Menuntut Balas Jilid 01 : Meninggalnya ayah tercinta

Jilid 1 Meninggalnya ayah tercinta

Kuil Poo Hoa Sie terletak diatas gunung Poo Hoa San terpisah lima-puluh lie dibarat-daja dari ketjamatan Hin-kok dalam propinsi Kangsay. Itulah sebuah kuil besar dan tua, jang katanja dibangun di dekat achir dinasti Tjhin, didjaman katjau dari penjerbuan bangsa Hsiungnu dan lainnja. Didalam kuil, pendopo ketiga, jang diberi nama pendopo Leng Koet Tian, diperantikan menjimpan abu dari pelbagai pendeta tersebut, sedang di-depan pendopo itu, jang merupakan pekarangan lebar, tumbuh dua buah pohon pek jang tinggi kira-kira tigapuluh tombak dan besarnja sepelukan empat orang, dan umurnja katanja sudah seribu tahun lebih, sedang kajunja, kalau dibakar di pendupaan, menjiarkan bau harum..

Itulah kuil dimana Beng Liang Taysoe,seorang pendeta jang sudah berusia tinggi, mendjalankan ibadatnja.

Dimasa mudanja ialah seorang mahasiswa jang gagal rnemperoleh gelar sioe-tjay, hingga ia djemu terhadap ilmu surat, tawar hatinja, hingga ia pergi pesiar, lalu digunung Thian San, ia masuk mendjadi orang sutji, Setelah berusia landjut, ia memilih kuilnja ini. Disamping ilmu surat, ia pandai rnenabuh alat tetabuhan, main tjatur dan melukis gambar. la bertubuh djangkung, dalam umur tudjuh puluh lebih, ia mirip seorang dari usia empatpuluh, karena tubuhnja itu tidak melengkung dan djalannja pun tegar dan. tjepat.

Pada suatu fadjar, selagi kabut belum bujar dan hudjan gerimis, dari puntjak Bie Lek Hong didepan gunung itu, kelihatan seorang muda berlari-lari turun, untuk mendatangi kuil. Ia memasuki langsung pintu samping, jang memakai merek „Geng In," artinja „Menjambut Mega," terus berlari-lari dilorong, jang mudun ke bawah. Ia baru berhenti lari setelah masuk kedalam kamar pendeta kepala, jang berada di pendopo ketiga. Ia bermuka putih dan tampan„ tubuhnja kekar, akan tetapi itu waktu, romannja kutjal. Ia mengangguk kepada beberapa pendeta, jang ditemui didalam kuil itu, tetapi ia tidak berbitjara atau merandak. Ia menjingkap kain pintu dan bertindak masuk tanpa ragu lagi.

Beng Liang Taysoe baru sadja habis liam-keng dan lagi duduk bersamedhi sambil merapatkan kedua matanja, waktu ia mendengar tindakan kaki orang diluar kamarnja, ketika ia rnembuka matanja, melihat si anak muda dengan airmukanja diliputi kedukaan itu. Ia pun lantas mengerutkan alisnja jang putih.

„In Gak," ia mendahului menegur, suaranja lembut, “pagi- pagi begini kau telah datang dan romanmu kutjal, mungkinkah kambu pula sakitnja ajahmu?"

Anak muda itu mendjura.

„Benar, loodjinkee," is menjahut. Ia memanggil loo-djin- kee' atau orang tua jang dihormati dan suaranja pun perlahan.

„Baru tadi penjakit ajah kumat, hanja kali ini beda daripada biasanja. la mengeluarkan darah tak hentinja. Ajah bilang dadanja sesak. Baru setelah makan sisa obat loodjinkee, ia rnerasa sedikit lega. Tapi ajah bilang ”

Ia berhenti sedjenak, kedua matanja pun mendjadi merah. “Maka itu ajah menjuruh teetjoe datang kemari untuk memohon loodjinkee suka datang mendjenguk..’

Pendeta tua itu menghela napas.

„In Gak," katanja, „inilah hal jang tjepat atau lambat bakal datang, jang kaupun bukan tidak mengetahuinja, tjuma ingat, didepan ajahmu, djangan kau mengasi kentara suatu apa, untuk mentjegah dia mendjadi bersusah hati. Dalam dua-tiga hari ini, aku rasa, bakal tidak terdjadi sesuatu. Sekarang kau pulanglah lebih dulu, loolap akan menjusul "

Dengan „loo-lap," atau pendeta jang tua, pendeta itu membahasakan diri sendiri.

„Baik, loodjinkee," menjahut pemuda, jang dipanggiI In Gak itu, sambil ia mendjura. Lalu dengan tjepat ia mengundurkan diri, untuk keluar dari kuil, guna kembali ke Bie Lek Hong darimana tadi ia datang. Di kaki puncak, setelah melihat kesekitarnja tidak ada lain orang, ia mendaki dengan berlari-lari dengan ilmu ringan tubuhnja yang mahir. Kalau mulai naik ia menjedot hawa, setibanja di diatas puntjak ia mengeluarkan napas. Habis itu ia berlari-lari pula menudju kebelakang gunung. la baru berhenti sesudah sampai di tjabang puntjak dimana ia melihat kebawah. sebuah djurang. Tanpa sangsi lagi, ia terus berlompat turun dengan menggunai ilmu lompat ”Tee in Tjiong” atau ”Tangga mega” suatu djurus dari ilmu silat ”Tjit Khim Sin hoat atau ”Tudjuh ternak”. Maka dilain saat, ia sudah berbungkuk masuk dalam sebuah guha.

„Anak In!" terdengar satu suara menanja yang lemah, ”loo soehoe sudah datang atau belum?”

„Loo-soehoe" itu jalah panggilan jang berarti ’guru tua”

„Loosoehoe bilang ia akan menjusul, maka itu sebentar ia akan datang,," menjahut si anak muda.

„Ah ” terdengar suara orang itu, mendengar mana pedih

hatinja pemuda itu.

Kamar dalam guha itu diterangi pelita, baunja tak sedap untuk hidung. Kamar itu jang menjambung dengan sebuah jang lainnja, buatan manusia. Dibagian belakang itu ada terdapat perapian, medja, mangkuk dan lainnja perabotan serta sekumpulan dari beberapa puluh djilid buku. Di dalam kamar itu ada dua buah pembaringan bambu atau bale-bale jang ditaruh berhadap-hadapan, di timur dan barat, dan jang di barat, ditempati oleh orang jang berbitjara tadi, jang tubuhnja memeringkuk, mukanja kurus dan perok, jang napasnja memain pergi datang. Dia berambut dan kumis djenggot pandjang. Ketika si anak muda bertindak masuk, .ia mengawasi dengan sinar-matanja jang saju.

Pemuda itu berduduk disisi pembaringan.

”Ajah, bagaimana rasanja dada ajah, apa mendingan” ia tanja. Ia menanja tetapi ia membukai kantjing badju ajah itu, untuk menguruti perlahan. Orang tua itu menghela napas, agaknja merasa sedikit lega.

”Anak In” katanja, ”Selama beberapa tahun ini sjukur ada kau, tetapi kaupun mendjadi menderita karenanja. Ada banjak hal yang kau belum ketahui, jang sebegitu djauh ajahmu simpan sadja dalam hati. Sebabnja ini jaitu aku kuatir, djikalau aku memberitahukannja kepada kau, nanti terganggu peladjaran silatmu, karena perhatianmu mendjadi terpetjah.

Sekarang ini aku merasa aku bagaikan pelita jang minjaknja kering, soal berpisah dari dunia ini tinggal soal waktu sadja, dari itu, dendaman hatiku terpaksa aku mesti mengandal kepada kau seorang...Tentang hal ichwalku, semuanja diketahui loo soehoe, biar loo soehoe jang nanti menuturkan kepada kau. Kau sudah dewasa sekarang, hatiku lega, melainkan aku menjesal, belum keburu aku membuatnja kau membangun rumah tangga...”

Mendengar itu, si anak muda bertjutjuran air mata. ”Ajah, djangan ajah berkata begini” katanja, ”Loo soehoe

bilang...”

Belum habis kata-kata si anak muda, dalam guha itu berkelebat satu bajangan, lantas Beng Liang taysoe berada diantara mereka. Lekas-lekas ia berbangkit, untuk memberi hormat.

Si orang tua bergerak, untuk berbangkit, tetapi si pendeta mentjegah.

”Saudara Boen, rebah sadja!” katanja tertawa, ”Tidak dapat kau sembarang bergerak. Ini, kau makanlah” Ia menjerahkan sebutir obat pulung.

Si orang tua menjambut obat itu.

”Baiklah! Terima kasih...” katanja meringis, obatnja ia terus telan. Ia batuk satu kali. Ia meneruskan: ”Sebenarnja tak usah taysoe mentjapaikan hati lagi, sia-sia belaka pel Tiang Tjoen Tan ini. Siauwtee telah memeriksa nadiku barusan, siauwtee merasai denjutannja jang sudah tidak teratur lagi, djadi siauwtee rasa, pertjuma umpama kata ada obat mustadjab, obat itu paling djuga bisa memperpandjang djiwa dua-tiga hari lagi...Tidaklah itu tjuma melambatkan mengi, menambah penderitaan? Maka siauwtee pikir, lebih baiklah siauwtee pergi siang-siang...Tjuma sebab hatiku masih menggandjal, maka itu siauwtee menjuruh anak In minta taysoe sudi datang kemari, untuk siauwtee meninggalkan pesan. Siauwtee bersjukur jang untuk banjak tahun si In sudah menerima pelbagai petundjuk dari taysoe, sajang dia belum mendjadi murid jang resmi, tatapi mulai hari ini, siauwtee minta sukalah taysoe menerimania sebagai- murid tay soe„supaja kemudian taysoe mendidiknia dengan keras. Setengah tahun setelah ini, kapan ia telah selesai diberi peladjaran menurut kitab Hian Wan Tjin Keng, biarlah ia diidjinkan turun gunung, guna ia mentiari sekalian musuhku, guna ia menuntut balas. Mengenai ini, siauwtee mohon taysoe suka djuga memberi segala petundjuk. Inilah permintaan siauwtee jang terachir, siauwtee pertjaja taysoe tentulah suka menerimanja, bukan?"

Pendeta tua itu bersenjum.

“Untuk segala apa dibelakang hari, semua loolap akan urus," katanja, sabar. „Sekarang ini djangan kau banjak omong dan banjak pikir, baiklah kau tidur sadja”

Sembari berkata, ia rnenotok urat pulas orang tua itu, maka dia lantas tak sadarkan diri, dia terus tidur.

Untuk beberapa detik, pendeta itu berdiam mengawasi orang tua itu.

„In Gak, mari!" achirnja ia kata.

Si anak muda berdiri dimuka pembaringan, airmatanja meleleh tak hentinja. Ia menghampirkan, untuk berdiri disamping pendeta itu.

“In Gak, kau djangan bersusah hati," kata Beng Liang Taysoe jang sendirinja menghela napas. „Manusia itu, seteIah usianja seratus tahun, tak luput dari kematian, tetapi ajahmu ini, jang dapat hidup sempurna begini, di dalam kalangan Kang-ouw, ada berapakah jang dapat menjamakannja ?" la hening sedjenak, ia kata pula: .„Telah berulangkali ajahmu minta loolap mengambil kau sebagai murid, senantiasa lolap menampik. Ini bukan disebabkan loolap banjak pernik, hanja di-samping itu ada sebabnja. Didalam kuilku tidak seorang jang mengetahui loolap mengerti ilmu silat, paling djuga mereka menduga duga bahwa loolap berolahraga untuk kesehatan. Djikalau loolap menerima kau sebagai murid, dengan sendirinja mesti mengubah panggilan terhadap loolap. Ajahmu ini banjak sekali musuhnja, djikalau kita alpa, asal rahasia botjor, bukan sadja ajahmu bakal mengundang datangnja musuh-musuh besar dan berbahaja, djuga itu akan mendatangkan kesulitan tak habis-habisnja untuk kuilku. Maka djuga loolap menolak keras. Sementara itu selama beberapa tahun ini, kau djuga telah rnewariskan kepandaian ajahmu, kau tinggal. mernbutuh kan latihan teriebih djauh . Kau tahu, loolap telah melihat bakatmu jang baik, didalam hati, loo-lap sudah menerima kau sebagai murid, rnelainkan waktunja belum tiba. Sekarang, jalah mulai hari ini, loolap terima kau setjara sah. Akan tetapi, masih ada satu soal jang kau mesti perhatikan. Selandjutnja, kau tetap, berdiam disini, setiap aku hendak memberikan peladjaran, nanti aku sendiri jang datang kemarl Kau, kau tahu, aku larang kau datang ke kuilku, supaja kau tidak menarik perhatian orang.

“Mengertikah kau?”

“Ja, soehoe” berkata si anak muda, jang bernama In Gak itu. la girang bukan kepalang, ia terharu bukan main. Segera ia pay-koei tiga kali, untuk mendjalankan kehormatan sekalian menghaturkan terima kasihnia.

„Bangun, anak!" berkata sang guru, jang pun tertawa girang.

Sudah semendjak tiga tahun jang lalu si anak muda mendengar dari ajahnia bahwa Beng Liang taysoe telah rnenjampaikan puntjaknia kemahiran ilmu silat, bahwa dia tak ada tandingannja. Katanja, guru itu jalah muridnja Boe Wie Siangdjin dari djurang Tjap In Gay, sedang Boe Wie Siangdjin sendiri satu djago luar biasa pada duaratus tahun jang lalu jang kemudian tak ketahuan kemana parannja. Menurut kata ajahnja itu, asal dua bahagian sadja kepandaian Beng Liang Taysoe dapat diwariskan, orang sudah boleh mendjagoi. Sekarang ia mendjadi muridnja pendeta lie hay itu, bagaimana ia mendjadi tidak sangat girang?

Beng Liang mengawasi murid itu, ia melihat kegirangan orang tertjampur kedukaan jang hebat, maka ia kata dalam hatinja:

„Anak ini harus dikasihani. Dengan dia menerima kepandaianku, dia bakal mendjadi orang gagah luar biasa, tjumalah karena nja, dunia Kang-ouw bakal terbuatnja mendjadi gempar, maka itu baiklah, dengan pengaruh Sang Buddha, aku akan mentjoba membataskannja " Maka ia

kata pada muridnja itu:

„In Gak, kau turut ajahmu datang ke puntjak Bie Lek Hong ini sedjak usiamu enam tahun, baniak hal jang kan tidak tahu.. Ajahmu ini, Tjia Boen, asalnja orang gagah dari Kwan-lok,  ilmu siiatnja ilmu silat tersendiri. Sekalipun orang kang-ouw, tidak ada jang ketahui asal-usul-nja. Belum berusia tigapuluh ia sudah rnendjadi djago Kwan-lok, hingga kaum Rimba Persilatan menamakan dia Twie Hoen Poan, Si Hakim Pengedjar Arwah. Ajahmu bertabiat keras, ia membentji kediahatan bagaikan musuh besarnia, dari itu djikalau orang dari kaum Djalan Hitam bertemu padanja, pasti dia dibinasakan tanpa ampun. Bahkan orang dari golongan lurus apabila dia bertindak diluar garis, dia dihukum djuga, dikutungi kuping atau hidungnia atau dirusak ilmusilatrija.

Karena tangan besinja ini, ia membangkitkan amarah kedua golongan sesat dan lurus itu hingga mereka berserikat dan berdaja untuk menumpasnja."

In Gak memasang kuping, pelbagai rupa perasaaanja. Baru sekarang ia mengetahui asal-usul atau hal-ichwal ajahnja itu. Ia berdiam sadja, untuk mendengar terlebih djauh.

„Ajahmu itu tidak ketentuan tempat kediamannja," „Beng Liang melandjuti, dia pergi kemana dia suka. Beberapa kali ia diketemukan musuh, tetapi sebab musuh kebetulan berdjumlah sedikit, mereka tidak berani turun tangan. Maka itu, buat lagi beberapa tahun, ajahmu tetap dengan tabiatnja itu. Pada suatu hari aku bertemu ia di kuil Ouw Yoe Sie ditepinja sungai Kee Leng kemana ajahmu sering pesiar lantas kita mendjadi sahabat ;Aku ketahui sifat ajahmu, sering aku memberi nasehat padanja. Ia suka mendengar kata, seIandjutnja ia tidak lagi bertangan besi seperti dulu-dulu. Di tahun kedua sedjak pertemuan ajahmu menikah ibu-mu, bersama-sama mereka tinggal disebuah kampung nelajan ditepi sungai itu. Ia menutupi diri, ia tidak rnemperhatikan pula urusan dunia Kang Ouw, Di tahun ketiga maka kau dilahirkan. Menurut pantas, setelah rnenjimpan pedangnja dan menjekap diri ajahmu boleh hidup aman dan berbahagia hingga di.hari tuanja, siapa sangka, karma itu ada libatannja, orang sukar meloloskan dirinja. Ketika umurmu tiga tahun, kau turut ajahmu ke kuil rnendjenguk aku. Tiga hari lamanja kamu tinggal didaIam kuil. Ketika itu aku melihat wadjah ajahmu guram, aku rneng¬andjuri ia lekas pultang. Diluar dugaan, setibanja ia di rumah ia mendapatkan ibumu telah mati basah, rebah diatas pernbaringan dengan dadanja bertapak tudjuh djari tangan jang hitam, terang-lah kebinasaannja disebabkan hadjaran tangan jang liehay. Sambii menangis, ajahmu mengurus djenazah ibumu itu, selesai itu meninggalkan rumahnja dan pergi untuk, mentjari musuhnja, guna mentjari balas. Pernah aku. menasehati.untuk ia menahan untuk merawat dan mendidik padamu, hingga kau dewasa, akan tetapi ia keras dergan niatnja itu, hingga aku tidak. dapat mentjegah lebih djauh. Ketika itu, atas pertolongan kakak seperguruanku, aku telah tinggal di kuilku jang sekarang ini. Setelah aku memberikan alamatku, kita berpisahan."

Kembali pendeta itu berhenti sedjenak, baru ia melandjuti:. “Kasihan ajahmu itu, ia pergi dengan ia mesti

menggendong-gendong kau, hidup dalam perantauan, Tahun lewat tahun, ia masih belum berhasil mentjari musuhnja, musuh jang membinasakan ibumu itu, Kemudian ajahmu beruntung mendapatkan kitab Hian Wan Tjin Keng itu. Ia mendapatkannja di gunung Hoa San. Kitab itu memakai huruf- huruf Kak koet-boen jang sukar dibatja, ia tidak ,mengerti. Ia ingat padaku, ia lantas berangkat ke Kang say untuk rninta bantuanku. Didalam perdjaIanan ini, mungkin orang kenaIi padanja, maka orang mengumpul diri, ia lantas disusul, lain diwaktu malam ditepi telaga Tong Teng Ouw, ia diserang. la dikerojok oleh belasan musuh jang semuanja bertopeng.

Ajahmu boleh gagah tetapi mana sanggup ia melawan begini banjak musuh liehay, sedang ia djuga menggendong kau?

Setelah bertempur lama, ia mendapat banjak luka, antaranja tiga totokan ditempat yang berbahaja. Sjukur ajahmu pernah mendapat peladjaran Kim Kong Sian-kang dari aku, ia dapat melindungi djantungnja, hingga ia tidak menemui kematiannja. Dengan berlaku nekat, ia menoblos kepungan, ia bersembunji dan lari siang malam, achirnja ia sampai ditempatku. lantas aku menjembunjikan kamu diguha ini.

Ajahmu berobat, ia makan pel Tiang Tjoen Tan, tetapi itu tjuma dapat memperpandjang usianja belasan tahun. la tidak bisa berkelahi lagi. Lagipula setiap dua musim semi dan panas, mesti sakitnja itu kumat. Ajahmu tahu ia tidak dapat menuntut balas sendiri, maka. Ia mewariskan kepandaiannja kepada kau, harapannja jalah supaja kau bisa menggantikan dia membuat pembalasan."

Habis berkata, pendeta tua itu menghela napas.

In Gak menangis sesenggukan, airmatanja turun deras

„Sudah, muridku, tak usah kau terlalu berduka," sang guru membudjuk, „Selang dua djam, ajahmu ini akan mendusin.

Sekarang aku hendak pulang, sebentar aku nanti kembali."

Beng Liang bertindak keluar, In Gak mengantarkan. Murid ini melihat guru itu berlompat, gerakannja bagaikan burung djendjang terbang melajang, sebentar sadja sang guru sudah hilang dari hadapannja.

„Djikalau aku berhasil mewariskan separuh sadja kepandaiannja guruku, pasti aku akan mengangkat nama dalam dunia Rimba Persilatan," pikir ia, „Aku akan bunuh habis semua musuh ajah dan ibuku, tidak perduli jang tjuma turut- turutan sadja!" Hebat pikirannnja pemuda ini, karena dengan demikian terta-namlah tjita-tjitanja menuntutbalas hebat. Karena ia sangat bersakit hati ibunja dibinasakan oleh musuh, atau musuh-musuh, jang demikian pengetiut, litjik dan kedjam, dan ajahnja dikerojok oleh sekumpulan manusia kedji, hingga ajah itu mesti sangat menderita sehingga sekarang ini, sedang ajahnja itu adalah pendekar, penentang segala manusia busuk. Ajahnja tidak bersalah.. Atau umpamakata ajahnja keliru, itulah kekeliruan jang berupa tangan besi, disebabkan sikapnja terlalu keras, Siapa suru si djahat tidak mengenal

peri-kemanusiaan? Bukankah pantas si djahat jang melewatkan batas dihukum bengis?

Lima hari kemudian Tjia Boen telah meninggalkan dunia jang fana ini. In Gak menangis menggerung-gerung, ia berteriak-teriak meminta keadilan Thian. Ia merasa peruntunganja buruk sekali. Semendjak usia tiga tahun, ia hidup terlunta-lunta, senantiasa berada dalam gendongan. Kemudian terus ia masih sesunggukan ia merasa peruntungannja buruk sekall. Semendjak usia tiga tahun, ia hidup terlunta-lunta, senantiasa berada dalam gendongan ajahnja, selagi si ajah dikedjar-kedjar musuh. Belum pernah ia hidup merdeka sebagai anak-anak lain sebajanja. la mesti menemani ajahnja, jang tersiksa bathin dan lahirnja, tidak pernah ia main-main, .sebaliknja ia mesti bertekun mejakini ilmu silat.

Sekarang, sebelum dapat berdiri sebagai manusia, ia telah ditinggalkan ajahnja, hingga selandjutnja in mesti hidup sebatang kara hidup dengan tugasnja jang berat dan berbahaja, hidup untuk menuntut balas!

Beng Liang Taysoe mendampingi Tjia Boen ketika djago ini hendak menghembuskan napasnja jang terachir, sekian lama ia membiarkan anak itu mengumbar kesedihannja, baru kemudian ia membudjuk dan menasihatinja, untuk mereka bersama mengurus djenazah djago tua itu, jang dikubur dengan upatjara jang paling sederhana, dikuburkan disatu tempat jang dipilih dibelakang gunung itu. Semendjak itu, setiap mengenang ajahnja, In Gak menjambangi kuburan ajahnja itu untuk menangis sedih disamping kuburan untuk menabur bunga.

Disini ia memperkokoh tekadnja,untuk nanti merantau, guna mentjari musuh-musuhmja.

Pada suatu hari Beng Liang Taysoe, sang guru, telah datang keguha muridnja. Ia panggil muridnja kedepannja, lantas ia kata dengan sikapnja sungguh-sungguh dan keren:

„In Gak, kau dengarl Mulai hari ini aku akan mengadjari kau ilmu silat. Sebagai permulaan, kau akan mendapatkan peladjaran duduk bersamedbi, akan menjalurkan pernapasanan, untuk melatih tenaga-dalammu. Kau mesti melatihnja setiap hari, djangan putus-putusnja djuga dasar untuk mejakinkan ilmusilat Bie Lek Sin-Kang. Ajah mu telah mengadjari ilmu Twie- Hoen Tek-Goat Kiarn-hoat, ilmu pedang 'rnengedjar Arwah dan Memetik RembuIan' jang terdiri dari tudjuhpuluh-dua djurus serta pukulan Hoei Liong Tjiang atau Tangan Naga Terbang, jang terdiri Sembilan puluh-tudjuh djurus. Djuga kedua ilmu itu kau mesti latih terus, jangan kau alpakan. Itulah ilmu pedang dan tangan kosong jang langka didalam dunia persilatan dan dengan itu ajahmu telah mengangkat namanja”

Habis berkata dan muridnia berdjandji akan mentaati pesan gurunja ini lantas mulai dengan pengadjarannja itu.

“In Gak bersamedhi setiap pagi dan sore, ia membagi waktunja untuk melatih ilmu silatnja. Segera ia mendapat kenjataan, tu¬buhnja mendjadi segar luar biasa dan gerak- geriknja mendjadi lebih gesit. Maka selandjutnja ia beladjar lebih tekun, bahkan setiap hari, ia bersamedhi belasan kali. SeteIah bersamedhi, lenjap segala keletihannja.

Satu bulan kemudian Beng Liang Taysoe datang keguha, lantas ia melihat perubahan muridnja itu. Ia girang dan kagum luar biasa. Sungguh pesat kemadjuan si murid. Karena ini, ia lantas mulai mengadjari Bie Lek Sin-Kang, jang terdiri tjuma dari duabelas djurus. Ia memberi petundjuk, ia mendjelaskan sambil ia sendiri bersilat untuk dilihat tegas muridnja itu, hingga muridnja dapat mendjalankannja. Disebelah bakat, In Gak dibantu ketjerdasannja, dasarnja dan keradjinannja, djuga keuletannja.

Berkatalah sang guru: ,,Bie Lek Sin Kang berendeng dengan Hian Boen Kong Khie. Bedanja jalah Hian Boen Kong Khie bersifat keras, setelah dilepaskan sukar untuk dibatalkan, untuk ditarik pulang. Bie Lek Sin Kang tidak ada tjatjadnja jang demikian. Saking halus dan sebatnja, Bie Lek Sin Kang dapat dipakai melukai orang hingga sukar terlihat, sedang berbareng, tubuh mendjadi kuat bagaikan emas atau badja hingga sukar terlukakan. Sekarang beladjarlah kau dengan radjin, satu bulan kemudian, aku akan datang pula."

In Gak mengangguk, ia menghaturkan terima kasih, lantas ia mengantarkan gurunja keluar. Setelah itu, ia kembali kedalam, akan berlatih. Seperti biasa, ia beladjar tanpa mengenal tjapai.

Dengan tambahnja peladjaran, ia mesti membagi waktu.

Sekarang setiap fadjar, sebelum terang tanah, ia merajap naik kepuntjak.

Bie Lek Sin-Kang tepat dipeladjarkan ditempat terbuka.

.Aneh peladjaran ini Didalam setengah bulan jang pertama, ia tidak melihat hasilnja. Adalah selewatnja itu, baru ia merasa. Tidak sadja tubuhnja bertambah segar, djuga rasanja ia bernapas dan bergerak semakin leluasa. Ketika ia mentjoba menjabat tjabang pohon jang besar dengan tangan kosong, tjabang itu patah serentak, hingga ia mendjadi kagum bukan main. Karena. itu, ia mendjadi makin radjin.

Ketika selang satu bulan Beng Liang datang melihat muridnja, ia bersenjum dan mcngatakannja: „Hasil kau ini tidak dapat ditjela. Tempat ini tidak didatangi orang, kau boleh beladjar setiap waktu." Kemudian guru ini mengadjarkan pula kedua ilmu pedang Kim Kong Hok Houw atau Arhat Menakluki Harimau terdiri dari tiga puluh enam djurus dan Hian thian Tjit Seng atau Tudjuh Bintang Hian-thian terdiri dari delapan.puluh-satu djurus.

Setelah ini, guru ini guru ini datang dengan terlebih sering, bukan lagi sehulan sekali, hanja setiap tiga atau lima hari ia memberi peladjaran lebih tjepat dan menilik lebih sering. Ia mengadjari djuga penggunaan sendjata rahasia dan tjaranja untuk menanggapi atau berkelit dari serangan sendjata sematjam itu. Disamping lweekang atau lay-kang, tenaga- dalam, ia pun mengadjari gwa-kang, peladjaran-luar, begitupun pelbagai petundjuk atau pengadjaran sampingan lainnja.

In Gak tetap beladjar dengan radjin, ia tidak mengenal lelah bahkan diwaktu turun hudjan ia berlatih terus, hingga kemadjuannja luar biasa pesat. Sedangkan setiap malam bulan purnama, dengan tentu ia menjambangi kuburan ajahnja, untuk rnenangis dan berkata: ,,Ajah, tenangkanlah hati ajah! Pasti. aku nanti menuntutbalas!"

Bagaikan seketjapan mata, setengah tahun sudah lewat. Satu hari Beng Liang datang dengan membawa sedjilid buku berkulit kulit kambing, sambil menundjuki buku itu kepada muridnja, ia kata:

“Ini dia kitab Hian Wan Tjin Keng,jang duluhari didapat ajahmu. Buku ini memuat peladjaran tentang djalandarah, bagaimana harus menotoknja, bagaimana harus membebaskanaja. Djuga perihal pengobatan terutama dengan djarum. Karena ini, kitab ini pun dinamakan Hian Wan Sip Pat Kay, atau Delapan belas Pengobatan Kaisar Hian Wan. Aku akan mengadjari kau setiap hari satu fatsal, selandjutnja terserah kepada kau untuk memahamkannja hingga kau dapat mempergunakannja dengan sempurna. Aku pertjaja, dengan ketjerdasanmu, tak sulit untuk kau mengatasinja." In Gak terima peladjaran itu, setiap hari ia membatja dan mengapalkannja diluar kepala. Sulit untuk ia rnengenal huruf- huruf Kak-koet-boen, tetapi ketekunannja membuat ia berhasil djuga. la tidak kenal tjapai, ia tidak pernah putus asa.

Beng Liang mernbantu muridnja dengan ia memberikan seperangkat kulit manusia, entah dari mana ia dapatkannja, dengan begitu, In Gak memperoleh kegampangan untuk mengenal pel-bagai djalan darah. Bahkan selang tiga bulan, ia dapat menotok djuga dengan timpukan sehelai daun atau selembar bunga.

Sesudah murdnja madju demikian djauh, Beng Liang, menjuruh sang murid membagi waktu, jalah setengah hari beladjar silat setengah hari. Beladjar surat. Llmu surat perlu untuk memperlengkapi diri, terutama untuk ilmu pengobatan, ilmu ketabiban dipeladjari berbareng dengan ilmu ringan tubuh.

Demikian tjara luar biasa dari guru itu untuk mendidik muridnja.. Iimu silat diutamakan, maka ilmu silat didului baru menjusul jang lainnja,

Selewatnja satu tahun maka Tjia in Gak telah mendjadi seorang muda dari usia sembilan belas tahun, romannja tampan, tubuhnja sehat dan kuat. Karena pendidikan ajahnja dan gurunja jang sedikit bitjara„ ia mendjadi pendiam„ pikirannja tenang. Memangnja dengan tinggal didalam guha, di atas gunung jang sunji, ia tidak pernah kenal lain orang ketjuali ajah dan gurunja itu, tjuma beherapa pcndeta lainnja dari kuil Poo Hoa Sie

Pada suatu hari, Beng Liang datang keguha, dan berkata kepada muridnja; „In Gak, semua kepandaianku telah aku wariskan kepadamu. Untukmu, jang masih kurang, jaian latihan lebih djauh. Meski demikian, sekarang kau sudah boleh turun gunung untuk mentjari musuh -musuhnja ajah dan ibumu, guna kau mewudjudkan pesan ajahmu mentjari balas. Tjuma satu hal aku harap dari kau, jalah kau djangan melupakan peri-kemanusiaan, djangan kau sembarang mennbunuh orang. Didalam hal memilih sahabat, kau mesti berlaku teliti. Djanganlah kau terlalu berkukuh. Jang paling penting, djangan sekali kau menjebut narna gurumu, dan Bie Lek Sin kang djangan digunai ketjuali sangat terpaksa!'

Beng Liang seorang pendeta perantau, dia tahu akan segala matjam orang kam kang ouw, dia kenal pelbagai partai ilmu persilatan, dia telah menjelami sifat manusia umumnja, maka semua itu ia djelaskan kepada muridnja ini, supaja muridnja mengetahui dan mengingatnja baik¬-baik. Semua itu penting untuk seorang jang mau pergi merantau. Ia terutama memesan bagaimana murid ini harus membawa diri. Setelah itu, ia memberikan uang duaratus tail perak serta sebilah pedang lunak jang diberi nama Ouw Kim Djoan-kiam.

„Besok kau boleh berangkat, dan tak usah kau datang pula kekuilku untuk pamitan," kata si guru achirnja.

Kedua matanja In Gak. penuh airmata. Sangat berat untuknja berpisahan dari gurunja ini jang mentjintai ia tak kalah tjinta ajahnja. Wadjah si pendeta pun mendjadi guram, karena dia pun tak tega hati„ maka ketika dia mau berlalu, dia mendjedjak tanah, dia berlalu dengan tjepat.

Dengan hati pedih In Gak mengawasi gurunja barlalu. Ia pun menguatkan hatinja. la ingat ia harus mentjaribalas.

Itulah tugasnja. Maka selang sekian lama, ia mulai membenahkan pauwhok atau buntalannja. Ia membawa apa jang paling perlu. Malamnja, ia pergi kekuburan ajahnja, untuk menangisinja pula, karena kali ini ia pamitan untuk waktu jang tak berbatas.

Besoknja pagi, diwaktu berangkat, ringkas sekali buntalan Tjia In Gak, sedang pedangnja dilibat dipinggangnja.Buku- bukunja, sedari setengah bulan jang lalu, telah diambil gurunja, sedang piring-rnangkuk tidak ada perlunja. Tidak ada benda jang ia berati, ketjuali guhanja sendiri, guha tem¬pat in bernaung belasan tahun. Ketika ia keluar dari guhanja lantas ia berdiri tegak menghadap kekuil Poo Hoa Sie, ia terus pay koei, berlutut dan mengangguk hingga empat kali, tandanja ia memberi hormat dan meminta diri dari gurunja. Diachirnja, dengan menggertak gigi, ia berlompat, untuk terus berlari-lari, meninggalkan guhanja itu. Ia mengangkat kepala, tidak pernah ia menoleh pula.

Maka mulai itu hari, dunia Rimba Persilatan lantas tertutup dengan hawa pembunuhan, oleh karena satu anak jatim-piatu, jang hidupnja sangat menderita, hendak melakukan tugasnja melampiaskan dendam .....

#

Tiga puluh lie lebih keselatannja puntjak Bie Lek Hong terdapat dusun Liong kauw-hie jang mendjadi pusat pardagangan. Di situ ada sebuah kali, jang airnja mengalir ke Kiong Tjioe, seperdjalanan seratus enampuluh lie. Ketika In Gak tiba di sana, kebetulan djatuh hari besar, dari tempat- tempat disekitarnja, orang datang- berdujun-dujun, buat berdagang, buat berbelandja. Maka pusat perdagangan jang tak Iuas, jang beralasan lantai batu; sesaklah dengan kira-kira lima ribu orang, hingga pemuda kita berdjalan berdesak- desakan untuk mentjari sebuah kedai nasi. Suara orang pun berisik sekali.

„Sedjak hari ini. aku mesti melakukan perdjalanan dengan tak ada tudjuannja," In Gak berpikir selagi ia duduk mengisi perut. „Kenapa aku tidak mau naik perahu untuk pergi keibukota propinsi'? Dikota Lam-tjjang pastilah terdapat orang-orang dari pelbagai kalangan dari sasterawan sampai segala kuli, dan ular dan naga tinggal mendjadi satu.

Insoe mengatakan, untuk manjerap-njerapi musuh- musuhku, perlu aku berkenalan dengan orang bangsa piauwsoe atau anggauta partai persilatan.

Orang sebagai aku, pasti aku dapat memasuki umpama suatu piauwkok. Atau aku pergi dulu kepropinsi Soe-tjoan, untuk mendjenguk kuburan ibuku." In Gak tidak menjebut gurunja dengan panggilan soehoe, guru, hanja insoe, jang berarti guru jang telah melepas budi banjak terhadapnja.

Setelah mengambil putusan, In Gak memanggil pelajan, untuk menanja apa ada perahu sewaan untuk keibukota.

„Itulah gampang, siangkong," sahut si pelajan sambil tertawa manis. „Kebetulan sekali, pamanku jang mempunjai sebuah perahu besar hendak berangkat tengah hari ini.

Baiklah, nanti aku mengaturnja,"

Pelajan ini pergi keluar, untuk memanggil seorang desa dengan siapa ia lantas berbitjara. orang desa itu mengangguk- angguk.

”Dia inilah jang akan mengantarkan siangkong ke perahu," katanja kemudian.

In Gak sudah dahar tjukup, ia iantas membajar uang makannja. Ia memberi presen pada pelajan itu. Setelah itu, ia turut si penundjuk djalan hingga ditepi sungai, jang merupakan pelabuan pedesaan jang ramai. Disitu terlihat banjak perahu besar dan ketjil, terutama tampak njata tihang- tihang lajar dan lajarnja.

Si pengantar, dengan berdiri ditepian, mengasi dengar kaokan njaring berulang-ulang. Segera dari sebuah perahu muntjul seorang, jang terus menjahuti seraja tangannja menggapai-gapai.

„Mari, siangkong," si pengantar mengadjak.

In Gak rnengikut. Setelah melintasi belasan perahu Iainnja, tibalah mereka diperahu besar itu. Lantas mereka menemui pemiliknja, seorang tua she Thio, jang ramah-tamah, jang berkata: „Senang aku menerima kau, siangkong. Perdjalanan ada seribu lie lebih akan tetapi kalau angin balk, kita akan sampai diibukota dalam waktu duapuluh hari."

in Gak menghaturkan terima kasih kepada si pengantar, la ikut pemilik perahu itu masuk kedalam gubuk. Perahu besar itu terbagi dalam delapan ruangan, empat didepan, empat dibelakang, bagian tengahnja mendjadi dapur dan ruangan bersantap. Dan empat ruangan belakang, jang keempat untuk kamar tidur, jang tiga terisi penuh muatan seperti kulit, daun rokok dan lainnja hasil bumi setempat. Dari empat ruangan depan, jang dua dipakai sendiri oleh si Thio dan anak isterinja, jang dua lagi masih kosong. Sedangkan dibawah lantai perahu disimpan persediaan barang makanan, seperti beras, sajur, daging dan lainnja.

Senang In Gak melihat kamar untuknja jang terawat bersih, setelah memeriksa, ia kembali kepada si Thio, untuk bitjara harga sewanja, untuk membajar dimuka, kemudian habis berbitjara sebentar, ia kembali pula kekamarnja itu, diruang depan. Ketika kendaraan air mulai meninggalkan tepian, la berdiri dikepala perahu, memandang djauh kesekitar sungai, melihat burung-burung terbang dan telinganja mendengar njanjian kawanan nelajan.

Setelah beberapa hari di atas perahu, In Gak dapat berkenalan dengan djurumudi dan anak-buah perahu, hingga ia mengerti pelbagai istilah bangsa mereka itu, bahkan ia bisa djuga menggaju, menggunai gala kedjen, dan menguasai kemudi.

Waktu senggang diatas perahu digunai In Gak sebaik- baiknja. Djikalau ia tidak pasang omong sama si Thio atau ngobrol sama awak perahu, ia menguntji kamar, untuk bersamedhi. llmu samedhi itu jalah jang dinamakan Kwie Goan Tjo-Kang. Sambil bersamedhi, berbareng ia melatih Bie Lek Sin-Kang. Dan kapan perahu lagi berlabu, ia suka mendarat, untuk mentjari tempat sepi, guna berlatih silat pedang dan tangan kosong. Tak suka ia mengadjak salahsatu awak perahu, untuk pesiar didarat. Sikapnja ini mengherankan awak perahu, tetapi karena ia manis-budi, orang menganggapnja itulah tabiatnja. Dari Hin-kok melintasi Kiong tjioe sampai di Louw-leng-hoe, perdjalanan ada enam ratus lie air, hari jang dilewati sudah setengah bulan. Aliran air jalah milir tetapi kadang-kadang mereka terganggu angin barat-laut, karena ketika itu sudah dipermulaan buIan dua-belas. Kalau ada gangguan, angin, sepandjang tigapuluh lie, awak perahu terpaksa mendarat dan menarik perahunja. Sjukur In Gak tidak mempunjai urusan penting tertentu, ia tidak djadi bergelisah karena kelambatan itu.

Selewatnja Lou-leng-hoe, perahu-perahu berlajar bersama- sama, sedikitnja dua-puluh buah saling beruntun, hingga diwaktu singgah, semuanja berkumpul, asapnja mengepul, suara awaknja, ramai, sedang anak-anak bermain-main dengan gembira dikepala perahu.

In Gak biasa hidup menjendiri digunung, gembira ia menjaksikan anak-anak itu, maka suka ia mentjampurkan din dengan mereka, untuk bergurau atau turut main petak.

Sebuah perahu jang mendjadi tetangganja In Gak ditumpangi piauwsoe Lie Tay Beng, umur kira-kira empatpuluh, orangnja ramah tamah, senang ia melihat tingkahnja si pemuda, ia beladjar kenal. Selang tiga hari, eratlah pergaulan mereka, lantas sering mereka saling berkundjung, untuk memasang omong atau bersantap barsama. In Gak dapat melajani dalam segaia hal, ketjuali ia membungkam mengenai ilmusilat. Ia pun dandan biasa, lebih rnirip dengan seorang peladjar.

Djuga In Gak senang bergaul sama piauwsoe ini, jang mempeladjari gwakang„ dan agaknja telah mentjapai enam atau tudjuh bagian latihannja. Piauwsoe banjak kenalannja, mungkin memperoleh sesuatu keterangan jang diinginkan. Atau sedikitnja, mendapat sahabat ada faedahnja djuga. Lie Tay Beng ini sebenarnja piauwsoe dari Tjn Tay Piauw Kiok dari Lamtjiang, ia termasuk golongan kelas dua atau tiga, bersama isteri dan anaknja ia kembali dari Kiong-tjioe dimana ia kematian mertuanja, pulangnja ini ia mengarnbil djalan air karena perdjalanan darat sangat meletihkan mereka. Ialah piauwsoe tetapi senang ia berkawan seorang pemuda lemah- lembut, selama memasang omong, suka djuga ia bitjara tentang pekerdjaannja sebagai piauwsoe. Ia tidak menduga sama setkali bahwa In Gak mengerti ilmusilat.

„Saudara," satu kali Tay Beng menanja, „kau mau pergi ke ibu kota, adakah untuk mendjenguk sanak atau untuk turut dalam udjian ilmusurat?"

,,Saudara Lie, kau aneh,“ In Gak menjahut, tertawa.

„Sekarang ini ada achir tahun ! Diachir tahun, mana ada udjian lagi?"

Tay Beng djengah, ia likat.

„Harap kau tidak salah mengerti, saudara," katanja. „Aku menduga kau hendak berbuat seperti segolongan peladjar, jang suka datang siang-siang„ untuk menanti waktu sambil beladjar untuk setengah atau satu tahun, buat mana, sengadja mereka menjewa rumah. Dengan pergi siang-siang, mereka tidak usah berangkat kesusu. Djadi tidak ada maksudku untuk menggodai kau."

„Oh !" kata In Gak, jang berbalik likat sendirinja. Ia mengerti sekarang halnja ia kurang penga laman, maka lain kali, maulah ia berhati-hati. Ia menambahkan „Maaf, saudara Lie, aku pun bergurau sadja. Sebenarnja aku dilarang ajahku untuk memangku pangkat, sekarang ini ajahku sudah meninggal dunia, aku memikir untuk mentjari pekerdjaan."

„Kalau begitu, mengapa kau tidak mengatakan dari siang- siang ?" kata si piauwsoe. „Aku bukan omong besar, luas pergaulanku, untuk mentjarikan kau pekerdjaan, itulah gampang. Ah, ja, aku ingat. Tiga bulan jang laiu pengurus buku piauwkiok. kami telah menutup mata, ketika aku pergi, lowongannja belum terisi, entah sekarang, djikalau kau setudju, maukah kau untuk aku mengusulkannja ?"

In Gak berbangkit, ia rnernberi hormat.

„Saudara, lebih dulu terima kasihku !” katanja.

„Djangan saudara memakai banjak adat-peradatan !" kata si piauwsoe. „Aku djusteru jang ha¬rus memberi alamat padamu! Mari minum !"

Keduanja tertawa, mereka mengeringi tjawan mereka.

Ketika kendaraan mereka melewati dusun Tjiang-soe-tin, udara memburuk, angin besar tak mau berhenti, suaranja menderu hebat, saldju pun turun. Maka putihlah di mana- mana. Tak nampak orang berkeliaran. Keadaan ini beda dengan keadaan di Kang say Selatan dimana udara empat musim sama sadja, selalu bagaikan musim semi.

In Gak ketarik dengan tjuatja itu, ia melongok keluar perahu, mulutnja mengasi dengar suara bersenandung.

„Dasar kutu buku !" kata Tay Beng dalam hati.

Achir-achirnja pada tanggal 2 bulan duabelas, tibalah In Gak di Lam-tjiang, ibukota propinsi Kangsay. Ia turut Tay Beng mendarat. Tjin Tay Piauw Kiok berada di Yo-kee-tjiang, tapi In Gak rnenjewa kamar dihotel didepan piauwkiok itu. Tay Beng kata, sebelum tahun baru, tidak dapat ia lantas bitjara sama tjong piauw-tauw, jaitu piauwsoe kepala, tentang pekerdjaan mengurus buku itu. Tapi ia sendiri sering berkundjung ke hotel, untuk bergaul seperti biasa.

Atau ada kalanja, Tay Beng mengadjak sahabat itu bersantap direstoran Siong Hok Wan disamping piauw kiok, ataupun datang kerumahnja didalam piauwkiok. Njonja Lie manis-budi, dia memandang In Gak sebagai keponakan, hingga si pemuda bersjukur.

Baru beberapa hari, In Gak, sudah pesiar tjukup di kota Lam tjiang, hingga ia dapat menjaksikan tempat-tempat terkenal seperti ranggon Theng Ong Kok, telaga Pek Hoa Tjioe, kuil Ban Sioe Kiong dan lainnja. Selama itu, sering dia bersenandung seorang diri, hingga orang mengagumi ketenangannja, sedang sebenarnja, ia lagi menungkuli diri.

Piauwsoe kepala dari Tjin Tay Piauw Kiok she Hee-houw nama Him, umurnja sudah enampuluh lebih. Dia keluaran Boe Tong Pay, terhitung murid-bukan-pendeta. Dia mahir enteng tubuh dan kedua tangannja kuat menggunai Hong-hong- nouw, jaitu busur lengkung silang. Panah ini tidak dipakai kalau bukan terhadap musuh tangguh. Jang dia andalkan silat tangan kosong Thay Kek Tjioe jang terdiri dari tiga puluh- sembilan djurus dan ilmu golok Liong How Toan hoen-too jang terdiri dari enam puluh-empat djurus. Dia mempunjai dua anak, jang laki-laki bernarna Gee umur 11 tahun dan jang perempuan nama Wan Tin, usia 9 tahun, jang semua sudah mulai peladjari ilmusilat. Karena ia tidak faham surat, ia membutuhkan guru sekolah untuk anak anaknja itu, agar keiak dikemudian hari, anak-anaknja pandai silat dan surat.

Karena ini ia penudju In Gak untuk djadi guru sekolah, tjuma ia belum berani omong. Dengan si pemuda sudah ia bertemu beberapa kali.

Habis Goan-siauw, jaitu pesta Tjap gouw mee, baru Lie Tay Beng menemui Hee-houw Him, membitjarakan urusan In Gak. Ia tidak berani bitjara langsung, ia membuang kata-kata dulu.

„Saudara Lie, Tuan Tjia masih muda mana bisa dia diangkat djadi pemegang buku, untuk bergaul sama orang dari segala tingkat?" kata piauwsoe tua itu, ”Baik begini sadja. Aku memerlukan guru, buat anak-anakku, apakah Tuan Tjia suka menerima pekerdjaan itu?" 

„Tjongpiauwtauw begini baik masa dia tolak?" kata Tay Beng, girang. Ia lantas pergi ke hotel, mentjari In Gak, untuk menjampaikan berita serta menanjakan pendapat si pemuda. In Gak terima pekerdjaan itu, untuk itu, bersama Tay Beng menemui Heehouw Him, untuk memastikan pekerdjaan, buat menghaturkan terima kasih. Maka dilain saat, anak-anaknja piauw¬soe itu sudah lantas mendjalankan kehormatan kepada gurunja dan tuan rumah membikin pesta ketjil untuk merajakannja.

Malam itu djuga In Gak pindah ke piauwkiok dimana ia dapat tempat dikamar tulis, hingga di lain harinja, ia sudah lantas mulai mendjalankan tugasnja sebagai guru. Ia pun lantas berkenalan dengan sekalian piauwsoe dan pegawai lainnja. Mereka itu mendapatkan guru ini ramah tamah, ketjuali suatu waktu, matanja bertjahaja tadjam.

Ada kalanja In Gak pergi ke pekarangan peranti beladjar silat, menjaksikan si piauwsoee tua mengadjari silat kepada kedua anaknja. Satu kali si piauwsoe tua tanja, bagaimana peladjaran silat itu, sambil tertawa ia menjahuti bahwa ialah "orang asing" untuk ilmu silat.

Heehouw Him dan isterinja melihat guru sekolah itu sedikit persediaan pakaiannja, mereka membuatnja belasan perangkat. Mereka senang dengan ini guru.

Karena itu, In Gak jang polos, memikir: „Bagaimana aku balas kebaikan mereka ini?" Ia djuga ingat kebaikannja Lie Tay Beng.

Lewat dua bulan, pada suatu hari In Gak melihat tuan rumahnja beroman duka. Dia berkumpul di toa-thia, ruang besar, mendamaikan sesuatu dengan beberapa piauwsoenja. Ia tidak tahu apa jang dibitjarakan, untuk menjingkirkan ketjurigaan, ia pergi mendjauhkan diri. Baru malamnja, habis bersantap, ia pergi pada Tay Beng, untuk minta keterangan pada piauwsoe ini. "Tjongpiauwtauw lagi menghadapi kesukaran” kata piauwsoe she Lie itu. „Tahun jang sudah, dibulan tiga, piauwkiok kami menerima apa jang dinamakan piauw gelap,' tiba di Ouwlam barat, dikaki bukit Kim Hong Nia, Leng-leng, piauw itu dibegal Siang Tong Sam Ok, tiga djago djahat dari Ouwlam Timur. Mereka itu Kioe-bwee-tiauw Ngay Hoa si Radjawali Ekor Sembilan, Hoei Thian Gia-kang Thia Soan si Kelabang Terbang, dan Hek Loo-han Gouw Beng, si Lohan Hitam. Tjongpiuwtauw memohon perdamaian tetapi gagal, mereka bentrok. Kesudahannja Gouw Beng terbinasa terkena panah Hong-hong-nouw, Kemudian ternjata, Gouw Beng itu muridnja Siauw-bin Boe Siang Hong It Taysoe dari kuil Tay Pie Sie di Soetjoan. Pendeta itu, si memedi Boe Siang Tertawa, kesohor kegalakannja untuk di Selatan, golongan sesat dan lurus, memalui dia. Dia tersohor untuk ilmu silatnja Touw-koet Irn Hong Tjiang. Siapa terkena tangannja, mesti mati. Dia pun telengas. Katanja dia telah berangkat ke Barat ini, guna menuntutbalas untuk muridnja itu. Maka djuga sekarang tjongpiauwsoe lagi bersusah hati, Ia telah mengirim undangan untuk meminta bantuan orang liehay."

„Tjongpiauwtauw berhati baik, mestinja dia memperoleh kebaikan," kata In Gak. „Aku sangsi Hong It demikian liehay seperti katamu, saudara Lie."

„Kau anak sekolah, saudara, kau tidak tahu halnja orang Kang-ouw,"' kata Tay Beng alisnja mengkerut. „Diantara mereka banjak sekali orang orang liehay. Orang sematjamku banjak tetapi tidak ada artinja"

In Gak tidak membantah, ia bahkan tertawa. Tapi diam- diam ia telah memikirkan daja guna menolongi piauwsoe tua itu.

Beberapa hari kemudian, Heehouw Him kedatangan dua sahabatnja, jaitu Kian-Koen-Tjioe Loei Siauw Thian si Tangan Dunia dan Liang Gie Kiam-kek Tjie Tong Peng, si Ahli Pedang Imyang. Loei Siauw Thian itu murid tunggal Tjin Nia It-Sioe jang pada Iimapuluh tahun dulu terkenal diselatan dan utara sungai Tiang Kang. Dia kesohor karena ilmusilatnja. Kian Koen Tjioe, jang terdiri dari tigapuh enam djurus. Dia djarang tandingan, dan tabiatnja pun aneh, hingga orang malui, usianja belum empatpuluh tahun, tubuhnja kurus, matanja tadjam. Tjie Tong Peng keluaran Heng San Pay, dia tjalon tjiang-boen-djin, ketua partai, dia dikenal sebagai salah satu dari empat djago pedang di Kanglam. Dalam usia lima puluh, dia mirip seorang peladjar. Ia memelihara kumis dan djenggot jang pandjang. Dipunggungnja terus tergendong pedangnja jang tua. Sebenarnja, jang diundang jalah Tong Peng, Siauw Thian turut bersama sebab kebetulan ia berada dirumah sahabatnja itu, sedang ialah seorang perantauan.

Girang Hee-houw Him menjambut dua tetamunja itu. Katanja sambil tertawa: „Loei Lao- tee, kau datang, maka kakakmu jang tua ini beleh tidur dengan tenang dan senang!"

Sebaliknja daripada tertawa, Siauw Thian mengasi lihat roman keren.

“Eh kunjuk tua, djangan kau mengangkat aku terlalu tinggi!." katanja. „Aku kuatir, djikalau aku djatuh, nanti pinggangku patah hingga piauwkiokmu ini tidak bakal sanggup memelihara aku!"

Tuan rumah tetap tertawa, la mengundang kedua tetamunja masuk.

Malam itu diadakan perdjamuan penjambutan. Sebagai guru sekolah, In Gak diundang turut hadir. Selama itu, diam- diam Siauw Thian sudah memperhatikan guru sekolah jang muda ini. Ia seperti merasa kenal. Ketika ia diberitahukan, orang she Tjia, lantas ia ingat seorang jang ia kenal, jang semendjak sekian lama dikabarkan sudah meninggal dunia, jalah Toan-Hoen-Poan Tjia Boen, sahahat dari gurunja, Tjin Nia it-sioe. Sedikitnja sekali setiap tahun, Tjia Been berkundjung kegunungnia. Ketika itu ia masih belum keluar dari rumah perguruan, sering ia mendampingi gurunja melajani orang she Tjia itu, jang umurnja belum tiga puluh jang romannja sama dengan ini guru sekolah. Ketika ia sudah keluar dari rumah perguruan, beberapa kali ia bertemu Tjia Boen dalam perantauan dan Tjia Boen pernah berbuat kebaikan terhadapnja. In Gak ini mirip Tjia Boen jang kedua, Tentang Tjia Boen ia mendengar kabar, orang telah dikepung musuh-musuhnja, bahwa disatu gunung telah didapatkan majatnja dua orang, satu orang tua dan satu botjah, jang dikenali sebagai Tjia Boen. Kalau kabar itu benar, In Gak ini mungkin puteranja Tjia Boen itu. Karena ragu-ragu, ia djadi semakin memperhatikan.

In Gak tahu orang sering mengawasi ia, ia heran. Ia melajami dengan mengangguk halus bersenjum. ”Aneh Loei Siauw Thian terus memperhatikan aku. Apakah romanku membuka rahasiaku terhadapnja?" Ia terus bersikap tenang.

„Silakan minum?" ia mengadjak heberapa kali.

Hee-houw Him pun melihat sahabat itu rnengawasi guru sekolahnja, dia tertawa dan kata: „Loei Laotee, djangan kau main mengawasi Tjia Sinshe sadja. Dialah ahli surat, semua buku dan surat-suratku dia jang urus, tulisannja pun indah sekali!"

Siauw Thian tertawa.

„Aku pun kagum melihat Tjia Sinshe maka aku suka mengawasinja!" sahutnja, untuk menutupi perhatiannja itu. Tapi, ketika perdjamuan sudah ditutup dan In Gak sudah pergi kekamarnja, ia kata pada Tong Peng dan tuan rumah: ,.Aku lihat Tjia Sinshe itu mesti mempunjai kepandaian jang tinggi, tjumalah ia pandai menjembunjikannja. Saudara Heehouw, sudah lama kau mengenalnja, mengapa kau tidak mendapat tahu? Kali ini si kera tua salah mata!"

,,Orang toh anak sekolah, ada apanja jang mentjurigakan?" kata Hee-houw Him. „Kalau benar- seperti katamu, dia gagah, kenapa dia kesudian djadi guru sekolah dirumahku ini?

Mungkinkah dia lagi menjingkir dari musuhnja? Kalau benar, apa sudah tidak ada tempat lain? Kenapa dia djusteru memilih piauwkiok dimana banjak orang dapat sembarang keluar masuk? Tak takutkah dia nanti gampang kepergok?"

”Turut penglihatanku, dia memang mentjurigai," berkata Tjie Tong Peng, „.Aku melihat matanja bersinar luar biasa, besar pengaruhnja. Lainnja tidak. Tapi dia belum berumur duaputuh tahun, inilah anehnja, Apa benar dia dapat membawa diri demikian rupa? Satu hal sudah pasti, dia mestinja orang baik-baik. Sekarang djangan kita usil dia, mungkin dia mempunjai kesulitannja.

Siauw Thian melirik sahabatnja, dia tertawa„

„Hong It si keledai gundul datang ke Barat, biarnja dia liehay, belum tentu dia dapat berbuat sesuatu atas diriku !” ia berkata, ,,Apa jang aku kuatirkan dia berkawan orang liehay, Kekuatiran ini aku dapatkan semendjak ditengah djalan.

Sekarang, dengan adanja guru sekolah itu, lenjaplah kekuatiranku, Aku pertjaja dia dapat membantu kita! Kera tua, untungmu bagus! Oh, kau tidak pertjaja? Suka aku bertaruh!"

Heehouw Him bersangsi, sebab ia tahu Siauw Thian gemar bergurau. Siauw Thian sendiri diam-diam menduga, kalau In Gak benar putera Tjia Boen dan sekarang muntjul untuk mentjari balas, pastilah bakal datang badai, ia tidak mau menimbulkan soal Tjia Boen, ia djuga tidak mau mengutarakan dugaannja ini, untuk mentjegah belum apa-apa terbit gelombang hebat dalam dunia Kang-ouw. Ia pun kuatir kalau-kalau, karena ia banjak mulut, In Gak nanti membentji padanja.

Tong Peng lantas berkata „Mulai besok, kalau kita bertemu Tjia SinShe, kita mesti bersikap seperti biasa; untuk mentjegah dia mendjadi tjuriga."

Siauw Thian tertawa, ia membungkam. Tapi mulai besoknja, beruntun beberapa hari, ia tentu tentu pergi kekamarnja In Gak, untuk memasang omong, hingga selandjutnja pergaulan mereka mendjadi erat. Tjin Nia It sioe tersohor ilmu silatnja tetapi dia djuga pandai surat. Digunung Tjin Nia, dimana dia hidup menjendiri, di dalam kamarnja, penuhiah kitab-kitabnja serta banjak gambar lukisan. Disitu ia menghibur diri dengan pelbagai kitab dan gambarnja itu. Loei Siauw Thian mendjadi murid tunggal, ia terdidik sempurna, maka ia pun mengerti surat, bisa bersjair dan menjanji, melukis, main tjatur dan main khim, tjuma sifatnja gemar bergurau. Maka itu, dapat dia bitjara asjik dan getol dengan In Gak hingga si anak muda sering menekan perut karena saking djenakanja.

In Gak lantas mendapat tahu ini sahabat baru pandai silat dan surat, bahwa disamping kedjenakaannja itu, dia ramah- tamah, tak mungkin palsu, dari itu, suka ia bersahabat dengannja. Meski be¬gitu, ia terus membitjarakan tentang pelbagai hal sastera, tentang ilmusilat tak sepatah kata pun disebut-sebut.

Selagi mereka ngobrol, beberapa kali Heehouw Gee dan Heehouw Wan Tin datang untuk minta petundjuk ilmusilat kepada Kian Koen Tjioe, jang mereka panggil paman. Sering Siauw Thian melajani kedua botjah. Ia memberi petundjuknja, separuh maksudnja untuk memantjing si anak muda. Tapi In Gak tetap tenang, bahkan satu kali, dengan roman heran, dia berkata. ”Baru hari ini mataku terbuka! Hebat dunia kang- ouw, Djadi apa kata orang dahuiu kala!”

Atau lain ka!i, ia kata: „Saudara, kepandaianmu ini belum pernah aku memelihatnja! Kau mirip dengan Hong Djiam Kong dan Khong Khong Djie! Dengan ini kau menantang, kau menghukum manusia-manusia djahat, sungguh kau berbuat banjak kebaikan !”

Walaupun orang bersikap demikian, Loei Siauw Thian merasa: „Hebat anak muda ini. pandai sekali dia membawa dirinja, Biar bagaimana, dia mirip naga, dia mirip harimau” Dilain harinja, Siauw Thian datang pula kekamar si guru sekolab, untuk rnemasang omong, selagi berbitjara, sengadja ia mengulur tangannja hingga udjung badjunja tersingkap, hingga terlihat sikutnja. Ia berbitjara sambil tertawa. Dengan begitu ia mengasi lihat satu luka di sikutnja seperti diluar keinginannja. Luka itu luka bekas golok, pandjangnja lima dim.

Melihat itu, In Gak agaknja terperandjat. Atas itu, si orang she Loei menghela napas.

Saudara, kau ingin ketahui sebabnja lukaku ini?" ia tanja.

”Inilah luka jang didapat dua puluh tahun dulu. Ketika itu belum lama aku masuk dalam dunia Kang-ouw. Selagi lewat di Paleng, aku membelai seorang jang diperbuat tak selajaknja, karenanja aku bentrok dengan Siam-Lam 'Soe Hiap, empat djago dari Siam-say Setatan. Aku dikepung berempat„ lama- lama, repot aku, lalu sikutku ini kena dibacok. Disaat djiwaku terantjam, aku ditolong Paman Tjia Boen. Dialah jang dunia kang-ouw kenal sebagai Twie Hoen Poan, si Hakim Pengedjar Arwah. Dia bentji Siam Lam Soe Hiap, jang berempat mengepung satu orang, dia menjerang. Kesudahannja, dari empat djago itu, tiga terbinasa, satu terluka.

Kemudian ternjata merekalah murid-murid turunan ketiga dari partai persilatan Giang Lay Pay. Jang luka itu lari pulang, dia mengadu kepada ketua partainja. lalu dalam satu rombongan, mereka menjerbu Paman Tjia. Maksud mereka itu tidak kesampaian, Paman Tjia jalah sahabat guruku, darinia pernah aku mendapat banjak kebaikan. Sedjak itu, beberapa kali aku masih bertemu dengannja. Lalu belasan tahun kemudan aku mendengar kabar Paman Tjia kena dikerojok musuh-musuhnja kaum sesat dan lurus di Sam-siang. Ia berkelahi dengan menggendong anaknja. Katanja dia terluka dan terbinasa karenanja. Paman Tjia itu murah hatinja, tjuma dia keras dan bengis. Sajang dia terbinasa setjara demikian ketjewa. Dari sini pun ternjata keruwetan dunia Kang-ouw, dimana peri--kebenaran dan kesesatan tak dapat dipisahkan. Mengenai Paman itu, orang tjuma bisa menjesal dan berduka

Siauw Thian pun mendjadi lesuh„ ia menghela napas.

Diam-diam ia melirik muka orang.

Mendengar hal-ichwal ajahnja itu, airmuka In Gak berubah, hanja sedjenak, ia kembali wadjar, tetapi meski dernikian, perubahan itu tak lobos dari mata tadjam dari Kian Koen Tjioe, hingga kepertjajaan dia ini mendjadi tetap enam bagian. Dia tjuma masih heran, siapa itu orang dan botjah jang majatnja diketemukan di gunung.

Kemudian In Gak kata, tawar: “Keruwetan kaum Kang-ouw itu tidak dapat dimengerti olehku seorang anak sekolah, tetapi saudara Loei, mengingat kaulah seorang gagah, jang berhati mulia dan kaupun kenal baik Tjia Boen itu, mengapa kau tidak mentjoba menolong membalas sakit hatinja? Dapatkah sakit itu dibiarkan sadja tenggelam di lautan besar atau terpendam di tanah pegunungan?”

“Saudara, tepat teguran kau ini” kata Siauw Thian, “Aku tadinja terbenam dalam kesangsian. Siapa dapat mempertjajai penuh kabar angin? Pula di pihak pengerojok itu, mereka menutup rapat-rapat mulut mereka, hingga sulit untuk menjelidikinja. Sampai sekarang ini aku sangsi Paman Tjia mati setjara ketjewa itu, sebaliknja aku mau pertjaja, dia masih hidup, hanja dia ada dimana tahu. Sudah belasan tahun aku mendengar-dengar tentangnja itu…”

Matanja In Gak bertjahaja, lantas ia bersenjum.  “Djikalau begitu, saudara Loei, kau baik sekali” bilangnja. Siauw Thian tertawa.

“Saudara belum ketahui aku orang matjam apa, nanti sadja kau melihatnja!” katanja.

In Gak agaknja likat.

“Saudara Loei, tiada maksudku mengedjek kau. Tentang kau, sekarang pun aku telah melihat buktinja. Untuk Tjongpiauwtauw, bukankah kau memerlukan dating dari tempat jang djauh?

Menghormati kau, aku masih tidak sanggup, mana berani aku…”

Ia belum habis berkata, Siauw Thian sudah memegat. ”Tjukup saudara, djangan kau mengangkat-angkat aku, aku

malu sekali”

Sampai disitu, berhenti sudah pembitjaraan mereka mengenai urusan Tjia Boen, selandjutnja mereka omong dari lain hal, sampai orang she Loei itu meminta diri.

Berduduk seorang diri dalam kamarnja, In Gak berpikir: ”Perkataannja Siauw Thian dapat dipertjaja. Sakit hatiku ini mana bisa aku gampang-gampang menuturkannja kepada lain orang? Baik, aku sabar dulu ”

Malam itu, karena pikirannja katjau, pemuda ini sukar tidur njenjak. Karena itu, ia mendjadi berpikir keras.

”Ah, baiklah aku mengubah siasatku” pikirnja achirnja, ”Sebagai anak sekolah sulit aku mentjari keterangan, orang menghormati tetapi berbareng pun mendjauhkannja. Tak sudi rupanja orang bergaul erat denganku. Baik aku mengasi lihat sedikit kepandaianku, asal aku tidak menjebutkan asal-usul diriku, terutama djangan aku mempertontonkan ilmu silat ajahku, agar orang tidak mengenalinja ”

Karena dapat mengambil keputusan itu, achirnja bisa djuga ia tidur njenjak.

II

Besoknja pagi, In Gak mendusin sesudah matahari naik tinggi. Ia heran tetapi ia tertawa sendirinja. Katanja dalam hatinja: ”Biasanja aku tidur, suara berkelisik sadja dapat menjadarkan aku, tetapi semalam, aku tidur njenjak sekali. Inilah bukti pantangan untuk orang jang paham silat katjau pikirannja.”

Selama pagi itu, habis beladjar sendiri, si Gee dan Wan Tin tiga kali sudah datang ke kamar guru mereka, melihat sang guru masih tidur, mereka tidak berani mengganggu, paling achir mereka pergi memberitahukan ajah mereka, atas mana ajah itu berkata:

”Benar, djangan kamu membuat berisik hingga membikin guru kamu bangun. Biar hari ini, tak usah kamu bersekolah, nanti aku jang memberitahukannja kepada Tjia Shinse.”

Karena itu, dengan kegirangan, dengan berdjingkrakan, kedua botjah itu lari keluar, untuk pergi bermain.

Kapan Loei Siauw Thian mendengar halnja In Gak sampai siang belum bangun tidur, sepasang alisnja diangkat, hatinja terbuka. Tambahlah kepertjajaannja, atau berkuranglah kesangsiannja, dengan satu-dua bagian. Tapi tentang ini, tidak ada jang ketahui.

Habis In Gak membersihkan diri dan dandan, karena melihat djam sekolah sudah lewat, ia lantas keluar seorang diri dari piauw kiok. Ingin ia pergi keluar kota untuk mengitjipi keindahan alam. Perlahan-lahan ia bertindak diluar pintu kota Soen hoa-moei, matanja mengawasi daun-daun yanglioe jang hidjau. Hawa segar, angin pun menghembus halus.

Tengah pemuda ini merasa terbuka, mendadak dari dari djalan tikungan muntjul seekor kuda jang dilarikan keras sekali. Dari djalan ketjil, penunggang kuda itu mengambil djalan besar. Tabrakan tak dapat ditjegah ketjuali si pemuda berlompat minggir.

Dalam saat keponggok itu, In Gak tidak berkelit. Sebaliknja ia bertahan. Ia menggeraki kedua tangannja sambil memasang kuda-kudanja, ia menangkap kaki depan sang kuda dan mengangkatnja. Maka kuda itu lantas dengan kedua kaki belakangnja, tak peduli itulah kuda asal Mongolia jang besar dan kuat. Karena itu djuga penunggangnja mendjadi terdjumpalit ke pinggir djalan, sedang kudanja, jang berontak dan dilepaskan kaki depannja, roboh ke sawah di tepi djalan itu. Si penunggang kuda dapat berlompat turun ke tepi djalan besar, tetapi dia lantas mendjadi gusar sekali, dengan keras dia menegur: ”Binatang dari mana berani menghadang perdjalanan Ngay toaya? Apakah kau mau mentjari mampusmu?”

In Gak memandang orang itu jang badjunja hitam, potongannja ringkas, kedua alisnja buntung, hidungnja melesak, kedua matanja merah, mulutnja lebar bagaikan paso, hingga dia nampak bengis, apalagi tengah dia bergusar sangat itu. Ia tidak takut, sebaliknja ia mendongkol. Kenapa ia digusari? Kalau bukan ianja, bukankah orang bakal mampus ditabrak kuda besar itu? Maka ia tertawa dingin dan membalas menegur: ”Sahabat, apakah kau tidak mempunjai mata?

Kenapa kau mengaburkan kudamu begini rupa? Apakah kau kira kau tidak bakal mengganti djiwa, apabila kau menabrak orang mampus? Kau begini tergesa-gesa, apakah kau hendak berbela-sungkawa?"

Mata orang itu mendelik, sinar merahnja mendjadi marong.

Dia mementang batjotnja jang Iebar: „Binatang, kau berani kurang adjar terhadap Kioe-bwee-tiauw Ngay Toaya ? Saat kematianmu telah tiba, botjah! Awas!"

Antjaman itu disusuli tindakan madju dan tindju meluntjur ke dada!

Mendengar orang menjebut she dan gelarannja itu, In Gak lantas ingat penuturan Lie Tay Bang perlhal Siang Tong Sam Ok, tiga djago djahat dari Ouwlam. Timur. Dia sekarang berada disini, itu artinja gurunja, jaitu Hong It Taysoe, telah tiba. ingat bahwa orang adalah orang djahat dan maksud kedatangannja ini djahat djuga., ia mendjadi panas hati, hingga ia memikir untuk mernberi hadjaran kepada si djahat jang galak ini. Demikian ketika serangan tiba, ia tidak berkelit tapi menangkis sarnbil tertawa di¬ngin, ia melondjorkan tangannja, untuk menjambuti. Maka dalam sekedjap sadja nadi Ngay Hoa telah kena ditjekal, terus dipentjet, terus pula disempar„ hingga kesakitan Kioe-bwee-tiauw„ si Radjawali Ekor Sembilan, terpelanting djatuhnja lima tombak, tubuhnja roboh terlentang, dan ketika terlentang itu, tangan kirinja memegangi tangan kanannja, matanja dipentang lebar dengan melongo!

In Gak bertindak menghampirkan,

„Ngay Toaya, kau kenapa?" ia menanja.

Ngay Hoa. kaget dari heran. Begitu tangannja disambuti, dia merasa sakit sekali, belum sempat dia mengetahui apa- apa, tubuhnja sudah terpelanting, hingga dia roboh terbanting.

Kesudahannja itu membuat tangannia itu njeri sekali. Dia pun hampir pingsan. Maka itu, matanja mendelong. Tapi segera dia sadar, Dia heran kenapa demikian gampang dia dipetjundangi dia, salah satu dari djago Ouw lam! Tjelaka kalau kedjadian ini sampai teruwar! Tak dapat dia rnenaruh kaki lebih lama di Ouwlam itu! Ketika dia ditanja, dia mendongkol sekali. Dengan lompatan Ikan Gabus Meletik, dia bangun berdiri.

„Binatang, Ngay Toaya akan mengadu djiwa denganmu!" dia 'berseru, kedua tangannja dibawa kepunggungnja, untuk menghunus sendjatanja, jaitu tiam hoat-kwat, gegaman peranti menotok djalan-darah, jang terbuat dart tembaga.

Sambil mengadjukan tindakannja, dia terus menjerang keatas dan kebawah, sendjatanja itu mentjari masing-masing djalandarah yoe-moei dan khie hay.

In Gak tertawa pula, perlahan, tubuhnja berkelit kesamping kiri, tangan kanannja diluntjurkan.

Ngay Hoa merasa matanja seperti kabur. la melihat sesuatu jang. berkeleban lantas kedua tangannja kesemutan, tanpa merasa, kedua sendjatanja terlepas dari tjekalannja, kena dirampas si anak muda. Ia kaget, hendak ia berlompat mundur, atau tangan kiri orang mendului ia, mampir di djalan darah tiong-hoe, hingga ia mendjerit, tubuhnja terus roboh. "Ngay Toaya," kata In Gak tertawa, „dihadapanku, djangan kau rnernpertontonkan kedjelekanmu! Dengan kepandaianmu sekarang ini, walaupun kau beladjar lagi delapanbelas tahun, sia-sia belaka! Kau tahu, dengan totokanku ini, kepandaianmu telah dimusnahkan ! Didalam waktu tiga tahun, aku larang kau menggunai tenagarnu, djikalau kau melanggar, tidak ampun lagi, kau pasti mati! Aku lihat dua potong logam ini sudah tidak ada gunanja, baiklah aku musnakan djuga.

Dengan menekuk kedua tangannja, In Gak rnembikin sendjata itu melengkung seperti gelang, terus ia buang kesawah sambil ia berkata pula: „Ngay Hoa, perlu apa kau datang ke kota Lam-tjiang ini? Apakah keledai gundul Hong It pun datang bersama? Apakah kau dititahkan dia pergi ke Tjin Tay Piauw-kiok untuk mengadjukan tantangan? Djikalau benar, tak usahlah kau tergesa-gesa begini rupa?”

Karena ditotok itu, habis sudah tenaga Ngay Hoa, peluhnja pun mengalir keluar. la sebenarnja lagi mentjatji diri sendiri, selagi mempunjai urusan penting, ia rewel ditengah djalan, hingga orang mentjelakainja, hingga urusannja gagal. Tapi sekarang, mendengar si anak muda menjebut gurunja dan rnembuka rahasianja, ia kaget sekali. Tahulah ia bahwa Hee- houw Him sudah mangundang bala-bantuan jang liehay, hingga ia merasa, gurunja serta dua kawannja mungkin bukan lawan pemuda ini. Karena ini, ia mendjadi lesu. 

„Tuan.„ aku benar dititahkan Hong It taysoe untuk pergi ke Tjin Tay Piauw-kiok untuk menjampaikan tantangan, Aku tjuma orang perintahan. Menjesal aku telah berlaku kurang adjar terhadap kau. Sekarang aka minta sukalah kau membebaskan aku. Aku berdjandji, selandjutnja aku akan merubah kelakuanku, tidak nanti aku berbuat djahat lagi."

Sambil berkata, Ngay Hoa djuga mengasi lihat sinar mata memohon ampun, Ia seperti kehilangan keangkuhannja. Tak malu ia untuk bersikap merendah itu. In Gak tidak senang, menghadapi sikap pengetjut itu.

Itulah menandakan orang benar manusia sangat djahat dan busuk. Maka ia tertawa dingin dan berkata: „Orang she Ngay, kau menjebut dirimu Siang Tong Sam Ok, itu sadja sudah menandakan kedjahatanmu. Inilah jang pertama kali kau bertemu aku, dari itu, dengan mendapat totokan sematjam ini, aku sudah berlaku murah terhadapmu. Djikalau aku menghadapi lain orang, pasti aku telah membunuhnja! Maka itu, djanganlah kau mengharap. mendapat pembebasan.

Tentang kewadjibanmu mengadjukan tantangan, nanti aku jang menjampaikan, sebab disana aku turut ambil bagian. Serahkan suratmu padaku, kau sendiri, lekas kau kembali pada si bangsat gundul. Pada saat jang didjandjikan, pihak kami akan datang diwaktu jang tepat!"

Ngay Hoa putus asa. Ia merogo sakunja, mengeluarkan surat gurunja: Sembari menjerahkan itu, ia tanja, mendongkol: „Kau :siapa, tuan, tolong kau memberitahukan namamu! Asal aku si orang she Ngay tidak mati, lain kali aku akan membalas budimu inil"

„Bangsat!" teriak In Gak. „Kau masih hendak menanjakan namaku? Kalau begitu, kau rupanja memikir mampus!"

Bentakan itu disusul dengan gerakan tubuh.

Ngay Hoa kaget sekali, ia takut bukan main. Lantas ia memutar tubuhnja, untuk lari ngatjir, sampai kudanja pun ia lupakan.

In Gak besenjum mengawasi orang kabur itu. la melihat lagi kepengetjutan orang. la lantas menghampirkan kuda djago itu, untuk dinaiki, untuk berdjalan pulang. Ditengah djalan ia memikirkan kenapa. Ngay Hoa demikian tak punja guna. Inilah pertempurannja jang pertama kali, hingga ia tidak menginsjafi liehaynja salah satu djurus dari Hian Wan Sip Pat Kay, jang barusan ia gunakan. Setelah itu, mendadak ia menahan kudanja, ia mengeluarkan seruan tertahan. la pun lantas merogo sakunja, rnengasi keluar suratnja Hong It Taysoe. Ia pikir, alasan apa ia mesti kemukakan pada. Hee- houw Him karena ialah jang membawa surat itu. Ia merobek sampul, untuk menarik keluar suratnja. Bunjinja itu jalah tantangan untuk besok pagi bertempur di puntjak Bwee Nia di See San, Gunung Barat, dan penanda-tangannja jalah Hong It Taysoe, pendeta kepala dari kuil Tay Pie Sie di Soetjoan Selatan, bersama Lan Tjhong Siang-Sat, jalah Taylek Koei-Ong Tjoe Pek Pay serta Tjoei Beng Long koen Khiong Keng.

„Bagus, besok tentu bakal terdjadi suatu pertarungan dahsjat pikirnja. „Hanja entah siapa itu Lan Tjhong Siang-Sat dan bagai¬mana kepandaiannja

Pemuda ini lantas menduga-duga. Lan Tjhong Siang-Sat berarti Sepasang Bintang djahat dari Lan Tjhong San. Tjoe Pek Pay bergelar Taylek Koei-ong, Radja setan Bertenaga Besar, maka rnungkin dia liehay tangannja. la ingat kematian ibunja oleh tangan djahat, maka entahlah, dia ada hubungannja sama ibunja itu atau tidak. Sedang Khiong Keng jalah si Pengedjar Djiwa.

Tidak lama In Gak menahan kudanja, lantas ia melarikannja pulang. Ia sudah mendapatkan alasannja. Ditengah djalan ia membuatnja orang mengagumi romannja jang tampan, disebabkan ia melarikan kudanja keras, hingga ia menarik perhatian umum. Kata orang: .„Entah anak siapa dia, demikian ganteng!...".

Ketika achirnja ia tiba dirumah, In Gak turun dari kudanja dibelakang piauwkiok, ia minta satu pegawai mengurus kudanja itu, ia sendiri terus masuk kedalam. Pegawai itu heran, dia mengawasi sambil berkata didalam hatinja: „Aku tidak sangka guru sekolah begini lemah, umpama kata tidak dapat menjembelih ajam, dapat menunggang kuda begini djempol! Sungguh aneh! Kalau dia djatuh, tentulah dia mati

...... .." Dengan berbatuk satu kali In Gak bertindak perlahan dan tenang. Diruangan besar ia melihat Heehouw Him tengah berbitjara dengan Tjie Tong Peng dan Loei Siauw Thian, serta seorang tua kate-ketjil dan kurus-kering, jang ia tidak kenal.

Begitu bertindak masuk, tuan rumah menjambut sambil tertawa dan berkata : „Tjia Shinshe, mari aku mengadjar kau kenal dengan seorang luar biasa!" la. Terus menundjuk si

kate-kurus itu,. untuk: menambahkan: „Inilah Thay San It Kie, si Orang-aneh dari gunung Thay san Oh Ka Lam Tjoei Tjian, si malaikat Ka Lam Kate.

Benar orang boen dan boe berlainan golongan tetapi baiklah kamu saling berkenalan!" Terus ia pun memperkenalkan Si. Guru sendiri. Kedua pihak saling memberi horrnat.

Tjoei Tjian mengawasi si guru sekolah semendjak ia baru muntjul. Inilah sebab baru sadja mereka membitjarakan hal dia, jang disangka berkepandaian tinggi tapi dia rupanja menjembunjikannja. Tapi ia tidak melihat apa-apa jang aneh. Maka ia berpikir „Barusan mereka bertiga memudji orang tinggi kenapa aku tidak mau mentjoba mengudji dia?" Dari itu, ia tertawa dan kata„Tuan Tjia, barusan saudara Hee-houw memudji tinggi kepada kau, sekarang melihat wadjahmu, tuan benarlah naga atau burung hong diantara kita bangsa manusia. Akulah si orang hutan, jang dungu, maka kalau benar kata-katanja saudara Hee-houw ini, marilah kita ikat persahabatan." Sembari berkata, ia merangkap kedua tangannja, untuk memberi hormat. Sambil berbuat begitu, ia mengerahkan tenaga-dalammja, untuk menolak.

In Gak lantas merasakan tolakan angin, maka tahulah bahwa ia lagi diudji, maka lekas-lekas ia berkata merendah, "Tjoei Loo-giesoe terlalu memudji, aku tidak berani rnenerimanja..." Ia minggir dua tindak, tangannja diangkat, untuk membalas hormat setjara wadjar, setelah itu ia mengeluarkan suratnja Hong It diserahkan pada tuan rumah. Tjoei Tjian kagum. Ia melihat bagaimana indah orang menjingkir. Ia kata dalam hatinja: .„Anak. ini lintjah sekali, djarang aku menemui orang seperti dia."

Siauw Thian mengawasi tingkahnja, orang she Tjoei itu, hatinja berkata.: ,,Tidak perduli kau liehay, kali ini kau ketemu batunja”

Heehouw Him menjambuti surat, membatja mana, mukanja mendjadi putjat.

”Loei Laotee, benar seperti katamu!” katanja tjepat, hatinja tegang, ”Hong It si bangsat gundul datang bersama Lan Tjhong Siang sat dan ia mendjandjikan pertemuan besok pagi di puntjak Bwee Nia di See San. Mereka bertiga sernua bangsa telengas.”

Siauw Thian tertawa lebar.

”Kunjuk tua, kenapa kau begitu ketakutan?” katanja, ”Biarnja Siang Sat liehay, aku si orang she Loei suka menempur mereka”

Liang Gie Kiam Kek Tjie Tong Peng, jang sabar berkata: ”Di djaman sekarang ini,orang

jang bisa melajani. Lan Tjhong Siang Sat memang diarang sekali. Duluhari tiuma tersiar kabar bahwa mereka pernah dua kali kalah, jalah dari tangannja Thay Hian Tjindjin dari Ngo Bie Pay dan Twie-Hoen-Poan Tjia Boen. Memang besok belum tentu kita kalah, akan tetapi untuk memperoleh kemenangan djuga masih belum ada kepastiannja. Oleb karena itu, saudara Loei, djangan kita memandang terlalu enteng pada mereka itu,"

Oh-Ka-Lam Tjoei Tjian tidak puas, hingga matanja. mentjilak.

„Sajang selama duapuluh tahbun aku si tua-bangka belum pernah mendjadjah ke Soetjoan, djikalau tidak, tidak nanti aku mengidjinkan mereka itu bertingkah sampai sekarang ini” katanja sengit. „Hari ini sjukur telah datang djodohnja, maka aku si tua-bangka nanti mentjoba-tjoba mereka!" Siauw Thian tahu keberangasannja Tjoei Tjian, djikalau mereka terus membitjarakan urusan itu, si kate ini bakal naik darahnja, maka ia berbangkit dan berkata sambil tertawa:

„Biar bagaimana djuga, besok pagi kita bakal pergi kesana, dari itu pertjuma sekarang kita membitjarakannja pandjang lebar. Eh, Tjia Laotee, mari kita main tjatur!"

In Gak menurut, maka berdua Siauw Thian ia. meminta diri. Ketika ia berlalu, in mendengar Tong Peng berkata perlahan „Tjia Sinshe itu kenapa akrab sekali dengan Loei Hiantee?

Apakah benar katanja Loei Hiantee ini'?" la heran, hatinja terkesiap.

Dengan lekas ia melirik Siauw Thian. Ia melihat si orang she Loei .seperti tidak dapat mendengar perkataannja Tong Peng itu, dia djalan terus wadjar sadja.

Sebaliknja, Siauw Thian berkata: „Tjia Laotee, heran sekali, suratnja Hong It itu boleh djatuh di tangan kau ?"

In Gak terperandjat. Didalam hatinja, ia mentjatji : „Hantu djahat, kau rupanja menentang aku !" Tapi ia lekas mendjawab „Ketika tadi siauwtee berdjalan pulang„ siauwtee bertemu seorang jang menjebut dirinja Ngay Hoa dan dia menjerahkan surat itu padaku dengan permintaan disampaikan kepada tjong-piauwtauw. Saudara Loei, ada apakah jang aneh ?"

„Oh, begitu ?" kata Siauw Thian, jang mengasi dengar suara dihidung, tandanja ia separuh pertjaja separuh tidak.

Setelah itu, mereka main tjatur dikamar In Gak. Siauw Thian terdesak, banjak bidjinja jang dimakan, maka sambil menolak bidji-bidjinja, ia tertawa dan berkata : „Kau liehay, Tjia Hiantee, kau seperti dibantu malaikat. Aku sudah lama tidak main tjatur, aku terdesak., djikalau aku melandjuti, pasti tidak ada gunanja !" In Gak tertawa, Siauw Thian mengawasi orang, Lalu mendadak ia kata, masgul ,.Hiantee, aku minta djanganlah kau dustai aku. Tadi lintjah sekali kau menjingkir dari tolakannja,Tjoei Tjian, sedikit djuga kau tidak meninggalkan bekas. Menurut penglihatanku itulah mirip ilmu kaum lwee-kee jang dinamakan Tjian Tjong Bie Eng Sim Hoat, Hiantee, kau menumpang didalam piauwkiok; apakah kau mempunjal sesuatu kesulitan jang kau tengah menjimpannja?“

Sebenarnja hati In Gak bertjekat akan tetapi dapat ia bersenjum. Ia menatap.

„Saudara Loei, matamu tadjam sekali,'' katanja. „Tentang urusanku ini, baiklah kita menanti sampal besok atau lusa, baru aku menuturkannja. Dibelakang hari aku pun masih memerlukan bantuan kau."

Siauw Thian tertawa lebar.

„Hiantee," katanja, „semendjak pertama kali aku melihat kau, sudah merasa kau mesti menjimpan kepandaian jang Iuar biasa, sekarang ternjata dugaanku itu benar !"

Si pemuda djuga tertawa pula.

“Mana kepandaian luar biasa !" katanja „Selama beberapa hari ini, aku tahu saudara terus menjelidiki aku, karena aku tahu, kebisaanku beda djauh daripada kebisaan saudara, aku memikir lebih baik aku menjembunjikan diri sadja. Aku pun mempunjai musuh besar dan

musuhku itu banjak, aku kuatir aku nanti kena menggeprak rumput hingga ular mendjadi kaget: Djikalau ini sampai terdjadi; sia- sialah nanti segala usahaku, aku pasti bakal menjesal tidak habisnja...”.

Kian Koen Tjioe menatap anak muda itu, ia mengasi lihat roman sungguh-sungguh.

“Tjia hiantee, kau pertjaja aku!” katanja. „Aku berpengalaman, aku tahu baik banjak orang dari kalangan sesat dan lurus, maka untuk pembalasan sakit hatimu itu, aku rasa dapat aku membantu kau, tentang, kau tuturkan padaku, nanti aku membantu djuga dengan pikiranku. Kau tahu, akulah seorang, djudjur dan polos, tidak dapat aku menanti sampai besok-lusa,

Hiantee, kau bitjara sekarang, Aku berdjandji tidak nanti aku membotjorkannja kepada orang lain”.

In Gak menatap pula, terus ia .tertawa. lebar.

Djikalau begitu , saudara Loei,” katanja, „Baik, mari kita pergi ke rumah makan Siong Hok Wan, disana sambil bersantap kita memasang omong melewati sang waktu malam!"

Siauw Thian rnenepuk dengkulnja. ia tertawa pula.

„Baik !” djawabnja, ”Marilah„ aku mendjadi si tuan rumah."

Kedua-duanja benar-benar lantas berlalu dari piauwkiok, pergi ke restoran Siong Hok Wan. Disana mereka disambut dengan manis dan telaten oleh pelajan, jang mengenali orang Tjin Tay Piauw Kiok. Mereka dipimpin ke medja jang terpilih, dimana hawa hangat menjenangkan.

Siauw Thian jang memesan barang hidangan, kemudian ia mengisikan tjawannja In Gak, lalu tjawannja sendiri.

Kemudian lagi ia mengangkat tjawannja itu.

”Laotee” katanja, bersenjum, ”Aku dapat mengenal kau, inilah hal jang seumurku sangat menggirangkan aku.

Sekarang Laotee, paling dulu aku ingin kau memberitahukan aku, dengan Twie Hoen Poan Tjia Boen, Pamanku itu, kau mempunjai sangkutan persanakan atau tidak?”

Orang she Loei ini memanggil Paman kepada Tjia Boen sebab Tjia Boen sahabat gurunja.

Ditanja begitu, dengan lantas matanja in Gak mendjadi merah.

„Aku jalah anaknja," sahutnja perlahan. Siauw Thian berdjingkrak bangun. memegang keras kedua pundak orang.

“Thian ada matanja !" serunja. „Benarlah dugaanku ! Segala tjatji tidak nanti dapat mentjelakai pamanku itu ! Dimana sekarang adanja ajahmu ?"

In Gak menggeleng kepala. Ia menghela napas.

„Ajahku telah meninggal dunia," sahutnja kembali perlahan. Orang she Loei itu bermuka guram, ia menghela napas.

„Ajahmu telah meninggal dunia, ini benarlah impian belaka," katanja, „Sekarang, hiantee, adakah kau dalam perdjalanan menuntutbalas menurut pesan ajahmu itu ?"'

In Gak menganguk.„Ja," sahutnja. „Hanja tugas ini sulit untukku. Niatku jaitu berdiam didalam piauwkiok barang satu tahun, untuk menjelidiki orang-orang pelbagai partai, untuk rnentjari tahu musuh-musuhku, untuk aku nanti mendatanginja satu demi satu. Sekarang aku merasa niatku ini tidak dapat didjalankan. Tjara ini meminta waktu terlalu lama, lebih-lebih aku bersendirian sadja: “ Saudara Loei, dapatkah kau memikir suatu djalan jang ringkas ?"

„Memang, hiantee, berdiam di dalam piauwkiok bukan djalan jang sempurna. Menurut aku, baiklah kau segera merantau, masuk dalam dunia Kang-ouw, untuk membuat nama. Setelah itu, mustahil orang tidak datang mentjari kau ? Kalau perlu, kau boleh menjembunjikan asal-usulmu, agar tidak ada jang ketahui kaulah anaknja Paman Boen. Djikalau kau berbuat begini, sulitnja jalah ilmusilatmu. Orang tentu akan mengenali itulah ilmu silat Paman Boen dan orang dapat mentjurigai kau”

„Tentang ilmusilat, itulah tidak usah dikuatirkan," In Gak memberi keterangan. „Biarnja ilmusilat ajahku liehay, keliehayan itu belum ada separuh keliehayannja guruku.

Siauwtee akan tidak memperlihatkan ilmu-silat ajahku itu." Siauw Thian membuka lebar matanja. Ia heran berbareng kagum.

„Bagairnana, hiantee ?" tanjanja. „Kau telah berguru kepada lain orang ? Dan kau bilang, kepandaian ajahmu tak ada separuhnja kepandaian gurumu itu ? Hiantee, pasti gurumu orang dari golongan terlebih tua. Dapatkah aku mengetahui namanja.

In Gak menggeleng kepala, tetapi ia bersenjum.

„Aku telah mendapat pesan guruku, tidak dapat aku memberitahukan namanja," ia kata. „Aku minta saudara tidak buat ketjil hati."

Siauw Thian tidak gusar, ia pun tidak memaksa. Bahkan ia tertawa.

,,Meski hiantee tidak menjebutkannja, kelak hiantee tidak akan lolos dari mataku !" katanja. „Sekarang biarlah kita menunda tentang itu. Aku ada memikir suatu djalan, supaja dengan sebutir batu kau rnendapatkan beberapa ekor burung. Duluhari itu, orang-orang jang memusuhkan ajahmu bertjampur-baur kaum sesat dengan kaum lurus, tjuma tidak djelas siapa-siapa adanja mereka itu, hanja menurut kabar, disana ada orang-orang dari pihak Boe Tong Pay, Koen Loan Pay, Hoa San Pay ketiga kaum lurus. Jang lainnja jalah Keng Lay Pay, Sam Hoan Pay dari Honghoo, Pay Pay dari Siang- kang serta mereka jang tidak berpartai. Dengan mereka itu hiantee boleh pura-pura bersahabat, untuk mengorek keterangan mereka. Pilihlah mereka jang djumawa dan berkepala besar jang dojan berkelahi. Aku pertjaja, diantaranja mesti ada jang akan membuka mulutnja.

Bagaimana hiantee pikir ?"

„Bagus !" In Gak memudji. „Inilah aku tidak pikir. Baik, aku akan mengambil siasat ini.” Ia berdiam sedjenak, lantas ia kata, sungguh-sungguh: „Saudara Loei, ibuku terbinasa oleh satu tangan djahat, dipunggungnja bertapak tudjuh djaritangan, mengenai itu dapatkah saudara menundjuki aku, siapa orang Kang-ouw jang djeridjinja tudjuh ?"

Siauw Thian berpikir.

„Tidak, hiantee, aku tidak pernah mendengar orang dengan tudjuh djeridji itu," sahutnja. „Tapi ini pun tidak sukar.

Perlahan-lahan sadja kau mentjari tahu siapa jang liehay djaritangannja. Aku rnenjangsikan Taylek Koei Ong Tjoe Pek Pay. Setelah dia dihadjar ajahmu, dia tentu menjembunjikan diri. Dialah sangat membentji ajahmu."

In Gak mengangguk.

“Biarlah !" katanja, tertawa dingin. ,,Dia itu benar musuh ibuku atau bukan, akan aku singkirkan dia Bukankah sudah terang dia bukannja manusia baik-baik ? Boleh apa membinasakan satu bahaja besar untuk umum ?"

“Hebat hiantee." kata Siauw Thian. „Aku sendiri, tidak berani aku main gila terhadap Lan Tjhong Siang-Sat.

Sekalipun Tjoei Tjian, Tjie Tong Peng dan Hee-houw Him mengepung bertiga, masih sulit untuk mendjatuhkan dua orang itu, maka bagaimana begitu mudah sadja kau mengatakan hendak menjingkirkan mereka! Tapi biar bagaimana, ada baiknja kau hendak memberikan bantuanmu. Bagaimana sekarang kau hendak berdjalan sendiri atau turut bersama kami?"

“Baiklah aku berdjala sendiri sebagaimana kebiasaanku," sahut In Gak. :,,Aku minta saudara djangan membilangi aku bakal turut, aku hendak bekerdja dengan diam-diam."

Siauw Thian tertawa.

“Djikalau kau tidak membantu, saudara, dapat aku menutup mulut !” katanja; Apakah hiantee kira mereka sernua majat- majat sehingga mereka tidak melihat padamu? “Ah, hiantee, aku ingin bitjara padamu, aku ingin minta sesuatu.

Aku rasa kita sudah mengenal baik satu sama lain maka itu, sukakah djikalau kita mengangkat saudara, agar kau rnengakui aku sebagai toako, kakakmu ?"

In Gak tertawa lebar.

aSaudara, walaupun kau tidak mengatakannja, itulah pikiranku !" katanja. „Baiklah, mari kita mengangkat saudara sekarang djuga !"

Pemuda ini lantas memanggil pelajan untuk minta dibelikan hio dan lilin, untuk disitu djuga mereka memasang hio mengangkat saudara seraja minum djuga arak jang ditjampuri darah mereka. Habis itu mereka makan minum terus, setelah puas baru mereka pulang dan tidur,

Besoknja pagi belum terang tanah, Heehouw Him berempat sudah berangkat untuk memenuhi djandji. In Gak berangkat belakangan seorang diri. Ketika ia tiba diluar kota, tjuatja masih gelap dan masih ramai suara sang kodok, disitu tidak ada orang jang berlalu-lintas. Maka leluasalah ia beriari-lari dengan ilmu enteng tubuh, menguntit empat kenalannja itu.

Selagi mendekati kaki bukit Bwee Nia, tjuatja sudah remang-remang dan Siauw Thian berempat terlihat lagi mendaki puntjak. Untuk melombai mereka itu, In Gak mengambil djalan dari samping. Ia pun menggunai ilmu ringan tubuh „Lang Khong Hie Touw," atau „Menjeberang diudara," asal kakinja mendjedjak, tubuhnja lantas melesat djauh, bagaikan melajang.

Bukit dipanggil Bwee nia, bukit bunga atau buah bwee„ tetapi disana tidak ada pohon bwee, hanja pohon bambu dimana-mana bagaikan rimba besar, daunnja hidjau, memain diantara sampokan angin, suasananja tenang dan njaman.

In Gak sampai terlebih dulu.

Ia mendapatkan sebidang tegalan rumput Iuas kira-kira tigapuluh Bak. Ia tidak melihat ada orang disitu, lantas ia pergi kebelakang sebuah batu besar, untuk menjembunjikan diri.

Belum lama terlihat datangnja tiga orang, jang gerakannja gesit.

„Merekalah tentu Hong It Taysoe dan Lan Tjong Siang Sat," duga si pemuda.

Hong It bertubuh tinggi tudjuh kaki, djubahnja merah romannja tampan, tjurne sepasang matanja tadjam dan bengis, memain tak hentinja, suatu tanda pendiriannja garnpang berubah. Ia memiara kurnis-djenggot pandjang. Sendiatanja jalah sebatang sian-thung, atau tongkat, jang bergemerlap, jang ditaruh dipunggungnja.

Lan Tjhong Siang-Sat memakai pakaian singsat jang serupa, jang satu beroman djelek dan bengis, mukanja perok, terlihat otot-ototnja jang biru, matanja ketjil tetapi tadjam, hidungnja merah dan bibirnja tebal. Sendjatanja jalah poan- koan-pit. Alatmirip pena Tiongboa, peranti menotok djalan- darah. Tubuh dan tangan¬nja lebih besar daripada kepunjaan kebanjakan orang. Maka In Gak menduga dialah Tjoe Pek Pay. Jang lainnja bermuka bengis, alisnja berdiri, matanja bersinar bengis djuga, hidungrija bengkung, bibirnja sedikit terangkat naik hingga terlihat tegas dua. buah giginja seperti tjaling.

Teranglah dia seorang jang litjin, sendjatanja jaitu sebatang golok jang tadjam kedua mukanja.

Setelah menghentikan tindakannja, Hong It melihat kesekitarnja, lantas dia tertawa dan kata „tempat ini indah sekali, sungguh ini terlalu bagus untuk djadi tempat dimana si tua-bangka Hee-houw mengubur dirinja I"

Belum berhenti suara si pendeta, disitu muntjul empat orang lain, jang terus tertawa berkakakan.

Hong It lantas mengenali dua dari tiga kawannja Hee-houw Him itu, jaitu Kian-koen-tjioe Loei Siauw Thian, orang Kang ouw jang sukar dilajani, dan Liang Gie Kiam-kek Tjie Tong Peng, murid kepala dari Heng San Pay. Orang jang ketiga, jang tua dan kate-ketjil serta kurus, ia tidak kenal tetapi ia rnenduga mesti bukan sembarang orang. Melihat mereka itu„ hatinja mendjadi tidak enak sendirinja, sebab meski ia dibantu I.an Tjhong Siang-Sat, ia masih djeri…

Hee-houw Him mengurut djanggutnja dan tertawa. Katanja

,Aku si orang she Hee-houw jang tua datang untuk menetapi djandji, maka itu tolong taysoe memberitahukan, taysoe mempunjai pengadjaran apakah untukku ?".

Sepasang alis pandjang dari Hong It bergerak, dia tertawa dingin.

“Heehouw Sie-tjoe, indah pertanjaan jang scngadja kau mengadjukannja” katanja mendongkol„ ,.Kau sudah tahu tetapi toh kau masih menanja! Duluhari itu benar muridku Gouw Beng bersalah tetapi tidak seharusnja kau menurunkan tangan djahat terhadapnja! Sedang kemarin ini, ketika muridku jang lainnja, Ngay Hoa membawa surat, dan dia datangnja setjara hormat, mengapa kau memusnakan ilmu- silatnja ? Tidakkah keterlaluan ? Apa sekarang kau hendak bilang ?"

Heehouw Him heran, hingga ia melengak. Surat kemarin toh. In Gak jang rnenjerahkannja, Karena ini, ia lantas mau menduga. In Gak itu benar-benar liehay. Ia belum mendjawab, Siauw Thian mendahuluinja.

„Hong It, kau bitjara enak sekali !" katanja tertawa lebar. “Gouw Beng terlalu mengandalkan kau, dia malang-rnelintang di Ouwlam Timur, kedjahatannja telah diketahui umum, djangan kata memangnja dia telah bersalah terhadap saudara Hee-houw, meskipun dia tidak mengganggu, djikalau dia bertemu orang bangsa kami, pasti sukar dia menolong djiwanja. Pula Ngay Hoa, ketika dia menjampaikan suratnja, dia berlaku kurangadjar sekali, rnaka dia diadjar adat oleh seorang sahabatku ! Masih untung dia masih dikasi tinggal hidup ! Kenapa kau masih berlaku galak begini?” Hong It gusar hingga mukanja mendjadi merah-padam.

„Sudahlah !” menjelak Tjoei Beng Long-koen Khiong Keng dari Lan Tjhong Siang-Sat.

“Urusan hari ini, tidak perduli siapa benar siapa salah, tidak dapat diselesaikan dengan omong belaka, dari itu baiklah kita mengadu tangan sadja, siapa jang menang dialah jang benar. Kami berdua saudara, dari djauh kami datang ke Timur ini, kami ingin beladjar kenal dengan orang-orang gagah dari Tionggoan jang kami kagumi. Setelah sampai disini, dan dini waktu, perlu apa lagi kita main mengadu lidah seperti si orang tidak keruan ?"

„Siapa si orang tidak keruan ?" Siauw Thian membentak,

„Kamu sendiri, kamu machluk apa ? Dimataku si orang she Loei tidak ada orang sebangsa kamu !”

Mendengar itu matanja Khiong Keng mentjilak. Memangnja dia beroman djelek dan bengis, sekarang dia nampak menakuti. Dengan menggeraki goloknja lantas dia menjerang Siauw Than.

Kian Koen Tjioe mendapat namanja disebabkan kepandaiannja bersilat dengan tangan kosong. Sebenarnja ia mengerti ilmu pedang hanja djarang sekali ia menggunai sendjata, akan tetapi sekarang melihat golok istimewa dari lawan, ia menghunus djuga pedangnja. Ia tahu, musuh tjuma rnenggertak, maka itu ia menunggu sampai udjung golok hampir mengenai pundaknja, pundak kiri, mendadak ia berkelit kesamping sambil terus membatjok lengan lawan itu.

Tjoei Beng Long-koen bukan sembarang orang, djikalau tidak, tidak nanti namanja mendjadi terkenal, dari itu, meski pedang musuh sangat tjepat, la toh dapat mengelit tangannja itu. Berbareng dengan itu, tangan kirinja menghadjar kedada lawan.

Sambil berseru, kembali Siauw Thian mengegos tubuhnja, membebaskan dadanja dari tindju musuh. Sembari berkelit itu, djuga mernbalas menjerang pula, membabat knarah pinggang.

Khiong Keng terperandjat. Tidak, ia sangka lawannja demikian gesit, Ia lantas menarik mundur tubuhnja, perutnja pun dibikin kempes, tetapi ia terlambat sedikit,

„Bret !” maka robeklah udjung badjunja. Ia mendjadi sangat gusar hingga ia berkaok-kaok, suaranja menjakiti telinga. Dengan sengit ia menjerang, kali ini dengan saling- susul hingga tiga kali, mentjari ketiga tempat berbahaja thiamhoe-hiat, Tjiang boen-hiat, dan khie-hay-hiat. Ia mengeluarkan ilmu silat goloknja jang ia telah latih untuk banjak tahun, Itu pula ilmu golok jang membuatnja mendapat nama besar.

Melihat ia didesak, Siauw Thian main mundur. Ia djuga mendjadi gusar sekali. Habis mundur itu, ia membalas menjerang. Ia mengeluarkan ilmu goloknja, Kioe Kiong Pat- kwa, jang terdiri dari duapuluh delapan djurus.

Demikian mereka bertempur, hingga sebentar sadja sudah melalui tigapuluh djurus.

Khiong Keng mendjadi habis sabar, segera ia menjerang dengan tipusilat „Djie Long Hang Yauw," atau „Malaikat Dje Long Sin menakluki siluman." Goloknja menjambar kelengan kanan, tjepatnja luar biasa.

Menghadapi serangan berbahaja itu Siauw Thian tidak mundur, bahkan dia mendahului madju, pedangnja meluntjur kelengan lawan. Karena dia madju dari samping, tangan kirinja djuga terus bekerdja, untuk menotok djalan darah hok- kiat.

Tjoe Pek Pay kaget melihat gerakan Siauw Thian ini, tanpa merasa dia berteriak, lantas tubuhnja berlompat madju, niat membantui. Akan tetapi dia terlarnbat, totokan telah mengenai djitu pada sasarannja, tanpa ampun lagi, Khiong Keng roboh terkulai. Tjoel Beng Long-koen tengah menjerang, sebelah kakinja pun madju, ketika ia disambut Siauw Thian, goloknja jang meluntjur itu terpengaruh pedang Siauw Thian. Selagi madju, ia didahului, tak sempat ia mundur pula atau berlompat kesamping, maka iganja mendjadi kosong, tepat totokan mengenai samping perutnja. Begitu sakit ia merasa, segera tubuhnja djatuh terbanting.

Tjoe Pek Pay tidak madju membantui, untuk mentjegah kawannja bertjelaka. Sekarang ia mengangkat tubuh kawan itu, untuk periksa lukanja.

Khiong Keng mandl peluh pada dahinja, sepasang alisnja dikerutkan, mukanja meringis, tanda menderita kesakitan hebat dan menahannja. Menampak demikian, Pek Pay mendjadi panas hatinja. Dengan sorot mata gusar, ia mengawasi Siauw Thian, sembari tertawa menjeringai, ia kata„Tuan, tanganmu kedjam sekali', maka djikalau aku si orang she Tjoe tidak membikin badanmu terpisah dari kepalamu, nama Lan Tjhong Siang-Sat blarlah tenggelam didasar laut untuk selama lamanja!"

Dimarahi begitu rupa, Siauw Thian sebaliknja tertawa.

„Nama Lan Tjhong Siang-Sat, aku si orang she Loei telah membilangnja siang-siang bahwa sebelumnja belum pernah aku mendengarnja” ia kata tenang. „Maka, djikalau kau tetap barkaok-kaok seperti orang gila, apa-kah kau tidak kuatir nanti orang mentertawainja?"

Selagi kedua orang itu berhadapan, hatinja Siauw-bin Boe- siang Hong It kebat-kebit. Sebelumnja ia memang sudah gentar hati. Sekarang, melihat robohnja Khiong Keng, tahulah ia jang ia tidak mempunjai harapan lagi. Dipihak musuh masih ada Hee houw Him bertiga. Mana dapat ia melajani mereka itu? Maka ia lantas memikir akal.

Tay-lek Koei Ong sendiri telah bangun otot-otot biru gelap di dahinja, hingga mukanja jang djelek dan bengis mendjadi bertambah bengis, sedang dari mulutnja keluar tertawa edjekan jang menjeramkan jang tak putusnja. Ia meletaki tubuh Khiong Keng, terus ia berdiri, tangannja sudah lantas memegang sepasang sendjatanja jang mendjadi alat penotok djalandarah: poankoan-pit.

“Oleh karena tuan tidak memandang mata kepada aku si orang she Tjoe," .katanja dingin, „marilah kita mengambil keputusan dengan tangan kita, untuk menetapkan siapa tinggi dan siapa rendah”

Siauw Thian hendak menjambut tantangan itu ketika Oh- Kah Lam madju seraja berkata: ,Loei Laotee, kau telah menang satu rintasan, tidak ada halangannia untuk kau mengalah kepadaku supaja aku si tua-bangka dapat menggaruk-garuk tanganku jang gatal"

Siauw Thian menurut, sembarl bersenjum, dengan tenang ia mengundurkan diri. la pun merasa, mungkin sulit ia melajani Tjoe Pek Pay, jang mestinja lebih liehay daripada Khiong Keng jang mendjadi adik-angkatnja dia itu.

„Orang tua, kau siapa?" Pek Pay membentak rnelihat orang madju dengan tangan kosong. „Kenapa kau tidak menghunus sendjatamu?"

Oh-Kah Lam, si malaikat Kah Lam Ya Kate, tertawa geli tetapi nadanja dingin.

„Aku si orang tua she Tjoei bernama Tjian," sahutnja tawar, “sudah sepuluh tahun belum per¬nah aku bertempur dengan meng¬gunai sendjata. Maka biarlah dengan tangan kosong ini aku melajani sepasang pitmu itu !"

Tjoe Pek Pay tertawa terbahak.

„Aku tidak pertjaja, orang tua, tanganmu lebih liehay daripada tanganku!" teriaknja dan terus dia menjimpan sendjatanja, setelah mana ia bersiap menanti, katanja: „Kita menggunai tangan kosong melawan langan kosong, djikalau didalam tigapuluh djurus aku tidak dapat mengalahkan kau, aku si orang she Tjoe akan ngelojor pergi !”

“Bagus!" menjambut Tjoei Tjian. sembari terus ia madju menjerang dengan kedua tangannja.

Tjoe Pek Pay tidak mundur, dia menjambut serangan itu.

Dia telah mengarahkan tenaganja, maka kesudahannja, penjerangnja kena dibikin terpental mundur tiga tindak.

Tjoei Tjian, di sebut djuga Sun It Kies orang aneh nomor satu dari gunung Tay San, gerakannja lintjah bagaikan ular litjin, untuk di-tenggara ialah djago nomor satu, biasanja ia bangga sekali akan dirinja sendiri, maka itu, kali ini ia kena dibikin terpental mundur, murkanja bukan buatan, hingga bangkitlah kumisnja jang ubanan. Segera ia madju pula, kembali dengan kedua tangannja jang nampak mirip sepa¬sang ular. Kedua tangan itu mentjari djalan darah.

Pek Pay heran melihat orang sudah-terpental mundur tanpa kurang suatu apa, karena ini, ia tidak mau berlaku sembrono. Lantas ia melajani dengan ilmusilatnja, jang diberi nama „Sam Poan Im Yang Tjiang," atau Tangan Imyang, jang biasa dikeluarkan tiga kali beruntun, menjerangnja keatas, tengah dan bawah, datangnja kedua tangan saling susul, tak ketentuan jang mana terlebih dulu.

Oh Kah Lam melajani terus, dengan begitu mereka setanding sekali.

Liang Gie Kiam-kek menonton pertandingan sambil memasang mata terhadap Hong It Taysoe, ia melihat pendeta itu mengawasi pertempuran dengan matanja terus memain dan wadjahnla suram lantas ia rnenghampirkan.

„Hong It Taysoe," sapanja, tertawa, „djandji pertemuan ini di selenggarakan oleh aku, sekarang kau berdiri menganggur sadja„ aku pikir baiklah kita pun madju ke gelanggang untuk main-main!” “Apakah kau kira aku takut kamu dari Heng San Pay?” kata Hong It dalam hati. Ia terus tertawa dan mendjawab: “Tjie Sie-tjoe hendak member peladjaran, tidak dapat aku si paderi tua menampik, hanja karena kita berdua tidak bermusuhan, bagaimana kalau kita main-main hingga hanja saling towel?”

Tjie Tong Peng tertawa. Ia mendjawab: “Aku si orang she Tjie telah mendengar halnja ilmu tongkat Hong Loei Thung hoat jang terdiri dari delapan puluh satu djurus, jang sangat kesohor, maka itu tidak lain maksudku ketjuali untuk meminta pengadjaran ilmu tongkat itu.”

Hong It tahu baik Heng San Pay mempunjai banjak orang pandai, ia tidak ingin menanam bibit permusuhan, maka djuga ia mengeluarkan kata-katanja itu sekarang, setelah memperoleh djawaban, ia kata pula tertawa: “Baiklah!”

Maka itu, lekas djuga mereka bertempur, jang satu memegang tongkat, jang lain menggunai pedang.

Siauw Thian berdiri menonton, sering-sering ia memandang ke sekelilingnja, untuk mentjari Tjia In Gak, jang tentunja telah menjembunjikan diri di dekat-dekat situ. Ia menduga dimana adanja si anak muda, maka seterusnja kesana ia memasang mata.

Di gelanggang pertama, Tjoe Pek Pay lantas mulai bergelisah. Ia merasa sukar untuk lekas-lekas merobohkan lawannja, sedang ia telah omong besar dengan memberi batas waktu. Di pihak lain, ia djuga berkuatir memikirkan luka adik angkatnja, jang tidak ada jang menolongnja. Maka mendadak ia menjerang dengan tipu silat ‘Sam hoan to goat’ atau ‘Tiga kali melihat rembulan’. Dengan tangan kanan ia mentjoba menangkap tangan kiri musuh, dengan tangan kiri ia menotok dua djalan darah yoe-boen dan im-tiam.

Menjaksikan serangan musuh itu, Tjoei Tjian mendjadi girang. Dua orang ini mempunjai masing-masing keistimewaannja, jalah Tjoei Tjian dengan kelintjahannja dan Pek Pay dengan kekerasannja jang luar biasa, sedang tipu silat ‘Sam hoan to goat’ itu asalnja dari kitab persilatan Sam Poan Mo Keng dari Pek Koet Kauw, partai agama Tulang Putih. Sebab Pek Pay ini ada anggauta partai agama itu. Sjukur Sam Poan Mo Keng tjuma diwariskan kepada murid utama jang kelak diangkat mendjadi tjiangbundjin, ketua, djikalau tidak, pasti Tjoe Pek Pay mendjadi terlebih galak.

Tjoei Tjian itu duluhari, ketika ia berada di puntjak Lok Djit Hong di gunung Tay San, didalam sebuah guha jang ketutupan ojot pohon rotan, telah menemui gambar-gambar ukiran atau sebuah batu besar. Itulah ukiran ‘Leng Tjoa Tjoan sie Tjiang’ atau ‘Gerakan tangan sang ular’. Sajang ukiran itu sudah tidak lengkap, rupanja bekas dirusak orang jang pertama menemuinja. Ia perhatikan itu, ia mejakinkannja: karena gambarnja tidak lengkap, ia menambahnja sendiri.

Sekian lama ia mengandalkan sangat ilmu silatnja itu, sampai sekarang ia menghadapi Tjoe Pek Pay, lantas ia insaf sendiri bahwa ia masih banjak kekurangannja. Saban-sanban ia terantjam bahaja. Demikian kali ini, ia tidak takut tetapi ia menghadapi bahaja. 

Bagaikan kilat demikian serangannja Tjoe Pek Pay. Atas itu, Tjoei Tjian menangkis dan membebaskan lengannja dengan kelitjinannja. Mendadak tubuh Pek Pay mentjelat tinggi, melewati kepala orang, hingga sedetik kemudian, ia sudah berada dibelakang musuh, sambil ia terus berseru: „Orang tua she Tjoei, kau terdjebak!" Kata-kata itu dibarengi totokan tangan kiri kepunggung.

Tjoei Tjian kaget bukan main, Ia tidak berdaja melihat orang lompat melewati dirinja, dan ha¬tinja terkesiap mendengar suara orang dibelakangnja itu. Tidak sempat ia memutar tabuh, untuk menangkis, segera ia rnembuang dirinja bergulingan dengan tipu-silat ,,Yan Tjeng Sip-pat Koen" atau „Yan Tjeng bergelimpangan delapanbelas kali."

Atas lolosnja lawan itu, Tjoe Pek Pay tidak mengedjar, sebaliknja dia berlompat kepada Khiong Keng, tubuh siapa ia angkat dengan sebelah tangannja, kemudian dengan tertawa dingin, ia kata: „Sahabat baik, kita ada bagaikan gunung hidjau jang tak berubah dan air jang mangalir tak putusnja, sampai kita ketemu pula dibelakang hari!" Habis itu, dengan membawa saudaranja, ia pergi menghilang diantara pepohonan lebat. Sama sekali ia tidak menjapa atau mengadjak Hong It Taysoe.

Tjoei Tjian berlompat bangun untuk berdiri diam dengan muka putjat. Ia tidak kena dihadjar roboh tetapi rintasan barusan dapat mendjadi tanda bahwa ia telah terkalahkan, maka itu, ia likat sendirinja.

Disana Hong It masih terus melajani Tjie Tong Peng, Tapi, ketika si orang she Tjie melihat Lan Tjhong Siang-Sat mengangkat kaki, ia lompat keluar gelanggang, sembari tertawa ia kata; “tay soe, menurut pikiranku, baiklah kita berhenti sampai disini. Baru-baru ini Hee-houw Piauwtauw: tidak mengetahui Gouw Beng itu murid taysoe, djikalau tidak, pasti dia akan memandang. muka taysoe dan tidak bersikap keras demikian." Habis berkata, ia lantas mengawasi si Pendeta.

Hong It tahu diri, ia dapat menguasai hatinja.

„Heehouw Sietjoe," ia berkataa menghadapi Heehouw Him,

„Hari ini kita belum memperoleh keputusan, akan tetapi memandang kepada Tjie Sietjoe, baiklah untuk sementara kita menjudahinja„ Dibelakang hari, susahlah untuk aku mengatakannja sekarang.” Tanpa menanti djawaban, ia memberi hormat pada Tjie Tong Peng, sembari tertawa ia

„Sie- tjoe, sampai bertemu pula!" Hebat pendeta ini, habis berkata, ia mengibaskan tangannja, kedua kakinja mendjedjak tanah, gesit luar biasa, tubuhnja mentjelat tinggi, terapung kearah pepohonan jang lebat. Tapi, ketika tubuhnja mau turun kedalam rimba, disana terdengar djeritan jang keras dan menjajatkan hati.

Tong Peng semua terkedjut mereka lantas lari kerimba, untuk melihatnja. Hong It pun, setibanja ditanah, lari menjusul.

Kapan Tong Peng berlima sampai didalam rimba, dimana ada sebuah batu besar jang mundjul tinggi, maka disisi itu mereka melihat majatnja Lan Tjhong Siang-Sat. Kedua mata Khiong Keng tertutup rapat, ia nampak mati tenang. Matanja Tjoe Pek Pay sebaliknja meletos keluar, mulutnja terbuka dari mulut itu keluar darah segar. Hebat adalah

Dadanja, dimana bertapak lima djari tangan, tapaknja dalam, dan dari kelima tapak itu keluar darah hidup.

Mengerikan akan melihat majat itu.

„Eh, apakah itu?" Tjoei Tjian berseru kaget.

Diatas batu besar itu ada ukiran beberapa baris huruf„ ukirannja dalam. Orang semua mendekati, untuk membatja:

“Selama jang belakangan ini, perbuatan Lan Tjhong Siang- Sat sangat kedjam, mereka sukar dapat ampun. Maka itu kali ini, untuk jang kedua kali aku memuntjulkan diri, aku mewakilkan Thian mendjalankan keadilan, Tapi Hong It, dia keliru. Dialah orang beribadat, tidak. seharusnja dia sembarang mernpertjajai mulut orang dan karenanja mentjiptakan permusuhan hebat. Dia pun memangnja tersohor busuk. Tapi kali ini, karena ditempat ini tidak barbuat djahat lagi, suka aku memberi ampun, suka aku melepaskan dia! Tapi ingat, aku larang dia memusuhkan pula Hee houw Him! .Djikalau tidak maka kuil Tay Pie Sie di Soetjoan Selatan bakal aku bikin mendjadi puing !" Dibawah ada tanda-tandanja si tukang air; Twie-Hoen Poan Tjia Boen.

Begitu melihat surat luar biasa itu serta nama pengukirnja, Hong It Taysoe lantas putjat mukanja dan berlalu dengan tjepat, menghilang didalam hutan bambu.

Siauw Thian tidak merasa aneh, ia menduga kepada Tjia In Gak. Hanja diam-diam ia memudji ketjerdikannja itu adik- angkat. Pasti telah diatur, disaat kepergiannja Hong It, baru saudara itu turun tangan, untuk membikin si pendeta mendapat lihat kesudahannja dan serta ukiran diatas batu itu.

„Kera tua.” ia kata pada Hee houw Him, „mulai hari ini bolehlah kau tidur dengan tenang dan njenjak! Dengan adanja Twie Hoen Poan sebagai tulang punggungmu, pintu piauwkiokmu bolehlah tak usah dikuntjj lagi, boleh kau dengan aman dan selamat melandjuti usahamu !"

Akan tetapi To Pek Sin Wan menghela napas.

„Djikalau hari ini bukannja kau jang merampas kemenangan pertama, saudara Loei, hingga musuh kena dipengaruhi semangatnja," ia berkata, „tidak nanti Hong It mau mengundurkan diri, hingga tak usahlah ia mengeluarkan kepandaiannja Im Hong Touw Koet Tjiang, Tangan Angin Djahatnja itu. Memang muntjulnja Twie Hoen Poan Tjia Boen ada baiknja, ia membuatnja Lan Tjhong Siang-Sat tidak dapat datang pula. Hanja aku merasa heran. Kabarnja Tjia Boen telah menemui adjalnja di gunung Boe Kong San, adakah itu kabar angin belaka?"

„Siapa membilang Tjia Boen sudah meninggal dunia?" Siauw Thian tertawa , “Khabar angin itu aku tidak pertjaja! Ada orang luar biasa mesti ada peristiwanja jang luar biasa djuga! Dengan muntjulnja dia maka kelak kita bakal menjaksikan pertundjukan-pertundjukan jang menarik hati!"

Liang Gin Kiam-kek Tjie Tong Peng sebaliknja masgul. „Tidak salah" katanja. „Pula Heng San Pay bakal terbetot arus mata air. Ketika terdjadi pengerejokan terhadap Twie Haan Poan, partaiku tidak. turut mengambil bagian, hanja kedjadiannja itu diwilajah propinsi Ouwlam,

Twie Hoen Poan bangsa keras kepala, asal dia mentjurigai partaiku, sudah pasti sukar untuk pihakku membuka mulut."

Siauw Thian tidak memperdulikan kesulitan orang itu, ia terus tertawa.

„Ada urusan apa djuga, sebentarlah di piauwkiok kita membitjarakannja," kata Oh Kah Lam jang semendjak tadi membungkam sadja.

Maka keempat kawan itu lantas turun gunung berdjalan pulang.

Setibanja dipiauwkiok, hal utama jang Siauw Thian lakukan jalah segera mentjari In Gak, ketika ia sampai dikamar tulis, ia melihat si anak muda lagi mentjolet-tjolet pitnja pada bak-hie, untuk rnenuliskan lian untuk Lie Tay Beng. Menampak datangnja orang, ia menunda untuk berbangkit dan tertawa.

„Toako, hari ini kau banjak mengeluarkan tenaga!" sambut¬nja.

Klan Koen Tjioe mengawasi tadjam.

„Sudah, hiantee, didepan mataku djangan kau berpura- pura!" sahutnja. ,,Perbuatanmu hari ini membuktikan kau tjerdik sekali, perbuatanmu sangat bagus! Sudah beberapa puluh tahun aku hidup dalam dunia Kang-ouw, aku pun merasa aku tjerdik, tetapi aku roboh ditanganmu! Saudara, aku sangat mengagumi kau. Aku pertjaja. asal kau menjelenggarakan tipuku itu, dengan sebuah batu mendapatkan banjak burung, mesti bakal timbul keruwetan dalam dunia Rimba Persilatan. Tapi saudara, besok aku bakal berangkat pergi, ada sesuatu jang hendak aku urus, bagaimana dengan kau: kau hendak menemani aku atau ingin berdiam terus dulu disini!” In Gak menggeleng kepala.

„Tidak dapat aku turut kau besok,"' katanja. „Asal aku pergi, orang akan .mentjurigai aku. Toako boleh berangkat lebib dulu, setengah bulan kemudian, aku nanti menjusul. Aku boleh mengadjukan alasan memohon tjuti. Toako sebutkan sadja dimana kau bakal berada, satu hari sebetum hari raja Toan Ngo pasti aku datang padamu."

Loei Siauw Thian mengangguk.- „Itu bagus," sahutnja.

„Baiklah, satu hari sebelum Toan Ngo, kita nanti bertemu di Louw Kauw Kio, sebelumnja bertemu tidak dapat kita berpisahan!"

Dengan kesetudjuan ini, Siauw Thian mengundurkan dirj. Habis menulis lian, In Gak Iihat hari mendekati tengah hari,

maka ia lantas pergi keluar akan menemui semua orang.

Di ruang tetamu hadir banjak orang, ramai pembitjaraan mereka. Ada datang pemimpin serta piauwsoe-piauwsoe dari delapan piauwkiok dikota Lam-tjiang itu, mereka sudah lantas mendengar peristiwa diatas buki Bwee Nia itu, lantas mereka ingin mendengarnja terlebih tegas. Repot tuan rumah melajani mereka. Selang satu djam, baru mereka bubaran.

Sesudah ruang mendjadi sepi, tuan rumah menjuiruh menjediakan barang hidangan.

Tengah bersantap, mendadak Tjje Tong Peng menghadapi In Gak dan kata sambil tertawa:. „Tjia Sinshe, aku tahu benar peristiwa tadi tentulah kau telah melihatnja sendiri! Aneh, mengapa kau pandai sekali menjembunjikan dirimu?"

In Gak tertawa.

„Aku pertjaja tuan-tuan telah melihat aku," "katanja, „tetapi tentang diriku, maaf, ada kesulitannja untuk aku mendjelaskan. Kepandaianku tidak berarti, aku kalah djauh dari tuan-tuan, maka aku pikir baiklah aku menjembunjikan diriku. Tentang peristiwa tadi, bukan sadja aku melihatnja semua dengan tegas, bahkan aku menjaksikan djuga bagaimana Twie-Hoen-Poan Tjia Boen tengah menghadjar Tay Lek Koei Ong Tjie Pek Pay, „sajang aku terpisah djauh, hingga aku tidak dapat mendengar pernbitjaraan mereka."

In Gak lantas melukiskan pakaian dan potongan tubuhnja Tjia Boen. Tentu sadja itulah karangan belaka, tetapi itulah tepat, karena orang jalah ajahnja sendiri, tentu sekali ia mengenalnja dengan baik.

Semua orang disitu pertjaja keterangan itu ketjuali Siauw Thian tetapi ini kakak-angkat bahkan sengadja berlagak heran dan kagum.

„Tjia Laotee," Tjoei Thian tanja, akau pandai silat, sebenarnja kau dari partai mana?"

„Tidak ada partaiku," sahut. In Gak menggeleng kepala. Oh Ka Lam mengerutkan alis.

„Mana ada silat tanpa partainja?" katanja. „Kau tidak sudi bitjara, laotee, mungkin kau tidak melihat mata padaku?"

“Memang benar tidak ada partainja.;" In Gak tertawa

„Djikalau lootjianpwee tetap tidak pertjaja, baik disebut Boe Kek Pay sadja.'

„Boe Kek Pay?" 'katanja. „Sudah enampuluh-lima tahun umurku, belum pernah aku mendengar nama partai itu!

Sudah. tidak perduli apa djuga, sebentar habis bersantap, Aku minta kau bersilat barang satu-dua djurus!"

In Gak menggeleng kepala puIa.

. „Kebisaanku tidak herarti, apa jang dapat dilihat?

Daripada membikin malu diri sendiri,lebih baik aku tidak memberi pertundjukan akan keburukanku," Ia berhenti sedjenak „Hanja sekarang ingin aku memberitahukan Heehouw Loo-piauwtauw, lagi setengah bulan, ingin aku minta tjuti setengah tahun, untuk aku pergi ke Utara. untuk menjambangi sanakku disana. Nanti bulan sebelas aku akan kembali. Selama ini setengah tahun, akan aku adjarkan apa jang aku bisa kepada kedua putera dan puteri Loopiauwtauw."

Heehouw Him girang sekali. „Inilah jang aku minta pun tidak berani!" katanja. Lantas ia perintah memanggil kedua anaknja, mereka itu memberi hormat sambil menghaturkan terima kasih.

Kedua anak itu girang sekall, lantas mereka tarik tangan guru mereka untuk diadjak pergi ke belakang.

Besoknja.Tjie Tong Peng pa¬mitan untuk pulang ke Heng San dan Tjoei Tjian untuk pergi ke Tjauw Ouw di An-hoei akan mendjenguk sahabatnja, sedang Loei Siauw Thian berangkat ke Utara. Demikian mereka berpisahan.

Mulai itu waktu, Tjia In Gak mengadjari kedua murid ilmu silat, dua rupa kepandaian jang dinamakan ,,Pek Wan Tjiang," ja¬itu Tangan Kera Putih, dan ‘Pat kioe Lenglong Tjioe," Tangan Lintjah. Untuk sementara, peladjaran surat dihentikan dulu. Kedua anak itu berbakat balk dan radjin, selama setengah bulan itu, mereka sudah mendapatkan kira tudjuh bagian. Kedua peladjaran ini, jang diberikan In Gak, beda hasilnja dari peladjaran oleh guru silat jang kebanjakan.

Lie Tay Beng djuga diwariskan ilmu silat „Thay Khek Tjiang."

Piauwsoe ini menghela napas, katanja: „Laotee, sungguh aku tidak sangka kau pandai silat, hingga aku, jang sering merantau, tidak dapat melihat kau! Aku malu .."

Kemudian tiba saat keberangkatannja In Gak. Tiga hari dimuka ia telah didjamu. Pesta dihadiri semua piauwsoe dan pegawai piauwkiok. Ia merasakan hangatnja pesta perpisahan itu. ia dibekali uang tigaratus tail, la menampik, tetapi Heehouw Him memaksa, katanja: „Kau tahu, hiantee, perdjalanan mernbutuhkan uang. Pula. kau harus ketahui, uang satu boen bisa rnembikin matinja seorang gagah sedjati. Kita toh tidak nanti suka berlaku sebagai si kurtjatji Djalan Hitam, untuk pergi mentjuri? Persahabatan kita bukan persahabatan biasa, maka itu, djangan kau tolak uang tidak berarti ini." In Gak tidak dapat menampik terus, ia mengutjap terima kasih.

Heehouw Him bersama kedua anaknja dan Lie Tay Beng mengantar djauhnja tigappuluh lie, lalu mereka berpisahan dengan perasaan amat berat.

In Gak melakukan perdjalanannja dengan tetap rnenunggang kuda jang ia rampas dari Bwee Nia, ia ketarik dengan telaga See Ouw, maka itu, menudju ke propinsi Tjiatkang. Dihari kedua ia tiba diketjamatan Kangsan dalam wilajah propinsi itu. Ketika itu sudah djam dua, kota sudah sepi. Djarang orang berlalu-lintas diluaran. Maka tindakan kaki kudanja menerbitkan suara taktok taktok diatas batu hidjau.

Ia mendapatkan hotel didepan restoran Soe San Tjoen dimana masih terdapat orang bersantap dengan ramai, maka habis mengambil kamar dan tjutji muka, ia pergi ke restoran itu untuk memesan barang makanan.

la duduk di medja jang menghadapi djalan besar. Disitu ada belasan tetamu lainnja, jang datang terlebih dulu.

Merekalah jang tengah berpesta itu.

Tidak lama datang lagi delapan tetamu, jang romannja bengis. Mereka memilih medja, lantas satu. diantaranja mengeprak-ngeprak medja meminta arak dan makanannja, hingga repotlah si pelajann jang rnenteriaki kawannja lekas membawa arak dan barang makanan jang diminta itu.

Diam-diam In Gak memperhatikan orang jang rupanja mendjadi kepala, jang lantas berkata dengan keras: „Aku tidak sangka aku si Yoe Sam Hoo kena dibikin mendongkol ini hari..”

„Sudahlah, Yoe Toako," kata seseorang. „Djangan karena wanita kau bentrok dengan Kim-hoa Sam Kiat. Kau tahu sendiri, tiga djago Kim-hoa bertulang punggung Kian Koen- Tjioe Loei Siauw Thian. Kita semua tidak dapat bertahan sekalipun lima djurus melawan dia itu „Tjie Loo-sam, kau bitjara menjebalkan," kata seseorang lainnja lagi. „Bukankah ada dibilang, siapa tidak dapat menuntutbalas dia bukannja seorang koentjoe? Untuk apa dan kita mengangkat nama? Biarnja Loei Siauw Thian liehay, aku tidak pertjaja dia selihay apa jang kau katakan Yoe Toako mahir ilmunja keras dan lunak, kenapa dia. mesti djeri terhadap Kim-hoa Sam Kiat? Mari kita bakar sarangnja!"

Mendengar kakak-angkatnja ada di Kim-hoa, girang In Gak.Maka ia menjesal jang ia tidak segera sampai dikota itu. Tapi ia belum ketahui duduknja perkara Yoe Sam Hoo ini.

Maka sembari dahar, diam-diam ia memasang telinga.

„Gouw Laotee, tidak dapat kita bitjara seperti katamu ini," kata Sam Ho. ,.Kau ketahui sendiri, tidak sudi aku diperrnainkan orang. Memang, mulanja jalah adah pihak kita. Pada tudjuh hari jang lalu beberapa wanita lewat didepan rumah kita. Kim In, adik angkatku, melihat seorang nona tjantik, dia lantas mengatakan beberapa kata-kata sambil lalu. Nona itu tidak senang, dia menegur. Adikku tidak gusar, dia bahkan mendekati si nona, memainkan tangan dan kakinja.

Diluar dugaan, nona itu liehay. Adik Kim In diserang roboh dan diperhina. Ketika mau mengangkat kaki, nona itu masuk ke dalam rumah dan mengambil benderaku, bendera jang bersulam burung walet emas, sambil menjatakan, untuk mengambil pulang itu, tjarilah dia di Sam Eng Piauwkiok di Kim hoa. Ketika itu aku tidak ada dirumah, djikalau tidak, tidak nanti aku membiarkan mereka pergi dengan begitu sadia.

Bendera itu bendera partai, mana bisa itu dibiarkan lenjap? Kalau nanti paytjoe menjalahkannja sungguh hebat akibatnjar Karena itu aku mengutus Tjie Loo-sam ke Kim-boa, untuk dengan hormat meminta nona itu diserahkan. Kim-hoa Sam Kiat tidak bilang apa-apa, adalah Kian-Koen-Tjioe Loei Siauw Thian jang menolak keras. Dia kata tidak bakal dipulangkan ketjuali saudara Kim In datang sendiri menghaturkan maaf.

Kemarin ada orang kita jang kembali dari Kim hoa, dia. membawa omongan katanja Loei Siauw Thian sudah pergi ke Utara, maka hari ini aku minta Tjie Loo-sam pergi ke Kim-hoa, melulu untuk minta pulang bendera, lainnja kita tidak perdulikan lagi. Tjoba pikir, apakah katanja nona itu? Katanja: 'Hmm! Bukankah duluan kau telah datang kemari? Apakah kataku terhadapmu? Suruh si orang she Kim datang kemari untuk berlutut dan mengangguk memohon ampun, baru benderanja aku kasi pulang! Kenapa sekarang kau datang pula? Apakah kau memandang tidak mata pada nona kamu? Untuk mendapat pulang bendera tidaklah begitu mudah!

Djikalau si orang she Kim tidak datang sandiri, kau datang sepuluh kali djuga sia-sia belaka! Tjoba pikir, djikalau bendera itu tidak demikian penting dan bersangkut paut dengan diri dan kekajaanku, mana aku mendjadi gusarT'

„Djikalau demikian adanja„ mereka memang terlalu menghina," kata si Gouw. „Saudara Kim telah dirobohkan, maka sekarang, aku pikir, 'kau pergi kepada paytjoe; bilang sadja mereka itu jang mentjari gara-gara, bahwa bendera itu ditjuri mereka."

„Daja itu aku telah pikir djuga," kata Sam Hoo menarik napas. „Tapi itu tidak dapat diambil. Bendera lenjap berarti melanggar satu diantara tiga pantangan besar, Habis, mana bisa aku hilang muka?"

Si Gouw berpikir pula, lalu ia kata: „Aku lihat begini sadja kita bekerdja. Baru beberapa hari jang lalu kita kedatangan dua tetamu jang kosen, jalah jang satu Song Boen Kiam-kek Leng Hoei dari Kong Lay Pay, jang lainnja Tjit-Im-Tjioe Tjek Thian Tjhong, jalah Long see It Pa, djago dari Long-see. Kita gosok mereka itu hingga mereka suka membantu kita. Kim- hoa Sam Kiat orang Siauw Lim Pay, Kong Lay Pay memang membentji Siauw Lim Pay itu, asal ada urusan sedikit sadja, mereka bentrok. Maka itu, mustahil mereka tidak akan kena diogok?" Yoe Sam Hoo setudju.

„Djikalau mereka berdua dapat turun tangan, itulah bagus

!" katanja. „Kita tidak perIu meperdulikan lagi Loei Siauw Thian ada di Kim-hoa atau tidak.Saudara Gouw, baik, mari kita bekerdja menurut saranmu ini!"

Sampai disitu, mereka lantas bersantap.

In Gak sendiri menjesal mendengar Slauw Thian sudah berangkat ke Utara. Tapi mengenai keputusannja. Yoe Sam Hoo, ia pikir, baiklah mereka itu mengatjau. Ia lantas membajar uang makan, terus ia pulang ke hotel. Pelajan menjambutnja dengan manis, menjediakan teh, lalu menanja, ia perlu apa lagi.

„Aku numpang tanja, Yoe Sam Hoo itu orang apa?" Pelajan itu terkedjut.

„Kau orang pelantjongan, tuan, kenapa kau ketahui nama Yoe Toaya?" tanjanja,

„Djangan takut," In Gak menghibur. „Tadi aku melihat di- rumah makan lagi menjebut-njebut dirinja. Aku menduga dia orang berkenamaan, maka itu aku menanjakan kau."

Lega hati si pelajan. Tadinja is menjangka pemuda ini bentrok dengan Sam Hoo. la tertawa dan kata: „Aku kira ada urusan apa tuan menanjakan Yoe Toaya. Dialah to-tijoe, kepala tjabang di Kang-san ini, dari partai Ngo Yan Pay dari Tjiatkang Barat. Dia banjak orangnja, biasa dia mengganggu penduduk baik-baik atau memeras kaum pedagang. Umpama hotel kami ini, setiap bulan kami haru membajar tjukai sepuluh tail perak."

Mata In Gak bersinar, hingga si pelajan terkedjut. Melihat orang takut, ia tertawa dan kata: „Belum pernah aku dengar halnja Ngo Yan Pay itu, Siapakah kepalanja? Dia tentu orang liehay sekali…”

„Tuan, aku tidak tahu djelas tentang partai itu. Tidak heran tuan tidak tahu sebab tuan adalah seorang peladjar. Paytjoe dart Ngo Yan Pay jaitu Kim-Eng Pat-Kiam Loo Boen Kee, tinggalnja di Tjeng Ouw San-tjhung. Belum pernah aku melihat dia. Bahkan katanja, orang partainja pun sedikit jang pernah melihatnja."

„Tjeng Ouw?" tanja In Gak, berpura-pura. „Apakah itu sebuah telaga, jang indah ?"

„Kau keliru, tuan! Tjeng-Ouw itu sebuah dusun duapuluh lie lebih diselatan kota ini, penduduknja beberapa ratus keluarga. Tjeng Ouw San-tjhung itu terpernah disisi gunung."

In Gak tertawa.

„Ah., aku kira dia telaga mirip dengan See Ouw jang kesohor di Hangtjioe!" katanja. „Nah, pergilah kau beristirahat!"

Pelajan itu menjahuti ja dan Iantas mengundurkan diri.

In Gak merebahkan dirinja, untuk beristirahat, tetapi pada djam tiga, ia berbangkit untuk berdandan, setelah membuka djendela, ia berlompat keluar, untuk terus lompat naik keatas genteng berlari-lari keselatan. Tidak lama tibalah ia di Tjeng Ouw San-tjhung. Sebelum memasuki batas, ia melihat kelilingan dulu, kuatir ada pendjagaan. la belum berpengalaman tetapi telah luas pengetahuannia. Ia tabu, pusat partai biasanja terdjaga keras, orang luar tak dapat lantjang memasukinja. Baru setelah memeriksa ia lompat naik keatas tembok, untuk dari sana lompat ke dalarn pekarangan. Paling dulu ia naik atas sebuah pohon besar didalam kebun.

“Siapa?" tiba-tiba ia mende¬ngar suara dalam. la kaget, ia berdiam.

„Ah, Lao Ouw" kau. melihat memedi!." kata seorang lain.

„Hmm,.Siapa. bilang memedi? Aku melihat tegas satu bajangan lompat ke pohon !."

„Itulah .burung malam! Djangan takut tidak karuan! Selain sudah malam, djuga siapa berani datang kemari untuk menggodai harimau? Kau tentu salah mata !”

In Gak terus berdiam, matanja dipasang. la mendapatkan pekarangan sangat Iuas, banjak pepohonannja. Rumah atau sekumpulan rumah, berada disisi bukit. Dari sana mensorot belasan tjahaja api.

Setelah mernperhatikan sekian lama, pemuda ini memetik tiga bidji buah, terus ia lompat ke puntjak gunung-gunungan, Sengadja ia mengasi dengar sedikit suara, guna memantjing muntjulnja ketiga pendjaga tadi, tepat mereka baru memperlihatkan diri, mereka ditimpuk dibikin pingsan. Maka leluasalah ia menghampirkan rumah, untuk lompat naik ketasnja. Ia melewati beberapa wuwungan. Dirumah dimana ia mendengar suara orang,disitu ia mententjari pajon, untuk menggelantungan, untuk mengintai kedalam djendela.

„Tjoe Tjindjin," terdengar seorang, „rupanja benar Twie Hoen-Poan Tjia Boen tidak mati. Lan Tjhong Siang-Sat demikian liehay, mustahil mereka mati tak berdaja? Maka itu, kau haruslah berhati-hati. Aku sendiri, aku Lo Boen Kee, aku tidak takut, sebab aku tidak bermusuh dengannja, tidak djuga Ngo Yan Pay. Kau lain. Kau telah bekerdja sama Boe-shia Sam Pa menurunkan tangan djahat di Pa-tong, ikut membinaakan kawannja Tjia Boen itu dengan ratjun. Dari tiga djago dari Boe-shia itu, dua binasa dan satu luka, kau sendiri lolos, maka tentulah kau sangat dibentji. Sekarang dia muntjul pula, pasti dia mendjadi terlebih liehay. Maka baiklah kau pulang ke Tong Pek San, untuk mengekang diri."

„Lo Paytjae, kau baik hati,inilah aku tahu," kata seorang lain. „Sudah limabelas tahun aku menjekap diri mejakinkan kepandaianku, maka aku pertjaja, meski aku tidak bisa melawan Tjia Boen, umpamakata aku bertemu dengannja, pasti aku dapat menjingkirkan diriku. Baiklah kau ingat, muntjulnja Tjia Boen ini baru kabar angin sadja!” Dan lantas dia tertawa terbahak-bahak.

„Hebat warta dalam dunia Kang-ouw," pikir In Gak

„Demikianlah tjepat warta tersiar." Ia tidak ingat, kedjadian sudah setengah bulan jang lalu, sedang dalam dunia Kang- ouw, berita dapat teruwar luas dalam hanja dua-tiga hari.

Lantas In Gak membasahkan kertas djendela, untuk melihat kedalam. la mendapatkan dua orang duduk di.atas pembaringan. Tak sulit membedakan Lo Boen Kee dan Tjoe Tjindjin. Boen Kee bertubuh besar dan kekar. Si imam bermuka pandjang dan kurus, sepasang matanja tjelong, hidungnja bengkung, bibir dan djanggutnja berkumis- berdjenggot.

In Gak mengertak gigi mangetahui Tjoe Tjindjin ini salah satu pengepung ajahnja. Ia lantas memikir tindakan apa ia mesti ambil untuk membuat pembalasan, untuk sekalian menambah menggemparkan dunia Kangouw. la masih membekal sebidji buah, maka lantas menimpuk kedalam, habis mana ia berlompat turun, Ia brsembunji dibelakang sebuah pohon.

Tepat timpukan itu, Api didalam padam. Segera terlihat dua bajangan berlompat keluar.

„Siapa berani main gila di Tjeng Ouw San-tjhung dari Ngo Yan Pay?" demikian Lo Boen Kee menegur. Dialah jang muntjul serta disusul Tjoe Tjindjin, sahabatnja itu. Dia lantas mengawasi tadjam kesekitarnja. Tapi dia tidak melihat apa- apa, hingga dia mulai merasa heran. Djusteru dia mendengar djeritan dibelakangnja, hingga dia mendjadi kaget. Lima tombak dibelakangnja. itu, dia mendapatkan Tjoe djin rebah rna.ndi darah, dadanja: berlobang lima , luka itu mirip dengan lukanja Taylek Koei-Ong Tjoe Pek Pay. Bukan main kagetnja, hatinja sampai berdebaran.

Djeritan Tjoe Tjindjin terdengar oleh pelbagai pendjaga, mereka datang merubung, begitupun orang-orang dari dalam rumah. Mereka semua tertjengang, hati mereka tjiut sendiri. Tetapi kemudian, mereka berbisik menduga-duga.

„Baik kita tjari si pembunuh," seorang mengusulkan. „Pertjuma," Boen Kee mandjawab. ,Peraturan ini dilakukan Tayhiap Tjia Boen. Dia tidak bermusuh denganku, untuk apa mengedjarnja? Baiklah kita mengasi kabar sadja pada murid- muridnja, dan terserah kepada mereka, mereka mau menuntut balas atau tidak. Menjesal peristiwa terdjadi disini, mungkin ada orang jang bakal mentjela kita "

Sikap Boen Kee ini sikap membela diri. Sebenarnja tidak senang ia bahwa orang datang ke san-tjhungnja tanpa perkenan atau pemberitahuan dan melakukan pembunuhan hebat itu, tetapi ia tidak mau rewel. Diluar dugaan, sikapnja ini telah diterima ketiru oleh pihak Tong Pek San.

In Gak menanti saatnja tepat sekali. Djusteru si imam lewat didekatnja, djusteru ia muntjul dan menjerang dengan totokannja. Tak sempat imam itu menangkis atau berkelit, maka punggungnja berlobang lima, mengeluarkan darah hidup. Dia mendjerit bahna sakitnja, tubuhnja roboh, terus djiwanja melajang. Setelah itu In Gak menghilang, pulang ke hotelnja. Karena ia puas, ia dapat tidur njenjak hingga besoknja ia mendusin sesudah matahari memoloskan sinarnja didjendela kamarnja. Ia lekas dandan dan menangsal perut, lantas ia berangkat ke Kimhoa.

Perdjalanan dari Kangsan ke Kimhoa, djauhnja kira-kira tiga-ratus lie, dilakukan didjalan besar umum jang lebar, jang ramai lalu-lintasnja, hingga tak hentinja terdengar kelenengan kereta-kereta keledai dan kuda. Pula itu waktu dimusim semi bulan ke-tiga, yang-lioe dan bunga tho sedang indahnja. In Gak mengasi kudanja djalan perlahan, mengikuti serombongan kereta piauwkiok jang pulang ngosong, hingga piauwsoe dan pegawai-pegawainja berhati lega, senang mereka memasang omong.

“Lao Tio, pagi ini diwaktu berangkat dari Kangsan, aku mendengar kabar hebat, " berkata satu piauwsoe. „Tadi malam pusat Ngo Yan Pay disana, jaitu Tjeng Ouw San- tjhung, telah dikatjau orang dahsjat sekali, dan katanja Ngo Tok Tjindjin Tjoe Hian Thong dari kuil Soen Yang Koan digunung Tong. Pek San telah dibinasakan musuhnja sedjak tigapuluh tahun jang lampau, jaitu Twie -Hoen-Poan Tjia Boen, Katanja, jang paling lutju, jalah orang tidak tahu bagaimana dia diserangnja, tahu-tahu dia telah kedapatan mati. Peristiwa itu menakutkan Lo Boen Kee. Selama jang belakangan ini, Ngo Yan Pay sangat galak, maka orang heran kenapa Twie Hoen Poan tidak sekalian menjingkirkan dia 

........."

,,Kau benar," kata si piauw¬soe she Tie, „waktu itu pun aku telah mendengarnja. Mungkin Tjia Tayhiap bertindak menurut rentjananja sendiri, jang kita tidak dapat terka. Jang heran jaitu halnja Tjia Tayhiap sendiri. Menurut katanja pemimpin kita, Tjia Tayhiap sudah mati teraniaja di gunung Boa Kong San tigapuluh tahun jang lalu. Mengapa sekarang dia muntjul pula? Tentang ini baik kita tanjakan nanti setibanja kita dirumah."

Mendengar bahwa Tjoe Tjin-djin jang ia binasakan itu sebenarnja Ngo Tok Tjindjin Tjoe Hian Thong dari Tong Pek San, In Gak rnerasa bahwa perbuatannja itu diluar dugaannja. Memang semasa dipuntjak Bie Lek Hong, ia pernah mendengar ajahnja rnembilangi halnja Ngo Tok Tjindjin sangat djahat dan telengas, Bahwa kurbannja bukan sedikit, bahwa dia biasa membiarkan murid-muridnja mengganas, Djadi kebetulan sekarang ia membinasakannja. Ia merasa tidak puas untuk tjaranja itu membunuh musuh, tetapi karena siasatnja untuk menuntut balas, sebab orang memang djahat, ia dapat melegakan hatinja. „Mungkinkah mereka ini dari Sam Eng Piauw-kiok di Kim- hoa ia tanja dalam hatinja. Maka ia lantas memandang ke kereta piauwkiok dimana ia melihat sebuah bendera ketjil warna kuning gading, potongannja persegi tiga, ditengah tersulam indah dan mentereng satu huruf „Tjiok" jang didampingi masing-masing sulaman seekor singa dan Garuda. Maka itu, tepatlah dugaannja.

„Hari belum tengah hari, kenapa aku tidak mau mampir sadja?" pikirnja pula pemuda ini. Dan ia lantas mengambil putusan. Begitulah ia larikan kudanja, hingga di waktu magrib tibalah ia dikota itu.

Kim-hoa kota besar dan ramai, terkenal untuk hamnja, jang sama kesohornja dengan babi ham kota Soan-wie di In Lam. Didalam kota In Gak djalankan kudanja perlahan, terus ia singgah di hotel Kong Bouw. Habis membersihkan diri, ia lantas tanja pelajan dimana pernahnja Sam Eng Piauw-Kiok.

“Tidak djauh tuan” sahut si pelajan, “Sekeluarnja dari sini, tuan menudju kekanan, disana ada sebuah kuil Khong Tjoe, didepan itu jalah piauwkiok tersebut. Apakah tuan mentjari orang?”

In Gak mengangguk. Ia lantas minta alat tulis, buat menulis namanja. Dengan membawa itu, ia keluar dari hotel, berdjalan perlahan kearah kanan. Benar, belum ada sehirupan teh ia sudah tiba di depan piauwkiok itu. Empat huruf „Sam Eng Piauw Kiok tertulis dengan air emas', suratnia keren dan bagus. Dimuka itu ada beberapa orang duduk berbitjara dalam rombongan. Ia mengham¬pirkan seorang tua umur limapuluh lebih, sembari memberi hormat, sambil bersenjum ia minta tolong dikabarkan kepada pemimpinnja hal ia mohon bertemu. la meniabut dirinja: „Tjia In Gak dari Tjin Tay Piauw Kiok, Lam. tjiang." la pun menjerahkan kartu namanja, Orang itu berbangkii dengan tergesa-gesa, dengan hormat ia menjambuti kartjis nama, setelah minta tetamunja suka menanti, tjepat-tjepat ia masuk kedalam.

Tidak lama keluarlah tiga orang, satu diantaranja bertubuh djangkung, mukanja bundar, tahajanja terang, kumis djenggotnja pandjang, matanja tadjam, mulutnja lebar, begitu ia melihat si anak muda, ia tertawa gembira dan berkata: ”Tjia laotee, dari saudara Siauw Thian kami mendengar hal kau pintar dan gagah, kami kagum sekali, maka sungguh kami girang jang kau mengingat kami dan mau datang berkundjung. lnilah suatu kehormatan besar untuk kami!"

Sam Eng Piauw Kiok dikepalai tiga saudara Phang, jang mendjadi murid Siauw Lim Sie. Jang paling tua Kim Tji Sin-Eng Phang Pek Hiong, jang kedua Pok-Thian Tiauw Phang Tiong Kiat, dan jang ketiga Mo ln-Peng Phang Siok Tjoen. Belum satu tahun piauwkiok mereka dibuka, mereka sudah memperoleh nama baik, lalu selama tiga belas tahun hingga sekarang ini, mereka mendapat kemadjuan dan aman-aman sadja.

Mereka ramah-tamah, demikian kali ini mereka menjambut In Giak..

„Tjia Laotee," kata Pek Hiong kemudian, ”Menurut saudara Siauw Thian, kau melihat sendiri Tjia Tayhiap membinasakan Lan Tjhong Siang-Sat, benarkah itu?"

Mukanja In Gak berubah merah.

„Hari itu aku mengintai," sahunja, „aku melihat Tjia Tayhiap membinasakan musuhnja dengan djari tangan Kim Kong Tjie. Mu¬lanja aku tidak tahu siapa Tjia tayhiap, sampai aku melihat surat jang ditinggalkan dibatu."

Pek Hiong mengawasi tadjam, ia berkata lagi: „Baru sadja aku dengar halnja Tjia Tayhiap telah kepropinsi Tjiatkang ini dan tadi malam di Tjeng Ouw San-tjhung ia sudah membinasakan Ngo Tjin Tjindjin Tjoe Hian Tong dari Tong Pek San. Ia benar gagah dan tjerdas, tak ketjewa namanja kesohor. Apakah tentang itu laotee dapat mendengar?“

„Ja, baru tadi ditengah djalan, ketika orang-orang piauwkiok

membitjarakannja," sahut In Gak tertawa. „Aku dengar muntjulnja Tjia Tayhiap, dunia rimba Persilatan bakal mengalami badai!"

Sampai disitu, ketiga tuan rumah mengundang tetamunja bersantap, In Gak tidak dapat menampik, tjuma ia menolak duduk dikursi pertama, katanja ia masih terlalu muda.

Ketika itu dari pintu angin muntjul seorang nonta tjantik jang bertubuh langsing.

Melihat dia, Tiong Kiat kata: „Kebetulan, Nona Lan, Mari aku perkenalkan dengan Tjia Siauw-hiap."

Nona itu mengangguk pada In Gak, lantas dia mengambil tempat duduknja.

In Gak membalas hormat sam¬bil bersenjum. Ia segera merasa, nona ini sangat merdeka, hingga dia bersifat mirip prija. Dari Pek Hiong ia lantas mendapat tahu orang she Nie nama Wan Lan gelar Lo-sat Giok-lie dan pernah le atau ipar dari Siok Tjoen. Karena gelaran orang itu jang ber¬arti Raksasa Kemala, ia mau menduga si nona telengas.

Nona itu lantas menanja iparnja: „Tjiehoe, hari ini Yoe Sam Ho dan si orang she Kim datang atau tidak?"

Ipar ilu menjahuti sambil tertawa: „Ie jang baik, tadi malam Tjia Tayhiap telah main-main ditempat Ngo Yan Pay, mungkin hati mereka rontok, maka itu, mana mereka mau usilan mengurus bendera Kim Yang Leng-kie itu?” Si nona mendjebi dan berkata: .,Sjukur djikalau mereka tidak da¬tang, djikalau toh mereka datang, mereka mesti berlutut setiap tiga tindak, baru mereka akan dapat pulang benderanja itu!"

„Djikalau itu terdjadi, Nona Lan, pasti plauwkiok kita bakal ditutup!" kata Pek Hiong tertawa.

„He, Phang-sie Sam Eng jang kesohor djeri terhadap Ngo Yan Pay jang ketjil itu?"

Pek Hiong tertawa, dia tidak mendjawab, hanja dia tanja In Gak: „Laotee, mana pauwhokmu?"

„Ditempat penginapan, dihotel Kong Bouw," sahut. si anak muda.

„Ah. Laotee, kau terlalu! Apa¬kah piauwkiok kami tidak tepat menerima kau?"

Lantas tanpa menanti persetudjuan In Gak, ia menjuruh orang pegawainja mengambil pauwhok atau buntalan pakaian tetamunja itu.

In Gak tidak menolak, la malah mengutjap terima kasih. Sementara itu ia heran disitu tjuma ada tiga saudara Phang serta Nona Nie, berempat ia menanja.

„Selama dua bulan ini kami tidak menerima pekerdjaan. Pula semua piauwsoe berdiam diluar piauwkiok, tanpa ada urusan mereka tidak sembarang datang kemari," Tiong Kiat mengasi keterangan, .,Djikalau ada urusan, baru mereka dipanggil."

„Oh, begitu. Aku tadinja me¬ngira disini sama dengan piauw-kiok di Lam-tjiang, semua orang tinggal mendjadi satu."

Tiga saudara Phang bersenjurn. Tapi Pek Hiong lantas nampak bergelisah. In Gak memperhatikan tetapi ia berdiam sadja. Tidak demikian dengan si Nona Lan. Dia tertawa dengan menanja: „Toako, apakah kau berduka karena besok Tjit Sat Tjioe bakal datang menggeretjok? Itulah bukan urusan penting,! Disini ada Tjia Siauwhiap, dengan mudah dia dapat disuruh pergi !”

Kata-kata ini sebenarnja tak manis untuk In Gak.

Nona Nie ini murid Yan San Sin Nie, dia biasa dimandjai gurunja. dia mendjadi besar kepala, tak suka dia mengalah terhadap siapa pun, Pula tabiatnja keras, hingga suka dia berbuat berlebihan. Ini sebabnja kenapa dia segera mendapatkan djulukannja meski belum lama dia terdjun dalam dunia Kang-ouw. Kali ini dia datang ke Kim-hoa ini mendjenguk kakak dan tjiehoenja, lantas dia mendengar Loei Siauw Thian memudji tinggi kepada in Gak, dia mendjadi tidak puas. Setelah melihat si anak muda jang tampan, dia kagum, tetapi karena In Gak agaknja tawar, dia penasaran. Maka sengadja dia berkata demikian.

Ketiga saudara Phang dapat menerka hati si nona, mereka menjesal sebab tak dapat mentjegah itu, mereka masgul. In Gak tjerdas, ia pun dapat menduga, ia bersenjum. Akan tetapi, ketika ia menjapu para hadirin, matanja bersinar hingga mereka itu tak berani mengawasi dia.

„Sebenarnja Tjit Sat Tjioe orang matjam apa?" kemudian si pemuda tanja.

Phang Pek Hiong menghela napas.

„Beginilah biasa dunia Kang-ouw," sahutnja. „Sebenarnja aku tidak suka omong banjak. pada tiga bulan jang lalu tanpa sengadja aku berbitjara dengan mereka itu tentang ilmu silat, lantas kita berselisih pendapat. Saking mendongkol aku menjebutnja mereka bukan dari pihak lurus. Mereka mendjadi tidak senang, lantas mereka menantang. Tjit Sat Tjoe Koet Sin murid seorang pendeta berilmu dari Tjeng Hay, dia lurus berbareng sesat, dia susah dilajani, dari itu aku menjesal karenanja...” „Toh itu bukannja permusuhan," kata In Gak bersenjum.

„Djuga peladjaranku bukan asal lurus, aku tidak menggubris demikian. Mungkin tabiat Koet Sin aneh tetapi aku rasa dia tidak akan perbesar urusan salah paham itu "

„Kau tidak pertjaja!" njeletuk Nona Lan tertawa dingin, ”Lihatlah besok!"

In Gak heran. Mengapa nona ini seperti mau mengatjau dan menentang ia. Ia toh tidak berbuat sesuatu terhadapnja? Maka ia berkata: „Nona, aku tidak membilang dapat mengalahkan Tjit Sat Tjioe, sebaliknja, kaulah jang mengatakan demikian. Kau telah membikin malu Ngo Yan Pay, kau tentu gagah-perkasa, maka, seperti katamu barusan, kau pasti djuga mudah sadja dapat menghadjar Tjit Sat Tjioe! Aku minta djanganlah kau menjebut-njebut aku"

Wan Lan melengak. Tidak ia sangka orang demikian sabar.

Sekarang ia menduga In Gak pasti ketahui segala sepak terdjangnja, maka dia bersikap tawar. Sebenarnja ia menginsafi kekeliruannja tetapi ia biasa membawa adat¬nja itu, tidak sudi ia mengaku salah. Maka dengan mengambul, ia berbangkit untuk terus masuk kedalam, tak sepatah kata ia utjapkan.

In Gak tidak meladeni, ia tjuma tertawa dingin.

„Maaf, maaf," kata Pek Hiong, jang menjesal dan hatnja tidak tenang. „Demikian memang tabiat ipar kami itu."

Siok Tjoen menjesali iparnja itu, sembari tertawa, ia kata:

„Begitulah tabiat iparku, sembrono dan aseran, biasa berbitjara tanpa pikir lagi. Tabiatnja itu djuga jang membikin dia sering bentrok. Sulitnja dia tidak dapat mengubahnja.

Saudara Tjia, aku minta sukalah kau memaafkan dia"

„Itulah tidak apa," sahut in Gak, jang lantas dapat bersenjum.

Hati Pek Hiong mendjadi lega. .,Saudara Tjia," katanja kemudian. „Aku rninta kau suka tinggal beberapa hari dengan kami disini. Bukankah djandjimu dengan saudara Loei di bulan kelima? Sebenarnja aku ingin sekali menerima pelbagai pengadjaran dari kau."

In Gak tertawa, ia menerima tawaran itu. Ia kata:

,.Sekarang ini pun aku tengah pesiar, untuk melihat-iihat tempat-tempat jang kenamaan, tidak ada halangannja untuk aku berdiam disini Iebih lama sedikit. Kau baik sekall, saudara Phang. Terima kasih untuk kebaikanmu ini. Aku tjuma minta djangan sandara terlalu mempertjajai perkataannja saudara Loei itu. Sebenarnja aku tidak mempunjai kepandaian apa- apa, dengan aku diangkat-angkat, aku malu dan hatiku mendjadi tidak senang. Aku kuatir djusteru aku menjebabkan kegagalan.”

Pek Hiong tertawa.

„Kata-katanja Kian Koen Tjioe tidak nanti salah," udjarnja.

Belum berhenti suara Pek Hiong ini, mendadak Tiong Kiat berseru dengan tubuhnja terus berlompat pesat sekali ke tjint- tjhee, dari mana ia berlompat lebih djauh naik keatas genting. Melihat kegesitannja itu, pantas ia didjuluki Pok Thian Tiauw, si Radjawali Menerbangi Langit.

„Sahabat, kau masih tidak mau berdlam?" begitu terdengar bentakan Tiong Kiat itu.

Lalu terdengar suara jang seram: „Kamu tiga saudara Phang, kamu tak tepat menahan aku Gouw Tie dari Thian-Lam Soe Tjiat! Baiklah kau pulang, untuk menjiapkan segala apa, untuk saat adjalnu, supaja besok kamu tak sampai tak keburu

!”

Tiong Kiat terperandjat mendengar nama orang itu.

Ketika itu Pek Hiong bersama Siok Tjoen dan In Gak menjusul naik. Pek Hiong pun terkedlut melihat melihat orang jang bitjara dengan saudaranja itu, tapi ia lantas madju kedepan untuk memberi hormat.

,,Kiranja Gouw tongkee dati Thian-Lam." katanja, „Gouw Tongkee, rasanja belum pernah aku si orang she Phang mempunjai urusan dengan kau, maka itu, apakah sekarang tongkee dating untuk urusan lain orang?"

Dengan membahasakan: „tong kee" tuan, Pek Hiong berlaku hormat sekali.

Gouw Tie tertawa dingin.

„Orang sematjam kau mana tepat berurusan dengan aku

!." katanja djumawa, ”Atau kalau benar demikian pastilah siang-siang kau sudah pergi menghadap Giam Lo Ong si Radja Acherat. Mana dapat kau hidup sampai sekarang ini? Benar, aku si orang she Giouw datang untuk lain orang! Mulutmu kotor, kau tidak memandang mata kami kaum tidak lurus, dari itu Tjit Sat Tjioe telah mengundangku datang kesini, untuk  aku beladjar kenal dengan kamu kaum lurus! Malam ini kebetulan sadja aku Iewat disini, tidak niatku mentjari gara- gara, maka baiklah kita menanti sehingga besok diwaktu mana nanti kamu bisa lihat! Maaf,. tidak dapat aku menemani kamu lama-lama!”

Gouw Tie lantas memberi hormat, terus ia memutar tubuh, untuk berlalu.

,,Perlahan dulu” tiba-tiba keluar suara njaring tetapi halus dari mulut In Gak.

Gouw Tie berpaling dengan tjepat, maka ia melihat si anak muda, seorang peladjar jang tampan, halus gerak-geriknja.

Tanpa merasa, dia tertawa:

„Anak, kau hendak bitjara apa?" dia tanja, atjuh tak atjuh.

,Tuan ketjilmu tidak puas melihat ketjongkakanmu ini ” sahut In Gak, sekarang dalam suaranja, ”Sam Eng Piauwkiok bukan tempat dimana datang dan pergi dengan merdeka menurut sesukamu! Kau telah datang, maka kau mesti berdiam disini”

Gouw Tie, jang menjebut diri Thian Lam Soe Tjiat, dlago dari Thian-Lam tertawa berkakak, bukan main djumawanja:

„Botjah, dengan mengandalkan apa kau hendak menahan aku" dia tanja, mengedjek.

In Gak menggeraki kedua tangannja.

„Mengandalkan ini!” djawabnja,

Tiga saudara Phang mendjadi bergelisah. Mereka merasa tetamunja ini tidak tahu selatan.

Gouw Tie tertawa, terbahak pula.

„Botjah!' dia berkata, “Djikalau Giam Lo Ong menetapkan orang mesti dibetot njawanja djam tiga, tak dapat itu ditunda sampai djam lima! Maka djuga kau, jang harus hidup sampai besok, disaat ini kau mentjari mampusmu, djangan kau sesalkan aku kedjam”

Segera djago selatan ini bertindak madju, untuk menjerang dengan tangan jang terkerahkan tenaganja.

Dilihat dari tjaranja bertindak, dia sama sekali tidak memandang mata kepada si anak muda.

Selagi orang berdjumawa itu, In Gak menimpalinja. Atas datangnja serangan, ia tidak berkisar dari tempatnja berdiri, melainkan tangan kanannja jang menjambut dengan djurus ‘Twie San Tian Hay’ atau ‘Mendorong gunung, menguruk laut’. Tangannja itu mendahului membentur dada penjerangnja.

“Buk!” demikian suara tangan beradu dengan dada dan Gouw Tie segera terpental mundur lima tindak. Karena kakinja mengindjak keras, genting petjah beberapa bidji.

Tiga saudara Phang heran hingga mereka melengak.

Gouw Tie kaget tidak terkira, ia merasa sakit dan malu. Dia memandang enteng kepada lawannja, dia menggunai tenaga lima bagian. Dia pertjaja, sebagai akibat serangannja, orang akan rebah setengah bulan diatas pem¬baringan. Buktinja, dialah, jang metal mundur.

„Binatang, hebat kau !" dia membentak, matanja melotot,

„Mari sambut lagi sebelah tanganku!" Dan ia berlompat madju seraja menindju.

In Gak telah mengambil keputusannja. Ia hendak menggemparkan kota Kim-hoa. Tadi ia mendongkol terhadap lagak Wan Lan, sekarang ia djemu melihat ketjongkakan orang she Gouw ini. Maka siang-siang ia telah menutup diri dengan Bie Lek Sin Kang. Sedari ia membuatnja orang terpental, ia mengawasi dengan bersenjum, tubuhnja tak bergeming.

Tiga saudara Phang dapat melihat, kali ini Gouw Tie menjerang dengan djurus Pek Houw Tjiang atau Tangan Harimau putih. Untuk djurus ini orang mundur dulu baru madju. In Gak sebaliknja berdiri tenang. Maka Siok Tjoen lantas berseru: ”Laotee, awas!”

Sementara itu serangannja Gouw Tie sudah tiba kepada sasarannja. In Gak menjambut tindju dengan dengan tenang, baru mendadak ia mengerahkan tenaganja, menolak dengan keras. Tanpa ampun tubuh Gouw Tie terlempar balik dua tombak, roboh menggabruk diatas genting, hingga banjak genting petjah hantjur.

”Aku menjangka Thian Lam Soe Tjiat machluk apa, kiranja tjuma sebegini!” kata In Gak tertawa dingin.

Gouw Tie merajap bangun, kedua tangannja bengkak dan rasanja sangat njeri. Saking malu ia mendjadi gusar sekali. Ia kata dengan sengit: Binatang! Djangan bertingkah! Sajang aku berlaku sembrono hingga aku terpedajakan kau! Djangan kau bergirang, lihat besok, sang mendjangan akan terbinasa ditangan siapa?” Setelah mengumbar kemendongkolannja itu, terus dia berlompat turun untuk ngelojor pergi dengan tjepat. ”Mari” In Gak mengadjak terus ia lompat turun untuk kembali kedalam.

Pek Hiong memberi hormat seraja berkata: „Laotee, baru sekarang mataku terbuka. Benar-benar aku bilang, orang dengan kepandaian sebagai kau sungguh djarang ada didalam Rimba Persilatan djaman sekarang ini!"

Sementara itu Siok Tjoen dalam hatinja masih menjesali Wan Lan jang tjongkak. Ia melihat In Gak halus dan bertubuh lemah, siapa tahu, tenaga-dalamnja mahir sekali.

In Gak bermuka merah, lalu bersenjum.

,Toako, kau terlalu memudji," katanja. „Kau tidak lihat bahwa aku sebenarnja menggunai ke-tjerdikan. Orang she Gouw itu benar waktu dia membilang dia kurang waspada, pertama dia me-mandang enteng padaku, kedua dia tidak menggunai tenaga sepenuhnja. Jang kedua kali, dia terpengaruh kegagalannja, kuda-kudanja tidak terpelihara lagi, maka tjukup aku mcndorong padanja. Pula benar katanja bahwa besok akan terlihat mendjangan terbinasa ditangan siapa."

Tong Kiat tertawa.

”Bitjaramu beralasan, hiantee," katanja. benar bahwa kau sangat merendahkan diri."

In Gak tidak melajani bitjara, ia melainkan tertawa.

Ketika itu, Wan Lan muntjul pula. Tadi dia mendongkol, dia masuk kedalam untuk melempar diri keatas pembaringannja, djadi tidak menjaksikan pertempuran barusan.

Dia mendengar kabar sesudah terlambat. Ketika dia mendengar keterangan Siok Tjoen, tjiehoenja, dia membanting kaki dan kata, menjesal: „Sajang aku tidak tahu,kalau tidak pasti aku bunuh djahanam ini” Siok Tjoen melibat orang bitjara tanpa menoleh kepada In Gak, ia mengerti ipar ini masih mendongkol. Ia tertawa dan kata: „Ie, kau hebat, sedikit-sedikit bitjara membunuh orang. Kalau nanti kau menikah lalu kau bentrok dengan suamimu, bagaimana, apa kau djuga hendak membunuhnja?"

„Tjiehoe, kau lantjang mulut!" ipar itu menegur, matanja melotot. „Kau tidak menghormati dirimu, awas, nanti aku membilangi entjie!" Benar, dia lantas masuk pula kedalam.

Siok Tjoen dan dua saudaranja tertawa.

Masih mereka bitjara sebentar, sampai In Gak diantar kekamarnja didalam taman.

”Apakah hiantee senang dengan kamar ini?" Pek Hiong tanja.

„Senang, terima kasih," sahut In Gak. Ia melihat kamar terbagi dua, untuk kamar tidur dan kamar tulis, perabotannja lengkap, perawatannja sempurna, Ada pot-pot bunga lan dan koei jang harum baunja serta gambar-gambar lukisan didinding. Pelbagai kitab pun tersedia di medja-tulis, lengkap dengan perabot tulisnja.

Semundurnja ketiga tuan rumah, ia lantas merebahkan diri.

Ia tidak dapat lantas pulas, sebaliknja, ia memikirkan pengalamannja semendjak turun gunung. la belum pernah menemui tandingan jang berarti. Lan Tjhong Siang-Sat, Ngo Tok Tjindjin, dan Gouw Tie dari Thian-Lam Soe Tjiat barusan semuanja tersohor, tapi njatanja, kepandaian mereka tidak berarti.

Mengenai Thian Lam Soe Tjiat, selama di Bie Lek Hong, pernah ia mendengar dari gurunja, Beng Liang Taysoe.

Mereka itu dari partai Tjhee Liong Pay atau Naga Hidjau di Koei-kim, kedua propinsi Kwiesay dan Koei-tjioe, memangnja mereka kedjam, djikalau turun tangan, tak suka mereka membiarkan musuh hidup. Karena Gouw Tie berkepandaian tjuma sebegitu, ia pertjaja, tiga jang lainnja tentulah tak djauh bedanja.

,Kalau mereka tidak mempunjai kawan lain, jang liehay, pasti pihak kita bakal menang," pikirnja lebih djauh. „Jang hebat adalah Nie Wan Lan, jang tabiatnja keras. Dia murid Yan San Sin Nie. seorang bhiksuni, kenapa tindak-tanduknja menjalahi ibadat Sang Buddha. Kenapa bhiksuni itu dapat murid begini binal? Heran! Aku berdiam disini, baiklah aku mendjauhkan diri dari padanja..”

Setelah itu, baru si pemuda dapat tidur, Ia mendusin besoknja fadjar, beium tjuatia terang, terus ia duduk bersamedhi, untuk melatih tenaga-dalamnja. Tidak lama habis bersamedhi, tiga saudara Phang datang mengundangnja kedepan, untuk bersantap pagi.

Wan Lan muntjul tidak lama kemudian. Dia mengenakan pakaian hidjau tua dengan pinggiran sutera, potongannja ringkas, mukanja memakai pupur dan yantjie tipis. Dia memandang In Gak sambil bersenjum, maka si pemuda membalas bersenjum djuga sambil berkata: ”Selamat pagi, nona!”

Setelah lewat sang malam, kedjadian kemarin seperti telah bujar lenjap.

Sambil sarapan, Pek Hiong berbitjara dari hal pemuda- pemuda jang baru muntjul seperti Siauw-Pek-liong Kat Thian Ho si Naga Putih, Thian-Kong Kiam Tong-hong Giok Koen dan Ouw bin Mo-lek Kiang Tjong Yauw serta seorang nona, Keng Po Sian-tjoe Lo Yauw Bwee. Beberapa tahun dulu mereka itu menggemparkan bagian selatan dan utara dari sungai besar, sedang sekarang, inilah si pemuda she In.

,,Sebaliknja kita, jang sudah berusia landjut, kita tidak berguna lagi”katanja. In Gak tjuma bersenjum. Sebaliknja Wan Lan, dia mendjebi.

„Apakah artinja segala anak muda!" katanja „Kalau aku bertemu dengan mereka itu, ingin aku tjoba-tjoba!"

Tiga saudara Phang mengerutkan alis, masgul mereka mendengar suara si nona.

Sjukur itu waktu datang empat orang, semuanja piauwsoe jang baru mendengar peristiwa tadi malam. In Gak melihat mereka semua berumur lebih-kurang empat puluh tahun, jang satunja, nampaknja baik tenaga-dalamnja, seperti terlihat pada wadjahnja.

Tiga saudara Phang mengadjar kenal mereka itu pada In Gak. Merekalah Say-oet-tie Lie Eng, Tjo-pek Kim-Too Ouw Siauw Tjeng, Kauw liam-tjhio Lou Tiong Goan, dan Pat-kwa- tjioe Kheng Liang. Mereka agaknja ragu-ragu melihat si pemudalah jang tadi malam mempetjundangi Gouw Tie.

„Tjong-piauwtauw, bagaimana dengan tantangannja Tjit Sat Tjioe ?" Kheng Liang tanja.

"Kita didjandjikan bertemu di¬lapangan Sio-kauw-thio didalam kota," sahut Pek Hiong. „Sekarang kita mau berangkat."

Benar-benar piauwsoe kepala ini menitah menjiapkan sembilan ekor kuda, maka tak lama ke-mudian, berangkatlah mereka.

Sio-kauw-thio berada disebelah barat kota, lapangannja lebar tetapi bala dan tak terurus, sebab selama negara aman, sudah lama lapangan itu tidak dipakai baris oleh tentara Boan. Ketika mereka sampai, disana tidak ada orang, keadaan sunji. Mereka lantas menambat kuda mereka disisi panggung.

„Djangan-djangan mereka tidak datang," kata Siok Tjoen tertawa. „Tadi malam tentulah hati mereka gentar, lagipula terkabar Twie-Hoen-Poan Tjia Lootjian¬pwee telah muntjul di Kangsan. Mustahil mereka tidak pergi menjembunjikan diri?"

„Tak mungkin," kata Pek Hiong menggeleng kepala. „Tjit Sat-Tjioe Koet Sin djumawa dan berkepala besar, dia telah mengundang kita, mesti dia mempunjai andalan. Karena Tjia Lootjianpwee bukan kaum lurus, Koet Sin mungkin pertjaja, lootjianpwee tidak akan usil urusannja ini..”

Mendengar perkataan tjongpiauwtauw ini, orang berdiam.

In Gak sendiri memperhatikan lian dipanggung, jang ukirannja banjak jang gugus, hingga surat¬nja sukar dibatja, ia mengetok-ngetok batu sambil bersenandung.

Wan Lan melihat kelakuan pemuda itu, dia mendjebi dan berkata kepada iparnja: „Lihat, tjiehoe, si kutu buku!"

Siok Tjoen mendelik kepada iparnja itu.

In Gak dapat mendengarsuara si nona, ia tidak mengambil mumat, dengan tetap mengendong tangannja, ia tetap bersenandung, nampaknja ia tenang sekali. Tapi didalam hatinja, ia merasa djemu, kesannja tak manis terhadap si nona.

Orang tidak berdiam lama atau dari mulut lapangan terdengar berisiknja tindakan belasan ekor kuda, maka semuanja menoleh. In Gak segera dapat kenjataan mereka itu berdjumlah duabelas orang, tua dan muda, djangkung dan kate tak tentu.

Seorang jang bertubuh kurus, mukanja putih, matanja besar, kumis-djenggotnja lantjip mirip djenggot kambing gunung, usianja lebih-kurang empatpuluh tahun serta membawa golok Kim san-too, sudah lantas menghampirkan Phang Pek Hiong untuk memberi hormat dan berkata : „Phang Toako, siauwtee Tioe Djin Sian, siauwtee tidak bersangkutan satu apa dengan toako tetapi lantaran toako mengatakan kami bukan dari kaum lurus, sekarang kami mengadjak beberapa kawan jang tak berpartai datang kemari untuk main-main, tjukup asal kita saling towel. Dengan begitu kesatu kita tidak merusak persahabatan dan kedua, supaja toako sekalian dapat melihat kepandaian kami kaum tidak lurus”

Habis berkata dia tertawa, terbahak, suaranja tak sedap untuk telinga.

„Saudara Tjoe," kata Phang Pek Hiong tertawa, „sebenarnja tak usah saudara sampai menge-rahkan banjak orang, sebab pembitjaraan kita itu hari hanja omong iseng-iseng belaka.

Tapi karena saudara sudah sampai disini; pertjuma kita bitjara lagi banjak-banjak. Silahkan saudara memberi pengadjaran kepada kami”

Pek Houw Seng-Koen Gouw Tie ada didalam rombongan dengan mata tadjam ia meng¬awasi In Gak, sinarnja membentji, begitu mendengar suaranja Pek Hiong, ia madjukan diri, mulutnja berkata keras: „Orang she In, tadi malam aku alpa, aku kena digigit andjing tjilik, maka sekarang, suruhlah si andjing ketjil keluar untuk melajani aku si orang she Gouw" Kata-kata itu ditutup dengan dihunusnja pedangnja.

Biar bagaimana, In Gak gusar. la dimaki sebagai andjing ketjil. Tapi belum sempat ia madju, Nona Nie telah mendahului ia. Nona itu sudah lantas mendamprat: „Bangsat tua, sajang tadi malam aku tidak turut hadir, djikalau tidak, tidak nanti kau hidup sampai ini menit! Bangsat djahat sematjammu, hari ini nonamu akan menghadjarnja supaja kau tahu diri!"

Gouw Tie mendongkol tetapi dia tertawa mengedjek. Dia kata:

”Aku si orang she Gouw memperoleh namaku sedjak duapuluhtahun lalu, belum pernah aku menemui nona kurang adjar sematjam kau! Djikalau kau dapat melajani pedangku limapuluh djurus, akan aku meletaki pedangku ini, namaku ditjoret dari dunia Kang-ouw!"

„Hmm! Aku pun belum pernah mendengar namamu!” sahut si nona singkat. Dan ia terus menikam.

Gouw Tie berkelit kesamping, sambil berkelit tangannja menjabet, guna membabat lengan si nona.

Wan Lan tertawa, tangannja segera ditarik pulang, tubuhnja turut bergerak, setelah mana, ia menjerang pula, kali ini dengan tipusilat „Hudjan-angin diseluruh djagat." Pedangnja itu menikam dan menjambar berulang-ulang.

Gouw Tie mendongkol, terpaksa ia main mundur. Ia pun terkedjut. Baru sekarang ia menghadapi musuh begini liehay, orangnja muda dan bahkan seorang nona jang belum hilang bau teteknja. Karena ini, terpaksa ia menggunai ilmu pedangnja ,Pek Houw Sam Tjiat Kiam," ilmu pedang Harimau Putih, untuk mendjaga pamornja.

Demikianlah, dua batang pedang berkilau-kilau, dan dua buah tubuh bergerak-gerak bagaikan bajangan,

Semua orang menonton dengan perhatian, terutama In Gak. Ia melihat Wan Lan tidak sabaran, si nona lantas menggunai ilmu silat ’Mou-nie Hang Mo" atau „Muni menaklukkan siluman,' jang mempunjai duapuluh delapan djurus. Itulah ilmu pedang jang dijakinkan 'Yan San Sin-Nie selama tigapuluh tahun. Wan Lan belum melatih sempurna tetapi sudah mentjapai enam atau tudjuh bagian, maka djuga Gouw Tie lantas terkurung sinar pedang.

,,Nona Nie pasti menang," pikir In Gak, jang terus memperhatikan sebelas orang lainnja, da¬ri jang mana, dua orang menarik perhatiannja. Orang jang satu sudah landjut usianja, tubuhnja tegar, tjuma sedikit melengkung, dia mempunjai mata besar dan hidung gedeh, kumis dan djenggotnja pandjang, pakaiannja hitam. Jang luar biasa jalah tangannja besar sekali. Ia menduga: „Dialah tentu Tjit-Sat- Tjoe Koet Sin." Orang jang lainnja djangkung-kurus, mukanja putih tidak ada kumisnja sepasang matanja tjelong tetapi sinarnja tadjam. Dia selalu nampak bersenjum dan dipunggungnja tergendol sebatang pedang. Ia tidak kenal dia siapa maka ia tiuma menduga, orang tentunja bagus ilmu dalamnja dan litjik sifatnja.

Wan Lan mendengar In Gak gampang sadja merobohkan musuh, ia ingin berbuat begitu djuga. Inilah jang membuat Gouw Tie mengeluh, Dia belum teriuka tetapi badannja berulang-ulang kena ditegur pedang, hingga badju itu mendjai robat-rabit. Pedang si nona pedang Tjioe Song Kiam, Es Musim Rontok," tadjamnja luar biasa, dapat menabas kutung segala matjam sendjata lainnja.

Achir-achirnja Gouw Tie djadi kalap, matanja mendelik, kumisnja seperti bangun berdiri, terus dia mentjoba membalas menjerang hebat, setelah mendesak tiga kali, dia berlompat tinggi, sebelah tangannja diajun, hingga terlihat menjambarnja benda berkilauan. 

„Serahkan djiwamu!" Pek Houw Seng-Koen membentak membarengi menjambarnja lima batang Pek-houw-teng, paku Harimau Putih, sendjata rahasia jang djarang sekali digunakan, jang dibuat dari kuningan dan pandjangnja tiga dim. Djuga paku itu dipakaikan ratjun jang bisa meminta djiwa.

Wan Lan melihat Gouw Tie berlompat tinggi, ia kata dalam hatinja: „Kau tjari mampus, ja! Ia lantas menjusul seraja menjerang dengan tipu ’Naga sakti menakluki siluman," membabat kedua kaki lawannja. Tapi ia kaget sekali ketika ia mendengar musuh membentak dan sinar-sinar berkeredepan menjambar kearahnja. Karena tidak sempat berkelit, terpaksa ia menangkis.

„Djangan bentur!" mendadak terdengar teriakan tjegahan.

Menjusul itu, dua-dua Gouw Tie dan Wan Lan tertolak mundur, terpisah lima atau enam tombak satu dari lain, dan batang-batang paku, jang terbabat pedang, runtuh ketanah, menjebabkan laju kuningnja rumput jang terlanggar.

Diantara mereka itu terlihat seorang pendeta dengan tubuh jang tinggi dan besar, jang mukanja bundar dan tampan, jang kumis dan djenggotnja pandjang sampai kedada. Dia sutji bagaikan Sang Buddha. Lantas dia menghadapi Gouw Tie dan berkata sambil bersenjum: „Gouw Sie-tjoe, apakah kau masih mengenali loolap? Dulu hari kita pernah bertemu satu dengan lain, hanja aku tidak menjangka, belum lama lewat atau sekarang sie-tjoe telah melupakan sumpahmu terhadap Touw Liong Kie soe?"

Gouw Tie mundur dengan terhujung. Sebenarnja ia gusar jang serangannja itu dirintangi, tetapi ketika ia telah melihat si pendeta, kagetnja tidak terkira, hatinja mendjadi tjiut. Ia mengenali pendeta itu jalah Hoat Hoa Taysoe, pendeta berilmu dari Siauw Lim Sie. la lantas ingat kedjadian duluhari, ketika didjalan Kweisay Selatan ia membegal seorang pembesar jang pulang berpensiun, selagi hampir ia berhasil, ia dihalangi pendeta itu bersama Touw Liong Kie-soe jang disebutkan itu. Ia melawan, ia menjerang tetapi Touw Liong, Kie-soe dapat memunahkannja, hingga dialah jang sebaliknja terluka parah. Touw Liong Kiesoe hendak menotok mati padanja, ia minta-minta ampun: sesudah bersumpah tidak akan menggunai lagi pakunja baru ia dibebaskan dari kematian. Diluar dugaannja, kali ini in bertemu pula Hoat Hoa Taysoe. Maka ditegur pendeta itu, ia mendjublak. Kim-hoa Sam Kiat girang sekali, mereka segera menghampirkan hweeshio itu, untuk menberi hormat, sebab Hoat Hoa jalah soepee, paman guru mereka. Tapi mereka didului Tjit Sat Tjioe Koet Sin, jang lantas menghadapi Hoat Hoa sembari dia tertawa dingin.

”Taysoe, siapakah kau?” tegurnja, ”Kenapa kau mentjampuri urusan kita ini?”

”Amida Budha!” memudji pendeta itu tertawa, ”Loolap jalah seorang asing, pikiranku kosong, tubuhku tak berdebut, tidak biasa loolap mentjampuri urusan lain orang. Tapi barusan, tak dapat loolap menjaksikaan orang ditjelakai paku Pek houw- teng, terpaksa loolap turun tangan, Sekarang loolap mohon kiesoe djangan mentjari musuh karena urusan ketjil, baiklah kamu menjingkirkan bentrokan dan sebaliknja mendjadi akur satu dengan lain."

Mendengar itu, Koet Sin ter¬tawa terbahak-bahak.

Djikalau taysoe bilang begitu, baiklah!" katanja. „Sekarang perintahkan tiga saudara Phang bertekuk lutut, dan mengangguk-angguk terhadap kami, untuk menghaturkan maaf, nanti aku si orang she Koet suka menghabiskan sangkutan kita”

Kata-kata itu membikin merah muka ketiga saudara Phang.

„Soepee," kata Tiong Kiat mengadjukan diri, ”Baiklah urusan ini djangan soepee tjampur tahu. Kami ingin ketahui bagaimana hebatnja kepandaian Tjit Sat Tjioe, biarlah dia memperlihatkannja agar orang kagum dan takluk!"

Hoat Hoa masgul, alisnja berkerut. la lantas mundur tanpa membilang satu apa.

Nona Lan memberi hormat pada pendeta itu, ia mengutjap terima kasih. Hoat Hoa tjekal tangannja, untuk tanja ini dan itu. Tiong Kiat memandang Koet Sin, dia tertawa dingin. „Peristiwa hari ini disebabkan gara-gara Tjoe Djin Sian, muridmu," katanja. „Aku tidak sangka dia mirip si kura-kura, jang mengelepotkan kepalanja! Sungguh tidak tahu malu!"

Mukanja Koet Sin mendjadi merah, dia mendelik terhadap Tiong Kiat, terus dia menoleh kepihaknja seraja memanggil:

„Djin Sian, mari! Bagaimana dengan Kim-hoa Sam Kiat ini? Kau boleh bertindak sendiri, djangan kau membikin malu gurumu!"

Tjoe Djin Sian madju, mukanja merah.

Tiong Kiat tertawa mengedjek, lantas dia menuding dan kata:

„Sudah, Tjoe Djin Sian, tak usah kau mengotjeh tidak keruan! Mari kita gunai tangan kita!"

Tjoe Djin Sian tidak bitjara lagi, ia mengeluarkan goloknja, terus ia menjerang. Ketika Tiong Kiat mundur, tiga kali ia menjerang saling-susul. Setelah itu, si orang she Phang membalas, pe¬dangnia membabat kepinggang. Atas ini, saking kaget ia lompat mundur. Ia menangkis dengan sia-sia pedangnja terus tertekan, sulit untuk melepaskannja, hingga ia mengeluarkan peluh dingin. Achirnja, saking terpaksa, guna menolong djiwanja, ia mendjatuh¬kan diri, untuk bergulingan dengan tipusilat „Keledai malas bergulingan."

Tiong Kiat tertawa dingin, kembali ia madju, untuk menjusuli tikamannja.

Djin Sian kaget, matanja silau sinarnja pedang, pertjuma dia hendak berkelit pula, pundak kirinja kena disontek pedang hingga mengutjurkan darah.

Setelah itu, Tiong Kiat. tidak menjerang lebih djauh, sambil mundur setindak, ia kata tertawa: „Dengan kepandaian sematjam ini kau main gila menerbitkan jang tidak-tidak! Hm! Djikalau aku tidak ingat perkenalan kita, tidak nanti aku suka memberi ampun! Sekarang pergilah!" Djin Sian menetapkan hatinja, ia memandang Tiong Kiat, lantas dengan memegangi lukanja, ia mundur, mukanja putjat

Koet Sin gusar sekali muridnja dirobohkan dalam beberapa djurus sadja, ia sampai berdjingkrakan, mulanja ia mau madju sendiri, tetapi si orang djangkung kurus dan bermuka putih disampingnja mentjegah.

„Tahan dulu saudara Koet" kata dia itu. „Nanti siauwtee jang mentjoba lebih dulu.”

Lantas dia berlompat kedepan Tiong Kiat, gerakannja sangat gesit. Dia menjeringai ketika dia berkata: „Barusan kau menundjuki keliehayanmu, sekarang aku si orang Kang-ouw tak ternama, Sin-Kiam-tjioe Shie Goan Liang, mohon pengadjaran dari kau!"

Mendengar nama itu, terutama djulukannja Sin Kiam Tjioe, si Pedang Sakti, Kim-hoa Sam Kiat terperandjat. Mereka tahu orang jalah murid partai Tiam Tjhong pay jang liehay buat kepandaiannja ilmu pedang dan tangan kosong dalam usia empatpuluh dia kesohor kosen, gemar pipi litjin, hatinja pun kedjam.

Aku rasa loodjie bukan tandingannja, baiklah...” kata Pek Hiong, tapi ia tertahan, sebab In Gak lantas berkata padanja:

,Djangan kuatir, toako, aku tanggung djieko tidak kurang suatu apa."

Pek Hiong berdiam tetapi hatinja berdebaran.

Tiong Kiat dan Goan Liang sudah lantas bertempur, sebab tidak ada orang jang madju disana tengah. Goan Liang aseran, Tiong Kiat pun tidak mau menjerah tanpa berdaja.

Goan Liang benar liehay, gerakannja sangat lintjah, pedangnja berbahaja. Maka untuk melajani dia, Tiong Kiat menggunai ilmu pedang „Tat mo Sip Sam Kiam," tiga belas djurus ilmu pedang warisan Bodhidharma. Seru sekali mereka bertanding.

Sedang tigapuluh djurus, Shie Goan Liang mendadak tertawa pandjang dan tubuhnja melesat tinggi, lalu sambil turun, ia membabat dengan tipusilat „Mengeprak rumput mentjari ular."

Tiong Kiat terkedjut, ia berlompat untuk berkelit, tetapi segera ia disusul, diserang dengan tikaman ’Ular berbisa mentjari liangnja." Karena ia berkelit, punggungnja terantjam tanpa ia berdaja, tak keburu ia menangkis atau berkelit lebih djauh.

Djusteru disaat berbahaja itu, satu siulan pandjang terdengar, tubuh In Gak nampak melesat kedepan, tangannja terajun.

Goan Liang terkedjut mendengar siulan itu, tanpa merasa, gerakannja mendjadi lambat. Maka selamatlah Tiong Kiat!

Sedang In Gak segera berada didepan orang she Shie ini.

Dia mendjadi gusar, segera dia menjerang ini musuh jang baru.

„Lepas!,” berseru In Gak melihat ia disambut tikaman. Dengan tangan kanannja jang diluntjurkan, ia mengetuk kelengan. Tepat ketukannja ini, segera pedang lawan terlepas dan mental delapan tombak djauhnja, seperti ular masuk kedalam rumput tebal.

Bukan main Goan Liang merasakan tangannja njeri ketika ia memandang muka orang, ia heran. Dia mendapatkan seorang botjah umur delapan atau sembilanbelas tahun, jang romannja tampan.

In Gak bersenjum.

,.Tuan didjuluki Sin Kiam Tjioe, kenapa tuan tak sanggup bertahan untuk satu kali ketukan?" ia tanja.

Goan Liang panas hati. Ia anggap itulah sindiran untuknja. „Hm!" katanja; mendongkol, Kau tidak memakai aturan kang-ouw, sahabat! Mengapa kau membokong aku? Aku kurang puas!"

Matanja In Gak terpentang, ia tertawa lebar.

,Kau menjebut-njebut aturan Kang-ouw, itulah aku tidak perduli!" katanja njaring. „Aku tjuma bertindak menuruti rasa hatiku! Asal aku merasa tidak puas, tentu aku turun tangan! Kau ada bangsa busuk, tahu apa kau aturan Kang-ouw?

Djikalau kau tidak puas, pergi ambil pedangmu, mari kita main-main!"

Goan Liang tertawa berkakak.

„Biar aku bodoh, aku bukan bangsa busuk!" teriaknja. ,Kau begini muda tetapi kau tjongkak sekali, nanti aku si orang she Shie mengadjar adat padamu!"

Habis berkata, Goan Liang lompat kaarah pedangnja, untuk mengambil itu, terus dia berlompat balik, indah lompatannja menurut tipusilat „Burung elang bardjumpalitan." Sekedjap sadja dia sudah berdiri pula didepan In Gak, terus dia menuding sambil menantang: „Hunuslah pedangmu!"

In Gak mengangkat kedua tangannja.

„Aka si orang she Tjia akan melajani tuan main-main dengan tanganku jang berdarah-daging sadja!” katanja.

„Orang dengan kepandaian sebagai kau tak pantas, tak ada deradjatnja membuat aku menggunai pedang!"

Bukan main mendongkolnja Goan Liang.

„Aku si orang she Shie belum pernah menemui orang setjongkak kau!" katanja sengit, tubuhnja sampai bergemetar, mukanja pun putjat „Baiklah, lihat pedang!"

Kata-kata itu ditutup dengan satu tikaman. Goan Liang bernjali besar sebab dia murid Tiam Tjhong Pay. satu diantara tudjuh partai besar jang kesohor ilmu pedangnja. kemudian dari seorang pandai jang menjembunjikan diri, dia dapat kepandajan lebih djauh hingga ilmu pedangnja djadi bertambah liehay, sekarang dia menghadapi orang djumawa, dia berkelahi dengan hebat, beda daripada waktu melajani Tiong Kiat.

In Gak tidak melajani keras dengan keras. Sebaliknja, bagaikan kupu-kupu berterbangan, ia bergerak sangat lintjah didepan orang she Shie ini, senantiasa ia berkelit dari tikaman atau taba¬san pedang, tidak pernah ia membalas, kalau toh ia mengulur tangan, ia hanja ingin merampas pedang lawan

Tjepat sekali lewat sudah dua puluh djurus. Sekonjong- konjong si anak muda tertawa dan ber¬kata: „Tuan, aku si orang she Tjia telah beladjar kenal dengan ilmu pedangmu, njata kepandaian tjuma sebegini! Sekarang aku si orang she Tjia ingin memohon maaf dari kau " Lalu kata-kata itu ditutup dengan sambaran tangan kiri kearah pedang, niatnja dirampas. Itulah salah satu tipu dari silat Hian Wan Sip-pat Kay.

.,Kau mau tjari mampus?” kata Goan Liang dalam hatinja. la pertjaja orang memperbahajakan dirinja sendiri. Akan tetapi belum ia berhenti berpikir itu, tahu-tahu udjung pedangnja sudah didjepit lima djari tangan, maka waktu si anak muda mengerahkan tenaganja, udjung pedang itu patah seketika, menjusul mana djari tangan anak muda itu meluntjur terus, menotok djalan darah tjiang-boen didada kiri. Sama sekali tak berdajalah ia, segera ia merasai darahnja mandak, tubuhnja terus roboh.

Dengan udjung pedang lawan masih ditangannja, In Gak mengibas kemuka orang sambil ia menjeringai dan berkata:

„Apakah pedang ini tepat dinamakan pedang, sakti? Hm! Kau lihat!" la mengajun tangannja, hingga pedang itu terbang kearah panggung, untuk menantjap di penglari dalamnja satu kaki.

Shie Goan-Liang berdjuluk Sin Kiam Tjioe, Ahli Pedang Sakti, maka itu pedangnja itu, jang bernama Tjeng-kong-kiam dipandang sebagai pedang sakti, tetapi sekarang pedang itu kena dibikin patah dan ditimpukkan nantjap, maka tertjenganglah semua hadirin. Orang pun heran sekali Goan Liang dapat dirobohkan dalam dua gebrakan dan orang tidak mengetahui ilmu silat apa itu jang digunai si pemuda.

Ilmusilat Hian Wan Sip-pat Kay itu jalah ilmu silat berbareng ilmu ketabiban dari dua ribu tahun jang lalu, jang telah seperti lenjap dari dunia, maka djuga, sekalipun Hoat Hoa Taysoe dari Siauw Lim Sie, dia kena dibikin bingung karenanja, dia pun tidak mengenalnja.

Djuga Nona Lan, jang berkepala besar, jang tak pernah tak¬luk kepada siapapun, ikut mendjadi kagum.

Dengan menahan saklt, Shie Goan Liang merajap bangun.

Perlahan sekali dia bergerak. Terus dia mengertak gigi dan berkata; „Aku si orang she Shie menjesal jang peladjaranku tidak sempurna, aku menjerah kalah, hanja aku berbesar hati aku mengundang kau datang ke Tiam Tjhong San. Aku bodoh, tak pantas aku menggunai pedang, akan tetapi didalam partaiku masih ada jang lainnja jang djauh melebihi aku, aku minta sukalah kau memberi pengadjaran kepada mereka itu Sekian, sekarang aku memohon diri."

Alis In Gak bangun, ia tertawa.

„Baru Tiam Tjhong Pay, aku tidak melihatnjal" katanja sengadja. „Kau telah mengundang, berani aku menerimanja, hanja sajang, tidak dapat aku pergi sekarang lantaran aku masih mempunjai lain urusan penting. Tolong bilangi ketuamu bahwa didalam waktu lima tahun akan aku pergi ke gunungmu itu. Sekarang kau pergilah!”

Sembari berkata, dengan perlahan dengan kedua tangannja In Gak menolak tubuh orang, atas mana Shie Goan Liang merasa ada tenaga keras jang mendorong tubuhnja itu, hingga ia lantas terpental, sia-sia ia mentjoba mempertahankan diri dengan tipu berat tubuh, ia toh terdampar lima tombak djauhnja. Ia mendjadi djeri, tanpa berkata apa-apa lagi, ia ngelojor pergi.

Seberlalunja Goan Liang, In Gak menghadapi Koet Sin. ”Orang she Koet” ia berkata bersenjum, ”Peristiwa ini

dimulai oleh kau, maka itu tidak dapat kau berpeluk tangan sadja tak mengurusnja”

Tjit Sat Tjioe telah melihat dirobohkannja Goan Liang, dia djeri. Dia tahu dia tjuma gagah sedikit daripada kawannja itu. Akan tetapi sekarang dia ditantang, dia mendjadi gusar sambil tertawa dingin dia kata, ”Meskipun tuan sangat lihay, tidak dapat tuan tak memandang mata kepada lain orang! Memang urusan ini disebabkan aku, tetapi mula-mulanja adalah Kim Hoa Sam Kiat jang terlalu djumawa, karena mereka tidak melihat mata kepada kami kaum tidak lurus”

In Gak tertawa.

”Djadi karena urusan ketjil itu tuan membangkitkan pertentangan golongan?” katanja, ”Tidakkah urusan itu bisa membangkitkan pertentangan lebih hebat didalam Rimba persilatan? Biarlah aku menjebut tentang diriku sendiri.

Sebenarnja aku djuga bukan berasal dari kalangan lurus. Karena aku bukan kaum lurus, menurut kau, aku djadi mesti masuk dalam golongan kamu bangsa rase dan tikus! Baiklah kau ketahui, perselisihan mulut dapat timbul diantara kawan- kawan karena sedikit kata-kata jang menjinggung, tetapi, djikalau orang suka berpikir, perselisihan itu dapat ditiadakan dengan hati dingin. Bukankah jang bengkok dapat dibikin lempang? Seharusnja kau mengerti muridmu sendiri si bangsa tidak keruan jang tjupat pandangannja. Karena dia tjupat, dia dapat diberi maaf. Kenapa kau sendiri , jang dianggap terhormat, kau berhati lemah, bertelinga tipis, hingga kau tidak dapat membedakan jang benar dari jang tidak benar?

Inilah jang membuat aku tidak mengerti. Sebetulnja kau mesti dihukum, akan tetapi mengingat kegelapanmu, suka aku berlaku murah. Nah, lekas kau pergi!”

Koet Sin djago Rimba Hidjau, sudah biasa dia galak malang melintang, tidak dapat dia menahan sabar akan hinaan itu, maka dia djadi meluap kegusarannja.

“Binatang!” dia berteriak, “Apakah kau kira tepat kau hendak mengasi adjaran kepada aku si orang tua?”

In Gak pun gusar. Bukan sadja nasehatnja tidak diladeni, ia pun didamprat. Maka berubahlah air mukanja.

”Bangsat tua!” katanja bengis, ”Aku suruh kau pergi, kau tidak mau pergi, ini artinja kau tjari mampus sendiri!”

”Belum tentu” sahut Tjit Sat Tjioe tertawa dingin. Dia lantas menjerang dengan kedua tangannja. Dia telah memikir, kalau serangannja gagal, hendak dia mundur. Hebat serangannja itu. Tak pertjuma dia didjuluki Tjit Sat Tjioe, Tjit Sat itu berarti Tudjuh bintang djahat’ Djadinja dia liehay tangannja (Tjioe).

In Gak pun telah bersiap. Ia menggunai Bie Lek Sin Kang.

Beda daripada lawannja, ia bergerak seperti tak nampak gerakan tangannja. Nampaknja sabar sekali ia menjambut serangan. Akan tetapi, setelah tangan kedua pihak bentrok satu dengan lain, mendadak tubuh jang besar dari Koet Sin terpental mundur, djumpalitan dua kali, terus roboh ditempat sepuluh tombak lebih. Semua orang kaget, lantas semua memburu. Mereka melihat Tjit Sat Tjioe jang demikian garang, rebah terkulai dengan mandi darah, kedua tangannja patah, napasnja empas empis. Dia lantas diangkat kawan-kawan untuk digotong pergi.

Maka disitu sekarang tinggal Pek Houw Seng koen Gouw Tie seorang. Dia memandang bentji pada In Gak, lantas dia memutar tubuhnja untuk berlompat pergi, hingga sekedjap kemudian, dia sudah berada diluar kalangan. Hingga dengan demikian tenanglah sang badai dan gelombang.

In Gak memandang orang berlalu, ia menghela napas, dengan menggendong tangan, ia mengawasi langit. Tapi segera ia dirubung orang-orang Sam Eng Piauwkiok.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar