Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 19

 
Orang tua she Kiang ini ada berpengalaman, akan tetapi satu kali ini, dugaannya kcliru. Pemuda itu, walaupun demikian rupa lagu-lagunya, dia tidak menghunjuki keceriwisan. Dia bukannya orang dari golongan rendah. Dia adalah Tan Poo Beng, keponakan Thaykek Tan. Dan dia sedang bertugas ke Hoolam, atas titahnya Tjoe Hong Teng. Memangnya dia ada teliti, sekarang dia lagi punya tugas penting, sudah tentu saja dia berlaku hati-hati luar biasa. Dia ketarik dengan tubuh tegak dari Ek Hian, yang usianya lanjut tapi masih gagah.

Ketika engkong dan cucu itu lewat di muka kamarnya, ia lihat sebelah kupingnya Hong-Keng berlobang, ia jadi heran.

Karena ini, ia man menyangka, orang tua itu ada suatu hamba negeri. Ia memang belum kenal jago Bweehoa-koen dari Pooteng itu.

Demikian, kedua pihak saling curiga-mencurigai. Malamnya, kapan cucunya sudah pulas, dengan perlahan-

lahan Ek Hian berbangkit Ia berniat selidiki si anak muda. Tapi tiba-tiba ia dengar suara apa-apa dari kamar di depannya ia. Diam-diam, ia bersenyum. Dengan cepat ia singkapkan moeilie, ia buka pintu, akan mendahuiui keluar dari kamarnya, terus hampirkan ti imtjhee. untuk loncat naik ke atas genteng. untuk sembunyi di atas genteng di atasan kamarnya si anak muda.

Menyusul itu, si anak muda celingukan di muka pintu kamar. kemudian dengan cepat ia keluar. Ia pun naik ke atas genteng, ke lain sebelah dari kamarnya Ek Hian. Di sini, tidak tempo lagi, ia cantel kaki di payon rumah, akan lepaskan diri tergantung dengan kakinya itu, akan melongok dan jendela. membclakangi Ek Hon, ia tidak tahu halnya si orang tua lagi awasi padanya. Ek Hian tertawa dalam hatinya melihat lagaknya si anak muda Lekas-lekas ia turun dari alas genteng, akan scgera memasulci kamarnya anak muda itu, yang pintunya tidak dikunci. Di terobok ada scbatang pcdang, dan saiu kantong piauw, di situ tidak ada pauwhok.

“Heran,” pikir orang tua ini. “Rupanya dia tidak bermaksud jahat. Dia toh tidak bawa pedang dan piauwnya….”‘ Lekas ia keluar pula, akan naik kembali ke genteng. Ia awasi pula si anak muda.

Justru Poo Beng menoleh ke belakang, agaknya ia terkejut, terus dia celingukan ke sekitarnya.

Ek Hian lckas-lekas tank kepalanya, laiu ia menimpukdengan sepotong batu ke dalam kamarnya si anak muda. Dia ini dengar suara itu, dia kaget, dengan lamas dia lompat tarun, akan menghampirkan kamarnya.

Gunai ketika orang berlalu, Ek Hian pun lompat turun untuk masuk dalam kamarnya sendiri. Ia lihat

Hong Keg masib tidur nyenyak, ia tidak baui asap pulas, hatinya lega.

Bila Poo Beng bekal senjata dan melakukan tindakan sembrono, bisa ia binasa di tangannya jago tua ini.

Sekarang jago tua ini berpura-pura dengan ber-pura mencari air ten. ia terbitkan suara sediktt keras hingga Poo Beng, yang dengar itu, jadi terperanjaL Pemuda ini heran sekali, tadi si orang tua tidak ada di dalam kamar, atau sekarang sudah terdengar suaranya. Karena ini, terus semalaman itu, ia tak dapat tidur pulas.

Besoknya pagi, Ek Hian kasih bangun cucunya, kemudian dengan sengaja, ia kata dengan keras: “Keng-djie. ini hari kita pergi memburu kelinci!*’

Heran Hong Keng. hingga ia tercengang.

“Engkong, bagaimana kau ada punya kegcmbiraan untuk berburu?” , tanyanya.

Engkong itu perlihatkan jarflj tangannya.

■ ’Hus, jangan tanya-tanya, kau ikut saja aku!” iajawab.

Poo Beng dengar itu, ia mcndongkol. Ia tahu, orang tua itu anggapdia ada seekor kelinci. Dalam hatinya, ia kata: “Kau tidak cari aku, aku memang hendak cari kau! Lihat saja, siapa yang nanti diburu!….”

Ia lantas saja dandan dan bayar uang hotel, terus ia keluar.

Ketika ia menoleh, ia dapat isi orang tua dengan kawannya pun sudah keluar dari ho•tel, kelihatannya mereka lkuti ia.

Pagi itu, dengan angin halus, ada nyaman, menggembirakan untuk bikin perjalanan.

Poo Beng jalan terus, sampai ia mulai menanjak di sebuah tanjakan.

la sedang jalan terus tatkala ia rasai pundaknya ada yang bentur, hingga ia terjerunuk, hampir ia jatuh. Segera ia menoleh, lalu ia lihat si orang tua sedang berdiri sambil tcrtawa dan tangannya urut-urut kumis-jenggotnya.

“Kenapa kau ganggu aku?” ia menegur, dengan gusar. “Kau ada satu anak muda, kenapa jalanmu ayal sekali?” Ek

Hian baliki. “Kau bikin aku tidak keburu tahan kakiku, hingga hampir aku kcscrimpat! Kenapa kau justru tegur aku? Justru kau yang hendak main gila sama aku! Kenapa tadi malam kau datang mengintai di kamarku?”- •’

Mukanya Poo Beng menjadi merah, bahna malu, hingga, karenanya, tak dapat ia kendalikan diri lagi. Dengan mendadak, ia menyerang, dengan tipunya “Pahouw twiesan” atau “Harirnau dan macan tutul menolak gunung”.

Jago tua itu bcrscnyum, lalu ia sedot napasnya, akan bikin dadanya melembung dan perutnya kempes, berbareng dengan itu, tangan kanannya di lapis di bawahan lengan, yang menolak tubuhnya, tangan kirinya dilonjorkan akan menyambar kuping pemuda itu.

Poo Beng terkejut, baharu segebrak, ia sudah kena dipunahkan. Lekas-lekas ia mundur, untuk ubah gerakannya. Menampak gerakan orang, Ek Hian segera mengetahui ia berhadapan dengan orang dari Kaum Thaykek-koen. Ia kagum atas ketenangan pemuda ini. Sekarang iatak pikir lagi untuk berlaku telengas, tempo Poo Beng mulai serang ia pula, ia melayani dengan sabar, hingga setelah banyak jurus, nampaknya mereka berdua bukan bertempuT hanya lagi berlatih. Poo Beng melawan terns meskipun ia merasa bahwa ia bukan tandingannya orang tua itu yang tidak dikenal.

Hong Keng menyaksikan pertempuran itu dengan merasa heran. Ia tidak mengerti kenapa engkong itu mempunyai kesempatan untuk layani si anak muda.

Sedangnya nona ini keheranan, mendadak Poo Beng lompat mundur, akan kcluar dari kalangan, tetapi setelah itu, segera ia berkata: “Lootjianpwee. aku bukan tandingan kau, aku menyerah kalah. Akan tetapi aku mohon tanya, dalam hal apa aku berbuat salah terhadap kau?”

Memang, setelah melalui tiga puluh jurus, pemuda ini dapati ia tidak sanggup menangkan orang tua itu, sebaliknya si orang tua, selama beberapa ketika baik, sudah tidak teruskan penyerangannya terhadapnya hingga ia luput dari bahaya. Karena ini ia percaya orang tua ini bukannya kaki tangan pemerintah Boan, maka tanpa malu-malu lagi, ia mengaku kalah.

Ek Hian tertawa, ia tidak menyerang lebih jauh.

“Anak muda. kau bisa mengalah, aku tak hendak desak kau,” ia kata. “Sekarang aku ingin kau jawab dua pertanyaanku. Yang pertama, kenapa tadi malam kau intai kamarku? Kedua, kau sebenamya ada murid Thaykek-pay siapa?”

Mukanya Poo Beng menjadi merah sampai ke kuping- kupingnya. ia sangsi untuk berikan jawabannya yang sebenamya. Bukankah orang tua ini ada seorang yang asing baginya? Orang tua itu mendckati, matanya bersinar. “Hal apa yang mcnyulitkan kau bicara?” ia tcgaskan. Masih Poo Beng berdiam, ia ada sangat bcrsangsi. Sedangnya orang bingung, Hong Keng mendekati.

“Aku lihat ilmu silatmu sama dcngan kepunyaannya satu sahabatku she Teng,” ia kata. “Apakah kau belajar silat dengan Teng Kiam Beng?” Ek Hian awasi cucunya, untuk cegah dia turut bicara. Akan tetapi, mendengar itu, hatinya Poo Beng menjadi lega, hingga berkuranglah keragu- raguannya.

“Apakah kau maksudkan Teng Hauw?” anak muda ini tanya. “Aku tidak beiajar silat pada ayabnya dia tetapi dia benar ada soeteeku.” Mendengar ftu, Ek Hian heran. “Kalau begitu, kau tentu ada keponakannya Thaykek Tan,” ia tanya “Kapannya Teng Hiauw telah ke Tankee-kauw??”

Ek Hian menanya demikian karena ia tahu benar, Thaykek- koen adal kepunyaannya salah satu kaum, Teng atau Tan.

“Sebenamya aku membuat malu kepada kaumku,” Poo Beng mengakui dengan likat. “Thaykek Tan adalah pamanku. Teng Hiauw datang ke Tankee-kauw sudah kira-kira setengah tahun.”

Kiang Ek Hian tertawa berkakakan.

“Kau jangan malu, kau kalah terhadap aku, itu bukan hal yang mcnurunkan derajat,” ia bilang. “Jikalau bicara tentang tingkarand ayahmu itu, apabila ia dibanding dengan aku, ia masih lebih muda satu tingkat.”

Poo Beng terperanjat, saking heran. Ia hendak minta penjelasan, atau Hong Keng dului ia.

“Jadinya Teng Hiauw ada di rumahmu, bukannya pada Gichoo-toan?” demikian si nona tanya. Pertanyaan ini membuat dua-duanya, EkHian dan Poo Beng terkejut Tidak keruan-keruan Giehoo-toan disebut-sebut. Coba di situ ada lain orang, yang punyakan kepentingan?

Maka Ek Hian segera awasi cucunya itu, kemudian ia kata pada Poo Beng: “Tan-heng, anak ini suka ngaco-belo, harap kau jangan buat tertawaan. Dia biasa anggap siapa saja ada orang-orang Giehoo-toan. Dasar bocah!”

Kembali engkong itu awasi cucunya dengan tajam, untuk cegah si cucu banyak omong lebih jauh.

Tapi Poo Beng tidak perdulikan perkatannya si orang tua. “Kiranya Lootjianpwee berdua kenal baikhal-ihwalnya Teng

Hiauw,” kata ia. “Dia belum masuk da lam Giehoo-toan. Tapi aku kenal beberapa anggota Giehoo-toan itu, umpama kata Djiewie hendak pergi kepada mereka, aku bersedia untuk menjadi perantara.”

Ek Hian tahu bagaimana hams bersikap.

“Terima kasih untuk kebaikan kau, Engko Tan Kecil,” kata ia, sikapnya keren. “Aku tidak niat pergi kepada mereka, juga aku tidak membutuhkan perantaraan kau.”

Pemuda itu tidak puas. Ia pun seperti diguyur air dingin. Hong Keng pun tidak puas, maka ia telah menjebi.

Ek Hian hendak berlaku hati-hati, dari itu, walaupun terhadap turunan Keluarga Tan, ia tidak hendak sembarang perkenalkan diri.

Poo Beng pun mengerti suasana, tapi ia ingin sekali ketahui nama or•ang.

“Aku masih belum tanya nama besar dari Lootjianpwee,” kata ia. “Apa….”

Tapi Ek Hian potong ia: “Kita bertemu secara kebetulan, tak usah aku menyebutkan nama. Engko Kecil, pergi kau lanjuti perjalananmu, kita sendiri masih hendak kembali.” Poo Beng mengerti salatan, ia manggut, lantas ia putar tubuhnya.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba EkHian memanggil. “Aku hendak minta bantuan kau dalam dua hal. Pertama-tama, tolong kau sampaikan kepada Teng Hiauw bahwa ayahnya ada sangat mengharap-harapkan dianya….”

“Oh…” Poo Beng memutus. “Dan yang kedua?”

Orang tua itu tertawa “Kau lupa barusan aku tanyakan kau dua urusan,” ia jelaskan. “Aku tanya kau, kenapa kau intai kita dan kau ada murid siapa. Kau telah jawab pertanyaan yang satu, belum yang lain.”

Biar bagaimana, Poo Beng toh mcndelu. Ia anggap Orang tua ini terlalu agulkan ketuaannya.

“Kau mendcsak, Lootjianpwee. baiklah aku menjelaskannya.” ia jawab. “Sebenarnya aku heran terhadap ini Saudara -” ia tunjuk Hong Keng. “Kenapa pada kupingnya ada tanda bekas anting-anting? Karena ingin tahu, aku pergi intip kau orang. Sekarang Lootjianpwee boleh hukum aku, aku menyerah….”

Ek Hian tercengang, tapi segera ia tertawa.

“Engko kecil, kau terlalu bercuriga!” kata dia. “Cucuku ini bertubuh lemah, aku kuatir dia tak dapat menjadi besar, sebagai kias, sedari masih kecil dia didandani sebagai orang perempuan. Keng-djie.

man, hayo kau belajar kenal dengan Saudara Tan ini. Mendengar perkataan orang itu. Poo Beng menoleh pada

Hong Keng. “Terima kasih untuk kebaikan kau, Lootjianpwce, aku tak hendak ganggu kau orang lebih lama,” kata ia, yang terus saja memutar tubuh, untuk berlalu dengan cepat. Nyata ia masih mcndongkol. Sikapnya Ek Hian ada terlalu asing baginya. Ia agaknya sungkan tolongi orang, akan sampaikan warta keluarga pada Teng Hiauw. Ia tahu kenapa Teng Hiauw kabur dan rumahnya, ia tak setujui sikapnya Kiam Beng sudah jadi kaki-tangan pcmerintah Boan. Tentang si orang tua, ia tidak percaya dia ada kaki-tangan Boan, tapi ia condong kcpada terkaan bahwa orang tua ini ada benci Giehoo-toan- Tidak pernah ia mimpikan bahwa Ketua Giehoo-toan justro ada muridnya orang tua ini!

Poo Beng malu atas pengalamannya ini, tcntang itu ia tidak pemah omongkan pada siapa juga, ia pun bungkam mengenai Teng Hiauw dicari ayahnya. Maka itu, ketika Tjoe Hong Teng cari gurunya, sampai beberapa tahun beruntun, ia masih belum pernah menemukannya. 

Sementara itu, Kiang Ek Hian ambil jalanan kembali. Hong Keng jadi heran sekali.

Engkong itu mengawasi, agaknya jamasygul.

Anak, aku tidak niat cari Tjoe Soesiokmu,” ia menyahaj kcmudian. “Aku tadinya sangka Teng Hiauw ada dalam Giehoo-toan sekarang terbukti, dugaanku itu keliru, dan itu, tak usah kita tergesa-gesa| pergi pada Giehoo-toan itu. Aku pun tidak niat cari Teng Hiauw. Dia berada sama Thaykek Tan, dalam tempo tidak beberapa tahun, dia bakal jadi seorang yang liehay. Pun, di Sana, dia tidak akan terancam bahaya. Aku telahl minta pertoloogannya keponakan dam Thaykek Tan, akan sampaikan warta itu kepada Teng Hiauw, dengan begitu, aku juga tidak menyia-nyiakan | pesannya Kiam Beng. Di samping itu, aku belum mengerti sikapnya Tjoe Soesiokmu. Kabarnya dia tclali ubSh tujuan dari menentangi pcmerintah Boan menjadi menunjangnya. Tidakkah kau lihat sendiri, sekarang sesuatu koentjiang dibuka secara umum? Itu tanda sahnya rumah perguruan silat itu. Hong Teng bernyali besar, sepak-terjangnya luar biasa, aku kuatir dia keliru bertindak, apabila itu sampai terjadi, aku pun bakal tak luput dari kesulitan….” Orang tua ini hunjuk sepak-terjang bertentangan. Mulanya ia takut ikuti Tjoe Hong Teng berontak, ia kuatir cucunya kerembet-rembet dan eclaka, tapi sekarang ia tak setuju murid itu menghamba pada Kerajaan Tjeng.j Karena kejujurannya, iajadi tidak mau memikir jauh, ia tidak kenal politic Dengan sikapnya ini, ia pun terang belum mengenai habis sifat muridnya.

Ek Hian tidak mengerti sikapnya Hong Teng, Hong Keng sebaliknya tak mendalam memikirkan itu. Nona ini melainkan gembira kalau bisa “membasmi orang asing”. Inilah sebab ja telah saksikan sendiri perbuatan-perbuatan jahat dan kcjam dari pengikut-pengikutnya agama asing, mereka itu gemar sckali mentndas rakyatjelata. Iajuga tak setujui cita-cita membantu Kerajaan Boan. Maka itu, ia tidak pikirkan lainnya, keeuali akan ikuti sang engkong, orang yang paling ia andali. Adalah engkong ini yang rawat dan didik ia. 

“Anak, aku bikin kau lelah | mengikuti aku,” sahut engkong itu. “Kita jalan memularkan H oolam, kita nanti keluar dari Tongkwan untuk menujuke Siamsay.”

Ek Hian mempunyai sahabat karib, Koan Ie Tjcng, Ketua dari Banscng-boen, yang pernah datang ke Pootcng, pada dua puluh tahun yang lalu ia sudah kembali ke Siamsay, sejak itu, mereka tidak pernah sating dengar suatu apa, mereka pun tidak pemah surat-menyurat, sekarang ia ingat sahabatnya itu, dia ingin pergi menyambanginya.

Hong Keng iringi sang engkong.

Ek Hian sudah berpengalaman dalam hal bikin perjalanan, ketika itu ada di akhir musim Tjhioe atau permulaan Musim Tang, maka itu untuk cucunya, ia belikan sebuah tudung lebar, hingga dipakainya itu bisa sekalian mengalingi kupingnya si nona. “Selanjutnya, Keng-djie, mesti kau hati-hati dengan gerak- gerikmu,” ia pesan “Jikalau kau ketemu pula Poo Beng kedua, kau nanti banyak berabc…” i

Hong Keng bersenyum untuk nasihat ho, yang ia terima dengan baik

Dcmikian engkong dan cucu ini bikin perjalanannya yang jauh. melintasi gunung dan bukit, melaWan sampokannya angin musim dingin. Makin keutara, hawa udara jadi makin meresap ke tulang-tulang. Pasir pun mengganggu mata. Hong Keng asing dengan pengaruh alarm itu, tetapi ia masih dapat melayaninya.

Mereka tcrus bertaku hati-hati; mereka toh telah jadi pemburon. Mereka sudah binasakan dua pahlawannya Soh Sian Ie dan juga dua pahlawan Boan, mengenai itu. pasti pembesar negeri di Pooteng sudah siarkan selebaran buat cari dan bekuk mereka. Syukur mereka tak pemah dicurigai orang.

Engkong dan cucunya ini mesti mcrasai penderitaan,  tatkala di akhimya mereka sampai di Siamsay, mereka kecele dan menyesal. Mereka tidak berhasil menemui Koan Ie Tjeng. Jago Banseng-boen itu sudah meninggal dunia, kedudukannya sebagai Ketua Banseng-boen telah diwariskan kepada Lauw In Eng, anak dari guru silat Lauw Tian Beng, yang terhitung tetua dalam kalangannya. Karena ini, Pusat Banseng-boen jadi dipindahkan keShoasay.

Di Siamsay ini, Ek Hian tidak punya kenalan lain, dari itu ia lak dapat bcrdiam lama-lama di situ, tetapi dia juga tidak dapat kembali ke Selatan. Sejak memasuki Siamsay, samar- samar ia merasakan ada orang atau orang-orang yang seperti menguntit mereka. Ia tidak jerih akan tetapi ia tak inginkan itu. Maka saban-saban ladan cucunya coba menghilang dari si penguntit itu.

Karena tak ingin berdiam di Siamsay dan juga tak sudi kembali ke Selatan, Ek Hian akhimya menuju ke Barat-utara. Dari Tongkwan, mereka ikuti Sungai Wie-soei terus sampai di Pookce, lalu melintasi Kota Taysan-kwan, memasuki Propinsi Kamsiok.

Mereka tetap saban-saban ambil jalan kampung atau pegunungan, ialah tempat-tempat yang sepi. Kebetulan musim dingin, hawa udara ada jauh teriebih dingin, di sebelahnya sang angin, yang meniup pasir berhamburan, juga ada gangguan salju membeku, yang merintangi perjalanan.

Penderitaan ini ada hebat bagi Hong Keng, maka.juga, baharu memasuki Propinsi Kamsiok beberapa ratus lie, sesampainya di Thiansoei, ia rubuh karena sakt. Thiansoei, atau Sungai Thian-soei, ada bahagian hulu dari Sungai Wie. Di arah timur-selatannya, ialah Gunung Bektjek-san, dahulu adalah Negara Goei Di Zaman Tong, itu ada daerah paling maju dari agama Budha, maka walaupun sudah selang beberapa ribu tahun, di sana masih ada peninggalan- peninggalan, atau sisanya, rumah-rumah berhala tua. Dan Ek Hian terpaksa mampir pada sebuah kuil tua yang tidak terawat dan sepi, di sini Hong Keng beristirahat, ia sendiri pergi nyalakan api, untuk masak air. Ia pun singkirkan salju di

dekat-dekatnya.

Setelah dapat minum air panas, kesegaran Hong Keng kembali, cuma kedua belah pipinya masih tetap merah, tanda hawa panas masih belum berlalu. Ek Hian sibuk juga.

“Kau rebah saja,” ia kata pada cucunya itu. Ia gelar bekalannya dua potong permadani dan pakaikan baju kulit kambing pada sang cucu.

Mulanya Hong Keng tidak mau beristirahat tapi sang engkong bujuki ia, malah kemudian, ia pulas sendirinya.

Ek Hian pergi ke depan, akan jalan mondar-mandir di depan pintu kuil. Ia lihat tegalan di sekitamya, yang penuh salju, yang gemerlapan antara sinar rembulan. Karena sang malam telah datang dengan cepat, hawa udara jadi semakin dingin. Dari jauh, samar-samar, ia dengar suara terompet penjaga tembok kota. Ia teringat kepada rumahnya sendiri, tanpa merasa, ia jadi terharu.

“Terang aku lagi apes…” kata ia seorang diri. “Di hari tuaku, kenapa aku tak dapat bcristirahat secara aman? Kenapa aku pun mesti bikin si Keng ikut menderita?”

“Eh, Engkong masih belum tidur?” tiba-tiba terdengar suara si nona. «Apa Engkong menontoni salju? Dengan siapa Engkong bicara?”

Nona itu telah terjaga dan merayap bangun- “Kenapa kau tidak tidur saja?” gang engkong balik

mencgur. “Kau sedang sakit, mengerti? Jangan kau tak dengar kata, nanti engkongmu berkuatir…-”

“Pikiranku pepat, Engkong! Aku dengar Engkong bicara seorang diri….”

“Setan cilik, kau dengar apa?” kata engkong itu dengan tertawa menyengir.

Sang cucu tidak perdul ikan teguran itu, iakata: “Engkong, kau tidak lagi apes. Aku Iihat, memangnya dunia tak antap seorang hidup dengan tenang-tenteram. Siapa tidak campur urusan usilan, nanti urusan usiIan datang cari sendiri padanya. Dalam urusan kecil, lihat saja buktinya denganku. Aku tidak kenal Kaum Kcluarga Soh, aku tidak punya sangkut-paut suatu apa dengan mereka, kenapa mereka justru ganggu aku? Dan dalam urusan besar, lihat Tjoe Soesiok dan kawan-kawannya. Apa mungkin mereka bukannya or•ang baik-baik? Bukankah dengan tanpa scbab mereka dicari oleh orang-orang pemerintah? Engkong, selama ini aku telah dapat  menyaksikan sendiri, rakyat jelata itu, di atas kepalanya ada pembesar negeri, disampingnya ada orang-orang asing, hingga mereka tertindih, hebatnya, mclcbihkan penderitaan kita mi! Coba pikir, di antara rakyat itu, siapa yang tak sudi hidup damai? Tapi, bisakah mereka hidup dengan tenang?” Tercengang Ek. Hian mendengar kata-katanya cucu ini, tapi, segera ia tertawa.

“Nonaku yang baik, kau nyata mengerti suasana!” berkata ia. ‘Tak dapat aku menang melawan kau bicara! Tapi, mengenai pokok pembicaraanmu ini, aku jauh lebib mengerti dari pada kau, aku telah dapat mclihat teriebih banyak pula. Manusia hidup hams sabar, apa yang masih bisa dilakoni, harus dilakoni. Aku tak dapat bekerja sebagai Hong Tcng dan rombongannya itu, untuk mengadu jiwa, hingga setiap saaf mereka mesti hadapi kejadian-kejadian yang mengagetkan dan menakuti….”

Hong Keng kerutkan alts apabila ia dengar kata-katanya engkong ini. Ia hendak berkata-kata pula ketika mendadakan:

“Keng-djie, lekas masuk! Jangan lepaskan senjata rahasiamu! Ada or•ang sedang mendatangi!….” demikian ada pemberian ingat dari engkongnya.

X

Selagi gumpalan-gumpalan mega memaindi atas udara dan bunga-bunga salju turun bcrhamburan antara tiupannya angin malam yang keras. dan kqauhan ada tcrdengar suara keiencngan kuda, yang lagi mcndatangi. Itulah usaha yang mcnyebabkan Ek Hian peringati cucu perempuannya, dia sendiri lanias berdiri menanukan seraya cekal goloknya.

Scmakin lama suara kelenengan terdcngar scmakin dckat, sampai di akhirnya, di antara salju putih yang mcnggciari bumi, tertampak sampainya beberapa penunggang kuda, yang bcrhcnti tepat di depan jago nia kita, untuk sekalian pcnunggangnya lompat turun seraya berbareng melcpaskan les kudanya masing-masing.

Tua dan muda, sama sekali Ek Hian iihat lima orang, yang bertubuh besar. Lalu orang yang menjadi kepaia, seorang dengan usia setengah tua, datang mendekati, untuk segera menegun “Kiang Kauwsoe, jauh sekali ke Barat-utara ini, kau datang, sungguh bukan suatu perjalanan gampang!” demikian suaranya itu. “Bukankah ini ada gunung belukar yang miskin? MarUah kau ikut kita orang kembali sajal”

“Siapakah kau orang?” Kiang Ek ian tanya. “Apakah maksud kau >rang maka kau orang menguntit aku sampai disini?”

tak ^ubris ajakan, orang Kj£^menegur.

Orang yang menjadi kepaia itft tertawa menyengir.

“Kiang Kauwsoe, mustahil kau tidak kenali kita?” jawab dia. “Di dalam dunia Kangouw, Samliong Djiehouwdari lima propmsi Utara toh ada punya nama, walaupun kecil…, Kiang Kauwsoe, kita lima saudara datang menyambut sendiri kepada kau, tidakkah ini ada setimpal dengan, derajat kehormatanmu?”

“Samliong Djiehouw” – Tiga Naga dan Dua Harimau Kiang Ek Hian tidak usah berpikir lama akan ingat lima

orang ini, ialah dua Keluarga Lok dan Tong. Tiga Saudara Lok ada Saypak Samliong, dan dua Saudara Tong ada Saypak Djiehouw; dulu mereka ada jago-jago Rimba Hijau, belakangan katanya menerima tjiauwan, menghamba kepada pcmcrintah Boan, tidak dinyana secara tiba-tiba begini, sekarang mereka muncul di sini. Cumalah, sekalipun ia pernah dengar orang punya nama, Ek Hian tidak tahu jelas orang punya keadaan. Maka ia terus saja berpura-pura tidak tahu.

“Oh, kiranya Saudara-saudara Lok dan Tong….” kata ia sambil manggut. “Maaf, maafkan aku, aku numpang tanya di mana saudara-saudara berkedudukan? Nanti aku si orang tua pergi bcrkunjung. Tidakkah Rimba Hijau dan Rimba Persilatan, sebagai bunga merah dan daun hijau, ada dari satu keluarga? Saudara-saudara, ada pengajaran apakah dari kau orang kepadaku”. Toako tetua dari Keluarga Lok, Lok Hoei Liong, tertawa seraya ayun carnbuk-niyungnya.

“Aku tak tahu, tua bangka she Kiang, kau sedang bcnar- bcnar atau jagi berpura-pura saja?” berkata ia. “Tetapi kita, memang sudah sejak lama, kita undurkan diri dari usaha kita. Di mana pcpatah ada mcmbi lang: ‘Bclajar ilmu kcpandaian, dijual kepada raja’, dcmikianlah kita, kendati kita bodoh, di dalam pasukan perang di Barat-utara, ada juga nama kita yang kecil. Atas titahnya Tjongtok dari Siamsay kita sengaja telah melewati tapal batas untuk undang kepadamu!”

Mendengar demikian, scpasang mata bundar dari Kiang Ek Hian terputar, lalu ia tertawa panjang.

“Maaf, maaf,” kata dia pula, “kiranya Samliong Djiehouw telah berubah menjadi, ‘Sameng Djiekian’ – gundal-gundalnya pembesar Boan! Jangan kau orang lihat saja usiaku yang lanjut tetapi aku — tulang-tulangku masih terlebih keras daripada tulang-tulangmu!”

Kata-kata “Engk ian” dari Sameng Djickian bcrarti gundal pembesar ncgcri, tidak heranjikalau, mendengar itu, lima orang itu menjadi sangat gusar. Lok Hoei Liong lompat maju seraya geraki tangannya.

“Saudara-saudara, maju!** ia berseru. “Tua bangka ini tidak sudi minum arak kehormatan, dia lebih suka tenggak arak dendam!”

Lantas sepasang cambuk-ruyungnya turun dengan Tay-san apteng” atau “Gunung Tay San menindih batok kepaia”.

Kiang Ek Hian pun gusar bukan kcpalang, maka bcrbarcng dengan berkelit, ia geraki goloknya Ganleng-too untuk balas menyerang.

Sampai di situ, scmua lima Saudara Lok dan Tong itu turun mengepung! Jago tua itu tidak banyak berpikir walaupun ia dikepung bcrlima, ia mainkan tipu-tipu dari Bweehoa-too untuk melayani semua penyerangnya.

Lima musuh ini ada kenamaan, bisa dimengerti jikalau kepandaian mereka pun berarti, di samping itu, mereka ada sangat cerdik, maka sambil mengeroyok, mereka gunai akal, ialah mengurung dengan rapat.

Belum tcrlalu lama, mendadakan ada penjahat yang berteriak: “Awas! Senjata rahasia!” Segera menyusul menyambamya barang berkeredepan. Mereka lantas pencarkan diri keempat penjuru.

Si orang tua lihat cahaya berkeredep itu, ia dengar jeritan or•ang ia terkejuL Itulah artinya, cucu perempuannya tubuh siapa sedang sakit, telah keluar untuk membantui ia! Maka itu bisa dimengerti jikalau ia jadi bcrkuatir. Maka tidak tempo lagi, ia lompat maju, untuk cegah cucu itu. Tetapi gerakannya terlambat, tak dapat ia segera tolongi sang cucu. Sebab juga musuh-musuhnya bertindak sangat cepat.

Samliong dan Djiehouw tak inginkan sang cngkong dan cucu gabungi diri. Mereka mendahului untuk memecah.

Demikian ketiga Naga, Lokkee Samliong, maju pula, untuk pcgat Kiang Ek Hian, dan kedua H arimau, Tongkee Djiehouw, lompat mcnerjang Angic Liehiap yang barusan bokong mereka dengan senjata rahasia, Tliielian-tjie.

Dalam kcadaan seperri biasa, Hong Kcng sanggup layani kedua harimau, telapi sekarang dengan tubuh lemah dan kcpala bcrat, begitu serangan yang pertama gagal, ia sudah lanias jadi sibuk sendirinya. Matanya pun seperti tak melihat dengan jelas.

Ketiga Naga mcncoba mcndesak si orang tua, mereka tak hiraukan go I ok Ganlcng-too mengancam secara hebat, masing-masing dengan ruyungnya Tjmjiat-pian, golok Poat hong-too dan tongkat Tiatkoay-thung, mereka bcrpencaran dan merangsek bcrgantian.

Sambil bertempur, Kiang Ek Hian saban-saban curt lihat cucunya, keadaaraiya si nona membikin ia kuatir dan gusar dengan berbarcng Iagusar untuk gangguan Lokkee Samliong, dan berkuatir buat terkepungnya sang cucu oleh Tongkee Djiehouw.

“Jahanam, aku nanti adu jiwaku!” atu kali Kiang Ek Hian berseru raya ia terus menyerang hebat sekali kepada ketiga musuh.

Tiga Saudara Lok, dengan semua berat, tidak jerih akan adu senjata dengan senjata, mereka melayani tetap, dengan waspada dan gesit. Mereka justru harap-harap musuh mereka gusar, supaya dia lekas lelah, karena walaupun tua, musuh mereka ini ada ulet sekali.

Dalam keadaan sengit itu, tongkatnya Lok Kim Liong bentur golok Ganleng-too, selagi begitu, Ki•ang Ek Hian teruskan ayun goloknya ke arah muka lawan dengan gerakannya “Tjayhong sieie” ataui “Burung hong buka sayap”, hingga ujung golok memain di mukanya tiga Saudara Lok itu, hingga mereka ini repot bukan main, terpaksa mereka masing-masing berdaya untuk 1 indungi ini. Mendapat ketika baik ini, jago tua itu mclanjuti serangannya dengan “Tjheeliong pabwee” atau “Naga hijau menggoyang ekor”, dari atas, golok menyambar ke bawah.

Lok Kim Liong, yang diancam, menjadi terkesiap, tak sempat ia menangkis, ia lantas loncat untuk berkelit. Dengan ini jalan ia bisa luputkan kedua kakinya dari babatan golok, akan tetapi di luar sangkaan, kakmya jago tua itu terangkat, lalu dengan satu dupakan, tubuhnya terpental, rubuh terbanting, hingga bergulingan di atas salju!

Selagi Kiang Ek Hian berhasil, golok besar dari Lok Pek Liong menyambar hebat sekali, bagaikan Gunung Tay-san turun menindih, mengarah batok kepala. Jikalau bacokan hebat itu mengenai sasarannya.-

Akan tetapi engkongnya Hong Keng lihat serangan datang, dengan sebat sekali, dia berkelit ke samping, kakinya dimajukan sedikit, kemudian sambil angkat tubuh, sebelah kakinya turut terangkat naik, melayang keras, hiflgg3 Pek Liong rubuh terpelanting sebagai saudaranya yang kedua, rebah di atas salju.

Setelah rubuhnya dua lawan ini, baharu Kiang Ek Hian bisa bernapas lega, dengan tinggalkan Hoei Liong, ia lari kepada cucunya, yang ia niat tolongi.

Lok Hoei Liong kaget melihat dua saudaranya kena dijatuhkan, tapi ia tak jerih, malah dengan gusar, ia menghalang di depan jago tua itu, guna cegah dia ini dekati si nona.

“Kau mau mampus?” berteriak Kiang Ek Hian dalam murkanya, ketika ia tcrjang penghalang itu, hingga sekarang, mau atau tidak, Hoei Liong kena didesak mundur.

Selagi sang engkong berhasil, tidak demikian dengan Hong Keng, si cucu perempuan. Nona ini telah jadi sedemikian lelah, hingga tubuhnya mulai limbung, ia mandi keringat. Ia repot bukan kepalang. Baharu bandring Lioeseng-twie dari Tong Toa Houw dikasih lewat, lalu menyambar toyanya Tong Djie Houw. Masih ia dapat perbaiki diri, malah ia bisa membalas sabetan penyerangnya yang kedua ini.

Syukur buat Tong Djie Houw, ia keburu kelit, sedang senjata engkongnya sudah menyambar pula, untuk tolongi  dia, hingga Hong Keng mesti lekas-lekas tarik pulang pedangnya, pedang Tjengkong-kiam. Apa lacur untuk nona ini. ia terlambat, pedangnya kena kebentur, keras sekali, maka selagi tenaganya telah jadi berkurang, senjata itu terlepas dari cekalan, terlempar jauh. Dalam kagetnya, si nona empos semangatnya, untuk loncat mundur, dengan pikiran menyingkir dari serangan lawan. Ia benar-benar sudah lelah sekali, tubuhnya menjadi demikian cnteng dan hiiang pcrimbangannya, hingga dalam sekejab saja, ia rubuh, tak sadar akan dirinya.

“Ha, budak perempuan, kemana kau hendak lari?’* tertawa Tong Toa Houw, yang perdengarkan ejekan nyaring. Ia terus lompat, bandringnya, yang merupakan gembolan, diayun berbarcng. Ia niat lukai si nona, untuk dibekuk, guna dijadikan tanggungan hidup… Akan tetapi, selagi ia berlompat dan suaranya belum berhenti, ia dengar jeritan di arah belakangnya serta lihat berkelebatnya satu cahaya terang, hingga ia kaget, ia terus putar tubuh sambil menangkis. Tapi walaupun bagaimana sebat ia bergerak, ia masih, berayal, pundaknya telah kena terbacok, hingga darahnya muncrat!

Menyusul itu satu bayangan putih loncat ke arah dia sambil pcrdcngarkan bentakan: “Jahanam, makan pedangku!”

Pada Ha waktu, dcngan toyanya, Tong Djie Houw maju akan nntangi bayangan purih ini.

Pada waktu itu juga, Kiang Ek Hian masih dirintangi oleh Lok Pek Liong, yang sudah lantas bcrbangkit, untuk maju lebih jauh, hingga jago tua ini bcrbiji mata merah karcna mcndongkol, dan sibuk.

Tong Djie Houw maju mcnghalang cuma bikin si bayangan mcnycrang dcngan bcruntun-runtun, mcngarah tenggorokan, pundak, dada dan kedua Icngannya, hingga Harimau yang kcdua dan Say-pak itu mcnjad i repot, hingga iaditertawai lawannya, siapa, sambil tertawa, terus kcrjakan pcdangnya untuk meminta korban! ‘ Di aniara satu suara tabasan pcdang yang tedas, darah merah muncrat, membikin salin rupa pada salju yang putih, dua potong tubuh rubuh hampir berbareng, terpisahnya ebatas batang Ieher, sang kcpala sampai bergelindingan! Tapi bayangan putih ini tak berhenti sampai di situ, habis rubuhkan Djie Houw, dia lompat terus pada Toa Houw, untuk mcnycrang terlcbih jauh, gcrakannya sangat gcsiL

Tong Toa Houw sedang kaget ketika ia lihat datangnya serangan, dcngan terpaksa ia menangkis, tetapi ia pun scgera didesak, lalu dalam kagct, ia dengar seruan: “Kau pun

serahkankepalamu!”

Mcnyusul berkelebatnya satu bayangan bagaikan kilat, kepala or-ang terpenta! jatuh, satu tubuh menyusul rubuh, hingga dengan demikian, Harimau Kesatu dari Saypak pergi susul roh adiknya ke laindunia….

Sampai di sftu, lawan yang gagah itu, yang dalani sedctik mcrubuh kan dua musuh, beriompat ke arah Kiang Ek Hian, siapa telah lihat kedatangan orang, malah ia scgera kenali, siapa orang itu, hingga, dalam kegirangan bcsar dia berteriak: “Oh, kau, Soetee!” 

**Ya, Soeheng!” menjawab orang itu, yang tak bcrhcnti sampai di situ. “Man bcrcskan dahulu ini bcbcrapa anjing!”

Dan pedangnya sudah lantas menyambar Lok Pek Liong, Naga yang Kedua dari Keluarga Lok.

Pek Liong masih mcrasakan sakit bekas tendangannya Kiang Ek Hian tadi, gerakannya tak terlalu leluasa, maka itu, berbareng kaget karena datangnya lawan baharu itu, hatinya pun telah ciut mcnampak dua kawannya rubuh saling susul, scgera ia menangkis, lalu ia beriompat, untuk menyingkir dari serangan. Akan tetapi si penycrang sepcrti sudah duga maksudnya, sctclah mcnghalau tangkisan golok Poathong-too, dia pun mcncclat akan menyusul, maka di lain saat Pek Liong perdengarkan jeritan, tubuhnya terguling, rohnya pergi kepada Raja Akhirat! Dua Harimau dari Keluarga Tong telah terbinasa, begitupun satu Naga dari Keluarga Lok, dengan begitu, di situ sekarang ketinggalan Lok Hoei Liong seorang, Naga Kesatu, siapajadi sangat sibuk dan kuatir, hingga lekas-lekas ia berlompatan mundur, akan tetapi Kiang Ek Hian tidak suka antapkan musuh yang tadi ganas luar biasa ini, lolos dia mendesak, dia menerjanghebat

Hoei Liong bikin perlawanan seru, tetapi secara kalut, hingga senjata lawannya sepcrti berkelebatan di seputar tubuhnya. Dalam keadaan terdesak itu, mendadakan ia berjongkok, akan sambarkan kaki lawannya dengan tipu tendangan “Kouwsie kianteng” atau “Pohon tua dililit rotan”.

Kiang Ek Hian berkelit dengan beriompat Scgera ia mengerti, musuh telah jadi nekat. la beriompat sambil perdengarkan seruan panjang, tubuhnya mencelat tinggi setumbak lebih, lalu dari atas, ia ayun goloknya kebawah!

Lok Hoei Liong baharu berbangkit seraya geraki cambuknya ketika ia tampak golok lawan mendahului menyambar ia, ia menjadi sangat gugup, sebab sukar untuk ia berkelit atau menangkis, malah bclum sempat ia menjerit, golok telah mengenai hebat tubuhnya yang menjadi terbelah dcngan lantas!

Kiang Ek Hian susut goloknya kepada ujung sepatunya, ketika ia menoleh pada penoiongnya, yang lagi awasi ia sambil bersenyum, ia bersenyum juga.

“Dasar sudah tua, kaki-tanganku hilang kegesitannya, aku kalah dengan kau, Soetee!” kata ia sambil tertawa.

Soetee itu hendak menyaKutieketika matany a melihat suatu apa.

“Soeheng, di sana masih ada satu .orang!” ia berseru sambil menunjuk dengan pedangnya.

Kiang Ek Hian segera menoleh dengan segera. “Oh, aku lupa!” ia berseru. “Aku tolol, babat rumput mesti berikut akarnya, dia tak boleh dikasih lolos!….”

Ia hendak lompat, untuk mengejar, atau soetee itu mencegah.

“Soeheng, kasih siauwtee saja yang wakilkan kau,” kata saudara muda ini. “Kau baik tolongi dia itu…,” Dia menunjuk pada Hong Kcng. yang masih rebah di atas salju. Ia masih bclum tahu, pemuda itu adalah satu orang perempuan, cucunya sang soeheng.

ltulah Kim Liong, yang sedang mencoba lari untuk tolongi diri sesudah ia dapatkan habis semua kawannya, sedang ia scndiri sudah tidak berdaya, ia sendirian saja dan terluka.

Kiang Ek Hian sangat kagum melihat gerakan gesit dari soeteenya, maka itu, dengan hati memuji-muji, ia hampirkan Hong Keng, siapa itu waktu sudah sadar dari pingsannya.

cuma mukanya dingin sekali- Cucu itu sudah lantas duduk di atas salju.

“Bagaimana kau rasai, Keng?” engkong ini tanya. “Apa kau terluka?”

“Tidak.tidak apa-apa, Yaya!” Hong Keng mcnyahut sambii tertawa. “Aku terpelesct hingga pingsan, scbcntar saja.

Bagaimana dengan musuh-musuh kita? Apa mcrcka sudah ha bis semua?”

Ek Hian pimpin bangun cucunya itu, yang ia terus kerebongi dengan baju luarnya sendiri.

“Dasar kau!” kaianya, menyesali.

. “Aku larang kau keluar, kau keluar juga. Coba tidak Socsiok-tjouwmu telah datang, kau tentu sudah habis”

Hong Keng hcran, ia pentang lebar kedua matanya. “Soesiok-tjouw?” tanyanya. “Soesiok-tjouw yang mana?

Mana dia Soesiok-tjouw itu?”

Sang engkong tidak lantas roenyahuti, ia hanya pasang kuping, kemudian sambii tarik sebelah tangannya sang cucu. ia menunjuk ke depan seraya berkata: “Lihat di sana, Socsiok- tjouwmu lagi mendatangil”

Hong Keng memandang ke arah yang ditunjuki. dari mana kelihatan satu bayangan hitam lari mendatangi, makadi lain saat tampaklah satu tubuh manusia yang kumis-jenggotnya panjang.

“Soeheng, syukur aku tak sia-siakan pengharapanmu, dengan Hoei-too akan berhasil membinasakan jahanam itu!” demikian kata orang yang baharu sampai itu seraya ia bersenyum.

Memang Lok Kim Liong tak sempat lari jauh atau ia telah kena dicandak, ia pun mencoba kabur dengan terpaksa, dengan melawan sakit di iganya, di mana dua buah tulangnya telah patah akibat t endangannya Kiang Ek Hian.

Ek Hian girang bukan main, karena di sebelah semua lima musuh telah terbinasa, ia pun sekarang bertemu sama soeteenya dengan siapa ia sudah berpisah tiga puluh tahun lebih.

“Keng-djie, mari kasih hormat dahulu pada Socsiok- tjouwmu!” kata ia seraya ia tarik tangan sang cucu, buat dekati adik seperguruannya itu.

Tadinya Hong Keng mengawasi I saja dengan tercengang, baharu setelah kata-kata engkongnya, ia sadar, lekas-lekas ia memberi hormat sambii Iiamdjim seraya mengucap: “Tcrima kasih untuk pertolongan Soesiok-tjouw, terimalah hormatku….”

Ek Hian lantas menambahkan pada soeteenya itu, katanya: “Soetee tentu belum pemah ketemu dia ini, cucu perempuanku satu-satunya. Setelah Tjeng Koen menutup mata, ketinggalanlah dia sendiri saja menemani aku. Maafkan dia, karena dia rubuh pingsan, tadi dia tidak lantas kasih hormat padamu.”

Orang tua itu mengawasi, lalu ia tertawa. “Oh,kiranya dia dalam penyamaran, sampai aku tidak

mengenaHnyaf?” kata ia. “Sudah, sudah, jangan pakai banyak adat-peradatan….” Tapi ia tampak si nona masih diam saja, iatambahkan: “Apa engkongmu belum pernah sebut-sebut aku kepadamu? Aku adalah sam-soetee engkongmu….”

Dia belum tutup mulutnya, atau Ek Hian telah dului padanya: “Ya, inilah To Soesiok-tjouwmu.”

Orang tua itu tertawa pula, ia kata: “Dengan engkongrnu ini, aku telah berpisah tiga puluh tahun lamanya, ketika itu, sekalipun ayahmu masih belum menikah…. Maka jangan heran jikalau kau tidak kenal aku!”

Memang juga, orang tua itu adalah To Poet Hoan, adik scperguruan yang kct iga dari Ek Hian, yang semuanya puny akan lima saudara satu guru, dan sekarang tinggal mereka berdua. Poet Hoan ccrdik dan bcrbakat, ia dapat wariskan sempuma iimu Bweehoa-koen dan pedang Bweehoa-kiam, kebetulan ci ta-citanya mul ia, ia beda daripada Iain-lain saudaranya. Ketika empat puluh tahun yang lalu ia keluar dari perguruan, itu ada saat kemunduran hebat dari Pergerakan Thaypcng, tempo ia bemiat pergi ke Thiankhia (Lamkhia atau Nanking), ibukota Kaum Thay Peng, kota itu justru terjatuh dalam tangan pemerintah Boan, hingga iajadi sangat mcnycsal. Tapi menggantikan Kaum Thay Peng ini, yang sisanya berpencaran, ada muncul Kaum “Giapkoen” yang mulanya bergerak di Propinsi-propinsi Shoatang, Kangsouw dan Anhoei, dengan kepalanya ada Loa Boen Kong dan Tan Tek Tjay, bekas panglima dari Eng-ong Tan Giok Seng dan ThaypengThiankok. Mulai dari satu pasukan kecil, setelah satu perjalanan di empat Propinsi Anhoei, Hoolam, Ouwpak dan Siamsay, pasukannya jadi tcrdiri dari sepuluh laksa jiwa, malah di TahunTong Tie keempat, di Shoatang mereka telah gempur pecah satu angkatan perang Boan, hingga Boantjioe punya pangeran yang kenamaan, Tjin-ong Kek Lim Tjim, sampai kena dibinasakan. Itu waktu. To Poet Hoan berada di Shoatang, ia lantas persatukan diri dengan gerakan rakyat itu. Ek Hian sendiri, oleh gurunya, telah diangkat jadi Ahli Waris Bweehoa-koen.

Tempo To Poet Hoan masuk dalam Giap Koen, tentara rakyat itu justru dipecah jadi dua Rombongan Timur dan Barat, Loa Boen Kong kepalai Rombongan Timur dengan kedudukan di Shoatang, Rombongan Barat dipimpin Thio Tjong le, dan Hoolam menyerang Siamsay. Di pihak Boan, Tentara Hoay dari Lie Hong Tjiang telah ditugaskan menghadapi Rombongan Timur. dan Tentara Siang dari Tjoh Tjong Tong dipcrintah menumpas Rombongan Barat Dalam saat genting itu, To Poet Hoan ikut Rombongan Barat memasuki Siamsay. Itu waktu ada Tahun Tong Tie kelima (1866).

Sejak To Poet Hoan ikuti tentara Giap Koen pergi ke Siamsay, untuk tiga puluh tahun Kiang Ek Hian tidak pernah dengar pula perihai soeteenya itu, tadinya ia sangka soetee ini terbinasa di tangannya Tjoh Tjong Tong, lalu belakangan terkabar sang soetee menyingkirke Kamsiok Barat. adalah karena pendengaran ini, sekarang ia menuju ke Kamsiok untuk sekalian dengar-dengar perihal adik seperguruan itu.

Selama tiga puluh tahun itu, sebenamya, banyak pengalamannya To Poet Hoan, secara nngkas, dapat itu dituturkan sebagai berikut:

Di dalam Propinsi Tjenghay, Kamsjok, Siamsay dan Lenghee, ada hidup bercampur orang Han dan Hwee, selama tentara Giap Koen belum memasuki Barat-utara, pemerintah Boan telah adu dombakan kedua golongan suku bangsa itu, hingga orang Hwee itu, terhadap pemerintah Boan tidak puas, terhadap orang Han, memusuhkan. Begitulah terjadi bentrokan antara kedua suku bangsa itu di See an dan Taylee dan sekitarnya, sampai ada puluhan orang Han yang rubuh sebagai korban. Tapi setelah tentara Giap Keen datangi Barat-utara, Suku Hwee diajak kerja sama hingga merupakan satu pasukan utara yang kuat, cuma sampai begitu jauh, keakuran belum merata, karena akibat racun saling curiga yang disebar oleh Tjoh Tjong Tong yang licin, yang sengaja pusatkan diri di Yauwtjioe, Siamsay.

Selama To Poet Hoan bercampuran sama orang Hwee, ia mencintai Ma Hong Kouw, satu nona Hwee yang gagah, dalam hal ini, ia ditentangi banyak orang Hwee lainnya, hingga pernikahan mereka terus tertunda, sampai kemudian, dua-dua rombongan Hwee dan Giap Koen kena dilabrak pasukannyaTjoh Tjong Tong.

Dengan kelicinannya, Tjoh Tjong Tong pun berhasil membujuk menakluk Kauwtjoe Ma Hoa Liong, Ketua dari KaumHwee Golongan Pek San Kauw, kemudian Ma Hoa Liong ditugaskan kumpuli rombongan-rombongan Hwee dari pelbagai tempat, untuk berpusat di Kimtjek-po di Siamsay Utara, setelah senjata mereka ini dirampas, mereka semua disrrang, dibunuh habis sampai tak ada seorang yang hidup. Inilah, kata Tjoh Tjong Tong, ada tindakannya yang paling memuaskan baginya.

Karena kejadian itu, orang Hwee jadi scmakin benci orang Han. Maka itu, ketika To Poet Hoan cari Hong Kouw, ia ditolak oleh bangsanya si nona. Hong Kouw tak berdaya, tapi sebagai protes, ia tak suka menikah sama lain orang.

To Poet Hoan berduka bukan main, terutama usahanya mengakuri kedua golongan bangsa, hampir ia putus asa dan nekat. Ia insyaf, gara-gara dara itu adalah bangsa Boan. Ia berdaya terus. Pernah satu kali, dengan sejumlah pasukan, ia bantu rombongan ayahnya Hong Kouw melawan pasukan Boan, tapi mereka kena dikalahkan hingga kabur ke pegunungan di Kamsiok Utara. Adalah setelah usahanya yang terakhir ini, orang Hwee tak anggap lagi dia sebagai musuh. Tapi sementara itu, Nona Ma Hong Kouw sudah terbinasa dalam peperangan, belasan tahun telah lewat. Ia niat dinikahkan dengan lain nona bangsa Hwee, ia menolak….

Sesudah kekuatan bangsa Hwee lebur, Tjoh Tjong Tong tank pulang pasukan perangnya, karena ini, sisa-sisa rombongan Hwee jadi bisa taruh kaki mereka dengan aman. Begitulah To Poet Hoan bersama rombongan bangsanya Hong Kouw, tetap tinggal bersama hidup bersama.

Tanpa mcrasa, lagi dua puluh tahun telah dikasih lewat, maka sama sekaii, tiga puluh tahun lamanya sudah To Poet Hoan tak pernah kembali ke Tionggoan, hingga pernah ia kenangi kampung halamannya sendiri, sahabat-sahabatnya, mengingat mana, ia cuma bisa menghela napas….

Penghidupan di Barat-utara ada sulit, apa pula orang-orang Hwee ini, yang mesti hidup mencil. Untuk mendapati barang- barang kebutuhan rombongannya, satu atau dua kali setahun, To Poet Hoan pergi ke Kamsiok Timur, perjalanan ada jauh dan sulit, usianya sudah mulai lanjut. tetapi ia ada punya tubuh kekar, ia sangguplakoni itu. Karena ia ada or•ang Han, ada lcluasa untuk ia belanja di dalam kota di antara saudagar- saudagar Han.

Kemudian datanglah saat yang kebetulan. Seperti biasanya, To Poet Hoan pergi kekota, untuk beli sesuatu, scsampainya ia di Thiansoei, di luar kota, ia bertemu sama Samliong Djichouw, yang lagi kaburkan kuda mereka. Melihat roman mereka, ia jadi curiga, ia menduga pada kaki-tangan Boan, yang lagi can sisa Kaum Giapkoen, maka diam-diam. Poet Hoan menguntit, terus sampai di Gunung Pektjek-san.

Demikian itu malam, ia saksikan lima orang tak dikenal itu kepung Kiang Ek Hian dan Kiang Hong Keng, maka tak sia- sialah dayanya membayangi mereka itu.

Poet Hoan ada bekal obat, ia berikan obat pada Hong Keng. “Jangan kuati r, Soeheng, besok dia akan sembuh,” Poet

Hoan menghibur apabila ia luiat, schabis minum obat, si nona terus tidur pulas dengan nyenyak.

Habis itu, soeheng dan soetee ini duduk pasang omong, mengenai segala apa sejak perpisahan mereka. Di akhirnya, Poet Hoan ajaki sang soeheng ikut ia pergi pada orang Hwee, untuk tinggal bersama-sama ia, sampai keadaan reda.

“Tempatku itu mencil dan sunyt, hidup di sana sengsara, tetapi sangat aman, bagaikanTaman Ton saja,” Poet Hoan kasih tahu.

“Aku datang ke Kamsiok ini untuk cari kau. benar-benar maksudku kesampaian,” sahut Ek Hian, “oleh karena itu, jangan kau undang, walaupun tidak, pasti aku akan pergi ke sana. Rita bukan bangsa bangsawan, apa mesti jerihkan kesengsaraan? Baiklah, aku akan ikut kau!”

Poet Hoan girang sekali.

Besoknya pagi, Hong Keng bangun dengan tubuhnya segar, sakitnya lenyap.

-Kita akan turut Soesiok-tjouwmu,” sang engkong kasih tahu.

Nona itu berdiam saja, sampai sekian lama.

“Anak yang baik, tak untuk selamanya kita akan tinggal di sana,” Ek Hian membujuk. “Kemudian kita nanti pulang kcmbali. Kau tak usah bersusah hat”

Jago tua ini hibur cucunya; di dalam hatinya, ia pun sebenarnya berduka…. Hong Keng bisa mengcrti engkongnya itu, ia berpura-pura tertawa.

“Aku tidak bersusah hati, Engkong,” kata ia. “Baiklah, man kita turut Soesiok-ijouw! Bukankah pergi Sana berarti menambah pengalarnaa? – Ya, Soesiok-tjouw, apakah namanya tempat kediamanmu

Kau tentu heran apabila kau mendengar namanya tempat itu,” sahut To Poet Hoan sambil tertawa. “Itu ada Yamtjoan- tjoe, sumber garam, akan tetapi airnya pahit. Kau tentunya tak tahu, semakin jauh ke Barat-utara, semakin sukar rnencari sumber air. Kalau di sana kedapatan sumur, tak perduli airnya manis atauj pahit, orang akan pandang itu sebagai sumber air penawar saja. Di dekat-dekat Yamtjoan-tjoe ini masih ada nama-nama tempat luar biasa lainnya seperti Malian-tjoe, Yam-soei dan Kongpo-tjoan. Yang paling anehj adalah Tiauwtiauw-soei, sebab namaj “tiauwtiauw” itu disamakan dcngan “tik tik”, ialah suara menetesnya air. Karena keluarnya airpun menetes, setetes demi setetes….”

“Oh, begitu?” tegasi Hong Keng dengan keheranan.

“Benar, Nona!” Poet Hoan tertawa. “Jangan kuatir tinggal di sana, sebab selama dua puluh tahun ini kita sudah punyakan sumur dan telah bercocok tanam juga. Bcbcrapa sumur kita telah gali, untuk kumpulkan salju di musim Dingin, untuk airnya nanti dipakai di musim Tjocn dan Panas. Kau hams kctahui, di mana ada manusia, di situ ada daya, dan semakin banyak jumlahnya manusia, semakin gampang kita berdaya!”

Nona Kiang tertawa.

“Jikalau begitu, tentunya Tjoe Soesiok pun bisa berdaya!” kata ia. “Orangnya makin hari makin bertambah!”

Poet Hoan heran.

“Kau sebut Tjoe Soesiok – Tjoe Soesiok yang mana?” ia tanya. Ek Hian tuturkan tentang Tjoe HongTeng dari Giehoo-toan.

Poet Hoan kurang puas mendengar Giehoo-toan bertujuan “Hoetjeng Biatyang” - membantu bangsa Boan menumpas bangsa asing. Ia sudah saksikan sendiri bagaimana tentara Boantjioc menindas orang Han dan Hwee. Ia belum kenal siapa adanya Tjoe Hong Teng itu, yang lagi mainkan siasat, dari itu, ia kurang percaya walaupun ada penjelasannya Ek Hian. Ia mau percaya, soeheng ini lagi menangi muridnya.

Hanya ia merasa aneh, kenapa pemerintah Boan lagi cari Tjoe Hong Teng, untuk ditawan dan disingkirkan. Karena ini, selanjutnya ia membungkam.

Demikian tiga orang ini, sambil bicara, mulai dengan perjalanannya ke tapal batas, Cuma selang beberapa hari, mereka sudah sampai di Yamtjoan-tjoe. Orang-orang Hwee girang menampak kembalinya mereka, terutama akan dcngar orang tua itu ada sochengnya Poet Hoan dan si nona pun gagah. Sejumlah nona Hwee lantas saja bicara dcngan asyik dengan Hong Keng.

Ek Hian girang melihat ramah-tamahnya orang-orang Hwee itu, karenanya, ia jadi betah berdiam bersama mereka.

Pada mulanya, jumlah penduduk Hwee ini tidak ada tiga ratus jiwa, tapi selang dua puluh tahun, sekarang jumlah itu meningkat jadi lima ratus, dengan begitu, tempat mereka telah merupakan satu kampung.

Tanpa merasa, empat tahun sudah sejak Ek Hian berdiam di Yamtjoan-tjoe, apa yang sekarang ia pikirkan adalah jodohnya Hong Keng, yang sudah berusra dua puluh dua tahun. Ia tak tahu, selama itu, Giehoo-toan sudah melar ke utara, malah di Kamsiok Timur, sudah ada gerakan itu. Hanya berbareng dengan itu, pemerintah Boan pun keras kcinginan ny a akan menumpas gerakan kebangsaan Han ini, melainkan dia belum berani lancang turun tangan, hingga untuk sementara Giehoo-toan masih dianggap sah dan hendak dipakai tenaganya guna-hadapi bangsa asing. Ketika Kaisar Kong Sie tahun ke-25 (1899) kebanyakan penduduk Shoatang telah memasuki Giehoo-toan, hingga pengaruh Giehoo-toan di sana jadi sangat besar, justru itu, timbullah bentrokan di antara mereka dengan penduduk yang mcnganut agama baru, yang sclalu dimanja-manja oleh pendeta-pendetanya, Di matanya rombongan pendeta itu, Giehoo-toan adalah pemberontak-pemberontak.dan mereka anjuri pengikut-pengikumya untuk berikan perlawanan. Tidak demikian saja, sekali an ambassador asing. dikepalai oleh Ambassador Amerika, sudah paksa pemerintah Boan tukar Soenboe dari Shoatang, Yok Hian, dengan Wan Sic Kay, penjagal terlebih besar.

Wan Sie Kay im, pemimpin golongan penjilat asing, ada punya tentara “privee” yang berjumlah bcsar dan kuat. Begitu ia masuk ke Shoatang, lantas Giehoo-toan tcrbcnam dalam lautan darah. Scgera dia kcluarkan dclapan aiuran mclarang Gichoo-toan, antaranya siapa bclajar silat dan setujui Giehoo- toan, tak ampun lagi, akan dihukum man”. Maka juga, ia ditentang oleh Giehoo-toan di Shoatang.

Aksi memusuhi Giehoo-toan dari pemerintah Boan terus menjalar, sampai di beberapa propinsi di Barat, Propinsi Kamsiok tak terkecuali.

“Poet Hoan sering pergi belanja ke Kamsiok Timur. Ia dengar tentang aksi pemerintah Boan itu, iapun lihat bagaimana di sana-sini ada tempat-tempat pemujaan koentjiang Kaum Gichoo-toan, yang asap hionya mengepul bergulung-gulung, dan ia tampak juga orang-orang Giehoo- toan dengan dandanannya yang mcncolok, kepala dilibat pelangi kuning dan diiilit angkin merah, yang biasa mondar- mandir di jalan besar. la dengar cerita hal bentrokan telah terjadi di Shoatang di antara pihak pemerintah Boan dan Giehoo-toan, tahu di Kamsiok bakal dilakukan penangkapan besar-besaran. Penduduk Kamsiok Timur bingung karena segala warta itu tetapi orang-orang Giehoo-toan tetap tenang, tak sedikit pun mereka jerih.

Pada suatu hari sekembalinya dari Yamtjoan-tjoe, To Poet Hoan membawa kabar itu kepada Kiang Ek Hian. Mereka bergembira, mereka merasa gelap…. Ek Hian kagum untuk.. Tjoe Hong Teng, yang benar ada satu laki-laki sejati, jadi tak salah penglihatannya. Ia pikiri, ia akan I tcrluput atau tidak dari gerakan pembersihan pihak pemerintah itu. To Poet Hoan telah terbangun scmangatnya, ia ingin turun tangan, tetapi ia ingin kctahui lebih tegas ; sepak-terjangnya Giehoo- toan.

Kapan penduduk Hwee dibcritahukan pcrihal aksi pemerintah Boan, sendirinya mereka merasa tidak tentcram, lantas mereka bcrsiap-siap, mereka minta To Poet Hoan sering-sering scrcpi kabar.

Pada akhir tahun, seperti biasa, Poet Hoan berangkat ke Kamsiok Timur. Ek Hian tidak turut, ia berdiam di Yamtjoan- tjoe, bersama cucunya, ia membantu melakukan penjagaan.

Pada suatu malam, selagi salju turun secara hebat, hingga segala apa tertampak bagaikan kumala berkilauan, Kiang Ek Hian keluar untuk mcronda. Ia lihat rembulan ada indah, bintang-bintang berkelap-kelip. Diam-diam ia kenangi, empat tahun sudah ia bcrdiam di daerah perbatasan ini….

Jago tua ini meronda terus sampai dari jauh-jaub, ia dengar suatu suara. Segera ia sembunyi seraya memasang mata. Ia segera tampak satu bayangan mendatangi dengan cepat, memasuki kampung, loncat naik atas sebuah rumah. Tidak ayal lagi, ia muncul, untuk menyusul, akan mendekati.

“He, kau siapa?” ia lantas menegur. “Inilah kampung miskin, yang tak ada harganya untuk dikunjungi!”

Orang itu memutar tubuh kapan ia dipergoki, akan tetapi ia tak jerih, sebaliknya ia tertawa. “Ya, kampung miskin!” katanya. “Tapi ada luar biasa, di sini ada naga bersembunyi, ada harimau mendekam!”

Ek Hian awasi orang itu, yang berusia empat puluh Icbih, sikapnya gagah, dandanannya pakaian malam, di pinggiran tubuhnya ada terkempit kantong senjata rahasia.

“Malam-malam kau datangi kampung kita, apa maksudnya?” ia tanya. Ia tidak bisa pastikan, orang bcrmaksud buruk atau baik.

Dengan lagaknya yang angkuh, orang itu tidak menyahuti.

Sebaliknya, ia tanya: “Apa aku boleh ketahuishe dan namamu?”

Orang tua itu tertawa secara dingin.

“Kita ada rakyat gunung, nama apa kita ada punya?” jawab

ia.

Hanya umpama kata kau berniat melakukan apa di sini, kita

masih punyakan orang yang nanti sambut padamu!” Orang angkuh itu tertawa berkakakan.

“Apa benar demikian?” ia menegaskan. “Jikalau tuanmu jerih, tidak nanti dia datang kemari! Malam ini aku memang bernijat melihat-lihat kampungmu ini.”

Lantas dia mencelat sampai tiga-empat tumbak jauhnya, dengan tidak gubris pula si orang tua mi, ia berlari-lari kesebelah dalam kampung.

Kiang Ek Hian gusar sekali atas pcrlakuan itu, selagi iahendak iompat, Untuk menyusul, mendadakan ada berkelebat cahaya merah di sebelah depan ia, yang memegat orang itu, hingga ia terperanjat. Karena ia kenali cucu perempuannya, yang kerebongi diri dengan mantel merah yang lebar dan tangannya mencekal pedang!

Orang itu tidak maju terus, ia berdiri diam, mengasih ketika kepada dirinya untuk dikepung oleh itu cucu dan engkongnya. “Ah, kiranya masih ada orang perempuan yang liehay!” berkata ia seraya ia pandang si nona dengan tajam.

Hong Keng ada bertabiat aseran, tidak sesabar engkongnya, atas itu sindiran, segera saja ia loncat maju dengan tikamannya kepada dada orang.

Orang yang diserang bertubuh sangat gesit, sebenarnya ia ada menggendol golok di bebokongnya, ia sudah tidak hunus itu, hanya ia paksa pemerintah Boan tukar Soenboe dari Shoatang, Yok Hian, dengan Wan Sie Kay, penjagal terlebih besar.

Wan Sie Kay ini, pemimpin golongan pcnjilat asing, ada punya tentara “privee” yang berjumlah bcsar dan kuat. Begitu ia masuk ke Shoatang, lamas Giehoo-toan tcrbcnam dalam lautan darah. Segcra dia keluarkan dclapan aturan meiarang Giehoo-toan, antaranya siapa bciajar silat dan sctujui Giehoo- toan, tak ampun lagi, akan dihukum mati. Maka juga, ia dittentang oleh Giehoo-toan di Shoatang.

Aksi mcmusuhi Giehoo-toan dari pemerintah Boan terus menjalar, sampai di beberapa propinsi di Barat-utara, Propinsi Kamsiok tak terkecuali.

To Poet Hoan sering pergi belanja ke Kamsiok Timur, ia dengar tentang aksi pemerintah Boan itu, ia pun lihat bagaimana di sana-sini ada tempat-tempat pemujaan koentjiang Kaum Giehoo-toan, yang asap hionya mengepui bergulung-gulung, dan ia tampak juga orang-orang Giehoo- toan dengan dandanannya yang mcncolok, iaiah kepala dilibat pelangi kuning dan pinggang diliiit angkin merah, yang biasa mondar-mandir di jalan besar.

Ia dengar cerita hai bentrokan telah terjadi di Shoatang di antara pihak pemerintah Boan dan Giehoo-toan, bahwa di Kamsiok bakal diiakukan penangkapan besar-besaran. Penduduk Kamsiok Timur bingung karena segala warta itu tetapi orang-orang Giehoo-toan tetap tenang, tak sedikit pun mereka jerih.

Pada suatu hari sekembalinya dari Yamtjoan-tjoe, To Poet Hoan membawa kabar itu kepada Kiang Ek Hian. Mereka bergembira, mereka merasa lega… Ek Hian kagum untuk Tjoe Hong Teng, yang benar ada satu laki-laki sejati, jadi tak salah penglihatannya. Ia pikiri, ia akan terluput atau tidak dari gerakan pembersihan pihak pemerintah itu. To Poet Hoan telah terbangun semangatnya, ia ingin turun tangan, tetapi ia ingin ketahui lebih tegas sepak-terjangnya Giehoo-toan.

Kapan penduduk Hwee diberitahukan perihal aksi pemerintah Boan, sendiri nya mereka mcrasa tidak tenteram, Ian t as mereka bersiap-siap, mereka minta To Poet Hoan sering-sering serapi kabar.

Pada akhir tahun, sepcrti biasa, Poet Hoan berangkat ke Kamsiok Timur. Ek Hian tidak turut, ia bcrdiam di Yamtjoan- tjoe, bersama cucunya, ia membantu melakukan penjagaan.

Pada suatu malam, sclagi salju turun sccara hebat, hingga segala apa tertampak bagaikan kumaia berkilauan, Kiang Ek Hian kcluar untuk meronda. la lihat rembulan ada indah, bintang-bintang berkceak-kelik. Diam-diam ia kenangi, empat tahun sudah ia berdiam di daerah perbatasan ini….

Jago tua ini meronda terus sampai dari jauh-jauh, ia dengar suatu suara. Segera ia sembunyi seraya memasang mata. Ia segera tampak satu bayangan mendatangi dengan cepat, memasuki kampung, loncat nark atas sebuah rumah. Tidak ayal lagi, ia muncul, untuk menyusul, akan mendekati.

“He, kau siapa?” ia lantas menegur. “Inilah kampung miskin, yang tak ada harganya untuk dikunjungi! “

Orang itu memutar tubuh kapan ia dipergoki, akan tetapi ia tak jcrih, sebaliknya ia tertawa. “Ya, kampung miskin!” katanya. “Tapi ada luar biasa, di sini ada naga bersembunyi, ada hari man mendekam!”

Ek Hian awasi orang itu, yang berusia empat puluh lebih, sikapnya gagah, dandanannya pakaian malam, di pinggiran tubuhnya ada terkempit kantong senjata rahasia.

“Malam-malam kau datangi kampung kita, apa maksudnya?” ia tanya. Ia tidak bisa pastikan, orang bcrmaksud buruk atau baik.

Dengan lagaknya yang angkuh, orang itu tidak menyahuti.

Sebaliknya, ia tanya: “Apa aku boleh ketahui she dan namamu?”

Orang tua itu tertawa secara dingin.

“Kita ada rakyat gunung, nama apa kita ada punya?” jawab ia. “Hanya umpama kata kau berniat melakukan apa di sini, kita masih punyakan orang yang nanti sambut padamu!”

Orang angkuh itu tertawa berkakakan.

“Apa benar demikian” ia menegaskan. “Jikalau-tuanmu jerih tidak nanti dia datang kemari! Malam mi aku memang berniat melihat-lihat kampungmu ini!”

Lantas dia mencelat sampai tiga-empat tumbak jauhnya, dengan tidak gubris pula si orang tua ini, iaberlari-lari ke sebelah dalam kampung.

Kiang Ek Hian gusar sekali atas periakuan itu, selagi ia hendak lompat, untuk menyusul, mendadakan ada berkelebat cahaya merah di sebelah depan ia, yang memegat orang itu, hingga ia terperanjat. Karena ia kenali cucu perempuannya, yang kerebongi diri dengan mantel merah yang lebar dan tangan nya mencekal pedang!

Orang itu tidak maju terus, ia bcrdiri diam, mengasih ketika kepada d i ri nya untuk d ikepung oleh itu cucu dan cngkongnya “Ah, kiranya masih ada orang perempuan yang liehay!” berkata ia seraya ia pandang si nona dengan tajam.

Hong Keng ada bertabiat aseran, tidak sesabar engkongnya, atas ini sindiran, segera saja ia loncat maju dengan tikamannya kepada dada or•ang.

Orang yang diserang bertubuh sangat gesit, sebenarnya ia ada menggendol golokdi bebokongnya, ia sudah tidak hunus itu, hanya ia menggeser tubuh, untuk berkclit, sesudah mana, ia ulur sebelah tangannya sambil maju, menyusul mana, sebelah kakinya tabu-tahu terangkat naik dalam rupa satu sambaran hebat!

Mukanya Hong Keng merah sendirinya saking jengah karena or•ang perdayakan ia, karena mi dengan scngu ia membabat, akan bikin sapat kaki orang!

Orang ifu mencelat mundur sambil jumpalitan. !tu ada gerakan dari suatu ilmu enteng tubuh yang liehay sekali.

“Jangan kau orang bertingkah galak!” bcrkata ia seraya ia putar tubuhnya. “Lain hari tuan besarmu bakal datang puia kemari!”

Habis itu, ia putar tubuh puia, sekali ini untuk kabur keluar kampung.

Hong Keng gusar, ia penasaran, ia hendak mengejar. “Jangan” mencegah Kiang Ek Hian

Jago tua ini diam saja sadari tadi, untuk menyaksikan. Apa puia selama orang layani cucunya dengan tangan kosong, ia malu untuk turun tangan. Dcngan begitu pun ia jadi bisa saksikan jelas kepandaiannya orang itu. Ia pun tidak mau mengejar, kesatu ia belum kenal orang itu. kedua ia kuatir nanti kena dipancing. “Jangan omong hal ini kepada siapa juga,” tapesan cucunya. “Turut pengiihatanku, orang barusan datang bukan dengan maksud baik. Dia juga

ada bcrkepandaian tinggi, kepalanya ada besar. Aku harap saja dia bukan gundalnya pemerintah Boan. Kita mesti cegah orang kampung berkuatir tidak kcruan.”

Ek Hian bersikap sangat tenang, akan tetapi, di dalam hatinya, ia bcrpikir keras. Jauh ia pergi, untuk mcnyi ngkir, toh masih ada orang yang) bayang-bayangi dia.

Hong Keng turut itu engkong, ia tutup mulut. Sebaliknya, dengan diam-diam, cucu dan engkong ini terns bikin penjagaan. Tigamalam berturut-turut mereka sudah memasang mata, tidak ada tcrjadi suatu apa, orang tidak dikenal itu tidak datang puia.

Pada malam keempat, sedangnya ia Iclah dan duduk bcrscmedhi, hampir saja ia kepulasan, tiba-tiba Kiang Ek Hian dengar satu suara perlahan di atas wuwungan rumahnya, mirip seperti jatuhnya daun rontok tcrtiup angin. Lantas saja ia ngocch sendirinya: “Dasar sudah tua, hati pun jadi tak seperti di masa muda, mendengar burung terbang lewat, disangka orang saja, hingga buat satu malam aku tidak bisa tidur….”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar