Bujukan Gambar Lukisan Jilid 24

Jilid 24 : Yan Loei, poocu Yan Kee-po tewas

Dengan perasaan heran, ia masuk lebih jauh, ia melihat patung Sang Buddha tinggi enam kaki. ia kagum, Dikamar barat ada delapan belas patung Lohan dengan roman-nya yang berlainan masing-masing. Dipendopo itu ada dua orang pendeta dengan jubah abu-abu lagi bersila beribadat, mata mereka dipejamkan-

Dengan mata tajam, Tiong Hoa mengawasi kesekitarnya. ia tidak mengganggu kedua pendeta itu, Dengan berjalan mutar, ia pergi kependopo belakang, Disini ada sebuah lorong panjang dengan loteng batu marmer, batunya licin mengkilap dan dingin rasa nya waktu dirabah, ia bertindak terus sampai ia dipapaki seorang pendeta umur kira empat puluh tahun, jubahnya abu-abu juga.

"Sie-coe mau pergi kemana?" dia itu menyapa seraya memberi hormat.

Tiong Hoa melihat gerak-gerik orang gesit dan matanya bersinar, ia menduga pendeta ini mengerti silat baik sekali, ia membalas hormat sambil bersenyum.

"Aku mendengar kuil ini kesohor, maka itu aku datang untuk melihat-lihat," ia menjawab.

Pendeta itu tertawa.

"Pin-ceng dipanggil Go Tim," katanya, bersenyum, "Disini pinceng menjadi

tie-kek ceng. Kalau si-coe mau melihat-lihat, marilah silahkan siecoe minum teh dulu."

Tie-kek-ceng yalah pendeta yang bertugas menyambut dan melayani tetamu.

"Terima kasih," Tiong Hoa menampik. ia datang untuk melihat Lee Hoen, jadi tak ada niatnya memasang omong, Aku minta soehoe mengijinkan aku melihat-lihat saja. "Inilah sulit," kata pendeta itu. "Kalau guru kami ketahui ini, pinceng bisa ditegur karenanya, Sie coe, silahkan"

Tiong Hoa tak dapat menolak lagi, ia mengangguk seraya mengucap terima kasih la minta si pendeta memimpinnya.

Go Tim menjura, terus ia jalan dicepan, Tiong Hoa mengikuti, matanya melihat ke-kiri dan kanan, untuk mendapatkan sesuatu yang mencurigakan Go Tim agak memaksa, ia curiga di sian pong, ruang kemana ia diundang itu, ada apa-apa. Atau ia telah dicurigai pendeta ini.

Latar dalam itu indah, Ada pohon-pohon bunganya yang harum, ada empangnya serta pohon yanglloeserta pohon pek. Didalam empangnya, ikan-ikan emas lagi berenang memain, Tapi tak ada kegembiraannya tetamu ini memandangi itu. Bahkan ia menyesal telah datang langsung.

"Tahu begini, lebih baik aku masuk secara menyelundup." pikirnya, sekarang terpaksa ia menahan sabar.

Tiba didalam sian pong, Go Tim mengundang tetamunya duduk. ia memerintah kan kacungnya menyajikan air teh, ia pun berlaku manis, sembari bersenyum ia me-nanya hal-ikhwal tetamunya itu.

"Aku asal Yan-khia," Tiong Hoa memberi-tahu. "Sebagai pelajar aku gemar akan keindahan alam, maka itu aku keluar pesiar. Disini ada sahabat ayahku, aku datang ke mari untuk menjenguknya."

Kemudian mereka bicara dari hal-hal lain-

Go Tim terpelajar, banyak pengetahuan nya tentang kitab-kitab Khong Coe dan lainnya. Tapi ia minta pelbagai keterangan- Syukur Tiong Hoa bukan pelajar gadungan, ia jadi dapat melayani dengan baik, bicara nya jelas dan lancar.

Pendeta itu kagum dan memuji, kelihatan dia girang. Toh agaknya dia masih mencurigai sesuatu, itulah sebab peristiwa hebat dijalan Inlam itu sedang kuil Cong Seng Sie ini mengandal gunung Tiam Chong, Warta rombongan Tay in San berada di Cong Seng Sie membuat kuil menjadi sasaran umum.

Begitulah, sebelum Tiong Hoa masuk ke-dalam pekarangan, telah ada pendeta yang melihatnya dan mengabarkannya kepada hong-thio, pendeta "kepala" dari kuil ini. Tiong Hoa tak tahu bahwa ia sudah lantas ada yang membayanginya.

"Sie-coe pandai sekali," kemudian kata lagi si pendeta, "Ada dibilang, ilmu surat bergandengan dengan ilmu silat, karenanya si-coe pasti mengetahui juga ilmu yang belakang ini."

Diam-diam Tiong Hoa mesti menyedot hawa dingin, Tak disangka ia bakal ditanya tentang ilmu silat, Syukur ia tabah, maka ia bisa berlaku tenang seperti biasa.

"Aku cuma anak sekolah yang lemah, mana aku mengerti ilmu silat?" katanya, tertawa, "Taysoe keliru melihat."

"Go Tim tertawa lebar. "Aku mengagumi kau, siecoe, karena kau pandai sekali membawa dirimu" katanya, "Kau bisa sekali menyembunyikan diri." Sembari berkata ia menolak tangannya lempang.

Tiong Hoa merasakan hawa meniup dada-nya. Masih ia berlaku tenang, ia bernapas seperti biasa, dadanya memain menolak angin itu. Tapi hebat bagi Go Tim, ketika tenaga serangannya itu kembali, dia terkejut hampir dia terjungkal dari kursinya.

"Ah taysoe, apakah artinya ini?" kata Tiong Hoa mendahului bicara, ilmu silat itu ilmu pembelaan diri, tak dapat itu dipakai memaksakan orang, apapula disini, sebuah tempat suci, Adakah ini biara mirip sarang penjahat dimana aku tak dapat menaruh kaki ?" Ia lantas berbangkit niatnya pergi berlalu. Tiba-tiba ada suara mendehem diambang-pintu.

"Sabar, siecoe, harap jangan gusar " begitu terdengar, "ingin loolap bicara untuk menjelaskannya."

Itulah seorang pendeta tua, yang telah putih rambut dan kurnisnya, akan tetapi ketika ia bertindak menghampirkan, tindakannya lebar, tubuhnya tegar, romannya sabar tetapi Keren, ia memuji Sang Buddha sebelum tetamunya membilang apa-apa, ia sudah berkata pula:

"Sie-coe, loolap mohon tanya, bagaimanakah dengan kunjungan sie- coe ini, apakah ada maksud lainnya atau tidak ?"

"Soehoe aku yang rendah tak mengerti maksud pertanyaan kau ini." Tiong Hoa menjawab, "Bukankah setiap berhala atau kuil dapat didatangi segala orang untuk bersujud atau melihat-lihat ?" Apakah pertanyaan soehoe ini ada maksud lainnya atau tidak?"

Ditanya- begitu, pendeta tua itu melengak. "Loolap telah menanya secara terburu napsu, tidak heran si-coe menjadi tidak senang," katanya kemudian, " ingin loolap memberi penjelasan sebenarnya saat ini kuil loolap tengah terancam bahaya penyerbuan, setiap waktu bisa terjadi pertumpahan darah yang hebat, Maka itu suka aku memberi nasihat, baiklah sie-coe lekas berangkat pulang, supaya batu dan kemala tak terbakar bersama Tak tega loolap apabila loolap mesti menyaksikan siecoe turut menjadi kurban kecewa."

Go Tim, dengan roman likat, turut bicara.

"Barusan aku berlaku lancang, aku minta diberi maaf," katanya, "Benar apa yang di katakan hong-thio kami, dari itu silahkan sie coe lekas-lekas berlalu dari sini." Jikalau begitu baiklah, aku memohon diri," kata Tiong Hoa akhirnya.

Baru si anak muda berkata begitu, atau dari luar pintu terdengar suara keras: “Tak dapat dia dibiarkan pergi”

Lalu menyusul itu, tiga orang berlompat masuk. Dari dandanannya, teranglah mereka orang-orang Rimba Persilatan- sedang yang satunya, yang mukanya merah seperti bara, yang mulutnya lebar dan hidungnya gedeh mirip hidung singa, berewokannya tebal serta matanya bengis, mengawasi si anak muda dengan mata tak berkedip.

Tiong Hoa melihat mereka hanya sebentar terus matanya diarahkan kepada orang yang kedua, Dia bermuka putih, bagus alisnya. matanya jernih, usianya belum limapuluh tahun-Dia menarik perhatian karena pada punggungnya ada sebatang pedang yang di kenali sebagai pedangnya Phang Lee Hoen. itulah berarti Nona Phang sudah menampak bencana atau sedikitnya pedangnya itu sudah kena dirampas orang ini. Tentu sekali tidak dapat ia minta penjelasannya orang itu mengenai pedang tersebut.

"Taysoe," berkata si muka merah, "siapa tahu kalau dia ini bukan mata-matanya kawanan sesat itu inilah berbahaya, maka dia harus ditanya jelas dulu " 

Tiong Hoa tertawa dingin, Dia mendahului si pendeta bertanya: "Tuan tuan, aku mohon tanya, ada hubungan apakah diantara kamu dengan kuil cong Seng Sie ini ?"

Ditanya begitu, orang muka merah itu melengak.

Hanya sebentar, dia lantas menunjuki pula sikap garangnya. Kata dia keras dan bengis: "Kau tak usah perduli kami siapa Lekas kau beritahukan maksud kedatanganmu kemari."

"Baiklah tuan dulu yang menjelaskan maksud kedatangan kamu kemari," Tiong Hoa membaliki, ia tertawa tawar, "Bukankah kuil merupakan tempat umum? Mana dapat kamu berlaku galak begini disini?"

Orang itu kalah bicara, dia menjadi sangat gusar, Sambil berteriak dia maju mendekati sebelah tangannya diulur kejalan darah leng-Tiong dari si anak muda. Hebat serangannya ini.

Tiong Hoa melihat itu, ia tidak mau mengundurkan diri, ia bahkan mengawasi sambil tertawa, ia menanti orang sudah datang cukup dekat dan tangannya sudah meluncur mendadak ia menyambuti dengan lima buah jari tangannya, sedang kaki kirinya terangkat dan melayang.

Terdengarlah satu jeritan yang menyayatkan hati.

Terlemparlah tubuh si muka merah yang galak itu, rubuh jatuh diatas sebuah kursi, hingga kursi itu ringsak mengasi dengar suara berisik, ketika orang itu meronta bangun, tangan kanannya itu kontan bengkak, sedang mukanya pucat dan bermandikan keringat.

Si pendeta kepala terperanjat Dialah satu ahli silat dan dia melihat tegas ilmu silat si anak muda luar biasa sekali. Hebat lukanya si muka merah, apabila dia tidak lantas ditolong i, lengan kanannya itu tak bakal ketolongan lagi. Karena itu dia lantas lompat untuk menotok menutupjalan darah orang guna mencegah bencana itu orang yang membawa pedang Ceng Song- Kiam dipunggungnya itu lompat kedepan Tiong Hoa, dengan kedua tangannya dia lantas menolak.

Pemuda itu tertawa terbahak. dia menggeraki tubuhnya untuk berlompat mengapungi diri, itulah gerakan "Cian liong seng thian" atau "Naga naik kelangit," atau tubuhnya turun begitu tangannya meluncur mulut. Maka hanya dalam sekejap. pedang orang itu sudah pindah ketangannya.

ooooooo BAB 2

ORANG terkejut, mukanya pucat, segera dia menyerang.

Tiong Hoa berlaku tak kalah gesitnya untuk terkesiapnya hati orang, ia menghunus pedangnya itu, yang berkilauan bagaikan berkeredep. setelah mana, ia membacok pada penyerangnya itu.

Kembali si pendeta ketua Cong Seng Sie menjadi terperanjat ia mendapatkan sianak muda benar benar luar biasa.

Lawan itu terkejut. Batal dia menyerang.. Lekas-lekas dia menarik pulang tangannya itu sambil dia lompat mundur tujuh kaki, Toh dia masih terlambat, tangan bajunya tersambar juga ujung, pedang. Mukanya menjadi pucat. "Omietoohoed" si pendeta memuji, terus ia maju kedepan Tiong Hoa, untuk merangkap kedua tangannya memberi hormat.

"Harap jangan gusar, siecoe." kata dia memohon- " Disini sudah terjadi salah mengerti. Mari loolap menjadi orang penengahan diantara kamu. Memang tanpa pertempuran orang sukar berkenalan silahkan tuan-tuan duduk minum teh didalam kamar sianpong."

Tiong Hoa tertawa.

"Taysoe menonton dipinggiran, taysoe melihat tegas sekali siapa yang memulai menerbitkan onar ini" katanya dingin-

Mau tak mau muka si pendeta menjadi merah. ia jengah, ia kata didalam hatinya: " Hebat lidahnya pemuda itu." ia lantas memuji Sang Buddha, ia kata: "Maaf, siecoe, Dalam hal ini loolap sudah bertindak sembrono, Tapi siecoe tetamu kami, seharusnya loolap..."

Simuka merah yang gusar, menyela. "Taysoe, buat apa banyak omong dengannya" Terus dengan bengis, dia membentak Tiong Hoa: "Kau harus tahu diri Lekas kembalikan pedang itu, lantas kau angkat kaki dari sini"

Tiong Hoa mengangkat pundak.

"Aku suka, aku datangi Aku tak suka, aku pergi" katanya keren, "Apakah kamu kira dapat kamu menguasai aku? Tentang pedang ini? Hm" Dengan tenang ia masuki pedang kedalam sarungnya, dengan tertawa tawar, ia tambahkan: "inilah pedang Nona Phang Lee Hoen, ini bukan pedang kamu" Mukanya si muka merah menjadi bertambah merah, dia malu dan gusar. Dia mau membuka mulutnya tetapi dia dicegah kawannya, yang pedangnya dirampas itu.

"Soetee sabar," kata orang itu. Rupanya pemuda ini tidak bermaksud jahat, dia hanya menghendaki pedang .

. . "

Tiong Hoa heran atas kata-kata orang, ia mengawasi. "Soetee," kata pula dia itu, “pasti disini telah terselip

salah paham. Baik kita menjelaskan duduknya hal, setelah itu terserah kepada tuan ini, dia suka menjadi musuh atau sahabat..."

Pendeta dari cong Seng Sie berkemik, tetapi dia batal bicara.

Tiong Hoa tertawa.

"Baiklah, akan aku yang rendah berdiam diruang ini untuk mendengari pengajaran kamu." katanya.

Mendengar demikian, pendeta itu mengulangi undangannya, Maka dilain ketika, mereka sudah lantas duduk berkumpul. Pendeta itu mulai bicara dengan memperkenalkan dirinya sebagai Beng ceng, asal dari biara Siauw Lim Sie di Pouw-thian, tetapi di cong Seng sie ini ia sudah tinggal lamanya limapuluh tahun.

Orang yang membawa pedangnya Nona Phang itu bernama Wie Beng Seng gelar Kim-Kiam Wie Hok, Si muka merah Hwee Llong-sin Kong Hiok, dan orang yang ketiga, yang sebegitu jauh berdiam saja, Leng In cit Too Mo Siang Seng, Mereka bertiga keluaran Khong Tong Pay dapat julukan umum Khong Tong Sam Kiat, tiga jago Khong Tong Pay. Lie Tiong Hoa menyebut namanya yang asli, tetapi terkenal di Kanglam sebagai Lie Cie Tiong, dia membuatnya Beng ceng semua berpikir.

Habis perkenalkan itu Wie Beng Seng ingin bicara, hanya beberapa kali ia gagal. Tiong Hoa melihat sikap orang, dia bersenyum.

"Aku yang muda ketahui pedang ceng Song Kiam ini pedang mustika Khong Tong Pay." kata ia, "maka itu sudah selayaknya pedang kembali kepada pemiliknya, Akan tetapi satu hal harus diingat, Ialah: Sudah lama sekali pedang ini berada dalam dunia Kang ouw dan telah bertukar tangan beberapa kali." Mendengar itu, alis Kong Hiok terbangun.

“Jangan gusar, Kong Loo soe," sabar kata Tiong Hoa bersenyum, ia lihat orang mulai naik darah pula. "Aku yang rendah hendak omong terus terang, sekarang aku hendak tanya pedang ini bikinan Khong Tong Pay sendiri atau namanya pedang tua buatan lain orang yang kebetulan saja diketemukan atau didapatkan leluhur Khong Tong Pay, yang seterusnya telah menjadikannya pusaka penunggu gunung kamu? Bukankah yang belakangan ini benar?" Kong Hiok bungkam, Hanya tak lama.

"Mungkinkah siauwhiap hendak memilikinya sekarang?" dia tanya keras.

Tiong Hoa berlaku sabar.

“Jikalau ada maksudku demikian." kata-nya, tenang, "taklah nanti selama di Kang-lam aku menyerahkannya kepada Nona Phang Lee Hoen, sekarang mari kita bicara dulu mengenai Nona Phang itu. Bukankah sekarang dia tengah dikurung kamu didalam kuil ini? Dialah seorang nona, yang riwayat hidupnya sangat menyedihkan Dapatkah dia dimerdekakan, supaya dia dapat mengikut aku berlalu dari sini? Mengenai pedang ini, kita harus bicara dulu dengan Nona Phang, terutama untuk menanyakan pikirannya."

Beng Seng mengerutkan alis, ia berbangkit sembari berpaling keluar, ia bertindak hanya baru dua langkah, mendadak ia melihat seorang pendeta lari tergesa-gesa dan roman ketakutan segera berkata kepada ketuanya: “Hongthio, semua sicoe diruang peristirahatan pada rebah tak berkutik tak ketahuan apa sebabnya sejumlah saudara juga tak sadarkan dirinya. Yang lain-lainnya sekarang lagi melakukan pemeriksaan."

Beng ceng terperanjat dia menuju Sang Suddha. "Bagaimana dengan Nona Phang yang tengah ditahan

didalam menara?" dia tanya, "Apakah dia masih ada didalam kamarnya?"

"Dia telah orang tolongi." sahut si pendeta ragu-ragu.

Pintu menara terpentang lebar, tiga saudara yang menjaga disana mati tanpa luka-luka.

Ketua cong Seng Sie itu kaget, sambil mengebut tangan bajunya ia lompat untuk lari keluar.

Wie Beng Seng menghadapi Tiong Hoa. Mendadak dia kata: "Aku tidak sangka, siauw-hiap. orang semacam kau tetapi sepak terjangmu sesat."

"Wie Loosoe," si anak muda membentak, jangan kau sembarang menghina dan mem..."

Justeru itu diluar jendela terdengar suara tertawa dan berkata ini: "Saudara Lie, Nona Phang telah dapat ditolongi, tak ada perlunya buat adu bicara dengan mereka ini. Baik saudara lekas berlalu" Tiong Hoa terkejut, ia memutar tubuh sambil segera menyerang kejendela, berbareng dengan hancurnya daun jendela itu, ia lompat keluar, tetapi ketika ia sampai diluar, ia tidak melihat siapa juga, kecuali matahari cerah, ia berdiri melengak.

Tahu ia bahwa ia telah kena dipedayakan,Selagi ia berdiam itu, bingung dan mendongkol ia merasakan sambaran angin dari belakangnya, ia tahu ia ada yang bokong, dengan lantas ia berpaling, itulah Wie Beng Seng bertiga.

"Tuan-tuan" ia berseru, " apakah tuan-tuan menyangka aku bersekongkol sama kawan itu?"

"Orang she Lie" kata Kong Hiok bengis, "sekarang ini walaupun kau mempunyai mulut, sulit kau bicara"

Tiong Hoa mendongkol tetapi ia tertawa.

"Sekarang bukan saatnya mengadu bicara," kata ia. "jlkalau tuan-tuan suka memikir sadar, tak sulit buat mengetahui akal muslihatnya pihak sana itu" ia tertawa dan menambahkan “Jikalau aku memang berniat jahat sekarang ini pasti jiwa mu sudah melayang pergi tuan- tuan"

"Sungguh mulut besar" berseru Mo Siang seng.

Leng In cit Too gusar hingga tak dapat dia mengendalikan diri lagi. Dia menghunus goloknya dengan apa lantas dia menyerang.

Hebat serangan itu tetapi gagah Tiong Hoa berkelit pemuda ini merasa sulit. Kalau ia melawan, ia memperbesar salah mengerti Kalau ia terus tak melawan, ia terancam bahaya, Kelihatannya si orang she Mi liehay sekali. Mendapatkan serangannya yang pertama itu tidak memberi hasil, Siam Seng meng-ulanginya, bahkan terus berulang-ulang.

Tetap Tiong Hoa main berkelit Matanya dipasang awas terhadap golok penyerangnya itu.

Beng Seng dan Kong Hiok mengawasi. Mereka kagum untuk kegesitannya anak muda ini. Mereka pun heran kenapa anak muda tidak menghunus pedangnya. Kalau pedang mustika itu digunai, saudaranya pasti terancam bahaya, atau sedikitnya goloknya bakal kena ditabas kutung.

Benar-benarkah ada salah mengerti disini?" keduanya berpikir “orang diluar tadi kalau dia benar bukan Lie Tiong Hoa, mestinya dia musuh yang bersembunyi yang sengaja mengadu domba."

Juga Tiong Hoa, selagi berkelit terus berpikir: orang diluar itu memfitnah aku dia pasti Touw Leng" Benar suaranya dirobah tapi suara asalnya masih tak lenyap jikalau aku dapat membekuk kau. Hm..

Mo Siang Seng mengira Tiong Hoa hendak mempermainkan padanya, dia menyerang bertambah sengit, didalam hatinya, dia kata.

"Mesti aku bunuh kau Aku mau lihat kau dapat mempermainkan terus atau tidak padaku” Karenanya, matanya menjadi menyorotkan sinar pembunuhan-

Ketika itu, disitu muncul belasan orang lain, diantaranya ada Beng ceng serta beberapa pendeta lain yang selebihnya orang biasa. Dilihat dari macamnya, mereka semua bangsa lurus.

Wie Beng Seng menghampirkan si pendeta, untuk bicara kasak-kusuk, habis dia bicara, rombongan itu mengawasi tajam kepada Tiong Hoa. 

Lama-lama, Tiong Hoa mendongkol juga, ia pun belum tahu maksudnya orang banyak itu. Maka ia memikir buat tak terus mengalah Dengan lantas ia menggunai tipu.

Mo Siang Seng melihat lowongan, dia lantas menyerang. sasarannya itu yalah iga si anak muda.

Tiba-tiba Tiong Hoa tertawa, tubuhnya melejit, ketika golok lewat, tangan kanannya menyambar, menghajar belakang golok lawan-

Siang Seng kaget, Tanpa dapat dicegah, goloknya meluncur terus kearah Kong Hiok. Ia dan yang lainnya tak ketahui pemuda itu menggunai satu jurus dari "Ie Hoa cian Bok" yang liehay.

Kong Hiok kaget tetapi dia dapat berkelit. Habis itu dia melongoh, begitupun siang Seng dan yang lainnya.

Mereka semua heran untuk keliehaian si anak muda. Karena itu, suasana menjadi sunyi sekali. Tiong Hoa berlaku sangat tenang.

Mo Siang seng terus berdiam sedang Wie Beng Seng merasa sangat tak enak hati.

Kemudian Tiong Hoa menghadapi Beng ceng, memberi hormat kepada pendeta itu sembari berkata: "Taysoe, haraplah dimengerti bahwa aku yang rendah datang ke- kuil taysoe ini bukan dengan niat mengacau atau mencari permusuhan- Taysoe berasal dari Siauw Lim Sie dari Pouw-thian, pasti taysoe kenal baik Hoat Hoei Siangjin, sedang dengan Siangjin itu, aku bersahabat akrab sekali dan baru kemarin kita berpisahan dikuil Tay Hoed Sie. Ada kemungkinan hari ini juga siangjin akan tiba disini. Karena siangjin mengetahui baik tentang diriku, kalau nanti dia datang tay-soe tanyakan saja padanya."

Beng ceng berdiam, ia bersangsi. Tiong Hoa menghadapi Wie Beng Seng, ia kata tertawa: "Tentang asal-usulnya pedang ceng Seng Kiam ini, mulanya aku tidak tahu apa-apa, sampai waktunya aku bertemu Nona Phang Lee Hoen, Nona itu puterinya serang polisi kenamaan dari Kang lam. Pada duapuluh tahun dulu, ketika ayah Nona Phang itu masih menjadi pouw-tauw dikota ceelam, dia menghadapi serentetan kejahatan hebat.

Si penjahat kejam sekali, selain merampas uang, dia juga main memperkosa orang untuk terus dibunuh, Kemudian penjahat itu roboh ditangan ayah Nona Phang, yang berhasil merampas pedangnya, yalah pedang mustika ini. Belakangan lagi ayah nona itu bekerja pada kantor soen-boe di Hangcioe.

Disini dia lenyap tidak keruan sampai banyak tahun.

Karena itu Nona Phang merantau mencarinya, ia mengandali pedang ini melindungi dirinya."

"Siauwhiap. keteranganmu ini mungkin dapat dipercaya," kata Siang Seng, menyela, "Tapi Nona Phang itu telah berkoncoh dengan kaum tak lurus, dia datang mengacau kekuil cong Seng Sie ini. itulah bukan perbuatan mencari musuh ayahnya, Mustahilkah musuh ayahnya itu berada disini?" Tiong Hoa tertawa.

"Wie Loosoe, kau tahu satu tidak tahu dua" katanya, "Tak mengerti hal orang adalah urusan kecil, tetapi tidak mau mengerti, atau salah mengerti itulah besar. loosoe tentu ketahui pepatah halnya bunga teratai keluar dari lumpur tetapi toh tak kotor, umpama kata loosoe mau percaya aku sukalah kau mendengar keteranganku ?"

Beng Seng tertawa dingin.

"Suka aku mendengarnya " sahutnya "jikalau kau memutar- balik duduknya hal, hingga putih menjadi hitam, tak nanti kau dapat terbang keluar dari kuil ini"

Pemuda itu tidak menjadi gusar, sebaliknya, ia bersenyum.

"Pada suatu hari untuk suatu urusan aku pergi kekota Kim-leng." ia berkata. "Di sana dengan kebetulan aku bertemu nona Phang diluar sebuah penginapan dan kebetulan sekali, pedangnya nona itu lagi di rampas Koe Louw Mo-Koen. Tak dapat aku melihati saja kejahatan itu, aku menolong si nona dengan merampas pulang pedangnya itu. Ketika itu disana kebetulan ada Sin Heng Sice-soe Kim Som, dari dia itu baru aku ketahui bahwa sebenarnya ceng song kiam milik Koen Goan couwsoe dari Khong Tong Pay.

Kim Loocianpwee lantas minta supaya pedang itu diserahkan padanya untuk dikembalikan kepada Khong Tong Pay. Atas permintaanku, Kim Loocianpwee setuju pedang itu dibiarkan tetap berada ditangan-nya Nona Phang sampai nona itu berhasil menuntut balas untuk ayahnya."

"Dimana adanya Sm Hong Sice-soe Kim Loocianpwee sekarang ini?" tanya Beng Seng.

"Kim Loocianpwee berada dalam rombongan dari Tay In San," jawab Tiong Hoa menjelaskan, "Dia membantui Kang Siauw-san-coe datang ke Inlam ini. Kabarnya hari ini mungkin mereka tiba di Tiam chong San."

Mendengar ini, Beng Seng beramai terkejut "Dari mana kau perolehnya kabar ini?" tanya seorang tua yang romannya bengis yang jenggotnya panjang sampai diperutnya.

Orang tua itu bersikap jumawa.

Tak senang Tiong Hoa mendengar pertanyaan kasar itu, Dia kata sembari tertawa dingin: "Bukankah sekarang ini telah berkumpul berbagai macam orang gagah tak terkecuali segala kaum sesat? Bukankah mereka semua itu tak ada yang tak bersangkut paut dengan Lay Kang Koen Pouw? Semua mereka itu memperhatikan perjalanannya rombongan dari Tay In San Semua mereka itu memperhatikan gerak-geriknya Pouw Liok It. Asal angin meniup rumput, semua lantas tertarik perhatiannya. Kabarku ini aku peroleh dari satu orang yang bermaksud jahat terhadap cong Seng Sie. Dan dia itu bermusuh denganku, Kasihan Nona Phang, dia telah kena diculik orang jahat itu"

"Siapakah dia?" orang tua itu tanya pula membentaki Tiong Hoa membalasnya dengan tertawa dingin.

"Tuan, kau omong kasar sekali" sahut nya. "Walaupun aku yang rendah tahu dia siapa, sulit untuk aku memberitahukannya"

Parasnya orang tua itu berubah, Dia membentak pula: "Kau masih muda sekali tapi kau sangat jumawa, Pastilah kau terlalu mengandalkan ilmu silatmu hingga dimatamu tak terlihat orang lain lagi. jikalau aku si orang tua tidak mengajar adat kepada kau, pasti akan ada yang mengatakan dunia Rimba persilatan sudah tidak ada orangnya hingga kau dibiarkan ugal-ugalan" Sembari berkata begitu, perlahan-lahan dia mengangkat tangannya. Beng ceng lantas juga memuji Sang Buddha-

"Na Lie- coe, janganlah kau bergusar,” kata ia mencegah, "Siauwhiap ini orang pihak lurus..."

Orang tua itu tidak menghiraukan perkataan si pendeta, segera juga tangan kanannya itu melayang.

Hebat serangan itu, anginnya bertiup keras, Tiong Hoa heran juga. ia menduga pasti orang mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, Tentu sekali ia tidak mau berlaku sembrono, Maka begitu serangan tiba, ia berkelit satu tindak ke samping, dengan kedua tangannya ia menyambuti.

Dengan tangan kanan ia menggunai jurus "Pou Iee Hoa Ie" dari ilmu silat "Kioe Yauw Seng Hoei" yang terdiri tiga belas jurus, dengan tangan kirinya ia membantu dengan gerakan "It Goan Thay Kek" dari "Sian Thian

Tay-it ciang," serangan kedua pihak sudah tihak sudah lantas beradu.

Kesudahannya mereka sama-sama mundur tiga tindak, kaki mereka meninggalkan tapak yang dalam.

Tiong Hoa menjadi semakin heran, Pantas orang tua itu jumawa. orang tua she Na itu lantas tertawa terbahak-bahak.

"Tak heran kau jumawa sekali, kiranya benar kau mempunyai kepandaian yang berarti" katanya. "Sekarang mari sambut lagi satu tangan- ku."

Meski ia menyebut satu tangan- si orang tua mengajukan dua-dua tangannya dan dengan tenaga sembilan bagian, "Maka itu dapat dimengerti berbahayanya serangannya yang kedua kali itu. Tiong Hoa tidak takut, ia tetap tertawa dingin. Dengan sebat ia menyambut dengan kedua tangannya.

Lagi sekali mereka bentrok. Tubuh si-orang tua lantas terhuyung-huyung, benar ia taklah mundur, akan tetapi kakinya melesak setengah kaki, itulah sebab ia mempertahankan diri dengan ilmu berat tubuh Seribu Kati, Tiong Hoa sebaliknya mencelat mundur tiga kaki. tapi dia tenang seperti biasa. tak ada tanda-tantanya dia telah terlukai

Setelah itu, si anak muda kata nyaring: "sekarang ini disekitar Tali telah berkumpul banyak orang bangsa sesat, mereka tinggal menunggu ketikanya yang baik untuk turun tangan guna memberikan hajaran yang keras. Mereka juga lagi mengadu domba, untuk melemahkan setiap rombongan yang menentangnya. itulah siasat menggunai sepotong batu mendapatkan dua ekor burung itulah akal yang busuk sekali Tapi kau tuan, kau berada dalam kegelapan, umpama kata aku terbinasa, aku tak harus disayangi tetapi kau, apakah kau tidak mengingat keselamatannya Rimba Persilatan?"

Orang tua itu melengak. terus ia berkata pula.

"Kalau tiga kali tanganku sudah dikeluarkan, tak dapat aku mundur tanpa hasil" kata dia tetap jumawa, "Tapi baiklah, baik suka aku menunda sampai lain hari, untuk kita mendapatkan keputusan."

Tiong Hoa tidak membuang apa-2 lagi, dengan perlahan ia memutar tubuhnya.

Beng Seng melihat orang mau berlalu, lekas-lekas ia berkata: "Siauwhiap. tunggu sebentar. Barusan belum selesai siauwhiap bicara, Maukah siauwhiap

mempetakan- romannya orang yang memfitnah kau itu?" 

Tiong Hoa berpikir sejenak. lantas ia melukiskan romannya Touw Leng, kemudian ia menambahkan keterangannya: "Nama dia yang sebenarnya aku masih belum tahu, Mengingat kaum sesat itu bekerja masing- masing, aku minta kamu suka berlaku waspada, jangan kamu bekerja sembrono- hingga semua kaum sesat menjadi musuh kamu, itulah bencana untuk kaum lurus seumumnya."

Habis Tlong Hoa berkata itu, ia mendengar tertawa seram yang terbawa angin ketika ia segera menoleh kearah suara itu, ia sempat melihat seorang berlompat berlalu dari dalam menara, bagaikan elang terbang, cepat dia itu sampai dipekarangan luar. Ia mengenali orang itu, maka ia bersiul nyaring, terus tubuhnya mencelat, guna mengejar Menyaksikan itu, semua orang kaget dan heran, sekejap saja pemuda itu telah lenyap.

Si orang tua she Na yang jumawa itu mengerutkan alisnya, Kata dia: "Anak muda ini berada diantara lurus dan sesat..."

"Bukan melainkan itu, kata Beng ceng perlahan, " Dia juga paham sekali agama Budha dan Too Kauw, Para sie- coe, loolap minta sukalah semua turut loolap kekamar peristirahatan untuk melihat orang-orang yang pingsan itu, guna mendapat kepastian mereka terkena tangan jahat apa dan apa mereka dapat ditolong atau tidak."

Orang turut pendeta itu, mereka berlari-lari kedalam. cuma Wie Beng Seng bertiga yang berdiam terus, dan Beng Seng terus berkata perlahan: "Aku sangsikan pemuda she Lie itu, ingin aku menguntitnya, Apa soetee berdua setuju?" Kong Hiok dan Siang Seng setuju, maka bertiga mereka lari keluar. Ketika itu Tlong Hoa berdiri diam diluar kuil. Ketika ia sampai disitu, ia melihat Touw Leng sudah lari jauh, hingga ia pikir tak ada gunanya ia menyusulnya, ia berdiam dengan pikiran kacau. matanya memandang jauh ke Jie Hay, pemandangan indah tak dapat menenangkan hatinya, bahkan ia mendongkol. Lalu ia ingat: " Kenapa aku tidak mau pergi ke Sam Seng coen mencari Yan Loei ? Kalau ada ketikanya sekalian saja aku singkirkan dia. Dialah ancaman bencana bagi Rimba persilatan "

Maka ia bertindak ketepian akan menyewa sebuah perahu, membiarkan sang angin menyampoknya berulang-ulang, hingga ujung bajunya berkibar-kibar, ia mendelong memandang kedepan.

Sementara itu sebuah perahu kecil lain menguntit pemuda itu.

ooo

Dusun Sam Seng coen menghadapiJie Hay dan membelakangi gunung Tiam chong San-itulah dusun yang menarik hati, penduduknya tak lebih daripada lima- ratus keluarga. Dipermukaan air nampak sejumlah perahu nelayan-

Sebuah rumah besar berdiri dibagian barat dusun itu, terkurung dengan pepohonan besar dan tinggi, yang daun-daunnya seperti menghadang sinar matahari itulah sebuah rumah tua yang nampaknya angker.

Justeru itu terlihat beberapa orang berlompat dari luar melewati tembok pekarangan masuk kedalam, G^it gerakan mereka itu semua. Lantas terdengar suara berisik didalam rumah itu, Hanya tak lama, rumah menjadi sunyi pula, Beberapa orang terlihat lari keluar pula, semua kabur kearah hutan digunung Tiam chong San-

Satu jam kemudian, diluar rumah itu tampak seorang muda tampan dengan baju hijau, yang romannya halus, sikapnya tenang agung. ia bertindak dengan perlahan sekali, tangan bajunya menjadi permainan sang angin.

Tak jauh dari anak muda itu, yang bukan lain daripada Lie Tlong Hoa, Wie Beng Seng bertiga berindap-indap memasang mata.

"Mau apa dia datang seorang diri kemari?" kata Beng Seng, “Dia nampak tenang tetapi dia tentunya lagi mencari orang."

Segera juga mereka melihat si anak muda lompat kesamping, masuk diantara banyak pepohonan, terus masuk kedalam pekarangan.

"Mari kita susul" Beng Seng mengajak dua saudaranya.

Maka masuklah mereka kedalam pekarangan itu.

Tanpa bersuara, mereka menguntit terus.

Tlong Hoa pergi ke toa-thia, ruang besar yang sunyi, Segera ia merasa tak enak, Hidungnya mencium bau darah, Ketika ia berdiri d iambang pintu, lantas matanya bentrok dengan tujuh buah mayat yang menggeletak seperti di pengempang darah, ia lantas maju mendekati untuk memeriksa.

Untuk kaget dan herannya, ia mengenali mayatnya Hoan-Thian-ciang Yan Loei, yang kedua matanya melotot, romannya menyeramkan, dada dan perutnya terluka tujuh lubang, darahnya masih meleleh perlahan, Memeriksa terlebih jauh, Tlong Hoa menemui sepotong senjata rahasia mirip duri, warnanya kebiru biruan, ujungnya patah, ia tahu itulah senjata yang beracun.

Sendirinya anak muda ini menghela napas. "Bangsat tua ini jahat sekali, masih bagus cara

mampusnya ini." katanya perlahan-ia melihat lainnya mayat, ia mengenali Im-Yang-cioe Khong Jiang serta empat orang lainnya yang ia tidak kenal. Paling akhir ia mendapatkan tubuh Yan Hong yang pun terlukakan senjata rahasia yang serupa.

"Siapa yang membinasakan mereka ini?" kata si anak muda didalam hati. Dia mesti nya seorang jago liehay darijalan Hitam Untuk apakah ini?"

Tiba-tiba terlihat tubuh Yan Hong berkutik, ia lantas jongkok. "Saudara Yan Hong, Saudara Yang Hong" ia memanggil-manggil.

Yan Hong mencoba membuka kedua matanya, Dua kali ia melek dan meram. ia rupanya mengenali orang, bibirnya lantas bergerak.

"Saudara Lie." katanya sangat lemah. “aku berdosa... pantas aku menerima hukumanku ini... tetapi adikku, dia mencintai kau, saudara Lie. Karena gusar dia meninggaikan Yan Kee Po Aku harap kau nanti

memperhatikan dia."

Mata jago muda dari Yan Kee Po itu mencilak bibirnya masih bergerak tetapi sangat perlahan, hingga suaranya tak terdengar lagi.

"Saudara Yan Hong" kata si anak muda keras: "siapakah yang melukai kau? Kau kenaikah dia?" Sukar sekali Yan Hong menggeleng kepalanya.

"Ngo...sek...kim...bo ” setelah berkata ia lantas

kepalanya toklok dan napasnya putus. Tiong Hoa menjublak, pikirannya cepat sekali, ia dapat menangkap artinya perkataan Yan Hong. orang meminta ia memperhatikan adiknya, Yan Hee, dan bahwa kebinasaan mereka disebabkan Ngo-sek Kim-bo.

"Inilah pembalasan-." pikirnya kemudian masgul, ia bangun berdiri akan bertindak keluar perlahan langkahnya. Meski begitu dengan matanya yang tajam ia melihat beberapa bayangan menyelinap keantara pepohonan. Lantas ia tertawa dan kata nyaring.

"Ketiga tuan-tuan Bukannya kamu mengurus urusan kamu, kamu mencurigai aku dan menguntitnya Itulah tak perlunya?"

Sebagai penutup kata-katanya itu, Tlong-Hoa berlompat pesat, untuk melenyapkan diri diluar pekarangan.

Wie Beng Seng bertiga menyingkir ke-dalam rimba, mereka kagum buat keliehay an si anak muda.

"Dia benar hebat" pujinya Kim Kiam si Pedang Emas. "Kita menguntit dia, dia mendapat tahu, tetapi dia berlagak pilon... Kalau dia musuh, tentulah kita semua sudah roboh mandi darah ditangannya."

Lantas ketiganya masuk kedalam rumah, melihat ketujuh mayatnya Yan Loei beramai...

ooo

Sebuah perahu kecil dan ringan laju pesat di permukaan air Jie Hay, menuju kearah Tali, Diatas itu Tlong Hoa berdiri sambil menggendong tangan, Ia tetap nampak tak gembira. Begitu sampai tujuan, ia lompat mendarat, terus ia mencampuri diri diantara orang banyak. memasuki pintu kota timur, menuju langsung ke Kota Bawah. Tempo ia sampai dirumah penginapan, ia merandek. perhatiannya tertarik suara rintihan dari dalam kamarnya. Dengan cepat ia bertindak masuk. akan akhirnya menjadi terperanjat.

Lauw chin dan Sim Yok lagi rebah di-atas pembaringan, muka mereka pucat seperti mayat, dan Tie Sin Hong lagi repot menekan tak hentinya jalan-darah mereka itu, jago tua ini bermandikan keringat.

"Bagus, Lie Lootee pulang" seru cie leBoe Eng begitu lekas ia melihat si anak muda, ia kaget dan girang berbareng. "Aku tadinya kuatir kaupun nampak bencana laotee"

Tiong Hoa melengak sejenak.

"Aku tak kurang suatu apa, loocianpwee," katanya, “Kenapa loocianpwee menduga begitu? siapakah yang melukai saudara-saudara Lauw dan Sim ini? Tolong locianpwee lekas mengasi keterangan," Sin Hong menghela napas,

"Apakah laotee tidak melihat apa-apa?" dia balik bertanya. “sebenarnya laotee pergi kemana? Didalam Thian-Lam-Too telah terbit badai pembunuhan.”

Tiong Hoa mengawasi, ia mengerti kegelisahan jago tua ini. ia pun terharu menyaksikan nasibnya Yan Loei semua.

"Hari ini aku si orang tua menyaksikannya dengan mataku sendiri," Tie Sin Hong kata pula, "Baik pihak sesat maupun pihak lurus, beberapa puluh diantaranya telah roboh sebagai kurban, semuanya binasa secara sangat mengerikan- Nampaknya mereka menjadi kurbannya satu orang, sekarang ini Houw-yan Loosoe tengah menyelidiki orang liehay itu." Sembari berkata-kata itu, Sin Hong menepuk jalan darah ceng-ciok dari Sim Yok dan Lauw chin bergantian Baru sehabisnya itu, kedua kawan itu dapat menggeraki tubuhnya buat bangun berdiri. Keduanya lantas batuk mengeluarkan darah hitam yang kental, lalu mereka mengeluarkan napas lega, Mereka nampak sangat lemah.

"Saudara Lie, kami berdua baru menitis pula." katanya meringis. Hati Tlong Hoa lega sedikit.

"Coba tuturkan pengalamanmu saudara Lauw." ia minta. Lauw chin lantas memberikan penuturannya.

Diwaktu pergi mencari keterangan Lauw chin berombongan dengan Sim Yok, dan Tie Sin Hong bersama Houw-yan Tiang Kit. Lauw chin berdua pergi keluar kota barat.

Senang mereka melihat bunga-bunga indah disepanjang jalan, Tengah berjalan itu mata awas dari Sim Yok melihat belasan orang berkelebat ditempat lebat sebelah kanan- sedikit jauh didepan mereka. ia menarik bajunya Lauw chin dan kata perlahan: " Lihat saudara Mau apa mereka itu? Mari kita kuntit.."

Lauw chin pun mendapat lihat, dia terkejut. "Kelihatannya mereka menuju ke Tiam chong San-"

katanya. "Mungkinkah rombongan dari Tay In San sudah tiba disana. Mari"

Keduanya lantas lari menyusul. Lauw chin didepan- Mereka memasuki rimba, rombongan didepan itu lari cepat. Tempat lebat hampir membikin dua saudara ini kehilangan sasarannya.

"Awas, saudara" kata Sim Yok sambil menarik baju kawannya, "Dibelakang kita ada orang yang menyusul" ia lantas lompat ke samping, untuk menyembunyikan diri. Lauw chin menurut, ia turut teladan kawannya itu.

Orang dibelakang itu segera juga tiba dan terus lari lewat Mereka itu bertiga, pesat larinya mereka.

"Lekas" berbisik Lauw chin, yang lari menyusul. Sim Yok menurut. Mereka lari keras. Tapi tak lama,

mereka ketinggalan, mereka kehilangan tiga orang itu, Dengan begitu mereka juga tak dapat menyusul rombongan didepan tadi Mereka menjadi masgul, mereka saling mengawasi dengan melongo.

Belum lama sebelum mereka sempat berpikir untuk mengambil tindakan apa mereka mendengar suara orang bicara, Mereka terkejut Dengan berindapan, mereka bertindak kearah suara itu.

"Akal siauw-coejin bagus sekali" terdengar satu suara parau, "Tak dapat kita ayal-ayalan- mari kita bekerja, nanti kita dapat salah" setelah suara berhenti, beberapa orang tetlihat lari kebarat

Lauw chin berdua lari menyusul. Mereka juga pikirkan, siapa itu siauw-coe-jin, atau tuan muda.

Tiga orang itu lari melintasi selokan dan jalan memutari pohon pohon koat, sampai disebuah rumah besar kedua mana mereka masuk. Rumah itu benar besar sekali, terkurung pepohonan, nampaknya seram.

"Aneh rumah ini," kata Sim Yok. "Kenapa orang membikin gedung disini? Dan apa maunya mereka itu? Baik kita diam di-sini dulu mengawasinya."

"Baik kita masuk kedalam," kata Lauw chin- Dengan berdiam disini, kita tidak ketahui apa yang dibuat mereka. Bagaimana kalau itu mengenai nasib Rimba Persilatan?" "Bukan begitu," kata Sim Yok. "Kita pun jangan sembrono. Tiga orang itu tidak masuk dari pintu Kenapa? Tentu ada maksud mereka, Berbahaya kalau kita lancang masuk."

Terpaksa Lauw chin menurut kawannya ini, Maka menantilah mereka, mengawasi rumah yang romannya angker itu.

Kira setengah jam mereka mesti menunggu, Lauw chin menjadi tak sabaran, justeru itu mereka mendengar siulan-siulan aneh yang menusuk telinga, yang mendebarkan hati, yang mana disusul dengan terlihat nya tujuh atau delapan orang lari keluar, kabur kebarat. 

Lauw chin muncul dari tempatnya sembunyi, ia lari kearah rumah untuk memasukinya. Sim Yok tak dapat mencegah, terpaksa ia turut.

Rumah itu terkurung tembok tinggi, Ruang besarnya luas, pintunya tertutup.

Lauw chin menghampirkan pintu, ia mengintai kedalam, Pintu itu cuma dirapatkan ia berdiam, pikirannya bimbang. Ruang sunyi, Masuk terus atau jangan?"

"Kenapa sunyi saja?" Sim Yok berbisik, "Apakah mereka sudah selesai berapat? Mungkin mereka pergi kebukit Pek Ho Nia."

Lauw chin ingin tahu keadaan didalam. ia menolak pintu dan bertindak masuk.

Sim Yok kuatir ada bahaya, ia turut dengan tangannya menyiapkan cambuk lemasnya.

Ruang dalam sunyi dan suram, suasana- nya menakuti. Untuk dapat melihat segala apa, Lauw-chin menyulut api, Sim Yok yang dapat melihat terlebih dulu, ia berseru kaget. Di-dalam ruang itu berserakan kira lima puluh jiwa. semua rebah tenang seperti lagi tidur nyenyak. cuma napasnya yang tidak ada.

Ketika ia meraba hidungnya satu orang, ia menjadi kaget pula, hidung orang itu dingin seperti es. Ketika ia meraba orang yang kedua, tubuhnya menggigil tak perduli ia bernyali besar, ia memegang mayat.

"Saudara Lauw, mari lekas menyingkir dari sini" kata dia, gelisah. "Belum pernah aku mendapatkan orang dapat membunuh orang secara begini rupa, bahkan kurbannya puluhan- Tak percaya aku apabila aku tidak melihat sendiri.."

Lauw chin juga bergelisah tetapi ia masih menenangkan hati, ia mengawasi ke-arah semua mayat itu, ia mengharap ada salah satu yang masih hidup..

Tiba-tiba ada angin menyambar, hampir api padam.

Justeru ruang suram, Lauw chin merasa lengannya ada yang hajar, nyerinya bukan main-Karena itu, apinya terlepas dan jatuh, ia terus mendengar tertawa seram dari sampingnya. Tertawa itu mirip suara burung malam, yang membangunkan bulu roma dan membikin kulit kepala rasanya tebal.

Sim Yok berseru, terus ia menyerang dengan cambuknya kearah suara tertawa itu, ia gagal, bahkan sebaliknya, cambuknya kena tercekal. lantas ia merasa sangat nyeri pada telapakan tangannya. Selagi begitu, tubuhnya tertolak hingga terhuyung tiga tindak. lalu ia merasa kena tertotok, hingga tanpa bersuara lagi ia roboh. Lauw chin kaget mendengar suara Sim Yok. ia lantas menyerang. Tangan kanannya nyeri dan kaku, maka ia mengguna i tangan kiri. Ia pun menyerang tempat kosong. Ketika ia mendengar tertawa seram disampingnya, tangan kirinya itu terasa nyeri dan kaku, lalu d id etik lainnya ia roboh seperti saudaranya.

Tapi keduanya tak pingsan, cuma mereka tidak dapat berkutik, melainkan mata mereka yang dapat bergerak ke pelbagai penjuru. dalam tempat gelap itu, sukar mereka dapat melihat nyata kecuali satu sosok tubuh hitam bergelempang dan mukanya tertutup topeng hingga dua biji mata orang saja yang Nampak jelilatan berpengaruh sekali.

Sedetik kemudian, terdengarlah suara orang itu: "Aku si orang tua tadinya menyangka perbuatan disini perbuatan kamu. tidak tahunya aku keliru menyangka. Kamu tidak mempunyai kepandaian untuk itu. Siapa majikan kamu ?" Dimana adanya dia sekarang ? Lekas bilang "

Suara orang itu terus bertambah keras--sampai akhirnya seperti menulikan telinga, berbunyi mendengung.

Lauw chin bandel, Kata dia dingin: " Kami pun baru sampai disini, Kami melihat semua mayat mati serupa, sekarang apa yang hendak ditanyakan lagi ?"

Orang itu mendongkol. Dia memutar tubuhnya, dia berjalan cepat, untuk memeriksa semua mayat itu.

Gerak-gerik Hantu, Dia berjalan seperti tak menginjak lantai.

Segera juga terlihat tibanya empat orang lain- Satu diantaranya, yang mirip kera-menghampirkan orang yang pertama itu untuk berbisik ditelinganya. orang itu berdiam. Hanya sebentar, dia kata: "Teranglah rombongan dari Tay in San belum pergi ke Pek Ho Hong di Tiam chong San, mungkin mereka mendengar selentingan dan lantas menyembunyikan diri. Semoga seperti dugaanku, kalau gelang kemala itu tetap masih ada di tanganku, sulit buat aku si orang tua turun tangan..”

Dari lagu suaranya, terang orang itu telah berusia lanjut. Kemudian dia berkata lagi;

“Dari semua mayat ini ada tujuh belas orang yang menjadi sebawahanku, mereka terbinasa, mereka mendapat bagiannya sendiri. Itulah pantas! Yang lainnya pun bangsa loba dan tamak, mereka pantas menjadi teladan agar orang lain jangan memikir yang tidak-tidak. Yang aneh yalah diantara mereka ini tidak ada rombongannya Yan Loei”

Orang mirip kera itu dengan tangan dikasi turun, Tanya : “Lengcou menerka ini perbuatan siapa?”

Orang tua itu tertawa dingin.

“Dialah bukan lain daripada Pek Wan Hang Soe Koen, yang bersekongkol dengan lain orang dengan maksud mencelakai aku! Tentang siapa yang menitahkannya, aku Cuma dapat menerka sebagian. Tak kusangka Hang Soe Koen yang aku berlakukan sebagai saudara sendiri! 

Kenapa dia berkhianat? Kalau bukan dia orang yang membocorkan rahasia, lain orang mana ketahui aku berada disini? Orang di belakang layer itu liehay dan kejam, dia mau menyebabkan bencana rimba persilatan. Beberapa puluh orang kosen terbinasa disini! Sekalipun aku sendiri dulu hari, tak sanggup aku melakukan perbuatan setelengas ini!”

Mendengar sampai disitu, Lauw Chin dan Sim Yok menerka kepada Cit Chee Lengcoe Pouw Liok It. Mereka kaget sekali. Ketika itu pun justeru seorang tua diantara yang empat ada yang mengawasi mereka dengan sinar mata yang bengis sekali.

“Kecewa aku kalau terbinasa secara begini” piker Lauw Chin. Dia penasaran. Dia menyesal sudah tidak menghiraukan nasihatnya Sim Yok.Sekarang sudah kasip. Apa artinya menyesal? Terpaksa dia mesti manda, berdiam saja..

“Lengcou” kata si orang aneh itu, “Sekarang yang paling penting yalah mencari tahu tentang rombongan dari Tay in San itu ..atau..”

“Lihat saja” kata si lengcoe keras, “Kali ini aku mesti membuka pantangan membunuh, aku tak perdulikan pula soal keadilan atau bukan! Jalanlah!”

Baru mereka keluar atau si orang tua kumis panjang kata: “Lengcoe, dua orang ini tak dapat dibiarkan hidup terus..”

Tanpa menoleh lagi, si lengcoe menjawab: “Biarkan saja! Sebelum lewat tujuh hari, mereka tak dapat berkutik, berserah kepada nasib mereka, mereka dapat bebas atau tidak!”

Mereka itu sudah lantas menghilang kecuali si orang tua kumis panjang itu. Dia agak bersangsi tapi toh dia mengulur tangannya menotok kearah Lauw Chin.

Orang she Lauw itu kaget. Habis jiwaku, ia mengeluh. Ketika dua jeriji tangan si orang tua hampir mengenakan sasarannya, yaitu jalan darah sim-jie, disitu berkelebat seorang lain yang berkata: “Saudara Kwie, ingat kata-katanya leng-coe! Kata-kata itu merupakan undang-undang yang tak dapat dilanggar!”

Orang tua itu menarik pulang tangannya. Dia tertawa. “Kalau begitu, baguslah jiwa semut mereka ini!”

katanya.

Segera juga mereka itu berdua bertindak pergi. Ruang menjadi sunyi pula, gelap dan menyeramkan.

Lauw Chin berdua berduka bukan main. Mereka mau percaya mereka tertotok ilmu yang lihay, yang akan menyiksa mereka selama tujuh hari, kecuali mereka mendapat pertolongan. Walau pun begitu, mereka tidak takut.

“Saudara Sim, dapatkah kau menerka siapa orang itu?” Lauw Chin Tanya.

“Aku dapat mnerka delapan atau Sembilan bagian..” “Siapakah dia?”

“Dia Cit Chee Leng-coe Pouw Liok It.” “Ya, aku pun menyangka dia”

Lantas Lauw Chit menghela napas.

“Saudara Lauw, apakah kau menyayangi jiwamu dan menyesali kematian kita ini?” tanya Sim Yok.

Lauw Chin tertawa menyeringai.

“Untuk seorang laki-laki, hidup tak menjadi kegirangan dan kematian tak ditakuti,” sahutnya, “Aku hanya menyesal Lie siauwhiap tidak ada disini, tidak demikian, dia dapat menolong bencana yang mengancam Pouw Liok It itu…” “saudara Lauw, bagaimana pendapat kau?” tanya Sim Yok, “Mengapa kau mengatakann begini?”

“Saudara Sim, tak dapatkah kau melihat siapa orang tua kumis panjang barusan yang hendak membinasakan kita?” Lauw Chin Tanya.

“Dalam gelap begini aku tidak dapat mengenali dia,” sahut Sim Yok, “Mungkin kau, saudara ketahui siapa dia?”

“Mataku tak dapat diandalkan, tetapi aku mendengar she dia itu disebut. Dialah Kwie Lam Ciauw. Kalau Pouw Liok It membiarkan dia tetap berada disampingnya, itulah ancaman bencana di bagian dalam. Dia seorang licik sekali, dia dating pada Pouw Liok It melulu untuk kepentingan sendiri. Sekarang dia melihat Pouw Liok It terancam bahaya, mustahil dia sudi mengikuti terus- terusan? Kalau sekarang dia masih bersabar itulah disebabkan Lay Kang Koen Pouw yang dia serahkan pada Pouw Liok It. Namanya diserahkan, kenyataannya dia cuma menitipkan. Aku merasa pasti, kalau Pouw Liok It tidak lekas menyingkirkan orang she Kwie itu, ia bakal roboh di tangannya”

“Kau pandai melihat jauh, saudara Lauw, tak dapat aku menandingi kau” kata Sim Yok tertawa jengah, “Sekarang kita terancam maut, bagaimana..”

Selagi si orang she Sim itu berkata demikian, mereka berdua merasakan angina menghembus masuk kedalam ruang, dibarengi berkelebatnya bayangan sesosok tubuh yang gesit sekali.

ooOOOoo BAB 2 Bayangan itu berjalan berputaran, akan akhirnya berhenti di depan Lauw Chin dan Sim Yok. Dengan lantas dia mengasih dengar tertawanya yang tak sedap, sedang sinar matanya sangat tajam.

“Inilah saat kematianku…” pikir kedua orang itu.

Tertawa orang sangat menusuk telinga mereka.

Menyusul berhenti tertawanya, orang itu mengulur sebelah tangannya yang lebar, sebab kelima jarinya direnggangkan, untuk setiap jarinya itu dipakai menotok! Dia jangkung dan kurus, tangannya pun panjang.

Di saat maut mengancam Sim Yok dan Lauw Chin itu, dari luar terdengar bentakan nyaring, lalu dua bayangan berlompat masuk.

“Tie loocianpwee!” berteriak Sim Yok kegirangan, karena ia mengenali suaranya Tie Sin Hong dan Houw- yan Tiang Kit.

Si jangkung itu memutar tubuh, segera dia menyerang Sin Hong. Sebaliknya Sin Hong sudah lantas menyerang padanya.

Si jangkung menjerit dia menarik pulang tangannya. Houw-yang Tiang Kit lompat ke belakang orang itu,

dia lantas menyerang dengan pukulannya “ Geledek menyambar”

Si jangkung liehay, dia gesit sekali, ketika dia merasa angina menyambar punggungnya, dia berkelit dengan lincah. Setelah itu dia berlompat tinggi.

Satu suara nyaring dan berisik menjadi kesudahannya lompat tinggi orang itu, yang telah menghajar wuwungan hingga tembus darimana dia molos menghilang. Debu pun meluruk turun. Itulah tipu silat “Tok bong coet kiat” atau Ular berbisa keluar dari liang.

"Saudara Tie, kau tolongi bawa dua saudara ini pulang ke hotel, akan aku susul orang itu," kata Houw-yan Tiang Kit, yang terus berlompat tinggi juga ke wuwungan untuk mengejar s jangkung itu.

Lauw chin dan Sim Yok terus tak dapat bergerak. goncangan barusan membikin mereka pingsan, Mereka tidak takut mati tetapi mereka penasaran mati tak berdaya. Maka itu sulit juga Sin Hong memondongnya pulang.

Tiba dihotel tubuh mereka sudah kaku, Syukur sin Hong lihay, selain dia telah menotok bebas totokannya Pouw Lick It, ia pun menyalurkan tenaga dalam nya sendiri membantu tenaga dalam dua kawan itu, hingga mereka sadar dan ketolongan-Tiong Hoa terkejut apabila ia sudah mendengar penjelasan Lauw chin-

"Kalau benar, dijalan Thian Lam Too benar-benar mengancam malapetaka hebat," katanya setelah berpikir sebentar, "Terang sudah Kwie Lam ciauw mengandung maksud tak baik terhadap Pouw Lick It. Pouw Liok It juga terancam bahaya karena kemurkaannya yang disebabkan berkhianatnya orang-orang disebawahannya itu, didalam murkanya, dia dapat bertindak sembrono "

Kemudian ia menambahkan. "Sampai sekarang Houw- yan cianpwee belum kembali mungkin dia juga menghadapi ancaman bahaya "

"Tentang saudara Houw-yan tak usahlah kita berkuatir," kata sin Hong. Dia menggeleng kepala tetapi dia tertawa, "Aku tahu, selainnya dia liehay, dia pun sangat cerdik, hingga dia tak akan menghadapi ancaman malapetaka, Aku si orang tua juga baru ini hari mengetahui hal ikhwal dia, yang sungguh diluar dugaan-"

“Siapakah dia?" Tiong Hoa tanya.

"Dialah murid akhli warisnya Pit Boe Koen” Ketiga orang itu saling mengawasi Mereka benar-

benar heran-

"Apakah Houw-yan cianpwee juga menghargai Lay Kang Koen Pouw?" Tlong Hoa tanya.

Tie Sin Hong tertawa.

"Siapa datang ke Thian Lam Too ini, tak ada satu yang tak ada sangkut pautnya dengan ketiga benda pusaka" kata dia nyaring. "Aku si orang tua sendiri tidak menjadi kecuali. Hanya sekarang ini aku telah memikir lain, sedang maksudnya Houw-yan Tiang Kit untuk memusnahkan kitab itu."

Tiong Hoa heran-

"Kenapakah? Untuk apakah itu?" tanyanya pula.

Wajahnya Sin Hong menjadi guram, dia menghela napas. "Itulah rahasia Rimba Persilatan, jikalau Houw-yan

Tiang Kit tak menyebutkan mungkin tak ada orang lainnya yang mengetahui, katanya, orang semua tahu Lay Kang Koen Pouw kitab karangannya Thio Sam Hong, pendiri dari BoeTong Pay, bahwa kitab itu liehay luar biasa akan tetapi tak ada yang tahu apa yang tersembunyi didalamnya.

Kitab itu mengutamakan kepalan lalu tangan terbuka, sulitnya ilmu dalam kitab itu ilmu yang pokok tujuannya bertentangan, sampai Thlo Sam Hong sendiri memikir untuk memusnahkannya saja. Siapa mempelajari itu, walaupun dia berbakat baik, dia teramcam bahaya mati karena otot-otot dan tulang-tulangnya nanti belarakan sendirinya, Sedang kalau itu didapatkan orang jahat si jahat bakal menjadi bencana besar untuk Rimba persilatan-

Kemudian Thlo Sam Hong batal memusnahkan kitabnya itu, ia merasa sangat sayang kalau karyanya itu dibikin lenyap dengan begitu saja. Maka kemudian ia merantau mencari orang yang berbakat, yang suka mewariskannya, ia terangkan pada murid itu akibatnya mempelajari kitabnya, sebab tak mau ia memaksa atau mencelakai orang, ia berhasil.

Hanya murid itu kemudian menyembunyikan diri, mungkin disebabkan ia tak ingin orang mengetahui kematiannya yang menyedihkan itu."

Tiong Hoa heran, ia menjublak memandang keluar jendela. Sim Yok dan Lauw chin tak kurang herannya, Tapi semuanya bungkam.

Sin Hong melihat cuaca, terus ia memanggil jongos minta disediakan barang santapan untuk mereka berempat, Maka makanlah mereka bersama.

Habis minum araknya, sin Hong melanjuti keterangannya. "Paling belakang kitab itu didapatkan Pit Boe Koen, Dialah seorang yang beradat keras dan aneh, dia tak mempunyai kedosaan besar tetapi rimba Persilatan menganggapnya sebagai bintang pembunuhan-

Dalam usia lanjutnya Pit Boe Koen insaf akan sepak terjangnya yang tak tepat itu, maka dia lantas mengundurkan diri, dia bersembunyi didalam rimba pegunungan- Entah bagaimana duduknya kejadian, kemudian kitabnya iiu jatuh kedalam tangannya seorang yang dipanggil Tong Beng Sianseng. Tiga tahun sebelumnya menutup mata barulah Pit Boe Koen menerima Houw-yan Tiang Kit sebagai muridnya. Mulanya Houw-yan Tiang Kit tak tahu apa apa mengenai kitab itu, ilmu silatnya sendiri ilmu silat sejati, baru belakangan ia dipesan gurunya mencari Lay Kang Koen Pouw guna dibakar musnah, maksudnya agar kitab itu tak terjatuh ketangan orang jahat dan nanti menjadi bencana umum.

Ketika itu Tong Beng Sian-seng mati tak keruan ditangan orang jahat dan kitabnya lenyap tidak keruan paran juga, Untuk banyak tahun tak tahu orang dimana adanya kitab itu, sampai kemudian lagi, sampai sekarang ini, orang ramai membicarakannya dan hendak memilikinya, sebab kitab diserahkan Kwie Lam ciauw kepada Pouw Lick It.."

Baru berhenti suaranya Sin Hong, diluar kamar terdengar tertawa nyaring diberikuti kata-kata ini. "Saudara Tie, kau membeber rahasia hatiku sampai tak ada yang lolos-Tahukah- kau apa dosamu?"

"Terserah kepada kau, saudara Houw-yan," sahut Sin Hong tertawa.

Segera Tiang-kit berlompat masuk. tanpa mengatakan apa-apa. terus ia duduk untuk turut bersantap dan meneguk arak

"Bagaimana Houw-yan Hiantee," tanya Sin Hong, "berhasilkah kau menyusul orang itu?" orang yang ditanya tidak menjawab, dia repot dengan barang- santapannya. Sin Hong heran hingga ia mengerutkan kening.

Masih Tiang Kit makan terus, sampai kemudian dia meletak sumpitnya.

"Lie Siauwhiap." dia menyapa Tiong Hoa sambil dia bangun berdiri, matanya menatap,

"Apakah yang siauwhiap lihat diluaran tadi?" 

Tiong Hoa tak berayal menuturkan pengalamannya.

Tiang Kit berdiam sekian lama.

"Kematiannya Yan Loei tak salah lagi perbuatan Kwat Leng." katanya kemudian ia memandang Sin Hong, untuk meneruskan "Aku telah berhasil menguntit orang itu, aku hajar dia sampai mati, Aku mendapat kenyataan Kwat Leng membangun markas di Kiok-tong ditepian sungai Yang Pie Kang, semua kawannya orang-orang kosen Jalan Hitam sekarang ini. Mereka bermaksud merampas Lay Kang Koen Pouw untuk menjadi jago dunia.

Karena maksudnya yang berbahaya itu, sekarang ini aku telah mengambil putusan tak menghiraukan lagi budi besar ayahnya yang pernah menolong aku. Saudara Tie marilah kita beramai pergi ke Kiok-tong, guna mencegah Kwat Leng mewujudkan pembunuhannya secara besar- besaran- Kau sendiri, Lie Siauwhiap. baik kau pergi ke cong seng sie, akan menemui Hoat Hoei Siangjin, untuk bersama-sama menilik Pouw Liok It. Umpama kata siauwhiap berhasil mendapatkan kitab itu, aku minta, silahkan kau bakar habis, supaya dengan begitu ancaman malapetaka dapat dihapus"

Tiong Hoa dapat menyetujui rencana Houwyan Tiang Kit itu, maka ia menerima baik ajakan bekerja itu.

"Kita tidak dapat berlambat, mari kita berangkat sekarang" Tiang Kit mengajak. Maka berangkatlah mereka semua.

Dibawah terangnya rembulan dan bintang-bintang, selagi angin bertiup silir, Tlong Hoa berlari ke arah kuil cong Seng Sie, hanya belum lagi ia tiba ditempat tujuannya, mendadak ia dibikin merandek oleh empat sosok tubuh manusia, yang berlompat turun dari sebuah pohon hoay yang besar tumbuh disisi jalanan-

Segera ia dikurung, selagi ia bersiap menyambut serangan, ia dibikin heran oleh satu diantara empat orang itu, hingga ia mendelong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar