Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 11

 
Hoe Touw Lam telah meninggal dunia, tctapi ia ada mempunyai satu murid. Dia ini sangat mencintai gurunya, ia hendak menuntut balas. Satu kali, dia scrang Hong Tjin secara menggelap, tctapi dia bukan tandingan dari itu pendeta, dia kena dikalahkan. Hong Tjin sudah lukai guru orang, ia tidak tega eclakai penyerangnya ini, malah sebaliknya ia memohon maaf dari murid itu. Tapi dia ini bertabiat luar biasa, dia tidak matur maaf, dia tidak bilang suatu apa, dia ngeloyor pergi, terus sampai kira-kira tiga puluh tahun, tentang dia Hong Tjin tidak dengar suatu apa, sampai sekarang, tahu-tahu diamuncul di atas panggung adu kepandaian.

Murid Hoe Touw Lam ini bemama Louw Kee Tjong.

Segera setelah ia kenali Kee Tjong, Hong Tjin memberi hormat

“Lauwtee, apakah kau tetap tak bisa lupai urusan dari tiga puluh tahun itu?” tanya ia. “Dulu karenamelukai gunimu itu, aku menyesal bukan main. Kau tahu sendiri, gurumu bukan terbinasa di tanganku, dia menutup mata karcna sakit. Pada tiga puluh tahun yang lalu, aku telah mohon maaf dari kau, Lauwtee, dan sekarang ini, aku matur maaf kcmbali kepadamu. Jikalau kau inginkan aturan kaum Kang-ouw, aku nanti jamu kau, untuk haturkan maafku terlebih jauh.

Lauwtee, bukankah urusan dapat dibikin habis? Kalau kau setuju, aku nanti atur ini schabisnya picboc ini. Aku datang kemari untuk kehormatan kaum Kang-ouw, untuk urusan besar, sedang urusan kita berdua ada urusan kecil, urusan perseorangan. Kau toh bukannya tidak ketahui scbab- musabab dari pieboe ini? Maka kenapa kau hendak mengacau, dengan campur-baurkan urusan kita berdua? Apakah mungkin kau ada kambratnya Gak Koen Hiong?”

Louw Kee Tjong bukannya konco dari Gak Koen Hiong, selama beberapa puluh tahun, ia terus yakinkan ilmu silat dengan maksud tujuan satu saja: untuk mencari balas buat gurunya. Mengenai pieboe ini, ia tak tahu benar siapa betul dan siapa salah, ia juga tidak bermat membantu salah satu pihak. Ia lihat Hong Tjin Hweeshio, ia turut naik di atas panggung, guna bertempur, agar ia mewujudkan pembalasannya. Inilah ada terlebih baik lagi, karena mereka bertempur di muka orang banyak. Maka itu, tak sudi ia mendengari nasihat pendeta tua itu. Ia goyang-goyang Hoed- tjhioe-kay, ia tertawa dingin.

“Enak sekali kau bicara!” dcmikian ejekannya. “Guruku terbinasa karena kau, aku telah bersabar tiga puluh tahun, apa itu masih belum cukup? Tidak dapat kau habiskan urusan secara begini gampang. Bagaimana caranya dahulu kau rubuhkan guruku, begitu juga caranya sekarang aku hendak rubuhkan kau! Kau hajar guruku dengan Kim-pa-tjiang, sekarang aku hendak beri kau rasa Hoed-tjhioe-kay! Dengan tongkat membayar tangan kosong, itulah bunga untuk tiga puluh tahun! Tapi mengenai urusan pieboe ini, siapa benar siapa salah/ aku tidak sudi campur. Umpama kata kau tak ingin aku mengacau, baik, sekarang kau segera umumkan kepada khalayak ramai bah wa kau men ye rah kaiah, kau tidak bcrani Iawan aku, kemudian kita orang can satu tempat sunyi di rnana kita berdua boleh adu kepandaian kita!”

Mendengar kata-kata orang itu, Hong Tjin merasakan dirinya dibikin jadi menunggang harimau. turun atau duduk terns, jadi serba salah. Coba mereka ada di lain rempat, dengan gam pang iasuka mengaku kalah saja. Sesudah puluhan tahun sucikan diri, pikirannya sudah bebas. Buat ia sendiri, kalah pun tidak bcrarti. Tapi di sini ada mengenai rombongannya Teng Hiauw, maka kecewa sekali bila ia mengaku kalah tan pa bertempur lagi. Kekalahannya akan mcngakibatkan kekalahannya Teng Hiauw dan Boe Wie.

Bagaimana ia dapat lakukan itu? Dan sebagai wakil dari Siauw Lim Pay, cara bagaimana tak keruan-keruan, ia mcsti menyerah kalah terhadap musuh pribadi? Apakah itu tidak akan mencemarkan golongannya? Kalau bertempur, ia tidak tega melukai Kee Tjong, tanpa dilukai, sulit muridnya Hoe* Touw Lam dirubuhkan jatuh dari atas loeitay. Dari romannya orang, ia tahu benar, orang she Louw ini sudah sempurna pelajaran silatnya.

Selagi pendeta ini bersangsi, di bawah orang bertempik sorak riuh. Ttulah pcrbuaian rombongan Gak Koen Hiong. Mereka dengar Hong Tjin bicara, tapi tidak terdengar apa katanya, mereka tampak pendeta itu bersikap lesu, mereka sangka orang jerih, dari itu, mereka berseru-seru, antaranya ada yang teriaki: “Di atas loeitay bukan tempatnya untuk bicara hal dulu-dulu! Pieboe bukannya urusan menghadapi bcsan! Eh, kenapa si keledai botak masih tidak mau turun tangan?”

Juga To Hoan dan Kong Tat tidak mengerti melihat orang masih berhadapan saja, yang satu sikapnya menantang, yang lain seperti jerih, hiingga mereka memikir untuk mcndcsak, supaya dia orang itu segera mulai bcrtanding.

Justeru itu, Hong Tjin loloskan jubahnya, kemudian seraya pasang kuda-kudanya, ia kata pada penantang itu: “Lauwtee, kau telah desak pintjeng hingga pintjeng tidak bcrdaya lagi. Silakan kau maju!”

Louw Kee Tjong melirik dengan tajam.

“Apakah kau hendak gunai sepasang tanganmu yang kosong buat layani tongkat Hoed-tjhioe-koay?” ia tanya sambil berseru.

Pendeta itu tertawa. “Sudah ban yak tahun aku sucikan diri, sudah tak biasa lagi bagiku buat menggunai golok atau pedang,” ia mcnyahut dengan manis. “Lauwtee, silakan kau maju, sesukamu, jangan sungkan-sungkan!”

Louw Kee Tjong jadi gusar. Ia anggap ia sudah dipermainkan.

“Keledai botak!” ia mendamprat. “Kau sudah bikin celaka guruku, sekarang kau perhina aku!”

Dan ia geraki sepasang tongkatnya, dalam gerakan “Siang Hong djip hay” atau “Sepasang naga masuk ke dalam laut”. Ia menyerang dengan berbareng, dari kiri dan kanan.

Hong Tjin Hweeshio berserryum. Mengikiiti datangnya kedua tongkat, ia mondur tetapi begitu Ickas juga, kaki kirinya maju ke samping, nyela bumi, akan tekan lengan kanan orang seraya teruskan menggempurpundak kanan lawan itu.

Inilah hebat! Tapi Kee Tjong lekas egosi tubuhnya seraya mengendap sedikit, hingga ia lolos dari bahaya, tangan lawan cuma berkelebat di depan mukanya.

Hong Tjin menyerang melainkan sampai di situ, ia tidak mcndesak, ia tak tega akan turunkan tangan j ah at.

Kee Tjong tidak mengerti bah wa orang merasa kasihan terhadap dirinya, selagi si pendeta hcntikan serangannya, tiba- tiba ia rubuhkan diri, ia bergulingan, lalu sambil bcrgulingan ia maju, akan menyerang orang bagian bawahnya, kedua tongkatnya bergerak secara hebat sekali. Kedua tongkat itu sama sekali tidak bentrok dengan lantai panggung.

Hong Tjin terperanjat juga melihat lawan itu gunai ‘Tee tong koen”, ilmu silat “Bergulingan di tanah”. Segera ia mengapungkan tubuhnya, akan meloncat buat terus berloncatan, ke sana dan kemari, akan saban-saban menyingkir dari sambaran tongkat, yang datang seperti tidak putusnya karena tubuhnya Kee Tjong berguling ke arah mana ia menyingkir. Yang hebat, bukan melainkan tongkat, hanya juga kaki dan dengkulnya orang she Louw ini bisa turut menyerang juga, menendang atau mendupak secara hebat.

Dengan berkelahi dengan tangan kosong, dengan menghadapi senjata, nampaknya Hong Tj in Hweeshio ada terdesak, ia pun kelihatan seperti bclum tahu caranya untuk pecahkan Tee-tong-koen, dari itu, ia terus main mundur, ia seperti bakal lekas sampaikan tepi panggung. Pihaknya Gak Koen Hiong sudah lamas memperdengarkan tepuk tangan riuh, mereka percaya, pendeta itu bakal segera kena dikalahkan.

Walaupun ia sedang berkelahi dan agaknya terdesak, Hong Tjin dengan tempik sorak riuh itu, yang membuar air mukanya berubah dengan tiba-tiba, | hingga di lain saat, ia perdengarkan tertawa yang panjang, lalu tubuhnya bergerak cepat, karena kedua kakinya tidak lagi lompat-lompatan untuk berkelit saja, hanya sekarang, ia berkelit sambil mcmbalas menjejak. Ia sudah mulai gunai “Wan-yho Tjin-pou Lian-hoan- twie”, ialah gerakan kaki maju saling bcrganti.

Scbentar saja, keadaan lantas jadi berubah. Kalau tadi ada 1 ah si pendeta yang terdesak, kini adalah Kee Tjong yang main mundur. Kedua tangannya si pendeta juga sering-sering menyambar, akan tangkap tongkat orang.

Pertempuran itu membikin sekalian penonton menjadi kagurn, hingga dari bertepuk tangan, mereka jadi berdiam, sampai mata mcrcka seperti kabur. Kedua lawan itu bcrgcrak ccpat sekali.

Kcl i hatannya Hong Tj in Hweeshio mcnang di atas angin, tetapi satu kali, mendadakan sebatang tongkat menyambar naik, ke arah kcmpolannya, disusul dcngan suara menggcietak yang nyaring.

Orang tcrkcj ut, semua menyangka, pcndcta itu sudah kcna dihajar, tetapi, segera orang melengak, karena suara menggcietak itu disusul dcngan suara tcrtawa yang panjang, tubuhnya Louw Kec Tjong terpentai tcrguling satu tumbak lebih, di mana ia mcncclat bangun akan bcrduduk, di lain pihak tongkatnya, tongkat dari tangan kanan, sudah bcrada di tangan Hong Tjin, siapa, dcngan satu kali tekuk saja, sudab bikin senjata itu, yang terbuat dari baja, menjadi patah dua! Dan kedua patahannya segera di lemparkan ke bawah panggung.

Habis itu, Hong Tjin bcrtindak menghampin lawannya. “Lauvvtee, aku telah terima pukulan sebatang tongkat dari

kau, kau niscaya sudah puas, bukan?” ia berkata sambil’tertawa.

Mukanya orang she Louw itu pias pucat, dengan tidak mengucapkan sepatah kata jua, ia berbangkit untuk bcrtindak turun dari panggung.

Hong Tjin biarkan orang pergi, ia menoleh kepada kedua wasit, untuk menjura, kemudian ia pun berlalu dari panggung piranti pieboe itu.

Kcsudahan ini tidak mendapat tcpukan tangan dari para hadirin semua orang heran menyaksikannya.

Hong Tjin Hweeshio tak inginkan kckalahan, di lain pihak, ia be rat akan lukai Louw Kee Tjong, dari itu, selagi berkelahi, ia bcrpikir kcras, pikirkan jalan menamatkan pertempuran ini untuk kebaikannya kedua pihak. “Koen tee tong” dan Kee Tjong membuat ia sulit, desakan musuh membikin ia mesti mundur, maka akhimya tcrpaksa ia kasih lihat “Wan-yho Tjin- pou Lian-hoan-twie” -”Burung Wan-yho maju silih berganti”, dengan itu, ia dapat pecahkan desakan orang sambil bergulingan. Selagi balik mendesak, ia pun masih pikirkan daya untuk bikin lawan itu tidak berdaya. Ia masih ban yak lindungi muka terang mcreka. Di akhimya, ia lihat serangan hebat dari Kee Tjong ke arah kcmpolannya, lantas ia dapat pikiran, berbareng mengasih dirinya kena dihajar, ia pun tangkap dan rampas tongkat orang. Dengan memberi kempolannya dikemplang, ia tidak merasakan terlalu sakit, dari itu, dengan lantas ia bisa patahkan tongkat bajanya.

Sekalipun To Poet Hoan dan Yo Kong Tat, kedua wasit, menjadi bingung, hingga mereka tidak dapat segera memberi putusan, adalah setelah keduanya berdamai, mereka umumkan bahwa pertandingan itu berkesudahan seri, sebab tidak ada’ salah satu yang jatuh ke bawah panggung, benar yang satu kena dihajar dengan tongkat, akan tetapi yang lain pun kena didupak terpentai hingga jatuh duduk!

Dua-dua Hong Tjin Hweeshio dan Louw Kee Tjong terima baik putusan itu. Hong Tjin memang hendak menolong muka dan jaga muka terangnya Kee Tjong, dan Kee Tjong di lain pihak pernah menyatakan, dengan tongkat melawan tangan kosong, ia ingin dapati bunga untuk sakit hati gurunya selama tiga puluh tahun. Dengan demikian juga, dendaman mereka menjadi buyar.

Gak Koen Hiong girang dengan kesudahan ini, karena dua pertandingan,dua-duanya berkesudahan seri. Sekarang ia hendak rebut kemenangan, dari itu ia lantas pilih satu jagonya, yang mengerti Tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah, ialah Kouw Hoei In. Dia ini, dalam umur cnam puluh lebih, masih gagah. Dia pun ada soesiok, paman guru, dari Ouw It Gok. Ouw It Gok ini, yang satu jari tangannya pernah dibabat Law Boe Wie, tidak berani naik ke loeitay, dan ia telah minta pamannya itu sukamenampilkan diri.

Begitu lekas ia sudah naik ke atas panggung, Kouw Hoei In segera memperlihatkan sepasang Poan-koan-pitnya, ruyung yang beroman seperti pit, alat menulis. Inilah alat istimewa untuk menotok jalan darah, panjangnya cuma satu kaki delapan dim. Kalau senjata umumnya ada “satu dim panjang, satu dim tambah Iiehay”, adalah Poan-koan-pit “satu dim pendek, satu dim tambah berbahaya”. Dan satu kali dia pcrton tonkan senjatanya ini, orang di bawah panggung semua mengerti bahwa ia adalah seorang Iiehay.

Di pihaknya Teng Hiauw, Tok-koh It Hang mengerutkan alis. Ia tahu siapa adanya jagonya Gak Koen Hiong itu, Tiam- hiat-hoat siapa adalah latihan dari beberapa puluh tahun. Ia insyaf betapa sukarnya untuk mclayani orang she Kouw itu. Daiam rombongannya ada Lo Hoan Sian, ahii Tiam-hiat-hoat Hoei In dengan Kim-na-tjhiocnya. Benar di saat pada Kouw Hoei In, ia kuatir, orang Soc-tjoan ini nanti kalah iatihan, apabila Hoan Sian sampai kalah, sayang namanya sebagai jago Soc-tjoan nanti runtuh. Pikir punya pikir, ia anggap baik I ah ia sendiri yang maju, untuk mclayani Tiam-hiat-hoat Hoei In dengan Kim-na-tjhioenya. Benar di saat ia hendak geraki kakinya, untuk berbangkit, tiba-tiba ia rasakan ada seorang menckan pundaknya dari belakang scraya berkata dengan pelahan: “Buat sembelih ayam buat apa pakai golok piranti potong kcrbau? Biarlah siauwtee yang layani babak ini….”

Segera Tok-koh It Hang menoleh. lantas ia kenali Thie-bian Sie-seng Siangkoan Kin, si Mahasiswa Muka Besi dari Kang- souw, maka sedetik itu juga ia keluarkan napas lega, terus ia bcrduduk pula, sambi I is caci dirinya sendiri kenapa dia boieh lupai sahabatnya itu.

Siangkoan Kin sudah benimur mcndckaii lima puluh tahun, tetapi ia bermuka putlh dan tidak bcrkumis jenggot, dengan jubah panjang dari sutera dan tangan mencekal kipas, dengan tindakannya yang lemah-lembut ia tcrtampak sangat sederhana, agung tetapi man is budi, tidak heran kalau iadapat julukan si anak sekolah. Ia jalan dengan peiahan, sesampainya di bawah panggung, ia dongak.

“Aya!” ia berseru sendirinya. “Kenapa panggung ini begini tinggi? Aku tak dapat lompat untuk menaikinya….” Lalu, dengan sebelah tangan goyang-goyang kipasnya dan tangan yang lain menyingkap ujung bajunya, ia menginjak langga, naik setindak demi setindak. Panggung tinggi satu tumbak delapan kaki. untuk itu ada disediakan sebuah tangga dengan banyak tindakannya, sekarang Siangkoan Kin gunai tangga itu. Ia tidak naik sambil berlompat seperti yang lainnya, tidak heran kalau ia menerbitkan tertawanya banyak orang, hingga di bawah panggung jadi gempar. Tapi ia tidak perdulikan orang banyak, ia naik terus, sampai ia berada di atas, selagi ia berdiri di depannya Kouw Hoei In, ia rangkapi kipasnya, matanya mengawasi ahli Tiam-hiat-hoat itu, dari atas ke bawah, lalu tiba-tiba ia menuding dengan kipasnya itu, juga ia tcrtawa dan kata: “Aku kira siapa, kiranya Kouw Hoei In dari Hoolam!

Rerunning, aku bcruntung sekali bisal bcrtcmu dengan kau, aku memang sedang memikir untuk tenma ajaran ilmu menotok dari kau!”

Kedua orang ini belum kenal satu pada Iain, akan tetapi nama dan ro-man mcrcka, mcrcka pcrnah dengar dan ketahui, begitulah Kouw Hoei In apabila ia saksikan tampang dan cara dandan dari Siangkoan Kin, ia percaya betul, orang ini mestinya ada Thic-bian Sie-seng si Mahasiswa Muka Besi, maka itu, ia terperanjat, berbareng dengan mana, ia pun mcndongkol. Ia ada di tingkatan tcrlcbih tua, sudah tentu ia gusar, ia tak dapat sabarkan diri menerima ejekan orang itu.

Hoei In pun datang membantu Gak Koen Hiong karena ia diperolok-olokkan olch Ouw It Gok, keponakan muridnya, sama sekali ia tidak punya pcrkcnalan dengan Ketua Muda dari Gie Hoo Toan itu, dari itu, ia juga pemah janji, ia suka membantu dalam satu pcrtandingan saja, kalah atau menang, tetap satu kali. Ia berjanji demikian untuk menjaga muka terang dari It Gok. Siapa tahu, ia yang belum pernah ketemu tandingan, sekarang mesti berhadapan dengan Siangkoan Kin, siapa pun justeru telah singgung keagungannya. Sebenarnya, ia tidak jerih terhadap si mahasiswa itu, walaupun namanya dia ini ada tersohor. “Kau rupanya ada Thie-bian Sie-„demikian’ia menegur, dengan suara keras. “Di hadapan orang terlebih tua, cara bagaimana kau berani bersikap begini kurang ajar? Sekarang kau keluarkan senjatamu, biarpun aku sudah tua, aku tidak nanti berlaku sembrono!”

Siangkoan Kin tertawa dalam hatinya mendengar orang anggap dirinya ada dari golongan terlebih tua. Dalam hal usia, Hoei In memang lebih tua, tetapi cuma delapan atau sepuluh tahun, akan tetapi bicara tentang tingkatan, di antara guru mereka, sama sekali tidak ada hubungannya, hingga tak beralasan akan orang she Kouw itu mengagulkan diri. Tapi, ia tidak gubns ini. Karena ia ditantang, ia bersenyum, lantas ia hunjuki kipasnya.

“Seorang yang terlebih muda mesti berlaku hormat kepada orang yang terlebih tua,” berkata ia, “maka itu biarlah aku gunakan kipasku ini saja Untuk menerima ajaran dari kau….”

Sepasang alisnya Kouw Hoei In menjadi berdiri, ia gusar bukan main.

“He, kenapa kau memandang begini hina padaku?” ia menegur dengan geramnya. “Karena kau tidak niat pakai senjata, baiklah kita menggunakan tangan kosong saja!”

Siangkoan Kin tidak menjadi gusar, malah ia tetap bersenyum. Tapi menyusul itu, ia geraki kipasnya secara tiba- tiba.

“Kouw Tjianpwee, kau lihatlah biar terang,” berkata ia. Ia masih sebut orang “tjianpwee”, orang yang lebih tua tingkatannya. “Aku punya senjata adalah ini kipasku, tidak biasanya untuk aku menukar gegaman dalam saat kesusu….”

Kouw Hoei In mengawasi dengan tajam pada kipas orang itu, maka sekarang ia dapat kenyataan, dilihat dari Iuarnya, yang hitam warnanya, kipas itu mesti terbuat dari baja, sedang kedua tulang sampingnya, yang bersinar, mengkilap, rupanya ada lempengan pisau yang tajam. Segera ia insyaf, apabila si Mahasiswa ini pandai Tiam-hiat-hoat, benar-benar ia tidak bolch memandang enteng, karena kipas itu ada terlebih pendek daripada Poan-koan-pitrrya.

“Jikalau demikian, nah, kau sambutlah!” akhirnya orang she Kouw ini berseru. Ia belum tutup rapat mulutnya, kedua tangannya sudah mendahului bergerak. Dengan “Siang hong koan djie” atau “Sepasang angin meniup kuping”, pit kirinya mengancam muka, dan pit kanannya menyerang jalan darah “Hoa-khay-hiat” dari Siangkoan Kin.

“Bagus!” Siangkoan Kin juga berseru. Ia berkelit, hingga dua-dua serangan gagal. Tapi, dengan sangat gesit, iamaju, akan balas menyerang. Ia arah jalan darah “In-tay-hiat”.

Kouw Hoei In turunkan pitnya secara berat, untuk punahkan serangan itu, akan tetapi Siangkoan Kin batalkan serangannya, ia menarik pulang, untuk turut menyambar jeriji tangan orang.

Dengan terpaksa, juga tergesa-gesa, Hoei In tank pulang senjatanya, berbareng dengan itu, sekalian ia geraki tubuhnya, mengendap, hingga dengan satu gerakan susulan, kedua Poan-koan-pit bisa menotok pula, ke arah betisnya lawan, padajalan darah “Hoan-tiauw-hiat” dan “Kwan-goan- hiat”. Ia punya gerakan mengendap itu ada “Bwee hoa loh tee” atau “Kembang bwee jatuh ke tanah”.

Dengan mengisarkan kaki dengan “Lauw tjie djiauw pou” atau “Peluk dengkui untuk memutar kaki”, Siangkoan Kin berkelit, kipasnya digeraki, dipakai mcnangkis, mcncruskan mana, ia juga totok jalan darah orang “Tjo kin tjeng hiat” di pundak kiri.

Kouw Hoei In sedang keluarkan dua-dua senjatanya, ia tidak dapat kcscmpatan untuk mcnangkis, terpaksa ia mcnyampingkan tubuhnya, akan menyingkir jauhnya beberapa kaki. Ia berhasil membebaskan diri dari bahaya, akan tetapi, ia rasai mukanya panas, saking jengah sendiri. ia pun terluput dari ancaman bahaya hebat.

Siangkoan Kin tidak mau mengasih hati, ia lompat menyusul, ia geraki kipasnya, untuk lanjuti serangannya. Sckal i ini, kipasnya itu dipakai dalam gerakannya “Pie-hiat-kwat”, cangkol untuk menutup jalan darah, dan pedang Ngo-heng- kiam, ujung kipas senantiasa mencari bagian. bagian anggota yang berbahaya.

Menampak gerakan musuh itu Kouw Hoei In tidak berani abaikan diri, ia segera hunjuk kesebatannyaj akan halau sesuatu bahaya, buat balas mengancam juga, hingga di sinil kelihatanlah peryakinannya daril beberapa puluh tahun, tidak percuma ia menjadi satu ahli.

Dua-dua Poan-koan-pit dan Thie-sie-tjoe, kipas besi, biasa mencari tiga puluh enam jalan darah, dari itu setiap totokan ada berbahaya sekali karena mana, kedua orang yang lag! bertempur, mesti berlaku waspada, gesit dan tangkas. Lekas sekali rasanya, pertandingan ini sudah mclalui lima puluh jurus, adalah setelah itu, Kouw Hoei In insyaf liehaynya lawan, karena berulang-ulang, semua penyerangannya dapat dipunahkan, hingga ia tidak lagi sanggup bergerak dengan lcluasa, seperti di jurus-jurus permulaan, sedang di lain pihak, rangsekan lawan itu ia rasakan tetap sama berbahayanya, hingga ia mesti berlaku luar biasa hati-hati.

Sesudah lewat lagi beberapa gebrakan, sekonyong-konyong

.pit kiri dari Hoei In menyambar jalan darah “Hoen-soei-hiat” dari Siangkoan Kin. Itu ada serangan “Sian-tjoe song tjoe” atau “Dewi mengantar anak”. Siangkoan Kin egosi tubuhnya sambi! melesat, lalu kakinya melesat lebih jauh, baharu tiga tindak, tahu-ahu ia sudah berada di belakang lawannya.

Hoei In insyaf ancaman bahaya, dengan gesit ia memutar tubuh. Thie-bian Sie Seng antap orang putar tubuh, setelah itu, ia majukan kipasnya sambil dibuka, kakinya pun turut maju, hanya gerakannya, mirip dengan gerakan orang sedang main- main. Tapi kipasan itu ada hebat, anginnya menyambar keras ke mukanya- Kouw Hoei In, hingga matanya dia ini menjadi sukar melihat

Justeru itu, sampailah kakinya si Mahasiswa Muka Besi, sedang kipasnya juga lantas dirangkap pula hingga menjadi kuncup lagi, terus dipakai rnenyerang, dari kiri kanan, dikibaskan.

Kouw Hoei In terkejut, ia angkat tangan kanannya, untuk menangkis, tetapi ia terhalang oleh penglih&tannya, yang sesaat itu kurang awas, tahu-tahu lengan kanannya kena terbentur k;pas, mengenai tepat jalan darahnya “Kwan-goan- hiat”, maka tidak tempo lagi, pitnya terlepas dari cekalannya dan jatuh ke lantai panggung dengan perdengarkan suara nyaring.

Menyusul itu, Siangkoan Kin memperdengarkan suara tertawa berkakakan, tubuhnya melesat mundur, kipasnya pun dipakai mengipasi dirinya.

“Maaf, maaf, terima kasih untuk pengalahan kau,” kata ia. “Kau keliru tangan, Tjianpwee, harap kau jangan sesali aku….”

Mukanya Kouw Hoei In menjadi merah dan pucat, saking maiu. Nama baiknya dari puiuhan tahun, sekarang sekejab saja tclah kena dibikin turun. maka dengan cuma mengucapkan dua patah kata mcrcndah, ia loncat turun dari panggung. Ia sebenarnya hams bcrtcrima kasih kepada Siangkoan Kin, apabila lawan ini berlaku ganas, ia bukan akan cuma dapat malu saja, dia akan eclaka juga, sedangkan ia sudah berusia lanjut. Darahnya berhenti jalan, ia tidak terluka parah. dari itu, scndirinya ia mampu perbaiki jalan darah itu, maka itu, ia bisa segera loncat turun pula. Begitu lekas orang loncat turun. Siangkoan Kin juga berlalu dari atas panggung. Akan tetapi ia tidak loncat seperti lawannya itu, hanya di antara tempik sorak riuh rend ah, sambil sebelah tangan menggoy ang kipas dan scbclah yang lain menyingkap bajunya, ia hampirkan tangga, untuk bcrtindak turun dengan pclahan-lahan persis seperti di waktu naik tadi Ia seperti bukannya orang yang pieboe….

Gak Koen Hiong lihat pihaknya kembali kalah, ia malu bukan main, ia bingung sekali. Memang, ia tidak tahu mesti berbuat apa, ia lihat tuiang punggungnya, Lhama Besar Kat Po Djie, berbangkit berdiri.

“Gak Lauwtee, jangan bersusah hati,” menghibur pendeta itu. “Nanti aku naik ke panggung, untuk rebut pulang muka terangmu….”

Lhama besar ini naik ke panggung bukannya seperti Iain- Iain orang, bcrsama iaada ikut pengiringnya, satu kacung lhama. Dan kacung ini menggendol satu kulit yang besar, yang nampaknya melembung, melainkan tidak diketahui, apa adanya isi itu. Semua penonton merasa hcran. semua mengawasi dcngan penuh pcrhatian.

Sciclah berada di atas panggung, lhama besar itu tidak segera keluarkan tantangannya, hanya terlcbih dahulu ia hadapi kedua wasit, kepada siapa ia menjura, kemudian ia tanya: “Bukankah di atas loeitay ini orang merdcka untuk adu kcpandaian apa saja?”

To Poet Hoan mengawasi, ia dengar nyata pertanyaan orang itu.

“Benar, kau ada merdeka,” ia bcrikan jawaban. “Melainkan di scbelah itu, pihak yang menjadi lavvan juga mempunyai kemerdekaan, hingga ia berhak untuk mencrima atau menolak tantangan kau. Umpama kau hendak adu senjata rahasia, kau bolch menggunakan itu, tetapi mungkin ada lawan yang tidak mau gunai senjata rahasia juga dan akan punahkan senjata rahasia kau dengan tangan kosong. Pendek, dalam hal kepandaianmu, kita wasit tidak cam pur tahu.”

Tapi, kapan ia ingat adanya si lhama cilik, segera ia menambahkan:

“Tapi aturan pieboe adalah satu lawan satu, tak bisa dua lawan satu, dan” itu coba terangkan, di antara kau orang berdua, siapa yang hendak pieboe terlebih dahulu?”

Kat Pou Djie tertawa besar. “Tentu saja aku!” kata ia dengan jawabannya. Dan terus ia kasih perintah pada kacungnya: “Buka kantongitu!”

Berdua To Poet Hoan dan Yo Kong Tat mengawasi dengan mata terbuka lebar. Lhama cilik itu turut perintah, ia sudah lantas buka kantongnya, yang melembung itu, lantas dari situ ia tarik keluar, satu demi satu, golok Lioe-yap-too yang ujungnya lancip.

Golok itu tajam di dua-dua muka, melainkan gagangnya yang orang bisa pegang. Habis itu, kedua lhama ini bavva golok-golok itu jalan memutarkan panggung, saban-saban mercka tancapkan di lantai panggung, diaturnya malang- melintang, hingga sebentar kemudian, loeitay itu mirip dengan rimba golok, semua ujung menunjang langit. Sama sekali ada tujuh puluh dua batang, cahaya matahari telah menerbitkan sinar berkilauan.

Sesudah selesai menancap pelatok istimewa itu, si lhama cilik segera turun dari panggung, sebaliknya si lhama besar sudah lekas loncat ke atas pelatok golok itu, buat terus lari berputaran di atasnya, akan kemudian, dengan tiba-tiba, ia b’erdiri diam di atas sebatang golok, di tengah-tengah, sebelah kakinya diangkat ke tinggi, hingga ia injak hanya dengan scbelah kaki yang lain.

“Nah, tuan siapa sudi naik keman, untuk kita orang beradu tangan di atas rimba golok ini?” demikian ia menantang, sikapnya ada jumawa, terang ia sangat memandang enteng kepada pihak lawan.

Baharu sekarang banyak orang yangmengulur lidahnya. Itulah yang dipanggil panggung loeitay Bwee hoa kian atau “Pelatok Bunga Bwee”. Melainkan alatnya, sekali ini ada dipakai golok-golok lioe-yap-too. Siapa tidak sempurna ilmunya mengentengi tubuh, Tjeng-kang-soet, jangan harap dia bisa naik di atas pelatok-pelatok tajam itu.

Tok-koh It Hang awasi sikap jumawa orang itu, ia kerutkan alisnya. Ia tahu benar, pihaknya ada orang-orang yang mengerti Tjeng-kang-soet, tetapi untuk bersilat di atas pelatok golok, pasti tidak ada, karena di sebelah keentengan tubuh dan kepandaian silat, orang mesti juga sudah biasa berloncatan di atas pelatok. Sekalipun iasendiri, iamasih sangsteangsi, walaupun ia percaya, setelah peryakinannya puluhan tahun, tak nanti gampang-gampang ia kena dikalahkan. Saking terpaksa,ia hendak majukan juga dirinya.

Akan tetapi, selagi ia hendak berbangkit, ada orang yang telah dului, orang itu ada seorang dusun yang usianya sudah lanjut, bajunya gerombongan, terus saja dia ini bertindak ke arah panggung.

Pek-djiaow Sin Eng terkejut apabila ia lihat tindakan orang.

Orang dusun itu tidak berlari-lari’, toh langkahnya cepat, sebentar saja, dia sudah sampai di bawah panggung. Dan yang mengherankan, ia tidak kenal orang dusun ini. Jikalau jago Liauw-tong ini bingung, adalah Teng Hiauw segera hunjuk air muka terang, suatu tanda ia bergirang.

“Orang tua itu adalah soepehku,” ia kasih tahu Boe Wie. Tok-koh It Hang dengar perkataan orang itu, selagi Boe

Wie tidak bilang apa-apa. ia tarik tangannya putera dari

mendiang Teng Kiam Beng itu.

“Apa, soepehmu?” tanya ia bahna herannya. “Engkongmu cuma wariskan kepandaiannya kepada dua orang, ialah soepehmu Lioe Kiam Gim dan ayahmu sendiri; sekarang dari mana datangnya satu soepehmu lagi?”

Teng Hiauw bersenyum.

“Inilah panjang untuk dijelaskan, Tjianpwee,” ia menyahut. “Ringkasnya dia benar ada soepehku. Aku toh telah pelajari ilmu silat Thay Kek Koen dari dua cabang Thay Kek Pay.

Orang tua itu ada kandanya Thay Kek Tan dan Tan-kee-kauw di Hoolam, maka dia itu adalah soepehku.”

Pada waktu itu, Thay Kek Koen dari Tan Pay dan Teng Pay ada sama-sama tersohornya.

Seperti pernah dituturkan, Tjiang-boen-djin dan Tan-Pay Thay Kek Koen ada Tan Eng Toan, turunan dan” Tan Tjeng Peng. Tan Eng Toan ini ada anak yang ketiga, tetapi dialah yang diangkat menjadi ahli waris. Orang tua yang seperti orang dusun ini ada Tan Eng Sin, anak yang kcdua, ia ketarik benar sama ilmu silat, ia terus yakinkan itu, tetapi ia mengalah dari adiknya, ia juga sangat jarang mcrantau, tidak hcran apabiia Tok-koh It Hang tidak kenal padanya. Mai ah Tcng Hiauw sendiri tidak tahu kapannya soepeh itu telah datang dan campuri diri dalam rombongannya.

Selagi Tok-koh It Hang dan Teng Hiauw bicara, Tan Eng Sin sudah naik ke atas panggung, tetapi ia bukannya Ion cat mclesat, hanya ia mengapungi diri, dan sesampainya di atas, bukannya ia injak panggung Iebih dahulu, hanya terus saja ia taruh kaki atas sebuah pclatok golok, kaki kanan mengenai golok, kaki kiri diangkat,! sebab ia perlihatkan sikap “Kim kee tok lip” atau “Ayam emas berdiri dengan sebelah kaki”. Ia pun berdiri menghadapi si lhama besar, kepada siapa terus saja sambil tertawa ia berkata: “Tidaklah sal ah yang kau menyusun ini macam permainan, aku si orang desa belum pernah melihatnya, dari itu aku sengaja lari datang kemari untuk main-main di atasnya! Tapi golokmu ini d i tancapny a ku rang tcguh, kau mesti sedikit hati-hati, jangan nanti kau terpeleset sendiri!” Kat Pou Djie heran melihat roman orang itu biasa, tetapi kepandaiannya tinggi, hingga ia menduga-duga, dalam rombongannya pihak lawan sebenarnya ada berapa banyak orang pandainya, sebab ini “orang desa” saja sudah begini liehay. Tapi sudah terlanjur, ia tidak dapat mundur, lantas ia ringkaskan jubahnya.

“Silakan maju!” ia mcngundang.

Semua mata di bawah, dari dua-dua pihak diarahkan kepada orang tua pedesaan ini.

Dia berdiri dengan kedua kaki dikasih turun, kedua kakinya tidak bcr-kuda-kuda, scpuluh jarinya juga dilcmpangkan ke bawah, telapakan tangannya menghadap ke bawah juga. Ia kasih lihat sikap Thay Kek Pay, seperti biasanya orang berlatih di tanah datar.

Dengan kedua mata dipcntang lebar, Kat Pou Djie mengawasi pihak lawannya.

“Eh, kau masih belum mau maju?” Tan Eng Sin tanya sambil tertawa. “Mau apa kau mengawasi saja? Lihat, sebentar bakal ada pertunjukan yang menarikhati!”

Sebenarnya lhama itu menantang, tapi orang tak gubris tantangannya, sebaliknya, sekarang ialah yang balik ditantang, karena itu, ia jadi mendongkol.

Dengan tiba-tiba, sambil berseru, ia maju menyerang. Ia loncati dua buah pelatok, hingga ia datang dekat lawan itu. Gerakan kakinya dan tangannya sangat gesit.

Atas serangan itu, Tan Eng Sin baharulah beraksi. Tangan kirinya diangkat, lima jarinya dinaiki, untuk menangkis, lantas tangan kanannya, dengan jari terbuka, ditaruh di dekat sikut. Ia menangkis dengan tipu silat “Lam tjiat bwee” atau “Mencekal ekorburunggereja”, iateruskan serang lengan orang itu. Disambut secara demikian, Kat Pou Djie lekas-Iekas tarik pulang tangannya. Menampak musuhnya gagal, Tan Eng Sin bergerak dalam sikap “Sia kwa tan pian” atau “Menggantung cambuk”, sambil maju, ia susul itu dengan “Tee tjhioe siang sie” atau ‘Tangan dimajukan”. Ini adalah gerakan biasa dari Thay Kek Koen, tetapi ini pun sudah cukup bikin Kat Pou Djie mundur, karena pukulannya ‘Tay lek tjian kin” atau “Tangan seribu kati” telah dapat dipccahkan.

Tempik sorak terdengar dari bawah panggung, orang kagumi caranya lhama itu dipukul mundur secara demikian sederhana. Dua-dua Law Boe Wie dan Teng Hiauw pun heran sekali. Mereka ada ahli-ahli Thay Kek Koen, tetapi mereka tidak sangka, dengan gerakan seperti berlatih biasa saja, sang soepeh, Tang Sin, sudah bikin Kat Pou Djie mundm”sendirinya

.Mereka belum tahu bahwa dulu Thay Kek Tan, Tan Tjeng Peng dengan “Lan hiak bee sudah menjagoi di kalangan Kang- ouw.

Selagi orang terheran-heran, tidak ada yang perhatikan Lie Lay Tiong kepada siapa ada datang satu orang, untuk memberi laporan, hingga air mukanya ketua ini jadi berubah pucat. Ketua ini berbangkit tapi segera ia duduk pul a, agaknya ia bingung.

Pertandingan di atas loeitay sudah dilanjuti.

Sekarang Kat Pou Djie tidak berani sembrono lagi, malah sebaliknya, ia telah keluarkan Lo-han-koen asal Ti•bet. Ia berlaku gesit, pukulannya keras semua, sampai sambaran angin terdengar nyata sekali. Tan Eng Sin terus melayani dengan tenang, tapi sebenarnya, ia pun telah keluarkan kepandaiannya, melainkan kelihatannya saja ia ada tenang.

Setelah belasan jurus, Kat Pou Djie insyaf benar-benar liehaynya musuh ini. Ia sudah gunai kepandaiannya, ial masih tidak bisa desak musuh itu. Sampai di situ, tiba-tiba Tan Eng Sin buyarkan Thay Kek Koen. Ia uhff tangan kanannya, datang-datang ia menyerang dengan tipu pukulan “Kho tarn ma”. Yang dipakai menyerang adalah tangan kanannya.

Kat Po Djie geser kaki kirinya ke samping kiri, tangan kanannya dipakai menangkis, lalu dengan tangan kiri, ia hajar tangan kanan orang itu. Ia juga berlaku dengan sebat sekali.

Sambil memperdengarkan tertawa dingin, Tan Eng Sin tarik pulang angan kanannya itu, lalu dengan tiba-tiba ia mengendap, tangannya menyambar ke bawah.

Lhama itu terkejut, dengan tersipu-sipu, ia geser pula kakinya, untuk berkelit Justeru itu, Tan Eng Sin merangsek, kembali ia menyerang dengan tangan kanan.

Dalam keadaan terdesak itu, Kat Pou Djie ingin balas mendesak, ia hendak gunai “Go houw pok sit” atau “Harimau kelaparan menubruk makanan”, supaya ia tidak terdesak terus-terusan, la pikir untuk hajar pula tangan kanan musuh itu. Akan tetapi ia telah terlambat, benar sedang tangannya bergerak. Tan Eng Sin dului ia.

Jago Thay Kek Koen itu bergerak dalam tipu “To tjoan Ian hoan tjit seng pou” (“Tujuh bin tang berjalan saling susul”), tangannya dipakai menyambar tangan lawan yang sedang dikeluarkan, terus dicekal dengan keras, menyusul itu, ia pinjam tenaga orang itu dengan “Tjian-tong soe Hang tjian kin” atau “Tenaga empat tail dipakai menarik seribu kati”, dengan begitu, sendirinya tenaganya jadi bertambah luar biasa, ketika ia kerahkan tenaganya sambil ia berseru, tubuh besar dan berat dari lhama itu segera terangkat naik, terus diputar di atasan pelatok-pelatok golok itu, akan akhirnya dilepas, dilemparkan ke bawah panggung.

Sambil melemparkan tubuh lawan jtuv_ kembali Tan

Eng Sin memperdengarkan tertawanya yang panjang. Sama sekali Kat Pou Djie tidak sempat berdaya, dari itu, ketika ia jatuh di tanah, tubuhnya terbanting hingga karenanya, ia pingsan dengan segera. Gak Koen Hiong dan kambratnya, semua menjadi kaget, ada yang mukanya terpucat-pucat banyak di antaranya yang lari ke arah pendeta lhama itu, untuk menolongi, kemudian di antaranya ada yang mengutuk karena mereka anggap, pihak lawan sudah berlaku ganas. Walaupun demikian, tidak ada seorang di antaranya, yang berani loncat naik ke atas panggung.

Tan Eng Sin tidak pcrdulikan sikap orang, melihat tidak ada lawan yang baik, ia lantas jalan berputaran di atas semua pclatok golok itu, benar seperti lakunya Kat Pou Djie di waktu sebelum pertandingan dimulai, hanya sekarang, setiap habis ia menginjak, saban pelatok lantas patah dan rubuh, hingga tinggal gagangnya saja, yang masih nancap di lantai loeitay, kemudian dengan tendangan beruntun dari kedua kakinya, ia bikin semua golok itu terpental ke bawah panggung.

“Ini bajadan besi karatan takdapat dibiarkan berhamburan di atas panggung, cuma menyusahkan saja orang mengadu kepandaian,” kata ia, yang terus loncat turun. Tapi sesampainya di bawah, bukannya ia hampirkan Teng Hiauw dan kawan-kawannya, ia terus ngeloyor perg.. Rupanya ia anggap, ia sudah datang dan bantu murid keponakannya, habis perkara, dia boleh pergi…. Di pihaknya Teng Hiauw, orang pun sedang terheran-heran dengan kesudahan luar biasa dari pieboe itu, sampai orang lupakan jago she Tan itu.

Sementara itu, Lie Lay Tiong sudah lantas menghampirkan To Poet Hoan, kepada siapa, ia lantas mengucapkan beberapa kata-kata dengan pelahan, mendengar ini, wajah wasit itu menjadi guram, lantas saja ia berdiri menghadapi kedua pihak dan berkata pada mereka itu: “Menurut Tjong-tauwbak, pieboe ini sudah dilakukan cukup banyak, dari itu, baiklah pertandingan lebih jauh ditunda saja sampai besok. Tjong- tauwbak biking, ia ada punya urusan penting, ia kuatir ia tak dapat berdiam lama-lama di sini….” Baharu wasit itu berhenti bicara, atau Gak Koen Hiong tiba- tiba loncat naik ke panggung dengan tiba-tiba, lalu dengan suara keras, ia berseru: “Tidak ada halangannya untuk menunda, asal ini hari aku dapat pieboe lebih dahulu dengan Law Boe Wie! Tadi adalah sahabat-sahabat semua, yang datang membantui, dari ‘tu sekarang haruslah aku sendiri yang turun tangan!” Kemudian dengan suara sabar, ia melanjutkan pada Lie Lay T.ong: “Sekarang baharu lohor jam S,n-sie, masih siang, kalau kita pieboe lagi satu babak, kita tidak akan sia-siakan tempo, Tjong-tauwbak, baiklah kau pergi sehabisnya kau menonton pertandingan yang terakhir ini!”

Gak Koen Hiong tidak puas dengan pieboe itu, dari sembilan pertandingan, kesudahannya ada satu menang, dua sen dan enam kalah bagi pihaknya, atau sama sekali, ia kalah lima, ia jadi sangat mendongkol, ia penasaran, maka itu, justeru ia kuatir pihaknya nanti kalah pula bila ia majukan Iain-Iain kawannya lagi, ia anggap baiklah ia maju sendiri. Ta tidak jerih terhadap Boe Wie, ia tidak kapok yang ia pcrnah disambar pisau belati hingga segumpal rambutnya terpapas kutung. Ia lihat Boe Wie baharu berumur tiga puluh lebih, ia tidak percaya boegeenya pemuda itu sudah sempurna betul. Ia mengharap sangat akan rebut kemenangan dari salah satu tay-tjoe dari rnusuh, nanti ia akan tunda pieboe terlebih jauh, lalu besok, dengan gunai alasan, ia boleh tutup saja. Secara demikian, tidaklah ia akan hilang muka di muka umum.

Jikalau Gak Koen Hiong ingin sekali tempur Boe Wie, demikian juga adanya dengan orang she Law itu, yang berkeinginan sangat akan membalas dendam untuk gurunya. la ini justeru kuatirkan ada sesuatu hal, yang bisa menggagalkan pieboe itu. Maka itu, ia girang sekali melihat Koen Hiong naik lebih dulu dan langsung menantang ia. Tidak tunggu orang tutup mulutnya, ia pun loncat naik.

“Bagus, marilah kita bertempur dulu!” demikian ia ten ma tantangan. Malah ia segera hunus pedangnya Lan-gin-kiam. Oengan angkat tangan kiri ke jidat dan taruh pedang di depan dada, ia bersiap sedia, ia menantang: “Gak Koen Hiong, kau masih belum mau geraki tanganmu? Apakah kau hendak membikin dulu pesan terakhir?”

Dihina secara demikian, Ketua Muda Gie Hoo Toan itu jadi sangat gusar, hingga ia mengupat-caci.

“Bagaimana besar kepandaianmu maka kau jadi begini jumawa?” ia berseru.

Karcna pedangnya telah dihunus dari siang-siang, Koen Hiong sudah lantas maju, akan tusuk pundak kirinya Boe Wie.

Boe Wie berdiri tegak bagaikan gunung, ia tak terkejut karena serangan hebat itu, ia justeru tunggu sampai ujung pedang mendatangi, tiba-tiba ia tertawa berkakakan dan berseru: “Bagus!” Dan ia kibaskan pedangnya, untuk babat pundak kanan orang itu, tubuhnya sendiri mengegos ke samping- Ia sudah gunai tipu silat “Kim tiauw thian tjie” atau “Garuda emas pentang sayap”.

Koen Hiong kaget, tapi lekas-lekas ia berkelit. Serangan membalas dari Boe Wie adadi luar dugaannya, karena itu adalah kelitan dibarengi serangan, hingga ia jadi gugup, syukur ia masih cukup sebat. Ia baharu lolos dari ancaman itu, atau lawannya sudah rangsang ia, hingga ia sepcrtinya lantas terkurung antara sinarnya Lan-gin-kiam.

Gak Koen Hiong pern ah yak ink an Wan Kong kiam-hoat, ialah ilmu pedang dari Wan Kong, yang mengutamakan kegesitan. Ilmu ini jarang orang yang pandai mainkannya, malah Ketua Muda Gie Hoo Toan ini juga tidak bisa pahamkan itu sempuma. Ia tadinya harap, dengan apa yang ia bisa, ia akan sanggup takluki Law Boe Wie, siapa tahu, baharu mulai, ia segera mengerti, ia kalah sebat. Maka itu, ia mesti berbuat sekuat tenaganya untuk bisa layani lawan ini, akan lepaskan diri dari desakan. Kedua pihak bertempur dengan seru sekali, dari itu, dengan lekas mereka sudah lewatkan tiga puluh jurus. Sampai di sini, Gak Koen Hiong merasakan betul bagaimana pedangnya seperti telah dibungkus pedang musuh, jangan kata untuk membalas, buat bela diri saja, ia sudah repot bukan main.

Law Boe Wie ada ulet sekali, makin lama ia jadi makin tangkas. Ia telah gunai Kie-boen Sip-sam-kiam dari Thay Kek Pay, lalu itu diselipkan dengan tipu-tipu dari Hoei EngKeng Soan-kiam, yang ia dapat dari Pek Djiauw Sin Eng, gurunya yang kedua, hingga kegesitannya mirip dengan sambaran- sambaran burung garuda.

Gak Koen Hiong insyaf benar-benar, ia kalah daripada lawan itu, maka ia merasa sukar, walaupun ia telah terdesak, ia masih bisa bela diri dengan Wan Kong Kiam-hiap. Iapun berkelahi dengan sangat sungguh-sungguh, ia nekat. Inilah sebabnya kenapa Boe Wie tak dapat segera re•but kemenangan.

Di bawah panggung, semua penonton jadi sangat tegang.

Semua orang mengerti, lagi sedikit saat, Koen Hiong pasti bakal cipratkan darahnya di atas panggung. Maka rombongannya orang she Gak itu jadi sangat berkuatir, dengan sendirinya, mereka pada berkisar, mendekati loeitay.

Menurut aturan pieboe, semua penonton dilarang mendekati loeitay di sekitarnya sepuluh tumbak, akan tctapi, karena berkisarnya itu, orang-orang Gak Koen Hiong telah sampaikan batas terlarang itu.

Di bawah orang bertegang hati, di atas panggung duajago lagi berkelahi mati-matian, justeru begitu, ribuan penonton dibikin kaget sendirinya apabila mereka dengan sekonyong- konyong mendengar suara nyaring seperti guntur, datangnya dari kejauhan, gemuruh itu beruntun beberapa kali. Semua orang menjadi heran, semua angkat kepalanya, dongak,melihatkeatas. Matahari masih mencorong, udara bersih dari mega, langit tidak mendung. •api, dari mana datangnya guntur?

Kembali orang dengar suara guruh itu, malah makin lama makin nyata.

Belum lenyap keragu-raguan or•ang, mendadakan ada datang beberapa penunggang kuda, yang kaburkan binatang tunggangannya, hingga debu mengepul naik. Kapan sebentar kemudian penunggang-penunggang kuda itu sudah datang dekat, mereka mengitari rombongan penonton, mereka membuka jalan, sampai mereka bcrada di hadapannya Lie Lay Tiong. Satu penunggang kuda, yang menjadi kepala, loncat turun dari kudanya, ia dekati Ketua Gie Hoo Toan itu, untuk mengucapkan beberapa patah pcrkataan, atas mana mukanya ketua itu menjadi berubah, segera ia lompat bangun, ia hadapi kedua wasit kepada siapa ia goyang-goyang tangan.

Di atas panggung sendiri. pcrtandingan sudah mendekati saat yang memutuskan, Gak Koen Hiong tengah menghadapi bahaya maut. Dengan “Han kee pay hoed” atau “Ayam kedinginan memuja Budha”, ia coba serang Boe Wie pada dadanya. Boe Wie sampok tikaman itu, ia terus tudingkan pedangnyake bawah, akan balas menikam ke kiri. Koen Hiong hendak menangkis, tapi berbareng dengan itu, tangan kirinya lawan menotok jidatnya, sedang Lan-gin-kiam menjurus terus ke lengan kanan, kearah nadi!

Selagi Gak Koen Hiong bakal bikin loeitay bermandikan darahnya. Atau Law Boe Wie akan kutungkan tangannyasebatas nadi, mendadakan dari bawah panggung ada melesat beberapa sinar terang bagaikan bintang!

Beberapa orang dari pihak lawan sudah meianggar aturan, untuk menolongi ketuanya, mereka gunai tangan kotor, membokong Boc Wic dengan berbagai senjata rahasia.

Orang-orang yang lagi bertarungdi atas panggung tidak nam i kctahui atau duga sal ah satu pihak akan main curang. Boe Wie juga tidak pernah menyangka demikian. maka itu ia kaget bukan kepalang waktu ia dengar sambaran senjata rahasia. Ia tidak bersiaga, tapi ia telah wariskan kepandaiannya In Tiong Kie, ia dengar suara, ia tahu dari jurusan mana datangnya serangan. maka itu, berbareng membatalkan serangannya kepada Gak Koen Hiong, ia loncat ke samping, dengan begitu, ia bisa menyingkir dari tiga batang Hong-bwee-piauw dan sebatang panah tangan.

Dan Gak Koen Hiong, selagi lawannya mencelat jauh, sudah gunai ketika akan loncat turun ke bawah panggung.

Law Boe Wiegusar tak terhingga, hingga ia berniat kejar orang she Gak itu.

Teng Hiauw di bawah panggung lihat nyata kejadian itu, tetapi ia tidak pemah sangka akan kekacauan itu, menampak Koen Hiong menyingkir,

ia menimpuk dengan Kim-tjhie-piauw, tetapi jarak di antara mereka ada cukup jauh, piauwnya tidak mengenai sasarannya.

Kekalutan masih terjadi, senjata-senjata rahasia masih menyambar serabutan, tapi sckarang genta segera dibunyikan berulang-ulang.

Tjong-tauwbak Lie Lay Tiong melupai bahaya, ia mencelat ke atas loeitay!

“Berhenti! Berhenti!” ia berteriak berulang-ulang, mukanya merah bahna gusar.

Yo Kong Tat dan To Poet Hoan, dengan loloskan Djoan- pian mereka, sudah loncat ke atas panggung, guna lindungi ketuanya itu dari senjata-senjata rahasia.

“Berhenti! Berhenti!” Lie Lay Tiong berseru pula, berulang- ulang; “Kau orang tahu, setan-setan asing bakal segera datang menyerang kemari! Mereka sudah berada tak lagi tiga puluh lie dari Pakkhia, mereka sudah bentrok dengan pasukan depan kita! Gemuruh barusan adalah suara meriamnya setan- setan asing itu!”

Suaranya ketua mi ada nyaring sekali, dengan lekas ia membuat scrangan senjata rahasia jadi berhenti, setelah mana, kcadaan jadi sirap. Terang orang tercengang atas warta hebat itu.

Ternyata empat puluh ribu serdadu asing (pasukan Austria dan Italia belum datang), dari Thian-tjin, dengan mengikuti kedua tepi aliran Oen Hoo, sudah menuju ke Pakkhia. Lie Lay Tiong telah tarik tentaranya dari markas besar di Thong-tjioe, karena itu, tentara Boan mundur sendirinya tanpa berperang lagi, di sepanjang jalan, mereka menggedor rakyat, rumah siapa mereka bakar, dengan perbuatannya mereka itu, mereka seperti wakilkan tentara Serikatmembersihkan jalanan. Thong- tjioe terpisah empat puluh lie lebih dari Pakkhia, ketika tentara asing masUk ke situ, kota sudah kosong, dari itu, terus  mereka menuju ke Pakkhia. Selagi- tentara asing itu sampai di Thong-tjioe, pieboe di atas loeitay baharu dimulai.

Habis diumumkan jatuhnya Thong-tjioe, Lie Lay Tiong pun umumkan lain kabar mengejutkan, ialah bahwa Ibusuri See Thayhouw dan Kaisar Kong Sie sudah menyingkir dari Pakkhia, bahwa Gie-lim-koen, Barisan Raja, sudah buyar. Maka, di saatsehebat itu, pemerintah Boan tinggalkan Gie Hoo Toan, sedang tadinya, pemerintah itu minta bantuan untuk lawan desakan bangsa asing. Tapi yang paling hebat ada warta terbelakang, yaitu katanya: “Ada tentara Boan yang berserikat sama tentara asing memusuhkan pihak Gie Hoo Toan.

“Celaka betul, kita sudah dijual Ibusuri Tjoe Hie!” akhirnya Lie Lay T’ong berteriak, dalam kemurkaannya. “Saudara- saudara, lekas balik ketangsi, urusan loeitay ini boleh ditinggal di belakang!”

Baharu ketua ini tutup mulutnya. segera berkelebat satu bayangan, yang mencelat ke tiang bendera di tengah lapangan itu, bagaikan kera, dia panjat tiang itu, yang tingginya lebih daripada lima tumbak, sekejab saja ia sudah sampai di atas, terus ia berdiri di atas tiang.

“Tahan dulu!” orang itu berteriak. Dia ternyata ada Teng Hiauw. “Kita hendak basmi setan-setan asing, tapi kita juga mesti bikin pcmbersihan di dalam, supayajangan ada pengkhianat yang mengacau! Siapa pengkhianat itu? Dia adalah Gak Koen Hiong dan konco-konconya! Merekalah yang hendak lindungi bangsa Boan, tapi lihat, apa yang pemerintah Boan berbuat terhadap kita!”

Gak Koen Hiong dan rombongannya telah mundur dengan diam-diam, begitu lekas mereka dengar pengumumannya Lie Lay Tiong. Sebenarnya mereka pun tidak tahu, tentara asing datang demikian cepat, hingga pihak pemerintah Boan kabur tanpa perdutikan budak-budaknya. Sekarang mereka dengar Teng Hiauw buka rahasia mereka, lantas saja mereka siapkan senjata mereka, mereka lari keluardari lapangan.

Gemuruh ada suaranya orang banyak itu, yang berjumlah puluhan ribu, malah ada antaranya yang segera lari mengejar, tapi Lie Lay Tiong perintah bunyikan genta, ia teriaki untuk orang jangan mengejar.

“Saudara-saudara, tenang! Tenang! Biarkan mereka itu kabur! Jangan kita perduiikan mereka! Lebih perlu kita tangkis musuh! Lekas kembali ke tangsi!”

Teng Hiauw dari atas tiang bcndera pun berseru: “Kita mesti teat kepada Tjong-tauwbak! Sekarangkitesudah kenali rupanya kaum pengkhianat, mereka tek bakal lolos! Keadaan ada genting, man kita hajar dulu pengkhianat itu!”

Teng Hiauw sadar, maka ia bisa atasi diri, akan tak gubris musuh-musuhnya.

Demikian pieboe buyar tak keruan, tentara Gie Hoo Toan lantas bersiap akan lawan tentara Serikat, tak perduli mereka melainkan menggunakan a!at scnjata sejak zaman purbakala: golok dan tumbak! Tiongkok bcrgcram, buminya bergetar, rakyatnya yang scdcrhana bangun, cuma dcngan golok besar, tumbak panjang, dengan toya, dengan cangkul, mereka lawan penyerang-penyerang asing. Tapi mereka tidak sanggup lawan scnjata api dari tentara Serikat Tinggal semangat mereka saja yang masih hidup. Sampai kepala perang Serikat sendiri anggap, semangat bangsa Tionghoa tak dapat dipandang enteng.

Gie Hoo Toan bubar, mereka gagal, tapi mereka tidak tertumpas, keluar dari Kota Pakkhia, mereka mundur ke kampung-kampung, tidak lagi mereka berkumpul dalam jumlah puluhan ribu, mereka persatukan dirt dalam rombongan-rombongan dari ratusan dan puluhan. Api mereka tak padam, api itu terpendam di antara rakyatjelata.

Baharu setelah mundur dari Pakkhia, Lie Lay Tiong insyaf kebenarannya nasihat dari Lioe Kiam Gim, yang cegah ia memasuki Kota Raja

Dengan jatuhnya Thian-tjin dan Pakkhia, segala apa terlihat nyata, tcrtampaklah rupa asli dari kaum pengkhianat, dari pemerintah Boan juga, yang selanjutnya bekerja sama-sama pihak asing, akan basmi “ban•dit”. Maka rakyat menjadi insyaf.

Law Boe Wie jadi sangat masygul, bersama Teng Hiauw dan sejumlah kawan, ia akan hidup dalamj perantauan…. Hanya, di mana dia sampai, masih ada orang-orang yang sambut ia dengan baik. Ia tetap berkumpul sama Teng Hiauw, saiidara ini anjurkan ia menikah, ia menjawab sambil mementil pedang dan bernyanyi….

Bong Tiap? Dia tidak bersama soehengnya, pikirannya ruwet sckali. Dia bersedih untuk ayahnya, dia berdua buat Ham Eng. Ia tetap hargakan toa-soehengnya, tetapi ia tak bisa tinggal berkumpul sama soeheng itu. Boe Wie sendiri bungkam, ia tidak memberi nasihat pada soemoaynya ini. Nona Lioe telah pergi ke Shoasay, akan tengok ibunya, terus ia merawatinya sehingga ibunya menutup mata. Setelah selesai mengurusjenazah ibunya, ia merantau keluar Tionggoan, di tepi Sungai Tay Hek Hoo, ia tempati kuilnya Sim Djie Sin-nie, gurunya.

Hioe Sioe sudah berusia lanjut, Bong Tiap datang baharu beberapa tahun, ia meninggal dunia. Maka, berada sendirian saja, Nona Lioe cukuri rambutnya, ia menjadi pendeta sebagai gurunya dulu. Tapi ia bukannya niekouw biasa, dia masih suka bepergian seorang diri, apabila ia hadapi kcjadian tidak pantas, ia lantas turun tangan. Ia hidup rukun dengan penduduk perbatasan, kepada mereka ia suka tuturkan riwayat Gie Hoo Toan.

Penduduk yang bergembala itu scring-scring mcnyaksikan bagaimana niekouw ini, di tepinya Telaga Yam Ouw, di tanah datar, suka bersilat dengan pedang Tjeng-kong-kiam, pedangnya bersinaran dengan cahaya matahari, dia masih gagah seperti sediakala….

Penutup

Gak Koen Hiong, kepala dari Poo Tjeng Pay, pemimpin muda dari Gie Hoo Toan, yang menunjang Pemerintah Boan – ialah juga pembunuh Lioe Kiam Gim dan Tjoh Ham Eng – sesudahnya tentara serikat memasuki Pakkhia lantas tidak ada kabar-ceritanya. Hanya,ctentang konco-konconya ada cerita yang luar biasa. Mereka ini umumnya sibuk mengumpetkan diri, tapi banyak antaranya, yang ini hari masih segar-bugar, besoknya telah mati mendadakan, sesudah mereka mati, baru orang tahu, siapa sebenarnya adanya mereka. Dan

orang menyangka, kematian mereka ada perbuatannya Boe Wie, Teng Hiauw dan Bong Tiap. Sebenarnya orang tidak pcrnah melihat Nona Lioe, tetapi kematian mereka itu disebabkan senjata rahasia, yang mengenai jalan darah, dari itu, orang sangka si nona. Sementara itu, ada kabar yang menarik hati mengenai Bong Tiap. Itu adalah kejadian selewatnya belasan tahun.

Loo-kauwsoe Tjoh Lian Tjhong, ayahnya Ham Eng, telah pergi merantau, bcrsama-sama ia, ia ada ajak satu anak muda, yang ia bilang ada cucunya…. Pemuda ini menyerupai Lioe Bong Tiap, dia pun gunai pedang Tjeng-hong-kiam, mesti ia tak gunai piauw Bouw-nie-tjoe, tetapi ia pandai Kim-tjhie- piauw.

Sementara itu, sepuluh tahun lebih sejak masuknya tentara Serikat ke Pakkhia, Dinasti Aisin-Gioro telah rubuh, benar Tiongkok telah dipukang, akan tetapi, di Timur matahari toh menyingsing. pelahan-lahan hendak menembuskan mega hitam….

Perubahan-perubahan terus terjadi, akan tetapi mengenai Bong Tiap, orang tidak dengar suatu apa

Adalah selang tiga puluh satu tahun kemudian, di musim rontok, ketika penulis dari cerita ini bermalam dalam satu kuil di perbatasan, di sana ia berjumpa dengan satu niekouw tua, siapa kemudian ternyata Nona Lioe adanya, sedang kedua “tetamu aneh”, yang datang malam-malam sambil menunggang kuda, adalah putera-puteranya Teng Hiauw….

Malam itu, sehabis niekouw tua menutur, hujan pun berhenti, lalu ia, bersama dua tetamunya itu, tak tunggu terang tanah, sudah berangkat pergi, akan urus tugas mereka yang katanya berbahaya. Siangnya, penulis pun melanjutkan perjalanannya. Kemudian, dalam perjalanan pulang, penulis mampir pula di kuil tua itu, tapi ia tak ketemukan si niekouw tua. Baharu belakangan, menurut katanya satu ahli silat, di Siamsay, satu hartawan yang tinggal menyendiri, yang sudah berumur enam puluh lebih, yang masih gagah, pada suatu malam ada yang membunuhnya dan kepalanya dibawa terbang. Dia ini kemudian ternyata ada Gak Koen Hiong!

---ooo0dw0ooo--- Di Kanglam, Selatan, hari-hari paling indah ada Musim Tjoen, Semi tetapi di Utara itu adalah Musim Tjioe, Rontok. Kapan musim ketiga ini datang, udara di Utara sebagai juga tinggi luar biasa dan hawanya istimewa menyegarkan. Maka di dalam masa musim itu, orang suka pergi ke tanah datar, untuk berlatih me’nunggang kuda atau berburu, tak perduli anak-anak orang bangsawan atau orang biasa, teristimewa mcrcka, yang gemar akan pergerakan badan.

Dcmikian hari itu, di pcrmulaan Musim Tjioe, serombongan pemburu muncul di sebuah rimba di luar Kota Pooteng, Hoopak. Mereka membawa anjing, tombak cagak dan panah, gendewa dan busur. Mereka bukannya pemuda-pemuda bangsawan atau pemburu biasa, mereka adalah rombongannya pali la wan dan guru-guru silat dari dua keluarga, ialah yang satu dari Keluarga Soli Sian le, yang lain Keluarga Hoa Goan Thong, iparnya pihak Soh itu.

Pihak Hoa bahanu dapat dua guru silat yang katanya liehay, dari itu pihak Soh undang mereka berburu, untuk menyaksikan kepandaiannya mereka itu.

Berburu bukannya pekerjaan gampang dan tak mengandal melulu [pada ilmu silat, orang pun harus mengenal tabiat atau kebiasaan binatang liar yang lebih banyak bersembunyi di waktu siang dan baharulah muncul dan keliaran di waktu malam, setelah perutnya kosong. Dan orang pun mesti mempunyai anjing-anjing yang hidungnya tajam, untuk mencari sarang binatang alas itu.

Rombongannya guru-guru silat to capai lelah sampai setengah harian, mereka masih belum memperoleh hasil, hingga mereka mulai tawar hati, Berkat penasaran, mereka terus mencari, sampai mereka datangi lembah-lcmbah dan gombolan-gombolan lebat. Beberapa ekor kelinci dan rase tidak menggembirakan mereka.

Akhir-akhirnya, mereka dapati sebuah guha atau kedung, yang dalam. Anjing-anjing pemburu menghampiri mu lut guha, mereka menggonggong, berulang-ulang, lain tak lama, mereka miindur sambil goyang-goyang ekornya, rupanya mereka jerih. Menampak demikian, orang mulai bersemangat. Mereka percaya, guha itu mesti ada “orangnya”. Satu guru silat, dengan tombak cagak yang panjang, hampirkan guha itu, untuk menusuk ke dalamnya. Atau dengan tiba-tiba, segera tcrdengar suara mengaung yang hebat, gunung seperti tergetar, lembah berkumandang. menyusul mana, loncatlah keluar seekor raja hutan yang besar dan dahinya pitak.

Guru silat itu tidak sempat berkelit, ia kena diterjang, ia rubuh, kukunya harimau itu merobek bajunya, mengenai kulit dagingnya, hingga sekejab saja. darahnya bercucuran.

Semua orang kaget, belum mereka sempat menggunai anak panah, atau seorang lagi di antara mereka, kena ditubruk rubuh

Pahlawan Keluarga Soh jadi gusar, sambil berseru, ia menimpuk dengan beberapa batang tombak cagak, beruntun- runtun.

Harimau itu gesit, dia berlompatan, untuk berkelit, tetapi sebatang tombak mengenai juga satu kaki dcpannya, bahna sakit, rupanya, dia putar tubuh untuk lari.

“Kejar!” berseru si pahlawan.

Rombongan pcmburu itu sudah lantas berlari-lari.

Harimau itu masih bisa lari keras, dia lari mendaki, cepat sekali, hingga dia bikin semua pengejarnya jauh keringgalan di belakang. Masih mereka mengejar terus, sampai mereka dengar satu jeritan nyaring tetapi halus, lalu di depan harimau itu, muncul satu nona dengan pakaian serba merah.

Harimau itu sedang beringas, melihat ada yang memegat jalan, dia terus lompat menubruk nona itu, di antara gerungan hebat, mulutnya dibuka lebar-lebar. Suara gerungan itu berkumandang di lembah, gunung seperti tergetar pula. Nona itu tidak kaget, dia malah gusar, ketika raja hutan itu menerjang, ia loncat ke samping, laiu sambil berseru, ia mengirimkan satu tusukan.

Karena orang berkelit, harimau itu tubruk tempat kosong, dia belum sempat putar tubuh, tikaman telah sampai, saking sakit, dia menggerang berulang-ulang, tubuhnya digeraki, diputar, rupanya dia hendak terkam si nona pula.

Nona itu kaget juga, ia kalah tenaga, ia belum sempat tarik pulang pedangnya, ia mesti lompat mundur, karena itu, pedangnya terlepas, masih nancap ditubuhnya binatang liar itu, , hingga, seperti kalap, dengan mata seperti menyala, harimau itu menerjang pula, semua kukunya dipentang lebar- lebar.

Meskipun ia sudah tidak bersenjata, nona itu tapinya ada punya kegesitan tubuh, ketika tubrukan sampai, ia berkelit. Tiga kali ia ditubruk berulang-ulang, terus ia belum bisa sclamatkan diri. Selagi raja hutan itu gusar bukan main, tapi ketangkasannya pun makin berkurang, si nona lakukan serangan membalas, dengan tiga buah Thielian-tjie, buah teratai besi, yang ditimpuki beruntun, dengan keras sekali.

Tiga-tiga senjata rahasia itu mengenai sasarannya dengan tepat: dua mengenai mata, satu nancap di jidat. Dalam kesakitan hebat, sambil menggerang bagaikan guntur, kembali harimau itu berlompat, menerkam si nona

Semasa kedua matanya belum terluka, raja hutan itu tak dapat’ tubruk si nona, apapula sekarang,

setelah kedua matanya itu picak, maka dengan gampang sekali, nona itu singkirkan dirinya dari terkaman. Kemudian,, dengan scngaja perdengarkan suara, ia bikin dirinya diserang bcrulang-ulang. Tentu sekali, harimau itu senantiasa menerkam tempat kosong. Paling akhir, si nona mundur ke batu gunung, yang tinggi dan besar, di situ ia bersuara, supaya harimau itu tubruk ia, sesudah mana, ia lompat naik ke atas batu itu.

Di antara suara hebat, kepalanya harimau itu membentur batu, dengan memperdengarkan suara kesakitan yang mengerikan, tubuhnya rubuh, kepalanya pecah, darahnya berhamburan, maka sekejab saja, dia rebah dengan mandi darah, sebagai bangkai.

Nona itu menyaksikan kebinasaan raja hutan itu, ia tertawa lalu ia loncat turun, akan injak kepalanya, tak sayang dia pada kasut sulamnya yang indah yang menjadi berlepotan darah.

“Ha, kutu besar, kau cuma bisa gertak orang!” kata ia sambil tertawa, dengan kedua matanya bersinar hidup, kemudian ia cabut pedangnya, yang masih menancap di tubuhnya raja hutan itu, ia susuti itu, baharu ia kasih masuk ke dalam sarungnya.

Sedangnya begitu, datanglah rombongan si pemburu, dengan or•ang yang menjadi kepala lantas saja menegur: “Eh, Nona, jangan lari! Kcnapa kau binasakan harimau kita?

Tinggalkan, jangan kau bawa pergi!”

Itulah pahlawan dari Keluarga Soh dan dua guru dari Keluarga Hoa. Mereka menyaksikan si nona berkelahi dengan harimau, mereka heran dan kagum, berbareng pun mereka mendongkol mengingat tak kemampuan diri sendiri. Maka itu, dengan jumawa, mereka hampirkan si nona, yang mereka pikir untuk pcrmainkan juga. Mereka tak takut, sebab anggap, jumiah mereka ada banyak.

“Jangan, jangan!” salah satu guru silat mencegah, ketika iakenali nona itu. Tapi sudah kasep, pahlawan Keluarga Soh sudah maju.

Si nona, yang masih bcrdin di atas kepala harimau, mengawasi. “Apa, kutu besar ini ada binatang peliharaanmu?” ia tegasi, dengan mata bersinar. “Kau suruh aku jangan bawa pergi?”

“Itulah bukan piaraan kita tetapi kita lebih dulu yang mclukakannya! ” sahut si pahlawan, “Kau cuma tinggai punyakan saja!”

“Oh, pendusta!” si nona membentak. “Kau orang tidak mampu bekuk seekor harimau, kau orang bcrani katakan aku?” Ia hunus pedangnya. “Jangan banyak omong, lekas pergi! Jangan kau hinakan nonamu!”

Didamprat, pahlawan itu tertawa “Jangan galak, Nona……. ” kata ia.

“Aku tidak mau pergi, habis kau mau apa? Apakah kau tabu, siapa kita ini? Aku ada pahlawan kepala dari Keluarga Son – aku ada Kimtoo Hck Tjit-ya, Hek Toa-boesoe! Di dalam Kota Pooteng ini, siapa tidak kenal aku? Kau berani mcnentangi aku? Tapi aku tidak persalahkan kau. Aku memang kekurangan satu murid perempuan, ayo, kau berlutut dan manggut-manggut di depanku, untuk angkat aku menjadi guru.”

Kapan si nona dengar orang pcrkenalkan diri. ia gusar dengan tiba-tiba, tcrus saja ia balingkan pcdangnya di muka orang sambil berseru: “Kau guru si I at Hek Toa-boesoe?

Pedangku I a rang’ kau menghina! Mundur!”

Bcntakan itu disusul sama gcrakan tangan lebih jauh, menikam pundak kanan. Kakinya si nona pun turut maju.

Hek Tjit tangkis tusukan itu dengan goloknya seraya ia berseru, ia hendak bikin terpental pcdangnya si nona, tetapi si nona putar tubuhnya, akan membaliki menapas lengan or•ang, hingga guru silat itu terkejut, lekas-lekas dia menangkis sambil serukan kawan-kawannya: “Kenapa kau orang tidak lekas maju?” Atas mana, semua kawan itu lantas maju. “Hm!” si nona menghina. “Aku kira orang gagah bagaimana, tak tahunya tukang keroyok!”

Lalu ia menyerang hebat, dengan tipu-tipu pukulan dari Bweehoa-kiam, yang semuanya terdiri dari Tjittjit sie Hapkauw” atau tujuh kali tujuh ada empat puluh sembiian jurus.

Rombongan pahlawannya dua keluarga, bersama-sama dua guru silatnya yang baharu, telah merangsang, jumlah mcrcka yang besar, bikin si nona kewalahan juga, apa pula ia baharu saja melayani harimau. Pelahan-lahan, keringatnya si nona keluar membasahi jidatnya. la jadi sengit, tetapi ia bersangsi, untuk berlaku telengas. Ia ingat pesan ayahnya, untuk tak sembarangan melukai orang, sedang urusan ada urusan kecil.

Dalam saat kesangsian dari si nona, tiba-tiba antara gombolan muncul satu anak muda, yang mukanya putih, romannya cakap, begitu lekas ia hunus pedangnya, ia lompat meriyatukan diri di medan pertempuran itu!

Inilah Teng Hiauw, puteranya Teng Kiam Beng, ahli waris dari Thaykek-pay di Pooteng, atau cucunya Thaykek Teng, jago dari Thaykek-koen, yang kesohor buat tiga macam ilmu kepandaiannya: Tangan kosong Thaykek-tjiang, pedang Thaykek-kiam, dan senjata rahasia Kimtjhie-piauw. Kiam Beng belum bisa Iawan ayahnya, tetapi ia sudah sukar tandingannya, dan anaknya ini, Teng Hiauw, dalam umur sembiian belas tahun, sudah berkepandaian tak tercela, malah dalam halnya Kimtjhie-piauw, ia sudah mewariskan dclapan atau sembiian bagian, cepat sekali, ia mendesak kepandaian ayahnya.

Sebagai anak muda, Teng Hiauw beda daripada yang kebanyakan, ialah ia tidak suka terlalu bergaul. Ayahnya suka mencrima banyak murid, tidak demikian dengan engkongnya, maka juga muridnya Thaykek Teng melainkan satu, ialah Lioe Kiam Gnu Kiam Beng mempunyai banyak mu•rid, yang mewariskan ja, belum ada, malah murid-muridnya itu, ia serahkan pada beberapa muridnya yang paling maju. Dengan sekalian soeheng dan soeteenya, Teng Hiauw pun tidak bergaul rapat. Bisadibilang, ia belajar sendirian saja.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar