Peng Hui dan Ong Ek menjadi merah sendirinya. "Ang Tiang ceng" Peng Hui berseru, "Lain orang takut

padamu, aku tidak. Mari kita lihat, siapa yang nanti dikubur di sini" Kata-kata itu disusul dengan serangan kedua tangan ke arah dada ketua Hek Liong Pay itu, angin kepalannya menyambar lebih dulu.

BAB 13

"BAGUS" berkata Tiang Ceng tertawa dingin, tangannya diangkat untuk dipakai menangkis, hingga tangan mereka bentrok keras, atas mana keduanya sama-sama terpukul mundur,

Itulah tanda mereka berdua berimbang maka Pheng Hui lantas maju pula, guna menyerang lebih jauh, hingga Tiang ceng mesti melayaninya.

Jie In menonton dengan otaknya dikasih bekerja, ia tahu, itulah perbuatan Kheng Hong bertiga membikin runtuh penjagaan orang-orang Hok Liong Pay, yang pada kena ditotok hingga mereka berdiam bagaikan patung, cuma mata mereka yang menyatakan kemurkaan mereka. ia tidak berpikir lama untuk lantas bekerja, Maka ia mengisiki Khu Lin dan Siauw Leng: "Sahabat, kawanan penjahat lagi bentrok sendiri kita tak dapat berdiam terus di sini. Pergilah kalian mundur perlahan-lahan ke istal, tuntunlah kuda kalian ke belakang, untuk menyingkir nanti aku menyusul Kalau kita berdiam

lama-lama, mungkin kita sukar lolos dari sini."

Kedua saudagar itu setuju maka dengan hampir tak terlihat, mereka main mundur.

Ketika itu Ay Hong sok mendongkol melihat Jie In bertiga tidak memperhatikan pihaknya, hingga dia berkata dalam hatinya: "Apakah pihakku salah? Gila betul" Karena itu, ia pun mengajak kawannya menjauhkan diri

Pheng Hui dan Ang Tiang Ceng masih bertarung terus, mereka sama-sama besar kepala, mereka pun sama-sama gagah, masing-masing mengeluarkan kepandaiannya. Ong Ek tidak membantu kawannya, tetapi la berpikir lain, ia berpikir untuk merampas mustika, Maka diam-diam ia memberi isyarat kepada kawan-kawannya, lantas ia melompat ke arah Jie In bertiga, Belasan orang lantas menyusul dia.

Sang malam guram, si Putri Malam teraling gumpalan- gumpalan mega. Karena itu, orang-orang yang bergerak di atas salju tampak seperti sekumpulan setan saja.

Percuma Ong Ek maju, ia lantas kehilangan Jie In bertiga, ia menjadi heran, Maka tanpa menghiraukan lagi Kheng Hong bertiga, ia mengajak kawan-kawannya lari ke arah lain.

Kheng Hong sendiri telah melihat orang bergerak ke arah ia dan dua kawannya, ia lantas bersiap untuk menyambut serangan, maka heranlah ia ketika mendapat kenyataan orang pergi ke lain arah itu, Ketika ia melihat ke sekelilingnya, barulah ia terkejut, Jie In bertiga sudah tidak ada lagi diantara mereka semua. Maka mengertilah ia akan sepak terjang Ong Ek itu.

"Ke mana mereka pergi?" Ay Hong sok bertanya pada dirinya sendiri, ia tidak tahu, ia tidak melihat orang mengangkat kaki, Toh terpisahnya Jie In bertiga dari mereka cuma kira-kira dua tombak. ia jadi menggelengkan kepala, Ketika ia berpaling kepada kedua kawannya, ia, menyeringai dan berkata: "Anak-anak. kita keliru. Kita membantu orang, bukannya orang berterima kasih, mereka justru mabur. Buat apa kita berdiam lebih lama lagi di sini? Perlu apa kita makan angin saja? Tak ada faedahnya menonton orang berkelahi Mari"

Tonghong Giok Kun dan Kiang Yauw Cong tertawa, mereka turut menyingkir lenyap di tempat yang gelap.

Ang Tiang Ceng dan Pheng Hui, yang lagi mengotot itu tidak tahu menghilangnya dua rombongan orang itu, mereka masih bertempur Tiang Ceng berlega hati, ia percaya orang- orangnya. Bila terjadi sesuatu, pasti ada orangnya yang memberi laporan.

Hanya ia tidak mengetahui bahwa orang-orangnya itu sudah dibikin menjadi boneka-boneka hidup oleh Kheng Hong.

Akhirnya orangnya Pheng Hui yang berseru: "Tongke berdua, buat apa kalian berkelahi lebih jauh? Mereka sudah kabur semua"

Pheng Hui terkejut Dengan satu pukulan, ia membuat Tiang Ceng mundur satu tindak. la sendiri melompat hingga tiga tombak. terus berkata: "orang she Ang, urusan kita masih belum selesai, maka kau ingat saja"

Habis berkata, ia menggapai kepada kawan-kawan-nya, lantas mereka menyingkir pergi

Tiang Ceng mengasih dengar ejekan berulang kali, saking sengit, ia menghajar salju di depannya, hingga salju muncrat ke tubuh dan kepalanya, ini ada baiknya, ia lekas menjadi tenang, Angin pun membantu mendinginkan hatinya.

Ketika ia melihat ke sekeliling-nya, ia mendapatkan delapan orangnya, yang separuh telah terluka, Tanpa merasa, ia menarik napas panjang. ia telah kena dirobohkan.

"Pelajar berusia pertengahan itu lihay luar biasa, Ong Ek beramai menyusul dia, mereka tentu tidak akan mendapat hasil, mungkin mereka akan menerima pengajaran," katanya dalam hati,

"Baiklah aku mengenal selatan..." Karena itu, ia lantas mengurus orang-orangnya, buat terus pergi

Ketika matahari pagi mulai muncul, maka terlihatlah wilayah yang luas yang bercahaya putih dan angin yang menderu- deru keras, Hawa dingin melebihi hari kemarinnya. Dijalan antara kota Gan-bun-kwan dan kecamatan Tay-koan biasanya jarang dilalui disaat begitu, tetapi sekarang terlihat tiga penunggang kuda dengan kuda mereka lari berlompatan karena salju yang membeku mulai lumer, setiap menaruh kaki, kaki kuda itu terus melesak Maka ketiga binatang itu sebentar- sebentar meringkik panjang

Jie In berada di punggung salah seekor kuda, ia memutar cambuknya di atas kepalanya, beberapa kali cambuknya itu pun dikasih berbunyi menjeter, ia tampaknya tenang, Tidak demikian dengan Khu Lin dan Lie siauw Leng, Mereka agaknya tegang, hingga mereka tak dapat berbicara dan tertawa seperti waktu di Yo Kee cip tadi malam. Berulang kali mereka berpaling ke belakang, untuk melihat ada penjahat yang menyusulnya atau tidak

"Jangan takut, tuan-tuan" kata Jie In tertawa, "Majulah terus dengan tenang Kalau kawanan bermuka tebal itu menyusul, maka aku akan menuruti mereka seperti apa yang mereka kehendaki, akan kukirim mereka kembali. Atau baiklah aku mengantar kalian sampai di tempat tujuan kalian, Bukankah tuan-tuan mau pergi ke Thay-goan?"

Semenjak berlalu dari Yo Kee Cip. inilah yang pertama kali Jie In membuka pembicaraan, yang memecahkan kesunyian diantara mereka bertiga. Khu Lin tertawa.

"Tay-hiap." ia berkata, "atas bantuanmu tadi malam, tak usah kami menghaturkan terima kasih lagi. Kami melihat kau bukanlah orang biasa, maka kami pasti akan disangka berlaku palsu apabila kami menggunakan banyak peradatan, Meski begitu, kami masih mau meminta tanya she dan nama tayhiap. sudikah tayhiap memberitahukannya?"

Jie In tertawa lebar.

"Namaku Jie In," ia menyahut "Kau memanggil tayhiap. aku tidak berani menerimanya. Kau panggillah sembarang saja." ia berhenti sebentar, lalu ia tertawa pula dan ber-kata: "Tuan- tuan, besar nyali kalian Kenapa kalian dapat ngobrol leluasa di Yo Kee Cip? Kenapa kalian lancang bicara mengenai mustika kalian? Apakah itu bukan berarti mencari bencana sendiri?" Khu Lin menyeringai ia likat, "itulah terpaksa," sahutnya, "Tak dapat kami tak berbuat demikian, sebenarnya tidak ada empat mustika dari raja naga, yang ada cuma ho-siu-ouw."

Jie In heran.

"Coba kalian jelaskan," pintanya.

Lie Siauw Leng mewakili kawannya, ia berkata: "Duduknya persoalan begini, Khu suheng berbicara tengah mabuk, tanpa ia mengetahuinya ia menimbulkan ancaman bahaya. Pada tiga bulan yang lalu, guru kami, yaitu Thian Tie Tiauw siu, telah menjanjikan pertempuran dengan Goan Cin Cu, ketua dari Ngo Tay Pay. Diantara mereka memang ada perselisihan pertempuran dilakukan di bawah gunung Ngo Tay san.

Kesudahannya, Goan Cin Cu kena terhajar pundaknya dan guru kami terluka dadanya, obat untuk luka guru kami itu tidak lain ialah ho-siu-ouw. Mengenai obat itu syukur ada Ceng Tim Taysu, pendeta kepala dari Ceng sian sie yang menjadi sahabat guru kami, Ceng Tim Taysu memberi keterangan bahwa di kota raja di rumahnya Tan Kong Pou, menteri Kong-lok-sie, yang menjadi sahabatnya, ada dua buah pohon ho-siu-ouw itu, yang semua telah berumur seribu tahun.

Pada sepuluh tahun yang lalu, Ceng Tim Taysu pernah menolong keluarga Tan dari kebinasaan maka untuk membalas budi, Tan Kong Pou suka menghadiahkan sebuah ho-siu-ouw. Taysu menampik, katanya sebagai seorang su-ci, apalagi ia sudah berusia delapan puluh tahun, ia tak membutuhkan itu, tetapi ia berjanji apabila dilain waktu ia memerlukannya, ia akan mengirim orang untuk memintanya.

Maka taysu hendak menolong guru kami, Untuk meminta obat itu, taysu tidak dapat pergi sendiri, hanyalah kami yang diutus, Kepada kami diberikan serenceng mutiara sebagai tanda bukti, Tan Kong Pou memberikan ho-siu-ouw itu. Waktu kami mau meninggalkan kota raja, kebetulan kami bertemu dengan seorang sahabat yang telah tak bertemu dengan kami banyak tahun, dia mengundang kami berjamu, Di situ, selagi berjamu itu, sesudah minum banyak air kata-kata, Khu suheng memperlihatkan ho-siu-ouw dan berkata, serenceng mutiara itu dapat dibandingkan dengan empat mustika naga.

Diluar dugaan kami, di situ ada orang Hok Liong Pay, dia rupanya keliru mendengar maka dia pergi mengabarkan kepada ketuanya, Ketika kami insyaf, sudah terlambat Demikianlah di sepanjang jalan kami sebentar-sebentar menghadapi ancaman bahaya.

Terpaksa kami menyamar menjadi saudagar. Apa pun yang kami bilang, penjahat itu tidak mau percaya, Memang ada empat mustika naga itu, tetapi adanya di dalam istana kaisar."

"Luka guru kami itu berbahaya," Khu Lin menyambung, "Ceng Tim Taysu telah memberikan obatnya yang mujarab, tetapi obat itu cuma bertahan selama lima bulan, katanya selewatnya lima bulan, meski ada Ho-siu-ouw guru kami tak dapat sembuh seluruhnya, maka kami perlu lekas pulang, Tapi kami diganggu kawanan penjahat, selain menyamar kami pun mestijalan memutar, Berita telah tersiar luas, kecuali Hek Liong Pay, ada penjahat atau orang-orang lainnya yang menghendaki obat itu, karena itu kami dikuntit dan dicegat banyak musuh, Begitulah kami terancam bahaya hebat di Yo Kee Cip. Ho-siu-ouw dapat dimakan juga oleh sembarang orang kaum persilatan itulah sebabnya selain penjahat ada orang-orang kaum lurus yang mengincarnya, semua ini adalah salah kami, yang sudah berlaku sembrono, sekarang kami bebas, tetapi ini belum berarti bebas benar-benar, perjalanan keThay-goan masih jauh, kecuali di kiri ada gunung NgoTay san, dikananpun ada pegunungan In Tiong san, maka kami kuatir di tengah jalan masih akan dihadapi banyak ancaman-"

Baru sekarang Jie In mengerti ia lantas berpikir. "Saudara-saudara, kalian benar-benar terancam bahaya,"

katanya sesaat kemudian, "Kalau kalian tetap berkuatir, sudikah kalian menerima bantuanku? Apakah kalian dapat mempercayai aku? Lebih baik ho-siu-ouw itu diserahkan padaku, apabila betul terjadi sesaatu, nanti aku yang menyerahkan kepada guru kalian di kuil Ceng sian sie."

Khu Lin dan siauw Leng tidak menyangsikan si pelajar, Yang pertama lantas merogoh sakunya dan menyerahkan obat yang dijadikan perebutan itu, Ho-siu-ouw mirip bayi, ada tangan, ada kakinya, dan warnanya abu-abu putih.

"Harap Jie Tayhiap tidak bergurau," kata dia. "Mana dapat kami tidak mempercayai tayhiap? Cuma inilah terlalu memberatkan tay-hiap. Bukankah, asal tayhiap menghendaki gampang saja kau merebutnya dari kami?"

jie In tertawa, ia meneliti obat itu, yang harum baunya, yang mendatangkan rasa segar, sembari menyimpan itu dalam sakunya, ia berkata: "Barang ini benar-benar sangat menarik hati, sampai hatiku pun tergerak, sekarang begini saja," ia menambahkan, sungguh-sungguh .

"Dalam perjalanan kita lebih jauh ini, kita harus menggunakan akal, selanjutnya, tak perduli kita bertemu dengan siapa saja, asal ada yang menanyakan, kalian boleh bilang ho-siu-ouw telah kena dirampas Hek Liong Pay, Kedustaan ini tak dapat dipertahankan, tetapi lumayan guna merebut waktu, Aku percaya, kalau nanti rahasia bocor, tentulah guru kalian sudah sembuh."

-00000000-

Khu Lin dan siauw Leng setuju, Mereka memuji si pelajar cerdik sekali, sedang orang pun gagah. selama dua puluh tahun, belum pernah mereka bertemu dengan orang pintar dan kosen seperti ini, Meski begitu, mereka tidak berani menanyakan asal-usul orang.

"Lagipula," Jie In memesan lagi, "Selama di tengah jalan, kita lebih baik berpura-pura tidak kenal satu dengan yang lain." Khu Lin dan Siauw Leng kembali setuju. Baru sampai di situ mereka bicara, di belakang mereka terdengar suara berisik yang berupa dampratan, ketika mereka menoleh, mereka melihat belasan orang lari mendatangi.

Di kejauhan, mereka semua tampak bagaikan bayangan, cepat larinya mereka itu di atas salju.

Jie In tertawa dan berkata: "Hebat di kolong langit ini ada orang-orang tak takut mampus seperti mereka itu Biarlah, nanti aku si orang she Jie membuat mereka dapat menyampaikan maksud hati mereka Tuan-tuan, harap kalian menonton saja."

Kedua saudagar itu mengangguk. hati mereka pepat, berduka dan berkuatir, Baru mereka lolos dari bahaya, sekarang muncul yang tain, Mereka menginsyafi diri sendiri, dan diri merekalah yang dikuatirkan.

Mereka percaya Jie In akan dapat menyampaikan obat kepada guru mereka, tetapi, dengan berpisah dari Jie In, bagaimana nanti mereka melindungi diri mereka sendiri? Cepat sekali, belasan orang itu sudah sampai.

Jie In menyambut mereka itu sambil tertawa bergelak dan cambuknya diayun hingga terdengar suara anginnya dan juga suara menjeternya. Lalu, hebat lah kesudahannya, Dua orang yang di paling depan lantas menjerit menyayatkan hati, tubuh mereka terpelanting, terus roboh pingsan- Pipi kanan mereka terluka dan darah mengalir keluar karenanya. Karena kejadian itu, semua kawan mereka merandek.

Diantara mereka terdapat Ong Ek. Dia ini tertawa ingin, dia berkata: "Tuan, kau siapa? Aku si orang she Ong tidak berurusan denganmu, mengapa kau merintangi kami?"

"Tak usah kau perdulikan aku siapa" sahut Jie In, romannya bengis, "sekarang ini, selama hidupmu, jangan kau harapkan pula mustika naga dan ho-siu-ouw Lebih baik kalian turut nasehatku, lekas kalian pulang, supaya aku tak usah melakukan pembunuhan lagi"

Mata Ong Ek melotot, terus dia tertawa tergelak-gelak. Tak enak mendengar tertawanya itu. Terus dia berkata nyaring: "Aku Thong-thian-keng Ong Ek, baru pertama kali ini aku mendengar suara terkebur seperti suaramu ini. Hm. Meski benar kau lihay, di mataku kau tidak berarti banyak" ia lantas berpaling ke kiri dan kanannya, mendadak dia berseru: "Maju"

Dan bergeraklah belasan orang itu.

"Kalian mencari mampus? "Jie In membentak seraya tangannya diayun, hingga cambuknya meluncur seperti tadi, menyusul itu terdengarlah teriakan saling susul akibat terguling robohnya lima orang, hingga yang lainnya batal maju, bahkan mereka itu berebut melompat mundur.

Ong Ek jadi berdiri menjublek.

Jie In tertawa, ia berkata: "Ong Ek. kau dijuluki sebagai satu siluman dari sungai Hong Hoo, agaknya hatimu belum mati sebelum kau melihat sungai itu" Kata-kata ini disusul dengan diluncurkannya pula cambuk-nya, yang ujungnya menyambar ke pundak si orang she Ong itu, si ikan Hiu.

Ong Ek kaget, tanpa berpikir lagi, dia menjejak tanah, untuk melompat mundur dua tombak. Dia jeri melihat robohnya tujuh kawannya barusan, Tapi belum kakinya menginjak tanah, cambuk Jie In sudah meluncur tiba, Dia jadi kaget dan takut, dia pun mengetahui bahwa dia tak dapat mundur pula. Dia menjadi nekad, dia mengulurkan tangannya untuk mencoba menangkap dan merebut cambuk itu

Cambuk Jie In tak dapat dirampas, Ujung cambuk tertarik kembali, terus diputar lebih jauh, Maka sekarang Ong Ek terancam iga-nya. Dia menjadi kaget sekali, hingga dia mengeluarkan keringat dingin, secepatnya dia mendak sambil terus melompat mundur, nyatanya dia kalah cepat, Ujung cambuk lantas melilit tubuhnya.

Kaget semua kawan si ikan Hiu, beberapa diantaranya lantas melompat maju, guna menyerang, untuk menolong.

Jie In tertawa lebar, cambuknya digentak, maka tubuh Ong Ek terangkat naik melayang di tengah udara, sesudah mana, cambuk itu dipakai menangkis berbagai senjata tajam, hingga banyak senjata terlepas dari cekalan, dan telapak tangan mereka yang memegang senjata itu terasa sakit.

Sipelajar berusia pertengahan tidak berhenti sampai di situ, cambuknya terayun lagi, sekarang untuk menyambar tubuh orang, maka kawanan penyerang itu, sambil mengeluarkan teriakan tertahan- pada roboh terguling

Ong Ek baru merayap bangun atau Jie In sudah melompat ke depannya, ia ini tersenyum. Dia penasaran, dia pun takut, maka dengan nekad dia menyerang dengan kedua tinjunya, tenaganya dikerahkan semuanya .

Dia sangat ingin dapat menghajar mampus perintangnya ini. Tapi dia tak dapat mewujudkan niatnya itu, bahkan sebaliknya, dia menjadi kaget, Tinjunya tidak mengenai sasaran, bahkan tinjunya itu kena tertarik tenaga yang besar, hingga tak dapat dia menariknya pulang.

"Hm"Jie In tertawa menghina, tangan kirinya melayang...

Hampir Ong Ek menjerit kesakitan. Dia tergaplok hingga matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing, pipinya pun hengap. Gaplokan itu membuat telinganya berbunyi sekian lama.

"Apakah kau masih belum kapok? "Jie In bertanya, tertawa, ".Baiklah, kalau kau mempunyai kepandaian silat, kau keluarkanlah semuanya"

Ong Ek berdiam dengan napas mengeros, ia mengawasi dengan bengong, lenyap sudah kegarangannya. "Kenapa kau tidak mau bicara?" tanya Jie In tertawa, "Ke mana perginya kegaranganmu? Aku menyangka kau lihay sekali, siapa tahu begini saja kepandaianmu Kenapa kau masih tidak mau mengangkat kaki? Buat apa kau tetap berdiri di depanku? Menjemukan saja" Kata-kata itu ditutup dengan gerakan tangan kiri.

Ong Ek takut nanti kena dihajar pula, karena sekarang hatinya sudah kuncup, ia lantas saja melompat mundur, untuk terus lari pergi, diturut oleh kawan-kawannya. Hanya sebentar, lenyap mereka semua, kecuali mayat kawan- kawannya yang bergelimpangan di atas salju.

Khu Lin dan Siauw Leng tercengang, mereka kagum bukan main. Mereka melihat orang cuma main-main dengan cambuknya, siapa tahu kesudahannya demikian hebat dan menakjubkan. Bukankah Ong Ek jago Hong Hoo Utara dan Barat? Bukankah orang ini jauh lebih lihay dari guru mereka? Maka malulah mereka mendua, mungkin orang she Jie ini seorang tertua yang baru muncul pula.

Toh usia orang belum lebih dari empatpuluh tahun. Jie In sudah melompat naik ke atas kuda-nya, ketika ia memutar kudanya itu, kedua kawannya bersikap sangat menghormat terhadapnya, hingga ia menjadi likat sendirinya. ia tertawa dan berkata: "Beginikah sikap kalian? Apakah kalian tak sudi bersahabat denganku ?"

"Di depan tayhiap mana berani kami berlaku kurang hormat?" sahut kedua orang itu. Jie In menggelengkan kepala.

"Aku tidak menyangka kalian menggunakan banyak aturan" katanya. Lantas mereka berjalan bersama.

Sampai sekian lama tidak tampak siauw Yauw Ie-su, maka diduga tentulah dia telah bertemu dengan Ong Ek dan menjadi tidak berani datang menyusul. Ketika mereka bertiga lewat di Heng-koan- cuaca berubah guram, sebab sang mega menghalangi sang matahari itulah tanda sang magrib lagi mendatangi hingga tak lama lagi, langit bakal menjadi gelap.

Angin Utara menghembus keras, membuat pepohonan di sepanjang tepi jalan tertiup doyong, Angin pun membawa turun salju, Akhirnya turun hujan dengan tetesan-tetesannya yang besar. Maka salju yang baru bertumpuk-tumpuk lantas lumer, hingga di situ tampak seperti kebanjiran.

Ketiga ekor kuda itu tak usah berlompatan lagi, sekarang semuanya dapat berlari seperti biasa, Dengan begitu mereka melakukan perjalanan jauh lebih cepat, Tindakan kuda menyebabkan air muncrat berhamburan hingga pakaian mereka menjadi basah seluruh-nya. karena ditimpa salju dan hujan, lalu muncratan air itu.

Hujan lebat hingga orang cuma bisa melihat sekitarnya sejauh belasan tombak Jie In beda dengan kedua kawannya itu, ia dapat melihat sampai kira-kira empat puluh tombak. Maka ia dapat melihat mendatangnya tujuh atau delapan orang yang semuanya memakai tudung lebar ia menduga kepada musuh.

"Sahabat-sahabatku, di depan ada orang-orang lagi mendatangi" ia berkata pada Khu Lin dan siauw Leng. "Pergilah kalian maju dan berbicara seperti yang telah dijanjikan aku akan menyusul belakangan"

Kedua kawannya itu mengangguk. dengan menjepitkan kedua kaki mereka, mereka membuat kuda mereka masing- masing melompat maju, untuk lari lebih cepat,Jie In sebaliknya menahan kudanya, dalam hatinya ia berkata: "siapakah mereka itu? Mungkinkah mereka datang untuk ho- siu-ouw? Kalau benar, dari mana mereka mengetahui Khu Lin dan Lie Siauw Leng bakal lewat di sini? inilah rada aneh." Segera ia melihat Khu Lin berdua sudah berhadapan dengan rombongan di depan dan mereka kedua belah pihak lagi berbicara, maka ia pun mengeprak kudanya, untuk menyusul. selagi mendekati ia melihat tujuh imam. Ia menduga kepada imam-imam dari Ngo Tay san.

Maka berpikirlah ia: " Kenapa bangsa imam pun kemaruk?" ia maju terus hingga ia berada di depan kedua kawannya, hingga imam-imam itu menjadi terbelakangi, ia lantas berteriak "Aku kira kalian dapat kabur ke atas langit Akhirnya kalian tercandak juga. Lekas serahkan ho-siu-ouw, dengan begitu kita masih dapat menjadi kawan"

Di dalam hatinya, Khu Lin dan Siauw Leng tertawa, Bagus sekali sandiwara Jie In ini. Mereka pun turut membawa peranan mereka.

"Tuan, mengapa kau tidak percaya orang?" Khu Lin menegur, Dia tertawa dingin, "Aku sudah bilang, kedua rupa barangku telah dirampas Kie Leng sat sin Ang Tiang ceng dari Hek Liong Pay Bukannya kau cari dia, kau cari kami, apa gunanya?"

Belum Jie In menyahuti, imam yang terdepan, yang kurus tubuhnya, tersenyum dan berkata: "Kedua sicu she Khu dan she Lie, mana dapat kalian menghina orang dengan kedustaan kalian ini? Kami baru saja menerima surat yang dikirim dengan perantaraan burung dari Ang Paycu yang mengabarkan ho- siu-ouw berada di tangan kalian Tentu saja, kami percaya Ang Pang cu itu Baiklah kalian mengerti andaikata kami mengijinkan kalian lewat di sini, di depan sana kalian tak bakal lolos dari pihak Ceng Hong Pay. Maka lebih baik kalian turut kami ke Ngo Tay san. Kami cuma minta separuh dari ho-siu- ouw. Bukankah itu tidak merugikan kalian? kalian dapat tinggal selama setengah bulan di gunung kami, nanti kami mengantarkan kalian keThay-goan. Untuk penyakit gurumu, separuh ho-siu-ouw pun sudah cukup, Dengan begitu, permusuhan gurumu dengan partai kami pun dapat dihabiskan. Bukankah itu berarti kebaikan kedua belah pihak?" selagi berbicara itu, si imam menatap tajam mata kedua orang di depannya itu.

"Hm Enak saja kau bicara" Jie In menyela, Dia tertawa dingin, "ingat, masih ada aku di sini Aku telah berlari lari ribuan li untuk menyusul, apa aku mesti makan angin saja."

Imam itu berubah air mukanya, ia berpaling dan mengawasi

"Siapa kau?" tanyanya bengis, "Cara bagaimana kau berani bersikap begini kurang ajar terhadap ceng Hie cinjin?"

"Hm Hm" Jie In mengejek berulang-ulang, "Kawanan hidung kerbau dari Ngo Tay San menjadi berandal dan tukang membegal? Sungguh sukar dipercayai Meminta makan dari kaum Kang-ouw, apakah itu aturannya Ngo Tay Pay? Mengapa aturan itu tidak diumumkan diantara kaum Rimba Pcrsilatan?"

Muka ceng Hie menjadi merah padam, ia lantas menghunus pedangnya, terus ia memasang kuda-kudanya. ia juga tertawa dingin,

"Kau bicara besar, tuan, kau pasti mempunyai kepandaian yang mengejutkan orang" katanya mengejek, "Sudah, jangan kau banyak omong lagi, coba kau kalahkan aku Kalau tidak, tak dapat aku membiarkanmu berjumawa begini"

Hujan besar masih terus turun,jubah ke-tujuh imam itu juga kuyup semuanya, Kaki mereka terpendam air dan salju sebatas mata kaki. Sang angin tetap menghembus dahsyat, hingga tudung semua imam itu keras tersampok mengeluarkan suara berisik, Suara mereka sama-sama keras, tetapi terdengarnya perlahan. Jie In bercokol di atas kudanya, tangan kirinya sebentar- sebentar menyeka mukanya? ia bersikap sabar, tapi ketika ia mendengar tantangan si imam, parasnya berubah, mendadak ia mengayun cambuknya, sebagai kesudahannya, ada serupa benda yang tersambar terus terbang melayang

Ceng Hie Cinjin menjadi murid kepala dari Goan Cin Cu, ketua Ngo Tay Pay, maka dalam hal ilmu silat, kecuali gurunya itu, tidak ada yang melebihinya, Baik tangan kosong, maupun ilmu pedang dan senjata rahasia, ia telah dapat menguasainya dengan baik, Karenanya, biasanya ia sangat bangga dengan kepandaiannya itu.

Tapi sekarang, ia kena dibikin kaget, penasaran dan heran, Tak terlihat lagi gerakan tangan orang di depan, tahu-tahu pedangnya terbetot dan terbang, Cuma telapak tangannya tergetar sedikit, saking murka, tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia menyerang Jie In dan kudanya dengan berbareng, sambil menyerang ia bertindak maju, ingin ia dapat membekuk orang di depannya itu.

Jie In tidak berniat melukai imam itu, ia mengetahui adanya permusuhan diantara Thian Tie Tiauw siu dengan pihak Ngo Tay Pay, ia tidak mau memperbesar itu, ia ingin mengundurkan kawanan imam itu, supaya Khu Lin dan siauw Leng dapat lewat, siapa sangka Ceng Hie berlaku demikian telengas, maka ia menjadi kurang senang.

"Kenapa seorang imam telengas begini?" pikirnya, sambil berpikir itu, ia gunakan cambuknya untuk menghajar kedua tangan si penyerang.

Benar-benar Ceng Hie tidak menyangka cambuk orang demikian lihay, ia membatalkan serangannya, ia hendak menarik pulang kedua tangannya, akan tetapi ia kalah sebat, tahu-tahu tangannya telah terlibat ujung cambuk. keras dan sakit rasanya.

Jie In tidak mau berlaku keterlaluan, lekas-lekas ia menarik lolos cambuknya itu, maka si imam dapat melompat mundur, mukanya menjadi sangat pucat, syukur ada air hujan, orang tidak melihat perubahan air mukanya itu.

"Hm" kata Jie In, "aku kira pelajaran Nao Tay Pay lihay luar biasa, tidak tahunya cuma sebegini Ceng Hie, kau membuat muka Ngo Tay san menjadi guram"

Baru Jie In berhenti bicara, seorang imam yang berdiri di tengah-tengah kawannya melompat maju, Dia tampan dan ramah tamah romannya, Demikianiah dia tersenyum dan berkata dengan sabar: "Dalam kalangan Rimba Persilatan, siapa menang dan siapa kalah, sudah biasa, maka mengapa tuan menghina orang di muka umum? Tuan lihay sekali, tak sukar untukmu menjadi seorang ketua, maka apa gunanya sepak terjangmu ini? Tuan, kami turun gunung untuk menolong guru kami, Kami membutuhkan ho-siu-ouw, separuh saja Bukankah perbuatan kami ini perbuatan umum? Kenapa tuan bersikap begini keterlaluan?"

Mendengar kata-kata orang yang sabar ini, hati Jie In tertarik, ia tersenyum.

"Totiang, ucapanmu beralasan juga," katanya, ia pun bersikap sabar "Cuma cara kalian ini tidak tepat, Andaikata benar ho-siu-ouw berada di tangan mereka berdua, kalian pun tidak boleh mencegat dan merampasnya, Menurut pantasnya kalian mesti menyambut mereka, terus kalian mengantarkan ke tempat tujuannya, di sana dengan memakai aturan kalian menemui guru mereka, untuk meminta sedikit dari barang itu. Bukankah itu pantas?"

Imam itu mengenal aturan, jawaban Jie In membuatnya bungkam. Mendadak Ceng Hie berteriak: "Tadi aku alpa, aku kena dicurangi olehmu. Apakah kau kira kau dapat berjumawa? Kalau aku tidak kasih rasa kepadamu lihaynya ilmu pedang Ngo Tay Pay, aku bersumpah tidak mau menjadi manusia"

Mendengar itu Jie In tertawa geli, ia menganggap Ceng Hie sangat terkebur, Hebat Jago Tay Pay andaikata dikemudian hari dia mendapat ketua seperti imam ini. Maka ia berpikir ia harus mengajar adat.

"Totiang" katanya, tertawa mengejek. "Pedangmu sudah terbang, kau masih berani bicara besar Kalau begitu, baiklah, mari aku belajar kenal dengan ilmu pedang partaimu"

Muka Ceng Hie menjadi merah, dia malu.

Tapi dia penasaran, Maka dia berkata: "Kami bertujuh saudara seperguruan mempunyai semacam barisan pedang, kalau kau dapat memecahkannya, ho-siu-ouw tak kami kehendaki pula dan kami pun akan segera pulang ke gunung kami Kalau kau kalah, maka..."

Jie In tertawa lebar.

"Kau menghendaki aku mengangkat kaki dari sini, bukan?" ia melanjutkan "Baiklah, aku terima tantanganmu ini silahkan mengatur barisanmu"

Imam yang pertama berbicara bergelisah. ia menganggap kawannya terlalu sembrono. Bagaimana kalau mereka gagal? Apa nanti yang terjadi dengan guru mereka, yang membutuhkan ho-siu-ouw? ia lantas mengedipkan mata kepada Ceng Hie, tetapi Ceng Hie berlagak pilon, dia bahkan melompat untuk memungut pedangnya tadi, untuk segera bersiap.

Dengan apa boleh buat imam itu menghela napas, lantas ia bersama lima saudaranya yang lain turut bersiap. mengatur barisan mereka. Jie In dari atas kudanya menyaksikan Ceng Hie mengatur barisannya itu berdasarkan tujuh bintang, maka tahulah ia, itulah barisan pedang Cit Chee Kiam Tin. Di dalam hatinya ia berkata, tak mungkin barisan itu lebih lihay dari ilmu pedang ajaran kakek gurunya. ia lantas tertawa dan melompat turun dari kudanya, untuk memasuki barisan imam itu.

Ketika itu angin dan hujan masih meng-gema, suaranya berisik, Begitu Jie In datang, ketujuh imam itu menjadi terkejut Mereka telah melihat tindakan orang yang tubuhnya sangat ringan, karena air tak muncrat seperti biasanya diinjak oleh seorang yang kurang mahir kepandaiannya.

Khu Lin dan Lie siauw Leng pun turut menjadi kagum, hingga mereka berdua saling mengawasi .

Jie In mengangkat tinggi cambuknya, ia memutar tak hentinya. " Kalian yang memulai atau aku?" tanyanya tersenyum.

Ceng Hie tertawa menyeringai ia tidak menjawab, ia segera bertindak, atas mana, ia diturut enam saudaranya, Dengan begitu bergeraklah barisannya, yang terus berubah kedudukannya, sesudah itu barulah mereka menyerang berbareng.

Jie In ingin menyaksikan bekerjanya barisan, ia tidak lantas berkelit, menyingkir dari ujung pedang mereka itu. ia bergerak sangat lincah dan licin.

"Bagus" Ceng Hie memuji, menyaksikan kegesitan lawannya, Karena itu, ia menyerang dengan lebih bengis, begitupun keenam saudaranya.

Ketujuh imam itu mengambil kedudukannya masing- masing, dengan begitu, mereka pun menyerang masing- masing, dengan caranya sendiri

Setelah lewat beberapa jurus Jie In lantas dapat melihat nyata, orang bergerak dengan tujuh kali tujuh gerakan atau sama dengan empat puluh sembilan jurus, segera setelah ia mengerti, ia bersiul keras dan panjang, ia tidak lagi hanya main berkelit, sekarang ia mulai melakukan serangan.

Segera terjadi bentrokan Ujung cambuk hendak melibat ketujuh pedang. Akibatnya ia menjadi terkejut.

Ujung cambuk mendapat perlawanan keras, bahkan hampir cambuk itu terlepas dari cekalan Tapi ini membuatnya penasaran Tanpa bersangsi lagi, ia menggunakan Bie Lek sin Kang. Begitu tenaga tersalurkan ke ujung cam-buk. sekali lagi cambuk itu melibat, terus di-tarik.

suara berkontrangan lantas terdengar Ketujuh pedang itu tersambar terlepas dari tangan setiap imam, terbang tinggi, lantas turun pula,jatuh ke air hujan yang bagaikan air bah itu, Akan tetapi tangan kiri Jie In pun bekerja, menyambar maka semua pedang itu kena ia genggam.

Ceng Hie semua terkejut, Meski begitu, barisan mereka tidak lantas pecah, Mereka masih dapat mengepung dengan rapi. Cuma sekarang mereka tidak dapat menyerang dengan pedang.

Jie In mengerti orang belum mau menyerah, ia lantas bertindak. Ia mengincar si imam kepala.

Sekonyong-konyong Ceng Hie terperanjat Tak tahu ia bagaimana duduk perkaranya, mendadak sebelah tangannya kena tercekal, lantas dia ditarik, hingga tubuhnya keluar dari dalam barisannya, Keenam imam lainnya kaget, mereka mau mencegah tetapi sudah terlambat.

Jie In telah menggunakan satu jurus dari Hian wan Sip-pat Kay, cekalannya membuat si lmam merasakan tubuhnya kaku dan ngilu, hingga meskipun dia basah kuyup dengan air hujan, toh keringatnya mengucur keluar karena hebatnya penderitaan tercekat tangan lawan yang kuat itu.

Tapi tak lama dia tersiksa, tiba-tiba dia merasa tangannya bebas, sebab lawannya telah melepaskan cekalannya. Dengan mata tajam Jie In menatap si imam, ia tersenyum.

Imam Ngo Tay san itu menjadi merah mukanya. "Aku mengaku kalah " kata Ceng Hie.

"Sekarang juga kami berangkat pulang, lain kali kita bertemu pula." ia memutar tubuhnya, lantas ia melangkah pergi.

Keenam imam lainnya, setelah menoleh sebentar, lantas menyusul kakak seperguruannya itu. Tajam mereka itu mengawasi Ceng Hie, agaknya mereka mendongkol. Jie In tidak mencegah orang berlalu, ia terus menoleh kepada Khu Lin dan Siauw Leng.

" Kalau Ceng Hie si hidung kerbau tiba di gunungnya, dia bakal menderita lebih jauh," katanya tertawa, "Itu telah dapat diduga dengan melihat sikap keenam adik seperguruannya itu."

"Siapa suruh dia berkepala batu" kata siauw Leng tertawa, "Dia tidak dapat menyesalkan siapa pun" Kemudian ia mendongak melihat langit, ia menambahkan "Jie Tayhiap. hujan ini tidak bakal lekas berhenti, mari kita melanjutkan perjalanan kita."

Jie In mengangguk. la melompat naik ke atas kudanya, Maka mereka bertiga lantas berangkat bersama, menempuh angin dan hujan yang lebat itu, yang membuat jalan besar ber-lumpur dan sulit untuk dilalui.

Mereka tidak menemui rintangan lagi, kecuali berpapasan dengan beberapa orang yang mengenakan tudung bambu dan menggembol senjata, yang sikapnya saja mencurigakan hingga mereka tak sudi menghiraukannya.

Demikianiah mereka tiba di Heng-koan, sesudah cuaca gelap. Mereka terus mencari losmen-

Khu Lin dan siauw Leng tiba lebih dulu, lewat sekian lama barulah Jie In. Mereka tetap memakai siasat tak kenal satu dengan yang lain. Hanya sebab sama-sama ditimpa hujan, paling dulu mereka memerintahkan pelayan membeli seperangkat pakaian jadi, untuk mereka menukar pakaian mereka yang basah itu.

Jie In mengambil sebuah kamar sendiri ia memesan makanan, ia minta itu dibawa ke kamarnya, maka iapun dahar seorang diri, Rupanya disebabkan kedinginan dan perut kosong, ia bersantap dengan bernapsu, ia merasakan hidangan itu lezat sekali.

Hujan masih belum berhenti, juga sangat dingin, maka di luar jendela terdengarlah suara berisiknya yang tiada putusnya.

" Kalau cuaca tetap begini, mana bisa besok aku melanjutkan perjalanan."pikir Jie In yang melongok ke jendela, sebenarnya ia ingin sekali lekas tiba di Thaygoan. Habis bersantap. ia berdiri .

"Baiklah aku melongok sebentar keluar, di sana ada sesuatu yang luar biasa atau tidak." ia berpikir pula, Terus ia membuka pintu dan bertindak keluar.

Ia berjalan dengan perlahan, selagi lewat di depan kamar Khu Lin dan Siauw Leng, sengaja dengan sikutnya ia membentur pintu kamar itu hingga pintu terbuka. Tiba-tiba saja ia menjadi heran, Kamar kedua kawannya itu kosong, Dengan cepat ia pergi keluar, untuk mencari ke sekelilingnya Tapi ia tidak melihat mereka itu,

"Mungkinkah diwaktu hujan begini mereka berminat pesiar?" tanyanya pada diri sendiri "Aneh"

Ia lekas kembali ke dalam. Di dalam kamarnya ia merasakan bau hawa yang mendesak Tadipun ia merasakan itu, ia baru merasa lega setelah mementang pintu, ia percaya itulah disebabkan hujan, hawa menjadi ngelekap. Karena itu, daun jendela ia palang, untuk membukanya separuh. Habis bersantap Jie In merasakan mukanya panas, setelah tadi ia keluar, ia merasakan hawa dingin dan lembab, ia tetap memakai topengnya, ia jadi merasa kurang enak. Maka ia membuka topengnya itu, untuk menyusuti mukanya dengan saputangan, hingga terlihatlah wajahnya yang asli, yang tampan sekali

Tiba-tiba di luar jendela terdengar suara kaget atau kagum perlahan: "Ih" saking perlahan suara itu dan terganggu suara angin dan hujan Jie in tidak mendengarnya.

Setelah memakai pula topengnya, pemuda ini, dalam rupanya seperti pelajar berusia pertengahan mengeluarkan mutiara yang disimpan dalam sakunya. itulah tanda mata dari Tio Lian cu, kekasihnya, yang diberikannya secara diam-diam selama di rumah Ciu Wie seng. ia pegangi itu dan mengawasinya, ia terbengong, ia terharu ketika ia ingat, diwaktu mereka mau berpisahan di Chongciu, mata Lian cu dan Goat Go merah disebabkan mereka itu berat untuk berpisah.

Tiba-tiba api di dalam kamar tersirap guram, angin terasa menyambar telinga, Di situ terdengar jatuhnya kayu ganjelan jendela, keras jatuhnya ke lantai, setelah jendela tertutup, api menjadi terang pula. Dalam sekejap itu, mutiara di tangan Jie In lenyap tidak keruan paran.

Mengingat Lian cu dan Goat Go, hati Jie In terbenam, ketika angin menyambar, ia merasa ada orang melompat masuk, hanya ia sadar sesudah kasip. orang sudah melompat keluar pula dan jendela tertutup digabrukkan, Lantas kamar itu memberi harumnya yancie dan pupur.

Tahulah ia bahwa yang datang itu wanita- adanya ia hanya merasa heran, orang tidak bermaksud jahat, ia cuma berpikir sejenak, lantas ia membuka jendela, untuk melompat keluar. Hujan sudah mulai reda sedikit, Di bawah payon terlihat satu bayangan orang.

Sambil berseru Jie In lompat memburu. Tapi bayangan itu sudah mendahului mencelat, memisahkan diri sejauh tujuh atau delapan tombak.

"Bagus" ia memuji dalam hatinya, memuji entengnya tubuh orang, sejak merantau, inilah yang pertama kali ia menemui orang demikian gesit, Tapi ia menyusul.

sekarang ia menyaksikan kecerdasan si bayangan, yang berlari-lari sebentar ke timur sebentar ke barat, hingga tak dapat dia tercandak, Atau kadang-kadang dia bersembunyi, untuk kemudian memperlihatkan diri sendiri

Dengan main petak secara demikian, Jie In akhirnya terpancing sampai disebuah rumah besar di dekat tembok kota, Karena orang menghilang ke dalam rumah, ia menjadi sangsi. ia berpikir: "Masuk atau jangan? Kenapa aku dibawa ke mari?"

Baru setelah itu, ia mengambil putusan buat mencari tahu, Maka dengan berhati-hati, ia melompat turun dari atas genteng, ia menghampiri jendela sebuah kamar di dalam mana ada cahaya api. ia lantas memasang telinga, Di dalam situ ada tiga atau empat orang tengah berbicara.

"Dua makhluk itu mampus" terdengar suara seseorang, "Mereka justru mengambil kamar hotel yang dibuka tong-cu, hingga tanpa merasa mereka kena dibekuk. inilah selaron menubruk api sendiri, mengantarkan kematiannya"

Jie In terkejut, bukankah yang tertangkap itu kedua sahabatnya? ia memasang telinga lebih jauh.

Seorang lain tertawa dingin dan berkata: "Kau jangan puas tidak keruan. Masih ada kabar buruk. Barusan aku mendengar, katanya ditubuh kedua orang itu tidak terdapat ho-siu-ouw berusia seribu tahun itu serta mustikanya si raja naga, cuma terdapat serenceng mutiara yang biasa dimiliki keledai botak. Gui Tongcu gusar karenanya, Kedua orang itu dikompes, Mereka bilang kedua rupa barangnya telah dirampas Ang Tiang Ceng dari Hek Liong pay.

Tongcu tidak percaya pengakuan itu sebab tongcu justru mendapat kabar- kilat katanya Ang Tiang Ceng, Pheng Hui, ong Ek. Liong- bun Nao Koay serta murid-murid Ngo Tay san, semua pulang dengan tangan kosong, Kedua barang itu lenyap. bukankah aneh?"

Jie In mendapat kepastian dua orang yang tertawan itu benar Khu Lin dan Lie Siauw Leng, ia menjadi heran memikirkan wanita yang memancingnya ini, Apakah maksud ia itu? Jadi ia bukan hanya digoda.

"Apakah mungkin," berkata orang yang ketiga, "mereka itu menggunakan akal seperti caranya orang mengirim piauw gelap. yaitu diam-diam barang itu sudah dikirim lebih dahulu?"

"Belum tentu" kata orang yang kedua. "setibanya kedua orang itu, mereka disusul seorang pelajar rudin berusia pertengahan Ketujuh imam Ngo Tay san roboh di tangan pelajar itu, Katanya si pelajar sangat lihay, cuma dia belum ketahuan asal-usulnya, Menurut ketujuh imam itu, si pelajar mengakui diri sebagai begal tunggal, Anehnya belum pernah kita mendengar tentang dia. Yang lebih aneh lagi, dia berani turun tangan dalam daerah pengaruh kita Ceng Hong Pay.

Tanpa bernyali besar dan lihay, siapa berani berbuat seperti dia? Karena itu Gui Tongcu tidak lantas turun tangan, ia hendak menanti sampai jam tiga nanti, untuk membikin dia roboh dengan hio pulas, untuk membekuk dan mengompesnya "

Mendongkol Jie In. jadi ia hendak ditawan dengan akal busuk. ia menganggap hina perbuatan Ceng Hong Pay. Musuh ayahnya berada dalam Ceng Hong Pay, juga musuh Kang Yauw Hong. sekarang timbul persoalan Khu Lin dan Lie Siauw Leng Maka ingin ia turun tangan. Lantas ia menyentil kertas jendela, terus ia sembunyi dipojokan. "Siapa?" begitu pertanyaan dari dalam yang mendengar ketukan perlahan itu.

Menyusul itu pintu terdengar dibuka dan seseorang nongol, melihat ke depan, ke kiri dan kanan.

"Siapa ya?" katanya, pada diri sendiri. Ia tidak melihat siapa pun juga.

Apes orang itu, ketika ia bertindak keluar, segera ia dibekuk Jie In. Mulanya ia disambar tangannya, lantas ditarik kepojok. di sini, sebelum ia sempat berontak atau berteriak ia ditotok iganya, lalu dengan perlahan tubuhnya diletakkan ditanah. Jie In kembali kejendela, ia mengetuk empat lima kali.

"Lie Liu-cu, siapa?" tanya seorang dari dalam, "Kenapa main ketuk-ketuk? Kalau ada urusan, tak dapatkah kau masuk untuk bicara di dalam?"

Orang itu lagi duduk. kursinya digeser, tetapi ia tidak lantas bangkit berdiri, ia bahkan menenggak araknya.

"Lao ong, kau keluarlah" kata lain orang lagi, "Pergilah lihat, mungkin tongcu hendak memerintahkan apa-apa. Aku lagi berdinas menjaga, tak dapat aku meninggalkan tempatku."

Orang yang dipanggil Lao ong itu, si ong tua, menggerutu: " Kalau mau bicara boleh di dalam, Kenapa main ketuk-ketuk jendela?" Tapi kali ini ia bangkit berdiri, untuk pergi keluar.

Jie In lantas menyambut, untuk merobohkan orang seperti yang pertama, Lie Liu-cu.

Karena didalam tinggal satu orang, dengan berani Jie in menyelusup masuk. Ia mendapatkan seorang dengan tubuh besar, alis tebal dan mata besar, lagi duduk di atas bangku panjang, sebelah kakinya diangkat. Dia lagi minum arak dengan asyik, Di meja di depannya ada piring-piring daging dan lainnya, juga kwaci, Di lantai berserakan tulang-tulang dan kulit kwaci. Dia kaget ketika mendadak dia melihat masuknya seorang tak dikenal, dia melompat bangun, mulutnya dibuka untuk berteriak. Dengan sebat Jie in melompat kepada orang itu, untuk memencet pundaknya.

"Jangan bersuara, atau kau lantas mati" ia mengancam.

Orang itu kesakitan, sesaat tidak berdaya, "Ampun" katanya, Hampir dia pingsan karena rasa ngerinya itu, makanya menjadi pucat, tubuhnya gemetaran.

"Gampang untuk mengampuni tau," kata Jie In tersenyum, "Asal kau beritahu di mana dua orang yang ditangkap itu, yang kalian bicarakan barusan, kau akan mendapat pengampunan"

"Malam ini aku jaga bertugas di sini, ako tidak melihat mereka," orang itu menjawab? "aku cuma mendengar mereka katanya berada di ruangan Gie-su-tong di mana mereka disiksa dengan kompesan Hun Kin Co Kut Ciu oleh Gui Tongcu, sebab mereka ngotot menyangkal kedua mustikanya."

"Gie-su-tong itu di mana dan bagaimana harus pergi ke sana?"

"Dari sini ke kiri, lalu ke kanan, lewat lorong, itulah dia." Jie In tersenyum.

"Kau tidak mati tapi dapat hUkuman hidup," katanya, " Untuk sementara kau menderitalah"

Orang itu kaget, dia ketakutan, tapi dia lantas roboh pingsan karena Jie In telah menotok belakang kepalanya, setelah itu Jie In pergi dengan jalan mengikuti petunjuk tadi. Malam itu gelap dan hujan masih turun terus, angin pun keras. Karena itu tiga pos penjagaan tidak melihat lewatnya Jie In, yang dapat sampai di muka Gie Su-tong.

Di dalam ruangan terlihat api terang, Di luar, ada dua  orang yang menjaga pintu, Tak sulit untuk Jie In merobohkan kedua orang itu, Mulanya ia berindap-indap untuk datang lebih dekat pada mereka, Sambil bersembunyi ia menepuk tangan dua kali, Mereka itu kaget, mereka berpaling, justru itu Jie In melompat kearah mereka, untuk menotok. Mereka tak berdaya, mereka roboh seketika, lantas keduanya digusur ke bawah payon, perbuatan itu tak diketahui siapa pun.

Di dalam ruangan itu teriihat Khu Lin dan Siauw Leng rebah di tanah, muka mereka meringis tanda kesakitan, Di depan mereka duduk empat orang. Pasti mereka orang- orang penting dari ceng Hong Pay. Yang ditengah beralis gompyok. matanya besar, dan berewokan-

"Kalau kalian tetap tidak mau memberi tahukan, lihatlah nanti aku si orang she Gui memberi rasa" katanya nyaring,

Jie In menjadi gusar sekali, la tidak dapat menahan sabar, Sambil berseru, ia mengayunkan kedua tangannya, membikin api padam, menyusul mana, ia melompat masukl Gui Gan kaget, Gelap ruangan itu.

"Anak-anak, ambil api" ia memanggil ia mengira angin menghembus masuk.

Menyusul itu, tongcu itu berdiam, lantas terdengar suara beberapa tubuh roboh, terus sunyi. Ketika seseorang datang masuk membawa lilin, dia kaget bukan main, Gui Tongcu berempat sudah roboh binasa dan kedua tawanan lenyap.

Dia lantas berteriak-teriak, hingga sebentar saja datang banyak orang, hingga ruangan itu meniadi kacau dan berisik, Semua orang bingung.

Jie In bekerja sangat cepat, Meski ruangan gelap. ia tahu di mana musuh berada, Paling dulu ia terjang Gui Tongcu dan tiga kawannya, baru dia membawa lari Khu Lin dan siauw Leng kepojok rumah di mana ia totok bebas pada mereka itu, terus ia berbisik: "Mari kita pergi"

Khu Lin berdua kaget dan heran- Mereka mengikuti tanpa bersuara Jie In mengajak orang ke kamarnya, Ketika itu hujan sudah berhenti, angin besar masih menderu-deru. "Terima kasih" kata kedua orang itu, Lantas mereka bertanya, "kenapa sahabat itu mengetahui mereka ditawan musuh,"

Jie In menggoyangkan tangannya, "Tunggu sebentar," katanya, "Kalian tahu, inilah hotelnya Ceng Hong Pay di bawah penilikan tongcu Gui Gan, Kalian tunggu, aku hendak menghukum mereka, Nanti kita bicara pula." setelah berkata, ia lantas pergi keluar pula. Kedua orang itu melengak. Heran mereka untuk lihaynya kawannya ini. Tidak lama perginya Jie In, dia pulang dengan sikap tenang dan tertawa.

"Bagus, semua sudah beres" katanya, "semua telah aku totok urat gagunya dan memusnahkan juga ilmu silatnya, sekarang mari kita pergi ke istal, untuk berlalu dari sini, di tengah jalan nanti kita bicara" Kedua orang itu menginsyafi bahaya, mereka menurut.

Demikianlah dilain saat mereka bertiga sudah berada dalam perjalanan menuju ke Thay-goan.

"Bagaimana caranya kalian tertawan? " Jie In bertanya. "Kami tak tahu," sahut Siauw Leng. " Habis bersantap kami

merebahkan diri Memang-nya kami sudah letih, Tanpa merasa kami kepulasan. Ketika kami mendusin, kami berada di tempatnya Gui Gan di mana kami disiksa untuk mengakui di mana adanya ho-siu-ouw dan empat mustika naga, selanjutnya kau ketahui sendiri, Kenapa tayhiap mengetahui kami tertawan?"

Jie In menuturkan apa yang terjadi, "Berharga lenyapnya mutiara itu," katanya tertawa, "Cuma aku tidak tahu siapa dia."

Kedua orang itu berlega hati, tetapi mereka masgul, Mereka menduga tentu ada sebabnya yang menyulitkan maka penolong itu menyembunyikan diri.

Di dalam gelap. dijalanan yang becek dan berlumpur, ketiga orang ini melarikan kuda mereka, Di atas langit, bintang-bintang pun tidak ada. Cuma hawa dingin. Berisik suara tindakan kaki kuda mereka. Dua jam mereka kabur, tidak ada rintangan apa-apa. Mendekati fajar, jauh-jauh, lapat-lapat, terlihat kota Thaygoan,

"Kita menuju langsung ke barat daya," kata Khu Lin- "Sebentar lagi, kita akan sampai di Ceng sian sie"

Kuil Ceng sian sie kuil tua, dulunya bernama Thian Liong sie, dibangunnya dijaman Cee Utara, Di sana terdapat banyak gua dengan patung-patung sang Buddha dan lainnya. Sun Tie, kaisar pertama ahala Ceng, pernah berdiam satu tahun di dalam kuil itu. Nama Ceng sian sie diubah oleh kaisar Kong Hie. (Kemudian lagi, di akhir Kaisar Kian Liong, nama itu dikembalikan pada asalnya, menjadi Thian Liong sie).

"Baiklah," kata Jie In tertawa, "Kalian jalan lebih dulu, aku akan menyusul." Habis berkata, ia keprak kudanya lari menuju ke kota.

Khu Lin dan Siauw Leng menuju ke barat daya, Mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan, guna mencegah orang mencurigai mereka. setengah jam kemudian, mereka sudah tiba di depan kuil, Mereka turun dari kuda mereka dan bertindak memasuki pintu pekarangan- segera mereka disambut Kong Goan Taysu, pendeta tukang menyambut tamu, Dia mengangguk

"Jie wie baru sampai" katanya, "Banyak capai Jie sie-cu sudah menantikan sekian lama"

Heran mereka berdua, hingga mereka melengak. Akhirnya mereka saling pandang dan tertawa, Hebat Jie In- segera setelah menanyakan kesehatan gurunya, mereka lari masuk, terus ke hong-thio, kamar pendeta kepala.

Dari luar mereka sudah mendengar suara guru mereka dan Jie In yang bicara dengan suara cukup keras dan sambil tertawa juga, Ketika mereka menyingkap gorden, Jie In berdiri dan berkata: "Maafkan aku, aku tiba lebih dulu" Girang hatinya kedua orang itu, Mereka mendapatkan guru mereka sehat sekali, Tahulah mereka, tentu guru itu sudah makan ho-siu-ouw, Maka mereka berkata pada Jie In:

"Jie Tayhiap. banyak terima kasih atas budi pertoIonganmu. Terimalah hormat kami" Lantas mereka menjura dalam-dalam.

"Jangan- jangan" Jie In mencegah. Thian Tie Tiauw siu tertawa dan berkata:

"Memang pantas mereka menghaturkan terima kasih mereka kepada Jie Tayhiap janganlah tayhiap terlalu merendah," lalu ia menambahkan "barusan-aku diberitahu oleh pendeta penilik di sini bahwa di luar rimba cemara di sekitar kuil ini kedapatan bergelimpangan belasan mayat, pasti itulah perbuatan tayhiap yang sudah menyingkirkan orang- orang jahat."

"Siancay siancay" memuji seorang pendeta yang alisnya putih semua, yang duduk bersama mereka, "suruhlah Kong Goan bakar mereka itu menjadi abu. Mungkin aku mesti mendoa tiga hari untuk mereka itu."

"Ha, tua bangka botak. sejak kapan timbul pula ingatanmu yang baik?" kata Thian Tie tertawa lebar.

Pendeta itu, Ceng Tim siansu, memejamkan mata, dia berdiam saja.

Khu Lin dan siauw Leng heran dan kagum. Mereka tidak menyangka Ceng sian sie juga didatangi orang-orang Ceng Hong Pay itulah berbahaya, Syukur Jie In telah keburu sampai dan turun tangan, Tanpa orang she Jie ini, entah apa jadinya dengan mereka semua.

Kemudian mereka berbicara lebih jauh, sampai Thian Tie Tiauw siu berdiri, sambil tertawa, ia berkata pada penolongnya: "Jie Tayhiap. aku sudah sembuh, aku ingin segera pulang ke In lam, Aku harap. kalau nanti tayhiap pergi ke sana, sukalah kau mampir pada-ku, supaya sebagai tuan rumah, dapat aku melayani tetamuku."

" Itulah pasti" sahut Jie In tertawa, "Tanpa locianpwe mengatakannya, sudah selayaknya aku datang menjenguk."

Thian Tie berpaling kepada Ceng Tim dan berkata: "Taysu, buat banyak bulan aku telah mengganggumu, kau juga telah menolong mengobati aku, untuk itu aku tidak dapat mengucapkan terima kasih, maka biarlah lain tahun pada hari ini, aku datang berkunjung pula ke mari"

Tuan rumah membuka matanya dan tertawa.

" Kalau kau sudi datang, kau dapat datang sembarang waktu" sahutnya, "Pintu Ceng sian sie selalu terpentang lebar- lebar Aku pun tidak dapat mengucapkan apa- apa, asal kau tak kurang sesuatu apa pun di sepanjang jalan" ia terus mengantar tamunya sampai di luar.

selagi mau berpisahan, Thian Tie menghadiahkan Jie In sepotong ho-siu-ouw sebesar jeriji tangan serta pisau belati cula badak. sembari tertawa ia berkata: "Cukup untukku memakan separuhnya ho-siu-ouw, maka itu masih ada sisa tiga potong, ini yang sepotong untuk tayhiap makan, guna membantu tenaga dalammu, ini pisau belati cula badak aku dapatkan secara kebetulan saja di gunung Bong chong san, tajamnya dapat dipakai menabas emas atau batu kumala, Aku tahu, tayhiap gagah dan tak membutuhkan ini, tetapi aku minta sukalah kau menerima, sebagai tanda terima kasih ku."

Melihat orang bersungguh hati, Jie In menerima.

Khu Lin dan siauw Leng berat untuk berpisah dari Jie In, air mata mereka mengembeng karenanya.

Setelah keberangkatan Thian Tie Tiauw siu bertiga Jie In berpamitan dari Ceng Tim, terus ia pergi ke kota Thaygoan di mana ia menumpang di hotel Bouw Goan, ia dapat beristirahat, besoknya ia bangun, untuk keluar dan jalan-jalan- Dijalan besar banyak air, hawa dingin, sedikit orang yang mondar mandir, Beberapa hari lagi akan tiba tanggal dua puluh empat bulan dua belas.

Kemudian ia menggunakan waktu tiga hari untuk pesiar di delapan tempat tersohor dari kota Thaygoan itu, Paling belakang ia pesiar di luar kota. Hari itu ia tiba di "Hong Tong" atau Gua Angin, belasan li di luar kota, itulah gua batu yang luas dan di dalamnya terdapat seratus lebih cio-pay berukiran isi kitab Buddhism tulisan dari banyak orang, hingga model suratnya tak seragam.

Tertarik akan menyaksikan demikian banyak cukilan, hingga lama ia menyaksikannya, sesudah setengah hari, selagi ia hendak pergi keluar, ia mendengar tindakan kaki, Cepat-cepat ia bersembunyi di belakang sebuah ciopay yang besar.

Yang datang itu dua orang, mereka bertindak masuk sambil berbicara gembira, sambil tertawa Jie In menjadi heran.

Katanya dalam hatinya: "Kenapa bocah-bocah ini berada di Thaygoan?"

Mereka itu bukan lain daripada Hu Wan dan Hu Ceng, si Wan- Jie dan ceng- Jie. Mereka pergi kepojok di mana mereka itu lantas duduk numprah. untuk menangsal perut, Untuk itu mereka membekal dua bungkusan.

Segera terdengar suaranya Hu Ceng, yang bicara sambil tertawa: "Encie, bukankah pendeta itu mendustai kita? Dia kata Pat Ciu Thian-cun sudah pergi semenjak tiga hari yang lalu, Karenanya kita mesti menanti lagi dua hari, baru dia pulang Benarkah ada kejadian begini kebetulan? Menurut aku, ingin aku menggeledah setelah itu, baru aku mau percayai"

"Adik Ceng, beginilah tabiatmu" berkata sang kakak, "Tidak apa kita menanti lagi dua hari selewatnya itu baru kita mencari tahu si siluman tua Pat Ciu sudah pulang atau belum Pendek kata, sebelum pedang Thay oh didapat pulang, tidak nanti aku mau mengerti" si Ceng berdiam.

Mendengar itu, baru sekarang Jie In mengerti keterangannya Hu Liok Koan bahwa ada sebuah pedang Thay oh Kiam telah dirampas seorang penjahat tidak dikenal, penjahat itu beroman aneh, tinggi tubuhnya delapan kaki, kepalanya potongan labu, mukanya penuh titik-titik putih.

Rupanya sekarang telah ketahuan, pencuri itu ialah Pat Ciu Thian-cun, si Malaikat Tangan Delapan, Hanya ia tidak mengerti, kenapa Hu Liok Koan tidak bersama kedua bocah ini. Kenapa mereka berdua dibiarkan menempuh bahaya?

Apakah ada terjadi sesuatu atas diri Liok Koan?

Sudah setengah tahun mereka berpisah, sampai di situ, ia tidak mau bersembunyi lebih lama lagi. Tapi ia ingin main- main. ia menggeser tubuhnya secara diam-diam.

Kedua bocah itu lagi bersantap dengan lahapnya tatkala Ceng- Jie kaget karena tahu-tahu ada tangan yang merampas paha ayam-nya. Keduanya kaget, lantas mereka melompat bangun, hingga mereka mendapatkan, siperampas ialah seorang pelajar rudin berusia pertengahan yang terus duduk numprah ditanah sambil menggeragoti paha ayam mereka.

Mata Ceng- Jie melotot.

"Eh, kenapa kau begini kurang ajar?" dia membentak. " Kenapa kau merampas maka nan orang? Apakah kau sudah tidak gegares selama tiga tahun?"

"Anak, bagus pertanyaannya" sahut Jie In, yang menggunakan logat suara orang Utara, "Kalau sudah tiga tahun aku tidak gegares, mana dapat aku merampas barangmu?"

Ia lantas memandang Wan- Jie, ia berkata: "Nona, jangan gusar, ya? Barang ada dua bungkus, kalau itu dimakan hanya tiga orang, masih banyak kelebihannya. Mari, mari kita dahar bersama sesudah aku si orang tua bersantap. nanti akan memberikan sesuatu yang baik kepada kalian"

Sambil memandang itu, diam-diam ia memperhatikan si nona, setelah setengah tahun tidak bertemu, Wan Jie tampak semakin besar dan tinggi, kedua matanya hidup sekali, hingga dia bukan lagi nona berumur empat atau lima belas tahun, dia mirip gadis berusia tujuh atau delapan belas tahun.

Hu Wan mementang matanya mengawasi si pelajar rudin yang merampas paha ayam itu.

"Siapa mengharap kebaikan darimu?" katanya menyahut "Kalau kau mau makan, makanlah, kami pun sudah tidak membutuhkan nya"

Jie In tertawa tergelak.

"Sungguh menarik sungguh menarik" katanya, "Nanti kau jangan meminta apa-apa dari aku. Aku si orang tua, apa yang aku bilang, kalau sudah satu, tidak nanti menjadi dua"

"Siapa yang mau minta sesuatu darimu ?" Ceng Jie berseru, "Kau sendirilah yang datang kepada kami. Tidak tahu malu"

Jie In tersenyum. Hanya sejenak. mendadak romannya tampak kaget, secepat kilat dia melompat, menangkap kedua anak itu, untuk dibawa bersembunyi di belakang ciopay, sambil berbuat begitu, dia berbisik: "Jangah bicara. Ada orang" sekarang dia melepaskan tangannya, untuk menyenderkan di samping gua.

Wan Jie dan Ceng Jie kaget sekali, Tidak mereka sangka, mereka dapat dibekuk secara demikian, hingga mereka tidak berdaya, Wan Jie pun mendongkol. Bukankah ia telah menjadi gadis remaja? Dan tangannya disambar seorang yang tidak dikenali. Maka dia bergelisah.

Juga Ceng Jie penasaran, Tapi dia tanya kakaknya: "Encie, benarkah ada orang? Bukankah dia ini manusia busuk?"

Si nona membekap mulut adiknya, "Jangan bicara" bisiknya, "Awas, nanti orang jahat mendengarnya " Ketika itu dari luar gua terdengar tindakan kaki orang, terdengar juga suara pembicaraan Rupanya mereka itu berdua, seorang pria serta yang lain wanita.

"Entah kenapa guru kita," berkata yang pria, "terhadap dua bocah cilik wanita dan pria itu, dia demikian takut? Coba suhu tidak memesan wanti-wanti, sungguh ingin suhengmu ini mencoba-coba mereka itu"

" Kau tidak tahu" berkata si wanita, sembari tertawa, "Peryakinan suhu atas ilmu Cu Ngo Hian Kang tinggal serintasan lagi dan selama dua belas jam yang mendatang ialah saatnya yang paling penting, andaikata perhatiannya terganggu, ada kemungkinan suhu tersesat Apakah kau kira suhu benar-benar jeri berhadap mereka? suhu bilang, maksud kedatangan mereka itu masih belum diketahui, tak dapat kita bertindak sembrono, juga masih harus diketahui, di belakang mereka pasti ada orang tua yang menjadi tulang punggungnya. Maka suhu kuatir kita menyebabkan timbulnya bahaya di belakang hari. Karena itu suhu melarang kita memperlihatkan diri"

Mereka tiba di mulut gua, di situ mereka berhenti, berbicara tak jelas. Wan Jie dan Ceng Jie menjadi tegang sendirinya. segera terdengar pula suara yang pria:

"Dasar kau wanita, kau lebih disayangi suhu. Cuma kaulah yang setiap pagi dan sore diijinkan naik ke menara menemui suhu Mungkin kau telah mendapat kebaikan apa- apa." Katanya kalau nanti sudah selesai peryakinan suhu atas Co Ngo Hian Kang, maka pedang Thay oh Kiam yang ia dapatkan beberapa tahun yang lampau hendak digabung dengan cu Ngo Hian Kang, buat dijadikan ilmu silat Cu Ngo Cap Jie Kiam, dengan begitu suhu jadi dapat membangun satu partai baru, ia sendiri menjadi seorang jago. Benar begitu, bukan?" Yang wanita tertawa. "Kau benar-benar pintar" katanya, "Pantas suhu memuji kau Eh, ya, kau memanggil aku datang ke mari, mau apakah kau?"

"Tentu ada perlunya, sumoay" sahut yang-pria, yang lantas memberikan keterangannya.

BAB 14

Jie In mendengar pembicaraan kedua orang itu, ia menjadi gusar, dengan sebat sekali ia melompat keluar dari tempat sembunyinya, terus ia menotok mereka roboh sebelum mereka sempat berdaya, saking kagetnya, mereka cuma dapat berseru tertahan- pria itu roman-nya tampan dan yang wanita cantik,

Hu Wan dan Ceng Jie terperanjat mereka memburu keluar, maka di sini, di tempat yang terang Jie In melihat si Nona Hu menjadi jauh lebih elok daripada setengah tahun yang baru lalu,

Tentu saja, senang ia melihatnya. sebaliknya Wan Jie, dia jengah diawasi orang, hingga kedua pipinya menjadi merah. Tapi dia mendongkol untuk sikapnya pelajar rudin yang tidak dikenal ini, dia mengawasi tajam, demikian juga Ceng Jie.

"Mereka berdua ini ada faedahnya untuk kalian," kata Jie In tertawa, ia tidak mengambil pusing orang agaknya mendongkol "Aku si orang tua telah merampas barang makananmu, maka dengan ini aku menghaturkan terima kasih ku."

Mendadak dia berhenti bicara, dia menangkap pula tangan kedua anak itu, untuk kembali dibawa lari bersembunyi sembari berbuat begitu dia berkata: "Lekas masuk. Ada orang"

Karena ada pengalaman tadi, Wan Jie dan Ceng Jie menurut, Baru mereka bersembunyi di luar gua telah terdengar tindakan kaki orang serta suara ini yang menyusulnya: "Cie sute ,Yan sumoay suhu memanggil kalian" Suara itu tidak memperoleh jawaban.

" Heran" kata pula orang itu. "Tadi aku melihat mereka menuju ke sini Ke mana perginya mereka? Apakah mereka terus pergi ke kota? Cie sute Yan sumoay"

Dua kali panggilan itu diulangi, masih tidak ada jawaban, Rupanya dia percaya sute dan sumoay nya itu, adik seperguruan yang pria dan wanita, sudah pergi ke kota, maka tanpa masuk lagi ke dalam gua, ia pergi dari situ.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar