Menuntut Balas Jilid 02 : Mengobati Kioe Tjie Sin Liong

Jilid 2 Mengobati Kioe Tjie Sin Liong

”Sie-tjoe muda” berkata Hoa Hoa bersenyum, ”Dengan enteng sekali kau menggeraki tanganmu, apakah itu berarti kau telah mentjapai puntjaknja kaum Budhist jang dinamakan Boe Siang Kim kong Sian Tjiang?”

Si pemuda mengawasi pendeta itu, ia menggeleng kepala. ”Tadjam sekali mata Taysoe” katanja sabar,”Tjuma

peladjaranku ini, djikalau dibanding dengan Kim Kong Sian Tjiang bedanja djauh sekali. Mana aku mempunjai bakat dan djodoh untuk memperoleh itu? Djikalau taysoe sudi, suka aku mendapat barang satu dua petundjuk dari taysoe”

”Loola ptidak mempunjai kepandaian itu,” kata Hoat Hoa tjepat, menjangkal, ”Sekalipun ketiga tiangloo kami, mereka tjuma mengerti permulaannja sadja. Loolap menanjakan sebab kelihatannja kepandaian sitjoe mirip dengan Boe Siang Kim Kong Sian Tjiang itu” In Gak berdiam, ia melainkan bersenjum. Ia ingat semasa di Poo Hoa Sie, gurunja pernah membilangi bahwa Bie Lek Sin Kang dan Boe Siang Kim Kong Sia Tjiang itu sama-sama ilmu kepandaian kaum Budhist, bedanja jalah Bie Lek Sin Kang lebih hebat dan digunainja dapat sesuka hati, sebaliknja Kim Kong Sian Tjiang itu, setelah digunai sukar untuk dibatalkan atau ditarik pulang.

Setelah itu orang berdjalan pulang ke piauwkiok. Tiba di rumah, Kim Hoa Sam Kiat lantas mengadakan perdjamuan untuk merajakan kemenangan itu, hingga suara ramai mereka kedengaran keluar, sampai ada jang mendunga piauwkiok itu entah lagi mengadakan pesta apa. Sengadja mereka mengadakan pesta ini untuk membikin nama si pemudda tersiar.

Maka itu ketjuali orang dalam, ada diundang djuga sahabat-sahabat dari pelbagai piauwkiok lainnja, antaranja hadir Thie bin In Tiang Lee Sie Kie, piauwsoe ketua dari Tiong Gie piauwkiok, jang dari Souwtjioe baru pulang ke Tjie-tjioe.

”Sekarang ini Rimba persilatan digemparkan dua peristiwa besar,” kata piauwsoe itu tertawa, ”Jang siauwhiap merobohkan Tjit Sat Tjioe Koet Sin ini. Jang lainnja jaitu muntjulnja pula Twie Hoen Poan Tjia Boen dalam dunia kang- ouw. Aku baru kembali dari Kangsouw Utara, selagi lewat di Kho-yoe, disana Sam Tjioe Gia Kang Hok Leng Tok telah terbinasakan Twie Hoen Poan. Hok Leng Tok jalah begal besar jang untuk banjak tahun sudah hidup menjendiri ditepinja telaga Kho Yoe Ouw. Pula dia mati sama seperti kematiannja Lan Tjong Siang Sat baru-baru ini, jaitu dadanja ditembusi djaridjari tangan jang liehay. Jang aneh pula kedua orang terkenal itu sama-sama she Tjia, melainkan jang satu tua dan jang lain muda!” Kim tjie Sin Eng Phang Pek Hiong heran mendengar warta itu.

”Saudara Lee, kapankah terdjadinja peristiwa itu?” ia tanja, ”Baru kemarin dulu malam terdengar Twie Hoen Poan berada di Kangsan dimana tempat Ngo Yan Pay dia membinasakan Ngo Tok Tjindjin dari Tong Pek San. Sungguh tak ketentuan dimana beradanja Twie Hoen Poan itu. Mustahilkah dia telah mengetahui siapa-siapa jang dulu hari mengerojok dia dan sekarang dia mau membalasnja satu demi satu?”

”Itulah kedjadian empat hari jang lalu. Karena aku mesti lekas-lekas pulang, tidak sempat aku mentjaritahu lebih djauh. Untuk Twie Hoen Poan, dalam dua hari dari Kho-yoe pergi ke Kangsan bukanlah soal sukar.”

Mendengar itu Lan Kang Tiauw-kek Yo Tjoen Keng, si Pengail dari sungai Lan Kang menghela napas, katanja: ”Perdjalanan dari Kho-yoe ke Kangsan sedikitnja lima sampai tudjuh ratus lie, tetapi itu disampaikan dalam dua hari, sungguh luar biasa!”

In Gak djuga heran mendengar ajahnja membinasakan  Sam Tijoe Gia Kang di Kho-yoe. Ia melirik pada Lee Sie Kie, dalam hatinja ia kata: ”Lan Tjong Siang Sat dan Ngo Tok Tjindjin terbinasa ditanganku. Siapakah jang bekerdja di Kho- yoe itu; mesti ada lain orang jang memakai nama ajahku...Ah mengerti aku sekarang! Itulah mesti kerdjaan saudara Loei Siauw Thian! Mestinja Sam Tjioe Gia-kang salah seorang jang duluhari telah mengerojok ajahku, maka saudara Loei menelad aku, dia membinasakan manusia djahat itu seperti tjaraku!”

”Amida Budha!” terdengar Hoat Hoa memudji, ”Sepak terdjangnja Twie Hoen Poan itu, meski ia berdiri di pihak jang benar, menurut rasa loolap ada sedikit berlebihan, maka itu kekalahannja di Siang-tong berpokok pada perbuatan berlebihan itu. Inilah jang kami kaum Budhist namakan karma. Sajang sekarang setelah muntjul pula, dia bertindak melebihkan duluhari itu...Inilah balas membalas, entah sampai kapan berachirnja ini?”

In Gak sabar tetapi ia tidak puas ajahnja dipersalahkan. ”taysoe,” katanja, ”Apakah taysoe tidak ketahui, dengan

menjingkirkan seorang djahat, orang telah menanam sematjam djasa baik? Bukankah perbuatannja Tjia Tayhiap itu untuk membasmi kedjahatan, untuk mengandjurkan kebaikan? Bukankah menjingkiran kedjahatan tepat dengan pokok tudjuan kami kaum Rimba persilatan? Apakah jang tidak sesuai?”

Hoat Hoa bersenjum ketika ia mendjawab „Apa jang siauwhiap bilang memang tepat dan loolap pun tidak maksudkan tidak sesuai, tetapi loolap pikir banjak membunuh berarti menanam bibit penderitaan dan itu djuga mentjari pusing sendiri.”

Melihat dua orang itu bertentangan pendapat, Pat Kwa Tjioe Kheng Liang menjelak untuk menjimpangi perhatian. Katanja: “Tjia siauwhiap, kau telah member djandji lima tahun akan menemui Shie Goan Liang, kapan kiranja baru kau dapat memenuhi djandji itu?”

“Sekarang ini belum dapat aku menentukan," In Gak djawab bersenjum. „Tetapi pasti, didalam lima tahun, aku akan pergi ke tempatnja!"

„Tiam Tjhong Pay itu mendjadi satu diantara tudjuh ahli pedang besar di djaman ini," berkata Yo Tjoen Teng, „diantara mereka benar ada orang-orang jang liehay hingga mereka biasa tak memandang mata kepada kaum Persilatan seumumnja, dari itu baik sekali djikalau Tjia Siauwhiap dapat melampiaskan kemendongkolan kita. Hanja aku pikir perlu siauwhiap mentjari beberapa pembantu, sebab pergi seorang diri kurang sempurna." Mendengar itu, In Gak tertawa.

“Aku tidak mengatakan aku tidak mau mentjari kawan," katanja, „Tjuma aku pikir untuk urusanku sendiri buat apa aku membawa-bawa sahabat ?"

Ketika itu Nona Nie merasa tidak puas sekali. Beberapa kali ia mau tjampur bitjara, selalu ia gagal. Pula sikap si pemuda terhadapnja tawar. Achirnja ia tertawa dingin.

" Tjia toako,” katanja, „tadi kau membilang Shie Goan Liang tidak tepat menggunai pedang, habis siapakah itu jang tjotjok?"

Mendengar pertanjaan ipar ini, Siok Tjoen bergelisah. Ia merasa sang ipar benar-benar tidak mengenal selatan. Tapi belum sempat ia berbuat apa-apa, In Gak sudah tertawa lebar. Pemuda ini tidak mendjadi kurang senang.

“Aku tidak berani bilang siapa jang tepat dan siapa jang tidak,” sahutnja, “Aku baru muntjul dalam dunia Kang-ouw, pengalamanku belum banjak, bitjaraku kurang pandai, tjuma sebab orang she Shie itu benar-benar mempunjai kepandaian, maka barusan aku mengatakannja demikian. Itulah tjuma mengenai dia seorang, melulu untuk melampiaskan kemendongkolanku. Bitjara terus-terang, sampai saat ini belum aku mendapatkan sendjata jang tjotjok untukku!"

Wan Lan melirik, ia berkata pula, lagu suaranja seperti ber- senandung : “Bagaimana tentang siauwmoay, apakah siauwmoay tepat menggunai pedang? Kalau tidak, baiklah pedang siauwmoay ini dihaturkan kepada toako, pastilah tjotjok !"

Sengadja si nona menjebut dirinja soauw-moay.

In Gak serba salah hingga ia mendjadi likat, hingga ia tidak dapat membuka mulutnja. Siok Tjoen mendongkol sekali hampir ia menegur ie itu dimuka umum. la paksakan diri tertawa dan kata „Ie, kita tjuma mendengar suara kau, tak dapatkah kau bitjara sedikit sadja !”

Wan Lan menoleh, ia melihat muka merah dari tjiehoenja itu.

„Ah, kenapakah kau ?" katanja. „Tjia Toako sendiri tidak membilang, apa-apa.”

Siok Tjoen menggeleng kepala, matanja mentjilak kepada si nona, terus ia memandang In Gak, agaknja ia kewalahan.

Si pemuda melihat itu, ia tertawa. Sedang sebenarnja, kesannja terhadap si nona tambah memburuk. Dilain pihak, Wan Lan mulai djelus terhadap pemuda itu, karena dia dikuasai kemandjaannja.

Sampai disitu, Hoat Hoa bitjara pula, menutur maksudnja datang ke selatan ini, jalah mentaati titah ketuanja; untuk pergi ke kuil Siauw Lim Hee ih di Pouw-thian guna mendjalankan kundjungan adat kebiasaan setiap lima tahun sekali, bahwa selagi lewat di Kim Hoa ini ia ingat keluarga Phang jang mendjadi keponakan muridnja dengan siapa sudah tiga puluh tahun ia tidak pernah bertemu, hanja kebetulan sekaIi menjaksikan orang mengadu silat.

“Melihat gerak-gerik kaki tanganmu, Tjia siauwhiap” ia menambahkan, “Kau mestinja telah mendapat peladjaran golongan Budhist, atau djikalau gurumu bukan seorana pendeta jang lie-hay, dia mestinja seorang jang telah menjembunjikan diri, hidup dalam kesunjian. Loolap seorang pendeta, tetapi loolap telah mentjoba mengutamakan ilmusilat, rasanja loolap berhasil djuga mengarti sedikit intisarinja, sebaliknja siauwhiap, jang masih begini muda, telah mahir sekali silatnja, dari itu, djikalau siauwhiap suka, sudikah kau main-main barang tiga djurus dengan loolap?” Biar bagaimana In Gak taat kepada pesan gurunja, atas adjakan si pendeta ia lantas menampik.

“Kebisaanku rendah sekali, mana berani aku membangkitkan buah tertawaan? Lebih baik tak usahlah!” katanja.

Belum sempat Hoat Hoa berkata pula, Wan Lan menjelak lagi: “Tjia toako, apakah toako tidak suka memberi muka kepada Hoat Hoa Soepee?”

In Gak memandang nona itu dingin. Ia djemu. Lantas ia berbangkit perlahan-lahan, untuk bertindak ke lian bu-thia, tempat latihan. Orang semua lantas mengikuti Hoat Hoa berdjalan mendampingi anak muda itu.

Kim-hoa Sam Kiat djalan paling belakang, mereka menegur nona Nie, tetapi dia ini mengganda bersenjum.

„Aku minta taysoe suka menaruh belas kasihan kepadaku.” kata In Gak setibanja di gelanggang. Ia memberi hormat, lantas ia memisahkan diri setombak hingga mereka djadi berdiri di timur dan barat.

Hoat Hoa mengangguk, ia kata tertawa :„Loolap tjuma ketarik hati untuk main-main, sama sekali kita bukan benar- benar bertanding. Siauwhiap, silahkan!”

In Gak tidak banjak aturan lagi. Ia merangkap kedua tangannja, ia memberi hormat dalam sikap ‘Lian tay pay koei’ setelah mana terus ia menjerang.

Hoat Hoa tertawa dan kata: “Baiklah, loolap lantjang menjambut” Ia lantas berkelit, untuk terus membalas dengan tipu silat ‘Hong kie in yong’ jaitu ‘Angin bergerak, mega melajang-lajang’, suatu djurus dari ilmu silat ‘Tat mo Kioe Sie’, ilmu silat simpanan S iauw Lim pay. Jang dapat mempeladjari itu tjuma keempat tiangloo. Seperti namanja menundjuki, semuanja terdiri dari sembilan djurus (kioe sie). In Gak segera merasakan dorongannja angin, walaupun ia melindungi diri dengan Bie Lek Sin kang, ia masih tertolak djuga, meski begitu ia tidak segera melakukan penjerangan membalas, ia berkelit untuk menghindarkan diri. Ia ingin berkelit terus hingga tiga kali beruntun. Setelah itu mendadak ia mentjelat hingga ia djadi berada di belakang si pendeta.

Belum ia memernahkan diri, Hoat Hoa sudah memutar tubuh dibarengi serangannja pula, kali ini dengan djurus “Guntur menggemparkan langit” jang djauh lebih hebat daripada jang sudah itu.

Djuga kali ini pendeta itu gagal. Dia mendjadi heran — mengherani mahirnja ilmu Tjit Khim Sin-hoat dari si anak muda.

In Gak berdiri sambil tertawa.

,Lootjianpwee, masih ada satu djurus !" katanja manis.

Biarnja ia orang petapaan, hati Hoat Hoa mendjadi panas.

Ia malu andaikata orang mengetahui ia gagal menjerang dengan Tat-¬mo Kioe sie. Apa nanti anggapan umum tentang ilmusilat Siauw Lim Sie ?

“Maaf” ia lantas berkata menjusuli serangannja dengan kedua tangan, tangan kiri dengan “Kim-kong Hang Mo” menjerang lengan kiri si anak muda, tangan kanannja mentjari djalan darah khie-hay, tipusilatnya jalah “Lan Hoa Tjioe” pukulan bunga Lan Hoa. Bagaikan kilat tjepatnja, demikian dua tangan ini menjerang, hingga orang banjak berkuatir untuk In Gak.

Si anak muda sendiri tapinja tersenjum, tjepat luar biasa dia mundur lima dim, melulu untuk mengelakkan diri, setelah mana ia menjerang dengan suatu djurus Hian Wan Sip pat Tjiang kedua djari tangannja memapaki hendak menotok telapakan tangan si pendeta! Hoa Hoa lagi menjerang, tidak dapat ia menarik pulang serangannja itu. Pula tidak dapat ia menangkis dengan tangannja jang lain. Maka djuga ketika kedua tangan mereka bentrok, ia mendjadi kaget. Mendadak ia merasakan tangannja kesemutan, mendjadi kaku, tenaganja hilang, hingga tanpa terasa, ia terdjeru-nuk madju. Tapi sianak muda mengadjukan kedua tangannja untuk menahan, hingga orang dapat berdiri diam.

„Lootjianpwee, tiga djurus lewat" katanja tertawa,”Terima kasih jang lootjianpwee telah suka mengalah."

Dimata orang banjak, mereka itu seri, akan tetapi Hoat Hoa heran atas kepandaian anak muda itu.

,Tjia siauwhiap," katanja, “Bukan loo lap merendah tetapi melihat kegagahan kau ini, mesti kau bakal mendjagoi Rimba Persilatan, maka itu semoga Thian melindungi agar djanganlah kau sampai melakukan pembunuhan, sebaliknja supaja dapatlah kau kemadjuan terlebih djauh!"

In Gak tertawa.

„Nanti boanpwee ingat baik-baik pesan ini," kata ia, „tak nanti boanpwee melupakannja."

Setelah itu, mereka kembali. Orang banjak memudji dan mengatakan Hoat Hoe Taysoe telah berbuat baik sekali terhadap sianak muda.

Kemudian perdjamuan ditutup dan semua orang bubaran.

Sore itu In Gak memberitahukan tuan rumah bahwa ia hendak pergi ke Utara untuk menjusul Loei Siauw Thian, kakak angkatnja itu, maka besok pagi-pagi ingin ia berangkat. Sam Kiat mentjegah tetapi ia mendesak, hingga mereka itu tidak dapat menahan lebih lama. Mereka pun merasa, pemuda ini tak puas dengan Wan Lan.

IV

Besoknja pagi, seorang diri Tjia In Gak melakukan perdjalanan pula. Ia diantar Kim-hoa Sam Kiat dan djuga Nona Nie. Dia ini tampak tak puas dengan perpisahan itu—ada sedihnja, ada penasarannja . . .

Tiba dikota Hang-tjioe jang kesohor, In Gak singgah, untuk pesiar setengah bulan. Setelah melintasi propinsi Tjiat-kang, ia masuk ke propinsi Kangsouw. Pada suatu hari, setelah lewat di Tin-kang, ia sampai di Kang-taow atau Yang-tjioe, pun kota terkenal dan ramai. Ia sampai di waktu maghrib, segera ia melihat ramainja kota dan telinganja mendengar suara tetabuan dan njanjian disana-sini, maka setelah menitipkan kuda di hotel, ia pergi djalan-djalan. Disini ia menjaksikan, asal ada uang, tak usah orang kekurangan kesenangan. Tepatlah utjapan tua :”Dengan uang sepuluh laksa rentjeng melibat pinggang menunggang burung djendjang pergi ke Yang-tjioe. Selama dalam perdjalanannja ini, ia selalu berada sendirian, tak inigin ia mentjari sembarang sahabat, bahkan di hotel pun ia memakai nama palsu. Demikian kali ini.

Habis djalan-djalan sebentar, ia kembali ke hotel, untuk bersantap, setelah bersantap, la langsung masuk kamarnja, untuk rebah-rebahan, kedua matanja dirapatkan. Ia lantas memikirkan tentang per¬djalanannja ini seorang diri. Sesudah lewat beberapa bulan la masih tak tahu tentang musuhnja, hingga ia mirip si buta menunggang kuda, tak tahu ia tudjuannja. la menganggap inilah bukan tjara jang baik.

„Aku mesti mentjari kawan jang dapat diadjak berdamai " ia kata dalam hatinja.

Maka ia ingat pula Siauw Thian, djuga jang lainnja, mereka itu seperti berbajang di depan matanja, tak ketjuali Nona Lan jang mendjemukan itu. Untuk menenangi diri ia bangun untuk berduduk bersamedhi sekalian melatih diri.

Tidak lama setelah bersamedhi, In Gak ingin tidur, ketika ia mau membuka pakalan luar, tiba-tiba telinganja mendapat dengar rintihan perlahan serta isak tangisnja anak ketjil. Ia menduga kepada orang sakit. Maka ia membuka pintu, pergi ke kamar di depannja, darimana suara itu datang. Ia sudah mengulur tangannja untuk mengetuk pintu, atau ia urungi itu. Ia anggap perbuatannja itu kurang baik. Maka ia terus menghampirkan pelajan, jang lagi duduk menjender dipintu depan dengan matanja meram melek.

Adalah kebiasaan dihotel itu untuk menaruh pelajan pendjaga pintu, untuk menjambut atau mengantar tetamu jang datang atau ada keperluan pergi diwaktu malam.

Demikian pelajan ini. la Iantas berbangkit dan berdiri dengan hormat ketika ia melihat tetamumja, terus ia menanja: “Apakah tuan hendak berangkat di waktu begini ?”

In Gak menggojangi tangan, ia tidak mendjawab hanja menanja siapa penghuni dikamar depan kamarnja itu.

„Oh, dia " kata pelajan itu, agaknja terperandjat.

,.Pada sepuluh hari jang lalu dia datang mengambil tempat disini. Dialah seorang tua dengan dandanan pengemis serta seorang botjah. Dia terluka seluruh tubuhnja, be¬gitu dia masuk ke dalam kamar dia merebahkan diri terus dia mendapat demam panas-dingin. Dia mempunjai sebungkus obat bubuk, dia telan itu. Njatanja obat itu tidak menolong, bahkan dia mendjadi terlebih pajah, hing¬ga pernah dia pingsan. Botjah itu lari keloar, dia mentjari seorang jang mukanja kuning. Ketika dia ini melihat orang tua itu, dia berduka, lekas dia pergi mentjari tabib jalah Oey Pek Tong alias Poan Sian, si Tabib Setengah Dewa. Tabib ini pandai, banjak sekali sudah ia menolong orang.

Tapi setelah memeriksa nadi si sakit, ia menggojang kepala, sakitnja sudah berat sekali, susah ditolong, kalau diberi obat, paling djuga akan hidup lagi sepuluh hari atau setengah bulan, terus ia pergi tanpa memberi obat atau surat obatnja, tak mau ia mene¬rima uang hadiah. Madjikannja takut orang mati dihotelnja, ia minta orang muka kuning itu mengadjaknja pergi. Orang muka kuning itu minta si sakit dibiarkan menginap disini, ia kata ia mau pergi mentjari obat. Ia pergi dengan meninggalkan uang lima puluh tahil perak, ia memesan sangat agar ia ditunggui. Ia sudah pergi lima atau enam hari sampai sekarang ia belum kembali. Aku kuatir buat keselamatan orang tua itu.

In Gak mengerutkan alis. „Maukah kau mengantar aku kepadanja ?" ia tanja.

Pelajan itu mementang matanja, Tapi ia tertawa.

„Apakah tuan mengarti ilmu pengobatan ?" ia tanja, ragu- ragu. Lantas ia mengantarkan, seorang diri ia ngotjeh hampir tak kedengaran : „Tuan muda ini mungkin kurang sehat asabatnja, meski la mengarti ilmu tabib, mana dapat ia melawan Oey Poan Sian ?"

Segera mereka tiba didepan kamar. Pelajan ini mengetuk pintu sambil berkata:”Engko ketjil, buka pintu, ada jang ingin menolong mengobati penjakit…”

Daun pintu dibuka lantas oleh satu botjah jang romannja tampan, tjuma matanja merah dan bengul, setelah memandang In Gak, ia kata dengan hormat: “Apakah paman mengarti ilmu tabib? Baiklah, tjuma kita djadi membikin berabeh pada paman. Silahkan masuk!”

In Gak kagum. Botjah itu hormat dan bisa bitjara. Ia bertindak masuk. Ia melihat si orang tua lagi rebah di pembaringan, napasnja mengap-mengap. Penerangan di dalam kamar itu hanja lilin jang tinggal separuh, apinja guram, hingga kamar dengan sendirinja nampak seram.

“Anak muda, terima kasih." kata si orang tua, lemah, ketika ia mengetahui ada jang mendjenguknja. „Hanja sakitku ini tidak dapat diobati dengan obat jang biasa, maka aku kuatir membuatnja kau pusing sadja.” Lalu samar-samar nampak agak¬ nja ia mengendalikan hatinja, jalah rasa agung diri.

In Gak menghampirkan, untuk duduk disisi orang. ,Lodjinkee, djangan kuatir," kata ia halus, „Setiap perantau sukar lolos dari gangguan penjakit. Mari aku lihat penjakitmu, rasanja aku sanggup mengobatinja.”

„Benarkah?" kata si botjah mendadak „Kalau benar, paman aku si Tjioe Lin hendak aku memberi hormat lebih dulu kepada kau untuk menghaturkan terima kasihku”

Benar-benar ia hendak menekuk Iutut.

In Gak mentjegah.

“Tahan dulu, saudara ketjil,” katanja tertawa, “Kau sabar.” Lalu dengan sebelah tangan memegang lilin, ia periksa lidah si orang tua dan memegang djuga nadi kanannja, diteruskan pula nadi kiri. Achirnja ia berdiri dan berkata sambil tertawa: “Meski penjakit ini berat, masih ada harapan untuk disembuhkan. Penjakit ini disebabkan angin djahat.

Loodjinkee, kau tentu habis bertempur, kau telah menggunai tenagamu berlebihan, lalu kau melakukan perdjalanan tjepat hingga tak sempat kau beristirahat, hingga gangguan masuk kedalam tubuh, sudah begitu kau terserang hawa dingin hingga panas dan dingin mengaduk mendjadi satu. Berbareng dengan itu kau djuga sudah makan obat. Sjukurlah, kalau terlambat lagi beberapa hari, obat dewa djuga tidak bakal menolong…”

“Anak muda, pemeriksaanmu tepat,” kata si orang tua, “Bagaimana sekarang?”

In Gak mengawasi kagum. Meski penjakitnja berat, orang tua itu tetap besar hati, ia mendjawab:”Asal loodjinkee menahan sakit, dapat aku menjembuhkannja.”

Orang tua itu bersenjum.

“Anak muda, kau turun tanganlah!” katanja, “Aku si orang tua jang tidak mau mampus ini rasanja masih dapat menahan penderitaan terlebih djauh!” In Gak pun tertawa, tanpa berkata-kata lagi, ia mengeluarkan kotak kuning ketjil dari sakunja, darimana ia mengambil sembilan batang djarum emas jang ketjil sekali, pandjangnja empat dim, setelah ia minta si orang tua tengkurap, lantas ia menusuk sembilan kali, di sembilan tempat. Ia menusuk dengan tjepat dan tepat. Kalau tabib lainnja, dia berlaku hati-hati dan perlahan.

Si orang tua merintih dan kata: “Anak muda, aku merasai tubuhku kaku dan ngilu, inilah hebat…”

“Lawan loodjinkee!” kata In Gak tertawa, “Tak tahan berarti penjakit tidak dapat disembuhkan. Tahan sedikit. Kalau sebentar aku mentjabut djarumku, kau pun harus menahan napas, kalau napasmu bujar, bakal berabeh lagi!”

“Aku tahu. Anak muda, dimana kau peladjari ilmu tabibmu ini? Tabib atau ahli ilmu silat jang pandai menggunai djarum aku kenal beberapa diantaranja, tetapi belum pernah aku menemui jang sepandai kau ini. Aku pertjaja lootee, ilmusilatmu pun mungkin mahir sekali, bukankah?”

In Gak tertawa mendengar ia sekarang dipanggil ‘loo-tee’- adik.

“Tentang ilmusilat, aku mengerti sedikit,” katanja, “Kalau nanti loodjinkee sudah sembuh aku ingin sekali menerima petundjuk dari kau.”

“Hm!” orang tua itu berseru, “Kau minta petundjukku. Loo- tee, itulah dapat! Aku si tua tidak sembarang menerima budi orang, maka itu setelah kau mengobati aku, untuk kau pasti akan ada kebaikannja!”

Mendengar begitu, In Gak berhenti tertawa. “Loodjinkee,” katanja sungguh-sungguh, “Dalam hal

mengobati, aku mempunjai tiga pantangan? Tahukah loodjinkee?” Si orang tua merebahkan kepalanja, tetapi suara orang membuatnja mengangkatnja.

“Laotee, aneh kata-katamu ini!” katanja, “Mana aku ketahui ini? Tjoba bilang, apakah pantangan itu?”

In Gak tertawa. Ia mendustai orang tua itu, untuk mengakali orang dapat melawan rasa njeri tusukan djarum. Tanpa diadjak bitjara, si orang tua mesti menderita hebat. Dengan banjak bitjara tanpa meras, berkuranglah penderitaannja itu, tak usahlah dia pingsan. Ia tjerdas, sampaipun gurunja memudjinja. Kali inipun ia mendapatkan akal untuk mengalihkan perhatian si sakit. Tapi ia mendjawab, katanja:

“Pantangan jang pertama jaitu aku tidak mengobati manusia djahat.-

„Oh, begitu ?" kata si orang tua. „Itulah pantas, Tjumalah seorang tabib tak dapat tak menolongi djiwanja orang jang ba¬kalan mati”

„Aku jang rendah bukannja tabib, aku tak masuk hitungan itu."

„Djawaban jang bagus ! Jang kedua?"

In Gak girang. la mendapat kenjataan orang sudah dapat bitjara keras.

„Ialah jang diluar kelihatan sebenarnja hatinja berbahaja dan litjik !"

„Bagus ! Itupun pantas. Yang ketiga ?”

In Gak tertawa lebar, ia berkata njaring :Aku tidak mengobati tanpa ada kebaikan atau faedahnja”

Si orang tua tertawa lantas dia berkata njaring: “Bagus, botjah!” Kau mengobati aku karena mengharap kebaikan! Baiklah, lain waktu aku si orang tua akan berlaku tjerdik !”

Si botjah Tjioe Lin jang terus menerus berduka pun tertawa. Inilah untuk pertama kali semendjak gurunja — jalab si orang tua - menderita sakit itu. In Gak tertawa. Ia telah melihat waktunja, maka ia kata : "Loodjinkee, apakah kau sekarang djuga dapat memainkan napasmu?”

Si orang tua itu dapat tertawa ia berkata njaring tanpa merasakan sekarang pernapasannja bergerak lurus, tjuma tinggal sedikit sesaknja, tapi ia girang bukan main.

“Laotee, kau liehay !" katanja. Kembali ia tertawa lebar.

In Gak segera berkata sungguh-sungguh „Loodjinkee, awas

! Aku hendak mentjabut djarum ini. Nah, siaplah untuk menahan !"

Benar-benar anak muda ini dalam bekerdja, satu demi satu, perlahan djarum itu ditjabut. Maka itu si orang tua mengasi dengar rintihan perlahan. Dia merasa seluruh tubuhnja mendjadi kaku. Ketika dia telah ditepuk tiga kali, dia mendengar suaranja In Gak: ”Sekarang djangan menahan napas lebih djauh”

Sambari berkata ia mengeluarkan sebutir pel Tjiang Boen Tan dan kata: “Loodjinkee telanlah pil ini”

In Gak masih bekerdja lebih djauh. la menjuruh si orang tua membuka badjunja, untuk ia menguruti seluruh tubuhnnja.

Si orang tua merasakan bekerdjanja djeridji tangan pemuda itu, jang mendatangkan hawa hangat, jang membikin  darahnja mengalir dengan beraturan, hingga mukanja mulai bersemu dadu.

Sekira sepasangan hio, baru In Gak berhenti mengurut.

Si orang tua mengenakan pula badjunja, kedua matanja dibuka lebar-lebar, mulutnja dipentangkan katanja keras: “Bagus benar, botjah ! Tjaranja kau mengurut ini membuat aku perlu beladjar pula delapan atau sepuluh tahun, tetapi kau mengatakan bahwa kau meminta petundjukku! Oh Laotee, apakah bukannja menghina aku?”

In Gak bersenjum. Lutju akan mendengar sebentar ia dipanggil si botjah, sebentar sebentar Laotee alias si adik. Sama sekali ia tidak mendjadi kurang puas.

„Loodjinkee, sekarang telah sembuh seluruhnja penjakitmu didalam " ia kata. „Tinggal angin djahat jang belum tersapu semuja. Nanti aku membuatkan kau surat obat, lantas kau suruh pelajan pergi beli “ Ia pun minta Tjioe Lin pergi kedepan untuk memindjam perabot tulis.

Anak itu pergi sambil berlari-lari, lekas djuga ia telah kembali. In Gak lantas menulis resepnja.

Si orang tua menjaksikan bagaimana surat obat itu tjepat dibuatnja ia mendjadi kagum.

In Gak tertawa. Ia menjerahkan surat obat pada Tjioe Lin dan Tjioe Lin kembali lari keluar, untuk menjuruh pelajan membelinja.

Sementara itu, fadjar sudah tiba. Dihotel itu, suasana djadi berisik. Sekalian tetamu pada berkemas atau berangkat pergi, hingga pelajan semuanja mendjadi repot, tak terketjuali pelajan jang tadi melajani mereka. Dia sudah mandi keringat.

„Eh, engko ketjil, apakah tidak lihat aku begini repot !" katanja, ketika Tjioe Lin minta pertolongannja. la baru mengatakan demikian, mendadak ia awasi botjah, matanja dibuka lebar, agaknja ia heran, lantas ia tanja : „Bagaimana ? Tuan muda itu berhasil menolongi orang tuamu ?"

Tjioe Lin tidak sempat menjahut, ia mengangguk.

Mendengar demikian, pelajan itu menjambar obat, untuk terus dibawa lari, tak ia perdulikan tetamu memanggil- manggilnja. Ia lari kedalam kamar. Untuk herannja, ia mendapatkan si orang tua lagi duduk berbitjara sambil tertawa-tertawa dengan si anak muda. Ia berdiri mendelong. „Aku si orang tua toh tidak mati, bukan?” kata orang tua itu tertawa. „Bukankah kau merasa aneh?"

,.Ah, kau gujon, tuan….” Kata pelajan itu likat. “Uang kelebihannja untukmu !” katanja.

“Terima kasih tuan, terima kasih!” kata si pelajan berulang- ulang, “Oh kau benarlah dewa. Di kolong langit ini ada orang jang lebih pandai daripada Oey Poan Sian, benar aneh, benar aneh!” lantas dia lari keluar.

In Gak membiarkan orang pergi, ia memandang si orang tua dan kata sambil tertawa: “Loodjinkee, kalau kau bukan orang aneh rimba persilatan, kau tentu orang Kang-ouw jang luar biasa!”

“Sebutan orang aneh Rimba Persilatan tidak sanggup aku terima, kalau orang Kang-ouw luar biasa, mungkin tepat,” sahut orang tua itu, “Aku si tua she Tjhong bernama Sie, dalam Rimba Persilatan gelaranku jang ketjil jalah Kioe Tjie Sin Liong, Laotee, pernahkah kau mendengarnja?”

In Gak terkedjut hingga tanpa merasa ia berseru: “Oh, lootjianpwee kiranja Kioe Tjie Lootjianpwee jang mendjadi salah satu dari Kay Pang Sam Loo!.” Ia terus menatap tangannja orang tua itu, karena tadi ia mendapatkan djeridji tangan orang ada sepuluh tetapi kenapa disebutnja sembilan (kioe tjie). Ia djuga tidak sangka orang ada satu diantara Kay Pang Sam Loo, tiga tetua dari Partai Pengemis, jang djulukannja Kioe Tjie Sin Liong, berarti ‘Naga Sakti Sembilan Djeridji.’

Menampak sikap orang, si orang tua menundjukkan djeridjinja. Ia menambahkan: “Nah, Laotee, kau telah melihat njata atau belum?”

In Gak mengawasi. Pada tangan kiri, ia melihat djeridji tengahnja terbuat dari tembaga jang warnanja mirip dengan warna kulit tangan, hingga mendjadi satu, sedang pembuatannja bagus sekali. Ia mengangguk.

“Sebenarnja lootjianpwee, apakah telah terdjadi terhadapmu?” ia tanja kemudian. “Maukah lootjianpwee menuturkannja kepadaku?”

Tjhong Sie menundjuk pada Tjioe Lin si botjah, ia lantas memberikan keterangannja : Tjioe Lin itu anaknja Tjoan In- Tjioe Loen Thian, djago dari Yan-in. Setelah mendapat nama, Loan Thian hidup menjendiri di tepi telaga Tong Peng Ouw di ketjamatan Tong-peng, Shoatang. Ia ingin hidup aman dan damai. Selama merantau ia bentrok dengan Pouw Shia Soe Pa, empat djago dari Pouw-shia, Hoo-pak, jalah Tjhee-bian- say Yo Liang, Giam Ong Leng Tan Sioe Tjian, Tjo Siang-hoei Yo Bouw Ho dan Tjian Tjioe Koay-wan Ouw Leng. Yoe Liang itu, lima djari tangannja kena dibabat kutung. Lantas keempat djago Hoo-pak itu menghilang. Tidak tahunja mereka berguru pada seorang berilmu di gunung Tiang Pek San. Setelah turun gunung, mereka mentjampurkan diri dalam rombongan Oey Kie Pay, partai Bendera Kuning, ditiga propinsi Kangsouw, Anhoei dan Ouwpak. Mereka berniat menuntutbalas. Niat ini didengar Tjhong Nie di Iembah See-leng-kiap di Gietjiang dari orang Oey Kie Pay. Loen Thian itu sabahatnja Tjhong Nie maka Tjhong Nie segera pergi ke Tong-peng, buat mengasi kisikan dan bantuan. Ketika ia tiba di Pouw-shia, ia terlambat. Tjioe Loe Thian sudah kena dikerojok. Diwaktu menolongi, Tjhong Sie dikepung tudjuhbelas djago Oey Kie Pay. Ia berhasil membinasakan lima musuhdan menolongi Tjioe Lin untuk dibawa menjingkir.Ia dikedjar. Sjukur di tengah djalan bisa djuga ia lolos. Tiga hari tiga malam ia kabur, tanpa minum dan makan, tubuhnja pun terluka, disepandjang djalan ia terkena angin maka setibanja di Kang-touw, ia roboh. Disini ia menjembunjikan diri, maka ia menjuruh Tjioe Lin pergi mentjari Kepala Pengemis di Yang-tjioe jang bernama Tjian Leng dan menitahkan kawan ini pergi ke Ouwpak, untuk minta obat dari Liongpeng Ie-In Khioe Tjoe Beng, ia sendiri menguati diri, menanti pertolongan itu. Maka sjukur ia bertemu In Gak , kalau tidak, mestilah ia mati terlantar di hotel itu.

Mendengar itu In Gak berkasihan terhadap Tjioe Lin. Ia menggenggam kedua tangan anak itu jang nasibnja mirip nasibnja sendiri.

„Bagus lootjianpwee dapat ini,” katanja. “Setelah dia dewasa, dia tentu dapat menuntutbalas !"

„Hai, kembali lootjianpwee !” tegur Tjhong Sie, matanja dibuka lebar. “djikalau kau hargai aku, panggillah aku toako. Tentang ilmusilat, kau tentu tak beda daripada aku, laotee. Eh ja, aku sampai lupa menanja, kau murid siapa?”

„Guruku seorang pendeta," sahut In Gak. „Karena soehoe tidak mau menjebutkan namanja, menjesal aku tidak dapat membilangi. Hanja nasibku sama dengan nasibnja adik Lin ini. Tentang musuhku siapa, sampai sekarang tidak aku ketahui, maka sekarang aku lagi mentjarinja. Aku pergi ke Utara ini untuk menjusul kakak-angkatku dengan siapa aku telah membuat djandji, sekalian aku mentjari musuh-musuhku itu."

Tjhong Sie mengawasi dengan mata bersinar tadjam, lantas dia tertawa dan kata : „Sudah kita bitjara lama, masih laotee tidak menjebut sesuatu. Laotee, sifatmu sama dengan sifatku, maka itu umpamakata kau tidak telah tolong mengobati aku, suka aku bersahabat dengan kau. Kau tidak dapat menjebut nama gurumu dan siapa musuhmu, tidak apa, aku tidak mau memaksa menanjakan. Meski begitu, harus kau menjebut she dan namamu, dan siapa itu kakak-angkatmu.

Boleh, bukan ?"

In Gak tertawa.

“Nama siauwtee Tjia In Gak dan kakak-angkatku itu Kian, Koen-Tjioe Loei Siauw Thian," ia mendjawab. Kembali matanja Kioe Tjie Sin Liong terbuka lebar.

„Apa ?" katanja. „Kau djadinja bersahabat dengan si orang Kang-ouw jang nakal dan berandalan itu? Ah, dibelakang hari, kamu berdua pasti bakal mempertundjuki sandiwara jang luar biasa ! Bagaimana kalau aku si tua tak mau mampus terhitung satu diantara kamu?”

„Mana aku berani, laoko…” kata In Gak menampik. „Ah, djangan bertingkah sebagai nenek-nenek !” kata Tjhong Sie. Mendadak sikapnja mendjadi sungguh-sungguh: “Begini sadja, aku djadi loo-toa, si tua ! Shatee, bagaimana mengenai Tjioe Lin ini? Apakah dia ada harapan madju?”

In Gak tidak djadi tidak senang atas kelakuan Tjhong Sie ini, jang mengangkat diri mendjadi kakak angkat paling tua tanpa meminta persetudjuan orang. Ia bahkan senang untuk kepolosan itu. Ia pun merasa, seorang diri ia terlalu terpentjil.

„Pandangan toako pasti tidak salah !" ia mendjawab. Ia tertawa. Ia menggaruk-garuk kepala, katanja: “Kita mendjadi saudara angkat, habis bagaimana orang-orangmu memanggil aku bila mereka bertemu denganku?”

Tjioe Lin sendiri sudah lantas berlutut, memberi hormat sambil memanggil : „Samsoesiok I" Pang¬gilan itu berarti paman jang ketiga.

In Gak lekas memimpin bangun, ia kata tertawa „Gurumu tidak suka banjak pernik, mengapa kau mengangguk-angguk padaku ?"

„Sudahlah" kata Tjhong Sie tertawa. „Kau masih muda sekali, kau sekarang mendjadi orang tertua partaiku, itulah hal jang lain orang, walaupun dia minta, dia tidak bakal dapatkan, maka kenapa kau pun bertingkah? Sekarang begini sadja. Kau mau pergi ke Utara, nah kau pergilah. Aku sendiri hendak pergi dulu kepada sahabatku Gouw Kang Hie-Sioe Teng It Peng, aku sendiri hendak titipkan Tjioe Lin padanja, buat beladjar silat selama tiga tahun, setelah itu, aku nanti menjusul kau." Ia berhenti sebentar, akan merogo keluar sebuah tongpay warna hitam di-mana ada ukirannja jang indah merupakan tiga ekor naga, singa dan harimau, rupanja seperti barang kuno, terus ia sesapkan itu ditangan In Gak, seraja menambahkan: “Inilah koan-wie lenghoe dari Kay Pay, terhadap benda ini sekalipun ketua jang sekarang, akan menghormatinja. Kau bawa ini ke Utara, dimana perlu kau tundjuki kepada setiap anggauta, kau memesan kata-kata, maka djikalau nanti aku menjusul kesana, dapat aku mentjari kau. Kalau perlu, kau pun boleh minta bantuan atau bekerdja sama dengan dabang partai disetiap tempat !"

In Gak menerima baik dan menjimpan pertanda kepartaian itu, ia kata: “Toako, kau sempat bertemu di Louw Kauw Kio pada tanggal empat bulan lima. Itu waktu, djieko djuga bakal tiba disana !"

„Djangan kau kuatir !" kata Tjhong Sie tertawa, „Djandji kita berat bagaikan gunung ! Malah mungkin, sebelum kau keluar dari propinsi Shoatang, kita akan sudah bertemu pula !"

Ketika itu pelajan muntjul dengan obat jang sudah matang, dengan segera Tjhong Sie tjegluk itu.

“Kau masak pula” In Gak memerintah.

“Baik tuan,” djawab si pelajan, jang terus mengundurkan diri.

In Gak lantas adjak saudara angkat itu dan muridnja pergi ke restoran di depan. Ia tidak memesan arak, sebab Tjhong Sie belum boleh minum air kata-kata. Untuk saudara itu, ia minta bubur, maka djuga Kioe Tjie Sin Liong dahar tak bernapas…”

Tjuma tiga hari mereka berkumpul, lantas mereka berpisah. Tjhong Sie dan Tjioe Lin menudju ke Selatan , In Gak ke

Kho-yoe. Tempat itu terpisah dari Kang-touw tak lebih dari seratus lie, mendekati maghrib, In Gak sudah sampai disana, terus ia mengambil kamar di hotel Lian In, sebuah penginapan jang ‘menjolok mata’ sebab jang tinggal disitu kebanjakan orang Rimba Persilatan, sebagaimana nampak orang pada membekal pelbagai sendjata. Maka pemuda ini, jang dandan mirip peladjar diawasi dengan pandangan mata enteng.

“Tuan ada perlu apa?” tanja pelajan, jang mengantarkan tetamunja kekamar dan terus menjediakan the. Dia berdiri dengan hormat, kedua tangannja turun.

“Kenapa disini ada banjak orang Kang-ouw?” In Gak tanja, “Apakah ini biasanja?”

“Tuan peladjar dan mungkin djarang bepergian,” sahut pelajan itu, “Djadi tuan tidak tahu hal ichwal kaum Kang-ouw. Djikalau tuan ingin ketahui, baiklah, aku akan mendjelaskan,” Pelajan it uterus bersikap hormat, “Empat puluh lie dari kota ini ada sebuah dusun Tjioe kee-tjhung dengan sang tjhungtjoe, pemiliknja, jalah Liang Hoay Tayhiap, she Tjioe nama Wie Seng, gelarnja Twie Seng Tek Goat, si Pengedjar Bintang Pemetik Rembulan. Katanja dia sangat gagah. Kali ini dia merajakan ulang tahunnja jang ke-60, hari pesta jaitu tiga hari lagi. Pesta itu dibikin berbareng untuk dia mengumumkan hendak mengundurkan diri. Untuk pestanja, dia telah mengundang banjak tetamu. Disamping itu, ada lagi sesuatu jang menarik perhatian. Tjioe tjhungtjoe mempunjai seorang putri, Goat Go namanja, orangnja tjantik, ilmu silatnja tinggi, bahkan katanja melebihkan ajahnja. Nona itu mempunjai sepasang pedang mustika, namanja Kie Koat dan Tjeng Hong. Karena nona Tjioe masih merdeka, di hari pesta akan diadakan pieboe tayhwee, jaitu pertemuan persilatan, siapa dapat mengalahkan si nona, orang itu selain akan dapat hadiah pedang Kie Koat, dia pun akan memiliki si nona sendiri sebagai istrinja. Hal ini menggemparkan maka djuga hotel kami ini sekarang mendjadi ramai sekali.”

Habis berkata, pelajan itu tertawa, agaknja ia senang sekali. „Terima kasih!" kata In Gak, jang pun tertawa.

Pelajan itu tidak berdiam lebih lama lagi, sebab kebetulan ada jang memanggilnja.

Setelah beristirahat, In Gak keluar untuk djalan-djalan. Ia mendapatkan, dibanding dengan Kangtouw, Kho-yoe sepi sekali, tjuma di djalan sebelah utara jang rada ramai. Disini ia bersantap di sebuah restoran, terus ia pulang, niatnja untuk tidur siang-siang. Di tengah djalan ia melihat seorang pengemis berdiri di tepi djalan lagi meminta amal. Tiba-tiba ia ingat suatu apa. Ia menghampirkan, ia menaruh uang di tangan pengemis itu, seraja berkata dengan suara dalam: “Loodjinkee, aku ingin bitjara dengan ketuamu, dimana adanja dia sekarang?”

Pengemis itu hendak menghaturkan terima kasihnja, ia terperandjat mendengar pertanjaan itu, segera ia mengawasi tadjam, hingga untuk sekian lama itu ia berdiam sadja.

In Gak djuga mengawasi. Ia bisa mengerti kesangsian orang. Maka tanpa ajal, ia mengasi lihat tongpaynja Kioe Tjie Sin Liong.

Melihat itu, si pengemis terkedjut, tapi sekarang lekas sekali sikapnja berubah tjepat ia menjahuti, suaranja hormat: “Disini ada banjak orang, siangkong, mari turut aku jang rendah.” Lalu ia berdjalan ke sebuah gang sempit dan gelap.

In Gak mengikuti. Gang gelap sekali, sampai susah melihat lima djari tangan, tetapi itu tidak menjulitkan ia. Ia djalan terus, meski pengemis itu sudah melewati gang ketjil lain.

Didepan sebuah kuil Sam Koan Bio, ia diminta menanti sebentar, si pengemis sendiri langsung masuk.

Kuil itu tidak ada penerangannja, maka itu, didalamnja pun gelap. Dari tjahaja bintang-bintang,

Terlihat bagian luar kuil sudah pada rusak. Ini djustru tempat bagus untuk Kay Pay, jaitu Partai Pengemis jang mendjadikannja markasnja. -ooOOOoo-

Tidak lama muntjullah dua orang tukang minta-minta jang djalan didepan jalah pengemis jang tadi. Jang lainnja berusia lebih kurang lima puluh tahun, tubuhnja djangkung dan kurus. Ia memberi hormat pada In Gak sambil menanja: “Siangkong membawa tongpay Liong Say Houw partai kami, apakah siangkong hendak menitahkan sesuatu?”

In Gak bersenjum. Ia tidak lantas mendjawab, hanja menanja: “Apakah loodjinkee ketua Kay Pay disini? Aku numpang tanja nama loodjinkee”

“Aku jang rendah Pek Boen Liang” sahut Pengemis itu, “Tidak leluasa kita bitjara disini, silakan masuk kedalam.” Dan ia memimpin.

Didalam, mereka memasuki pintu samping dari pendopo untuk berduduk di kamar sebelah kanan. Disitu ada sebuah pembaringan, sebuah medja dengan empat buah kursi.

Dapurnja kate. Segala apa tampak bersih.

“Apakah she dan nama siangkong?” pengemis tanja, “Apakah siangkong sudi mengasi aku lihat tongpay partai kami itu?”

Sekarang, di tempat terang In Gak dapat melihat tegas pengemis itu, jang mukanja kuning dan berewokan dan berdjenggot, jang sepasang matanja tadjam.

“Aku Tjia In Gak,” ia menjahut seraja terus lihatkan tongpay-nja.

Mendengar nama itu si pengemis terperandjat hingga ia berseru: “Ah, kiranja Tjia siauwhiap jang menggemparkan kota Kim Hoa! Maaf!” meski begitu, dengan lekas, dengan hormat ia menjambuti tongpay atau lebih tepat ‘Sin Liong Say Houw leng’ untuk diletaki di atas medja bersama pengemis jang satunja dia berlutut untuk memberi hormat dengan mengangguk tiga kali, habis mana baru dia ambil kembali untuk dikembalikan kepada si anak muda. Setelah itu ia berkata menerangkan: “Sama sekali Sin Liong Say Houw Leng ini ada tudjuh buah, djikalau bukan ada urusan besar dan sangat penting, tidak pernah dikeluarkan. Di Pusat besar ada disimpan tiga buah dan empat jang lain oleh empat orang tianglo besar masing-masing. Pula Sin Liong Say Houw Leng ini terdiri dari dua matjam. Jang di pusat terbuat kuningan bian-kang sedang jang dimiliki empat tianglo dari perunggu, dan jang siauwhiap miliki inilah satu diantaranja. Ditundjukinja Sin Liong Say Houw Leng ini menjatakan perwakilan tiangloo, tanda dari titah jang harus dihormati, maka itu segala perintah boleh diberikan, perintah itu harus diturut oleh semua anggauta. Pula ini dapat dipakai untuk menghukum siapa jang membuat pelanggaran. Siauwhiap, aku mohon tanja, apakah siauwhiap memiliki ini karena hadiah dari seorang tiangloo?

Pertanjaan ini tidak seharusnja diadjukan olehku, dari itu terserah kepada siauwhiap sudi mendjawabnja atau tidak?”

In Gak tidak berkeberatan untuk mendjelaskan, maka itu ia lantas tuturkan bagaimana ia telah berkenalan dengan Kioe Tjie Sin Liong hingga untuk membalas budi, ia dihadiahkan tong pay itu.

Mendengar itu, Pek Boen Liang segera menekuk lututnja untuk memberi hormat.

“Tjia siauwhiap mengangkat saudara dengan Kioe Tjie Tiangloo, dengan begitu siauwhiap adalah orang tertua dari Kay Pay kami,” ia berkata, “Sekarang mohon kutanja siauwhiap hendak memerintahkan apa, biar mesti menjerbu api tak nanti kumenampik!” In Gak memimpin bangun. “Bangun, Pek Paytauw,” katanja sungguh-sungguh, “Mulailah kita membataskan perhubungan kita. Kau harus ketahui, biar bagaimana, aku bukanlah anggauta langsung dari partaimu. Dengan sikapmu ini kau membuatnja aku sukar berbitjara.”

Boen Liang berdiri dengan kedua tangan dikasi turun, tanda menghormat.

“Djikalau siauwhiap suka mengalah, baiklah Pek Boen Liang bersedia menurut” katanja tetap hormat, “Sekarang ini Oey Kie Pay mendjadi terlalu bertingkah, karena dia telah bentrok dengan Kioe Tjie Tiangloo kami tak dapat berdiam sadja!

Baiklah, Boen Liang nanti mengumpulkan semua saudara di wilajah Kangsouw Utara untuk menghadapi Pouwshia Soe Pa

!”

In Gak mengangguk.

“Kabarnja Oey Kie Pay baru bagun selama empat-lima tahun ini” katanja, “Tetapi dia telah dapat mementang pengaruhnja di tiga propinsi Kangsouw, Anhoei dan Ouwpak, maka itu dapat diduga bahwa didalamnja ada orang-orang jang pandai. Karena ini aku minta paytauw djangan bertindak sembarangan. Aku sendiri jalah orang baru dalam dunia kangouw, pengetahuanku belum banjak, djadi tentang partai itu, aku belum tahu djelas. Mengenai ini, tentulah Kioe Tji Tangloo telah mengaturnja baik-baik. Sekarang aku mohon keterangan halnja Tjioe Wie Seng, dapatkah paytauw mendjelaskan sesuatu?”

“Tjioe Wie Seng itu dari Thay Khek Pay,” Boen Liang berkata, “Setelah masuk usia pertengahan, ia tinggal di kampung halamannja hidup tenang sebagai guru silat, akan tetapi ketika ia turun tangan di Kangsouw Utara, ia dapatkan djulukannja itu ‘Liang Hoay Tayhiap’ pendekar dari Liang Hoay. Tentang sekarang ia mengundurkan diri ada sebabnja jang memaksa. Kira-kira tiga tahun jang lalu, Oey Kie Pay telah mengundang Tjioe Wie Seng masuk dalam partainja, ia menampik. Karena itu, perhubungan mereka djadi buruk, sering Oey Kie Pay datang mengatjau, saban-saban mereka kena dipukul mundur. Walaupun ada perhubungan jang buruk itu, pada permulaan tahun ini Oey Kie Pay kembali mengirim utusan, kali ini untuk melamar puterinja Wie Seng untuk Giok bin Djie Long Sien It Beng, jang berdudukan sebagai ketua Gwa Sam Tong dari Oey Kie Pay. Dialah murud Khong Tong Pay, dia belum pernah menikah. Dia dipudji tampan dan gagah. Tjioe Wie Seng bentji Oey Kie Pay, lamaran itu ditolak. Masih partai itu penasaran, masih dua kali mengirim utusan mengadjukan pula lamaran mereka. Kembali semua itu ditolak. Achirnja Oey Kie Pay mendjadi murka dan sesumbar, djikalau si nona Tjioe tidak dinikahkan dengan Sien It Beng, Tjioe Kee-tjhung hendak dibikin rata dengan bumi. Untuk ini mereka lantas memasang mata-mata disekitar Tjioe kee- tjhung.

Achirnja Tjioe Wie Seng mendjadi kewalahan, maka ia lantas menjebar surat undangan untuk kaum Rimba Persilatan menghadiri pesta ulang tahunnja jang ke-60 diwaktu mana ia hendak menjimpan pedangnja untuk mengundurkan diri sekalian mengadakan pertandingan silat persahabatan guna memilih menantu, jang nanti dinikahkan dengan puterinja.

Atjara pertandingan jalah kemenangan sepuluh kali dan jang menang itu, asal dia belum menikah, dia akan dinikahkan dengan nona Tjioe, umpama pihak Oey Kie Pay jang menang, si nona akan dipasangi dengan Sien It Beng. Pihak Oey Kie Pay ketahui baik maksudnja Tjioe Wie Seng jang mengandal keadilan Rimba Persilatan, tetapi mereka tidak takut. Mereka pertjaja partainja mempunjai banjak orang liehay dan mereka sekalian ingin mendjagoi diwilajah sini. Begitulah pihak Oey Kie Pay itu menjatakan kesetudjuannja dan sekarang ini sudah siap sedia, dari Ouwpak dan Anhoei sudah datang djago- djagonja. Tjumalah mereka itu belum mau turun tangan sebelum tiba sang waktu” Mendengar begitu, In Gak lantas mengambil putusan untuk membantu setjara diam-diam pada Tjioe Wie Seng, supaja setelah berhasil, ia dapat segera mengundurkan diri.

“Djikalau begitu, terlalu Oey Kie Pay itu,” katanja, “Aku memikir untuk membantu Tjioe Wie Seng. Apakah Pek Paytauw dapat membantu aku? Disini ada berapakah saudara jang ilmu silatnja dapat diandalkan?”

“Tentu, siauwhiap!” sahut Boen Liang, “Orang kita disini jang mengerti silat tjuma dua puluh orang lebih, akan tetapi dapat kita minta bantuan dari Liang Hoay. Asal siauwhiap suka menggunai Sin Liong Leng, dalam satu hari mereka itu bisa sampai disini”

In Gak sudah lantas mengeluarkan tongpaynja. Tapi Boen Liang menggojang-gojang tangannja.

“Tak usah siauwhiap menjerahkan Sin Liong Leng” katanja, “Tjukup asal siauwhiap mengutjapkan sepatah kata!”

In Gak mendjadi heran dan kagum. Tidak ia sangka demikian besar pengaruhnja Sin Liong Leng itu. Dari sini terbukti bagaimana sungguh-sungguh Kioe Tji Sin Liong membalas budi hingga tongpay itu diserahkan padanja.

“Baiklah!” katanja kemudian, “Aku memberikan titahku!”

Pek Boen Liang lantas memerintahkan pengemis jang tua, jang terus mengundurkan diri.

In Gak kemudian memesan, kalau Kioe Tji Sin Liong datang, agar ia diberitahukan.

Kemudian ia pamitan, untuk pulang ke hotelnja. Oleh Pek Boen Liang ia diantar sampai di djalan besar.

Ketika itu sudah hampir djam tiga. Selagi In Gak bertindak memasuki pekarangan hotel, dari dalam, dari pintu hotel rembulan, keluar tiga jang djalannja tjepat, kelihatannja mereka sudah sinting. Tanpa dapat ditjegah, mereka bertubrukan. Orang jang didepan itu mendjerit kesakitan, waktu ia memandang, ia melihat seorang peladjar muda mengawasi ia sambil bersenjum. Ia mendjadi gusar sekali.

“Anak tjelaka!” ia berteriak. Kau telah membentur dada Ho Toaya hingga Ho Toaya merasa sakit, kenapa kau tidak mau lekas matur maaf?”

“Kau aneh tuan!” sahut In Gak, tertawa dingin, “Djusteru kaulah yang tidak mempunjai mata, djikalau aku tidak keburu kelit, mungkin terjadi perkara djiwa! Sudah kau sinting, kau masih kelajapan! Bukankah lebih baik kau pulang dan rebah di pembaringanmu sebagai majat?”

“Hai kurang adjar!” berteriak orang she Ho itu jang menjebut dirinja ‘tuan besar’ (toaya). Kau berani mengadjari aku? Anak tjelaka, kau rebahlah!”

Kata-kata ini ditutup dengan tindjunja jang besar dan keras.

Bagaikan kilat tjepatnja, tangan In Gak menjambar memapaki lalu tiga djeridjinja memegang nadi orang, jang terus dilempar hingga seketika itu djuga ‘tuan besar’ she Ho itu terpelanting roboh delapan tindak.

Tanpa menghiraukan orang mati atau terluka, si anak muda terus bertindak masuk.

Kedua kawannja orang she Ho itu kaget. Peristiwa itu berdjalan tjepat sekali. Ketika mereka menghampirkan kawan mereka, untuk dikasi bangun, mereka djadi lebih kaget lagi. Lengan kanan kawan itu bengkak besar sekali. Tidak ajal lagi, mereka memajang kawan itu untuk lekas menjingkir.

Ketiga orang itu buaja darat semuanja, mereka tahu mereka telah bertemu orang liehay, takutnja bukan main, maka itu, mereka segera mengangkat kaki. Sedjumlah tetamu muntjul karena rebut-ribut, waktu mereka menjaksikan peristiwa itu, mereka pada tertawa. Tapi diantaranja ada djuga jang memperhatikan si anak muda.

Besoknja pagi, selagi In Gak keluar dari kamarnja, untuk membuang air, di depan ia, diluar kamar nomor tiga, ada dua orang tengah memasang omong, kapan mereka melihat ia, mereka itu mengangguk dan bersenjum djuga, meski ia tidak kenal mereka itu, ia mengambil sikapnja itu sebagaimana lajaknja sadja. Ketika ia memutar tubuh, untuk kembali ke kamarnja, ia melihat dua orang itu bertindak kearahnja. Tanpa merasa, ia menunda tindakannja.

Dari dua orang itu, jang satu berumur lebih kurang empat puluh tahun, mukanja bersemu merah, sepasang matanja tadjam,badjunja biru, dipunggungnja ada golok Gan leng Kioe- sit-too. Jang lainnja umur kira-kira lima puluh tahun, kumisnja sudah putih semua, tubuhnja sedang, matanjapun tadjam, badjunja abu-abu pandjang sampai di dengkul, tjelananja sepan. Dia membekal sebatang tongkat Hoed-tjioe-koay. Dia bermuka merah.

“Tuan hebat sekali, ilmu silatmu Kim-na-tjioe!” kata dia ini tertawa, “Kami kaguml"

“Itulah tidak berarti," In Gak berkata merendah, „Silakan masuk!”

Dua orang ini tidak menampik, maka dilain saat, mereka bertiga sudah didalam kamar.

Si tua tak berlaku sungkan lagi.

,Aku si tua Hoei-in-tjioe Gouw Hong Pioe," dia memperkenalkan diri. „Dan ini saudara Patkwa Kim-Too The Kim Go. Tuan, kau she apa?"

„Terima kasih!" sahut In Gak, hormat. “Aku jang rendah she Gan nama Gak." Pemuda ini menganggap perlu ia mengubah she dan nama setelah di Kim-hoa ia membuat kegemparan, ini djuga perlu untuk menolongi Tjioe Wie Seng. Pula ia belum kenal kedua orang she Gouw dan she The ini.

Dua orang itu saling mengawasi nampaknja mereka heran.

Nama Gan Gak itu aneh.

"Oh, Gan Siauwhiap!" kata Hong Pioe: “Didalam Oey Kie Pay siauwhiap memangku djabatan apakah?”'

Hati In Gak bertjekat. Mungkiln orang ini salah mengenali.

,Aku bukan orang Oey Kie Pay," ia mendjawab, „Aku ini dari Kangsay mau pergi ke Uta¬ra, kebetulan sadja aku lewat disini dan mampir, sebab aku mendengar kabar Tjioe Tayhiap hendak mengadakan pesta besar. Ingin aku menonton orang pie-boe. Oey Kie Pay itu perkumpulan kenamaan. Apakah tuan-tuan hendak mentjari salah satu orangnja?”

Mendengar itu Hong Pioe memandang Kim Go dan tertawa lebar.

“Apa kataku?” katanja, “Begitu aku melihat, aku pertjaja Gan siauwhiap bukan orang sebangsa mereka itu! Sekarang baru kau pertjaja aku, laotee!”

Muka Kim Go kelihatan merah.

„Gan sianwhiap, mari kami memperkenalkan diri," kata pula Hong Pioe, jang terus memberikan keterangannja tanpa diminta lagi, hingga sekarang ia ketahui baik siapa adanja dua orang ini.

Gouw Hong Pioe dan The Kim Go terkenal sekali di Kwan- gwa. Mereka tinggal di Utara Charhar sebagai pemilik peternakan „Charhar Utara." Selama belasan tahun, kuda mereka berdjumlah empat-sampai limapuluh ribu ekor. Tjioe Wie Seng sahabat akrab mereka: Sekarang mereka datang kemari karena menerima undangan. Setelah bertemu dengan Wie Seng mereka lantas menjewa kamar dihotel Lian In. Sudah tudjuh hari mereka datang. Setjara diam-diam mereka tengah manjelidiki gerak-gerik orang-orang Oey Kie Pay. Baru sadja mereka memikir untuk kembali ke Tjioe-kee-tjhung, mereka berkenalan dengan In Gak, jang mereka kenal sebagai Gan Gak.

„Djikalau siauwhiap niat pergi ke Tjioe-kee-tjhung, kenapa kita tidak mau pergi bersama?" Hong Pioe mengadjak, “Dengan begitu kita tak usah kesepian ditengah djalan. Kami pun mengharap bantuan siauwhiap”

In Gak berpikir, lantas ia menerima baik adjakan itu. “Hanja aku minta djanganlah saudara-saudara terlalu tinggi

mengangkat aku” pintanja.

“Djusteru siauwhiap jang terlalu merendah,” kata Hong Pioe tertawa, “Nanti kami merapihkan dulu pauwhok kami, habis bersantap, baru kita berangkat”

In Gak akur, maka ia mengantar kedua sahabat baru itu pergi keluar. Selagi Hong Pioe berdua masuk ke kamarnja, ia terperandjat. Di depan ia, dari sebuah kamar, ia melihat muntjulnja seorang nona jang berbadju merah jang tjantik sekali, alisnja lentik, matanja tadjam, hidungnja bangir, mulutnja ketjil dua baris giginja putih. Potongan mukanja jalah potongan kwatji. Sudah pakaiannja singsat, dia pun memakai ikat pinagang putih dimana ada tergantung pedang dengan runtje hidjau, sedang tangannja memegang sebatang tjambuk. Sepatunja berwarna hitam.

„Mesti dia mahir ilmu-dalamnja," pemuda ini berpikir.

Si nona dapat melihat orang memperhatikan ia, atjuh tak atjuh, ia bersenjum, terus ia tertawa seraja terus berlalu dengan tjepat. Setelah berumur hampir dua puluh tahun itu, baru kali ini In Gak melihat pemudi setjantik itu, saking kagum ia mendjadi berdiri mendjublak sadja. Ia bagaikan merasa kosong begitu lekas si nona lenjap dari pandangan matanja, dengan tidak keruan rasa ia masuk kekamarnja.

Lekas sekali Hong Pioe dan Kim Go muntjul pula. Mereka sudah menggembol buntalan mereka.

“Siauwhiap, uang hotel kami telah bereskan,” katanja tertawa, “Mari kita bersantap, supaja kita bisa lekas berangkat”

Pemuda ini bersiap tjepat, maka bertiga mereka pergi ke rumah makan, untuk sarapan dengan begitu dilain saat, Nampak mereka sudah mulai dengan perdjalanan mereka menudju ke Tjioe-kee-tjhung, jang pernahnja lima puluh lie dari kota Kho-yoe kedudukannja berdamping dengan gunung dan sungai, gunungnja hidjau, airnja djernih, sekitarnja sunji dan njaman.

Penduduk Tjioe-kee-tjhung, sedjumlah limaratus keluarga, hidup bertani dan mentjari kaju, sedang rumahnja Tjioe Wie Seng berada ditengah-tengah, besar gedungnja, lebar pekarangannja. Dilihat sepintas lalu rumah itu merupakan seperti separuh dusun. Sekitar rumah dikurung air, jang lebar sepuluh tombak, dan dalamnja air setombak lebih. Terutama di-itu waktu, terlihat beberapa tjhungteng tengah meronda. Di tengah lian-boe-thia, jaitu lapangan berlatih, berdiri sebuah loei tay, panggung untuk bertanding jang ditjat merah serta sepasang liannja bertuliskan huruf-huruf air emas, bunjinja:

„Jang datang, jang pergi, semua orang gagah" dan „Semuanja polos dan djudjur, tidak ada jang telengas dan palsu." Loeitay itu diberi nama „Wan Yo Tay," atau panggung burung wanyo. (Burung wanyo, jaitu bebek mandarin, lambang suami is¬teri jang rukun). Dekat samping panggung ada gubuk atau tetarap jang bersih lengkap dengan kursi-mendja jalah peranti orang berteduh dan menjaksikan pie-boe atau pertandingan. Ketika itu sudah berkumpul lebih dari lima puluh tetamu kawan tuan rumah. Ketjuali tamu, pengurus dan pelajan begitu repot, pula ada tetamu jang membantu mengawasi orang-orang Oey Kie Pay, untuk mengawasi mereka kalau mereka main gila.

Sebagai tetamu baru, In Gak tidak mendapat tugas apa- apa, sehingga leluasa ia melihat-lihat, seakan-akan memperhatikan sluruh Tjioe-kee-tjhung, habis mana seorang diri ia kembali dengan puas ke Kho-yoe untuk mengadjak Pek Boen Liang, untuk mengatur segala apa, guna membantu urusannja, sesudah itu ia balik pula ke Tjioe-kee-tjhung. Ia sudah mendengar laporan dari Boen Liang, jang sudah menjiapkan lebih daripada enampuluh djago, bahkan diantaranja sudah ada jang turun tangan mengawasi mata- matanja Oey Kie Pay jang bersembunji di tudjuh tempat di luar dusun.

Saat itu, lohor djam tiga, Sang Betara Surya mulai tjondong ke barat, diantara pepohonan jang lebat dekat lauwteng Pek lok, bagian dalam dari ranggon Tjioe Wie Seng, ada berdiri seseorang dengan pakaian hitam terus dia nelusup masuk taman bunga, disitu dengan sebutir batu sebesar katjang dia menimpuk kearah lauwteng. Hasilnja tidak kedengaran apa- apa dia mendekati rumah lantas dengan lidahnja dia membasahkan kertas djendela, untuk mengintai kedalam.

Itulah kamarnja Nona Tjioe. Ketika dia membongkar djendela, dari sisinja dia mendengar suara tertawa dingin perlahan. Dia terkedjut lantas dia memutar tubuh. Tapi dia tidak melihat ada orang. Tentu sekali dia mendjadi heran. Tengah dia memasang mata, mendadak pundaknja jang kanan terasa kaku, tanpa dia menghendaki goloknja djatuh kelantai papan papan lauwteng hingga terdengarlah suara berbisik. Dengan satu sabetan tangan kiri, orang itu membatjok kebelakang, terus dia lompat turun, setibanja di tanah, dia memasang kuda-kuda dengan goloknja disiapkan. Dia melihat ke sekitarnja. Tetapi dia tidak mendapatkan siapa djuga.

Taman itu sunji seperti semula tadi, tjuma pohon-pohon bunga bergojang sendiri karena sampokan angin halus. Di belakangnja dia mendapatkan bajangannja sendiri, pandjang dan ketjil mirip gala.

“Apakah ini disebabkan hatiku terlalu bergelisah?” dia kata dalam hatinja. Dia mendjadi ragu-ragu. “Mulanja telingaku mendengar suara tertawa, lantas pundakku kaku…Apakah itu bukan sebab gangguan asabab?” Dia djadi bersenjum sendirinja. Lantas dia berpikir pula: “Aku telah mendapat tugas tidak dapat aku pulang dengan tangan kosong, atau selain aku bakal ditegur, orangpun akan mentertawainja.

Akulah Sam Tjioe Khong Khong Tjie Ek, si radja pentjuri.”

Oleh karena dapat memikir demikian, orang jang menjebut dirinja “Sam Tjioe Khong ini, jalah si radja pentjuri bertangan tiga, sudah lantas mendjedjak tanah pula, akan kembali berlompat naik keatas lauwteng. Kesunjian taman itu membuatnja berani sekali.

Kali ini, belum lagi dia tiba di lauwteng, baru dia terpisah dari tanah kira lima kaki, sekonjong-konjong paha kirinja, di djalan darah dengkul sebelah dalam, terasa terpagut sesuatu, njerinja mendesak ke ulu hatinja, hingga tak ampun lagi, berbareng dengan keluhannja tertahan, dia roboh terbanting, hingga debu mengepul naik disekitarnja. Bukan main dia kaget dan takut, sedjenak itu, tak lain ingatannja ketjuali untuk menjingkirkan diri. Paling dulu dia terus menggulingkan tubuhnja, dalam gerakan si “Keledai malas bergulingan” untuk bergelindingan ke gombolan pohon bunga, untuk menjembunjikan diri disana tanpa berkutik, tanpa bersuara. Dari luar tempat ia bersembunji itu Tjie Ek lantas mendengar suara tertawa dingin disusuli edjekan tak sedap untuk telinga : “Bangsat dogol!” Untuk kupingnja, nada suara itu sangat menusuk hati, hingga dia merasa terganggu seperti kupingnja didengungkan suara njamuk.

Dia mendjadi kaget berbareng takut. Baru sekarang dia menduga kepada seorang liehay jang mengawasi padanja. Segera dia merajap untuk menjingkirkan diri ke samping.Dia ingin keluar diam-diam, seperti tadi dia masuknja, tanpa menemui orang. Setelah merasa aman, perlahan-lahan dia berbangkit untuk menongolkan kepala dari lebatnja pepohonan.

“Ih!” tiba-tiba dia berseru tertahan, saking kaget. Di depannja dia melihat sepasang kaki manusia. Tubuhnja bergidik tanpa dia merasa. Ketika dia sudah mengawasi lebih djauh, dia melihat tubuh seorang jang tertutup djubah abu- abu, dadanja lebar, pinggangnja tjeking, sepasang tangannja putih, sedangkan mukanja beda dari kebanjakan orang, inilah muka dari satujat, biru gelap atau matang biru, air mukanja dingin, alisnja lanang, sebaliknja, sinar matanja jang tadjam sekali mendatangkan rasa membangunkan bulu roma.

Tak dapat Tjie Ek mengangkat kepala pula, hatinja mendjadi tjiut.

“Tolong tuan, tolong membiarkan aku pergi pulang…” katanja, tubuhnja gemetaran.

Orang itu tidak menjahut, tjuma sinar matanja jang memain bengis.

Sam Tjioe Khong Khong bergidik, dia menggigil sendirinja.

,,Djikalau tuan tidak ada perlu apa-apa tagi, maaf, tidak dapat aku menemani lebih lama pula, “ kata dia pula seraja tubuhnja mentjelat, untuk naik ke tembok. “Tak dapat kau lari!” kata satu suara dingin, disaat dia berlompat tinggi tiga kaki. Mendadak dia merasa kaki kanannja njeri dimana dia djatuh terbanting sehingga kepalanja pusing, matanja kabur, disitu dia rebah terkulai bagaikan tenaganja habis, terasa sakit dan ngilu seluruh tubuhnja, sedang djidatnja mengeluarkan peluh sebesar katjang kedele. Dia terus merintih. Di depannja, dia melihat si orang tadi berdiri diam dengan mukanja tertawa dingin.

Tapi tak lama, orang itu memutar tubuhnja, sebelah tangannja dibawa kemukanja. Ketika ia memutar tubuhnja kembali, sekarang tertampaklah wadja pemuda jang tampan. Lantas ia bertindak perlahan-perlahan, berlalu dari situ.

Tjie Ek heran dan berkuatir, sedang dia biasanja tidak kenal takut, sebagaimana kali ini, dia menjateroni Tjioe-kee-tjhung diwaktu lohor. Memang biasa setiap pentjuri bekerdja di waktu malam, tetapi dia ini telah memikir, djikalau dia dating malam, pasti pendjagaan kuat dank eras. Maka dia bekerdja siang. Dia pandai nelusup, tanpa menemui rintangan, dia dapat masuk kedalam taman bunga. Dia pertjaja, umpama kata dia dipergoki, pihak pendjaga bakal menduga dialah salah satu tetamu. Sudah sedjak beberapa hari, banjak orang dating dan pergi, kawan dan lawan tak diketahui, tak dikenali. Sampai sebegitu djauh, dia tak kepergok, hingga hatinja girang sekali diluar dugaannja, disaat dia bakal berhasil, dia roboh ketjewa dan menderita, hingga runtuhlah nama besarnja.

Malam itu ruangan Tjie-eng-thia dari rumahnja Tjioe Wie Seng terang mirip siang hari. Wie Seng berseri-seri sambil tertawa gembira. Disitu pun hadir Tjia In Gak bersama Gouw Hong Pioe dan The Kim Go, serta sahabatnja dua orang ini, jang baru tiba tadi pagi jalah Kim bian Gouw Khong Hauw Lie Peng. Mereka berempat berdiam di podjok kanan dimana mereka memasang omong perlahan sekali. Tepat tengan orang berbitjara dengan asjik itu, seorang tjhungteng lari masuk dengan tergopoh-gopoh terus dia menghampirkan Tjioe Wie Seng untuk melaporkan: “Tjhungtjoe, pendjaga keempat telah mendapatkan seorang terluka rebah di dekat lauwteng Pek Tjin Kok, dia menjebutkan dirinja Sam Tjioe Khong Khong Tjie Ek”

Wie Sang mengerutkan alis, „Bawa dia kemari!" la menitahkan.

Tidak lama, Tjie Ek telah digotong masuk, diletaki dilantai.

Dia masih mengeluarkan keringat didjidatnja, sedang pakaiannja kujup dengan peluhnja itu. Tubuhnja pun bergemetaran, dan mukanja putjat sekali.

“Tjioe Tayhiap berlakulah murah!" kata sipentjuri liehay, sua¬ranja lemah. „Tolong mambebaskan aku dari totokan, nanti aku omong terus-terang."

Wie Seng heran, ia mendekati sambil menduga-duga apa mungkin Tjie Ek datang dengan maksud buruk dan ada orang jang telah memergokinja sekalian meroboh-nja. Ia lantas menotok, berniat membebaskan.

„Aduh! Aduh!" Tjie Ek berteriak-teriak. Dia bukannja bebas, dia merasakan sakit luar biasa.

Wie Sang merah mukanja, ia mengawasi melongo.

Dari antara para hadirin ada seorang tua, jang menghampirkan Tjie Ek. Ia membalik tubuh orang untuk menotok punggungnja tiga kali, disusul sama satu tepukan keras. Mendadak si pentjuri mendjerit keras, dari mulutnja menjembur reak, setelah itu dia dapat bangun berdiri, hanja dia lesu sekali.

Si orang tua menghela napas, ia berkata : “Orang jang telah menotok itu liehay sekali, kalau dia menotok lebih keras sedikit sadja, djiwa orang ini bakal terbang melajang. Inilah ilmu totok jang djarang ada, sudah beberapa puluh tahun aku mentjoba mempeladjari, aku tetap tidak berhasil. Apa jang aku bisa jalah tjuma ilmu membebaskannja."

Mendengar itu, Wie Seng menghadapi orang tua itu, sembari tertawa ia berkata: „Sebegitu djauh jang aku ketahui, djarang sekali kau memudji orang, baru sekarang aku mendengar In Liong Sam Hian To Tjiok Sam berbitjara begini rupa!"

Kapan In Gak mendengar orang itu jalah To Tjiok Sam gelar In Liong Sam Hian, si „Na¬ga langit jang tiga kali muntjul dimega," jang pun dikenal sebagai Kwan-gwa It Tjiat, si orang gagah nomor satu dari wilajah Kwan-gwa, ia memandangnja beberapa kali. Selama di Tjin Tay Piauw-kiok, pernah ia mendengar Siauw Thian membitjarakan halnja djago she To itu, jang katanja liehay ilmunja luar dan dalam, kesohor ilmunja ringan tubuh terutama tangannja, jang dinamakan Taylek Kimkong Tjiang, atau „Tangan Arhat Kuat." Pukulannja itu, jang biasa dilakukan sambil berlompat katanja, dapat mengenai orang dalam djarak sepuluh tombak.

“Tjie giesoe,” Wie Seng menanja, panggilannja hormat tetapi suaranja keren, “Apa maksudmu datang ke gedungku ini? Sukalah kau omong terus terang tidak nanti aku sembarang bertindak terhadap dirimu.”

Tjie Ek menjeringai, dia djengah sekali.

„Aku telah dibebaskan dari totokan, tidak dapat aku tidak membalas budi,” sahutnja. Lantas dia memberikan keterangannja, mendengar mana para hadirin kaget bukan main.

Partai Bendera Kuning, Oey Kie Pay, dikepalai oleh Pat Pie Kim-kong 0e-boen Loei si Tangan Delapan sebagai paytjoe, ketuanja. Dialah murid satu-satunja dari Shatohuoto, seorang pendeta hanu dari Tibet, kepandaian siapa ia telah berhasil mewariskan delapan sampai sembilan bagian. Dia pun tjerdik sekali. Umurnja baru empat puluh lebih. Dia membangun partainja baru tiga tahun, kemadjuannja sudah pesat sekali, pengaruhnja meluas diketiga propinsi Kangsouw, Anhoei dan Ouwpak. Besar tjita-tjitanja, dia ingin mementang pengaruhnja itu hingga di sembilan propinsi disepandjang sungai Tiang Kang. Selama dua tahun dulu dia sudah mulai menelan beberapa partai ketjil di sembilan propinsi itu. 

Kemudian dia menghadapi tentangan keras, lantas dia mengubah siasat, dari keras mendjadi lunak, jalah dengan mengambil hati orang-orang jang kosen, untuk bekerdja sama.

Siapa tidak mau bekerdja sama, dia tjoba membikin tjelaka, dengan dibunuh setjara menggelap atau difitnah. Demikian Tjioe Wie Seng hendak dia tarik kedalam partainja, karena tjhungtjoe dari Tjioe-kee-tjhung ini menentang, dia lantas menggunai siasat. Dia sendiri sebenarnja menganggap Wie seng masih boleh dibiarkan sadja. Jang berkeras menghendaki ini jalah Hoe paytjoe Liat-ho-tjhee Tjin Lok, si Bintang Api berkobar. Ia ini kata, Wie Seng kepala besar. Disamping itu ia sebenarnja menjimpan maksud lain. Jalah ia mengintjar sepasang pedang mestika Wie Seng, atau sedikitnja sebatang diantaranja. Kioe Koat atau Tjeng Hong, supaja dengan bersendjatakan pedang itu ia djadi semakin kosen. Wie Seng pun tidak dapat ditindas dengan kekerasan sebab Oe-boen Loei masih djeri terhadap pemerintah Boan, jang sedang makmur dan kuatnja. Dia kuatir nanti terbit peristiwa besar hingga dia ditindas pemerintah. Dilain pihak, dia tidak sudi bentrok sama ketua mudanja, maka dia suka mengalah terhadap siasatnja Tjin Lok itu.

Demikian Sien It Beng digunai sebagai alat untuk melamar Nona Tjioe. Lantaran Wie Seng bertindak hendak mengundurkan diri dan mengadjukan sjarat pie-boe guna menntjari djodoh puterinja, mau tidak mau Tjin Lok melakukan persediaan berbareng menggunai kekerasan setjara diam-diam andaikata It Beng gagal. Ia menjiapkan segala apa untuk penjerbuan . Goat Go hendak ditjulik, supaja penjelesaian datap dilakukan setjara “lunak.” Tjie Ek telah diberi tugasnja itu. Menurut rentjana, Tjie Ek mesti bekerdja pada satu hari dimuka pie-boe, jaitu diwaktu malam Goat Go mesti dibikin pulas dengan asap bius. Kalau Tjie Ek berhasil, dia mesti memberi tanda, nanti Tjioe-kee-tjhung hendak diantjam untuk diserbu. Kalau semua orang Tjioe-kee-tjhung keluar untuk menangkis serbuan, Tjie Ek mesti bekerdja terlebih djauh mentjuri kedua pedang. Di saat katjau, diduga gedung kosong dan Tjie Ek bisa bekerdja dengan leluasa.

Setelah berhasil, pihak penjerbu bakal lekas mengundurkan diri.

Untuk djadi penjerbu ini, dipilih musuh-musuhnja Wie Seng, supaja Oey Kie Pay dapat mentjutji tangan. Bahkan sebaliknja Oey Kie Pay akan memberikan djandjinja hendak membantu, dalam waktu tiga bulan, si nona bakal dapat ditolong. Tentu sekali, Sien It Beng jang bakal djadi penolong palsu itu, supaja karena mengingat budinja, Goat Go suka menikah dengannja. It Beng itu mempunjai roman tak dapat ditjela. Akan tetapi Tjie Ek bukan bekerdja malam, dia bekerdja siang, latjur untuknja, dia kepergok dan kena ditawan. Bahkan terpaksa  dia mesti membuka rahasia.

Semua orang kaget mendengar kebusukan Oey Kie Pay, jang menggunai akal muslihat kedji itu. Sjukurlah ada si penolong tidak dikenal, hingga usaha Tjie Ek dapat digagalkan, hingga sekarang rahasia Oe-boen Loei atau Tjin Lok terbuka.

“Sajang kau dirintangi, Tjie giesoe,” kata Wie Seng kemudian, “Dapatkah kau mendjelaskan,bagaimana romannja orang jang merobohkan kau itu?” Dengan djengah Tjie Ek mentjeritakan semua halnja. Wie Seng heran, matanja menjapu semua hadirin. “Siapakah sahabat itu?” tanjanja bersenjum, “Apa ada

diantara saudara-saudara jang mengenal ia?”

Semua orang saling mengawasi. Ketika Hong Pioe memandang In Gak, hatinja berkata: “Mungkinkah dia ini? Tapi menurut Tjie Ek, orang itu liehay sekali, sedang dia ini masih terlalu muda. Siapakah dia itu?”

In Gak telah menjalin pakaian, ia menduga pengusaha ternak ini mentjurigai ia, maka sambil tertawa ia kata: “Saudara Gouw, menurut Tjie Ek orang itu mesti seorang gagah luar biasa, maka aku ingin sekali dapat berkenalan dengannja”

“Aku pun sangat ingin menemui dia!” kata Hong Pioe, “Tapi dia orang luar biasa, djikalau dia tidak memperlihatkan dirinja, meskipun kita bertemu dengannja, sukar untuk mengenalinja!”

Habis berkata orang she Gouw itu tertawa lebar.

In Gak mengangguk, ia tertawa, ia tidak bitjara lagi.

Lantas Wie Seng memerintahkan Tjie Ek dikurung dalam kamar batu. Dia akan dibebaskan kapan waktunja telah tiba. Dilain pihak, ia menitahkan pendjagaan terlebih keras dan hati-hati.

Demikianlah, malam itu lewat dengan aman. Tapi itu bukannja tak terdjadi sesuatu. Karena Tjie Ek tidak kembali, Tjin Lok mengirim tiga orang untuk mentjari tahu. Tjelaka mereka ini, dipegat seorang bertopeng dan dibikin roboh dengan totokan, terus mereka diantar pulang ke markas mereka. Kapan sang pagi datang, Tjioe-kee-tjhung mendjadi ramai sekali. Tetamu-tetamu datang tak putusnja. Repot orang melakukan penjambutan dan melajani mereka semua.

Gubuk timur dipakai untuk tetamu-tetamu jang membantu pihak tuan rumah, gubuk barat untuk semua tetamu lainnja, jang terdiri dari orang dari segala matjam golongan. Dari pihak Oey Kie Pay, Oe-boen Loei mengirim Tjin Lok beserta belasan djagonja. Diantaranja terhitung Sien It Beng.

Tjioe Wie Seng dan puterinja duduk di tetarap timur, didampingi In Liong Sam Hiap To Tjiok Sam. Mata dia ini tadjam mengawasi ke tetarap timur. Diatas medja terletak sepasang pedang jang sarungnja tertaburan batu merah, sedang runtjenja sutera kuning gading.

In Gak duduk di baris pertama, di medja kedua. Bersama ia ada rombongannja Gouw Hong Pioe. In Gak pernah bertemu dengan Nona Tjioe, ia menganggap nona itu toapan, benar dia tidak tjantik luar biasa tetapi toh menarik hati, hingga ia memikir: “Entah bagaimana tabiatnja Nona Tjioe ini…” Ia memikir demikian karena ingat Nona Wan Lan, jang lagak lagunja memuakkan. Memangnja ia tak pernah mentjitjipi rawatan dan kasih sajang ibunja, dari itu, mengenai wanita, ia asing sekali.

Goat Go sebaliknja, begitu ia melihat In Gak, meresap sudah kesannja jang baik. Pemuda itu tampan, halus gerak- geriknja.

Tapi ia tidak bisa memikirkan pemuda itu. Sekarang ia sudah tidak bebas pula, ia bakal djadi rebutan orang banjak. Umpama kata In Gak turut naik di panggung, ia pertjaja pastilah dia tidak bakal sanggup melawan banjak iblis.

Selagi In Gak mengawasi ke tetarap barat, tiba-tiba hatinja bertjekat. Disana ia melihat si nona berbadju merah, jang lenjap dalam sekelebatan di hotelnja kemarin ini. Hampir ia mendjerit sendirinja. Nona itu baru tiba, Dia diantar masuk oleh pelajan. Dia masih memegang tjambuknja jang hitam mengkilap, rupanja terbuat dari otot. Begitu tiba, matanja menjapu kelilingan, baru dia berindak ke gubuk, tindakannja tetap.

Semua hadirin, baik dari tetarap timur, maupun dari tetarap barat, turut tertarik hatinja, semua mengawasi si nona badju merah itu. Dia langsung menghampirkan Tjioe Wie Seng, untuk berbisik, atas mana, tuan rumah nampak girang. Lantas dia diundang duduk bersama Nona Tjioe dan diadjar kenal degan To Tjiok Sam beramai.

„Gan Siauwhiap, bagaimana kau lihat nona badju merah itu Itu?" tiba-tiba In Gak mendengar pertanjaan selagi ia mengawasi si nona . la terperandjat, mukanja bersemu dadu. Tahulah ia jang ia ditegur karena mengawasi orang.

“Dia tak ada tjelaannja, Gouw Tiongtjoe,” ia mendjawab, “Apakah tiangtjoe tahu siapa nona itu?”

Hong Pioe tertawa, tetapi ia menggeleng kepala.

Ketika itu tengah hari tepat, tiba waktunja pie-boe dimulai, maka terdengarlah pertanda, suara gembreng tiga kali, disusul dengan letusan petasan diluar kalangan Tjioe Wie Seng dan gadisnja terus berbangkit untuk naik di panggung Wan Yo tay. Wie Seng bersenjum. Si nona mengenakan badju hidjau, di pinggangnja tergantung pedangnja. Ia berdiri disisi ajahnja.

Letusan petasan disusul tempik sorak, setelah suara mendengungnja berhenti, sirap djuga sorak-sorai.

Tjioe Tjhungtjoe mengenakan djubah sulam, kumis dan djenggotnja jang putih pandjang sampai di dada, ia berdiri tegak, nampaknja keren. Ia memberi hormat kearah timur dan barat, terus ia berkata: “Hari ini hari ulang tahunku jang ke- enam puluh, aku girang dan bersjukur sekali atas kundjungan semua sahabatku, tak dapat aku membalas budi, maka aku minta sudilah saudara-saudara minum dan dahar sekedarnja”

Kata-kata itu disambut tempik sorak.

“Berbareng dengan perajaan tak berarti ini, aku pun membangun ini panggung wan Yo Tay” tuan rumah berkata pula, “Inilah untuk anakku, jang telah berusia dewasa. Oleh karena aku keras sekali memilihnja, sekian lama belum aku mendapatkan menantu jang tjotjok maka itu, setelah usiaku landjut ini, aku memikir mengadakan pertandingan diatas panggung, guna mendapatkan djodoh anakku. Para hadirin, siapa ingin bertanding, haraplah memperhatikan sjaratku. Dia harus berumur tak lebih tiga puluh tahun, dia pun mesti belum beristeri. Pertandingan dibataskan hanja sepuluh kali. Karena inilah pertandingan persahabatan, setiap tjalon harus bertanding hanja hingga saling sentuh sadja, djangan sampai ada jang melewatkan batas hingga melampaui maksud sutji dari pertandingan ini. Pula, pertandingan diadakan tjuma selama tiga hari, selewatnja itu, aku jang rendah hendak menjimpan pedangku. Maka, saudara-saudara, sudilah semuanja mengerti maksudku ini. Sekian, terima kasih!”

Kembali gemuruh tempik sorak para hadirin.

Setelah suasana sirap, Wie Seng mengadjak gadisnja turun, akan kembali ke kursi mereka di tetarap timur.

Segera terlihat naiknja dua pemuda ke atas panggung, dengan bersendjata tombak dan golok pendek, mereka terus bertanding. Mereka bukan orang-orang pandai tetapi senang untuk menjaksikan pertandingan mereka.

Di kedua tetarap, para pelajan mulai menjadjikan barang hidangan serta araknja, arak simpanan Tiok-yap-tjeng, maka dilain saat, orang sudah mulai bersantap.

Umumnja kaum muda, jang ingin bertanding, tak tenang hatinja. Tak tahu mereka, siapa bakal dapat memenangkan sepuluh pertandingan. Waktu tiga hari pun tjukup lama. Di hari pertama ini, orang tak bernapsu untuk segera naik ke panggung. Maka sampai djam satu, belum ada pertandingan jang berarti. Jang bertempur adalah pemuda-pemuda Tjioe- kee-tjhung, seperti dua pemuda jang pertama itu. Mereka hanja memulai untuk membantu meramaikan.

Akhirnja dari tetarap barat terdengar satu suara dalam : ‘Kenapa jang naik ke panggung tjuma tukang silat kembang sadja, jang tak sedap dipandang? Buat apa mereka ini ditondjol-tondjolkan? Entah mereka murid siapa, tetapi ada muridnja tentu ada gurunja! Hajo kamu lekas turun, nanti aku lemparkan kamu satu demi satu!”

Mendengar itu, kawanan sesat di barat itu pada tertawa berkakakan.

Di timur ada orang jang mendjadi mendongkol sekali, hingga dia lantas sudah naik ke panggung, untuk menghadap ke barat dan berkata dengan menantang: “Sahabat, kau sudah minum tjukup, kau sudah gegares kenjang, buat apa kau bersuara seperti babi? Kenapa kau tidak mau muntjul sadja?”

Dialah Ngo-pou Twie-hong piauw Lo Tek Hok.

Tantangannja disambut seorang dari barat, jang muka dan kumisnja merah, kumisnja itu kaku, romannja bengis, matanja pun gedeh. Dia berseru: “Binatang, hebat kau mentjatji! Aku Siang-Kang It Sioe Pit Siauw Giam bukan sembarang orang, maka kau sebutkanlah namamu!”

Lo Tek Hok terkedjut. Ia tahu orang she Pit itu jalah begal tunggal kesohor di wilajah Siang Kang, mahir ilmu dalam dan luarnja, kedjam sifatnja. Tapi ia tidak takut. Ialah murid bukan pendeta dari Ngo Tay San, umurnja belum tiga puluh, namanja sudah terkenal, adatnja pun tinggi. Dia menjahuti sambil tertawa dingin: “Nama toaya jalah Lo Tek Hok. Meski aku bukan orang berkenamaan, aku tidak dapat membiarkan segala begal bertingkah!” “Oh, kiranja kau Lo Tek Hok?” kata Pit Siauw Giam tertawa lebar. “Kau berani menantang aku?” Mendadak, menjusul perkataannja itu, ia menjerang dada orang, mentjari dua djalan darah yoe-boen dan leng tiong, ia memang murid Hian Im Hoen Boen dari bukit Lee Bo Nia di Selatan, jang terkenal untuk ilmu silatnja, Hian Im Tjiang Lok, tangan liehay. Siapa kena terserang ilmu itu, diluar terlihat tidak terluka, lukanja jaitu bagian dalam patah dan petjah tulang iga dan ususnja.

Tek Hok gusar untuk serangan kedjam itu. Ia berkelit ke kiri, lalu meneruskan, ia menggeser tubuh lebih djauh ke belakang lawan; dari sini baru ia menjerang dengan tipu silat Kay Pay Tjioe.

Melihat orang demikian gesit, Siauw Giam memudji dalam hatinja. Ia berkelit kekiri, sembari berkelit, tangan kanannja menjerang, menghadjar lengan kanan orang she Lo itu.

Tek Hok menolong tangannja itu dengan dikasi turun, ia tidak menarik pulang, sebaliknja ia meneruskan menjerang ke perut, habis mana dengan melenggak, kakinnja mendjedjak, untuk berlompat mundur. Bagus gerakannja ini, bebas ia dari bahaja, akan tetapi ia lantas mengeluarkan keringat dingin. Ia tahu bagaimana ia terantjam bahaja barusan.

Siauw Giam djuga lompat mundur dua tindak meskipun ia tahu bahwa ia tjuma digertak, lantas ia tertawa.

“Botjah, kau dapat lolos?” katanja seraja terus madju menjerang pula. Ia berlompat.

Tek Hok mengerti bahaja, dia tidak mau menangkis, dia berkelit. Tapi lantas dia didesak, diserang saling susul hingga dia mundur ke pinggir panggung. Disini Siauw Giam berlompat, lagi sekali ia menjerang hebat. Itulah lompatan “Harimau melompati Sembilan gunung” atau “Houw yauw kioe san.”

Di timur, para hadirin kaget hingga ada jang berseru.

Mereka menduga Tek Hok bakal terhadjar gepeng. Kesudahannja itu, mereka melihat Siauw Giam mentjelat mundur dua tindak, mukanja meringis, tangannja memegang suatu barang mirip tjabang pohon. Tek Hok sendiri, selagi orang mundur, segera berlompat turun dari panggung.

Siauw Giam tidak turut lompat turun, tetapi dia berkata njaring: “Tikus mana jang melukai orang dengan sendjata gelap? Tapi sebatang sumpit bambu sukar mentjelakai orang tuamu! Djikalau kau laki-laki, kau keluarlah !” Dia belum sempat menutup mulutnja, mendadak sebatang sumpit menjambar ke mulutnja itu, hingga dua buah giginja tjopot dan mengeluarkan darah, hingga dia mesti membekap mulutnja, matanja memandang bengis kekedua tetarap.

Setelah mengetahui Siang Kang It Sioe terkena sendjata rahasia, para hadirin heran. Siapa si penjerang jang demikian liehay? Bukankah panggung terpisah dari mereka kira tiga belas tombak? Bukankah biasanja orang menimpuk tjuma tiga tombak, atau paling djauh enam-tudjuh tombak? Lebih djauh dari itu, serangan sendjata rahasia sudah tak ada gunanja.

Kapan Hoei In Tjioe melihat sumpitnja In Gak, diam-diam ia terkedjut. Sumpit itu tinggal sepasang sumpit setengah potong! Maka ia kata dalam hatinja: “Pemuda ini tidak boleh dipandang enteng ! Entah apa maksudnja dia…Dia begini muda, dia liehay, diapun dapat menjembunjikan diri, inilah luar biasa.

Ketika itu dari barat berlompat naik seorang anak muda dengan pakaian hitam, di punggungnja ada sebatang pedang, sepasang matanja tadjam. Dia memberi hormat kepada Siang Kang It Sioe sembari tertawa dia berkata: “Pit Lootongkee, kau telah menang satu rintasan, silakan mundur. Si penjerang gelap, sebentar pun akan dapat diketahui, maka itu waktu masih belum kasip untuk kau turun tangan! Aku jang rendah Sam Tjay Toat Beng Leng Hoei dari Khong Tong Pay Barat, maksudku bertanding untuk mendapatkan djodoh dan pedang, maka itu, maukah lootongkee membantu menjempurnakan tjita-tjitaku ini?”

Siauw Giam memang lagi serba salah, maka itu datangnja pemuda ini kebetulan untuknja. Ia kata: “Aku tjuma main- main, Saudara Leng silakan kau menggantikan aku!” Habis berkata, ia lompat turun, kembali ke tetarap barat.

V

Seturunnja Pit Siauw Giam, Leng Hoei lantas bitjara kepada orang banjak, menuturkan maksudnja turut pie-boe, dari itu ia menantang siapa suka melajani ia bertempur. Ia bitjara dengan sikap tekebur.

Di tetarap timur, hadirin kebanjakan bermaksud membantu tuan rumah, tak ada niatnja turut pie-boe, ada djuga jang ketarik hatinja, sajang usianja sudah lewat tiga puluh atau anaknja sudah merentet. Ada pula jang memikir pertjuma bertempur untuk main-main sadja, sedang apabila salah tangan, permusuhan dapat tertanam karenanja. Maka itu, tidak ada jang mau menjambut tantangan itu.

Tidak demikian dengan tetamu-tetamu di tetarap barat. Mereka terdiri dari banjak golongan. Di satu batas, mereka dapat bersatu, tetapi mengenai soal perdjodohan ini, mereka memikir masing-masing. Ada mereka jang ingin mengangkat nama sadja, ada jang hendak mendapatkan hadiah ! Maka djuga, madjulah satu anak muda. Sajang untuknja, baru beberapa djurus, dia telah kena dirobohkan Leng Hoei.

Segera naik pula seorang muda lain, terus dia bergebrak dengan Sam Tjay Toat Beng. Tengah mereka bertempur seru, seorang pelajan pengantar nasi datang pada In Gak. Pemuda itu lantas berkata padanja: “Tolong kau ambilkan aku sumpit, sumpitku djatuh dan kotor."

“Baik, siauwya, nanti aku ambilkan,” kata si pelajan

sembari tertawa, terus dia pergi. Hong Pioe bersenjum. Dimata lain orang, biasa sadja sumpit djatuh dan mendjadi kotor karenanja, hingga perlu ditukar.

In Gak dapat melihat roman si orang she Gouw, lantas ia kata perlahan: “Gouw Tiangtjioe, aku ingin bitjara sebentar, dapatkah?”

Hong Pioe mengawasi tadjam, ia tertawa. “Mari!” katanja.

Maka pergilah mereka berdua ke tembok belakang tetarap itu, di podjokan.

“Sebenarnja aku tidak mempunjai urusan penting, hanja aku merasakan sesuatu, hingga aku anggap tak dapat aku tak mengatakannja,” berkata In Gak.

“Siauwhiap tentulah melihat apa-apa,” kata Hong Pioe, “Silakan bitjara, aku bersedia mendengarnja.”

In Gak bersenjum, ia kata perlahan: “Hari ini djangan kasi ada orang tetarap timur jang naik ke panggung. Aku telah memperhatikannja, njata pihak barat berdjumlah lebih banjak satu lipat. Umumnja mereka mengintjar pedang, djodoh hanja jang nomor dua. Pula mereka kebanjakan orang Oey Kie Pay. Aku menduga mereka lagi menanti waktu. Sekarang ini tidak dapat kita sembarangan menduga kekuatan mereka. Aku pikir, kalau terpaksa satu atau dua orang sadja jang madju, guna mentjegah bahaja. Jang menjukarkan aku, jalah orang-orang Oey Kie Pay jang nertjampuran dengan penghuni Tjioe-kee- tjhung, hingga mereka sukar dikenali. Maka itu baiklah pedang mustika ditukar dengan jang palsu, ditaruh di suatu tempat sebagai umpan. Disamping itu, aku pertjaja, pihak Oey Kie Pay tentunja tidak puas, mungkin mereka mengirim orang untuk menolongi Tjie Ek. Bagaimana tiangtjioe berpikir?”

Hong Pioe mengangguk-angguk. Bukan main ia kagum. Pemuda ini, selain gagah, sangat tadjam matanja dan djauh pandangannja. “Baiklah, nanti aku bitjara dengan Tjioe Tjhungtjoe.” Ia kata. Terus ia tertawa dan menambahkan: “Siauwhiap, barusan hebat permainanmu mematahkan sumpit mendjadi panah tangan.”

Mukanja In Gak merah tetapi dia tertawa.

Sampai disitu pembitjaraan mereka, mereka kembali ke tetarap. Hong Pioe terus pergi kepada tuan rumah dan si anak muda ke medjanja.

Ketika itu Leng Hoei sudah menang tiga kali beruntun, Nampak dia sangat girang dan puas, kedjumawaannja makin njata. In Gak mengerutkan alis melihat lagak orang itu.

Dari barat sudah lantas muntjul seorang jang lompatannja naik ke panggung indah sekali, tjepat dan enteng, tak ada suaranja. Itulah lompatan “Naga hitam membalik mega” Maka dia dapat sambutan tempik sorak dari kedua tetarap. Dialah seorang djangkung dengan kumis mirip kambing gunung, matanja tadjam berkilauan. Dia terus tertawa dingin dan berkata: “Sahabat she Leng, bagus sekali ilmu silat kau Koen Goan Tjiang-hoat! Aku Hoei Thian Kat-tjoe In Ho, beruntung aku dapat menemui Khong Tong Barat!"

Kaget Leng Hoei mendengar nama orang itu, hingga dia mirip ular berbisa jang mengkerat, sampai dia mundur dua tindak.

“In Loosoe naik kemari, bukankah……” katanja.

“Ngatjo !" membentak orang tua, si Kala Menebangi Langit

„Usiaku sudah Iandjut mana aku memikir jang bukan-bukan? Tadi tuan rumah membilang, pertandingan berbatas hanja saling sentuh, kenapa kau barusan merobohkan dua saudara angkatku dengan tangan telengas, hingga hamper mereka djadi bertjatjad? Dari itu, sahabat, ingin aku mentjoba-tjoba kepandaian kau !”

Leng Hoei djeri, itulah bisa dimengerti. Selama tudjuh atau delapan tahun jang belakangan ini di Kwan-tiong telah muntjul seorang djago jang dapat membuat lain orang sakit kepala. Dan dialah Hoei Thian Kat-tjoe In Ho ini.Dia liehay, sepak terdjangnja terahasia, dia pun telengas. Kalau dia bekerdja biasa dia tidak meninggalkan kurban hidup. Sukar untuk mentjari dia. Maka dunia rimba persilatan menjebut dia hantu. Djulukannja jang lain jaitu Kwan tiong It koay, Siluman Kwan- tiong.

“In Loosoe, kau terlalu," kata Leng Hoei jang tertawa dingin. la memberanikan hati. Ia pikir, kalau ia kalah, tentu gurunja akan turun tangan. Ia djuga ingin metjoba sampai dimana kepandaian orang jang disohorkan liehay dan dimalui ini. “Bukankah kita lagi bertanding?

"Baiklah, biar kepandaianku tjetek, suka aku melajani kau!”

In Ho tertawa berkakak, matanja bertjahaja. Agaknja dia djumawa sekali.

“Sahabat she Leng, kau berani omong besar di depan In Ho, kau gagah !” dia kata, “Tjuma kau haruslah menimbang- nimbang dulu dirimu…”

“Tentang itu biarlah, nanti aku mentjoba dulu!” Leng Hoei bilang dingin, “Djikalau aku kalah, itu tentu disebabkan peladjaranku tidak sempurna, djadi tak usahlah kau berdjumawa. In Loosoe, silahkan kau memberikan pengadjaran padaku !”

In Ho tertawa mengedjek, tindjunja meluntjur, kakinja dimadjukan. Itulah gerakan jang dinamakan “mengindjak pintu hong-boen.”

Leng Hoei mendongkol sekali. Serangan sematjam itu menandakan ketjongkakan si penjerang, bahwa lawan jang diserang tidak dipandang mata sama sekali. Maka dengan ilmunja Kim-na-tjioe, ilmu menangkap dari Kong Tong Pay, ia menjambuti tangan orang.

In Ho benar-benar liehay. Mudah sekali mengelakkan tangan lawannja, setelah mana kakinja bergerak pula, hingga segera ia berada dibelakang lawan itu. Tapi ia tidak menjerang, ketika Leng Hoei memutar tubuh, ia melesat pula. Teranglah ia hendak mengitari musuh guna membikin musuh pusing, hingga si lawan mirip kera jang lagi dipermainkan.

Banjak penonton jang bersorak atau tertawa, hingga mukanja Leng Hoei mendjadi merah padam, dia mendongkol dan malu tanpa berdaja. Djikalau dia tidak turut memutar, setiap waktu dia bisa dihadjar musuh.

In Gak tahu betul Leng Hoei bakal kalah, ia tidak terus memperhatikan pertandingan itu, ia lebih banjak memasang mata ke pelbagai pendjuru, terutama terhadap si nona badju merah. Nona itu mengawasi tadjam ke atas panggung, saban- saban dia bersenjum ketjil, hingga Nampak tegas sudjennja jang manis, kedua tangannja dipakai menundjang dagunja.

Agaknja ia tertarik luar biasa oleh pertandingan itu.

“Gila aku,” In Gak kata dalam hatinja, “Walau pun dia menaruh hati padaku, selagi musuh-musuhku belum terhukum, mana dapat aku memikirkan soal asmara?”

Demikian pemuda ini menegur dirinja sendiri, sesudah mana, matanja diarahkan pula ke tetarap barat, mengawasi Tjin Lok dan rombongannja. Ketua muda partai Bendera Kuning itu saban-saban kasak-kusuk dengan kawannja, beberapa kali tangannja menundjuk djuga kearah Liang Hoay Tayhiap.

“Mesti dia mengandung sesuatu maksud” pikir pemuda ini, “Djangan-djangan sebentar malam mereka akan mengulangi siasat mereka. Mereka telah dihadjar kaum Kay Pay tanpa mereka menjadari siapa jang menjerangnja, mereka menduga pihak Tjioe-kee-tjhung sendiri. Kedjadian itu membikin mereka bertambah bentji pihak Tjioe-kee-tjhung. Tjioe Wie Seng pastilah dipandang seperti djarum dimata mereka. Aku telah turun tangan, aku mesti turun tangan terus. Nampak Pek Boen Liang biasa bekerdja baik, entahlah seterusnja. Ketika itu pertempuran diatas panggung sudah berakhir. Leng Hoei kena dihadjar pukulan “Mega mendung menutupi rembulan,” dia roboh dari panggung dengan mulut memuntahkan darah, hingga beberapa orang dari tetarap barat keluar untuk menolongi.

In Ho tidak menantang, dia lompat turun untuk kembali ke tempatnja.

Untuk sedjenak, berisiklah di tetarap barat itu dimana ada suara keras dan tjatjian. Suara baru berhenti ketika terlihat dua orang naik ke panggung untuk bertempur.

Di saat itu Gouw Hong Pioe kembali dengan tjepat, sambil tertawa ia kata pada In Gak: “Gan siauwhiap telah aku bekerdja menurut pesan kau. Tjioe Wie Seng memudji kau tjerdik dan teliti!” Dan ia menudjuk djempolnja, habis mana ia menambahkan: “Aku si orang tua djuga telah mewakilkan kau mentjari keterangan! Nona badju merah itu..ah! Dia itu liehay ilmu silatnja dan romannja djuga tidak dapat ditjela. Aku si orang tua pun kagum apabila…orang muda!” Dan ia menatap pemuda di depannja.

The Kim Go pun tertawa. In Gak melengak.

“Gouw Tiangtjoe, kau bergurau !” katanja likat.

Hong Pioe tertawa. Tapi segera ia berkata dengan sungguh-sungguh: “Dialah mutiara tunggal kesajangan Tionggoan It Kiam Tio Kong Kioe. Tionggoan It Kiam liehay ilmu silatnja dan puterinja Lian Tjoe namanja ini djuga menggemarinja, maka kepandaiannja pasti tidak buruk. Lihat sadja sikapnja ketika ia memegang tjambuknja waktu ia baru

datang tadi. Tionggoan It Kiam diundang Tjioe Tjhungtjoe, dia lagi sakit, tidak dapat dia datang, maka dia mengirim puterinja sebagai wakilnja. Nona Tio tjantik dan gagah, siapakah tidak mengagumi dan menghormatinja? Maka djuga, aku bilang…” Ia berhenti dan tertawa, “Gan siauwhiap, djangan kau mengatakan aku si tua gila basah dan suka bergurau…Ingatlah itu kata-kata, suatu keluarga mempunjai seorang gadis, seribu keluarga lain meminangnja. Inilah saatnja kamu anak-anak muda turun tangan! Anak muda biasa berkulit tipis, bagaimana kalau aku si tua jang madju untuk mewakilkan kau berbitjara?”

In Gak likat sekali. Ia tidak sangka Hong Pioe telah dapat membade hantinja itu. Ia mendjadi tidak enak duduk dan tidak enak berdiri, mukanja mendjadi merah. Akhirnja ia paksakan tertawa dan berkata: “Kalau begitu baiklah, aku menjerahkan kepada lootjianpwee untuk mengurusnja hingga berhasil !” Setelah itu dengan tjepat ia pergi ke belakang, tak ia perdulikan Hong Pioe dan Kim Go mentertawakannja.

Di dalam gedungnja Tjioe Wie Seng ini, ketjuali tempat adu silat ini jang ramai, bagian-bagiannja jang lain semua sunji dan senjap, meski demikian didalam taman, di air, di setiap lorong, djuga di kamar tulis dan lauwteng, semua ditaruhkan pendjaga. Dua atau tiga orang, dengan berombongan, djuga djalan meronda.

Sam Tjioe Khong Khong Tjie Ek dipendjarakan dalam rumah batu di podjok barat taman, kamar batu itu pernahnja disamping gunung-gunung. Dia ada jang djaga, segala keperluannja tidak dialpakan, hingga dia tidak kekurangan makan. Tjuma dia lenjap kemerdekaannja. Demikian itu, selagi orang berkumpul di lian boe-thia, dia sendiri duduk menjender di pembaringannja, kedua tangannja memegangi kepalanja, matanja memandang keluar kamar, memandang dari djendela berdjerudji besi.

„Dasar aku jang malang," dia berpikir. „.Biasanja aku merdeka, biasa setiap aku bekerdja satu kali, aku bisa hidup tidur-bangun selama tiga tahun, tetapi seka¬rang, karena aku mendengar kata-kata sahabat, lantaran aku temahai hadiah lima ribu tail perak, aku telah mendjual djiwaku ! Kenapa aku begini bodoh ? Ah, itu orang jang aku hadapi, dia liehay luar biasa, seumurku belum pernah aku berhadapan dengan orang liehay seperti dia! Boleh aku merasa puas roboh ditangannja .

."

Sudah umum, siapa lenjap kemerdekaannja, banjaklah waktunja jang luang untuk berpikir, demikian si radja pentjuri ini. Dia lantas ingat segala perbuatannja dulu-dulu. Benar dia biasa melakukan kedjahatan, tetapi ada kalanja djuga dia mengamal kepada orang-orang melarat. Hanja kurang lebih, kedjahatannja masih terlebih banjak. Sekarang dia menanja, bagaimana selandjutnja? Agaknja dia menjesal dia berduka, tetapi dia masih bersangsi.

Di luar terali, senantiasa ada mata jang mengintai ke dalam kamar untuk melihat, dia masih ada atau tidak, atau dia tengah mengerdjakan apa. Karena dia berdiam sadja, dia tidak diganggu.

Ketjuali suara djauh di lian-boe-thia, taman sunji senjap. Kadang-kadang sadja terdengar gembreng si orang ronda, atau tindakannja si orang ronda sendiri.

Sekonjong-konjong diatas kamar batu, terdengar suara berkelisik. Suara itu tak dapat didengar ketjuali orang jang telinganja lihay. Tjie Ek dapat mendengar suara itu, dia bergerak bagaikan orang baru sadar. Segera dia melihat nongolnja kepala di luar terali, disusul dengan ini suara perlahan:

“Saudara Tjie atas nama hoe-pangtjoe, aku datang untuk menolong kau”

Tjie Ek lantas mengenal sahabat itu ialah Tiat pe Djin-him Koe Souw. Untuk sedjenak dia girang. Bukankah dia hendak ditolongi. Tapi dilain saat, djidatnja lantas berkerut, lantas dia menggojang kepala. “Tidak dapat kau menolongi aku” katanja masgul, “Disini aku diperlakukan baik, mereka telah berdjandji, bila sudah tiba saatnja aku bakal dimerdekakan. Pula berbahaja untuk aku kabur sekarang. Pendjagaan disini kuat sekali. Bukan sadja aku, kau sendiri pun terantjam bahaja saudara. Sekarang aku tidak mempunjai guna suatu apa, aku telah ditotok hingga habislah tenagaku. Maka itu, saudara, djangan kau memperbahajakan djiwamu karena aku. Baik saudara lekas menjingkir. Pepatah membilang, untuk pembalasan waktu sepuluh tahun masih belum kasip, maka itu, biarlah kita lihat dibelakang hari sadja. Bukankah gunung hidjau dan air mengalir tak berubah?”

Koe Souw tampak bersangsi. Ia berkata: “Tadi malam telah dikirim beberapa orang kita jang dapat diandalkan, untuk menolong kau, saudara Tjie, akan tetapi sampai sekarang ini mereka masih belum pada kembali. Mungkinkah mereka itupun telah kena ditawan?Saudara Tjie, apakah kau ada dengar apa-apa mengenai mereka ini?”

Tjie Ek heran dan kaget.

“Begitu?” katanja, “Semendjak aku dikurung disini, putus sudah perhubungan dengan dunia luar, maka aku tidak tahu apa djuga. Djikalau begitu, saudara Koe, lekas kau menjingkir

!”

Koe Souw melihat ke sekitarnja.

“Diluar sini ada beberapa kawanku, mereka bersedia untuk menjambut” katanja, “Mana dapat aku berlalu dengan begini sadja? Saudara Tjie, djangan kau kena ditakut-takuti mereka. Bukankah Tjioe-kee-tjhung ini bukannja kedung naga dan guha harimau? Dimataku tempat ini mirip tempat boneka ajam atau andjing? Marilah, mari aku gendong kau pergi dari sini !”

Habis berkata, Koe Souw memegang terali untuk dipatahkan. Ia berhasil. Ternjata tangannja kuat sekali. Hanjalah, ketika ia mau mematahkan besi terali jang kedua, mendadak ia mendengar teguran, “Siapa disitu?”

Ia terkedjut, segera ia memutar tubuh, goloknja dipakai melindungi mukanja. Ia tidak diserang, hanja didepannja, terpisah tiga kaki, ia melihat dua orang berdiri mengawasi padanja, orang itu berpakaian serba hitam, sepasang matanja tadjam berpengaruh.

“Kau siapa tuan?” seorang menanja pula, suaranja keras, “Kau lantjang masuk kemari, djikalau kau bukannja pentjuri tentulah rampok! Lekas kau serahkan diri, djikalau kau tunggu sampai aku turun tangan, golok dan tombak tidak ada matanja, nanti kau mati menjesal!”

Koe Souw benar-benar berani.

“Aku Tiat-pie Djin-him Koe Souw!” sahutnja, temberang. “Aku mau bekerdja, aku dapat datang kemana aku suka, tidak perduli istana radja, apapula baru Tjioe kee tjhung jang ketjil ini! Aku bilangi kau, dusun ini bakal segera hantjur lebur!

Kamu semua mirip kura-kura didalam korang! Perlu apa kamu masih berlagak gagah?”

Orang itu tidak takut atau gusar, dia bersenjum:

“Orang she Koe, djusteru sekarang ini kaulah si kura-kura dalam korang itu” katanja, “Apakah kau tidak pertjaja? Kau lihat, dapatkah kau menjingkir dari sini?”

Koe Souw terperandjat, ia mundur, matanja melirik kekiri dan kekanan.

“Andjing tjilik, kau berani berdjumawa didepan aku si orang she Koe! Katanja, menjeringai. “Baiklah, hari ini aku mengadjar kau kenal dengan golokku, golok Kioe-lian-hoan!”

Dua orang itu ialah Tan Boen Han dan Ouw Thian Seng, kedua muridnja To Tjiok Sam. Mereka masih muda, mereka tidak kenal takut. Mereka tahu Tiat Pie Djin Him jalah seorang djahat di Yan-in, mereka tidak djeri. Boen Han tertawa dan berkata: “Orang she Koe, kau biasa melakukan kedjahatan di Yan-in, dosamu dosa tak berampun, tuanmu memang lagi tjari kau, kebetulan hari ini kau mengantarkan dirimu, sekalian aku mewakilkan Thian mendjalankan keadilan!”

Kata-kata ini ditutup dengan serangan golok Gan-leng-too dengan tipusilat “Hong-hong sam tiam tauw” jaitu Burung Hong mengangguk tiga kali.

Koe Souw tertawa dingin, dengan sebat ia menangkis. Sebagai kesudahan dari itu sendjata mereka bentrok, Tan Boen Han mundur tiga tindak, goloknya hampir terlepas, sebab tangannya kesemutan dan sakit. Sekarang ia tahu, musuhnya kuat sekali, maka tidak mau ia melayani dengan kekerasan.

Koe Souw lantas mengenali, ilmu golok si anak muda ilmu goloknya To Ciok Sam, hatinya bercekat juga, akan tetapi sudah terlanjur, ia melawan terus, bahka ia ingin lekas-lekas merebut kemenangan, maka ia keluarkan ilmu goloknya yang dibanggakan itu.

Tan Boen han bertempur sampai lima puluh jurus, ia tidak berhasil mengalahkan musuh, sebaliknya ialah yang terdesak. Kapan Ouw Thian Seng melihat itu, tanpa ragu-ragu lagi ia maju untuk membantui saudara seperguruan itu.

Ilmu golok Koe Souw benar lihay, ia masih dapat mendesak dua lawannya. Sampai tiba-tiba:

“Kamu berdua masih tidak mau mundur! Buat apakah kamu memaksakan diri tidak keruan?”

Itulah satu suara keras dan bengis.

Boen Han dan Thian Seng lompat mundur, saking napasnya bekerja keras, mereka tidak dapat lantas membuka suara, mereka hanya heran.

Sebaliknya Tjie Ek didalam kurungannya, dia mengenali suara orang yang membekuk dirinya. Segera orang itu berkata pada Koe Souw: “Koe Souw, mengapa kau tidak lekas meletaki senjatamu untuk menyeah ditawan? Apakah kamu kira Ciu kee cung dapat kau datangi sesuka hatimu?”

Koe Souw mundur tiga tindak, ia mengawasi. Maka ia melihat seorang muka pucat tanpa darah. Ia tidak takut, ia cuma kaget sebentar. Lantas ia berkata nyaring: “Akulah Tiat- pie Jin-him Koe Souaw! Aku sudah masuk dalam dunia Kang- ouw puluhan tahun, belum pernah ada orang berani kurang ajar terhadapku! Kau siapa? Asal kau bisa lawan golokku, nanti aku ikat diriku!”

Orang dengan muka luar biasa itu tertawa melenggak: “Kau masih berani bertingkah?” katanya, “Begini saja,

Jikalau kau bisa lolos dari tanganku, suka aku mengampuni jiwamu! Sebenarnya orang jahat sebagai kau, mati pun belum cukup untuk menebus dosamu! Sekarang kau boleh maju, jangan sungkan-sungkan, nanti kau menyesal!”

Habis berkata, orang mirip iblis itu tertawa seram.

“Saudara Koe, lekas lari!” Tjie Ek berteriak.

Justeru si raja pencuri berteriak, justeru Koe Souw menyerang. Dia hendak mengadu jiwa.

Begitu ia membacok, Koe Souw kehilangan musuhnya. Tahu-tahu orang sudah tertawa dingin dibelakangnya! Ia kaget. Tanpa menoleh lagi, ia menjejak tanah untuk berlompat kedepan, sesudah mana baru ia memutar tubuhnya dengan cepat.

Ia tidak dapat melihat musuhnya, selagi ia melihat kekiri dan kanan, tiba-tiba ia mendengar pula tertawa dingin dibelakangnya. Ia menjadi kaget tidak terkira.

Boen Han dan Thian Seng yang sudah dapat bernapas, turut menjadi heran. Roman mereka ini dapat dilihat jago Kang-ouw itu, dia bingung. Baru sekarang dia berkuatir. Tapi dia mengertak gigi, bagaikan nekat dia memutar tubuh seraya menyerang kebelakang. Itulah gerakan “Pohon tua terbongkar akarnya.” Lagi-lagi, ia membacok tempat kosong.

“Haha..ha..ha..”kembali terdengar tertawa dingin, “He..hee..he!”

Berkuatir dan penasaran, Koe Souw menyerang pula kebelakang, kali ini ia mengulangi hingga ia membacok sambil berputaran. Sia-sia belaka semua bacokannya itu, bahkan tanpa merasa, kakinya menjadi lemas. Itulah pengalamannya pertama kali, yang mengherankan ianya. Karena ini, mendadak ia berhenti menyerang terus ia berlompat ketembok, dengan niatnya mengangkat kaki. Bertentangan dengan kata-katanya, ia tidak sudi ikat dirinya sendiri, ingin ia lolos.

Belum Tiat-pie Jin him tiba ditembok, untuk lompat melewatinya, satu bayangan sudah berkelebat, lantas mendadak ia merasakan iganya kesemutan, hingga habislah tenaganya, diluar keinginannya, ia roboh ngusruk sendirinya!”

Bukan hanya Boen Han dan Thian Seng yang heran, juga beberapa orang yang lain, yang bersembunyi dilain bagian taman itu, yang muncul karena mendengar suara orang bicara keras dan tertawa. Begitu Koe Souw roboh, mereka lantas kena dibikin heran. Orang tidak dikenal itu terus lompat ke tembok untuk menghilang.

Boen Han dan Thian Seng lari menyusul, mereka lompat naik ke tembok. Sia-sia belaka, mereka tidak dapat melihat lagi orang itu. Sebaliknya untuk kagetnya mereka, mereka melihat bergelimpangannya beberapa tubuh manusia di kaki tembok pekarangan sebelah luar. Mereka tidak bisa berdiam melengak, maka dengan bersiul mereka memanggil orang- orang ronda, untuk menggusur Koe Souw semua kedalam kamarnya Cie Ek, kemudia sesudah memesan Thian Seng, Boen Han lari kedepan, ke tetarap timur, guna melaporkan kejadian barusan ini. In Gak pergi tidak lama, dia sudah kembali ke mejanya, berbicara sambil tertawa-tawa dengan Hong Piu semua.

Diatas panggung, bergantian sudah orang bertempur, naik dan turun. Siapa yang roboh, kebanyakan dia terluka parah, suatu bukti si cantik manis dan pedang mestika sangat besar pengaruhnya.

Ciu Wie Seng sendiri, bersama-sama To Ciok Sam, Tio Lian Cu dan gadisnya, juga berbicara dengan gembira. Mereka seperti tidak memperhatikan jalannya pertandingan. Sampai datanglah Tan Bun Han dengan laporannya itu. Semua menjadi terperanjat.

Ciok Sam memesan muridnya, atas itu, Bun Han segera mengundurkan diri pula.

“Siapakah dia?” kata si orang she To kemudian. Ia heran sekali. “Dia bergerak sangat gesit, hingga tubuhnya seperti tidak nampak. Kenapa dia tidak mau memperlihatkan dirinya? Ingin aku menyerahkan gelaranku kepadanya. Ciu laotee, bukankah tepat aku menghadiahkannya?”

Tio Lian Cu sebaliknya bersenyum, terus dia tertawa, nyaring tetapi halus:

“Ingin aku melihat dia!” katanya, “Ah, dia mestinya dia itu!” “Bagaimana, Nona Tio,” tanya Ciok Sam, “Nona kenal dia

itu? Siapakah dia?”

Nona Ciu bersenyum, ia melirik In Gak.

“Tapi aku yang muda belum berani menentukannya” sahutnya, “Aku cuma baru menduga saja. Dia berada disekitar kita, tak sulit untuk mencari tahu siapa dianya..”

Wie Seng berpaling In Gak, ia agaknya heran. Ia ingat kata-katanya Hong Piu bahwa pemuda itu pandai membawa

diri. Ia sangsi. Sekarang pun ia masih bersangsi, akan tetapi ia toh memperhatikannya. In Gak sendiri terus bersenyum, ia tak perduli segala apa yang terjadi didepan matanya. Ia kata dalam hatinya: “Mereka boleh menvurigakan aku tetapi mereka pasti sukar membuktikannya”

Nona mencurigai sebab orang meninggalkan mejanya, perginya secara tenang, kembalinya cepat-cepat. Ia merasa pemuda itu tampan seperti Phoa An, tubuhnya halus, cuma gerak-geriknya aneh. Sedatangnya Bun Han kecurigaannya menjadi keras.

Ketika itu dilantai di depan panggung terdengar satu suara nyaring yang menarik perhatian umum. Disana muncul seorang baru, yang berkata: “Ciu tayhiap, aku Cian Seng Hoan, ingin aku mengajukan satu pertanyaan” Dia terus menunjuk kearah Lian Cu, terus dia menyambungi: “Bukankah nona itu pun menyerahkan diri untuk dipilihkan pasangan diatas lui-tay ini? Dapatkah, setelah aku menangkan sepuluh rintasan, aku memilih dia?”

Orang itu, yang menyebutkan namanya, berumur lebih kurang tiga puluh tahun, tubuhnya jangkung, pinggangnya bulat, punggungnya lebar. Kata-katanya itu membikin Wie Seng tercengang, sedang si nona Tio segera mengasi lihat air muka guram.

Sebenarnya, semenjak munculnya tadi, Lian Cu sudah menarik perhatian para hadirin apa pula mereka yang mengambil tempat di tetarap barat. Dengan munculnya ia, Ciu Goat Go lantas kalah pamor. Pula Lian Cu sendiri sering-sering ia memandang ke tetarap barat itu, tak jeri ia mengawasi banyak mata tajam yang mengawasi padanya. Demikian Cian Seng Hoan yang bergelar Coan In Yan cu si walet menembusi mega. Dia gagah, sayang tabiatnya buruk, gemar ia merusak kehormatan wanita. Maka juga, melihat nona demikian elok, tak dapat ia menahan desakan hatinya, dia naik kepanggung untuk mengajukan pertanyaannya itu. Dia mempunyai beberapa kawan, dia telah kasak-kusuk dengan mereka itu, yang membantu menganjurkannya.

To Ciok Sam mengerutkan alis, ia kata perlahan: “Dialah satu manusia busuk. Dia harus diajar adat, jikalau tidak, percuma kita menganggap kita pembela-pembela keadilan dan pembenci kejahatan..”

Belum berhenti suaranya In Liong Sam Hian, Nona Tio sudah bangun dari kursinya, untuk bertindak kedepan panggung, lantas cambuknya dikerjakan menyambar orang she Cian yang kurang ajar itu, ujung cambuknya mencari jalan darah yu bun.

“Eh, budak, kau telengas sekali!” kataSeng Hoan tertawa, sedang tubuhnya melesat, menjauhkan diri dari ujung cambuk. Sebaliknya, tangannya menyambar.

Lian Cu tahu maksud orang, ia segera menarik pulang cambuknya untuk diulangi tak kurang cepatnya, guna sekarang menotok jalan darah khie hay.

Seng Hoan berkelit pula, habis itu, ia melesat maju untuk merangsak, sebelah tangannya meluncur kekedua pundak si nona, sedang dari mulutnya sembari tertawa, terdengar kata- kata:

“Budak, kau sangat telengas, kau seperti menghendaki tuanmu she Cian berlaku kejam”

“Jahanam!“ si Nona membentak. Dia berkelit, lantas dia mencambuk pula, hingga tiga kali beruntun, karena yang pertama dan kedua kali, Seng Hoan terus berlompatan dengan tipusilatnya “Kiem lie to cuan po” atau ikan emas lompat jumpalitan menembusi gelombang. Dia bergerak lincah.

Celaka untuknya, si nona tidak berhenti hanya dengan cambukan berantai tiga itu, hanya melanjutkannya, kali ini hingga lima kali. Seng Hoan repot bukan main, meski ia gesit dan lincah, ia toh kewalahan. Ia lolos dari bahaya setelah berkelit dari cambukan yang kelima, yang terakhir. Saking murka, dia kata bengis:

“Budak, kau terlalu telengas! Rupanya kau hendak membikin aku si orang she Cian berlaku kejam!”

Mukanya Lian Cu menjadi guram, tanpa membilang apa- apa, ia menyerang. Dalam mendongkolnya, ia menyerang berulang-ulang, yang satu tidak mengenai, yang lain menyusul, ujung cambuknya itu pun menotok.

Sekarang ini Cian Seng Hoan tidak berani lagi memandang enteng. Ia pun mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa, yaitu “Leng Wan Sip-pat Pian”, delapan belas jurus ilmusilat Kera Sakti. Ia mengutamakan sepuluh jeriji tangannya yang kuat. Inilah ilmusilat yang telah mengangkat namanya. Ia berkelebatan disekitar si nona, seperti burung walet gesitnya, maka tidaklah kecewa ia memperoleh julukannya Coan In Yan-cu, si walet merah menembusi mega.

Lewat sekian lama, Seng Hoan dapat merapatkan diri, Si nona agak repot, karena cambuknya adalah alat untuk menyerang jauh. Baru sekarang ia menyesal tadi ia sudah memandang tak mata kepada lawannya ini, hingga ia tak ingat untuk menggunai pedangnya. Sekarang, untuk menghunus pedang, ia tak diberi kesempatan.

Cian Seng Hoan mendapat lihat kerepotan nona itu, dia tertawa.

In Gak menonton pertarungan itu dengan saban-saban bersenyum, kapan ia melihat Nona Tio terdesak itu, diam-diam ia mematahkan sumpitnya. Ia melakukan itu acuh tak acuh. Ia membuat patahan setengah dim.

Hong piu melihat kelakuan orang, ia mengawasi sambil bersenyum. In Gak melihat sikap kawan itu, mukanya bersemu merah. Tanpa kata apa-apa, ia mengawasi ke gelanggang pertempuran dua jari tangannya mendjepit patahan sumpit. Mendadak saja, ia menyentil.

Ketika itu Lian Cu menghadapi serangan yang berbahaya, ia menyelamatkan diri dengan lompat jumpalitan, terpisah kesamping tiga kaki dari lawannya. Ia tidak cuma mengelit diri. Berbareng ia juga membalas menyerang si orang she Cian.

“Benar-benar telengas!” kata Seng Hoan sambil berkelit, setelah mana ia merangsak, dengan sepuluh jerijinya ia menyambar kaki si nona. Ia percaya bahwa ia bakal berhasil, ia girang sampai ia lupa bersiaga, ia tertawa lebar.

Tapi baru saja ia tertawa satu kali, tahu-tahu ia kaget tidak terkira, pinggangnya terasa sakit bukan main, hingga ia dengan tertawa tertahan , ia roboh keatas tanah.

Lian Cu segera dapat memperbaiki diri. Ia melihat robohnya lawan, ia menyangka orang adalah kurban cambuknya. Ia lantas bertindak maju, dengan niat member labrakan. Ia mendongkol untuk kelakuan jumawa lawannya ini. Tapi ia menyaksikan orong roboh diam saja, ia menjadi heran. Ia lantas membalik tubuh orang. Dari heran ia menjadi kaget.

Cepat luar biasa, napas Coan In Yan-cu sudah berhenti dantubuhnya terasa mulai dingin.

“Heran” pikirnya, “Aku menotok jalan darah cie-gan, mestinya dia lemas dengkulnya dan roboh terkulai, kenapa sekarang dia mati mendadak? Ah mungkinkah ada orang membantui aku?”

Nona itu lantas mengawasi tajam ke tanah disekitar tubuh Seng Hoan, ia melihat patahan sumpit, lekas-lekas ia menjumpitnya menggenggam itu dalam telapakan tangannya, lalu dengan tindakan perlahan ia menuju ke mejanya In Gak, ia menyerahkan potongan sumpit itu tanpa berkata, melainkan bersenyum. Di tetarap barat orang tahu Cian Hoan sudah berlaku keterlaluan, dia melanggar pantangan besar Rimba Persilatan, tidak ada yang mau mengajukan diri untuk membela dia.

Maka itu sunyilah pihak mereka itu, sedang di tetarap timur, orang memang menonton dengan tidak banyak omong.

Tuan rumah lantas menitahkan orang-orangnya menyingkirkan mayat untuk dirawat.

To Ciok Sam memegang kepala sumpit dalam telapakan tangannya, ia menggeleng kepala, dalam hatinya ia kata: “Ini anak muda lihay luar biasa. Potongan sumpit demikian kecil ia dapat membikin melesat demikian cepat dan hebat. Ia rupanya telah mencapai batas kepandaian melepas senjata rahasia yang berupa daun. Jikalau begitu mestinya satu oranglah orang yang tadi bekerja diluar taman.”

Lian Cu sudah duduk kembali di kursinya, dengan tertawa perlahan, ia melirik In Gak, lantas ia berbangkit dan berkata pada Ciu Wie Seng dan To Ciok Sam; “Jiwie loocianpwee, maaf, boanpwee hendak mengundurkan diri” Dilain pihak, dalam hati kecilnya ia kata: “ Kalau benar dia, sungguh bagus!” Ketika ia berjalan sampai di pintu, ia menanya si penjaga: “Kamar tetamu dimana? Sudikah kau mengantarkan aku kesana?”

Pengawal itu menyuruh seorang kawannya pergi mengantarkan.

Selagi berjalan, si nona berpikir: “Akulah seorang nona, sekarang aku pergi kekamar orang, kalau orang memergokinya, apa jadinya?” Ia menjadi ragu-ragu. Meski begitu, ia Tanya pengiringnya dimana kamarnya Gan Siauwhiap.

“Itulah kamar nomor dua diatas lauwteng” sahut si pengantar.

Nona ini membilang terima kasih, terus ia naik ke lauwteng, ke kamar kedua yang ditunjuki itu. Ketika ia sudah sampai didepan kamar, ia mendapatkan pintunya cuma dirapatkan. Ia mengangkat tangannya, untuk menolak. Gampang saja, daun pintu itu menjeblak terbuka. Kamar itu sunyi tidak ada penghuninya. Cuma ditihang pembaringantergantung pauwhoknya In Gak. Ia menghampirkan untuk mengasi turun pauwhok itu, terus ia membukanya. Segera matanya melihat sepotong baju panjang hitam.

Bukankah tadi Tan Bun Han menyebutkan si orang aneh mengenakan baju hitam?

Baju itu pun sedikit munjul, mendadak ada barang yang jatuh dilantai. Ia lantas pungut itu. Untuk kagumnya ia mendapatkan topeng kulit yang bagus sekali. Sekian lama ia mengawasi, mulutnya mengasi dengar tertawa perlahan.

Kemudia ia mencoba pakai topeng itu, ia berkaca di kaca tembaga. Ia girang sekali. Ia nampaknya lucu. Lantas ia  duduk disisi pembaringan, otaknya bekerja. Tapi tak lama, topeng itu ia bungkus dengan baju hitam tadi, terus ia taruh didalam bungkusan, disusunan pertama. Itulah tanda bahwa kekamar itu ada orang yang dating dan menggeser bungkusan itu. Diatas itu, ia meletaki sapu tangannya, serta sebutir mutiara, yang ia baru keluarkan dari sakunya. Ia bersenyum puas, habis itu, baru ia keluar, setelah merapatkan daun pintu, ia pergi turun.

Ketika itu sang maghrib lagi mendatangi. Ciu Wie Seng naik ke panggung Wan Yo Tay, untuk memberi hormat pada para hadirin, memberitahukan bahwa piebu ditunda sampai besok. Ia mengundang mereka bersantap malam.

“Besok pagi kita akan mulai pula,” katanya, penutupnya. Maka dipalulah gembreng tiga kali.

Di kedua tetarap, para tetamu bersorak riuh. Sambil bersenyum, Wie Seng turun dari panggung. Segera repotlah para cungteng atau pelayan, untuk menyajikan hidangan, untuk melayani para tetamu bersantap. Sampai kira jam sepuluh malam, baru orang bubaran.

Ketika In Gak sampai dikamarnya, ia lantas melihat apa-apa yang tidak beres. Kasurnya melesak, seperti bekas diduduki.

Lantas ia mengambil bungkusannya buat diperiksa. Maka ia melihat baju hitamnya berada disebelah atas dan mendapatkan sapu tangan wanita, pula sebutir mutiara sebesar kacang yang menyiarkan bau harum. Diujung sapu tangan itu ada sulaman satu huruf “Tio” yang berada atas sulaman bunga Teratai, indah buatannya. Ia pegangi saputangan itu, lantas ia menduga pada Lian Cu.

“Nona ini sangat cerdik” pikirnya, “Dengan lantas ia menduga aku. Barusanpun, ia mengantarkan pulang ujung sumpitku. Ia meninggalkan saputangan dan mutiara disini, tentulah ini tanda terima kasihnya. Mana dapat aku menerima ini? Tugasku menuntutbalas belum selesai, dapatkah aku terganggu urusan semacam begini? Bisa-bisa tugasku menjadi terintang…Apa tidak baik aku menemui dia, untuk member penjelasan? Dengan begitu apakah sikapku tidak terlalu? Ah, tidak, tidak dapat aku membayarnya pulang! Habis bagaimanakah?”

Ia menjadi bingung. Ia menghela napas.

Selagi begitu, ia mendengar tindakan kaki diluar kamar. Lekas-lekas ia sesapkan saputangan dan mutiara kedalam sakunya. Yang dating itu Gouw Hong Piu, yang terus menolak pintu dan berkata sambil tertawa: “Gan Siauwhiap, ketika di Kho-yoe aku sudah tahu kau gagah, aku tidak menyangka kau begini pandai menyimpan kepandaianmu, maka itu maafkan aku untuk mataku yang tidak awa,” ia berkata sambil member hormat dengan menjura. In Gak mengulur tangannya, untuk mencegah, lantas Hong Piu merasakan tenaga yang luar biasa besar, yang menolak tubuhnya, hingga tak dapat ia membungkuk.

In Gak tertawa dan berkata: “Gouw Tiangcu, kita ada diantara orang sendiri, harap kau tidak menggunai adat peradatan. Aku juga tidak mengerti, siapakah itu yang kau sebutkan?”

“Siauwhiap terlalu merendah” kata pemilik peternakan itu tertawa, “Kau lihay, kau tetap berlagak pilon! Didalam Rimba Persilatan, sungguh tak banyak orang sebangsa kau, Siauwhiap, aku datang atas namanya tuan rumah dan saudara To untuk meminta kau suka beromong-omong”

“Tiangcu, aku tidak sangka kau dapat menggunai banyak adat peradatan” kata In Gak tertawa, “Kalau mau bicara, marilah!” Baru ia mau bertindak keluar, atau telinganya mendengar tindakan kaki ramai, lantas dimuka pintu kamar ia melihat munculnya The Kim Go bersama tuan rumah dan To Ciok Sam, juga Ciu Goat Go dan Tio Lian Cu.

“Gan Siauwhiap,” kata Ciu Wie Seng yang maju kedepan, “Maafkan aku yang sekian lama tidak melihat kau. Kawanan penjahat sudah mengacau rumahku ini, tapi aku tidak mendapat tahu, syukur ada kau yang menghindarkan bahaya. Budimu ini, tidak dapat aku balas. Barusan aku minta saudara Gouw dating lebih dulu pada kau, aku minta maaf yang aku datang terlambat,” lantas ia member hormat.

In Gak lekas membalas.

“Jangan, terima kasih!” katanya, menampik.

To Ciok Sam menghampirkan si anak muda, untuk mencekal tangannya dengan keras, guna menatap tajam wajahnya. Lantas dia tertawa tergelak.

“Sungguh seorang gagah asalnya ialah anak muda!” katanya. “Gan Siauwhiap, siapakah gurumu? Dapatkah kau memberitahukan?” “Tak tepat loocianpwee memuji aku!” kata In Gak merendah, “Guruku seorang pendeta perantauan, yang tak ketahuan tempat kediamannya, bahkan aku tidak ketahui juga nama atau gelarannya, dari itu menyesal tak dapat aku memberitahukannya. Sebenarnya aku cuma mempelajari ilmu melepas senjata rahasia serta sedikit akal kecerdikan, dalam hal lainnya aku tidak mengerti apa-apa. Tentang pengacauan di Ciu kee cung ini, ada orangnya yang telah membantu secara diam-diam, perihal aku, kebetulan saja aku berada disini. Maka itu, tidak berani aku menerima ucapan terima kasih”

Ciok Sam heran.

”Sipakah itu yang membantu secara diam-diam?” ia tanya. ”Siauwhiap tentulah ketahui siapa dia..?

Muka In Gak bersemu dadu, ia menggeleng kepala.

”Aku tidak dapat melihat tegas padanya, cuma gerakannya saja sangat gesit,” ia menyahut. ”Teranglah dia mempunyai kepandaian yang mahir sekali”

Mendengar itu In Liong Sam Hian tertawa.

”Aku si orang tua ketahu Siauwhiap pandai sekali menyembunyikan diri!” katanya, ”Sebenarnya dimana ada orang seperti yang siuwhiap katakan itu?”

Mengetahui orang tidak percaya ia, In Gak tidak berdaya. Ia kata: ”Jikalau loo-cianpwee tidak percaya, aku tidak dapat bilang suatu apa. Hanya dapat aku bilang, dalam dua tiga hari ini pasti bakal terjadi sesuatu yang penting, hingga setelah itu, baru nanti loo-cianpwee percaya aku”

Ciok Sam terus menatap. Ia merasa, makin lama ia makin menyukai anak muda di depannya ini, yang tampan dan halus gerak-geriknya. Coba tidak Tan Bun Han menyatakan, kepandaian orang sangat luar biasa, pasti sudah ia menawarkan diri untuk menjadi gurunya, agar ia dapat mewariskan semua kepandaiannya. Kemudian ia kata: ”Baiklah, aku percaya atau tidak, sang waktu yang akan mengasi buktinya! Cuma, kalau itu kawanan bajingan benar- benar berani mengacau pula..hmmm..biarlah dia nanti merasai kelihayanku! Siauwhiap, mari kita pergi keluar, untuk menanti kawanan bajingan itu!”

In Gak menurut, tetapi ia masih berkata:”Oey Kie Pay berani sekali, sebentar malam haruslah kita berjaga-jaga.”

”Aku telah siap dengan penjagaanku,” Wie Seng memberitahu, ”Malam ini, aku rasa, tidak bakal ada bahaya. Kalau Oey Kie Pay mengirim orang, tentu untuk mencari tahu saja keadaan kita, untuk persiapan menolong orangnya dan mendapatkan pedang. Umpama kata mereka mau menyerbu, itu pasti nanti dilakukan setelah pie-bu ditutup.”

In Gak mengangguk, ia tidak bilang suatu apa. Dibelakang ia, kedua nona terdengar kasak kusuk dan tertawa perlahan tetapi geli, hingga satu kali ia menoleh, ingin tahu kenapa mereka tertawa. Ia mendapatkan, keempat mata mereka tajam mengawasi padanya, tangan mereka digerak-geraki secara menarik. Nona-nona ini sangat lincah, gembira bagaikan anak kecil.

Ciok Sam dapat melihatgerak-gerik anak-anak muda itu, ia bersenyum, kemudian memandang si anak muda, ia tertawa. In Gak menjadi likat.

Tidak lama ramailah orang berbicara dan tertawa, di ruang besar dimana mereka itu duduk berkumpul. In Gak-lah sebab utama dari kegembiraan mereka itu. In Gak sendiri tetap bersikap tenang dan tak banyak berbicara.

Orang berkumpul samapi sore, sampai si Puteri Malam muncul menerangi sang gelap-petang. Angin halus membuatnya cabang-cabang pohon bergoyang-goyang, memain mendatangkan bayangan.

Tidak jauh dari tempatnya duduk, In Gak melihat papan catur. Ia menghampirkan itu, ia menjumput biji-bijinya untuk digenggam, lalu ia meletakannya pula, suaranya berbunyi nyaring.

”Aku gemar main catur, entah loo-cianpwee mempunyai kegembiraan atau tidak?” ia tanya Ciok Sam seraya ia memandang sambil tertawa kepada jago tua itu.

”Oh, kiranya siauwhiap gemar main catur” katanya, ”Sudah enam puluh tahun aku si orang tua main catur, selalu kalah, tetapi biar selalu kalah, dia tetap main terus! Siauwhiap, sukalah kau mengganda.”

”Loo-cianpwee bergurau,” In Gak kata tertawa, ”Aku baru belajar, mana dapat mengganda?”

”Baiklah,” kata Ciok Sam sungguh-sungguh, ”Awas, jangan kau mengalahkan aku hingga aku tidak tahu dimana harus menaruh muka!”

In Gak tetap tertawa manis. Lantas ia duduk menghadapi jendela.

Ciok Sam menggulung tangan bajunya, dengan tangan kirinya ia mengurut-urut kumis dan jenggotnya. Ia menjalankan biji-bijinya dengan teliti. Didepan ia, In Gak bertindak sebat, dia merangsak ketengah menduduki kotak- kotak yang baik, lalu menelan beberapa biji lawannya, hingga dia lantas menang unggul. Maka jago tua itu menjadi mengerutkan alis untuk berpikir keras.

Kedua nona menonton di pinggiran, mereka mengeluarkan kata-kata tak terang, lalu tangan mereka tunjuk-tunjuk sendirinya, seperti biasanya orang luar tengah menyaksikan orang mengadu otak itu. Dari bicara perlahan, suara mereka menjadi membisingkan telinga.

”Dasar kamu anak-anak, kamu berisik saja!” kata Ciok Sam kemudian, ”Awas ya, dengan kamu menggganggu aku, nanti siapa akan membantu pada kamu!”

Lian Cu tertawa. ”Loo-jinkee yang kalah, kami yang muda yang disesalkan!” dia kata, ”Memangnya siapa menghendaki bantuan loo- jinkee!”

Ciok Sam tertawa lebar.

”Anak, kau pandai bicara ya!” katanya, ”Aku mau lihat nanti, kapan tiba waktunya kau membangun rumah tangga, kau cari aku untuk memohon bantuanku atau tidak?”

Habis berkata, ia terus melirik In Gak. Muka si nona bersemu dadu.

”Loo-jinkee, kau...” katanya tertahan. Ia sudah mengangkat kakinya tetapi Goat Go menahan tertawa.

Wie Seng dan The Kim Go juga turut tertawa.

Agaknya mereka itu gembira sekali, sampai mereka seperti melupakan bahwa mereka mempunyai musuh-musuh gelap.

Ciok sam penasaran, ia bekerja keras, niatnya dapat memperbaiki kedudukannya. Lama ia berdiam untuk berpikir.

In Gak juga berdiam saja, tapi selagi lawannya mengasah otak, tangan kanannya menjumput lima biji putih, mulutnya menghitung: ”Satu..dua..tiga ...empat..lima!”

Ciok Sam heran, ia mengawasi.

In Gak terus berdiam, hanya kali ini ia tertawa perlahan, tangannya terus menimpuk keluar. Gerakannya itu nampak perlahan tetapi melesatnya biji-biji catur cepat sekali.

Menyusuli timpukan biji-biji catur itu, diluar terdengar suara seperti orang menahan napas, disusul suara roboh barang berat.

Hui In Ciu Wie Seng terkejut, segera dia lompat keluar jendela. Dia lantas disusul Kim Go.

In Gak duduk tenang, ia mengawasi papan catur, seperti ia lagi memikirkan biji-bijinya. Menampak demikian, mau atau tidak, Ciok Sam menjadi kagum. Ia pun telah melihat tegas timpukannya anak muda itu. Lian Cu mengawasi si pemuda, ia seperti tidak memperdulikan suara di luar itu, akan tetapi kapan ia mendapat kenyataan dua jago catur itu terus berdiam saja, ia habis sabar, ia membikin mulutnya monyong, tangannya terus mengacau biji-biji catur itu.

”Kamu si tua dan si muda, bagaimana kamu masih bergembira main catur?” katanya keras, ”Kenapa kamu tidak mau nelihat keluar?”

Ciok Sam menolak papan caturnya.

”Eh, bocah, kau jail sekali!” katanya tertawa, ”Aku bakal menang, kau mengacaunya! Kau berat sebelah tahu? Kalau kau disalahkan, kau tentu berbalik menyalahkan aku!”

Lian Cu melotot kepada orang tua itu, sedang Got Go tertawa terkekeh.

Justeru itu Wie Seng dan Kim Go sudah kembali, mereka mengelek dan menenteng tubuhnya lima orang.

Hui In Ciu Wie Seng tertawa, ia berkata: ”Kelima bangsat ini sudah ditanyai terang, merekalah orang-orang Oey Kie Pay. Gan Siauwhiap, aku numpang tanya, apakah hendak diperbuat atas diri mereka ini?”

”Segala apa terserah Ciu cungcu” sahut si anak muda, ”Mana dapat aku mewakilkannya? Aku malu..”

Wie Seng tahu, orang merendahkan diri, tetapi ia tidak mau memaksa. Ia lantas menitahkan cungteng membawa kelima orang itu kekamar batu, untuk dicampurkan dengan Tjie Ek semua. Kemudian sembari tertawa ia kata: ”Gan Siauwhiap, luar biasa lihay tanganmu! Kepandaian ini belum pernah aku lihat, belum pernah aku mendengarnya.” Ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan: ”Kami adalah orang-orang yang mengerti silat, nama kami terkenal juga didalam rimba persilatan, kami biasa melatih telinga dan mata kami, akan tetapi barusan, kami tak mendengar dan tak melihat ketika kelima penjahat itu datang dan naiki pohon! Sungguh kami malu...”

In Gak likat. Tapi ia lantas mendengar Tjiok sam tertawa. “Tjioe Laotee,” kata djago tua itu,” kita semua, si tua tak

mau mati, kita sudah seharusnja pada mundur sekarang ini djamannja si anak-anak muda Apakah kau tidak kenal pepatah jang membilang, gelombang jang dibela kang mendorong gelombang jang didepan, dan orang baru menggantikan orang lama? Lihat sadja, selama beberapa hari ini telah terdengar beritanja hal orang-orang muda jang gagah, jang baru muntjul Demikian halnja si pemuda sheTjia di Kim-hoa, tanpa sepuluh djurus dia telah menghadjar mampus pada Tiat-sat-tjioe Koet sin, hingga dia menggemparkan dunia Kang-ouw di selatan dan Utara sungai besar. Kalau dipikir-pikir, aku harus menjemplungkan diri ketelaga Kho Yoe.”

Kata-kata ini membangkitkan tertawa ramai.

“Aku bitjara benar-benar, Gan siauwhiap,” kata Tjiok sam kepada si anak muda, jang ia awasi.” Aku sudah berumur Sembilan puluh tahun tapi belum pernah aku menjaksikan kepandaian seperti kepandaian kau barusan. Bagaimana kalau sekarang kau mentjoba aku didjarak sepuluh kaki?”

In Gak menggojang kedua tangannja.

“Tidak bisa, lootjianpwee, tidak bisa,” katanja tjepat. Djanganlah lootjianpwee membuatnja aku mengasi lihat keburukanku? Apa aku bisa jalah menghadjar benda mati, kalau terhadap benda hidup, aku tak berguna lagi”

Tapi To Tjiok sam tidak mau mengerti, segera ia lompat hingga lima tombak. “Gan siauwhiap. dj angan kau menampik katanja, sungguh2.” Mari kita mentjoba-tjoba, untuk berlatih. Kau boleh gunai semua kepandaian kau, umpama kata aku terluka, tidak apa. Djikalau kau mengalah, kau membuatnja aku tidak puas”

Mengetahui tabiat orang, In Gak tertawa. Ia lantas mengambil sepuluh bidji tjatur.

“Lootjianpwe, maafkan aku jang muda” katanja, jang kata- katanja ditutup dengan timpukannja, mengarah pundak kiri djago tua itu.

Biar bagaimana, Tjiok sam terkedjut melihat datangnja bidji tjatur itu ia lantas mengibas dengan tangan kanannja. Ia dapat membebaskan diri tetapi bidji tjatur lewat dekat diatasan pundaknja. Djusteru itu, In Gak sudah menimpuk pula, kali ini bukan

dengan satu atau dua bidji hanja lima, dua didepan, tiga dibelakang, hingga kelimanja merupakan bunga bwee. Tiga bidji jang dibelakang itu pun datangnja saling-susul.

Melihat datangnja serangan itu, Tjiok sam menjerang berbareng dengan dua-dua tangannja. Ia mengguai Pekskhong-tjiang, pukulan Udara Kosong. Biasanja, hebat anginnja serangan itu. Tapi sekali ini, kelima bidji tjatur tidak tersapu lantas. sembari mengibas itu, djago tua ini berkelit.

Ditangannja In Gak masih ada sisa empat bidji, semua ini segera disusuli dipakai menjerang pula. Tentu sekali, serangan jang terachir ini tjepat luar biasa. sebab ketika, Tjiok sam tengah menangkis dan berkelit. Maka repotlah dia atas datangnja empat bidji tjatur itu. Terpaksa dia berkelit pula, sambil mendjatuhkan diri. Ketika dia berbangkit bangun, dia periksa tubuhnja, untuk mendapatkan kepastian dia bebas atau tidak. Lalu hatinja mendjadi mentjelos, mukanja mendjadi putjat. Dia mendapat kenjataan, udjung badjunja jang kiri kena ditembusi sebuah bidji tjatur “Tidak dapat aku sesalkan dia,” pikirnja. “Siapa suruh aku mendesak dia mengeluarkan kepandaiannja? Djikalau dia bersungguh-sungguh, mungkin tubuhku mendapat beberapa liang.” Lantas ia tertawa bergelak dan berkata: “Gan siauwhiap. hebat tanganmu, aku si orang tua, aku menjerah”

Memang djago tua ini mesti menjerah kalah. Ketjewa ia bergelar In-liong sam-hian, atau naga jang muntjul tiga kali didalam awan- Djulukan itu berarti ia sebat dan gesit luar biasa, bagaikan naga memain dimega, siapa tahu, kali ini ia runtuh.

In Gak menjesal atas perbuatannja itu, ia merangkap tangannja memberi hormat, ia

kata: “Benar tepat djulukan lootjianpwee In-liong sam-hian Barusan sengadja sadja lootjianpwee mengalah kepadaku, djikalau lootjianpwee merangsak, apa aku bisa bikin?”

Mendengar itu, Tjiok sam sangat bersjukur, tapi ia kata, tertawa: “Buat apa kau masih melindungi mukaku, Gan siauwhiap? Disini orang semua bermata tjeli, siapakah jang tak melihat? siauwhiap. biasanja aku tidak menjera h kepada siapa sadja, baru sekarang terhadap kau. Aku hanja kurang djelas mengenai satu hal. Aku mempunjai tipu silat Tay-lek Kim-kong-tjiang, djikalau aku menggunai itu, setiap sendjata mestinja kena tersampok balik, tubuhku tak dapat didekati, tetapi aneh, bidji tjaturmu tak dapat terpukul mundur semua, ada djuga jang nerobos terus?”

“Maaf, lootjianpwee, malu aku untuk mendjelaskannja,” berkata In Gak. “Aku hanja menggunai akal. Bidji tjaturku itu dapat dipakai menjerang setjara berputar, djadi penolakan langsung tak dapat mentjegahnja. Barusan bidjiku menjambar dari samping.”

Alasan ini masuk diakal, tidak dapat orang tidak pertjaja, hanja satu hal sudah pasti, tjuma In Gak jang dapat menjerang setjara demikian, lain orang tidak sanggup, Entahlah kalau jang diserang bukannja To Tjiok sam. In Gak telah menjembunjikan satu hal serangannja itu menurut Hian- wan Sip-pat-kay.

Seperti jang lain-lain, Goat Go dan Lian Tjoe djuga memudji anak muda itu, jang mereka sangat kagumi, tanpa merasa, mereka mengawasi orang dengan mereka mementang empat mata mereka.

Tjioe Wie seng dapat melihat kelakuan puterinja. Itulah kelakuan jang dulu-dulu belum pernah ia lihat. Ia mendjadi terharu. ia mengasihani anak gadisnja ini, jang telah

tidak mempunjai ibu, hingga dia tidak mendapat merasai kasih-sajang ibunja. Biasanja si nona pendiam, djarang sesuatu terkentara pada air mukanja, tetapi kali ini, lain.

Pernah Wie seng memudjikan beberapa anak muda, jang tampan dan mengerti baik ilmu silat, Goat Go tidak perhatikan mereka, hatinja tak pernah tergerak, baru sekarang ia nampak berubah, ia seperti bukan Goat Gojang dulu.

Sementara itu, disitu ada Tio Lian Tjoe. Nona ini lebih tj antik, ilmu silatnja terlebih tinggi. Nona ini pun lebih berani, nampak njata dia sangat memperhatikan si anak muda.

Bagaimana sekarang?

Wie seng bingung djuga. Dilain pihak lagi, ia belum tahu keadaan si anak muda. Apakah masih merdeka?

Masih ada satu hal lain, jang lebih penting. sekarang ini bukan saatnja bitjara perkara djodoh. Mereka lagi terantjam bahaja dari rombongan Oey Kie Pay. Dan anaknja sendiri tengah menghadapi urusan pieboe.

Lian Tjoe benar-benar berani. sembari tertawa ia menghadapi In Gak dan minta diadjari ilmu melepas sendjata rahasia, ia tak malu-malu atau likat. Melihat orang demikian polos, In Gak malu hati untuk menolak.

“Nona hendak mempeladjari sendjata rahasia, baik sekali, akupun tidak suka menjembunjikan apa jang aku bisa,” katanja, turut tertawa. “Tjuma hendak aku mendjelaskan, sendjata rahasia tidak dapat dipeladjari hanja satu hari atau satu malam. Baiklah, kalau nanti urusan disini sudah selesai, aku akan mengadjari pokoknja dulu.”

Baru si pemuda menutup mulutnja, atau Goat Gopun madju.”Siauwhiap!” kata Nona Tjioe, “aku djuga ingin mempelajari sendjata rahasia, dapatkah?”

In Gak heran hingga ia melengak. tapi tjuma sebentar. “Dapat nona, dapat!” sahutnja lekas.

Hong Pioe semua tertawa.

In Gak mendengar itu, ia mendjadi likat. Ia merasa bahwa orang mentertawai ianja.

“Nona Tio, ilmu tjambukmu tadi bagus sekali,” ia berkata, memudji, untuk menjimpangi perhatian orang. Lian Tjoe bersenjum.

“Oh, ja,” katanja, agaknja dia kaget, “aku lupa menghaturkan terima kasih padamu” Dan ia lantas mendjura, memberi hormatnja.

“Djangan, nona, djangan” InGak menampik. Ia gugup, ia mengulur tangannja, untuk mentjegah.

Nona Tio menarik tangannja, ia menatap.

Kembali In Gak djengah, tetapi ia tertawa dan terus berkata: “Nona, ilmu tjambukmu liehay, tjuma itu dapat dipakai menjerang djauh, tidak untuk menjerang dekat. Aku mempunjai satu akal untuk menutup kekurangan itu.”

Lian Tjoe djadi sangat ketarik, “Benar?” tanjanja.”Oh, kau adjarilah aku lekas”

“Mari nona kasi aku pindjam tjambukmu,” kata In Gak. jang masih belum sempat menarik pulang tangannja, maka ia djadi dapat melondjorkan terus.” Mari kita keluar, nona pakai pedang, nanti aku mengadjari kau.”

Lian Tjoe menjerahkan tjambuknja, jang terbuat dari otot- otot ular. itulah tjambuk jang ia sangat sajang, jang tidak sembarang ia kasi lain orang pegang. orang lantas pergi keluar dimana tjahaja rembulan permai sekali. Lian Tjoe dan In Gak lantas berdiri berpisah tudjuh kaki. Si nona menaruh pedangnja didada.

“Silakan menjerang, nona,” kata in Gak. “Kau menjerang dengan sungguh-sungguh, djangan sung kan-sungkan.”

Lian Tjoe bersenjum, didalam hatinja ia kata: “Kau nanti lihat ilmu pedangku, Tjioe- hong Lok-yap It-djie Kiam-hoat adjaran ajahku, jang telah menggemparkan Tionggoan, jang belum pernah ada tandingannja, sedang aku, aku telah mewariskannja dengan sempurna. Kau boleh liehay sekali tetapi apa kau sanggup melajani aku?”

Lantas ia kata, perlahan “Baiklah, aku hendak mulai menjerang”

Dan dengan mendadak, ia menikam, gerakannja bagaikan badai menjambar. Gerakan ini tepat, tjotjok dengan ilmu pedang itu, Tjioe- hong Lok-yap It-djie Kiam-hoat, jaitu ilmu pedang Daun rontok karena angin musim rontok. serangan itu menudju kepundak kiri.

In Gak tidak berkelit, ia djuga tidak menangkis, hanja ia mendahului, dengan sangat sebat, tjambuk ditangannja bergerak, udjungnja mentjari udjung pedang.

Lian Tjoe terkedjut. serangannja itu gagal, tjambuknja seperti tertindih barang berat. Dengan lantas ia memutar pedangnja, untuk dibikin lolos, buat terus dipakai menjerang pula, ke iga kiri si anak muda.

Kembali In Gak mengasi lihat kepandaiannja. Udjung tjambuknja menekan pula pedang si nona, orang sampai seperti tidak mendapat lihat bagaimana dia menggeraki tangannja.

Lian Tjoe heran, tetapi ia penasaran, maka ia melepaskan diri, untuk menj erang terus. Ia melandjuti mengguna i ilmu silatnja itu, jang banjak djurusnja jang beraneka. In Gak tetap bersilat seperti bermula. Ia main tekan udjung pedang lawannja itu. Nona Tio terkedjut ketika sendjata mereka bentrok. la merasakan tangannja kesemutan, sampai pedangnja hampir terlepas. Tapi sekarang ia mulai mengerti ilmu silat tjambuk pemuda itu. orang liehay disebabkan mahirnja tenaga dalamnja.

Dari tigapuluh djurus mereka bertempur sampai limapuluh djurus. si nona terdesak tetapi sekarang ia dapat bersenjum. Ia melajani dengan tenang, njata si anak muda tidak mau meroboh kannja.

“Kepandaian Gan siauwhiap hebat sekali,” kata To Tjiok sam sesudah menonton sekian lama. “Ia bergerak lintjah bagaikan naga dan ular. selandjutnja aku tidak berani memandang enteng lagi kepada dunia”

Liang-hoay Tayhiap Tjioe Wie seng dan Hoei-in-tjioe Gouw Hong pioe mengangguk. “Rupanja gurunja Gan siauwhiap bukan sembarang orang,” kata Wie seng.

Goat Go berdiam sadja, tetapi dengan berdiam ia memperhatikan bergerak-geraknja tjambuk In Gak. Ia merasa puas.

“Nona Tio, awas !” mendadak terdengar suaranja si pemuda. Inilah djurus merampas djiwa untuk merebut kemenangan

Kata-kata itu disusul udjung tjambuk menjambar pundak kiri si pemudi.

Lian Tjoe segera menjambut, untuk memapas tjambuk itu. Ia bersilat dengan tipu Angin puju menjapu pohon yanglioe, pedangnja membabat dari kanan kekiri, sinarnja pedang berkelebat bertjahaja perak.

Tepat disaat tjambuk hampir kena dibabat, mendadak In Gak tertawa, tubuhnja bergerak kekiri, tangannja ikut bergerak, membebaskan tjambuk dari babatan, setelah mana, tjambuk itu disamberkan kembali. “Lepas tanganmu” ia berseru sambil ia menarik dengan kaget.

Diluar kehendaknja, tubuh Lian Tjoe madju empat tindak, telapakan tangannja dirasakan sakit, tidak dapat ia memegang lebih lama pedangnja, pedang itu tertarik. terlempar djauhnja belasan tombak, djatuh ditanah dengan menantjap.

“ Maaf, nona, aku tak sempat menahan tanganku,” kata In Gak tertawa. Lian Tjoe mendelik kepada pemuda itu, tetapi setelah itu, ia tertawa

In Gak berlompat kearah pedang, untuk mendjemputnja, setelah mana, dengan sama gesitnja ia berlompat balik.

Demikian lintjah gerakannja itu, hingga kembali ia mendatangkan kekaguman kawan-kawannja.

“Sjukur pedang ini tidak rusak” katanja kepada si nona seraja ia menghaturkan sendjata orang itu. Dapat aku mengembalikannja dengan baik Lian Tjoe menjambuti sambil tertawa.

“Terima kasih,” utjapnja. Itulah penghaturan terima kasih tidak untuk pedang belaka hanja djuga untuk pengadjaran jang diberikan- Karena pertandingan itu merupakan latihan peladjaran baru.

Setelah itu, mereka kembali kedalam, ketjuali Goat Go dan Lian Tjoe. Sebab mereka berdua lantas berlatih, untuk dapat mendjalankan dengan baik ilmu tjambuknja In Gak barusan. Berdua mereka saling mengadjari dibagian-bagian jang mereka ragu-ragu. “Siauwhiap. setelah urusan d isini selesai, kemana kau hendak pergi?” tanja Tjiok Sam.

“Aku hendak pergi ke Utara, ke kota radja, untuk menetapi djandji pertemuan sebelum harian Toan-ngo,” sahut si anak muda.

“Bagus siauwhiap hendak pergi ke kota radja,” kata Tjiok sam. “Setelah bertemu dengan sahabatmu itu, aku minta dengan sangat sukalah kau mampir padaku. Rumahku tidak terpisah djauh dari kota radja, dengan menunggang kuda, siauwhiap akan sampai disana dalam dua-tiga hari. Aku tinggal di Tjin Hong Too. Dengan tanja-tanja orang, dengan mudah siauwhiap akan dapat mentjarinja. Ketjuali ingin dapat memasang omong dengan kau, siauwhiap, aku pun hendak meminta sesuatu, entah..”

“Djikalau ada titahmu, lootjianpwee, mana aku berani membantah?” berkata si anak muda mendahului. “Setelah bertemu dengan sahabatku itu, pasti aku akan berkundjung kepada lootjianpwee.”

In Gak menduga permintaan itu tentu djuga urusan budi dan penasaran dalam Rimba Persilatan, ia sendiri tengah mentjari musuh- musuhnj a, ia boleh sekalian sadja melakukan perantauannja. Ia pertjaja perdjalanan itu akan membawa kebaikan untuknja. siapa tahu bila ada musuhnja jang berdiam di Kwan-gwa?

Tjioe Wie seng berpikir mendengar To Tjiok sam memohon bantuannja In Gak. la menerka urusan itu penting sekali.

In-liong Sam-hian sangat terkenal di Kwan-gwa, ada siapakah jang berani mengganggu dia? pikirnja. Bukankah itu berarti menarik-narik kumis harimau? Maka ia mengawasi tetamunja itu.

To Tjiok sam menjangka tuan rumah mentjurigai sesuatu, ia tertawa. “Tjupu-tjupu ini achirnja bakal petjah, tjuma sekarang belum waktunja” katanja.

Oleh karena orang tidak suka mendjelaskan, Wie Seng tidak mau menanjakan. Ia lantas menimbulkan pula urusan kaum Bendera Kuning.

Gouw Hong Pioe, The Kim Go dan Tjia In Gak melajani tuan rumah bitjara, tjuma Tjiok Sam jang berdiam sadja. In-liong sam- hian agaknja lagi berpikir keras, untuk mengambil suatu keputusan.

Tidak lama muntjullah Goat Go, sembari tertawa-tawa dia berbisik pada ajahnja. “Ah, anak nakal” ajah itu berseru. Ia terus berpaling kepada In Gak dan tertawa djuga, ia kata: “Anakku dan Nona Tio  telah mejakinkan ilmu pedang dan tjambuk barusan, ada beberapa bagian jang mereka belum djelas, dari itu mereka ingin minta siauwhiap suka keluar sebentar untuk memberikan petundjuk kepada mereka. sudikah siauwhiap membantu mereka itu?”

In Gak bersenjum.”Tentu” sahutnja tjepat dan segera ia ikut Goat Go keluar.

To Tjiok sam mementang lebar matanja, mengawasi tuan rumah.

“Tjioe Laotee,” katanja tertawa, “Bagaimana kau lihat sikapnja anak-anak itu? Aku kuatir mereka bakal menerbitkan urusan berabeh, jang lebih sulit daripada

sepak-terdjangnja partai Bendera Kuning”

Wie seng mengerti apa jang dimaksudkan In- liong sam- hian, ia djuga mengerti bahwa ia terantjam urusan memusingkan kepala, akan tetapi ia merasa baiklah kalau anak-anak itu tetap bergaul akrab, maka ia balik mengawasi sambil bersenjum.

“Hal itu siauwtee telah melihatnja” katanja tertawa. “Tapi anakku buruk. mana mungkin Gan siauwhiap tertarik kepadanja? Apapula didepan anakku itu, ada Nona Tio Bukankah anakku memikir jang tidak-tidak? Hanja kasihan si Goat, dari ketjil ia telah kehilangan ibunja, dan selama ini hatinjapun tertusuk hingga ia mendjadi senantiasa berduka. Baru setelah melihat Gan siauwhiap sikapnja berubah daripada biasanja. Dapatkah siauwtee mentjegah dia? Aku pikir baiklah aku membiarkan sadja, agar ia mundur sendirinja nanti”.

Gouw Hong pioe menggeleng kepala. “Terdengarnja alasan itu tepat sekali, akan tetapi

kenjataannja tidak demikian,” berkata Hoei-in-tjioe.” Mereka bergaul akrab, tidak nanti mereka membiarkan lain orang menjelak ditengah-tengah mereka. Itu artinja, sedikit kekeliruan sadja dapat mentjiptakan peristiwa jang menjedihkan. saudara Tjioe, tak dapat urusan dibiarkan setjara wadjar. Menurut siauwtee, selagi kedua botjah itu demikian akur satu dengan lain, tidakkah tjotjok apabila mereka dinikahkan bersama? Bukankah saudara tidak mempuniai anak laki-laki? Tjotjok sekali umpama nanti, anak puterimu menurut she asalnja dan anak Nona Tio mengikut she suaminja. Tidakkah ini bagus untuk kedua pihak?”

Alisnja Tjioe Wie seng terbangun. “Ja, benar, itulah bagus!” katanja.

“Ha, kamu bitjara enak sadja” To Tjiok Sam tjampur bitjara. “Apakah kata si orang she Tio nanti? sudikah dia menjerahkan puterinja mendjadi kuda pasangan? Masih ada soal Gan siauwhiap sendiri Dia sudah bertunangan atau belum?

Dapatkah dia menerima dua kawan hidup sekali gus? Inilah soal tetapi kamu bitjara enak sadja”

Wie seng tertjengang. Memang benar Hong pioe. Maka ia mendelong mengawasi To Tjiok sam. Tapi In-liong sam- hian tertawa.

“Walaupun demikian, daja tak dapat tak dipikirkan,” ia bilang. “Si orang she Tio lagi sakit, entah bagaimana dengan penjakitnja itu. Dia memang bertabiat aneh tetapi aku tahu benar dia biasapertjaja aku. Akupertjaja dia akan menjetudjul Gan siauwhiap Jang masih mendjadi soal jalah puterimu sendiri Djikalau dia mundur sendiri, soal tidak ada. Akan tetapi aku ketahui baik tabiatmu, maka demikian djuga tentunja puterimu, dia pastilah tidak gampang-gampang mau mundur. Baiklah, laotee, kau serahkan urusan padaku”

Senang djuga Wie seng mendengar itu “Terima kasih” katanja, hatinja pun mendjadi lega.

Ketika itu In Gak masuk dengan wadjah berseri-seri, tangannja mentjekal sehelai kertas. segera dia berkata: “Gouw Tiangtjoe, The Tayhiap. sudikah djiewie menemani aku pergi sebentar ke Lioe sie Wan?” Wie seng menduga ada urusan-“Apakah bunjinja surat itu, siauwhiap?” ia tanja.

In Gak tidak mau membuka rahasia dirinja, dengan perlahan-perlahan ia merobek hantjur surat ditangannja itu, sembari tertawa ia kata: “Barusan kebetulan sadja seorang sahabatku mengabarkan bahwa kawanan Bendera Kuning itu telah mengundang kontjo-kontjonja berapat di Lioe sie Wan pada sebentar malam djam empat, mungkin mereka hendak merundingkan sesuatu jang tak baik untuk kita, oleh karena sahabatku itu bersendirian sadja, ia mengirim surat ini padaku meminta aku jang pergi menjelidiki aksi mereka itu.”

The Kim Go tertawa.

“Selama beberapa hari ini aku menganggur sadja, suka aku menemani siauwhiap dan saudara Gouw, pergi kesana” katanja. In Gak memberi hormat, ia menghaturkan terima kasihnja.

“Silakan tiangtjoe dan tayhiap bersiap. mari kita pergi sekarang” ia berkata. Dan ia terus meminta diri, untuk kembali dulu kekamarnja, guna mengambil sendjatanja, tak dilupakan topengnja.

Hong pioe dan Kim Go bersiap dengan tjepat, maka dilain saat, bertiga mereka telah meninggalkan rumah Wie seng.

Letaknja Lioe sie Wan limabelas lie dibarat-laut Tjioe-kee- tjhung. Tempat itu mempunjai pemandangan alam jang indah. Penduduknja tjuma kira-kira tigapuluh keluarga, jang hidupnja bertjutjuk-tanam. Ditepi kampung ada sebuah kali, jang tepiannja berbarisan pohon-pohon yang lioe jang permai memain diantara sampokan sang angin. Kalinja pun berliku- liku. sunji tempat itu tetapi suasananja menjenangkan, apapula setiap magrib disaat orang-orang tani pulang dari sawah-ladangnja dan botjah-botjah angon bertjokol dipunggung kerbau mereka sambil meniup seruling, atau diwaktu pagi ajam-ajam riuh berkokok dan asap mulai mengepul keluar dari tiap-tiap rumah. Salah satu penduduk Lioe sie Wan jalah Mo Djin, turunan seorang berpangkat dikota radja, jang pulang kedesanja dengan membeli sawah dan kebun, tetapi sampai pada ia, kedjajaannja telah berturun- Mo Djin tidak gemar beladjar surat, ia lebih suka beladjar silat, untuk bertjampuran dengan segala buaja darat, karena mana, ajahnja mati saking berduka, hingga ia mendjadi sangat merdeka. Habis sawah- ladangnja didjual, untuk hidup berpesta-pora, hingga tinggallah rumahnja. Ia terbawa temannja, ia mendjadi anggauta Oey Kie Pay, jang menugaskan ia membantu mengurus tjabang di Kho-yoe. Karena kedudukannja ini, ia bisa berbuat sewenang-wenang pada sesama penduduk. hingga mereka itu menderita, tjuma mendongkol tetapi tak dapat berbuat apa-apa. Berhubung perhubungan buruk Oey Kie Pay dengan Tjioe Wie seng, rumah Mo Djin didjadikan markas tjabang.

Demikian, tiga hari sebelum dibukanja panggung Wan-yo- tay, Tjin Lok bersama limapuluh kawannja telah menempatkan rumah Mo Djin itu, untuk mengatur sesuatu, antaranja ditugaskannja Tjie Ek pergi mentjuri pedang dengan Tjie Ek diantar empat kawannja, sedang ia dan jang lainnja, menanti sambil bersembunji ditempat-tempatjang berdekatan- Tjelakanja, dia tidak mendapat kabar apa-apa lagi dari Tjie Ek. jang tak kembali dan tanpa ada tanda isjaratnja. Djuga lenjap empat kawannja Tjie Ek itu. sedang malamnja, ketika dia mengirim beberapa orangnja, untuk mentjari dan menolongi Tjie Ek. orang-orangnja itu dihadjar In Gak ditengah djalan dan diantar pulang dalam keadaan tertotok djalan darahnja.

Bukan main gusarnja Tjin Lok tapi ia tak berdaja.

Besoknja ia mengirim orang lagi tetapi kali ini orang- orangnja itu dilabrak orang-orang Kay Pang hingga rusak separuhnja.

Mengerti bahwa Tjioe-kee-tjhung terlindungi orang liehay, Tjin Lok lantas muntjul setjara berterang dimuka panggung loeitay. Ia tjerdik, ia tidak sembarang bertindak. ia mengharap bentroknja lain orang, untuk ia jang nanti menjerbu Tjoe-kee- tjhung, untuk memungut hasil tanpa bekerdja berat. Karena ketjerdikannja, ia dipertjaja Oe-boen Loei, ketuanja itu.

Tjin Lok telah memesan orang-orangnja, tanpa isjarat dari ia, tak boleh mereka itu sembarang turun tangan- Ia terkedjut dan heran akan menjaksikan Pit siauw Giam dan Tjian seng Hoan terluka sendjata rahasia. Itu waktu, ia masih belum tahu jang Koe souw dan lainnja telah kena ditawan, djikalau tidak. kagetnja mestinja akan bukan kepalang. Tjuma ia seperti telah mendapat pirasat, hatinja mendjadi tidak tenteram. Karena ini, ia lantas memikir satu akal. Untuk ini ia mengadjak bekerdja sedjumlah orang ditetarap barat, jalah orang-orang jang bukan anggauta partainja. Demikian malam itu djam empat, mereka berkumpul di Lioe sie Wan, untuk mengatur tjara kerdja mereka. Apa mau, niat mereka ini diketahui kaum Kay Pang, maka in Gak lantas dikisiki. Maka si anak muda lantas datang menjateroni.

Diruangan besar dari rumah Mo Djin telah berkumpul Tjin Lok semua. Api dipasang terang-terang, suasana tapinja sunji. Disitu berkumpul kira2 delapanpuluh orang. Tepat waktunja, Tjin Lok mengangkat bitjara.

“Semua tjianpwee dan sesama rekan” katanja, “Pasti kalian telah mengetahui apa sebabnja sampai terdjadi Tjioe Wie Seng hendak menutup diri dan membangun panggung Wan- yo-tay. Itulah karena dia menentang Partai kita. Kita pun, kita telah bertekad bulat untuk mendapatkan pedangnja orang she Tjioe itu.”

Ia menundjuk kepada Sien It Beng, untuk menjambungi: “Inilah Giok- bin Djie-long sien It Beng, ketua dari Gwa sam Tong kami. Ia telah ditugaskan Ketua kami untuk mendapatkan pedang dan orang. Maka kalau besok lusa ia naik keatas panggung, aku minta kalian suka mengalah terhadapnja. Untuk bantuan kalian itu, nanti Partai kami akan membalas budi. Bagaimana pendapat kalian?”

Selagi Tjin Lok menegasi itu diatas rumah terdengar tertawa dingin. Ia kaget hingga air mukanja berubah. Tak sedikit lainnja orang jang pun mendapat dengar tertawa itu. sebat luar biasa, ia mengebut padam penerangan, terus ia lompat keluar dari djendela, diturut oleh jang lain-lain- Tiba diluar, ia terus berlompat keatas genteng.

Rembulan sudah dojong kebarat, sinarnja mulai guram, tetapi diatas genteng itu, orang masih dapat melihat segala apa dengan njata, hanjalah disitu tidak ada seorang lain djuga, keadaan sunji. Heran Tjin Lok. Ia memikir, orang gesit sekali.

“Hoe-paytjoe, dapatkah kau melihat sesuatu?” tanja siauw- song-boen Teng Tjee Leng dari gunung Pek M a san- Ia mendampingi Tjin Lok bersama-sama It-tjie sin-mo Louw Goan Tong dari Hoa san Pay serta Houw-bin Thaypo Goe Hoei, ketua muda dari gunung Hin An Leng di Kwan-gwa.

Tjin Lok menggeleng kepala.

“Segala kurtjatji, buat apa saudara Tjin melajaninja” kata Goan Tong, jang tertawa dingin. “Tentulah dia sudah kabur djauh Kalau tidak. biarlah dia rasai djeridji

Liok-im-tjie dari aku si orang she Louw”

Belum berhenti suaranja Goan Tong ini, diudjung barat genteng itu terdengar suara tertawa tadi, hanja kali ini, terdengarnja sangat njata.

Bagaikan kilat tjepatnja, tubuh Louw Goan Tong sudah mentjelat madju. Dia pun membentak: “Tikus, kenapa kau tidak mau perlihatkan dirimu?”

Dari arah barat itu terlihat satu tubuh mentjelat memapaki, dibarengi tertawa dingin dan bentakan: “Kau turunlah” It-tjie sin-mo kaget sekali. Terpaksa ia berlompat kesamping. ia bersjukur jang ia masih dapat lolos dari serangan orang tidak dikenal itu, jang telah memisahkan diri kira2 sepuluh tombak. Tapi ia mendongkol. Dulu-dulu, belum pernah ia diserang orang setjara demikian. Maka ia segera madju pula. Akan tetapi, dengan tjepat, orang itu sudah menghilang

Tjin Lok lantas mendapat tahu bahwa ia berada dengan musuh ditiga pendjuru, maka bersama-sama kawannja ia memetjah diri, untuk mendekati mereka itu. segera ia merasa bahwa ia pun tengah dipermainkan, sebab musuh mereka tidak dikenal itu, bagaikan bajangan, lari kesana-sini, selalu menjingkir dari kepungan. Mereka sangat gesit.

Ketika itu diluar rumah terlihat dua bajangan tubuh jang langsing dan lintjah, mereka dipergoki oleh pihak tuan rumah, mereka lantas dipegat, untuk diserang. Mereka itu tidak takut, mereka membuat perlawanan.

Kedua bajangan itu masing-masing memakai topeng hitam, sendjata mereka sendjata jang pandjang dan lunak. d iba wah sinar rembulan jang guram, sendjata mereka itu

bergerak-gerak bagaikan ular litjin.

Dipihak tuan rumah, empat orang telah roboh saling-susul. Djusteru itu, diantara mereka terdengar teriakan- “Dua orang wanita, bekuk mereka hidup, hidup”

Kedua orang itu membentak. suara mereka njaring, mengikuti itu, mereka menj erang dengan terlebih hebat, hingga mereka tidak dapat dirangsak. Tapi dengan begitu, mereka tidak dapat merusak kepungan- sebaliknja, lantas terlihat gerakan mereka mendjadi perlahan.

Diantara pengepung ada djuga jang mengupat-tjatji, hingga suara mereka mendjadi berisik sekali.

Selagi kedua wanita itu terkurung hebat itu, mendadak disitu muntjul satu bajangan lain, dan dengan lekas orang melihat njata mukanja jang putjat dan menakuti, tak miripnja manusia biasa, hingga hati orang mendjadi ketjil. Bajangan itu menj erang keras, sampai lantas roboh tudjuh atau delapan kurban-Melihat bajangan itu, kedua wanita kaget dan girang.

“Gan..” mereka berseru tetapi lantas berhenti suara mereka. Tanpa mereka merasa, mereka dihampirkan, untuk ditjekuk masing-masing dengan sebelah tangan orang itu, untuk dibawa menjing kir. Tjuma dengan beberapa lompatan, mereka sudah hilang dari depan para pengepung itu.

Kedua wanita itu. bukan lain daripada Tio Lian Tjoe dan Tjioe Goat Go. Mereka mendapat tahu kepergian In Gak bertiga, lantas mereka menjusul. Djikalau mereka minta ikut dengan berterang, pasti mereka ditolak. Mereka sama-sama membekal tjambuk. Diluar pekarangan, mereka terlihat orang djaga, mereka dikasi lewat tapi orang itu lantas lari mengabarkan pada Wie seng.

Gesit kedua nona itu, mereka dapat menguntit In Gak bertiga. Mereka heran ketika tiba di Lioe sie Wan, mereka tidak menghadapi sesuatu rintangan. Lian Tjoe mengutarakan tjuriganja pada Goat Go. Mustahil musuh tidak membuat pendjagaan? Lihat, entjie, apa itu? kata Goat Go, menundjuk. sebelum ia mendjawab.

Lian Tjoe segera menoleh. Maka ia melihat, diba wah sebuah pohon janglioe, rebah dua tubuh manusia. Kapan nona Tio mendekati, ia mendapat kenjataan dua orang itu telah tertotok urat gagunja. Mereka itu rebah tanpa berkutik, kedua mata mereka dipentang lebar-lebar.

“Pasti dia jang menotoknja” kata Lian Tjoe tertawa. “Adikku, mari kita madju terus, tak usah kita berkuatir lagi”

Goat Go menurut, maka itu, mereka madju terus.

Mereka tiba dipekarangan rumah Mo Djin disaat kawanan oey Kie Pay itu lagi dibikin pusing oleh fn Gak bertiga, jang sengadja bergerak-gerak mirip bajangan, untuk mengatjau kawanan Bendera Kuning itu Mereka kena dipergoki, dari itu, mereka lantas dipegat dan dikepung. Kewalahan mereka memetjahkan kepungan.

In Gak telah memantjing Tjin Lok pergi djauh, lantas dia lari mutar, guna menemui Hong pioe dan Kim Go, djusteru disaat nona-nona itu lagi dikurung dan terantjam, maka ia lantas njerbu kedalam gelanggang, untuk menolong i mereka itu. sebenarnja ia mendongkol untuk kesembronoannja nona- nona itu, jang menempuh bahaja tanpa perlunja. Ia sendiri, tjuma berniat mengatjau.

Ditjekal si anak muda, kedua nona itu tidak membuat perlawanan, bahkan mereka membikin kaku tubuh mereka, hingga gampang sekali mereka dibawa lari. segera mereka tiba ditepi kali, djauh dari rumah Mo Djin-

“Nona-nona, hatimu besar sekali,” kata fn Gak. setelah melepaskan tjekalannja. “Kalau terdjadi sesuatu tak diingin, bagaimana aku dapat berbitjara dihadapan orang-tua kamu?”

“Kami datang sendiri, dapatkah kau mentjampur tahu?” balik tanja Lian Tjoe, keras.

si nakal ini membawa kenakalannja, meski sebenarnja, seperti Goat Go, hatinja senang dibawa berlari-lari anak muda itu Tanpa merasa, In Gak tertawa.

“Benar-benar anak ini berandalan” pikirnja. Apa memang tabiatnja mereka gemar mengatjau? Karena ini ia lantas ingat Wan Lan, jang pun berandalan.

“Djikalau aku tidak mentjampur tahu, habis siapakah?” ia mendjawab, perlahan, sambil bersenjum.

Bukannja ia gusar, Lian Tjoe tertawa lebar.

“Siapa djuga tidak berhak mengurus kami” Goat Go berkata. “Kau tidak berhak” “Berhak?” tanja si anak muda, masgul. “Bagaimana mestinja baru berhak?” Kedua nona itu tidak mendjawab, sebaliknja, mereka tertawa. In Gak kewalahan- setelah berpikir, ia ingat suatu apa.

Itu waktu, Hong pioe dan Kim Go belum datang menjusul, maka si anak muda berkata: “Nona-nona, kau tunggu disini, aku mau menjambut saudara-saudara Gouw dan The. Djikalau kamu tidak pergi dari sini, nanti aku mengadjari kamu suatu kebisaan. Bagaimana, akur?”

Kedua nona itu nampak girang.

“Benarkah?” mereka tanja tjepat. “Baik, djangan kau salah djandji, djikalau tidak, djangan salahkan kami”

“Benar, kamu djangan kuatir” djawab In Gak. Atas djawaban itu, Lian Tjoe tertawa perlahan. In Gak pun tertawa, tetapi dia lantas pergi. Hati si Nona Tio tergerak melihat kegesitan pemuda itu.

“Dia benar gagah luar biasa,” pikirnja. “Entah bagaimana perasaan dia setelah dia mendapati mutiara dan saputanganku. oh, kau tahu, bagaimana aku mengagumi kau”

Goat Go pun berpikir serupa, matanja terus mengawasi meski tubuh orang telah lenjap ditempat gelap.

“Dia hebat sekali, asal aku bisa mendapatkan separuh sadja kepandaiannja, tentu aku bisa merantau dan mendjagoi dalam dunia Kang-ouw,” demikian katanja dalam hatinja. “semoga pengharapanku tidak kosong”

Achirnja berdua mereka menghela napas, mereka berdiri diam saling mengawasi. Tjuma sedjenak. mereka tertawa sendirinja. Lantas mereka duduk ditanah untuk menantikan si anak muda jang mereka kagumi itu

Ketika In Gak tiba dirumah Mo Djin, disana Hong pioe dan Kim Go terlihat lagi dikepung, karena musuh main mentjatji, mereka membalasnja. fa tidak lantas menjerbu, ia lompat naik kesebuah pohon dipinggir lamporan, tempat mendjemur gandum. Diluar dugaan, diatas pohon itu ada pendjahat jang mendjaga. Dia melihat orang datang, dia menjerang. sjukur In Gak awas, ia mendahului menotok. hingga orang lantas berdiam sadja, mata dan mulutnja terbuka lebar, tubuhnja bergojang-gojang mau djatuh.

In Gak tidak memperdulikannja lebih djauh, ia terus memernahkan diri ia ingin menjaksikan kegagahannja Hong pioe dan Kim Go.

Segera terdengar kata-kata mengedjek dari Tjin Lok: “Sungguh aku tidak sangka bahwa Tuan-tuan Gouw danThe,jang kesohor di Utara, telah datang berkundjung kemari dengan membawa sikap bangsa kurtjatji Djikalau tuan- tuan bangsa terhormat, selajaknja tuan-tuan berbitjara dengan orang-orangku, pasti nanti aku mengatur barisan untuk menjambutnja Liang-hoay Tayhiap mengadakan upatjara menutup pedang dan membuka panggung pertandingan untuk mengikat persahabatan, siapa pun dapat datang disana, maka perbuatanmu mengatjau di Lioe sie Wan ini pasti bukanlah maksudnja tayhiap itu sekarang kamu bilanglah apa kehendak kamu, aku akan mengiringinja Tempatku ini tidak dapat menerima kamu datang dan pergi sesuka kamu”

“Orang she Tjin, djangan terkebur” kata Hong pioe tertawa lebar. “Bukankah Lioe sie Wan bukan milikmu? Djadi aku si orang tua, aku suka aku datang, aku suka aku pergi Mana dapat kamu merintangi aku? Tentang maksud kedatangan kami ini, tak usah aku djelaskan pula, kau tentunja telah ketahui baik sekali satu hal ingin aku djelaskan, Koe souw dan lainnja, djumlah duapuluh orang lebih, jang kamu telah utus, tak usah kau kuatirkan-Mereka itu berada didalam Tjioe-kee- tjhung, lagi dilajani kami baik sekali, nanti setelah beres pertandingan diatas loeitay, kami akan menggotongnja keluar” Untuk sedjenak, Tjin Lok melengak. Kata-kata Hong pioe berarti orang-orangnja telah kena dibekuk. fa djadi malu dan gusar. Akan tetapi dia tertawa terbahak.

“Sahabat baik, kamu mengantarkan diri kamu masuk dalam djaring, maka itu marilah a si orang she Tjin djuga menggotong kamu pergi” katanja mengedjek.

Hong pioe mengerti, pertempuran dahsjat tidak dapat dihindarkan lagi, dan bahwa dirinja terantjam bahaja. ia heran kenapa In Gak belum djuga datang. Kim Go djuga mengerti bahaja, ia telah menjiapkan goloknja.

Tjin Lok habis sabar, dia mau lantas madju, tetapi seorang didampingnja mendahului ia. Kata orang itu: “Tjin Paytjoe, biarlah kali ini aku Ouw Tjiangjung menjambutnja” Terus ia madju kedepan Hong Pioe, ia memberi hormat sembari berkata: “Telah lama aku mendengar nama tuan dipeternakan charhar Utara, sekarang kita bisa bertemu disini, aku girang sekali, aku siauw- yauw-tjoe Ouw Tjiang, aku minta sukalah kau memberikan pengadjaranmu “

Hong Pioe mengawasi orang itu, jang berumur lebih-kurang empatpuluh tahun. Ia mau menduga orang mahir tenaga dalamnja, hanja ia tidak kenal padanja. Ia tinggal di Kwan- gwa bersama Kim Go, la tidak kenal orang ini jang baru mendjagoi selama tudjuh atau delapan tahun- Tapi ia membalas hormat, sambil ketawa ia kata: Kaulah tuan rumah, “Tuan Ouw, silakan kau jang mulai”

Ouw Tjiang menjahuti: “Baiklah” sambil ia terus madju menjerang kedada.

Hong, Pioe mendongkol atas kedjumawaan orang, ia menggeser tubuhnja kekiri, selagi dengan tangan kanan ia menangkis, dengan tangan kiri ia membalas menjerang dengan tipu silat Dua ekor naga berebut mutiara, dua djari tangannja meluncur kearah mata. Inilah gerakannja jang membikin ia dapat gelarannja, Hoei-in-tjioe, si Tangan Mega Terbang. Ouw Tjiang terkedjut. Karena ditangkis, tubuhnja kena tertolak. Maka atas datangnja serangan kemata, lekas-lekas dia berkelit. Tapi dia tidak takut. Kembali dia menjerang pula, tetap dengan kedua tangannja.

Kali ini Hong Pioe tidak mau mengasi hati pula. Ia telah ketahui baik tenaga lawannja ini. ia lantas mendahului.

Dengan berlompat ia menjerang dengan kedua tangannja. Itulah pukulan Sin-liong-tiauw-bwee, atau Naga sakti menggojang ekor.

Dengan mengasi dengar suara “Duk..!” maka dada Ouw Tilang kena terhadjar, tubuh nja terus roboh terkapar dan tak bergeming lagi.

Louw Goan Tong lompat menghampirkan Ouw Tjiang, untuk membalik tubuhnja, hingga ia melihat darah mulai keluar dari mata, hidung, mulut dan kuping orang, jang telah mendjadi setengah mati. Itulah berarti, umpama dia dapat hidup, Ouw Tjiang akan ludas ilmu silatnja. Meski begitu, ia mendjedjalkan djuga sebutir obat dimulut kawan itu. setelah itu ia lompat kedepan Hong Pioe, untuk mengatakan dengan dingin: “Sungguh Hoei-in-tjioe jang liehay Djikalau malam ini kau lolos dari tangan aku it-tjie sin-mo, aku sumpah tidak sudi mendjadi orang.”

Djulukan it-tjie sin-mo itu berarti iblis Djeridji satu.

Ketika itu, In Gak berpikir: “Dengan ini tjara, sampai kapan pertempuran dapat diachirkan?” Kedua nona djuga tengah menantikan. sebentar sadja fadjar datang, sang djagat bakal djadi terang- benderang. Baiklah aku menitahkan mereka mundur.”

Pertempuran sementara itu sudah berlangsung, Goan Tong menj erang, Hong pioe menjambuti. orang she Gouw itu tidak sudi diperhina. Goan Tong lantas main menotok. Ia liehay untuk ilmu totoknja enam djeridji, jaitu Liok-im-tjie, jang dapat menotok sekalipun seorang bertubuh kebal tak mempan sendjata. siapa tertotok dia, darahnja akan djadi beku dan mati seketika.

Tidak ada niatnja In Gak untuk menonton lebih lama. Ia angkat tubuh kurbannja, jang sedari tadi ia masih membiarkannja rebah diatas pohon disampingnja, lantas ia melemparkannya djauh kearah It-tjie sin-mo.

Goan Tong sedang mau menerdjang ketika ia terkedjut disebabkan angin menjamber,

dengan lantas ia lompat mundur tiga tindak dan matanja dipentang lebar. ia melihat satu tubuh meluntjur kearahnja. ia menduga kepada musuh, ia memapaki dengan kedua tangannja. Tubuh itu kena terhadjar, terdengar suara perlahan dari mulutnja, lantas roboh ketanah, tak berkutik lagi. Baru sekarang Goan Tong dapat mengenali, orang itu jalah ketua tjabang Bendera Kuning bernama KieBeng bergelar Toks tjoa si Ular Berbisa. ia kaget hingga ia melengak.

Djusteru itu dari atas pohon terdengar suara bersiuljang pandjang, dibarengi lompat turunnja satu orang jang mukanja, melihatnja, membuat hati orang tjiut. Muka itu mirip muka malaikat Pek Boe siang jang bengis dan menakuti. Tapi tidak demikian dengan Hong Pioe dan Kim Go, mereka bahkan girang. Mereka mengenali In Gak. hingga hati mereka mendjadi lega.

“Siluman apa berani main gila didepan aku It-tjie sin-mo?” Goan Tong menegur. Ia bertindak perlahan mendekati In Gak. “Kau mesti mengganti djiwanja ketua tjabang kami” ia mendongkol dan menjesal berbareng. Ia mendongkol sebab tidak menjangka ada musuh bersembunji diatas pohon itu, dan ia menjesal karena ia mesti membinasakan orang sendiri lantaran kesembronoannja. Maka itu, habis menegur, ia lantas madju menerdjang. Tak usah diterangkan lagi bahwa ia mengerahkan sepuluh djari tangannja jang liehay itu. Manusia bermuka aneh itu tidak mundur, tepat ketika tangan jang kuat bakal mengenai tubuhnja, mendadak tangannja diangkat, dipakai menjamber kelengan.

Goan Tong terkedjut, hingga ia berseru tertahan, mulutnja dibuka lebar, matanja mentjilak. Didjidatnja lantas terlihat peluh keluar berketel-ketel. ia berdiam sadja,

tak dapat ia bergerak.

Semua orang berdiam, semua heran dan kagum. It-tjie sin- mojang liehay dapat ditunduki hanja dalam satu gebrak Tjin Lok tidak mendjadi terketjuali, dia berdiri mendjublak.

Si orang aneh tertawa seram.

“Djadi kaulah It-tjie sin-mo” katanja dingin. “Aku dengar liehay sekali ilmu Liok-im-tjiejang dimilikimu Bagaimana sekarang?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar