Menuntut Balas Jilid 03 : Penjusup-penjusup jang sial

Jilid 3 Penjusup-penjusup jang sial

Goan Tong berdiam, mukanja putjat. Ia gusar tanpa berdaja. Ia mau bitjara tetapi batal. Ia anggap pertjuma ia membuka mulut. Barusan ia tidak dibokong, bahkan ia jang lagi menjerang setjara mendadak.

“Aku tidak sangka sekali It-tjie sin-mo jang kesohor dan galak, sekarang ini tidak ada gunanja” kata pula manusia aneh itu. “Tapi aku mengingat kau baru kali ini berbuat kurang adjar terhadap aku, suka aku memberi ampun. Nah, pergilah kau”

Kapan tjekalan pada nadinja dilepaskan, tanpa ia dapat menahan lagi, Goan Tong mesti membiarkan tubuhnja terhujung dan roboh tiga tombak. Ia pun mendengar tulang- tulang atau ototnja pada berbunji. Ia mendjadi kaget sekali. Itu berarti musnalah semua kepandaian silatnja, bahwa ia telah mendjadi satu manusia bertjatjad. Maka habis sudahlah ketikanja untuk ia mentjari balas. Tidak ada lain djalan, ia lantas ngelejor pergi

“Mari kita pergi” si orang aneh berkata kepada Hong Pioe dan Kim Go. Ia tertawa, ia bertindak kearah kedua kawan itu.

Biar bagaimana, Tjin Lok toh gusar, hingga ia djadi berani.

Tidak bisa ia membiarkan orang pergi setjara demikian. Mendadak ia lompat menjerang sambil ia berteriak: “Siluman, aku akan adu djiwaku”

“Kau mentjari mampus?” si orang aneh menegur, tanpa menoleh lagi, terus ia berkelit.

Tjin Lok menjerang tempat kosong, tangannja meluntjur terus bersama tubuhnja. selagi begitu, tubuhnja itu lantas ditepuk hingga ngusruk, membentur pada sebuah pohon didepannja. Bukan main sakit kepalanja, rasanja maupetjah, matanja pun kabur.

“Tjin Lok. aku beri ingat padamu” kata orang itu bengis. “Selandjutnja tidak dapat kau membiarkan orang-orangmu main gila lagi, tidak dapat mereka menimbulkan gara-gara Djikalau tidak. It-tjie sin-mo tjontohnja”

Habis berkata, dia lantas berdjalan pergi, diturut Hong Pioe dan Kim Go.

Dengan paksakan diri, Tjin Lok merajap bangun- Kalau tadinja ia mendongkol sangat, sekarang otaknja mendjadi dingin, hingga ia dapat berpikir: “Tjioe-kee-tjhung dibelai orang liehay ini, pertjumalah segala usahaku. Tidak dapat tidak. mestinja paytjoe sendiri datang kemari”

Karena ini, ia lantas menjuruh orangnja melepas isjarat tanda urusan penting.

In Gak berdjalan terus, sampai ditepi kali, ia tertawa dan kata pada kedua kawannja: “Gouw Tiangtjoe, The Tayhiap tahukah kamu bahwa kedua botjah jang nakal telah turut datang kemari?”

Kim Go terkedjut. “Mereka datang?” serunja. “Oh benar-benar mereka sembrono”

In Gak menundjuk kedepan, ia tertawa. “Lihat, bukankah itu mereka itu?” tanjanja.

Hong Pioe dan Kim Go menoleh. sekarang mereka melihat, Lian Tjoe berdua Goat Go lagi berduduk digili-gili sawah dan berbitjara sambil tertawa-tertawa. “Ah, dua botjah itu sungguh”

Hong Pioe berkata tanpa dapat meneruskan. Ia berpaling pada In Gak, untuk membilang: “Gan siauwhiap. apabila kau tidak datang, pasti kita berdua akan kehilangan djiwa kita di Lioe sie Wan ini”

In Gak tertawa.

“Sjukur sang fadjar mendatangi, kalau tidak. tidak dapat aku bekerdja” ia kata merendah. “Gouw Tiangtjoe, telah aku menjaksikan kepandaian kau, maka sekarang ingin aku menjaksikan The Tayhiap.”

“Sjukur aku tidak dapat mempertontoni kedjelekanku, djikalau tidak. bagaimana aku malu” kata Kim Go tertawa.

Lian Tjoe dan Goat Go dikedjutkan tertawa itu, mereka bangun berdiri.

In Gak mengadjak dua kawannja melintasi kali, untuk menghampirkan kedua nona itu, jang sebaliknja pun lari kepada mereka. Lantas mereka itu mengawasi si anak muda tak perduli orang beroman menakuti, bahkan Goat Go mendjadi berani, ia mengulur tangannja untuk meloloskan topeng itu sembari ia kata: “Buat apa memakai topeng ini? Bukankah ini akan membuat orang mati saking takut?”

In Gak meluntjurkan tangannja merampas pulang topengnja itu. “Nakal” katanja.

“Ja, anak, kau terlalu” kata Hoei-in-tjioe tertawa. “Apa jang terlalu?” kata si nona tertawa djuga.

Kembali Hong pioe tertawa. Djuga Kim Go. Lian Tjoe turut tertawa, tetapi hatinja kurang gembira Benar-benar sang fadjar lagi mendatangi. In Gak

memandang kelangit.

“Mari kita pulang” ia mengadjak.”Tjioe Tjhungtjoe pastilah tak tidur semalam suntuk”

Lantas kelimanja berangkat dengan tjepat. Ketika mereka tiba diperbatasan dimana ada berdjaga-djaga orang Tjioe-kee- tjhung, mereka itu pada melepaskan burung dara untuk memberi kabar kepada tjhungtjoe mereka. Maka itu setibanja mereka dirumah, Wie seng bersama To Tjiok sam lagi duduk menantikan. Memang mereka ini berdua tidak tidur, mereka terus menunggu.

Goat Go nampak berduka, ia hampir menangis. Melihat puterinja itu, jang nampak harus dikasihani, roman Wie Seng tidak guram seperti semula. Ia gusar karena anak itu pergi setjara diam-diam.

To Tjiok sam tertawa dan berkata: “Setelah kita mendapat kabar kedua botjah nakal ini pergi, Tjioe Laotee mau lantas menjusul sendiri, tetapi aku si orang tua mentjegah dengan membilang, dengan adanja Gan siauwhiap disana, tak usahlah kita berkuatir. Aku kata djuga, tanpa membiarkan mereka merasai sedikit kesukaran, mereka tak akan tahu rasa.

Laginja, anak perempuan itu terlahir untuk pihak luar, baik mereka dibiasakan pergi seorang diri Bukankah kalau nanti mereka menikah, mereka tak dapat didjagai terus?”

Mendengar itu, Hong pioe dan Kim Go tertawa lebar, In Gak sebaliknja bersemu dadu

mukanja. Ia kata: “Ah, lootjianpwee djail sekali”

Muka Lian Tjoe pun dadu tetapi hatinja senang. Ia kata dalam hatinja: “Tua bangka she To ini bermata tadjam sekali? Tjara bagaimana dia mengetahui jang Goat Go dan aku mengagumi Gan siauwhiap? Aku harap sekalian sadja ia mendajakan agar kita berdua dapat menuntut peladjaran dari Gan siauwhiap.”

Ia lantas melirik Goat Go, ia merasa Nona Tjioe berperasaan seperti ia sendiri,

Goat Go pun melirik pada kawannja, lantas mereka sama- sama bersenjum, tetapi ia likat, ia mengeluarkan saputangannja, untuk menutupi mulutnja. Wie seng pun tertawa.

“To Laodjie, kau gemar bergurau” katanja. setelah itu ia tanja Hong pioe dan Kim Go, “Bagaimana kesudahannja dengan kepergian mereka barusan.”

Senang Hong pioe ditanja. Dengan gembira dan bernapsu, ia tuturkan pengalaman mereka tadi di Lioe sie Wan dimana In Gak telah mempertundjuki kegagahannja.

selama orang bitjara, bunga hatinja Lian Tjoe dan Goat Go, hampir tak hentinja mereka mengawasi In Gak.

“Djikalau kawanan bangsat itu mau naik dipanggang dengan menggunai siasatnja,” kata Tjiok sam tertawa, “baiklah, nanti aku naik dan menghadjar mereka terdjungkal dari atas panggung”

“Hebat kau, To Laodjie” kata Wie seng, tertawa. “Orang naik kepanggung untuk merebut djodoh tetapi kau hendak menghadjar orang”

“Bukannja begitu, saudara Tjioe, aku hanja sangat sebal terhadap mereka” kata Tjiok

Sa m.

Pembitjaraan mereka terhenti karena muntjulnja seorang tjhungteng, jang datang setjara tergesa-gesa, segera dia melaporkan bahwa dari arah Lioe sie Wan tertampak isjarat meluntjurnja kembang api lima warna.

Wie seng memberi tanda untuk orangnja itu mengundurkan diri, habis itu ia kata sembari tertawa: “Tak lebih tak kurang, lantaran merasa tak ungkulan, mereka itu meminta bala- bantuan, Biarlah kita boleh nantikan mereka”

In-liong sam-hian berdiam, untuk berpikir. Lian Tjoe segera memandang In Gak jang bersikap tenang.

“Gan siauwhiap.” sapanja,”Bukankah tadi kau mendjandjikan akan mengadjarkan sesuatu padaku?”

“Ja, Gan siauwhiap, djangan kau menjangkal” Goat Go pun kata, tertawa. To Tjiok Sam memandang kedua nona.

“Ha, budak-budak nakal,” katanja. “Kau menjebut-njebut siauwhiap tidakkah itu berbau asing? Kamu seharusnja menjebut Gan Toako, Kalau tidak. tidak nanti kau diadjari ilmu silat”

Belum berhenti suara orang tua ini, dia sudah diserbu nona-nona itu.

“Oh, oh..” Tjiok sam tertawa terpingkal-pingkal. “Siauwhiap. lekas kau mengadjari mereka, nanti tulang- tulangku dipatahkan mereka ini”

Wie seng segera menegur anaknja.”Anak Goat, djangan kurang adjar!” katanja.

Kedua nona itu berhenti, muka mereka merah. In Gak segera datang sama tengah.

“Nona-nona, kamu ingin beladjar apa?” ia tanja.

Lian Tjoe menjing kap naik rambut didjidatnja, ia tertawa. “Aku ingin mempeladjari kepandaianmu jang diperlihatkan

ditaman belakang, serta itu jang dipakai menangkap tangan It-tjie sin-mo seperti katanja Gouw Lootjianpwee,” ia kata. “Tentang adik Goat, la ingin mempeladjari apa, kau tanja sendiri sadja kepadanja” ia tertawa pula.

“Aku? Aku ingin beladjar seperti kau, entjie” kata Goat Go tertawa. Ketika itu, keduanja tak likat lagi. In Gak tertawa didalam hati.

“Hm, besar sekali hati mereka ini,” pikirnja. “Kepandaian ini ketjuali kakek guru Boe Wie siang djin dan guruku, Beng Liang Taysoe, hampir tak ada jang dapat mempeladjarinja.” Tipu silat jang pemuda ini gunai terhadap Tjie Ek dan Koe souw berasal dari ilmu silat Hian-thian Tjit-seng-pou atau tindakan Tudjuh Bintang Hian-thian, ilmu mana ditjiptakanBoe Wie siang djin selama orang berilmu itu berdiam di Thian san Utara, sedang ilmujang dipakai melajani It-tjie sin-mo ada dari Hian-wan sip-pat-kay, im-yang Tjeng-hoan shatjaplak-tjioe, jaitu tigapuluh-enam djurus im-yang Bulak-balik, Kedua ilmu itu dapat berakibat buruk bila dipunjai orang jang hatinja tak lurus, karena ini, si anak muda merasa agak sulit. fa menguatirkan hati nona-nona itu kurang kuat, nanti mereka bisa tersesat. Tapi ia tidak kekurangan akal, lantas ia tertawa.

“Aku telah memberi djandjiku, tidak nanti aku menjangkal,” ia kata. “Tentang kedua matjam ilmu kepandaian jang kamu minta, aku suka mengadjarinja, hanjalah itu sulit, ketjuali waktunja lama, sampai lima tahun, djuga setelah dapat dipahamkan, orang masih mesti berlatih terus, tak dapat dia lantas keluar pintu. Maka aku lihat, baik begini sadja. Lebih dulu aku mengadjari pokoknjapeladjaran, jang dapat segera digunakan. Bagaimana, apakah kamu setudju?”

Kedua nona mempertjajai keterangan itu, mendengar waktunja lima tahun, mereka mengulur keluar lidah mereka.

“Baik” kata Lian Tjoe. “Sekarang kau mengadjari aku apa sadja jang kau rasa baik, asal nanti kau djangan melupakan djandjimu akan mengadjari djuga itu dua matjam ilmu”

In Gak tertawa.”Peladjaran ini tak dapat didengar oleh telinga jang keenam, maka marilah kamu turut aku” kata ia, jang mengadjak orang pergi ketaman. Ia pun lantas meminta diri dari Wie Seng semua.

Orang-oraag tua itu mengawasi sampai si anak-anak muda lenjap. lalu Hong pioe mengulet dan berkata: “Satu malam kita tidak tidur, sekarang masih ada tempo satu djam, mari kita beristirahat dulu.”

Wie seng semua akur, maka itu, mereka mengundurkan diri Setengah djam kemudian, dari luar Tjioe-kee-tjhung datang isjarat beruntun- runtun tentang mulai datangnja sekalian tetamu, maka Wie seng mengatur penjambutan terhadap mereka.

Hong pioe dan Kim Go terus beristirahat, sedang In Gak, setibanja tadi mereka ditaman, ia mulai mengadjari Lian Tjoe dan Goat Go ilmu Kioe-kiong Tjeng-hoan im-yang-pou.

Mulanja ia bersilat sendiri, si nona-nona jang mengawasi dengan perhatian. setiap tindakannja bertapak ditanah. ilmu ini beda dari Hian-thian Tjit-seng-pou tetapi, dengan ini orang dapat bertahan dari musuh kelas satu. ilmu jang kedua jalah Pat-kioe Leng-long Tjioe- hoat, ilmu kelintjahan untuk menangkap tangan lawan atau menotok.

Kedua nona itu tjerdas sekali, dengan tjepat mereka dapat menjangkok. maka tak lama kemudian, In Gak membiarkan mereka berlatih terus, ia sendiri meminta diri untuk kembali kekamarnja.

Setibanja dalam kamarnja, pemuda ini merasa kesepian, hingga lantas ia teringat akan tugasnja sendiri sudah setengah tahun ia merantau ditiga propinsi, belum berhasil ia denganpembalasannja, bahkan ia belum tahu djuga, siapa- siapa semua musuhnja dan dimana beradanja mereka itu, karena mana tak dapat ia berdiam terlalu lama di Tjioe-kee- tjhung ini. fa menghela napas, ia membuka pintu kamarnja, untuk memanggil pelajannja, buat minta kertas dan alat tulisnja. Maka dilain saat, selesailah ia menulis sjair dalam mana ia melukiskan rasa hatinja, tentang tjita-tjitanja jang belum terwudjudkan itu. Tulisannja pun indah sekali.

Ketika In Gak memanggil pelajan, Hong pioe dan Kim Go mendengarnja, mereka bangun dari pembaringan, untuk menghampirkan, hingga mereka menjaksikan anak muda itu menulis sjairnja, tjepat dan indah sjairnja. Mereka telah membatja: Satu niat belum terwudjudkan,

Air mata mengalir karenanja. Menjesal, menjesali musuh, Bagaikan air mengalir, tak kembali Menenggak air kata-kata, Melenjapkan duka- nestapa

Bersedih, Bernjanji, semangat bergelora.

“Hebat” berkata Kim Go menghela napas, saking kagum. “Aku tidak sangka siauwhiap dapat menjimpan diri begitu rupa. sudah ilmu silatmu liehay, ilmu suratmu pun begini mahir. sungguh sukar didapat lain sebagai kau”

“Djiewie mentertawakan sadja,” kata In Gak bersenjum. “Aku tjuma lagi mempeladjari ilmu bersjair dan menulis indah, sedang tulisanku ini lugat-legot bagaikan tjatjing, mana bagus untuk dipandangi”

Ketika itu terdengar tindakan kaki dilantai lauwteng lantas terlihat Lian Tjoe dan Goat Go menolak pintu bertindak masuk. segera si Nona Tio melihat sjair itu jang terletak diatas medja, lantas dia mendjemputnja. “Ini untuk aku” katanja. “Kau dapat menulis jang lainnja lagi” Mukanja Goat Go bersemu dadu, sangsi ia untuk berbitjara.

“Inilah tidak berarti,” kata In Gak tertawa. “Biarlah, lain kali aku menulisnja pula. sekarang aku hendak tanja kamu, bagaimana dengan latihanmu?”

“Kami ingat semua” sahut Goat Go tertawa. “Tjuma katanja entjie Tio kau masih menjembunjikan sesuatu”

In Gak mementang matanja, melongo mengawasi nona itu.

Lian Tjoe tertawa.

“Kau, kau” katanja. “Kau tjuma mengadjari kami ilmu tjambuk. ilmu kelintjahan, tetapi ilmu pedang masih dihutang.”

Mendengar itu, Hong pioe tertawa tergelak.

“Lihat, Gan siauwhiap” ia kata, “dua botjah ini tamak bukan main Mereka tak puasnja, Aku lihat, kau mestinja membongkar kopormu sampai terlihat dasarnja, djikalau tidak. tak nanti mereka mau sudah”

In Gak memang tahu Lian Tjoe nakal sekali, hanja kenakalan jang menarik hati. Ia ingin mengudji.

“Sudah, sudah” katanja sesaat kemudian, “aku memang tahu kamu hendak melibat aku. Untuk beladjar silat, kita harus menunggu sampai sebentar malam. Bagaimana, kamu puas sekarang?”

Kedua nona nakal itu saling mengawasi, mereka tertawa sambil membekap mulut mereka. Nampaknja mereka puas.

Sementara itu terdengarlah suara lontjeng dari seluruh Tjioe-kee-tjhung. Hong pioe terkedjut.

“Tjelaka!” ia berseru. “Djangan-djangan ada orang liehay, jang tidak memakai aturan, jang menjerbu masuk siauwhiap. mari kita lihat”

Tanpa memberi djawaban lagi, In Gak menurut. Maka berlima mereka lari keluar. Mereka tidak turun lagi ditangga lauwteng hanja masing-masing terus lompat naik kelenteng, untuk memotong djalan ketetarap timur.

In Gak mentjelat paling dulu. segera ia melihat beberapa orang berlompatan diudjung tembok. sekelebatan sadja, bagaikan bajangan, mereka itu lewat. Tak nampak muka mereka itu, tapi terlihat mereka bukannja masuk dari satu tempat. Ia lantas mendapat tahu ada orang nelusup ketaman belakang. segera ia mengenakan topengnja, dari mulutnja terdengar suara edjekan.

Hong pioe berempat mendengar suara anak muda ini dan melihat orang sudah memakai topeng, mereka menduga si anak muda mesti ada maksudnja. “Siauwhiap. kau mentjurigai sesuatu?” Hong pioe tanja perlahan. Pemuda itu mengangguk.

“Aku belum pasti, sahutnja. silahkan tiangtjoe berempat pergi ke depan, aku akan menjusulnja.” “Tidak bisa, aku bersama adik Goat ingin turut kau” kata Lian Tjoe, jang memonjongkan mulutnja. Keluarlah alaman atau kenakalannja. In Gak tidak sempat melajani nona itu.

“Baik” katanja, tjepat dan singkat, sedang tubuhnja segera bergerak.

Lian Tjoe dan Goat Go mengikuti, sedang Hong pioe dan Kim Go langsung menudju ke depan ke tetarap timur.

In Gak berlaku sangat gesit, dalam tempo pendek ia telah meninggalkan kedua nona,

hingga mereka ini tidak melihat lagi bajangannja. Hingga mereka saling mengawasi dengan muka merah dan bingung. sebab segera mereka pun mendapat kenjataan ditempat pendjagaan ada orang-orang jang rebah disana-sini.” Adik,” lekas Nona Tio berseru: “Kita terlambat”

Berdua mereka menudju ke kamar batu dimana Tjie E k dan Koe souw semua ditahan. Mereka mendapat pintu kamar telah terpentang. Didepan pintu nampak Koe souw semua.

Tjuma Tjie Ek seorang jang menjender ditembok. matanja melotot. Teranglah orang datang untuk menolong mereka itu tetapi mereka keburu dapat dirintangi In Gak, lantas mereka ditotok. Djikalau tidak demikian, pasti mereka berhasil mengangkat kaki dari situ. Hanjalah, sebab mereka pasti tidak dapat dibebaskan oleh lain orang, mereka sengadja ditinggalkan disitu.

Kedua nona penasaran, mereka mentjari. Benar, disitu tak ada satu musuh djuga. Apa jang mereka ketemukanjalah Tan Boen Han dan Ouw Thian Seng bersama dua tetamu, jang mulutnja terpentang, matanja terbuka, agaknja mereka lagi sangat menderita. Teranglah mereka sudah dirobohkan musuh.

“Bagaimana?” Lian Tjoe segera menegur Tjie Ek. bengis sikapnja. Tjie Ek tidak dapat mendjawab, dia ketakutan, mukanja meringis. “Disini, nona” mendadak Nona Tio mendengar djawaban dari sebelah belakangnja, hingga ia terkedjut. suara itu perlahan tetapi tadjam untuk telinganja, suatu tanda dari tenaga dalam jang liehay. fa lantas memutar tubuh begitupun Goat Go. Maka mereka lantas melihat dua tombak lebih didepan mereka, tiga orang berdiri berbaris.

Orang jang paling kiri bertubuh tinggi-besar, mukanja berewokan, hingga melainkan nampak sepasang matanja jang bersinar tadjam bagaikan api menjala. Dia mengenakan djubah biru jang gerombongan. Dua jang lain berdandan seperti imam, memakai djubah dan kopiah, mukanja bersih, kumis dan djenggotnja pandjang terpetjah tiga, dan dipunggungnja tergondol pedang jang beda antara dua imam inijalah jang satu ada tapak golok dipipinja.

Melihat orang jang beroman bengis itu, Lian Tjoe terkedjut bukan main. ia tahu orang itujalah Tjhong-sie Koay-sioe, si orang tua aneh dari gunung Teng im dari sinkiang, jang kedudukannja mendjadi kepala dari sip-sam-sia, tigabelas djago sesat jang ilmu silatnja katanja luar biasa sekali, hingga dia didjerikan kaum Rimba Persilatan. Hanjalah dia biasa terdapat diwilajah Sinkiang sadja, paling djauh dia sampai di Kamsiok. Soetjoan dan Inla m tiga propinsi, belum pernah ke Kanglam. Tapi sekarang dia mendadak muntjul di Tjioe-kee- tjhung. Mungkinkah dia orang undangannja partai Bendera Kuning?

Tentang kedua imam itu, merekalah I m- yang siang-kiam, sepasang Pedang Im- yang, jalah It Hoei dan it sioe dari Hoa san Pay. Mereka biasanja berada berduaan, tak pernah mereka berpisahan, sekalipun diwaktu bertempur, mereka berduaan djuga mahir ilmu pedangnja, liehay totokan djeridji tangannja, jang berdasarkan ilmu Liok-im Tjie-hoat. Mereka melebihkan liehaynja soetee mereka, jaitu It-tjie sin-mo. It Hoei adalah jang pipinja bertapak golok itu, hingga Lian Tjoe lantas menduganja.

selagi si nona Tio berkuatir, Goat Go bahkan mendiadi gusar. Ia belum tahu masuk dunia Kang-ouw, ia tidak kenal tiga orang itu.

“Siapa kamu?” ia menegur. “Kenapa kamu lantjang memasuki rumahku ini?”

Tjhong-sie Koay-sioe mentjorong sinar matanja, dia tertawa dingin.

“Botjah wanita, kau tentunja anaknja Tjioe Wie seng,” katanja. “Namaku si orang tua, tak apa djikalau orang tidak menanjakannja, tetapi, asal aku menjebutnja, pasti kau bakal mati karenanja Baiklah kau memberitahukan aku dimana itu orang jang di Lioe sie Wan telah mentjelakai It-tjie sin-mo.

Aku tidak mau berbuat keterlaluan, suka aku memberi ampun kepada djiwa kamu berdua.”

Goat Go bertambah gusar.

“Kau mau tjari orang itu, bukankah?” ia kata, menantang. “Baik ! Kau menangkan dulu tjambuk ditanganku, baru nonamu suka memberitahukan”

Kata-kata ini ditutup dengan gerakan tangan hingga udjung tjambuk menjambar pundak si orang bermuka bengis itu.

“Nona tjilik, kau tjari mampusmu” tertawa Tjhong-sie Koay- sioe. Ia lantas mengangkat tangannja jang besar dan lebar, untuk menangkap tjambuk. Akan tetapi aneh, tjambuk itu dia lolos dari sambaran, lalu kembali menjamber, kepundak djuga.

Tjhong-sie Koay-sioe mendjadi heran. Mau atau tidak. la berkelit, sembari berkelit itu, tangannja menjamber pula. Tapi lagi-lagi udjung tjambuk lolos, sekarang udjung itu menjambar kekepala.

Bukan main hera nnja Tjhong-sie Koay-sioe. inilah ia tidak sangka sama sekali. Ia tidak mengerti kenapa ia gagal menangkap tjambuk itu. Djuga im-yang siang-kiam mendjadi heran. Mereka sudah berpengalaman tetapi belum pernah mereka menemukan ilmu silat tjambuk jang lintjah itu.

Tjhong-sie mendjadi penasaran, habis berkelit, ia merangsak. kedua tangannja diadjukan setjara tjepat. Dengan mendesak begini, dua kali ia berhasil menangkap tjambuk si nona, akan tetapi untuk kesekian kalinja, terus-menerus ia membuatnja lolos pula.

Bukan main malunja djago ini. Bukankah disitu ada Im- yang siang-kiam? Maka ia merangsak pula .

Sekarang ini Goat Go tak dapat berlaku lintjah lagi seperti semula. Ia merasakan sambaran-sambaran hawa dingin, jang membuatnja kurang leluasa bergerak. Dengan terpaksa ia terdesak mundur, tindakannja tidak wadjar lagi.

Serangannja Tjhong-sie Koay-sioe itu jalah serangan Touw- koet Han-hong-tjiang. Itulah hawa dingin, jang dapat meresap ke tulang-tulang. Maka kagetlah Goat Go. ia lantas mengguna i akal, j a la h ia menj erang dengan sekalian melepaskan tjekalannja, hingga tjambuknja meluntjur kepada lawannja.

Tjhong-sie terkedjut. Tentu sekali ia tidak dapat membiarkan matanja dibikin buta udjung tjambuk. Maka ia menj ambar. Kali ini ia berhasil. Terus tjambuk itu dilempar ke samping. Dilainpihak, serangannja itu tidak ia tunda. Ia mendesak terus. Ia hanja merasa heran untuk ketangguhan si nona. Belum pernah ia menemui la wan jang sanggup bertahan lebih dari sepuluh djurus untuk runtunan serangannja jang berhawa dingin itu akibat ilmu silatnja itu: Touw-koet Han-hong-tjiang, pukulan Tangan Dingin ia pasti sekali tidak ketahui, setelah mendapat pimpinan In Gak. sekalipun waktunja singkat, nona Tjioe telah memperoleh kemadjuan pesat. Habis melepaskan tjambuknja, hal mana membuat Tjhong- sie Koay-sioe berajal djuga sedikit karena dia mesti menangkap tjambuk dan melemparnja Goat Go terus bersilat dengan tindakan Kioe-kiong Tjeng-hoan fm-yang-pou, jang baru sadja ia peladjarkan, sedang tangannja memainkan gerak-gerakan Pat-kioe Leng-long Tjioe- hoat, djuga peladjaran baru.

Perlawanan ini membikin Tjhong-sie bertambah heran, terutama sebab ia telah perhebat serangannja. Biasanja, lawan bagaimana tangguh djuga, dalam djarak sepuluh tombak. sukar lolos daripukulannja Tangan Dingin itu. Untuk menjerang si nona, ia baru meng gunai lima bagian tenaganja, toh ia heran sekali. setiap bakal kena diserang, tubuh si nona berkelit lintjah, lalu bebas si nona bergerak ke kiri atau kanan, atau sebaliknja, atau mendadak dia berada dibelakangnja, setiap ada ketikanja, dia membalas menjerang, antaranja dengan totokan. Atau tangannja berniat ditangkap si nona saking tjepat bergeraknja nona ini, ia merasakan matanja kabur. Pernah ia totok pundaknja, lantas ia merasakan pundak itu sesemutan. Ia tangguh, ia tidak dapat ditotok sampai roboh.

Lian Tjoe menonton kawannja bertempur itu, mulanja ia berkuatir djuga, lalu kemudian dapat ia menetapkan hati. Diam-diam ia bersjukur kepada In Gak. jang telah memberikan peladjaran pada mereka, hingga sekarang Goat Go mendjadi liehay. Disamping itu, sering-sering ia melirik kepada im-yang siang-kiam. ia mendapati air muka orang menundjuki roman kaget dan heran, mungkin berkuatir. Karena ini, kemudian ia lompat ke depan mereka itu, sembari tertawa ia kata: “Im- yang siang-kiam dari Hoa san sangat kesohor, bagaimana djikalau nonamu beladjar kenal dengan kamu?”

Air mukanja It Hoei Toodjin berubah.

“Djikalau nona ingin beladjar kenal, hunuslah pedangmu” sahutnja heran. ia mendongkol untuk kedjumawaan si nona, jang terang sangat memandang tak mata kepadanja. Ia pun lantas menghunus pedangnja, ketika ia mengibas, pedang itu mengeluarkan sinar berkelebatan.

Lian Tjoe mundur tiga tindak. Ia tertawa pula. “Katanja Im- yang siang-kiam biasa madju berdua, tak

pernah terdengar madjunja sendirian sadja. Mungkinkah tootiang berdua tidak sudi memberikan pengadjaran kepadaku?” ia tania.

Itulah edjekan. It sioe mendjadi mendongkol, maka ia pun menghunus pedangnja.

“It Hoei, mari kita bekuk budak ini” katanja sengit. ia terus mendamprat nona itu.

“Belum tentu” kata si nona tertawa mengedjek. pedangnja siap-sedia ditangannja. “Kamu madjulah, Apakah kamu menghendaki nonamu mengalah tiga djurus?”

Tak dapat Im- yang siang Kiam menahan hatinja, berbareng mereka lompat madju untuk terus menjerang, masing-masing dikiri dan kanan.

Lian Tjoe tertawa. Ia bertindak dengan Kioe-kiong Tjeng- hoan Im-yang-pou seperti Goat Go, maka sekedjab sadja, ia sudah bebas dari serangan pedang dari sepasang lawannja itu, menj usul mana, ia membalas menjerang dengan tipu silat Liong-yauw-ie-yan, atau Naga berlompat di kedungnja.

Pedangnja itu menjambar dari bawah keatas, dengan berani ia membentur kedua pedang lawan, hingga sendjata kedua pihak beradu keras dan njaring suaranja.

It Hoei dan It Sioe terkedjut. Bentrokan itu membikin pedang mereka hampir terlepas dari tjekatan, mereka pun sampai mundur setindak

LianTioe pun heran berbareng girang. Ia menggunai satu djurus dari Pat-kioe Leng-long Tjioe- hoat, ia tidak sangka akibatnja demikian rupa. oleh karena ini, dalam gembiranja karena mendapat hati, ia lantas mengulangi s erangannja, mendesak dengan tiga serangan berantai. Hati Im-yang siang-kiam berdebar. Mereka tersohor terutama untuk ilmu silatnja pedang bersatu-padu, djarang mereka memperoleh tandingan, tetapi sekarang mereka kena dibikin repot oleh seorang nona tidak dikenal. Dari heran, mereka djadi gusar. Dengan satu isj a rat, mereka madju serentak. untuk memetjah desakan, buat mereka berbalik merangsak.

Lian Tjoe tabah hatinja. fa tidak mau mengasikan dirinja kena didesak. Kembali seperti Goat Go, ia menundjuk kelintjahannja. Ia selalu berkelit dari pelbagai tikaman dahsjat dari kedua imam, ia djuga saban-saban membalas menikam atau menotok.

Ketika itu, dengan lewatnja sang tempo, TanBoen Han dan Ouw Thian Seng, djuga kedua tetamunja, tanpa ketahuan, telah ada jang menolongi, hingga mereka bebas dari totokan, setelah mana, mereka berdiri menonton sepuluh tombak diluar kalangan pertempuran.

Dirombongan pertama, Tjhong-sie Koay-sioe telah menghabiskan puluhan djurus, belum djuga ia memperoleh kemenangan. Ia heran bukan main. Belum pernah ia menghadapi lawan begini litjin. Ia malu sendirinja sebab sebagai seorang kenamaan, ia mesti melajani si nona demikian lama. Djangan kata tubuhnja, udjung badju si nona djuga tak pernah disentuh sekalipun satu kali. Kumis dan berewoknja, mendjadi bangun berdiri saking murkanja. Telah ia gunakan seluruhnja Touw-koet Han-hong-tjiang, hingga kalau ia berada dekat pohon, ia membikin tjabang-tjabangnja pada patah.

Masih Goat Go mengandalkan Kioe-kiong Tjeng-hoan Im- yang-pou, senantiasa ia membebaskan diri dari setiap serangan djago tua itu, tjuma lama-lama ia mendjadi bermandikan keringat. Inilah disebabkan kepandaiannja itu baru sadja didapatkan, latihannja belum berarti. Djuga Lian Tjoe bertjatjad pada latihannja, tjuma ia menang sedikit daripada Nona Tjioe, sebab ia mempunjai tenaga dalam lebih mahir, dengan begitu ia dapat bertahan, terlebih lama.

Sesudah pertempuran dua rombongan itu berdjalan sekian lama sekonjong-konjong terdengar siulan aneh dari atas sebuah pohon besar diarah barat gelanggang itu. Djernih dan pandjang siulan itu. Menjusul itu maka berkelebatlah satu bajangan orang, berkelebat menghampirkan mereka.

Tiga-tiga Tjhong-sie Koay-sioe dan Im- yang siang-kiam terperandjat. Hanja dengan mendengar sadja siulan itu, mereka sudah mengetahui liehaynja tenaga dalam dari orang itu. Terpaksa mereka berlompat ke luar kalangan, untuk mengawasi orang itu. Lantas mereka mendjadi kaget. Didepan mereka berdiri seorang dengan pakaian hitam jang mukanja putjat-pasi seperti muka majat, sedang dari leher ke bawah, warna kulitnja itu lain. Tak dapat dipastikan orang mengenakan topeng atau bukan. Jang terang jalah disamping roman menakuti, kedua mata majat hidup itu sangat tadjam dan berpengaruh.

Sebaliknja adalah kedua nona2 apabila mereka melihat muntjulnja si majat hidup. sebaliknja daripada takut, mereka saling bersenjum. Mereka mengundurkan diri ke dekat TanBoen Han beramai, dengan matanja masing-masing, mereka mengawasi majat hidup itu, jalah In Gak. jang mereka kenal sebagai Gan Gak.

Sebenarnja In Gak sampai disitu disaat Goat Go mulai menempur Tjhong-sie Koay-sioe, tetapi ia ingin menjaksikan perlawanan si nona, maka ia menjembunjikan diri.

Demikian ia melihat Nona Tjioe menggunai dengan baik sekali ilmu silat adjarannja, hingga dia membuatnja si djago tua mendjadi gusar sekali. Ia girang. setelah itu, ia menolongi Tan Boen Han, berempat, jang ia totok bebas dengan ilmu totok dari djauh, jang bernama Leng-khong Kay-hoat, pembebasan Kumpul di Udara.

Empat orang itu heran atas kebebasan mereka, sebab pertjobaan mereka sendiri sia-sia belaka. Karena mereka tidak memperoleh djawabannja, terpaksa mereka lantas berdiri menonton.

Tjie Ekpun heran hingga dia terbengong sadja.

Kemudian In Gak menjaksikan djuga perlawanannja Lian Tjoe. Ia pun girang. Ia kagum terhadap kedua nona itu, jang bisa beladjar demikian tjepat. Adalah kemudian, sesudah melihat nona-nona itu letih, ia mengasi dengar siulannja seraja ia lompat turun dari tempatnjas embunji.

“Bukankah tuan jang tadi malam melukai adik seperguruan kami, It-tjie sin-mo Louw Goan Tong?” tanja Im-yang siang- kiam berbareng. “Bukankah adik kami itu tidak bermusuhan dengan tuan, kenapa tuan demikian telengas telah lantas membuatnja bertjatjad seumur hidupnja? Kenapa kah?”

“Hm..” djawabnja In Gak. “Adikmu itu kesohor djahat diseluruh djagat, aku mewakilkan Thian mendjalankan keadilan, apakah salahnja? Bahwa djiwanja masih ditinggal hidup, tandanja aku masih memandang terhadapnja Kenapa kamu berdua hendak membelai dia?”

It Hoei dan It sioe tidak mendjawab, sebaliknja dengan mendadak mereka lompat menj erang. Inilah sebab mereka telah mendapat dengar dari Tjin Lok bahwa musuh merekapun sangat liehay. Mereka pun menggunai ilmu silat mereka jang bernama To-hoan Im- yang Ngo-heng-kiam, atau ilmu pedang Im- yang dan Ngo-heng jang djungkir- balik,

Ilmu pedang ini beragam, serangan benar-benar dapat berupa djadi gertakan atau sebaliknja, atau jang satu menjusuli jang lain. Dengan ilmu pedangnja ini, entah berapa djago pernah mereka robohkan. In Gak melihat bagaimana ilmu pedang kedua lawan itu tidak memakai aturan tertentu, ia melajani dengan tindakan Hian-thian Tjit-seng-pou, maka sekedjab sadja, ia lolos dari kepungan. Ia berkata njaring: “Sungguh hebat Im- yang siang-kiam jang kenamaan, belum apa-apa sudah lantas mendesak lawan, Apakah ini dia kepandaian istimewa dari kamu kaum Hoa san Pay?”

Kedua imam itu merah mukanja. Mereka heran orang dapat lolos demikian litjin-

“Boe-liang-sioe-hoed” It Hoei memudji. “Karena ingin menjaksikan kepandaian tuan, maka kita sengadja lantas mengepung”

“Kalau demikian, silahkan tuan menghunus sendjatamu” Ia menantang.

In Gak tertawa.

“Sudah banjak tahun aku tidak menggunai lagi sendjata, baiklah aku melajani kamu bermain-main dengan tangan kosong” ia mend jawab.

Mendapatkan djawaban itu, bukan melainkan Im-yang siang-kiam, djuga Tjhong-sie Koay-sioe mendjadi heran, hingga dia mengawasi dengan mata mentjorong. Im-yang siang-kiam tidak berlaku ajal lagi, keduanja lantas madju menjerang.

In Gak djuga tidak menahan harga pula, kembali ia bertindak dengan Hian-thian Tjit-seng-pou. Ia senang menggunai ilmu kelintjahan ini sebab tadi ia girang menjaksikan Lian Tjoe dan Goat Go menggunainja setjara baik. Ia tidak mau sembarang memperlihatkan ilmu silat ajahnja, dari itu ia menggunai djurus-djurus dari Bie-lek sin- kang dan Hian-wan sip-pat-kay.

It Hoei dan It sioe lantas berkelahi dengan heran dan hati gentar. sia-sia belaka mereka mentjoba menikam atau membatjok lawannja, si lawan selalu terlolos setjara diluar dugaan. In Gak sebaliknja, beberapa kali ia bersuara “Hm” dan bersenjum.

Dalam belasan djurus, jang berdjalan dengan tjepat, tidak sekali djuga Im-yang siang-kiam berhasil menjentuh tubuh lawan, maka setelah itu, mereka mengubah siasat, dari menjerang, mereka membela diri. Mendjadi tjiut sendirinja hati mereka.

Sesudah melajani sekian lama, hingga ia mengerti baik tjara bersilat musuh-musuhnja, setjara tiba-tiba In Gak tertawa pandjang dan tangannja dikibaskan sebat sekali. Atas itu terdengar dua kali djeritan kesakitan, lalu tubuh Im-yang siang-kiam mental mundur beberapa tombak. kemudian terlihat dengan tangan kiri mereka memegangi lengan mereka jang kanan, muka mereka putjat-pias, peluh mereka mengutjur. sebaliknja ditangan In Gak tertampak dua batang pedang, jang berkilau ditjahaja matahari pagi.

It Hoei dan it sioe tahu-tahu merasa tangan mereka disambar, lalu disempar hingga tubuh mereka terlempar dan pedang mereka terlepas. Mereka tidak tahu jang In Gak sudah mengguna i djurus Djit-goat-djip-hoay, atau Matahari dan rembulan terpeluk-terangkul, suatu djurus lain dari Hian-wan sip-pat-kay.

Djuga Tjhong-sie Koay-sioejang liehay tidak dapat melihat kesebatannja si majat hidup, Ia tjuma merasa heran bukan main.

Im- yang siang-kiam kena ditotok djalan darahnja keng-kie, lantas kedua tangannja kaku dan tenaganja lenjap. tak dapat mereka bertindak, asal mereka bergerak, terasa tulang-tulang mereka ngilu hingga ke ulu- hati dan napas mereka sesak.

Lian Tjoe dan Goat Go saling mengawasi, mata mereka dibuka lebar, saking heran dan kagum. Benar-benar, belum pernah mereka menjaksikan ilmu silat demikian liehay. Dari heran dan kagum, mereka mendjadi girang sekali. In Gak lantas menggapai pada TanBoen Han dan memberi kisikan, jalah untuk minta kawan ini pergi pada Tjioe Wie Seng ditetarap timur, agar Wie Seng tidak meninggalkan tempat, sebab disini ada ia bertiga kedua nona. Boen Han menurut, ia berlalu dengan tjepat. Kemudian pemuda kita mengawasi Im- yang siang-kiam, ia tertawa, tangannja tetap memegangi gedang orang.

“Begini sadja Im-yang siang-kiam, jang datang kemari dengan banjak lagak” katanja. sembari berkata, ia mengerahkan tangannja, mematahkan kedua pedang mendjadi empat potong dan dibuang.

“Siluman tua” ia kata pada Tjhong-sie Koay-sioe, jang ia awasi dengan tadjam, “Kau mendjadi kepala dari sip-sam-sia, dalam Rimba Persilatan kau ternama baik, mengapa sekarang kau membawa tingkah- laku kurtjatji, mirip dengan kawanan tikus jang tak tahu malu?” lalu suaranja diperkeras: “Kenapa pagi hari begini kau menjerbu kemari dan main melukakan orang? Apakah maksudmu? Lekas kau bitjara”

Kata-kata itu tadjam dan menjakiti telinga, Tjhong-sie Koay-sioe ternama dan djumawa, bisa dimengerti ia mendjadi

mendongkol. Ketika ia mendengar Tjin Lok memudji musuh, ia tidakpertjaja, ia mengira Tjin Lok djeri dan kapok. ia penasaran, maka sengadja fm-yang siang-kiam datang menjerbu diwaktupagi. Dengan gampang telah melewati pelbagai pendjagaan, sampai mereka dirintangi kedua nona dan sekarang oleh ini si majat hidup, jang kepandaiannja ia saksikan sendiri Baru sekarang ia gentar hati. Ia paksakan diri berlaku sabar, matanja memperlihatkan sinar litjik,

“Tuan, kau begini muda tetapi kau sudah liehay sekali, kau harus dikagumi” ia kata sambil tertawa dingin.” Aku mohon tanja, siapakah gurumu? Mungkin dialah sahabatku dahulu hari” In Gak tertawa lebar.

“Siluman sebagai kau ingin berendeng dengan guruku?

Hm” ia mengedjek. “Sudahlah, djangan bitjara tentang persahabatan dengan aku Kau tidak berderadjat Bukankah kau telah mentjari aku? Nah sekarang aku berdiri didepanmu Kau mau turun tangan atau tidak, tinggal kau bilang sadja”

Sepasang alisnja Tjhong-sie terbangun.

“Botjah, kau tidak tahu langit tinggi dan bumi tebal” dampratnja. “Baru berkepandaian begini sadja kau sudah berani bertingkah? Baiklah kau mengangkat kaki siang-siang, masih ada waktu untuk kau nanti mentjoba mengangkat namamu”

In Gak tertawa pula.

“Siluman tua, kaupunja muka atau tidak?” ia tanja, tadjam. “Tak sudi aku mendengar kata-katamu ini Kabarnja Touw-koet Han-hong-tjiang milikmu liehay sekali, sekarang kau boleh tjoba itu Kita nanti lihat, kabar itu benar atau palsu”

Habislah kesabarannja Tjhong-sie Koay-sioe. “Botjah, kau tidak tahu gelagat” teriaknja, dan terus

dengan kedua tangannja, ia menjerang dengan pukulan hawa dinginnja jang dapat merembas ketulang-tulang. ia telah mengerahkan tenaga sepenuhnja. Katanja hawa dingin itu, setelah meresap kedjantung dan tak dapat obat, dalam tudjuh hari akan merampas djiwa kurbannja. Inilah jang membuat nama, jang membikin orang djeri.

In Gak ketahui baik siapa djago dari gunung Tengri ini, sebab gurunja pernah memberitahukan bahwa dia kedjam sekali, maka itu, ia ingin menjingkirkannja, djadi kebetulan sekali, disini mereka berhadapan muka. Dari Lian Tjoepun ia mendapat tahu, orang jalah tertua dari sip-sam-sia, si tigabelas sesat. Maka atas datangnja serangan, ia menangkis dengan Bie-lek sin-kang. Untuknja, ilmusilatnja ini dapat digunai sembarang waktu. Dengan kedua tangannja, ia menggunai djurus Liok-hap sie-mie, djurus jang kedua belas. Begitu kedua pihak bentrok. begitu Tjhong-sie mengasi dengar suara tertahan, begitu

lekas djuga tubuhnja mental enam tombak, kedua tangannja patah, tjuma tersambung kulitnja, darahnja mengutjur disatu tempat. Dia mempertahankan diri dengan tubuh menggigil, dengan tadjam dia mengawasi f n Gak. setelah mana, dia memutar tubuh, untuk berlompat pergi.

“Kau ingin kabur?” In Gak membentak. terus tubuhnja mentjelat menjusul, ketika ia sudah dapat menjandak. tangan kirinja menghadjar kebatok kepala, menepuk djalan darah giok-tjim.

Tjhong-sie tidak berdaja, tak dapat dia menangkis, tak keburu dia berkelit, begitu tertepuk kepalanja pusing, tubuhnja terputar, terus dia roboh ditanah.

In Gak menepuk tangan, lantas ia menggapai kearah kedua nona kawannja. sembari tertawa kegirangan, Lian Tjoe dan Goat Go lari menghampirkan.

“Tolong kamu menitahkan orang menggotong mereka bertiga kebawah panggung,” I n Gak berkata, dan terus memesan. sebab ia tidak mau memperlihatkan diri, ingin ia kembali kekamarnja untuk menjalin pakaian dulu.

“Kemana tadi kau bertiga?” Lian Tjoe menjesali alaman. “Kalau kau tidak keburu sampai, mungkin majat kita sudah menggeletak ditaman ini? Apakah kau sengadja senang melihat kita roboh?”

In Gak mengganda tertawa.

“Nona-nona jang baik, djikalau aku tidak sembunji diatas pohon itu, mana aku dapat kesempatan untuk menjaksikan ilmu silat kamu jang indah sekali?” ia kata. Kau tahu kenapa aku tidak dapat lantas datang kemari?”

Kedua nona itu mengawasi, ingin mereka mendapatkan keterangan. Sebenarnja ketika tadi In Gak memburu paling dulu, ia lantas melihat dua bajangan orang melintas kearah lauwteng Pek Tjim Kok. segera ia menduga pendjahat hendak mentjuri kedua pedang Kie Koat danTjeng Hong. ia heran kenapa orang djahat ketahui pedang itu disimpan dibawah tangga lauwteng itu, sedang jang tahu tjuma beberapa orang dalam. Karena ketjurigaan itu, ia lantas menguntit mereka.

Dimuka tangga Pek Tjim Kok. kedua bajangan itu berhenti, untuk melihat kesekitarnja.

“Lao-djie, lekas kau bekerdja” berkata jang satu kepada kawannja, suaranja perlahan. “Aku rasa sekarang ini semua orang djaga musuh telah dirobohkan Tjhong-sie Koay-sioe dan Im-yang siang-kiam. Kalau kita terlambat, dikuatir mereka jang didepan keburu mendapat tahu.”

Atas itu, orang jang dipanggil Lao-djie itu lantas mengeluarkan goloknja, ia djongkok didepan undakan tangga, untuk menjongkel, sedang kawannja, dengan golok ditangan memasang mata.

Tahulah In Gak bahwa orang ketahui tempat simpan pedang itu disebabkan ada musuh jang bersembunji diri, jang bertjampuran dengan orang dalam. Ia tidak mau berajal lagi, ia mematahkan tjabang pohon didekatnja, lantas ia menimpuk.

si Lao-djie terkedjut, dia berlompat. Goloknja djatuh ketanah hingga bersuara njaring.

sang kawan pun kaget.

“Eh, Lao-djie, kau kenapa kah?” tegurnja.

“Setahu kenapa, mendadak lengan kananku kaku,” sahut kawan itu, si Lao-djie. “Tahu-tahu aku berlompat sendiri”

“Mungkin karena kau djeri” kata kawan itu,”Kita berdua pernah menempuh badai dan gelombang, kita tidak takut apa djuga dan Tjioe-kee-tjhung ini buka nnj a kedung naga atau guha harimau, apa jang mesti ditakuti? Pula kita terlindung Tjhong-sie Lootjianpwee Hajo, lekas bekerdja”

In Gak dapat mendengar kata-kata orang itu, ia segera berlompat kebelakang dia itu, tangannja menekan kepundak. Dia terkejut, dia memutar tubuh, mulutnja menegur: “Siapa?” Baru dia berkata begitu, mendadak tubuhnja roboh

Si Lao-djie terperandjat, apa pula kapan ia telah melihat orang adalah si orang luar biasa, jang tadi malam muntjul di Lioe sie Wan, saking takutnja, tanpa berpikir lagi, ia lompat kesamping, berniat menjingkir kerumpun pepohonan. Ia sebat, ia masih kalah dari si anak muda, jang mendahului menotok padanja, maka dengan merasakan sakit sekali, dia roboh terguling.

In Gak lompat menghampirkan, untuk menepuk bebas djalan darahnja.

“Sahabat, aku tahu kamulah orang pemerintahan belaka” katanja tertawa, “kamu tidak merdeka, maka itu tidak aku membikin kamu susah asal kamu menjebutkan kenapa kamu ketahui pedang disembunj ikan disini, dan siapa itu jang membuka rahasia.”

Lao-djie takut.”Kami diperintahkan Hoe-paytjoe Tjin Lok,” ia menjahut. “Tentang orang jang memberikan kisikan itu, aku tidak tahu dia siapa, tetapi menurut keterangan dialah Khiong Thian Yoe, seorang bertubuh kate dan kurus jang matanja tadjam bersinar kekuning-kuningan. Aku telah bitjara, tuan, maka tolong kau berlaku murah hati.”

“Kamu telah bitjara, tidak nanti aku membikin susah pada kamu,” sahut In Gak tertawa, hanja untuk dua hari ini, terpaksa aku mesti menahan dulu kepada kamu, nanti aku memerdekakannja “. Habis berkata, In Gak menotokpula, maka dua orang itu lantas rebah bagaikan majat. setelah itu ia mengambil kedua pedang, untuk disembunjikan dilain tempat. Habis ini, ia memeriksa kelilingan, untuk menotok sadar orang-orang djaga jang dirobohkan musuh. sesudah memulangi Tjie Ek semua, baru ia pergi menjaksikan perlawanan Goat Go dan Lian Tjoe terhadap Tjhong-sie Koay-sioe bertiga serta menjadarkan TanBoen Han berempat. ia baru mengasi lihat dirinja ketika tiba saatnja menolongi kedua nona.

“Sekarang, nona Tjioe,” kata I n Gak perlahan, “Lekas kau kembali ketetarap timur, kau minta ajahmu melihat Leng-hoei- tjie Khiong Thian Yoe, dia masih ada atau tidak. kalau ada, lekas bekuk dia. Kau sendiri, Nona Tio, kau tunggu sebentar, sampai Tjhong-sie Koay-sioe bertiga telah dibawa kebawah panggung, Disana kau lihat, pihak musuh dapat melihat selatan atau tidak.Jang penting jalah memesan mereka jang melihat aku, agar mereka djangan membuka rahasia. sekarang aku ingin balik dulu kekamarku untuk menukar pakaian, sebentar kita bertemu pula.”

Begitu dia selesai berkata, begitu In Gak pergi, tjepat lenjapnja dia.

Goat Go menurut, ia lantas pergi kedepan. Pertandingan diatas loeitay masih belum dimulai tetapi para tetamu sudah memenuhi kedua tetarap. suara mereka bagaikan suara njamuk berisiknja. Ia lantas menghampirkan To Tjiok sam, jang berkumpul bersama ajahnja dan lainnja, ia mengisiki djago tua itu.

“Ah, kiranja binatang itu” kata Tjiok sam, alisnja berdiri, terus dia berlompat.

Leng-hoei-tjie Khiong Thian Yoe, si Tikus Terbang, mendjadi murid generasi ketiga dari Hoa san Pay. Dia sangat gesit, maka itu tepat dia mendjadi pentjuri. Baru beberapa tahun jang lalu dia masuk dalam kawanan Bendera Kuning. Tapi sekarang ini dia berdiam di Tjioe-kee-tjhung dengan nama paisu, sebagai Ong Yoe dari Ngo Bie Pay. Ia dagang, katanja, tjuma bermaksud menjaksikan orang-orang gagah. Tapi diam-diam ia membuat penjelidikan mengenai gera k- gerik pihak Tjioe-kee-tjhung. Kebetulan sekali ia dapat mempergoki Tjioe Wie seng memendam pedang, maka hampir djam dua, dia pulang ke Lioe sie Wan memberi kisikan pada Tjin Lok, dari itu Tjin Lok segera menugaskan Lao-djie berdua pergi mentjuri pedang itu. Ia tjerdik dan bermata tadjam, ia melihat muntjulnja Goat Go tergesa-gesa, ia djadi bertjuriga, maka begitu Tjiok sam bergerak. la djuga bergerak. berniat menjingkir. Ia si Tikus Terbang, ia kalah dari si Naga Mega, maka sebelum bisa molos, tubuhnja telah lantas kena disambar, terus dibawa balik kedepan Tjioe Wie seng, untuk dilemparkan.

Mukanja Tjin Lok mendjadi putjat. Dibekuknja Kh iong Thian Yoe itu mesti berarti gagalnja usaha mentjuri pedang, bahwa rahasia telah terbuka. Tapi ia menabahkan hati, beberapa kali ia bersuara: “Hm..Hm…”

Tidak lama muntullah Tio Lian Tioe, ^ang wad^ahnia berseri-seri, dibelakangnia

mengikut tiga tjhungteng jang masing2 menggendong Tjhong-sie Koay-sioe dan Im-yang Siang-kiam, jang tubuhnja lemas, hingga mereka bertiga dapat diletaki berbaris dengan Khiong Thian Yoe. Mata mereka itu berempat terpentang lebar, mulut mereka ternganga, dari mulutnia keluar ilar, tubuh mereka tak berkutik. Ditetarap barat semua orang kaget, sirap suara berisik mereka.

Tjioe Wie Seng berbangkit, untuk bertindak ketengah batas antara kedua tetarap. Ia berwadjah muram, ia mengangkat kedua tangannja, memberi hormat kepada semua hadirin.

Ketika ia bitjara, suaranja perlahan:” Aku si orang she Tjioe mengadakan loeitay ini untuk mentjari persahabatan, untuk merekoki djodoh anakku, maka sajang sekali pihak Oey Kie Pay telah menganggu kami sedjak beberapa hari jang lalu, sama sekali mereka tidak menghormati aturan kaum Kang- ouw. Tentu sekali sulit untuk pihakku ber-djaga2 dari akal- muslihat itu. Maka itu sekarang, selagi semua rekan Rimba Persilatan hadir disini, aku mohon sukalah saudara2 mendjadi saksinja. Aku ingin ketahui apa kata pihak Oey KiePay?”

Setelah berbitjara, Wie Seng pun menitahkan orangnja membuka Tjie Ek dan semua orang tawanan lainnja, untuk dikumpulkan didekat Tjhong-sie Koay-sioe berempat, ia sendiri terus mengawasi tadjam kearah orang-orang Oey Kie Pay ditetarap barat itu.

Tiin Lok bingung bukan main. Terang ia pihak jang bersalah. Ia pun tidak mengerti kenapa Tjhong-sie Koay-sioe dan im- yang siang-kiam, jang demikian liehay, kena terbekuk djuga oleh musuh. Bagaimana kalau sebentar muntjul Tiie Ek semua? Karena sangsinja, ia berdiam sadja. Tapi tak lama, ia berlompat keluar dari tetarap. ia menghampirkan Wie Seng, untuk menuding dan berkata keras: “Memang, itu memang perbuatan kami kaum Oey Kie Pay Tapi ini disebabkan kelitjikanmu Kenapa kau menggunai akal litjin? Sien Tongtjoe kami melamar puterimu, telah beberapa kali kami mengirim wakil, apakah itu merendahkan kamu? Kenapa kau selalu menampik? sudah begitu, kenapa sekarang kau membangun loeitay ini? Bukankah itu berarti kau hendak mempersulit kami? Bukankah itu berarti penghinaan terhadap Oey Kie Pay? Kenapa kau mengadakan peraturan demikian sukarnja itu pertandingan mesti dimenangkan hingga sepuluh kali? Kau tidak adil, maka djangan kau persalahkan kami”

“Oh, begitu?” kata Wie Sseng.” Menurut kau, Tjin Paytjoe, mendjadi akulah jang tidak adil sekarang ingin aku menanja, bagaimana aku mesti berbuat baru dinamakan adil? Aku mentjutji telingaku untuk mendengar dengan hormat pendjelasanmu “. Ditanja begitu, Tjin Lok berdiam. Tidak dapat ia segera mendjawab. Melihat orang berdiam sadja, Tjioe Wie Seng kata bengis: “Tjin Pa ytjoe, djikalau kau tidak dapat memberi pendjelasan, hari ini djangan kau harap dapat keluar dari Tjioe-kee-tjhung”

Ketika itu beberapa tjhungteng jang diperintah telah kembali dengan menggotong belasan orang Oey Kie Pay, dengan bergelutukan mereka diletaki ditanah berdampingan dengan Tjhong-sie Koay-sioe bertiga. Tjuma Tjie Ek seorang jang dapat berdjalan.

Tiin Lok berkuatir dan mendongkol bukan main. Dia berseru: “Segala Tiioe-kee-tjhung, jang sebesar peluruh, dapat menahan aku si orang she Tjin” Wie seng tidak gusar, ia sebaliknja bersenjum. “Djikalau kau tidak pertjaja, kau lihat sadja katanja.”

Ketika itu dari tetarap barat muntjul satu orang bermuka tampan, punggungnja menggendol pedang, pakaiannja putih dansingsat, romannja gagah, tjuma kedua matanja bersinar tadjam dan djahat. Dia menghadapi Wie Seng untuk mendjura dalam, terus dia kata: “Dalam urusan ini jang bersalah jalah partai kami, mau dibuat menjesal pun sudah kasip. tetapi karena dipihak Tjhungtjoe tidak ada kerugiannja, baiklah Tjhungtjoe suka membikin habis sadja. Aku jang muda, Sien It Beng, suka aku mentaati aturan bertanding diatas loeitay, andaikata dalam sepuluh rintasan aku tidak memperoleh kemenangan, nanti aku mengadjak kawan-kawanku berlalu dari sini. Aku berdjandji untuk selama- lamanja tidak mengganggu lagi pada Tjioe-kee-tjhung Bagaimana pendapat Tjhungtjoe?”

Twie-seng Tek-goat tidak menjangka Sien It Beng bakal berkata-kata demikian, hingga ia djadi mesti berpikir.

“Oleh karena Sien Tongtjoe suka mengaku keliru, baiklah, aku pun tidak sudi berlaku keterlaluan,” sahutnja sesaat kemudian “Tongtjoe, umpama kata kau tidak mempunjai urusan, silahkan kau pergi lebih dulu. Tentang pertandingan, baiklah itu tak usah dilakukan lagi. Tongtjoe tidak mempunjai harapan untuk memperoleh kemenangan. Tentang orang- orang kaummu ini, biarlah mereka ditinggal lagi beberapa hari disini, sampai Oe-boen Paytjoe datang sendiri kemari untuk membereskan urusan kita, itu waktu pasti aku akan merdekakan mereka.”

Sien It Beng berdiam, mukanja mendjadi merah. Ia serba salah.

Tjin Lok gusar, ia kata njaring. “Sien Laotee, buat apa kau adu bitjara dengan ini iblis tua? Lihat sadja dia sanggup menahan kami atau tidak?”

Tjioe Wie seng tertawa tergelak. dengan mata tadjam ia menjapu hoe-pa ytjoe Oey Kie Pay itu, kemudian ia menundjuk kepada tubuh Tjhong-sioe Koay-sioe dan im- yang siang-kiam, terus ia menanja: “Apakah kaupertjaja dirimu sanggup melawan menang mereka bertiga?”

Tjin Lok mendjadi putjat mukanja. seperti It Beng, ia mendjadi berdiam sadja.

Sjukur itu waktu datang seorang tjhungteng jang mewartakan tibanja Oe-boen Loei, ketua dari Oey Kie Pay, jang membuat kundjungan.

Wie Seng heran. ia tidak menjangka ketua Oey Kie Pay itu datang demikian tjepat. ia lantas memikir untuk mengambil sikap.

Dipihak Oey Kie Pay mereka itu girang sekali mengetahui datangnja ketua mereka, lantas terdengar pula suara mereka jang berisik.

Segera djuga terlihat muntjulnja Oe-boen Loei, jang diiring belasan orang partainja. Dia bermuka persegi dan besar telinganja, hidungnja apa jang dikatakan hidung singa dan mulut harimau, serta sepasang matanja sangat bengis. Dia memelihara kumis pendek. Badjunjajalah badju hitampandjang dilapis mantel merah tua jang gerombongan, tindakannja pun lebar.

Wie seng menjambut, sembari memberi hormat ia tertawa dan kata: “Aku si orang she Tjioe tidak ketahui Oe-boen Paytjoe datang, aku tidak dapat menjambut dari djauh-djauh, haraplah aku dimaafkan”

Pat-pie Kim-kong Oe-boen Loei telah lantas melihat bergeletaknja Tjhong-sie Koay-sioe beramai, air mukanja berubah, tetapi dengan lekas ia bersenjum, ia berkata manis:” Aku Oe-boen Loei, aku mendengar kabar Tjioe Tayhiap merajakan hari ulang-tahun sudah selajaknja aku datang untuk memberi selamat, akan tetapi urusan partaiku banjak jang mesti diselesaikan, menjesal aku datang terlambat, maka itu, aku mohon diberi maaf”

“Terima kasih, terima kasih,” kata Wie Seng. “Sebenarnja mengundang paytjoe pun aku tidak berani”

Oe-boen Loei tertawa, tapi mendadak ia mengerutkan alis, matanja terus menatap Tjin Lok dan Sien It Beng, sembari menundjuk orang-orangnja jang tidak berdaja, ia tanja: “Apakah artinja semua ini, Sien Tongtjoe?”

Muka It Beng mendjadi putjat pula, sekian lama ia tak dapat mendjawabi

Wie seng tertawa dalam hatinja, dengan sabar ia berkata, “Untuk menolongi orang” ia mendjawab: “Oe-boen Paytjoe, silakan kau menanja Tjie Ek. nanti segala apa mendjadi djelas” Ia pun menundjuk si radja pentjuri.

Tjepat bagaikan kilat, Oe-boen Loei menjambar tangan Tjie Ek. Lekas bitjara ia menitah, bengis.

Itu waktu keadaan sipentjuri harus dikasihani. Ia telah ditotok In Gak, benar ia sudah ditolongi To Tjiok sam, hingga ia bisa berdjalan, akan tetapi tenaganja sudah habis, tak dapat ia bertahan atas tjekalan bengis dari ketuanja itu. Tubuhnja lantas bergemetaran keras. ia lantas sadja mendjelaskan segala apa. Oe-boen Loei memandang bengis kepada Tjin Lok. habis itu ia menghela napas.

“Tjioe Tayhiap.” ia terus kata pada Wie Seng, “Menjesal, semua kedjadian ini berada diluar tahuku, tetapi walaupun demikian, aku nanti menggunai aturan perkumpulanku untuk menghukum bengis pada mereka ini. Hanja mengenai..” Ia berhenti sebentar, untuk mengawasti Tjhong-sie Koay-sioe bertiga, baru ia menambahkan: “Mengenai mereka ini, dengan memandang mukaku, aku harap kau suka mengidjinkan aku membawa mereka pergi, untuk dimerdekakan. Hoa san Pay itu bukan seperti Partai kami, jang dapat berlaku murah, maka itu ingin aku memberitahukan bahwa selandjutnja baiklah tayhiap berhati-hati untuk pembalasannja”

Wie seng tertawa lebar.

“Oe-boen Paytjoe, aku si orang she Tjloe girang untuk kedjudjuran kau ini” katanja. Ia lantas menundjuk pada Tjhong-sie Koay-sioe semua, ia berkata: “Oe-boen Paytjoe hendak mengurus mereka itu, baiklah, aku pun tidak akan menarik pandjang lagi. Tentang Tjhong-sie Koay-sioe dan orang-orang Hoa san Pay, apabila benar seperti kata paytjoe, mereka hendak datang pula kemari, baiklah, pada waktunja, aku nanti menjambutnja”

Oe-boen Loei tertawa.

“Djikalau tayhiap membilang demikian, baiklah, aku djadi mirip si orang Kie jang menguatirkan langit roboh,” katanja. Ia lantas membungkuk untuk membebaskan totokan atas dirinja Tjhong-sie Koay-sioe. Tapi djago itu ditotok In Gak menurut peladjaran Hian-wan sip-pat-kay, tak berdaja ia membebaskannja, hingga ia mendjadi heran. Ia kata dalam hatinja: “Dalam ilmu totok. perjakinanku ada dari banjak tahun, aku mengerti ilmu totok pelbagai partai diseluruh negara ini, dapat aku menotok, dapat aku membebaskannja, maka aneh sekarang ini, aku gagal Apakah disini ada menjelip keratjunan?”

Saking penasaran, ketua Oey Kie Pay mentjoba menolong im- yang siang-kiam. Ia tetap gagal. Bahkan kedua imam itu mendelik matanja, mengawasi ia dengan gusar sekali. Mereka itu mengasi dengar suara tidak njata, rupanja saking sakit dan mendongkol Mau atau tidak, dengan roman menanja, Oe-boen Loei mengawasi Wie Seng.

“Oe-boen Paytjoe,” berkata tuan rumah, tertawa, “Mereka ini semua telah ditotok seorang gagah jang aneh luar biasa Kedjadian itu aku si orang she Tjioe tidak menjaksikan sendiri, tjuma aku dengar, orang gagah aneh itu benar-benar luar biasa. sajang aku tak bertemu dengannja, djikalau tidak. pasti dapat aku mendjadi perantara untuk mengadakan pertemuan diantara paytjoe dan dia”

“Apakah benar dia Lootjianpwee TjiaBoen jang katanja telah muntjul pula dalam dunia Kang-ouw?” tanja Oe-boen Loei. Ia menanja tetapi parasnja berubah guram. Wie Seng menggeleng kepala, ia tertawa.

“Tjia Lootjianpwee seorang gagah, dia lagi mengurus urusannja sendiri bekas dikerubuti orang banjak, mana dia sempat membantu aku disini?” ia berkata. “Bukankah urusan disini urusan remeh? Pula ini terang bukan perbuatanTjia Lootjianpwee, karena biasanja ia bekerdja tanpa meninggalkan sisa hidup. Menurut katanja Tjie Ek dari partai paytjoe itu, orang itu masih berusia muda sekali.”

Oe-boen Loei mentjoba menjabarkan diri, tetapi mendengar perkataan Wie Seng ini, ia mendongkol bukan main. Kata ia dalam hatinja: Djikalau dibelakang aku tidak dapat membikin kau mampus tanpa tempat kuburanmu, aku sumpah sampai mati djuga aku tidak mau sudah. Walaupun demikian, ia dapat tertawa. “Tjioe Tayhiap. kau memudji terlalu tinggi pada orang itu” ia kata. “Aku tidakpertjaja bahwa kau belum pernah bertemu dengannja”

Wie seng hendak memberikan djawabannja atau Tjin Lok. jang gusar bukan kepalang, mendahuluinja sambil berseru: “Paytjoe, djanganlah pertjaja ini bangsat tua Tadi malam orang aneh itu bersama-sama Hoei-in-tjioe Gouw Hong pioe dan Pat- kwa-too The Kim Go serta itu dua nona, jang hadir disini, telah datang ke Lioe sie Wan dimana mereka mengatjau Mana bisa dia membilangnja tidak kenal?” Oe-boen Loei memandang tuan rumah.

“Tjioe Tayhiap.” katanja,”Aku datang kemari untuk menjudahi peristiwa, maka itu paling benar kau sebutlah siapa orang itu?”

Baru berhenti pertanjaan itu, belum lagi Wie Seng memberikan djawabannja, dari tetarap timur terdengar suara tertawa njaring disusul dengan mentjelatnja satu tubuh, jang bagaikan bajangan turun didepannja ketua partai Bendera Kuning itu.

Saking herannja. Oe-boen Loei mundur dua tindak. setelah itu ia mengawasi, hingga ia melihat seorang dengan kulit muka seperti kulit majat berdiri didepannja laksana patung batu. Biar ia gagah, ia toh terperandjat. Baru sedjenak kemudian, ia tertawa dingin. “Kau siapa, tuan?” ia tanja. “Benarkah semua orangku dirobohkan kau?”

Orang dengan muka seperti majat itu, seorang muda, mengawasi tadjam.

“Tidak salah” dia mendjawab, dingin. “Semua itu perbuatanku Terhadap kawanan maling seperti tikus itu, jang tidak tahu malu, sebenarnja aku sudah berlaku sungkan Tentang namaku, kau tidak berderadjat untuk menanjanja”

Oe-boen Loei belum berumur empatpuluh tahun tetapi dia telah membangun Oey Kie Pay, dia mengepalai anggauta- anggautanja ditiga propinsi Kangsouw, Ouwpak dan Anhoei, jang berdjumlah dua- atau tigapuluh-ribu djiwa, maka dialah seorang besar.

Pula, tidak biasanja dia turun tangan sendiri, kalau sekarang dia telah datang ke Kho-yoe, itulah disebabkan berulang kali dia menerima laporan hebat dari Tjin Lok. ketua mudanja itu. Ketika dia tiba di Lioe sie Wan, dia diberitahukan Tjin Lok sudah pergi ke Tjioe-kee-tjhung, maka dia lantas menjusul. Tidak pernah dia menduga bahwa peristiwa ada demikian hebat. Biar bagaimana, dia mesti mendjaga diri, sebab kalau dia roboh, runtuhlah partainja. Umpama kata dia menang, dia masih kuatir orang mengatakan dia menghina Tjioe-kee-tjhung jang disatroni itu Dia memikir untuk melampiaskan kemendongkolannja dilain kesempatan. Dia tidak njana, sekarang dia dihadapkan si anak muda jang tak dikenal, jang sikapnja demikian djumawa. Dia berlenggak. mengasi dengar tertawanja jang menusuk telinga. “Tahukah kau, aku ini siapa?” dia tanja.

“Aku tidak perduli kau siapa” sahut si anak muda, suaranja dalam. “Tak lebih tak kurang, kau tentulah kepalanja sipendjahat” Oe-boen Loei sangat gusar.

“Aku kepala pendjahat, Aku Oe-boen Loei Kau sendiri apa?

Kau berani begini kurang adjar didepanku?” dia berteriak. “Oe-boen Loei?” si anak muda mengulangi. “Maaf, aku

tidak kenal Mungkin ini disebabkan, aku muntjul belum lama. Ia lantas menoleh kearah tetarap barat dan menanja: Tuan- tuan, Oe-boen Loei itu machluk apa? Apakah kamu tahu?” Pertanjaan itu didjawab tertawa ramai ditetarap barat itu.

Hati Oe-boen Loei panas bukan main. Belum pernah orang menghina dia dimuka umum seperti kali ini. Mukanja mendjadi guram, alisnja bangun berdiri Tapi, belum lagi dia bertindak. dia sudah didului Sien It Beng. Ketua Gwa sam Tong dari Oey Kie Pay itu sangat mendelu menjaksikan tingkah-polanja si pemuda berkulit majat, dilain pihak ia djeri, maka itu, timbul niatnja jang busuk, jaitu diam- diam ia menjerang dengan lima bidji sendjata rahasianja jang berupa piauw. Kebetulan ia menjerang, kebetulan suara riuh, maka suara menjambernja piauwnja itu saru dengan suara berisik itu

Si anak muda bermuka majat itu benar-benar liehay, matanja tadjam. Ia melihat ketjurangan Sien It Beng, segera ia mengulur tangannja, untuk menjerang. Tepat pundak Giok- bin Djie-long kena terhadjar, dia lantas merengkat tubuhnja, menggigil dan djongkok. sedang matanja mendelik, kulit mukanja keriput. Dia seperti menderita

kesakitan hebat. Lima buah piauwnja mengenai tubuh sasarannja tetapi kelima- limanja runtuh ketanah, orang jang diserang tidak kurang suatu apa.

Oe-boen Loei mengerutkan alis. Belum pernah ia menjaksikan orang dengan kepandaian seperti si anak muda, ia tidak pernah kenal partai jang mempunjai ilmu silat demikian liehay.

Ditetarap timur pun orang heran dan kagum, tak terketjuali beberapa jang mengenal pemuda itu.

Habis menghadjar Sien It Beng, si anak muda dengan dingin menatap Oe-boen Loei.

Bukan main sulitnja ketua Oey Kie Pay, jang untuk sementara berdiri tertjengang. Tindakan apa ia mesti ambil? Berdiam salah, berlalu salah. ia mesti mempersalahkan It Beng, jang main tjurang itu ia sendiri, kalau dibokong, pasti ia bertindak seperti anak muda itu.

Selagi orang berdiam itu, Wie Sseng mendjura kepada si anak muda, ia berkata: “Tayhiap. aku bersjukur untuk bantuanmu ini. Aku si orang she Tjioe, akan aku ingat budimu ini. Tapi aku tinggal disini, musuhku banjak. entah bagaimana djadinja nanti” Maka si anak muda mengangkat tangannja, mentjegah orang bitjara. ia bilang: “Djikalau mereka mau pergi, tidak dapat aku mentjegah mereka, hanja lain ini Oe-boen Loei Bukankah tadi, dia jang menjuruh tjhungtioe menjerahkan aku padanja? sekarang aku ada didepannja, aku mau lihat, dia hendak mengatakan apa Tayhiap menjebut-njebut rumahmu, apakah itu disebabkan tayhiap kuatir pembalasan mereka dibelakang hari? Baiklah sekarang aku beritahu, kalau mereka mau pergi, mereka boleh pergi, hanja mesti mereka pergi semua, berikut tjabang-tjabangnja Dan mereka mesti pergi dari propinsi ini, tidak dapat mereka mengindjak sekalipun dengan sebelah kaki lagi”

Darahnja Oe-boen Loei mendjadi naik,

“Tuan, kau begini djumawa, kau tentu mengandalkan kepandaianmu, bukan?” ia kata. “Kau harus ketahui, didalam kalangan Kang-ouw, diluar orang ada orang lainnja, diluar langit ada langit lainnja lagi Maka itu, aku Oe-boen Loei, aku tidak puas Oey Kie Pay memang tidak terkenal, akan tetapi tidak dapat tjuma sebab kata-katamu ini aku mesti membawanja pindah dari sini”

Anak muda itu tetap tertawa dingin.

“Habis apa maumu maka kau menitahkan Tjioe Tayhiap menjerahkan aku?” ia tanja. “Aku bilang terus-terang, kau puas atau tidak. terserah kepada kau sendiri, djikalau kau tetap tidak puas, mari, mari kita mengadu kepandaian kita”

Oe-boen Loei tertawa, lebar. ”Aku Oe-boen Loei, tidak pernah aku bertempur dengan boe-beng-siauw-tjoet” katanja djumawa. ia menjebut orang Boe-beng-siauw-tjoetjaitu serdadu ketjil jang tidak mempunjai nama.

Anak muda itu gusar.

“Apa? Berani kau memandang enteng padaku?” Lantas sebelah tangannja melajang dimuka ketua Oey Kie Pay hingga ketua itu mesti mundur lima kaki, mukanja putjat. Dia terkedjut untuk serangan itu.

Si anak muda tapinja tidak menjerang terus, ia menahan tangannja, tubuhnja pun tidak

bergerak. Berdiri tetap ditempatnja, ia mengasi turun tangannja. ia bersenjum.

“Djangan takut” katanja halus. “Hari ini aku tidak bakal melukai kau Ada lain orang jang telah bersumpah untuk menurunkan tangan sendiri atas dirimu, djikalau aku mendahului, bukankah orang akan menjesal seumur hidupnja? Kau baik- baiklah dengar nasihatku, lantas kau menarik diri, berlalu dari wilajah Kangsouw ini, djikalau tidak. dibelakang hari kau bakal menjesal sesudah kasip”

Dibelakang Oe-boen Loei berdiri belasan kawannja, jang sikapnja garang. Mereka itu gusar, asal diberi titah, mereka segera akan turun tangan. Tapi Oe-boen Loei menghela napas.

“Didalam hal-hal selama beberapa hari ini, pihakkulah jang salah,” ia berkata, “Maka itu biar bagaimana, tidak dapat aku menempur kau, tuan- Hanja sajang, tidak dapat aku mengetahui she dan namamu Lain tahun, djikalau gunung hidjau tidak berubah, nanti kita bertemu pula” ia terus menoleh kebelakang, untuk menggapai. Maka belasan orangnja itu madju serentak.

“Bawa mereka ini semua!” ia menitahkan- ia memandang si anak muda dan Wie Seng untuk memberi hormat, untuk mengutjap: “Sampai ketemu”

Tjioe Wie seng membalas hormat, ia madju dua tindak.” Oe-boen Pangtjoe, maaf, tak dapat aku mengantar lebih djauh,” katanja.

Sebaliknja si anak muda berkata dengan dingin: “Oe-boen Loei, djikalau kau tidak menarik diri seperti perintahku ini djikalau nanti kita bertemu pula, itu artinja telah tiba saat kematianmu” Sepasang alisnja ketua Oey Kie Pay itu bangun, air  mukanja mendjadi guram, akan tetapi ia tidak membilang apa- apa, ia ngelejor terus.

Masih si anak muda mengawasi punggung orang, masih terdengar tertawa mengedjeknja atau kemudian terlihat tubuhnja bergerak. mentjelat terapung tinggi, berlompat ke kanan tetarap barat, maka dilainsaat, ia sudah lompat pula melewati tembok pekarangan, akan lenjap dilain sebelah.

Menjaksikan ilmu lompat tinggi dan djauh itu, semua hadirin dikedua tetarap berdiri tertjengang.

Baru lewat sesaat, Tjioe Wie Seng lalu memetjah kesunjian. ia menghadap para tetamunja ditetarap barat dan berkata: “Sekarang marilah kita mulai pula dengan pieboe diatas loeitay Andaikata ada saudara-saudarajang menganggap peraturan pieboe terlalu keras, silakannja mengutarakannja. Aku memberi waktu satu djam “ Habis berkata, ia kembali ketetarap timur.

In- liong sam-hian To Tjiok sam tertawa, ia kata pada orang banjak: “Anak muda itu liehay sekali, ia dapat membikin orang mundur tanpa bertanding lagi, itulah hebat, dia sungguh mengagumkan”

Kata-kata ini merupakan isjarat untuk mereka jang mengetahui agar mereka itu djangan membuka rahasianja si anak muda she Gan. Beberapa orang pula tahu In Gak mestinja liehay tetapi mereka ini tidak berani menjangka dia.

Untuk sementara ramailah orang berbitjara, sebab aneh mundurnja Oey Kie Pay itu. Baru kemudian terlihat seorang keluar dari tetarap berat, dia menghampirkan Wie

Sseng, untuk memberi hormat sambil berkata:” Aku jang rendah Kim-mo-houw ong Beng, aku mewakilkan pihak barat untuk mengutarakan sesuatu, harap Tjioe Tayhiap dapat menerimanja.” Wie seng berbangkit membalas hormat itu. “Silakan bitjara, ong Giesoe,” katanja tertawa.

“Aku bitjara tentang batas pertandingan sepuluh kali”, kata Ong Beng. “Tak dapatkah itu diubah mendjadi hanja tiga kali? Djuga baiklah djangan dipakai djuga batas usia, tjukup asal seorang tidak mempunjai isteri. Umpama usul ini tak dapat disetudjui tayhiap. aku hendak menjarankan lainnja, jaitu supaja puteri tayhiap sendiri jang naik kepanggung sebagai taytjoe, siapa dapat mengalahkan taytjoe, dialah jang mendjadi menantu tayhiap. Bagaimana?”

Mendengar itu, Wie seng tertawa lebar.

“Usul jang pertama, perihal pengurangan batas pertandingan dan umur, masih dapat aku menjetudjui,” kata ia, “Hanja saran anakku mendjadi taytjoe, itulah sukar untuk dipertimbangkan. Anakku tjuma satu, dan manusia bukannja naga atau harimau, mana dapat ia melawan begitu banjak orang jang menantangnja? Tidakkah demikian, Ong Giesoe?”

Ong Beng hendak mendjawab, atau Hong pioe dului ia. “Aku pikir begini sadja,” berkata pemilik peternakan ini:

“Kita djangan mengubah sjarat-sjarat pertandingan, kita ubah itu dengan To Lootjianpwee jang mendjadi taytjoe, siapa dapat mengalahkannja, dia mendapat orang dan pedang.

Tidakkah usul ini singkat?” Ong Beng menggojang kepala. “Mengenai usul ini, aku tidak dapat mengambil keputusan

sendiri,” ia bilang. “Nanti aku

berdamai dulu, baru aku memberikan djawaban kami.” Maka baliklah ia ketetarap barat.

Hong Pioe dapat membade hatinja Wie seng, maka ia turut membuka suara. Wie seng ingin memperoleh menantu jang tampan dan gagah, setelah melihat Gan G ak. ia lantas penudju pemuda itu. Goat Go pun sangat mengagumi kegagahannja si pemuda. Hanja satu kesangsiannja tjhungtioe itujalah Gan Gak suka naik keloeitay atau tidak- asal dia mau, perdjodohanpasti tak meleset lagi. Karena ini, orang she Gouw itu mengadjukan sarannja. Ia tahu, madjunja In-liong sam- hian bakal membikin banjak orang ditetarap barat itu mundur sendirinja.

To Tjiok sam dapat membade maksudnja Hong Pioe, ia mengawasi sahabat itu dan berkata: “Laotee, saranmu ini berarti menutup djalan”

Ketika itu dari tetarap barat muntjul tiga orang, satu antaranja lantas berkata pada tuan rumah: “Kami telah membuatpembitjaraan. sebenarnja kami mengetahui dibangunnja Wan-yo-tay ini disebabkan urusan tayhiap dengan pihak Oey Kie Pay, maka itu, kami pun datang untuk menonton sadja, sekarang urusan dengan Oey Kie Pay itu sudah beres, sjukur. Mengenai perdjodohan, kami merasa tayhiap sudah mendapatkan pilihan sendiri, dari itu, untuk apakah kami mesti naik pula dipanggang mendjadi perintang? oleh karena itu, kami memutuskan untuk pulang sadja.

Hanjalah nanti, dihari kegirangan, kami berbesar hati menantikan untuk datang menggeretjok setjangkir arak”

Wie Seng mengurut djanggutnja, ia tertawa.

“Itulah pasti katanja. saudara-saudara sudi datang sendiri, itulah bagus. Memang

untuk mengundangnja aku kuatir tak aku berkesempatan.”

Tiga orang itu tertawa, mereka memberi hormat, lantas mereka mengundurkan diri, untuk pergi keluar. Maka jang lain-lain, jang menanti dibawah tetarap. lantas pada berbangkit, untuk turut berlalu.

Wie seng lekas-lekas pergi kepintu, guna mengantar mereka itu.

Badai sebenarnja dahsjat, tetapi setelah angin lewat dan hudjan berhenti, maka

langit djadi terang-berderang dan tenang. Habis mengantar semua tetamunja, Wie seng menghampirkan Tjiok sam dan Hong Pioe, untuk berbitjara perlahan, setelah mana, dua sahabat ini pun mengundurkan diri dari tetarap timur.

Ketika itu In Gak sudah merebahkan diri didalam kamarnja, akan tetapi ia sadar, telinganja pun tadjam sekali, ia mendengar tindakan kaki orang. ia rebah terus, tubuhnja tak bergerak. sampai muntjullah To Tjiok sam dan Gouw Hong Pioe, jang masuk dengan menolak pintu sendiri, tanpa menggedur atau memanggilnja lagi. Tjiok sam tertawa lebar menjaksikan orang tengah rebah dengan tenang itu.

“Lao-teetay, djanganlah kau berlagak pilon” katanja gembira.”Sepak-terdjang kau barusan telah memadamkan api berkobar-kobar, sampaipun Oe-boen Loei si tjabang atas dapat dengan begitu sadja disuruh mengangkat kaki sungguh kau membikin kita sangat kagum Kau tahu,” ia menambahkan,”Tanpa memberi ketika orang merendah, urusan loeitay djuga turut mendjadi beres karenanja.”

In- liong sam- hian lantas menuturkan hal pembitjaraan diluar tadi.

In Gak bangun dari pembaringannja, ia mengawasi kedua orang itu. Tjiok sam dan Hong Pioe pun mengawasi, sambil bersenjum.”Lootjianpwee, ada apakah?” anak muda itu tanja.

“Aku si orang tua, aku mau minta setjangkir arak kegirangan” sahut Tjiok sam.

“Aku djuga” Hong Pioe turut berkata.

“Apa? Arak kegirangan apakah itu?” si anak muda tanja.

Tjiok sam mengawasi terus, tjuma sekarang ia berhenti tertawa.

“Lao-teetay, bagaimana, kau lihat ilmu silatnja Lian Tjoe dan Goat Go?” ia tanja.

Ditanja begitu, muka in Gak bersemu merah. “Ilmu silat mereka tjukup,” sahutnja. Tjiok sam bertepuk tangan, dia tertawa.

“Bagus “ serunja. “Maka djadilah aku si orang perantara” In Gak menggojangi tangan.

“Tak dapat, lootjianpwee” katanja. “Nona itu masih ada orang-tuanja Pula aku sendiri, aku masih mesti melakukan sesuatu, jang tak akan selesai dalam waktu jang pendek. Aku menjesal mensia-siakan lootjianpwee” Tjiok sam tertawa pula.

“Apakah lao-teetay tidak dapat memberi muka kepada aku si orang tua?” katanja. “Tentang orang-tua nona Tio, djangan kau buat kuatir, aku jang akan mendjamin, Perihal urusan kau, itu tentu bukan lain daripada urusan budi dan penasaran, mengenai itu, aku tidak ingin merintangi kau, apa jang aku kehendaki jalah djodoh diikat dulu, habis itu baru kau pergi kekota radja. Rumah Nona Tio jalah didjalan Ong- hoe Toa- kay di Tjhong-tjioe, tak diauh dari kota radja, maka setelah urusan kau dikota radja itu beres, kau dapat lantas pergi ke Tjhong-tjioe, disana aku dan nona Tio akan menantikan kau”

Mendengar itu, In Gak tertawa. ia menganggap si orang tua djenaka.

“Lootjanpwee bitjara enak sadja” katanja.

“Gan siauwhiap. Hong Pioe turut bitjara, kau terimalah”

Sikap In Gak lantas bersungguh-sungguh, agak likat, ia kata: “Dengan adanja lootjianpwee berdua mendjadi orang perantara, segala apa pun dapat djadi, Hanja..” ia menambahkan, “Aku tengah merantau, aku lagi mentjari musuh besarku, aku tidak ingin tjita-tjitaku itu digerembengi urusan djodoh. Aku ingin seorang diri sadja mentjari musuhku itu. Djikalau mereka suka menerima baik keberatan ini, baru aku suka memberikan persetudjuanku.”

Tjiok sam dan Hong Pioe heran.

“Benarkah siauwhiap mempunjai musuh?” tanja mereka berbareng. “Siapakah musuh itu?” In Gak bersenjum, ia tidak mendjawabi Melihat demikian, Tjiok sam tidak mendesak. “Urusan gampang,” katanja kemudian- “Kedua nona-nona itu dari keluarga baik-baik, mereka dapat diminta menanti dirumah.”

Selesai sudah urusan djodoh itu, maka bitjara lebih djauh, mereka memasang omong daribanjak hal lain, umpama tentang keramaian kota Kangtouw.

“Pernah aku berdiam disana beberapa hari, sajang aku belum dapat melihat semua,” kata in Gak.

“Tapi Kangtouw dekat, tjuma seperdjalanan satu hari, dapat siauwhiap kembali kesana”, berkata Hong Pioe. “Dengan pesiar lagi satu atau dua hari, kau akan menikmati segala keindahan itu.”

In Gak menggeleng kepala.

“Sajang keras sekali keinginanku pergi ke Utara,” bilangnja. “Sebegitu lama musuh belum dapat ditjari, satu hari pun tak dapat aku tidur senang. Untuk pesiar, aku lakukan itu sambil lalu sadja.”

Setelah itu, anak muda ini memberitahukan kemana ia telah pindahkan kedua pedang Kie Koat dan Tjeng Hong.

Tidak lama, Tjiok sam dan Hong Pioe mengundurkan diri.

Setelah berada sendirian, in Gak rebah pula, otaknja bekerdja. Berbajanglah didepan matanja segala usahanja selama setengah tahun merantau. Ia merasakan lebih banjak penderitaan daripada kesenangan, bahwa dunia Kang-ouw benar-benar banjak bahajanja. Mengingat itu, ia merasa djemu. Tapi ia mesti membalas sakit hati ajahnja, ia mesti merantau terus

Selagi melajangi pikirannja itu, In Gak ingat Goat Go dan Lian Tjoe. Mereka itu beda daripada Nie Wan Lan jang berandalan. ilmu silat mereka pun baik. Maka, sebenarnja, siapa tidak puas memperoleh isteri-isteri sebagai mereka itu? Ia ingat djuga jang ajahnja menjesal tidak dapat menikahkan ia, hingga sekarang ia harus menikah dengan ichtiar sendiri Karena ini ia menjesal tidak dapat segera ia membunuh musuhnja, agar ia bisa menuntun isterinja untuk tinggal ditempatjang sunji-tenang, supaia tak usah ia merantau lebih djauh. Mengingat ini, ia menghela napas. itulah tjita-tjita belaka. ia masih harus mendjalankan tugas.

Lewat lagi sekian lama, pemuda ini menutup diri dengan selimut, karena ingin beristirahat dengan tidur njenjak, ia tidak duduk bersamedhi lagi. Ketika dilain waktu ia mendusin, matahari sudah dojong rendah kebarat. Empat djam lamanja ia tidur, ia berbangkit dengan pikiran lega dan merasa segar. Tjepat-tjepat ia dandan. Ketika ia berkatja, ia melihat dirinja tak miripnja seorang jang mengarti ilmu silat.

Lantas ia mendengar suara tertawa jang ramai tetapi empuk. Tahulah ia kedua nona lagi mendatangi. Tiba-tiba sadja timbul pelbagai perasaan dalam hatinja. Tapi ia dapat menenangi diri, ia membuka pintu kamarnja untuk menjambut mereka itu.

Lian Tjoe dan Goat Go berdjalan denganperlahan-perlahan, terperandjat mereka waktu mendadak In Gak terlihat berdiri didepan mereka, tangannja si anak muda digendong kebelakang dan wadjahnja berseri-seri. Tanpa merasa, mereka berdiri tertjengang. Lagi pula sekarang mereka melihat tegas si anak muda djauh lebih tampan daripada hari-hari jang telah lalu.

Hari ini, habis membersihkan tubuh, In Gak mengenakan badju hidjau badjupakaiannja seorang peladjar, kedua matanja bersinar terang, hidungnja bangir, giginja putih, bibirnja dadu, sedang sebelah tangannja mentjekal sebuah kipas. Mana dia mendjadi seorang ahli silat, dia mirip peladjar, pikir kedua nona.

Achirnja Goat Go tertawa dan berkata: “Ajahku mengundang Gan Kongtjoe untuk memasang omong.”

Kata-kata kongtjoe itu diutjapkan dengan terlebih lama dan berat.

Lian Tjoe pun turut menjampaikan undangan itu. Diwaktu berbitjara, kedua nona telah memberi hormat mereka.

Mereka ini nakal dan djenaka, kata In Gak dalam hati. Toh ia merasakan manis. Lantas ia berkata: “Sebutan Gan Kongtjoe itu sebutan baru dan indah, aku menerima nja dengan terpaksa. Tapi, lain kali, lebih baik kamu mengubah panggilan kamu”

Kedua nona itu merasa bahwa mereka dipukul sindiri, maka keduanja lantas mengawasi tadjam. Bahkan Lian Tjoe lantas kata: “Adik, mari Aku lihat orang ini bukan orang baik-baik”

Goat Go memutar tubuh, untuk berlalu, si Nona Tio mengikuti.

In Gak tertawa, sambil mengawasi, ia bertindak dibelakang mereka.

Tiba diruangan dalam, disana Wie Seng berada berlima dengan Tjiok sam, Hong Pioe, Kim Go dan Ha uw Lie Peng. Mereka itu asjik bitjara sambil tertawa-tertawa. Ketika mereka melihat kedua nona serta si anak muda, mereka berbangkit.

Sebuah lilin besar menerangi ruangan itu dan sepasang gedang Kie Koat dan Tjeng Hong diletaki dikedua sisi lilin itu

In- liong sam- hian tertawa ketika ia berkata: “Gan Laotee, dandananmu ini luar biasa, kau benarlah menantu Keluarga Tjioe” In Gak merasai mukanja sedikit panas.

“Ah, lootjianpwee gemar bergujon,” katanja terpaksa.

Gouw Hong pioe pun lantas berkata: “Gan Siauwhiap. kami si orang tua djuru perantara sudah selesai dengan tugas kami, karena itu kenapa kau tidak mau lekas-lekas memberi hormat kepada mertuamu?” Barusan pun Nona Tio sudah mendjalankan kehormatan kepada mentuamu, jang dia angkat sebagai ajah-angkatnja.” Mendengar itu, tanpa ajal lagi In Gak memberi hormat pada Wie Seng. ia paykoei tiga kali.

Wie Seng senang bukan main, sembari tertawa terbahak ia memimpin bangun mantunja itu. ia kata: “Sudah, anak. tak usah kau mendjalankan kehormatan”

In Gak mengenakan rantai kemala dimana ada gandulannja ikan2an dari batu permata, ikan-ikanannja indah sekali buatannja. Itulah warisan ibunja, warisan jang buat duapuluh tahun tak pernah berpisah daripadanja. sekarang ia meloloskan itu, dipersembahkan kepada mentuanja sebagai tanda matanja untukperdjodohannja.

Wie seng sebaliknja mengambil pedang Kie Koat, untuk diserahkan pada menantunja itu.

In Gak menjambuti, tapi setelah berpikir sebentar, ia mengembalikannya pada mentuanja.

Wie seng tertjengang, tetapi mantunja itu segera berkata: “Aku tidak mempunjai barang lainnja, maka itu aku minta pedang ini didjadikan tanda mataku untuk Nona Tio.”

Baru sekarang Wie Seng mengerti. ia tertawa. Lantas dua rupa barang itu diserahkan pada Goat Go dan Lian Tjoe.

Kedua nona itu menjambuti, terus mereka mengundurkan diri

Wie Seng tertawa, ia berkata:” Anak. sekarang telah ditetapkan, untuk pihak

laki-laki, orang perantara jalah kedua saudara Gouw danThe,dan untuk pihak perempuan, saudara-saudara To dan Hauw. Maka haruslah kau menghaturkan terima kasihmu kepada mereka.” In Gak menurut, sambil memberi hormat, ia mengutjapkan terima kasihnja.

Kim-bian Gouw-khong Ha uw Lie Peng memegangi tangan si anak muda, ia berkata: “Gan siauwhiap. kau muda dan gagah, kau sungguh mengagumi. Aku Hauw Lie Peng, aku dapat bertemu denganmu, aku girang bukan kepalang”

“Hauw Tayhiap tjuma memudji,” kata In Gak merendah, setelah mana ia menghampirkan mentuanja, untuk berkata: “Ada sesuatu jang aku hendak djelaskan. ini mengenai kepentingan pribadi. Aku minta sukalah gakhoe dan sekalian lootjianpwee merahasiakan, baru dapat aku menjebutnja.”

“Kita semua kaum Rimba Persilatan, kata-kata kita berat sekali,” kata Hauw Lie Peng tertawa lebar. “Siauwhiap. kau bitjaralah, kita pasti tidak akan membotjorkannja”

“Sebenarnja.aku she Tjia, bukannja she Gan,” In Gak menerangkan. “Tjia In Gak jang membinasakan Tjit-sat-tjioe Koet sin di Kim- hoa jalah aku sendiri”

Mendengar itu, orang heran- Baru sekarang mereka mengerti. “Kenapa kah laotee mengubah shemu?” tanja In- liong sam- hian.

“Itulah disebabkan setelah peristiwa di Kim- hoa itu, aku menguatirkan namaku mendjadi terlalu besar dan itu dapat mendatangkan kesulitan-kesulitan jang tidak diingin, jang bisa menghalang-halangi usahaku selandjutnja,” sahut In Gak. “Ketika pertama kali aku datang kemari, sebenarnja aku hendak bekerdja diam2, sesudah mana aku akan mengundurkan diri setjara diam2 djuga, siapa tahu ia melihat kesekitarnja: Nona Tio telah mengetahui rahasiaku. Sjukur melainkan gakhoe serta sekalian tjianpwee jang mendapat tahu sepak-terdjangku ini, djikalau tidak?”

Sampai disitu djelas sudah hal dirinja In Gak. tjuma orang masih tidak ketahui siapa musuhnja. Hal ini, Wie Seng tidak mau menanjakan melit-melit. “Sekarang marilah kita bersantap” ia mengadjak. Demikian orang pergi keluar.

Sedjak hari itu, In Gak pindah kamar kerumah besar. sedjak itu hari, ia pun mengadjari silat sungguh-sungguh kepada Goat Go dan Lian Tjoe, sebab mereka bukan lagi orang luar, selain ilmu bersamedhi, guna memperkokoh tenaga dalam, ia mengadjari djuga tipu silat Kim-kong Hok Houw Tjiang atau Kim-kong menaklukkan harimau, serta ilmu sendjata rahasia Boan-thian Hoe-ie say- kim-tjhie, atau Menjiram uang emas sebagai hudjan bunga.

“Peladjarilah ini terus-menerus setiap hari, djangan dialpakan,” dia memesan. Begitu djuga tentang peladjaran Kioe-kiong Tjeng-hoan fm-yang-pou dan Pat-kioe Leng-long- tjioe. Itulah dua matjam ilmu silat langka dalam Rimba Persilatan- setelah paham benar, taklah sulit untuk melajani djago-djago kelas satu. “

Selang tiga hari kemudian, In Gak pamitan dari kedua tunangannja, mentuanja dan sekalian kenalannja di Tjioe-kee- tjhung, untuk menudju ke Utara, dimana hawa udara hangat terlambat datangnja dibanding dengan Kang lam, selatan maka itu pemandangan alam disini masih menarik hati. ia melarikan kudanja keras sekali, hingga ia membuatnja seperti terkurung dengan debu, hingga kepala dan tubuhnja, djuga kudanja, tertutup seanteronja, tinggal matanja sadja jang bersinar. Inilah disebahkan selama tiga hari dan dua malam, ia kabur terus-terusan, ia tjuma singgah seperlunja. setelah masuk wilajah propinsi Shoatang, dari Liauw-shia ia memotong ke Tay-beng, melintasi Ham-tan, menudju ke Tjio- kee-tjhung. Tadi baru sadja ia singgah di see-hoo. Untuk tiba di Tjio-kee-tjhung, ia mesti melalui lagi perdjalanan dua- ratus lie lebih, sedang itu waktu, sudah lewat tengah hari. Ia menduga diwaktu magrib ia akan sampai ditempat tudjuannja. Karena ini, untuk minum pun ia tak menghentikan lagi kudanja, ia terus mengasi lari dengan keras.

Mulanja In Gak memikir dari Liauw-shia melintasi ketjamatan Tek-koan lalu kekota Tjhong-tjioe, terus ke kota radja. Kemudian ia pikir, setibanja di kota radja dimana ia bakal menemui Loei siauw Thian, ia perlu mampir dirumahnja Tio Lian Tjoe di Tjhong-tjioe, maka itu, ia mengambil djalanan ke Ham-tan ini. Ditengah djalan ini ia berpikir: “Entahlah, Kioe- tjie sin-kay Tjhong sie akan menjusul atau tidak, akan tetapi selagi lewat di Kho-yoe, aku telah memesan kata-kata kepada Lu Boen Liang, supaja dia memberitahukan arah tudjuanku”

Mulai lohor, tibalah In Gak di Kho-ip. Djauh didepannja, samar-samar ia melihat tembok kota ketjamatan itu, jang ia taksir masih ada seperdjalanan kira2 tigapuluh lie. Maka ia mentjambuk kudanja, mengasi kabur.

Djauh disebelah depan, In Gak melihat debu mengepul naik, selagi mendekati telinganja pun mendengar tindakan kaki banjak kuda, lantas ia melihat lima penunggang kuda lagi kabur mendatangi, dari dua jang terdepan, jang satu membawa seorang tua, sedang seorang jang lain membawa seorang wanita jang tengah menangis sedih.

“Pasti mereka orang-orang djahat”, pikir In Gak. Maka ia lantas menghadang ditengah djalan, tjambuknja disabarkan kedepan.

Dua penunggang kuda itu kaget, mereka menahan kuda mereka. Karena ini, mereka diterdjang tiga jang dibela kang, jang tak sempat menahan kudanja masing-masing. sjukur dua jang didepan itu tidak roboh, mereka tjuma berkaok-kaok.

Untuk sedjenak. kelima penunggang kuda itu melengak. mata mereka, menatap. sekarang mereka melihat, perintangnja itujalah satu penunggang kuda jang penuh debu hampir mirip mereka sendiri.

“He, botjah, kau tjari mampusmu sendiri” achirnja salah seorang membentak.” Apakah kau tidak mempunjai mata hingga kau berani merintangi Lim-shia Ngo-pa? Lekas minggir”

I n Gak memang seperti ingin mentjari gara-gara, tak sudi dia menjingkir. Pula djulukan Lim-shia Ngo-pa itu Lima djago dari Lim-shia menarik perhatiannja. “Aku tidakperduli siapa Lim-shia Ngo-pa” sahutnja, berani. ia tertawa dingin. “Bukankah sekarang ini siang hari?

Bagaimana kamu berani mentjulik orang? Bukankah ini berarti tak ada. lagi undang-undang negara? Djikalau kamu mau lewat, boleh, asal kamu tinggalkan itu dua orang”

“Rupanja botjah ini orang asing” kata penunggang kuda jang berbitjara itu. Dia terus tertawa terbahak. “Eh, apakah kau tidak mentjari tahu siapa kami ini? Apakah kau sudah bosen hidup? Kalau benar, botjah, kau serahkanlah djiwamu:”

Lantas dia madju, dia menghunus goloknja, untuk membatjok.

In Gak bersenjum, sembari berkelit, ia mengulur tangan kirinja, atas mana orang itu mendjerit setjara tiba-tiba dan goloknja terlepas, djatuh ketanah, sedang tubuhnja dibetot, hingga dilain saat, si wanita dapat ditolongi.

Penunggang kuda itu kaget. Dialah pentjulik, tetapi dia sekarang kena ditjulik Dia lantas mendjerit- djerit kesakitan, karena In Gak perkeras pentjetan tangannja itu.

Keempat penunggang kuda lainnja mendjadi terkedjut, lantas mereka mendjadi murka, hanja karena penuh debu, kemurkaan itu tak nampak njata pada wadjahnja. Melainkan mata mereka jang mentjorong. In Gak mengawasi, ia tertawa terbahak-bahak.

“Apa itu Lim-shia Ngo-pa?” ia mengedjek. “Tak lebih tak kurang, gentong arak dan kantung nasi Lekas kamu kasi turun orang tua itu”

Empat orang itu nampak bingung, mereka saling mengawasi. saudara mereka telah berada ditangan orang. Achirnja, terpaksa mereka menurunkan si orang tua. “Sekarang tolong lepaskan kakak kami” kata jang satu.

In Gak tertawa, tjekalannja dilepaskan, maka djatuhlah kurbannja bagaikan lajangan putus “Baru ini pertama kali kamu berbuat djahat didepanku, suka aku memberi ampun” katanja bengis. “Lain kali, djangan kau mengharap pula sekarang tinggalkan dua ekor kudamu!”

Lim-shia Ngo-pa mati kutunja.”Baiklah,” kata mereka, jang lantas kabur dengan lima orang naik atas tiga ekor kuda.

In Gak mempertemukan si orang tua dengan si wanita muda, untuk menanjakan hal diri mereka. si orang tua menangis, ia kata: “Aku ThioThianPo dari Lou-san, Hoolam, kerdjaku djadi kuli tani, lantaran musim kemarau, aku djadi hidup sengsara. Dengan adjak tjutjuku ini, aku mau tiari adikku jang berdagang kuwe dikota Kho-ip. Kasihan saudaraku itu, dia telah menutup mata pada lima tahun jang lalu dan rumah-tangganja berantakan. Tjelaka untuk kami, kami keputusan uang belandja. Lebih tjelaka, kami bertemu Lim- shia Ngo Pa, tjutjuku ini hendak dirampas, karena aku melawan, aku pun dibawa lari sekalian. sjukur kau menolongi, tuan penolongku.”

I n Gak berkasihan. ia mengawasi si nona, jang rambutnia kusut dan mukanja kotor, matanja merah dan bengul, tapi romannja tjantik. ia lantas mengasikan sepotong emas seharga dua tahil serta perak hantjur, ia pun kata: “Sekarang pergi kamu menunggang kuda ini pulang ke Hoolam. Uang emas ini untuk modal dagang ketjil-ketjil dan perak hantjur ini buat belandja diperdjalanan.”

Thian Po sangat bersjukur, bersama tjutjunja itu ia memberi hormat, ia menghaturkan terima kasih mereka jang hangat.

“Sekarang lekaslah kamu pergi,” kata In Gak. Bahkan ia mengantarkan sampai diluar kota Kho-ip dimana kakek dan tjutjunja itu menudju kedjalan lain, ia sendiri terus menudju ke Tjio-kee-tjhung, sebuah tempat jang ramai. Dari sini, ke utara orang dapat menudju kekota radja, kebarat kekota Thay-goan. ia lantas mentjari rumah penginapan, untuk paling dulu membersihkan tubuh dan menjalin pakaian, kemudian ia pergi keruang besar, untuk bersantap. Disini ia menarik perhatian tetamu-tetamu lainnja, karena ia merupakan seorang muda jang tampan. Ia pesan makanan, ia dahar seorang diri, sambil ia sering melihat kelilingan. Dengan begitu ia lantas mendapatkan dua orang dimedja kiri tengah mengawasi padanja. Mereka itu masih muda, jang satu hitam- manis, matanja tadjam,jang lainnja tampan, matanja tadjam djuga, dan ada pedang dipunggangnja. Mereka itu mestinja mengerti silat.

Masih ada dua orang lain, jang agaknja memperhatikan anak muda ini jang satu jalah seorang tua kate gemuk. jang telah ubanan alis dan kumisnja, jang lanang embun- embunannja, tetapi kedua tangannja besar dan bersinar merah, sepasang matanja bertjahaja. Dia memandang sambil bersenjum. Jang lain lagi jalah seorang nona, badjunja abu- abu dan singsat, kepalanja dilibat sabuk kuning. Ia membekal pedang dengan runtje hidjau danpandjang tetapi romannja berduka. Ia mengawasi tetapi segera melengos ketika sinar matanja bentrok dengan sinar mata si pemuda.

“Pasti mereka semua orang Rimba Persilatan,” pikir In Gak. Ia kurang pengalaman tetapi luas pengatahuannja, jang mana membantu banjak padanja, hingga ia bukanlah seorang Kang- ouw hidjau. “Mereka pasti sama dengan aku Tjuma si nona, entah apakah kesulitannja” Karena ini ia pun mengawasi nona itu hingga beberapa kali.

Kedua pemuda itu, djuga si orang tua dan si nona, sama kesannja ketika mereka mendapatkan In Gakjang muda dan tampan itu Mereka tidak dapat melihat bahwa orang mengerti silat, maka mereka pikir: “Tjoba dia meninggalkan ilmu surat dan mempeladjari ilmu silat, dia berbakat baik sekali”

Habis menenggak arak. kulit muka In Gak bersemu dadu, menambah tampannja. Ia sudah lapar, ia pun berdahar dengan tjepat. Ketika ia hendak berbangkit, ia melihat satu pelajan menghampirkan si nona, menjerahkan selembar kertas, melihat mana, muka si nona mendjadi putjat.

“Mana dia si pembawa surat?” nona itu tanja perlahan. “Sehabisnja menjerahkan surat, dia lantas pergi,”

mendjawab si pelajan-

Nona itu mengangguk. semundurnja pelajan itu, alisnja berkerut.

Melihat roman si nona, In Gak memikir sesuatu.

Tiba-tiba si orang tua jang kate dan gemuk itu tertawa dan berkata: “Tak lain tak bukan tentulah kawanan tikus menghina seorang nona jang harus dikasihani Untuk apakah berduka?

Apakah kau menjangka aku si orang tua tidak bakal mengulurkan tangan?”

Njaring suara orang tua itu hingga semua tetamu lainnja mengawasi ianja. ia tapinja bersikap seperti tak ada lain orang disitu, ia minum araknja dengan merdeka, ia menggajam makanannja dengan lahapnja.

Mendengar suara si orang tua, In Gak mengubah sikapnja. ia batal berbangkit untuk meninggalkan medjanja. ia mau melihat perkembangan terlebih djauh.

Segera terlihat si nona menghampirkan si orang tua, ia memberi hormat dan berkata perlahan- “Aku tahu kau bukanlah orang sembarangan, lotjianpwee, maka itu aku mohon pertolonganmu. Dari djauh aku tiba disini tetapi si djahat tidak sudi melepaskan aku”

“Kau duduk. Nona Kang,” berkata orang tua itu.”Aku tahu kau terpaksa masuk dalam rombongan Tjeng Hong Pay. Aku mengagumi kau jang keluar dari lumpur dengan tubuhmu tidak kena terkotorkan- Kau tahu, tanpa aku, tidak nanti kau dapat lolos sampai disini. Pasti aku nanti menolong kau sampai diachirnja meski aku tahu lawanmu itu liehay.” Si orang tua berkata perlahan seperti si nona, tetapi In Gak dapat mendengar tegas. Maka ia pikir: “Baiklah aku pun membantu nona ini. Menurut katanja Djieko Loei Siauw Thian, dulu hari ajahku telah banjak menjingkirkan orang Tjeng Hong Pay hingga ia djadi bermusuh dengan mereka itu, karena mana, diantara musuh-musuh ajahku itu mesti ada orang partai ini”

Ketika itu kedua anak muda itu pun menghampirkan si orang tua, untuk memberi hormat sambil menanja: “Lootjianpwee, apakah lootjianpwee bukan siong-san Ay- hong-sok Kheng soepee?”

Orang tua itu mengawasi, dia bersenjum.

“Anak muda, tjara bagaimana kau ketahui nama dan djulukanku?” dia tanja.

Si anak muda muka hitam lekas menjahuti: “Akujang mudajalah Kiang YauwTjong, dan ini saudara Tong-hong Glok Koen. Sungguh beruntung kami dapat bertemu soepee disini”. Orang tua itu nampak girang, hingga dia berdjingkrak bangun dan matanja pun bersinar.

“Apa?” dia berseru. “Kamu djadinja si anak-anak muda dari Ngo Bie Pay jang baru mengangkat nama selama ini? Njata tadjam matanja Hoei Khong si tua kepala botak hingga dia berhasil mendapatkan kamu berdua Haha-haha Inilah kebetulan, aku memang lagi memikirkan pembantu Nona ini lagi didesak Tjeng l Hong Pay, baiklah kamu membantu dia.”

In Gak pun girang mengetahui orang tua itu jalah Kheng I Hong gelar Ay-hong-sok atau Tonghong Sok Kate dari gunung Siong San- Ia ingat, semasa hidupnja ajahnja, ajah itu pernah menjebut nama Kheng I Hong sebagai sahabat akrabnja, sebagai saudara angkat, bahwa sebelum ia dilahirkan, orang tua itu sudah hidup menjembunjikan diri, siapa sangka disini ia dapat menemukannja. Tjia Boen sendiri tidak tahu, diharian ia dikerojok, Kheng I Hong djusteru baru muntjul pula. Bahkan Kheng I Hong muntjul dengan terus mentjari tahu siapa musuh-musuhnja saudara-angkatnja itu, sedang mengenai Tjia Boen sendiri, tak tahu dia dimana sahabatnja berada, sahabat itu masih hidup atau sudah mati, maka dia mentjarinja disembilan propinsi selatan dan delapan propinsi Utara. Sekarang baru sadja Kheng I Hong habis menjelidiki gerak-gerik partai Tjeng Hong Pay digunung Lu Liang San,

sampai dia mengetahui urusan nona she Kang itu, hingga disepandjang djalan terus dia melindungi si nona.

In Gak pun lantas ingat siapa Kiang Yauw Tjong danTonghong Giok Koen ini. Ketika di Kim- hoa ia mendengar Phang Pek Hiong menjebut-njebut halnja orang-orang muda gagah dan nama mereka ini ada diantaranja, Kiang Yauw Tjong itu bergelar Hek mo-lek atau Koen loen Mo-lek Hitam, dan Tonghong Giok Koen, Thian-kong-kiam si Pedang Thian- kong.

“Eh, soetee, mengapa anak muda itu senantiasa mengawasi kita?” tanja Yauw Tjong pada Giok Koen- Mereka baru sadja merasa In Gak sering mengawaslnja.

“Dia tentu heran melihat gerak-gerik kita kaum Rimba Persilatan” kata si soetee, adik seperguruan, sambil tertawa. “Sinar mata dia pun tidak bertjahaja sesat, tak usah kita memikirkannja. Memangnja dapat kita melarang orang memandang kita?”

“Benar” kata Kheng Hong sambil menepuk medja. “Kau tidak adil, anak Kau boleh mengawasi lain orang, kenapa orang lain tak boleh melihat kau?” Giok Koen djengah, djuga Yauw Tjong.

Kheng Hong sendiri, habis berkata begitu, dia melirik tadjam pada In Gak. agaknja dia sangat ketarik hatinja, bahkan achirnja dia tertawa, dia menepuk medja dua kali seraja berkata seorang diri: “Kenapa dia mirip dengan dia sangat mirip? Heran?” Sampai disitu, In Gak tidak berdiam lebih lama pula. Ia menghampirkan orang tua itu, untuk memberi hormat seraja menanja: “Bukankah lootjianpwee Ay-hong-sok Kheng Hong?” Kalau tadlnja ia melirik, Kheng Hong sekarang mementang matanja. “Anak. kau siapa?” tanjanja tadjam.” Mengapa kau kenal aku?”

In Gak bersenjum.

“Sudikah lootjianpwee turut aku sebentar, untuk aku bitjara?” ia minta. Kheng Hong mementang pula matanja.

“Kita bangsa laki-laki, kita mempunjai urusan jang tak takut lain orang mengetahuinja” katanja. “Apakah itu jang tak dapat kau bitjarakan disini? Mengapa kau ingin membilanginja dengan diam-diam?”

Muka In Gak merah, ia djengah djuga. Memang ia tahu dari ajahnja, orang tua ini liehay mulutnja, tetapi baik hatinja.

“Ada apa-apa jang sukar aku menjebutnja disini,” ia kata, memaksa bersenjum. “Sukakah lootjianpwee mengikut aku sebentar?” Kheng Hong mengawasi pula, tapi ia menjerah.

“Baiklah, anak. Lain kali tak dapat” katanja. Ia menoleh kepada Yauw Tjong berdua dan menambahkan- “Anak-anak. kamu tunggu sebentar. Djangan pergi, aku si orang tua akan sebera kembali”

In Gak adjak orang tua itu kekamarnja. Disini tak takut ia ada orang mendengar pembitjaraannja. Kamarnja itu mentjil sendirian-Kheng Hong lantas duduk diatas pembaringan orang.

“Botjah, kau membikin aku si tua berdjalan djauh sekali” katanja, bersenjum. “Nah, sekarang bolehlah kau membuka tjupu-tjupumu untuk mengasi keluar obatmu dari kulit andjing”

Didalam hatinja, In Gak tertawa. Djenaka orang tua ini, jang kata- katanja tadjam. Tapi ia tidak mau turut bergujon- Maka ia memperlihatkan roman sungguh-sungguh. “Kheng siepee, masih ingatkah siepee kepada Twie-hoen-poan Tjia Boen?” ia tanja.

Belum berhenti suara anak muda ini, Kheng Hong sudah mentjelat bangun seraja tangannja menjamber kedua tangan orang dan matanja segera menatap. didalam situ air matanja nampak mengembeng.

“Apa?” katanja, suaranja menggetar. “Kaulah Pantas sekali melihat sadja, aku seperti mengenalimu Dasar Thian ada matanja” orang tua ini menangis saking girang.

In Gak terharu, ia berduka. Ia lantas menekuk kedua kakinja didepan sahabat ajahnja itu, ia memberi hormat sambil mengangguk-angguk.

Kali ini Kheng Hong tidak menundjuk lagi sifat djenakanja.

Ia menarik anak muda itu, untuk dirangkul. Ia menangis terisak.

“Ajahku telah menutup mata pada tiga tahun jang lalu,” In Gak memberitahu. Air matanja orang tua itu berlinang-linang.

“Kasihan adik angkatku itu, setelah berpisah duapuluh-satu tahun, dia telah berpulang kelain dunia,” katanja. “Hiantit, tjobalah kau tuturkan segala apa kepada paman jang tidak punja guna ini”

In Gak suka meluluskan, dengan menahan kesedihannja, ia menuturkan nasib buruk dari ibunja, hingga ajahnja merantau mentjari balas, sampai diwilajah Sam-siang, ajahnja itu kena dikerejok hingga mesti menjingkir ke Kangsay selatan dimana dia ditolongi seorang pendeta jang tidak disebutkan siapa namanja, hingga tiga tahun kemudian, ajahnja menutup mata, sedang ia sendiri lantas beladjar silat pada pendeta jang tidak mempunjai nama itu Boe Beng.

“Baru berselang setengah tahun sedjak aku mulai berkelana,” In Gak kata achirnja. “Untuk usahaku ini, aku menggunai nama palsu.” Setelah mendengar semua, di balik kedukaannja, Kheng Hong mendjadi girang sekali, hingga habis menangis, dia tertawa lebar.

“Bagus, hiantit, kau bersemangat” dia memudji. “Kau pertjaja, pamanmu ini pasti akan membantumu. Didalam Tjeng Hong Pay memang ada beberapa orang jang harus ditjurigai sudah membantu mengepung ajahmu itu, tetapi sekarang, selagi belum ada kepastiannja, kita tidak boleh, mengeprak rumput hingga ular djadi kaget dan kabur. Pula ini memang bukannja urusanjang dapat kita bitjarakan dalam sedikit waktu sadja. sang waktu masih pandjang. Baiklah lain kali kita berbitjara pula. Diluar, beberapa botjah itu lagi menantikan kita, mari kita menemukan mereka”

Maka baliklah mereka keluar. segera sambil menundjuk si anak muda, Ay-hong-sok kata sambil tertawa: “Inilah anaknja sahabatku jang telah menutup mata Dia she Gan, Gak Kamu anak-anak muda, hajolah kamu beladjar kenal dan mengikat persahabatan satu dengan lain”

Benar-benar mereka itu lantas beladjar kenal.

Nona dengan badju abu-abu itujalah Kang Yauw Hong. “Nona Kang,” tanja Kheng Hong kemudian, “Dimana

kawanan tikus itu mendjandjikan pertemuan denganmu?”

Yauw Hong mengeluarkan sehelai kertas, jang ia serahkan pada si orang tua, maka mereka melihatnja bersama-sama. Bunjlnja itu jalah:

“urat ini dikirim kepada Hian-ie Liong- lie Kang Yauw Hong jang telah lari merat sebentar djam tiga aku mesti datang melaporkan diri dimarkas tjabang. Djikalau kau melanggar perintah, kematianlah bagianmu”

Tanda-tangan dari surat itu adalah tanda tangannja Pekshouw Hiotjoe Tjie Tjoe Beng. Djadlnja, Yauw Hong bergelar si Puteri Naga Badju Hitam, Hian-ie Liong-lie, dan hiotjoe, ketua tjabang Tjeng Hong pay itu, jalah si Harimau Putih, Pekshouw.

Dengan roman sangat berduka, Yauw Hong berkata: ”Tjie Tjoe Beng jalah satu diantara empat hiotjoe terkedjam darl Tjeng Hong Pay. Dia liehay sekali. Dengan datangnja dia, mungkin akan turut delapan belas Loo-han Totjoe serta jang lain-lainnja, jang berdjumlah tak kurang dari empat atau limapuluh orang. Maka itu djumlah kita mendjadi terlalu ketjil Ini benar djuga”

Kata Kheng Hong jang mengerutkan alis. “Mana dapat sekarang aku si tua-bangka menabuh gembreng untuk meminta bantuan?”

Ia berduka tetapi si Tonghong sok Kate ini bitjara setjara lutju, ia membikin orang tertawa.

In Gak berpikir. Ia lantas ingat sin-liong-say-houw-leng, lentjana hadiah dari Tjhong sie. Ia pertjaja ia akan dapat membantu, maka ia tanja Kheng Hong: “Siepee, kau memikir untuk melindungi nona Kang menjingkirkan diri atau kau berniat pergi kebukit untuk menempur mereka itu?”

Sebelum mendjawab, Kheng Hong sudah tertawa. “Hiantit, mana dapat kita tidak menempurnja?” sahutnja.

“Tjeng Hong pay telah mengatur orang-orangnja disekitar hotel ini. Tjoba mereka tidak melihat aku si tua bangka disini, mungkin mereka sudah menjerbu, tidak nanti mereka mau berlaku begini sabar.”

In Gak tertawa.

“Untuk mentjari bala-bantuan, gampang” katanja tertawa. “Nanti aku pergi sebentar”

Kheng Hong mengerutkan alis.

“Hiantit”, katanja, tak mengerti. “Kau baru sadja sampai disini, kaulah seorang asing, dimana kau dapat bala-bantuan?” “Djangan kuatir siepee,” kata In Gak. jang tidak mau memberi pendjelasan- “Aku akan lekas pergi dan lekas pulang, tjuma sebentar”

Benar-benar pemuda ini lantas bertindak pergi.

Malam itu malam gelap bulan, bintang-bintang pun dj arang, tjuma ada lenteranja rumah penginapan jang menerangi djalanan. Adalah disebelah sana, dipusat jang ramai, nampak tjahaja penerangan. Pusat itu djauh djuga terpisahnja dari hotel. setelah bersangsi sebentar,In Gak menudju kesana. Belum ada sepuluh langkah, ia telah dihalangi seorang jang bertubuh djangkung, jang muntjul dari sebelah depan. ia mendjadi mendongkol. ia menganggap orang terlalu galak sudah mengganggu padanja. “Apakah kau memegat aku, tuan?” ia tanja. si djangkung- kurus itu tertawa.

“Andjing tjilik, bukankah kau kawannja si perempuan pemburon dan si andjing tua?” dia balik menanja, djumawa.

“Kalau benar, bagaimana?” In Gak tegaskan. “Kalau bukan, bagaimana?”

“Kalau benar, bagus Kau harus turut aku” Mendadak dia meluntjurkan tangan kanannja, akan menjambar lengan si anak muda.

In Gak tidak berkelit, ia membiarkan tangannja ditjekal, hanja ia kaget waktu ia merasakan tangan jang keras. Tangan orang itu njata ada memakai besi. Dengan lantas ia mengutik dua djari tangannja, atas mana si djangkung- kurus mengeluarkan seruan kaget, sebab seluruh tubuhnja mendjadi kaku tiba-tiba. selandjutnja dia tidak dapat bersuara lagi.

In Gak tertawa dan berkata: “Aku lihat baiklah kau menemani aku sebentar, tuan” Lalu ia balik menuntun tangan orang, untuk diadja k pergi. Diluar kehendaknja, si djangkung mengikuti.

Lutju In Gak. selagi orang diam sadja, ia mengotjeh sendirian, ia tertawa-tertawa, sebagai djuga dua kawan jang lagi berdjalan sambil mengobrol disebabkan merekalah kawan- kawan lama jang baru bertemu pula

Memang didjalan itu, dibagian mana sadja, ada mata- matanja Tjeng Hong Pay, dan mereka itu saban-saban melirik atau mengawasi dengan sinar mata heran atau bertjuriga sebab si anak muda berdjalan bersama si djangkung- kurus, kontjo mereka.

In Gak berdjalan terus sampai disebuah gang ketjil, disitu ia melepaskan tangannja untuk terus menepuk pundak orang seraja ia berkata: “Aku minta sukalah kau menanti aku disini,” sebentar sadja Lalu terus ia berdjalan dengan tjepat.

Si djangkung- kurus terus berdiri diam bagaikan patung, karena ia telah ditotok anak

muda itu. Ia tjuma bisa mengawasi dengan bengong.

Tiba ditempat ramai, In Gak bertemu seorang pengemis usia pertengahan. Dia bermuka dekil dan rambutnja kusut. Dengan mengulur sebelah tangannja, dia minta uang kepada orang-orang jang berlalu- lintas. Ia mendekati pengemis itu, ia meluntjurkan tangannja, untuk menjesapkan sesuatu dalam telapakan tangannja. Itulah bukan uang hanja sin-liong-say- houw-leng. Melihat lentjana itu, jang terbuat dari perunggu, kaget si pengemis, dia mengawasi tadjam.

In Gak tertawa. Ia menarik pulang tangannja, akan menjimpan lentjananja itu dalam sakunja, sambil berbuat begitu, ia kata:

“Aku mempunjai urusan saagat penting Tolong kau memberitahukan ketuamu, agar lantas dikirim anggauta- anggauta jang liehay kemarkas tjabang Tjeng Hong Pay diatas bukit. Aku bentrok dengan mereka, aku mohon bantuan.

Djamnja jalah kira2 djam tiga. Pesan, sebelum aku muntjul, djangan turun tangan dulu”

Pengemis usia pertengahan itu lantas menekuk sebelah lututnja. “Boanpwee akan turut perintah” katanja dtngan hormat. Ia menjebut dirinja boanpwee, orang jang lebih muda tingkatnja.

Tanpa membilang apa-apa, In Gak kembali kegang tadi, untuk menarik si djangkung- kurus, guna kembali ketempat semula mereka bertemu. Disini ia membebaskan orang dari totokan, dengan dingin ia kata padanja: “Dengan kepandaianmu ini kau berani main gila didepanku? Hm sekarang lekas bubarkan semua pendjagaanmu disekitar hotel Geng Pin ini, lekas kasi tahu TjieBeng Tjoe si bangsat tua bahwa sebentar djam tiga, Nona Kang bakal pergi kesarang kamu” Lantas ia memutar tubuhna, untuk masuk terus kedalam rumah penginapan.

Didalam, Kheng Hong semua lagi menantikan, roman mereka tidak tenang. Melihat si anak muda, semua berpaling.

“Bagaimana dengan bala- bantuanmu, hiantit?” tanja si orang tua, jang tapinja dapat bersenjum. Dia bitjara sambil mengerling mata. si anak muda bersenjum.

“Beres, siepee,” sahutnja. “Djam berapa kita berangkat?” Tonghong sok Kate tertawa lebar.

“Sekarang belum djam dua, buat apa kesusu?” sahutnja.” Aku si orang tua masih belum minum tjukup”

In Gak mengawasi Tonghong Giok Koen beramai, ia tertawa. Ia mau membilang orang tua itu sangat kemaruk dengan arak. Tonghong Giok Keen pun tertawa. “Saudara Gan, siapakah itu bala bantuanmu?” ia tanja. In Gak membuat main matanja, ia tertawa.

“Ilmu sedjati tak disampaikan kepada enam telinga, maka itu, setelah tiba saatnja, baru akan ketahuan” sahutnja.

Nona Kang merasa kurang enak dihati. Untuk urusannja, ia mesti membikin orang pusing dan mungkin menghadapi bahaja. Maka dengan sinar mata bersjukur, ia mengawasi si anak muda. In Gak bisa melihat nona itu berduka dan berkuatir, ia tertawa terhadapnja.

“Djangan takut, nona” ia menghibur.” Malam ini bentjana akan berubah mendjadi keselamatan”

Nona itu, bersenjum tanpa kedukaannja lenjap. Dia masih menggeleng kepala dan menghela napas. Dia tetap mengawasi dengan roman bersjukurnja itu. In Gak merasakan itu, maka ia lantas menoleh kepada Tonghong Giok Keen dan Kiang Yauw Tjong. ia kata: “Nona Kang mendapat gempuran bathin hebat sekali, lihat, bagaimana dia sangat berduka.” Kedua anak muda itu tjuma bersenjum. Mereka tidak mau menggoda sahabatnja ini.

Kheng Hong sendiri terus menenggak araknja., sampai mendadak ia menepuk-nepuk tangan, sembari tertawa ia kata: “Anak-anak, djangan keterlaluan ja Hati-hati, nanti pembalasan datang”

Mendengar itu, Yauw Hong likat sendirinja. Ia tahu si orang tua telah dapat menangkap arti sinar matanja itu. Ia lantas tunduk. Tonghong Giok Koen berdua bersenjum.

“Baik, mari kita berangkat sekarang”, kata Kheng Hong kemudian- Ia tertawa lebar. Ia meletaki sepotong perak diatas medja, habis mana, ia bertindak lebih dulu. In Gak semua mengikuti tanpa banjak omong.

Ketika itu sudah djam dua. Diluar sudah djarang orang berlalu- lintas. Ketika In Gak memasang mata, ia melihat tak djauh dari situ ada si djangkung- kurus bersama lima kawannja. Ia mendjadi mendongkol. Ia lantas bertindak tjepat, lantas dengan satu lompatan, ia tiba kepada mereka itu, tepat didepan si djangkung- kurus. sembari tertawa dingin ia kata: “Aku lihat kau tidak kenal kapok, tuan Apakah kataku tadi?”

Si djangkung- kurus itu waspada sekarang. “Tadi aku alpa” sahutnja, keras. “Djangan kau djumawa Aku menerima titahnja Tjie Hiotjoe untuk mendjadi penundjuk djalan”

In Gak mengasi dengar edjekan Hm.. Mendadak tangan kirinja, menjamber lengan orang, lalu tangan kanannja menggaplok. menjusul itu, tangan kirinja dilepaskan sambil didorongkan dan kaki kanannja terangkat. Tidak ampun lagi, si djangkung itu mendjerit:” Aduh!” dan tubuhnja terpental, membentur kelima kawannja, hingga mereka itu terhujung dan dua antaranja turut roboh terdjengkang.

In Gak terus memandang tadjam jang tiga. Ia tertawa dingin dan membentak mereka: Lekas kamu lari sambil menggojang ekor kamu atau kamu telah melihat tjontoh

Ketiga orang itu djeri, dengan masing-masing menolongi tiga kawannja, mereka lari ngatjir

Kheng Hong semua melengak. Hebat sepak-terdjangnja In Gak. Begitu sebat, begitu djitu tangan dan kakinja, begitu tadjam mulutnja.

Tonghong Giok Koen dan Kiang Yauw Tjong biasa mengagumi diri sendiri. Merekalah murid- muridnj a orang liehay, merekapun sudah berkelana. Tapi sekarang mereka heran. Nona Kang pun mengawasi tadjam, sinar matanja menundjuki dia kagum luar biasa. Bukankah In Gak mirip seorang peladjar jang lemah?

Mereka berdjalan terus kebukit, jang terpisahnja dari Tjio- kee-tjhung tjuma lima belas lie disebelah timur, sedang penduduknja tjuma kira2 empat ratus keluarga. Tempat itu dinamakan bukit karena disana-sini ada gundukan-gundukan tanah jang tinggi

dan sepi. Djadinja, untuk bertarung disana, tempat itu tepat.

Kheng Hong ingin mengudji ilmu ringan tubuh dari keponakannja itu, segera ia lari keras. sebentar sadja ia telah melalui tudjuh atau delapan lle. segera ia heran dan kagum. si anak muda dengan mudah dapat mendampinginja. Tonghong Giok Koen dan Kiang Yauw Tjong ketinggalan setombak lebih dan nona Kang, jang terbelakang, sengal-sengal napasnja.

Untuk menunggui si nona, Kheng Hong memperlambat larinja. Yauw Tjong dan Giok Koen mentjekal tangan In Gak. “Saudara Gan, hebat ilmu ringan tubuhmu” mereka memudji. In Gak merendahkan diri sambil bersenjum.

Mereka berlari-lari terus. Angin dingin menjampok muka mereka.

Selagi mendekati bukit, dua bajangan muntjul dari pinggiran, lantas terdengar suara mereka jang tegas sekali: “Apakah ada tiangloo dari Kay Pang disana?”

In Gak menduga kepada pihak Kay Pang, Partai Pengemis, ia lantas berlompat, untuk mendahului keempat kawannja.

Ketika ia sampai didepan dua orang itu, mereka menekuk sebelah lutut mereka seraja berkata: “Tjoe-soe Pa Kim dari Tjio-kee-tjhung bersama muridnja, Djie Liong, menjambut tiangloo”

In Gak lekas memimpin bangun.

“Djangan pakai adat-peradatan, Kim Tjoe-soe” katanja. “Malam ini kau mengadjak berapa banjak saudara?”

“Duapuluh-lima orang,” menjahut Pa Kim, kedua tangannja dikasi turun, tanda menghormat. “Mohon tanja tiangloo, mereka hendak diatur bagaimana?”

“Kamu bersembunji sadja disekitarku,” In Gak bilang. “Ketjuali aku keteter, djangan kamu perlihatkan diri Pengaruh Tjeng Hong Pay besar sekali, djangan kita menimbulkan antjaman bahaja dibelakang hari.”

Pa Kim mengangguk seraja memberikan djandjinja. In Gak memandang Djie Liong si pengemis usia pertengahan.

“Saudara Djie, pandai kau bekerdja,” katanja. “Aku mewakilkan Tiangloo kita memberi pudjian padamu”

“Terima kasih” berkata Djie Liong. “Sekarang lekaslah kamu mengatur” In Gak berkata.

Kedua pengemis itu menekuk pula kaki mereka, lantas mereka menghilang ditempat dari mana tadi mereka muntjul.

Kheng Hong, jang telah menjusul, mementang matanja saking heran-

“Hebat, hiantit” katanja, kagum. “Kapannja kau mendjadi tiangloo dari Kay pang?”

In Gak tertawa.

“Aku ini jalah tiangloo tetiron” sahutnja. “Aku tjuma batoknja sadja”

Kheng Hong menduga, mesti ada rahasianja, ia terpaksa menutup mulut, melainkan alisnja berkerut. Karena In Gak sudah berlari pula, ia lantas menjusul. Demikian djuga ketiga muda-mudi.

Segera djuga mereka tiba dikota bukit itu. Dari djendela pelbagai rumah nampak sinar api. Lalu diantara suara ramai terlihat muntjulnja tudjuh atau delapan orang. Diantara mereka itu, seorang tertawa njaring dan berkata: “Kheng Lootjianpwee, maaf TjieTjoeBeng terlambat menjambut”

Tonghong sok Kate tertawa lebar dan menjahuti: “Tjie Hiotjoe kesohor diempat pendjuru lautan, aku si orang she Kheng telah lama mendengarnja Aku tidak sangka, bukan orang jang mendekati hanja djalanan, maka djuga dibukit ini kita bertemu satu dengan lain” 

“Ooh, Kheng Lootjianpwee, bagus kata-katamu ini” kata orang she Tjie itu.

Tadinja mereka itu berada ditempat gelap. atau lantas mereka dapat melihat tegas satu pada lain. Pihak Tjeng Hong Pay telah menjalakan delapan buah obor besar.

Kapan TjieTjoeBeng melihat Nona Kang Yauw Hong, dia membentak: “Kang Yauw Hong, partai kita memperlakukan baik padamu, kenapa kau minggat? Kenapa disepandjang djalan kau melukai saudara-saudara kita? Hari ini atas titah Paytjoe hendak aku membekuk kau, Apakah katamu?”

Yauw Hong pun gusar sekali melihat hiotjoe itu, hingga matanja bersinar dan giginja terkertak.

“Tua-bangka djahanam” ia berteriak. “Menjesal nonamu tidak dapat membeset kulitmu untuk gegarasi dagingmu Kenapa kau berulang kali membudjuki Paytjoe memaksa mengambil aku mendjadi gundiknja? Bukankah ini kedjahanamanmu?”

Dibeber keburukannja, TjoeBeng gusar. Tetapi dia dapat tertawa dingin, suaranja seram. Lantas menuding si nona, menjusul mana segera terlihat muntjulnja lima- atau enam puluh orang,jang terus melakukan pengurungan. ia kata, suaranja dalam: “Manusia mau mampus, lihatlah saudara- samdara ini jang akan membekuk kau untuk dibawa pulang kegunung Djangan kau menjeret-njeret tjelaka pada sahabat- sahabatmu, baik2 sadja kau turut kami, aku tanggung keselamatanmu”

Yauw Hong dj eri djuga melihat begitu banjak orang Tjeng Hong Pay, mukanja mendjadi putjat. Kheng Hong tapinja tenang-tenang sadja, bahkan dia dapat bersenjum-senjum.

Yauw Tjong pula tertawa dingin. In Gak saling memandang dengan Giok Koen, keduanja memperlihatkan sikap memandang enteng. Kemudian Yauw Tjong madju kedepan TjoeBeng.

“TjieTjoeBeng, djangan kau mengandalkan djumlah jang banjak” katanja, tertawa dingin- “Dimata tuan mudamu ini, mereka bangsa tak berguna, Buat apa kamu banjak tingkah? Nona Kang nona merdeka, dia tidak mendjual dirinja kepada Tjeng Hong Pay, kenapa kamu hendak menawannja?” Tjoe Beng pun tertawa dingin.

“Kau siapa, tuan?” tanjanja. Bagaimana, kau berani banjak lagak didepanku? sengadja Yauw Tjong bersikap djumawa.

“Tuan muda mu jalah Hek mo-lek Kiang Yauw Tjong” ia perkenalkan diri “Kau dengar njata sekarang?”

TjoeBeng terkedjut djuga.

Kabarnja dalam dunia Kang-ouw muntjul dua djago muda, adakah mereka ini? ia kata dalam hatinja. Ia lantas mengawasi tadjam. Ia terus tertawa kering dan berkata: “Kiranja kau, Aku ingin beladjar kenal dengan kepandaianmu” Hiotjoe ini mau madju atau seorang dibelakangnja berlompat kedepannja.

“Tongtjoe, serahkan dia padaku” katanja seraja perkenalkan diri sebagai Song KekBoen.

Ia lantas mendeliki si anak muda dan kata mengeduk: “Orang she Kiang, malam ini tanah munujul merah ini jalah kuburanmu”

Yauw Tjong tertawa dingin, lantas ia madju menjerang, kedua tangannja meluntjur kearah pundak.

Kek Boen kaget. Inilah ia tidak sangka. Tapi ia bisa mundur sambil kedua tangannja dirapatkan, untuk mengatjip tangan penjerangnja itu.

Yauw Tjong tertawa dingin pula, kedua tangannja ditarik pulang. Disamping itu, kaki kanannja digeser, kaki kirinja menj usul, untuk berada d isis i lawannja, untuk dengan tangan kirinja menindju kepunggung.

Sebat gerakan itu, sampai In Gak bersenjum memudjinja. Tidak ketjewa pemuda she Kiang itu mendjadi murid partai berkenamaan, bahkan djuga lekas kesohor. Kek Boen menjabat tangan lawannja, tetapi dia kalah sebat, punggungnja kena terhadjar, ketjuali merasa sakit, matanja pun berkunang-kunang. ia berlompat, untuk menjing kir. Tapi Yauw Tjong menjusul dia, kempolannja kena didupak. maka sekalian sadja dia djatuh meloso tudjuh atau delapan tombak djauhnja.

Tjie TjoeBeng terkedjut. Terlalu tjepat achirnja pertempuran itu Song Kek Boen jalah satu diantara delapanbelas Lohan jang berada dibawahannja golongan Lo Han Tong. Ia tahu KekBoen telah menjampaikan tingkat enam atau tudjuh dalam ilmu dalam dan ilmu luar. Dengan terpaksa ia menjuruh menggotong sebawahan itu.

Lantas muntjul orang jang kedua, jang lantas memperkenalkan diri sebagai Tek-djiauw-sin Khong Yan si Malaikat KukuBeratjun. ia pun mendamprat Yauw Tjong sebagai binatang tjilik,

“Baik, Khong Totjoe” kata Tjoe Beng “Berhati- hatilah!”

Khong Yan mengangguk. lantas ia madju, kedua tangannja dibalik, hingga terlihatlah sendjatanja, itu Ngo-tok Kee-djiauw- liam, arit mirip tjeker ajam jang telah dipakaikan ratjun.

“Andjing ketjil, apa kau tidak mau mengeluarkan sendjatamu?” tegurnja djumawa. “Malam ini kau mesti mentjobai ratjunku jang memutuskan arwah”

Yauw Tjong gusar, tetapi waktu ia hendak menghunus pedangnja, Giok Koen sudah berlompat kedepannja.

“Soeheng, kasilah aku jang lajani bangsat ini,” katanja.

Yauw Tjong tertawa, ia mundur.

Giok Koen menghunus pedangnja, ia ulapkan itu kedepan si orang djumawa. Itulah tantangannja setjara membungkam, sebab tak sudi ia banjak omong. Khong Yan mendj erit saking gusar, ia lantas menjerang.

Giok Koen menggeser kesamping, pedangnja membabat.

Atas itu orang Tjeng Hong Pay itu pun berkelit, sesudah mana dengan gesit dia madju pula, untuk menjerang. Sekali ini, dia menjerang saling-susul, untuk mendesak. sendjatanja itu dipakaikan ratjun, siapa terkena itu, tjelakalah ia.

Giok Koen berlaku tenang tetapi gesit. Ia putar pedangnja, untuk membela diri. Itulah ilmu pedang Thian-kong-kiam dari NgoBiePay. sinar hidjau daripedangnja itu berkilauan, anginnja bagaikan menderu- deru. Maka hebatlah pertempuran mereka.

Dipihak Tjeng Hong Pay, Khong Yan memang lebih liehay daripada Song Kek Boen.

Achirnja Giok Koen mendjadi habis sabar. Tak sudi ia melajani terlalu lama. Mendadak ia bersiul, lantas ia menjerang, tiga kali beruntun. ia mengarah tiga djalan darah sin-tjiang, kie-boen dan khie-hay.

Baru sekarang Khong Ya n terkedjut. sinar pedang menjilaukan matanja, sambaran anginnja pun dingin. Tjepat- tjepat ia menutup diri dengan sepasang aritnja itu.

Giok Koen madju terus, pedangnja lantas meluntjur. sia-sia Khong Yan menutup diri, pedang toh menjambar djuga, hingga dia mendjerit dan mandi darah, tubuhnja roboh. Tapi selagi roboh, ia menerbangkan aritnja ditangan kanan. Untuk membela diri, Giok Koen mau menangkis. “Djangan..!” berteriak Yauw Hong.”Mundur!”

Giok Koen kaget, tak sempat ia menarik pulang pedangnja, maka kedua sendjata beradu, lantas ratjunnja arit menjambar kearah musuh ini.

Kheng Hong melihat antjaman bahaja untuk si anak muda, dia berseru sambil berlompat madju, kedua tangannja dipakai menjerang dengan pukulan Udara kosong. Maka itu, ratjun jang bagaikan pasir, meluntjur kelain arah, kearahnja TjieTjoeBeng.

Hiotjoe itu terkedjut, ia lompat mundur, sambil berlompat, ia pun menjerang dengan pukulan Udara Kosong itu. Maka pasir beratjun itu berhamburan ketempat kosong. Tjoba ada jang lolos dan mengenai tubuhnja, pasti tubuhnja mendjadi hitam dalam sekedjab. Ia kaget dan bingung, takutnja bukan main.

Giok Koen gusar sekali, maka itu ia lompat kepada Khong Yan, untuk menikam lehernja, hingga darah merah muntjrat.

TjoeBeng menginsafi bahaja, atas tandanja, orang- orangnja semua madju mengurung siap untuk menerdjang. Dia sendiri tertawa menghina, katanja:”Kheng Tayhiap. tak pantas perbuatanmu ini.Takpantas kau mentjampuri urusan orangku jang buron sedang sekarang, kau melukai dua orang kami, dua murid dari Lo Han Tong, Baiklah kau serahkan budak itu, supaja permusuhan dapat dibikin habis Djikalau tidak. Hari ini aku mau lihat apa kau bisa lolos dari bukit ini?”

Kheng Hong tidak takut, dia tertawa terbahak.

“Tjie Hiotjoe, urusan didalam dunia mesti diurus orang dalam dunia djuga” katanja. “Disini tidak ada soal anggauta buron atau bukan Aku malu untuk Tjeng Hong Pay, karena untuk seorang anggauta wanita, kamu datang dalam djumlah sangat besar, Baik kau ketahui, aku hendak mentjampur tahu urusan ini, Aku dengar liehay sekali tanganmu jang berpasir hitam Hek-see-tjiang maka itu djikalau kau tidak puas, kau keluarkanlah”

Tjie TjoeBeng gusar hingga tanpa mengutjap sepatah kata, dia menjerang Ay-hong-sok si Tonghong sok Kate

Kembali Kheng Hong tertawa, hanja sekarang sambil ia mengibas dengan tangan badjunja jang gerombongan. ia telah mengguna i ilmu silatnja, jang diberi nama Ngo-heng-tjiang atau Tangan Lima Logam. Mereka lantas bentrok, setjara hebat sekali, sama-sama mereka mundur dua tindak.

Kheng Hong kagum untuk ketangguhan musuh, maka itu, ia lantas menjerang. Dengan tangan kiri ia mengibas kekanan- dengan tangan kanan ia berbareng menjerang keiga musuh. TjoeBeng tertawa, tangan kirinja menangkis. Ia menggunai djurus Burung hong menghadap kelangit. Tapi Kheng Hong bersiasat. Dengan tangan kirinja, jang tadi dipakai menggertak. la menjerang pula.

Inilah, tidak disangka TjoeBeng, dia kena terhadjar hingga tubuhnja mental, tapi dia tidak roboh, maka itu, musuhnja mendesak terus semakin seru. Dalam gusarnja, dia pun membikin perlawanannja sama serunja

Kheng Hong tidak menjajangi tenaganja, terus-menerus ia menjerang hebat. Maka itu, selang delapanpuluh djurus, TjoeBeng sudah bermandikan peluh, benar dia belum terkalahkan tetapi dia merasa bahwa tenaganja tak akan sanggup bertahan lebih lama pula. Njata dia terdesak.

Menampak demikian, kawanan Lohan berseru, lantas mereka madju, untuk mengerojok. semendjak tadi, mereka mengurung dengan waspada. Lantaran madjunja mereka, maka kira2 limapuluh kawannja, jang mengurung dari sebelah luar, djuga sudah mempertjiut kurungannja.

Kiang Yauw Tjong dan Tong hong Giok Koen mendjadi gusar sekali, sambil berseru, mereka madju untuk menghadang kawanan Lohan itu.

TjieTjoeBeng mendapat hati karena madjunja kawan- kawannja itu, perlawanannja mendjadi gigih, dari itu, tak dapat Kheng Hong segera merobohkannja.

Hati Nona Kang mendjadi tidak tenteram. Tak dapat ia berdiam sadja menjaksikan lain orang mengadu djiwa untuknja. Maka ia menghunus pedangnja, berniat berlompat madju.

“Tahan” berkata In Gak. jang mentjegah sambil menggeleng kepala tetapi bersenjum.

“Berbahaja untuk kau turut madju, nona, kau dapat menggagalkan siasatku. Djangan kuatir, musuh tak akan dapat mentjapai maksudnja” Yauw Hong berdiam, tetapi ia tetap tak tenang hati. Ia mengawasi si anak muda. Karena orang bersenjum, ia bersenjum djuga.

In Gak tidak turut madju disebabkan madjunja Yauw Tjong dan Giok Koen- ia mengerti, apabila ia turun tangan, Yauw Hong tidak ada jang lindungi. ia lantas memikirkan daja lainnja. Ia segera memasang mata kesekelilingnja. Dengan tjepat ia telah mendapat djalan.

“Nona Kang,” ia berkata, “Aku hendak turun tangan, kau baik-baik djaga dirimu, djaga djangan sampai kau kena dibokong”

Habis berkata itu, anak muda ini mengasi dengar suara bagaikan naga mengalun lantas tubuhnja bergerak. sedjenak sadja ia sudah masuk dalam gelanggang pertempuran.

Yauw Hong heran dan kagum, Tjuma sekelebatan, atau orang telah lenjap dari dampingnja.

Tjie Tjoe Beng lagi hendak menjerang Kheng Hong atau mendadak ia merasakan lengannja jang kanan mendjadi kaku, didepan matanja berkelebat satu bajangan, bajangan dari seorang anak muda tampan jang muntjul tiba-tiba didepannja. Njata lengannja itu didjepit tiga djeridji si anak muda, dadanja terus terasa sesak. mengalirnja darahnja bagaikan mandek.

Semua berhenti si anak muda jalah In Gak berseru angker. Kheng Hong heran dan kagum. Ia telah merasakan Tjoe

Beng bakal sebera habis tenaganja, siapa tahu muntjullah si anak muda dengan gerakanjang luar biasa itu.

Didalam hatinja ia kata: “Anak ini benar-benar manusia, Tjia Hiantee mendapatkan anak seperti dia ini, ia boleh mati meram”

Yauw Tjong dan Giok Koen baru sadja merobohkan empat orang tatkala mereka melihat madjunja si anak muda, bukan main mereka girang dan kagum. Dengan berbareng mereka lompat mundur kesisi Yauw Hong. Pertempuran berhenti dengan lantas. semua pendjahat tertjengang.

“Tjie Tjoe Beng, kau sekarang hendak membilang apa?” tanja In Gak pada pemimpin Tjeng Hong Pay itu. Ia tertawa dingin.

Mukanja TjoeBeng mendjadi muram danputjat. Ia kaget mendapatkan pemuda tidak dikenal ini demikian liehay. Ia mengerti, rusaklah lengannja andaikata ia berontak. Tapi ia berkepala besar.

“Aku alpa maka aku kena tertipu kau” katanja, berani. “Apa aku mesti bilang? Tak takut aku mati, hanja sajang dirimu, kau tidak bakal lolos dari tangan kami”

In Gak tertawa pula.

“Hm Kau djadinja mengandalkan djumlah jang banjak?” katanja. “Baiklah..!”

Ia lantas berpaling kesamping, untuk berkata njaring:”Ssaudara Djie Liong, dengar silahkan kamu perlihatkan diri kamu, supaja mereka ini bisa lihat”

Suara itu disambut seruan diempat pendjuru mereka, lantas terlihat bergeraknja duapuluh lebih bajangan orang, jang lantas mengambil sikap mengurung rombongan Tjeng Hong Pay itu. Melihat demikian, Tjoe Beng kaget.

“Tjie Tjoe Beng” kata In Gak tertawa mengedjek. “Ini dia, si tjengtjorang mau menangkap tonggeret, dibelakangnja ada si burung geredja Maka pertjuma sadja segala siasatmu”

Kata-kata ini disusuli dengan tenaga mendjepit jang diperkeras, atas mana pemimpin Tjeng Hong Pay itu lantas mengasi dengar d jeritan kesakitan jang hebat. Tiba-tiba sadja ia merasa digigiti ratusan ular berbisa, jang pagutannja terasa keulu- hatinja, membikin ia merasa gatal dan sakit luar biasa. Diluar kehendaknja, ia mengutjurkan air mata.

“Andjing tua, dengar” In Gak membentak.”Asal kau menerima baik dua buah sjarat, kau akan memperoleh keampunan, Djikalau tidak. kau rasakanlah siksaan tudjuh hari jang akan meminta djiwamu”

“Aku si orang she Tjie akan menerimanja, kau sebutkan sadja tuan,” kata Tjoe Beng lemah. Ia putus asa.

“Jang pertama,” kata In Gak keren, “Mulai hari ini dan seterusnja, tak dapat kau menjusahi lagi Nona Kang Yauw Hong, Apa djuga jang terdjadi atas diri Nona Kang, kau jang bertanggung-djawab, Jang kedua jalah, mulai besok, kau mesti bubarkan markasmu disini, sepak-terdjangmu selandjutnja tjuma berbatas dalam propinsi Shoasay sadja Bagaimana?” setelah berkata, In Gak mengawasi sambil tertawa, menantikan djawaban.

Tjoe Beng mati kutunja, ia mengangguk tanpa bersuara.

In Gak tertawa, ia melepaskan djepitannja, untuk dengan tjepat menotok djalan darah tjiang-boen dari orang itu. sembari tertawa, ia berkata: “Aku tahu kau sangat litjin, Aku terpaksa berbuat begini. Kau telah tertotok bujar tenagamu, maka itu selama setengah tahun, tidak dapat kau menggunainja pula, atau kau terluka ulu- hatimu Aku telah mengasi nasihatku ini, kau mesti turut, supaja djangan kau menjesal sesudah kasip. Supaja djangan kau nanti sesalkan aku Totokanku ini tidak dapat dibebaskan oleh lain orang”

la mengasi lihat roman bengis, ia kata pula: “Aku tahu kau tidak puas, maka hendak aku mengasi kau lihat, Kau kas i tahulah orang-orangmu untuk mereka berhati-hati”

Tjie Tjoe Beng takut bukan main, ia menarik napas berduka. setelah ditotok itu, ia merasakan tenaganja bujar, tangan dan kakinja semakin beku. Ia berdiam meskipun ia sangat mendongkol. Dengan sinar mata guram, ia memandang sekalian Lohan-nja.

Dengan sekonjong-konjong terdengar tertawa pandjang dari In Gak, tubuhnja berkelebat, atau sekedjab, ia sudah kembali ketempatnja dimana ia berdiri sambil menggendong tangan dan wadjah berseri-seri.

“Apakah artinja ini?” pikir Tjoe Beng, heran. Ia lantas memandang keenambelas Lohan, lantas ia mendjadi melongo. Mereka itu terlihat berdiri diam dalam pelbagai sikap jang berlainan. semua mata mereka mendelik, alis mereka terbangun, tangan mereka lagi mengantjam dengan sendjatanja masing2. Mereka benar2 mirip patung2 Lohan dirumah-rumah sutji

Djuga Kheng Hong berempat mendjadi tertjengang. Hebat anak muda ini.

“Tjie Tjoe Beng” kata pula in Gak, tertawa dingin, “Masih ada satu hal jang kau mesti ingat dan djangan melupakannja. Kalau nanti kau bertemu ketuamu, kau bilangi dia bahwa dalam waktu dua tahun, aku bakal datang berkundjung kegunungnja”

Kemudian, menoleh pada kawan- kawannja, pemuda ini kata: “Djie Liong, mari kita pergi”

Lantas dia bertindak, meninggalkan semua musuh itu.

Rombongannja Djie Liong lenjap. sedang Kheng Hong berempat mengikuti si anak muda, menghilang djuga didalam g elap- gulita.

****

IX

Itulah bulan keempat saat daripohon atau bunga yanglioe paling memantjing rupa-rupa perasaan manusia. Itu waktu, dalam sebuah rumah penginapan diselatan Tjio-kee-tjhung, dengan kedua tangan memegangi tiang pembaringan, In Gak tengah memandang keluar djendela dimana ada sebuah pohon yanglioe lagi tertiup angin hingga bergojang-gojang lembut dan lemb a ran2 bunganja terbang kedalam kamar, memenuhi lantai. Pula diwaktu pagi, langit terang dari sang mega, warnanja biru. Anak muda itu memandangi langit, ia lagi berpikir, ia lagi ngelamun- maka djuga terdengarlah suara senandungnja.

Malam tadi, In Gak pulang kehotelnja sesudah djam empat hampir lewat. Tak dapat ia memedjamkan mata. Disepandjang djalan tadi, semua orang bungkam, ketjuali Yauw Hong jang menghaturkan terima kasihnja. Kheng Hong bertiga bungkam karena mereka berpikir keras, semua heran memikirkan ia, sedang setibanja dihotel, setelah saling memberi selamat malam, mereka memasuki kamar masing2.

Kiang Yauw Tjong dan Tonghong Giok Koen heran atas kesebatan si anak muda. Dia tjuma berkelebat, lantas musuh mendjadi bagaikan sekumpulan patung. Mereka melainkan melihat bajangan melesat, tidak lebih. Toh mereka merasa ilmu silat mereka sudah mahir.

Demikian djuga anggapan Ay-hong-sok jang liehay. Pada duapuluh tahun dulu ia menemui kitab Ngo-heng Khie-kang Tjin-koat. Itulah kitab pemahaman tenaga dalam. Mulanja ia mau mejakinkan itu bersama Tjia Boen, adik-angkatnja.

Maksudnja ini tidak kesampaian, lantaran Tjia Boen tak keruan parannj a. Maka ia mejakinkan sendiri, digunung siong san dimana ia hidup menjendiri. Ia berhasil mentjiptakan pukulan Ngo-heng-tjiang. Enam tahun kemudian ia turun gunung.

Njata ia berpisah untuk selamanja dari adik-angkatnja itu. Lima belas tahun la manja ia berkelana. Ia niat membalas dendam untuk adik-angkat itu tapi ia menghadapi kesulitan. Musuh si adik-angkat banjak dan tak dikenal dan sukar menjelidiki hal mereka itu. sampai sekarang ia bertemu puteranja TjiaBoen dan lantas ia menjaksikan kepandaian orang, jang liehay tak terpikirkan olehnja. Ia sangat kagum. Belum pernah ia lihat lain orang, jang mempunjai kepandaian serupa itu Tak tahulah ia, In Gak dari partai persilatan mana, meskipun ia luas pengetahuannja. Pula aneh, belum berusia duapuluh tahun, pemuda itu sudah djadi tiangloo, suatu ketua, dari Kay Pang. Partai Pengemis itu, jang besar dan berpengaruh, mempunjai aturan jang keras. Kenapa seorang sangat muda mendjadi tiangloonja?

Untuk Kang Yauw Hong, disamping kekagumannja terhadap In Gak. la memikirkan dirinja. Ia muda dan sebatang- kara, tak mempunjai sanak atau kadang. setelah bebas ini, kemana ia mesti tempatkan dirinja? Maka itu, ia bersedih, tanpa merasa ia mengalirkan air mata.

In Gak masih lama djuga berdiam dalam kamarnja itu.

Telah ia pikir untuk lekas berangkat ke Utara tetapi pertemuannja dengan Kheng Hong membuatnja terpaksa menunda. Ia harap saudara-angkat ajahnja itu dapat memberikan ia banjak keterangan mengenai ajahnja. Maka ia mengambil ketetapan, setelah menanjakan Ay-hong-sok. baru ia mau berangkat. ia menjesal, karena membelai Kang Yauw Hong, ia terpaksa mempertundjuki kepandaiannja, kepandaian jang ia ambil dari Hian-wan sip-pat-kay. Benar ia berhasil dan si nona bebas, tapi ia seperti telah membuka rahasianja, Achirnja ia berbangkit, untuk pergi keluar.

Baru ia mau bertindak, atau telinganja mendengar tindakan kaki. Lekas sekali, seorang tertampak berdiri dihadapannja.

Ketika ia telah melihat orang itu, girangnja bukan buatan- Dialah Kioe-tjie sin-kay Tjhong sie. Ia lompat untuk mentjekal tangannja sang sahabat. Ia tertawa.

“Toako, kapannja kau tiba di Tjio-kee-tjhung ini?” ia tanja. “Kenapa kau ketahui siauwtee tinggal disini? silakan duduk”

Dengan sinar mata tadjam, Tjhong sie mengawasi adik- angkatnja itu. Ia tertawa.

“Tak usahlah,” katanja.” Tentang perdjalanan kau ini, hiantee, aku telah mengetahui semuanja. Lebih dulu aku hendak memberi selamat pada mu” Mukanja In Gak mendjadi merah, dia likat.

Tjhong si tertawa pula, terus ia melandjutkan- “Sekarang ini Oey Kie Pay sudah keluar dari wilajah Kangsouw Utara, tetapi Oe-boen Loei sangat bersakit hati, dia telah mengutus beberapa orang liehay mentjari tahu hal kau dan gurumu, hiantee. Dia hanja belum tahu bahwa kaulah si pemuda luar biasa itu, Hiantee tahu, peristiwa tadi malam sudah lantas tersiar luas. sekarang ini orang-orang Tjeng Hong Pa y sudah ditarik mundur. sajang kau telah kesalahan menjebut terang- terang Djie Liong, hingga mereka mendapat tahu Kay Pang membantui kau. Tjeng Hong Pay telah mengandjurkan An Tjeng Pay menegur Kay Pang, jang dikatakan sudah mengatjau ketenteraman disini, serta dia menanjakan hal- ichwal kau, hiantee. Partai An Tjeng ini besar pengaruhnja dipelbagai propinsi Utara ini, diam-diam dia telah mendjadi tulang punggung beberapa pangeran Boan golongan Pat- kie, Delapan Bendera. Karena itu, tidak menguntungi untuk Kay Pang bentrok dengannja. Aku telah mengirim Djie Liong untuk memberikan djawaban bahwa pihak kita tidak kenal orang jang membawa lentjana Partai kita itu, sebab kita tjuma mengenal lentjana, tidak mengenal orang, tetapi kalau An Tjeng Pay mau tahu djuga, dia dipersilakan mentjarinja sendiri dikuil Thian Tjee Bio dikota Utara. Maka sekarang aku pikir, baik hiantee seorang diri pergi kesana. An Tjeng Pay mempunjai orang-orang liehay tetapi akupertjaja hiantee dapat melajani mereka. Hanja mungkin disanapun ada beberapa guru silat ternama dari Yan- in, jang akan memaksa minta kau memberi pertundjukan. Hiantee tjerdas, tentu hiantee ketahui sendiri bagaimana harus bertindak. Tapi, hiantee, djangan kau salah paham terhadapku. Aku bukan menegur atau menjesali kau. Telah aku berikan lentjana sin- liong-say-houw-leng kepadamu, kau dapat menggunainja sesukamu, seperti jang kau rasa baik. Kali ini, aku minta kau suka bertindak bidjaksana. Didalam An Tjeng Pay ada seorang bernama Yang Hie Kiat. Dari dia itu, pernah tahun dulu aku menerima budi, maka untuk membalasnja, sebaiknja djanganlah hiantee bentrok dengan dia” Belum lagi In Gak sempat berkata-kata, Tjhong sie sudah menambahkan: “Hiantee, untuk perdjalananmu ini menuntut balas, paling baik djangan kau berdjalan bersama-sama Ay- hong-sok Kheng Hong Kaum Rimba Persilatan ketahui dia telah mengangkat saudara dengan ajahmu, maka pergaulan kau dengannja dapat menjukarkan usahamu menrjari musuh- musuhmu. sekian sadja, hiantee, sampai kita bertemu pula di Lou Kauw Kio”

Habis berkata, Tjhong sie berlompat mundur, maka sedjenak kemudian, dia sudah menghilang diatas genteng.

In Gak terbengong. “Hebat orang kaum Rimba Persilatan- Urusan ketjil sadja dapat

Berekor pandj a ng. Bukankah ia tjuma menolongi orang?

Kenapa sekarang orang hendak menjaterukanja? An Tjeng Pay terlalu” pikirnja. Ia mendjadi mendongkol. Maka ia memikir untuk memberi rasa.

Tengah anak muda ini berpikir itu, ia mendengar pula tindakan banjak kaki. Lantas nampak muntjulnja Kheng Hong beramai. Mereka itu pada bersenjum. “Saudara Gan, kau bangun pagi-pagi” kata Giok Koen tertawa.

“Sampai sekarang ini belum aku dapat tidur,” sahut In Gak.

Karena sang fadjar lantas tiba, aku terus tidak tidur lagi.”

Kheng Hong bertindak masuk. lantas ia duduk ditepi pembaringan- Ia melirik djenaka ketika ia berkata: “Hiantit, aku si orang tua djuga tidak dapat tidur. Aku terus memikirkan ilmu kepandaianmu tadi malam. Dapatkah kau memberitahukan aku, kau sebenarnja asal partai mana?”

Inilah In Gak tidak sangka. Untuk sedjenak, ia melengak, “Hal itu, aku sendiri pun tidak mengetahui djelas,” ia

menjahut. “Ilmu kepandaian itu bukannja hal jang luar biasa, itu tjuma berpokok pada kesebatan kaki-tangan dan ketjelian mata, jalah menjerang selagi orang tidak bersiaga. Tjoba pihak sana sudah siap-sedia, pasti hasilnja tak ada seperti itu”

Kheng Hong menggeleng kepala. Ia bersangsi. “Tidak disangka, hiantit, kau pandai menjembunjikan diri,” katanja, “Karena kau tidak sudi bitjara, aku si tua tidak berani memaksa. Masih ada satu. Kau begini muda, bagaimana kau dapat mendjadi tiangloo dari Kay Pang?”

In Gak tertawa.

“Djikalau aku bitjara siepee, kau tentunja tidakpertjaja” sahutnja. “Pernah aku menolongi seorang pengemis tua. Dia mau membalas budi, dia memberikan aku sebuah lentjana seraja membilang, apabila aku dalam bahaja, aku dapat gunai itu untuk minta bantuan kaum pengemis. Kalau pihak Kay Pang melihat lentjana itu, mereka menganggapnja aku sebagai seorang tiangloo partainja, sebagai wakil. Demikian apa jang terdjadi tadi malam.”

Kheng Hong masih menggeleng kepala, tetap ia bersangsi. “Alasan belaka” katanja.

Yauw Hong memberi hormat pada si anak muda, untuk menghaturkan terima kasih. “Djangan!” kata In Gak lekas, tangannja dikibaskan perlahan.

Nona Kang merasai dorongan tenaga, jang mentjegah ia mendjura. Ia djadi mengawasi dengan sorot mata heran.

“Nona Kang, djangan gunai banjak adat-peradatan,” kata  In Gak. “Adalah keharusan kita untuk saling tolong.” Kemudian ia memandang Yauw Tjong dan Giok Koen, untuk meneruskan: “Saudara Kiang, saudara Tong hong Bukankah benar untuk menolong orang hingga diachirnja?” Kedua anak muda itu heran, mereka mengawasi.

In Gak berkata pula: “Nona Kang sudah lolos dari antjaman Tjeng Hong Pay, tetapi tetap ia sebatang kara, ia tidak bersanak-kadang, maka itu, aku pikir, baiklah kamu berdua suka terus menolongi ia. Dapatkah kiranja ia dipudjikan kepada partai kamu, supaja ia dapat berlindung dan beladjar silat lebih djauh?”

Mendengar begitu, kedua pemuda itu tertawa. “Saudara Gan, biar umpama kata kau tidak mengatakan demikian, kami berdua sudah memikirnja,” mendjawab Yauw Tjong. “Djikalau Nona Kang dipudjikan kepada Ban in soethay kami, tentulah soethay sudi menerimanja. Kebetulan, soethay pun belum mempunjai murid jang mendjadi achliwarisnja.”

Yauw Hong girang mendengar pembitjaraan itu, sampai ia mengeluarkan air mata. Ia bersenjum, ia lantas menghaturkan terima kasihnja.

“Ah, tjelaka betul” mendadak Ay-hong-sok berseru. “Eh, anak-anak, kamu enak bitjara, kamu membuatnja aku si tua kesepian”

Anak-anak muda itu terkedjut, tapi achirnja mereka tertawa. Hebat si tua jang djenaka ini.

Baru orang berhenti tertawa, atau mereka mendengar suara jang seperti memetjah angkasa, hingga mereka terkedjut, lantas didepan mereka, diluar djendela, tampak tiga orang, jang dua tua, mukanja gelap. tubuhnja kurus, badjunja hitam.Jang satu djidat kirinja ada empat buah tai-lalatnja warna werah.Jang ketiga jalah seorang muda tampan dengan badju putih, sepasang alisnja pandjang, tjuma kulit mukanja jang putih, putih kebiru-biruan, sedang matanja jang tadjam memain tak hentinja, suatu tanda kelitjikannja. Dia terus memandang si nona, mulutnja bersenjum. Melihat orang muda Yauw Hong menggigil sendirinja, mukanja mendjadi putjat.

Ay-hong-sok sebaliknja tertawa lebar, terus dia berkata: “Aku kira siapa, tak tahunja

Thian-boen Hek-hiat siang-koay” sembari berkata itu, dengan tangannja menolak kedepan, ia berlompat keluar dari djendela. In Gak berempat menjusul lantas.

Pekarangan diluar djendela itu empat tombak persegi, dengan kedua pihak berdiri masing-masing, nampaknja mendjadi sempit. Dua orang jang disebut Thian-boen Hek-hiat siang-koay itu sepasang siluman dari Guha Hitam dari Thian-boen lompat mundur dua tindak ketika Kheng Hong berlompat keluar itu. Di tempatnja berdiri, mereka bersenjum.

“Orang tua she Kheng, djanganlah berpandangan tjupat kata mereka. Belum apa-apanja, lantas kau menjerang kami Kami bukan mentjari kau, mengerti Hutang kita jang lama, nanti datang ketika nj a untuk dilunaskan Habis, mau apa kamu datang kemari?” Ay-hong-sok tanja.

Si orang tua muka hitam jang bertai-lalat merah itu tertawa.

“Orang tua she Kheng, inilah hotel” katanja. “Kau dapat datang kemari, kami djuga Mari kita omong terus-terang Kami datang kemari karena adjakan tuan ini Dia lantas menundjuk si anak muda dan menambahkan: Mari aku mengadjar kenal Inilah Pek san-sioe Lie Djie Yan, murid terpandai dari Hoan-oe sam-tjiat soat-san Djin-mo, jang datang kemari istimewa untuk Nona Kang Yauw Hong”

Terkesiap djuga Kheng Hong bertiga Yauw Tjong dan Giok Koen mendengar orang muda itu muridnja soat-san Djin-mo si Manusia Hantu dari soat san, Gunung saldju. Mereka pun pernah dengar nama Lie Djie Yan si Peladjar Berbadju Putih atau Pek san-sioe. Sedang soat-san Djin-mo itu kesohor gagah semendjak tudjuh- atau delapanpuluh tahun dulu dan tingkah- lakunja berpokok pada saatnja dia lagi senang atau lagi gusar, hingga dia tidak menghiraukan benar atau salah, siapa apes dan bertemu padanja, malanglah nasibnja, mungkin terbinasa djiwanja. siapa pun biasa menjing kir djauh-djauh dari ianja. sjukur dia sangat djarang muntjul, djikalau tidak. dunia Rimba Persilatan mestinja tidak aman.

Mengetahui siapa si anak muda, Ay-hong-sok menundjuki sikap menghormat, tetapi Lie Djie Yan tidak menghiraukannya, dia bahkan mengasi dengar suara dihidung, dengan mata tadjam dan galak. dia tetap menatap Yauw Hong, untuk achirnja tertawa dan berkata: “Adik Yauw, sekarang kau sudah keluar dari Tjeng Hong Pay, maka itu dapatlah kau mengikut kakakmu pulang ke soatsan- Kakakmu akan memberi djaminan kepadamu, untuk selandjutnja pihak Tjeng Hong Pay tidak akan mengganggu pula padamu”

Nona Kang berdiam. Ia sudah menduga orang bakal mengutjapkan demikian. Melihat si nona membungkam, Lie Djie Yan madju, tangannja diulur.

Yauw Hong menjingkir kebelakang In Gak, matanja menatap bentji.

Ay-hong-sok gusar menghadapi sikap djumawa dan galak serta tjeriwis dari orang she Lie itu, ia mendorong kearah dia sambil membentak: “Botjah jang baik, bagaimana kau berani berlaku kurang adjar dihadapanku si orang tua?”

Lie Djie Yan mengasi dengar suara dihidung, tangannja jang dipakai menjambar Yauw Hong diputar balik, buat dipakai menjambut dorongan orang tua. Kedua tangan itu lantas bentrok keras, lantas terlihat si orang tua mundur setindak dan si anak muda miring pundaknja. Itulah bukti liehaynja tenaga dalam mereka masing-masing.

Ay-hong-sok terkedjut. Pemuda itu tangguh sekali. Ia lantas melihat Hek hiat Siang-koay mengawasi ia sambil tertawa dingin, suatu tanda mereka memandang hina kepadanja. Ia mendjadi gusar.

“Baiklah, mari tjoba menjambut lagi satu kali” ia berseru serada ia menjerang.

Lie Djie Yan tertawa dingin, ia menjambuti. Bahkan terus sampai lima kali. Pertama kali bentrok. pundak mereka masing-masing terangkat,

begitu jang kedua, ketiga dan keempat kali. Kelima kalinja, Ay-hong-sok mundur empat tindak. Diluar dugaan, ia disusuli, diserang terlebih dulu. Dengan air muka bengis, Lie Djie Yan kata: “Kheng Hong, kalau bukan tuan mudamu memandang Nona Kang, hari ini pastilah aku hadjar mampus padamu”

“Belum tentu, sahabat “Kheng Hong tertawa lebar. “Orang tua she Kheng” berkata Hek-hiat siang-koay jang

bertai-lalat merah, jang suaranja bernada mengedjek. “Djikalau kau menghendaki keputusan, disana ada tempat jang lega dimana kaki dan tangan dapat digeraki dengan merdeka, supaja kalau kau mampus, djangan kau penasaran”

“Hm Aku si orang she Kheng aku belum waktunja mati” kata Ay-hong-sok balik mentjemooh. “Radja Acherat membilangi, menangkap aku itu berabeh Maka djuga lebih baik kamulah jang pergi lebih dulu” Ia mengawasi Djie Yan, untuk menantang: “Kau berani pergi atau tidak?”

Orang she Lle itu tertawa terbahak.

“Karena kau ingin mampus lekas-lekas, mengapa tuan ketjilmu tidak suka pergi?” djawabnja. suaranja itu menj eramkan, membikin orang bergidik sendirinja.

Dengan mata tadjam dan membentji, Kheng Hong mengawasi Djie Ya n, habis mana ia berlompat melewati tembok pekarangan. sangat gesit gerakannja itu. Ia lantas disusul Hek-hiat siang-koay.

Lie Djie Yan berdiri tegak ditempatnja, ia mengawasi Nona Kang sambil tersenjum. Ia benar-benar tampan dan manis.

Tjuma sinar matanja itu memain tak hentinja.

Yauw Tjong dan Giok Koen kuatir Yauw Hong nanti diterdjang, mereka mendjagai dengan pedang mereka terhunus.

Djie Yan mendelik terhadap anak muda itu, kembali ia mengawasi si nona. “Adik Yauw, katanja, untukmu, aku telah memikir banjak sekali, tak peduli bagaimana sikapmu terhadapku, hatiku tetap ada padamu, maka djuga selandjutnja, kemana kau pergi, kesana aku akan menjusul bahkan sampai diudjung langit, baru sekarang,” habis berkata itu, ia berlompat melewati tembok.

In Gak terus berdiam sadja. Menjaksikan kegesitan Lie Djie Yan, ia kagum. Dilain pihak, mesti ada sebabnja kenapa Yauw Hong agak djeri pada pemuda itu. Maka ia anggap mesti ia turun tangan pula. Achirnja ia bersenjum. “Mari kita menonton” katanja, mengadjak ketiga kawannja.

Berempat mereka lompat keluar. Mereka mendapatkan sebuah tegalan luas didekat mana ada kira2 tigapuluh rumah. Dikiri dankananada peng empang beserta rombongan bebek dan angsanja.

Kheng Hong dan Lie Djie Yan sudah bersiap-sedia. Mereka djalan berputaran dengan saling mengawasi tadjam, mulut mereka bungkam. setelah empat idaran, mendadak Ay-hong- sok berseru, kedua tangannja menjerang.

Lie Djie Yan tidak menjambuti serangan itu, dia berkelit, dia berputar terus. Baru setelah diserang pula, ia menangkis dan melajani berkelahi. Merekalah tandingan jang setimpal. sampai tigapuluh djurus, mereka tetap seimbang.

Sesudah menonton sekian lama itu, In Gak kata dalam hatinja: Kheng siepee kesohor, tak dapat dirusak karena botjah ini. ia terus kata pada Giok Koen dan Yauw Tjong: “Saudara, tolong lindungi nona Kang. Waspadalah kepada Hek-hiat siang-koay, agar

mereka dj angan main gila” setelah itu ia bertindak kedalam gelanggang seraja berkata: “Kheng siepee, buat melajani manusia djumawa ini tjukuplah aku seorang mari kasi siauwtit jang turun tangan”

Mendengar itu, Kheng Hong lantas lompat keluar gelanggang. Lompatannja itu jalah jang dinamakan Mengedjar gelombang seribu lapis. Ia pertjaja si anak muda sanggup melawan Djie Yan. Tapi ia memesan: “Hiantit, hati-hati!” Melihat madjunja In Gak. hati Djie Yanpanas. Tanpa merasa ia mendjadi djelus dan tjemburu. sebab pemuda ini, jang tampan, selalu mendampingi Yauw Hong, hingga ia menduga, si nona tak meladeni ia karena adanja saingan ini.

“Siapa kau?” dia tanja bengis. “Mungkinkah kau orang jang semalam menunduki pihak Tjeng Hong Pay?”

“Tidak salah, itulah aku jang rendah” sahut In Gak tertawa. “Tentang siapa aku, kau tak berderadjat untuk menanjanja”

“Kau terlalu djumawa” kata Djie Yan dingin. “Lebih-lebih kau berlagak didepanku”

orang she Lie ini tahu musuh liehay, tetapi ia tetap pertjaja kepada diri sendiri Ia masih menjangsikan apa orang tidak menjiarkan berita setjara berlebihan tentang musuh ini, maka ingin ia mentjobanja. sikap pendiam dari In Gak pun mau membuatnja pertjaja orang terlalu memudji. In Gak tertawa dingin. “Kau djuga terlalu djumawa” katanja.

“Sudah sahabat djangan mengadu mulut” Lie Djie Yan membentak.

“Kau sambut dulu tanganku, masih ada waktu untuk berlaku sombong” Kata-kata ini segera diachiri dengan serangannja, jang mendatangkan sambaran angin.

In Gak berdiri tegak. sambaran angin tak mengganggunja.

Ia telah menutup diri dengan Bie-lek sin-kang.

“Heran” pikir Djie Yan. “Tak tahu ia orang mengguna i ilmu apa.”

“Sekarang giliranmu menjambut aku” berkata in Gak tertawa. “Aku mau lihat kau benar berderadjat atau tidak untuk berlaku djumawa”

Kata-kata ini disusuli serangan Bek shok Kim-kong, atau setjara diam menakluki Kim-kong. Itulah jang ketiga, dari dua belas djurus Bie-lek sin-kang. Djuga digunakannja itu tidak dengan sepenuh tenaga.

Lie Djie Yan bukan sembarang orang, dia pun berbakat.

Dalam usia enam tahun dia telah dibawa soat-san sin-mo naik kegunung, mulai dididik ilmu silat. Dia sedikit berbuat kedjahatan, tetapi dia ketjipratan tabiat gurunja, dan tjatjadnja jalah sangat membawa adatnja sendiri Kalau ada sesuatu jang dia sukai, biar bagaimana sulit, mesti dia mendapatkannya belum dapat, belum dia mau sudah. seperti keinginannja ini, mendapatkan Kang Yauw Hong, belum dapat, dia belum mau berhenti. Belum lama dia berkelana, lantas dikenal dan dia dimalui. sebab orang tahu dia muridnja

soat-san sin-mo jang ditakuti, orang pun djeri terhadap gurunja. Disebelah itu, dia sendiri memang liehay. Karena semua itu, menghadapi In Gak. dia mendjadi penasaran. Lantas dia menjerang pula, sekarang sambil menatap lawannja itu. Ia menggunai pukulan dari Tjin-san Khie-kang, atau Menggetarkan gunung. Itulah pukulan hebat, jang dapat meremukkan tulang.

Setelah menjerang itu, djago Soat San ini mendjadi heran.

Akibatnja jalah seperti kerbau-kerbauan tanah lempung ketjemplung didalam laut, serangannja itu tidak mendatangkan akibat apa-apa. sebaliknja ada angin jang menjambar kemukanja, rasanja adem, disusul dengan tenaga lemah menolak tubuhnja, tenaga mana lama-lama berubah djadi kuat, makin kuat dan makin kuat. Dia mau melawan, tetapi sudah tak keburu lagi, lantas dia seperti ditindih gunung, kaki-tangannja kaku, mulutnja bungkam. Tubuhnja pun tertolak mundur perlahan-lahan. Berbareng dengan itu, dari mata, hidung, mulut, kuping dan lubang-lubang peluhnja keluar darah tak hentinja, hiagga dia tak lagisipemuda tampan, dia mirip hantu bermandikan darah. Pula mundurnja itu, dari perlahan, lantas mendjadi tjepat.

Achirnja, ketika In Gak menarik pulang tangannja, maka tubuh Djie Yan djatuh terguling ditepi empang, kepalanja masuk kedalam air.

Hek-hiat siang-koay kaget, mereka lompat, untuk menolongi. Mereka mendapatkan kedua mata si anak muda tertutup rapat, mukanja putjat seperti kertas. Darahnja semua telah tertjutji bersih sang air.

In Gak sangat mendongkol untuk kedjumawaan Lie Djie Yan dan kedjahatannja terhadap Kang Yauw Hong, ia anggap orang bakal merusak Rimba Persilatan, maka ia melajani dengan menggunai Bie-lek sin-kang. Mulanja ia menangkis serangan, untuk dipunahkan, lalu ia membalas. Ia menolak terus hingga lawan itu mati-daja. Ia memang dapat menempel, menarik dan menolak disamping menjentil dan menindju. Dengan Bek shok Kim-kong, ia memunahkan Tjin- san Khie-kang dari lawannja, lantas ia mendorong, dari perlahan mendjadi keras.

Maka robohlah djago Soat sanjang terkebur itu.

Hek-hiat siang-koay mengangkat tubuh Lie Djie Yan, mereka menolong sebisa mereka. Djie Yan tetap tak sadarkan diri Mereka mendjadi kaget.

Si tahi lalat merah lantas mengangkat kepalanja, mengawasi In Gak tadjam, terus ia berkata, menjeringai:”Tuan, kau menerbitkan onar besar Aku si tua berdua hendak mengantarkan Lie Djie Yan pulang kegunungnja. Djikalau soat-san Djin-mo menanjakan kami, bagaimana kami mendjawabnja?”

“Hm” djawab In Gak. “Siapa suruh kamu menjateroni orang dan menghinanja? onar ini kamu sendiri jang mulai Apakah kamu tidak dapat mendjawab dari hal jang sebenarnja kepada soat-san Djin-mo?”

Orang tua itu tertawa menjeringai.

“Walaupun demikian soat-san Djin-mo bukanlah orang jang gampang diadjak bitjara” katanja. “Ketika Lie Djie Yan, mau berangkat kemari, kami sudah mentjegah tetapi dia memaksa”

“Sudah, djangan kau bitjara terus” In Gak memotong. “Aku tahu kamu serba salah” sembari berkata pemuda ini menghampirkan musuhnja, terus ia menotok didadanja. “Dilain djam dia bakal mendusin,” ia kata. Untuk sementara, habis tenaga dia, maka djangan dia menggunai tenaganja. Dengan kepandaiannja soat-san Djin-mo, tak sulit untuk mempulihkan dia. Tentang she dan namaku sukar untuk aku memberitahukannja. Tapi aku mengharap kamu nanti membawa kata-kataku: Achir-achirnja aku bakal pergi pesiar ke Soat san”

Hek-hiat siang-koay mengeluarkan napas lega.

“Tuan, tjukup sudah kata-katamu ini,” kata jang bermuka hitam. “Kami telah menerima budi kau tetapi dikuatir sukar kami membalasnja.” Kemudian dia berpaling kepada Kheng Hong, untuk berkata sambil bersenjum: “Orang tua she Kheng, sampai bertemu pula”

Lantas dia pondong tubuh Djie Yan, dibawa pergi bersama kawannja. In Gak lantas mengadjak semua sahabatnja kembali kekamar. Ay-hong-sok tertawa dan berkata: “Hiantit, aneh kepandaian kau, djangan kata sekarang ini, mungkin didjaman dulu, orang belum pernah melihatnja”

Sebagai orang tua dan achli silat kenamaan, djuga Tonghong Sok Kate tidak mengenal ilmu silat keponakannja ini. In Gak tertawa, ia tidak melajani djago tua itu.

“Nona Kang,” ia tanja Yauw Hong, kepada siapa ia, menoleh, “Dapatkah kau menuturkan apa hubunganja diantara Lie Djie Yan dengan kau?”

Yauw Hong sangat membentji Lie Djie Yan, ia tidak berdaja, mau ia menangis tetapi didepan banjak orang, ia mengerasi hati, sekarang ditanja si anak muda, tak dapat ia menahan pula, lantas ia menangis, air matanja mengutjur deras. Dengan ini dapat ia mengudal kesengsaraan hatinja. Baru setelah sedikit redah, baru ia bisa memberikan keterangannja .

Nona Kang jalah gadisnja Kang Hong, seorang guru silat jang masih rendah kepandaiannja. Tidak dapat Kang Hong mengangkat nama, terpaksa ia bekerdja sebagai tjinteng dirumahnja seorang hartawan dikampung asalnja, diketjamatan Pengyang, shoasay.

Ia mempunjai satu tjatjad dialah gemar minum arak. hingga ia senantiasa lupa daratan. Tapi ia berhati baik dan djudjur, maka madjikannja, si hartawan, menghargainja. Ia diberi dua ruangan rumah untuk ia mengadjak anak dan isterinja tinggal bersama. Maka itu, ia bekerdja sungguh- sungguh untuk madjikannja itu. Waktu Yauw Hong masuk umur tudjuh tahun, dia diberi peladjaran ilmu silat. sajang kepandaiannja sendiri rendah, ia tidak bisa mendidik anakperempuannja itu mendjadi pandai. sebaliknja Yauw Hong, dia ketarik dengan ilmu silat, dia beladjar radjin.

Pada suatu malam, tibalah saat malang. Malam itu Kang Hong minum banjak. diwaktu pulang kekamarnja, ia lantas tidur njenjak sekali. Djusteru malam itu, beberapa puluh orang djahat datang menjerbu. Mereka masuk dengan melompati tembok pekarangan. Mereka merampok sambil membunuh.

Lima pendjahat masuk kekamar Kang Hong. Dia kaget dan bangun. Tapi belum apa-apa, dia sudah dibatjok mati. Njonja Kang Hong pun turut dibunuh. Yauw Hong kaget hingga ia pingsan. Ketika ia tersadar, ia mendapatkan tubuhnja rebah d ipembaringan. Kamar bukan lagi kamarnja.

Didepannja berdiri seorang imam tua, jang romannja luar biasa. Imam tua itu tertawa dan menanja:” Anak. kau sudah lapar atau belum?” Atas pertanjaan itu, ia mengangguk.

Dalam umur tudjuh tahun, Yauw Hong sudah mengerti banjak djuga. Ia mendapat kenjataan ia berada diatas gunung jang penuh dengan pepohonan. ia tidak menanjakan hal orang tuanja, jang ia tahu sudah terbinasa. Ia tjuma tahu, imam itu mesti ada hubungannja dengan ajahnja.

Seterusnja ia berdiam digunung itu bersama si imam. Baru setelah berselang lama ia ketahui, si imam bernama TjiamBeng, gelaran sutjinja Hong LoeiToodjin, dan gunung itu pusatnja partai Tjeng Hong Pay. Nama gunung Lu Liang san, dan keletakan markas diselat  Ouw A Tjoei. Dan Hong Loei jalah soeheng, atau kakak seperguruan dari Tjian-tjioe siauw-hoed Pok Hong siBuddha Tertawa seribu Tangan, paytjoe atau ketua dari Tjeng Hong Pay. semua orang Tjeng Hong pay beroman bengis, tetapi lama-lama, si nona biasa lagi melihat mereka itu.

Hong Loei menjukai Yauw Hong, ia mengadjari silat sungguh-sungguh. ia menganggap Yauw Hong sebagai anak. la minta ia dipanggil sebagai ajah-angkat. sepuluh tahun Yauw Hong berdiam diatas gunung, sampai ia berumur tudjuhbelas. Ialah seorang nona tjantik. Banjak orang Tjeng Hong Pay jang ketarik padanja. Malang ada Hong Loei dan si nona sendiri pun bagaikan mawar berduri, ia tidak ada jang berani ganggu.

Sebenarnja. Hong Loei djahat dan kedjam, tetapi dia melindungi Yauw Hong seperti anak sendiri

Kemudian atas permintaan Pok Hong, jang disetudjui Hong Loei, Yauw Hong dikasi pekerdjaan sebagai penulis partai, untak mengurus surat-surat. Hong Loei tidak mentjurigai si soetee, adik seperguruan. Karena ini, setiap Yauw Hong berada berdekatan dengan Pok Hong. sebenarnja ternjata, Pok Hong menggilai si nona. Yauw Hong sendiri tidak menghiraukannja. Pernah karena urusan si nona, Pok Hong bentrok sama Hong Loei, jang menegurnja. Masih Pok Hong mentjoba terus membudjuki si nona. Karenanja, saking berduka, sering Yauw Hong menangis sendirian.

Lantas pada suatu hari, selagi Yauw Hong bekerdja dikantornja, Hong Loei datang

bersama seorang muda tampan, jang diadjar kenal padanja. Dialah Pek san-sioe Lie Djie Yan- ia dapat kenjataan, Djie Yan ini bukan seorang benar. Djie Yan lantas suka mengadjak ia djalan-djalan. Digunung itu memang ada tempat-tempat jang indah pemandangannya. Karena memandang gurunja, Yauw Hong tidak menampik. Tapi satu kali, ia dipedajakan Lie Djie Yan- selindjutnja tak suka ia bergaul denganpemuda itu, bahkan ia takut.

Pok Hong mendapat tahu kelakuan Lie Djie Yan itu, ia menjindirnja, Djie Yan mendongkol, ia berlalu dari Lu Liang san. Diwaktu mau pergi ia bersumpah bahwa ia belum mau sudah sebelum mendapatkan si nona.

Tidak lama Hong Loei djatuh sakit. Yauw Hong merawatnja siang dan malam. Berat penjakit itu, si imam tidak mau sembuh. Maka satu kali, Yauw Hong pegangi tangan anak- pungutnja, sembari tertawa sedih ia kata: “Anak Yauw, aku tidak menikah, aku tidak punja turunan, tetapi aku mendapati kau, aku seperti mempunyai anak sendiri sajang aku sakit dan usiaku sudah landjut. Aku kuatir, kapan aku menutup mata, kau tidak ada jang lindungi. Mungkin setelah aku mati, kau bakal diganggu soetee-ku. Maka sekarang, sebelum aku mati, aku mau mendajakan. Dulu hari itu, sajang aku terlambat, tak dapat aku mendongi ajahmu. Itu pula sebabnja aku bawa kau kegunung ini. sebenarnja, madjikan ajahmu itu mendapatkan sebuah pedang mustika, hal itu diketahui partaiku. Lantas saudagar itu diserbu, dia dirampok dan dibunuh serumah- tangga. Ketika aku menjusul, aku terlambat, ajah dan ibumu sudah mati”

Yauw Hong menangis.

Hong Loei menghela napas.

“Sudah anak. djangan menangis” ia membudjuk. “Perkara sudah terdjadi, menjesalpun sudah kasip. Aku menjesal aku tersesat, tapi aku beruntung, aku bakal mati baik. Inilah sebab aku tidak biasa membunuh tanpa sebab. Aku mau mengubah tjara hidupku, pertjobaan itu sukar. Ada orang2jang membentjiku. Adalah karena terpaksa, aku menumpang pada Pok Hong. sudah sepuluh tahun aku tidak pernah turun gunung. Mungkin orang telah melupai aku. Karena ini, aku puas djuga”

Hong Loei berhenti sebentar baru ia melandjuti: “Aku tahu kau ingin dapat membalas sakit hati ajah dan ibumu, tapi sukar kau mentjari tahu siapa dia. orang pun tidak mau memberitahukan padamu. sekarang aku beritahukan kau, dialah Tjoei-beng Boe-siang Tong Kee Houw, tongtjoe atau ketua tjabang di soetjoan Barat. setelah aku merawat kau, dia dipindahkan ke soetjoan. selama sepuluh tahun, belum pernah dia datang pula kesini. sekarang ini kepandaian kau masih belum bisa melawan dia, maka kapan kau telah meninggalkan Lu Liang san, kau mesti berguru pula pada guru jang pandai, baru kau dapat menuntut balas. Tadinja aku ingin djodohkan kau dengan Lie Djie Yan, sajang kau tidak penudju dia. Dalam hal djodoh, aku tidak mau memaksa kau. Ini sehelai leng-kie, bendera-titah, kau simpan baik-baik, ia menambahkan. Aku rasa aku tidak dapat tahan sampai lusa, maka itu baiklah besok malam kau minggat dari sini. Leng-kie ini bisa mendong kau lolos. Kau boleh menjingkir kedjurusan kota radja. selandjutnja terserah pada peruntunganmu”

Yauw Hong menangis sedih sekali, ia sampai pingsan.

Hong Loei berduka, ia berdiam sambil meram sadja. Besok malam, benar keadaan Hong Loei mendjadi buruk.

beberapa kali ia pingsan. Paling belakang, setelah sadar, ia desak Yauw Hong untuk lekas mengangkat kaki. Kali ini si nona menurut, ia lantas menjiapkan buntalannja dan membekal sedikit perak hantjur. Ia minggat dengan membawa pedangnja. Ketika mau berpisah, tiga kali ia paykoei pada imam jang mendjadi guru dan ajah-angkat itu.

Untung bagi Yauw Hong, diwaktu la minggat, ia dapat dilihat Ay-hong-sok. Ia lantas dikuntit. Dibeberapa tempat djagaan, ia dihalang-halangi, tetapi dengan alasan mau tjari obat untuk Hong Loei, la dilepaskan djuga. Demikian setelah terang tanah, ia sudah tiba dikaki gunung, terus ia memasuki kota ketjamatan Lie-sek.

Dipagi hari ketiga, benarlah Hong Loei meninggalkan dunia jang fana ini. Pok Hong heran mendapatkan nona Kang tidak ada, ketjurigaannja lantas timbul. Ia segera memerintahkan mentjari tahu. Kapan ia ketahui minggatnja si nona, ia menugaskan orang menjusul dan mentjari kepelbagaipendjuru, sekalian untuk memberitahukan pelbagai tjabang, guna membantu mentjari. si nona mesti ditangkap hidup, sebab dia dikuatir membuka rahasia partainja.

Didalam kota Lie-sek. habis istirahat sambil bersantap.

Yauw Hong melandjuti perdjalanannja, menudju ke Kauw-shia, melewati Thay-goan, keluar dari Tjeng-keng, tiba di Tjio-boen- selama itu ia terus dilindungi Ay-hong-sok. sampai ia tertjandak dan ditantang.

Menutur sampai disini, Yauw Hong menangis.

In Gak bertiga terharu.

“Sudah, Nona Kang, djangan kau berduka,”

Giok Koen menghibur. “Nanti kita mengantarkan kau pada soesiok Ban in- setelah kau menamatkan peladjaranmu, djangan kuatir sakit hatimu tak terbalas”

Yauw Hong mengutjap terima kasih. Ia terhibur djuga, hatinja mendjadi lega.

“Eh, anak-anak, kamu sudah bitjara habis atau belum?” Kheng Hong menegur. “Kamu tahu, ilarku sudah keluar”

In Gak tertawa.

“Siepee tidak tahu bahajanja arak” ia kata tertawa. “Mari aku buktikan dengan sjair:

Kaisar Peng bertjelaka karena arak ada ratjunnja, Lie Thay Pek ditepi sungai rusak tubuhnja,

Maka, tuan djanganlah minum air tak berbudi, setelah mabuk hati orang tak sehat lagi Kedua matanja Ay Hong sok membelalak.

“Kau tahu apa, botjah tjilik” katanja. “Kebaikannja arak banjak sekali Nanti aku si orang tua memberitahukan kamu. Arak itu dapat membantu s i pendekar hingga njalinja mendjadi besar dan dapat membikin sipejadjar tambah indah gubahan sjairnja. Aku dapat melenjapkan duka, arakpun untuk menggadangi sang rembulan dan bunga. Ada djuga dibilang, minum arak tak dapa sinting itulah paling menjenangi. Maka itu bagaimana bisa dibilang arak djahat?”

Mendengar itu, semua orang tertawa.

“Benar, benar, siepee benar” kata in Gak. “Nah, mari kita pergi kedepan untuk minum”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar