Bujukan Gambar Lukisan Jilid 26

Jilid 26 : Menyusul In Nio dan Pouw Keng 

Sampai itu waktu, Pouw Llok It barulah menyingkirkan kain penutup mukanya hingga tampak kumis dan jenggotnya yang terpencar lima dan panjang, hingga kelihatan juga romannya yang tampan dan berpengaruh. ia mengawasi Na Loen Gan baru ia kata:

"Obat itu termasuk satu diantara ketiga benda pusaka, yalah cangkir kemala Lou giok coei-in-pwee. Jikalau cangkir itu dituangi arak simpanan Pek Jian Tin-cioe, lalu dicampuri obat buatanku, siapa minum arak itu segera racunnya musnah"

Mendengar itu hati Tiong Hoa tergerak.

Ho cin coe mengawasi jago she Pouw itu ia tanya: "Kabarnya cangkir itu telah lenyap dari istananya pangeran Tokeh. mungkinkah sekarang telah berada ditangan Pouw Loosoe."

Pouw Llok It mengangguk.

"Boleh juga kalau mau dibilang begitu," sahutnya. "cuma..." Belum sampai jago tua itu bicara habis antara sinarnya si Puteri Malam, dari pohon Pek yang tua dan tinggi serta lebat, terlihat beberapa orang berlompat turun, semua orang melihat gerakan mereka itu, semuanya terkejut.

Tiong Hoa bermata sangat awas, ketika ia mengenali satu diantaranya, ia menggeser tubuh kebelakangnya Lee Hoen.

Orang yang maju dimuka, usianya enam-puluh lebih kurang dan tubuhnya jangkung menghampirkan Pouw Llok It. Dia bergerak sangat gesit, terus dia menanya nyaring: "Pouw Tayhiap. benarkah cangkir kemala itu berada ditanganmu?"

Liok It melihat orang mengenakan seragam hok-wie dari istana raja, ia lantas mengenalinya. Ia masih menatap ketika, ia menjawab:

"Kiranya Liong Hoei Giok Tayjin dari pasukan pahlawan istana yang datang. Tidak kusangka urusan sebuah cangkir kemala sampai membuatnya tayjin bercape lelah melakukan perjalanan laksaan lie. Sayang cangkir kemala itu tidak ada ditanganku si orang she Pouw, maka itu maafkan aku tak dapat menjawab kau."

Kumis dan jenggot Liong Hoei Giok juga panjang sampai di dada, ia melirik orang di depannya, ia menyapu dengan sinar matanya kepada semua orang, yang semua mengawasi ia dengan berdiam saja, lalu ia tertawa lebar dan berkata:

"Pouw Tayhiap. aku si orang she Liong tidak ingin mencampur tahu urusan Rimba Persilatan, akan tetapi mendengar kata-kata kau barusan, pasti kau ketahui dimana adanya cangkir kemala itu. oleh karena itu aku minta sukalah kau beri petunjuk padaku, supaya aku dapat pergi kepada orang yang bersangkutan, guna meminta pulang dari ianya."

Pouw Llok It tertawa.

"Liong Tayjin, kau juga asal orang Rimba Persilatan- dari itu undang-undang kaum Rimba Persilatan, tak nanti kau sudah lupa" sahutnya, "tidak dapat aku menjawab kau."

Matanya Liong Hoci Gick bersinar bengis kumisnya sampai bergerak. Saking menahan sabar, sampai sekian lama ia berdiam saja, ia mengendalikan berdebarannya dadanya. Selagi pahlawan istana itu berdiam, dua orang berkelebat maju.

"Liong Tayjin, percuma saja untuk terus omong kosong" kata satu diantaranya. "Ijinkanlah kami membekuknya."

Tiong Hoa mengenali dua orang itu, adalah Mauw San siang kian- dua jago pedang dari gunung Mauw San- yaitu ceng Leng dan ceng in- la tertawa dalam hatinya dan pikir: "Rupa-rupanya mereka ini kuatir nanti tidak keburu mati" segera nampak roman Pouw Llok It menjadi angker.

"Eh. Mauw San siang Kiam, sejak kapan kamu menjadi gundalnya pembesar negeri?" ia menegur. "Kenapa golongan agama Sam ceng dapat mengeluarkan murid- murid semacam kamu?"

Hebat teguran itu. Mukanya ceng in menjadi merah. "Tua-bangka, jangan mencaci orang" dia kata nyaring.

Jangan kau memikir gila hendak bermusuhan dengan Pemerintah. Apakah kau mau mencarijalan mampusmu sendiri? jikalau kau tahu diri, lekas kau sebutkan cangkir kemala itu ada dimana" Habis berkata, ceng in menghunus pedangnya, ditelad oleh kawannya, Maka pedang mereka itu lantas mengeluarkan sinar berkeredepan- Dengan memasang kuda-kuda, mereka berdiri berendeng, bersiap untuk bertempur.

Liong Hoei Gick sebaliknya mengerutkan alis. Dia kata didalam hatinya: "Inilah Pouw Llok It. cara bagaimana kamu berani main gila terhadapnya?"

Sebaliknya tak dapat dia menghalang-halangi, karena tindakannya itu dia anggap bakal membikin Pouw Liok It menjadi mendapat hati. Pouw Liok It mengawasi dua imam itu.

"Kenapa kamu tidak mulai menyerang?" ia tanya menantang. "Manusia tidak mempunyai mata, baiklah kamu lekas mundur"

Mauw San Siang Kiam menjadi sangat gusar, lantas mereka menyerang.

"Hm" berseru Pouw Llok It. yang dua tangannya meluncur cepat sekali, ia melakukan itu sambil mendak.

Hanya dalam segebrakan itu, ceng Leng dan ceng in menjadi sangat kaget. Diluar sangkanya, pedang mereka terlepas dari tangan mereka, pindah ketangannya orang yang diserang itu Pouw Liok It tertawa.

"Didalam dunia Rimba Persilatan, aku si orang tua diberi julukan Giam ong leng" ia kata bengis. "maka itu siapa yang melanggar aku, dia mesti binasa." Lantas dia menyerang dengan kedua pedang ditangannya itu. yang ia timpukkan-

Mauw San Siang Kiam kaget, sudah begitu, diserang demikian rupa, kaget mereka bertambah. Dalam gugupnya mereka berkelit. Siapa saja mereka kalah gesit. Maka keduanya lantas menjerit keras sekali, tubuh mereka menyemburkan darah, terus keduanya roboh terbinasa. Kedua pedang nancap didada masing-masing pemiliknya itu.

Liong Hoei Gick menjadi gusar sekali.

"Pouw Llok It, kau berani melawan Pemerintah?" bentaknya.

Orang yang ditanya tidak menjawab hanya dengan dingin ia balik menanya: "Sejak kapan Mauw San Siang Kiam menjadi gundalnya pembesar negeri?"

Hoei Giok mengasi dengan suara "Hm" la kalah bicara.

Maka ia menggunai tangannya. Dengan jeriji-jeriji kuat seperti gaetan ia lantas menyambar, akan tetapi ditengah jalan semua jerijinya itu ditekuk hingga ia jadi menyerang dengan dua buah kepalanya.

Pouw Lick It melihat bahaya mengancan ia berkelit kekanan, tangan kanannya segera menghajar.

Hoei Giok berkelit kekanan kedua tangannya ditarik pulang. Atas itu. Liok It membalas menyerang, bahkan ia menyerang saling susul setelah yang pertama dan kedua gagal.

Biarnya dia gagah. Hoei Giok pun terdesak. Terpaksa dia mundur.

Liok It tertawa dan kata: "Aku menyangka pahlawan istana gagah luar biasa bagaimana kiranya cuma sebegini"

Diterangnya rembulan, muka Hoei Giok merah padam. la gusar bukan main atas ejekan itu. Maka ia lantas berseru, sambil berseru itu, ia menyerang dengan dua tangannya. la membuka semua jerijinya dalam gerakan "Diseluruh langit tampak bayangan jeriji tangan-" Dengan begitu ia menggunai ilmu silatnya yang dinamakan "Koen Goan Tay Eng Jiauw" atau "Kuku Garuda."

Pouw Liok It tidak takut bahkan dia kata tawar: "Liong Hoei Giok jikalau kau ingin mampus dibawahnya tiga menara ini. baiklah, aku si orang she Pouw akan membikin kau dapat mencapai keinginanmu itu"

Dengan dua buah kepalannya, Giam ong-Leng lantas menyerang, ia didesak. ia balas mendesak. ia melawan keras dengan keras. ia menggunai kegesitannya untuk menang unggul.

Maka hebatlah kedua jago bertempur. Satu jago Rimba persilatan, yang lain jago istana raja muda.

Selagi menonton itu, Hoat Hoei Siangjin kata pada Hoat Poen: "Benar tak percuma orang menyohorkan Pak Pit Lam Poew ilmu silat Pouw Siecoe ini luar biasa sekali dia berhasil menggabung dua kepandaian pihak lurus dan pihak sesat inilah ilmu silat yang mirip dengan ilmu silat kita Tay Kim Kong cioe. Rupanya ia masih belum menggunai seluruh kepandaiannya. Aku kira Liong Siecoe bakal roboh.."

Pendeta ini bicara tidak keras tetapi Liong Hoei Giok sebagai ahli silat liehay dapat mendengar itu dengan tegas sekali, sendirinya ia menjadi terkejut. Tidak ayal lagi ia menjejak tanah, untuk lompat mundur, guna menjauhkan diri dari desakan, sambil berlompat itu, ia bersiul nyaring, hingga siulannya itu mengaum diudara. Semua orang heran, tak ada yang dapat membade apa perlunya siulan itu.

Pouw Llok It tertawa.

"Liong Tayjin, apakah hati mu gentar?" tanyanya. Liong IHoei Giok tidak menjawab. dia hanya tertawa, habis itu, dia lompat maju guna, mulai pula dengan penyerangannya. Hanya ini. semua orang yang merupakan rombongannya turut maju juga, hingga jago Rimba Persilatan itu lantas kena di-kurung. Pouw Llok It menyapu kesekitarnya. ia bersenyum. Sedikit juga tak terlihat ia jeri.

Menampak demikian- Ho cin coe kata perlahan pada Hoat Hoei siangjin: "Liong Hoei Giok benar liehay. Ia mengurung dengan barisan Lian-hoau Sam ciat Tin, yang dapat berubah menjadi lima dan delapan penjuru, ada bagian matinya, ada bagian hidupnya. Siapa tidak mengerti Pat Kwa, tak dapat dia lolos dari barisan ini.

Entahlah, siapa bakal roboh, tetapi sudah terang banyak orangnya yang mesti membuang jiwa disini....

Tak dapat kita maju untuk menyusahkan mereka, sebab Liong Hoei Giok dapat menuduh kita berkongkol dengan kaum Rimba Persilatan menentang Pemerintah. Dulu hari, ketika siauw Lim Sie dibakar, itulah contoh yang menyedihkan..”

Hoat Hoei Siangjin menarik napas panjang.

"Ini memang sulit" katanya masgul. Loolap tak dapat suatu jalan untuk memisahkan mereka. Mana dapat aku menasehati Pouw Sie-coe menyerahkan cangkir kemala yang mujiiat itu? Dengan begitu maka jiwa pihak kita tentulah sukar dapat ditolong .jiwa kita bergantung pada cangkir itu. Sebaliknya tak dapat kita membantu mengusir pahlawan istana itu."

Selagi pertempuran belum dimulai, mendadak Tiong Hoa lompat kedepan- "Liong Tayjin, sudah lama kita berpisah apakah kau banyak baik ?" dia menyapa dengan suaranya yang terang-jelas.

Hoei Giok melengak. la lantas berpaling. Maka ia melihat Lie Tiong Hoa berdiri di antara sinarnya si Puteri Malam, romannya tampan dan gagah, sikapnya tenang.

Orang pun mengawasi ia sambil bersenyum manis. Untuk sejenak ia tak tahu bagaimana harus-mengambil sikap. Dasar ia seorang yang berpengalaman, dapat juga ia menenangkan diri, maka menjawablah ia dengan sabar -"Lie Kongcoe, apakah kau banyak baik ?"

"Terima kasih, tayjin" sahut Tiong Hoa menjura. "Berkat tayjin, aku tidak kurang suatu apa"

Pahlawan istana itu bersenyum. "Toan Kwee sudah berlaku sangat sekaker dan telah mempermainkan undang-undang negara." ia berkata, “Permainannya itu di ketahui Sri Baginda Raja hingga Sri Baginda menjadi sangat gusar, maka dia lantas ditangkap dan dijatuhkan hukuman mati berikut anggauta-anggauta keluarganya.

Sekarang ini, kongcoe, ayahmu telah menjabat menjadi Lie Pouw Siangsie maka itu kau boleh pulang kekota raja dengan tidak usah kuatir suatu apa lagi "

Tiong Hoa memberi hormat pula sambil menjura. "Terima kasih untuk pemberitahuan kau ini, tayjin,"

kata ia, "aku yang rendah tak nanti berani tidak menerima titahmu ini, Sekarang aku ingin menanya, apakah keberangkatan tayjin keluar kota raja ini benar- benar untuk cangkir kemala saja?"

Liong Hoei Giok menatap tajam. "Benar," sahutnya. “Kong-coe sudah ketahui, kenapa kongcoe menanyakan lagi?" "Kuharap jangan gusar, Liong Tayjin” Tiong Hoa menyela, "ingin aku bicara dengan Tayjin- cangkir kemala tidak ada ditangan Pouw Tay hiap dan juga tidak ada ditubuhku, kalau sekarang Tayjin memaksa secara begini, urusan bisa jadi kacau. Maka itu kalau Tayjin percaya pada aku yang rendah, silahkan Tayjin pulang kekota raja, nanti berselang dua bulan, aku akan mengantarkannya sendiri ke istana Tayjin dikota raja."

Hoei Giok berpikir keras mendengar suara orang muda itu.

"Baik. kongcoe," jawabnya dalam. "Semoga Kongcoe memegang janjimu. Kongcoe harus ingat, kalau sampai temponya. Kongcoe tidak muncul kau harus mengerti bahwa ayahmu yang terhormat sukar lolos dari tanggung jawabnya"

Tiong Hoa bersenyum.

"Itulah pasti" sahutnya, suaranya tetap. "Sekarang aku minta Tayjin lekas mengajak rombongan berlalu dari wilayah Selatan ini, supaya tak usah sampai terbit salah paham. Tayjin mengerti sendiri, apabila lewat batas waktu yang sudah dijanjikan, Tayjin mesti pulang tetap gagal, maka Tayjin juga- bakal menghadapi soal yang sulit."

Liong Hoei Glak mengangguk. Terang dia tidak mau banyak omong lagi, sebab ia lantas memberi isyarat kepada orang-orangnya, setelah mana ia lompat pergi, untuk menghilang bersama orang-orangnya itu hingga cepat sekali, suasana sunyi menguasai pekarangan dalam kuil cong Seng Sie itu. Semua orang lantas bernapas lega. Pouw Liok It menghadapi orang banyak, ia kata: "Para loosoe. silahkan turut aku si orang she Pouw, lekas berangkat ke Pek Ho Nia, Tiam chong San, untuk menyelesaikan urusan kita ini. Tentang cangkir kemala itu, cuma Lie Siauwhiap yang dapat mengambilnya, kita mesti berada di Tiam chong San dalam tempo tujuh hari, tak boleh lewat"

"Sekarang ini dimana adanya cangkir itu?" tanya Na Loen Gan- “Aku kuatir aku si orang she Na tak akan dapat bertahan sampai tujuh hari lagi."

Baru sekarang si jumawa ini atau si adat keras, takut mati...

Pouw Lick It menoleh kepada orang tua itu, ia melihat mata orang bersinar guram dan romannya sangat lesu, meski begitu, ia bersenyum dan kata:

“Jangan kuatir, Na Loosoe. Aku tanggung dalam tempo tujuh hari loosoe tak bakal mati"

Habis berkata itu, dengan lincah Liok It lompat kepada Tiong Hoa untuk berbisik sedang matanya memandang Phang Lee Hoen. Tiong Hoa nampak menjadi likat, agaknya ia merasa sulit.

Liok It tidak menghiraukan itu, dia pergi sembari berlompat ketembok pekarangan dia berkata nyaring: "Loosoe semua, marilah ikut aku si orang she Pouw Sebentar diwaktu matahari terbit, kita akan sudah sampai di Pek Ho Nia"

Hoat Hoei semua menurut maka juga lantas dengan saling-susul mereka meninggalkan cong Seng Sie dimenara kuil mana hampir saja mereka menjadi kurban asap jahat. Cuma Lie Tiong Hoa bersama Phang Lee-Hoen dan Sin Kong Tay yang tidak turut rombongan itu. Ketika si anak muda melihat dua orang itu diam saja ia heran-"Kenapa kamu tidak turut? "ia tanya mereka.

"Aku menerima kebalkan besar dari kau, siauwhiap." kata sin Kong Tay suaranya sedih "maka itu aku bersumpah akan terus mengikuti kau supaya sedikitnya aku dapat membalas budimu setelah itu aku akan pergi hidup menyendiri didalam lautan atau gunung yang sunyi sebagai seorang imam."

Tiong Hoa terharu. Tapi ia bersenyum.

“Jangan berkecil hati loosoe,” kata ia. " Dunia ini kotor, siapa pun dapat tersesat karenanya. Yang penting ialah supaya kita dapat memperbaiki diri kita. Aku sendiri telah bertindak keliru hingga aku pernah membunuh orang tetapi aku percaya aku betul aku tak kecil hati."

Sin Kong Tay menghela napas.

"Aku pun menyesal atas kematian sahabatku," kata ia. "Nasihat kau ini, siauwhiap akan aku ingat baik-baik.

Sekarang ini siauwhiap ijinkan aku turut kau. Aku tidak tahu dimana adanya cangkir kemala, aku cuma percaya, untuk mendapatkan itu. mestinya siauwhiap bakal menghadapi perjalanan sukar, maka itu, apabila aku gagal di dalam tempo tujuh hari, jiwanya puluhan orang bakal celaka karenanya.

Tambah seorang kawan berarti mengurangi kesukaran, dari itu aku membesarkan hati menawarkan diriku untuk turut siauwhiap. Aku harap siauwhiap tidak menampik."

Tiong Hoa tertawa. "Dengan loosoe turut bersama, tak ada tempat kemana aku tidak berani tidak pergi" katanya. "Baiklah, biar lain kali saja aku menghaturkan terima kasihku untuk bantuan loosoe ini."

"Sekarang siauwhiap." kata Sin Kong Tay, "aku minta siauwhiap menanti sebentar, hendak aku mengurus jenasah sahabatku ini...

Sembari berkata, ia memandang mayat Siang ceng In. airmatanya mengucur turun- Tidak ayal lagi, ia memondong tubuh kawan dia untuk dibawa pergi ke belakang menara.

Ketika itu Lee Hoen membisik-bisik pada si anak muda. "Engko Hoa." Barusan Pouw Llok It berlalu kau nampaknya bingung." kata ia. "Sebenarnya apakah itu yang dikisiki?" Nona ini menatap tajam muka si anak muda.

Tiong Hoa tercengang, itulah pertanyaan diluar dugaannya. Tapi ia lantas menggeleng kepala dan tertawa.

"Tidak apa-apa" sahutnya singkat. "Nona jangan curiga."

"Siapa bilang siauwmoay curiga?" kata nona itu, yang timbul manjanya. "Kau sendiri yang bersikap aneh. Mesti ada sesuatu Kalau tidak. tidak nanti Pouw Liok It berbisik sampai matanya mengawasi tajam pada siauwmoay"

Tiong Hoa berdiam. Sang Puteri Malam menyinari mukanya yang tampan. Kemudian ia menghela napas dan berkata perlahan: "Kalau nona memaksa bertanya, baiklah akan aku beritahu. Sebenarnya Pouw Liok It memberi pesan mengenai anak gadisnya yang dia sangat sayangi." Lee Hoen berdiam, hatinya menjadi tidak keruan rasa.

Ia berduka, ia cemburu. Tanpa merasa, airmatanya melele keluar.

"Engko Hoa," ia tanya kemudian, "aku minta sukalah kau menetapkan siapa, supaya aku juga dapat menerapkan hatiku dari siang-siang."

Tiong Hoa bingung, ia jengah.

"Sebenarnya tak berani aku menyembunyikannya," katanya kemudian- "Di Kim-leng telah ada tunanganku, maka itu mana berani aku merendahkan kau, nona inilah yang membuatku sulit."

Lee Hoen terkejut. la seperti terhajar guntur.

Kepalanya menjadi pusing dan matanya berkunang- kunang. Tubuhnya lantas terhuyung. Tiong Hoa pun bingung sekali.

Atau mendadak diantara mereka munculah Sin kong Tay.

"Aku si orang tua bukannya mencuri dengar" kata dia nyaring, dan sambil tertawa juga. "Aku cuma kebetulan saja mendapat dengar Nona Phang, kau jangan berduka, mari kau dengar nasehatku"

Berkala begitu, orang tua ini melirik si nona, terus dia lompat, lari ke pohon pek yang lebat.

Lee Hoen melihat itu, la lari menyusul. Maka lenyaplah mereka berdua ditelan kegelapan pohon itu.

Tiong Hoa mengawasi. Ia tetap bingung. Ruwet pikirannya. Karena itu mendadak di depan matanya berbayang Ban-in, lalu Cek In Nio, lalu Pouw Keng, semuanya menunjuki kelembutannya. kecantikannya, kebotoannya... Tanpa merasa, ia bersenandung: "Semoga tubuhku berubah menjadi air yang mengalir ketimur, diikuti kupu-kupu yang hanyut tak kembali pula "

Tidak lama maka Sin Kong Tay muncul bersama Phang Lee Hoen- sekarang paras si nona tersungging senyuman hingga ia nampak manis, ia pun segera mengasi dengar suaranya ya merdu. "Engko Hoa, mari kita berangkat"

Si anak muda melengak. itulah perubahan-yang luar biasa. "Kemana?" tanya dia.

Nona itu melirik,

"Engko lupa rupanya?" sahut si nona. "Tentu untuk mendapatkan cangkir kemala Coei In Pwee"

"Oh" kata si anak muda, seperti baru sadar. "Ya, marilah-"

"Siauwhiap." kata sin Kong Tay yang baru turut bicara.

." Padamu bergantung keselamatan puluhan jago Rimba persilatan aku minta sukalah kau berlaku waspada. Aku si orang tua merasa pasti dijalan Selatan ini sudah berkumpul banyak hantu, mudah untuk terbitnya gara- gara. Maukah siauwhiap memberi keterangan kepadaku, kemana arah tujuan siauwhiap?"

"Ceng Shia" sahut Tiong Hoa singkat. Sin Kong Tay melengak.

"Kalau begitu kita mesti mengambil jalan dari perbatasan In-lam. See- kong dan soe-coan,” katanya kemudian- “Itulah jalan yang terdekat, mesti itu sedikitnya perjalanan tujuh, sampai delapan ratus lie. Perjalanan pegunungan yang sukar. jikalau bukannya tempo tujuh hari, sulit untuk pergi dan pulang.”

Tiong Hoa berdiam. la berpikir.

"Habis bagaimana kita mesti berjalannya?" tanyanya. Sin Kong Tay berpikir, baru ia menjawab: Dari Tali kita menuju ke Pin coan. yam-hong dan Eng jin tiga kecamatan. Dari sana kita mengikuti perbatasan In-lam dan See-kong untuk sampai di tebing pegunungan Tay Liang San di propinsi Soe-coan- Kemudian kita jalan dibelakang gunung. "Ngo" Bie San- Dalam tempo satu hari kita mesti dapat tiba dikecamatan Tee-koan, ceng- shia. Didalam tempo dua atau tiga hari, baru kita sampai ditempat tujuan-"

"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang " kata Tiong Hoa, yang terus mendahului berlompat pergi.

Sin Kong Tay dan Phang Lee Hoen mengikut, maka itu lagi sekali cong Seng Sie di tinggal dalam kesunyiannya.

oooo

PADA WAKTU magrib Tiong Hoa bertiga telah tiba dimulut penyeberangan Thay-peng-touw, disungai Kim Kang See. Kali disitu berair deras dan banyak wadas-nya. Penduduk Thay-peng-touw terdiri cuma dari beberapa puluh rumah, dijalan besar yang lebar, melainkan ada belasan toko atau warung. Jalanan sunyi. Dimuka jalanan ada sebuah rumah penginapan didepan mana tiga ekor kuda lagi ditambat dan tengah makan rumput.

"Didalam sini ada orang Rimba Persilatan- kita singgah disini atau bagaimana?" tanya Sin Kong Tay pada si anak muda.

"Sudah, satu hari kita berjalan tanpa minum dan menangsel perut, perlu kita singgah disini," kata Tiong Hoa. "Biar saja ada orang Rimba Persilatan, mereka toh tidak memusuhkan kita. Habis bersantap kita berangkat terus." Sin Kong Tay mengangguk. Maka bertiga mereka bertindak masuk. Didekat tembok ada sebuah bangku panjang, seorang jongos duduk diam disitu sambil menyender, dia melihat ada tetamu tapi dia cuma mengawasi saja agaknya dia heran-"Apakah ini rumah penginapan atau bukan?" tanya Sin Kong Tay keras.

Jongos itu kaget hingga dia berbangkit dengan berjingkrak. "Ya, ya," katanya lekas. "Tapi ini sudah diborong orang. Maaf”

"Kita bukan hendak bermalam" kata Sin- Kong Tay yang tertawa tawar. " Lekas sedia kan barang makanan dan arak, habis bersantap kita mau lantas berangkat pula Mengertikah kau?."

"Ya ya" kata pula si jongos lekas. Silahkan tuan-tuan duduk. akan aku lantas menyajikannya."

Dia pun lantas lari kedalam. Lee Hoa n merasa lucu, dia tertawa. Tiong Hoa pun bersenyum.

Tapi Sin Kong Tay berdiam, sikapnya sungguh- sungguh. Dia tidak tertawa atau bersenyum.

Segera juga terdengar tertawa dingin dari sebelah tembok. disusul kata-kata ini yang nyaring dan tak sedap: "Tua-bangka itu bertingkah, turut hatiku, hendak aku hajar adat padanya "

"Ya, beginilah tabiatmu yang keras " kata seorang lain- "Mereka tidak ganggu kau, buat apa kau marah tidak keruan? Buat apa usilan ?"

"Tapi sudah sekian lama aku mendeda1 saja " kata orang yang pertama itu. Mendengar itu, barulah Sin Kong Tay bersenyum.

Sementara dlluar terdengar tindakan lari kuda, dari jauh lalu mendekati untuk ber henti didepan penginapan- Menyusul itu terlihat masuknya seorang laki-laki kurus jangkung umur kira tiga puluh tahun alisnya tebal matanya tajam.

Dari rupanya terang dia habis melakukan perjalanan jauh. Ketika dia melihat Tiong Hoa bertiga dia merandek, terus dia mengawasi.

"Sahabat, buka lebar matamu" Sin Kong Tay menegur sambil tertawa dingin. " Untuk apa kau mengawasi aku si orang tua? Aku si tua bukannya lampu yang kekurangan minyak Biarlah kita jembatan pulang kejembatan,jalanan pulang kejalanan. kita tidak saling mengganggu siapa juga. Mengertikah kau?"

Orang itu juga tertawa dingin.

"Tuan, teranglah kau yang mencari gara-gara" kata dia. "Kau berlaku terus terang, tak nanti aku tak menyambut kau."

Sin Kong Tay tertawa terbahak.

Tiong Hoa heran, ia mengerutkan alis. la memberi hormat pada orang itu.

"Harap tuan jangan keliru mengerti," katanya. "Kami lagi beristirahat disini. segera juga kami bakal melanjuti perjalanan kami."

"Benarkah kata-katamu, saudara?" orang itu menegaskan-

"Sahabat, adakah hotel ini hotelmu?" tanya Sin Kong Tay, suaranya dalam. " Dapatkah kau usil terhadap kami?"

Orang itu gusar, sebelah tangannya lantas diangkat perlahan-lahan- Berbareng dengan itu, air mukanya berubah. Mendadak ia mengibas keluar, mulutnya memperdengarkan suara panjang, tubuhnya terus berlompat.

Sin Kong Tay heran, ia melengak terhadap Tiong Hoa, yang tak mengerti seperti ia sendiri.

Seketika itu juga terdengar suara bentakan-bentakan diluar, juga ada suara angin saling menyambar, lalu menyusul tindakan banyak kaki diatas rumah.

Tiong Hoa mau pergi keluar untuk melihat tapi Sin Kong Tay mencegah padanya.

"Mari, siauwhiap." kata kawan ini bersenyum. "Mari dahar dulu, sesudah cukup baru kita bicara"

Tiong Hoa heran hingga ia berpikir:

"Aneh tabiat Sin Kong Tay. dia bergirang dan bergusar tidak keruan-ruan- Rupanya benar orang Rimba Persilatan semuanya bertabiat luar biasa."

Tiba-tiba sebuah pintu kamar terbuka dengan keras, itulah kamar yang dihadapi Lee Hoen. Dua orang berjalan keluar dengan cepat, salah satunya mengawasi sin Kong Tay dengan roman gusarnya. Sin Kong Tay tertawa.

"Siauwhiap" tentu menyangka amat aneh," katanya, kemudian- "Tapi aku berpengalaman, aku lebih banyak pendengarannya di- banding siauwhiap berdua nona. Sebelum-nya aku masuk kemari, aku telah melihat dirumah seberang sana, dibawah payonnya, ada bersembunyi kira enam orang, yang matanya mengawasi tajam kearah sini. itulah tanda bahwa mereka mempunyai musuh didalam rumah penginapan ini."

Ketika itu jongos datang dengan barang makanan, dia saban-saban mengawasi keluar, nampaknya dia takuti.

Dia pun mengundurkan diri dengan cepat. sin Kong Tay mengisikan tiga cawan, lantas ia melanjuti perkataannya. "Begitu kita masuk kemari, aku heran atas lagaknya jongos tadi. Tak ada aturan dia tak menyambut tetamu, bahkan dia membilang hotelnya sudah ada yang borong. Aku tahu, itu artinya pemborong nya sudah tinggal lama.

Kenapa penyewa itu berdiam lama di-sini? Tidakkah itu aneh? Maka itu aku sengaja membawa tabiatku aseran, untuk memancing keluar kepada tiga penyewa kamar itu, guna melihat siapa mereka.”

Sekarang. Aku sudah menduga pasti, mereka ini mesti ada sangkutannya dengan rombongan dari Tay In San- Mungkin sekali selama ini. rombongan itu sudah menentukan jalannya yang harus diambil.”

Tiong Hoa dan Lee Hoen kagum untuk kawannya yang cerdik ini. Si anak muda hendak membuka mulutnya ketika ia mendengar suara ini "Tidak salah Kami memang dari rombon Tay In San- Kamu siapa?"

Menyusul kata-kata itu, tiga orang sudah berlompat masuk. Yang seorang, yang lanjut usianya, matanya bersinar seperti kilat. sin Kong Tay tidak memperdulikan tiga orang itu. " Lekas dahar" ia kata pada kedua kawannya.

ia bicara sambil tertawa. orang tua itu gusar. la merasa terhina Tiong Hoa melihat kemurkaan orang, dapat ia. berdiam saja. la kata bersenyum: "Kami sahabat bukannya musuh. Paling benar kamu lihat diluar sana" orang tua itu heran- la mengawasi si anak muda, lantas ia ngeloyor pergi.

"Siauwhiap. mari kita berangkat sin Kong Tay mengajak. " Kita jangan campur urusan lain orang." Tiong Hoa menggeleng kepala, "Tak bisa" sahutnya. "Kalau gelang kemala itu terjatuh ditangan orang jahat bukankah pertemuan di Tiam chong San bakal gagal?"

"Ah, kamu bicara saja, nasi sampai di-lupai" kata Lee Hoen menyela.

Tiong Hoa dan sin Kong Tay tertawa, lantas mereka berdahar. Diluar sudah lantas terdengar suara beradunya senjata. Mereka tidak menghiraukannya. Setelah dahar cukup mereka meninggalkan uang, terus mereka bertindak keluar.

Hari sudah malam tapi langit terang. Rembulan jernih dan indah. Ditengah jalan lima orang lagi bertempur senjata-senjata mereka berkelebatan. Yang seru ialah pertempuran si orang usia tiga puluh tahun bersama seorang lain, sama-sama mereka bertangan kosong.

Tiong Hoa melihat keatas maka diatas genteng kiri dan kanan terlihat sejumlah orang, rupanya dari kedua pihak. yang lagi menantikan ketika.

Si orang tua tadi berada ditepi jalan, dia melihat Tiong Hoa keluar, dia bertindak menghampirkan, untuk mendampingi.

"Siapa itu pemimpin pihak sana?" Tiong Hoa mendahui menegur. orang tua itu mengawasi.

"Dialah Ok Coe Pong Liap Hong," sahutnya " Kenapa dia tak nampak?"

"sebentar lagi dia tiba. Tuan siapa? Maukah tuan memperkenalkan diri?"

Tiong Hoa bersenyum. la bukan menyahuti hanya menunjuk orang usia tigapuluh tahun itu. ^

"Siapa dia itu? Baik ilmu silat dia." Orang tua itu heran, tetapi dia menjawab. "ialah salah satu orang gunung kita. Dialah Kim See San Coe The Giauw Seng."

"Terima kasih," kata Tiong Hoa bersenyum. Terus ia mengawasi medan pertempuran- Ia melihat The Giauw Seng lagi menyerang, tangan kirinya menyambar kearah bahu, tangan kanannya hendak menangkap tangan lawannya.

Pihak sana liehay, dia berkelit dan menangkis, terus dia membalas menghajar.

itulah yang dikehendaki The Giauw Seng. Ketika tangan lawan sampai, ia membarengi menyambut. Tepat ia menyeka1 lengan kanan lawan itu, lalu selagi orang kaget kaki kiri nya terangkat. Tak ampun lagi lawan terdupak. tubuhnya sampai terpental. Ketika dia jatuh, dia menjerit tertahan, terus dia muntah darah dan nyawanya terbang pergi. Giauw Seng tak berhenti sampai disitu. ia maju pada musuh lainnya, untuk mengepung.

Tepat di itu waktu, dari kejauhan terdengar siulan nyaring, lalu tampak delapan atau sembilan orang lari mendatangi.

Parasnya si orang tua berubah, segera ia menepuk tangan, atas mana The Giauw Seng dan empat kawannya lantas berhenti berkelahi, untuk berdiri berkumpul.

Segera tibalah sembilan orang itu. Cahaya rembulan yang terang membikin mereka terlihat tegas. Tiong Hoa mengenali Liap Hong si "Thio Liang Jahat." yang kepalanya lanang, kepalanya itu besar tubuhnya kecil. Dua yang lain ialah Ciam Hok Wan dan Ciam Hok Leng yang pernah dilukai ia nya ditepi penyeberangan sungai ouw Lang. Disisi Liap Hong ada seorang tua beroman bengis, ia duga dialah Ciam Yang si Mata Satu.

"Kalau sin Loosoe turun tangan membantui rombongan dari Tay In San- berlakulah jangan setengah- se-tengah." si anak muda memesan kawannya. Ia menyerahkan pedang Ceng Song Kiam pada Phang Lee Hoan seraya memesan juga: "Nona, kau harus berkelahi dengan melihat selatan- Kalau kau rasa bakal menang, hajarlah. kalau tidak. kau membela diri saja, inilah untuk menjaga andaikata aku kena dihalang-halangi mereka." Nona Phang mengangguk.

Ketika itu sudah lantas terdengar suara bengis dari ok Leng Tek, “Meskipun kau sangat licik, kau tak lolos dari tanganku si orang she Liap. Aku sudah memasang jaring rapat-rapat. Mengapa kau tidak mau lantas menyerahkan gelang kemala itu, supaya kami dapat lantas pergi, agar kita tak saling mengganggu?"

Dua kali suara tertawa menjawab suara jumawa Liap Hong itu, lantas dua sosok tubuh lompat turun dari atas genteng. Tiong Hoa lantas mengenali Lo Leng Tek dan Kim Som. Ketika itu dari belakangnya ada orang menariknya Apabila ia menoleh, ia melihat Tok-pie Leng Koan Coei Kiat Him. Ia girang sekali. "Coei Loosoe, tak kusangka disini kita bertemu pula" katanya.

"Pertempuran kali ini bakal hebat," kata Coei Kiat Him yang tidak menjawab langsung. "Tapi ada siauwhiap yang bakal membantui, aku tidak kuatir lagi. Sebenarnya sudah sering Kim Loosoe mau mengirim, orang meminta bantuan siauwhiap. sayang kami tak tahu siauwhiap berada dimana." Segera juga terdengar suaranya Lo Leng-Tek yang terlebih dulu tertawa tawar: "Liap Loosoe aku si orang she Lo ingin bicara dulu denganmu."

"silahkan Lo Loosoe aku sedia mendengarnya"

"Aku mohon tanya." kata Leng Tek "sekarang ini Liap Loosoe mengarah gelang kemala atau hanya untuk menyeterukan aku?" Liap Hong tertawa mengejek.

"Tentu saja untuk gelang kemala Lo Loo soe, kau tahu tapi kau berpura pilon"

"Hm, sayang" kata Leng Tek dingin. " Gelang kemala itu oleh siauw-sancoe sudah diserahkan kepada Pouw Liok It. Kalau tidak salah, sudah dua hari dimuka sancoe kami tiba disana Liap Loosoe, sia-sia belaka segala usahamu ini"

Tajam kata-kata kedua belah pihak itu. "Benarkah itu?" tanya Tiong Hoa pada Kiat Him.

Orang yang ditanya berdiam, dia cuma bersenyum.

Tapi itu sudah cukup buat si penanya. Liap Hong menjublak sebentar, lalu dia tertawa terbahak.

"Lo Loosoe, dapat kau memperdayakan lain orang tetapi tidak aku Kalau kau tidak menyerahkan itu sekarang juga, jangan kau menyesalkan Liap Hong telengas" Cia Im Yang habis sabar. Dia campur bicara.

"Saudara Liap. buat apa ngoceh saja. Malam ini mereka mesti mampus, tidak bisa lain" katanya nyaring.

Leng Tek menyambut itu. sambil tertawa. "Aku bersedia menyambut segala apa"

Jawabnya masih belum ketahuan- siapa yang bakal berangkat kelain dunia. Maka percuma untuk tertawa siang-siang" Matanya Liap Hong bersinar, ia menoleh kepada pihaknya.

"Saudara yang mana yang ingin maju lebih dulu? dia tanya.

Seorang lantas lampat maju, gesit gerakannya. Tapi dia segera disambut Kim Som yang sembari tertawa berkata: "Tuan. hebat ilmu ringan tubuhmu, tetapi aku ingin menerima pelajaran barang satu atau dua jurus dari kau." orang itu bermuka lebar dan romannya keren.

"Apakah tuan Sin-Heng sice-Soe Kim Loo-soe?" dia tanya. "Aku yang rendah adalah Pew Pou Leng Hong Pouw Yang.- Harap kau suka memaafkan aku"

Sebelum Kim som bertindak. Tiong Hoa sudah melesat ke sisinya, bahkan tangan kanannya terus diulur, guna mencekuk Tangannya orang she Pauw itu, sedang tangan kirinya menotok jalan-darah ceng-ciok.

Pouw Yang kaget, tengah melengak itu, tangannya sudah tertangkap dan sebelum dia berdaya, totokan sudah tiba. Dia tertawan tanpa berdaya.

Lantas juga tubuhnya dilemparkan kearah Kiat Him sambil sianak muda berseru: "Coei Loosoe, tolong ringkus dia "

Juga Kim Som heran tak kepalang, hingga ia melengak. Hanya, begitu mengenali si anak muda ia girang bukan main- Demikian juga gembiranya Lo Leng Tek.

Pihak Liap Hong pun kaget, lalu Ciam Kie Wan dan Ciam Hok Leng lompat bersama maju kemuka.

Romannya guram sekali.

Tiong Hoa sudah mengambil keputusannya. la mempunyai urusan tujuh hari, tak dapat ia membuang- buang tempo. Maka sebelum dua saudara Ciam itu membuka mulutnya, ia sudah menyambut mereka dengan sampokannya.

Dengan hebat dua saudara itu menjerit tubuh mereka terpental balik untuk ter banting roboh ditanah dengan mandi darah dan jiwanya melayang.

Semua orang dikedua pihak menjadi terkejut, hanya yang satu lantas menjadi kagum dan nyaring, pihak yang lain menjadi gentar atau gusar. Demikian Ciam Yang yang kehilangan dua puteranya. Dengan mata merah membara dia mengawasi bengis.

"Anakku tidak bermusuh dengan kau, kenapa kau berlaku begini jahat." dia menegur. "Sudah banyak tahun aku si orang tua pantang membunuh, tapi malam ini aku hendak melanggarnya. Kau mesti mengganti jiwa kedua anakku"

Dia lantas mengeluarkan senjatanya yang berupa semacam bung bung atau pipa bundar terbuat dari kuningan, yang banyak lubang-nya seperti lubang sarang tawon.

Melihat senjata itu, Tiong Hoa menduga didalamnya mesti ada tersembunyi senjata rahasia yang berbisa, karenanya ia lantas waspada. Ia tertawa dan kata: "Dimedan pertempuran tidak ada soal kejam atau tidak- Dimedan pertempuran orang mesti mati atau terluka parah. Bagaimana seandainya aku yang tak beruntung menemui ajalku?"

Sembari kata begitu, anak- muda ini menggulung tangan kirinya. Tapi begitu ia keluarkan begitu ia tarik pulang.

Ciam Yang sudah lantas berkelit ke-samping, maksudnya akan menyingkir dari serangan itu. Ia kecele sebab ia nyata cuma digertak. Tapi selagi ia berkelit itu, Tiong Hoa melesat maju sambil berseru keras, tangan kanannya diulur panjang tiga kaki, iima jerijinya menyambar kepada pipa kuningan atau bung bung orang itu.

Ciam Yang tahu lawan liehay, dia sudah siap sedia.

Begitulah ketika ia berkelit jeriji tangannya sudah ditaruh pada pesawat rahasia dari pipanya itu. Ia hanya tidak menduga musuh hebat luar biasa. Belum lagi keburu menekan atau pipanya sudah kena dirampas, sedang tubuhnya sudah tertolak. hingga terguling. 

Tiong Hoa tidak berhenti sampai disitu. ia lantas melemparkan bungbung itu kearah Liap Hong semua. Segeralah terdengar letupan nyaring, dari dalam bungbung menyemprot lelatu api seperti bintang, menyambar cepat sekali

Liap Hong semua kaget, semua lantas memutar tubuh untuk menyingkir. Ketika lelatu api jatuh ketanah, api lantas menjalar.

Bungbung itu menerbitkan api muncrat dan menyembur tinggi keatas dan berpencaran-

Tiong Hoa sendiri heran bukan main-

Menyusul letusan itu, dari atas rumah di-seberang sana, ke arah mana api menjurus, sejumlah musuh roboh terguling. untuk tak berbangkit pula, sebab jiwa mereka pada terbang melayang. Tak ada diantaranya yang sempat membuka mulutnya.

Liap Hong dan Ciam Yang mengasi dengar siulan nyaring, keduanya memutar tubuh untuk lari pergi. Dengan lantas mereka disusul kawan-kawannya yang masih hidup. 

Tiong Hoa lompat kepada salah satu mayat, untuk memeriksa, la melihat darah keluar dari semua lubang keringat. Begitu juga keadaan mayat-mayat lainnya. Sin Kong Tay menghampirkan si anak muda.

"Senjata rahasia Ciam Yang ini mirip dengan senjata rahasiaku, kata ia. "Hanya kepunyaan dia terlebih hebat pula. Didalam apinya itu dia selalu mencampuri juga jarum dari bulu kerbau, yang tak mudah terlihat dengan mata biasa, syukur kita semua berada di kepala angin- Sekarang mari kita lekas memadamkan api yang menjalar itu."

Lo Lang Tek akur, maka ia mengajak. kawan- kawannya untuk bekerja. Tapi Tiong Hoa mendahului mereka itu, dengan kedua tangannya ia mengibas. dari atas kebawah, maka dengan lantas api padam semua, cuma ketinggalan kepulan asapnya saja. Semua orang menjadi kagum sekali.

Tiong Hoa menghampirkan Coei Kiat Him-untuk Pauw Yang, yang diletaki ditanah-

Dengan lantas orang she Pauw itu mendusin dan berlompat bangun, dengan lantas juga ia memberi hormat pada si anak muda seraya berkata: "Terima kasih, siauwhiap. Kalau tidak kau pasti aku terus dipengaruhi si tua Mata Satu itu."

"Aku cuma membalas budi untuk kisikan kau." kata Tiong Hoa bersenyum.

Lo Leng Tek dan Kim Som menghampirkan si anak muda, keduanya memberi hormat sambil menghaturkan terima kasih mereka. "Terima kasih atas bantuan siauwhiap." katanya. "Kami tidak tahu bagaimana siauwhiap dapat mengikuti jejak kami?"

Tiong Hoa tersenyum.

"Kebetulan saja aku tiba di sini." serunya. "Aku perlu berangkat ke Ceng-shia dan aku hendak berangkat sekarang juga." Long Tek melongo.

“Kalau begitu, silahkan, siauwhiap." katanya. "Walaupun sebenarnya dia agak ragu-ragu. "Pengaruh siauwhiap pasti sudah membikin ciut hati Liap Hong semua hingga aku percaya tidak nanti mereka berani lagi datang kembali."

"Perjalananku ini penting sekali." kata Tiong Hoa yang mengerti keragu-raguannya orang she Lo itu. "DidaIam tempo tujuh hari aku mesti kembali ke Tiam Chong San- sekarang ijinkanlah aku bicara sedikit."

"Silahkan. siauwhiap."

"Aku lihat perjalanan loosoe sulit sekali." kata si anak muda. "Tapi dengan cara loo-soe, dengan setiap waktu menukar haluan, dengan memakai siasat, mungkin bahaya dapat dihindarkan. Bukankah gelang kemala telah di bawa siauw-sancoe ?"

Leng Tek mengangguk sambil bersenyum.

"Benar." sahutnya perlahan- "Hanya sekarang sancoe lagi menantikan kami untuk kita berkumpul menjadi satu. Yang sulit yaitu Liap Hong pasti bakal terus menemui kami memegat kami.”

Tiong Hoa berpikir, lalu berkata: "Aku rasa, tak usah sampai tiga hari bakal terjadi suatu perubahan besar, dan Liap hong semua pasti bakal mengangkat kaki jauh- jauh. Selewatnya itu waktu, gelang itu tak bakaljadi soal lagi... Kim Som heran-

"Bagaimana bisa jadi begitu, siauw hiap" dia tanya. Tiong Hoa memberi penjelasan urusannya dengan

Liong Hoei Giok.

Maka itu. Lo Loosoe, ia menambahkan. "baiklah loosoe beramai menantikan kembaliku dari Ceng-shia untuk kita nanti berangkat bersama-sama ke Tiam Chong San-

"Kalau begitu baiklah," kata Leng Tek. “Nah aku pujikan siauwhiap berhasil supaya kau lekas pergi dan lekas kembali.”

Tiong Hoa mengangguk. Ketika ia menoleh kepada Kiat Him. ia mendapatkan Lee Hoen lagi bicara asik dengan orang she Coei itu. Ia lantas memanggil si nona- "Nona Phang, mari kita berangkat” Ia memberi hormat pada Kim Som dan Long Tek. terus la berlompat pergi, untuk menghilang diujung jalan-

Lee Hoen dan Sin Kong Tay sudah lantas menyusul pergi.

-ooooooo-

Kapan matahari mulai menyingsing, Tiong Hoa bertiga telah sampai dikaki gunung Ngo Bie San. Lee Hoen mandi keringat dan napasnya memburu, hingga dia kata: "Engko Hoa, tak dapatkah kita singgah sebentar."

Si anak muda bersenyum.

"Akupun memikir begitu" sahutnya. "Didepan sana ada dusun, kita mampir di sana saja sekalian kita bersantap" Lee Hoen menurut.

Dengan lekas mereka sampai didalam dusun, lantas mereka masuk kedalam sebuah rumah atap dimana mereka disambut seorang nona umur delapan atau sembilan belas tahun yang romannya elok rambutnya terjalin panjang. Sembari bersenyum manis dia menanya ketiga tamunya mau dahar apa.

"Apa saja, asalkan lekas menyajikannya" sahut Lee Hoen. Nona itu menyahuti, terus ia pergi kedalam.

Sin Kong Tay memandang ke arah gunung, lantas ia memuji keindahannya. "Selama merantau, belum pernah aku pesiar kemari," katanya Tiong Hoa heran-

"Apakah dilarang orang mendaki gunung Ngo Bie San ini?" ia tanya.

"Bukan begitu," sahut sang kawan- “inilah disebabkan keangkuhanku sendiri. Dulu semasa muda aku benci golongan imam yang palsu, karenanya tak suka aku mendatangi gunungnya kaum imam itu, terus sampai sekarang."

Si anak muda tertawa.

"Itulah tanda kebersihan dirimu. Sin Loo-soe" katanya. " Didalam dunia ini ada berapa orang yang dapat memegang derajat seperti kau?" Sin Kong Tay tertawa sambil mengurut kumisnya.

“Jangan memuji aku siauwhiap. "aku malu jadinya. “Aku bicara menurut rasa hatiku. Memang aku menyesal tak pernah pesiar kegunung ini yang tersohor indah.”

Nona rumah muncul dengan barang makanan yang masih panas, baunya sedap.

Tiong Hoa melihat Lee Hoen bengong memandang keluar, seperti ada yang dipikir, ia tegur nona itu: "Nona apa yang kau pikir kan?"

Nona itu menoleh, matanya bersinar hidup, mulutnya tersungging senyuman- "Siauwmoay lagi memikirkan encie Cek dan encie Pouw itu entah bagaimana cantiknya" sahutnya tertawa. "Kalau aku memikirkan mereka, ingin aku lantas terbang menemuinya"

Muka Tiong Hoa menjadi merah.

Si Nona melirik sambil bersenyum dan sin Kong Tay turut tersenyum juga.

Ketiganya lantas dahar dengan cepat, semua lapar sekali mereka bersantap dengan lahapnya. Kemudian Sin Kong Tay mendahului merogo sakunya membayar semua.

Disaat mereka mau berangkat, mereka dibikin heran oleh seorang yang sedang mendatangi ke warung nasi itu dengan tindakannya pesat sekali, sedang wajah sin Kong Tay lantas berkerut.

Tiong Hoa heran- Ia mau percaya sahabatnya kenal orang itu, bahkan mungkin mereka musuh satu dengan lainnya.

Dengan lekas orang itu sampai dimuka warung. Diilah satu pengemis tua dan kurus, mukanya kisutan, perok dan dekil, rambutnya kusut dan kumisnya tak terawat, pakaiannya banyak tambalannya, tapi matanya sangat tajam. Bajunya itu pun meminyak. Ditangannya, dia mencekal sebatang bambu sebesar jempol tangan dan panjangnya kira lima kaki.

Kapan pengemis ilu melihat Sin Kong Tay, dia terkejut hingga dia menghentikan tindakannya, untuk mengawasi secara menghina, terus dia tertawa dingin dan kata: "Kalau bukannya musuh, orang tak hidup berkumpul. maka itu. Sin Kong Tay, bagaimana dengan urusan kita?"

"Pengemis she Seng bukankah kau sendiri yang bilang, dimana kita bertemu di-situ kita berurusan?" jawab Sin Kong Tay, "Nah, buat apa kau ngoceh lagi dengan kata-katamu yang tak ada artinya?"

"Bagus. ingatanmu kuat" kata si pengemis, matanya mencilak. Setelah itu dia mengawasi Lee Hoen, hingga dia melihat pedang orang. Lantas dia kata: "Sungguh prdang yang bagus. Eh, anak perempuan cilik apakah itu Ceng Song Kiam?"

Lee Hoen tertawa dingin.

"Benar atau bukan Ceng song Kiam, inilah tak sangkut pautnya dengan kau" sahutnya singkat.

Matanya si pengemis melotot.

"Hai, anak yang galak" serunya. "Pedang Ceng Song Kiam itu miliknya mendiang

sahabatku Koen Goan Siangjin. Kenapa pedang itu ada padamu? Tak dapatkah aku si pengemis tua menanya barang satu kali padamu?"

Tiong Hoa heran, alisnya terbangun-

Sin Kong Tay lantas menyela: "Pengemis she Seng, menanam terlalu banyak bibit permusuhan, untukmu bukannya urusan bagus. Baiklah kita membereskan perhitungan kita sekarang atau lain hari? Kau sebut kan saja tempatnya."

Pengemis itu menggeraki kedua tangannya dan kakinya menjejak tanah, maka tubuhnya mencelat kesisi jalan yang tanahnya berumput. Disitu dia berdiri menantang: "Apakah kau kira aku jeri padamu?"

Sin Kong Tay berseru. Ia pun lompat maju.

Pengemis itu tak berayal pula untuk menyambut dengan tongkat bambunya. Kelihatan dia bergerak wajar tapi Tiong Hoa ketahui itulah pukulan berbahaya. Sin Kong Tay sudah lantas menggunai kipasnya, untuk membuat perlawanan-Demikian mereka bertempur gesit dan seru, makin lama makin hebat.

"Engko Hoa." kata Lee Hoen mulutnya di-cibirkan "dengan berkelahi secara demikian kapankah berhentinya mereka? Tak dapat kita meninggaikan urusan kita.

Siauwmoay mau membantui sin Loosoe menghajar pengemis bau itu"

Nona Phang benar-benar menghunus pedangnya. "Sabar, nona." kata Tiong Hoa seraya menarik tangan

si nona. "Masih belum jelas bagi kita, kenapa mereka bermusuhan- Kalau Sin Loosoe yang bersalah, bukankah kita menjadi membantu si jahat? Nanti aku pisahkan mereka, untuk minta keterangan dulu."

Ketika itu muncul pula lima orang pengemis, semuanya mengawasi tajam kemedan pertandingan- Tiong Hoa mengenali satu di antaranya sipengemis tua di Hoa Kee po. Maka ia lantas mengawasi pengemis itu.

Rupanya si pengemis juga mengenali si anak muda, kontan dia melengak. "Tuan-tuan. tahan dulu” Hong Hoa lantas berseru. "Tunggu sebentar, aku ingin bicara" Sin Kong Tay mencelat memisahkan diri, terus dia pergi kesisi si anak muda.

"Siapa berani usil urusan aku sipengemis tua?" pengemis itu membentak gusar, Ia loncat maju, untuk menyerang Sin Kong Tay. itulah pukulan "Ular berbisa keluar dari liang," dan sasarannya jalan darah kie boen dari lawannya.

Tak puas Tiong Hoa, maka ia meluncurkan tangannya mengetuk tongkat orang.

Pengemis itu terkejut. Tongkatnya terpental dan tubuhnya terhuyung. Dia menjadi terlebih gusar. "Siapa "kau?" teriaknya. "Kalau aku gusar, aku tidak kenal orang. Nanti aku tak perdulikan kau siapa, hendak aku menghajarnya" Tiong Hoa bersenyum.

"Kalau begitu anggaplah aku kurang ajar" kata dia. Dia tertawa tapi suaranya menyatakan dia tak puas.

Tiba-tiba pengemis yang di kenal Tiong Hoa mengajukan diri. "seng Tong-coe" dia memanggil rekannya.

Pengemis tua itu menoleh, matanya berapi, terang dia tak senang dicegah.

"Soen Tong-coe. jangan kau campur tahu" katanya.

Dan ia segera menyerang si anak muda, dengan sodokan yang bercahaya.

Tiong Hoa tidak ingin bentrok dengan Kiong Kee Pang.

Partai Pengemis. maka ia berkelit. Ketika ia diserang terus saling susul, ia berkelit sambil berputaran menyingkir dari setiap serangan itu. Dia bergerak cepat dan lincah sekali. Akhirnya Seng Toa-coe pengemis she Seng itu menjadi heran-

"Bocah ini liehay sekali." pikirnya, "Kalau dia menang, kemana aku menaruh mukaku?"

Dialah Pek-Kiat Wie To Seng Kiat, si Wie To Seratus Tambalan, didalam Kiong Kee Pang dia liehay cuma dibawahan ketuanya. Karena dia bertabiat keras baik didalam maupun diluar partai dia tak dapat kesan baik.

Karena adatnya yang keras itu, sekarang dia tak menghiraukan pengemis yang dia panggil Soen Tongeoe itu, rekannya. Begitulah dia menyerang makin hebat hingga tongkatnya itu mendatangkan suara angin yang keras. Melihat orang tak kenal batas. Tiong Hoa mengasi dengar suara dihidungnya lantas ia menolak dengan tangan kirinya dari bawan ke atas.

Tanpa ampun lagi tubuh Seng Kiat terangkat dan terpental tetapi berbareng dengan itu si anak muda berlompat maju guna menanggapi selagi tubuh pengemis itu terjatuh hingga dia tak roboh ditanah.

"Maaf Seng Loosoe " kata si anak muda bersenyum. "Aku kesalahan tangan-.."

Pengemis itu melongo. Dia malu sekali hingga mukanya menjadi merah. Setelah diam sekian lama baru dia berkata meringis: Aku si pengemis tua berjumawa untuk banyak tahun, baru hari ini aku menemui tandinganku, tapi aku kalah tak puas."

"Aku yang rendah menang karena kebetulan saja," kata Tiong Hoa dengan hormat dan ramah, senyumannya tak lenyap. “Mana dapat aku melayani Seng Loosoe yang gagah luar biasa? Umpama kata Seng Loosoe hendak memberi pengajaran padaku, silahkan loosoe menetapkan hari dan tempatnya."

Matanya pengemis itu mendelik.

"Benarkah?" dia tanya. "Baiklah lagi tiga tahun diharian Tiong Cioe kita nanti bertemu pula dipaseban Liong Teng dikota Kay-hong. Itu waktu, sebelum kita bertemu jangan-jangan kita berpisah dulu"

Menyambungi kata-kata jumawa itu sipengemis bersiul nyaring sambil ia putar badan untuk dia mengangkat kaki, menyingkir cepat laksana kilat.

Tiong Hoa mengawasi orang berlalu, dia menyesal sekali menghadapi orang berkepala besar itu. Itu waktu kelima pengemis lainnya menghampirkan si anak muda untuk memberi hormat, kemudian yang satu yang paling tua, kata dengan nada bersyukur: "Buat peristiwa di Hoa Kee Po. pangcoe kami berterima kasih tak putusnya kepada siauwhiap. Sebenarnya dia ingin menemui sendiri pada siauwhiap. apa mau dia terhalang urusan- Partai kami dengan keempat jago Kiong Lay Pay, yang menjanjikan untuk mengadu kepandaian, janji mana harinya sudah mendesak. Pihak sana itu mengundang banyak orang, maka juga Pangcoe kami berduka, dari itu biarlah datang lain hari yang Pang Coe bakal menjenguk siauwhiap. guna ia menghaturkan terima kasihnya."

Tiong Hoa membalas hormat.

"Itulah aku tak berani terima, katanya. "Tolong sampaikan saja hormatku kepada Pangcoe kamu itu."

Pengemis tua itu mengangguk bersama empat kawannya ia memberi hormat satu kali lagi, barulah mereka berlima mengundurkan diri, buat berlalu dengan cepat. Seberla lunya rombongan pengemis itu, Lee Hoan lari menghampirkan si anak muda. "Engko Hoa, lihat apakah itu?" katanya. tangannya menunjuk ketanah.

Tiong Hoa mengawasi ke arah yang ditunjuk. Sin Kong Tay yang menghampirkan turut mengawasi juga.

Terkena sinar mata hari, terlihat suatu barang mengkilap. Sin Kong lay lantas membungkuk. menjumput itu, yalah sepotong cie-ang Giok-cie atau kemala warna merah tua yang merupakan naga tanpa tanduk. Ia mengawasi sekian lama, lalu sambil lantas ia kata:

"Inilah tentu miliknya pengemis she Seng itu, yang jatuh diluar tahunya ketika barusan siauwhiap membikin dia terpental tinggi. Aneh barang ini berada di-Tangan orang Kiong Kee Pang yang berkenamaan. Peraturan Kiong Kee Pang keras sekali, aturan itu melarang anggautanya memiliki benda berharga"

Tiong Hoa menyambuti naga kemala itu dari tangan kawannya, ia pun memandangnya, hanya ia sambil berpikir keras. Kemudian ia kata: "Sekarang sukar dipastikan benda ini milik Kiong Kee Pang atau bukan, kalau bukan, pasti ini ada arti lainnya. Mustahil-kah Seng Hoa coe berani menyimpan ini di luar tahu partainya?"

Sin Kong Tay menggeleng kepala.

"Lencana dari Kiong Kee Pang yalah Tekpay Sinhoe, belum pernah ku dengar halnya naga kemala begini." kata dia. "Aku tidak lihat ada artinya yang lain dari kemala itu kecuali bahwa harganya tinggi luar biasa."

"Sekarang ini tak dapat kita susul Seng loa-soe. untuk menanyai keterangan atau memulangi ini kepadanya." kata Tiong Hoa kemudian, “maka itu baiklah kita menyimpannya dulu. Setelah beres urusan di Tiam Chong nanti, baru kita cari pengemis itu."

"Kalau begitu, marilah kita berangkat" mengajak Lee Hoen- suaranya nyaring dan gembira.

Maka berangkatlah ketiga orang itu, sambil berlari cepat sekali.

Semakin jauh ia melakukan perjalanan, hati Tiong Hoa makin pepat. Ia sekarang memikirkan Cek In Nio, entah bagaimana dengan nona itu. Ia pun ragu-ragu apa In Nio dan Pouw Keng dapat kecocokan satu dengan lain atau tidak. Kalau In Nio ketahui Pouw Liok It yang menangkap dan menahan ibunya si nona bisa jadi gusar hingga mereka kedua belah pihak dapat menjadi musuh satu dengan lain- Kalau mereka bentrok tidak dapat ia menangi salah satu.

Pula masih ada satu soal lain- Wanita umumnya mudah curiga dan cemburu atau jelus. Bagaimana kalau In Nio atau Pouw- Keng, atau dua-duanya melihat Lee Hoen? Bagaimana kalau mereka atau salah satu diantaranya tidak puas? Ruwet bukan? Maka berdukalah ia, ia menarik napas panjang.

Ketika anak muda ini meliriK Lee Hoen, dia mendapat kenyataan nona itu gembira seperti biasa. Ia heran, hingga ia tanya diri nya sendiri: Apakah dikatakan Sin Kong-Tay kepada Lee Hoen selama mereka kasak-kusuk di Cong Seng Sle? Bukankah tadinya si nona tak puas dan berduka? Kenapa mendadak dia menjadi gembira?"

Lee Hoen melihat si anak muda berduka ia lari berendeng dengan Sin Kong Tay, ia bicara atau tertawa. Sikapnya itu menambah herannya Tiong Hoa. Kira-kira lohor tibalah mereka dikecamatan Kwan-koan-

"Siauwhiap." Sin Kong Tay tanya, "dimana berdiamnya kedua nona-nona Cek dan Pouw?"

"Di belakang gunung ceng Shia San- didalam gua Giok Lok Tong,” jawab Tiong Hoa.

Sin Kong Tay berpikir. lalu terdengar suaranya perlahan: "giok Lok Tong... Giok Lok Tong..." Atau mendadak matanya menjadi bersinar hidup, hingga dia berseru: "Ya tahulah aku si orang tua. Gua Giok Lok-ong itu berada didepan puncak Giok Long Tong, tersembunyi diantara hutan rotan yang lebat. Ada sedikit sekali orang Rimba Persilatan yang kenal gua itu, bahkan orang ceng Shia Pay sendiri pasti tak banyak yang nendapat tahu " Tiong Hoa heran- Dia mengawasi temannya itu. "Sin Loosoe mengapa kau ketahui demikian jelas?" ia tanya. Sin Kong Tay bersenyum, agaknya dia ingat sesuatu.

"Inilah rahasiaku, yang sudah sekian lama aku simpan dalam hatiku, siauwhiap."

Katanya kemudian- "Siauwhiap pasti tidak ketahui bahwa akulah murid yang disia-siakan ceng Shia Pay. Aku biasa membawa suara hati sendiri, satu waktu aku menerbitkan onar, maka aku lantas kabur dari gunungku. Ah Sejak itu sampai sekarang ini lima puluh tahun sudah lewat."

Jago tua ini berdiam sebentar, dia seperti lagi mengingat-ingat atau membayangi hari harinya yang telah lampau itu.

"Semasa muda aku mirip seekor kuda liar." kemudian dia menyambung. "maka itu aku bisa menjelajah gunung Ceng Shia San, sampai, pada satu hari aku tiba di Giok Lok Tong. Demikian sekarang aku ingat gua itu.

Sekarang ingin aku menjelaskan pada siauv hiap. orang- orang Ceng shia Pay banyak yang cupat pikirannya, andaikata siauwhiap bertemu dengan mereka hingga terjadi bentrokan, aku minta sukalah siauwhiap maklum dan akan bersikap sabar terhadap mereka."

Tiong Hoa tertawa. "Akutahu." sahutnya. "Sekarang silahkan siauwhiap berdua ikuti aku si

orang tua," kata sin Kong Tay.

"Akan aku mencari jalan yang terdekat dan juga yang menjauhkan diri dari orang-orang- Ceng Shia Pay, supaya tak usah kita sampai bertemu dengan mereka itu...

Tiong Hoa menurut, maka ia membiarkan orang tua itu lari disebelah depan, ia bersama Lee Hoen mengintil. 

Demikian mereka lari kearah gunung Ceng Shia San, untuk terus mulai berlari-lari di jalan yang sukar, yang penuh rumput atau pepohonan- Mereka lantas merasakan sejuknya tempat. Walaupun demikian, hati Tiong Hoa tidak jadi terbuka, malah sebaliknya ia merasa makin pepat...

Tengah mereka berlari mendaki itu, dengan berlompatan mendadak terdengar suara nyaring dari Phang Lee Hoan- "Engko Hoa lihat"

Ketika itu mereka sudah naik cukupjauh.

Tiong Hoa mengangkat kepalanya untuk melihat kedepan, tempat yang ditunjuk si nona. Maka disebelah depan ia, ia melihat sebuah paseban kecil yang memakai nama ke Lok Teng.

Sedang didalamnya ada sepasang lian berbunyi: "ini lah tempat singgah- beristirahat untuk mereka yang beruntung dapat pesiar ketanah suci ini Mendaki gunung memang bersengsara, tetapi tiba dipuncak. dapat melihat matahari terbit"

"Bagus" Lee Hoen memuji seraya bertepuk tangan- "Sepasang lian ini pasti akan melenyapkan kepapata n pikiran engko Hoa. lihat engko Hoa itu. dia mengerutkan keying dia masgul, maka kalau sebentar dia melihat matahari fajar, tentu hatinya akan terbuka, hingga tak tahulah, bagaimana nanti girangnya dia"

Tiong Hoa heran, la tidak sangka Lee Hoen dapat membade hatinya itu dan dapat bersikap demikian gembira juga, bahkan omongannya maka tanpa merasa, ia menarik nona itu. yang sebenarnya cantik, sedang kemanjaannya menarik hati. "Siawhiap." kata Sin Kong Tay, mari kita mengambil jalan samping mendaki belakangnya kuil Siang ceng Kiong untuk mengurangi ketika orang-orang ceng shia Pay melihat kita."

Tiong Hoa mengikuti begitupun Lee Hoen.

Kira setengah jam lamanya mereka mendaki, tetapi perjalanan beberapa lie yang telah dilewati, mereka sekarang berada diatas bukit, hingga mereka menampak segala apa jelas disekitar mereka. Banyak pohon cemara bunga dan lainnya. Suasana disitu suasana bersih murni, yang membikin orang melupai dunia yang ramai dan kotor.

Bukit ini berada di-belakang puncak pertama dari Ceng Shia. Sin Kong Tay menjelaskan- "Mari kita jalan mutar, tanpa setengah jam. kita akan sampai dllembah depan puncak Giok Long Teng. coba kita tidak mempunyai urusan, kita boleh ambil jalan yang lurus akan menyaksikan keindahan ceng Shia San ini....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar