Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 14

 
Di mulutnya, orang tua ini mengucap demikian, di hatinya, ia puas, sebagaimana air mukanya kelihatan terang. Ia bersenyum berseri-seri, tanpa tunggu sampai Siangkoan Kin ulangi pertanyaannyaJ tidak ragu-ragu lagi, cmpch tukang besi ini beritahukan tentang dirinya yang sebenar-benarnya. Nyata dia ada sal ah satu pahlawan dari Ek-ong Tjio Tat Kay, yang senantiasa berdiri mcndampingi pahlawan pencinta ncgcri itu, hingga bukanlah heran apabila ia telah saksikan sendiri ketika Ek-ong menulis syairnya yang dibuat kenang-kenangan itu.

Ek-ong Tjio Tat Kay ada panglima perang kenamaan dari Thaypeng Thiankok, ia pernah berperang di sana-sini melalui medan perang beberapa Iaksa lie jauhnya, hingga ia telah menggetarkan pemerintah Boan, tetapi ketika ia mcninggalkan Kimleng (Lamkhia) dengan pimpin tentara tunggalnya ke Soe- tjoan, se lama mana ia banyak mendcrita di sepanjang jalan, karena meluapnya Sungai Kimsee-kang, hingga ia tak sanggup sebcrangi Kali Taytou w-hoo, ia kena ditawan dan kemudian menemui ajalnya karenanya, dalam usia baharu tiga puluh tiga tahun. Scbagian besar dari tentaranya berkorban di medan perang, sebagian yang kecil, dapat meloloskan diri. Dan Poei Hok Han, ialah namanya si tukang besi itu waktu, juga berhasil meluputkan diri dari bahaya. Tidak lama kemudian, Thaypeng Thiankok runtuh Poei Hok Han merantau, hidup dalam penyamaran. Ketika ketegangan mulai reda, ia sampai di Boesek, akan hidup sebagai tukang besi di desa yang kecil.

Dua puluh tahun lewat dengan cepat, Hok Han telah menjadi satu empeh-empeh, akan tetapi semangatnya masih belum kunjung padam, dalam kesunyiannya, ia masih kenang- kenangi pergerakannya, karena tcrpaksa, ia kcndalikan diri, untuk mana, kadang-kadang ia suka menepas air mata sendiri.

Dalam usia yang lanjut, Hok Han dapat pikiran untuk mendapati mu-rid, guna wariskan ilmu silatnya. Ini ada urusan yang sulit. Selama sepuluh tahun umpetkan diri, belum pemah ia dapati murid yang ia cari. Ia ingin dapati murid yang berbakat dan dapat dipercaya. Kebetulan sekaii, selagi lewat di depan rumah Siangkoan Kin, ia dengar nyanyian orang, tak bersangsi puia, ia masuk, akan kctcmui guru sekolah desa itu.

Sejak itu, dengan diam-diam, Siangkoan Kin angkat si tukang besi menjadi gurunya. Ia sendiri, tetap menjadi guru sekolah. Tak ada orang tahu yang ia lagi belajari silat. Di mata penduduk lainnya, mereka ada satu sioetjay melarat dengan satu tukang besi miskin, yang menjadi sahabat kekal karena mereka senasib. Tidak ada satu penduduk juga yang mencurigai mereka.

Siangkoan Kin berotak sangat terang, kalau orang lain membutuhkan tempo satu tahun, ia cuma tiga bulan, tidaklah heran, dalam tempo lima tahun, ia sudah dapatkan dasamya sempurna, pelajarannya telah maju jauh.

Pada suatu malam terang bulan, seperti biasa, Poei Hok Han datang ke rumah muridnya, ia saksikan sang murid lagi melatih diri dalam ilmu pukulan “Bittjong-koen,” setelah murid itu selesai bersilat, ia menghela napas, ia kata: “Kita drang telah berkumpul lima tahun lamanya, aku khawatir kita orang segera akan berpisah….”

Mendengar itu, Siangkoan Kin terkejut.

“Kenapa, Soehoe?” tanya ia. “Karena di kolong langit tidak ada pesta perjamuan yang tidak ada saat bubarnya,” sahut sang guru. “Kau pun, selama lima tahun, sudah mewariskan semua kepandaianku, bakatmu ada sangat bagus. pelajaranku sebaliknya sangat rendah. tak sanggup aku mend idik kau terlebih jauh. Kau tahu, aku ada seorang perantauan, aku ada seorang gelap. Terpaksa aku hidup menyendiri. Di sebelah itu, usiaku sudah lanjut, tak banyak tempo lagi untuk aku tewati. Semcntara itu, masih ada urusan yang aku belum selesaikan…. Sekarang aku memikir untuk mencari satu orang, aku masih ingin tengok pula keadaan di luar….”

Siangkoan Kin mengerti perasaan cinta negeri dari gurunya, yang tetap tak mau padam, yang sukar untuk dilupai, maka ia percaya, masih ada cita-citanyaguru ini. Tiba-tiba ia pun dapat pikiran. Maka ia kata pada guru itu: “Soehoe, muridrrra juga ingin merantau sebagai kau, harap Soehoe ajak aku, untuk aku peroleh pengalaman.”

Poei Hak Han pandang muridnya. “Kau tak dapat,” jawab ia. “Kenapa, Soehoe?” sang murid tegaskan. “Aku ada orang yang dicari pemerintah Boan, walaupun banyak tahun sudah lewat, namun aku tetap tcrancarn bahaya. Tidak demikian dengan kau, anak tunggal, yang belum bcrumah tangga.

Bagaimana aku bisa bawa kau untuk menghadapi bencana?”

Mendengar gurunya sebut hal rumah tangga, mukanya Siangkoan Kin merah bahna likat, tapi ia segera berbangkit, dengan hormai, dan dengan sungguh-sungguh ia kata pada gurunya itu: “Soehoe, mustahil sampai sekarang Soehoe masih tetap tak mempercayai aku? Jikalau aku jerih akan kesukaran dan takut akan ancaman malapetaka, tidak nanti aku berani ikuti kau! Soehoe, aku bersumpah akan teladan kau selama aku masih bernyawa, aku akan musuhkan pemerintah Boan! Tak mundur aku walaupun mesti binasa berlaksa kali! Cita-citaku masih belum tercapai, cara bagaimana bisa aku memikirkan rumah tangga? Harap Soehoe jangan bersangsi pula, mari kita pergi bersama!”

Menampak ketetapan hati orang itu, Poei Hok Han

.tertawa.

“Jikalau demikian, tujuan kita sama!” kata ia. “Baik, aku nanti ajak kau!” Kemudian ia tepuk-tepuk pundaknya, dengan roman sungguh-sungguh ia tambahkan: “Barangkali dengan perjalanan ini aku bisa sekalian carikan satu guru yang pandai untuk kau!”

“Kau sangat berbudi, Soehoe, mana aku tega akan tukar guru?” sahut sang murid.

Orang tua itu mengawasinya, alisnya dikerutkan.

“Kenapa kau pun jadi seperti or•ang biasa saja?” tanya ia. “Kau harus tahu, pelajaran tidak ada habisnya, pelajaran hams diyakinkan terus, hingga jadi scmpurna! Tak boleh or•ang kukuh i satu golongan saja, i tulah kebiasaan buruk dalam kalangan Rimba Persilatan. Ada lagi, yang kukuhi diri sendiri, tidak maul mengajarkan lain pihak, atau tidak mau pelajarkan kepandaian lain or•ang. Aku hendak carikan kau guru yang pandai, yang lebih liehay sepuluh kali lipat daripada aku. Aku hanya sangsi, orang itu sudi terima kau atau tidak….”

Siangkoan Kin melongo, ia pandang gurunya itu. “Siapa orang itu, Soehoe, yang Soehoe demikian

hargakan?” iatanya.

Poei Hok Han tidak lantas menjawab, ia tertawa.

“Kau ingat tidak, dalam salah satu syairnya Ek-ong Tjio Tat Kay ada disebutkan hal meloloskan pedang dari pinggang, untuk haturkan itu kepada lain orang?” Siangkoan Kin heran sekali.

“Aku ingat itu, Soehoe. Kenapakah?” ia tegaskan. Ia lantas membacakan syair itu di luar kepala:

“Mengangkat kepalanya, naga tua perdengarkan suara Mahasiswa berduka berkehendak mcmbasmi pengkhianat Sesudah sampai di jalan buntu, masih ingin bersahabat Persembahannya adalah ribuan tail emas berharga”.

Mendengar itu, si empeh buat main kumisnya, nampaknya ia terharu sekali, seperti ia ingat apa-apa yang telah lalu.

“Guru yang aku niat carikan untuk kau itu,” kata ia kemudian, dengan pelahan, “adalah itu orang yang di saat buntu kepada siapa Ek-ong loloskan pedangnya untiik dihaturkannya. Aku ada Ek-ong empunya pahlawan, dia adalah sahabatnya- Ek-ong…” ia berhenti sebentar, selagi sang murid awasi ia, ia lanjuti: “Dia adalah t sahabatnya Ek- ong, akan tetapi cita-cita mcrcka berdua beda satu dari lain. Sejak Ek-ong meninggalkan Kimleng, akan melakukan perjalanan peperangan jauh selaksa lie, dia sendiri mcnuju ke lain arah, dia tidak ikuti lebih jauh pada Ek-ong….”

Siangkoan Kin heran. Ia ada orang yang paling kagumi Ek- ong, mendengar ada sahabatnya raja muda itu, yang beda faham, ia merasa tidak mufakat. Ia lantas tanya gurunya: “Sudah terang dia bercita-cita tain dan Ek-ong, kenapa Ek-ong haturkan pedangnya kepadanya, kenapa Soehoe pun sangat hargai dia?”

“Kau pandang urusan sangat sederhana!” sang guru tertawa. “Faham berlainan bukan berarti bahwa orang mesti bertentangan. Ek-ong benar ada satu orang luar biasa tetapi itu bukannya bcrarti sesuatu dari sepak-terjangnya benar semua.” Sampai di sini, Hok Han tuturkan muridnya perihal sahabatnya Tjio Tat Kay itu dan hubungannya dengan si raja muda. “Dia adalah Soekong Tjiauw, dia pun ada seorang luar biasa. Dia sangat kagumi Ek-ong untuk Ek-ong empunya kepintaran ilmu surat dan ilmu silat, ilmu pcrang yang mahir. yang bisa dibandingkan dengan panglima-panglima perang pandai di zaman dahulu. Begitulah, dengan ikhlas hati, ia kasih dirinya dipekerjakan Ek-ong. Sejak Ek-ong dalam usia dua puluh tiga tahun dianugerahkan sebagai pangeran, ia mendampinginya saja dalam kemah sebagai penasihat Ek-ong pun sangat hargai dia dan sangat percaya padanya. Adalah kapan datang suatu saat yang maha penting, keduanya nyata berbeda paham. keduanya lantas saja berpisahan….”

Suaranya si empeh jadi pelahan, airmatanya berlinang.

“Itulah urusan yang membikin Thaypeng Thiankok dari makmur menjadi lemah, hingga suatu usaha demikian besar dan menggetarkan , dunia., lantas jadi hancur. Karcna bentrokan di dalam, buyarlah semua-semua..”

Empeh ini menghela napas, suaranya sangat sedih. “Apakah Soehoe maksudkan bentrokan antara Yo Sioe

Tjeng dengan Wie Tjiang Hoei?” Siangkoan Kin tegaskan.

“Benar,” jawab sang guru, setelah menghela napas panjang.

Pada masa Thaypeng Thiankok mengangkat berbagai raja muda (pangeran) adalah Tong-ong Yo Sioe Tjeng yang kedudukannya paling agung. Tong-ong ini terlalu agulkan jasanya, ia sampai menindih Iain-lain rekannya, sampaipun Thian-ong Ang Sioe Tjoan sendiri, ia tidak lihat mata. Di sebelah pangeran yang jumawa itu, ada Pak-ong Wie Tjiang Hoei yang kouwkatie, yang irikan kedudukan orang. Selagi Tong-ong agui-agulan demikian rhacam, hingga dia tak disenangi Thian-ong dan Iain-Iain

pangeran, Pak-ong mengatur siasatnya yang buruk.

Dibokong dalam suatu pesta, Tong-ong kena dibinasakan. Sesudah ini, Pak-ongjuga bunuh habis keluarganya serta sebawahan yang berjumlah dua puluh ribu jiwa lebih. Ini ada perbuatan kcterlaluan. Walaupun bisa dianggap Tong-ong keliru, diamasih tak dapat dihukum mati, apa pula keluarga dan sebawahannya itu. Orang-orang sebawahan itu adalah anggota-anggota berharga dari Thaypeng Thiankok. Dengan pembasmiannya itu, Pak-ong seperti membantu besar sekali kepada musuh untuk memperlemah diri sendiri. Karena itu, Ek-ong sudah lantas buru-buru berangkat ke Kota Raja, untuk cegah pcmbunuhan itu..

Ketika Ek-ong baharu berumur dua puluh enam tahun tapi dia telah jadi seperti jiwanya Thaypeng Thiankok, dia ada pegang kekuasaan besar atas bala tcntara, namanya pun kesohor di dalam dan di luar negeri. Wie Tjiang Hoei khawatir kapan ia ketahui pangeran itu pulang; ia jadi dapat niatan akan bunuh juga rekan ini. Beruntung buat Ek-ong, ia dengar selentingan, malam-malam juga ia kabur, ia loloskan diri dari Kota Raja. Tapi Pak-ong tak mau bekerja setengah jalan, dia pun basmi keluarganya Ek-ong.

Ek-ong berjasa, dia terima nasib celaka itu, dia jadi gusar dan mendongkol. Thian-ong khawatir Ek-ong gusar dan nanti berontak, dia sudah lantas hukum mati pada Pak-ong Wie Tjiang Hoei, tetapi di sebelah itu, ia pakai orang-orang yang tak disukai Ek-ong, hingga perhubungannya dengan Ek-ong menjadi renggang. Ek-ong ketahui ini, hatinya jadi tawar.

Maka di akhirnya, Ek-ong ambil putusan, dengan bawa beberapa laksa serdadunya, ia mcninggalkan kota Kimleng, dia menuju ke barat, untuk cari suatu pangkalan baru, untuk berusaha sendiri, untuk bisa berdiri berendeng dengan Thaypeng Thiankok, guna saling bantu.

Di harian Ek-ong berikan titah-titah unjuk, walaupun Thian- ong keberangkatannya ke barat, Soekong Tjiauw menangis sangat sedih, ia cegah tindakannya Ek-ong, ia menasihatinya berulang-ulang. Ia menyia-nyiakannya, tetapi Thaypeng Thiankok sendiri tak boleh kehilangan Ek-ong, bahwa kepergian pangeran ini berarti memecah tenaga sendiri, hingga gampanglah scsuatu dari mereka diserang rusak tentara Boan. Mulanya, Ek-ong tertarik juga oleh nasihat itu, akan tetapi di akhirnya, kepercayaan atas dirinya sendiri demikian besar, hingga ia tak menghiraukannya. Tidak gentar dia terhadap musuh Boan. Malah ia hunus pedangnya dan sambil berbangkit, ia kata: “Di dalam tentara Boan, yang paling gagah adalah Saudara-saudaraTjan, tetapi mereka, mendengar namaku hatinya rontok,

melihat bayanganku mereka lari simpang-siur! Kau lihat nanti, dari Tionggoan aku akan menyapu ke Barat dan Selatan, untuk meletaki dasar dan mendirikan usaha buat laksaan turunan guna Thian-ong!”

Sampai di situ, Soekong Tjiauw tidak berani bilang suatu apa pula, dia cuma berlinang air mata, laiu tanpa pamitan lagi, dia pergi. meninggalkan raja muda itu.

Ek-ong berangkat ke barat, ia lakukan perjalanan laksaan lie bersama beberapa puluh laksa serdadunya, tetapi akhirnya, tepat kata-katanya Soekong Tjiauw, ia telah tidak bcrhasil. karena tenaganya telah terpecah. Ketika ia hendak memasuki Propinsi Soctjoan, tidak saja tentara di Kimleng terancam bahaya, ia sendiri jadi semakin lemah. Tujuh tahun ia sudah berperang, sembilan propinsi ia telah sampaikan – ialah Kangsee, Tjiatkang, Hokkian, Ouwlam, Kwiesay, Kwietang, Koeitjioe, Ouwpak dan Soetjoan – tenaganya jadi berkurang, otot-ototnya lemah, di saat ia berada di Kali Taytouw-hoo, di depan ia menghadapi tempat berbahaya, di belakang ada musuh mengejar padanya. Di saat yang sangat mengancam itu, sekonyong-konyong Soekong Tjiauw muncul pula di hadapan Ek-ong; untuk menasihati raja muda ini bubarkan tentaranya, untuk menyingkir sambil menyamar.

“Coba pikir, bagaimana Ek-ong bisa turut nasihat itu?” kata Poei Hok Han sambil menghela napas pada muridnya. “Itu malam dengan pedang di tangan, aku damping! Ek-ong, aku dengar pembicaraan mereka berdua.

Dengan keras Ek-ong kata: ‘Aku bertanggung jawab atas seluruh tentaraku, kewajibanku adalah berperang sampai binasa, tak dapat aku menyingkirkan diri! Aku telah keliru ambil jalan, aku telah bawa semua saudara ke tempat buntu, maka aku mesti cari kehidupan dalam kematian, untuk menerobos keluar!

Mana bisa aku bubarkan tentaraku untuk biarkan mereka dikejar dan dibinasakan oleh bangsa Boan?

Khongtjoe toh bilang hams sempumakan perikemanusiaan dan Bengtjoe mengatakan untuk pilih kebijaksanaan. Semangatnya satu orang, di tempat berbahaya itu mesti makin ternyata. maka dari itu, pasti sekali, tidak nanti aku lari.

Untuk sekian lama, Soekong Tjiauw tak kata suatu apa, adalah kemudian, dengan paksakan diri, ia bilang: ‘Aku telah keliru memberi nasihat. Karen a Ek-ong tak sudi menyingkir, maka aku ingin temani Ek-ong binasa bersama.” Akan tetapi Ek-ong larang ia bertindak demikian. Ek-ongmenyatakan:

*Kaudengan aku adalah lain. Aku ada kepala perang, tanggung jawabku ada jauh terlebih berat daripada tugasmu. Sudah pasti aku ingin binasa, kau sendiri tak dapat. Kau hams, dengan tubuhmu yang berharga, selesaikan tugasmu yang belum rampung.’ Habis berkata demikian, Ek-ong loloskan pedang sendiri, serahkan pada sahabatnya itu,-serta ia tulis syaimya yang barusan kau ulangi di luar kepala.”

Mendengar cerita sang guru sampai di situ, tak tertahan lagi, air mataSiangkoan Kin berlinang.

“Habis sekarang, di mana adanya Soekong Tjiauw itu?” tanya ia, dengan suara sesenggukan.

“Ek-ong tak sanggup seberangi Kali Tayhouw-hoo, dia berperang hingga dia kena ditawan,” Hok Han jawab muridnya. “Dengan gagah ia telah terima kebinasaannya. Sejak itu hingga kini sudah bcrsclang dua puluh tahun lebih, tidak pernah aku ketemu di mana adanya Soekong Tjiauw. Adalah baharu bcbcrapa hari yang lal u tiba-tiba aku terima surat satu sahabat yang menulis bahwa Soekong TjiauW tinggal sembunyi di Gunung Seegak H oa-san, bahwa dia mengharap untuk bisa bertemu dengan aku….”

Inilah keterangan yang sangat menggirangkan Siangkoan Kin.

Begitulah di hari kedua, Poci Hok Han ajak Siangkoan Kin merantau, untuk sekalian cari Soekong Tjiauw. Dari Kangsouw Utara, mereka masuk ke Shoatang, terus ke Hoopak di mana mereka pesiar di Kota Raja, dari sana dengan ikuti Gunung Thayheng-san, mereka pergi ke Shoasay, sampai di Kota Tongkwan di tapal batas Siamsay-Shoasay. Dari situ mereka sudah lantas lihat Gunung Hoa-san yang tinggi agung.

Ini adalah untuk pertama kali Siangkoan Kin bikin perjalanan, dia telah meninggalkan wilayah Kanglam di mana tiang-tiang layar bagaikan rimba dan layar-layarnya sendiri berbayang di permukaan air yang jernih indah, tapi sekarang ia memasuki daerah Utara dengan sawah-ladangnya ribuan lie dan tanah datarnya yang luas lebar, jalan di lamping-lamping gunung yang penuh bahaya. Tepian Thayheng-san ada berlugat-legot laksana cacing, ribuan lie panjangnya, lampingnya mirip dengan tembok kota. Ada kalanyadia memasuki lembah atau selat yang sempit dan gelap. Semua itu membuat hatinya si guru sekolah jadi terbuka, hingga insyaflah ia sekarang, merantau ribuan lie benar ada menang daripada membaca laksaan kitab….

Buat dua puluh tahun lebih Poei Hok Han hidup tersembunyi, wajahnya sekarang sudah berubah, benar ia tidak tarik perhatian orang banyak, hingga merdeka ia mengajak muridnya merantau, akan akhimya sampai di Hoa- san, gunung yang sejak zaman dahulu dipanggil Seegak, yang ada punya lima puncak dan tempat yang permai pemandangannya. Ia terus ajak sang murid memasuki rimba, menembusi pepohonan oyot, mendaki sampai di atas puncak tertengah, Lianhoa-hong. Di sini pun banyak pepohonan yang tinggi dan rumput yang lebat dan tinggi

sependirian manusia, angin meniup keras, hawa udara dingin. Siangkoan Kin bertubuh ulet tapi ia toh merasai sejuknya hawa. Ia jalan dengan hati-hati tetapi ia lihat, gurunya jalan sewajarhya saja, tak perduli jalanan sukar dan berbahaya. Diam-diam ia insyaf bedanya kepandaian mereka berdua.

“Itulah puncak utama dari Lianhoa-hong!” akhir-akhirnya Poei Hok Han kata seraya menunjuk ke depan, ke puncak tertinggi. “Soekong Tjiauw dirikan gubuknya di situ} sungguh dia menderita….”

Siangkoan Kin angkat kepalanya, untuk dongak melihat, tapi tiba-tiba gurunya cekal ia seraya membisikinya: “Mendekam, lekas!” Dan ia lantas ditarik ke gombolan. untuk sembunyi.

Sekejab saja, di tempat terpisahnya dua puluh tumbak lebih dari mereka, tiga orang melesat lewat, pakaiannya semua

abu-abu, dan sekejab juga, mereka lenyap. Mereka itu telah gunai ilmu lari “Tengpeng touwsoei” atau “Menyeberang sungai sambil injak kapu-kapu”.

Siangkoan Kin heran, tak terkecuali gurunya. la hendak tanya gurunya itu, atau Hok Han dului ia dengan berbisik: “Kau ikuti aku, hati-hati! Mari kitasusul mereka, mereka” itu menuju ke puncak pusat Lianhoa-hong ini. Masih belum ketahuan. mereka sahabat atau musuh” Hok Han segera berloncat dengan pesat, untuk lari menyusul, agaknya pepohonan oyot dan duri tak menjadi rintangan bagi ia, maka kasihan Siangkoan Kin, yang tidak punya keentengan tubuh dan kegesitan sebagai gurunya itu. Dua* kali ia tersangkut oyot, sampai bajunya robek, sampai tcrpaksa ia minta gurunya tunggui ia.

• ’Siapkan scnjatamu, tetap waspada ‘Hok Han pesan muridnya. Mereka menyusul dengan tak tcrlihat tiga orang di dcpan itu, karena jarak jauh juga dari mereka kedua pihak. . Sebab rumput tebai dan tinggi, Hok Han juga tidak dapat I ihat mereka itu, maka dari itu, ia berlaku hati-hati sekaJi.

Selagi si empch tukang besi ini memasang mata, tiba-tiba ia dengar suara pelahan tidak jauh di depannya. Ia lantas pasang teiinganya, untuk mendengari. Ia segera kenali satu suara, yang ia seperti kenal, akan tetapi kata-katanya ia tidak dengar nyata. Maka itu, ia bisiki Siangkoan Kim “Mereka berada di samping kiri kita, terpisahnya mungkin tiga puluh tumbak kira-kira, mari ikut aku, kita ambil jalan kanan, akan mutar ke belakang mereka. Kita mesti ada di sebeTah belakang mereka, kita mesti jaga agar mereka tak dapat meiihat kita.”

Kebetulan angin meniup keras, suaranya berisik, Hok Han barengi loncat ke samping.

Siangkoan Kin ikuti gurunya itu.

Sebentar kemudian, mereka sudah sampai di belakang orang-orang yang dikuntit, Hok Han, yang berada di depan, telah kisiki muridnya, yang lagi-lagi hendak menanya dia. Guru ini berkata: “Dia orang ada orang-or•ang Kangouw yang pandai, mereka datangi Lianhoa-hong yang penuh ancaman bahaya, mesti merekrii hendak berurusan dengan Soekongl Tjiauw…. a

Dari tempat mereka sembunyi, guru dan murid ini bisa lihat nyata] tiga orang itu, yang berkumpul sambil | jalan mondar- mandir, sambil bicara juga dengan suara keras, angin bersiur- siur.

“Kepala hantu ini sembunyi di pusat tertinggi dari Hoa- san,wj demikian Hok Han dengar, “maka itu ada sangat sukar untuk cari dia. Baharu dalam tahun ini, kita dengar tentang dia, tetapi sudah beberapa kali kita cari dia di sini, tak juga dia dapat diketemukan. Ini hari kita dapat cari guha tempat mengcramnya, akan tetapi dia tidak ada di sarangnya! Apakah kita bukannya menyia-nyiakan waktu saja?”

“Kepala hantu itu sangat licin,” mengulangi yang lain pula. “Nampaknya dia sudah ketahui ketika kita datang pada dua kali yang pertama…. Aku kuatir dia sudah berlalu dari ini.

Entah ke mana lagi dia sembunyikan diri….”

“Aku percaya, dia belum menyingkir pula,” kata orang yang ketiga. “Dua kali kita datang, kita mencari di sekitarnya gunung ini, lata belum sampai di puncak tertengah ini. Kita pun datang malam dan berlalu sebelum terang tanah, cara bagaimana dia bisa mendapat tahu?”

” Walaupun demikian, Sha-tee, tak dapat kita tidak berjaga- jaga,” kata orang yang pertama. “Siapa tahu jikalau ia telah atur bayhok atau ia telah minta datang bala bantuan untuknya? Mari kita mencari pula di sekitar ini. Awas, jangan sampai kita kenadiakali.”

Dua kawan itu mufakat, lantas mereka mencari pula, dengan berpencaran.

Diam-diam, Hok Han kaget dan berkuatir. Terang sudah, Soekong Tjiauw lagi hadapi musuh-musuhnya. Ia juga kuatir, seorang diri, sahabatnya itu nanti tidak sanggup melayani musuh-musuhnya itu. Scmcntara itu, ia ingat semakin nyata lagu suara orang, yang ia rasa kenal. Ia pikirkan itu, ia berpikir keras. Tiba-tiba, ia terkejut sendirinya dan heran.

“Apakah mungkin dia pun telah jadi budaknya bangsa Boan?” akhimya ia tanya dirinya sendiri.

Satu di antara tiga orang itu mencari ke arah Hok Han dan muridnya sembunyi, makin lama dia datang makin dekat.

Siangkoan Kin siapkan pedangnya di satu tangan dan senjata rahasia di tangan yang lain, meski demikian, tidak urung ia keluarkan keringat dingin. Ini ada pengalamannya yang pertama. Poei Hok Han pun siap sedia, malah ia sudah pikir untuk menerjang lebih dahuhi.

Orang itu maju terus, gerak-geriknya hati-hati.

Bcnar di saat Hok Han hendak lompat menyerang atau ia dengar suara bentakan orang itu “Siapa? Berhenti!” Suara itu disusul sama lompat munculnya satu orang, yang dengan suara dalam dan seram. balik menanya: “Kau siapa? Aku ada penduduk gunung sunyi ini! Adakah aku mengganggu pada kau? Aku lagi cari kelinci atau buah-buahan hutan, sebegitu jauh,  aku beium memperolehnya, hingga aku berdahaga dan lapar, lalu aku hendak pulang untuk dahar momo setclah mana, aku hendak keluar pula. Kau suruh aku berhenti – apakah kau mau?

Itulah Soekong Tjiauw!

Hok Han tidak jadi keluar, ia sembunyi terus, akan pandang sahabatnya itu dan si orang tidak dikenal. Selang dua puluh tahun lebih, roman orang she Soekong itu sudah berubah, nampaknya tindakannya kurang tegap lagi, matanya kurang bersinar, pakaiannya pun cobak-cabik, rambutnya dan kumis- jenggotnya telah putih semua. Tidak lagi ia beroman gagah seperti dulu. Cuma karena lagu suaranya. dan gerak-geriknya, maka Hok Han dapat kenali sahabatnya ini.

Orang asing itu, seorang tua dengan pakaiannya abu-abu, bicara pula.

“Soekong Tjiauw, di hadapan sahabat, jangan lagi kau berpura-pura pi Ion! Mustahil kau senang untuk bikin sahabatmu nampak kesulitan?” Soekong Tjiauw berdin diam, sikapnya sangat sabar.

“Apakah Kong„apakah Tjiauw?” tanya ia. “Sahabat, kata- kata kau tak dapat aku mengertikan! Aku ada seorang gunung. Gunung ini tinggi, rimbanya lebat, di sini ada serigalanya, harimaunya banyak, jurangnya dalam, jalanannya sukar dan bcrbahaya. Untukku, yang biasa tinggaJ di guha. semua itu ada umum, tidak demikian dengan kau, Tuan yang terhormat. Ada urn sari apa kau datang kemari? Untuk apa kau berdiam lama-lama di sini? Di sini bukannya tempat pesiar yang indah. Buat apa kau panjat Hoa-san yang tinggi ini?” Selagi Soekong Tjiauw bicara, tiba-tiba muncul seorang tua lain, yang warna pakaiannya serupa dengan yang pertama itu. Dia maju ke depan, lalu dengan suara dingin dia kata: “Saudara Soekong Tjiauw, sudah lama kiia orang tidak pernah bertemu, apa kau ada banyak baik? Saudara, apakah kau masih ingat sahabat kekalmu ini dari Kimleng dari dua puluhtahun yang lampau?….”

Soekong Tjiauw awasi orang itu tetap akhirnya, ia goyang- goyang tangannya.

“Maafkan aku,”jawab ia sambil tertawa dingin, “aku ada seorang gunung, seorang hutan, mana aku ada punya sahabat mewah seperti kau? Oh, Thayya sekalian, harap kau or•ang tidak mengganggu aku!….”

Orang tua itu gusar karena dijawab demikian rupa, dia anggap dia dipermainkan, hingga tak bisa ia mengendalikan hawa amarahnya. Kedua biji matanya lantas saja melotot.

“Soekong Tjiauw!” ia berseru.

“Aku masih ingat pcrsahabatan kita, aku ingin buka jalan hidup untuk kau, aku tidak mau berlaku kejam, kenapa kau bersikap begini macam terhadapku? Ingat, jangan kau cari susah send in”! Jangan kau andali saja kegagahanmu, hingga kau jadi berani membangkang! Lihat tjoekongmu, Tjio Tat Kay! Bagaimana dia pandai dan liehay, tidak urung dia tertawan dan dapatkan kebinasaannya! Apa pengaruhnya Thaypeng Thiankok?’

Bukankah gerakan itu pun buyar bagaikan es? Kau sendiri, apa kau bias bikin? Soekong Tjiauw, aku sudah bicara, maka hayolah kau pikir. Jikalau kau suka secara baik bersama-sama kita pulang ke Kota Raja, aku tanggung pemerintah nanti perlakukan baik kepadamu, kau bakal dipakai dan dihargai, tetapi jikalau tidak, terpaksa kita nanti bekuk padamu! Kau dengar terang atau tidak? Kita ada sahabat-sahabat lama dari Kimleng, aku kenal kau Soekong Tjiauw, kau pun kenal aku Tang Siauw Tong, kita ada bangsa laki-laki, sekarang aku tunggu jawabanmu!”

“Memang dia!” pikir Poei Hok Han di tempat sembunyinya.

Ia memang segera kenali orang tua itu.

Tang Siauw Tong ada orang kepereayaan paling setia dari Pak-ong Wie Tjiang Hoei, sebilah goloknya Tan-too telah menjagoi di lima propinsi Utara, belum pernah dia temui tandingan, ketika terjadi bentrokan antara Wie Tjiang Hoei dan Yo Sioe Tjeng, dia telah membantu membinasakan Tong- ong, kemudian ketika Pak-ong dihukum mati, dia pergi kepada Ang Djin Kan, saudara Thian-ong Ang Sioe Tjoan. Supaya dia diterima, dia kasih keterangannya, bahwa dulu dia cuma turut titahnya Pak-ong Wie Tjiang Hoei, bahwa dia sebenarnya tetap setia kepada Thian-ong. Thian-ong Ang Sioe Tjoan bersatu pendirian dengan Ek-ong Tj io Tat Kay, dalam bentrokan Wie Tjiang Hoei dengan Yo Sioe Tjeng, yang bersalah adalah Wie Tjiang Hoei sendiri, jadi semua

orang sebawahannya tak ada sangkut-pautnya. Karena ini, Thian-ong tidak tarik panjang halnya Tang Siauw Tong.

Kemudian, ketika Kota Kimleng jatuh dan Thaypeng Thiankok hancur-lebur tidak ketahuan ke mana kabumya orang she Tang ini, Hok Han tidak pernah mendengarnya, sampai tahu-tahu dia muncul hari ini. Maka itu Hok Han percaya, dengan sikapnya itu, orang she Tang ini pasti telah jadi kaki-tangannya pemerintah Boan.

Selagi Poei Hok Han berpikir demikian tcntang orang she Tang itu dengan penuh amarah, adalah ia dapatkan Soekong Tjiauw sendiri bersikap tenang. “Tang Siauw Tong?” kata ia sambil tertawa, dengan dingin. “Ya, tidak salah! Memang dulu aku ada punya satu sahabat dengan itu nama, tetapi dia sudah mafi lama…. Di harian jatuhnya Kota Kimleng, semua orang peperangan Thaypeng Thiankok dengan gagah telah mengorbankan dirinya dan Tang Siauw Tong ada satu laki-laki sejati, mana dia bisa mencuri hidup, akan menjadi budaknya si budak, akan jadi gundalnya si gundal? Kau siapa? Kenapa kau bcrani pakai namanya sahabatku itu?”

Soekong Tjiauw tidak sudi kenal orang she Tang ini, ia berbuat demikian dengan disengaja. Ini cara ada lebih hebat daripada dampratan langsung. Tidak heran jikalau si orang she Tang jadi gusar bukan kepalang.

“He, pithoe, begini tajam lidahmu?” ia membentak. “Kau tidak tahu diri! Jangan kau sesalkan aku jikalau aku tidak ingat pula persahabatan kita! Terpaksa aku mesti undang kau turut pergi bersama-sama kita!

Soekong Tjiauw tertawa pula secara dingin sekali. “Aku sudah duga, binatang, kau memang bisa mencari

pangkat dengan jual sahabatmu!” kata 1a. “Kau sekarang

jadinya hendak ambil darah hidupkan untuk celup merah Icopiahmu? Tak demikian gampang, Sahabat! Kau gerakilah tanganmu! Tidak perduli kau sendirian, atau kau maju bersama semua kawanmu, aku Soekong Tjiauw bersedia untuk melayaninya!”

Ketika itu kawan yang ketiga dari t Tang Siauw Tongjuga sudah datang, bersama kawannya, dia dampingi Siauw Tong, mereka tidak senang mendengar ejekan-ejekan Soekong Tjiauw.

“Sahabat Soekong, jangan kau pandang terlalu hina kepada kita!” kata satu di antara mereka. “Tidak nanti kita rebut kemenangan dengan cara keroyokan! Di antara kita bertiga, kau boleh pilih salah satu! Kita hendak bikm kau puas dan mati tanpa penyesalan!”

Berdua mereka bcrdiri dengan sikap jumawa sekali.

Dua kawan dari Tang Siauw Tong ini bukan orang-orang sembarangan.

Yang satu ada TjianlieTwiehong See Beng Wan si Pengejar Angin, yang ada murid utama dari Keluarga Lou, segolong ilmu silat kesohor di Shoasay. Dia tidak saja telah mewariskan Keluarga Lou punya ilmu gembolan Samleng Touwkah-twie, yang terdiri dari delapan puluh satu jurus saling beruntun, ilmu entengi tubuhnya pun sangat terkenal. Dia bekerja kepada pemerintah Boan dengan pertolongan Jenderal Tjoh Tjong Tong. Ini jenderal she Tjoh, bersama-sama dengan pengkhianat besar Tjan Kok Hoan, adalah menteri-menteri yang kenamaan. See Beng Wan “dibeli” ketika Tjoh Tjong Tong bawa pasukannya ke Sinkiang. Or-ang yang kedua ada Peng Tjeng It, seorang dari suku Hweehwee, yang bekerja sebagai pahlawan pilihan dalam Keraton Boantjioe, kepandaiannya adalah ilmu toyasulgj bangsanya dan senjata rahasia. Bertiga mereka sangat percaya kegagahan mereka, mereka tidak berniat keroyok Soekong Tjiauw. Mereka percaya betul yang mereka akan berhasil. Bukankah kalau yang satu sedang bertempur, yang dua bisa memasang mata? Mereka sudah rencanakan, dalam keadaan terpaksa, baharu mereka akan gunai senjata rahasia atau turun tangan bersama.

Soekong Tjiauw tidak sambut tantangan itu, sebaliknya dia yang tanya, siapa di antara mereka bertiga yang hendak maju paling dulu.

Tidak tempo lagi, Tang Siauw Tong enjot tubuhnya, akan mencelat maju ke depannya musuh.

“Aku!” ia berseru seraya terus ulur kepalan kanannya ke arah muka. Soekong Tjiauw kasih dengar tertawa panjang, selagi tangan musuh menjurus, iageser kaki kirinya ke kiri dari sini ia angkat sebelah tangannya, akan gempur lengan orang itu.

“Bagus!” berseru Siauw Tong, yang dengan sebat gunai tangan kirinya, akan halau gempuran musuh itu, sedang tangan kanannya segera ditarik pulang, buat dipakai mencengkram muka orang dengan pukulan “Kimliong tamdjiauw” atau “Naga emas ulur kuku”. Ini ada semacam serangan yang liehay, tcrutama saking cepatnya.

Soekong Tjiauw berkelit, untuk luputkan diri, hingga serangan musuh mengenai tcmpat kosong, sesudah itu, tidak kurang gesitnya, ia menyerang dengan tangan kanan, untuk hajar kanan lawan. Sekali ini ia gunai tipu “Totiam kiamteng” atau “Rubuhkan lampu emas”.

Tang Siauw Tong bcrada di dalam ancaman, akan tetapi ia mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, untuk tolong diri, ia lekas-lekas mengendap sambil putar tubuhnya dalam gerakan “TjhongHong kianbwee” atau “Naga melilit ekor”, menyusul mana, kakinya diulur, untuk meradak kuda-kuda lawan.

Soekong Tjiauw tahu serangannya gagal dan ia berbalik terancam, untuk menyelamatkan diri, ia berloncat dengan “Koaybong hoansin” atau “Ular naga jumpalitan”. Tapi ia tidak berhenti dengan berkelit saja. Ia pun segera balas menyerang pula. Ia telah menyerang dengan berbareng, dengan tangan kanan dan kaki kiri. Ia bersedia akan adu tangan dan kakinya kepada musuh.

Tang Siauw Tong meradak dengan radakan “Poanliong djiauwpou” atau “Naga mendekam menggcser kaki”. itu sebenamya bukan kepandaiannya yang istimewa Sekarang radakan itu gagal, ia balik diserang pula, tidak ada jalan lain, ia tolong diri sambil lompat ke belakang jauhnya beberapa tindak. Di sini baharulah ia perbaiki ia punya diri, sesudah itu, baharu ia hadapi pula musuh, akan mulai saling serang pula. Hok Han kagum melihat caranya dua orang itu bertanding sedemikian hebat, saling berganti mereka hadapi ancaman- ancaman bencana.

Pertempuran berlangsung, sampai tiga puluh jurus lebih, sesudah mana, Soekong Tjiauw lantas mendesak, kecuali tubuhnya melesat ke kiri dan kanan, kedua tangannya menyambar-nyambar dengan kadang-kadang diikuti tendangan. Temyata ia telah gabungkan Sippat Lohan-tjhioe dari Siauwlim-pay serta dia sendiri ilmu totok Tiamhiat- tjhioenya, dengan ini cara, dia berhasil mendesak lawan itu.

Tang Siauw Tong terpaksa main mundur saking hebatnya desakan, tetapi ia juga tidak mau menyerah kalah mentah- mentah, maka kemudian, sambil berseru keras ia keluarkan ilmu silatnya “Thianliong Sippat-tjhioe”, yang terdiri dari delapan belas jurus, setiap jurusnya bisa terpecah pula jadi sembilan gerakan susulan, hingga semuanya jadi ada seratus enam puluh dua jurus. Maka itu, kembali mereka jadi berimbang.

Jurus-jurus dikasih lewat dengan cepat, masing-masing dengan serangan-serangannya yang berbahaya. Menurut mata umum, kclihatan nyata Tang Siauw Tong dcsakannya kcras, ialah orang yang mcrasa mendongkol dan penasaran, akan tctapi di matanya ahli, ia justru yang mulai terdesak

Sippat Lohan-tjhioc adalah ilmu pukuian istimcwa dari Siauwlim-pay, yang tidak sembarang murid dapat pclajarkan, yang tidak sembarang dipakai. di sebelah itu, Soekong Tjiauw pandai Tiamhiat-hoat, ilmu menotok jalan darah. Tang Siauw Tong scbaiiknya, walaupun ia liehay dcngan Thianl iong Sippat-tjiangnya. ia kurang pandai dalam ilmu totokan, karena itu, ia jadi mcndapat rintangan sendirinya.

Rupanya Tang Siauw Tong merasakan sendiri bahwa ia mulai tcrdcsak. dari itu, ia lantas menyerang berulang-ulang, saling susul dcngan “Samboan togoat” — Tiga libat mcngikat rem bu I an, “Lengwan hianko” – Orang-hutan sakti mcnyuguhi buah, dan “Paysan oentjiang” – Menolak gunung dengan telapakan tangan.

Sockong Tjiauw tidak jadi keteter karcna desakan musuh ini, dengan tenang ia mclayani, menangkis atau berkelit.

Paling belakang, ketika tangan musuh sampai, ia sedot pemteya hingga jadi kosong. Cuma beda setengah dim, jeriji tangan lawan akan mengenai sasarannya. Justru itu, luar biasa gesit, orang she Soekong ini gunai tangan kanannya, akan gempur pundak kanan orang, akan cari jalan darah “Djiekhie-hiat.

Siauw Tong tidak sangka, terdesak demikian rupa, musuh masih bisa menyelamatkan diri dan segera membalas menyerang, ia terperanjat, lekas-lekas ia buang tubuhnya ke belakang, dengan jejakan kaki, ia mencelat jumpalitan. loncat beberapa tindak jauhnya. Tapi ia masih kalah gesit, sambaran angin mcngcnai juga pundaknya, hingga ia merasakan kesemutan.

“Kurang ajar!” ia berseru dalam hatinya, sebelah tangannya segera terayun. Segera ada beberapa cahaya berkeredepan yang menyambar kearah Soekong Tjiauw.

Itulah senjata rahasia panah tangan!

Soekong Tjiauw telah bcrlaku waspada, ia lihat gerakan pundak or•ang, lantas ia berkelit, ke kin dan kanan, cara dcmikian, bcbcrapa batang panah tangan itu tidak mcngcnai sasarannya.

Bukan maksud Tang Siauw Tong akan bokong lawannya itu, kalau dia t oh menyerang dengan senjata rahasia, itu adalah untuk bela dirj. Dia khawatir nanti disusul, untuk digerebek, dari itu, dengan panah tangan itu, dia hendak mcnccgahnya. Secara begini pun dia jadi dapat kesempatan akan hunus golok Ganleng-too nya yang pernah menggetarkan lima propinsi Utara. Di waktu dihuntis, golok Tan-too ini bersinar berkilauan, lalu tak tunggu tempo lagi, Tang Siauw Tong lompat maju, akan mendahului serang musuh selagi dia ini repot berkelit dari scrangan panah tangan.

“Pemberontak, lekas hunus senjatamu!” Siauw Tong menantang. Dia bukannya ingat persahabatan hingga dia tidak mau membokong, tetapi dia percaya benar dia punya ilmu golok. Sebab selainnya dari sikapnya ini, adalah tempo bcrtiga mcrcka bcrangkat dari Pakkhia, mereka dipesan sedapat- dapatnya agar musuh mi dibujuk menakluk atau sedikitriya ditawan hidup-hidup. Adalah keinginan dari pemerintah Boan akan korek keterangan dari Soekong Tjiauw tentang di mana sembunyinya ahli waris Kerajaan Beng.

Bukan main panas hatinya Soekong Tjiauw apabila ia saksikan sikapjumawa dari lawan she Tang ini. Teranglah Siauw Tong tidak cuma rela jadi budak Boan tapi dia pun tak hormati lagi persahabatan kaum Kangouw. Adalah satu kebiasaan, dalam keadaan seperti Siauw Tong, diasudah mesti mengaku kalah. Tapi, gusar atau tidak, ia sudah tidak punya kesempatan lagi. Sinar golok itu telah berkeredep

berulang-ulang

menyilaukan mata. Golok Siauw Tong ada golok terbuat dari baja

pilihan, rambut putus bila difiupkan ke arah tajamnya.

Itulah golok yang dipakai membelai Wie Tjiang Hoei, untuk binasakan Yo Sioe Tjeng.

Soekong Tjiauw juga ada punya pedang pilihan, ialah pedang “Lionggim-kiarn” had iah, atau tanda mata dari Ek-ong Tjio Tat Kay, yang tak kalah tajamnya dengan golok Tang Siauw Tong. Pedang ini ia kebetulan tidak bawa, sebab biasanya, ia simpan gegaman itu. Kalau ia lihat Lionggim- kiam, ia jadi bcrduka, karcna ia lantas teringat kepada Ek-ong. Lainnya sebab lagi adalah ia paling tidak gemar merebut kemenangan dengan gunai senjata, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Bcgitu, ia terus hadapi musuh ini dengan tangan kosong, ia cuma waspada, ia mundur.

“Kau masih tidak mau kcluarkan senjatamu?” Tang Siauw Tong membentak. “Kau hendak tunggu apa lagi? Apa kau mau terima binasa di ujunggolokku?**

Ditantang secara dcmikian takabur, bukannya dia naik darah, Soekong Tjiauw scbaiiknya tertawa besar dan lama, kemudian dengan tiba-tiba ia melejit ke samping jauhnya beberapa tumbak di mana ia hampirkan sebuah pohon yang besarnya sepelukan, ia jambret scbatang cabang, untuk potes yang panjangnya satu tumbak lebih, yang besarnya sebesar lengan seorang tua, kemudian dengan putar itu, ia hadapi orang jumawa itu. Cabang pohon itu ia hendak gunai sebagai toya Houwbwee-koen – Ekor Harimau -Iguna layani golok Gan leng- too.

Tang Siauw Tong tertawa di dalam hatinya apabila ia tampak orang hendak lawan iadengan gunai hanya sebatang pohon.

“Tcrang dia mau can” mampifs sendiri!” pikir ia. “Walaupun kau gunai toyabesi, aku tak takut, apalagi segala kayu!”

Dan ia segera loncat maju, untuk mulai dengan serangannya.

Soekong Tjiauw putar toyanya, hingga mcncrbitkan suara angin menderu-deru, dengan itu ia hendak] sampok golok orang.

Siauw Tong tidak kasih goloknya dihajar, ia mempunyai kegesitan luar biasa dalam hal bcrsilat dengan scnjata ini. Ia kasih lewat toya, lantas ia barcngi, akan mcmbabat, untuk membikin kutung. Tubuhnya bcrada di sampi ng.

Scnjata toya ada panjang, tetapi menghadapi gcgaman pendek, digunainya rada sulit, karena kurang kegesitan.

Soekong Tjiauw pandai Umu entengi tubuh, tidak urung, ia merasakan juga sedikit kesukaran. Adalah karena ia sudah bcrpcngalaman, ia masih bisa luputkan diri dari papasan golok lawan.

Pertarungan bcrlangsung dengan Soekong Tjiauw berada di pihak terdesak, goloknya Tang Siauw Tong ada sangat gesit, sambarannya tidak putus-putusnya, maka juga, scsudah lewat beberapa jurus, tiba-tiba kedua senjata beradu dengan keras, lantas toya putus dengan getas, hingga tinggal scparuhnya masih dicckal. Siauw Tong tidak mau kalah, ia loncat terus, akan babat sekalian lengannya orang itu!

Soekong Tjiauw menangkis dengan toya buntungnya, maka lagi sekali, kcdua senjata beradu keras, golok ada sangat tajam, toya kena dipapas! atas itu, dia berlompat mundur tiga tumbak. Apabila ia lihat toyanya, ujungnya itu pun telah jadi runcing….

Poei Hok Han mcnonton dengan asyik sekali, hatinya tegang, ia tahu sahabatnya liehay tetapi ia tcrpcranjat mendapati sahabat itu kena didcsak dcmikian macam, hingga ia pikir, sudah datang saatnya untuk ia memberi bantuan.

Tapi, bclum sampai ia sempat kcluar dari tempat sembunyinya, ia tampak sahabatnya sekarang berubah sikap.

Scbal i knya dari pada jcrih, Soekong Tjiauw tertawa tcrbahak-bahak.

“Pcngkhianat, jangan kau merasa puas!” dia menegur. “Lihat tombakku!”

Dengan sebenarnya, karena ujungnya runcing, toya kayu itu merupakan jadi tombak, karena mana, Soekong Tjiauw mcndahului maju. Dia sekarang bersilat dengan ilmu tombak “Kimtjhio Djiesiesie”.

Tang Siauw Tong tertawa dingin.

“Dengan toyamu tinggal sepotong, kau masih berani layani aku?” tanya ia dengan sikap menantang, mcnghina. “Lebih baik kau turut saja aku pulang ke Kota Raja, dengan pandang kau sebagai sahabat kekal, tidak nanti aku bikin susah padamu.”

Soekong Tjiauw tidak gubris bujukan yang diberikuti ancaman itu, ia malah lantas mcnusuk perut orang bahagian “Khieboen-hiat”.

Tang Siauw Tong membabat, dengan maksud menabas pula toya runcing itu, tetapi sebat sekali, Soekong Tjiauw bcrkelit ke kiri seraya barengi menikam lengan kanan orang.

Mcnampak dcmikian, dengan tidak kurang scbatnya, Siauw Tong menangkis, malah dengan tepat, hingga lagi-lagi ia kena papas sedikit ujung toya orang itu.

Soekong Tjiauw tetapi tidak menjadi jcrih meski juga bcrulang-ulang toyanya kena dibikin tambah pendek, scbal iknya, ia berkelahi terus dengan semakin gesit, di sebelah ancaman serangannya, sekarang lajaga agar senjata tidak lagi menjadi korban golok musuh.

Dcmikian mcrcka bertarung terus, sampai Tang Siauw Tonglcewalahan juga, tetapi dia tidak mau mengerti, dia toh tidak takuti toya, goloknya ada tcrlalu tajam untuk itu, dia menyerang dengan scngit, hingga lagi-lagi, dia dapat babat ujung toya orang hingga cabang pohon itu jadi makin pendek, karena papasan berulang-ulang.

Hok Han mengawasi dengan tercengang, hatinya tegang bukan main. Terangiah kawannya sudah terdesak sekali

“Kena!” mcndadakan terdengar seruannya Tang Siauw Tong, menyusul mana, kembati toyanya Soekong Tjiauw kenadibabat, hingga sekarang senjata sembatan itu jadi pendek sekali.

Poei Hok Han keluarkan keringat dingin. Kcmbali ia berniat iompat keluar, akan bantui kawart itu. Tapi lagi sekali ia urungkan niatnya! Di antara suara tertawa yang keras dan panjang, ia tampak Soekong Tjiauw Iompat tinggi, di sebelah atasan kepala lawan, akan turun di belakangnya musuh ini, toyanya tak ada sepanjang ruyung, dan ketika Tang Siauw Tong putar tubuh, akan hadapi dia, dia kata: “Terima kasih kepadamu yang telah persembahkan sepotong senjata ini kepadaku!”

Soekong Tjiauw telah gunai toya yang tcrlalu besar dan panjang, walaupun ia ada sangat gesit, senjata istimewa itu tak tepat untuknya, maka itu, selagi ia terdesak, dengan separuh disengaja, ia biarkan senjatanya saban-saban kena ditabas kutung dan dipapas sempiak, sampai akhirnya toya itu jadi sangat pendek, seperti ruyung saja, hingga cukup untuk ia pegang dengan sebeiah tangan. Sekarang sampailah saatnya untuk ia bikin perlawanan Icbih jauh. karena toya panjang itu sudah merupakan sebagai Poankoan-pit. Dia ada ahli menotok jalan darah, inilah senjata yang surup untuknya.

Tang Siauw Tong tahu orang ada ahli totok tetapi ia tidak mau lantas percaya sang lawan bisa gunai punning toys itu, maka juga dengan tertawa dingin, ia kata: “Sockong Tjiauw, akal apa kau scdang gunai? Apakah dengan punning itu kau hendak gertak aku? Soekong Tjiauw, apabila kau ingin lindungi jiwamu, lekaslah kau menyerah!”

Diancam secara demekian, Soekong Tjiauw ulapkan senjatanya dan tertawa besar.

“Kematian sedang menghampirkan kau, kau masih omong besar?” ia balasi. “Mari maju, untuk kita orang mencoba-coba pulaJ”

Dan dengan senjatanya itu, ia menggertak, ia pun melirik.

Naik darahnya Tang Siauw Tong, yang menganggap dirinya dipcrmainkan, sedang waktu itu ia percaya betul ia sudali bcrada di at as angin.

“Baik aku habiskan sajajiwanya!” demikian ia pikir saking murkahnya. “Tidak apa apabila aku bunuh dia schingga aku tak akan dapat upah lebih besar daripada dia ditangkap hidup- hidup! Tak dapat aku antapkan diriku dipcrhinakan dia!”

Segera ia maju, untuk menerjang. Sckarang ia sudah ambiI keputusan akan bikin mampus saja ini sahabat dari dua puluh tahun yang lampau….

Selama bertempur, walaupun dia ada di pihak tcrdcsak, kelihatan Soekong Tjiauw tenang saja, tidak demikian dengan si penonton Poei Hok Han, yang hatinya berdebar-de-bar, saking khawatimya.

Kcdua kawannya Tang Siauw Tong tetap menaruh perhatian besar, mcrcka pun heran menampak sikap luar biasa dari orang yang mcrcka kepung-kepung, tanpa mcrasa, mcrcka siap benar dengan masing-masing senjata mereka.

Mereka mencurigainya!

Hok Han mengerti bahwa sahabatnya sudah nekat, sahabat itu sudah bersedia untuk jual jiwanya, karena itu, separuh berbisik, ia pesan Siangkoan Kin: “Mungkin sebentar aku muncul untuk adujiwaku dengan jahanam itu, kesudahannya bisa aku beruntung, bisa jadi juga tulang-tulang dan dagingku bakal dikubur di udara terbuka di gunung sunyi ini, akan tetapi tak perduli bagaimana kesudahannya, aku larang kau sembarang bergerak! Umpama kata orang kemplang aku hingga mati, kau tetap tidak boleh to long i aku!

Kcpandaianmu masih sangat jauh dari kesempurnaan, dengan munculkan

diri, itu berarti kau antari jiwa…..

Begitu lekas kau angkat kaki dari gunung ini, barangkali selama nyawaku belum putus, aku bisa gerecoki mereka hingga kau dapat ketika untuk meluputkan diri.

Siangkoan Kin, dengarkah kau kata-kataku ini?”

Tak dapat Siangkoan Kin setujui putusan gurunya itu, mulutnya akan utarakan tak mufakatnya itu, akan tetapi iatak bisa buka mulutnya, sang guru sudah awasi ia dengan tajam sekali, hingga ia ragu-ragu.

Juga Poei Hok Han tidak dapat mcngawasi terus muridnya itu, untuk peroleh jawaban, karena hatinya ada pada pertempuran. Demikian ia sudah lantas berpaling pula, kepadadua or•ang yang lagi adu jiwa. Ia ingin ketahui, sampai di mana adanya bahaya yang mengancam sahabatnya. Akan tetapi, setelah ia melihat, ia menjadi heran, hingga ia berdin tercengang, mulutnya ternganga, matanya terbuka lebar!

“Medan perang” telah berubah seperti dalam sekejab, segera kelihatan perbedaannya antara tuan rumah dan tetamunya. Dengan Poankoan-pit puntung toyanya, Soekong Tjiauw telah jadi lain daripada Soekong Tjiauw yang bcrsenjatakan toy a» yang panjang, besar dan berat. Dari didesak, ia sckarang yang menggantikan merangsang lawan. Dengan puntung toya itu, ia jadi sebat dan tangkas bukan main.

Tang Siauw Tong terkejut apabila ia saksikan perubahannya silat dari lawan ini. Inilah ia tidak pemah sangka dari satu sahabatnya dari puluhan tahun yang telah siiam. Segera ia merasa bahwa ia lagi terancam bahaya, tidak perduli ia sanggup geraki goloknya dengan sempuma. ia pun bersangsi meskipun ia ingat kepada kedua sahabatnya, bantuan siapa ia boleh harap. Kulit mukanya ada terlalu tipis untuk segera minta bantuan sahabat-sahabat itu. ia pun masih sangat kemaruk sama jasa, ia masih sayang akan membagi jasa kepada kedua kawannya itu. Maka, dalam saat-saat sehabat itu, ia terus berkelahi scorang diri. Demikian lah ia berseru beberapa kali, ia geraki goloknya sccara sangat sebat dan berbahaya.

Soekong Tjiauw tidak perdulikan liehaynya musuh, ia berkelahi dengan menunj ukkan kegesi tanny a, ia kurung ini dengan loncatannya ke empat penjuru, kiri dan kanan, depan dan belakang, tangannya pun menyambar-nyambar bagaikan halilintar bcrkclcbatan, saban-saban ujung “Poankoan-pit” mencari jalan darah…. Ia pun, saban-saban perdengarkan tertawanya, mengejek. Sckian lama lagi,Tang Siauw Tong layani musuh yang liehay ini, lantas ia punya keringat membasahkan jidatnya, matanya berkunang-kunang, kepalanya mulai pusing. la insyaf benar-benar akan bahaya yang mengancam padanya. Sckonyong-konyong ia mainkan tipu pukulan “Pcngscc lokgan” atau “Ganlok pengscc”, goloknya ditunuikan, lalu ia membabat pundak terus ke lengan.

ke nadi!

Soekong Tjiauw perdengarkan seruan panjang apabiia ia lihati serangan hebat itu, lekas-lekas ia turunkan pundak kanannya sambil Ikaki kirinya menggeser, untuk mundur sedikit, kcmudian setelah bacokan musuh lewat, ia maju pula, dengan serangannya dengan tipu silat “Siankouw songtjoe” atau “Dewi mengantar anak”. Pit istimcwanya mencari jalan darah “Hoetjoei-hiat”.

Tang Siauw Tong segera bcrkclit, menyusul mana, goloknya dari bawah mcnyambar ke atas, akan scrang tangan musuh.

Atas ini Soekong Tjiauw berkelit, tetapi kemudian, scpcrti tadi, ia tcrusi mcrangsang pula, tangan kanannya mencari jalan darah “Hoakay-hiat”. Sekarang tangan kirinya turut mengancam dengan cengkraman, untuk cekuk tangan lawan.

Sambil perdengarkan jcritan “Aya!” orang she Tang itu lompat mundur. Ia bcrlaku sangat cepat, tetapi lebih cepat lagi gerakannya lawan, selagi ia loncat, lawan itu loncat juga, akan susul ia. Ia bclum tctap dengan kakinya, tangannya masih bclum siap, ujung Poankoan-pit sudah menyambar.

Di saat dari kematian itu, mcndadakan satu tubuh lompat maju, menghadang di antara dua musuh ini, hingga mau atau tidak, Soekong Tjiauw mesti batalkan serangannya dan lompat ke samping, untuk hindarkan dirt. Kelika ia sudah mengawasi, ia kcnali See Beng Wan, sahabatnya musuh itu. Ia jadi sangat mendongkol. |

“He, orang busuk dari Rimbai Pcrsilatan!” ia membentak sambil ia tuding orang she See itu. “Sungguh kau membikin malu pada kaum Kangouw! Apakah scbenarnya siasat kau orang? Kau orang hendakj berkelahi dengan bergiliran sebagai roda atau hendak main keroyok?”

Tapi See Beng Wan tidak menjadi malu karena teguran itu, sebaliknya, ia tertawa haha-hihi.

“SoekongTjiauw,” kata ia dengan menebal, “jikalau ini hari kau masih* bisa mengharap loloskan diri, itulah sulit – itulah lebih sukar dari pada naik ke langit! Kau adalah pemberontakdi matanya Pemerintah Agung, maka siapakah yang kesudian bicara tcntang. kehormatan kaum Kangouw dengan kau?”

Setelah iamengucapkan demikian, See Beng Wan lantas menyerang, akan bcrsama-sama Tang Siauw Tong kepung musuh ini. Tang Siauw Tong sendiri tidak, pcrdulikan lagi kehormatan kaum Kangouw itu.

Soekong Tjiauw sangat mendelu melihat orang ada demikian tak tahu malu, maka itu, sambil tertawa dingin, ia layani mereka bcrdua. Sama sekali ia tidak merasa jerih.

Pertempuran kali ini pun ada membawa perubahan.

Gembolannya See Beng Wan Samleng Touwkoet-twie adalah sebuah senjata yang langka, jarang sekali orang Kangouw yang bisa gunai itu, sedang gelarannya “Tjianlie Twiehong” atau si Pengejar Angin, atau lebih benar, “mengejar angin scribu lie jauhnya”, sudah mengunjuki keentcngan tubuhnya dan kegesitan, yang ada mclcbihkan Tang Siauw Tong.

Kewalahanjuga Soekong Tjiauw melayani dua musuh yang tangguh itu. Sulitnya, puntung ruyung tak dapat diadu dengan golok atau dengan gembolan kedua musuh itu, ia melainkan bisa andali kegesitannya. Maka di akhirnya, ia menjadi nekat. Ia mesti berlaku cepat untuk mengakbiri pertempuran itu.

Demikianlah, selagi ia berkelit dari serangannya See Beng Wan, setelah menyampingkan diri, ia terusi totok muka Tang Siauw Tong.

Orang she Tang itu bcrkclit ke samping.

Selagi musuh berkelit, Soekong Tjiauw tidak mendesak, hanya di lain pihak, ia loncat ke kiri, di mana ada Sec Beng Wan, yang habis terjang ia, lain ia totok jalan darahnya “Thiantie-hiat” musuh.

See Beng Wan tidak berkelit atas datangnya serangan itu, sebaliknya, ia angkat tangan kanannya, untuk balas menyerang, dengan membarengi.

Soekong Tjiauw tidak mau adu senjata, ia mundur sambil putar tubuh, scsudah mana ia loncat, hingga ia berada di beiakang dua musuh itu.

“Pemberontakjangan lari! Masih ada aku di sini!” demikian satu teriakan tiba-tiba selagi baharu saja Soekong Tjiauw lolosdari kepungan. Seruan itu disusui sama berkeredepnya beberapa cahaya berkilau, yang datang menyambar.

‘Tapi juga masih ada aku di sini!” sekonyong-konyong datang lain seruan sebelum teriakan itu habis diucapkan.

Soekong Tjiauw lihat serangan senjata gelap, ia segera berlompat berkelit, tetapi ternyata, semua senjata itu tak menjurus tepat, hingga ia jadi heran, apapula setelah ia tampak. dua tubuh muncul saiing susul.

Itulah PekTjeng It dan Poei Hok Han.

Pek Tjeng It telah pasang mata, ia siap dengan Djoan- piannya, ruyung lemas, yang ia bisa gunai sebagai toya. Ketika ia lihat Soekong Tjiauw mau loloskan diri, ia tidak mau mcmbiarkannya, maka itu, lantas ia gunai senjata rahasianya, yang ia biasa tak sembarang gunai yaitu jarum bcracun Wietok Tjitsat-teng. banyaknya tiga batang. Ia menimpuk bcruntun terus. Ia ada liehay dalam ilmu ini, tapi kesudahannya bikin ia heran dan penasaran. Sebab “cengcorang menangkap tonggcret, tak tahunya di belakangnya, ada| burung gereja”.

Poei Hok Han juga siap sembarang waktu, kctika ia lihat muncul pula satu musuh, yang bokong Soekong Tjiauw, dengan terpaksa, ia pun keluar dari tcmpat sembunyinya, untuk gagalkan bokongan, ia scrang orang itu dengan tiga batang panah tangan.

Pek Tjeng It dapat tahu ada serangan gclap untuk ia, ia bcrkclit, tetapi justru itu, ia pun lagi bokong Soekong Tjiauw, dari itu sendirinya, scrangannya jadi tidak tepat kepada sasarannya. Maka itu, Soekong Tjiauw jadi teriuput dari bahaya. Ia pun memangnya dapat kctika untuk berkelitjuga.

Pek Tjeng It gusar sekali terhadap orang yang bokong ia, yang bikin ia gaga].

“Binatang dari mana berani mengacau kita?” ia membentak sambil ia terns menyerang dengan Djoan-piannya.

Poei H ok Han tidak berdiam saja, ia tangkis serangan itu, ia bikin perlawanan.

Soekong Tjiauw jugasudah asyik bertcmpur pula, karcna Tang Siauw Tong dan Sec Beng Wan sudah Iantas knnmg pula padanya, untuk dikepung lebih jauh. Ia tetap tidak takut, meski juga kedua musuhnya menyerang dengan seru, tapi sekarang pcrhatiannya tertarik oleh pertempuran di sebelahnya, karcna ia segera kenali, siapa itu yang lagi layani musuhnya yang ketiga.

Bertempur belum lama, Poei Hok Han sudah lantas ketcter, tidak perduli ia telah mainkan sungguh-sungguh ilmu silatnya golok LiokhapJ, too. Musuh ini, sclainnya liehay, pun ada sedang gusar karena) pembokongannya terhadap Soekong Tjiauw dirintangi hingga jadi gaga!. Bcbcrapa kali goloknya kena dililit hingga sampai hampir terlepas dari cckalan. Lagi bcbcrapa jurus, lantas iacuma sanggup menangkis, tidak lagi, bisa menyerang. Iasebenarnyagagah, kalau tidak, tidak nanti dia jadi pahlawannya Ek-ong Tjio Tat KayJ akan tetapi kawannya Tang Siauw Tong itu ada salah satu pahlawan pilihannya pemerintah Boan.

Pek Tjeng It lihat bagaimana ia adaj di pihak unggul, ia segera perkeras desakan nya untuk rebut kemenangan.

Hok Han tahu ia lagi menghadapi bencana, scdapat mungkin ia bcrikan perlawanan sungguh-sungguh, demikian satu kali, ia paksakan membacok Pek Tjeng It dengan tipu bacokan “Pekgan sieleng” atauj “Burung belibis putih sisirkan bulu”.

Pek Tjeng It berkelit seraya putar tubuhnya, dengan begitu Djoan-piannya bisa diteruskan dipakai menyerang, karcna ia berkelit sambil mengendap, sekarang serangan] membalasnya ke bawah, bagaikan gcrakan uNaga malas bergulingan di tanah”. Ruyungnya menyerempet di tanah sampai menerbitkan suara. inn ada suatu serangan dari ilmu toya Sat hwee hwee-koen yang dinamakan “Ouwliong kauwtjoe” atau “Naga hitam melilit tiang”.

Untuk tolong diri, Hok Han mcloncat, akan tetapi oleh karena ituj Djoan-pian, yang diputar terus, kembali menyambar padanya. Dan justru ia berada di saat berbahaya itu, mati atau hidup, tiba-tiba ada sambaran senjata gelap yang mengenai Djoan-piannya, sehingga Pek Tjeng It jadi kaget dan lantas; menunda penyerangannya lebih jauh.

“Siapa berani membokong aku?” membentaknya.

Teguran itu disusul sama munculnya satu anak muda dari gombolan di samping mcreka ini, pemuda itu berlari-lari menghampiri mcreka dengan pedang di tangan. Hok Han tercengang dan mukanya pucat apabila ia tampak pemuda itu, karena dia adalah Siangkoan Kin, mu rid nya yang tcrsayang itu. Ia tidak sangka murid ini abaikan pesannya dan justru muncul sekali. ltulah bcrbahaya untuk si murid, setagi ia sendiri, si guru, tidak bcrdaya.

Tent u saja Siangkoan Kin tidak bisa berdiam saja, atau lari kabur, selagi ia lihat gurunya terancam bahaya maut, melupakan segala apa, ia menyerang dengan beberapa panah tangan, sehingga merepotkan Pek Tjeng It, untuk menghalau itu. Sesudah membokong, ia segera keluar dari tempatnya sembunyi, maka di lain pihak, ia sudah hadapi musuh liehay itu.

“Siangkoan Kin, mundur!” Hok

Han teriaki muridnya, seraya ia sendiri loncat maju untuk mcnghalangi. “Ini bukan urusan kau, jangan kau campur tahu!” Kemudian ia tambahkan pada Pek Tjeng it: “Sahabat, kau layani aku saja! Mari kita bertempur sampai salah satu mati!”

Pek Tjeng It tertawa menghina bcrulang-uiang.

“Ini eng-hiong muda berani membokong dengan senjata rahasia, aku ingin coba-coba dengannya!” jawabnya sangat jumawa. Kemudian sambil tertawa dingin ia kata pada si anak muda sendiri: “Aku izinkan kau membokong! Aku sendiri tidak sudi menipumu! Kau ada punya senjata apa lagi? Hayo segera keluarkan itu!”

Dia menantang karena dia bisa duga, anak muda ini tentu masih hijau. I a buka mulut dengan tidak dipikir lagi, ia lupa, ia sendiri baharu saja membokong Soekong Tjiauw.

Poei Hok Han ada sangat berkuatir, hingga melupai segala apa, ia loncat akan terjang lawan yang liehay ini, pertama ia menyerang dengan “Tay-san apteng” atau “Gunung Tay-san mcnindih kcpala”, kemudian ia membabat dengan “Taypeng tiantjie” atau “Burung garuda pentang sayjtp”. Ia bcrlaku mati- matian!

Pek Tjeng It melihat kenekatan orang, ia tertawa mengejek. Menggeraki Djoan~pian ke atas, ia tangkis serangan dari atas itu, kcmudian setelah ia ditabas, ia pun terusi menangkis ke samping. sesudah mana ia ambil ketika akan balas mcnycrang. Sesaat saja, ia telah bikin repot si empeh tukang besi.

Siangkoan Kin ada scumpama anak kerbau yang tak takuti harimau, begitulah melifaat gurunya terancam bahaya. ia lompat mcnycrang, akan tikam iga kanan orang itu. Akan tetapi pcdangnya bcntrok dengan Djoan-pian, yang dipakai menangkis padanya, tahu-tahu tangannya sakit, sesemutan, pedangnya teriempar, mcnyusul mana, ia pun 1 imbung dan rubuh dengan tak dapat ditahan lagi. Itu adalah akibat gcrakan scbat, kcras dan libatan senjata Pek Tjeng It.

Poei Hok Han kaget bukan kepalang, ia kuatir muridnya disusuli serangan lain, ia loncat, ia serang musuh itu dengan tipu-bacokan “Benghouw pabwee” atau “Harimau galak menggoyang ekor”. Ia arah mukanya musuh.

Pek Tjeng It lihat serangan orang tua mi, sambil putar sedikit tubuhnya. ia menangkis, Djoan-piannya dibikin meiibat, sesudah mana, ia membctot dengan kaget dan keras. Goiok Liokhap-too terbentur dengan menerbitkan suara nyaring, lantas teriempar dari cekalan, teriempar jauh!

Syukur untuk Poei Hok Han, waiaupun goloknya terlepas dan ia terkejut, kuda-kudanya teguh, ia tidak kena turut terbetot, dari hu, dengan tidak perdulikan goloknya lagi, ia loncat kepada muridnya, tubuh siapa ia angkat, terus ia ajak muridnya itu lari!

“Menyerah kau!” Pek Tjeng It bcrscru sambil ia lompat, untuk mengejar. Tapi ia menguber baharu beberapa tindak, sekonyong-konyong ia dengar suara mengaung di atas pepohonan, suaranya tedas dan panjang. Mendengar ini, ia segera tahan t indakannya, ia terkejut Karena segeralah ia ingat, ia kenal i suara apa itu. Ia tidak usah tercengang lama atau di scbclah depan ia, dari gegombolan, ia lihat munculnya satu niekouw tua di tangan siapa ada tercekal sebatang kebutan Tiat-hoedtim. Ia kaget, sampai hatinya berdebaran. Itulah pendeta wanita nama siapa ia telah dengar lama, yang orang Kangouw sangat takuti — ialah Sim Djie Sinnie.

Mclainkan romannya niekouw ini, yang sabar, beda daripada apa yang orang buat ceritaan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar