Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 03

 
Cepat sekali, Lioe Toanio sudah lari sampai di iuar rimba. Ia masih menduga-duga apa maksudnyajeritan musuh barusan. Selekasnyaberada di luar, dari mana ia bisa memandang ke rumahnya, ia kaget bukan main. Di sana asap menggulung naik, api telah berkobar, meskipun belum besar. Ia insyaf apa artinya itu, maka itu, matanya menjadi merah. Ingin ia bisa terbang, akan segera sampai di rumahnya, akan basmi musuh, guna lampiaskan kesengitannya.

“Tahan! Kau hendak lari kemana?” sekonyong-konyong suara membentak di depannya Lioe Toanio, seiagi ia berlari pulang. Suara itu ada suara dalam, dari seorang yang Toa Houw, dari belakang, teriaki: “Djieko, awas! Pegat itu perempuan busuk!”

Toanio gusar, tan pa buka suara lagi. ia maju membabat tangan musuh. Ia gunai “Hong hong tian tjie” atau “Burung hong pentang sayap”.

Musuh di depan itu, yang membentak, tidak gentar dengan itu babatan, hanya ketika golok mendatangi, tiba-tiba ia gcscr tubuhnya seraya tangannya bergcrak, tahu-tahu pedangnya dari atas membacok ke bawah, untuk menabas kutung lengannya si nyonya gagah.

Lioe Toanio tidak sangka musuh ada demikian liehay, ia lekas tarik pulang goloknya, tidak urung kedua senjata telah beradu keras, sampai si nyonya limbung! Baiknya ia cerdik, segera ia terusi, akan lompat jauh, sampai setumbak lebih. Adalah di sini, scmbari putar tubuh dan goloknya di depan dada, ia lantas mengawasi musuh itu.

“Eh, Djieko, kenapa tidak segera turun tangan?” menegur Lo Toa Houw, yang sudah lantas sampai di dekat orang yang mencoba rintangi Lioe Toanio itu.

Itu waktu Lauw In Giok sudah bisa lihat tegas orang ini. yang bersenjatakan sebatang pedang panjang la tadinya menyangka pada Lo Djie Houw, sebab orang toh dibahasakan “djieko”, tidak tahunya, orang ini ada seorang tua yang tubuhnya jangkung dan kurus sedang sepasang matanya ada bersorot tajam, dengan mata itu ia diawasi. Ia lantas mengerti, ia bukan lagi hadapi orang sebangsa Persaudaraan Lo itu. Orang tua itu hunjuk sikap jumawa, waktu Lo Toa Houw dekati dia, dia suruh jago she Lo itu mundur, begitupun semua kawannya dia ini. “Melawan mi perempuan busuk, kenapa mesa’ pakai banyak orang?” demikian suaranya, yang katak. “Mundur! Mundur”

Mukanya Lo Toa Houw menjadi merah, satu tanda ia ada mendongkol, tetapi scpcrti orang di bawah pengaruh, ia terpaksa mundur, bersama orang-orangnya, ia berdin diam saja, mengawasi ke depan.

Orang tua ini adalah orang yang sarankan akan pancing keluar pada Lioe Toanio sambil berbarengdi lain pihak satroni orang punya rumah. Kalau Lo Toa Houw ada jadi pahlawan keraton peristirahatan kaisar di Sin-tek, Sin-tek Lie-kiohg, dia adalah pahlawan istimewa dari Keraton Kerajaan Tjeng.

Sekarang tak dapat Lioe Toanio menahan sabar, sebagai jago betina dari Ban Seng Boen, ia merasa terhina oleh sikap musuh tidak dikenal itu. dari itu, tanpa ayal lagi, malah dengan tidak mengucap suatu apa, ia segera maju menyerang dengan golok Toan-boen-toonya.

Musuh itu benar-benar liehay. Dengan tenang, tetapi dengan sungguh-sungguh, ia menangkis serangan.

Pedangnya, dengan berat tetapi sebat, mengelakkan sesuatu bacokan atau babatan. Dengan caranya ini, ia bikin golok lawannya jadi tidak berdaya.

Lioe Toanio menjadi sibuk kapan ia dapat kenyataan musuh tak dapat didesak. jangan kata dikalahkan. terutama karena dia sudah mulai lelah. Justcru itu, musuh pun menukar siasat. Berbareng dengan satu seruan. orang tua itu mulai dengan rangsekannya, pedangnya mainkan ilmu “Tat Mo Kiam-hoat” dari Siong Yang Pay. Serangannya itu adalah yang dibilang hebat bagaikan turunnya hujan besar. Dan sesuatu tusukan senantiasa mengarah bahagian anggota-anggota yang berbahaya!

Sebenamya, kepandaian antara dua musuh ini tidak beda seberapa, hanya yang hebat bagi Lauw In Giok adalah dia sudah letih; sesudah gagal dengan desakannya, ia sekarang dibikin repot dengan rangsekan musuh. Sudah terang, musuh ini menggunai siasat yang bermula ia kasih dirinya didesak dan baharu sekarang ia lakukan serangan membalas Dalam ancaman lawan itu, Lioe Toanio berlaku nekat. Selagi terdesak, dengan tiba-tiba ia gunai serangan “Koay niauw hoa in” atau “Burung ajaib membalik mega”. Ia putar goloknya dan membabat.

Sang lawan lagi mainkan tipu tikaman “Loo souw hie kirn” atau “Orang tua mcncntcng kirn” kctika si Nyonya Lioe menyerang secara dcmikian mendadak dan hebat, ia tetap tenang, dengan sabar ia mundur, pcdangnya yang panjang dipakai merapati golok musuh, scsudah mana, dengan tipu. silat “Soen soei twie tjouw” atau “Menolak pcrahu dengan ikuti aliran air”, pcdangnya itu ia serodoti maju, untuk ujungnya yang tajam menikam tenggorokan lawan! Lioe Toanio insyaf pada bahaya, hatinya terkesiap, cepat sekali, ia mencelat mundur dua tindak, bcrbareng dengan mana, tangannya yang mencekal golok, terayun, hingga segeraiah nienyusui mclesatnya golok itu. Sebab ia telab berlaku nekat, ia menyambit musuh dengan golok!

Musuh tua itu kelihatan terkejut, matanya bersinar, akan tetapi dia pun bisa lompat mundur dengan tidak kurang gesitnya, hingga akhirnya, golok cuma lewat di atas pundaknya, hingga ia luput dari bahaya. Tapi ia mendongkol karena serangan yang hebat itu, ia segera balas menyerang dengen beberapa biji senjata rahasianya Tok-tjie-leeyang beracun. Ketika tadi ia habis menyerang,

Lauw In Giok telah tcrusi loncat pu la, dari itu, ia jadi telah pisahkan diri enam-tujuh tumbak dari musuh itu, maka sekarang, melihat datangnya serangan gelap, ia dapat ketika untuk egos tubuh, ke kiri dan kanan, akan elakkan sesuatu senjata rahasia itu; walaupun ia sudah lelah, ia masih dapat hindarkan diri dari bahaya maut. Lo Toa Houw sementara itu jadi berada dekat dengan nyonya ini, sadari tadi ia memang nonton saja, maka sekarang, melihat ada ketikanya, dengan sekonyong-konyong ia loncat pada nyonya itu sambil teruskan menyerang dengan tumbaknya, hanya sekarang ia pakai tipu pukulan toya “Houw-bwee-koen” atau “Ekor Harimau”. Tipu pukulan ini, kecuali menikam, pun bisa mengetok jalan dengan t iam-h iat, totokan jalan darah. Bukan kepalang kagetnya Lioe Toanio, ia tak dapat berkelit lagi, maka untuk tolong diri, ia pertahankan ambekannya, ia menahan napas. Ia tidak kena tertikam tetapi ia telah terbentur, dengan sendirinya, ia lantas merasai tubuhnya jadi sedikit gemetaran dan beku….

Puas sekali hatinya Lo Toa Houw dengan hasilnya itu, dari itu ia segera maju pula, untuk ulangi serangannya selagi si nyonya sudah tidak berdaya j itu. Satu kali saja ia dapat menikam, akan habislah lelakon hidupnya jago perempuan itu.

. Dalam saat berbahaya bagi Lauw In Giok itu, tiba-tiba satu bayangan loncat melesat dari samping. Rupanya bayangan itu datang dari tegalan, tetapi tanpa ketahuan. Bayangan itu melesat bagaikan burung, enteng dan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah sampai pada si orang she Lo, selagi ia lewati si nyonya, tangannya menyambar kepala orang.

Lo Toa Houw tertegun, ia gelagapan, tanpa merasa lagi, ia rubuh terguling!

“Oh, Anak, kiranya kau!” demikian teriakannya Lioe Toanio, yang heran berbareng girang ketika ia telah lihat rupanya bayangan itu, yang menjadi tuan penolongnya. Ia menjadi berdiri tercengang, hingga ia lupa bahwa ia seharusnya lekas pulang, untuk tengok rumahnya.

Tidaklah aneh jikalau Nyonya Lioe Kiam Gim menjadi bagaikan dipagut ular itu. Orang yang tolong dia adalah orang yang dia tidak pernah sangka-sangka. sebab ia ini adalah or•ang yang sudah meninggalkan rumahnya hampir sepuluh tahun lamanya, yang kabarnya sudah pergi ke Liau w-tong dan kemudian tidak ada kabar ceritanya lagi – ialah murid kepala dari Lioe Kiam Gim – murid yang diterima di Poo-teng pada lebih daripada dua puluh tahun yang lalu. Yaitu Law Boe Wie! Dengan terbitkan satu suara nyaring, Law Boe Wie hunus pedang panjangnya, yang bersinar laksana perak, lalu dengan pedangnya itu, ia menuding pada musuhnya.

“Soenio, beberapa ekor anak kelinci ini serahkanlah kepada muridmu! Silakan Soenio pulang lebih dahulu!” katanya pada isteri gurunya yang berbareng pun menjadi gurunya.

Kemudian ia sontek tumbaknya Lo Toa Houw dengan kakinya, hingga tumbak itu mencelat pada sang soenio, siapa sambut itu dengan gapah. Hingga sekarang nyonya ini jadi dapatkan ganti dari golokknya, yang tadi ia pakai menyambit musuhnya, si orang tua yang iiehay.

Baharu sekarang Lioe Toanio dapat pulang ketabahannya, sedang tubuhnya pun sudah tidak sesemutan lagi.

“Muridku, kau hati-hati!” ia segera pesan.

” Jangan kuatir, Soenio,” sahut sang murid sambil tertawa. Nyonya guru itu lantas putar tubuhnya, untuk pergi.

Sementara itu, kedatangannya or•ang Ssing ini telah membuat musuh jadi tercengang, tetapi selagi sang murid dan soenionya bicara, Lo Ngo Houw sudah berlompat kepada kandanya Toa Houw, apabila ia sudah tengok kanda itu, ia kaget hingga ia keluarkan jeritan.

Toa Houw rebah sebagai mayat, batok kepalanya pecah remuk, darahnya melulahan!

Sakit rasa hatinya Ngo Houw, tapi ia segera geraki goloknya, ia niat rintangi Lioe Toanio, akan tetapi Law Boe Wie mendahului menangkis goloknya, hingga mau atau tidak, ia mesti layani ini “bayangan” yang tangguh.

Di antara saudara-saudaranya, Ngo Houw ada yang terlemah, sudah begitu, ia pun sedang terluka, dari itu, sebelum si orang tua sempat datang padanya, baharu dua gebrak, pedangnya Boe Wie sudah sampok tcrpcntal goloknya dan kakinya “bayangan” ini sudah menyapu patah berisnya hingga ia rubuh sambil keluarkan jeritan hebat dan mcngenkan, sekctika juga, ia pingsan! Lioe Toanio masih sempat saksikan itu pertempuran yang hebat tetapi sekejaban saja, bukan main kagum dan girangnya akan muridnya itu, maka dengan bawa tumbaknya, ia tcrus berlalu dengan had lcga sekal i. Hanya ia mesti pulang dengan bcrlari-lari lekas, karena ia lihat, asap sudah mulai mengepul tebal dan api lagi mulai bcrkobar…. •

Sampai di situ, majulah si orang tua, malah dengan satu tikamannya. Law Boe Wie tangkis itu serangan, dengan keras sekali, hingga kedua senjata beradu dengan hebat, hingga menerbitkan suara nyaring sekali, lelatu api sampai muncrat meletik. ‘ Berhubung dengan itu, si orang tua mundur duatindak, ia rasai telapakan tangannyasakit. Di lain pihak, lawan yang baharu itu berdiri tegak dihadapannya. Tapi ia tidak jadi jerih, ia malah lantas menuding.

“Mendengar suaramu,” berkata ia, “kau adalah muridnya Lioe Kiam Gim. Sekalipun soeniomu bukan tandinganku, maka perlu apa kau banyak tingkah di sini? Baik kau angkat kaki siang-siang! Kita datang untuk menuntut balas, kau tidak punya urusan di sini! Pergi ambil jalanmu yang lurus, kita tidak akan ganggu kau!”

Boe Wie tidak gubris kata-katanya orang itu, ia mengawasi dengan tajam.

“Eh, kau kiranya pandai menimpuk dengan Tok-tjie-lee!” katanya, dengan mcngejek. “Kau bisa mainkan Tat Mo Kiam- hoat! Malah kau pun pandai menggunai beberapa jurus ilmu pedang Heng Ie Pay asal curian! Hm! Kau sangka aku .tidak kenal kau? Jangan harap aku nanti angkat kaki siang-siang! Malah kau, apabila kau hendak berlalu, aku tidak akan izinkan!”

Melihat romannya atau usia, dan duduknya hal, pula melihat gerak-gerakan tangan orang itu, muridnya Lioe Kauwsoe ini segera menduga pada orang yang dulu gurunya cari tetapi tak dapat diketemukan. Maka itu, cara bagaimana ia hendak gampang-gampang kasih lolos orang ini?

Orang tua itu tidak hendak banyafc omong pula, ia lompat maju dengan serangannya. Ia pun telah menduga-duga, siapa orang ini, karena Lo Soe Houw pemah omong tentang seorang dengan roman sebagai dia ini, yang merintangi pihak mereka selama pertempuran di muka muara. Ia insyaf bahwa orang ini pandai silat dan berenang, buktinya ia saksikan barusan saja – nasibnya Toa Houw dan Ngo Houw. Ia heran, bagaimana Lioe Kiam Gim mcmpunyai murid liehay begini. Ia belum pernah menempur Kiam Gim sendiri, hanya pernah layani Teng Kiam Beng, soetee dari Kiam Gim, dan sekarang, ia dapati “bayangan” ini tak di bawahnyaTeng Kiam Beng itu. Tapi Boe Kek Kiam-hoatnya belum pernah ketemu tandingannya, ia hendak coba ilmu pedangnya itu akan layani si kepala bagaikan kepala macan tutul ini.

Pertarungan sudah lantas ambil tempat.

Orang tua itu mengerti musuh ada liehay dan tenaganya bcsar, ia segera hunjuk kepesatan tubuhnya dan kegesitan main pedangnya. Ia lompat ke kiri dan ke kanan, ia menikam atau menyabet, gerakannya bagaikan kilat berkelebat Sama sekali ia tidak kasih ketika akan pedangnya kebentrok pedang musuh itu.

Pertempuran telah berjalan sekian lama, tidak perduli si orang tua hunjuk kdiehayannya, ia sama sekali tak dapat desak Law Boe Wie, siapa telah perlihatkan kepandaian seperti mengikuti kebisaan orang. Boe Wie gunai beberapa macam ilmu pukulan yang luarbiasa, yang berbedaan sadari lain, tetapi dasarnya tetap ada Thay-kek-koen (yang pun disebut Bian-koen – lemas tetapi ulet dan keras). Berselang lagi sekian lama. walaupun ia belum terdesak, si orang tua sudah mulai bernapas sengal-sengal, keringatnya sudah mulai mengalir, jtdatnya basah paling dulu. Ia mengerti bahwa ia terancam bahaya. maka itu, lekas ia ben tanda kepada Ong Tjay Wat supaya kawan itu membantunya. Sekarang ia tidak lagi jumawa, dan ia pun lepaskan janjinya tadi bahwa orang mesti bertempur satu sama satu, tidak boleh main keroyok.

Ong Tjay Wat telah rasai desakan goloknya Lioe Toanio, nyalinya telah menjadi ciut, sampai itu waktu, ia masih belum cukup beristirahat, sekarang ia saksikan liehaynya orang tidak dikenal itu, ia jerih bukan main, tetapi si orang tua sudah berikan tanda, dengan terpaksa ia maju juga, hanya ia berkelahi dengan lebih banyak membela diri. Ia sudah pikir, begitu lekas orang tua itu keok. ia akan mendahului angkat langkah panjang! Demikianlah pikirannya Ong Tjay Wat Apalagi kedua kawannya, malah mereka ini sengaja berpura- pura tidak lihat tandanya si orang tua, mereka berdiri diam saja di kejauhan. Mereka pun pikir, asal si orang tua kalah. mereka akan kabur. Melainkan yang satu menyiapkan beberapa potong senjata rahasia Thie-Kan-tjie, untuk dipakai membarengi menyerang andai kata orang tua itu peroleh kemenangan!

Law Boe Wie tidak gentar melihat Ong Tjay Wat datang mengepungnya, sebaliknya, ia geraki pedangnya dengan terlebih sebat dan keras. Di sebelah itu, tangannya yang kirij’eriji tengah dan jeriji manisnya, senantiasa turut main juea. akan cari jalan darah untuk ditotok. Dua jarinya ini malah terlebih liehay daripada pedangnya yang tajam itu.

Sebentar saja Boe Wie telah mengcrti bahwa Tjay Wat jerih dan licik, oleh karena itu, ia lebih banyak pusatkan pcrhatiannya kepada si or•ang tua.

Kembali iewat beberapa jurus, sampai di sini, si orang tua mesti ambil putusan bukan untuk rubuhkan musuh atau nekat. hanya guna ulur kedua kaki panjangnya. Ia insyaf, berkclahi lebih jauh tidak menguntungkan, babkan bakal mencelakai dirinya. Ia anggap, angkat kaki paling selamat.

Law Boe Wie lihat orang hendak tinggalkan, ia tidak mau mengerti, selagi orang putar tubuh untuk menyingkir, ia barengi menyerang, kakinya berlompat, pedangnya menikam. Itu adalah gerakan “Liong tjoa tjie tjauw” atau “Naga dan ular lari berbareng”. Ujung pedang sudah lantas menghampirkan batok kepala musuh.

Si orang tua lihat ancaman bahaya itu, dengan sangat terpaksa putar tubuh, ia menangkis, maka tak dapat dicegah pula yang kedua senjata jadi bcradu, hingga terdcngar suara yang nyaring.

Begitu lekas kedua senjata kebentur satu dengan lain, Law Boe Wie segera putar ugel-ugclan tangannya sambil menarik ke samping, menyusul mana pedang panjang dari lawan jadi terlepas dari cekalan dan terpental. Tapi ia tidak berhenti sampai di situ. Ia pun merangsek, dua jari tangan kirinya disodorkan bagaikan kilat berkelebat.

Si orang tua terkejut karena pedangnya terlepas dan terlempar, selagi ia belum sadar apa yang bakal tcrjadi terlebih jauh, dua jari musuh sudah mengenai samping iganya, tak sampai ia menjcrit, tubuhnya lantas sempoyongan.

Boe Wie masih belum mau berhenti, ia maju pula, akan susul tubuh musuh itu, yang ia segera jambak dengan tangan kirinya scsudah mana, ia angkat tubuh orang itu!

Orang tua jangkung kurus itu tetap tidak bcrsuara, iapun tidak berdaya, karena ia sudah kena ditotok jalan darahnya”Hoen-hian-hiat”, hingga ia jadi min’p dengan satu mayat, apabila ia tak segera ditolong, dalam tempo enam jam baharu ia bisa sadar sendiri. 

Di pihak orang tua ini, dua kawannya yang “memasang mata”, sudah lantas ambil langkah seribu, begitu lekas mereka lihat jagonya itu memutar tubuh, sedang Ong Tjay Wat, yang semangatnya seperti terbang karena menyaksikan cabang atasnya itu mati kutunya, pun angkat kaki tanpa ayal-ayalan lagi. Law Boe Wie lihat orang lad, ia tidak hendak mengejar, karena ia tahu, dengan itu jalan ia bakal sia-siakan tempo. Ia percaya, Tjay Wat itu bisa lari keras, sukar untuk ia dapat mcncandak dalam sedetik. Maka ia rogoh sakunya dan keluarkan dua potong pisau belati kecil – tidak ada lima dim panjangnya – yang ia lekas pakai menimpuk, kemudian samar-samar ia dengar jeritannya musuh itu, siapa rupanya terluka tidak hebat, sebab dia masih bisa lari terus ke dalam tempat lebat.

Sampai di sini, medan pertempuran itu jadi sunyi-senyap, langit pun guram, sedang angin adalah angin dingin yang halus sambarannya.

Law Boe Wie bersenyum puas, akan tetapi ia tidak dapat berdiam lama di situ. Ia lihat cahaya api di arah rumah gurunya, itu ada tanda bahaya untuknya. Ia pun menduga- duga, soebonya sudah berhasil atau belum dalam menolong rumahnya itu. Maka ia perlu membantu terlebih jauh. Tapi ia masih cekali si orang tua. Bisakah ia berlari-lari dengan bawa- bawa musuh itu? Ia bersangsi sesaat, lantas ia turunkan tubuhnya musuh itu, dikasih berdiri, lalu tangan kanannya merogoh ke dalam sakunya si orang tua. Ia ambil entah barang apa, yang ia sesapkan ke dalam sakunya sendiri.

Sesudah ini segera ia lari ke arah rumah gurunya. Benarlah dugaannya, sang soebo, bersama soemoaynya, masih belum lolos dari mara bahaya….

Sementara itu, siapakah si orang yang liehay itu? Dia adalah pemegang peranan pada kejadian dua puluh tahun yang lampau, ketika Teng Kiam Beng kena dipancing datang ke gedung Soh Sian Ie. Si pemancing menyamar sebagai dua tjay-hoa-tjat, penjahat cabul, yang memakai topeng, hingga orang she Teng itu kena terjebak, hingga karenanya, Kiam Beng jadi bentrok sama Tjiong Hay Peng, sampai ia pun berpisah dari soehengnya. Seperti sudah dijelaskan di sebelah atas, dia ada pahlawan dari Raja Boan. Dia adalah Bong Eng Tjin, sedang kawannya yang bersenjatakan Poan-koan-pit, ada Ouw It Gok. Kebisaannya beberapa jurus ilmu pedang Heng Ie Pay ada hasil curiam, dia sendiri sebenarnya ada murid yang murtad dari Thio Tjeng Kie, tjiang-boen-djin atau ahli waris turunan ketiga dari Siong Yang Pay.

Barang-barang upeti yang dilindungi Teng Kiam Beng bukannya dibegal oleh kawanan Bong Eng Tjin, melainkan pcrbuatannya orang tain, tetapi kawanan ini punya rencana lain. Tugas mereka adalah mencegah Lioe Kiam Gim datang ke Utara, untuk bantu saudaranya, agar jago she Lioe ini tidak mcrusak maksud mereka memecah-belah kaum Rimba Persilatan. Demikian mereka Sudan datang mengacau, atau mengganggu, Keluarga Lioe, dcngan caranya yang licik tapi hebat:

Jikalau di dalam rimba yanghoe sudah terjadi suatu pertarungan yang dahsyat, di rumah Keluarga Lioe sendiri sudah lerjadi pertempuran yang tidak kurang hebatnya, dan kalau pertarungan di dalam rimba selcsai dengan cepat, adalah di rumah itu masih bcrlaku sampai sekian lama lagi. Bong Eng Tjin sudah atur rencana penycrangannya secara begini:

la pecah rombongannya menjadi dua. Lebih dahulu daripada itu, ia kirim surat undangan akan menantang berkelahi satu dengan satu, secara or-ang-orang terhormat. Rombongan yang pertama adalah yang melakukan pertandmgan di rimba yanglioe, yang kedua adalah yang satroni rumahnya Lioe Kiam Gim. Kecuali Lioe Toanio, ia pandang tak mata juga murid-muridnya, dari itu ia sendiri pimpin Qng Tjay Wat. Lo Toa Houw dan Lo Ngo Houw serta dua kawan lagi, dan Lo Djie Houw serta Lo Soe Houw pimpin beberapa kawan pula. Tapi rencananya ini justeru menolong Yo Tjin Kong.

Malam itu, seperti diketahui, yang berdiam di rumah Lioe Kiam Gim ada sang puteri sendiri, Bong Tiap, bersama sang keponakan, Lauw Hie Hong,dan kedua murid, YoTjin Kong danTjoh Ham Eng. Ketikaitu,mereka mempunyai masing- masing pikirannya sendiri. Hie Hong diminta bantuannya oleh bibinya, ia tahu, ia mesti tanggung jawab atas keselamatan keluarga bibinya itu.

Bagaimana bila ia gagal? YoTjin Kong sibuk sendirinya, iapun berkuatir.

Toa-soeheng mereka tidak ada, maka itu, iapun bertanggung jawab. Biar Hie Hong ada sanak dekat, ia sendiri ada wakil murid kepala, ia tidak dapat bebaskan diri. Hie Hong pun bukannya murid Kaum Thay Kek.

Bong Tiap sebaliknya ada bergembira, ia bersemangat, ia hanya merasa tegang sendiri kapan ia ingat, bahwa ini ada pertempurannya yang pertama kali.

Ham Eng juga bersemangat, hanya di sebelah itu, ia pikiri sang soemoay, ia kuatir soemoay ini nanti terluka atau kena diculik….

Cuma satu perasaan ada pada empat anak muda ini, ialah mereka mesti siap akan nantikan serangan “badai dan hujan lebat”, karena mana, mereka lalu berdamai akan atur penjagaan, di atas genteng dan di dalam rumah. Untuk menjaga genteng, Tjin Kong dan Hie Hong saling berebut, tapi akhirnya, si orang she Yo yang naik ke atas, karena ia kemukakan alasan: “Urusan Kaum Thay Kek mesti murid- murid Thay Kek Pay sendiri yang menanggung jawabnya, dari itu, Saudara Lauw, kau baik menjaga di dalam rumah saja.” Hie Hong akhirnya mengalah, tetapi ia tidak puas, dalam hatinya, ia kata: “Oh, kau bicara tentang kaum! Apakah kau sangka aku Kaum Ban Seng Boen tidak sanggup menempuh badai dan gelombang?”

Seberangkatnya Lioe Toanio, empat anak muda itu lantas mulai dengan penjagaan mereka. Mereka pasang mata dan kuping, sedikit saja suara berkelisik menyebabkan mereka bersiap. Mereka mesti menanti lama juga, akhir-akhirnya musuh telah datang! Mereka itu muncul hampir bareng temponya dengan dikepungnya Lioe Toanio di dalam rimba.

Yang muncul paling pertama ada Lo Soe Houw, Harimau Keempat dari Persaudaraan Lo. Ia datang dari bclakang, terus saja ia loncat naik ke atas genteng, ketika Yo Tjin Kong ketahui datangnya, ia sudah beradadi belakangnya pemuda ini.

“Musuh datang!” Tjin Kong segera beri tanda, dengan suitan dan teriakannya, setelah mana, ia tidak sempat buka mulutnya lebih jauh. Soe Houw sudah lantas menerjang dengan sepasang tempulingnya, Ngo-bie Hoen-tjoei-tjie.

Menurut rencana, Tjin Kong mesti lekas turun, akan bersatu dengan . soemoaynya sekalian, tetapi sekarang, ia tidak bisa jalankan rencana itu. Di luar sangkaan, lagi beberapa orang, turut loncat naik; sedang Soe Houw merintanginya, dari itu, ia mesti lawan musuh itu, terutama Soe Houw sendiri, yang mendahului serang ia.

Senjata Soe Houw, yang sesuatunya bercagak figa, mirip dengan sha-tjee, semua ujungnya sangat tajam. Biasanya senjata Ini dipakai di dalam air, tetapi si Harimau Keempat bisa pakai itu di dalam air dan di darat. Sulit untuk Tjin Kong lawan musuh she Lo itu, tidak perduli ia sudah wariskan enam sampai tujuh bagian kepandaian gurunya, karena di sebelah kurang pengalaman pertempuran, ia juga tidak kenai gegaman musuh itu. Dari itu, setelah beberapa gebrakan, ia melainkan bisa gunai kepandaiannya mainkan pedang untuk lebih banyak bela diri.

Sedangkan Tjin Kong sibuk, satu bayangan lain mencelat naik, tapi bayangan ini segera perdengarkan suaranya: “Saudara Yo, jangan takut! Siauwtee nanti bantu kau!”

Itulah Lauw Hie Hong dengan goloknya Toan-boen-too. Sembari berkelahi, Tjin Kong kerutkan alis. Tak puas ia atas datangnya sahabat ini. Ia duga Hie Hong datang tentu disebabkan orang she Lauw ini sangka ia jerih karena tadi ia berteriak dengan pertandaannya. Tapi datangnya sahabat ini, ia duga, Hie Hong datang tentu disebabkan itu dugaan, ia hanya ingin menunjukkan ilmu silatnya Kaum Ban Seng Boen. la tidak senang tadi Tjin Kong menyebut-nyebut golongan, sedang ia sendiri anggap, Thay Kek Pay dan Ban Seng Boen ada seperti segolongan saja Atas datangnya bala bantuan itu, Tjin Kongtidak bilangsuatuapa, Hie Hong sendiri, sebaliknya tidak dapat membantuorangshe Yo itu, karenaia segeradiserbu oleh duakawannya Soe Houw, kawan siapa ada lima, sedang yang tiga lagi, terus loncat turun ke bawah genteng.

Dari tiga musuh yang loncat turun ini, yang satu ada muridnya Bong Eng Tjin, yang dua ada murid-muridnya Lo Toa Houw, kepandaian mereka tidak lemah. Ketika mereka sampai di bawah, mereka lantas diserang oleh Lioe Bong Tiap dan Tjoh Ham Eng, yang sudah siap sedia di saat mendengar pertandaan dari Yo Tjin Kong.

Tandingan dari Bong Tiap ada seorang dengan tubuh besar dan tinggi melebihi si nona. Sesudah bebcrapa jurus, nona ini jadi gembira. Nyata ia tak kena didesak “musuh yang dari tubuhnya bukan tandingannya. Maka itu, ia lantas saja pikir untuk lekas rubuhkan musuhnya itu. la segera mendesak.

Ilmu silat pedang dari Thay Kek Pay berpokok dengan ketenangan, atau lebih tegas: “Musuh diam, kita diam; musuh bergerak, kita mendahuluinya”. Kalau orang hendak mendahului bergerak, ia sudah mesti pandai betul. Tidak demikian dengan Nona Lioe ini. la belum mengatasi kesempurnaan, sekarang ia bergerak terlebih dahulu, maka ia dengan sendirmya hunjuk kelemahan terhadap musuh.

Dengan “Kie hoh liauw thian”, atau “Mengangkat api untuk menyuluhi langit”, Bong Tiap hendak tikam tenggorokan orang. Justeru itu waktu, sang lawan lagi siapkan ‘Teng yang tjiam”, atau “Jarum pedoman”. Dari Tat Mo ICiam-hoat dari Siong Yang Pay, maka ia telah bersiap untuk menyambut tikaman. Ketika ujung pedang mendatangi, ia mundur satu tindak, kaki kirinya dikesampingkan, berbareng dengan itu, tangan kanannya – ialah pedangnya -menyambar ke kuping kanan orang itu.

Tidak ada ketika atau jalan lagi, untuk Bong Tiap menangk i s, terpaksa ia mundur dengan gugup. Selagi ia mundur, kaki kiri musuh sudah icrangkat, ujung kakinya segera mengenai dengkulnya, atas mana, tidak ampun lagi, nona itu kena terdupak terpental sampai lima-enam tindak dan rubuh dengan terbanting keras, sambil menerbitkan suara juga.

Lawan itu tidak berhenti sampai di situ saja, menampak musuh rubuh, ia lompat maju, untuk susuli penyerangannya terlebih jauh, tetapi belum sampai ia menyerang, beberapa Kim-tjhie-piauw, dengan berkeredepan, telah menyambarnya. Sebab Nona Lioe itu, walaupun dia sudah jatuh, masih dapat kesempatan menimpuk dengan senjata rahasianya itu, yang ia siapkan dengan cepat.

Sambil keluarkan seruan kaget, musuh itu loncat mundur pula.

Serangan piauw dari jarak dekat, kepandaiannya Bong Tiap sudah boleh juga, akan tetapi musuh ini bukan orang sembarangan. Dengan “Tjay hong sie ek”, atau “Burung hong mementang sayap”, ia menangkis ke kiri dan kanan, ia sampok jatuh dua batang piauw, hanya apa celaka, senjata rahasia itu datang di tiga jurusan, selagi ia berlompat, piauw yang ketigajusteru mengenai pahanya, hingga ia perdengarkan seruannya babna kaget dan sakit, karena ia terluka, tetapi karena ia ada tangguh, ia mclainkan sempoyongan saja, tidak sampai ia rubuh.

Selama itu, Tjoh Ham Eng sibuk bukan main,’selagi ia mesti lay an i dua musuh, ia kuatirkan soemoaynya, ketika melihat Bong Tiap rubuh, ia kaget sampai berseru, berbareng dengan mana, ia berlompat mundur, niatnya untuk tolongi adik seperguruannya. Tapi kedua lawannya mencegahnya, keduanya menghalangi, menyerang dengan berbareng: yang satu dengan ruyung lemasnya, Djoan-pian, yang lain dengan toya besinya, mereka datang dari kiri dan kanan. Ham Eng mesti bela diri, ia menangkis dengan cepat tetapi, hampir- hampir pedangnya kena dilibat dan disampok terlepas oleh ruyung musuh.

Dalam saat berbahaya itu dari Bong Tiap dan Ham Eng, dari atas genteng ada berlompat turun beberapa

bayangan, yang saling menyusul, semuanya memburuh ke dalam rumah. Yang pertama ada Hie Hong, yang kedua, Tjin Kong, dan yang ketiga, Lo Soe Houw. Di belakangnya hari mau ini ada konco-konconya.

Di atas genteng barusan, kedua musuh yang rintangi Hie Hong bukannya orang-orang liehay, mereka ada sebawahan Soe Houw, dari itu,| orang she Lauw itu bisa desak mereka, sesudah mana, Hie Hong loncat pada Tjin Kong, untuk serang musuhnya dia ini. Atas ini, Soe Houw lompat mundur, hingga karenanya Tjin Kong jadi terlepas dari kepungan.

“Saudara Lauw, turun, turun!” Tjin Kong lalu serukan kawannya. “Paling perlu adalah melindungi soemoay! Kenapa kau tinggalkan dia?”

“Ah, kau tidak kenal budi!” pikir Hie Hong, yang tidak puas akan sikap orang itu. Akan tetapi Tjin Kong omong dari hal yang benar. Dua kawannya di bawah adalah orang-or•ang dengan usia terlalu muda, sedang Bong Tiap ada adik misannya — piauw-moay – kalau adik itu bercelaka, bagaimana nanti iabertemu sama bibinya? Maka itu, dengan tidak bilang suatu apa, ia pergi loncat turun.

Begitu lekas sudah datang defeat. Hie Hong gunai goloknya akan serang musuh yang bersenjatakan Djoan-pian. Musuh itu benar-benar liehay. ketika golok Toan-boen-too menyambar, ia tidak kelit, hanya ia rintangi itu dengan ruyungnya yang lemas, ia melibat. la bersenjatakan panjang, musuh pendek, ia menangdi atas angin. Dengan sebat, ia menarik, ia hendak bikin goloknya Hie Hong terbetot tcrlepas, orangnya nibuh.

Lauw Hie Hong ada keluaran Ban Seng Bocn, ia punyakan pelajaran Iwee-kang dan gwakang dengan berbareng. terutama gwakang, hingga tenaganya besar sekali, maka itu, kuda-kudanya tangguh. Ia telah lihat sikapnya musuh, ia lalu gunai akal. Demikian, ia sengaja antap goloknya kena dilibat, selagi ia berdiri tcgar. ia tunggu musuh betot ia, ketika ia tampak tangan dan kaki musuh bcrgerak, ia lalu mcndahului membctot dengan keras.

Musuh tidak sangka gerakan macam ini dari lawannya, kuda-kudanya digempur, ia kena tertarik hingga ia sempoyongan dan ngusruk ke depan lawan, dari itu Hie Hong bisa gunai ketikanya akan hajar pundak orang dengan belakang golok. “Aduh!* musuh itu menjerit, ruyungnya teriepas, tubuhnya rubuh, ia pingsan.

Adalah di waktu itu, Tjin Kong dan See Houw serta dua kawannya dia ini, loncat turun, akan menyusul. Maka bersama-sama Tjin Kong, Hie Hong persatukandiri dengan Ham Eng dan Bong Tiap. Mereka mundur ke tembok, untuk pertahankan diri di situ. Ini ada rencana mereka apabila mereka terdesak.

Lawannya Bong Tiap, yang terluka piauw, telah maju pula, akan tetapi Tjin Kong desak ia, selagi ia repot kclabakan, Ham Eng dupak ia rubuh sampai bergelindingan beberapa tindak.

Tjin Kong ada berempat, senjata mereka ada tiga pedang panjang dan sebuah golok.

Di sebelah itu, asal ada ketika Bong Tiap pun gunai senjata rahasianya.

Penyerang ada berjumlah lebih besar, akan tetapi mereka tidak sanggup berbuat banyak, terutama sebab rumahnya sempit, hingga mereka tak dapat bcrgerak dengan leluasa. Akan tetapi mereka ini bukannya bangsa tolol, dari itu, mereka lantas mencari akal. Begitulah satu musuh lari, ke belakang, di sana mereka nyalakan api, untuk membakar rumah, hingga di lain saat, api mulai berkobar, asap lantas mengebul. Dengan ini jalan, mereka pun hendak paksa penghuni rumah noblos keluar, supaya mereka bisa kepung dia orang itu.

Ini daya keji telah memberi hasil.

Tatkala asap menghembus ke dalam, orang mulai batuk- batuk, air mata meleleh keluar, sukar untuk membuka mata dengan merdeka.

“Oh, kawanan terkutuk!” Yo Tjin Kong mendamprat saking mendongkolnya. “Janji adalah satu pertempuran secara laki- laki, kenapa sekarang kau orang berkawan dan turunkan ini tangan jahat? Manusia-manusia tak punya muka!”

Lo Soe Houw sambut dampratan itu dengan tertawaaya bergelak-geiak.

“Bocah, api belum berkobar besar, kenapa kau sudah panas terlebih dahulu?” ia mcmbaliki. “Kau sabar saja, tunggu lagi sebentar, nanti ada yang layani kau satu sama satu! Kita tidak kuatir kau nanti bisa kabur!”

“Itulah tak akan terjadi!” demikian dengan sekonyong- konyong terdengar suara jawaban – suaranya seorang perempuan tetapi cukup angker. “Di sini masih ada aku! Aku tidak akan membiarkan kau orang kecele, sahabat-sahabat baik!”

Lo Soe Houw kaget, apapula kapan ia lihat berkelebatnya satu bayangan, hingga dengan lekas-lekas ia berkelit, kemudian ia putar tubuhnya, untuk awasi bayangan itu, roman siapa menyebabkan ia bergidik!

“Dia? Kenapa dia bisa ada di sini? Bukankah dia sedang dirongrong di dalam rimba yanglioe? Mustahil, di bawah kepungan, dia masih bisa loloskan diri? Kenapa tidak ada yang kejardiaini?”

Demikian kata-kata dalam hati Harimau Keempat itu, yang kenali Lioe Toanio – si bayangan dengan seruannya yang angker. Sedang yang menambah kagetnya adalah gegaman di tangan Nyonya Lioe itu -bukannya Toan-boen-too hanya sebatang tumbak, malah pun tumbaknya Lo Toa Houw, kandanya!

Tapi ia menjadi sangat gusar.

“Perempuan busuk!” ia segera mencaci.”Kenapa kau bisa pulang dengan masih hidup? Mana toakoku?”

Lauw In Giok tidak jadi gusar karena cacian itu, sebaHknya, ia tertawa.

“Kau punya toako?” ia kata. “Toakomu ada di sana! Dia telah bingkiskan aku tumbak ini disertai satu batok kepala manusia!”

Soe Houw kaget berbareng sangsi. akan tetapi keadaan sudah sampai di puncaknya kehebatan, maka itu, ia kertak gigi, ia lantas menyerang dengan tcmpulingnya. Ia ada sangat sengit.

“Kau bisa kabur pulang ke rumahmu tetapi kau tak nanti dapat lolos dari rumahmu ini!” ia berseru membarengi tikamannya.

Lo Soe Houw kehendaki jiwa or•ang, tetapi di luar dugaanya, Nyonya Lioe ini bisa gunai tumbaknya bagaikan “ular naga keluar dari laut, atau ular raksasa melilit cabang pohon”, hingga ia jadi sangat terkejut

“Sungguh dia liehay sekali!” katanya dalam hati. Karena ini, segera ia perdengarkan suitannya, atas mana Lo Djie Houw loncat turun dari atas genteng, buat serbu si nyonya rumah.

Dia ini menggunai golok yang berat Lioe Toanio sebal melayani semua musuh itu. “Anak-anak, maju!” ia berteriak dengan tiba-tiba, ia sendiri mendahuiui mendesak.

Ham Eng dan Bong Tiap sambut itu anjuran, mereka merangsek, di samping mereka, Tjin Kong dan Hie Hong turut membukajalan.

Ketika rombongan ini sampai di thia depan, yang lebih lega, mereka kembali kena dikurung musuh, yang telah candak mereka.

Soe Houw dan Djie Houw kerubuti Lioe Toanio, orang- orang merangsek Tjin Kong berempat, sckarang ini keadaan mereka hampir berimbang.

Pcgangannya Lioe Toanio ada golok Kaum Ban Seng Boen, tetapi ia pun bisa gunai segala macam alat lainnya, sedang pengalamannya, pendcngarannya, ada luas, dari itu, ia bisa gunai tumbaknya Lo Toa Houw, malah ia keluarkan ilmu tumbak “Kim-tjhio Djie-sie-sie” yang punyakan dua puluh empat tipu serangan. Ia menangkis, ia pun bias balas menyerang, hanya ia tidak bias gunai itu seperti Toa Houw, yang dengan itu berbareng bisa menotok jalan darah. Di sebelah itu, ia sudah letih, bekas layani Bong Eng Tjin beramai, bekas ia berlari-lari jauh.

Benar ia tidak mampu rubuhkan dua lawannya ini, tetapi kedua lawannyapun kewalahan untuk bikin ia tidak berdaya.

Selama pertempuran itu, api berkobar bertambah besar. sudah mulai berkobar ke sebelah dalam, hingga rumahnya Lioe Kiam Gim sudah seperti terkurung saja oleh si ayam jago merah, bcberapa kali terdengar suara nyaring dari bambu yang terbakar meledak, hingga suaranya saru dengan suara beradunya berbagai senjata tajam.

Apabila pertarungan berjalan terus lagi sekian lama, bisa- bisa mereka jadi korbannya api, sebab pihak penghuni tak dapat nerobos keluar, pihak lawan coba terus mempertahankan, mencegah. Dalam saat yang sangat berbahaya itu, sekonyong-konyong ada datang satu orang baru, yang muncul di antara asap menebul, tangan kirinya mengangkat satu tubuh manusia, tangan kanannya mencekal sebatang pedang panjang, malah pedang ini segera dipakai menerjang Lo Soe Houw.

Harimau Keempat elakkan diri dengan lompat mundur, matanya dipentang guna lihat si penyerang, sesudah mana, ia menjadi kaget bukan kepalang. Oleh sebab pcnyerang itu adalah bekas musuh tangguhnya di muka muara, yang kepalanya mirip dengan kepala macan tutul, sedang tubuh di tangan kirinya ia kenali ada pemimpinnya si jago tua kurus dan jangkung – Bong Eng Tjin! Maka seteiah keluarkan satu teriakan, ia putar tubuhnya, ia loncat keluar, untuk sipat kuping. Bukankah ia ada pecundangnya si kepala macan tutul itu dan ia telah dikejar di air jauhnya belasan lie dan melulu karena kelicinannya, ia bisa loloskan diri?

Sekarang mana ia berani lawan pula musuh itu?

Lo Djie Houw adalah lain, apapula ia tampak, orang ada gunai hanya sebelah tangan. Ia maju menyerang, ia harap bisa tolong pemimpinnya itu. Siapa tahu, baharu satu kali saja ia ditangkis, ia sudah terkejut, tangannya terpental dan sesemutan. Selagi ia kaget, orang telah teruskan serang ia, dengan tusukan “Lie Kong sia tjio” atau “Lie Kong memanah batu”, mengarah tenggorokannya. Ia tidak bisa menangkis, maka itu, sambil berseru, ia loncat mundur. Tapi ia mundur ke dekat Lioe Toanio, yang lagi merangsek, nyonya ini segera tusuk ia dengan “Pek tjoa touw sin” atau “Ular putih muntahkan bisa”.

“Rubuh kau!” berseru si nyonya.

Benar-benar Harimau Kedua ini rubuh, karena tanpa berdaya, dadanya sudah jadi tameng tumbaknya Lo Toa Houw, tumbaknya sang kanda, maka dengan mandi darah, ia rubuh dengan tidak bisa berkutik lagi. Sampai di situ, pertempuran jadi berubah lain. Semua musuh jadi kaget dan keder, dengan ketakutan, mereka berlomba singkirkan diri, tapi dalam kekalutan itu Hie Hong dan Tjin Kong berhasilmerubuhkan lagi seorang satu. Coba tidak Lioe Toanio mencegah, musuh hendak dikejar terus.

Oleh karena api telah menghebat, semua orang kumpul di pekarangan depan, yang merupakan sebuah tegalan. Di waktu sang fajar mendekati, mereka awasi saja apt lagi makan habis seluruh rumah. Di sini Yo Tjin Kong baharu lihat tegas tuan penolongnya, hingga ia tercengang.

“Kiranya kau, Soeheng!” ia berseru.

Bong Tiap sebaliknya berseru: “Ibu, inilah hoohan yang kemarin ini bantu kita di muara!….”

Tapi sang ibu tarik tangan puterinya itu.

“Kau tidak kenali Toa-soehengmu ini?” ibu itu kata. “Di waktu masih kecil, ia suka empo-empo kau!”

Nona itu melengak. Tidak heran kalau ia tidak ingat soeheng ini, sebab di waktu Law Boe Wie meninggalkan Keluarga Lioe, ia baharu berumur lima atau enam tahun. Sedang Ham Eng, dia datang selang beberapa tahun sesudah berlalunya soeheng ini.

Boe Wie sudah lantas hunjuk hormatnya pada soebonya, dan Tjin Kong semua sebaliknya mengasih hormat pada soeheng ini. Lioe Toanio akhirnya tertawa besar.

“Dengan dapati murid semacam kau, biarpun rumahku hangus ludas, aku puas!” katanya. “Anak,kali ini kita bergantung kepada kau!

Boe Wie hendak jawab guru perempuannya itu, ketika mendadakan ia lihat sang soebo rubuh sendirinya, hingga ia kaget bukan main, begitupun Bong Tiap dan yang lain-lain. Ternyata Nyonya Lioe Kiam Gim sudah jadi korbannya pertarungan ini. Ia telah berkelahi melewati batas, sudah begitu, ia pemah ditotok oleh Toa Houw, hingga ia peroleh lukadi dalarn, benar lukanya tidak hebat, tapi tadi ia berlari-lari jauh, sesampainya di rumah, ia pun dikepung Djie Houw dan Soe Houw, melulu dengan kuatkan hati, ia masih sanggup pertahankan diri. Di sebelah itu, ia ada gusar dan sangat mendongkol, sedang akhirnya, ia gi rang luar biasa, lantaran  ia tcrtawa besar, seluruh anggotanya bergerak, begitupun asabatnya, maka dengan sekonyong-konyong ia mata gelap dan rubuh.

Bong Tiap tubruk ibunya, ia memanggi 1-manggil, tempo ia dapati ibu itu diam saja dan kedua matanya rapat, ia mcnangis menggerung-gerung.

Boe Wie bercmpat merubungi soebo itu, semua sangat berkuatir, tapi kemudian, kapan sang toa-soeheng sudah awasi air mukanya Nyonya Lioe, ia kata: “Jangan kuatir! Soenio tidak kenapa-apa, ia melainkan terlalu lelah. Kalau sudah dapat beristirahat, Soenio akan dapat pulang kesehatannya.”

Tapi toa-soeheng ini masih belum tahu, soebo itu telah dapat luka di dalam badan.

Lalu»diambil putusan akan tolong Lioe Toanio dengan bawa ia ke rumahnya Louw Hie Hong di kampung tetangga, seperjalanan perahu kira-kira setengah jam, Tjin Kong akan ditinggalkan untuk ia urus rumah yang terbakar itu.

Selama itu sudah banyak penduduk kampung yang keluar, mcreka bantu padamkan api. Mereka tahu ada pcrtempuran, saking takut, mereka umpetkan diri, sesudah dengar suaranya Tjin Kong, yang kasih mereka bangun, semua lantas bangun dan keluar.

Lioe Toanio lantas dipondong, dibawa ke perahu. Ia masih belum sadar, maka Boe Wie suruh Bong Tiap coba uruti dia, walaupun dcmikian, ia tetap diam saja, cumakarena ia masih bcrnapas dan nadinya jalan baik, hati mereka tidak terlalu berkuatir lagi. Nyonya itu lantas diantap, untuk dapat mengaso.

Perahu adakecil, di situ bcrkumpul Hie Hong, Bong Tiap dan Ham Eng, tubuh Lioe Toanio pun direbahkan, sudah begitu, Boe Wie ada bawa-bawa korbannya si tua, yang jangkung kurus.

“Soeheng, buat apa bawa-bawa dia, bukankah berabe?” tanya Bong Tiap. “Bukankah lebih baik dupak saja dia ke dalam sungai?”

Boe Wie awasi itu soemoay.

“Itulah tidak dapat dilakukan,” ia jawab.”Dia ini ada punya kepentingan besar dengan Loo-soehoe. Justeru karena dia, aku telah datang kemari….”

Semua orang heran, semua awasi soeheng ini.

Boe Wie bisa mengerti keheranan sekalian saudara seperguruan itu, memang ia datang secara sangat tiba-tiba, begitupun halnya ia bantu Ham Eng dan Bong Tiap dalam pertempuran di muara. Halnya Bong Eng Tjin ini pun pasti ada sangat menarik perhatiannya sekalian saudara angkat itu. Ia harus menerangkannya semua itu.

Akan tetapi, lebih penting adalah tentang Boe Wie sendiri, yang pergi seperti menghilang, maka sebelum menutur terlebihjauh, baik kita ikuti dia dahulu.

Sudah diketahui, Law Boe Wie ada anaknya seorang tani di luar Kota Poo-teng, yang ditolong Lioe Kiam Gim semasa ia berumur enam-tujuh tahun, bagaimana ia sudah dipelihara dan dididik dalam ilmusilat. Ia terlatih sempurna sesudah Lioe Loo-kauwsoe undurkan diri dan tinggal menyendiri di Kim-kee- tjoen di Kho Kee Po. Ketika ia masuk umur dua puluh tahun, ia sudah belajar tiga atau empat belas tahun lamanya, hingga delapan atau sembilan bagian kepandaian gurunya, ia sudah wariskan, sedang dari Lauw In Giok, sang soebo, ia peroleh kepandaian dari Ban Seng Boen. Dalam usia semuda itu, ia sudah punya kepandaian dari dua cabang ilmu silat yang kesohor, maka orang gagah sebagai ia jarang ada.

Walaupun ia sudah undurkan diri, semangatnya Lioe Kiam Gim belum padam, melulu disebabkan sikap dari soeteenya Teng Kiam Beng, ia jadi sungkan muncul pula, maka ia bersyukur, yang ia dapatkan murid sebagai Boe Wie, siapabisadiperintah merantau untuk wakilkan ia, untuk si murid sendiri cari pengaiaman dan persahabatan. Demikian ketika mu•rid ini sudah berumur dua puluh lima tahun, ia pilih suatu han baik, untuk murid itu meninggalkan rumah perguruan. Itu hari ra pesan murid ini supanya menjunjung cita-cita Thay-kek Teng, buat perhatikan pesanannya, terutama supaya sang murid jangan sekali-sekali bekerja pada bangsa Boan.

“Hanya kalau ada ketikanya, tidak ada halangannya untuk kau pergi ke Poo-teng dan sambangi soesiokmu Teng Kiam Beng,” demikian pesannya terakhir.

Begitulah Boe Wie merantau. Seiama sepuluh tahun, iaturut pesan gurunya, tapi pun ada kalanya, ia jalan sendiri. Yang terang adalah ia benci bangsa Boan atau pemerintahnya, karena mana, ia pun tak sudi sambangi soesioknya Teng Kiam Beng. Salah satu sebab dari ini adalah kebentjiannya kepada Soh Sian le, si hartawan Boan yang kejam, justeru dari, orang Boan ini ada sahabat kekal dari sang soesiok.

Merantau belum lama, Boe Wie telah tertarik oleh salah satu sahabatnya, hingga ia masuk menjadi anggota dari “Pie Sioe Hwee” perkumpulan rahasia Pisau Belati. yang utamakan pembunuhan kepada pembesar-pembesar rakus dan jahat.’ Di zaman pergerakan mulai Thay PengThian Kok, Pie Sioe Hwee turut ambil bagian sebagai anak cabang, setelah gerakan Thay Peng itu gagal, Pie Sioe Hwee turut umpetkan diri, anggotanya semuajadi “orang gelap”, selanjutnya mereka bekerja secara diam-diam.

Sebagai anggota Pie Sioe Hwee, beberapa kali pernah Boe Wie lakukan penyerangan gelap pada pernbesar-pembcsar kejam yang dimusuhi, hanya saban-saban ia nampak kegagalan; satu kali ia dapat binasakan satu tiehoe, tapi berbareng dengan itu, ia meninggalkan korban dua kawannya, sedang di lain harinya, menyusul lain-lain korban lagi, sebab di hari kedua itu, pembcsar negeri melakukan pembersihan, seratus lebih rakyat tak bersalah-dosa, kena ditawan.

Kemudian di han ketiga, datang tiehoe yang baru, dia ini ternyata ada lebih kejam pula, karena orang-orang baharu tersangkasaja, dia telah jatuhkan hukuman mati. Korban- korban rakyat itu membuat Boe Wie menangis di dalam hati.

Sesudah ini, Boe Wie juga lantas dicari oleh pembesar negeri. Di antara kaki-tangan pembesar negeri ada or•ang- orang yang pandai, yang kesudian jadi pengkhianat bangsa Han, dari itu, ia jadi nampak kesulitan. Sekarang ia tidak lagi merantau, ia hanya mengungsi, ia jadi pelarian. la mesti pergi ke sana dan sini. Oleh karena Derduka, tubuhnya jadi kurus. Paling belakang, ia menyingkir jauh ke Djiat-hoo di Barat- Selatan. Pada suatu malam, ia menumpang di rumah satu penduduk di kakinya Bukit Yan San. Tuan rumah ada satu anggota Pie Sioe Hwee yang tidak pernah muncul, karena tugasnya adalah menyembunyikan kawan-kawan dalam pengungsian.

Berada seorang diri, dengan kupingnya dengar suara berbagai binatang alas di atas gunung, dengan sang angin menghembus-hembus, Boe Wie pikirkan penghidupan tak ketentuan itu, hingga ia tidak tahu, bagaimana nanti hari depannya. Ia pun pikirkan tujuannya Pie Sioe Hwee. Apa tidak ada Iain jalan dari pad a selalu mesti lakukan pembunuhan gelap? Tidakkah pembunuhan gelap bukan suatu daya sempurna? Maka iajadi bersangsi.

Tiba-tiba ia mendengar ketokan pada jendela. Bercekat hatinya pelarian ini, hingga segera ia pikir, untuk meloncat keluar. Tapi justeru itu, ia dengar suara rendah tapi angker, suaranya seorang tua: “Bunga merah dan daun hijau adalah satu keluarga….”

Mendengar ini, Boe Wie tercengang. Tapi ia segera tanya: “Kapankah, berbuahnya? Kapankah mekarnya?”

Suara yang dalam itu menjawab: “Berbuah pada Pee-gwee Tjap-gouw, mekar pada Tjhia-gwee Tjap-gouw”*… Bunga merah dan daun hijau saling bercahaya seperti orang bersemangat dan orang berhati mulia adalah sekeluarga….”

Mendengar itu, Boe Wie bertepuk tangan satu kali, ia tertawa satu kali juga, atas mana, terlihatkan seorang tua, dengan kumis ubanan, mencelat masuk ke dalam rumah.

Sebab kata-kata mereka adalah kata-kata rahasia dari Pie Sioe Hwee.

Dengan tajam Boe Wie awasi or•ang tua itu, yang bajunya wama biru ada gerombongan, sedang itu waktu, di pcrmulaan musim dingin, bulan sepuluh, angin Utara ada dingin sekali.

Dari kumisnya yang putih, ia menduga pada usia atas enam puluh tahun. Ia pikir, bagaimana orang ini punyakan tubuh kuat. Maka ia percaya, dia ini mesti ada mcmpunyai kepandaian tinggi, hanya ia tidak ingat Pie Sioe Hwee mempunyai anggota . tertua seperti orang ini.

Orang tua itu juga mengawasi Boe Wie akanakhirnya ia bersenyum.

“Apakah kau dari Golongan ‘Hok’?” ia tanya. “Benar,” sahut Boe Wie, yang terus turunkan kedua tangannya, sebagai tanda hormat. “Bagaimana Tjianpwee ketahui itu?”

Orang tua itu tertawa.

llKau tidak kenal aku, aku sebaliknya kenal kau!” ia jawab. “Kau toh ketahui, bukan, di antara tiga pendirinya Pie Sioe Hwee ada satu yang dipanggil In Tiong Kie?”

Hatinya Boe Wie jadi bercekat.

“Jadinya Tjianpwee adalah Loo-tjianpwee In Tiong Kie?” ia tegaskan.

Memangdalam kalangan Pie Sioe Hwee ada pemecahan golongan atau tingkatan untuk anggota-anggotanya, terbagi delapan, dengan kata-kata “Kim auw hok kouw, Han tjok tiong kong”, artinya: “Tanah daerah kembali kuat, kebangsaan Han bercahaya pula”. Dan In Tiong Kie -yang berarti “Keanehan dalam Awan” – masuk dalam Golongan “Kim”. Dan dahulu pemah bunuh satu pwee-lek, pangeran bangsa Boan, dalam satu malam, melawan empat pahlawan istana, ia sudah binasakan tiga antaranya, karena hendak ditangkap, ia buron cntah kemana, hingga orang sangka ia sudah meninggal dunia, siapa tahu, malam ini ia muncul di Djiat-hoo lagi. Tidak berayal lagi, Boe Wie hunjuk hormat pula, setelah mana ia tanyakan maksud kedatangan tjianpwee ini – orang yang terlebih tinggi tingkatannya – hingga ia ketahui, orang benar datang untuk ia sendiri.

“Ketika dahulu aku pun mesti menyingkirkan diri seperti kau sekarang ini, aku ketemu satu sahabat asal Kwan-gwa,” In Tiong Kie terangkan. “Sahabat ini telah ajak aku menyingkir lebih jauhke Liauw-tong. Sahabatku itu juga ada seorang luar biasa. Ia tidak setujui tujuannya Pie Sioe Hwee, yang main lakukan pembunuhan gelap. Sesudah satu hari dan satu malam kita berunding, akhimya aku dapat dibikin insyafdan, aku lepaskan cita-citaku, karena mana, aku terns tidak kembali pada Pie Sioe Hwee. Sahabatku itu tidak berhati dingin, dia hanya lagi tunggu ketika, akan bergerak pula. Paling belakang ini, aku dengar Pie Sioe Hwee ada punya satu anggota angkatan muda, yang ada gagah dan berani, yang katanya ada ahli waris dari Thay Kek Pay, siapa berulang- ulang sudah terjang bahaya. Aku sayangi pemuda itu, aku kuatir dia menjadi korban, justru aku pikir untuk cari dia, datang kabar bahwa ia lagi diuber-uber pembesar negeri, maka itu, aku lantas berangkat untuk cari dia….”

Mendengar ini, Boe Wie awasi dengan tajam pada orang tua itu, matanya bercahaya. “Apakah Loo-tjianpwee suka ulangi padaku kat£-katanya itu orang luar biasa yang menjadi sahabat Loo-tjianpwee?” tanyaia. “Tanpa pembunuhan gelap habis kita ada mempunyai daya apa lagi?”

In Tiong Kie tertawa berkakakan. “Aku sudah duga, pasti kau bakal menanya begini, Lauwtee!” berkata ia Boe Wie pasang kupingnya, matanya terns mengawasi.

“Ketika aku bertemu orang luar biasa itu, itu adalah di Gunung Siauw Hin An Nia,” si orang tua lantas bercerita. “Aku sudah ditunjuki suatu pemandangan yang luar biasa sekali, yang sangat menarik hati. Itu adalah pertempurannya semut yang kecil dengan serigala yang besar….”

Boe Wie heran hingga ia pentang matanya dan memotong: “Bagaimana semut bisa berkelahi melawan serigala?” ia tanya.

“Tapi itulah benar terjadi,” jawab In Tiong Kie sambil tertawa. “Aku pun tak percaya itu apabila aku tak menyaksikannya sendiri. Kejadian pun ada sangat kebetulan. Beberapa ekor serigala mendekam beristirahat di bawah sebuah pohon, rupanya mereka terpisah dari kawan dan sedang lelah, di situ memang ada banyak semut hitam.

Sekcjab saja, beberapa ekor serigala itu telah dikerumuni rombongan semut itu, mereka mengamuk hebat, tetapi semut datang semakin banyak, sampai tubuh mereka seperti tidak kelihatan, apa yang tertampak ada gumpalan hitam .saja. Serigala-serigala itu bergulingan, tetapi ini tidak menolong. Lewat sekian waktu, tubuh mereka berdiam, akan kemudian, tinggallah mereka punya tulang-tulang yang putih….”

Boe Wie. ulur lidahya.

“Begitu liehay semut itu…. kalau tidak, kita pun bisa jadi korbannya kawanan semut itu. Aku tercengang dan kagum atas apa yang aku saksikan itu. Setelah itu, sahabaku itu bilang padaku: “Semut ada satu binatang kecil sekali, dengan dipencet dua jari, dia akan sudah terbmasa remuk-hancur, akan tetapi, apabila dia dapat kawan dan berombongan besar, mereka jadi sangat liehay. Inilah buktinya! Kalau rombongan semut ada demikian liehay, apapula manusia?”

Orang tua ini berhenti sebentar, ia pandang pemuda di depannya.

“Sampai di situ, Lauwtee,” kemudian ia menyambung lagi. “Sahabatku si orang luar biasa itu hunjuk, manusia, apabila ia cuma terdiri dari beberapa orang, tidak perduli mereka gagah dan pandai bagaimana, sukar untuk mereka robohkan satu kerajaan yang sudah dalam dan kuat dasarnya. Pembunuhan gelap? Cuma satu pembcsar yang binasa, lalu datang lagi; beberapa pembesar, demikian seterusnya, .tidak terhitung jumlahnya. Kau sendiri umpamanya, berapa pembesar kau pernah binasakan? Sahabatku itu lalu menunjuk pada hikayat, pada pergerakannya Lie Giam di akhir Kerajaan Beng, pada pergerakan Kaum Thay Peng kita. Benar pemerintah tak dapat digempur tetapi toh sudah tergoncang juga. Tidak demikian kalau kita bekerja dengan seorang atau dua orang dengan rombongan yang sangat kecil.”

Boe Wie memandang dengan berdiam, terang otaknya sedang bekerja.

“Jadinya Loo-tjianpwee inginkan aku juga meninggalkan Pie Sioe Hwee?” akhimya ia kata In Tiong Kie urut-urut kumisnya yang putih. “Ya, Lauwtee, demikianlah ada maksudku” ia jawab.

Agaknya ia merasa pasti bahwa setelah dengar perkataannya itu, si anak muda akan dengar nasihatnya itu.

Akan tetapi, di luar dugaannya, Law Boe Wie berpikir Iain. Setelah hidup terkatung-katung, pemuda ini jadi waspada, ia bercuriga terhadap siapa juga. Bukankah In Tiong Kie - walaupun dia ada salah satu pendin Pie Sioe Hwee – sudah lama keluar dari perkumpulan itu? Dan siapa tahu, apa gawenya sekarang ini bekas jago tua? Kalau In Tiong Kie insyaf tujuan Pie Sioe Hwee keliru, kenapadiadiam saja, kenapa dia tidak kemukakan itu kepada perkumpulannya? Dan kenapa In Tiong Kie justeru bemaung di Djiat-hoo, tanah airnya bangsa Boan? Maka, apa tidak bisa jadi, sekarang In Tiong Kie sudah berserikat sama bangsa Boan itu? Apakah bukan ia sedang hendak diperdayakan?

Dugaan Boe Wie terhadap In Tiong Kie adalah meleset. Benar jago tua itu sedang undurkan diri tetapi dia memang ada berpemandangan lebih luas daripada orang-orang Pie Sioe Hwee. Dia memang bermaksud baik dengan nasihatnya ini terhadap ini anak muda. Adalah si anak muda sendiri, yang pikirannya lain.

Sesudah mengawasi dengan dingin, Boe Wie kata: “Terima kasih banyak, Loo-tjianpwee, ke Kwan-gwa tak nanti aku pergi!”

In Tiong Kie tercengang, sikapnya jadi tawar. Lalu, iapun menghela napas dengan tiba-tiba.

“Jikalau begini putusanmu, Lauwtee, baiklah, aku hendak pergi saja!” berkata iakemudian. “Umpama kata di lain waktu kau sudah sadar, kau boleh cari aku di Oey-See-Wie di Sam- seng, Ielan. Andaikata di sana kau tak dapat cari aku, kau bilang saja bahwa kau hendak cari Pek-djiauw Sin Eng Tok- koh Loo-enghiong, pasti kau akan menemui dia itu. Asa] kau ketemu loo-enghiong itu, kau bilang bahwa kau hendak can aku, itu sudah cukup! Nah, Lauwtee, kau pikirlah pula baik- baik. aku hendak pergi sekarangi”

Pengutaraan selamat tinggal itu ditutup dengan satu loncatan tenang tetapi gesit sekali, hingga selanj utn ya cuma suara angin yang terdengar pula, begitu pun suaranya binatang-binatang alas di atas gunung.

Boe Wie berdiri bagaikan patung, matanya mengawasi keluar, kemudian ia pergi ke pekarangan depan, akan awasi sang salju sampai sekian lama.

Besok paginya, ini anak muda rubuh karena serangan demam yang hebat, rupanya tadi malam ia kemasukan angin jahat dan jadi jatuh sakit. Syukur buat dia, tuan rumahnya yang bemama The Sam, serta isterinya, ada baik hati dan suka rawat ia dengan sungguh-sungguh, maka selang dua hari, panasnya lenyap separuhnya, hanya karena itu, tubuhnyajadi lemah.

Selama dua hari itu Law Boe Wie senantiasa pikirkan kata- katanya In Tiong Kie si orang tua itu, ia pun kuatirkan munculnya orang-orang polisi. Benar ia tidak takut yang ia nanti kena dibekuk, tetapi ia kuatir tuan rumahnya nanti terembet-rembet. Maka ia telah ambil putusan, asal sudah segar lagi sedikit, ia hendak angkat kaki.

Di lain malamnya, Boe Wie rasai panasnya jadi lebih banyak kurang, dari itu ia mulai pikir akan berangkat besok saja.

Apa mau, malam itu ada membawa lelakon.

Habis makan obat, ia rebahkan din, ia ingin tidur agar dapat beristirahat, siapa tahu, karena senantiasa ingat besok ia hendak merantau pula, ia sukar pulas. Sampai tengah malam, sesudah lelah, baharulah ia Iayap-layap. Matanya meram melek, tidak demikian dengan kupingnya yang jeli. Tiba-tiba ia dengar suara berkeresek, suara itu pelahan akan tetapi segera ia dapat kenali, itu bukan suaranya daun rontok, hanya tindakan kaki satu ya-heng-djin, ialah orang biasa berjalan di waktu malam, kepandaian siapa belum sempurna betul, baharu jadi tujuh atau delapan bagian.

Di saat murid Thay Kek Pay ini hendak berbangkit, sekonyong-konyong ada menyambar angin dari jendela, dari mana pun berkelebatsatu cahaya putih bagaikan rantai perak, menuju pada pembaringannya, pada tubuhnya sendiri.

Ia kaget tetapi ia tabah, ia tidak lupai kcpandaiannya, maka ia ulur tangannya, akan tanggapi benda putih itu ketika si benda lewati sedikit padanya. Nyata itu ada sebuah piauw.

Begitu lekas senjata rahasia itu sudah tergenggam dalam tangan kanannya, dengan gerakan “Lee hie ta teng” atau “Ikan trambra meletik”, ia berloncat turun dari pembaringannya, tangannya dibarengi diayun ke arah jendela.

“Sahabat, ini aku kembalikan bingkisanmu!” katanya.

Di luar segera terdengar suara nyaring, tanda bahwa timpukan itu tidak mengenai sasarannya dan jatuh ke tanah, hanya setelah itu, di luar jendela lantas berpeta dua bayangan orang serta terdengar suara tertawanya nyaring, disusul sama ucapan: “Ha, benar-benar dia ada di sini!”

Menyusul kata-kata itu, dua bayangan tersebut lompat masuk ke dalam!

Law Boe Wie segera menduga pada orang polisi, bahna kaget, ia sampai keluarkan keringat dingin. Ia segera teringat pada tuan rumahnya, yang ia kuatir nanti dapat susah karena urusannya sendiri. Tapi bahaya sudah datang, ia tidak boleh berayal, ia tidak bisa banyak pikir lagi maka ita, segera ia hunus pedangnya yang selamanya belum pernah terpisah jauh dari tubuhnya. Dengan si-apkan senjatanya, ia awasi dengan tajam pada dua bayangan itu. Dua orang itu berpotongan sedang, roman mukanya rada minp satu dengan lain, boleh jadi mereka engko dan adik. Mereka masing-masing bersenjatakan Thie-tjio dan scbatang golok Tan-too, ialah dua macam gegaman yang biasa dipakai oleh orang-orang polisi.

“Sahabat, kau telah kepergok,” demikian salah seorang berkata. Dia •berusia pertengahan.”Baik kau berlaku gagah sebagai orang Kang-ouw sejati, kau turut aku pergi ke kantor pembesar ncgeri, supaya kau tidak membikin sukar pula pada kita duasaudara….”

Boe Wie memandang dengan mata melotot. Tahu pastilah ia sekarang bahwa ia lagi berhadapan sama orang-orang polisi. Maka ia jadi mendongkol: “Ngaco!” ia membentak. “Kau orang bangsa elang dan anjingnya pembesar negeri mau bicara tentang kehormatan orang Kang-ouw? Hm! Di sini toaya ada, jikalau kau ada mempunyai kepandaian, kau orang boleh bawa pergi!”

Sembari mengucap demikian, Boe Wie maju dengan matanya mengawasi dengan tajam. Dua orang itu benar berani, mereka tertawa pula.

“Jikalau demikian, sahabat baik, berkata mereka, “harap kau tidak mengatakan aku dua Saudara Giam ada berlaku kasar kepadamu!”

Mendengar disebutnya Persaudaraan Giam, Boe Wie berdiri diam. “Oh, kiranya kau orang ada Giam-kee Heng-te, Persaudaraan Giam!” is tegaskan. “Kau orang jadinya ada orang-orang polisi Pakkhia yang kcnamaan! Maafkan aku yang sudah tidak kenali kau or•ang! Dari tempat ribuan lie kau orang telah susul aku, benar-benar kau or•ang telah bercape- lelah…. Sahabat-sahabat baik, cara bagaimana aku bcrani membuat kau orang kcccle?’ Sahabat-sahabat, aku bersedia akan iringi kau orang, supaya kau orang peroleh kcnaikan pangkat dan kebahagiaan, hanya…” ia bersenyum ewah, ia angkat tangannya, yang mcncekal pedang, “… hanya sayang sekali, senjataku ini menampik!” Dua saudara Giam itu juga tertawa tawar.

Dua saudara ini, Tjin San dan Tjin Hay, memang terkenai, tetapi Boe Wie tidak takuti mereka, apapula ia memang paling benci hamba-hamba wet. Ia tidak jerih sekalipun ia sedang sakit.

“Sahabat baik, kau manis sekali!” kata Tjin San. “Kau mempunyai senjata, kitajuga! Baiklah, Sahabatku, lain tahun pada hari ini harian sembahyang kau satu tahun!”

Habis berkata begitu, dua saudara Giam itu geraki senjata mereka, akan

tetapi Boe Wie mcndahului dengan “Peh tjoa touw sim” atau “Ular putih mcnghcmbuskan bisa” untuk tikam dadanya orang yang mcnjadi kanda. Dengan “Heng kee kirn Hang” atau “Melintang di atas penglari emas”, Giam Tjin San tangkis tusukan itu, tetapi setclah senjata mereka beradu, keduanya mundur beberapa tindak. “Aku tidak sangka, penyakitan seperti dia, punya tenaga begitu besar,”Tjin San berpikir.

Sedang Boe Wie pun tidak nyana, hamba wet dari Pakkhia ini ada dcmi k ian tangguh.

Habis mundur, Giam Tjin San maju pula, maka itu, keduanya sudah lantas bcrtcmpur.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar