Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 05

 
Lioe Kiam Gim tidak segera sambuti peti ita, hanya dengan cara yang menghormat sekali. ia Tanya mereka tentang kewarasannya Tjiong Hay Peng. Dengan mi ia hunjuk bahwa ia mengerti adat-istiadat, sopan-santun. Kemudian baharulah ia sambuti peti itu. Tapi, di saat tangannya  diangsurkan untuk menyambuti, dengan tiba-tiba Teng Kiam Beng serukan muridnya yang

kedua. yang berbarengpun ia kedipi mata: “Kenapa kau tidak lekas wakilkan Soepeh untuk sambut peti itu?”

Atas itu, belum sempat Kiam Gim menoleh, turut mencegah, sang mu-id. ialah Loei Hong, sudah mencelat ke depaanya, untuk hadapi rombongan utusan, sambil hunjuk separuh-kehormatan, ia ulur kedua tangannya seraya berkata: “Aku Loei Hong, murid Thay Kek Pay, dengan ini mewakilkan Soepeh kita menyambuti kehormatan!”

Utusan itu pandang Loei Hong, tetapi ia serahkan peti kecil itu.

Lioe Kiam Gim juga awasi murid soeteenya, ia nampaknya kurang puas.

Dalam kalangan Kang-ouw, orang ada sangat hargai adat- istiadat. Tjiong Hay Peng kirim karcis nama, utusannya itu pasti ada orangnya dari tingkatan lebih rendah, tetapi meskipun demikian, si utusan toh ada wakilnya Tjiong Hay Peng, dengan Lioe Kiam Gim ada asal satu derajat, sama tingkatannya, sudah seharusnya kalau yang sambut peti kecil itu adalah muridnya Kiam Gim atau orang yang lebih muda tingkatannya. Kalau Kiam Gim yang sambuti sendiri, itu adalah tanda penghormatan luar biasa. Kalau yang sambut ada orang lebih muda, itulah yang dibilang, “guru terhadap guru, murid terhadap murid”. Kiam Beng tidak inginkan kehormatan luar biasa itu, maka ia suruh muridnya yang menyambuti. Karena ini ada cara menghormat yang pantas, biarpun utusannya Tjiong Hay Peng merasa tidak puas, ia toh tidak bisa bilang suatu apa. Kiam Gim ada seorang yang halus budi bahasanya, ia hendak hunjuk keluhuran mertabatnya, itulah sebabnya kenapa ia tidak puas dengan perbuatan soeteenya, akan tetapi karena soeteenya tidak salah, terutama di muka umum itu, ia tidak mau menegurnya. Ia melainkan tidak puas, di saat dan tempat seperti itu, soetee ini masih saja kukuhi adat- peradatan. Iapun tidak bisa cegah Loei Hong, karena kalau ia cegah, ia jadi hunjuk bahwa ia tidak menghargakan soeteenya. Demikian ia mendeluh di dalam hatinya, karena ia mesti hunjuk air muka berseri-seri. Begitulah dengan cara hormat, ia sambuti peti dari Loei Hong, sedang pada sekalian tetamunya – tetap dengan cara hormat – ia haturkan terima kasih.

“Sekarang juga kita akan datang mengunjungi!” ia tambahkan.

Rombongan itu lantas sajajalan di depan, Kiam Gim beramai mengikuti.

Di waktu maghrib, mereka sudah I lantas lihat Sha-tjap-lak Kee-tjoe.

Selagi berjalan, dengan tiba-tiba Teng Kiam Beng ucapkan beberapa patah perkataan pada Hoo Boen Yauw, guru silatnya dari Kaum Ouw Tiap Tjiang, atas mana orang she Hoo ! itu larikan kudanya keluar kalangan, hingga Lioe Kiam Gim dan orang-orangnya Tjiong Hay Peng pada tahan kuda mereka dan menoleh, Boen Yauw itu hunjuk hormatnya seraya kata: “Aku mesti urus suatu apa di kota dusun, silakan Tuan-tuan jalan terus, sebentar aku akan hunjuk hormat belakangan kepada Tjiong Loo-kauwsoe!” Lalu, dengan tidak tunggu jawaban lagi, ia larikan kudanya untuk pisahkan diri.

Orang berjalan pula, berselang setengah jam, sampailah mereka di. muka rumahnya Tjiong Hay Peng, .Ketua dari Heng Ie Pay. Rumah itu terletak di muka rimba, di depannya ada bukit yang digali dan dipapas, untuk dibikin jadi lapangan piranti berlatih silat. Belakang rumah hampir nempel sama rimba. Umpama orang jahat yang tinggal di situ, setiap” saat

dia bisa lari sembunyi ke dalam rimba. Tidak menunggu sampai di depan rumah sekali, Kiam Gim sudah ajak rombongannya turun dari kuda mereka dan minta supaya kedatangannya itu diwartakan terlebih dahulu, kemudian selagi menantikan, ia tarik tangan bajunya Teng

Kiam Beng, untuk dengan roman sungguh-sungguh memesan: “Soetee, sebentar di dalam, aku mohon dengan sangat agar kita terlebih dahulu hunjuk kehormatan kita, kita harus bersikap merendah, jangan sekali menuruti nafsu amarah, apabila sampai terbit pula gara-gara tidak diingin, sungguh, aku tidak dapat mengurus terlebih jauh!….”

Kiam Beng tidak. mengucap sepatah kata, terang ia ada merasa sangat tidak puas berbareng malu.

Sementara itu Kiam Gim heran, kenapa Tjiong Hay Peng bisa demikian cepat dapat ketahui kedatangannya, sedang Kiam Beng tidak senang, karena dalam hatinya, ia kata: “Ketika aku datang, kau tidak perdulikan aku, tapi sekarang Soeheng datang, kau menyambut dan membaiki secara begini rupa.” Ini pun ada salah satu sebab kenapa dia suruh Loei Hong wakilkan Kiam Gim sambuti karcis nama.

Selagi itu soeheng dan soetee berpikir masing-masing, pintu rumahnya Tjiong Hay Peng sudah dipentang dan tuan rumah kelihatan muncul dengan tindakannya agak tenang. la pakai baju bulu, nampaknya sabarsekali.

Tuan rumah dan tetamunya segera juga bcrdiri berhadapan dan saling member! hormat, kemudian pihak tetamu diundang masuk ke niangan tetania, di mana. sambil berdiri rapi, kelihatan-bcberapa orang, yang tidak salah lagi mcsti murid- murid Heng Ie Pay.

Baharu saja orang bcrduduk, satu muridnya Hay Peng muncul dengan satu nenampan batu pualam yang besar. atas mana ada sepuiuh cawan yang berukirkan sansoei yang berwama merah.

Walaupun muridnya yang membawa nampan untuk menyuguhkan, bukannya si murid yang melakukannya, tetapi Tjiong Hay Peng yang sambuti cawan teh, dan dia sendiri yang mcnyuguhkannya secara biasa, tetapi ketika cawan untuk Kiam Beng dihaturkan, maka terjadilah suatu hai yang hebat.

Selagi Tjiong Hay Peng dengan cawan di tangan datang mendekati, Teng Kiam Beng bangkit untuk menyambuti.

Mereka berdua tcrpisah satu dari lain jauhnya dua-tiga kaki, dan selagi si tetamu menyambuti sambil merendah, dengan sekonyong-konyong, cawan itu melesat ke tinggi, terus saja pecah sendirinya, dan airnya lantas menyiram arah Teng Kiam Beng punya muka, berbareng dengan mana, menyambar juga pecahannya.

Kiam Beng terperanjat bukan main, akan tetapi walaupun ia tidak sepandai soehengnya, ia masih sempat gunai tangan kanannya, untuk menangkis sambil menyampok keras air dan pecahan cawan itu, hingga ia terluput dari serangan gelap itu. Hanya lacur ada Loei Hong, si murid kedua, yang berada di samping, benar ia masih sempat berkelit dari pecahan cawan, tapi air toh mengenai mukanya yang jadi basah!

Berbareng dengan kejadian itu, Tjiong Hay Peng hunjuk rupa kaget, sembari lempar ke samping itu nenampan kumala, ia berseru: “Ah, ini cawan teh tidak kuat! Aku pun sudah tua, aku kesalahan membuatnya pecah, hingga aku kena bikin kaget tetamuku…. Tuan, harap maaf, maafkanaku!”

Selagi nenampan terlempar, satu muridnya Tjiong Hay Peng bergerak, untuk menyanggapinya, akan tetapi, Lioe Kiam Gim berlaku lebih sebat dari murid itu, dengan berlompat, ia maju akan tanggapi nenampan itu, hingga malah pun sisa delapan cawannya yang lain, tidak turut jatuh, airnya tidak tumpah! Untuk ini, Lioe Loo-kauwsoe gunai hanya dua jeriji tangannya.

“Semua cangkir yang indah, kalau sampai rusak, sungguh sayang!” katanya. Kemudian, ia wakilkan Tjiong Hay Peng akan haturkan semua teh itu kepada sekalian hadirin.

Teng Kiam Beng tidak hunjuk kemurkaan. Ia tahu Tjiong Hay Peng sedang pertontonkan kepandaiannya. la pun telah lihat lirikan soehengnya. Tapi, berbareng dengan itu, ia mesti kagumi lawan punya kepandaian yang liehay.

Di lain pihak, Tjiong Hay Peng juga insyaf, jago Thay Kek Pay itu benar-benar tidak boleh dipandang enteng, apapula kepandaian luhur dari Lioe Kiam Gim.

Dengan sikapnya yang merendah, Hay Peng mcnghaturkan maaf, akan tetapi diam-diam, ia masih ingin mencoba satu kali lagi.

Di antara sinar bulan, yang memain antara cahaya api, Tjiong Hay Peng lantas adakan pertemuan untuk sekalian tetamunya itu. Kiam Beng bersangsi, ia ragu-ragu tuan rumah itu menjamu dengan sungguh-sungguh atau itu adalah semacam pesta “Hong Boen”.

Hay Peng sudah lantas kasih pertunjukan pula. Tadi ia suguhkan teh kepada tetamu-tetamunya, sekarang ia hendak menyuguhkan arak. Tadi ia gunai cangkir yang indah, tetapi sekarang ia pakai tempat arak yang besar dan kasar, ialah guci arak terbuat dari besi yang beratnya dua atau tiga puluh kati. Dan, melewati Lioe Kiam Gim, ia lantas saja menyuguhi pada Teng Kiam Beng. Sebagai alasan, ia bilang, di mana ia sendiri ada Ketua dari Heng Ie Pay, sudah sepantasnya ia hormati dulu Ketua dari Thay Kek Pay. Tapi sebenamya, dengan ini cara, ia hendak menyingkir dari Lioe Loo-kauwsoe.

Kiam Beng sudah menduga orang tidak bermaksud baik, ia senantiasa waspada. Ketika tuan rumah dekati ia, ia lantas berbangkit, untuk sambuti arak, tidak tahunya, belum ia berdiri betul, Tjiong Hay Peng sudah dorongkan gucinya dengan arah or•ang punya dada. Guci itu. bersama araknya ada kira-kira lima puluh kati beratnya. Segera ia angkat kedua tangannya, tubuhnya berdiri tegar, kemudian dengan sebelah tangan mencekal mulut guci, ia kata:’”Jangan seedjie, aku bisa ambil sendiri!”

Oleh karena ini, guci arak jadi kena ditahan di tengah- tengah di antara kedua orang itu, yang dengan diam-diam telah gunai mereka punya tenaga dalam atau khie-kang.

Serangan gelap dari Hay Peng ini, apabila tidak sampai membinasakan. akan bikin orang tcrluka hebat di bagian dalam badan dan menjadi tapadakpa. Kiam Beng bisa duga itu, ia sengaja tidak mau terima suguhan, ia hanya tahan mulutnya guci itu. Maka kejadiannya, Hay Peng tidak. bisa menolak, iapun .tidak mau melepaskannya. Karena ini, dua- dua lantas keluarkan keringat dingin pada jidatnya masing- masing.

Pertentangan itu ada hebat Karena kedua pihak sama tangguhnya, lama-lama keduanya akan terluka masing-masing sendirinya, kecuali ada pihak ketiga, yang datang sama tengah.

“Sudan, kau orang berdua janganlah terlalu seedjie!” berkata Lioe Kiam Gim sambii tertawa, seraya ia hampirkan dua orang itu. “Soetee, jikalau kau tidak ingin terima suguhannya Tjiong Toako, man kasih aku yang mewakilkannya!”

Sambii bcrkata begitu, Kiam Gim gunai sepasang sumpirnya, akan jepit tutup guci, dcngan gunai sumpitnya itu, ia buka tutup tersebut, kemudian dengan sebat sekali, ia teruskan jepit lehernya guci itu, hingga guci jadi terlepas dari cekalannya Tjiong Hay Peng, tergantung di antara dua sumpit itu. Kemudian lagi, dengan tangan kiri, ia pakai cawan akan sendok isi guci, akan hirup araknya! Setelah masing-masing lepaskan tangannya, dua-dua Teng Kiam Beng dan Tjiong Hay Peng mundur sendirinya, dengan limbung, tubuh mereka jatuh duduk di kursinya masing- masing. Kedua-duanya tidak bisa keiuarkan kata-kata!

Adalah kemudian, Tjiong Hay Peng berloncat bangun, jempolnya dipertunjuki.

“Lioe Toako, sungguh kau liehay!” ia memuji. “Aku harus didenda tiga cawan!”

“Dengan scbenarnya, Tjiong Toako, aku hams kasih selamat pada kau!” kata Lioe Kiam Gim sambii tertawa. Ia terus bersikap sewajarnya saja.

Dengan agak likat, Tjiong Hay Peng terima tiga cawan. Sampai di situ, mereka lantas mulai pasang omong.

Dengan sikapnya yang merendah, Lioe Kiam Gim utarakan maksud kedatangarinya, sebaliknya daripada menyangka Hay Peng, ia mohon tuan mmah suka bantu ia. Ia tanya kalau- kalau Ketua Heng Ie Pay itu ketahui siapa orangnya yang sudah uji Teng Kiam Beng.

Sesudah keduanya berpisah dua puluh tahun lebih, Tjiong Hay Peng tidak lagi manis budi seperti dulu-dulu, tidak perduli pihak tetamu berlaku demikian ramah-tamah, ia berpura-pura tidak ketahui hal pembegalan itu, ia malah hunjuk roman terperanjat, ia berlaga menghela napas, akan akhirnya, seraya tepuk tangannya, ia berseru: “Oh, benar-benar ada terjadi demikian? Ah, kenapa aku tidak dapat tahu?”

Sikap ini membuat Kiam Gim jadi mclcngak, memang ia tidak pandai bicara.

“Ah, apakah benar-benar Tjiong Toako tidak ketahui kejadian itu?” demikian ia cuma bisa tegaskan.

Tjiong Hay Peng tertawa seperti sewajarnya. “Bukan, melainkan aku tidak pernah memikirnya!” demikian jawabannya. “Siapa sangka Ketua dari Thay Kek Pay, yang mewariskan tiga rupa kepandaian liehay dari Thay-kek Teng, Teng Kiam Beng yang namanya menggetarkan dunia Kang- ouw, ialah Teng Toako, telah kena dipermainkan oleh satu tua bangka! Malah tua bangka itu cuma gunai tangan kosong yang berdaging melulu!”

Kiam Beng jadi sangat gusar, sampai ia tak dapat kendalikan pula dinnya. Ia gedruki cangkir araknya seraya kata dengan nyaring: “Ya, aku Teng Kiam Bcng belajar silat tidak sempurna, sampai orang telah kena pecundangi! Habis, kau mau apa? Tapi kau sendiri, Tjiong Toako, kau Ketua dari Heng Ie Pay, yang pandai ilmu pedang Boe-kek-kiam, dalam Rimba Persilatan – kenapa toh ada orang Kang-ouw, yang lewat di sini, orang itu sudah tidak lakukan kunjungan kehormatan kepadamu, malah dia berani lakukan kejahatan di dalam daerah pengaruhmu ini? Kenapa dia bisa mondar- mandir dengan merdeka? Kenapa orang tidak pandang mata sama sekali kepada Tjiong Toako?”

Tjiong Hay Peng tidak gusar, sebaliknya, ia tertawa tawar.

“Begitu, Teng Toako, kau pikir?” ia tanya. “Tapi aku tidak merasa hilang muka! Dengan kepandaianku yang tidak berarti, aku hanya dapat nama kosong belaka. Dengan kegagahan, aku tidak bisa menindih orang, dengan kebijaksanaan, aku tidak mampu bikin orang tunduk, maka adalah selayaknya saja apabila orang tak lihat mata padaku! Hanya kalau sampai Teng Toako sendiri orang tidak pandang, hingga orang berani tangkap kutu di kepala harimau, ah, inilah, sungguh, aku tidak bisa bilang suatu apa!”

Kembali Teng Kiam Beng kena tersindir.

Sebelum suasana menjadi lebih hebat, Kiam Gim sudah lantas berbangkit, menghadapi tuan mmah, ia menjura, hingga Hay Peng dengan tersipu-sipu mesti balas hormatnya itu. ‘Tjiong Toako,” berkata Lioe Loo-kauwsoe, dengan suaranya yang sabar, “kita ada orang-orang yang sudah berusia hampir enam puluh tahun, kita ada saudara-saudara dari bebcrapa puluh tahun, maka itu, ada berapakah orang yang hidup scumur kita ini? Dari itu umpama kita tidak ingat sesama orang Rimba Persilatan, kita toh harus ingat persahabatan kita dari bebcrapa puluh tahun itu. Toako, kalau ada ganjalan sesuatu, sehamsnya itu dikasih lewat, tidak seharusnya kita orang bersikap sebagai sesama orang-orang asing. Toako, aku percaya kau, aku percaya, kau tidak ketahui suatu apa mengenai itu pembegalan. Akan tetapi, di samping itu, aku hendak mohon kau bantu sedikit kepadaku. Kau ada penduduk sini, kau berkenalan luas, aku minta kau suka capaikan hati akan turut dengar-dengar, siapakah yang telah lakukan perbuatan itu. Tidak perduli orang itu ada tertua dari golongan mana, akan tetapi kita hanya hendak tanya, perbuatan apa yang kelini dari kita, untuk setelah itu, kita orang menghaturkan maaf agar perkara dapat dibikin habis.

Jikalau tetap kita tidak ketahui kekeliruan kita, umpama kita tnesti binasa, sungguh kita tak tahu suatu apa, kita bakal binasa secara kecewa” .

Tjiong Hay Peng kena dibikin tergerak hatinya oleh perkatannya orang she Lioe ini, sikap siapa ada merendah tetapi pun sungguh-sungguh, malah ada bersifatkeras. la insyaf. jikalau ia tidak ubah haluan, urusan bisa jadi kacau. Ia pun mengerti, tidak dapat ia terus bcrpura-pura tidak ketahui tentang pembcgalan itu, yang di kalangan Kang-ouw sudah jadi buah pembicaraan. Benar dcngan Teng Kiam Beng iamengganjal hati, tetapi dengan Lioe Kiam Gim ia ada bersahabat kekal, hingga sedikitnya ia hams memandang

,mata pada sahabat ini. Satu hal masih ia sangsikan, yaitu sesudah berpisah dua puluh tahun lebih, ia tidak tahu, Kiam Gim ada bersatu haluan dengan Kiam Beng atau mereka dua saudara seperguruan masih tetap berlainan paham. Tentang Kiam Beng, ia tahu benar, dia ini masih tetap berada di pihak pembesar negeri.

“Dengan sebenarnya aku tidak tahu siapa itu orang yang telah iawan Teng Toako,” akhirnya ia menjawab. “Satu hal aku bisa terangkan, di Liauw-tong ada beberapa orang kenamaan yang ingm bertemu sama

Lioe Toako dan bertjita-tjita main-main dengan Teng Toako. Karena or•ang bicara dengan lidah Liauw-tong, baiklah Toako tanyakan beberapa tetua dari Liauw-tong itu, pastilah Toako akan peroleh keterangan.”

Kiam Gim heran kenapa ada or•ang Liauw-tong, yang hendak bikin pertemuan dengan ia, walaupun demikian, ia tidak jerih.

“Tidak berani aku menerimanya, apabila ada beberapa tetua itu menghendaki menemui aku,” kata ia dengan merendah, “akan tetapi, karena mereka ada bercita-cita demikian, umpama kata mereka tidak sampai datang padaku, sudah pasti sekali aku sendiri akan kunjungi mereka. Tjiong Toako, tolong kau tetapkan suatu hari untuk aku berk unj ung kepada mereka.”

Habis berkata begitu, Lioe Kiam Gim berbangkit, untuk segara pamitan.

“Tunggu dulu, Toako!” mencegah Tjiong Hay Peng, romannya sibuk. “Sudah dua puluh tahun kita orang tidak bertemu, dan kau pun datang dari tempat yang jauh sekali, cara bagaimana Toako hendak kembali secara tergesa-gesa begini? Apakah Toako ccla gubukku buruk hingga tidak surup untuk menyambut Toako? Biar bagaimana, aku mohon Toako suka berdiam padaku untuk beberapa hari.”

Dua kali Kiam Beng merasa terhina, karena itu, ia tak dapat singkirkan kemendongkolannya, makajuga, sebelumsaudaranyajawab tuan rumah, ia mendahului pamitan. Ia kata: “Terima kasih untuk kebaikan kau, Tjiong Toako. Di Sha-tjap-lak Kee-tjoe ini aku ada beberapa sahabat, karena kita memangnya sudah bersiap, menyesal aku tidak bisa berdiam di sini, atau kalau tidak, aku jadi mcnsia-siakan sahabatku itu. Sampai lain hari saja, kalau itu beberapa tetua dari Liauw-tong sudah sampai, aku nanti datang pula bersama-sama soehengku ini!”

Setelah kata begitu, Kiam Beng pakai mantelnya, terus ia bertindak keluar, rombongannya turut sikapnya itu.

“Jikalau demikian, aku tak dapat menahan lagi kepada kau orang,” kata Tjiong Hay Peng yang berbangkit, untuk antar sekalian tetamunya itu, tetapi ketika mereka sampai di pintu, kembali ia uji kepandaian orang, ialah selagi menjura, untuk memberi selamat jalan, ia gunai tenaga tangannya, yang anginnya menyambar dengan keras.

Kiam Beng balas menjura seraya iapun gunai kepandaian dari Thay Kek, untuk tangkis itu serangan gelap, hingga Hay Peng tak dapat berbuat apa-apa; hanya terang, kepandaian mereka berdua ada berimbang.

Seberlalunya dari rumah Keluarga Tjiong itu, Kiam Gim semua menuju ke pasar, ke rumah penginapan, yang tadi Kiam Beng suruh Boe-soe Hoo, Boen Yauw dari Ouw Tiap Tjiang pergi urus siang-siang.

Selama di tengah jalan, Kiam Beng masih saja mendongkol, hingga ia menggerutu dan caci Tjiong Hay Peng. Kiam Gim sebaliknya, berdiam saja, ia berlaku tenang sekali. Hanya, ketika mereka mendekati pasar, atau dusun, tiba-tiba ia berbalik dan kata pada saudaranya itu: “Soetee, pergilah duluan ke rumah penginapan, aku ada punya suatu urusan!”

Kiam Beng tanya, soeheng itu ada mempunyai urusan apa, ia nyatakan suka ikut.

“Untuk ini aku tidak bisa berjalan bersama-sama kau,” Kiam Gim bilang. “Kau jangan kuatir, urusan ini akan ada baiknya untuk kau!” Setelah kata begitu, Kiam Gim loncat turun dari kudanya, terus saja ia berlari-lari, hingga ia lenyap dari pemandangan saudaranya sekalian, lenyap dalam sang malam.

Nyata Kiam Gim hendak kembali ke Sha-tjap-lak Kee-tjoe, akan menemui sendiri pada Tjiong Hay Peng. Ia insyaf, urusan tidak ada sedemikian sederhanaseperti tapikir pada mulanya. Ia percaya, di situ mesti ada salah faham, terutama mengenai soeteenya. la dapat kenyataan, Kiam Beng tetap masih suka bercampur sama pembesar negeri dan tabiatnya tetap keras, adatnya tinggi dan suka diangkat-angkat, hingga karenanya, tindakannya sembrono Di sebelah itu, soetee ini belum sampai “berkhianat” terhadap kaum Kang-ouw, dan tidak kandung niatan menghamba pada Kcrajaan Tjeng. Oleh karena itu, ia anggap perlu ia ketemui sendiri pada Tjiong Hay Peng, untuk peroleh pengertian satu dengan lain, akan lenyapkan salah paham.

Dcmikian, dengan gunai ilmu lari yang keras. dengan ya- heng-soet, ilmu lari di waktu malam, ia kembali ke rumahnya Ketua dari Heng le Pay. Ia sampai dengan cepat. Selagi ia mendekati jalanan gunung, yang tinggi di kiri dan di kanan, yang bergunduk-gundukan dan banyak

pepohonannya, tiba-tiba ia tampak berkelebatnya dua bayangan di sebelah kanan, disusul sama suara tertawa dingin. Ia segera berhentikan Itindakannya, ia mengawasi. Dalam gelap-gulita, ia tidak lihat suatu apa. Hanya kemudian, ia kembali dengar beberapa kali tertawa dingin, tertawa menghina.

Besar nyalinya. dan dengan tidak perdulikan pantangan kaum Kang-ouw, “bertemu rimba tak boleh lancang memasukinya”, Kiam Gim tekuk kedua lututnya, untuk melompat kedepan, akan mencelat masuk ke tempat pepohonan itu. Ia bersikap “Liong heng tjoan tjiang”, bagaikan naga saja, tangan kanan di depan, tangan kiri di dada. Sembari berlompat, iapun berseru: “Sahabat siapa main-main di sini? Dengan main sembunyi-sembunyi, apakah artinya itu?”

Benar selagi tubuhnyajago Thay Kek Pay ini mencelat, dari kiri dan kanan, dengan sekonyong-konyong, ada menyambar masing-masing sebatangioya, yang anginnya sampai menerbitkan suara menderu-deru. Ia tidak kaget, hatinya tidak terkesiap. Dengan loncat terus, ia lolos dari kemplangan itu, tapi begitu lewat, ia tahan tubuhnya, ia berputar diri.

Sebaliknya kedua penyerang, yang menyerang secara sangat hebat, menjerunuk tubuhnya ke depan, toya mereka masing- masing mengenai tempat kosong. Justeru itu, sebat luar biasa, Kiam Gim menyapu kepada dua orang itu, hingga dengan saling susul, mereka itu rubuh dengan tubuh terpelanting, hingga mata mereka jadi berkunang-kunang, kepala mereka pusing, hingga untuk sedetik, mereka tak mampu bcrbangkit.

Sampai di situ, Kiam Gim mengawasi dengan tak maju lebih jauh.

“Ada permusuhan apa di antara aku si orang she Lioe dengan Tuan-tuan berdua hingga Tuan-tuan, di waktu malam gelap begini, sudah memegat dan membokong kepadaku?” tanya ia dengan sabar. “Aku ingin sekali belajar kenal dengan Tuan-tuan.”

Belum dua orang itu menyahuti, atau dari dalam pepohonan terdengar suara tertawa bergelak-gelak yang disusul dengan kata-kata: “Jangan

gusar, Lioe Loo-enghiong! Duabocah ini hendak menemui orang yang tertua, apabila mereka tidak ambil sikapnya, cara bagaimana mereka dapat terima pengajaran dari kau? Mereka pun tidak sampai mengganggu walaupun selembar rambut Loo-enghiong!….” Itu adalah suara dengan lidah Liauw-tong, yang Kiam Gim kenali dengan baik, maka itu, segera ia memandang ke arah pepohonan dari mana suara datang. Ia tidak usah menantikan lama akan tampak munculnya dua orang tua dengan rambut dan kumis-jenggot ubanan. Cahaya lemah dari rembulan dan banyak bintang membuat jago tua ini bisa melihat jauh terlebih tegas. Demikian ia lihat nyata, orang tua yang satu berbaju biru dan gerombongan, yang kedua romannya keren, tinggi tubuhnya enam kaki, mukanya bersemu merah, pakaiannya serupa, kumis-jenggotnya panjang, matanya tajam.

Lekas sekali, jago Thay Kek Pay ini tekapi kedua tangannya.

“Djiewie Soehoe, bukankah kau orang ada orang-orang yang pada bulan yang lalu telah memberikan ajaran kepada soeteeku? Djiewie, terimalah hormatnya Lioe Kiam Gim!”

Dan jago ini hunjuk hormatnya.

“Di sini tidak ada bicara tentang soeheng dan soetee!” sahut si orang tua yang mukanya bersemu merah.

“Kita melainkan mohon terima pengajaran dari Lioe Loo- enghiong buat dua atau tiga gebrak saja!”

Dalam hatinya, Kiam Gim ada mendongkol sekali. Kenapa orang ada begini kasar? Kenapa, tanpa sebab dan alasan, orang berniat “menghajar kalang-kabutan pada satu kuali bubur”? Akan tetapi, ia atasi dirinya sendiri.

“Kebisaanku si orang she Lioe ada tidak berarti, bagaikan sinar kunang-kunang saja, mana aku berani terima pengajaran dari satu ahli?” kata ia. “Aku si orang she Lioe belum pernah bertemu dengan Djiewie, dari itu, entah kapan dan di mana pernah aku berlaku tidak selayaknya kepada Djiewie?”

Orang tua muka merah itu tertawa berkakakan.

“Lioe Loo-enghiong terlalu merendahkandiri!” berkataia. “Kita memohon pengajaran dengan sungguh-sungguh, untuk berlatih, samasekalikitatidakkandungmaksud jahat! Suddh lama kita dengar hal boegee dari Thay Kek Teng serta tiga rupa kepandaiannya yang| menggetarkan Rimba Persilatan, di luar dugaan kita, nama Ketua dari kaummu itu ada namakosong belaka, makaitu, tidak dapat tidak, kita harus mohon pengajaran dari kau sendiri, Lioe Loo-enghiong!”

Mencoba-coba kepandaian di kalangan Kang-ouw atau Rimba Persilatan ada hal umum, hanya cara dua orang ini adalah terlalu mendadakan dan mereka juga tidak pakai aturan yang biasa, mereka bcrlaku kasar, dari itu, justeru di sini ada mengenai nama baik guru atau rumah perguruannya, Kiam Gim bersedia untuk mengiringi. la insyaf bahwa ia lagi hadapi orang pandai tetapi ia tidak jerih.

“Jikalau Djiewie memaksa hendak mcmbcri pengajaran kepadaku, baiklah, aku si orang she Lioe bersedia untuk menemani,” kata ia dengan nyaring. “Salah satu yang mana akan maju terlcbih dahulu atau Djiewie akan maju dua-dua dengan berbareng?”

Si orang tua muka merah melirik dengan tajam. ia tertawa terbahak-bahak.

“Nyata Lioe Loo-enghiong terlalu memandang orang enteng sekali!” ia kata. “Rita dua saudara walaupun bodoh tetapi baharu dua-tiga gcbrak masih bisa juga melayani….”

Dua orang itu adalah Pek-djiauw Sin Eng Tok-koh It Hang serta In Tiong Kie, Ketua dari Pie’Sioe Hwee, Kumpulan Pisau Belati. Jadi dugaannya Law Boe Wie adalah tidak keliru, adalah Tok-koh It Hang yang dengan tangan kosong telah uji Teng Kiam Beng, untuk punahkan tiga rupa ilmu kepandaiannya. Akan tetapi kedatangan mereka ke Djiat-hoo ini bukan melulu untuk coba Teng Kiam Beng, mereka sekalian niat ikat tali persahabatan dengan kaum Rimba Persilatan di Kwan-Iwee (Tionggoan). Sudah sejak lama mereka kagumi Lioe

Kiam Gim, hanya mereka belum tahu, orang she Lioe ini ada bertabiat sama atau tidak dengan Teng Kiam Beng, dari itu, merekaingin mencoba-coba juga, terutama Tok-koh It Hang yang selama beberapa puluh tafiun belum pemah ketemu tandingan, sekarang ia ingin uji Kiam Gim untuk sekalian bersahabat dengannya, asal Kiam Gim beda daripada Kiam Beng. Dengan scnjata mereka memegat di tengah jalan itu.

Tok-koh It Hang ingin mencoba terlebih dahulu, akan tetapi In Tiong Kie pegat ia.

“Toako, tinggallah kau di belakang,” kata ketua Pie Sioe Hwee ini. “Biar siauwtee maju lebih dahulu, apabila akan gagal, baharulah kau sambungi aku….”

Setelah mengucap demikian, tanpa tunggu jawaban lagi, si Keanehan-dalam-Awan segera mendahului lompatmaju ke depannyaKiam Gim, dengan tekap kedua tangannya, ia memberi hormat.

“Lioe Loo-enghiong, kita cuma ingin berlatih, maka itu, apabila terjadi siapa kalah dan siapa mcnang, biar kita sambut itu dengan tertawa, jangan kita orang buat pikiran!” ia kata.

Lioe Kiam Gim balas hormat itu.

“Djiewie ada baik sekali hendak memberikan pengajaran kepadaku, terang Djiewie ada sahabat-sahabat baik,” sahut ia dengan merendah, “oleh karena kita bukan bertempur untuk mati atau hidup, memang

menang atau kalah bukanlah soal. Bukankah “bunga merah dan daun hijau asal ubi teratai putih dan tiga agama pokoknya satu”? Kita ada or-ang-orang Rimba Persilatan, cara bagaimana kita orang tidak bersahabat? Nah, Sahabat baik, silakan kau mulai lebih dahulu!”

In Tiong Kie tidak bilang suatu I apa, setelah berdiam sesaat, tiba-tiba dari pinggangnya, iatarik keluar suatu penda yang melibat pinggangnya itu, dan di antara sambaran angin, benda itu memperlihatkan diri sebagai cambuk “Kauw-kin Hong-liong-pian”. Itu adalah rotan keluaran Timur-utara yang ulet, yang dilibat dengan urat-urat ular, hingga bisa digunai sebagai cambuk dan ruyung berbareng untuk melibat golok atau pedang lawan. Baharu sekarang ia kata, sambil tertawa haha-hihi: “Sudah lama aku dengar liehaynya Thay Kek Tjap- sha-kiam, sekarang dengan tidak tahu tenaga sendiri, aku ingin Lioe Loo-enghiong ajarkan aku barang satu atau dua jurus!”

In Tiong Kie tidak liehay bersilat tangan kosong, barusan pun ia saksikan sendiri, dalam satu gebrak saja, Lioe Kiam Gim telah rubuhkan dua muridnya Tok-koh It Hang, dari itu untuk tidak mendapat malu, ia ingin adu senjata; biamya ia tahu, ilmu pedangnya lawan ada kesohor akan tetapi ia andali betul senjatanya sendiri yang istimewa, yang ia telah yakinkan beberapa puluh tahun lamanya. Ia percaya, umpama kata ia tak peroleh kemenangan, tidak nanti sampai ia kena dikalahkan.

Kiam Gim tidak terperanjat melihat orang kehiarkan ruyung atau cambuk istimewa itu, setelah dengar ia ditantang untuk gunai pedang; lantas saja ia bersenyum. Terus ia bilang: “Sudah beberapa puluh tahun aku tidak berlatih lagi dengan golok atau pedang, aku jadi sangat asing dengan semua senjata itu, dari itu biarlah dengan sepasang tanganku yang berdaging ini, aku main-main dengan kau, Loo-soehoe. Hanya lebih dahulu aku ingin minta, sukalah kau mengalah sedikit, oleh karena tulang-tulangku taktahan dengan pemukul….

Silakan, silakan! – Eh, kenapa kau tidak lantas mulai?”

In Tiong Kie berdiam, dengan hati yang panas. Segera ia simpan cambuknya.

“Lioe Loo-enghiong, kenapa kau begini tidak pandang mata pada or•ang?” tanya ia dengan suara keras.

Kiam Gim tidak lantas menjawab, ia hanya bersenyum pula. “Mana, mana aku berani tak memandang mata kepada kau,

Loo-soehoe?” kata ia, dengan sangat merendah. “Harap

Loosoehoe ketahui baik-baik bahwa sesuatu or•ang mempunyai senjata kesukaannya sendiri! Loosoehoe mempunyai cambukmu, aku punya sepasang tanganku ini, soeteeku, Tjiang-boen-djin dari Thay Kek Boen dari Keluarga Teng, telah dirubuhkan Tuan-tuan dengan tangan kosong, dari itu sekarang aku mengharap pengajaran dengan tangan kosong jugaJ”

Diam-diam hatinya In Tiong Kie tergetar. Secara begini, terang Lioe Kiam Gim tidak dapat dipersalahkan, karcna dia hendak mcmul ihkan muka soeteenya yang orang rubuhkan dengan tangan kosong. Dengan itu cara orang jatuhkan pamomya Thay Kek Pay, dengan itu cara j uga, nama Thay Kek Pay hendak diangkat kembali.

Itulah sudah seharusnya. Jadinya bukan orang tak pandang mata kepadanya. Hanya ia merasa

mcnyesal, karcna Kiam Beng rubuh di tangannya Tok-koh It Hang dan sekarang Kiam Gim hendak menuntut balas dari ia. Ini dia yang dibilang anjing kuning dapat makanan, anjing putih yang dapat bencana”.

Karcna ia pun ada satu j ago tua, In Tiong Kie tidak suka mundur, hanya sekarang ia ambil ketetapan akan pakai terus cambuknya, sebab ia pun sangsi, dengan tangan kosong, orang she Lioe ini sanggup layani ia. Maka kembali iakeluarkan cambuknya itu.

“Jikalau demikian, Lioe Loo-enghiong, maafkanlah aku!” berkata ia

Lioe Kiam Gim tidak menjawab, ia hanya mengawasi Iawan, dengan sikap yang .anteng sekali. Tapi satu ahli niscaya ketahui dengan baik, ia sebenarnya sedang bersedia,

perhatiannya sedang dipcrsatukan. Sampai di situ, In Tiong Kie tidak berayal lagi. Dengan “Sin Hong djip hay”, atau “Naga malaikat masuk ke laut”, ia mulai dengan penyerangannya, dari atas.

Kiam Gim berlaku gesit, tidak tunggu sampai cambuk menghampirkan ia, ia sudah angkat kedua pundaknyadan kaki kanannya menggeser ke kanan. Melainkan hampir saja, cambuk mengenai sasarannya.

Menampak gagalnya serangan itu, In Tiong Kie pun kirim susulan saling beruntun, “Lian hoan sam pian” -runtunan tiga kali, serta “Keng hong sauw lioe” atau “Angin besar menyapu daun yanglioe”. Cambuk bergerak dengan sebat, sampai menerbitkan suara angin, bayangannya turut bergerak menyambar.

Kiam Gim lihat ancaman bahaya, ia tidak hendak lawan dengan keras, dengan geraki pinggangnya, dalam gerakan “Yan tjoe tjoan in”, atau “Waletserbu mega”, ia mencelat tinggi sampai dua tumbak, akan turun di belakang lawan, begitu lekas sudah mcndekati tanah, tangan kanannya disodorkan kepada bebokong orang, dalam gerakan membacok!

In Tiong Kie itu, kecuali ilmu cambuknya ini yang liehay, pandai jugamengenali berbagai alat-senjata dengan mendengari saja sambaran anginnya, sebagaimana Law Boe Wie telah peroleh pelajaran darinya. Maka sekarang, ia segera ketahui lawan lagi serang ia. Malah ia pun bisa duga, lawan ada di arah mana. Begitulah, sembari memutar tubuh, berbareng berkelit, ia pun menyabet dengan Kiauw-kin Hong- liong-pian!

Berbahaya kedudukannya Lioe Kiam Gim, ini melulu disebabkan kegesitan lawan. Tapi, ia juga tak mau kalah gesitnya, ia hendak hunjuk kcpandaiannya. Ia tidak mcnangkis, ia berkelit, bukan dengan lompat mundur, hanya dengan membungkuk tubuh, begitu rupa, hingga cambuk lewat sedikit di atasannya! Sesudah ini, dengan sebelah kaki maju, sambil angkat tubuhnya, ia barengi menyerang, bagaikan “angin taufan” atau “gelombang hebat”.

Atas ini, baharulah In Tiong Kie loncat mundur.

Secara demikian,- mereka lanjuti pcrtcmpuran. Mereka ada seumpama dua tukang main catur yang liehay, atau setengah kati adalah delapan tail. Dua-dua gesit, cepat gerakannya.

Setelah mundur dan maju bergantian, In Tiong Kie perlihatkan serangannya “Kioe kioe pat-sip-it” atau “Scmbilan kali sembilan menjadi delapan puluh satu”, cambuknya itu menyabet, menyapu, melibat, menindih saling susul, tidak henti-hentinya. Lain dari itu, ia jaga diri dengan baik, ia tidak mau izinkan lawan desak ia. Maka itu, ia menjaga diri berbareng lebih banyak menyerang.

Beberapa puluh jurus telah lewat dengan cepat. Walaupun ia didesak, Lioe Kiam Gim tidak kasih dirinya dibikin repot, tubuhnya, bagaikan bayangan, mengikuti sesuatu gerakan cambuk istimewa itu. Di sebelah itu, ia juga tidak dapat ketika untuk rapatkan tandingan itu.

Maka di akhimya, dua-dua merasa heran sendirinya, mereka saling mengeluh, In Tiong Kie menjadi jengah, cambuknya, yang ia sudah fahamkan beberapa puluh tahun, sekarang kena dibikin tidak berdaya oleh sepasang tangan darah dan daging melulu, malah ia kadang-kadang kena didesak. Kiam Gim pun tidak mengerti, kenapa ilmu silat tangan kosongnya – ilmu silat Thay Kek Pay yang kenamaan – tidak sanggup rampas cambuk lawan itu dan sudah ia tidak mampu merangsang, ia pun beberapa kali musti menyingkir dari serangan-serangan sangat berbahaya, tetapi sekarang ia mengerti kenapa Kiam Beng, soeteenya, rubuh di tangan musuh, tidak tahunya, musuh ada demikian liehay. Lawan ini sajasudah jauh lebih liehay daripada soeteenya, maka ia percaya, orang tua yang lain itu jangan-jangan akan melebihkan ia liehaynya. Kapan sudah lewat tiga puluh gebrak, Kiam Gim ubah caranya bertempur. la sekarang gunai tangan kanan saja, akan layani cambuk musuh, dengan tangan kirinya, yang dibikin keras bagaikan tumbak cagak. ia cari jalan darahnya In Tiong Kie. Sepasang tangannya yang tak bersenjata itu ia bikin jadi seperti senjata tajam saja – tangan kanan mirip dengan pedang Ngo-heng-kiam, tangan kiri mirip dengan tusukan Tiam-hiat-kwat. Adalah setelah itu, pihak lawan baharulah kena didesak.

Lioe Kiam Gim telah pikir, jikalau ia tidak lekas rebut kemenangan, apabila ia main ayal-ayalan, ia akan terancam bahaya, karena di luar kalangan, lawan yang satunya selalu pasang mata ke arah dia, dia itu senantiasa perhatikan ilmu silatnya. Itulah ada tidak baik untuk pihaknya.

Tiba-tiba, selagi In Tiong Kie menyabet ke atas, di tiga jurusan, Kiam Gim bcrkclit akan singkirkan diri dari serangan, tubuhnya membungkuk, berbareng dengan mana, ia maju, lalu sebelah kakinya, dikasih mclayang. Kaki kanannya yang menyambar, kaki klrinya pasang kuda-kuda.

Serangan ini ada serangan berbahaya. untuk pihak penyerang, karena gerakannya yang mendesak dipaksakan. In Tiong Kie lihat itu, hatinya girang. Ia pikir: “Hm, tua bangka ini tidak lagi berpokok pada ketegaran dari Thay Kek Boen, mustahil sekali ini ia tidak rubuh?….”

Maka ketua Pie Sioe Hwee mi lantas geser tubuhnya ke kiri, buat kasih lewat kaki kanan lawan itu, sehingga karenanya, keduanya jadi saling melewati. hingga mereka seperti bebokong menghadap bebokong. Lalu, menggunai ketika ini, tanpa bcrpaling pula, melulu andalkan kepandaiannya mengenali angin, ia putar tangannya, ia menyabet ke belakang, dari atas ke bavvah. Sembari menyabet hatinya gembira bukan main, ia percaya, ia akan berhasil, karena mereka terpisah dekat sekali, ia sangka lawan tak akan keburu menghalau diri. Dugaannya In Tiong Kie ada dugaan belaka, ia keliru, karena dengan majukan serangan sembrono itu, Kiam Gim justru menggunai tipu daya. Jago Thay Kek Pay ini justeru harap-harap sabetan lawannya itu, selagi cambuk menyambar, ia segera berkelit ke kiri, tangan kanannya dengan tipu

“Siauw-thian-tjhee”, atau “Bintang cilik”, diterusi dipakai menekan cambuk, lalu gesit luar biasa, ia mendesak rapat, tangan kirinya menyusul bagaikan tumbak cagak, akan totok jalan darah orang Leng-tay-hiat, betulan hati.

In Tiong Kie kaget bukan main, sampai ia keluarkan jeritan, menyusul mana, ia enjot tubuhnya, akan loncat mundur, akan tetapi, walaupun ia gesit, Kiam Gim ada terlebih sebat pula, jeriji tangannya jago Thay Kek Pay ini sudah lantas mengenai sasarannya. Hanya, dasar ia ada satu jago tua, kendatipun tangannya lawan mengenakan sasaran, ia tidak sampai nampak bencana. Sebab dalam saat genting itu, ia telah menyedot dada dan perutnya, hingga kesudahannya, jari tangan Kiam Gim mengenai baju saja, tidak sampai ke kulit atau daging. Setelah itu, In Tiong Kie loncat mundur terlebih jauh, cambuknya tidak terlepas, mukanya tidak merah, napasnya tidak mengorong, tubuhnya pun tetap!

Lioe Kiam Gim menyesal bukan main, karena di saat ia hendak bergirang, iajadi kecele. Iatahu, kalau pertempuran dilanjuti, entah sampai kapan akhirnya itu. Tapi, selagi ia mengawasi dengan tajam, tiba-tiba In Tiong Kie simpan cambuknya, dengan kedua tangan dirangkap, ketua Pie Sioe Hwee itu memberi hormat seraya berkata: “Lioe Loo- enghiong, kau benar liehay, aku menyerah kalah!”

Jago Thay Khek Pay itu melengak sekejap, lalu lekas-lekas ia memberi hormat.

“Kau mengalah, Lauwhia, kau mengalah,” kata ia. “Lauwhia ada liehay sekali, aku kagumi kau!”

Sekali ini Kiam Gim bukan merendah, ia bicara dari hatinya yang tulus. In Tiong Kie ada satu laki-laki, walaupun ia tidak rubuh, bisalah dianggap dia sudah keteter dan ia berani akui itu.

Sementara itu, Tok-koh It Hang bertindak menghampirkan, ia tertawa. Ia maju sampai di depannya Kiam Gim sekali, terus ia berkata dengan pujiannya: “Lioe Loo-enghiong ada liehay sekali, tidak kecewa kau mewariskan ilmu silat Thay Kek Pay, akan tetapi barusan Loo-enghiong belum keluarkan seturuh kepandaianmu, maka itu aku, yang tidak tahu diri, ingin sekali terima pelajaran dan kau!”

Sembari berkata demikian, jago Liauw-tong ini angsurkan kedua belah tangannya yang tidak memegang senjata apa jua. Jadi artinya, ia hendak benempur: tangan kosong lawan tangan kosong!

Seumurnya Tok-koh It Hang, kepandaian “Pwee pwee lak- tjap-sre Kim-na Tjhioe-hoat”, atau ilmu “Delapan-kali-delapan menjadi enam puluh empat gerakan”, dari Eng Djiauw Boen, belum pernah ketemu tandingan, barusan ia saksikan kepandaiannya Lioe Kiam Gim, ia percaya orang tak ada terlebih liehay daripada ia, dari itu, iajadi ingin coba-coba. Ia percaya, ia bakal sanggup rebut kemenangan. Ini juga sebabnya kenapa ia bilang, Kiam Gim belum keluarkan seluruh kepandaiannya.

Kiam Gim menjadi terkejut berbareng mendongkol. Ia merasakan bahwa orang berlaku hormat sambil memandang enteng kepadanya secara samar-samar.

“Jikalau Loo-soehoe sudi memberikan pengajaran kepadaku, sudah tentu sekali aku si orang she Lioe girang menemaninya,” ia menjawab. “Hanya kita kauro Kang-ouw, sudah seharusnya, satu patah kata-kata kita adalah satu patah kata-kata. Maka, Sahabat, mengenai kejadian di Djiat-hoo itu,sudikah kau menanggung jawab? Aku si orang she Lioe tidak ingin, setelah aku layani kau sampai setengah malaman. tapi alhasil aku tidak memperdia untuk layani apa!” Kiam Gim gunai kata-kata yang tajam, akan tetapi Tok-koh It Hang ada hiehay sekali, mendengar itu, ia tertawa berkakakan. Ia rangkap pula kcdua tangannya, untuk membcri hormat

“Bagaimana kau sebut-sebut perkaranya soeteemu?” ia

.tanya. “Soeteemu itu sahabat-sahabatnya adalah golongan pembcsar negeri dan mulia, bangsa raja-raja muda atau kaum saudagar besar, maka aku si or•ang gunung, cara bagaimana aku mempunyai jodoh untuk bertemu dengan dia! Dan umpama kata aku ton sampai bertemu dengannya, cara bagaimana aku berani main gila terhadapnya? Lioe Loo- enghiong, harap kau tidak sebut-sebut soeteemu yang bagaikan must ika itu. Malam ini ada malam yang indah, apa kau tidak kuatir menyia-nyiakan malam yang indah ini hingga lenyap kegembiraan kita? Loo-enghiong, man, mari, mari kita orang main-main, akan menghibur lara!”

Mendengar itu, Kiam Gim segera mengerti bahwa pada soal adiknya seperguruan itu benar-benaradasalah paham.

Bukankahterang-terangjago Liauw-tong ini menyindir.tentang

persahabatannya Kiam Beng dengan segala pembesar negeri atau orang besar?

“Tentang adikku seperguruan itu, sukar untuk dijelaskan,” ia kata, dengan nyaring. “Untuk itu, kita membutuhkan pembicaraan yang lama. Tapi, apabila Loo-enghiong kehendaki, aku nanti ajak saudaraku itu datang untuk menghaturkan maaf kepadamu. Hanya sekarang bisalah aku terangkan, soeteeku bukanlah itu orang sebagaimana yang Loo-enghiong scbutkan. Kedatanganku sekarang ini bukan untuk mencari pulang barang upcti, aku hanya hendak cari sahabat, untuk bicara dari hati ke hati, akan buka masing- masing hati kita!”

Selagi orang bicara, Tok-koh It Hang mengawasi dengan tajam, antara sinar rembulan, ia tampak orang beroman sungguh-sungguh, hingga hatinya jadi tergerak, hingga ia pikir, jago Thay Kek Pay ini benar-benar hams dijadikan sahabat. Ia berpikir cepat, lantas ia berikan tanda rahasia pada In Tiong Kie kepada siapa ia kata: “Kalau kau ada punya urusan, pergilah lebih dahulu, biara kutemani Lioe Loo- enghiong main-main di sini, sccara begitu, Loo-enghiong pun jadi tak usah berhati tak tentaram, karena lihat jumlah kita yang banyak.”

In Tiong Kie menurut, ia berlalu dengan segera.

Lioe Kiam Gim saksikan itu semua, ia lihat sikap bemafsu dari jago Liauw-tong ini, mata siapa pun bersinar, ia jadi agak mendongkol, maka, dengan tertawa dingin, ia bilang: “Sahabat, jikalau pasti kau ingin memberikan pengajaran kepadaku, baik, aku tak berdaya, aku bersedia |untuk layani kau.”

Baharu Lioe Kauwsoe tutup mulutnya, atau Tok-koh It Hang sudah bergerak. Mula-mula ia maju dengan kedua tangannya dipentang, dalam gerakan “Tjhong eng peng tjie” atau “Garuda mementang sayap”, setelah itu ia mendak, agaknya ia hendak sambar kedua lengan orang, untuk disergap.

Kiam Gim hunjuk kegesitannya, ialah dengan geser tubuhnya ke kiri, berbareng dengan itu, dengan Thay Kek Pay punya “Shia kwa tan pian” atau “Menggantung ruyung sebatang”, ia bacok nadi orang, gerakanrtya tak kurang sebatnya.

Tok-koh It Hang tidak mundur walaupun serangan sehebat itu, ia pun tidak menangkis, hanya mengubah tangan terbuka menjadi kepalan, ia teruskan gunai “Heng sin pa touw” atau “Melintangkan tubuh untuk menghajar harimau”, akan serang iga orang!

Gagal dayanya Kiam Gim akan serang nadi orang, ia sebaliknya kena didesak, terpaksa ia geser pula kaki kiri ke kiri, untuk terus berlompat enam atau tujuh kaki jauhnya, setelah kakinya itu injak tanah, ia barengi untuk memutar tubuh. Ia percaya pihak lawan susul ia, ia terus

menyerang dengan “Tjit-seng-tjiang” atau “Tangan tujuh bintang”, mengarah iga kanan.

Jago Liauw-tong itu tarik pulang tangannya, juga tubuhnya, untuk selamatkan diri. Tapi Kiam Gim tidak berhenti sampai di situ, dengan majukan tubuh kesebelah kiri, ia gunai tangan kirinya dalam tipu “Ngo-heng-kiam”, menotok dahi kiri orang, sedang tangan kanannya, dengan “Kim liong hie soei” atau “Naga cmas memain air”, ia coba babat dengkul kanannya lawan. Ini ada serangan hebat, ke atas dan ke bawah dengan berbareng.

Nampaknya Tok-koh It Hang sibuk, hampir ia kena terserang, atau berbareng dengan itu, ia berseru: “Sebat benar!” dan tubuhnya mencelat nyamping, hanya, setelah lolos dari serangan, sesudah injak tanah, terus ia enjot tubuhnya, akan lompat maju lagi, untuk balas menerjang, gerakannya mirip dengan sambaran garuda.

Kiam Gim memutar tubuh, untuk saksikan orang punya gerakan sangat cepat maju bagaikan kera lompat di cabang, mundur seperti naga atau ular melesat kabur, lompat laksanaburung menerjang langit, loncatturun umpama harimau menerkam. Lawan ini maju menyerang, mundur membela diri, tubuhnya berputar seperti angin puyuh, berkelebatnya bagaikan kilat. Dalam sekejap, musuh bergerak di delapan penjuru!

Mau atau tidak, Lioe Kiam Gim diam-diam keluarkan keringat dingin!

Tok-koh It Hang digelarkan “Pek Djiauw Sin-eng” atau “Garuda Malaikat Seraius Cakar”, maka itu, gerak-geriknya mirip dengan burung garuda. Di sebelah itu, ia mempunyai enam puluh gerakan “menawan”, yaitu kim-na-hoat, dari itu, cara menyerangnya benar-benar luar biasa. Adalah keinginan dari Lioe Kiam Gim akan bertempur dengan cepat, akan segera akhirkan “pieboe” itu, siapa tahu. pihak lawan ada gagah sekali, hingga ia jadi heran berbareng kaget. Belum pernah ia ketemu orang semacam ini cii kalangan Sungai-Telaga. Tapi ia ada seorang berpengalaman, matanya tajam, segera ia insyaf dengan menyerang hebat, ia tak bakai peroleh hasil. Ia juga ingat pembilangan, “Menyingkir dari musuh tangguh, menyerang kelemahan musuhnya” dan kim-na-hoat lawannya ini sebaliknya dari Thay Kek Koen. Kalau Thay Kek Koen berpokok “dengan kelemasan mclawan kekerasan”, adalah kim-na-hoat, “menyerang sambil berbareng membeladiri”. Kelihatan nyata, lawan ini tidak takuti serangan. Maka itu ia pikir, ia mesti gunai latihannya dari puluhan tahun, dengan keuletan, akan layani jago Liauw- tong ini.

Segera juga Lioe Kiam Gim bikin perubahan. Ia berdiri  tegar bagaikan gunung, ia membela diri, ia tidak sembarang bergerak. Dalamhal ini, ia tidak gubris lawan hunjuk kegesitan,

dengan berputaran seperti burung berterbangan, bengis bagaikan harimau galak, gesit seperti sang kera. Ia tidak mau menerkam, dan kalau lawan pancing ia, ia tidak mengejar. Ia pegang pokok “apabila lawan tidak bergerak, berdiam, dan satu kali lawan bergerak, mendahului”. Rahasianya Thay Kek Koen memang adalah bergerak dengan ikuti salatan lawan.

Demikian, dari mana saja Tok-koh It Hang menyerang, ia melayani dengan tenang.

Begitulah pertempuran berjalan, antara orang-orang gagah yang langka, yang satu menyerang, yang lain menjaga, keduanya telah sampaikan batas kesempumaan kepandaiannya masing-masing.

Jago dari Eng Djiauw Boen telah gunai juga keistimewaan ilmunya, “Hoei-eng Keng-soan Kiam-hoat”, ialah ilmu pedang “Garuda terbang berputaran”, yang ia ubah menjadi tangan kosong, ia selipkan ini di sebelahnya enam puluh empat pukulannya kim-na-hoat, akan tetapi Lioe Kiam Gim tetap berdiri bagaikan gunung batu antara serbuannya arigin santar dan gelombang dahsyat, tubuhnya tenang, dan’ ilmu pukulannya Thay-kek-tjiang dipakai punahkan sesuatu serangan. Ia ikuti salatan, ia pinjam tenaga akan pecahkan tenaga lawan sendiri.

Tok-koh It Hang ada liehay dan berpengalaman, tapi beberapa kali, ia toh berlaku sangat bemafsu karena ketenangan musuh, hingga beberapa kali hampir-hampir ia kenaterserang disebabkan kelancangannya sendiri. pleh karena ini, baharu sekarang -dengan diam-diam ia bergidik, baharu sekarang ia insyaf, Lioe Kiam Gim ada beda sangat jauh dari soeteenya, teng Kiam Beng. Dan sejak itu, walaupun ia tetap mendesak, tidak lagi ia berani turuti hawa nafsunya.

Karena cara bertempur itu, bukan lagi puluhan, hanya dua ratus jurus lebih telah dikasih lewat tetapi kedua-duanya masih belum memperoleh hasil.

Sesudah kewalahan, akhir-akhirnya, Tok-koh It Hang loncat mundur, akan gunai ketika untuk meraba ke pinggangnya di mana ia buka suatu benda yang mclibat, apabila ia telah tank itu, nyata ia sudah keluarkan sebatang djoan-kiam, atau pedang lemas, yang bersinar bcrkcrcdcpan sebagai emas, karena gegaman itu terbuat dengan campuran emas putih keluaran Hek-liong-kang. Pedang ini, disimpan bisa dilibat bagaikan ikat pinggang, digunai lalu menjadi pedang, dengan tajamnya luar biasa.

“Jikalau terus kita bertanding secara begini, sampai terang tanah juga sukar didapati kepastiannya menang atau kalah,” kata ia, setelah ia siap dengan pedangnya yang istimewa itu. “Bertempur secara begini tidak menarik hati, tidak ada artinya, maka itu baiklah kita gunakan pedang untuk aku terima pelajaran ilmu Thay Kek Tjap-sha-kiammu berikuti hoei-piauw yang berbayang berkelebatan, di antara sinar pedangmu!” Tegasnya, dengan “Hoei-eng Keng-soan-kiam”, jago tua dari Liauw-tong ini hendak uji ilmu pedang orang dan senjata rahasia yang kesohor, sebab ilmu silat tangan kosongnya ia sudah jajal sempurna.

Lioe Kiam Gim tidak berayal untuk sambut tantangan itu, tetapi karena ia tahu pihak lawan ada sangat tangguh, ia tetap waspada, ia tidak mau berlaku serampangan. sesudah hunus pedangnya sendiri dan pasang kuda-kudanya dengan tenang seperti biasa, ia mengundang: “Silakan!”

Atas undangan itu, tubuhnya Tok-koh It Hang segera bergerak, akan tetapi bukannya ia terus menerjang, ia hanya berputar ke belakangnya or•ang itu dari mana baharulah ia kinm satu tikaman.

Menuruti gerakan lawan, Kiam Gim memutar tubuh, begitu tikaman datang, ia berkelit, tapi sambil berkelit. ia pun terus putar tubuhnya, hingga sekarang adalah ia yang beradadi arah belakang jago Liauw-tong itu, untuk ia balik menerjang.

Berbareng dengan berkelebatnya satu sinar, ujung pedang menusuk pundaknya si jago tua, pada bagian jalan darah Hong-hoe-hiat. Tipu totokan yang dipakai pun ada “Giok lie tjoan tjiam” atau “Bidadari menusuk jarum”

Tok-koh It Hang sendiri, sesudah serangannya mengenai tcmpat kosong, sudah lantas bergerak dalam tindakan “Liong heng hoei pou”, atau “Tindakan naga terbang”, akan pindahkan tubuh ke kanan lawan, dari sini pedangnya, yang telah ditarik pulang, diicruskan dipakai menyambar muka lawan dengan tipu serangan “Hoan sin hian kiam”, ialah “Mempcrsembahkan pedang sambil memutar tubuh”.

Kiam Gim batal dengan serangannya, yang tidak mengenai sasaran, maka itu, melihat gerakan lawan yang berbahaya itu, ia menjejak tanah, untuk loncat mclcsat jauhnya dua-tiga tumbak hingga ia lolos dari ancaman bahaya. Menampak gerakan lawan itu, bagaikan gerakannya bayangan, Tok-koh It Hang lompat mengejar, berbareng dengan itu, ia teruskan menyerang tiga kali saling susul, dengan tipu-tipunya “Wan khauw tjin koh” atau “Orang hutan menyucuhkan buah”, “Sian djin tjie louw”, atau “Dewa menujuki jalan”, dan “Beng kee tok siok” atau “Ayam galak mematok gaba”. Itulah ada scrangan seperti hujan deras antara angin hebat!

Lioe Kiam Gim sudah tahu liehaynya musuh, tidak pern ah ia abaikan diri, maka itu, tidak perduli hujan serangan ada bagaimana hebat, ia menangkis dengan tenang, ia berkelit dengan sebat, sama sekali ia tidak berikan ketika untuk lawan desak ia.

Hanya kemudian, sclang seratus jurus lebih, ia pun insyaf, jikalau terus-terusan mereka bertempur saja, tanpa ada keputusannya, entah mereka akan bertempur sampai di waktu apa. Maka dia akhirnya, sesudah berpikir, ia buka satu lowongan, terus ia mencelat keluar kalangan, tak perduli pedang lawan mengancam bebokongnya, bagaikan burung, tubuhnya lompat melesat.

“Sahabat, jangan pergi!” berseru Tok-koh It Hang, yang tampak orang keluar dari kalangan. “Sambutlah ini!”

Dan tubuhnya melesat menyusul, ujung pedangnya terus menusuk!

Lioe Kiam Gim loncat dengan satu maksud, sambil lompat, ia pasang kuping. Ia dengar sambaran angin, ia menduga pada susulan musuh serta tusukan pedang, tidak menunggu sampai ujung pedang mengenai sasaran, dengan sekonyong- konyong ia putar tubuhnya dalam gerakan “Koay bong hoan sin” atau “Ular siiuman jumpalitan”, pedangnya sendiri dipakai menangkis dalam tipu silat “Kim peng tian tjie” atau “Garuda emas membuka sayap”. Ia telah gunai tenaga yang besar, akan bentur pedang lawan itu, sedang tangan kirinya, dengan tenaga “Siauw thian tjhee” atau “Bintang kecil”, dipakai menotok dadanya lawan itu.

Dalam keadaan seperti itu, Tok-koh It Hang tidak dapat ketika akan elakkan diri pula, maka terpaksa, ia antap kedua senjata saling beradu,

hingga menerbitkan’ suara yang nyaring keras, sedang di lain pihak, guna luputkan serangan tangan kiri lawan itu, ia juga gunai “Siauw thian tjhee”, hingga juga tangan mereka turut beradu satu dengan lain.

Dua-dua bentrokan itu ada hebat, dengan tak dapat ditahan lagi, masing-masing mereka tak dapat menahan tubuh mereka, yang rubuh terpelanting, hanya begitu jatuh, keduanya segera lompat bangun pula, akan berdiri dengan tegar, hanya selagi rubuh, dalam hatinya, masing-masing merasa malu sendirinya.

“Sahabat, sambutlah pula ini!” berseru Tok-koh It Hang, yang tidak mau sia-siakan ketika lagi. Ia pun ada mendongkol. Dalam cuaca gelap itu, tiga buah Thie-lian-tjie, atau “teratai besi”, menyambar ke arah tiga jurusan anggota, ialah jalan darah “Kie-boen-hiat”, “Hong-hoe-hiat” dan “Kiauw-im-hiat”.

Kiam Gim lihat sambarannyatiga buah senjata rahasia itu, yang menyusul seruannya lawan, sambil memutar tubuh untuk berkelit, pedangnya dipakai menyampok. Dua buah Thie-lian-tjie lewat di tempat kosong, yang ketiga kena disampok jatuh ke tanah.

Sambil elakkan diri secara demikian, jago Thay Kek Pay ini juga tidak diam saja, sebat luar biasa, tangan kirinya merogoh sakunya, akan keluarkan “Kiam-eng Hoei-piauwnya”, sekali raup saja, ia telah keluarkan duabelas batang, lalu antara berkelebatnya cahaya pedang, ia baias menyerang lawan itu, hingga umpama bintang berjalan, semua piauw itu menyambar saling susul!

VI “Bagus!” berseru Tok-koh It Hang, yang lihat lawannya baias menyerang ia dengan senjata rahasianya itu yang kesohor, berbareng dengan mana, dengan “It hoo tjhiong thian”, atau “Seekor burung hoo menerjang langit”, ia lompat tinggi sampai setumbak lebih, hingga piauw, yang mengarah ke tengah dan ke bawah, lolos semuanya, hingga tinggal empat buah lagi, yang menyerang ke atas.

Kiam Gim sudah duga, lawannya akan bisa menyingkir dari piauw dua arah tengah dan bawah, belum tentu dengan arah atas, tetapi Tok-koh It Hang benar-benar liehay, karena sebat luar biasa, ia tanggapi empat buah ke arah atas itu, selagi ia turun ke bawah – sebelum kakinya injak tanah – ia sudah baias menyerang sambil tertawa dan serukan: “Aku kembalikan piauwmu ini, yang aku tidak biasa pakai!”

Jago Thay Kek Pay itu terperanjat, akan tetapi ia sanggup kelit dari serangan empat piauw itu.

Tok-koh It Hang menginjak tanah untuk segera simpan djoan-kiamnya, segera ia rangkap kedua tangannya.

untuk memberi hormat, sambil bersenyum, ia berkata: “Tiga-tiga kcpandaian dari Loo-enghiong, aku telah pcrsaksikan, sungguh hehay, luar biasa! Lioe Loo-enghiong, sampai kita bertemu pofa!”

Lioe Kiam Gim buru-buru simpan pedangnya.

“Sahabat, tunggu dahulu!” ia berseru. Ia tahu orang berniat angkat kaki,

Akan tetapi tubuhnya jago Liauw-tong itu sudah mencelat ke dalam Irimba, cuma suaranya masih terdcngar, katanya: “Tak dapat kita bicara dengan sepatah kata saja, di bclakang hari, kau akan mendapat tahu! Sckarang silakan cari kawanmu dahuluP

Lioe Loo-kauwsoe jadi bcrdiri tercengang. Ia sama sekali tak ketahui sikapnya jago Liauw-tong itu, yang lagi mcrantau untuk cari kawan, guna sekalian cari tahu perihal tujuannya dan perhubungannya dengan Teng Kiam Beng. sang soetee, yang di mata kaum Kang-ouw katanya telah bersahabat, atau berkenalan. dengan golongan pembesar negeri. Tok-koh It Hang telah ketahui hal Kiam Gim, tapi ia ingin membuktikan sendiri, terutama sejak undurkan diri ke Kho Kee Po, K-iam Gim sudah diamkan diri hingga orang tak dengar apa-apa perihal sepak-terjangnya.

Pertempuran barusan memang telah diatur, untuk mana, Tok-koh It Hang bekerja sama-sama dengan Tjiong Hay

Peng, dan temyata, daya-upaya itu bcrhasil membuat Lioe Kiam Gim muncul. Kiam Gim benar-benar tidak mengetti maksud orang. Tapi ia bisa berpikir, maka itu, bcrdiam belum lama, scgera ia buka ti ndakannya, akan menuju terus ke rumahnya Tjiong Hay Peng. Ketika sebentar kemudian ia tiba, ia sudah lantas loncat naik ke atas rumah, dengan llmu mengentengi tubuh, ia kitarkan rumah itu.

Malam itu, seluruh rumah Hay Peng ada gelap-gulita, kecuali dari kamar samping sebelah timur, ada molos sedikit cahaya api, ketika Kiam Gim menghampirkan ke situ, untuk melihatnya, ia tampak dalam lamar ada dinyalakan sebatang lilin besar dan satu orang asyik duduk di samping lilin itu. Dan orang itu bukan lain daripada tuan rumah sendiri.

“Kenapa sampai begini waktu dia masih belum juga tidur?” Kiam Gim menduga-duga. “Tapi inilah kcbctulan, aku hendak bicara sama ia, ia justcru berada sendirian….”

Meskipun ia berpikir demikian, Kiam Gim tidak lantas turun, akan ketemui sahabat itu, dan iapun tidak memanggil, atau berikan tanda perihal kedatangannya. Dengan hati-hati, ia cantelkan kakinya di payon, kemudian dengan menyedot napas terlebih dahulu, dengan tiba-tiba ia meniup ke arah lilin, hingga lilin itu padam seketika, hingga kamar jadi gclap- petang. Ia percaya, Hay Peng akan kaget karenanya. Akan tetapi, di luar sangkaannya, Hay Peng justeru tertawa berkakakan, seraya terus berkata: “Saudara Lioe, oh, kau baharu sampai?”

Dalam herannya, Kiam Gim pikir, orang rupanya asyik tunggui ia, maka itu, ia tidak mengerti, kenapa tuan rumah itu jadi demikian liehay, mengetahui kedatangannya. Ia tidak tahu bahwa In Tiong Kie, yang tadi tinggalkan mereka, sudah mendahului datang pada orang she Tjiong ini untuk berikan kisikan.

Sebentar saja, api lilin di dalam kamar, nyala pula. Kiam Gim tidak sia-siakan tempo akan loncat turun. Hay Peng muncul untuk sambut tetamunya ini.

“Saudara Lioe, aku memang sudah duga kau bakal segera kembali!” berkata jago Heng Ie Pay itu sambil bersenyum.

Kiam Gim membalas hormat.

“Bagaimana kau ketahui aku bakal datang pula?” ia tanya. Tjiong Hay Peng bersenyum.

“Marilah duduk,” mengundang ia, yang simpangi pertanyaan orang.

Kiam Gim terima itu undangan, maka berdua mereka ambil kursi.

“Dengan sebenarnya, soetee kau ada dicurigai oleh kaum Rimba Persilatan,” kata Hay Peng kemudian. “Melulu karena masih ada yang dipandang, orang jadi belum ambil tindakan. Tapi, Lioe Loo-enghiong, di mana soeteemu itu ada jadi gundal pembesar negeri, apa kau hendak bela dia dan ingin dapat pulang barang upeti yang dirampas itu?”

Keduamatanya orang she Lioe itu bersinar. Tapi ia masih cukup sabar.

“Saudara Tjiong,” berkata ia, “sudah dua puluh tahun lebih kita| orang tidak bertemu/tetapi kau hams ketahui, hatiku tidak pemah berubah! Apakah kau percaya aku kesudian jadi kaki-tangan pemerintah Boan, jadi gundal? Jangan kata aku sendiri, walaupun soeteeku, dia juga tak nanti, dia hanya gelap pikiran, dia seperti orang tolol!”

Lantas Kiam Gimjelaskan sifamya Kiam Beng, yang baik sama pembesar negeri karena adanya urusan dengan Keluarga Soh.

“Saudara Tjiong,” ia tegaskan, “umpama benar soeteeku itu menghamba pada pemerintah Boan, untuk hidup mewah saja, tidak nanti aku lakoni pcrjalanan ribuan lie ini ke Djiat-hoo!

Aku datang bukan untuk saudaraku itu, tetapi untuk kaum Kang-ouw sendiri, apabila kita orang sendiri bentrok, apakah itu tidak memalukan kaum kita?”

Hay Peng angkat kepalanya, ia pandang tetamunya. “Saudara Lioe, di sini bukan soal bentrokan melulu…”

katanya. Tapi Lioe Kiam Gim memegat: “Aku mengerti

kesembronoannya soeteeku, hingga ia terbitkan kecurigaannya kaum Rimba Persilatan, tetapi orang dengan kelakuan mirip soeteeku ini.

sekarang ini bukan dia saja scorang dm! Jikalau kita lancang curigai semua, apa ito bukannya berarti memperlemah tenaga sendiri?”

Hay Peng bcrbangkit.

“Saudara Lioe, kau bicara soal memperlemah tenaga sendiri!” ia bilang, sikapnya mendesak. “Bukankah kalau tenaga dipersatukan, itu besar faedahnya? Saudara Lioe, apa kau rnasih memikir untuk mcmulihkan dandanan kita| yang lama, untuk membangkitkan kita bangsa Han?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar