Bujukan Gambar Lukisan Jilid 33

Jilid 33 : Pouw Liok It meninggalkan duniawi

"Kelihatan tempat kedlaman nya siauw-sancoe bukan didekat-dekat sini," kata orang yang kedua. "Kalau benar disini. Lo loosoe mesti memasang orang-orangnya. Lihat gunung kosong dan sunyi begini. Tapi benar, kita memang sudah lolos dari ancaman bahaya..."

Baru orang itu berkata demikian itu, dari samping mereka lantas terdengar tertawa yang menyeramkan-

"Belum tentu" demikian satu suar menyusul.

Dua orang itu kaget. Mereka lantas menoleh, mengawasi tajam kearah dari mana suara tadi datang.

Tak usah mereka berdua menanti lama, lalu mereka lantas melihat munculnya enam orang, yang rupanya sejak tadi bersembunyi diantara pepohonan- Mereka semua gesit gerak-geriknya. Yang maju didepan seorang berjubah biru, kata menyeringai: "Kamu berdua bangsa orang-orang ternama, mana bisa kamu lolos dari tanganku si orang tua? Sebabnya kenapa aku tidak segera membekuk kamu iaiah supaya kamu dapat menjadi petunjuk jalan untuk kami supaya kami dapat mencari Kang Siauw sancoe kamu" Lantas orang tua itu tertawa, suaranya memecah kesunyian gunung.

Dua orang itu bermuka pucat. Dengan cepat mereka sudah terkurung. Mereka bingung: "Lari atau terima binasa?" Selagi mereka itu tak berdaya, mendadak mereka mendengar suara meletup beberapa puluh tombak disisi mereka. Ditengah udara lantas melihat muncratnya lelatu api, yang disusul dengan suara bersuit keras. Kawanan pengurung itu nampak kaget. si orang tua berbaju biru tidak takut. Dia bahkan tertawa.

"Terangiah bocah she Kang itu sembunyi tak jauh dari sini" katanya. "Mudah saja aku si orang tua mendapatkannya"

Baru dia berkata begitu, tapi dalam pepohonan lebat terlihat keluarnya kira sepuluh orang, diantaranya ada Tok-Pie Teng koan coei Kiat Him dan Sim Yok serta Lauw chin.

Melihat coei Kiat Him yang berlengan satu, si orang tua baju biru tertawa tergeiak. Kata dia jumawa. "Manusia bercacad, kau masih berani banyak tingkah? Jangan kau jangan bikin kotor tanganku si orang tua"

Kiat Him paling mendongkol orang menyebut cacadnya itu, ia lantas maju kedepan orang seraya sebelah tangannya diluncurkan, Sembari menyerang itu, ia kata keras: "Mari kau rasai pukuian udara kosong dari orang tanpa daksa"

sijubah biru terkejut menyaksikan serangan itu, akan tetapi ia menangkis. Dengan begitu tangan mereka berdua beradu keras. Kesudahannya dia jadi bertambah terkejut. ia terhuyung mundur beberapa tindak.

"Apakah kau masih belum mau menyerah. tanya Kiat Him tertawa tawar.

si baju biru gusar bukan main, mukanya menjadi pucat dan padam. Segera ia menghunus pedang dipunggungnya. “Jangan jumawa" katanya bengis. "Aku menghendaki kau menyerahkan kepalamu" Sim Yok berlompat maju, tangannya memegang dua batang pedang pendek.

"Loo-enghiong siiahkan mundur" kata dia, "Serahkan bangsat tua ini pada aku si orang muda"

Mulanya Sim Yok menggunai cambuk Peng coa-pian yang lunak tapi sejak di In lam. Tiong Hoa menganjuri ia menukarnya sebab katanya cambuknya itu banyak cacadnya cuma dipakai berkeiahi renggang kalau rapat lantas tak merdeka lagi.

Si jubah biru mengerti dia lagi menghadapi lawan- lawan tangguh dia tidak mau banyak iagak lagi, dengan lantas dia mengulapkan tangannya, memberi isyarat untuk kawan kawannya maju. Maka merangsaklah enam musuhnya.

Melihat demikian- coei Kiat Him juga tidak berdiam saja. Maka kedua pihak lantas bentrok.

Si baju biru sendiri meiayani sim Yok. dengan pedangnya dia lantas menikam ke pundak.

Orang she Sim itu berlaku sabar. Mengenai ilmu pedang, kecuali dari Tiong Hoa, ia pun telah dapat petunjuknya Cek In Nio. ia menunggu sampai ujung pedang sampai, dengan gesit ia berkelit kekiri.

Musuh itu terkejut mendapatkan serangannya kosong.

Lekas-lekas ia bergerak mundur guna menukar kedudukan- ia lantas serang lawannya. Sim Yok merangsak. tiga kali dia menikam saling ganti begitu lekas tusukannya yang pertama gagal.

Si baju biru mengeluarkan keringat dingin. Syukur ia keburu menyedot dadanya, kalau tidak. celakalah ia Walaupun begitu, bajunya kena tertubias bolong, ia menjadi sangat gusar, maka waktu lawan maju lagi, ia memberikan perlawanan dengan gigih. Tiba-tiba terdengar jeritan kesakitan, dua kali beruntun. baju biru terkejut.

"Tahulah ia bahwa ada kawannya yang telah dirobohkan musuh. ia menjadi semakin gusar. maka ia mengulangi serangannya dengan bengis sekali. Tiga kali Sim Yok di serang hebat hingga dia terpaksa mundur dua tindak.

Sembari berkelit itu si baju biru mencoba melihat kearah kawannya. ia mendapat kenyataan lima kawannya, dua sudah roboh, jatuh ke lembah dan tiga yang lain nya juga terancam bahaya.

Kiat Him tidak turut bertempur, dia lagi memasang mata. rupanya setiap waktu dia bisa turun tangan juga. ia menjadi kecil hati, harapannya buat menang menjadi terbang. Maka ia memikirkan untuk menyelamatkan diri. Begitulah selagi bertempur itu, ia menggunai tipu menggertak. tempo Sim Yok berkelit, ia lompat mundur, terus ia lari kabur kearah lembah.

Sim Yok berseru, dia bergerak untuk mengejar. "Biarkan saja." Kiat Him mencegah. "Dia pasti bakal

datang pula.

Hampir berbareng dengan itu ada terdengar tiga kali jeritan dahsyat itulah suaranya sisa tiga orang yang kena dirobohkan oleh Lauw chin beramai, tubuh mereka itu terguling kedaiam jurang.

Sim Yok menurut, ia tidak jadi mengejar.

Kiat Him lantas mengawasi dua orang yang baru datang itu. "Kamu datang langsung kemari, kamu keliru" katanya bengis. "Bukankah siauw sancoe telah memesan wanti- wanti, kalau ada bahaya kamu tak boleh menyingkir ke Boe Ie San ini hanya mesti ke tempat ramai dimana saja, baru nanti dari sana selewatnya beberapa hari, diam- diam kamu mencari hubungan dengan kawan di cabang Yan bwee untuk merekalah yang mengajak kamu datang kemari? Tidakah sekarang kamu menjadi membawa bahaya untuk siauw sancoe?"

Dua orang itu berdiam.

"Aturan kita keras." kata Kiat Him pula, "maka itu perlu kau mempunyai alasan, kalau tidak. kamu bisa kehilangan tangan atau kaki kamu Thio Ie. Teng Beng Seng, lekas bilang, kalian mempunyai alasan atau tidak?"

Dua orang itu menjadi pucat. Thio Ie menjawab: "Kami berjumlah bertujuh, kami diberi tugas berdiam ditempat rahasia dibukit Hwee Liong Nia. Sebenarnya kami susah di cari musuh, apa celaka mereka itu menggunai api terpaksa kami lari menyingkir."

"Meski begitu tak selayaknya kamu lari langsung ke Boe Ie San ini" Kiat Him menegur pula.

"Meskipun kami tolol tidak nanti kami berani lari langsung kemari," berkata Teng Beng Seng. “Kami terpaksa kabur kemari sebab cabang di Yan-bwee sudah diubrak-abrik dan Hauw To coe telah kena ditawan musuh. Sebelum datang ke Yan bwee kami sudah melihat suasana buruk. Secara diam-diam kami mencari Hauw To coe di tempat tahanannya itu. Diaiah yang menitahkan kami segera lari ke Boe Ie San, guna mengasi kabar, Sayang selagi kami keluar dari sarang musuh, kami kepergok. lantas dikejar. Sebab itu dalam bingung kami lari langsung kemari" 

Kiat Him terkejut.

"Bagaimana caranya cabang Yan Bwee dapat diketahui musuh?" tanya dia. "Kalau begitu, mari lekas menghadap siauw sancoe untuk kamu memberikan laporan kamu"

Sebelum berangkat, Kiat Him kata kepada Sim Yok dan Louw chin: "Aku minta kamu suka mencapekan hati menjaga disini dengan waspada. Aku kuatir musuh nanti datang pula nelusup kemari. Aku akan segera kembali"

Sim Yok dan Lauw chin menurut, maka Kiat Him lantas pergi bersama Thio Ie dan Beng Seng.

Sim Yok telah memberikan isyarat, karena mana di Toh Goan Kok orang sudah lantas berlaku waspada.

Kiat Him bertiga sampai dimulut lembah dengan lantas bertemu dengan Kwie-Kian-cioe Cee Cit. ia lantas menuturkan hal datangnya Thlo Ie berdua.

"Mari lekas masuk" kata Cee Cit, yang lantas mengajak orang lari ke toa-thia, ruang utama.

Kang Ban ceng bersama Lo Leng Tek dan Ong It Hoei sudah menantikan, begitu mereka itu melihat tibanya Cee Cit berempat. siauw sancu si ketua muda, mendahului menanya. "siapa musuh yang datang menyerbu itu."

Kiat Him menuturkan kejadian barusan, ia lantas menunjuk Thio Ie dan Teng Beng Seng, setelah mana kedua ruang itu menceritakan kenapa mereka terpaksa lari langsung ke Boe Ie san.

Ban ceng menjadi berduka.

"Apakah kalian tahu siapa musuh itu?" ia tanya. Thlo Ie menjura. ia menyahut tak tahu . "Lo siokhoe, bagaimana ini?" Ban ceng tanya Leng Tek kepada siapa ia berpaling, ia berduka sekali.

Leng Tek mengeluh di dalam hati. Ketua muda ini sangat lemah dan bodoh, dia beda jauh daripada ayahnya yang gagah dan pintar.

"Mereka ini bersaiah tetapi dapat diberi ampun-" kata ia. "Baik mereka diserahkan aula Heng-tong untuk dihukum rangket tiga puluh rotan, setelah mana mereka harus beristirahat.”

Ban ceng setuju, maka ia berikan keputusannya.

Ketika dua orang itu dibawa pergi, Kiat Him pun berlalu untuk bertugas pula. Leng Tek masgul hingga ia mengheia napas.

"Aku percaya didalam tempo tiga hari musuh bakal datang menyerbu," kata Ong It Hoei yang bersenyum. "Bagusnya mereka masih belum ketahui tempat kita ini. Baik kita pakai akal untuk menyesatkan mereka lalu ditempat tersasar itu kita jaring mereka untuk dibekuk semua"

Mendengar itu, hati Ban ceng terbuka.

"Bagaimana caranya itu loosoe?" ia tanya "ingin aku mendengar keteranganmu." It Hoei bersenyum pula.

"Biarlah aku memikirkannya dulu sekalian nanti memeriksa tempat keletakannya." sahutnya.

Ban ceng menghela napas.

"Dasar aku yang bodoh," kata ia berduka. "Ayah mengatakan aku tidak dapat memegang

pimpinan, sekarang kata-kata itu terbukti. Terang orang semua mengarah aku dan aku tidak berdaya. Maka itu aku memikir menyerahkan kedudukan kepada Lie Siauhiap supaya Rimba Persilatan tak tercelakakan karena aku..."

"Sabar san coe," Leng Tek menghibur, sedang didalam hati, dia berduka sangat.

"Biariah hal ini kita atur perlahan-lahan. Aku percaya tidak nanti Lie Siauhiap tidak akan mengajukan dirinya.."

Ong It Hoei sementara itu sudah berpikir, terus ia mengisikisi ketua muda.

"Bagus. losoe " Ban ceng memuji. "Segera aku akan menjalankannya. ia malah lantas pergi kedalam.

Ong It Hoei lantas menceritakan kepada kawannya bagaimana ia mau menggunai akal meminta Tiong Hoa menggantikan ketua muda mereka memegang tampuk pimpinan- Ia mendapat kesetujuan- Maka itu, habis berdamai pula sebentar, mereka lantas jalan cepat ke belakang.

Digunung belakang. sebeiah timur, ada sebuah curug. Keletakan disitu berbahaya. curug itu tinggi dan suaranya berisik. Di samping air tumpah itu ada berdiri sebuah kuil yang kecil- mungil yang dikurung d engan pohon-pohon teh.

Tempat itu sunyi dan pemandangannya menarik hati. Tembok kuil putih dan mereknya berbunyi: "coe cay Am. Jadi itulah biara wanita dimana ada dipuja Koan Im Pou- sat. Surat itu indah dan keren sebab itulah buah kalamnya Lie Tiong Hoa.

Ketika itu ditepi air tumpah ada lima orang lagi berdiri mengawasi muncratan air. Mereka seperti teraling oleh air tumpah itu. Mereka bukan lain daripada Tiong Hoa berlima, yang tengah menikmati curug itu. Langit cerah dan bunga bunga tampak nyata. "Lihat engko Hoa" mendadak Lim Gin Peng berkata sambil tangannya menunjuk kedepan kejurang diseberang. Lihat Ong Loosoe dan lainnya lagi mendatangi Mereka bertindak dengan lekas sekali. "Tentu ada urusan penting."

Tiong Hoa dan yang lainnya berpaling. Si anak muda nampak heran- ia berdiam saja mengawasi mereka itu.

Belum lama tibalah Ong It Hoei bertujuh. Tiong Hoa mengawasi terus. Ia melihat wajah orang bersungguh- sungguh, bahkan Lo Leng Tek rada bergelisah atau berduka.

"Siauw sancoe mendapat sakit mendadak." kata orang she Lo itu, "Mungkin dia tak dapat ditolong lagi, maka itu kami datang atas perintahnya mengundang kau, siauw- hiap. Mari lekas kita pergi. Katanya siauw sancoe ingin mengambil selamat berpisah"

Tiong Hoa kaget tidak-terkira.

"Bagaimana." katanya heran- "Kemarin dia sehat wal afiat."

“Tapi ya, nasib manusia itu hitung detik." kata It Hoei. "Siapa tahu. Maka itu mari lekas, siauw hiap nanti kau tak keburu menemuinya." Tiong Hoa benar-benar bingung.

"Mari." Dia mengajak tanpa bersangsi atau bercuriga pula. Lantas dia mendahului lari.

ooo BAB 1

BEGITU TIBA di Toh Goan san chung. Tiong Hoa beramai lantas lari masuk kedalam kamarnya Kang Ban ceng. Anak muda itu mendapatkan siauw-sancoe mereka, si ketua muda, lagi rebah dengan berselimut mukanya pucat bagaikan mayat dan kedua matanya curam sayu, ia kaget sekali. Leng Tek mendekati.

"Bagaimana, san-coe ?" ia tanya perlahan- "Apa san coe merasa baikan ?"

"Ayahku pernah membilangi aku bahwa peruntunganku sangat tipis, mungkin aku tak berumur panjang," dia menyahut lemah.

“Sekarang kelihatannya kata-kata itu bakal terbukti.

Aku terlalu berduka, kesehatanku terganggu. Pada bulan yang baru lewat, pernah aku tumpah-tumpah darah.

Syukur Thian melindungi aku, hingga aku hidup terus sampai aku bisa menuntut balas untuk ayahku. Tapi sekarang ini lain, aku merasa penyakitku tak dapat disembuhkan lagi. Maka itu aku mengundang Lie Siauwhiap untuk berbicara." Selain lemah, suara ketua muda itu pun parau. Tiong Hoa lantas menghampirkan.

“Jangan berkecil hati, san-coe," ia menghibur. "orang baik selamanya dilindungi Thian- Sancoe sedang muda dan gagahnya. Tidak nanti kau berusia pendek. Aku percaya ada obat mujarab untuk dipakai menolong san- coe."

Ban ceng menggeleng kepala. Dia kehabisan tenaga, Air matanya pun lantas berlinang. Leng Tek masuki tangannya kedalam selimut, untuk meraba nadi orang.

"Masih ada harapan," katanya pada Tiong Hoa perlahan- "Pertama-tama kita harus mengasi makan obat yang dapat mencegah bertambah buruknya penyakit.

Nanti aku pergi mencari obatnya untuk campuran obat- obat yang kita punyai sekarang, cuma penyakit ini meminta tempo satu tahun atau sedikitnya setengah tahun untuk menjadi sembuh benar-benar. Didalam tempo tiga bulan, san-coe tidak boleh bekerja, tak dapat dia bergerak dari pembaringan, tak boleh dia mengetahui segala urusan diluaran. Asal dia kaget dan jengkel, darahnya bisa bergolak pula. Sancoe. dapatkah kau beristirahat seperti kataku ini ?"

Ban ceng tertawa meringis.

"Seperti kata ayahku, sebenarnya aku tidak bakal berusia panjang" kata ia. "Takdir tak dapat dilawan, kendati demikian, orang masih ingin hidup terus. Paman, aku mengandal pada kau. Dapat aku beristirahat tapi bagaimana dengan urusan kita ? Untuk kebaikan semua, aku pikir, aku mau minta Lie Siauwhiap mewakilkan aku..."

Muka Tiong Hoa menjadi merah. ia lantas menggoyangi tangan-

"Tak dapat," katanya lekas. "Kalau sancoe hendak mencari wakil, cariiah lain orang yang pandai. Laginya aku cuma menjadi tetamu saja, tak dapat aku memikul tanggung iawab berat itu..."

"Siauw hiap. aku minta janganiah kau menolak," berkata Leng Tek. sebenarnya sulit untuk siauw-sancoe memegang tampuk pimpinan disini. Bicara terus terang, sancoe tidak memiliki kecakapan dan tak mempunyai kewibawaan juga. Apakah siauwhiap tega membiarkan penyakitnya sancoe tak dapat ditolong dan kedudukannya ini menjadi runtuh?”

Tiong Hoa berdiam.

Ban ceng mengawasi, airmatanya berlinang. Terang dia memohon sangat.

Ong It Hoei dan Cee Cit pun turut bicara, menjelaskan dan membujuk. katanya perlu sancoe itu mendapatkan wakil. Pula katanya tempo tiga bulan hanya waktu yang pendek sekali.

“Dapatkah siauwhiap tak menolong orang dari ancaman maut?” demikian It Hoei bilang akhirnya.

Anak muda itu terdesak. ia memangnya welas-asih.

Akhirnya ia menarik napas dan mengangguk.

Lo Leng Tek girang sekali. ia lari ke-depan, dengan cepat ia sudah kembali. dengan leng-kie bendera titah dan sin-hoe-surat kekuasaan, untuk menyerahkan itu kepada si anak muda.

Ban ceng bersenyum. terus ia meramkan matanya. "Mari kita keluar." Leng Tek mengajak.

Tiong Hoa menurut. ia tidak tahu bahwa ia sedang diabui. ia menyangka Ban ceng sakit benar-benar.

Orang semua girang mendapat tahu si anak muda diangkat menjadi pemimpin, walaupun buat sementara waktu, Dibawah pimpinan Ong It Hoei, orang melakukan upacara memuliakan pemimpin baru ini.

Selesai upacara. Ong It Hoei lantas menuturkan pada Tiong Hoa hal adanya bahaya yang mengancam mereka. ia ceritakan kedatangannya Thio Ie dan Teng Beng Seng yang seperti membawa malapetaka, sebab si baju hijau tak dapat di binasakan seperti kawan-kawannya. Tiong Hoa terkejut ia melengak.

“Kalau begitu, dia mesti konco-konconya Bouw Sin Gan dan Pangeran Kosek” ia mengutarakan dugaannya. “atau lagi diaiah orangnya Hang Soe Koen.”

"Aku duga mereka bakal datang menyerbu dalam tempo tiga hari ini." Ong It Hoei berkata pula. “Mengenai itu aku telah memikirkan cara untuk memancing dan meringkus mereka semua. Sekarang cukup asal san coe memberikan pelbagai titahmu." Ahli pemikir ini lantas berbisik ditelinga si anak muda.

Tiong Hoa tertawa.

"Sungguh loosoe sangat cerdik," kata dia memuji. "Sekarang, baikiah loosoe yang mengatur semua, tak usah kau mensia-siakan tempo main tanya-tanya pula pendapatku. Nah iniiah lengkie"

Si anak- muda menyerahkan selembar lengkie.

Sampai disitu selesai sudah segala apa, Ong It Hoei berdiri dengan bendera titahan itu, dan Tiong Hoa mengundurkan diri, buat kembali ke kuil dimana tadi dia meninggaikan keempat istrinya.

Cek In Nlo berat berpisah dari ibunya, maka itu ia membangun sebuah rumah. Di-situ ia tinggal bersama Ban-in, Lee Hoen dan Gin Peng, karena mana, Tiong Hoa mesti tinggal disitu juga.

Bertemu dengan sekalian isterinya, Tiong Hoa menuturkan apa yang dilakukan barusan didalam markas, halnya Kang Ban ceng sakit keras dan ia di- angkat menjadi wakil sementara.

Cek In Nlo berempat menyambut suami itu dengan mereka masing-masing tertawa didalam hati. Mereka ketahui duduknya hal yang benar sebab tadi Cee Cit menggunai kesempatan menemui nyonya- nyonya muda itu, guna membeber rahasia, Mereka diberitahukan tetapi diminta menyimpan rahasia dulu.

Habis omong urusan Ban ceng itu. Tiong Hoa bicara dari hal Pouw Keng dan Pouw- Lim. ia heran mereka itu belum juga datang. In Nio mengawasi suaminya, matanya seperti melotot. "Kau benar tidak menahu" katanya menyesalkan. "Pouw Peehoe bakal masuk menjadi pendeta, guna mencucikan dirinya, itu berarti orang berpisah hidup seperti bercerai mati, karena itu dapatkah kau tidak mengijinkan mereka itu melakukan kebaktian kepada ayah mereka."

Tiong Hoa dapat dikasi mengerti, “itulah ku lupa.” Maka ia merasa tak enak sendirinya ditegur istri ini. Tapi kemudian ia tertawa.

“Jangan kau sesaikan aku, nona manis" katanya. “Jangan kau heran kalau aku sudah dapat tanah Liong tetapi masih mengharap pula tanah Siok. Aku toh bukan memikir yang tidak-tidak. oh, soat Jie, kau terlalu Kau telah memperoleh kedudukan baik lantas melupai lain orang"

Mukanya In Nio menjadi merah.

"Mulut lemes" katanya "Mari kita jangan iadeni dia ibu sudah habis bersembahyang, mari kita tengok ibu.

Biarkan dia sendirian disini, biar dia kesepian "

In Nio lantas menarik tangan ketiga madunya, buat diajak keluar dari kamar. Selagi berjalan pergi itu, Ban In melirik kepada suaminya itu, dia bersenyum... Tiong Hoa tahu In Nio lagi menggoda.

Ia membiarkan saja. Didalam kamarnya itu ia berdiam terus, telinganya mendengar mendengungnya air tumpah, hingga lama-lama ia tidak mendengar suara lainnya hingga ia seperti kelelap dalam suara yang kekal abadi itu.

Sang hari lewat dengan cepat. Empat hari kemudian- Tiong Hoa berkumpul diruang besar berdamai dengan Cee Cit semua, Mereka juga membicarakan pelbagai urusan Rimba Persiiatan-

Mereka masih berkumpul sampai Ong It Hoei datang dengan tergesa-gesa dan romannya agak masgul.

"Aneh. musuh masih juga belum datang" kata juru pemikir itu, "Aku telah mengirim orang ke cabang di Yan- bwee, katanya kawanan penjahat sudah mundur dari sana dan Hauw Tocoe telah dimerdekakan, hingga dia dapat berdiam disana merawat lukanya. Mundurnya mereka itu mencurigai,aku- menduga kepada akal muslihat..."

Semua orang heran, semua lantas berpikir. Ong It Hoei berjalan mundar mandir.

"Karena sulit menerka saja, aku pikir mau mengirim lebih banyak orang untuk membuat penyelidikan terlebih jauh," kata orang she Ong Itu. "Kalau kita mengutus orang kebanyak tempat, mungkin ada hasilnya."

"Baik, saudara ong, kau bertindakiah seperti apa yang kau pikir ini," kata Tiong Hoa. ia percaya benar juru pemikir itu. "Toh Goan Kok sangat aman-sentosa, memang paling baik mereka itu tidak datang kemari mengacau "

Pikiran ini wakil pemimpin wajar saja, ia sebal dengan segala urusan Sungai-Teiaga atau Rimba Hijau. ia pun masih pengantin baru, tidak heran kalau ia tak menyukai segala kepusingan- inginnya ialah hidup dengan damai didalam rumahnya. Hanyalah dia tak dapat menguasai jalannya penghidupan

ooo

Hari masih pagi sekali, kabut putih belum buyar. Di saat itu gunung Siong San terbenam dalam suasana fajar. Pepohonan segar angin bersilir-silir. suasana tenang dan nyaman rasanya. Dari dalam kuil, yang terkurung dengan tembok merah, tak hentinya terdengar suara tetabuan suci dibarengi dengan pembacaan doa para penghuninya. Demikian keadaan setiap harinya.

Hanya kali ini, dari dalam kuil terlihat keluarlah sepasang muda-mudi. yang satu tampan, yang lain cantik. Apa yang luar biasa mata mereka itu merah dan bengul, airmata mereka masih belum kering.

Merekaiah Pouw Keng dan Pouw Lim, kedua saudara kakak beradik. Sekeluarnya dari kuil itu, dengan lantas mereka berlari-lari keras menuju ke kota kecamatan Teng hong.

Satu kali Pouw Lim, si anak muda menoleh kebelakang kearah  kuil,  maka  berkataiah  ia  perlahan-  "Ayah  tega Ayah menjanji tempo satu bulan, tetapi masih

kurang tiga hari, mendadak ia telah mengubah pikirannya, ia mengajukan hari pilihannya, pagi ini telah menjalankan upacaranya menjadi pendeta, untuk seianjutnya hidup menyepi dan menderita seorang diri, sedang kita, telah lantas diusir dari kuil, dari atas bukit Siauw Sit San-" katanya untuk membuktikan kekerasan hatinya, kesujudannya untuk hidup damai. Kenapakah?

Apakah perlunya itu ?"

"Hus. adik" Pouw Keng. si kakak, menegur. Jangan kau sembarang mencela ayah. Jangan kau melupakan cara hidupnya ayah dulu-dulu. Meski benar ayah tidak sembarang membunuh orang, ia toh telah melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar prikeadiian- karena keangkuhan atau kejumawaannya ia suka juga berbuat telengas.

Setiap habis melakukan sesuatu, ayah tentu menyesal.

Baru belakangan ini ayah insaf akan segala sepak terjangnya yang tak tepat itu, maka sekarang ia telah mengambil keputusannya ini mencucikan diri. Dapat di mengerti ayah bertobat dan hendak mengubah cara hidupnya seianjutnya. Wajar apabiia ayah memilih agama untuk dapat melepaskan diri dari siksaan dunia yang fana ini Sebenarnya. daripada menyesali, kita sebaliknya harus bersyukur yang ayah insaf siang-siang. Loosoehoe Hoat Hoei mengatakan wajah ayah suram, bahwa ia bakal menemui bencana maka beruntung ayah lantas sadar.

Harap saja ayah sadar terus dan waspada..."

Pouw Lim bersenyum.

"Memang penghidupan banyak durinya, encie" ia kata. "Aku tidak sebagai kau yang terlalu berhati-hati, hingga ada kemungkinan kau nanti susah mengangkat kaki untuk bertindak."

"Ya, kau memang pandai bicara" kata kakak itu. " Kau tidak percaya aku. nanti kau lihat bagaimana kau nampak kesulitan”

Pouw Lim tertawa pula.

Mereka berhenti bicara, mereka lari terus cepat sekali.

Diwaktu magrib, tibaiah mereka di seiatan sungai Siau Siang Hoo. Tempat itu terpisah dari Yan-soe tinggal lagi tigapuluh lie.

Ketika itu sudah magrib dan angin meniup halus.

"Encie, lihat" tiba-tiba Pouw Lim berkata, tangannya menunjuk. "coba lihat, apa itu?"

Pouw Keng menoleh kearah yang ditunjuki sebeiah kiri sebuah rimba yang rada kosong. Disana nampak beiasan burung nasar terbang berputaran, turun naik. ia melengak. "Rupanya disana ada orang yang bakal menghembuskan napasnya yang terakhir." kata Pouw Lim. "Burung-burung itu hendak menggeragoti mayat tetapi mereka sangsi, mereka terbang meiayang-iayang berputaran saja. Mari kita lihat."

Tanpa menanti dijawab kakaknya, Pouw Lim lantas lari keatas itu.

Pouw Keng ingat baik-baik pesan Hoat Hoei Siangjin, tak ingin ia menemui sesuatu urusan ditengah jalan, hendak ia mencegah, adiknya itu tetapi sudah tidak keburu, karena itu terpaksa ia lari menyusul.

Tempat itu kekurangan sinar matahari akan tetapi kakak-beradik ini dapat melihat cukup nyata. Mereka tidak mendapatkan mayat atau bangkai binatang, cuma hidung mereka mendadak cium bau bacin. Sia-sia mereka mencari disekitar itu hingga mereka menjadi heran, dari heran menjadi curiga.

"Mungkinkah dugaanku keliru?" kata Pouw Lim didalam hatinya. Habis apa perlu nya burung-burung itu terbang berputaran"

Pouw Keng mencari terus, sampai mendadak ia mengasi dengar seruan tertahan-"Lihat ^ katanya. Ia menunjuk sebuah pohon besar.

Pouw Lim menghampirkan kesana itu lantas ia dongak. Maka ia melihat dua sosok tubuh manusia, yang hitam menggelempang bagaikan bayangan, nempel dibatang pohon besar itu, sedikitpun tak bergeming.

Pohon itu banyak cabangnya dan lebat daunnya, sukar itu itu kakak-beradik melihat dengan tegas, hingga mereka tak dapat melihat juga macamnya kedua sosok tubuh ini. Tak tahu apa sebabnya tubuh mereka nempel pada pohon-

Pouw Lim sudah lantas merogo kedalam sakunya, guna mengeluarkan batu api. Selagi ia hendak menyaiakannya, tiba-tiba telinganya mendengar suara sangat perlahan dan lemah, yang ia kenali: “Jiewie, lekas kamu berlalu dari sin? inilah tempat yang berbahaya"

Pouw Lim terkejut, hingga ia melengak. ia heran- "Bukankah kau Cwie Kong ?" ia tanya. Ia pun segera

menyaiakan bahan apinya itu hingga lantas mereka dapat melihat terang.

Dua sosok tubuh itu iaiah tubuhnya dua orang yang telah berlumuran darah^

orang yang satu mirip kera, kedua matanya mendelik, mukanya bengis. Dia telah menjadi mayat. orang yang satunya lagi seorang tua bertubuh kecil dan kurus. Tubuh mereka nempel dipohon karena dipantek lima biji paku besar, dipantek kaki tangan serta pusarnya. Dari setiap luka itu mengucur darah hitam, yang menetes jatuh ke tanah...

Siorang tua dan kurus itu masih belum mati. Mata dia suram tetapi dia masih mencoba mengg erakinya. Dia juga paksakan bersenyum, hingga dia menjadi bersenyum meringis. Dengan menguati diri, dia berkata pula lemah: "oh, kiranya san-coe muda kakak-beradik... Hambamu ini Cwie Kong sampai sekarang ini dia masih belum mati, rupanya dia masih dipayungi Thian yang maha kuasa..." Bukan main terharunya Pouw Keng dan Pouw Lim, hampir mereka tak dapat mengawasi orang-orang yang lagi tersiksa ini.

"Cwie Loo-soe, siapakah yang telah berlaku kejam begini terhadapmu ?" Nona Pouw tanya. Ia maju mendekati, dengan niat mencabut semua paku itu.

“Jangan cabut" tiba-tiba Cwie Kong berseru. Tapi ia berseru dengan terpaksa, dengan setakar tenaganya, habis itu terus ia muntah darah.

Pouw Keng dan adiknya kaget sekali. Mereka melengak.

Napas Cwie Kong belum putus. ia masih dapat menguat Hati, ia paksa tertawa sedih.

"Paku ini ada racunnya," ia kata pula. “Kalau paku ini dicabut, itu berarti mempercepat kematian hambamu ini. Sekarang, selagi belum mati, hendak hambamu menerangkan kenapa kami menjadi tersiksa begini..."

Pouw Keng dan adiknya mengawasi, mereka tetap heran- Cwie Kong berdua ini menjadi orang-orang setia dari ayah mereka, didalam kalangan cit chee Moei, ilmu siiat keduanya termasuk kelas satu, sejak ketahuan Hang soe Koen berkhianat, mereka ini diberi tugas menyelidiki penghianat itu.

Sejak meninggaikan Koen-beng, dua orang ini belum pernah kelihatan pula. Sekarang mereka kedapatan bercelaka disini, tidak bisa lain, pasti mereka menjadi kurban- kurbanny asi penghianat.

"Bukankah Hang soe Koen yang menyiksa kamu?" tanya si nona gusar.

Cwie Kong mengangguk. Tiba-tiba dia meringis, tandanya dia menahan rasa nyeri yang sangat, Seiang sekian lama, baru dia tenang pula. Ketika dia berkata, suaranya sangat perlahan- Kata dia: "Tak dapat hambamu memberi keterangan jelas sekali. Han Soe Koen membenci Leng-coe sudah sejak lama, sedari beberapa puluh tahun dulu, sebabnya iaiah perebutan seorang nona..."

Pouw Keng heran ia memandang adiknya. Mereka berdua belum pernah mendengar lelakon itu.

"Itulah sebabnya kenapa Leng-coe dan Hang soe Koen tidak pernah menikah, kata pula Cwie Keng, menyambungi. Hang Soe-Koen kalah dari Leng-coe, terpaksa dia mengalah, dia berdiam saja. Sebenarnya tak ada satu hari yang dia kasi lewat untuk meyakinkan peiajarannya terlebih jauh, dia mencari pelbagai ilmu karena keras niatnya dapat merobohkan Leng-coe..."

Itulah keterangan baru untuk Pouw Keng berdua. "Dan kematian hambamu .sekarang ini disebabkan

hambamu telah mencuri kitab ilmu siiatnya Hang soe Koen itu," menyambungi pula Cwie Keng, suaranya keras tetapi terputus-putus, sukar dia berbicara.

"Kitab itu diberi nama Thian Kong Sha Cap lik Pk Kip.

Telah hambamu pecah itu menjadi tiga bagian, tetapi yang dua kena dirampas pulang oleh Hang soe Koen- Tinggal yang sebagian lagi, hambamu simpan itu dipahaku Tempat ini sangat berbahaya. hambamu

kuatir Hang soe Koen nanti datang pula, sebab mungkin sekali dia lantas mendapat tahu kitabnya itu tidak lengkap."

Sampai disitu, berhenti sudah perkataan Cwie Kong, lantas kepalanya teklok. Ini artinya dia telah kehabisan napasnya. Pouw Keng dan Pouw Lim menjadi sangat berduka dan menyesal. Kakak ini mengawasi adiknya.

"Cwie Keng tak dapat bertahan," kata Pouw Lim. "coba kita datang lebih siang sedikit."

Pauw Keng berpikir keras. ia membayangi Hang soe Koen- soe Koen beroman halus, sedikit bicara, sikapnya ramah. Kebanyakan- orang cit chee Moei bergaul erat dengannya.

Terhadap mereka, kakak beradik, dia selalu hormat dan menurut, bahkan dia segan-Pernah mereka tanyakan ayah mereka, kenapa sikap pengikut itu rada aneh, ayahnya menjawab dengan tertawa acuh tak acuh. Baru sekarang, mendengar keterangan Cwie Kong ini, mereka ketahui soe Koen terhadap ayah mereka baik dimulut, dihati tidak.

Biasanya Pouw Leng-coe bersikap keras memegang aturan, sebawahan yang bersalah tak lolos dari hukuman berat, cuma terhadap-Soe Koen, ia bersikap lunak. bahkan soe Koen dipercaya habis, tak tahunya diantara mereka berdua ada menyelip urusan yang gelap bagai mereka kakak beradik.

"Adik," kata si nona kemudian, "lekas kau ambil kitab dikaki Cwie Keng itu Lainnya urusan kita bicarakan belakangan saja."

Pouw Lim menurut, ia mendekati Cwie Keng. Dengan pisau beiati, ia memotong celana orang, maka benar saja diatas paha dia itu kedapatan beberapa lembar kertas tipis yang terbuat dari kulit. Ia ambil itu. "Siapa disana?" sekonyong-konyong terdengar bentakan Pouw Keng. "Mau -apa kau main sembunyi- sembunyi?"

Pouw Lim terperanjat, segera ia menoleh, memandang kakaknya, lalu mengawasi ke-arah kemana mata si kakak memandang tajam. Kakak itu pun, telah menghunus pedangnya. Ia mengerti tentu ada orang tak dikenal mengintai mereka, lekas-lekas ia masuki kitab itu kedalam sakunya, ia sendiri turut siap sedia dengan mencekal tombaknya sendiri, tombak cit-chee-kie atau Tujuh Bintang.

Dari dalam rimba terdengar suara perlahan yang diiringi dengan batuk-batuk.

"Keponakan Lim, mari kau serahkan padaku itu beberapa heiai kertas itu.

Semua itu buku yang tidak lengkap. yang tak ada gunanya untuk kamu. Kau lempariah itu kedalam rimba, aku si orang tua akan mengambilnya sendiri. Dan kamu, baiklah kamu berlalu dari sini."

Orang itu bicara tanpa munculkan diri. Mendengar suara orang, kakak-beradik itu terkejut.

“Paman Han disana " Pouw Lim tanya "Kenapa paman tidak mau keluar untuk berbicara dengan sekalian keponakanmu?"

Orang didalam rimba itu, adaiah Han Soe Koen, batuk- batuk pula.

"Keponakan Lim, kau tahu tetapi kau sengaja menanya " katanya. "Aku si orang tua tahu tabiatmu yang keras, didalam segala hal kau biasa membawa adatmu sendiri, kau tentu tidak sudi menyerahkannya, hingga karenanya bisa terjadi digunainya kekerasan- Keponakanku, coba pikir, mana dapat aku melukai kamu? Iniiah sebabnya kenapa aku menyingkir, tak mau aku bertemu dengan kamu..."

"Paman-.." kata Pouw Lim pula, kalau paman masih ingat persahabatan lama, mengapa Paman berkhianat terhadap ayah kami ?"

"Ngacoh" mendadak suara membentak didalam rimba itu. "Ada sebab Lain-maka kenapa aku si orarrg tua tak suka melukai kamu" Lalu dia mengheia napas panjang. Dia kata pula. "Lekas kau tinggalkan kitab didalam sakumu itu. Supaya janganlah aku si orang tua dibikin menjadi gusar hingga timbul niatku melakukan pembunuhan”

Pouw Lim sudah lantas melirik pada kakaknya, hampir berbareng keduanya menjejak tanah, untuk berlompat dengan berbareng, buat bersama-sama menyingkir dari situ.

Rimba itu lebat, tak mudah untuk kakak beradik ini dapat keluar dari situ, sedang mereka berlari-lari tanpa kesempatan memilih jurusan- Salagi berlari-lari itu, tak hentinya mereka mendengar siulan nyaring dari sana sini.

"Celaka" kata Pouw Lim pada kakaknya perlahan- "Rupanya Hang Soe Keen mempunyai banyak kaki- tangan disini Apa tidak baik kita serahkan saja kertas yang tak ada harganya untuk kita ini?"

“Jangan” kata sang encie. "Kau tahu sendiri apa maksudnya Cwie Loosoe maka dia memecah kitab menjadi tiga bagian itulah supaya Hang Soe Keen tak memilikinya secara lengkap Pasti kitab ini berharga luar biasa. Dengan kita menyerahkan ini, kecewa kita terhadap Cwie dan Hauw Loo-soe berdua"

Mukanya Pouw Lim menjadi merah. Tanpa membilang- apa- apa, dia lari terus.

Sekarang ini suara siulan yang tak putusnya itu, berubah sedikit, yaitu kadang-kadang terdengar jauh, tempo-tempo terdengar dekat. iniiah bukti yang Hang Soe Koen masih belum mau melepaskan mereka. Tentu sekali, mereka tetap bingung.

“Jikalau kita lari terus secara begini, tanpa melihat jurusan, tak mungkin dapat keluar dari rimba ini", kata Pouw Keng kemudian- “Sekarang mari kita mengambil tujuan lurus, mesti kita dapat keluar”

Pouw Lim mengerutkan alis.

"Rimba lebat dan geiap." kata ia, " apakah dengan begitu kita tidak bakal menyerahkan diri kedalam jaring?"

Pouw Keng bersangsi.

"Biarlah" katanya kemudian- "Terserah kepada Thian-.

. Mari" Nona itu lari didepan, ia mengambil tujuan ke sebeiah kanan. Pouw Lim terpaksa mengikuti kakaknya ini.

Lari sekian lama. Hati Pouw Keng lega sedikit, ia melihat ia berada ditempat dimana sinar si Puteri Malam dapat menembus masuk. ia percaya jarangnya pepohonan berarti mereka sudah mendekati luar rimba. Tapi hati mereka tetap tegang. Ada kemungkinan Hang Soe Koen atau orangnya- lagi menantikan mereka diluar rimba itu...

Mereka lari terus. Benar saja, tak lama kemudian, mereka sudah tidak berada lagi didalam rimba yang lebat dan geiap itu. Hanya. begitu mereka berada diluar mata mereka melihat bergeraknya tiga sosok tubuh yang mendatangi lekas sekali kearah mereka. Tanpa sangsi pula. Nona Pouw berlompai maju, memapaki dengan satu tikaman

Tiga orang itu terkejut. Rupanya mereka tidak menyangka akan sambutan itu. Syukur mereka gesit dan waspada, ketiganya lantas lompat nyamping.

Justeru orang lompat itu, Pouw Lim juga menyerang dengan tombaknya, dengan Sam Hoa Twie Hoen,jurus Tiga Bunga Mengejar Roh, hingga ujung tombaknya berkiiauan tiga kali saling susul, menghajar kedada tiga orang itu. hingga mereka itu menjerit keras dan tubuhnya roboh ketanah

Dengan tidak mengambil mumet orang hanya terluka atau terbinasa, kakak - beradik ini kabur terus. Masih mereka tidak memilih arah. Didepan mereka ada iadang gandum yang luas, hingga mereka seperti tak nampak ujung-pangkalnya. Ladang demikian bukannya tempat sembunyi yang baik. Iniiah dua orang itu ketahui, tetapi mereka tak memperdulikannya, mereka lari terus mereka berlompatan dengan ilmu ringan tubuh co Siang Hoei atau Terbang Atas rumput"

Dibelakang mereka, mereka mendengar siulan yang nyaring. Ditempat terbuka itu, siulan berkumandang di empat penjuru. Semua siulan menandakan bahwa pihak pengejar bukan berjumlah sedikit. Karena itu meski mereka berani, kakak-beradik itu bingung juga. Makin lama, siulan makin ramai.

"Rupanya kitab ini merupakan jiwanya Hang soe Koen," Pouw Keng berpikir. Terang dia tidak bakal melepaskan aku berdua - coba ayah tidak mengundurkan diri, belum tentu Hang soe Koen menjadi begini berkepala besar" ia menambahkan-"

“Itulah belum tentu," kata Pouw Lim

“Sudah terang dia sudah lama mengandung niat berkhianat karenanya tak nanti ayah dapat mencegah dia. Aku rasa, sekarang ini dia cuma jeri terhadap ciehoe Lie Tiong Hoa, dari itu harus kita lekas dapat menghubungi ciehoe."

Pou Lim berkata begitu akan tetapi ia masgul.

Bagaimana mereka dapat lekas bertemu dengan Tiong Hoa?

Mendengar disebutnya nama pemuda itu, Pouw Keng berduka. ia pun jengah sendirinya, hingga mukanya menjadi bersemu merah dadu. Di lain pihak, ia heran atas kata-kata sang adik.

"Adik Lim beradat dan kukuh, belum pernah dia tunduk kepada siapa juga," pikirnya, "maka aneh kenapa sekarang ini din mengucap seperti barusan? Apakah benar-benar bencana ini tak dapat dihindarkan?"

Mau atau tidak. nona ini menjadi terlebih berduka, hatinya menjadi tidak tenteram. Sekarang rembulan sudah muiai doyong ke barat, angin Malam bertiup keras.

Dua orang itu kabur terus, - tak perduli siulan makin lama makin nyaring, rasanya datang makin dekat.

Kembali itulah bukti tak puas Hang Soe Koen sebelum dia berhasil mendapatkan sisanya Thian Kong Sha cap lak Pit Kip itu. selagi lari terus itu, disebelah depan nampak bayangan gunung.

"Itulah gunung Hok Gu San” Pouw Lim berseru girang. “Kalau kita dapat tiba disana, biarnya Hang soe Koen tetap menyusul kita tak nanti dia berhasil Dia bakal seperti mencoba mencari jarum didasar laut.”

Belum lagi mereka mencapai gunung di depan itu, enam atau tujuh orang kelihatan muncul disebeiah depan mereka.

"celaka" kata Pouw Keng. Dibelakang ada musuh mengejar, didepan ada musuh memegat. Mana dapat kita lolos?"

Pouw Limtapinya berseru "IHm" Dia bersiap menyambut tujuh orang dari sebeiah depan itu.

Dengan lekas tujuh orang itu sudah sampai, terlihat mereka semua menghunus senjata tajam, bahkan yang satu terus berkata dengan nyaring: "Kesorga ada jalanan kamu tidak ambil, kamujusteru menuju ke akherat yang tak ada pintunya Hok Go.^ San menjadi markas pusat kami, kamu rupanya tak pikir ini "

Tujuh orang itu menyerang dengan berbareng, senjata mereka semua mengarah dada si anak muda.

Pouw Lim berseru, dia berkelit, habis mana, dia lantas balas menyerang. Dia kembali menggunai tipu siiat tombaknya menyerang menjurus ketiga arah, masing- masing dengan jurusnya "Bintang Meluncur."" Kiiat menyambar guntur," dan Hujan dan Angin Memenuhi Iangit." Itulah saiah satu tipu siiat istimewa dari Pouw Liok It yang telah diwariskan kepada puteranya.

Ketujuh orang itu kaget, dengan terpaksa mereka pada berkelit. Mereka repot menyelamatkan diri dari Pouw Lim, mereka sampai lupa kepada Pouw Keng. Nona Pouw telah menggunai ketikanya. ia menyerang dengan dua-dua tangannya, dengan tenaga sembiian bagian, karena ia tahu, ia mesti bersikap keras apabiia mereka ingin lolos dan bebas.

Hebat serangan tak disangka-sangka ini yang mirip dengan serangan membokong. Tepat serangan itu mengenai sasarannya. Bagaikan dihajar martil. mereka semua menjerit keras, tubuh mereka terpental roboh beberapa tombak

"Mari lekas" Pouw Keng menarik tangan adiknya buat diajak kabur terus.

Kembali mereka tak menghiraukan musuh-musuh mereka itu. mereka lari terus kearah gunung. Mereka mendengar siulan yang nyaring tetapi tetap mereka beriagak tuli.

Gunung didepan itu sulit dijelajah. Banyak batunya bertebaran disebeiah batu-batu tinggi dan iancip yang disebut "batu rebung" atau rebung batu. Tapi semua rintangan itu di lewati, hingga kakak beradik itu berada pula ditempat dengan banyak pepohonan lebat. Disini seharusnya mereka dapat bersembunyi, tapi mereka lantas mendapat dengar suara seram ini: "San coe telah mengambil ketetapan untuk mendapatkan pulang sisa kitabnya

yang tinggal sebagian itu Sancoe tidak menghendaki kedua bocah itu dapat lolos San-coe sudah mengasi perintah melepaskan peluru api beracun Yam Beng Ngo Tok Tan. Dengan peluru itu, jikalau mereka tak keburu lolos, mereka bakal mampus keracunan dan terbakar Dengan adanya titah itu dapat kita bertindak tanpa ragu- ragu lagi "

Kaget kakak-beradik itu. Pouw Lim kata didalam hatinva "Entah peluru rahasia bagaimana Yam Beng Ngo Tok Tan itu oh. Hang Soe

Keen, kau benar-benarjahat Percaya. asal aku masih hidup, kau nanti dapat bagianmu ."

Selagi si anak muda berpikir demikian, dia menjadi kaget, ia lantas mendengar suara meletup beberapa kali, dan saban kalinya dia melihat sinar api bercahaya. disusul dengan nampaknya asap mengepul. cahaya api itu juga menyilaukan mata, sinar itu nampak jauhnya lima atau enam tombak. Pouw Keng kaget bukan buatan, "Adik Lim, benar-benar Hang soe Koen jahat sekali " katanya perlahan- "Rupanya tak puas dia sebelum dia membikin kita mati. Asap itu pasti beracun. Adik mari kita menyingkir jauh "

"Baik " menjawab Pow Lim yang hatinya panas.

Keduanya lantas berlalu dari tempat dimana mereka berdiam itu.

Baru lewat belasan tombak. kakak beradik itu mendengar satu suara didepan mereka: "Tidak saiah dugaan aku si orang tua Nah, apa kata kamu? Apakah kamu rasa kamu dapat lolos dari jaringku?"

Kata-kata itu disusul dengan serangan beiasan biji Ngo Tok Tan.

Pouw Keng dan Pouw Lim kaget sekali. mereka mendengar suara meletus saling susul.

Dengan lantas mereka menyerang kedepan, habis itu keduanya berlompat mundur, untuk lari menyingkir.

Diantara sinar api, mereka melihat muncul beiasan orang, diantaranya seorang yang lantas membentak. " Kawanan bocah, apakah kamu masih tidak mau menyerah untuk diringkus-? Dia membentak itu sambil terus lompat maju, dari mulutnya Terdengar siulan nyaring dan tajam.

Kakak beradik itu tidak mengambil mumat. mereka lari terus, sampai mereka menghadapi sebuah jurang.

Dibawah jurang itu mereka melihat kabut tebal hingga tak nampak dasarnya.

"Kelihatannya kita sukar lolos" kata Pouw Lim, masgul dan mendongkol. Daripada kita mati konyol didalam jurang ini. lebih baik kita mengadu jiwa"

Pouw Keng sebaliknya berpikir lain- ia mengertak gigi, mendadak ia menyambar tangan adiknya, terus ia tarik. tubuhnya sendiri bergerak. terjun ke daiam jurang itu Pouw Lim kaget hingga dia menjerit. Mereka jatuh kedalam jurang, diantara kabut. Telinga mereka mendengar suara angin lewat. Segera juga kaki mereka membentur sesuatu yang keras. Mereka tak terhuyung atau terguling. Tentu sekali, mereka menjadi heran-

Di atas jurang terdengar suara banyak orang yang berisik sekali. Malah si orang tua jelas sekali: “Pasti sekali kedua bocah itu mampus didasar jurang ini Aku si orang tua akan nantikan disini coba loosoe berdua mengajak semua kawan turun kejurang guna mendapatkan mayat mereka, untuk mengambil kitab Thian Kong Sha cap lak Pit Kip itu diri tubuh mereka.”

Dua orang terdengar menyahuti, lalu terdengar suara kaki mereka yang berisik.

Rupanya mereka pergi kelain arah, guna mencari jalan untuk turun kedalam jurang itu. Pouw Lim berjongkok, kedua tangannya meraba raba kedepan-Ketika itu mata mereka tak dapat melihat apa-apa. "Encie, tahukah kau kita berada di mana ini?" tanya ia perlahan pada kakaknya. "Aku rasa iniiah jalanan buatan manusia buat orang turun ke jurang dan naik dari jurang ini, iantaran tertutup kabut, jalanan ini tak nampak. Mari kita turun terus kebawah."

Pouw Lim tidak gusar pada kakaknya itu, meski muia- muianya ia tahu, ia dibawa terjun karena kakak itu sudah jadi nekad. ia tahu sang kakak berhati keras, kakak itu lebih suka binasa daripada tertawan. Maka ia girang yang mereka jatuh tetapi tidak mati atau terluka.

Pouw Keng meraba-raba, ia mendapat bukti dari perkataan adiknya itu. ia pun berhati lega.

"Mari.." kata kakak ini.

Keduanya lantas bergerak perlahan, turun mengikuti tangga batu.

"Encie, tahan" mendadak berkata Pouw Lim. sesudah mereka merayap turun sekian lama. ia merasa tangannya, yang diulur ke-depan tak mengenai sesuatu.

"Ada apa. adik?" Pouw Keng tanya. Pouw Lim kaget dan girang. "Rupanya sebuah gua" sahut sang adik, ia menarik tangan kakaknya, terus ia bertindak maju, ia menaruh kaki dengan perlahan- Setelah dua tindak. mereka sudah muiai memasuki gua.

Terowongan sempit, cuma satu orang dapat berjalan, dari itu mereka jalan berbaris. Makin dalam, terowongan itu terasa makin sempit, kira-kira dua puluh tombak.

Pouw Lim berhenti. Sekarang ia ingat pada api. maka ia menyalakannya. Terowongan masih dalam, maka itu keduanya maju terus. Sesudah jalan lagi enam tombak jauhnya, mendadak Pouw Lim berseru sendirinya.

Sekarang mereka berada dalam sebuah kamar batu yang bercahaya terang. Disitu ada kursi dan meja lengkap. semua terbuat dari batu hijau. Hawa didalam kamar ltupun hangat. Anehnya tak ada orang disitu.

Adik itu mendorong kakaknya, ia mendapatkan sang kakak berduka, sepasang alis nya seperti nempel satu dengan lain-

"Encie, kau kenapa ?" tanya adik ini, tak mengerti. "Bukankah kiia sudah lolos dari tangan-tangan jahat. Seharusnya kita bergirang."

"Kau bicara enak saja" kata kakak itu "Apakah kita mesti berdiam terus didalam kamar ini ? Sekarang kita lolos, tetapi siapa berani jamin sebentar atau besok mereka tak datang mencari kita ? Laginya disini dimana kita bisa dapatkan barang makanan ?"

Tanpa merasa, nona Pouw berlinang air matanya.

Pouw Lim tahu baik keberanian kakak itu. ia mengerti, sekarang kakak ini berduka karena dia memikirkan Tiong Hoa.

“Encie." kata ia, menghela napas. "Pasti Thian tidak bakal menutup jalan kita. Tadi kita lolos dari bahaya, sekarang belum tahu... Mustahil tak ada jalan keluar disini ? Encie tentu letih, baik encie beristirahat disini. sebentar kita menyelidiki lebih jauh kamar ini"

Pouw Keng memang merasa letih sekali, maka ia menghampirkan pembaringan di atas mana ia merebahkan diri. ia pun menutup matanya. Pouw Lim turut beristirahat. ia hanya duduk sambil menyender ditembok.

Setahu berapa lama ia berdiam saja, tiba-tiba Pouw Lim terkejut. ia mendengar suara orang diluar kamar itu. ia lantas memasang mata, ia mendengari terlebih jauh, hatinya berdebaran-

Pouw Keng dapat tidur, ia tak mendengar apa-apa.

Pouw Lim tak tega mengasi bangun kakak itu, ia berdiam saja, ia hanya menghadang didepan si kakak. tombaknya siap sedia.

"Dua saudara Pouw itu tentu bersembunyi didalam gua ini" terdengar suara satu orang. Sungguh diluar dugaan didalam jurang dari gunung Hok Gu San ada ini gua rahasia. Sudah sepuluh tahun boanpwee tinggal di- gunung ini, boanpwee kenal baik keletakan gunung, tetapi gua ini baru sekarang dapat ditemukan- Syukur barusan sang angin telah meniup bersih kabut disini hingga jurang nampak segalanya " itulah sebabnya kenapa gua ini dapat di ketemukan secara kebetulan”

Pouw Lim dapat dengar suara itu meski sebenarnya ia terpisah dari mereka kira tiga puluh tombak lebih. Ia mendengar suaranya orang muda. Kemudian ia mendengar suara seorang tua. "Siau-sancoe mau tunggu apa lagi, lekas menyerang dengan peluru kedalam gua itu Biarlah kedua bocah itu mampus. setelah mana kita ambil kitab dari tubuhnya Supaya kitab Thian Kong Pit Kip menjadi lengkap" orang tua itu bicara nyaring dan sambil tertawa keras juga. Bukan main panas hatinya Pouw Lim.

“Tua-bangka itu sangat kejam" pikirnya. "Siapa itu siauw-sancoe, si tuan muda. Apakah dia anaknya Seng coe Pek Wan Hang Soe Koen ? Sama sekali belum pernah aku mendengar soe Koen mempunyai anak"

Selagi berpikir begitu, puteranya Pouw Llok-it juga memikirkan daya untuk-membebaskan diri dari asap peluru api musuh itu. Terutama asap itu mesti dicegah dapat nelusup masuk kedalam gua.. .

Ketika itu Pouw- Keng telah disadarkan tertawanya si orang tua. Dia lompat turun dari pembaringan, untuk berdiri disisi adiknya. Sambil berbisik ia tanya kalau-kalau musuh sudah mengetahui adanya gua mereka ini. Pouw Lim mengangguk...

"Tidak nanti mereka berani lancang masuk." kata ia. "Mereka ditempat terang, kita sebaliknya ditempat gelap. Yang sukar peluru apinya yang berasap jahat ini."

Pouw Keng berduka sekali hingga kembali ia mengerutkan alis, ia menarik napas panjang.

Diluar itu terdengar pula suara orang bicara. tegas terdengar nya: "Aku tidak takut loocianpwee menertawakan Aku telah mendengar Pouw Liok It mempunyai seorang anak-dara yang cantik manis. dan juga liehay ilmu siiatnya, maka itu ingin aku mendapatkan dia. Tadi telah aku meminta perkenan dari ayahku untuk dapat menangkap hidup nona itu, dari itu tidak dapat sembarang menggunai Ngo Tok Tan yang amat jahat. Sekarang ini kita sabar dulu. aku masih belum dapat jalan sama tengah."

Panas Pouw Keng mendengar perkataan ini, sendirinya mukanya menjadi merah. ia-sampai membanting kaki karena mesti menahan gusarnya. Matanya bersinar bengis sekali.

Dari luar terdengar lagi suara nyaring si orang tua: "Kiranya siauw san-coe memikirkan si manis. Pantasiah kau ragu-ragu Baik begini saja, aku si orang tua nanti membikin minat siauw san-coe kesampaian Nanti aku masuk kedalam gua ini untuk membujuki mereka menakluk Dengan begitu aku juga nanti dapat minum arak pengantin "

“Jangan semberono locianpwee," kata sianak muda mencegah. “Baikiah kita pikirkan dulu cara yang sempurna."

"Hm" terdengar suara si orang tua jumawa, "Baik siau san-coe ketahui, aku si-orang tua pernah mengaiami ratusan kali bertempur. gelombang bagaimana besar juga pernah aku saksikan. dari itu. jangan kau buat kuatir Biarnya dua saudara Pouw itu terlebih pandai daripada sekarang. tidak nanti dia dapat mengaiahkan aku Laginya sekarang hati mereka itu sudah ciut pasti mereka tidak berani berbuat apa-apa atas diriku"

“Jikalau begitu, baikiah aku si orang she Gan menemani loocianpwee" kata seorang yang ketiga.

Si siauw-sancoe tuan muda, kata: "Kalau kedua loocianpwee masuk bersama, itulah baik sekali jikalau loocianpwee berhasil bukan main aku berhutang budi cuma aku minta sukalah loocianpwee berdua berhati- hati."

Orang tua itu tertawa berkakak.

Habis berhenti tertawa itu, lantas terdengar tindakan kaki. Pouw Keng dan Pouw Lim kaget sekali. Mereka seperti melihat dua bayangan orang lagi mendatangi. Dengan masuknya dua orang itu mulut gua yang terang menjadi seperti ketutupan-

Suara tindakan kaki terdengar satu demi satu, bagaikan bunyi martil, suara itu menggoncangkan hati si muda-mudi kakak beradik.

Dua orang itu berjalan sampai jauhnya tujuh kaki dari kamar, mereka berhenti.

"Aku si orang she Gan ingin bicara dengan Seng Loosoe," berkata orang yang satu," Dapatkah aku membuka mulut?" Si orang tua agaknya heran- "Aku si pengemis tua ada satu tabiatku." kata dia, ialah tabiat keras dan suka menang sendiri Tabiat itu membikin aku tak sudi mendengar kata-kata orang Tapi pun aku memiliki kebaikanku yaitu aku senang bicara terus terang tak suka aku mencurangi orang"

Orang itu batuk-batuk perlahan- "Aku justeru menghargai sifatmu itu. Seng Loosoe," dia kata. "Karena itu juga aku jadi berani omong terus terang. Seng Loosoe. bagaimana penglihatanmu mengenai Seng cie Pek Wan Hang Soe Koen? Bagaimana sikapnya Hang Soe Koen terhadap kita?"

Orang tua itu rupanya berdiam untuk berpikir. Sekian lama tak terdengar suaranya. Kemudian-

"Hang Soe Koen itu nampak lemah-lembut dan sangat ramah tamah dalam pergauian- kata ia, "cuma sinar matanya yang sedikit luar biasa lenyap secara tiba-tiba. Toh aku si orang tua, aku melihatnya nyata sekali."

Gan Loo-soe. mungkinkah kau mendapat lihat sesuatu dari sikapnya Hang Soe Koen itu - sesuatu yang tak baik untuk kita?" "Benar demikian, seng Loo-soe," sahut si orang she Gan itu. "Dimataku terang sekali dia mengandung maksud tidak baik terhadap kita, bahkan sangat jahat dan kejam Dia berniat membikin celaka pada kita Kecuali yang sangat erat hubungannya, tak ada yang ketahui maksud jahat Soe Koen itu. Tak beruntung bagi soe Koen kita mendapat tahu halnya kitab Thian Kong Pit Kip yang dia arah itu. Jikalau kita berhasil mendapatkan kitab itu, apa Seng Loosoe mau percaya dia akan memberi ampun kepada kita ? Buat aku, aku tidak percaya Loosoe tahu kenapa Mo Kan Soe coe dan Siang Tong Siang Ho lenyap tidak keruan paran? Mereka itu telah jadi kurban geiap dari Hang Soe Koen ? Karena kekejaman dia, aku kuatir kita bakal menjadi contohnya mereka itu berenam.

Kasihan empatjago dari Mo Kan San Im serta itu sepasang jago dari Siang Tong, Ouw-iam timur... Maka itu. Seng Loosoe lekas berdaya untuk menyelamatkan diri kita."

Suara si orang she Gan perlahan tetapi sungguh- sungguh.

Mendengar suara orang itu. Pouw Keng dan Pouw Lim mendapat harapan, itulah nasihat si orang tua she Seng supaya dia jangan mengganggu mereka. Mereka berdiam, untuk memasang telinga terlebih jauh.

"Gan Loosoe," kata si orang she Seng, suaranya kaget, " mengapa kau tidak bicara begini dari siang-siang ?

Bagaimana kau ketahui tentang Soe coe dan Siang Ho, enam orang itu?"

"Tentang itu baru saja aku ketahui," sahut orang she Gan- "Karena itu aku mengajaki Seng Loosoe keluar dari Hok Gu San. Sayang pengawas mereka itu sangat keras, tidak ada ketika untuk aku bicara dengan loosoe. orang tanya kenapa aku keluar. Aku bilang aku mau cari Hang San coe buat satu urusan penting. Seng loosoe, tujuh jagonya Hang Soe Koen senantiasa mengawasi kita, terang mereka mengandung maksud buruk. sembarang waktu mereka dapat turun tangan”

"Dimataku si -orang she Seng, tujuh orang itu tidak ada artinya sama sekali" kata orang she Seng. " Dengan sekali hajar saja dapat aku merobohkan mereka"

"Tak dapat-kita bicara seperti caramu ini, Seng loosoe." kata si Gan batuk-batuk. " Ingatiah, Ngo Tok Tan mereka itu bukannya lawan kita."

Si orang she -Seng bungkam.

"Sekarang mari kita masuk lebih jauh, sebentar kita bicara lagi" kata si Gan dan ia menarik tangan orang.

Kedua saudara Pouw memisahkan diri ke kiri dan kanan, siap untuk setiap serangan-Mereka tak mau mati konyol.

Dua orang diluar itu bertindak terus. Mereka sampai diambang pintu, masih mereka berjalan-

Orang yang satu yaiah seorang pengemis tua. tubuhnya kecil dan kurus, mukanya dekil, rambutnya awut-awutan, tetapi sepasang matanya sangat tajam dan berpengaruh. Dia mengenakan pakaian yang banyak tambaiannya. Di tangannya ia memegang tongkat bambu sebesar jempol panjang lima kaki. orang yang lainnya bermuka bersih, matanya bersinar, rambutnya panjang sampai diperut. Keduanya harus memandang tajam kekiri dan kanan kepada sepasang muda mudi itu. Mereka lantas tersenyum.

“Jiewie, jangan kaget," kata si Gan. "Dalam kejadian hari ini, bergabung kita beruntung, bercerai kita runtuh Bukankah barusan kamu telah mendengar pembicaraan kami berdua."

Dua saudara itu terus memasang mata.

“Jiewie Loo enghiong, maukah jiewie memperkenalkan diri kepada kami?" Pouw Lim tanya. Dia berhati-hati sekali. "Baikiah jiewie ketahui kami lebih suka terbinasa dari pada terhina, maka itu janganiah jiewie membujuki kami" Si orang tua she Gan tertawa.

“Aku si orang tua Gan Tok” dia menjawab. Dia menunjuk kawannya untuk mengajar kenal. "Ini jago nomor satu dari Klong Kee Pang, Partai Pengemis, iaiah Pek Houw Tong-coe Seng Kiat yang di dunia persialtannya disebut Pek Kiat Wie To, mata ikan Wie To Seratus Tambalan-"

Pouw Lim pernah dengar namanya Gan Tok ini, yang bergeiar Kheng-boen It Loo, jago tua satu-satunya dari Kheng-boen, yang terkenal ilmu siiatnya bertangan kosong teiapakan dan kepalan serta pedangnya. Karena ini, ia lantas mengubah sikapnya. Ia memberi hormat kepada dua orang itu seraya berkata ramah:

"Kiranya kedua loo-cianpwe Aku yang muda minta diberi maaf.. Karena kami lagi berada dalam kesukaran, kami tak dapat menghunjuk hormat sebagaimana seiayaknya."

Gan Tok bersenyum.

"Aku si tua juga tak rewel urusan adat istiadat." katanya bersenyum. ia terus berpaling pada Seng Kiat, untuk terus berkata: “Seng Loosoe, baiklah kau membiarkan Pouw Siauw hiap membikin robek babumu ditiga tempat serta membikin lecet kulitmu hingga keluar darah." 

Pek-kiat Wie To heran, hingga ia mengawasi kawannya itu.

"Tak dapat kita main ayal-ayaian lagi" kata Gan Tok. "Kalau Seng loosoe percaya aku, lakukaniah apa yang aku katakan-"

Pouw Lim dan Pouw Keng juga mendelong. Tak dapat mereka membade hatinya orang she Gan itu.

Tapi si pengemis lantas tertawa. Dia kata: "Baikiah, aku si orang tua percaya kau Pouw Siau hiap- mari, mari, kau serang aku."

"Siiahkan Siauw hiap" kata Gan Tok.. " Lekas..."

Didalam keadaan terpaksa. walaupun ia tak mengerti. Pouw-Lim turut perkataan siorang tua jago dari Kheng- boen itu. Tiga kali ia menusuk membikin robek baju tambaian dari ketua kaum pengemis, untuk keempat kalinya ia menyontek membikin orang tua itu terluka, hingga darahnya lantas mengucur deras. "Hm " seru, si pengemis, agaknya kaget.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar