Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 08

 
Hari itu mereka sampai di utara Kota Koci-soci, ibukota Propinsi Soei-wan; mereka numpang bcrmalam di rumahnya satu penduduk di kaki Gunung Tay Tjeng San. Puncak gunung itu setahun gelap bcrsalju, saljunya tak pernahjadi lumer.

Malam itu Bong Tiap tak bisa tidur, pikirannya tidak tentaram, maka ia pergi kcluar rumah dan saksikan salju yang terang bergemilang. , ia sedang terpesona ketika ada bayangan tiba-tiba berkelebat di depannya; waktu ia hendak menegur, bayangan itu perdengarkan suara halus yang ia kenal baik: “Soemoay, kau belum tidur?”

Itulah sang toa-soeheng, Law Boe Wie.

Ia bcrcekat, hatinya goncang, tetapi lekas-lekas ia tetapkan itu.

“Eh, Soeheng juga belum tidur?” ia balas tanya. “Aku tidak dapat tidur, melihat Soemoay bangun, aku turut bangun jawab soeheng itu sembari tertawa juga-

Dasar polos, Bong Tiap tak dapat kendalikan diri. “Soeheng,” kata ia, yang menanya. “Selama beberapa hari

ini, kau seperti ada pikirkan apa-apa, benarkah itu? Kau biasa malang-melintang, kau berhati terbuka, ada urusan apa yang membuat kau memikirkannya? Soeheng, kau biasa pandang aku sebagai adik sendiri. aku tidak punya saudara lainnya, aku pun pandang kau sebagai kanda kandungku, maka itu, apakah kau tak dapat utarakan apa yang kau pikirkan itu ke pad aku?”

Ditanya begitu, Boe Wie mengawasi Puncak Tay Tjeng San, yang berdiri tegar.

Sampai sekian lama, baharu ia bicara. Ia tunjuk puncak gunung.

“Soemoay, lihat Gunung Tay Tjeng San ini. Aku mirip dengannya. Salju di puncak itu tak lumer setahun gelap, dan hatiku mirip dengan salju yang ber-es itu, selamanya tak pemah lumer.”

Bong Tiap bergidik sendirinya.

“Kenapa?’ tanya ia, yang alisnya mengkerat. “Kenapa?” Boe Wie ulangi. “Aku sendin rak tahu. Kau

menanya, aku menerangkan, demikian perasaanku. Kau punya ayah, kau punya ibu, kau juga ada orang-orang yang menyayanginya. Kau mirip dengan musim Tjocn yang penuh dengan kegembiraan Tidak demikian dengan aku, sekaiipun wajahnya ayah dan ibuku, aku tak ingat jelas lagi, dan biarpun ada Soehoe dan Soebo, yang berlaku sangat baik padaku, aku sebaliknya tak dapat berdiam tetap di rumahmu.

Soemoay, gunung bersalju masih belum tepat melukiskan perasaan hatiku. Kau belum bersengsara, terlunta-lunta dan mcrantau sebasai aku. Pengaiamanku, penderitaanku, ada luasdan lama. Semasa aku berusia sebesar kau, aku sudah biasa hidup sendiri saja. Aku biasa mondar-mandir seorang diri, merantau ke tempat di mana tak ada manusia, di gunung- gunung di mana melulu ada pekiknya sang kera dan mengaungnya sang harimau, atau di tempat air mengalir. Aku bersendirian saja di waktu pagi, di waktu maghrib! Kau tahu aku biasa merantau, kau tak tahu, hatiku sebenarnya lemah, aku biasa bersendirian, toh aku jenuh akan bersendirian senantiasa. Sering-sering aku kuatirkan datangnya sang malam gelap-gulita, lebih suka aku duduk menjublek, menunggui sang malam sampai datangnya sang fajar. Aku lebih takuti dunia yang tak bersuara, yang tak beroman, hingga di waktu tengah malam yang sunyi, aku lebih suka dcngari suaranya sang raja hutan dan kera, atau mendengari berkericikannya air mengalir…:”

Boe Wie bicara terus, sampai Bong Tiap potong ia. “Soeheng, kau biasa merantau, mustahil kau tak

mempunyai sahabat?” demikian si nona, yang perhatiannya ketarik bukan main. “Kau toh pernah tempatkan diri dalam Gie Hoo Toan. Apakah Gie Hoo Toan tak mirip dengan laut yang bergelombang?”

“Sahabat?” dan Boe Wie menyengir tertawa getir. “Sahabat aku mempunyai! Aku pun punya akan guru yang menyayangi aku, seperti ayahmu itu, seperti Tok-koh It Hang yang sekarang berada di Kwan-gwa.

Aku punyai sahabat-sahabat kekal, seperti itu anggota- anggota dari Pie Sioe Hwee dan Gie Hoo Toan. Toh aku masih merasakan kosong, aku kesepian, aku kekurangan satu sahabat, yang bisa turut merasai kegembiraan dan kedukaanku, yang selama sisanya saat-saat pertempuran, bisa menghiburi aku, yang dapat melegakan hatiku. Lebih banyak tempoku, ya,ng aku lewati tidak bersama sahabat- sahabat, aku biasa berkawan dengan pedangku saja

Belum pernah ada satu sahabatku, yang tunjuki aku suatu jalanan. Soemoay, kau ketahui cara binasanya ayah dan ibuku, maka itu aku sangat benci pemerintah Boan serta budak- udaknya. Toh, walaupun aku sudah cari, aku masih belum dapati tenaga untuk gempur Kerajaan Boan yang telah berakar kuat.

Aku pernah dengar dongeng tentang semut yang kecil sanggup binasakan scrigala yang besar, karcna itu, aku telah cari suatu himpunan yang berpengaruh, untuk kumpuli banyak kawan. Demikian, aku telah dapati Gie Hoo Toan.”

“Mendapatkan Gie Hoo Toan, aku juga hilang harapan,” Boe Wie lanjuti sesudah ia bcrhcnti scbcntar. “Sekarang ini Gie Hoo Toan antaranya bercita-cita ‘Hoe Tjeng’, ialah menunjang Kerajaan Boan. Juga di dalamnya, aku lihat, yang bening dan keruh bercampur jadi satu, seperti naga dan ular bergumulan, hingga sukar aku melihat tegas. Soemoay, kau tanya apa yang mengganggu pikiranku. Aku tak dapat jelaskan itu, aku seperti juga lagi mimpi dan separuh mendusin….”

Mirip seperti nona yang belum “masak”, Bong Tiap tak mcngcrti soeheng ini, tapi iaterharu mendengar kata-kata orang, maka kctika dengan pelahan ia angkat kepalanya, matanya mengembang air.

“Soeheng, aku ada satu -bocah yang tidak mengerti apa- apa,” berkata ia. “Tapi aku mengasihi rumah tanggaku, aku juga mcncintai dunia, dari itu, jikalau bisa, aku ingin berikan kebahagiaanku kepada siapa yang membutuhkannya. Aku tidak tahu, dalam hal apa aku bisa bantu kau. Satu hal aku bisa terangkan, aku bersedia untuk menjadi adikmu, rumah ku juga boleh menjadi rumah kau, di saat kau merasa kesepian, selagi kau bersendirian, aku ingin layani kau sebagai kandaku sendiri. Mengenai Gie Hoo Toan, aku ada asing terhadapnya, tetapi aku juga merasa tcrtarik. Mendengar cerita kau saja, aku sudah gembira Aku ingin menemui itu rombongan entjie- enijie dan adik-adik dari Hong Teng Tjiauw, aku ingin berada di antara mereka. Rupanya di antara mereka kau masih belum dapat cicipi kesenangan….”

“Oh, Soemoay, kau barangkali benar,” sahut Boe Wie dengan lesu. “Kau masih sedang segarnya, aku sudah layu. Aku bersyukur untuk kebaikan hatimu. Sekarang sudah tak siang lagi, mari kita pergi beristirahat.”

Boe Wie merasakan sangat kecewa mendengar kata- katanya Nona Lioe itu, orang ada baik hati tetapi orang toh cuma pandang ia sebagai kanda, dan ia tidak be rani mendesak—

Bong Tiap sendiri malam itu, tak dapat tidur dengan tenang, ia masih mondar-mandir, terus sampai sang fajar datang.

IX

Sadari masih kecil. Bong Tiap hidup diuruki kesayangannya ayah dan bundanya, selama tiga tahun yang belakangan ini, walaupun ia bidup menyendiri, ia toh dilindungi gurunya, Sim Djie Sin-nie. Sampai sebegitu jauh, belum pcmah ia hadapi soal-soal atau soal yang berat, baharu kali ini,| ia merasai itu. Samar-samar ia ingat, inilah apa yang ia dahuiu pernah dencar. bahwa kalau satu anak pcrcmpuan telah menjadi bcsar, masanya akan datang yang dia akan hadapi soal seperti yang ia hadapi sekarang. Ia asing tcrhadap “cinta” tetapi ia toh ketarik—

“Inilah pasti bukannya!” ia kata da lam hatinva.

Bong Tiap iantas ingat Ham Eng. Baharu tiga tahun yang lalu, iamasih memain pcrahu sama-sama itu saudara seperguruan. Ketika itu, pernah Ham Eng tanya ia: “Adikku, maukah kau bcrkumpul selamanya denganku sebagai ini?” Ketika itu, ia tak insyaf akan pertanyaan itu, tctapi ia masih ingat baik-baik. Pun, selama ia ingat Ham Eng, ia gembira. Sekarang juga, sesudah mereka berpisahan tiga tahun lamanya, ia percaya, kalau nanti mereka bertemu pula, mereka tak akan asing satu dengan lain. Ia tidak tahu, apakah ini juga yang dinamai “cinta”.

Terhadap toa-soehengnya, Bong Tiap selalu merasa menghormati dan mengagumi, ia memang memandangnya sebagai kanda sejati, dan sejak soeheng itu tolongi ia serumah tangga, ia bersyukur sekali, rasa syukur ini menjadi berlipat sctclah ia ketahui, untuk tiga tahun, soeheng itu tcrus mencari ia. Toh bila dibanding dengan Ham Eng, ia merasa masih lebih dekat dengan saudara she Tjoh ini. Hanya, terhadap kesepiannya sang toa-soeheng, ia merasa tertarik. Ia mau percaya, walaupun dia gagah perkasa, Boe Wie mirip dengan satu bocah yang membutuhkan kesayangan ibunya. Ingat ini, ia sampai lupa bahwa ia telah bcrusia scmbilan belas tabun dan sang toa-soeheng sudah tiga puluh lebih…. Maka itu, sejak waktu itu, di antara soeheng dan soemoay ini terdapat perasaan “lebih dekat” tetapipun “asing”. Itulah ada akibatnya pertemuan malam di Tay Tjeng San itu.

Dcmikian, dalam keadaan aneh itu, sctclah meli ntasi padang pasir, gunung dan lembah-lembah, dari tepinya Sungai Tay Hek Hoo, mereka sampai di Thong-tjioe di dalam Propinsi Tit-lee.

Kenapa mereka tidak pulang ke Shoatang hanya menuju ke Tit-lee? Itulah disebabkan markas besar dari Gie Hoo Toan, dari Shoatang sudah dipindahkan ke Tit-lee, karena Shoatang telah masuk menjadi kalangan pengaruhnya Wan Sie Kay. Di Shoatang itu cuma ada scdikit or-ang Gie Hoo Toan yang masih bertahan menghadapi kepaia perang Boan itu. Boe Wie ajak si nona ke Tit-lee karena Lioe Kiam Gim dan Tjoh Ham Eng berada di sana. Apa mau, mereka ini sudah tubruk tempat kosong! Sebabnya ialah, untuk urusan perkumpulan, Kiam Gim telah berangkat ke Thian-tjin, dan Ham Eng ikuti gurunya itu. Boleh jadi kepergiannya itu membutuhkan tempo satu bulan. Karena ini, Boe Wie jadi pergi menemui Lie Lay Tiong, Ketua Gie Hoo Toan yang bermarkas di Thong-tjioe itu.

Ketika itu, Lie Lay Tiong – atau lebih benar Gie Hoo Toan – sedang repot, maka itu, ketua itu tak dapat bicara lama dengan Boe Wie. Di Tit-lee, kemajuan ada pesat sekali.

Umpama dalam satu Distrik Tok-tjioe, anggota Gie Hoo Toan berjumiah kira-kira tiga puluh ribu jiwa. Maka juga di mana- mana di Tit-lee, orang selalu menemui orang-orang dengan pelangi kuning, ikat pinggang merah dan tumbak panjang di tangan.

Joe Lok, Tjongtok dari Tit-lee, menjadi sibuk sekali, hingga terpaksa iasambuti rombongan Gie Hoo Toan memasuki Kota Thian-tjin dalam kedudukan sebagai orang-orang yang setingkat derajatnya.

Pemimpin Gie Hoo Toan yang masuk ke Thian-tjin itu ada Thio Tek Seng dan Tjo Hok Thian. Lioe Kiam Gim pergi ke sana atas permintaannya Lie Lay Tiong, untuk meninjau keadaan.

Begitulah, sesudah memberi keterangan, Lie Lay Tiong Iantas minta Law Boe Wie berdiam dulu di Thong-tjioe.

Katanya, selang satu bulan, Lioe Kiam Gim bakal kembali. Di lain pihak, Lay Tiong minta Bong Tiap suka pimpin Barisan Hong Teng Tjiauw, yang masih kurang pemimpin yang berani dan boegeenya liehay.

Kalau Boe Wie kurang tertarik oleh Gie Hoo Toan, Bong Tiap ada sebaliknya. Dia gembira melihat nona-nona Hong Teng Tjiauw tidak gemar berias, tidak ikat kaki. semuanya kelihatan gesit dan toapan, sedang kedua pemimpinnya, Tang Djie Kouw dan Lauw Sam Kouw, mirip dengan orang Iclaki saja, apapula Lauw Sam Kouw. Berdua mereka ini – Bong Tiap dan Sam Kouw – lantas ‘ saja bergaul rapat. Selama berdiam di Thong-tjioe, Boe Wie dan Bong Tiap sering bertemu. Dalam Gie Hoo Toan, pertemuan antara kedua pihak lelaki dan pcrcmpuan dipandang umum. apapula mereka ada soeheng dan soemoay dan datangnya pun bareng, orang tidak herankan yang mereka bergaul rapat.

Selang setengah bulan, Kiam Gim masih belum kembali. Lie Lay Tiong sudah kirim utusan kepada Kiam Gim, mengabarkan puterinya ada di Thong-tjioe, hanya entah kenapa, ayah itu menulis surat pun tidak. Menurut dugaan, utusan itu mestinya sudah sampai cukup lama di Thian-tjin.

Selama itu juga, Boe Wie dapati suatu apa yang mendukakan ia. Benar Bong Tiap ada sangat baik terhadapnya, tapi selagi mereka pasang omong, tanpa disengaja, si nona suka sebut-sebut Ham Eng, dan saban kali pemuda she Tjoh itu disebut, Nona Lioe nampaknya sangat gembira

“Dia masih muda sekali, aku sudah tua, dan dia pun nampaknya sukai Ham Eng, aku hams mengalah,” Boe Wie berpikir. “Dia harus berbahagia, aku tidak selayaknya mencoba mengikat dia…. Kenapa aku mesti melintang di antara mercka?”

Di pihaknya Bong Tiap, dia tidak inginkan sang toa-soeheng bcrduka, ia cuma bersikap manis budi tcrhadap soeheng itu, akan ictapi, apabila ia merasa sang toa-soeheng hendak utarakan rasa hatinya, ia menyesal sendirinya. Ia tidak ingin terlibat taufan….

Lauw Sam Kouw tidur sckamar dengan Bong Tiap, selagi Iain-lain or-ang tidak lihat gerak-geriknya si nona dan Boc Wie, scbagai scorang bcrmata tajam, ia tampak itu, ia sudah lantas bisa menduga. Maka pada suatu malam, Sam Kouw tanya Bong Tiap, dia “sukai” sang toa-soeheng atau tidak.

Separuh memain ia kata: “Kau sudah dewasa, kau harus cari mcrtua. Aku lihat toa-soehengmu itu baik dan jujur, dia pun gagah, kau orang berdua ada sembabat sekali!” Bong Tiap seperti dengar guntur di kupingnya, mukanya menjadi merah, tapi ia harus jawab ini, mau atau tidak, ia utarakan kesangsiannya.

Ia nyatakan, kedua soehengnya agaknya mcncintai ia, tapi ia sukar memilih, sedang kalau ia menunda, Boc Wie bakal menjadi tcrlebih tua. Sulitnya, tidak ada satu soehengnya yang pernah mengutarakan isi hatinya.

“Inilah gampang!” kata Sam Kouw sambil tertawa. “Siapa kau cintai, dia kau nikah! Ini ada urusan kau sendiri, tak orang yang bisa paksa naiki kau kw dalam joli pengantin!”

Nona Lauw bicara secara sewajarnya, tapi Bong Tiap tetap bersangsi.

Demikian sang tempo di lewatkan, sampai lagi setengah bulan, sampai pada suatu hari, Lie Lay Tiong beritahukan Boe Wie dan Bong Tiap, katanya: “Besok Ham Eng akan kembali!”

Nyatalah, ketika utusannya Lay Tiong sampai di Thian-tjin, Kiam Gim kebetulan lagi pergi mencari kawan-kawan baharu, ketika ia pulang dan Ham Eng beritahukan kabar dari Thong- tjioe, jago tua itu kucurkan air mata saking girang berbareng terharu.

“Oh, itu anak, bagaimana ia bersengsara!….” ia mengeluh. “Selama tiga tahun, setahu bagaimana dia menderita.

Sekarang ia sudah selamat, hatiku lega….”

Ayah ini tidak tabu, puterinya sebenarnya tidak menderita banyak, kecuali bahaya yang mengancam kepadanya, bahwa puteri itu telah dapat kepandaian silat yang sempurna.

Sebenarnya Kiam Gim ingin segera tengok anaknya itu, apa mau, urusan perkumpulan lagi memintatenaganya, dari itu, terpaksa ia kirim Ham Eng saja. Muridnya ini sekalian bisa bicarakan satu soal penting dengan Lie Lay Tiong.

Sebaliknya, hatinya Boe Wie tidak tentaram mendengar Ham Eng bakal datang. Ia sayang itu soetee dengan siapa sudah bebcrapa tahun ia tidak ketemu, tapi sayangnya itu beda dengan kesayangannya terhadap Bong Tiap. Tentu saja, tak dapat ia bersaing dengan ntu soetee atau memusuhkan dia itu. Saking kusutnya pikiran, itu tengah malam ia berbangkit, ia dandan, terus ia pergi ke kemahnya Bong Tiap.

Malam itu, rembulan sudah mulai doyong, sinarnya teduh dan indah. Kcmah pun ada tenang sekali, melainkan serdadu- serdadu ronda yang mondar-mandir. Ketika Bong Tiap diwartakan datangnya sang soeheng, ia segera keluar untuk menemui. Ia pun seperti belum tidur dan seperti lagi nantikan soeheng itu….

Pertemuan dilakukan di bawah terangnya si Puteri Malam. Sampai sekian lama, keduanya tidak lantas bicara. Angin ada berkesiur halus. Kemudian Boe Wie angkat kepalanya, ia awasi si nona.

“Adikku,” kata ia, ketika ia mulai buka mulutnya. Sejak pertemuan malam di Tay Tjeng San, Boe Wie tidak lagi memanggil soemoay, hanya adik saja. “Adikku, aku hendak bicara sedikit sama kau. Aku menyesal mesti ganggu ketentaramanmu. Sekarang aku sudah berpikir, Sore hari aku biasa menyendiri, sekarang juga begitu Kau suka menjadi adikku, aku puas karenanya. Aku insyaf, aku telah berusia lanjut. Lanjut usiaku, lanjut juga hatiku. Kau sebaliknya masih muda, kau ada di saat pcrmulaan. dari itu aku tak dapat, aku tak mesti ikat padamu. Aku anggap, Tjoh Soetee adalah paling sembabat dengan kau, dia sedang mudanya. Maafkan aku, aku omong terus terang. Maka kau orang mesti jadi pasangan. Tentang aku, Adikku, kau jangan buat pikiran, aku telah tertakdir mesti terus merantau!”

“Tidak!” kata si nona, tetapi suaranya terputus, air matanya berlinang. Ketika ia hendak buka mulutnya, Boe Wie sudah lenyap, toa-soeheng itu telah berlompat pergi dengan pesat dan sedetik saja hilang dalam gelap-gulita. Malam itu seterusnya, Bong Tiap berpikir, akan tetapi, ia toh bisa ambil ketetapan.

Besokannya, di hari kedua, Tjoh Ham Eng sampai dari Thian-tjin, di memasuki markas hampir seperti berlompatan. Lie Lay Tiong beberapa pemimpin lainnya, berik Boe Wie dan Bong Tiap, suda menantikan ia. Ini penyambutan bukan karena ada orang penting dan Gie Hoo Toan, ia hanya ada utusannya Lioe Kiam Gim dan semua orang ingin dengar kabar dari Thian Ham Eng sebaliknya tidak terlalu perhatikan Lie Lay Tong, begitu masuk, ia pentang mata ke empat penjuru. akan cari Lioe Bong Tiap, hanya. apabila ia lihat nona itu, ia tercengang. Romannya si nona ada lesu, sepasang alisnya mengkerut, seperti orang berduka berbareng menyesal. Dan ketika ia dengan bersemangat memanggil “Soemoay!’ sang soemoay sendiri menyahuti dengan tawar, hingga soebeng ini tak dapat berkata-kata terlebih jauh

Kernudian Ham Eng memandang soehengnya. kembah ia menjadi heran. Sepasang mata yang tajam dari Boe Wie seperri tidak bersinar, orangnya sendiri nampaknya tidak bersemangat. Hingga ia jadi bingung, Dalam keadaan seperti itu. Ham Eng insyaf ia sudah berlaku keliru Seharusnya. setelah memberi hormat pada Lie Lay Tiong. ia mesti dului menegur soehengnya itu. tetapi sebaliknya, ia lebih perhatikan Bong Tiap. Dengan sendirinya, air mukanya menjadi merah.

“Urusan kita boleh dibicarakan belakangan.” berkata Boe Wie sambil bersenyum apabila ia tampak kelakuan tak sewajaraya dari soetee itu. “Baiklah kau lebih dahulu memberi laporan, karena semua saudara disini ingin sekali dengar kabar dan Thian-Boe Wie ada seorang yang berpengalaman, walaupun hatinya pepat, ia masih ingat untuk menyadarkan soeteenya. Dengan itu jalan. ia pun menolong sang soetee dari keadaannya yang sulit itu.

Ham Eng lantas hampirkan Lie Lay Tiong, untuk memberi hormat pula, kemudian, dengan sungguh-sungguh, ia kata: “Tjong Tauwbak, kcadaan ada gen ting luarbiasa. Semua saudara di sana lagi menantikan pendapatmu.”

Ternyata dengan semakin besarnya pengaruh Gie Hoo Toan, bentrokannya dengan bangsa asing, dengan kawanan pendeta penyebar agama asing, makin bertambah banyak. Memang Gie Hoo Toan ada bersikap anti asing, akan tetapi scbab-musababnya adalah dari pihak asing | sendiri, sepak terjang Gie Hoo Toan ada akibat saja.

Semasa tahun ke-5 dari Kaisar Kuang Hsu, pihak Serikat telah minta pemerintah Boan tindas Gie Hoo Toan dan Toa Too Hwee, supaya semua pemimpinnya serta yang membantu, dihukum mati. Permintaan itu disertai ancaman, apabila pemerintah Boan menolak, pihak asing akan kirim tentara untuk lakukan itu sendiri.

Muianya pemerintah luiuskan permintaan itu, Tjongtok Liap Soe Seng dari Tit-iee telah dipcrintahkan basmi Gie Hoo Toan Tjongtok ini bersikap bengis, dia bunuh saban or•ang, dia bakar setiap rumah, hingga rakyat gusar dan pada memasuki Gie Hoo Toan, hingga Pakkhia dan Thian-tjin jadi goncang, hingga lbusuri See Thayhouw kuatir tahtanya terguling, hingga ia tegur Liap Soe Seng seraya nyatakan: Tjongtok itu mesti tanggung jawab sendiri apabila rakyat berontak.

Lain dari itu, ibusuri pun lantas pikir akan gunai Gie Hoo Toan, buat lawan pihak asing, untuk mana, ia kirim utusan ke Thian-tjin guna perkenankan Gie Hoo Toan memasuki Kota Raja : Pakkhia.

Gie Hoo Toan jadi hadapkan soal: Memasuki Pakkhia atau jangan?

Pemimpin-pemimpin di Thian-tjin, ialah Thio Tek Seng dan Tjo Hok Thian, mufakat datang ke Pakkhia. Lioe KiamGim tidak setuju, tetapi ia ada sebagai tetamu, ia tidak leluasa untuk bicara. Ia tidak percaya lbusuri mau bekerja sama-sama secara sungguh-sungguh, ia kuatir nanti kena diakali dan Gie Hoo Toan akan menghadapi bencana. Ia pikir untuk nyelusup dulu ke Pakkhia, akan bcrunding dengan orang-orang Gie Hoo Toan di Kota Raja. Saran ini disetujui Thio Tek Seng. Maka ia telah ambit ketetapan, di hari kedua dari berangkatnya Ham Eng ke Thong-tjioe, baharulah ia mau berangkat. Di sebelah itu, Kiam Gim tidak percaya jampi-jampi dari Gie Hoo Toan bisa memunahkan senapan dan meriam asing, ia kuatir Gie Hoo Toan nanti masuk ke Pakkhia untuk antarkan jiwa secara kecewa, maka ia suruh Ham Eng tanya pendapatnya Lie Lay Tiong.

Buat beberapa saat. Lie Lay Tiong berdiam. Diam-diam, ia perhatikan sikapnya orang-orang, yang nampaknya sebagian setuju, sebagian tidak. Tapi di akhirnya, dengan bersemangat, dia berbangkit seraya. keprak meja dan berseru : “Pergi ke Pakkhia! Kenapa tidak? Inilah jalan berhasilnya kita, Orang gagah bertindak tak boleh sebagai perempuan dusun atau anak-anak! Aku nanti pimpin sendiri angkatan perang kita memasuki Pakkhia!”

Mendengar itu, Law Boe Wie menjadi serba salah dan Bong Tiap menjadi tidak gembira. Dan di antara orang-orang Gie Hoo Toan, separuh gembira, separuhnya lagi berduka.

Melainkan yang tak setuju tutup mulut mereka.

Boe Wie masygul, oleh karena Lie Lay Tiong tidak hargai pikiran gurunya, malah gurunya itu tidak. disebut sama sekali, gurunya itu seperti tidak dilihat mata, seperti hendak disamai dengan “orang perempuan dan anak kecil”. Ia setujui gurunya, tapi ia pun terpaksa mesti bungkam.

Ketidaksenangannya Bong Tiap ada lain lagi. Ia anggap Lie Lay Tiong memandang enteng orang perempuan, benar ia pun bungkam tetapi mulut sudah berkelemik!

Pendapatnya Lie Lay Tiong adalah fein, Dia sebenamya ada bekas opsir sebawahan dari Tang Hok Slang, jendcral di Siamsay dari pemerintah Boan, dia tinggalkan pangkatnya dan memasuki Gie Hoo Toan, ia bisa nanjak terns hingga ia diangkat menjadi Tjong-tauwbak Ia anggap, memasuki Pakkhia berarti bertemu dengan Kaisar, bertemu jugadengan Ibusuri. dan itu adalah suatu kehormatan besar untuk ia, untuk leluhurnya. Dia asal opsir rendah, tapi di Pakkhia, dia bakal duduk berendeng dengan bcrbagai menteri dan jenderal, tidakkah itu memuaskan hatinya? Maka itu, ia setuju. Di Pakkhia, dia mau beraksi!

Sebagai -orang cerdik, Lie Lay Tiong lihat Boe Wie dan Bong Tiap tidak gembira, ia lantas tunjuki kelicinannya Ia goyangi tangan pada itu tiga saudara seraya berkata: “Soal memasuki Pakkhia atau tidak, kita tak usah bicarakan lagi! Kau orang sudah lama tidak ketemu satu dengan lain, aku tidak hendak haiangi kau orang, nah, pergilah keluar. Untuk kau orang pasang omong dengan merdeka!” Pada Ham Eng sendiri. ia urusi sambil bersenyum: “Kau juga sudah merdeka, jikalau kau suka, kau boleh pesiar di Thong-tjioe ini barang dua bari! Kau banyak capek!”

Demikian Lie Lay Tiong hunjuk aksi menyayang, dengan mana ia akhirkan pertcmuan itu.

Dengan tak gembira, Ham Eng ikuti Boe Wie dan Bong Tiap keluar. melihat si nona acuh tak acuh, jalannya sambil tunduk saja. Maka terpaksa, ia bicara dengan Boe Wie.

Boe Wie juga tetap tidak gembira, tapi satu hal membuat ia puas. Itu ada halnya Teng Hiauw, putcranya Teng Kiam Beng, soesioknya atau paman guru. Katanya, Teng Hiauw ini sudah mencmui gurunya, sudah dua kali kembali ke Poo-teng, untuk membangun Thay Kek Pay, hingga namanya jadi Icrsohor, dan dia pernah berbuat kebaikan untuk gurunya. Isterinya Teng Hiauw adalah cucu perempuan dari Kiang Ek Hian, Ketua dari Cabang Silat Bwce Hoa Koen, sedang Tjoe Hong Teng, pemimpin Gie Hoo Toan, ada murid kepala dari Ketua Bwee Hoa Koen itu.

Setelah bicara sckian lama, Boe Wie lihat Bong Tiap, lalu dengan tiba-tiba, ia kata: “Aku mempunyai satu urusan untuk mana aku mesti berangkat lebih dulu, kau orang sudah lama tidak bertemu, pergilah kau or•ang bicara!” Dan lantas ia pergi.

Walaupun Boe Wie sudah tidak ada, dua-dua Ham Eng dari Bong Tiap masih likat satu dengan lain. Ham Eng menjadi heran dan masygul, kenapa socmoay ini menjadi demikian tawar, malah seperginya Boe Wie, mukanya berubah menjadi pucat. Ia ada tidak sabaran. Maka akhirnya, ia kata: “Soemoay, aku heran! Dari kecil sampai besar, kita biasa memain, tapi belum pernah aku dapati kau begini adem, kau seperti tak perhatikan aku. Kau tahu, bagaimana aku pikirkan kau sclama tiga tahun! Sayang aku tidak liehay sebagai toa- soeheng, yang seorang diri telah mcrantau mencari kau. Aku, siang aku mengenangi kau, malam aku mimpikan padamu.

Socmoay, urusan apa membikin kau tidak senang? Kau boleh damprat dan pukul aku, tapi janganlah berlaku tawar begini…. Dari kematian kita lolos, scsudah tiga tahun kita bertemu pula, maka, ada urusan apa yang membikin kau tak senangi aku?”

Bong Tiap angkat kepalanya, air matanya menggenang. “Ham Eng, aku tidak gusar terhadap kau……” kata ia,

dengan suara sedih. “Aku tahu, memang tidak seharusnya aku

bersikap begini, tetapi sekarang pikiranku lagi kusut… Kau berikan ketika untuk aku beristirahat, nanti aku bicara denganmu. Sebentar tengah malam, kau pergi ke tangsiku, untuk kita bicara.”

Nona itu kelihatan lesu dan letih sekali. Ham Eng tidak berani memaksa.

“Kau lesu, Soemoay, baik kau beristirahat,” kata ia. “Sebentar malam aku nanti datang padamu “

Demikian dua saudara itu, setelah •pertemuannya yang pertama kali ini scjak tiga tahun, lantas berpisahan pula. Bong Tiap pulang ke kemahnya untuk terus rebahkan diri, sampai sore, ia tidak tidur, ia tidak dahar. Sam Kouw tanya ia, apa ia sakit, iajawab tidak. Ia sebenamya sedang pikirkan toa- soeheng dan soehengnya:

Ham Eng berbayang di matanya nona ini sebagai satu orang nrada dan cakap, merekapun sudah bergaul rapat sekali, berat untuk tinggalkan dia itu, hatinya goncang keras. Di sebelah Ham Eng ada Law Boe Wie yang gagah tapi yang usianya “lanjut” seperti Boe Wie akui sendiri. Toa-soeheng ini sudah kenyang mcrantau dan mendcrita, dia memerlukan perhatian luar biasa. Kalau Ham Eng pasti akan tank perhatiannya sesuatu nona, belum tentu dengan Boe Wie.

Maka Bong Tiap anggap, pertu ia perhatikan toa-soeheng itu, untuk mana, ia layak berkorban….

Malam itu, seperti dijanji, Ham Eng datang. Rembulan ada indah dan tenang. Akan tetapi hatinya kedua anak muda itu tidak tentaram. Bong Tiap lantas saja bicara, dengan cepat, seperti ia kuatir orang potong pembicaraannya. la utarakan ketetapan yang tadi sore ia ambil.

“Ham Eng, tak usah kau tanya banyak-banyak padaku, aku pun tidak ingin banyak bicara. Aku tahu hatimu, tetapi aku tetap ada soemoaymu. Aku ingin terus baik dengan kau, supaya kau berbahagia, tetapi aku kuatir kau keliru mengartikan aku Di depan kau, ada satu orang yang telah mendahului padamu, yang utarakan isi hatinya kepadaku, mulanya aku tak nial terima ia, tapi sekarang aku telah pikir itu masak-masak….

“Siapa dia?” Ham Eng benar-benar memotong.

“Dia ada toa-soeheng….” sahut si nona sambil ia tunduk, untuk mcnyingkir dari sinar matanya sochcng itu, ia terus menghela napas.

“Oh, toa-soeheng!” Ham Eng ulangi, agaknya ia heran. Terus ia bcrdiam. A pa ia mcsii bilang? Tak dapat is larang socmoay ini baik dcngan toasoeheng itu. Tapi ia tak dapat pertahankan kesedihannya. Tiba-tiba, ia putar tubuhnya dan pergi sambil berlari-lan, tak sepatah kata ia ucapkan.

Besoknya, Bong Tiap terima suratnya Ham Eng. Sochcng mi bilang tidak bisa bcrdiam lebih lama di Thong-tjioe, bahwa dia tak harap menemui pula sang soemoay. itu hari juga ia kembali ke Thian-tjin. Soeheng ini pujikan kebahagiaannya sang soemoay dan toasoeheng itu!

Haiinya Bong Tiap mcmukul keras. Memang sukar ia lupai soeheng itu, walapun ia sudah ambil ketetapan. Ia berdiri bengong. Ia mau nangis tapi tak bisa….

Tiba-tiba tcringat dia akan suaranya Lauw Sam Kouw, di kupingnya:

“Kau sebenamya cintai yang mana satu?”

Bong Tiap insyaf benar, ia cintai Ham Eng, dan terhadap Boe Wie, ia

mclainkan mcrasa kasihan. Dalam bingungnya ini, ia pun berkuatir. Ke mana perginya Ham Eng? Apakah soeheng itu tidak berpikiran pendek? Sekarang ia dapat pikiran lain.

Soeheng ini masih muda dan membutuhkan perlindungan, tidak demikian sang toa-soeheng, yang bagaikan pohon tua, tidak jerih lagi hujan besar dan taufan. Ham Eng ada seumpama satu cabang muda yang lemas….

Ada hebat untuk Bong Tiap akan layani keruwetan pikiran itu, dengan tiba-tiba, ia berhenti menangis, lantas ia rapikan pakaiannya. ia buntal bungkusannya, kemudian, setelah soren pedangnya dan simpan piauw Bouw-nie-tjoenya, ia keluar dari kemahnya, ia berangkat untuk susul Ham Eng ke Thian-tjin!

Dia tidak memberi kabar pada siapa juga kccuali ia tmggalkan sccarik kcrtas untuk Lauw Sam Kouw dan Law Boe Wie.

Malam itu, juga Boe Wie tidak tidur barang sekejap. Setelah berkutet keras, ia bisa ambil putusan. Ia suka mengalah terhadap Ham Eng. Dengan mehgalah, ia mcrasa terhibur juga, karena ia jadi sudah bisa bikin berbahagia soetee dan soemoaynya. Tapi ia menjadi kaget dan bingung, kapan kemudian dengan beruntun ia terima dua pucuk surat, masing-masing dari Ham Eng dan Bong Tiap. Soetee itu kasih selamat padanya, yang jodohnya bisa terangkap dengan jodohnya Bong Tiap, kemudian, setelah nyatakan ia hendak merantau, akan teladan sang toa-soeheng, Ham Eng mohon maaf yang ia pergi tanpa pamitan- Sang soemoay, dengan

beberapa huruf saja, melainkan memberitahukan hendak pergi ke Thian-tjin.

“He, kenapa Soetee salah mengerti sampai begini?” ia nyatakan seorang diri. “Kenapa Soemoay pun berangkat? Aku menyesal menyebabkan kcdukaan mereka…”

Lantas Boe Wie berpikir lebih jauh dan akhirnya ambil putusannya, untuk menyusul mereka itu ke Thian-tjin. Maka besoknya pagi-pagi, ia ketemui Lie Lay Tiong dan beritahukan maksudnya, sebagai alasan, ia hunjuk perlu ia mencmui gurunya.

Pada mulanya, Lie Lay Tiong berniat tahan ini orang gagah. tapi karena kemarin ada selisih anggapan soal pergi ke Pakkhia atau tidak, dan kelihatannya Boe Wie setujui Kiam Gim, ia man percaya, orang she Law ini tidak setujui ia, dari itu, dengan tawar ia jawab: “Karcna kau tidak ingin bcrdiam di Thong-tjioe, aku tak dapat menahannya. Harap saja kemudian kita orang nanti bertemu puladi Pakkhia!”

Demikian Boe Wie pamitan dari Lie Lay Tiong dan berangkat ke Thian-Tjin. Ia bikin perjalanan dengan cepat. Di sepanjang jalan, ia lihat orang-orang Gie Hoo Toan dengan pelangi kuning dan ikat pinggang merah, hatinya tertank.

Mendekati malam sampai di Thian-tjin, sesudah pintu kota ditutup. Ia lihat penjagaan ada keras. Ia tidak pergi kepintu ia hanya cari tembok kota bahagian yang sunyi disitu ia loncat naik, mau melewatinya. Ia tidak ingin berabe, siapa tahu…….. Baharu ia sampai di atas tembok dan hendak loncat turun ke sebelah dalam, tiba-tiba ia dengar sambaran angin, datangnyadari arah belakang. Ia ada berani dan berpengalaman, bukannya ia maju terus, ia hanya mundur, akan loncat ke samping, terus ia mundur pula keluar tembok. Ia insyaf ia bersalah dan ia tak ingin. timbul bentrokan. Di luar dugaan, or•ang tidak mau mengasih ampun, or•ang telah susul ia seraya membentak: “Siapa kau yang berani nyelundup masuk ke dalam kota?”

Dan teguran itu disusul sama satu serangan lagi, ke arah pundak.

Boe Wie berkelit seraya ia terus bcrsiap dengan “Gie hoe say bong” atau “Nelayan menjemur jala”, melulu untuk luputkan diri dari ancaman bencana.

Penyerang itu bukannya seorang biasa saja, ia bersenyum seraya tangan kirinya dipentang dalam gerakan “Pek hoo Hang tjie” atau “Burung Hoo putih bukasayap”, lalu dengan tangan kanan, ia menyerang ke arah perut.

Boe Wie menyedot perut seraya sedikit membungkuk, kakinyaditarik ke belakang, buat egoskan tubuh sambil mundur, akam tetapi lawan tidak mengasih tetika,dia maju pula, sekali ini, tangan kanannya dan atas turun ke bawah dalam gerakan “Slua kwa tan ian” atau “Sambil miring menggantung ruyung”.

Menampak serangan hcbat itu, Boe Wie tidak mau keras lawan kcras. Segcra ia keluarkan kegesitan, yang ia dapat pelajarkan dari Tok-koh It Hang, mencelat ttnggi dan jauh dua-tiga tumbak. ia menjadi heran, hingga ia batal untuk

segera perkenalkan diri. Lawan itu sudah gunai Thay Kek Koen yang delapan atau sembilan bagian sempurna. la tidak  sangka, di sini ia bertemu sama ahii Thay Kek Koen itulah kepandaian, yang mirip digunai gurunya. Sekalipun soesioknya, Teng Kiam Beng, tidak ada sedemikian liebaynya. Siapa ini orang dan dari siapa dia peroleh kepandaiannya? Untuk mencoba melayani tanpa gunai Thay Kek Koen, Boe Wie lantas mainkan Pwee-pwee Lak-tjap-sie-tjhioe kim-na- hoat, hingga sekarang ia bikia heran lawannya itu. Siapa lantas maju tetapi tanpa menyerang.

“Kau siapa?” ia tanya. “Lekas perkenalkan diri, supaya kita jangan salah mengeni!”

Boe Wie tidak mau iantas perkenalkan diri, sambil bersiap, ia bilang: “Tidak tanya lagi hijau merah hitam putih, datang- datang kau serang aku, maka sekarang aku ingin saksikan kepandaianmu kenapa kau ada begini galak.

Lawan itu bertambah heran. ia ditantang. walaupun ia mendongkol, ia menahan sabar. la pun mau menduga pada mata-mata musuh.

“Di Kota Thian-tjin yang besar itu, belum pernah aku lihat orang berwenang-wenang seperti kau’” ia berseru. “Bagaimana aku bisa antap kau datang dan pergi menuruti sukamu send in? Apakah itu tidak akan menyebabkan orang pandang enteng pada saudara-saudara dari Gie Hoo Toan yang melindungi kota ini? Aku tidak berkepandaian tinggi, tapi aku tak dapat izinkan kau main gila!”!

Lalu. ia pun bersiap sedia.

Boe Wie ingin mencoba, ia tidak sangsi lagi untuk maju, membuka kedua lengannya, ia merangsek. Benar-benar ia gunai Kim-na-hoat. Ancaman Boe Wie ada hebat.

Lawan itu tidak kcnali orang punya gerakan, ia bersangsi untuk menduga Pek-kwa-tjiang atau Kim-na-tjhioe yang umum. Scbcnarnya itu ada kim-na-hoat dari Eng Djiauw Boen, kcpandaian istimewa dari Tok-koh It Hang. Tapi ia tidak jerih, ia tenang dengan Thay Kek Koen. Pokoknya Thay Kek Koen memang “ketenangan menantikan gerakan”. Kalau “musuh tidak bergerak, sendiri diam, sekalinya musuh bergerak, sendiri mendahului”. Oleh karena ini tidak heran jikalau kedua tandingan ini Iantas saja bertarung dengan seru, tenang lawan tenang, gesit lawan gesit Cepat sekali, lima puluh jurus tclah dikasih lewat. Sampai di situ, perbedaan mulai tertampak. Boe Wie merangsek, ia tidak dapat basil, sebaliknya, bebcrapa kali, ia kena didesak, baiknya ia gesit menangkis dan berkelit, ia tidak sampai kena dirubuhkan. Kepandaian mereka berdua ada berimbang, Boe Wie menang pengalaman, kalau ia toh terdesak, itu disebabkan ia belum keluarkan Thay Kek Koen.

Kalau Thay Kek Koen ia telah yakin buat dua puluh tahun, Kim-na-hoat baru lima tahun, scdang begitu, ia mesti layani Thay Kek Koen dari belasan tahun. Biasanya ia liehay karena ia gunai dua-dua kepandaiannya secara tercampur, Sekarang

ia tidak gunai Thay Kek Koen. Syukur untuk ia, ia sudah dapati tujuh bagian dari kepandaiannya Tok-koh It Hang.

Untuk cegah dirinya dirubuhkan, yang mana bisa mcndatangkan rasa malu dan kecewa, sampai di situ, Boe Wie ubah caranya bersilat. Lantas saja ia keluarkan Thay Kek Koen, bahagian Thay-kek-tjiang, bertangan kosong, dengan beruntun ia pergunakan “Giok lie tjoan so” atau “Bidadari menenun”, “Djie hong soe pie” atau “Seperti menutup seperti merapat, “Sam hoan to goat” atau “Tiga kali mclibat rembulan”, dan “Teng san kwa houw” atau ‘Menunggang harimau mendaki gunung”.

Begitu lekas desakan itu, lawan yang menjadi kaget, Boe Wie melompat keluar kalangan, terus ia menegur: “Eh, kau juga keluaran Thay Kek Boen?”

Law Boe Wie hentikan penyerangannya, ia bersenyum. “Ya, aku ada dari Thay Kek Boen!” ia jawab. “Kau sendiri

siapa wariskan kau kepandaianmu?” ia balas tanya.

Atas jawaban itu, sang lawan bertindak maju, untuk mengawasi, kemudian ia sambar tangan orang, buat di tarik sambil dicekal keras. “Loo-soehoe Lioe Kiam Gim itu apamu?” ia tegaskan. Boe Wie terkejut untuk sikap dan lagu suara orang. “Lioe Loo-soehoe adalah guruku,” ia jawab.

Baharu saja dengar itu jawaban, lawan itu lantas kucurkan air mata.

“Oh, kau jadinya ada Soeheng Law Boe Wie!” kata ia, yang agaknya terperanjat. “Siauwtee justeru sedang cari kau!

Gurumu… gurumu….”

Ia tak dapat berkata terus, ia menangis sesenggukan, tersedu sedu.

Boe Wie kaget, ia tarik lolos tangannya.

“Guruku kenapa?” tanya ia. “Bilang, bilanglah!….”

Orang itu mencoba berhenti menangis, ia susuti air matanya.

“Gurumu .. gurumu orang aniaya hingga binasa….” saahut ia dengan susah.

Itulah guntur di siang hari. Bagaikan orang kalap, Boe Wie jambak kedua pundak orang, ia mengawasi dengan mendelong.

“Apakah itu benar?” ia tegaskan. “Bagaimana kau ketahui?”

Orang itu berdiri tegak, ia pun mengawasi dengan mata tak bergeming

“Mayat gurumu itu adalah aku yang kubur dengan tanganku sendin,” ia menyahui dengan pelahan, tetapi suaranya tetap. “Gurumu adalah soepehku sejati. Teng Kiam Beng adalah ayahku! Semasa aku bcrada dengan Lioe Soepeh. Sering aku dengar ia sebut-sebut kau. Soeheng. Itupun sebabnya kenapa aku berniat pergi ke Thong-tjioe, untuk cari kau, siapa tahu di sini kita berpapasan, kita bentrok’” Baharu saja Teng Hiauw tutup mulutnya. atau Boe Wie, muka siapa pucat dengan tiba-tiba. rubuh seketika, kedua tangannya terpentang ia pingsan!

Inilah tidak aneh. Sejak umur tujuh tahun. Kiam Gim telah rawat dan didik ia, sampai umur dua puiuh tahun lebih. baharu ia keluar dan perguruan. maka itu. namanya mereka ada guru dan murid. Kenyataannya mereka mirip ayah dan anak. Budi yang demikian besar tidak pernah Boe Wie lupakan Sekarang, dengan sekonyong konyong, ia dengar itu kabar celaka, bagaimana hatinya tidak mencelos!

Lioe Kiam Gim ada liehay sekali, ia berpengaiaman dan sabar, mengapa ia nampak bencananya itu? Iniiah sebab ia memasuki Pakkhia.

Gie Hoo Toan telah terpecah dalam tiga aliran, yang pertama “Hoan Tjeng” (Melawan pemerintah Boan), yang kedua “Hoe Tjeng” (Menunjang pemerintah Boan), dan yang ketiga “Poo Tjeng” -”Melindungi Kerajaan Boan”. Kiam Gim masuk dalam Golongan “Hoan Tjeng”. Tjoe Hong Teng dan Thio Tek Seng ada dari rombongan kedua, Hoe Tjeng. Di dalam Kota Pakkhia, Kota Raja, yang paJing kuat ada rombongan Poo Tjeng. Rombongan ini terdiri dari menten- menteri dan mereka yang tcrhitung gundal Boan, yang sengaja nyelundup masuk dalam Gie Hoo Toan, uniuk bckcrja dalam air keruh, di antaranya ada kawanan wie-soe atau pahiawan, bekas orang-orang Kang-ouw jahat, juga guru-guru silat orang Boan dan murid-murid paderi Lhama, semuanya terdiri dari orang-orang Han dan Boan. Di antaranya, ada lagi buaya darat dan cabang-cabang atas yang melulu inginkan- pangkat dan uang Adalah golongan yang belakangan ini yang sepak terjangnya paling rajin.

Ketua Gie Hoo Toan di Pakkhia ada Ouw Houw Tjoe, dia bukannya Kaum Poo Tjeng, akan tetapi dia ada sangat lemah, gampang dengar saran, sudah ia tak mampu urus kumpulan, akan rapikan keadaan dalam, dia kena dilagui oleh rombongan Poo Tjeng.

Belum lama Lioe Kiam Gim dari Thian-tjin datang ke Pakkhia, lantas ia rubuh sebagai korban.

Sesampainya Lioe Loo-kauwsoe di Kota Raja, di mana ia berdiam dalam markas Gie Hoo Toan, di sebelahnya rnemperhatikan suasana, ia bikin perhubungan sama rombongan Hoan Tjeng. Di sini ia ada asing, sebaliknya orang Gie Hoo Toan ada campur-aduk, ia nampak kesulitan. Untuk cari kawan, mau atau tidak, ia mesti sebutkan ia asal rombongan mana.

Ketua Ouw Houw Tjoe sambut dengan baik utusan dan Thian-tjin ini, yang diperlakukan sebagai tetamu terhormat, sering dia datang mengunjungi untuk pasang omong. Ia pun perkenalkan Kiam Gim dengan lain-lain pemimpin.

Mengetahui yang Lioe Loo-kauwsoe ada ahli Thay Kek Koen, ada orang-orang yang mohon pengunjukan. Kiam Gim ada beda danpada Kiam Beng, ia jaga pesan baik gurunya. Ia suka bergaul, ia ingin dapati kepandaian lain orang, tetapi dalam hal kepandaiannya sendiri, ia biasa merendah. Hanya ini kali, ia bersikap lain. Ia ingin cari sahabat. Orang-orang yang minta pengunjukan itu ada orang-orang muda, ia suka layani mereka.

Pada suatu hari, selagi Kiam Gim datang kepadanya, minta pengunjukan. Ia melayani seperti biasa, ia tidak menduga jelek, waktu orang minta ia “main-main’ ia juga tidak menampik.

Memang, untuk memberikan pengunjukan, orang mesti “main-main”, dan itu artinya, mereka harus bergebrak – bergebrak sungguh-sungguh tetapi bukan benar-benar.

Dua anak muda telah dikalahkan Kiam Gim, di antara mereka tidak terjadi apa-apa. Kemudian Lioe Kauwsoe mesti layani orang ketiga, yang perkenalkan diri sebagai muridnya guru silat Shong Keng Tong dari Ngo Heng Koen. Dengan merendah, pemuda ini berkata: “Aku baharu belajar, tolong Loosoehoe menghunjuki pelahatt- lahan, supaya aku dapat mengerti dengan baik.” Atas itu, dengan merendah, Kiam Gim kata: “Gurumu ada sahabatku, dia ada Ketua dari Ngo Heng Koen, maka di sebawahan dia, tidak akan ada murid yang lemah. Jangan kau tertalu merendahkan diri.” Meskipun begitu, permintaan itu diluluskan.

Kapan main-main telah dimulai, Kiam Gim suruh anak muda itu keluarkan Ngo Heng Koen, ia akan pecahkan dengan Thay Kek Nampaknya gerak-gerik si anak muda ada kaku, kelihatan benar dia masih baharu, kaki tangannya sangat lambat, dari itu, ia pun diberikan pengunjukan dengan sama ayalnya.

Dari jurus pertama, pengunjukan dibenkan terus-menerus sampai di jurus ke dua puluh dua, yang disebut “Shia hoei sie” atau “Terbang miring”. Dari samping kanan, pemuda itu “membacok” pundak kanan Kiam G i m, siapa tangkis itu dengan tangan kifi, tentu saja dengan pelahan juga. Shia hoei sie ini ada tipu-tipunya. Umpama musuh menyerang dari samping kanan, untuk cckal lengan kanan kita, kita putar tangan, untuk mclcpaskan diri, berbareng kita menyerang dengan tangan kiri dari bawah dad a. Umpama musuh tarik pulang tangannya dan balas menyerang ke kiri, kita kelit sambil menurunkan lengan kiri, ialu tangan kanan menyambar leher atau tenggorokan musuh. Kalau serangan ini mengenai. akibatnya hebat.

Demikian, dengan gembira, Lioe Kiam Gim kasih keterangan pada anak muda itu, siapa manggut-manggut, tetapi waktu Lioe Kauwsoe bilang, “Musuh bakal terdampar setumbak jauhnya!” ia berseru: “Apakah benar demikian? Tak bisa jadi!” Mendadakan tangan kanannya, cepat luar biasa, dipakai menyerang dadanya ahli Thay Kek Koen itu!

Menyusul itu, ia menjejak tanah dengan tipu “Kim lie tjoan po” atau “Ikan leehie emas serbu gelombang”, untuk mencelat mundur satu tumbak jauhnya, guna kabur keluar dari kalangan.

Pemuda itu bukannya ahli waris Ngo Heng Koen, ia hanya utamakan “Tiat-see-tjiang”, atau “Tangan pasir besi”, yang ia telah yak in lebih dari sepuluh tahun, hingga tangannya kuat luar biasa, bisa menembusi perut kerbau. Di saat biasa, tidak nanti Lioe Kiam Gim kena diserang, tapi sekarang ia benar- benar tidak siap sedia, ia tidak curiga sama sekali, maka tangannya si pemuda mengenai ia dengan jitu.

Selagi pemuda itu berlompat, Lioe Kiam Gim berseru, tubuhnya menyusul mencelat maju. Ia tidak rubuh karena bokongan itu, ia masih bisa mengejar. Ia gunai loncatan “Kauw yan tjoan lim” atau “Walet tembusi rimba”. Ia insyaf ia sudah terluka parah, tapi latihan dari puluhan tahun bikin ia punyakan sisa kctangguhan, dari itu, ia masih bisa mengejar. Ia ingin, “batu pualam dan bata hangus musnah bersama”, supaya mereka bisa binasa berbareng!

Berbareng dengan itu, juga kawan-kawannya si anak muda turut berseru, menyusul mana, beruntun mereka menyerang dengan senjata rahasia kepada jago tua itu. Tapi Kiam Gim sudah tidak hiraukan apa juga, ia tak perdulikan tubuhnya kena senjata-senjata rahasia itu. Ia berhasil mencandak musuh, ia menyerang dengan tangan kanan kepada bebokong musuh itu. Ia gunai “Tjit seng tjiang” atau “Tangan tujuh bintang”.

Pemuda itu tidak sudi terima binasa dengan mandah saja, setelah dapat kenyataan ia tersusul, ia pun balik tubuhnya, ia balas menyerang dengan Tiat-see-tjiang. Ia ingin, kalau kedua tangan beradu, ia bisa pukul patah tangan musuh. Tapi, ketika kedua tangan bentrok, tangannya Kiam Gim jadi lemas bagaikan kapas, serangannya tidak mendapat hasil, hingga ia kaget bukan kepalang. Selagi ia terperanjat dan berlambat, tangan kanan Kiam Gim sudah bergerak pula, mencekal nadinya, tiga buah jan mencengkeram keras, segera seluruh tubuhnya sesemutan dan jadi habis tenaga, jinak bagaikan kambing, tubuhnya kena ditarik. Lalu, dengan satu suara tertawa seram yang panjang, Kiam Gim ulur tangan kirinya, menimpa kepala orang, maka tak ampun lagi, pemuda itu pecah remuk batok kepalanya!

Setelah bikin mampus musuh busuk itu, Kiam Gim memutar tubuh, akan sambut beberapa kawannya si anak muda, yang menyusul ia. Kakinya bergerak mcndahului kepalannya, atas mana, satu musuh menjerit mengerikan, tubuhnya rubuh mental, ketika kakinya remuk patah, darahnya muncrat, tubuhnya itu tak tergeming lagi!

Tidak ada satu musuh, yang sanggup menduga Kiam Gim ada demikian tangguh, maka itu, berbareng kaget dan takut, mereka putar tubuh, untuk lari.

Kiam Gim masih hendak menyusul, akan tetapi, tenaganya sudah lantas habis, runtuh pembelaan semangatnya, maka sebelum bisa mengejar, tubuhnya lantas rubuh.

Pada itu waktu, Teng Hiauw sedang berada di tempatnya Ong Houw Tjoe, ia dikabarkan telah terjadi keributan di tempatnya Lioe Loo-kauwsoe, ia menjadi heran sekali. Ia tidak mengerti, kenapa dan siapa orangnya yang berani main gila. Tidak tempo lagi, ia lari untuk melihat, tetapi waktu ia sampai, napasnya Kiam Gim tinggal empas-empis, mukanya pucat bagaikan kertas. Ia ini lihat Ong Houw Tjoe dan Teng Hiauw, yang ia kenali, pada putera soeteenya itu, ia manggut seraya kata dengan lemah: “Bagus kau datang!….”

Teng Hiauw lantas saja keluarkan air mata, saking terharu.

Buru-buru, ia pimpin bangun soepeh itu. Ong Houw Tjoe heran hingga ia berdiri menjublek. Tapi ia segera insyaf, soepeh dan soetit itu tentu hendak bicara rahasia dan ia mesti menyingkir. Di sebelah itu. ia menduga pada akal-muslihat keji, makasebagai Ketua Gie Hoo Toan, ia mesti bertindak, agar tidak sampai ia berbuat kecewa terhadap tetamu jagoan dari Thian-tjin itu. Begitulah, ia lantas undurkan diri.

Teng Hiauw lihat ketua itu mundur pula, ia mengerti, ia tidak mencegah, sebaliknya, ia hendak toiong Kiam Gim, buat sekalian periksa, bagaimana lukanya. Selagi ia membungkuk, ia lihat soepeh itu menghela napas, kemudian goyang-goyang kepala dan berkata: “Teng Hiauw, tak usah kau sibuk lagi. Tak dapat lagi bagiku untuk berlalu dari Pakkhia ini. Satu jam jua aku tak bisa lewati lagi. Di luar dugaan, aku terbokong Tiat- see-tjiang dari itu jahanam, dan dua rupa senjata rahasia yang dipakaikan racun mengenai tubuhku, umpama ada rumput leng-tjie. jiwaku tidak akan tertoiong lagi. Aku binasa dengan meminta ganti jivva, dengan mendapat bunganya juga, sebab si jahanam aku telah hajar mampus. demikian juga satu konconya!”

Teng Hiauw percaya keterangan ini. karena ia lihat satu mayat menggeietak dan seorang lain rcbah tidak berkutik, tapi, walaupun soepeh itu lemah dan mukanya pucat, ia membutuhkan keterangan, untuk ketahui duduknya kejadian, buat ketahui siapa si pcnjahat. 

Lioe Kiam Gim mencoba melegakan napasnya, lalu ia terangkan duduknya ha]. mulai dari orang datang untuk minia pengajaran, sampai ia dibokong. Kemudian, ia tambahkan: “Tidak apa aku terbinasa, hanya sayang, penjahat itu ada orang sendiri. Maka pergjlah kau beritahukan Ong Houw Tjoe, agar ia sadar, dan kemudian kau pergi kabarkan Lie Lay Tiong di Thong-tjioe, untuk ia waspada!” Teng Hiauw heran dan kaget. Ia pun lihat, soepeh itu mulai keteskan keringat sebesar-besar kacang kedele.

“Soepeh, baiklah kau beristirahat,” kata ia. “Beristirahat?” kata Kiam Gim, yang kuatkan hatinya.

“Sebentar aku akan beristirahat untuk selama-lamanya. Sekarang, aku hendak bicara. Teng Hiauw, ini bukannya perkara perseorangan, ini ada kepentingan umum. Kau tahu, ada orang yang tak sudi Gie Hoo Toan jalan benar!” Mukanya jago tua itu berubah jelek sinamya, tapi ia terus kuati hati. Ia tambahkan: “Tak usah kau can musuhku lagi, dia pun sudah aku binasakan dengan tanganku sendiri. Aku cuma mau minta kau pergi ke Thong-tjioe, akan mencari muridku yang kepala, Law Boe Wie, serta soemoay kau, Bong Tiap. Tuturkan mereka kejadian di sini, tentang suasana yang buruk ini, lantas suruh mereka nasihati Lie Lay Tiongjangan masuk ke Pakkhia, atau kalau toh dia memasukinya juga, paling dulu ia mesti bikin pembersihan di dalam kalangan sendiri!”

Bukan main berdukanya Teng Hiauw. Ia lihat soepeh itu mulai lelah.

“Soepeh, kau hendak pesan apa lagi?” tanya ia.

Lioe Kiam Gim menghela napas, dengan sangat pelahan. “Oh, tidak…” ia jawab. “Aku hanya pikiri Bong Tiap. Kau

bilangi ia bahwa ayahnya mengharap-harap ia ada baik!….”

Habis mengucap demikian, kepalanya Lioe Loo-kauwsoe melenggak, maka secara demikian berpulanglah ke dunia lain satu ahli Thay Kek Koen yang kesohor.

Teng Hiauw mau menangis tetapi air matanya tidak keluar!

Bagaimana aneh! Pada tiga tahun yang lampau, soepeh ini telah mengubur mayat ayahnya, dan sekarang, ia menggantikan mengurus jenazahnya soepeh ini. Dengan sangat sepi, ia lakukan upacarapenguburan, Ong Houw Tjoe cuma kirim wakilnya, ia jadi merasa tidak tenang sendirinya. Sebenarnya Ong Houw Tjoe hendak bertindak mencari konconya si pembunuh, ia hendak jalankan aturan perkumpulan, apa mau, ia ada terlalu lemah, karena di sekitarnya, ia dirubungi oleh rombongan Poo Tjeng, karena kebinasaanya Kiam Gim justeru ada hasil persekutuannya rombongan pembeia Kerajaan Boan itu.

Rombongan Poo Tjeng, atau Poo Tjeng Pay, dikepalai oleh Gak Koen Hiong, yang gagah, dan di antara sebawahannya, ada banyak wie-soe, pahlawan-pahlawan Boan, yang asalnya ada penjahat-penjahat besar dari dunia Kang-ouw. Begitu ia dengar kebinasaannya Lioe Kiam Gim, Gak Koen Hiong datangi Ong Houw Tjoe dan tanya bagaimana Ketua Gie Hoo Toan ini hendak bertindak.

Dalam ilmu silat, Gak Koen Hiong menangi Ong Houw Tjoe, walaupun dia ada Hoe-tauwbak dari Gie Hoo Toan, pengaruhnya menarfgi Tjhia-tauwbak she Ong itu, oleh karenanya, Ong Houw Tjoe rada jerih terhadapnya. Maka itu, waktu ditanya, Houw Tjoe jadi tergugu.

“Kau lihat bagaimana?” ketua ini balik tanya. “Lioe Loo- enghiong ada dari golongan terlebih tua dan kenamaan, sekarang ia terbinasa gelap, tak dapat kita tidak melakukan penyelidikan dalam perkaranya ini.”

“Bagaimana ia terbinasa secara gelap?” Gak Koen Hiong membaliki dengan mata terbelalak. “Sudah terang, dia dapat nama besar yang kosong belaka. Dia pieboe, dia keliru kena dilukai! Aku percaya dia cuma teriuka sedikit, lalu ia turunkan tangan jahat, ia binasakan dua orang kita, karena mana, orang-orang kita bunuh padanya. Tua bangka itu ganti satu jiwanya dengan dua jiwa orang kita, apakah itu tidak cukup berharga? Apa kau hendak rusakt keakuran persaudaraan kita melulu untuk ‘or•ang luar’? Apakah kau tidak takut nanti membikin tawar hatinya saudara-saudara kita?”

Ong Houw Tjoe jerih, ia kedesak. “Saudara, kau lakukan apa yang kau pikir baik, aku turut saja,” kata ia akhirnya.

Saking jerih, ketua ini sampai tak berani datang sembahyangi sendiri pada arwah Lioe Loo-kauwsoe, hingga diam-diam orang-orang rombongan Poo Tjeng Pay tcrtawai ia.

Teng Hiauw ada jeli matanya dan cerdik, ia datang ke Pakkhia belum lama, tapi ia bisa lihat suasana, lantas saja ia mengerti duduknya keruwetan di Kota Raja ini. Ia tahu diri, ia tidak mau banyak omong.

Rombongan Poo Tjeng Pay juga tidak bcrani ganggu pemuda she Teng ini. Ia ada babah mantu dari Kiang Ek Hian, Ketua dari Bwee Hoa Koen, sedang Kiang Ek Hian ada gurunya Tjoe Hong Teng, pendiri dari Gie Hoo Toan. Sudah bcgitu, kedudukannya Teng Hiauwdalam Gie Hoo Toan ada scparuh anggota dan separuh tctamu yang dihormati, dia pun liehay, orang jadi malui padanya. Meskipun demikian, Teng Hiauw anggap Pakkhia ada panas untuknya, maka itu,sesudah sclcsai raengubur jenazah Lioe Kiam Gim, ia hendak segera berlalu, untuk pergi cari Law Boe Wie dan Lioe Bong Tiap, di Thong-tjioe, apa mau selagi ia pamitan dari Ong Houw Tjoe, dia ini hadapi satu urusan Denting dan ia diminta pergi ke Thian-tjin untuk urusan rahasia itu. Ia terima baik tugas ini, sebab kebetulan isterinya, Kiang Hong Keng, berada di Thian- tjin, hingga ia boleh sekalian ketemui isterinya itu. Ia pun lihat, dengan pergi ke Thian-tjin dulu, ia cuma minta tempo lebih dua hari, ia pikir itu tidak jadi halangan apa-apa.

Demikian Teng Hiauw berangkat ke Thian-tjin. Di sini ia tunaikan tugasnya, lalu malam-malam juga, ia berangkat ke Thong-tjioe, tetapi kebetulan sekali, selagi ia hendak keluar dari kota, ia berpapasan dengan Law Boe Wie, malah mereka bentrok dulu, hingga mereka ketahui boegee masing-masing.

Kaget dan repot Teng Hiauw melihat soehengnya itu pingsan, Iekas-lekas ia angkat tubuhnya Boe Wie buat digendong, akan dibawa masuk ke dalam kota, kemudian, sesudah soeheng itu sadar, baharu ia tuturkan duduknya perkara yang jelas.

Boe Wie jadi sangat sedih, tetapi ia tertawa menyengir.

“Untuk cari Lioe Bong Tiap, tidak usah pergi ke Thong- tjioe,” kata ia kemudian. “Dia, dia ada di sini sekarang!….”

Teng Hiauw heran.

“Hei, bagaimana dia ada di sini?” ia tanya.

Boe Wie kerutkan alis, ia tidak mau membcrikan keterangan, ia cuma bilang, nona itu hendak cari ayahnya dan soehengnya, Tjoh Ham Eng.

“Ham Eng?” ulangi Teng Hiauw. “Pemah aku lihat dia! Dia ada ganteng sekali, pasti dia bakal jadi babah mantunya Soepeh!….”

Boc Wie meringis, hatinya perih.

“Barangkali,” kata ia dengan paksakan diri. “Kita sekarang mesti cari mereka. Thian-tjin ada begini luas, di mana kita bisa cari mereka itu?”

Teng Hiauw lihat romannya Boe Wie, ia menyangka soeheng itu sangat berduka.

“Baik kau jangan berduka, Soeheng,” ia menghibur “Soepeh menutup mata dengan pikirkan kebaikannya Gie Hoo Toan, adalah Icewajiban kita untuk mewujudkan cita-citanya itu. Harap Soeheng tidak merusak kesehatanmu. Mengenai Bong Tiap, barangkali tidak sukar untuk cari dia. Selama Soepeh berdiam di Thian-tjin, ketua di sini, Thio Tek Seng, telah s’ediakan ia satu tempat istimewa, maka dengan datangnya ini, Tjoh Ham Eng tentu pergi ke sana, begitupun socmoay Bong Tiap. Tempat Soepeh itu tidak tcrpisah jauh dari sini, mari kita segera pergi ke sana. Yang pcrlu adalah Soeheng jangan berduka, kau perlu beristirahat” Tapi mcndcngar discbutnya Bong Tiap, Boe Wie jadi bersemangat.

“Mari kita pergi cari dia, tak perlu aku beristirahat lagi!” kata ia.

Mau atau tidak, terpaksa Teng Hiauw iringi soeheng ini. Sementara itu, Bong Tiap benar sudah sampai di Thian-tjin.

Ia bukan anak kecil, ia tahu bagaimana hams bertindak. Maka

sesampainya di Thian-tjin, langsung ia menuju ke markas Gie Hoo Toan, akan minta keterangan perihal ayahnya dan soehengnya she Tjoh. Karena ia ada puterinya Lioe Loo- kauwsoe, ia disambut dengan baik. Ia diberitahukan bahwa ayahnya sudah berangkat ke Pakkhia dan Ham Eng baljaru saja kemarin sampai, bahwa Ham Eng telah pergi ke tempat ayahnya. la ada tidak sabaran.ia minta alamat tempat ayahnya itu,. untuk. ia segera pergi menyusul. Dalam hal ini ia sampai tolak dengan getas permintaannya ketua perempuan dari markas untuk ia beristirahat dulu, hingga ketua itu anggap ia tak kenal persahabatan, bahwa ia mirip dengan umumnya nona Kang-ouw, yang aneh tabiatnya. Terpaksa ketua ini kirim satu anggota untuk antar nona ini.

Sorenya Bong Tiap sampai di Thian-tjin, malamnya Boe Wie menyusul dengan Teng Hiauw. Sampainya mereka bcrdua ada kacck, ini disebabkan Bong Tiap kurang pengalaman dan tidak kenal jalanan. Teng Hiauw tidak ketahui datangnya si nona, karena selagi ia mau berangkat ke Thong-tjioe, si nona sendiri lagi berada di markas Gie Hoo Toan.

Bcgitu lekas Bong Tiap sampai di depan rumah piranti ayahnya, ia suruh pengantarnya kembali. Ia tidak ketok pintu lagi, ia rapikan pakaiannya, terus ia loncat naik ke genteng, karena maksudnya adalah buat bikin Ham Eng kaget Kelakuan ini membikin pengantarnya anggap dia benar-benar nakal….

Waktu itu, sang rembulan sudah berada di tengah-tengah langit Bong Tiap bisa lihat nyata macamnya gedung itu. Mulanya ia berdiam di sebelah utara, maka ia dapati tiga ruangan lainnya, yang semua berjendela ada kain penutupnya yang indah. Kemudian ia pergi ke timur, ia dekati sebuah kamar kecil. Dari kaca jendela, ia sudah dapat lihat bayangannya saw anak muda.

“Ini anak sudah ikuti ayah bertahun-tahun, kenapa kupingnya seperti budek dan matanya seperti lamur?” pikir ia. lnilah disebabkan Ham Eng tidak dengar gerakan kaki di atas genteng dan berkelebatnya bayangan orang. Tapi BongTiap tidak ingat, scsudah dapat pimpinan Sim Djie tigatahun, ia sudah lombai jauh soehcngnya itu, tubuhnya’telah jadi entcng luar biasa. Ia mendekam di atas genteng sambil pasang kuping.

Ham Eng jalan mondar-mandir, berulang-ulang terdengar helaan napasnya.

Tidak sabar Bong Tiap, akan menanrikan saja, maka dengan cantcl kaki di payon, ia jumpalitan, akan mcroyot turun. lalu ia sentil kaca jendela, scsudah mana, ia ayun pula tubuhnya, akan naik pula ke atas genteng.

Ham Eng kaget, hingga ia membentak: “Bangsat, turunlah kau!” Bentakan ini disusul sama timpukan beberapa batang piauw ke arah jendela.

Bong Tiap tertawa cekikikan, setelah itu, ia loncat melayang turun, untuk terus buka jendela.

“Di sini si bangsat! Ham Eng, kau masih belum siap?” demikian katanya nona yang nakal ini, yang kembali tertawa geli.

Ham Eng melengak. Ia heran, hingga ia mau sangka ia sedang mimpi. Itulah ada suara tertawa dari tiga tahun yang lampau, selama di Muara Kho Kee Po! Selagi orang tercengang, Bong Tiap sudah loncat masuk ke dalam, akan terus dekati pemuda itu, lalu berdiri di hadapannya

“Jauh-jauh aku datang tengok kau, kenapa kau tidak sambut aku?” demikian si nona, yang bersikap aleman sekali.

Ham Eng pentang lebar kedua matanya. Tidak salah lagi, itulah Bong Tiap di depannya.

“Oh, Socmoay, benar-benarkau?” kata ia. Ia hendak maju, akan cekal tangan orang, tetapi urung, ia sangsi, ia kuatir nanti dikatai ceriwis. Ia terus mcngawasi pula.

“Eh, kenapa kau awasi saja padaku?” Bong Tiap tertawa pula. “Apakah kau tidak kenal aku? Kenapa kau bungkam?”

Ham Eng masih mengawasi, ia nampaknya terharu. “Aku sangka bahwa aku tidak bakal ketemu kau pula,

Soemoay,” akhirnya ia jawab. “Mana Toa-soeheng? Bukankah

kau hendak berkumpul dengannya untuk selamanya?”

Bong Tiap dekati soeheng ini. Ia masih berbayang dengan petaan ro-man toa-soehengnya, akan tetapi di sini ia menghadapi satu pemuda»yang cakap ganteng.

“Siapa bilang aku hendak berkumpul dengan Toa-soeheng untuk selamanya?” kata ia. “Aku curna pikir itu. Kenapa kau marah dan kabur?”

Mendengar begitu, bukan kepalang girang Ham Eng, hingga ia mirip si pengemis yang mendapatkan potongan emas.

“Soemoay, kau jadinya pilih aku?” ia kata, kalap dengan kegirangannya.

Bong Tiap likat, ia tak dapat memberi jawaban, ia hanya manggut saja. Sekarang tak dapat Ham Eng pertahankan hatinya, ia ulur tangannya, akan tarik tangan orang.

“Thian berkasihan terhadapku, Soemoay, kau akhirnya jadi kepunyaanku!” iamengeluh.

Mai am itu, kamar itu, jadi indah luar biasa. Bagaikan bocah. Bong Tiap mendekam di rangkulan Ham Eng. Dan Ham Eng, bukan main besar hatinya.

Lama mereka berdiam, akan cicipi kesunyian yang menyedapkan itu, ketika mendadakan si nona tolak tubuh kekasihnya seraya berseru: “Bangun!….” Tapi, belum suara itu padam, beberapa sinar sudah menyerang masuk dari antara jendela!

Ham Eng kaget. Ia sebenarnya bisa pentang kedua tangannya, akan Hndungi si nona, akan tetapi Bong Tiap dului ia, dengan tarik. tubuhnya dengan tangan kiri, lalu dengan tangan kanan, nona itu sambar sprei dan pakai itu untuk sampok senjata

rahasia itu, hingga penyerangan gagal. Segera, cepat luar biasa, nona itu lompat ke arah jendela, hingga ia bersomplokan sama satu orang yang bersenjatakan golok.

Bong Tiap masih pegangi sprei, dengan itu, ia papaki musuh, hingga dia ini kena ditungkrup, wataupun musuh coba menikam,, tidak urung, tikamannya tidak membahayakan, malah dia terus merasakan sakit, ketika tangannya kena terlibat, hingga di lain saat, goloknya tcrlcpas jatuh. Si nona sambar golok itu, yang terus ia pakai layani beberapa musuh lain, yang sudah loncat masuk ke dalam kamar.

Pertempuran telah terjadi, tapi Bong Tiap yang gagah. bisa mendesak, hingga beberapa penyerang itu tidak leluasa bergerak dalam kamar, terpaksa, dengan satu suitan, mereka mundur pula, lari melompati jendela. Bong Tiap heran melihat sekian lama, Ham Eng tidak membantui ia, ketika ia menoleh ke belakang, ia dapati pemuda itu rebah di pembaringan sambilmerintih. Ia kaget bukan main.

“Kau luka?” tanya ia sambil lompat menghampirkan dan membungkuk.

‘Tidak apa, Soemoay,” sahut Ham Eng, suaranya pelahan. “Aku terluka sedikit. Pergi kau bereskan beberapa jahanam itul”

Tapi Ham Eng telah terkena senjata rahasia Hong-bwee- piauw, yang direndam dalam racun asal dari daerah Biauw. Piauw itu cuma tiga dim panjangnya, kalau mcngenai tidak menyebabkan rasa sakit yang sangat, hanya racunnya, yang berbahaya, apabila tidak ada obat pcnawamya, dalam satu jam, jiwa bisa mclayang karcnanya. Ini sebabnya kenapa Ham Eng tidak kuatirkan lukanya itu.

Bong Tiap kertak gigi, ia hendak ambil pedangnya sendiri – pedang Tjeng-kong-kiam” – untuk dipakai kejar musuh, tetapi kapan ia menoleh ke tembok, ia kaget bukan main, ia jadi sangat mendongkol. Pedang itu, bersama kantung piauw Bouw-nie-tjoe, berikut gegamannya Ham Eng juga, sudah lenyap, barusan telah disambar sal ah satu pcnjahat yang lari kabur.

Dalam murkanya, nona ini tidak bcrayal lagi. la sambar penjahat yang iaringkus, ia lemparkan keluar jendela, habis itu, ia membarcngi loncat keluar dengan goiok diputar.

Dengan lemparkan musuh, ia mau cegah musuh nanti bokong ia selagi ia loncat keluar. Dalam hai ini, ia berhasil mencegah musuh curangi dia. Tapi, setelah ia berada di luar jendela, musuhnya lantas merangsang, yang menjadi kepala ada seorang dengan ruyung Tjit-tjiat-pian, ruyungnya panjang, orangnya bertenaga besar, ruyung itu menyambar ke pinggang. Bong Tiap kenali semua dclapan belas rupa senjata, ia tahu cara dipakainya itu dan liehaynya juga, maka itu, ia berlaku waspada. Ia tunggu sampai ujung ruyung sampai, ia mundur seraya menyedot perut, waktu ruyung lewat, ia majukan kaki kanan, ia merangsang, goloknya turut menyambar, dalam gerakan “Pek tjoa tjoet tong” atau “Ular putih keluar dari lobang”. Sudah bcgitu, tangan kirinya pun menyambar ke bahu kanan musuh.

Gerakan ini ada sebat luar biasa, penjahat itu perdengarkan j en tan “Aduh!” Ia mau loncat mundur, untuk mcnyingkirkan diri dari bacokan juga, akan tetapi ia kalah sebat, bahunya kcburu dicckal. Hanya, selagi Bong Tiap hendak membetot, dua musuh sudah serang ia dari kiri dan kanan. Sebatang golok Koei-tauw-too menyambar lengan kanan, sedang sebuah gembolan turun ke arah batok kepala!

Itu ada satu kepungan hebat. Bong* Tiap batal membetot musuh, sebaliknya, ia menarik nyamping, dari kiri ke kanan, untuk sambuti golok musuh, dengan tubuhnya si penjahat

Penycrang itu kaget, lckas-lekas ia batalkan serangannya, dengan tangan kirinya, ia sekalian tarik kawannya itu.

“Budak liehay!” ia berseru dalam gusarnya, sesudah mana, ia maju pula.

Penjahat yang bersenjatakan gembolan kena diperdayakan si nona Gembolan itu memakai rantai, seperti bandring, maka bila rantainya melibat senjata musuh, senjata musuh itu bisa ditarik terlepas. Tapi Bong Tiap tidak takut, ia malah sengaja bikin goloknya hampir kelibat, berbareng dengan mana, ia terusi turunkan goloknya ke bawah, hingga gembolan musuh, yang lagi turun, jadi kena tertarik sendirinya. Ini ada gerakan “pinjam tenaga lawan”. Karena ini musuh kena terbetot, sampai kuda-kudanya gempur, tubuhnya maju ke depan, sukar ditahan. Selagi bcgitu, dengan satu gerakan memutar, Bong Tiap dengan licin loloskan goloknya dari libatan rantai, lalu membarcngi, ia membabat kedua kaki orang. Ia mendek dan menycrang dengan tipu “Kouw sie poan kin”, atau: “Pohon tua numprah dengan akarnya”.

Musuh itu liehay, meskipun ia tcrancam bahaya, ia masih bisa enjot tubuhnya, akan terus berlompat, menyingkir dari babatan. Ia lompat jauhnya sctumbak.

Bong Tiap hendak kejar musuh ini, atau dua musuh lainnya, yang pegang Tjit-tjiat-pian dan Koei-tauw-too, sudah maju pula, berbareng menyerang ia. Hanya sekali ini, mereka berlaku hati-hati.

Terpaksa, Nona Lioe layani pula kedua penjahat itu. Segera juga, penjahat yang bersenjatakan gembolan,

bersama satu yang lain, yang mencekal Tjeng-kong-kiam,

membantu kedua kawannya mengepung.

Bong Tiap gusar melihat senjatanyadipakai musuh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar