Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 02

 
Muridnya Kiam Gim yang kedua ada Yo Tjin Kong, dia diperkenalkan oleh pihak Lauw, pihak mertuanya. Diapun pernah merantau tetapi lebih banyak berdiam di rumah.

Murid ketiga adalah si anak muda yang kita kenal dalam pasal pertama, yaitu Tjoh Ham Eng, yang lagi berlatih silat sama Lioe Bong Tiap, puteri satu-satunya dari Lioe Kauwsoe. Ham Eng adalah anak nomor tiga dari Toa-kauwsoe Tjoh Lian Tjhong, yang ada sahabat kekal dari Kiam Gim, siapa percayakan anaknya kepada ahli silat Thay Kek Pay itu. Ia adalah satu anak yang baik dan disayang oleh gurunya.

Demikian, Kiam Gim tidak hidup kesepian bersama dua murid dan satu puterinya itu.

Begitulah, dua puluh satu tahun telah lewat tanpa terasa, sampai hari itu mendadak Lioe Kiam Gim kedatangan Kim Hoa, murid kepala dari Teng Kiam Beng. Kim Hoa ini murid yang datang belajar sesudah ia sendiri mengerti silat, maka itu, ia terlebih tua daripada murid-muridnya Kiam Gim. Dan ia datang membawa kabar yang penting dan hebat, yang menyebabkan soepehnya kaget.

“Eh, Kim Hoa, kenapa perkara jadi hebat begini?” tanya Kiam Gim kemudian. “Dari mana munculnya barang upeti itu? Kenapa perampasan terjadi di Djiat-hoo? Kenapa gurumu boleh menyangka kepada Tjiong Hay Peng dari Heng Ie Pay? Hayo kau cerita biar jelas, dalam suratnya ini, gurumu suruh aku tanyakan keteranganmu saja….”

Lioe Bong Tiap sangat ketarik hatinya, hingga ia campur bicara.

“Tapi, Ayah, coba kasih tahu lebih dahulu, apa soesiok bilang dalam suratnya?” tanya ia.

Kiam Gim suka jawab anaknya itu: “Menurut soesiokmu,” katanya, seraya letakkan suratnya Kiam Beng, “pada sebulan berselang, soesiokmu mengantarkan barang upeti ke Djiat-hoo, untuk disampaikan kepada Istana Lie Kiong di Sin-tek, tetapi belum sampai di Sin- tek, baharu sampai di luar Kota Hee-poan-shia, gangguan sudah datang. Kota Hee-poan terpisah kira-kira dua ratus lie dari Sin-tek, dan tempat kejadian itu ada kira tiga puluh lie dari Kota Hee-poan itu. Perampasnya adalah seorang tua dengan lidah Liauw-tong, yang datang bersama sejumlah muridnya. Soesiok coba susul mereka sampai di tempat yang dinamakan Sha-tjap-lak Kee-tjoe, di sana orang tua itu dan rombongannya bisa melenyapkan diri secara tiba-tiba. Tidak lama sekembalinya soesiokmu ke Poo-teng, dia lantas terima surat pengumuman kaum Kang-ouw, yang ingin usir dia dari Poo-teng! Yang hebat adalah bendera Thay-kek-kie dari Golongan Teng Pay, atau Thay Kek Piauw, sudah kena dirampas oleh perampas itu! Entah orang dari golongan mana, yang sudah datang menerbitkan gara-gara itu!”

“Apa yang terjadi di Hee-poan, siauwtit tidak lihat sendiri,” Kim Hoa menambahi soepehnya itu. “Ketika itu, siauwtit tidak turut. Soehoe ajak djie-soetee dan sam-soetee serta dua boe- soe, guru silat, untuk temani dia. Mengenai barang upeti itu, ceritanya panjang. Bukankah Soepeh masih ingat itu orang yang bernama Soh Sian Ie, yang sering kunjungi Soehoe? Dia sekarang sudah berumur tujuh puluh lebih, dan selalu keram diri dalam rumahnya, akan icipi keberuntungannya orang hidup mewah, hingga ia jarang datang pula kepada Soehoe. Anaknya Soh Sian Ie yang ketiga, namanya Tjie Tiauw, yang kerja dalam kantor Tjongtok. Dia ini pada suatu hari datang pada Soehoe, buat minta Soehoe pergi lindungi barang upeti kepunyaannya Tjongtok, buat di bawa ke Istana Raja di Sin- tek. Ini tahun, seperti biasanya Raja pergi ke Sin-tek untuk menyingkir dari musim panas di Kota Raja, untuk sekalian berburu di musim rontok. Di Sin-tek, Raja Boan ada punya satu daerah hutan yang besar, piranti raja berburu. Pemburuan inipun ada satu ketika untuk raja-raja Boan berlatih menunggang kuda dan memanah. Sebenarnya Tjongtok serahkan tugas kepada Soh Tjie Tiauw, untuk antar upeti itu, tetapi Tjie Tiauw, dengan pakai nama ayahnya, sudah minta pertolongan Soehoe….”

Selagi Kim Hoa baharu bicara sampai di situ, tiba-tiba Lioe Kauwsoe angkat kepalanya dengan mata mendelik, dengan bengis, ia berseru: “Sahabat baik, turunlah!”

Menyusul seruan itu, dari atas sebatang pohon, meloncat turun seorang, yang tubuhnya melayang. Dan menyusul turunnya orang itu, Kim Hoa di kiri sudah lantas lompat menyerang dengan tiga buah Kim-tjhie-piauw, tapi yang dipakai ada “Lauw Hay say kim tjhie” atau “Lauw Hay menyebar uang emas”, tiga batang piauwnya menyambar ketiga jurusan, atas, tengah dan bawah.

Orang itu bertubuh sangat gesit, dengan gerakan “Yan tjoe tjoan in” atau “Walet tembusi mega”, ia loncat tinggi dua tumbak, dengan begitu, ia meloloskan diri dari dua piauw, sedang piauw yang ketiga, ia jejak dengan kakinya, hingga piauw itu jatuh ke tanah! Nyata, dia pakai sepatu besi!

Kim Hoa, yang menyerang, datang terlebih lambat daripada ketiga piauw, dengan “Tjin pouw tjit seng” atau “Tindakan tujuh bintang”, tangan kanannya membabat kedua kaki orang itu.

Cepat luar biasa, sambil membungkuk, orang itu tangkis serangan berbahaya ini, kemudian, sebelum Kim Hoa sempat ubah jalan persilatannya, ia mendahului lompat jumpalitan tinggi, akan turun di belakangnya orang itu maka itu, Kim Hoa segera putar tubuhnya, lalu dengan “Tek seng hoan tauw”, atau “Mengambil bintang untuk menukar bintang”, ia menyerang dengan berbareng, tangan kanan ke arah embun- embunan, tangan kiri ke arah dua mata. Gesit luar biasa orang itu kelit tubuhnya, tapi sekarang sambil berseru: “Tahan! Tahan! Aku ada murid Heng Ie Pay yang ingin bertemu sama Lioe Tjianpwee!”

Kim Hoa tidak sempat menunda penyerangannya, ia merangsek dengan gencar, atas mana orang itu bela diri dengan gerak-gerakan ilmu silat Heng Ie Pay yang dia sebutkan.

“Berhenti!” Lioe Kiam Gim berseru!

Kim Hoa hentikan penyerangannya dengan lantas, atas mana orang itu lantas saja menjura di hadapan guru silat itu seraya mengucapkan bahwa ia, orang yang terlebih muda tingkatannya, menghormati orang yang terlebih tua derajatnya itu.

Lioe Kiam Gim menghampiri sambil empos semangatnya dengan “Thay kek seng liang gie” atau “Thay-kek menciptakan im dan yang”, ia ulur kedua tangannya mencekal kedua bahunya orang itu yang ia angkat seraya berkata: “Silakan bangun! Silakan bangun!”

Enteng tampaknya, tubuh orang itupun telah terangkat naik.

Lantas orang itu perkenalkan diri sebagai Ong Tjay Wat, keponakan murid dari Tjiong Hay Peng dari Heng Ie Pay, kemudian dengan cara merendah tapi pun mengandung kejumawaan, ia kata: “Soesiokku dengar Lioe Lootjianpwee hendak campur tahu urusan ini, dari itu sengaja dia utus aku untuk menyampaikan kata-kata bahwa, kalau Lootjianpwee hendak mengulurkan tangan, seharusnya kita orang undurkan diri, hanya mengingat yang soeteenya Lootjianpwee sudah mengekor pada pembesar negeri, hingga dia melupai kehormatan kaum Kang-ouw, Soesiok percaya, Lootjianpwee pastinya tidak akan suka turut kecipratan air butek. Tapi, andaikata Lootjianpwee hendak mengulur tangan juga, maka apabila di belakang hari ada terjadi suatu apa, harap Lootjianpwee tidak sesalkan kita!”

Lioe Kiam Gim tidak jadi gusar karena ucapan itu, di lain pihak dia tanya Ong Tjay Wat tentang keadaan Tjiong Hay Peng selama belakangan ini, perihal lain-lain jago Heng Ie Pay itu, tentang kebahagiaannya Tjay Wat sendiri, hingga Tjay Wat jadi bingung sendiri karenanya. Dalam terdesaknya, Tjay Wat sampai cuma bisa kata: “Lootjianpwee, aku mengharap sepatah kata balasan dari kau….”

“Jangan kesusu, jangan kesusu!”

“Kau datang dari tempat jauh, biar bagaimana aku mesti minta kau beristirahat di sini untuk satu malam, besok aku temani kau mengunjungi soesiokmu.”

“Maafkan aku, Lootjianpwee, tapi aku masih punya lain urusan penting untuk mana aku mesti segera berlalu dari sini,” Ong Tjay Wat tetap menolak.

“Kalau begitu,” kata Lioe Kauwsoe dengan sungguh- sungguh, “tolong kau sampaikan pada Tjiong Soehoe, pasti sekali aku si orang she ‘ Lioe nanti bertindak dengan ikuti tata tertib kita, kaum Kang-ouw!”

Lantas jago tua ini antar tetamunya keluar, kemudian sekembalinya ke dalam, ia tanya muridnya: “Kau or•ang lihat, apakah benar-benar dia dari Heng Ie Pay?”

‘,’Dia ada dari Heng Ie Pay,” sahut Tjin Kong, sedang Kim Hoa bilang: “Aku dengar dia serukan berhenti, tapi aku sengaja masih serang dia, dengan begitu, bukan maksudku akan tempur terus adanya. Menurut aturan, memang aku mesti lantas berhenti menyerang. Karena ia sebut diri dari pihak Heng Ie Pay, aku jadi hendak mencoba terlebih jauh. Dari gerak-gerakannya itu, dia benar dari Heng Ie Pay.”

“Selagi Soemoay dan Kim Soeheng menyerang, aku sengaja tidak turut ambil bagian,” Yo Tjin Kong tambahkan, “dengan begitu, aku hendak saksikan gerak-gerakannya. Gerakan tubuhnya enteng, kelitannya, tangkisannya, semua ada dari Heng Ie Pay. Kenapa Soehoe menanyakan ini?

Apakah Soehoe dapat lihat apa-apa yang luar biasa?”

Lioe Kiam Gim urut-urut kumis-jenggotnya, ia bersenyum. “Memang tidak gampang untuk • melihat dasar ilmu silat

orang,” ia menyahut.-”Siapa peroleh ilmu curian sekedarnya, dia memang bisa gunai itu untuk bertempur, hanya cara menggunakannya tak leluasa seperti ilmu silat kaumnya sendiri. Untuk melihat itu, kita mesti guna. tempo ketika ia sedang terdesak, itu waktu akan terbukti ketangkasannya.

Tadi dia didesak oleh Kim Hoa, sehabis dia elakkan piauw dari Tiap-dj ie. Dia elakkan diri bukan dengan tipu Heng Ie Pay, hanya dengan tipu berkelitnya Gak Kee Koen, dari Kaum’Keluarga Gak. Piauw dari Tiap-djie tak dapat dicela, cuma masih kurang latihan dan pengalaman, siapa sempurna ilmu kegesitannya ‘Keng kong tee tjiong soet’, ia bisa egos tubuhnya dengan gampang. Aku pun sangsikan dia selama aku angkat dia bangun….”

Kim Hoa berempat berdiam. Mengenai soal ini, tentu saja mereka punya pengetahuan atau pengalaman masih sangat kurang.

“Besok aku turut kau pergi ke Poo-teng,” kemudian Lioe Loo-kauwsoe kata kepada keponakan muridnya, setelah ia berdamai sama anak dan murid-muridnya. “Aku lihat, soal ini sulit sekali. Umpama kaum Kang-ouw musuhkan gurumu karena gurumu mengekor pada pembesar negeri, aku nanti coba datang sama tengah, untuk mengakurkannya. Sama- sama kaum Rimba Persilatan, tak boleh kita orang saling bentrok. Sudah lama aku undurkan diri tetapi aku percaya, Tjiong Hay Peng beramai nanti masih sudimemandang kepadaku.”

Lioe Kiam Gim buktikan kata-katanya ini pada besok paginya. Ia berangkat bersama Kim Hoa sesudah pesan murid-muridnya akan baik-baik berdiam di rumah. Lioe Toanio, Lauw In Giok antar suaminya sampai di luar rumah. Kiam Gim pergi dengan hati tetap, sebab ia percaya, isterinyaakan sanggupjaga rumah, sedang Yo Tjin Kong sudah wariskan kepandaiannya tujuh atau delapan bagian. Dan Ham Eng dan Bong Tiap, sekalipun belum sempurna, mereka rasanya sudah bisa bantu In Giok dan Tjin Kong. Tak pemah ia sangka bahwa ombak bakal bergelombang hebat!

II

Sejak berangkatnya Lioe Kiam Gim, Lioe Toanio mesti wakilkan suaminya mengurus seantero rumah tangga. Di bagian luar, Yo Tjin Kong bantu soebonya. Si nona kecil, Bong Tiap, setiap hari berlatih atau bermain-main saja sama Ham Eng, sam-soehengnya, tapi sekarang mereka jadi terlebih “binal”, hingga leluasa sekali mereka pergi ke hutan mengacau sarang burung atau ke muara akan main perahu. Toanio dan Tjin Kong mengantapkan saja, Cuma kadang-kadang mereka merasa sedikit kuatir.

Setelah ia sekarang berusia delapan belas tahun. Ham Eng suka merasa kehilangan apabila untuk sedikit waktu dia tidak lihat atau berkumpul sama Bong Tiap, sementara si nona tetap merasa merdeka, tidak pernah dia merasa likat, malah ada waktunya dia tepuk si suheng apabila si suheng bengong sambil berkata, “Eh, eh, kenapa sih kau nampaknya tolol?….” Sesudah ditegur secara demikian, baharu Ham Eng sadar dengan gelagapan.

Demikianlah hari itu, Bong Tiap dan Ham Eng main perahu di Kho Kee Po. Mereka singkirkan gelagah dan ganggang, mereka gayuh perahu sampai ke tengah muara di mana ada beberapa pulau, dari sana mereka dengar datangnya nyanyian kaum nelayan, rupanya nona-nona tukang ikan bemyanyi saling sahut-sahutan. Di udara ada burung-burung laut yang berterbangan. Ham Eng bengong mendengar nyanyian dan matanya mengawasi ke udara.

“Soemoay, soemoay,” tiba-tiba dia bertanya, “di sini ada begini permai, maukah kau kalau kita berdua selamanya bermain-main seperti sekarang ini?….”

Bong Tiap tertawa cekikikan mendengar pertanyaan itu. “Selamanya bermain-main seperti sekarang ini?” ia ulangi.

“Kau sering bilang aku ada satu bocah cilik, tapi lihat sekarang, apa kau sekarang bukan terlebih cilik daripadaku? Tunggu sebentar, apabila perutmu sudah ngericik karena lapar, apa kau tidak nanti lekas-lekas lari pulang akanmintamakan! Bagaimana kita bisa selamanya main-main disini?”

Soemoay itu tidak mengert., maka Ham Eng lebih-lebih melengaknya! Bong Tiap tertawa, sambil tertawa ia gayuh perahunya yang laju pesat, sesudah maju sampai beberapa puluh tumbak, sekonyong-konyong ia dengar suara ribut di sebelah depan, hingga ia angkat kepalanya akan mengawasi.

Di sebelah depan sana ada beberapa perahu nelayan dengan nelayan-nelayannya lagi menjaring, sedangnya begitu, sebuah perahu kecil, dengan digayuh keras, nyerbu antaraperahu-perahu nelayan itu, air jadi berombak keras dan muncrat ke atas. Itu ada suatu gangguan untuk tukang- tukang tangkap ikan itu, karena sekalipun ikan yang sudah masuk ke dalam jaring tentu pada lari kelu’ar pula. Maka itu, nelayan-nelayan itu jadi kaget dan gusar, hingga mereka mendamprat dan menegur pada orang-orang di atas perahu kecil itu. Nampak demikian, Bong Tiap dan Ham Eng turut menjadi gusar.

“Soeko, mari kita ajar adat pada mereka itu!” kata sang soemoay. “Mereka tak dapat diantap main gila di Kho Kee Po ini! Kenapa mereka ganggu itu kawanan nelayan? Soeko, pergi kau lawan dia, aku nanti bersiap dengan Kim-tjhie-piauw! Lihat, mereka lagi mendatangi kemari, mari ‘kitapegat!”

Selagi Ham Eng belum sahuti si nona, perahu di depan sudah datang dekat dan terus melesat melewati perahu mereka, air muncrat tinggi, hjngga mengenai dua anak muda ini.

Dalam murkahnya, Bong Tiap sudah lantas gunaigala gaetannya, akan sam-bar cartel kendaraan air orang, hingga perahu jadi tiba-tiba berhenti dengan tiba-tiba, sedang Ham Eng segera putar kemudinya untuk bikin kedua perahu jadi berhadapan.

Di dalam perahu itu ada empat orang. Yang berdiri di muka ada seorang berumur tiga puluh lebih. Yang bercokol di buntut perahu ada si jurumudi, seorang muda usia dua puluh lebih.

Dua yang lain, lagi rebah dengan anteng di dalam perahu, ro- man mereka tidak kelihatan tegas, mereka seperti juga tak tahu bahwa telah terjadi suatuapa….

Adalah orang. di kepala perahu, yang menjadi gusar. “Eh, bocah-bocah cilik, apakah kau orang hendak cari

mampus?” dia membentak. “Kalau kau orang hendak

pelesiran, pergilah pulang dan pelesiran dengan soeniomu tapi jangan di sini kau orang cari malu untuk orang tuamu….”

“Oh, orang-orang tidak tahu aturan!” Ham Eng segera membaliki. “Nanti tuan kecilmu ajar adat pada kau orang! Lekas angkat kaki dari Kho Kee Po ini, atau apabila tidak, kepalannya tuan kecilmu ini nanti tidak kenal orang!”

“Baik, aku justeru mau kenal kepalannya si tuan kecil!” jawab or•ang itu, yang segera loncat ke perahunya dua anak muda itu, hingga perahu ini jadi goncang dan limbung.

Tapi Bong Tiap segera pentang kedua kakinya, ia menancap kuda-kuda hingga perahu jadi diam, tak bergeming. Itu ada kuda-kuda “Kim Han tan tjiang” atau “Kaki kecil injak pelatok” dan gerakan “Lek to tjian kin” atau “Tenaga menekan seribu kati”. Sengaja Lioe Kiam Gim ajarkan kedua ilmu ini karena ia kuatir gadisnya, sebagai orang perempuan, nanti kurang tenaga. Dan hari ini, kepandaian itu telah diuji.

Orang itu sampai untuk segera menerjang, gerakannya sangat gesit, ia hendak jambak Ham Eng untuk diangkatdan dilemparkan ke muka air! Kelihatannya ia tak pandang sama sekali bocah itu.

Kecerobohan orang itu adalah apa yang Ham Eng inginkan. Dia muda, tapi Ham Eng ada satu puteranya satu ahli silat dan telah terpimpin baik oleh Lioe Kiam Gim – ia sudah belajar enam atau tujuh tahun, maka tak dapat ia dipandang sebagai bocah yang kebanyakan. Melihat serangan itu, dengan gesit ia mendak, sebelah kakinya dimajukan, hingga ia jadi nyelundup di bawah tangan musuh, Sementara tangannya sendiri dipakai menangkap, menanggapi lengan kanannya itu, lalu dengan tidak kalah sebatnya, ia gunai tipu “Soen tjhioe tjian oh” atau “Mengulur tangan menuntun kambing”, untuk membetot dan melepas!

Ini adalah suatu gerakan yang tidak disangka-sangka, maka itu orang menjadi kaget, sia-sia saja ia coba berontak, tahu- tahu tubuhnya telah terangkat dari perahu dan terlempar, tercebur ke dalam air!

“Byaar!” demikian suara di muka air.

“Ha-ha-ha-ha!” Ham Eng tertawa. “Kau hendak kenal tuan kecilmu, sekarang kau telah belajar kenal!….” Tapi sebelum pemuda ini tutup mulutnya, atau seorang lain sudah loncat pula ke perahunya. Ini orang tidak sembrono seperti yang pertama, ia terus berdiri mengawasi pemuda itu, kemudian baharulah ia berkata: “Sahabat kecil, kau liehay juga! Adakah ini pelajaran yang kau dapat dari soeniomu?” Perkataan - ”soeniomu” atau – “gurumu” – telah dikeluarkan dengan lagu suara menghina. “Aku juga ingin belajar kenal denganmu!”

Habis kata begitu, orang itu buka kedua tangannya seraya pasang bhe-sie.

Ham Eng tidak kenal sikap orang itu, tapi baharu saja secara getas ia rubuhkan satu musuh, ia jadi berani sekali, tanpa berkata apa-apa, ia maju menyerang dengan tangan terbuka-dengan “Tjin-pou Tjit-sen-tjiang” atau “Majukan tujuh bintang”.

Lawan itu berlaku tenang, tetapi sebat. Begitu lekas tangannya si pemuda sampai, ia geser sedikit sebelah kakinya ke samping depan, jangannya dipakai menabas lengan Ham Eng. Syukur Ham Eng pun awas dan cerdik, ia lekas-lekas singkirkan bahaya dengan “Tjhioe hoei pie pee” atau “Tangan mementil piepee”.

Sampai- di situ, keduanya lantas saling menyerang, dasar Ham Eng masih bungasan, ia kalah ulet dan cerdik, ia lantas nampak keteter.

Sejak tadi Bong Tiap mengawasi saja, tangannya telah jadi gatal, sekarang melihat soehengnya terdesak, tidak tempo lagi ia buktikan janjinya untuk membantu. Ia keluarkan tiga batang Kim-tjhie-piauw, dengan cepat sekali ia menyerang ke arah tiga jurusan: Satu ke tenggorokan, dua ke kiri dan kanan! Serangan itu di luar sangkaan musuh, apapula si nona menyerang dengan sebelah tangan, dengan sebat ia berkelit ke kanan, dengan begitu tenggorokannya luput dari bahaya, demikian pun anggotanya sebelah kanan, akan tetapi lengan kirinya segera menjadi korban, malah segera juga ia rasai tangannya itu jadi gemetaran dan kaku. Ia kaget dan gerakannya turut jadi kendor karenanya, tidak heran apabila ia kena didesak Ham Eng dan kakinya si pemuda bikin ia terpental, nyebur ke air, hingga terdengarlah suara menyebur yang keras dibarengi dengan muncratnya air muara! “Ah, perempuan tidak tahu malu!” demikian terdengar cacian dari perahu lawan. “Sudah tidak mampu melawan, kau main senjata gelap! Kau punya senjata rahasia, apakah aku tidak? Nah, kau sambutlah!”

ltuiah suara si pengemudi anak muda, ia mendamprat seraya tangannya diayun, hingga terlihatlah beberapa benda berkeredepan menyambar ke arah Tjoh Ham Eng. Nyata ia sudah gunai Thie-lian-tjie atau “biji terataf emas”.

Ham Eng kaget bukan rriain, ia sebenarnya belum sempat tarik pulang kakinya, ketika serangan datang, di luar kehendaknya sendiri, iamenjerit: “Celaka aku!”

Dalam keadaan berbahaya bagi Ham Eng itu, sekonyong- konyong ada sambaran suara nyaring dan Thie-lian-tjie lantas meluruk jatuh ke muka air, karena Bong Tiap kembali perlihatkan kepandaiannya menggunai Kim-tjhie-piauw, ini kali ia gunai tipu sambitan “Lauw Hay say kim tjhie” atau “Lauw Hay menyebar uang emas”. Maka Thie-lian-tjie tidak mengenai sasarannya dan runtuh di tengah jalan.

Ham Eng jadi lega hatinya, ia bersyukur.

Di pihak lawan sekarang orang anteng, di dalam perahu, lantas munculkan diri.

“Tahan! Tahan!” ia berseru berulang-ulang. “Untuk layani dua bocah kenapa mesti pakai senjata rahasia?”

Si pengemudi muda lantas berdiarn, dan Bong Tiap juga segera awasi or•ang yang baharu perlihatkan diri ini, ialah seorang tua umur kurang lebih lima puluh tahun, kumis dan jenggotnya panjang, matanya tajam, romannya keren.

“Anak-anak, tidak ada celaannya benar-benar permainanmu itu!” kata orang tua itu sambil tertawa seraya urut-urut kumis- jenggotnya. “Hanya melainkan dengan kepandaianmu itu, buat jadi orang-orang Kang-ouw tukang campur urusan lain orang, itulah tidak gampang! Mari kau or•ang maju berdua, dan kau Nona, kau boleh keluarkan Kim-tjhie-piauw! Dari pihakku, aku tak nanti izinkan orang gunai sebelah saja dari senjata gelapnya!”

Ham Eng setujui itu tantangan. Soehoe dan soehengnyajuga, memang sering omong perihal bertempur satu sama satu, itulah aturan atau keharusan di kalangan Kang-ouw, bahwa siapa mau kerubutan, harus malu sendiri.

“Soemoay, kau mundur!” ia teriaki Bong Tiap. “Biar aku yang belajar kenal sama ini enghiong tua!” Bong Tiap menjebi. “Bukankah mereka itu kalah satu datang satu?” mengejeknya. “Memang juga siapa kesudi an gunai senjata rahasia? Mereka mendahului tek pakai aturan tapi sekarang mereka berani menegur kita- cis!” _ Sekalipun demikian, nona manis ini mundur si orang tua tertawa berkakakan.

Di antara suara tertawa orang tua itu lompat melesat ke perahunya Ham Eng, akan hampirkan ini anak muda. Ham Eng tidak puas dengan itu sikap jumawa, yang sangat memandang enteng kepadanya. Ia pun segera ingat keterangan gurunya berhubung sama pertempurannya Kim Hoa, sang soeheng, dengan Ong Tjay Wat. Bahwa paling tepat menyerang musuh selagi berlompat dan belum sempat taruh kaki. Maka sekarang, justeru orang lompat, ia pun lompat maju, tangan kanannya membabat kedua kaki si orang tua.

Di luar dugaan bocah ini, lawan tua itu terlebih liehay daripada Ong Tjay Wat, dia tidak berkelit untuk babatan itu, hanya kakinya yang kanan didahului dipakai menendang mukanya Ham Eng!

Ham Eng terperanjat, ia berkelit, dengan begitu serangannya jadi batal sendirinya, hingga tubuh si orang tua bisa turun terus ke perahu, kaki kirinya segera menginjak papan perahu, hingga kaki kanannya dapat menyusul turua, akan tetapi, gesit luar biasa kaki kirinya melayang naik umpema kilat, atas mana tak ampun lagi Ham Eng terdupak terpelanting ke muka air!

Karena itu adalah tipu “Wan yoh hoan twie” atau tendangan “Kaki burung wan-yoh saling susul”.

Bong Tiap kaget berbareng gusar, hingga ia lupakan “aturan Kang-ouw”, maka kembali ia menyerang dengan senjata rahasianya. Tapi si orang tua itu gesit bagaikan ”angin”, tubuhnya berkelit berkelebatan, hingga semua piauw jatuh ke air, sesudah mana ia berdiri diam sambil tertawa berkakakan dan akhirnya kata: “Ah! Tidak ada yang kena!….”

Selagi orang tua ini tertawa terbahak-bahak, karena ia sangat puas bisa ejek Bong Tiap, kelihatan satu ‘. perahu sedang mendatangi pesat sekali ke arah mereka, hingga perahu itu sampai dengan luar biasa cepat. Di kepala perahu itu ada berdiri seorang laki-laki umur kira-kira tiga puluh tahun, kepalanya mirip dengan kepala macan tutul, mukanya berewokan lebat, kedua tangannya berpeluk tangan, kedua matanya terbuka lebar dan sorot matanya tajam bercahaya, sikapnya keren.

Si orang tua berhenti tertawa dengan tiba-tiba, ia mengawasi orang yang baharu datang itu. Ia, seperti tiga kawannya, yang sudah berkumpul pula di atas perahu mereka, agaknya heran atau tidak mengerti. Mereka tidak kenal orang ini. Mereka tahu, dalam Keluarga Lioe, tidak ada murid atau orang semacam ini. Mereka menduga-duga, orang itu ada penumpang perahu biasa sajaatau dm hendak campur urusan orang lain. Maka semua lantas mengawasi.

Ham Eng sudah lantas naik ke perahunya. Tapi, seperti soemoaynya, diapun diam. mengawasi saja perahu yang lagi mendatangi itu.

Setelah perahu datang cukup dekat, si orang tua, yang mengawasi dengan tajam, dengan mendadak kasih dengar suaranya yang keras dan nyaring umpama guruh: “He, siapa sih? Mau apa kau datang kemari?”

Orang itu berdiri sedakap di atas perahunya, romannya tenang, malah dingin.

“Ada urusan apa maka kau orang bertempur di muka air?” dia tanya. “Aku telah lihat kau orang dari jauh-jauh! – Eh, orang sudah jenggotan? Eh, kenapa kau layani segala bocah cilik? Apakah mereka berlaku kurang ajar terhadap kau, Lauwko? Nanti aku bikin kau orang akur! Apakah kau tidak takut ditertawai orang Kang-ouw kalau kau layani segala bocah?” Sejak tadi ia menegur, orang tua itu telah lihat tubuhnya dari kepala sampai di kaki, dari itu, ia segera lihat caranya dia berdiri, hingga ia jadi terkejut. Sikap itu mirip dan tidak mirip dengan sikapnya Kaum Thay Kek Pay tetapi sudah terang aneh seorang umur kurang-lebih tiga puluh tahun, bisa bersikap demikian.

“Paling tinggi umumyabaharutiga puluh tahun tapi dia seperti keluaran latihan dua atau tiga puluh tahun….” pilar orang tua ini. “Murid siapakah diaini?”

Bong Tiap juga awasi orang itu, ia heran dan mengingat- ingat. la rasa pernah lihat orang ini tapi lupa, entah di mana.

Orang asing itu tertawa dingin melihat si orang tua diam saja.

“Sahabat baik, bagaimana?” dia menegur, sembari tertawa tawar. “Coba omong terus terang, kau sudi sudahi urusan ini atau tidak? Apakah kau tetap hendak perhinakan dua bocah ini?”

Mukanya si orang tua jadi keren, baharu sekarang ia tertawa menyindir. “Mendengar lagu suaramu, Lauwko, kau seperti hendak campur tahu urusan kita ini!” katanya. “Baik aku jelaskan padamu, kita ada punya urusan kita sendiri, urusan itu tidak mengenai Lauwko seorang luar, dari itu tak sudi aku bikin pakaianmu kecipratan air kotor dari muara ini! Baik Lauwko kembali dengan perahu, supaya selanjutnya kita menjadi sahabat. Belum pernah di kalangan Kang-ouw aku ketemu orang nganggur seperti Lauwko ini, aku kuatir, rase kau tak dapat cekuk, kau akan ketempelan baunya yang tidak sedap!”

Orang asing itu gusar.

“Orang di kolong langit mesti campur tahu orang di kolong langit!” jawabnya. “Aku melainkan tahu toelai perbuatan tidak pantas, aku larang sikuat perhinakan si lemah, yang banyak menindas yang sedikit, si tua Bangka ganggu si muda!

Sahabat, bagaimana pikiranmu?” Matanya  si orang tua jadi mendelik.

“Oh, aku tidak sangka, Lauwko, kau hendak urus urusan di dunia!” ia berseru. “Nah, terserah kepada kau, kita bersedia akan turut segala perintahmu!”

Ucapan ini ditutup sama gerakan tubuh seperti kilat, tahu- tahu si or•ang tua dari perahunya Bong Tiap sudah mencelat tinggi, hendak berlompat ke perahu orang asing itu, sedang si orang asing dari perahunya sendiri melesat ke perahunya si nona, malah dia ini mendahului sampai! Maka segeralah terdengar satu suara nyaring di perahunya Bong Tiap, papan perahu siapa, bagian atasnya, lantas terbelah, karena keinjak oleh tubuh yang besar dan berat dari si orang tua, tubuh siapa sudah kebentrok keras dengan tubuh si or•ang asing!

Orang tua itu segera gulingkan tubuhnya di atas perahu, kapan ia telah enjot bangun, segera ia enjot bangun, untuk lompat ke perahunya sendiri. Ia rupanya insyaf, perahunya si nona terlalu sempit untuk suatu pertempuran.

Si orang asing turun ke perahunya Bong Tiap dengan tidak rubuh, kapan ia lihat si orang tua pindah kendaraan air, tak terlambat lagi, ia loncat menyusul, hingga sekarang ia berada bersama dalam perahu si tua itu! Malah dengan lantas, keduanya sudah mulai saling menyerang. Segera juga ternyata, orang tua itu bergerak-gerak dalam ilmu silat Pak Pay, Golongan Utara, tangannya mainkan ilmu “Pek-kwa-tjiang”, sedang si orang asing, yang berkepala mirip macan tutul (pa-tjoe-tauw), campur-aduk permainannya, yaitu ilmu Thay Kek Pay teraduk dengan “Sha-tjap-lak kim-na-hoat” dari Golongan Eng Djiauw Boen si Kuku Garuda dari Kwan- gwa dan Ban Seng Boen punya ilmu golok “Ngo-houw toan- pek-tjiang” ialah”Limaharimau merampas roh”. Dan pada itu juga tercampurlagi dengan Tiam-hiat-hoat atau ilmu menotok jalannya darah. Hingga orang tua itu jadi heran, cara bagaimana seorang berumur kurang lebih tiga puluh tahun sudah punyakan semua kepandaianmu. Maka tidak perduli, Maka tidak perduli, bagaimana dia liehay danberpengalaman, selang lima puluh gebrak kira-kira, orang tua itu lantas saja kewalahan, dari pihak si penyerang, ia sekarang jadi pihak sipembeladiri.

Pek-kwa-tjiang dari Golongan Utara adalah ilmu piranti mendesak, sekarang dia berbalik kena didesak, dari itu terpaksa ia mesti melakukan penjagaan saja. Sekalipun demikian, ia tetap terdesak, karena lawan itu agaknya tidak sudi mengasih kelonggaran padanya. Dia ini gerakkan dua-dua tangan kiri dan kanannya secara hebat.

Mula dengan tangan kirinya dipakai membacok tangan kanannya itu orang asing, orang asing itu mengancam dengan kaki kanannya disusul dengan sambaran tangan kanan.

Tujuannya ialah perutnya siorang tua, dia ini gerakkan tangan kanannya untuk punahkan tangan musuh, dilain pihak perutnya dibikin kempes dengan disedot kedalam, sekalipun demikian perut ini masih mendapat tekanan keras.

Pa tjoe-tauw atau si kepalan macan tutul telah mendesak lebih jauh dengan tangan kirinyakearah muka lawan.

Orang tua itu gerakkan kedua tangannya ke atas, untuk menggencet tangan kiri musuh itu, tetapi tangan kiri ini ditarik turun dengan cepat, disusul sama sambaran tangan kanannya ke arah pipi, dalam gerakan “Tiam-tjoe-twie” atau “Tusukan pahat”. Sekali ini orang tua itu tak sempat menangkis pula, dia kalah gesit, maka pipinya itu kena terhajar, dari itu ketika disusul dengan satu dorongan pada tubuhnya, tubuhnya jadi limbung, sebagai layangan putus, tubuh itu terpental, kecebur ke muka air! Hingga air menerbitkan suara berisik dan muncrat tinggi dan lebar!

Selagi Ham Eng dan Bong Tiap kagum menyaksikan pertempuran dahsyat itu, sekonyong-konyong mereka dibikin terkejut dengan limbungnya perahu mereka yang tersundul naik sebab diluar dugaan setelah siorang tua tercemplung kedalam air, ia selulup dan menyundul perahu mereka.

Di saat kedua anak muda itu hampir terjerunuk ke muka air karena mereka tidak bisa pertahankan diri lebih lama, tiba-tiba si orang asing lompat pada mereka, klu dengan masing- masing sebelah tangannya, ia angkat mereka melompat. ke perahunya sendiri, untuk ditempatkan di dalam perahunya, kemudian sambil serukan: “Lekas kau orang pergi pulang!” Ia sendiri segera terjun ke air, hingga, di antara muncratnya air, tubuhnya lantas terlenyap ke dalam air, akan di lain saat, ia muncul di dekat si orang tua, yang telah perlihatkan diri di dekat perahunya kediia anak muda itu.

Sambil perdengarkan bentakan, orang tua itu bikin gerakan hingga air menyambar si orang asing. Ternyata ia bikin perlawanan di dalam air, ia mencoba menyerang terlebih dahulu. AJkan tetapi orang asing itu lolos dari serangan, karena ia melesat tiga .tumbak jauhnya, ke arah perahunya si orang tua, di mana ia selulup, atas mana, – sesaat saja – terdengarlah suara berisik. Karena perahunya si orang tua telah disundul naik, terbalik dan karam, hingga tiga orang di dalam perahu itu, tak ampun lagi, tercebur ke dalam air, hingga dua antaranya mesti mandi pula!

Orang asing itu membik1” pembalasan untuk si pemuda dan si pemudi, hanya, kalau kendara* aimya dua anak muda ini tidak samPa karam, adalah kepunyaan si orang sudah terbalik.

Kepandaian berenangdan selulup si orang asing itu begitu liehay hingga musuhnya tidak dapat dekati padanya.

Itu waktu sejumlah perahu nelayan telah mendatangi mereka lagi bertarung di muka air, dia orang itu ada mendongkol karena tadi mereka sudah diganggu oleh empat orang yang tidak dikenal orang itu, malah beberapa nelayan muda lantas saja menimpuk dengan tempuling mereka, untuk bantu si orang asing yang jadi pembela mereka. Maka empat orang tidak dikenal itu jadi repot, mereka mesti kelit sana dan kelit sini.

Si orang tua jadi sibuk, ia mengerti bahwa mereka terancam bahaya. Untuk layani si orang asing saja ada sukar, sudah di situ ada kedua anak muda, Kim-tjhie-piauw siapa harus dimalui, juga sekarang ada nelayan-nelayan itu dengan tempulingnya.

“Angin keras! Berhenti!”si orang tua segera berseru, dalam bahasa rahasianya orang Karig-ouw, kaum Sungai-telaga. Itu berarti bahwa bahaya lagi mengancam mereka. Ia pun segera mendahului, akan selulup, akan menghilang pergi, hingga tiga kawannya lantas susul padanya. Si orang asing muncul di muka air. “Pulang! Lekas pulang!” katanya pada Ham Eng dan Bong Tiap, yang masih saja mengawasi mereka sesudah mana, ia silam.

Cepat sekali, kedua anak muda ini lihat orang telah saling kejar jauh sekali jaraknyadari mereka, sedang di depan mereka, air lantas jadi tenang pula.

Ham Eng merasakan dirinya seperti lagi mimpi, ia tampak pakaiannya basah dan tubuhnya merasa dingin, tapi lekas ia pegang kemudi, akan gayuh perahunya pergi. “Mari kita lekas pulang!” katanya pada Bong Tiap. Had sudah fnulai sore. Bong Tiap manggut la pun kuatir ibunya meng-harap-harap.

Selagi mendekati pinggiran, dua anak muda ini segera dengar suara panggilan: “Bong Tiap! Bong Tiap! Ham Eng! Ham Eng!” Dan suara itu seperti suara mendesak.

“Ya!” Ham Eng menyahuti. Ia kenali suara dari dji- soehengnya.

“Ah, Ham Eng,” soeheng yang kedua itu kemudian kata. “Kau kenapa? Kenapa kau nyebur ke air?” “Hebat, Soeheng,” sahut Ham Eng, yang terus tuturkan kejadian barusan. “Kalau begitu, mari lekas pulang!” kata djie-soeheng itu. “Perihal ini perlu segera diberitahukan pada Soebo!”

Tiba-tiba: “Bong Tiap! Bong Tiap! Ham Eng! Ham Eng!” Itulah suara sang soebo atau Lioe Toanio, maka segera

Bong Tiap menyahuti: “Ibu! Ibu, orang telah permainkan

kita!….”

Lioe Toanio tidak lantas jawab puterinya, ia hanya awasi Ham Eng.

“Ah, kau bertempur di air?” nyonya guru itu kata. “Tentu kau telah dibikin kecebur! Lihat,celanamu pecah! Apakau kau tidak terluka?”

“Benar, Soebo,” Ham Eng menyahut, seraya terus tuturkan kejadian tadi.

“Cukup, Anak!” Lioe Toanio berkata. “Sekarang marilah pulang! Kau mesti lekas salin pakaian, atau kalau kau terluka, lekas kau pakai obat gosok! Tjin Kong, pergi kau layani saudaramu ini. Kau, Anak, man ikut aku!”

Sampai di situ, berempat mereka pulang. Adalah di rumah, sebelumnya siap dengan barang daharan, Lioe Toanio suruh anak dan muridnya ulangi penuturan mereka yang jelas. Yang terutama menarik adalah halny a si orang asing dengan kepala seperti kepalamacan tutul. Bong Tiap dengan bernafsu puji orang asing itu, yang ia katakan kepandaiannya ia belum pernah lihat, hingga ia lupa bahwa ayahnya justeru seorang guru silat yangliehay!

“Dan yang aneh, Ibu,” kata si nona akhirnya, “gerak- gerakannya mirip dengan apa yang Ayah dan Ibu ajarkan kepadaku – Thay Kek Pay kecampur Ban Seng Boen….”

Lioe Toanio berdiam, ia berpikir, sambil ngoceh sendirinya: “Oh, or•ang berkepala mirip macan tutul, berewokan, umurnya kurang lebih tiga puluh tahun!….”

Ia agaknya bersangsi, ia seperti ingat suatu apa.

“Dan ia bicara dengan lidah apa?” tanyanya kemudian. “Hoo-pak atau Shoatang?”

“Apakah Ibu kenal orang itu?” Bong Tiap balik tanya. “Dia bukan berlidah Shoatang atau Hoo-pak, entahlah lagu suara mana, rasa-rasanya dia bicara dengan lagu suaranya si saudagar djinsom dari Kwan-gwa yang duluan datang beli djinsom dari Ayah….”

Nyonya itu berdiam pula.

“Aku hendak duga seseorang, tetapi lagu suaranya, boegeenya, bikin aku sangsi,” katanya. “Tapi mereka yang ganggu kau orang, aku tahu asal-usulnya mereka.”

“Siapa mereka, Ibu?” Bong Tiap tanya.

“Apakah mereka ada Ong Tjay Wat dan persaudaraan Lo?” Tjin Kong turut tanya sebelum guru perempuannya sahuti si nona.

“Kalau bukan mereka, siapa lagi?” sahut sang soebo sambil manggut. “Kau tidak tahu, Anak, selagi kau bertempur di muara, aku juga dapat kunjungan ‘tetamu yang tidak diundang..„” Bong Tiap dan Ham Eng terkejut, si nona lantas minta keterangan, tanyanya kemudian. “Hoo-pak atau Shoatang?”

“Apakah Ibu kenal orang itu?” Bong Tiap balik tanya. “Dia bukan berlidah Shoatang atau Hoo-pak, entahlah lagu suara mana, rasa-rasanya dia bicara dengan lagu suaranya si saudagar djinsom dari Kwan-gwa yang duluan datang beli djinsom dari Ayah….”

Nyonya itu berdiam pula.

“Aku hendak duga seseorang, tetapi lagu suaranya, boegeenya, bikin aku sangsi,” katanya. “Tapi mereka yang ganggu kau orang, aku tahu asal-usulnya mereka.”

“Siapa mereka, Ibu?” Bong Tiap tanya.

“Apakah mereka ada Ong Tjay Wat dan persaudaraan Lo?” Tjin Kong turut tanya sebelum guru perempuannya sahuti si nona.

“Kalau bukan mereka, siapa lagi?” sahut sang soebo sambil manggut. “Kau tidak tahu, Anak, selagi kau bertempur di muara, aku juga dapat kunjungan •tetamu yang tidak diundang….”

Bong Tiap dan Ham Eng terkejut, si nona lantas minta keterangan.

“Tetamu tidak diundang” itu bukannya suatu ahli silat, dia malah satu bocah ialah Ong Siauw Sam, anak tunggal dari OngToa-ma, tetangganya LioeToanio, yang bekerja di sebuah warung arak kecil di Kim-kee-tin. Biasanya bocah ini pulang setiap tengah bulan dengan menenteng sedikit oleh-oleh untuk ibunya, karena ia berbakti. Biasanyajarang ia mampir pada Lioe Toanio, tapi kali ini ia berkunjung. Lioe Toanio ada manis budi, ia girang menerima bocah itu, ia tanya ini dan itu dengan gembira, tapi Siauw Sam, setelah menjawab beberapa pertanyaan dengan ringkas lantas bilang: “Toanio, ada satu tetamu yang minta aku sekalian sampaikan sepucuk surat untuk kau.” Dan lantas, ia serahkan surat itu.

Toanio kaget menerima surat itu, dan kaget setelah membacanya.

“Tetamu macam apakah orang itu?” ia tanya Siauw Sam. “Kemarin kita kedatangan tetamu-tetamu dari satu

rombongan,” Siauw Sam kasih keterangan. “Mereka ada yang

tua ada yang muda, sembari minum arak mereka tanya aku kenal atau tidak pada Lioe Loo-kauwsoe, setelah aku kata kenal, seorang tua di antaranya lantas minta kertas, pit dan bak, terus menulis surat dan ia minta aku yang sampaikan, kalau tidak ada Loo-soehoe sendiri, boleh pada Toanio.”

Demikian Lioe Toanio, yang terus bacakan surat yang ia maksudkan itu. Itulah surat yang ringkas-terang dan kasar. Begini bunyinya:

“Kauwsoe Lioe Kiam Gim, suami-isteri!

Soeteemu, Teng Kiam Beng, telah menentang kita kaum Kang-ouw, ia tempel pembesar negeri, hingga kita jadi tidak puas, maka itu di Djiat-hoo, kita ajar sedikit adat padanya. Kabamya Kauwsoe niat campur tahu urusan ini, dari itu kita telah dikirim untuk datangi kau orang. Tak usah kita orang banyak bicara, biarlah kepandaian kita yang nanti memberi putusan. Besok sore jam Hay-sie, kita menantikan di dalam rimba pohon lioe di depan rumahmu! Jangan kau orang ajak- ajak Sam-boen djin-ma, atau ancaman bencana akan jadi terlebih hebat. Kau orang pasti mengerti aturan kita kaum Kang-ouw.

Juga Loo-kee Soe Houw tak dapat lupai budi pengajaran pada dua puluh tahun yang lampau, mereka pun datang untuk sekalian membalas budi ini!

Nah, sampai besok malam, Hormat, Lo Toa Houw

Ong Tjay Wat, dkk “

“Mefeka ada kawanan tidak tahu mampus!”kataLioeToanio kemudian dengan sengit “Kiam Gim tidak ada di rumah tapi aku bersedia akan sambut mereka, aku akan bikin mereka tidak kecewa!”

Habis itu, Lioe Toanio lantas tuturkan permusuhannya sama Loo-kee Soe Houw, Empat Harimau Keluarga Lo, karena mana iapun jadi kenal Lioe Kiam Gim dan akhirnya jadi menikah.

Itu adalah kejadian pada dua puluh tahun yang lampau.

Ketika itu Lioe Toanio atau Nona Lauw In Giok, baharu berumur dua puluh dua tahun. Dia ada gadis tunggal yang disayangi dari Kauwsoe Lauw Tian Peng, Ketua dari Golongan Ahli Silat Ban Seng Boen.

Dia telah dapat warisan ilmu silat keluarganya dan sering ikut ayahnya merantau. Begitu pada suatu hari, ia turut pergi ke Hauw-gie di Shaosay, akan sambangi suatu sahabat. Selagi lewat di Djie-tjoe, mereka saksikan sekawanan berandal lagi begal serombongan saudagar, mereka tolongi kawanan saudagar itu. Apa mau, rombongan berandal itu ada liehay, terutama lima antaranya. Mereka kena terkurung hingga sukar mereka loloskan diri, hanya dengan belakang madapi belakang, mereka bisa terns bikin perlawanan. Selagi mereka mandi keringat, datanglah bala-bantuan yang tidak disangka- sangka.

Satu penunggang kuda kabur mendatangi. Dia berusia kira- kira tiga puluh tahun, dia menggendol satu pauwhok kecil serta pedang di pinggangnya. Ia tahu apa artinya pertempuran itu, ia kagum melihat In Giok punya permainan golok Ban Seng Boen, sedang dengan Koan Ie Tjeng, Ketua dari Ban Seng Boen di Poo-teng, Hoo-pak, ia kenal balik. Maka tidak tempo lagi ia loncat turun turun dan kudanya, hunus pedangnya ceburkan diri dalam pertempuran itu.

Ia ambil pihaknya itu ayah dan anak. Lekas sekali jalannya pertempuran jadi berubah. Dengan orang asing ini menyerang dari luar perhatian berandal jadi terpecah, dan Lauw Tian Peng serta puterinya telah lantas dapat semangat baru, tenaga mereka tambah dengan seKejab. Mulai dari kaburnya kawanan liauwlo, juga lima pemimpin mereka segera turut angkat kaki. Untuk ini mereka berikan satu tanda rahasia, ialah suitan mulut.

Nona Lauw ikuti ayahnya sejak umur enam belas, belum pernah ia tampak kekalahan, sekarang ia kena didesak, tidak heran ia ada sangat mendongkol dan gusar, maka satu kali terlepas dari kurungan, ia umbar nafsu amarahnya, Ia kejar lima musuhnya, ia candak satu, yang lari paling belakang, kapan ia telah loncat menyambar sama goloknya, musuh itu bingung dan menjerit, sebelah lengannya putus dan jatuh ke tanah!

Lauw Tian Peng lihat puterinya kejar musuh, iahendakmencegah, apa mau ia sudah terlambat, musuh sudah kena dibacok, malah selagi tubuh or•ang sempoyongan hendak rubuh, In Giok pun telah membarengi dengan tendangannya pada dada orang itu, sedang sepatunya berujung besi!

Tian Peng sambar anaknya untuk ditarik mundur, sehingga musuh dapat kesempatan akan panggul pergi Kawannya yang terluka, sedang salah satu musuh, sambil lari dengan mata melotot, berseru: “Nona, kau kejam sekali! Selama masih hidup, Loo-kee Ngo Houw akan ingat baik-baik budi kebaikan ini!….”

“Ah, Bocah!”Tian Pengsesalkan anaknya – dia bukannya gusar pada musuh. “Kenapa kau kejar musuh dan kutungi juga sebelah tangannya? Kau tahu hebatnya kaum Kang-ouw dan bahwa musuh tak dapat ditanam bibit permusuhannya!” Memang, seumumya, Lauw Tian Peng, belum pernah sudi lukai orang secara hebat, maka itu ia tidak sangka, gadisnya justeru berbuat demikian.

Tapi, karena hal sudah terjadi, jago ini tak sesalkan puterinya lebih lama, hanya segera ia hampirkan penolongnya, untuk haturkan terima kasihnya yang hangat.

Nyata penolong itu murid kepala dari Thay Kek Teng ialah Lioe Kiam Gim, hingga tidaklah heran kalau ilmu goloknya liehay sekali.

Karena perkenalan ini, Kiam Gim pun jadi tahu, bahwa Lauw Tian Peng ada terhitung angkatan terlebih tua, dan pernah pamannya, sebab dia adalah paman jauh dari Koan Ie Tjeng. Dan Ketua Ban Seng Boen ini juga kenal Thay Kek Teng, gurunya.

Tatkala itu Lioe Kiam Gim baharu habis berpisahan dengan soeteenya Teng Kiam Beng, ia merantau untuk pesiar, siapa tahu, ia ketemu sama Lauw Tian Peng, ia telah bantui jago ini dan justeru Nona Lauw In Giok masih merdeka, Tian Peng lantas jodohkan puterinya pada pemuda ini, hingga selanjutnya, berdua mereka menjadi suami-isteri.

Kemudian Kiam Gim dan In Giok dapat tahu, bahwa Lo-kee Ngo Houw, atau Lima Harimau dari Keluarga Lo, adalah persaudaraan berandal yang mengacau di Soe-tjoan Barat dan sekitarnya, belakangan mereka pindah ke Utara, pernah mereka satrukantentara negeri, mengganggu kaum saudagar pelancongan dan memeras rakyat, hingga mereka diterima menakluk oleh negeri, hanya entah kenapa, tahu-tahu mereka bersarang di gunung di Djie-tjoe ini menjadi berandal pula.

Kemudian lagi, Kiam Gim dan isterinya tinggal menetap di Kho Kee Po. Ini adalah atas kehendak Lauw Tian Peng, supaya ayah ini atau mertua ini, kalau perlu, bisa lindungi keselamatan mereka dari gangguan musuh. Itu waktu Tian Peng telah dapat tahu, Lo-kee Ngo Houw sudah berubah menjadi Lo-kee Soe Houw, karena Harimau Ketiga, Lo Sam Houw, korbannya In Giok, sudah binasa, jiwanya tak tertolong dari luka hilang sebelah lengannya dan dadanya tertendang sepatu besi. Katanya Empat Harimau itu kabur ke Djiat-hoo di mana mereka umpetkan diri, tetapi Tian Peng tak ketahui, bahwa mereka sebenarnya bemaung dalam Keraton Sin-tek- kiong menjadi pahlawannya Kaisar Boan.

Dua puluh satu tahun lamanya Lioe Kiam Gim tinggal di Kho Kee  persaudaraan Lo juga berlatih terus, hingga sekarang Toa Houw jadi liehay begini. Baharu sekarang nyonya mi berpikir untuk tidak ngotot melayani terus, ia insyaf bahayanya akan bertempur lebih lama pula, di satu pihak jadi kuatirkan Bong Tiap dan rumahnya. di lain pihak, ia takut semua musuh nanti turun tangan’ Bagaimana la bisa melawan kalau mereka meluruk semua?

Sekonyong-konyong Lioe Toanio dengar tindakan kaki yang berlari-lari, ke arah rumahnya. Rupanya musuh tukar siasal setelah dapat kenyataan, nyonya ini sudah bisa dibikin terpatek di situ ia menjadi gusar! Jadi nyata dugaannya, musuh mengarah dua tujuan kepada ia sendiri, kepada rumahnya Itulah berbahaya!

Di sebelah kekuatiran’nya, bukan kepalang gusarnya Lioe Toanio, hingga dengan hebat ia menyerang. Ia pun segera mcnegur “Oh. orang-orang tak punya muka, kau orang bikin rusak kaum Kang-ouw! Kau orang boleh satrukan aku, kenapa kau orang juga arah rumahku?”

“Ha-ha-ha!” Lo Toa Houw menyambutnya dengan berkakakan. “Dugaanmu tepat! Inilah maksudku, uiilah tindakanku! Aku justeru hendak menghina anak daramu! Apa kau mau? Hutang darah dua puluh tahun rnesu dilunaskan berikut bunga!

Toanio bisa tertawa nyaring, tetapi hatinya, melainkan dia yang tahu sendiri. Kalau ayam biang sangat sayangi anaknya, apa pula manusia, satu ibu? “Baik, aku akan adu jiwakul” demikian teriakannya. Ia segera menyerang seperti kalap dengan goloknya, yang senantiasa kecampuran ilmu-ilmu tikaman Thay-kek-kiam. Ia keluarkan serangannya “Pwee lak Tjap sie” afau delapan kali delapan jadi cnam puluh empat bacokan dan tikaman, guna singkirkan kedua musuhnya.

Lo Toa Houw tidak takut, ia mainkan tumbaknya dcngan sempuma akan menghalau sesuatu serangan, selama itu, saban-saban ia tertawa terbahak-bahak, sedang di sebelahnya, Ong Tjay Wat mendesak tidak kurang serunya. Orang Heng Ie Pay ini jadi| dapat angin karena berkawan dengan toako dari Keluarga Lo.

Tumbaknya Lo Toa Houw jadi liehay sekali, saban-saban senjata itu mencoba akan keprak terlepas goloknya si nyonya atau ujungnya mencari jalan darah, untuk menotok. Apabila berhasil, dua-dua macam serangan akan bikin nyonya itu tidak berdaya.

“Bagus!” Nyonya Lioe Kiam Gim berseru kapan ia saksikan cara menyerang orang itu. Ia tidak takut, ia mendesak terus. Dengan “Peh tjoe tjoet tong” atau “Ular putih keluar dan guha”, ia mencoba babat jeriji tanganorang yang mencekal pedang.

“Ayo!” berseru Lo Toa Houw, yang terpaksa musti mundur seraya tarik pulang tumbaknya, tapi tidak urung ia kalah gesit, jeriji mania dari tangan kanannya telah kena terbabat Ikuturtg, hingga ia merasakan saktt dan kaget sampai ia bikin terlepas tumbaknya itu.

Toanio lihat orang mundur, ia barengi berlompat tinggi akan lewati kepalanya Tjay Wat, untuk tarik pulang.

“Pegat dial Pegat dia!” Toa Houw berseru dengan kaget kapan ia tampak musuh hendak kabur dengan tangan berketel-ketel darah, ia berjongkok akan jumput tumbaknya. Ong Tjay Wat tidak sangka orang bisa loncati dia, dia jadi sangat mendongko!. Ia anggap sial-dangkalan diloncati orang perempuan – ia percaya benar akan tahayul. Maka ia lantas berlompat akan susul nyonya itu. Dalam boegee, ia kalah daripada Lo Toa Houw, tetapi dalam keng-kong-soet, ilmu entengi tubuh, ia menang jauh. Kegesitannya sudah ternyata selama ia kelit tiga batang Kim-tjhie-piauw dari Lioe Bong Tiap.

Ada sulit untuk Lioe Toanio menyingkir pulang. Benar iaberhasil loncati Ong Tjay Wat, akan tetapi, baharu kakinya injak tanah, dua musuh pegat ia dengan babatan golok mereka masing-masing, hingga ia rnesu* layani mereka ini. Ia baharu lewat tiga jurus, Tjay Wat sudah sampai di belakangnya, akan terjang pula padanya. Maka di lain saat, ia sudah terkurung pula.

Dua pemegat dari Lioe Toanio ada berumur masing-masing dua puluh dan tiga puluh tahun. Mereka mi adalah yang pernah tempur Ham Eng dan Bong Tiap di tengah muara Boegee mereka tidak rendah, tapi menghadapi istermya Lioe Kiam Gim, mereka mesti main mundur apabila mereka tidak mau jadi korban golok, Hanya, si nyonya lagi lagi kena dirongrong oleh Ong Tjay Wat yang licik.

Dua-dua Toa Houw dan Ngo Houw sudah bebat luka-luka mereka, mereka ini merangsek pula. Sekarang Toa Houw majui tangan kirinya di muka. Oleh karena mereka sudah terluka, sekalipun berkelahi, mereka tidak garang lagi seperti semuia. Maka itu, dikepung berempat, Toanio tidak terdesak sebagai tadi. Hanya untuk loloskan diri, inilah sulit. Cuma dengan pelahan-lahan, dapat ia mendekati bahagian luar dari rimba itu.

Dua orang yang memegat sedikit ketinggalan di belakang, yang mudaan lantas keluarkan Thie-lian-tjte, untuk bokong si nyonya, tapi ia tidak sepandai Bong Tiap dengan piauwnya, duri besinya itu tidak mendatangkan hasil. Sekarang Lo Toa Houw pun kena ditinggal si nyonya, hingga tinggal Ong Tjay Wat yang larinya pesat, yang bisa menyusul, malah ujung pedangnya sudah ancam bebokongnya musuh. Ia bisa berbuat begini karena larinya yang pesat, hingga ia dapat candak musuhnya.

Lioe Toanio dengar angin menyambar di belakangnya. Ia menduga pada serangan musuh. Dengan tiha-tiba ia loncat nyamping kakinya menahan. lalu sambil putar sedikit tubuh, ia menikam balik, ke arah tenggorokan. Ini ada suatu gerakan yang liehay. yang meminta kegesitan.

Oag Tjay Wat lihat serang an musuh, ia hendak menangkis, hanya sayang. daiam hal mainkan senjata ia kalah eesit, ia tidak segesit ilmunya entengi tubuh atau lari pesat. Ia terkesiap hatinya.

“Rata! Maju! Maju!” demikian tiba-tiba Lo Toa Houw berseru-seru seraya tumbaknya dipakai menangkis goloknya si nyonya. Ia telah memburu dan mencandak lawan.

Lauw In Giok tidak tabu musuh hendak berbuat apa, karena itu, untuk sedetik, ia berlaku aval, dengan begitu, Tjay Wat jadi terluput dari bahaya. seiagi dia ini keluarkan keringat dingin saking kaget, Toa Houw telah berdiri di dampingnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar