Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 15

 
Niekouw tua itu menghampirinya sambil berkata. “Kamu sekalian bertarung di atas Gunung Seegak ini, apakah kamu tidak kuatir itu nanti merusak keindahan gunung ini? Baiklah kamu kedua pihak segera berhentikan pertempuranmu ini. Pinnie ada seorang beribadat, dari itu pinnie tidak mau memusingi di antara kamu siapa yang benar, siapa yang salah.”

Pada saat itu juga, Soekong Tjiauw sudah sangat terancam oleh kedua musuhnya, akan tetapi kapan kupingnya dengar suara mengaung itu, hatinya jadi girang dengan tiba-tiba. Dia kenal baik suara itu. Dia ada muridnya Hoei Beng Sintjeng, pendeta suci di perbatasan, dan Sim Djie itu adalah soetjienya. Bedanya adalah sang niekouw menjadi murid sepuluh tahun lebih dahulu daripadanya, dan kepandaiannya jauh melebihkan diajuga Sang guru kesohor gagah dan mu I ia, maka dari itu, orang sebut dia “sintjeng”, seperti Sim Djie dipanggil “sinnie”. Dengan kebutannya, Sim Djie pandai menotok jalan darah, sedang piauw Bouwnie-tjoenya, ada liehay sekali, suaranya mengaung.

Hatinya Soekong Tjiauw menjadi besar, dengan tiba-tiba saja ia desak Tang Siauw Tong, yang ada lebih lemah daripada See Beng Wan, kapan musuh ini berkelit mundur, segera ia gunai ketika akan loncat keluar dari kepungan, untuk lari ke arah si pendeta wanita. Itu waktu, Sim Djie sudah bicara terlebih jauh dengan Pek Tjeng It, yang masih tercengang, ia mendesak agar dia ini meletaki senjatanya dang angkat kaki dari gunung itu.

Desakan ini membuat Pek Tjeng It jadi nekat, dari jerih, ia jadi berani. Ia merasa dirinya gagah, dengan niekouw itu ta belum pernah bertempur, ia cuma pernah dengar nama besarnya, sekarang ia mempunyai kawan-kawan kosen, ia anggap, apa perlunya ia

takut. Adalah ketika ia hendak bikin pcrlawanan, ia tampak Soekong Tjiauw lari ke arah ia dengan dua kawannya Tang Siauw Tong dan See Beng Wan sedang mengejar.

Soekong Tjiauw telah lantas datang dekat, ia lari dengan awasi soetjienya, dari itu ia dapat lihat or•ang gcraki kebutannya, yang mana ada satu tanda rahasia untuk ia tidak segera kenalkan soctjie itu, maka ia lantas bcrpura-pura tidak kenal entjiej seperguruan itu. Scbaliknya dari hampirkan terus sang soetjie, dia terusi lari kepada Poei Hok Han, puntung toyanya ia lemparkan di tengah jalan.

Pada waktu itu, Hok Han sudah tidak berlari-lan lagi, hanya bersama muridnya, ia berdiri diam dengan napas scngal- scngal. Ia ada sahabat karib dari Soekong Tjiauw tetapi ia tidak tahu, sahabat ini ada soetee dari Sim Djie Sinnie.

Pek Tjeng It sudah lantas bcrkumpul dengan bersama dua kawannya. Pasti sekali mereka ada sangat mendongkol. Sudah tiga kali mereka satroni Gunung Hoa-san, sekarang maksud mereka bakal tercapai tetapi mendadakan ada or•ang yang rintangi mereka

See Beng Wan, dengan gcmbolannya di depan dada, tertawa dingin.

“Niekouw tua, kau takabur sekali!” kata ia, yang awasi pendeta wanita itu. “Kau ada punya hak apa untuk campur tabu urusan kita yang lagi melakukan firman untuk membekuk pemberontak?” Kemudian ia menoleh pada dua kawannya, untuk tambahkan: “Kitajangan perdu! ikan dia! Lckas bekuk si pemberontak!”

Sim Djie tidak tunggu sampai or-ang mulai bergerak, ia awasi mereka bcrtiga, ia angkat kebutannya

“Siapa juga kau orang hcndak tawan, kau orang ada mcrdcka untuk lakukan ini!” kata ia sambil tertawa dingm juga. “Akan tctapi untuk itu, lcbih dahulu kau orang mcsti lewati kebutanku mi!”

Ia maju. akan menghalangdi antara mereka dan Soekong Tjiauw dan kawan-kawannya.

V

Tang Siauw Tong bertiga jadi gusar sekali. “Jadinya kau hendak campur tahu urusan kita ini?”

tegaskan See Beng Wan seraya ia ulapkan gembolannya. “Kau boleh gertak lain orang, lain or•ang boleh jerih terhadapmu, kita tidak. Aku justru ingin coba-coba kau!”

Tjianlie Twiehong segera pasang kuda-kudanya, untuk menantikan serangan.

“Kau orang ada orang-orang gagah, pinnie girangdapat menemui kau or•ang!” kata Sim Djie sambil tertawa tawar. “Pinnie sudah bilang, tak dapat

kau orang berkelahi di sini, siapa tidak puas. dia boleh maju. sekarang kau orang ingin bclajar kenal, baik. pinnie bcrscdia untuk menemaninya. Kau orang bcrtiga, tak sempat pinnie akan layani kau orang satu demi satu, dari itu, silakan kau orang maju berbareng saja, agar pinnie tidak berabe lagi!”

See Beng Wan melirik, karena kcjumavvaan orang itu. “Oh, niekouw yang baik!” kata ia, yang mendongkol bukan

main. “Scndirian saja kau hendak layani kita bcrtiga? Kau

terlaiu menghina kita! As’al kau sanggup rubuhkan aku seorang, maka dua kawan, atau kita tiga saudara, pasti suka turut segala titahmu!”

“Dua orang bertempur berhadapan ada sangat tidak menarik hati,” pendcta wanita itu bilang. “Jikalau satu saja kurang dari kau orang bcrtiga, pinnie tidak bersedia untuk melayaninya! Akur? Hayo majuij Jikalau tidak, pergilah kau orang kabur turun gunung! Pinnie sudah berusia lanjut, akan tctapi untuk layani baharu kau orang bcrtiga, masih belum ada artinya! Bagaimana? Jika tetap kau orang masih tidak hendak maju, jangan nanti scsalkan pinnie tidak sungkan-sungkan!”

See Beng Wan bcrtiga jadi meluap hawa amarahnya. “Baik! Karena kau yang menghendaki, kita nanti

mengiringinya! Silakan!”

Sim Djie tidak tunggu sampai orang tutup mulut atau kebutan sudah bergerak terhadap si orang she See, untuk mana, tubuhnya mencelat maju.

See Beng Wan tahu musuh ada liehay, ia menggeser tubuh dengan gerakan “Poanliong djiauwpou” atau “Naga melingkar memutar kaki”, ia pindahkan kaki kiri ke kiri, lalu selagi tangan kanan menangkis, tangan kirinya menyerang. Sepasang gembolannya dikasih bekerja dengan berbareng. Ia menangkis berbareng menyerang.

Sim Djie berlaku sangat gesit, begitu lekas serangannya tidak memberikan hasil, tidak tunggu sampai lengannya kena dihajar, ia tarik pulang itu, kakinya bergerak, hingga ia bisa dekati Pek Tjeng It, siapa terus ia serang. Ia mencari jalan darah “Kwan-goan-hiat”, sambil menyerang, ia tertawa dingin.

Pek Tjeng It berkelit ke kanan, dari situ ia balas menyerang dengan Djoan-piannya. Ia arah kedua kakinya si pendeta wanita dengan serangan “Gioktay bekyauw” atau “Angkin kumal a mcl ibat pinggang”. Sim Djie tank pulang kebutannya sambil ia berlompat tinggi, selagi Pek Tjeng It hendak bangun berdiri, untuk susuli serangannya, ia sudah turun ke depannya Tang Siauw Tong dalam gerakan “Tjieyang liangpo” atau “Burung walet menyambar gelombang”. Benar sebagai burung saja, dia serang lawannya ini.

Di mana orang turun dari atas, Tang Siauw Tong menangkis dengan geraki goloknya Ganleng-too ke atas; tapi kebutannya Sim Djie terus saja melilit, tidak pcrdul i golok itu tajam bagaikan mcstika. Ia mengendap, ia mencoba menarik pulang goloknya itu. Nyata ia kalah gesit, si pendeta wanita sudah dului ia membctot, hingga iarasai sakit pada telapakan tangannya. Syukur untuk ia, Pek Tjeng It yang berdiri di dekatnya, sudah serang Sim Djie, hingga niekouw ini mcsti lolosi libatan kebutannya dan berkelit. Ia luput dari bahaya tctapi tubuhnya limbung, ia mundur beberapa tindak, baharu ia bisa berdiri tegak.

Sim Djie tidak berhenti sampai di situ, lagi ia maju, akan serang tiga lawan itu, dengan bergantian, untuk tidak beri kesempatan untuk mereka kurung padanya. Selagi angin meniup-niup, kebutannya juga perdengarkan suara, karena kebutan ini digeraki sebagai pedang Ngoheng-kiam dan dimainkan dalam ilmu pedang Tat Mo-kiam yang terdiri dari seratus delapan jurus, yang kadang-kadang dicampur dengan totokan-totokan kepada jalan darah. Ia ada tenang sekali, tapi gerakan tubuhnya sangat gesit, gerak-gerakan tangannya sangat sebat. Coba ketiga musuh bukannya orang-orang liehay, pasti siang-siang mereka sudah tak berdaya.

Poei Hok Han bersama-sama Siangkoan Kin menyaksikan dengan tercengang pertandingan itu. Tadi mereka sudah dibikin kagum dengan perlawanannya Soekong Tjiauw terhadap tiga musuh itu, sekarang mereka saksikan kepandaian yang jauh terlebih liehay. Pengalaman mereka ini mirip dengan orang yang untuk pertama kali mendaki Gunung Seegak Hoa-san.

Melihat Puncak Tjiauwyang-hong, orang anggap itu adalah puncak tertinggi dari Hoa-san, karena ujung puncak sudah menempel sama awan.

Kapan orang sudah panjat puncak ini, orang lantas lihat Puncak Gioklie-hong lebih tinggi di depannya. Di depan Gi ok he-hong ini ada lagi Puncak Lianhoa-hong yang terlebih tinggi pula. Demikian juga ilmu silat, tidak ada ujung pangkalnya, siapa yang lebih yak in dan ulet, dia yang terlebih liehay.

Tiga-tiga senjatanya rombongan dari Tang Siauw Tong pun ada menerbitkan sambaran angin yang keras. Ganleng-too berkeredepan bagaikan ular perak, Djoan-pian bergerak-gerak seperti naga mumbul di udara, dan gembolannya See Beng Wan berkilauan antara sinar matahari.

Hebat adalah kapan datang saatnya Sim Djie kena dikurung, hingga ia seperti tak tertapak tubuhnya.

“Bagaimana Saudara Soekong?” akhirnya Poei Hok Han tanya sahabat karibnya itu. MApa perlu kita maju untuk membantui? Aku kuatir niekouw tua itu tidak sanggup lawan lebih lama tiga orang jahat itu…”

Soekong Tjiauw bersenyum sikapnya. seperti biasa, sangat tenang. “Jangan sibuk, jangan khawatir kata ia. “Apakah kau tidak Hhat, dia sekarang sudah jadi terlebih unggul?” Hok Han mengawasi, tetapi, di ma tanya. pertempuran masih sama seperti tadi, Sim Djie masih terkurung, tubuh mereka berempat bergerak-gerak bagaikan bayangan saja.

“Apakah benar dia terlebih unggul?” akhirnya ia tegaskan. “Kenapa tidak?” Soekong Tjiauw baliiki. “Segera tiga orang

itu tak dapat bertahan lagi. Lihat saja, lagi sebentar kau akan

dapat menyaksikannya.” Sambil mengucapkan demikian, Soekong Tjiauw pandang sahabatnya, kepala siapa masih berkeringatan, sikapnya tegang sekali.

“Apakah Saudara tidak ketahui siapa pendeta wanita ini?” ia tanya. “Ia ada Sim Djie Sinnie yang kenamaan dalam dunia Kangouw.”

“Aku tahu dia ada Sim Djie Sinnie akan tetapi tiga lawannya semua liehay…” Hok Han bilang. Soekong Tjiauw tertawa. “Kau belum pernah saksikan Sinnie bertempur, tidak jikalau kau jadi sibuk sendiri,” ia kata. “Mereka bertiga memang liehay, tapi apabila satu lawan satu, satu per satu dari mereka, aku sanggup pukul rubuh. Mereka bisa kepung aku tadi  karena mereka bertiga. Sim Djie Sinnie ada jauh terlebih liehay daripada aku, pasti dia sanggup lawan mereka itu….”

Soekong Tjiauw baharu tutup mulutnya atau ia berseru: “Lihat!”

Hok Han segera menoleh kepada orang-orang yang lagi bertempur, baharu sekejap, kalau tadi ia Hhat si niekouw terkurung, sekarang tcrtampak nyata tubuhnya dia itu. Beng Wan bertiga, terpecah ke tiga jurusan, telah mulai mundur, tetapi bukannya untuk angkat kaki; sesudah pisahkan diri, tak mengurung rapat lagi, mereka silih berganti bergerak ke kiri dan kanan, depan dan belakang. Dan Sim Djie, sesudah tidak dikurung rapat lagi — anehnya! — sudah lantas berdiri diam di tcngah-tengah mereka, sikapnya tenang sekali.

Hok Han jadi heran, ia menjadi masygul.

“Inilah tidak ada artinya!” kata Soekong Tjiauw, yang lihat sikap bcrkuatir dari orang itu. “Mereka itu lihat sulit untuk mereka merangsang tcrus, sengaja mereka ambil sikap renggangkan diri. Lihatlah gerakan mereka dan jarak tcratur. Maksud mereka adalah untuk pancing Sim Djie Sinnie serang salah satu dari mereka, bila itu terjadi, dua yang lain jadi mcrdeka, hingga merdeka j uga mereka menyerang dengan membokong atau pun dengan gunai senjata rahasia. Cara berkelahi ini biasanya membutuhkan latihan, terutama mesti digunai oleh orang-orang yang liehay* jikalau tidak, scrangan pembokongan pasti kurang sebat.”

Hok Han heran.

“Jikalau begitu, perlu kita berikan bantuan kita,” ia utarakan pula. “Dengan adanya bantuan kita, kita orang jadi satu lawan satu, secara demikian, Sim Djie Sinnie jadi merdeka untuk layani satu musuhnya….”

“Lihat!” kembali Soekong Tjiauw berseru, memotong sahabatnya.

Sim Djie, yang sadari tadi diam saja, mengawasi aksi musuh, yang hendak memancing ia untukia terjang salah satu di antaranya, sekarang kelihatan telah lepaskan sikap diamnya itu, dengan sekonyong-konyong tubuhnya melesat maju, tangannya pun dikasih bergerak, dan belum sampai kakinya menginjak tanah, kebutannya sudah menyambar.

Hok Han belum sempat melihat nyata, segera ia dengar suara keras, dari kebutan yang mengenai batu besar di samping mereka yang lagi bcrtanding. Sim Djie loncat jauh beberapa tumbak, ia hajar batu gunung sampai batu itu pecah dan muntahkan lelatu api.

Dan belum Hok Han tahu apa-apa, ia dengar Pek Tjeng It berseru, menyusul mana belasan rupa barang berkeredepan melesat menerjang si niekouw tua. Ia lantas tahu, itulahj jarum Tjitsat-teng yang liehay, yang tadi tiga batang di antaranya telah dipakai menyerang Soekong Tjiauw. Ia kaget, segera tangannya meraba panah tangannya, akan tetapi, sebelum ia sempat meraba, kupingnya lantas dengar suara mengaung, menyusul mana. barang berkcredepan itu pada melunik jatuh sendirinya. Tapi ini belum semua, masih ada susulan jeritan-jeritan dari kesakitan, akan akhirnya, kelihatan satu tubuh lompat Ian” ke samping, lenyap di antara gombolan.

Ketika itu sudah mulai maghrib, sinar matahari ada sinar iayung. Begitu lekas pertempuran berhenti. Kecuali siuran angin, Gunung Hoa-san menjadi tenang-sunyi seperti biasa.

Adalah Poci Hok Han dan Siangkoan Kin yang tercengang atas kesudahannya pertempuran yang

dahsyat itu, yang diakhiri dengan sinar berkeredepan, suara mengaung, jeritan dan sunyi-senyap. Tapi mereka bertindak begitu lekas Soekong Tjiauw mengajaknya.

Tang Siauw Tong rebah menggeletak di tanah, tubuhnya tidak bergerak, goloknya terletak di sampingnya. nancap di sebuah batu. Di samping dia, Pek Tjeng It juga rebah sebagai mayat, senjatanya terletak di pinggir tubuhnya.

Sim Djie Sinnie sambil bersenyum, bertindak dengan pelahan, akan hampiri tiga orang itu.

“Dasar sudah tua, aku sudah tak punya guna lagi,” kata ia. “Kau telah bikin lolos See Beng Wari dan dengan keliru sudah binasakan Tang Siauw Tbng….”

Barusan pendeta wanita ini sudah gunai ilmu silatnya “Thiankie moin” atau “Mementang sayap meraba mega”, suatu ilmu kepandaian dari Khong Khong Djie. Ketika tubuhnya mencelat dan kebutannyaj menyambar, ia telah lihat goloknya Tang Siauw Tong dan tarik itu terlepas, berbareng mana, totokannya mengenai sasarannya. Ia arah jalan darahnya Siauw Tong “Oenhian-hiat”, untuk tawan hidup- hidup gundal Boan ini, tapi kebutannya ditangkis Ganleng-too, sebab Siauw) Tong bukannya orang biasa saja, maka itu, totokan jadi nyasar mengenai “Bengboen-hiat”, tidak ampun lagi, Tang Siauw Tong binasa seketika.

Pek Tjeng It adalah orang yang membokong dengan jarumnya yang berbisa, karena itu, Sim Djie Sinnie gunai piauw Bouwnie-tjoe, coba ia tidak gunai Tjitsat-teng, ia bisa ketolongan jiwanya, biarpun untuk! sesaat lain. Ia membokong, niekouw itu punahkan jarumnya dengan piauw, kemudian, dengan enam buah piauw lain, yang diarahkan ke dua jurusan, ia diserang langsung, begitu j uga See Berig Wan. Ketiga tiga piauw menjurus ke atas, ke tengah dan ke bawah.

Pek Tjeng It tercengang ketika ia dapatkan kenyataan semua jarumnya kena dipatahkan musuh, justru ia sedang bengong, piauw datang menyerang ia. Ia menangkis, ia sangat . terdesak, tapi dua piauw, yang halus sekali, ia masih bisa sampok, adalah yang ketiga, yang lolos, yang tembusi jalan darahnya “Tjietong-hiat”, hingga ia rubuh binasa.

See Beng Wan ada seorang yang licin, ia mempunyai kegesitan istimewa, ia pun pandai dengar dan kenali suara senjata rahasia, maka ketika ia dengar piauw Bouwnie-tjoe mengaung, ia berlompat tinggi enam atau tujuh kaki, hingga segcra ia luput dari piauw ke atas, sedang dengan ujung sepatunya, ia dupak jatuh piauw yang kedua. Untuk tolong diri dari piauw yang ketiga, ia berkelit sambil berlompat, iakabur ke dalam gombolan rumput sambil bergulingan. Untung baginya, piauw cuma bikin bolong bajunya dan mengenai sedikit saja kulit dagingnya, hingga ia jadi terluka enteng.

Maka tepatlah ia dengan gelarannya “Tjianlie Twiehong” si Pengejar Angin. Sesudah itu, ia menghilang dengan gunai ilmu lari Tengpeng touwsoei.

“Untuk zaman ini, sukar dicari lain orang-orang Kangouw dengan kepandaian yang dipunyakan mereka bertiga,” kata pula Sim Djie pada soeteenya seraya ia menghela napas. “Sayang sekali mereka jadi gundal-gundal pemerintah Boan hingga pinnie mesti langgar pantangan membunuh. Sungguh pinnie malu yang pinnie telah meloloskan satu musuh….”

“Kenapa Soetjie tidak disusuli dengan piauw beruntun, untuk kejar dia?” Soekong Tjiauw tanya. “Aku ingat benar, Soetjie bisa lepas piauw beruntun sampai tiga belas biji, untuk menyerang tiga belas jalan. Dengan susulan piauw beruntun’ orang yang bagaimana liehay juga ilmunya entengi tubuh, mana dia dapat luputkan diri?”

Sim Djie bersenyum.

“Pinnie telah keliru menaksir musuh, pinnie telah nampak kegagalan,” ia akui. “Pinnie percaya, seranganku tak pernah melesct, dari itu untuk layani orang-orang buruk, biasa pinnie gunai tiga batang piauw saja, tetapi barusan, tidak disangka, binatang itu ada gesit luar biasa, karena ia lolos, pinnie tidak ingin susul dia….”

Pendeta ini berlaku murah hati, ia tidak duga bahwa karenanya, di belakang hari, gelombang telah mengancam hebat….

Mengetahui Soekong Tjiauw dan Sim Djie ada dari satu perguruan, Poei Hok Han kembali memberi hormat pada pendeta pcrempuan itu, yang jadi termasuk orang yang terlebih tinggi tingkatannya. Ia pun dapat tahu dari pembicaraan terlebih jauh, setiap lima tahun sekali, Sim Djie suka kunjungi soeteenya di Hoa-san, untuk bikin pertemuan, dan sekali ini, kedatangannya itu kebetulan sekali, hingga dia bisa bantui itu saudara muda.

Habis itu Poei Hok Han tarik mu-rid ini memberi hormat pada Sim Dj ie Sinnie.

Mclihat pemudaitu, sang niekouw kata: “Anak ini ada punya bahan untuk belajar silat, dan sinar matanya, sikapnya, gerak kakinya, pasti dial sudah beiajar sedikimya tujuh atau delapan tahun….”

“Sinnie terlalu memuji,” kata Hok Han sambil tertawa. “la ikuti aku baharu lima tahun.”

“Benar-benar bagus!” pendeta itu kagum. “Kau harus didik ia baik-baik!” “Justru karena untuk bocah ini, aku telah datang ke Hoa- san ini untuk menemui SoekongToako,” Hok Han kata. “Kebisaanku ada rendah sekali, dan” itu, ada bocah berbahan baik tetapi guru pandai tidak ada, aku kuatir menyia-nyiakan bakatnya, maka aku berniat minta Soekong Toako ambil dia jadi muridnya. Barusan aku telah bilang sama Toako tapi belum aku peroleh jawabannya. Daiam hal ini baiklah Sinnie tolong bicarakan pula.”

Sim Djie lantas berpaling kepada soetenya.

“Apakah kau tidak puas dengan bocah ini?” ia tanya sambil tertawa. Soekong Tjiauw tertawa, ia memandang langit, yang sudah sore, angin sedang meniup-niup, burung-burung lagi berterbangan pulang. Ia lantas tunjuk guha.

“Dengan tidak disangka-sangka, rombongan binatang barusan telah ganggu tempo kita,” kata ia. “Kita orang sudah letih, mari masuk dulu ke sana, untuk beiastirahat:”

Sim Djie setuju, maka beramai, mereka memasuki guha.

Sederhana sekali adalah guha batu itu, karena melainkan scbuali pembaringan kayu melintang di| pinggiran. Beberapa lembar kulit macan tutul ada tergantung di tembok. Soekong Tjiauw turunkan beberapa lembar, untuk digelardi tanah, sesudah nyalakan api, ia silakan semua tetamunya duduk.

Kemudian lagi, ia kcluarkan rangsum kering, ia sediakan scbuah cupu-cupu air minum, untuk ia jamu tctamu- tctamunya itu.

“Aku tinggal di gunung, di dalam guha, dengan sendirinya aku telah jadi orang hutan,” berkata Soekong Tjiauw kemudian. “Poei Lauwhia, sudah dua puluh tahun kita orang tidak pernah saling bertemu, aku mengucap terima kasih untuk kebaikan kau yang dari tempat ribuan lie datang mengunjungi aku, aku sebaliknya cuma bisa dengan caraku ini menyambut kau.”

Poei Hok Han tercengang. “Ah, Toako, kenapa kau berlaku begini sungkan terhadapku?” kata ia.

“Aku bukannya sungkan, aku hanya hendak perlihatkan kau keadaanku ini,” kata Soekong Tjiauw dengan sungguh- sungguh. “Bukankah kau hendak serahkan muridmu padaku? Bukankah Sim Djie Soetjie pun puji bakatnya muridmu itu?

Benar aku telah bcrusia lanjut, akan tetapi mataku masih belum lamur, aku pun bisa lihat Siangkoan Sieheng ini berbakat bagus sekali, dari itu, dengan dapatkan murid seperti dia, bagaimana aku bisa tak puas? Akan tetapi, di sebelah itu, melihat romannya, dia mestinya berasal satu anak orang senang, maka dari aku kuatir dia tidak nanti tahan sengsara….”

Poei Hok Han hendak kasikan keterangannya, perihal keuletannya murid itu, akan tetapi Siangkoan Kin sudah mendahului akan berlutut di dcpannya sahabat kekal itu, untuk paykoei berulang-ulang, sambil dengan gembira, dia berkata: “Soehoe, jikalau melainkan ini kesangsian Soehoe, harap Soehoe jangan buat kuatir! Teetjoe memang tidak punya kemampuan apa-apa akan tetapi mcnahan sengsara adalah kebiasaanku.”

Hok Han segera tuturkan pada sahabatnya itu halnya Siangkoan Kin bukannya satu anak hartawan atau bangsawan, hanya dia ada satu sioetjay urung. Kemudian ia tambahkan: “Anak ini paling kagumkan Ek-ong, ketika aku beritahukan dia bahwa kau adalah sahabatnya pangeran yang gagah perkasa itu, dia telah memaksa aku biar bagaimana juga supaya aku ajak dia mengunjungi kau.”

Mendengar disebutnya Ek-ong Tjio Tat Kay, air mukanya Soekong Tjiauw menjadi guram dengan tiba-tiba, air matanya lantas saja mengembeng, tetapi, dengan lantas ia awasi itu anak muda. “Cita-citanya Ek-ong, untuk merampas pulang dan membangunkannya pula Kerajaan Beng barangkali adalah kau orang anak-anak muda yang dapat rnewujudkannya!” kata ia.

“Memang teetjoe berangan-angan akan melanjuti cita- citanya Ek-ong,” nyatakan Siangkoan Kin, “hanya halnya berhasil atau tidak, itulah terserah!”

Soekong Tjiauw lantas saja tertawa.

“Bagus!” ia berseru. “Dengan punyakan cita-cita ini, tidak kecewa kau menjadi muridku!”

Begitulah. secara resmi, Soekong Tjiauw terima Siangkoan Kin sebagai muridnya, hingga kecuali Siangkoan Kin sendiri, juga Poei Hok Han turut merasa gembira.

Setelah itu, bertiga orang-orang gagah itu pasang omong.

Sim Djie Sinnie dan Poei Hok Han bcrdiam beberapa hari di atas gunung, mereka bicara banyak, mereka nikmati keindahan gunung yang kenamaan itu. Bicara dari hal dulu- dulu, Soekong Tjiauw masygul, ia sesalkan dirinya. Ia kata: “Ketika dahulu Ek-ong meninggalkan Lamkhia bersama angkatan perangnya beberapa puluh laksa jiwa, menuju ke Seetjoan yang jauh, itu memang ada kekeliruannya, akan tetapi akuj aku pun keliru sudah turuti adatku sudah meninggalkan dia karena kita orang berbeda pendapat, coba aku tidak bertindak demikian dan aku tetap dampingi dia, barangkali aku masih bisa lakukan scsuatu apa untuknya….”

Siangkoan Kin terharu mendengar penyesalannya guru itu. Kcmudian, ialah berselang beberapa hari, baharulah Sim

Djie dan Poei Hok Han pamitan, akan berpisahan dengan

soetee dan sahabatnya itu. Tapi Hok Han sendhi, secara diam- diam, sudah cari orang-orang dari Thaypeng Thiankok, untuk bikin pertemuan dengan mereka itu. Siangkoan Kin berdiam dengan gembira di atasgunung, ia tak hiraukan penghidupan sengsara. Iabelajarsilat dengan sungguh-sungguh karcna ia bertubuh lemah, ia utamakan kegcsiian tubuh dan Tiamhiat- hoat yaitu ilmu menotok jalan darah atau unu. Di sebelah itu, Soekong Tjiauw ada satu guru yang pandai, yang ketahui sifat-sifarnya muridnya. Begitu, mulai dengan teori di atas gam bar, murid ini diajar berlatih dengan orang-orangan dari kulit, sesudah sang murid bisa menotok sambil meram, lalu ia lebih jauh diajarkan senjata rahasia, juga alat senjata biasa, untuk menotok juga. Memang, Tiamhiai-hoatnya Soekong Tjiauw ada sama Iichaynya dengan Hoedhiat-hoatnya Sim Djie, sedang dalam hal Gwa-kang, dia telah sampaikan batas kesempurnaan, hingga untuk melatih muridnya, dia sendiri kasih dirinya dijadikan sasaran. Sebab ia tabu, andaikata ia

kena dhotok, ia pun bisa tolongi dirinya sendiri. Laginya. ia tak gampang tcrtotok celaka, tubuhnya, apabila perlu, bisa dibikin lemas bagaikan kapas.

Begitulah, di bawah pendidikan guru yang liefaay, Siangkoan Kin peroleh kemajuan dengan pesat, baharu berselang lima tahun, ia sudah jadi Hehay. Selama itu waktu, pernah satu kali Poei Hok Han, gurunya yang lama, datang mengunjungi ia. Guru ini girang bukan main akan ketahui muridnya terdidik sempurna.

Pada suatu hari Soekong Tjiauw turun gunung dengan liba- tiba, ketika ia kembali, ia bawa bersama ia sebuah cupu-cupu besar yang memuat arak, terus saja ia ajak muridnya duduk minum, di tengah-tengah “pelesiran” itu, sekonyong-konyong ia keluarkan dua rupa barang, yang mana ia letaki di depan muridnya. Itu adalah sebatang pookiam, atau pedang, yang panjangnya kurang iebih tiga kaki, dan sebuah kipas yang dipanggil kipas Biauwkim Sietjoe.

“Coba hunus pedang itu,” ia titahkan Siangkoan Kin. Murid ini menurut. Ketika pedang dicabut dari sarungnya,

dia perlihatkan sinar bcrkilauan, sampai ruangan sepcrti

bercahaya. Tubuh pedang itu bcrgurat-gurat merupakan naga, sedang sarung pedang terbuat dari bat u giok serta tertabur beberapa butir mutiara yang indah. Jadi dua-dua, pedang dan sarungnya, ada berharga sangat besar. Menampak itu, Siangkoan Kin tercengang, ia menjublek.

Sang guru tertawa, tertawa meringis, tanda dari sedihnya hati.

“Inilah pedangnya Ek-ong sendiri yang dihadiahkan kepadaku,” Soekong Tjiauw jelaskan muridnya. “Pedang mustika ini, Lionggim-kiam, bisa dipakai membabat barang- barang logam. Ek-ong ada sangat sungkan, ketika ia haturkan ini padaku, ia menulis syair yang mengatakan hadiahnya berharga seribu tail perak. Tentu saja, harga yang sebenarnya entah berapa ribu tail.”

Siangkoan Kin masih diam mengawasi dengan mulut ternganga.

“Sekarang angkatlah kipas itu, hati-hati,” sang guru menitah pula.

Siangkoan Kin menurut, ia angkat kipas itu dengan pelahan. Itu ada suatu kipas yang berat, sebab terbuat dari baja tulen, warnanya hitam mengki lap, panjangnya kirasatu kaki, sedang kedua sampingnya, yang berkeredepan, dibikin tajam seperti pinggiran pisau. Ketika ia beber kipas logam itu, ia tampak beberapa baris tulisan yang huruf-hurufhya indah sekali dan bunyinya merupakan cita-citanya Ek-ong. Tanda tangannya ada tanda-tangan Tjio Tat Kay sendiri.

“Oh, Soehoe, jadi ini ada barang-barang peninggalan Ek- ong?” ia tanya bahna heran dan kagum.

“Memang!” sahut sang guru, suaranya, sikapnya, menunjuki dia ada sangat masygui dan terharu.

“Ketika dulu aku ada minta Ek-ong nil is tulisannya mi.

Tatkala kcmudian Ek-ong meninggai dunia, aku sayang pakai pedangnya, aku pakai kipas ini sebagai gantinya senjata. Ini kipas terbuat dari baja tcrpilih. Sampai sebegitu jauh, aku tidak ada ketika untuk pakai itu.” Ia berhenti, akan keringi cawan araknya, ia menceguk beberapa kali. Lalu, ia mclanjuti: “Lima tahun kita orang berkumpul bcrsama, j odoh kita bukannya jodoh sembarangan, akan tetapi di dalam dunia ini, tidak ada pesta yang tidak ada akhimya, maka itu, haruslah kau mengerti, pclajaranku aku sudah turunkan kepadamu, kau masih muda, bukan tempatnya untuk kau tinggal terus di tanah pegunungan, hingga kau kubur dirimu seumur hidup.

Kau kagumi Ek-ong, maka sudah scharusnya apabila kau pergi, akan mewujudkan cita-cita Kaum Thaypeng Thiankok.” Ia berhenti pula, ia tunjuk kipas, lalu ia tambahkan: “Kedua benda ini adalah miliknya Ek-ong, yang’dihadiahkan kepadaku selaku tanda peringatan, sekarang aku haturkan dua-duanya kepadamu!” Siangkoan Kin terharu.

“Cara bagaimana aku bisa terima itu, Soehoe?” kata ia. Soekong Tjiauw goyang tangannya.

“Aku belum bicara habis,” ia bilang. “Semua dua rupa barang ini aku hadiahkan kepadamu, akan tetapi bukan dua- duanya aku inginkan kau gunai. Kipas ini aku berikan kepadamu, untuk kau gunai sebagai senjata, tctapi pcdang Lionggim-kiam fni ada untuk dititipkan buat sementara waktu padamu.”

“Kipas ini saja sudah lebih dari culcup, cara bagaimana teetjoe bcrani lancang gunai pedangnya Ek-ong?” kata sang murid. “Hanya di bclakang hari, kcpada siapa pcdang ini harus tcctjoc pasrahkan?”

Soekong Tjiauw tidak lantas jawab mundnya.

“Ada sebabnya kenapa aku tidak berikan pcdang ini kepada kau,” kemudian 1a kasih keterangan. “Pertama-tama kau bcrtenaga agak lemah, tidak surup untuk kau gunai ini, sedang untuk digunai sekalian menotok jalan darah, kipas ini ada paling tepat. Kedua, pedangnya Ek-ong ada berarti besar sekali, walaupun kau muda dan gagah, kau belum punyakan derajat untuk pakai itu. Aku pikir untuk titipkan ini pada kau, guna tunggu nanti sampai diketemukannya seorang gagah yang dapat wakilkan Ek-ong untuk mcwujudkan cita-citanya. Aku percaya kau punyakan mata cukup jeti akan can orang scmacam itu.”

Guru ini tenggak araknya, ia bersenyum.

“Muridku, kita ada bertabiat serupa, lata ada rada-eada menuruti adat!” berkata dia. “Kita bukanlah itu orang-orang yang bisa berusaha besar dan aku kuatir kau nanti jadi terlalu temberang, maka itu, aku harap, sukalah kau bisa kendalikan diril”

Siangkoan Kin girang berbareng kaget, terutama pesanan guru itu ada berat sekali. Ia mengerti, ini adalah pesta perpisahan dan gurunya itu. Ia tidak dapat menolak, ia terima putusan itu tanpa banyak omong. Maka besoknya, sesudah memberi hormat kepada gurunya itu, ia ambil seiamat berpisah, ia turun gunung, buat terus mulai dengan perantauannya, pergi ke mana saja hatinya memerintah, akan cari orang yang gurunya angan-angankan.

Belum terlalu lama sejak ia ceburkan diri dalam dunia Kangouw, namanya lantas saja mulai terkenal, tetapi walaupun ia telah tukar pclajaran dan telah berhasil meyakinkan ilmu silat, cara dandannya tetap bagaikan sioetjay. Inilah suatu tanda kaum Kangouw berikan iajulukan Thiebian Sieseng, si Mahasiswa Muka Besi.

Sclama beberapa tahun, banyak orang gagah yang Siangkoan Kin ketemui, tetapi belum ada satu yang ia anggap cocok untuk diwariskan pedang Ek-ong itu, adalah ketika ia sampai di Shoatang, ia ketarik sama orang yang kemudian berdirikan Perkumpulan Rahasia Giehoo-toan, yaitu Tjoe Hong Teng. Ketika itu Tjoe Hong Teng belum jadi Ketua Giehoo- toan tetapi namanya sudah kesohor dan di Shoatang, pengaruhnya ada besar. Mulanya Siangkoan Kin anggap Tjoe Hong Teng kesohor melainkan namanya, ia tidak terlalu memandang mata. Di Shoatang, ia bawa adat bcrandalannya, sampai satu kali, ia bentrok dengan satu orang terkenal dari kalangan terlebih tua, sebabnya ada kcliru mengerti, perkara jadi demi kian memuncak, Tjoe Hong Teng lantas datang sama tengah, dengan pengaruhnya, ia bisa damaikan mercka bcrdua. Habis itu, Siangkoan Kin pasang omong sama jago Shoatang ini, mereka bicara satu malaman, lantas ia insyaf, Tjoe Hong Teng ada bercita-cita Iuhur, sedang ilmu silat mereka berdua ada berimbang. Karena ini, keduanya jadi cocok satu pada lain, Siangkoan Kin ada berscdia akan bantu Tjoe Hong Teng mewujudkan cita-citanya membangunkan pula Kerajaan Beng. Ia telah serahkan pedang Liong-gim-kiam kepada itu sahabat baru, Ketua dari Giehoo-toan. Ia sendiri melanjuti pengembaraannya, ia tak betah berdiam di rumah atau hidup bertani, sembari merantau, ia can kawan-kawan guna bantu Tjoe Hong Teng. Selagi pengalamannya bertambah, namanya pun jadi makin kesohor.

Demikian, sampai terjadi pertempuran di Heksek-kong di tempat lima puluh lie di luar Kota Anpeng di mana Tjoe Hong Teng telah labrak sepasukan tentara negeri hingga tentara negeri itu dapat ditaklukkan.

Siangkoan Kin ketarik sekali terhadap Teng Hiauw. Ia ingat hal lelakon hidupnya sendiri di waktu masih muda, malah sekarang, ia dapatkan, pemuda she Teng ini terlebih muda daripada ia dahulu, dan tanpa pengalaman juga. Begitulah ia tarik Teng Hiauw padanya, ia ajak jalan berendeng, ia tanya ini dan itu.

Teng Hiauw bergembira berbareng heran dan hati kebat- kebitjuga, karena ia berada dalam rombongan tentara rakyat, yang ada sangat asing bagi ia. Ia ada satu pemuda yang masih hijau sekali, pun ia belum mengerti hal pergerakan kebangsaan. Walaupun dalam gclap-gulita, tentara Giehoo-toan jalan dengan rapi dan tertib, kapan mereka melalui jalan gunung yang sukar dan sempit, mereka turun dari kuda mereka, yang mereka tuntun. Di tengah jalan, saban-saban ada terdengar tanda-tanda rahasia dan muncul bayangan dari kawan-kawan yang menyambut. Di matanya Teng Hiauw, semua itu adalah mengherankan.

Orang telah lewati tanjakan dan rimba, di akhimya, orang jalan mudun, menghampirkan lembah yang penuh dengan pepohonan. Di dalam lembah ini, yang datar, ada terlihat sebuah dusun besar, yang bertembok bentengan. Karena inilah “sarangnya” Kaum Giehoo-toan itu, Pusat Cabang Anpeng.

Waktu sudah jauh malam akan tctapi seluruh dusun, afau san-tjhung, masih belum tidur, api obor dipasang terang- terang, di sana-sini ada orang-orang Giehoo-toan yang melakukan penjagaan. Semua orang sangat’ gembira melihat Tjoe Hong Teng, yang mereka sambut dcngan hangat sekali. Teng Hiauw heran melihat bagaimana orang hormati dan cintai Ketua Giehoo-toan itu.

Begitu memasuki markas, yang paling dulu Tjoe Hong Teng lakukan ialah pesan pihaknya akan pernahkan tentara Boan yang menakluk itu, supaya mereka di per lakukan baik dan segera diberikan barang makanan, daging dan arak. Tindakan ini membikin girang hatinya semua serdadu itu. Selama di tengah jalan, mereka pun tidak ditelikung, tidak dikemplangi, tidak dibentak pergi-datang juga. Hanya kemudian mereka ragu-ragu, kaum mi pakai aturan tentara atau tidak.

Kebiasaan dalam tentara Boan adalah, kalau tentara taklukan dihadiahkan pesta, itu artinya mereka bakal dihukum mati….

Benar selagi orang bersangsi, Tjoe Hong Teng datang pada tentara taklukan itu.

“Hari ini kau orang bercapai lelah,” kata pemimpin ini dengan manis budi, “maka sebentar, sehabisnya dahar, pergilah kau orang tidur. Besok, siapa yang suka turut kita, dia boleh ikut kitadengan tetap berdiam di sini, siapa yang tidak sudi, dia boleh pergi pulang.”

Baharu Tjoe Hong Teng berhenti bicara. atau semua serdadu itu berseru sambil berlutut memberi hormat, tidak tunggu lagi sampai besok, mereka nyatakan suka turut pemimpin ini.

Karcna ini, Tjoe Hong Teng| kemudian perintah atur persiapan, ia ajak tentara taklukan itu pergi bersembahyang, di antara asap dupa yang bergulung-gulung, orang membakar hoe dan bcrmantcra.

Teng Hiauw hcran akan saksikan pengalaman itu.

Sehabisnya upacara, kira jam t iga lewat, dusun yang sunyi jadi riuh dengan tempik sorak, sctclah itu, kcmbali sunyi pula.

Lalu Tjoe Hong Teng ajak Teng Hiauw ke dalam scbuah kamar bcrsih di mana bcrtiga bcrsama Siangkoan Kin, mereka duduk pasang omong. Seperti Thiebian Sieseng, ia ada gembira. Tapi tidak lama, ia diantar ke kamarnya, untuk ia tidur.

Walaupun tadi siang ia dapatkan pengalaman luar biasa, yang bikin ia kaget dan keluarkan banyak tenaga, Teng Hiauw tak dapat tidur pulas. Ia gulak-gulik di atas pembaringannya. Kemudian di saat ia layap-layap, ia dengar suara orang bicara, di antaranya, samar-samar ia dengar: “Umpama Teng Hiauw, itu anak.-…” Ia hcran, lantas ia pasang kuping. Ia kcnali suaranya Tjoe Hong Teng. Ia tidak mengerti, kenapa Ketua Giehoo-toan itu omongkan tentang dirinya. Setclah mendengari lebih jauh, nyata Tjoe “Soesiok” itu menutur hanya hal pertemuannya dengan ia sejak bermula, sama sekali ia tidak diceritakan.

“Lihat, Siangkoan Lauwhia,” selang tidak lama terdengar pula suaranya Tjoe Hong Teng, sambil dia mcnghcla napas, “walaupun guniku sendiri, meski juga aku yang minta, ia masih tak mau turut ambil bagian, ia nampaknya jerih, apalagi lain orang?”

“G urumu tidak hendak turut serta, hal itu tidak dapat membuat kita tawar hati,” terdengar suaranya Siangkoan Kin. “Maafkan aku omong terus terang, meskipun gurumu ada kenamaan, dengan kurang dia satu orang, gerakan kita tidak bakal jadi terganggu.”

Lalu terdengar suara sungguh-sungguh dari Tjoe Hong Teng: “Tidak, Lauwhia, dalam hal ini, Guruku tidak bersendirian. Masih ada banyak or•ang lain, asal dia dengar nama Giehoo-toan, hatinya mengkeret! Kenapa? Sebab mereka jerih terhadap bendera kita yang berbunyi ‘Hoetjeng Hokbeng\ atau, “Rubuhkan Kerajaan Tjeng untuk bangunkan pula Ahala Beng’. Tiga ratus tahun lebih pemerintah Boan memerintah kita, akamya telah jadi kuat dan teguh, or•ang ngcri bila dengar, hukuman untuk pemberontak adalah hukuman mati sampai pada sanak-beraya tingkat kcscmbilan. Jadi lebih banyak orang suka bersabar, asal selamat. Selama beberapa tahun, Giehoo-toan kita sudah punyakan pengaruh tetapi kemajuannya masih belum berarti, dari itu aku kuatir, perlu kita orang menukar siasat….”

“Bagaimana itu?” Thiebian Sieseng tanya.

“Kita ubah, ‘Hoetjeng Hokbeng’ menjadi’Hoetjeng Biatyang’l” sahut Tjoe Hong Teng dengan suara tetap. ‘ Hoetjeng Biatyang” berarti ‘Membantu Kerajaan Tjeng membasmi bangsa asing.

Siangkoan Kin berjingkrak bangun

“Begitu?” ia berseru dengan pcrtanyaannya. “Apakah itu bukan berarti kita ubah tujuan kita?”

Teng Hiauw dengar suara orang agak menggetar, ia insyaf tegangnya hati si Mahasiswa.

Sebaliknya. Tjoe Hong Teng berlaku tenang dan tertawa. “Sabar, sahabatku,”kata ia. “Aku tak ubah tujuan, melainkan siasat. Dengan perubahan ini, kita bisa besarkan pengaruh kita, sebab orang toh tak jerih lagi memasuki perkumpulan kita dan berbareng, redalah tindakannya pemerintah Boan memusuhkan kita. Dengan menunjang Kerajaan Tjeng bukan berarti kita sudi jadi budak atau gundalnya, tetapi kedudukan kita ada sama rata. Lihat saja  diri kita sendiri! Kita toh tidak percaya segala dewa-dewa? Tapi kenapa kita adakan upacara sembahyang? Inilah tak lebih tak kurang, untuk menarik perhatian umum, agar mereka ada pegangannya”

“Pemerintah Boan dan bangsa asing termasuk satu golongan, bukan? Kau hendak mcmbasmi bangsa asing, apa pemerintah Boan menyetujuinya?”

Tjoe Hong Teng tertawa. “Aku tidak tahu!”jawabnya. “Diluar kelihatannya mereka akur, di dalam, ganjalan ada hebat. See Thayhouw tidak ingin orang asing campur urusannya.” Siangkoan Kin menghela napas.

“Saudara Tjoe, aku percaya kau,”

ia bilang. “Jikalau dcmikian kau pikir, aku menurut saja, cuma aku merasa bahwa tindakan demikian ada berbahaya.”

Kekuatirannya Thiebian Sieseng ada beralasan. Mulanya benar, Giehoo-toan peroleh kemajuan pesat, akan tetapi belakangan, sebab lemahnya Lie Lay Tiong dan ia sendiri memandang pemerintah Boan terialu ringan, usahanya gagal, pemerintah Boan justru gunakan pengaruh asing untuk menindas pcrgcrakannya itu. Salah satu sebab lam adalah masuknya orang-orang tak setia, yang mcrusak persatuan.

Mendengar pembicaraan itu, Teng Hiauw tidak puas. Ia masih terlalu muda untuk kenai siasat. Ia tidak setujui perubahan siasat itu. Ia pun anggap lucu akan bersembahyang seperti orang-orang Giehoo-toan. Malta ia pun dapat anggapan, turut Giehoo-toan ada berbahaya. Begitulah besoknya, ketika Tjoe Hong Teng tanya ia: “Saudara Muda, kau mufakat atau tidak turut serta Giehoo-toan?’* Ia jawab: “Aku belum pikir untuk berdiam di sini. Kcpandaianku masih terialu rendah. Aku mcrantau juga untuk cari Thaykek Tan, guha angkat dia jadi guruku.”

Ini ada jawaban yang Tjoe Hong Teng tak sangka-sangka. Ia kerutkan alis. Tapi ia masih mencoba, untuk membujuki. Teng Hiauw tctap sama putusannya, ia menampik, hingga ketua itu jadi putus asa dan mengantapkannya. Adalah kemudian, sesudah ia peroleh kepandaian, Teng – Hiauw ceburkan diri dalam Giehoo-toan, tetapi dengan kedudukan sebagai separuh anggota dan separuh tetamu yang dihormati.

Setelah itu, Teng Hiauw utarakan niatnya untuk pamitan.


VI

Tjoe Hong Teng merasa bcrat akan tetapi ia tidak dapat

menahan, ia tetap sayangi anak muda ini, dari itu, ia telah berikan pelbagai pengunjukan tentang keadaan kaum Kangouw, ia hadiahkan dua pcrangkat pakaian, uang sepuluh tail serta seekor kuda pilihan.

Teng Hiauw terima kuda tetapi tampik pakaian dan uang. “Kau dandan sebagai satu pemuda agung, kalau kaum

Rimba Persilatan lihat kau, mereka bias kerutkan alis,” kata

Tjoe Hong Teng sambil tertawa. “Tentang uang, umpama kau sungkan terima, baiklah, aku pinjamkan saja itu padamu.”

Didcsak demi kian, tcrpaksa Teng Hiauw terima semua pemberian itu, untuk mana ia haturkan terima kasihnya.

Karena ia repot, Tjoe Hong Teng tidak antar jauh pemuda ini.

Teng Hiauw pun minta ketua itu tidak bcrlaku sungkan padanya. Ia berangkat dengan kesangsian: di satu pihak ia hargai Ketua Giehoo-toan itu, di lain pihak ia bercuriga; baginya masih belum jelas, Tjoe Hong Teng sebenamya orang macam apa Satu hal sudah pasti, ialah ia berterima kasih terhadap Tjoe “Soesiok” ini.

Baharu Teng Hiauw jalan lima atau enam lie jauhnya, tiba- tiba ia dengar orang teriaki ia, untuk minta ia tunggu dulu, apabila ia bcrpaling, ia lihat Siangkoan Kin bcrlari-lari ke arah dia, larinya pesat sekali. Ia terkejut Baharu sekarang ia ingat, tadi ia lupa ambil sclamat tinggal dari si Mahasiswa. Maka ia pikir perlu ia menghaturkan maaf. Tapi Siangkoan Kin yang tertawa haha-hihi, telah dului ia

“Oh, Adikku, kemana kau hendak pcrgi? Sekejab saja kau seperti lenyap!” demikian Thiebian Sieseng. “Tjoe Toako juga alpa sekali, dia sampai lupa beritahukan kau satu hal paling penting!….”

“Perkara apa itu?” Teng Hiauw tanya. Ia tercengang karena orang bilang urusan paling penting.

“Bukankah kau hendak cari Thaykek Tan?”

Teng Hiauw kerutkan alis. Ia rada mendongkol berbarcng lucu. Inilah urusan yang dikatakan paling penting? Toh hal itu, pernah ia bcritahukan kepada si Mahasiswa. Tapi ia manggut.

“Bukankah kau ada put era Teng Kiam Beng dan cucunya Thaykek Teng?” Siangkoan Kin tanya pula.

Mau atau tidak, Teng Hiauw pentang lebar kedua matanya

“Siangkoan Tjianpwee!” kata ia, “kenapa kau tanyakan aku tentang leluhurku? Bukankah kau sudah ketahui tentang asal- usul turunanku”

Thiebian Sieseng tertawa geii.

“Adikku kecil, bukannya aku sengaja menanyakan ini untuk menggoda kau,” ia jawab. “Aku hendak beritahukan kau bahwa pasti Thaykek Tan tidak bakal terima kau sebagai murid.” “Cara bagaimana Tjianpwee kctahui dcmikian pasti?” tanya Teng Hiauw, yang menjadi heran.

“Sebab kau ada cucunya Thaykek Teng,” terangkan Siangkoan Kin. “Kau baharu pertama kali mcrantau. kau tidak kenal keadaan dalam dunia Kangouw di mana sesuatu kaum biasa menyingkir dari lain kaum. Kau berlaku sembrono, aku percaya kau pasti bakal ketemu batunya!” Teng Hiauw melongo.

Siangkoan Kin tertawa, melanjuti: “Dalam dunia Rimba Persilatan. orang biasa umpetkan ilmu kepandaiannya, waJaupun guru silat terpandai, dia tak luput dari kebiasaan ini, yang menjadi sifat umum.

Thaykek Tan, seperti Thaykek Teng, tidak sembarangan mewariskan kepandaiannya kepada orang luar, apapula kau ada dari pihak Thaykek Tan, mana Thaykek Tan bisa tcrima kau sebagai murid?”

Teng Hiauw ada seorang hijau, dia mana tahu segala aturan atau kebiasaan di dalam kaiangan Rimba Pcrsilatan itu, akan tetapi ciia-citanya kuat, ia tidak hiraukan kclcrangan itu, melainkan ia sangsi juga.

Siangkoan Kin tapuk-tepuk pundak orang.

“Adik Kecil, aku kagum betul dengan niatmu mencari guru,” kata ia

“Sebenarnya kau orang dari pihak Teng dan Tan ada sama-sama kesohornya, jikalau kau orang bisa

ubah kebiasaan dan kedua pihak suka saling tukar kepandaian, untuk disatu-padukan, aiangkah baiknya itu.

Sebenarnya aku pun bcrharap sangat yang cita-citamu akan terwujud.

Hanya aku kuatir kalau-kalau pihak Thaykek Tan menyangka jelek pada kau, kalau kau nanti d isangka hendak curi kepandaianya, kesudahannya itu kau akan kecewa sekali.„. Maka disini aku telah tulis sepucuk surat untuk kau bawa, apabila benar sampai terjadi kesulitan seperti aku duga, surat ini kau perlihatkan pada Thaykek Tan, untuk dia baca.

Dengan surat ini aku tidak berani tanggung kau nanti diterima sebagai murid. tetapi aku percaya bahwa kau t idaklah nanti menampak kesukaran hebat.”

Teng Hiauw bersyukur berbareng tak puas, karena nyata Siangkoan Kin anggapdia sebagai bocah cilik, akan tetapi ia insyaf, kepandaiannya masih be I urn berarti, ia kurang pcngalaman, dari itu, ia sambuti surat itu, yang terus diangsurkan kepadanya. Ia menghaturkan icrima kasih sccara tawar. Ia masuki surat itu ke dalam sakunya secara sembarangan. Habis itu, ia memberi hormat, ia pamitan, untuk meneruskan perjalanannya. I

Scsudah pengalamannya sebegitu jauh, setelah peroleh pelbagai pengunjukan dari Tjoe Hong Teng dan Siangkoan Kin, dalam perantauannya lebih jauh, tidak lagi Teng Hiauw terbitkan hal-hal iucu dan mcnyul i tkan dia, kecuali satu atau dua kali, yang tidak berarti.

Sclagi memasuki wilayah Propinsi Hoolam dan mclcwati sebuah dusun, yang disebut Samrjee-ek, Teng Hiauw dengar orang omong tentang satu guru silat Kaum Tjionglam-pay bernama Kongsoen Giap, yang dikatakan liehay sekali. lajadi ketarik, ia lantas kunjungi guru silat itu, tapi ia dicurigai, dia disangka hendak mencoba-coba, guru silat itu mendahului ajak ia bertanding, hingga ia terdesak dan menerimanya dengan terpaksa. Baharu dua-tiga gebrak, nyata Kongsoen Giap bagus namanya saja, ia kena dihajar rubuh sampai tak bisa merayap bangun. Orang-orang lainnya dalam rumah perguruan itu jadi gusar mereka hendak keroyok si anak muda, atas mana, Teng Hiauw angkat kaki, ia takut untuk melayani. Pcngalaman ini menginsyafkan si anak muda benarnya keterangan bahwa di kaiangan Kangouw orang tak boleh sembarangan menaruh kepercayaan besar.

“Entah bagaimana dengan Thaykek Tan…” pikir ia kemudian. “A pa benar dia liehay, atau dia pun cuma namanya saj a kesohor? Tapi Ayah dan Siangkoan Kin bilang dia benar- benar liehay. Rupanya, yang benar adalah dia ada beda daripada guru-guru silat yang kebanyakan….”

Teng Hiauw jalan lebih jauh, sampai ia memasuki Hoolam dua atau tiga ratus lie. Ketika itu ada lewat tengah hari.

Jalanan ada rusak, dekat gunung .dan air, banyak pepohonannnya. Menembusi pepohonan, sinar matahari ada merah kekuning-kuningan. Lebih jauh, jalanan semakin sukar, bersisi dengan tebing tinggi.

Tiba-tiba terdengarlah suara bcrisik dari atas tebing, lantas satu batu besar jatuh, lewat di sampingnya anak muda ini, nyemplung ke dalam jurang yang berair hingga menerbitkan suara besar dan airnya muncrat. Ia telah berkelit, kalau tidak, ia bisa kelanggar. Menyusul itu ada batu koral dan pasir bcrhamburan

“Rupanya ada orang bertempur di atas,” pikir ia. Tidak tempo lagi, ia cari jalan untuk manjat, tetapi ia umpctkan diri antara gombolan, hingga ia bisa melihat segala apa tanpa lain orang pergoki ia.

Di atas tanjakan, yang tanahnya datar, ada lima orang scdang kepung satu pemuda umur dua puluh lebih. Pemuda ini, yang bersenjatakan pedang, yang gerakannya tangkas, gunai ilmu silat Thaykek-pay, melainkan bebcrapa tipu-tipunya ada beda, maka tanpa mcrasa, Teng Hiauw jadi heran, ia jadi sangat ketarik, ia terus pasang mata.

Selang bebcrapa lama, anak muda itu, walaupun ia gagah, mulai mundur, undur ke arah tempat sembunyinya si orang she Teng. Biar bagaimana, dia kewalahan melayani banyak musuh, yang tidak kurang liehaynya, dari itu, ia kena terdesak. Di antara lima pengepung, satu yang bergegaman sepasang golok ada yang paling kosen, rupanya dia jadi kepala, scmbari menyerang, dia scmbari serukan kawan- kawannya. Si anak muda nampaknya gusar tetapi ia tetapi mundur.

Sekonyong-konyong, anak muda itu kirim satu serangan hebat, tetapi lawannya berlaku licin, dia berkelit, dia menyerang ke kiri dan ke kanan. Kalau satu sama satu, kelihatannya dia sukar tandingi si anak muda Ia pun jerih akan bentur pedangnya orang. Si anak muda ilmu silatnyapun kelihatan belum terlatih sempurna.

Setelah menonton sekian lama, hingga hatinya teriarik untuk bcrpihak kcpada si anak muda, yang ilmu si latnya ada dari satu golongan, diam-diam Teng Hiauw ambil putusan akan bcrikan bantuannya. Dengan diam-diam juga, ia siapkan Kimtjhie-piauwnya.

Segera si anak muda hadapi saat yang berbahaya. Dia  telah menyerang dengan satu tikaman, apa mau, lawannya coba libat pedangnya dengan Djoan-pian, sedang di lain pihak, sebuah golok menyambar langsung kepadanya, untuk membabat kutung lengan kanannya.

Ia insyaf bahaya, ia bcrseru keras ketika ia gunai tenaga besar, akan tarik lolos pedangnya, sambil berbuat begiiu, iapun loncat ke samping. Tapi musuh yang mencekal golok rupanya sudah menduga. selagi orang loncat, iapun loncat menyusul, goloknya disabetkan ke arah bebokong bahagian pinggang!

Dalam keadaan sangal bcrbahaya itu, si anak muda masih sempat memperbaiki diri, tangannya digeraki, untuk menangkis ke bclakang, akan tetapi, bclum ia sempat menangkis, atau mendadakan ia dengar jeritan “Aduh!” yang disusul sama goloknya si penycrang teriepas sendirinya, terlempar, karena waktu itu, golok itu scdang diayun, setclah itu, terdengar pula dua jeritan kesakitan, dari dua musuh yang lain, yang lantas pegangi jidatnya. hingga karenanyaj pemimpin mereka itu lantas berseru: “Angin keras!”

Itulah tanda ada bahaya, untuk angkat kaki

Si anak muda tcrpcranjat, ia hcran, tetapi ia mengerti, terang ada orang yang bantu ia secara sembunyi. Karena iapun letih, mclihat lima musuhnya kabur, ia tidak kejar mereka itu.

Sckcjab saja, tempat pertempuran itu jadi sunyi-scnyap, kecuali siurnya angin.

Untuk cari orang yang tolongi dia, anak muda itu lantas mclihat ke sekitarnya. Ia tak usah membuang tempo akan tampak munculnya satu anak muda dari gombolan di sampingnya, akan dapati si anak muda bcrmuka putih dan cakap, usianya ada terlebih muda dari ia scndiri, rupanya belum dua puluh tahun. Hingga ia menjadi hcran dan sangsi, hingga dalam hatinya, ia tanya: “Apa mungkin dia inilah yang bantu aku?” Maka ia terus mengawasi.

Menampak orang tercengang, Teng Hiauw menghampirkan sambil hunjuk air muka berseri-seri.

“Saudara, bagus sekali permainan pedangmu!” mencgur ia dengan manis, dengan pujiannya. “Kenapa Saudara bertempur sama mereka itu? Apa Saudara suka beri tahukan aku she dan namamu, dan siapa adanya guru Saudara?”

Masih anak muda itu mengawasi, kemudian ia haturkan terima kasihnya. Ia menyimpang untuk pertanyaan orang, ia hanya kata: “Hengtay, pandai sekali kau gunakan piauwmu! Jikalau tidak kau bantui aku, barangkali masih sekian lama aku mesti layani kawan itu, walaupun mereka tak dapat membuat suatu apa, toh aku bakal pusing sekali. Aku nanti ingat baik- baik budimu ini. — Kita belum kenal satu dengan lain, mengapa Hengtay begitu baik hati sudi membantui aku?” ia balas tanya. “Perihal namaku, guruku, dan perm us uh an kita, malu aku untuk memberitahukannya. Aku ada murid dari suatu guru ternama tetapi aku kena dipcrmainkan oleh kawanan kurcaci itu, inilah sangat memalukan, dari itu, baiklah aku tidak menjawabnya….”

Tidakl ah anch apabila pemuda ini bersangsi untuk bcrikan jawabannya. Teng Hiauw masih hijau mengenai pengalaman dalam pergaulan, iaada terlalu polos akan dengan tiba-tiba majukan pcrtanyaannya itu. Si anak muda, scbaliknya, ada jauh terlebih bcrpcngalaman daripadanya. Lagu suaranya pun seperti menunjuki ia ada orang yang terlebih tua ti ngkatannya, hingga orang bisa tak senang mendengamya.

Maka mau atau tidak, iajadi dicurigai.

Teng Hiauw tidak menyangka bahwa orang curigai ia.

Pertanyaannya pun ada contoh yang tidak hargai kau. Dengan sebenarnya, aku malu akan sebut nama guraku, sedang tentang diriku, benar-benar tak ada kepentingannya akan Saudara mengetahui. Percaya, aku akan ingat betul bantuanmu mi. Kepandaianku tak berharga, tapi apabiladi belakang hari Saudara membutuhkannya, pasi aku akan suka bantu kau. Sebenarnya, kita orang baharu saja bertemu, aku jadi tak dapat bicara scjujurnya. Aku lagi punya urnsan, maafkan aku, tak dapat aku temani Saudara lama-lama. Lagi satu hal aku hendak tunjuk, siapa merantau, dia tak boleh andali kegagahannya dan karcna itu lantas mcmandang kurang berharga kcpada lain orang!”

Teng Hiauw jadi gusar. “Siapa bicara tentang jasa! Siapa harap pembaiasan budi?” ia kata dengan nyaring.

Anak muda itu tertawa, ia putar tubuhnya, akan lari turun gunung, sambil berkata: “Jangan gusar, Hengtay! Sampai ketcmu pula!”

Menampak demikian, Teng Hiauw jadi mendongkol dan cemas, hatinya jadi tawar. Ia tidak nyana, ia tolong orang, akhirnya jadi demikian. Maka ia pun lanjuti perjalanannya.

Lewat beberapa hari, ia sampai di Kota Hoaykeng, setelah cari hotel, ia lantas mulai cari keterangan jalanan untuk pergi ke Tankee-kauw.

“Apakah Tuan hendak kunjungi Thaykek Tan?” tanya jongos yang ditanya, sambil dia mengawasi.

“Benar. Kenapa kau tahu aku hendak can Thaykek Tan?” “Sebab Tuan ada orang asing tapi Tuan tanyakan jalanan

ke Tfcnkee-kauw, aku lantas bisa menduga. Ke sini memang

sering datang orang-or-ang yang cari Thaykek Tan. Hanya saban-saban aku lihat, siapa kcmbali dari sana, dia tentu tidak gembira….”,Teng Hiauw melengak. “Kenapa begitu?” tanya ia. “Apakah Tuan tidak tahu?” balik tanya jongos itu. “Ilmu silat Thaykek-koen dari Keluarga Tan di Tankee-kauw itu tidak diturunkan kepada orang luar, kecuali pernah satu kali dicuri- pelajarkan oleh Yo Louw Si an, sampai dia ini berhasil.”

Teng Hiauw tahu hal itu, dari Siangkoan Kin, maka itu, ia tidak jadi terlalu heran. Ia percaya, mengandal kepada ketulusan dan kcsujutannya, mustahil Thaykek Tan tega tolak ia juga. Dari itu, ia tegaskan Ictaknya Tankee-kauw, yang terpisah cuma enam puiuh lie lebih dari Kota Hoaykeng. Lebih dahulu orang sampai di Dusun Samgic-tin, lagi kira lima lie, baharu Tankee-kauw. Ia haturkan tcrima kasih padajongos itu. “Aku mesti siapkan barang antaran,” kemudian ia pikir. Tapi memikir ini, ia kebentrok sama keuangannya. Ia tidak punya banyak uang bekalan, dan pcmberian Tjoe Hong Teng tidak cukup buat ongkos sampai di Hoaykeng. Dalam bingungnya, ia pikir baik beli saja beberapa dus manisan dan roti, di rumahnya Thaykek Tan tentu ada anak kecil….

Besoknya, dengan tunggang kudanya Tjoe Hong Teng, Teng Hiauw menuju ke Tankee-kauw, cuma dalam satu jam, ia sampai di Sam-gie-tin, habis cari pondokan dan titipkan kudanya, dengan jalan kaki, ia terus bcrangkat lebih jauh. Jongos agaknya hendak tanyakan keterangannya tetapi iasudah bertindak pergi dengan cepat. Ia anggap, pergi can guru tak layak sambil menunggang kuda.

Tidak sukar akan cari rumahnya Thaykek Tan. Ketika Teng Hiauw bertindak ke rumah ahli silat Thaykek-koen itu, sejumlah anak-anak ikuti ia, semua mereka ketarik melihat ada “bocah tuaan” yang bawa manisan dan roti.

Segera sesampainya di depan pintu, Teng Hiauw bicara sama satu bujang, untuk minta diwartakan kcdatangannya, untuk bertemu dengan tuan rumah. Ia tidak sebut shenya sendiri, ia sengaja pakai she Kiang, asal orang Hoopak. Ia sudah pikir untuk tidak menyebut nama ayahnya dan tak akan perlihatkan juga kepandaian silat Thaykek Teng, ia ingin teladan Yo Louw Sian. Ia pakai she Kiang sebab ia kebetulan ingat Kiang Hong Keng.

Bujang itu awasi tetamunya ini, ia nampaknya heran. Ia duga orang datang untuk berguru, akan tetapi barang bawaannya adalah barang bawaan yang biasa dihaturkan kepada sanak sendiri. Ia pun mau duga, tctamu ini ada suatu sanak jauh, tetapi ketika Teng Hiauw sebutkan she dan asal- kampungnya, cocoklah dugaannya yang pertama. Teng Hiauw pun bcri tahukan lebih jauh, dia memang berniat berguru.

Akhirnya bujang ini tertawa dan goyang-goyang kepala.

“Kau keliru datang kemari!” kata ia. “Majikan kita tidak buka rumah perguruan, ia tidak tcrima murid. Baiklah kau lekas pulang, supaya kau tidak jadi pusing, agar kau tidak sia- siakan uang bekalmu. Apabila kau keputusan ongkos dan jadi terkatung-katung di sini, Thaykek Tan tak dapat memusingkanmu….” .

Teng Hiauw tidak jadi kurang senang, scbal iknya, ia tertawa.

‘Tolong kau bcri tahukan saja hal kedatanganku ini,” ia minta dengan sangat. Melihat orang demikian mendesak dan sikapnya pun sabar, bujang itu kcwalahan. Ia sambuti karcis nama orang.

“Baiklah, aku nanti menanyakan majikanku,” kata ia akhirnya. “Hanya, majikan suka menemui kau atau tidak, aku tidak campurtahu….” Ia masuk ke dalam, ia tidak pergi pada majikannya, hanya setelah berdiam sesaat, ia keluarpula. “Majikan bilang, barang antaran dan karcis nama, ia tidak berani terima,” ia kata pada tetamunya. “Majikan bilang ia tidak pilar untuk jadi guru orangT*

“Ah, kau tolonglah,” Teng Hiauw mcmohon pula. “Kau tolong mintakan agar majikanmu suka menemui aku….”

“Ah,” bujang itu menghela napas. “Engko kecil, kau aneh sekali.

Majikanku tidak mau menemui kau, apa perlunya kau mendesak meminta bantuanku?”

“Aku datang dari tempat ribuan lie sebab aku kagumi majikanmu,” katanya. “Kau tolong sampaikan saja maksud keinginanku ini.”

Bujang itu terdiam,ia isi hoentjweenya, ia sulut itu, ia lalu menyedot berulang-ulang, kemudian, sambil tertawa, tetapi dengan dingin, ia kata: “Datang dari tempat ribuan lie? Ah, sudah terlalu banyak aku lihat prang datang dari tempat jauh untuk berguru, sudah umum! Kau dating dari Hoopak, itulah tak bcrarti! Kau tahu, ada lain-Iain orang yang dating dari tempat terlcbih jauh lagi, semua mereka itu, majikanku tak suka menemuinya.

Teng Hiauw putus asa. “Kalau begitu, baiklah aku nanti pulang saja,” ia biiang. Tapi barang antaranku ini, tolong kau terimakan, tidak perduii majikan kau suka terima atau tidak, bjtung-hitung sebagai tanda penghormatanku.”

Bujang itu kebulkan asap hoentjweenya, ia awasi bungkusannya. “Majikanku bakal bikin pesta shedjit besar, cara bagaimana kau hendak haturkan ia manisan?” katanya. “Tapi kalau kau hendak tinggal ini di sini, baiklah, nanti aku bagi-bagikan pada anak-anak saja.” Ia sambuti manisan itu, ia lantas memanggi I: “Djie Houw, Djie Houw!”

Djic Houw itu ada anaknya yang berkumpul antara bocah- bocah tadi, yang ikuti Teng Hiauw. Bocah itu lantas datang menghampirinya sambil diturut sama kawan-kawannya, malah mereka lantas saja gaur itu manisan dan roti!

Menampak demikian, Teng Hiauw mendongkol hingga ia tak dapat bcrkata-kata, ia putar tubuhnya, ia bcrlalu dcngan sangat cepat, akan pulang ke hotelnya di Samgie-tin.

Jongos hotel lihat air muka orang, i a dapat menduga.

“Tuan, apakah kau ketemu batunya di Tankee-kauw?” tanya ia sambil tertawa. “Guru silat itu’ memang sulit untuk diangkat jadi guru. Buat pelajarkan Thaykek-koen, kenapa kau mesti can Thaykek Ian sendiri? Tadi aku hendak bicara sama kau, untuk memberi tahu sesuatu tetapi kau pergi dengan terburu-buru….”

Teng Hiauw heran.

“Apakah artinya perkataanmu ini?” tanya ia.

Jongos itu tertawa

“Thaykek Tan memang tidak terima murid, tidak demikian dengan adik misannya, Gouw Soeya,” ia kasih kctcrangan. “Baik kau pergi pada Gouw Soc-ya itu, untuk bclajar, dia mencrima murid. Thaykck-kocn dari Gouw Soeya, ada warisan Thaykek Tan. Kabamya siapa bertubuh lemah dan belajar sama Gouw Soeya, dalam tempo tidak setengah tahun, tubuhnya akan lantas jadi sehat dan mukanya bersinar merah dadu!”

Teng Hiauw heran. Thaykek Tan tidak mau terima murid, kenapa sekarang ada orang yang bcrikan pelajaran Thaykek- koen? Kenapa dia antap orang buka perguruan Thaykek-koen? Ia tidak tahu, dalam hal ini, ada scbabnya.

Sebenarnya Thaykek Tan kcwalahan dan sebal sebab tak putus-putusnya datang orang untuk bcrguru padanya, orang jauh dan orang dekat juga, hingga kcmudian, ia gunai akal. Begitulah ia bcrikan pelajaran pada misannya Gouw Hong Hoe, tetapi pelajaran ada batasnya, ialah cuma untuk bikin sehat dan kuat tubuh, kalau pelajaran itu dipakai berkelahi, tidak seberapa artinya. Inilah pelajaran yang mirip dengan yang d id apatkan oleh Yo Lou w Sian, cuma bagus untuk ditonton. Ia kasih kemcrdekaan untuk saudara misan itu buka rumah perguruan, akan terima murid-murid.

Walaupun

kepandaiannya Gouw Hong Hoe tidak bcrarti, karena ia selalu berlatih, bam belasan orang biasa saja sukar untuk rubuhkan dia. Gouw Hong Hoe miskin, hidupnya sulit, setelab ia jadi guru silat, penghidupannya lantas berubah menjadi lumayan. Demikian, secara tidak langsung, Thaykek Tan sudah tolong sanaknya itu.

Orang luar tidak tahu siasatnya Thaykek Tan. Siapa belajar pada Gouw Hong Hoe, dengan lekas mereka peroleh hasil.

Siapa bertubuh lemah, setelah belajar setengah atau satu tahun, lantas tubuhnya jadi sehat dan kuat; sikapnya gagah, romanhya bercahaya. Inilah sebabnya, kenapa si jongos pujikan Hong Hoe pada Teng Hiauw. Malah, habis berkata begitu, ia pun mempertunjuki dua jurus Thaykek-koen, yang ia pemah dapatkan dari guru silat she Gouw itu. Ia tambahkan: “Lihat, inilah yang aku dapatkan dari Gouw Soeya!**

Hampir Teng Hiauw tertawa melihat permainan silat orang itu, yang banyak sekali cacatnya. Karena ini ia sangsi, apa kepandaiannya Thaykek Tan bukan melainkan obrolan saja. Tetapi ia tetap ingin ketemui Thaykek Tan, ia belum pikir akan pergi pada Gouw Hong Hoe. Demikianlah di hari kedua, ia pergi pula ke Tankee-kauw. Ini kali ia tidak bawa bingkisan, cuma selembar kartu nama yang lebar.

“Ah, Kiang Toako, kau datang pagi-pagi sekali!” menyambut bujang yang kemarin. “Kenapa kau tidak bawa manisan?” Ia berlaku manis, tapi tempo Teng Hiauw minta ia wartakan kedatangannya pada tuan rumah, dia ganda diam saja.

“Pergi kau wartakan kedatanganku!” kata Teng Hiauw akhirnya, ia menjadi tidak senang.

Juga bujang itu mcnjadi mendongkol.

“Kiang Toako, belum pemah aku dapat orang sebagai kau!” katanya dcngan ketus. “Apa begini caranya orang hcndak cari guru? Apa berguni bisa memaksa? Majikanku tidak sudi ketemui kau, habis pcrkara. siapa bisa tolong kau?”

Kcduanya lantas saja adu mulut, sampai rramcul seorang umurkurang-lebih tiga puluh tahun.

“Eh, Lauw Thio, kau ribut sama siapa?’\dia lanya.

“Sama dia ini!” bujang itu jawab seraya tuding Tcng Hiauw. “Dia menyebalkan! Dia memaksa minta kcdatangannya dikabarkan pada Loo-ya-tjoe, yang dia kata hcndak angkat jadi guru!”

“Kau nama apa? Kau orang mana?” tiba-ttba Teng Hiauw ditanyanya.

“Aku yang muda ada Kiang Djit Giauw dari Pooteng, Hoopak,” sahut Teng Hiauw, dengan sikap menghormat, ia sengaja ubah dan pecan namanya “Hiauw” mcnjadi dua huruf “Djit Giauw”.

“Kau ada orang she Kiang dari Pooteng, dengan Keluarga Kiang dari Bweehoa-koen kau ada punya sangkutan apa?”orang itu tanya pula, matanya mengawasi dengan tajam. Ditanya begitu, Teng Hiauw melengak.

“Aku tidak kenal keluarga itu,” kemudian ia jawab. “Tolong kau ajak aku menemui Thaykek Tan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar