Bujukan Gambar Lukisan Jilid 18

Jilid 18 : Urusan ibunda In Nio 

DI WAKTU fajar selagi kabut tebal, Tiong Hoa bersama In Nio berada didalam sebuah rumah penginapan kecil di luar kota kecamatan Tongcoe, Mereka keluar dari kamar mereka, untuk dipapak jongos yang muncul dari istal menuntun kuda mereka, sembari tertawa manis, jongos itu memujikan- “Jiewie, semoga jiewie banyak senang didalam peejalanan "

Muda-mudi itu bersenyum, Mereka lompat naik ke atas kuda mereka, yang terus mereka kasijalan periahan- lahan, Tindakan kaki kuda mereka itu memecahkan kesunyiannya sang pagi.

Mereka jalan ditanah pegunungan. Dikiri dan kanan ada ladang-ladang gandum dan terigu, ada bunga-bunga hutan- Mereka berjalan peria han, sebab tadi malam hampir mereka tak tidur sama sekali, Masing-masing mereka ada pikirannya sendiri. Mereka merendengkan kuda mereka sambil membungkam sampai akhirnya si anak muda membuka juga mulutnya.

"Encie In, mengapa kau masih menyangsikan aku bukan murid Thian Yoe Sioe?" demikian pertanyaannya.

In Nio melirik.

"Benarkah kau tidak ketahui sebabnya?" ia balik menanya, "Baiklah kau tunggu saja nanti, sampai telah bertemu ibuku, kau bakal ketahui, itu waktu barulah aku percaya habis padamu, Kenapa kau melit menanyakan ini?" Meskipun ia menanya demikian, si nona bersenyum.

Tiong Hoa berdiam, ia berduka untuk si nona. Kalau dia tahu ibunya berada di-tangannya Cit Chee Cioe tidak nanti dia demikian gembira....

Perjalanan dilanjuti dengan Tiong Hoa tidak membicarakan urusan Rimba persilatan ia mencoba membikin gembira si Nona.

Tepat tengah hari, mereka sampai di-seberangan sungai ouw Kang, Ditepian, dimana ada pohon-pohon yaniioe, tampak tak sedikit orang, ada pedagang, ada orang Kang ouw, ada juga yang berbicara berombongan dua-tiga orang.

Tidak seberapa jauh dari tepian, muda-mudi itu lompat turun dari kuda mereka. segera mereka menarik perhatian, banyak mata diarahkan terhadapnya, sebab merekalah pasangan yang setimpal, s embab at satu padalain.

Mereka sebaliknya tak menghiraukan orang banyak itu, Mereka berjalan terus sampai ditepian. Tiong Hoa heran tak mendapatkan perahu eretan-Air kali itu deras.

Mereka juga heran mendapatkan mereka menarik perhatian banyak orang itu.

Disaat Tiong Hoa hendak menyapa orang untuk berbicara, tiba-tiba ia didului seorang usia pertengahan yang tadinya duduk nyender pada sebuah pohon sambil matanya dimeramkan. Dia berbangkit dia mengawasi tajam. la la sambil bersenyum dia menanya: "Rupanya Jiewie ingin lekas-lekas nyeberang?"

Tiong Hoa mengangguk ia melihat orang bukan sembarang orang.

"Sebenarnya, kami tak ingin lekas menyeberang." ia menjawab, "Aku hanya heran tidak ada orang menyeberang disini, orang hanya pada menanti saja, pantasnya disini ada perahu eretan-"

"Pantas kau heran, tuan-" kata orang itu. "sebenarnya disini ada dua perahu

eretan-nya. Hanya semua perahu itu miliknya Kim Pak sam Mo. Kemarin ini Kim Pak sam Mo ada yang ganggu, lantas hari ini perahu-perahunya tidak muncul. sudah ada beberapa orang yang pergi kehilir melihatnya."

"Kalau begitu kita tentu bakal menanti lama disini," kata Tiong Hoa. "Dihilir itu di mana ada penyeberangan?" orang itu bersenyum.

"Dihilir sana air terlebih deras lagi dan juga banyak wadasnya." Kata dia, "Tak pernah aku dengar ada yang membilang disana ada penyeberangan- Baiklah tuan sabar saja, sebentar juga mereka itu kembali atau kalau tidak biar aku yang mendayakannya."

"Kau baik sekali, saudara," kata Tiong Hoa, "Dapatkah aku mengetahui she dan nama saudara yang mulia ?" "Bukankah kita manusia bersaudara di empat penjuru lautan?" orang itu menjawab bersenyum, " Kenapa kita tak dapat saling tolong ? Aku Kong Peng soei dari Hong- hoa- cioe di Hoa- kie tetapi sekarang dalam perjalanan pulang dari soecoan Barat di mana aku mempunyai urusan pribadi, Aku senang bertemu dengan jiewie disini, sudikah jiwie memperkenaikan nama jiewie?"

Tiong Hoa tidak kenal nama Kong Peng soei tetapi karena orang menanya ia menjawab : "saudara Kong aku yang rendah Lie Cie Tiong dan ini kakakku Cek In Nio."

Mendengar jawaban kawannya In Nio tertawa.

Peng soei mengawasi kagum ia nampak tersengsam, akan tetapi lekas-lekas ia mengubah sikap menjadi seperti biasa pula, Hanya didalam hati, ia kata : "Wanita ini cantik luar biasa, tepat pemuda ini yang menimpalinya."

In Nio memandang terus pada Peng soei, lalu ia ingat suatu orang.

"Aku mendengar kabar di Hong- hoa- cioe di Hoa-kie ada tinggal menyendiri orang bernama Keng Kioe Houw." katanya perlahan "Dialah yang dijuluki Tok sie sim Liong dan namanya tersohor di Lam Kiang, apakah ia ada hubungannya dengan kau, tuan?"

"Maaf nona, ialah ayahku yang rendah." sahut Peng soei. "Ayahku itu tinggal menyendiri tetapi ia gemar bergaul, umpama Jiwie pergi ke Koen yang. sukalah aku menemaninya. ingin sekali aku berlaku sebagai tuan rumah."

Tiong Hoa mau membuka mulutnya untuk menampik atau ia batal karena ia lantas melihat belasan orang lari mendatangi dari arah hulu sungai, Kedatangan mereka itu menarik perhatian banyak orang lain. Beberapa diantara mereka itu, yang bertubuh besar dan membekal senjata dipunggungnya, langsung lari pada Peng soei.

Mereka itu pada mandi keringat yang berkata: "Siauw-chungcoe," satu memberi hormat dan dua

buah perahu sudah karam membentur wadas di tempat lima lie dihilir itu, empat awak perahunya terbinasa bekas hajaran tangan."

Peng soei mengerutkan alis, nampak ia berduka. "Kalau begitu pergilah kamu menebang pohon untuk

membuat getek." katanya, ikatlah biar kokoh supaya tak sampai nanti buyar terlepas tergempur arus."

"Kelihatannya kita mesti menanti pula sekian waktu." kata Peng soei pada dua kenalannya, "Di depan itu ada rumah makan kalau tidak. sekarang juga kita dapat berjamu.."

"Terima kasih," kata Tiong Hoa. "sama saja kita bicara sambil berdiri disini."

In Nio tertawa, ia menanya: "Nama ayah mu yang mulia itu tuan, telah menggempar kan wilayah Lam-kiang dengan ilmu silatnya yang dinamakan sin Liong ciang-sie. Justeru nama itu tersohor sekali, kenapa sekarang ia telah mengundurkan diri?"

Kembali terlihat Peng soei mengerutkan alisnya. "Itu.... itu..." katanya- lantas ia berhenti.

Nampak ia sangat masgui, ia tidak meneruskan, hanya pandangan matanya diarahkan kelainjurusan, kelihatan ia tak tenang.

Tiong Hoa memandang kearah pandangan orang, ia melihat tak jauh ditepian, dibawah pohon yanglioe, ada enam orang dengan pakaian sings at warna hitam, terang mereka itu orang-orang Kang ouw, dan mereka lagi mengawasi kearah nya Peng soei.

Enam orang itu rupanya melihat Tiong Hoa memandang kearah nya, lalu terdengar yang satu berkata nyaring: "Mereka itu lagi membikin getek. mari kita lihat" Lantas empat antaranya berlalu, tinggal dua yang masih berdiri tetap. Melihat itu, Tiong Hoa heran- "siapa mereka itu?" ia tanya Peng soei.

orang yang ditanya itu melihat kebawah, kelihatannya ia lagi berpikir keras, ia mau menjawab tetapi gagal.

Tiong Hoa memandang In Nio, ia mendapatkan si nona bersenyum, terus nona itu mengedipi mata, memberi isyarat supaya ia jangan menanya lebih jauh.

Rupanya Peng soei mendapat lihat sikapnya muda- mudi itu, mendadak ia tertawa.

"Maaf, jiewie." katanya "Tentang ayahku mengundurkan diri, panjang untuk menutur. Dulu hari itu ayahku menjadi orang Rimba Hijau tapi dialah yang disebut penjahat yang mengenal prikepantasan, hingga dia tidak mau melakukan apa-apa yang tak halal. sudah selama duapuluh tahun di selatan, disamping pihak lurus, ada empat yang membangun diri dalam kelompok masing-masing, yang satu dengan la ih bermusuhan dan sering bentrok..."

"Siapa empat kelompok itu?"

"Merekalah cit-chee-cioe Pouw Liok It dari Hek Liong Thoa." jawab Peng Soei, yang sekarang suka memberi keterangannya, "Hoa-sie Sam Pa dari Jiauw Liong San di Siong-kam, Tok Bak Lao Koay cian Yang dari In Boe San, dan orang tua ku.

Tiga jago Keluarga Hoa itu menjagoi di Koeicioe Utara dan Pouw Liok It di Koen-beng. Mereka itujauh, mereka tak ada urusannya dengan kami. Adalah In Boe San, yang letaknya dekat dengan Hong hoo-eioe, yang seperti berdiri berhadapan.

Pada duabelas tahun yang lalu kita bentrok untuk satu urusan, Terus berlarut-larut, ciam Yang mendatangi ayahku, keduanya bertempur setelah seratus jurus, ayahku kena terhajar satu kali. Karena itu ayah lantas mengundurkan diri. Meski begitu, permusuhan belum berhenti, diam-diam mereka itu masih mendendam, Enam orang itu yalah orang-orangnya Tok Bak Lao Koay."

“Apakah mereka memikir tak baik terhadap kau saudara Kong?”

“Inilah sulit buat aku mengatakannya. sekarang ini memang jaman kacau untuk kaum Rimba Hijau, maka juga banyak piauwkiok bekerja secara diam-diam, kalau melindungi piauw, mereka bekerja secara menggelap, itulah yang disebut piauw gelap untuk menyingkir dari mata umum.” ia menunjuk ke tepian dimana ada pohon yang teduh ia tambahkan:

"Lihatlah itu lima saudagar, Merekalah kawanan piauwsoe yang menyamar kelihatan mereka berduka. Disana pihak In Boe san lagi membuat getek. Kalau mereka naik getek In Boe san, mereka seperti mengantari diri kedalam mulut harimau.”

Tiong Hoa memandang ke arah yang di tunjuk itu, benar ada lima saudagar lagi bicara kasak-kusuk roman mereka lesu.

In Nio tertawa dan kata: "saudara Kong kenapa kau tidak mau ajak mereka naik di dalam getekmu?" "Itulah sulitnya." Peng soei jawab. "kalau aku mengajak mereka, lantas pihak In Boe san akan menyangka kami hendak menelan piauw yang diarahnya itu, dan itu bisa berarti bentrokan pula, Memangnya mereka sudah curiga."

"Walau saudara tak membantu, peristiwa toh bakal terjadi juga," kata Tiong Hoa. "Biarkan saja, saudara jangan menghiraukan nya. Buat apa saudara berduka "

Lagi-lagi alis Peng soei berkerut.

“Justru tak dapat aku membiarkan. Kelima piauwsoe itu tidak kenal aku tapi pihak kami harus melindungi mereka. Ketua mereka sudah meminta kami melindungi piauw gelap itu, sudah sekian lama kami mengikuti secara diam-diam. sekarang..."

Tiong Hoa tertawa.

"Saudara, jikalau kau membutuhkan bantuan kami, bilanglah," kata ia. "Tak usah saudara ragu-ragu..."

Mukanya Peng soei menjadi merah, "Memang aku memikir untuk minta bantuan jiewie," ia kata, "tapi sebab kita baru berkenalan didetik ini, berat buat aku membuka mulut."

Tiong Hoa tertawa pula.

"Saudara Keng, tolong kau undang kemari kelima piauwsoe itu," kata ia. "Sekarang ini aku bersedia akan bertanggungjawab segala galanya" semangat Peng soei jadi terbangun.

"Baik" katanya: Terima kasih, saudara"

Ia bertindak kearah kelima plouwsoe.

In Nio tertawa, ia memandang kawannya. "Adik Hoa, apakah ini bukan namanya usilan?" kata ia.

Hati Tiong Hoa bercekat. "Encie In benar," pikirnya, "ia tidak mengerti kenapa selama ini pikirannya gampang tergerak. Bukankah pohon besar mudah mendatangkan gempuran angin? Maka ia lalu memikir jalan untuk menyingkir dari bentrokan."

"Kalau begitu, encie, kita baik lepas tangan," katanya, "Mari kita mencoba menyeberang dengan mengandal ilmu kita Teng Peng Touw soei"

Nona Cek kembali tertawa.

"Sekarang sudah tak dapat" katanya, " Kata- kata itu harus dihormati siapa suruh kau lancang memberikan kata-katamu? sekarang tak dapat kita menariknya pulang" Nona ini ingat suatu apa, mukanya menjadi merah. Tiong Hoa heran, ia mengawasi ia merasa si nona manis sekali.

Melihat ia ditatap, In Nio likat, "Apa kau belum pernah melihat aku?" ia menegur, "Kenapa kau mengawasi aku?"

Anak muda ini tertawa.

"Encie In, kau sangat cantik" sahutnya.

"Lihat itu mereka dengan mendatangi" katanya, Jangan kau ngoceh saja," Tiong Hoa berpaling.

Kong Peng soei terlihat mendatangi bersama lima piauwsoe yang menyamar sebagai saudagar-saudagar itu, Dilain pihak ia mendapatkan kedua muridnya Tok Bak Lao Keay mengawasi gusar kepada Peng soei dia seperti mengertak gigi. In Nio tertawa dan kata: "Rupanya bakal datang hal yang memusingkan kepala"

"Biarlah" kata Tiong Hoa, "Biarlah kalau mereka berani mencari gara-gara, Kalau kau sangsi, kau lihat saja"

Peng soei sudah lantas tiba, ia mengajar kenal kelima piauwsoe, kelima orang Auw coe ong Teng pioe, Toan- Hoan-Too cie Goan Heng, Hek-see ciang LoBeng, Hwee- kap-coe Teng Thong, dan Kim cian-piauw Gouw siang Ta.

Lima piauwsoe itu orang Kauw ouw ulung melihat si nona bersama sepasang pedang-nya, mereka merasa pasti nona itu liehay.

Sebaliknya, melihat Tiong Hoa, mereka heran, orang muda dan tampan, wajahnya selalu seperti berseri-seri sedang dandanannya mirip pelajar yang lemah- lembut. sioe-cay semacam ini dapat bersahabat dengan puteranya tok sie sia Liong, si Naga sakti jaman Kacau

Peng soei sedang bingung pikirannya, diwaktu ia mengajar kenal muda-mudi itu, ia lupa menyebutkan nama mereka, ia memperkenalkan saja sebagai Lie siauwhiap dan Cek Liehiap Kalau tidak. mereka berlima pasti mengetahui nama pemuda itu yang di Kimleng telah mengangkat nama.

Peng soei dapat menduga hati kelima piauwsoe itu, ia tuannya Lie siauwhiap ini, kata tertawa: "Dengan bantuan pasti kamu terjamin Aku telah memesan saudara Auw yang, sekarang hatiku lega."

Belum berhenti suaranya pemuda itu, atau terdengar tertawanya dua murid Tok Bak Lao Koay, yang pun berkata jumawa: “omong besar belaka ikan didalam jala, mau lolos pun Tak dapat"

Yang satu pun kata: "Kalau lolos, percuma kita hidup dalam dunia Kang ouw"

Teng Thong bertabiat keras, gusar dia mendengar ocehan orang itu, hampir dia mendamprat baiknya Cie Goan Hong keburu mencegah. Dua orang itu tidak ngoceh terus, hanya mereka meluncurkan sesuatu keudara, atas mana terlihat sepasang panah- api, yang mulanya memberubus meletup, meluncur ke-seb erang, sinarnya merahnya muda.

Di tepian ada banyak orang lainnya yang mau nyeberang, mereka itu lantas kesak-kusuk. roman mereka bergelisah.

Dua orang itu demikian jumawa, In nio menjadi mendongkol, tahu-tahu ia sudah lompat sampai dibelakang mereka itu, yang terpisah belasan tombak. Peng soei dan kelima piauwsoe terkejut, heran dan kagum.

"Kamu terlalu jumawa" kata si nona, selagi orang belum tahu tibanya itu. "Di-depan nonamu kamu banyak lagak. apakah kamu menyayangi mati kurang lekas?"

Suara itu dingin, kedua orang itu kaget, Mereka heran akan melihat si nona tak di kenal.

In Nio melihat dua orang dengan roman tak mengasih. yang dikiri usianya kira empat puluh lebih, matanya merah rambutnya hitam panjang turun ke dada, yang lainnya beroman bengis, usianya sudah lanjut, kedua telinganya tak ada. Dengan roman keren dan suara bengis, dia lantas tegur mereka itu. "Kamu dengar atau tidak?" orang yang dikiri itu menyeringai.

"Nona kami tidak mengganggu kau, kenapa kau cari penyakitmu sendiri?" dia menegur, "Baiklah kau ketahui kami tak dapat dibuat permainan"

Cuma didepan Tiong Hoa si nona lemah-lembut, kalau tidak. tidaklah ia mendapat julukannya, maka juga sepasang alisnya lantas terbangun. "Kamu tidak dapat dibuat permainan apakah nonamu dapat?" kata dia tertawa dingin, "Aku hendak tanya kamu kenapa kamu menggunai panah kamu itu?" orang itu tertawa.

"Nona pertanyaanmu berlebihan" sahutnya, " Untuk kaum Kang ouw umum saja melepaskan pelbagai isyarat panah burung darah atau lainnya inilah urusan kami tak berhak nona mencampur tahu. Rupanya nona belum kenal kita siapa?" ia melembungkan dada, dengan terkebur, ia menambahkan.

"Aku yang rendah Mo Thian Lim yang kaum Kang ouw menyebutnya Kim Pian sin Tiauw" ia menunjuk kawannya yang tak ada telinganya, untuk berkata pula: " Inilah jago luar biasa dari Kwiesay, Cek Cioe Kim- Liong Koh lam Peng Bukankah kau telah mendengarnya, nona?"

"Aku belum pernah dengar" sahutnya, "sekarang nonamu mau pinjam serupa barang dari kamu tuan-tuan entah kamu suka meluluskan atau tidak?" Mo Thian Lim melengak tapi lantas dia bersenyum.

"Nona mau pinjam barang apa? Asal yang kami sanggup suka meluluskan." ia ketarik kepada nona yang cantik manis ini, maka suka ia melayani bicara.

Mendadak si nona kata bengis: "Aku mau pinjam matamu Aku perlu dengan itu"

Dua orang itu kaget hingga muka mereka berubah, Thian Lim tertawa dingin terus ia meluncurkan sebelah tangannya keiga kanan si nona. orang bergerak sebat, lebih sebat In Nio.

Thian Lim menyerang sasaran kosong, Lantas ia merasa angin bersiur dibelakangnya. ia kaget, segera ia mendak. tubuhnya terus berputar. Tepat ia berbalik tepat ke dua jeriji si nona meluncur kearah kedua matanya, Maka ia kaget sekali.

Justeru itu Lam Peng berseru dan menyerang, atas mana si nona berkelit. Dengan begitu si orang she Mo ketolongan. Dia menjadi gusar, segera dia mengeluarkan senjata nya yang berupa cambuk lemas yang di simpan d iping gangnya. Lantas dia berdiri berendeng dengan kawannya. In Nio gusar.

"Segala manusia tidak tahu malu " ia membentak, "Kali ini nonamu mau mengambil matamu, tak dapat tidak, Atau aku bukannya Cie Cioe Losat"

Mendengar julukan itu, Thian Lim dan Lam Peng terkejut, roman mereka ketakutan, Lam Peng membuka matanya.

"Mohon tanya nona," tanyanya, " kau pernah apa dengan Losat Kwie Bo?"

Tak sudi In Nio menyebut nama ibunya. Kalau ia menyebut, mungkin Thian Lim mundur teratur, inilah ia tidak kehendaki. Lebih-lebih didepan Tiong Hoa, tak sudi ia menyebutnya, Maka ia kata dingin " Nona mu tak kenal Losat Kwie Bo sekarang kau korek matamu dan menyerahkannya sendiri, supaya nonamu tidak usah bekerja lagi" Lampeng habis sabarnya.

"Saudara, mari maju" ia mengajak Thian Lim. ia mendahului menyerang: tangan kanannya kepusar si nona, tangan kirinya mencari jalan darah auw-kioe nona itu.

Thian Lim juga bekerja, ia menyerang dengan cambuknya, dengan jurus "Naga mendekam ditengah udara, ia mengarah pinggang si nona. Dua orang itu Iiehay, tapi In ^io melayani sambil tertawa, Dengan gesit ia berkelip lalu ia main berkelit terus-terusan, hingga ia bagaikan seekor kupu-kupu beterbangan diantara kedua penyerangannya itu.

Tiong Hoa menonton sambil menggendong tangan, sedang penonton-penonton lainnya terbengong kagum dan heran.

Dengan cara berkelahi nya itu, In Nio membikin musuh-musuhnya penasaran dan bingung, sebab semua penyerangan mereka itu sia-sia belaka tak ada hasilnya, sebaliknya, mata mereka berkunang-kunang dan kepala mereka pusing.

Setelah lewat banyak jurus, mendadak terdengar si nona berseru nyaring, lantas kedua pihak berpisah satu dari lain, seruan itu dibarengijeritan dari kesakitan dan tubuh Mo Thian Lim dan Keh Lim Peng roboh terguling, untuk bergulingan seraya tanya mereka dipakai menutupi muka mereka, dari sela jari-jari tangan mereka itu nampak darah mengucur.

Setelah memisahkan diri, Nona Cek berdiri dengan tangannya memegang biji mata yang berlumuran darah, ia pandang itu, terus ia lemparkan ketanah, kemudian dengan tindakan tenang, ia menghampirkan Tiong Hoa, untuk berdiri disisinya, ia tertawa dan bersenyum berseri- seri.

Tiong Hoa mengerutkan kening. "Encie, kau terlalu keras," katanya.

"Kau apakah kau tak sama?" si nona membaliki.

Thian Lim dan lam Peng masih menjerit-jerit kesakitan, tak tega mendengarnya akhir nya Tiong Hoa lompat kepada mereka itu, untuk menotok. Dengan begitu dalam sekejab saja, rintihan mereka berhenti tubuh mereka tak berkutik pula, sebab jiwa mereka telah dikirim pergi kelain dunia, setelah itu, dengan mengangkat bergantian si anak muda melemparkan mayat mereka ke-dalam kali. Muncratlah air sungai, lalu lenyaplah kedua tubuh.

Tiong Hoa menjublak mengawasi air hanyut, ia si anak pembesar negeri, yang tadinya bertubuh lemah, ia sekarang menjadi seorang pembunuh. Ia seorang terpelajar tapi sekarang satujago Rimba Persilatan, siapa sangka?

Ia bercita cita mendirikan rumah-tangga, untuk hidup merdeka disuatu tempat sepi yang indah, untuk dikawani si cantik- manis, buat bersyair... Maka ia teringatlah kepada Ban In. Yan Hoe.... kepada Pouw Keng... kepada In Nio disisinya ini.

Pemuda ini baru sadar ketika ia merasai tangan halus menahan pundaknya. ia menoleh dengan perlahan, untuk dipakai wajah cantik yang bersenyum manis.

"Adik Hoa, kau pikirkan apa?" Muka si pemuda menjadi merah, "Tidak" sahutnya, gugup, ia lantas melihat kelilingan, maka ia mendapatkan semua mata diarahkan kepadanya. Kembali mukanya bersemu merah. Habis itu, ia menghampirkan Kong Peng soei.

"Nona Cek gagah sekali." kata Peng soei.

"Hanya perkara menjadi perkara, aku kuatir si siluman tua mata satu tak nanti mau mengerti. "

Mendengar itu in Nio tertawa nyaring.

Tiong Hoa tidak membilang apa-apa, sebaliknya ia tanya: "saudara Keng, mengapa getekmu masih belum selesai ?" "Mungkin sudah selesai." Peng soei menjawab, " G etek itu masih perlu diluncurkan dari atas gunung, buat ditolak kehuIu sampai dipenyeberangan, pembuatannya mudah, yang sukar pengangkutannya, Harap saudara bersabar..."

Belum lama, dari seberang terdengar panah bersuara, yang meluncur keseb erang sini, jatuh didalam rumpun rumput.

"Murid- murid Tok Bak Lao menyusul " kata Peng soei tertawa.

Dari seberang sini tidak ada jawaban untuk kedua batang anakpanah itu, maka juga dari seberang meluncur lagi dua yang lainnya, yang jatuh sirap diantara pohon yangliau.

Rupanya disebabkan isyaratnya tak terbalas dari seberang sana lantas terlihat dua orang muncul di tepian, lalu keduanya lompat ke air, untuk berlari-lari sambil berlompatan, mereka saban-saban melemparkan sepotong kayu, yang dijadikan alat menaruh kaki, jauh dan tetap lompatnya dua orang itu, tak lama tibalah mereka diseberang sini. selagi berlompat ketepian, mereka mengasi dengar siulan nyaring.

Dua orang yang liehay itu masing-masing mengenakan baju hitam dan putih, tubuh mereka kekar, usianya tigapuluh lebih, matanya tajam. Mereka bermuka putih, beroman tampan dan gagah.

Nampak mereka heran waktu mereka tidak mendapatkan Lam Peng dan Thian Lim. Dari mengawasi orang banyak. mata mereka lantas menatap In Nio, yang kecantikannya menggiurkan hati. "Awas kamu. kamu mencari mampusmu," kata Tiong Hoa dalam hati, karena ia melihat roman orang kesengsam.

Dua orang itu masih mengawasi lantas ke duanya kasak-kusuk. Habis itu, mereka bertindak kearah si nona.

Panas hati Tiong Hoa, kapan ia menggerak kakinya, segera ia memapaki mereka itu, Hingga ketika mereka datang dekat satu pada lain, hampir keduanya bersomplokan. Kaget dua orang itu. Mereka lantas minggir.

Tiong Hoa menghentikan majunya, ia tertawa, matanya mengawasi dua orang itu, yang berbalik memandang dengan tajam, Agaknya mereka heran dan dongkol. si anak muda tertawa.

"Apakah tuan-tuan mencari aku yang rendah?" tanyanya. "siapa mencari kau?" membentak yang berbaju putih.

Tiong Hoa berlagak pilon.

"Agaknya tuan-tuan kesusu, tuan-tuan selalu mengawasi aku" kata ia, "Aku kira tuan-tuan mempunyai sesuatu untuk dihaturkan kepadaku, kiranya bukanKalau begitu maafkanlah aku"

Lagak pemuda ini membuat In Nio tertawa geli.

Dua orang itu berdiri likat, marah salah tak marah juga salah.

"Kamu bingung tuan-tuan, apa kamu kehilangan sesuatu?" Tiong Hoa tanya pula, tertawa, "Meski aku hanya seorang pelajar, kalau perlu, dapat aku membantu kamu."

Dua orang itu mendongkol muka mereka merah. Mereka merasa bahwa mereka lagi dipermainkan. "Kita lagi mencari orang" akhirnya kata si baju hitam dingin.

"Mencari orang?" Tiong Hoa tanya, ia melengak. lalu kata: "Tuan-tuan. kamu bergurau Lihatlah, disana ada puluhan orang apakah tuan-tuan tak melihatnya?"

"Kami mencari lain orang itulah sebabnya kami menanya kau" kata si hitam.

"Sungguh beruntung, tuan-tuan, kamu tidak menanya lain orang tetapi justeru menanya aku" kata Tiong Hoa. Justeru tepat- lah kau mencari orang"

Dua orang itu heran.

"Aku mencari dua orang" kata si hitam. "Tadi mereka berada disini, Kenapa sekarang mereka menghilang?"

"Kembali kamu bergurau, tuan-tuan. kata Tiong Hoa tertawa, "Dimana ada lain orang disini kecuali tuan-tuan, yang baru saja menyeberang?"

Si hitam mengerutkan alis.

"Baru mereka memberi isyarat dengan panah- api" kata dia. " itu sebabnya kenapa kami ketahui mereka berada disini."

"Oh mereka itu," kata Tiong Hoa, roman-nya heran, "Tadi ada beberapa orang pergi ke lembah memotong pohon buat membikin getek. Diantara mereka ada dua yang masing masing mukanya merah dan kumisnya hitam dan yang tak ada kedua buah telinganya. Mereka berdua tadi menantikan ditepi sungai, Tuan-tuan menanyakan mereka berdua?" Mau atau tidak ia mengangguk. Tiong Hoa memperlihatkan roman sungguh sungguh.

"Si orang tua tak berkuping itu nampak gelisah sekali," katanya, "dia melepas panah, sampai sekian lama dia tidak mendapatjawaban, mendadak dia menarik kawannya, untuk diajak terjun kesungai, Dalam sekejab saja, mereka sudah lenyap. Mereka memandang enteng jiwa mereka, sungguh kasihan"

Si hitam kaget, dia menatap bengis, "Pelajar melarat, kau ngoceh" bentaknya.

"Aku bicara tak ngaco." kata Tiong Hoa, sabar, "jikalau tuan tidak percaya, pergilah tanya orang banyak itu" ia menunjuk kepada semua orang yang hadir disitu.

"Toako, mari kita tanya mereka itu" kata si putih, yang agak heran, "Kalau dia mendusta, dia tentu tak bakal dapat lari"

Si hitam menurut, maka mereka lantas pergi, untuk menghampirkan seorang pedagang, Tiong Hoa menyusul, ia mendatangkan herannya dua orang itu, hingga mereka mengawasi.

Si hitam bukan menanya sipedagarg, mendadak dia menjambak dada orang. Inilah karena timbul kecurigaannya, Akan tetapi, belum lagi ia berhasil, tiba- tiba lengannya terasa nyeri. Diluar dugaannya, Tiong Hoa menyambar tangannya itu, sedang mata nya menatap tawar.

"Kenapa tuan berlaku garang terhadap orang yang tidak mengerti silat?" Tiong Hoa menegur, "Takpuas aku terhadap kelakuan mu"

Selagi ia ditegur, si hitam mengerahkan tenaganya untuk meronta, siapa tahu, Tiong Hoa melepaskan cekalannya, maka ia terlepas secara tiba-tiba.

Si anak muda lantas tertawa kata: "sekarang aku omong benar-benar Keh Lam Peng dan Mo Thian Lim terbinasa ditangan- ku, mayatnya aku lemparkan kedalam sungai untuk dijadikan umpan ikan sekarang suka aku memberi nasehat kepada kamu, supaya kamu membalaskan diri kamu Pergi pulang, untuk menasehatkan Tok Pak Lao Koay, supaya dia menyayangi dirinya, agar dia jangan mengumbar murid muridnya mengganas jikalau tidak dia bakal mati tanpa tempat kuburnya"

Dua orang itu terkejut, lalu keduanya ter tawa nyaring. "Pelajar rudin, kau tak tahu kami siapa" si hitam membentak. Tiong Hoa tertawa mengejek.

"Tak lebih tak kurang segala murid atau cucu muridnya si siluman tua mata satu siapakah yang dapat kamu gertak?"

Si hitam gusar bukan main.

"Kau berani menghina tuan-tuan muda dari In Boe san?" kata dia bengis, "Baiklah, hutang jiwanya Lam Peng dan Thian Lim dibebankan sekalian kepadamu"

Si putih berlompat maju ia berdiri sejarak satu tombak dari si anak muda, matanya mengawasi tajam.

Tiang Hoa terus tertawa, sikapnya sangat tak melihat mata.

"Tuan, nyalimu tak kecil Bagaimana rasanya tadi waktu aku cekal tanganmu?"

Mukanya si hitam jadi merah, "itulah cara membokong, bukannya kepandaiannya sejati" sahutnya, "Masih kau berani omong besar, sungguh tak tahu malu" Didalam hati dia salah.

Tiong Hoa mengawasi muka orang, ia tertawa.

"Kau tidak puas? Baik, aku beri tempo sepuluh jurus padamu. Asal kau mampu meloloskan diri, kau dapat hidup,”

Gusarnya si hitam sampai dipuncaknya, mendadak dia lompat menerjang, kedua tangannya mencari tiga jalan- darah thian-hoe, ceng-cok dan khie-ha . itulah serangan sangat cepat dan berbahaya.

Tak kalah gesit Tiong Hoa menggeser ke kiri, tangan kanannya dengan sebatnya menyambar kejalan-darah kiokstie penyerangnya itu, untuk ditangkap dan dipencet.

Si hitam berkelit kekanan- Dia kaget sampai dia mengeluarkan keringat dingini Dengan tangan kirinya dia menyampok. Dengan begitu, dia berkelit sambil menyerang.

Tiong Hoa memuji kesebatan lawan ini, Tapi ia tidak berdiam saja ia mencoba menangkap lengan kiri orang itu.

Menyaksikan lichaynya si anak muda, Peng soei kagum. Baru sekarang ia melihat, Didalam hati ia kata: "Lie siauwhiap benar gagah seumurku baru aku menyaksikan ilmu silat liehay ini Hari ini mataku ter- buka"

Si hitam kaget dan berkuatir, Baru sekarang ia insaf lawan lihai sekali, ia tapi-nya menjadi penasaran, Tiba- tiba ia mencelat sekali didepan dada, itulah tipu silat "Menolak gelombang, membantu ombak" Dengan itu pun ia mengerahkan seluruh tenaga nya, "tenaga badai yang membuat gelombang menggembur gunung,"

Tiong Hoa bersenyum, ia mengibas dengan dua tangannya, tubuh berdiri, tegak tak bergeming, Badai si hitam lenyap tidak keruanparan, bahkan sebaliknya dadanya tergempur, hingga dia terjerunuk mundur akan akhirnya roboh terlentang.

Sekonyong-konyong si baju putih berseru tubuhnya mencelat maju, akan tetapi dia bukan menyerang lawan hanya menubruk kawannya, untuk dirangkul hingga dia melihat muka orang pucat pasi, tanda dari luka di dalam yang parah.

Kibasannya Tiong Hoa itu yalah kibasan "Ie Hoa Ciap Bok" ajaran Ay sian dari see Hek. la tahu lihainya tipu silat itu, maka ia mengibas dengan tenaga separuh, siapa tahu, lawan masih tak dapat bertahan,

Si putih lantas menotok jalan darah khie hay dan sam- yang dari kawannya, ia menyalurkan tenaganya, pertolongan ini tidak berhasil si hitam makin lama makin lemah akhirnya dia kata susah: "Toako anggota tubuhku bagian dalam sudah terluka, tak dapat aku bertahan lama, Lekas kau totok jalan darah sim-jie, lantas kau pondong aku pulang ke gunung, Mungkin aku dapat ditolong cit Yap Coe cie ayah.."

si putih kaget dan bingung sekali, ia menurut, maka ia lantas menotok sim-jie- h iat kakaknya itu, setelah mana ia memandang bengis pada Tiong Hoa seraya berkata: "Kita tidak kenal satu sama lain, kita tidak bermusuhan tetapi kau sudah menurunkan tangan jahat sekali inilah sakit hati seumpama gunung, maka itu selagi gunung hijau tak berubah lain kali kita bertemu pula"

"Kau lihat sendiri tuan, aku membalas menyerang atau tidak?" ia tanya "Dialah yang menggunai tenaga berlebihan hingga darahnya mandek, dia terluka didalam, Kau hendak persalahkan siapa?"

Si putih melengah Memang benar ia tidak melihat orang menyerang, kedua tangan pemuda itu cuma mengibas menangkis serangan kakaknya. Tapi aneh kenapa kakaknya terjerunuk mundur hingga jatuh dan terluka demikian parah? "Mungkinkah pemuda ini berilmu sesat?" ia berpikir. Si putih insaf kakaknya terancam bahaya kematian, maka ia lantas kata: "Biar bagaimana tuan, kaulah gara- garanya, tak dapat kau membantah"

Lalu dengan memondong tubuh kakaknya, dia lari ketepian, Disini dia menoleh kebelakang, lantas dia lelaki kakaknya, untuk membuka ikat pinggang nya. Dengan itu ia ikat sang kakak dipunggungnya, ia pun memunguti potongan-potongan kayu tadi, untuk dipakai pula sebagai batu loncatan, maka dilain saat, ia sudah tiba kembali diseberang dimana dia berlari lari lenyap diantara pepohonan lebat.

Ketika itu matahari sudah doyong ke-barat, sinarnya yang berwarna indah berkaca dimuka air. Burung-burung gagakpun mulai beterbangan pulang kepohonannya. In Nio menghampirkan Tiong Hoa.

"Kenapa dia terluka demikian parah?" si nona tanya, "Apakah kau kembali menggunai ilmumu seperti diwaktu kita menyingkir dari hadapannya Liong Hoei Giok?"

Tiong Hoa mengangguk.

"Inilah diluar sangkaku," sahutnya, "Sebenarnya aku menggunai tenaga tiga bagian, separuh untuk menghalau serangan, siapa tahu dia tak dapat bertahan terhadap kibasanku itu. Aku lihat sebab kecelakaan itu yalah dia telah terlalu mengumbar tenaganya hingga dia mirip pelita kering minyaknya dia tak sanggup mempertahankan diri lagi." ia menghela napas pula dan menambahkan

"Aku pikir lain kali, jikalau tidak sangat terpaksa, tidak mau aku gunai lagi ilmu silatku itu."

Ketika itu Peng Soei mendatangi berama kelima saudagar tetiron, Mereka itu sangat kagum, semua memberi pujiannya. Tiong Hoa cuma bersenyum terhadap mereka itu.

"Mereka itu berdua yalah kedua anak laki-laki dari Tok Bak Lao Koay ciam Yang." Peng soei memberi tahu, "Si kakak bernama Kiu Wan dan si adik Hok Leng, keduanya sangat galak, pastilah semangatnya Lao Koay kena tergempur peristiwa ini."

Selagi mereka bicara, terlihat dua buah getek lagi mendatangi saling susul, jarak ke duanya satu dengan lain belasan tombak, Keduanya terbawa air yang deras, Yang belakangan itu nampak seperti ikatannya longgar dan diatasnya bergeletakan beberapa tubuh orang. "Celaka" Peng Soei berseru apabila ia melihatnya, segera ia lari ketepian. Dari getek yang didepan itu terdengar ter tawa girang dari empat orang.

Tiong Hoa pun melihat. ia dapat menduga apa yang terjadi, yaitu orang orangnya Peng Soei telah jadi kurban, ia jadi gusar maka ia pun lari kepinggir kali, untuk terus berlompatan. Baru dua kali, ia sudah sampai digeteknya empat orang itu

Berhenti tertawanya mereka menjadi melengak, Mereka kaget melihat orang datang seperti terbang.

Tiong Hoa bertindak cepat, tanpa bersuara. setibanya, ia mengibaskan kedua tangannya, Maka menjeritlak empat orang itu, terus mereka bungkam, tubuh mereka terpental, jatuh tercebur dimuka air.

Si anak muda tidak berhenti sampai di situ, ia menyambar dadung diatas getek. untuk melemparkannya kedarat sambil ia berseru: "sambut Lekas tambat"

Didarat orang menyambutnya, lantas menarik ramai- ramai, Mereka mesti melawan arus tetapi mereka berhasil, dadung itu dapat dilibat kepada pohon dan diikat keras.

Tiong Hoa sendiri bekerja lebih jauh, untuk lompat kegetek yang dibelakang, Di sana Peng soei telah tiba dulu, ia mendapat kan empat orangnya rebah dengan napas empas-empis, hingga ia menjadi putus asa, berduka tak kepalang, ia pun gusar. Ketika itu karena gempuran air, getek mulai terlepas.

Tiong Hoa lantas berseru: saudara Keng, lekas menyingkir" ia tidak cuma berseru, ia menyambar tubuh Peng soei, buat dlangkat dan dibawa lari ketepian. Untuk itu ia berlompatan, menginjak balok-balok yang sudah terlepas.

Sampai didarat, Peng soei melihat kearah getek dan orang-orangnya, yang tak dapat tertolong lagi itu, karena geteknya sudah berantakan hingga tubuh mereka tersapu air. Tanpa merasa ia menangis menggerung.

"Merekalah empat pembantu yang dihargai ayahku.

Katanya sedih, "Aku tidak sangka selagi mereka mengikut aku, aku tidak sanggup melindunginya, mereka roboh ditangan jahat. Mana aku mempunyai muka akan bertemu dengan ayahku?"

Kemudian dengan mengandal pada getek yang dapat dirampas itu, bergantian orang mulai pada menyeberang. Ketika itu sang waktu berjalan terus, sang rembulan telah muncul. In Nio turut dalam rombongan yang pertama dan Tiong Hoa pada rombongan terakhir.

Tiong Hoa lagi berdiri menantikan kembalinya getek ketika ia melihat satu bayangan orang berkelebat didepannya, Walaupun ia terkejut tangannya toh lantas menyambar. 

Bayangan itu berkelebat sambil tertawa geli, Dia lolos lewat, Tangannya si anak muda kena menyambar segulung benda yang lunak. Ketika ia melihatnya disinar rembulan, ia mendapatkan itu sehelai satu tangan sutera yang harum semerbak. Ia menjadi melengak.

Lekas-lekas ia membebernya, Di ujung kiri itu ada sulaman setangkai bunga bwee-hoe. Diujung kanannya ada sulaman satu huruf "Keng." Ditengah-tengah ada beberapa baris huruf-huruf yang dapat dibaca sebagai berikut:

"Syukur karena bantuan tuan aku berhasil lolos dari tangan beracun dari Kiong Lay soe sioe. Aku berterima kasih dan aku ingat baik-baik budi itu Tapi tuan harus waspada, Kiong Lay soe sioe penasaran, ingin mereka mendapatkan padamu, Kami kakak dan adik akan mencoba merintangi mereka itu. jikalau nanti tuan sudah di Koei-yang, harap terus pergi ke Hek Liong Thoa.

Mengenai urusannya Losat Kwie Bo, aku mengharap bantuan tuan untuk menyelesaikannya. Hormat aku: "Keng."

Tiong Hoa membengong pula, ia menjadi bingung, Bagaimana harus memecahkannya alasan Losat Kwie Bo? Kalau In Nio ketahui ibunya ditawan cit chee cioe Pouw Liok It, pasti dia gusar sekali dan sangat membenci.

Maukah nanti ln Nio mendengarkan nasihat atau bujukannya? Pasti nona itu akan mengamuk...

Rembulan terang, binatang banyak. akan tetapi Tiong Hoa merasakan matanya suram disebabkan pikirannya yang ruwet..

cococco BAB 22

TIONG HOA menyeberang paling akhir, setibanya didarat, bersama In Nio dia melanjuti perjalanan dengan merendengi binatang tunggangan mereka. selagi kakinya binatang itu bersuara nyaring, mereka lenyap diantara gelap- gulitanya sang malam.

Kong Peng swie bersama kelima piauwsoe, juga la ini la in orang yang dapat menyeberang itu, sangat berterima kasih kepada anak muda itu. Mereka juga kagum untuk keberanian dan kepandaian si anak muda.

Tiong Hoa bersikap tenang meskipun hatinya kusut, ia masih belum memperoleh pikiran yang baik. Diam-diam ia kata didalam hatinya: Manusia berusaha, Thian berkuasa.... Biarlah aku bertindak, tindak demi tindak..."

Terpisah duapuluh lie dari sungai ouw Kang, orang bermalam di Yang-iiong-ce. Besoknya baru terang tanah, orang melanjutinya. Tujuan mereka yalah kota Koei- yang.

Didalam wilayah propinsi Koei- cioe, mulai dari Yang- lioe-cee keutaranya, jalan rimba dan pegunungan dimana angin sering bertiup dan kabut tebal, sebaliknya keselatannya cuma pegunungan sangat sedikit rimbanya, jalanan sukar tetapi pemandangan alam indah. Orang berjalan tak ayal tetapi majunya lambat. sedang kudanya Tiong Hoa dan In Nio seringkali terpeleset....

“Tahu begini tidak nanti aku menggunai kuda ” kata

si nona menyesal ia memandang Tiong Hoa dengan meringis.

Tiong Hoa tertawa. "Sekarang kau tahu, beginilah tenaganya sang kuda" katanya. Mau tak mau, In Nio turut tertawa, ia melirik pemuda itu. sebaliknya dari sepasang muda-mudi itu,

Kong Peng swie selalu terbenam dalam kekuatiran, ia kuatir kawannya dua putera Tok Bak Lao Koay nanti pulang buat menyampaikan berita celaka, hingga si siluman tua ini akan datang menuntut balas, sebisanya ia berlaku tenang, dengan berpura saja ia saban-saban memandang kesekitarnya.

Mereka itu tengah berjalan terus kapan disebelah depan mereka, dipuncak gunung, terlihat bayangan dari empat orang pia uw-soe Teng Thong yang paling dulu melihatnya. "siapakah mereka?" katanya kaget.

"Perduli siapa mereka." kata Cie Goan Heng, dingin, "kalau mereka mengandung maksud jahat terhadap Kim shia Piauw Klok, biarlah mereka merasai golok Toan- hoen-too ini" Teng Thong melirik.

“Jangan terkebur," katanya, Dia memang tak akur dengan kawannya itu meski mereka bekerja sama.

Kenapa kemarin selagi menyeberang disungai ouw Kang kau tidak mengeluarkan kepandaian ilmu silat golokmu yang terdiri dari sembilan puluh-tiga jurus itu?"

Goan Hong mendongkol ingin ia mengutarakan kegusarannya, Tapi ketika itu, cepat luar biasa, keempat bayangan sudah lari ke arah mereka sampai terpisahnya tinggal tiga tombak lebih. semua mereka beroman bengis. Mereka tak berdiam, bahkan mereka terus berlompat lewat diatasan kepalanya Peng swie beramai Lie Tiong Hoa menoleh kepada In Nio dan bersenyum.

Dia mengambil sikap masa bodoh: " orang tak menggangguku, aku tak mengganggu orang."

Tapi Lo siang Tay tidak puas, Dia lantas menimpuk dengan senjata rahasianya, yaitu kim-cian-piauw. Piauw itu meluncur keatas, lalu beradu, terus jatuh kearah kepalanya keempat orang itu yang tubuhnya sedang mau turun ketanah, itulah ilmu piauw yang mahir. 

Peng soei hendak mencegah tetapi sudah kasip. ia menjadi berduka, ia melihat empat orang itu liehay sekali, Mereka mendengar suara piauw beradu, lantas mereka berdongak. ketika semua piauw itu turun, untuk menghajar mereka, mereka mengangkat tangannya masing-masing untuk menanggapi..

Tiong Hoa dan In Nio sudah turun dari kuda mereka, mereka juga menyaksikan kejadian itu, keduanya kagum.

Keempat orang itu tidak berkata apa-apa, mereka tidak menoleh kesana atau kemari, hanya mereka mengamproki tangan masing-masing yang mencekal kim-chie-piauw, lalu terlihat mengepulnya asap yang bersinar hijau, lantas asap itu sirna.

Menampak demikian, Peng soei terkejut, segera ia ingat siapa keempat orang itu, selagi ia berpikir keras dengan kekuatiran, maka salah satu diantara orang- orang itu, yang mukanya panjang dan kumisnya pendek yang kulit mukanya kebiru-biruan, yang ke dua matanya bersinar sangat tajam, mengawasi dengan keren, lalu dengan suara dingin, dia menegur: "siapa yang melakukan pembokongan? Lekas menggelinding"

"Hm " Lo siang Tay mengasi dengar suara menghinanya, terus ia mengajukan dirinya, untuk berkata: " itulah aku Kau mau apa? Bukankah kamu keterlaluan sudah berlompat lewat diatasan kepala kami

? itulah pantangan "

Orang itu tidak menjawab hanya tubuhnya mencelat, kedua tangannya terulur, menyusul mana terdengar dua kali suara “plak plok.”

Sebagai kesudahan dari itu, siang Tay melengak. kedua pipinya merah dan bengap Diluar dugaannya, ia telah kena digaplok orang itu.

Peng soei maju menghampirkan, sembari hormat, ia kata kepada orang itu : "Maaf, bukankah tuan-tuan yalah Hoan Ceng soe Kie yang tahun dulu itu telah menggetarkan Boe Tong san ?"

Orang itu mengasi lihat roman bengis, lalu dia tertawa lebar.

"Sudah beberapa puluh tahun kami ber empat tidak muncul dalam dunia Kang-ouw tetapi toh masih ada orang yang mengenali kami" katanya nyaring, Lalu dia menambah kan dengan suara dalam:

"Kami mau pulang kegunung kami untuk menyelesaikan sesuatu, kami tidak sempat melayani kamu. Maka lagi tiga hari saja kita nanti bertemu pula satu dengan lain "

Habis berkata dia menoleh akan mengawasi pedangnya In Nio lalu dia mengulapkan tangannya seperti isyarat untuk ketiga kawannya, Akhirnya dia lompat mencelat untuk berlalu. Dia segera diturut tiga kawannya, Maka sebentar saja mereka sudah pergi jauh.

Lain piauwsoe melengak. mereka berdiam saja. "Saudara Kong, siapa itu Ceng soe Kie?" Tiang Hoa

tanya Peng soei. "Tentang mereka itu, aku tak tahu jelas."

Peng soei menjawab, "Menurut katanya ayahku, mereka bukannya orang Han asli hanya keturunan peranakan suku Yauw-Biauw.

Entah darimana mereka mendapatkan ilmu silat mereka, yang beda sekali daripada ilmu silat Tionggoan. Belum berumur tigapuluh tahun, mereka sudah tersohor sekali di wilayah selatan-barat. Kabarnya siapa bermusuhan dengan mereka pasti jiwanya sukar lolos.

Pada tigapuluh tahun dulu mereka sudah mendaki gunung Boe Tong san dimana mereka telah melukai duapuluh tujuh jago Boe Tong, lalu dengan tak kurang suatu apa mereka turun dari gunung itu, peristiwa itu ramai menjadi buah-tutur orang banyak.

Hanya tanpa setahu kenapa, semenjak itu mereka tak terdengar lagi kabar beritanya, hingga tentang mereka menjadi sirup, siapa tahu sekarang mereka muncul disini."

Peng soei menghela napas, lalu ia menambahkan : "sekarang ini kita ada diujung pegunungan Hoan Ceng san, gunung yang panjang ribuan lie dan banyak rimba- rayanya, ada bagian-bagian dimana orang tak nampak matahari dan disana ada hawanya yang jahat hingga manusia dan binatang dapat mati karenanya. Karena itu tak ada orang yang ketahui Hoan Ceng soe Kie tinggal dibagian mana dari gunungnya itu gunung yang ditakuti orang, sayang tadi tak keburu aku memberi penjelasan."

Tiong Hoa heran melihat orang demikian berduka. "Kejadian barusan toh perkara sangat kecil," kata ia.

"Mungkinkah benar lagi tiga hari Hoan Ceng soe Kie bakal melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan saudara Lo?" Peng soei menghela napas pula, ia menggeleng kepala.

"Bukan melainkan saudara Lo. semua orang yang berjalan bersamanya turut dibenci sangat," ia menjawab. "siauwhiap dan nona Cek tak usah kuatir, tidak demikian dengan kita semua, terutama aku yang bertugas melindungi saudara Lo berlima."

Siang Tay menjadi tidak senang.

"Buat apa takut?" katanya mendongkol. "sekarang kita mati, nanti kita menitis pula?" Peng soei pun tak puas kepada piauwsoe jumawa ini, yang menjadi biang onar.

"Hanya aku kuatir, sebelum kamu berhasil menyerahkan piauw kamu, rohmu sudah pulang keneraka" katanya sengit. "Tidak apa kalau kau saja yang mati, tetapi dengan itu kau meruntuhkan juga namanya Kim shia Piauw Kiok Dapatkah kau mengganti itu?"

Mukanya siang Tay menjadi merah, dia bungkam. Dia malu sekali.

Ketika itu tiba-tiba orang mendengar suara dingin ini: "Tok sie sin Kiong mempunyai anak semacam ini, sungguh harus disayangi." Peng soei terkejut, tapi lantas ia menjadi gusar.

"Siapa berani menghina aku si orang she Kong?" dia menengok " Kenapa kau tidak keluar menemui aku?"

Walaupun dia mengatakan demikian, Peng soei toh mendadak untuk segera lompat ke-arah dari manajengekan itu datang, disitu segera dia melakukan penyerangan hingga batu gunung hancur belarakan.

Hampir berbareng dengan itu sesosok tubuh manusia terlihat lompat mencelat, menyingkir dari serangan dahsyat itu, terdengar suara tertawanya, terus orangnya lenyap. Peng soei menjadi masgul sekali.

"Saudara Lie." katanya lesu, "nyatalah sekarang ini diantara Koei-yang dan Koen Beng telah ada tak sedikit orang Kang ouw yang mundar mandir, karena mana aku menduga diwilayah selatan ini mungkin bakal terjadi peristiwa apa-apa yang luar biasa. Lihatlah, orang-orang yang liehay telah pada muncul, Aku menyesal apabila sampai terjadi sesuatu yang hebat."

"Saudara, kenapa kau mendapat anggapan ini?" tanya Tiong Hoa.

"Hotel di Yang-liong-cee itu yala h hotel yang dibangun oleh orang bawahanku,” Peng Soei mengasi keterangan "orangku itu telah memberikan pelbagai keterangan kepadaku."

Tiong Hoa menoleh kepada In Nio, siapa berbalik memandang pemuda itu, lalu keduanya saling mengedipi mata, suatu tanda mereka saling mengerti. Mereka menduga urusan akan berpusat di Hek Liong Thoa di Koen-beng, Hanya mereka masih belum mendapat kepastian, itu ada urusan sendiri atau urusan Tok Bak Lao-Koay ciam Yang hendak berebut pengaruh dengan cit chee cioe Pouw Liok It.

"Tak apalah," kata si anak muda kemudian dengan maksud menghibur, "Mari kita melanjuti perjalan kita."

Demikian mereka menuju ke Koei-yang, Ditengah jalan mereka menemui orang-orang Kang ouw tetapi tidak mengalami sesuatu, Diwaktu magrib mereka sampai diluar kota hingga mereka lantas mendapat lihat tembok kota yang tinggi dan kokoh kuat, yang seperti melingkar-lingkar. Mereka berjalan masuk kedalam kota disaat orang mulai menyalakan penerangan-

Peng soei berjalan dimuka memimpin rombongannya menuju ke hotel Goan Tiang, suatu penginapan nomor satu untuk kota Koei yang. Pihak hotel menyambutnya dengan hormat, dari mana terbukti hotel itu miliknya keluarga Kong.

Disitu ada menumpang banyak orang Kang ouw, yang terlihat menyolok mata.

Peng soei mengajak rombongannya masuk ke ruang paling belakang dimana ada sekelompok dari lima kamar yang terpencil semua kamar terawat baik dan bersih, sedang didalam pekarangannya tertanamkan beberapa pohon bunga yang menyiarkan keharumannya. Ruang ini pun sunyi dan tenang tak seberisik ruang depan.

Selagi Peng soei menemui Tiong Hoa bicara, ia mendengar tepukan tangan diluar kamar, ia nampak terkejut. Tapi ia tertawa dan kata: "sia uwhiap berdua duduklah aku hendak keluar sebentar "

"Silahkan, saudara Kong," kata Tiong Hoa bersenyum.

Ketika Peng soei sudah pergi, pemuda ini berpaling pada in Nio untuk menanya: "Encie, kau lebih berpengalaman daripadaku. Bukankah suara tepukan tangan itu ada maksudnya yang terlebih dalam ?" Nona Cek mengangguk.

"itulah tepukan tangan isyarat kaum Kang ouw yang biasa dipakai jauh, bukan dipakai dekat." katanya, "Itu biasa dipakai diwaktu malam gelap- gulita Kalau kita berpisah jauh, Maka dipakainya disini tak tepat, Pasti ada urusan yang penting, Lihat saja perubahan air mukanya Peng soei." 

Perubahan airmuka Peng soei itujusteru yang mencurigai Tiong Hoa, Maka ia lantas berpikir. "Adik Hoa"

Si anak muda mengangkat kepalanya, menatap nona cantik didepannya itu.

In Nio berkata: "Adik Hoa, besok kita menuju langsung ke Koen- beng untuk memenuhi janji dengan Pouw Liok It, untuk menyelesaikan urusan kita. kemudian baru kita mencari ibuku. Tentang urusan Kang-ouw, baiklah kita jangan terlalu mencampur tahu"

Di terangnya api, mata nona itu bersinar bening, Tiong Hoa melihat sinarmata yang mencinta, ia menjadi masgul. Akan tetapi ia tidak mengentarakan rasa hatinya itu. ia lekas menyahuti: "Encie In aku setuju dengan pendirianmu, Ya besok kita berangkat langsung."

Selagi mereka bicara itu, kelima piauw-soe dari Kim shia Piauw Kiok terlihat datang dengan tindakan cepat, Teng Thong lantas memberi hormat dan kata: "Sekarang kami mau pergi kekota selatan untuk menyerahkan piauw kami, begitu selesai maka malam ini juga kami hendak berangkat pulang kePa-siok. siauwhiap dan nona sudah membantu kami, kami sangat berterima kasih, kami ukir itu didalam hati kami, sekarang kami meminta diri Kalau nanti siauwhiap berdua pergi ke Pa-siok, kami minta sukalah siauwhiap memerlukan mampir di piauwkiok kami,"

Tiong Hoa dan si nona mengangguk.

"Baiklah," kata si anak muda, yang lantas mengantar orang keluar dari kamarnya.

Tidak lama datang jongos dengan barang hidangan dan araknya. "Siauwjie, mana saudara Kong?" tanya Tiong Hoa kepada jongos itu.

Orang she Kong itu sudah keluar lama juga. Si jongos melengak, lantas dia menjura. "Maaf, aku tidak tahu," sahutnya tertawa.

"Kami cuma dipesan lekas menyediakan barang santapan untuk tuan berdua nona, serta katanya silahkan tuan berdua dahar, tak usah dia ditunggui."

"Ya, aku mengerti," kata Tiong Hoa. Terima kasih"

Muda-mudi ini lantas duduk bersantap. akan kemudian beromong-omong dengan gembira.

Belum lama mereka mendengar suara berisik diruang luar, seperti seorang tetamu berselisih dengan jongos. Tetamu itu keras suaranya. Tiong Hoa mengerutkan alis, lalu tertawa.

"Encie kau duduklah." katanya pada In Nio. "Ada orang mencari kita."

Lantas ia bertindak keluar, hingga ia me lihat seorang jongos lagi melintangi tangan dipintu pekarangan menghalang seorang bertubuh besar bermuka kuning usia empat-puluh. Jongos itu melihat si anak muda ke luar, dia lantas kata: "Nah, kau lihatlah Bukankah kamar itu ada penghuninya? Kau tidak percaya perkataanku, sekarang baru kau percaya, bukan?"

Orang itu mengasi Tiong Hoa, lantas dia kata: "Biar ada penghuninya, aku masih mau melihatnya Dia seorang diri, dia tak layak memakai demikian banyak kamar" Lantas dia menotok kepundak si jongos.

Jongos itu mengerti silat tetapi ia tidak mau melayani ia tahu banyak tetamunya kaum Kang-ouw dan ia tidak mau mencari penyakit Maka ia lompat mundur tapi ia kalah sebat, pundaknya kesentuh juga, hingga ia merasa nyeri dan menjerit dengan tubuhnya terhuyung.

Tiong Hoa tidakpuas terhadap kelakuan galak dan kasar orang itu ia maju menghalang hingga orang tak dapat bertindak terus kekamarnya.

"Tuan mau pergi kemana?" ia menegur. "Minggir" membentak orang itu. "jangan usil aku"

Dengan tangannya, dia pun menolak.

Tiong Hoa gusar, ia berkelit, tangan kiri nya menyambar, untuk mencengkeram lengan orang kasar itu

orang itu kaget, dia lompat mundur. Tiong Hoa lompat maju, niat mengejar.

Tapi orang itu mundur terus, akan lompat naik ke atas genteng dimana dia lantas lenyap. ia lompat naik juga.

Malam itu rembulan terang dan bintang banyak seberlalunya orangkasar itu, sekitarnya Tiong Hoa menjadi tenang. Justeru itu mendadak ia mendengar tertawa perlahan dan merdu, hingga ia tercengang, ia lantai berpaling dan melihat keatas genteng cari mana tertawa itu datang. Untuk herannya ia melihat Pow Keng lagi berdiri diatas genteng, terpisah dari ia kira dua tambak, Kedua matanya nona itu bercahaya terang.

Hati si anak muda berdebaran, inilah ia tidak sangka, Kedua belah pipinya pun menjadi merah, ia lantas bertindak maju. "Kau baik nona ?" ia menyapa, Nona itu bersenyum, ia mengangguk. " orang barusan orangnya Hoan Ceng soe Kie," kata ia.

"Dia datang kemari membikin penyelidikan sambil mengincar sepasang pedang dipundaknya Nona Cek. Dialah kurcaci. tak usah dia dibuat pikiran, ciat-sin datang kemari buat menemui kau, siauwhiap untuk minta kau pergi ke Koen-beng guna memenuhkan janji dengan ayahku."

Mendengar Pouw Keng membasakan diri " ciat-sin," muka Tiong Hoa merah dan hatinya berdenyut itulah kata-kata menghormat dan merendah kaum wanita terhadap pria.

"Itu juga menjadi pemikiranku," kata ia perlahan "Besok memang aku hendak pergi ke Koen-beng. Cuma urusannya ibu dari Nona Cek sulit..."

"Tentang itu ciat-sin dan adikku sudah mengatur sesuatu," kata Pouw Keng.

"Adikku sudah berangkat lebih dulu ke Koen-beng, Asal siauhiap suka membantu urusan bakal dapat diselesaikan dengan baik," Kata-kata yang belakangan itu diucapkan perlahan sekali.

Tiong Hoa mengangguk beberapa kali.

Nona Pouw berkata pula: "Ayahku telah mendapat kitab Lay Kang Koen Pouw hadiah Kwie lam ciauw, tapi sekarang orang orang Kang ouw lagi mengarah kitab itu, yang mereka ingin rampas, Begitulah di Koei yang kaum Rimba persilatan berkumpul dan ada yang berkoncoh karenanya, hal itu membuat ayahku berduka.

“Kalau urusan kitab itu digabung dengan urusan ibunya Nona Cek. hingga kedua gurunya Nona Cek turun tangan, mungkin sekali terjadi kebencanaan Rimba persilatan-" Tiong Hoa heran-

"Nona Cek mempunyai dua guru?" ia tanya.

"Eh, kenapa siauwhiap tidak ketahui itu?" tanyanya, "Kedua gurunya Nona Cek yalah yang satu Hay Gwa It In- to-coe dari pulau Le Coe To dari laut Poet-hay dan yang lainnya Cit Yang sin nie, bhikshuni dari biara Cie Tiok Am di pulau Ban Keng sie dilaut Tang Hay.

Dimasa mudanya, kedua guru itu tersohor sebagai hantu. Tadinya merekalah sepasang suami istri, kemudian setahu karena urusan apa diantara mereka terbit salah mengerti, lantas mereka berpisahan, sang suami hidup menyendiri di Poet hay, sang isteri mencucikan diri di Ban Keng sie."

Habis berkata itu, Noua Pouw mengeluarkan sehelai bendera sulam tujuh bintang, cit Chee Kim-kie sembari mengangsurkan itu kepada si anak muda, ia menambahkan "Dalam perjalanan dari sini ke Inlam, apa bila siauwhiap bertemu dengan orang-orang cit Chee Boen, asal mereka dikasi lihat bendera ini, segala kerewelan yang tak diingini bakal dapat disingkirkan. ciat-sin akan memberitahukan siauwhiap beberapa isyarat yang merupakan gerak-gerakan tangan-"

Tiong Hoa mengulur tangannya menyambut bendera sulam itu, kemudian ia mengawasi si nona yang terus menyadari ia pelbagai isyarat tangan, sementara itu hatinya goncang, ia berdiri dekat sekali dengan si nona hingga hidungnya mendapat cium bau harumnya nona itu.

Pouw Keng mengulangi pelbagai isyarat itu, habis dia tertawa dan kata dengan manis: "Aku harap siauwhiap mengerti maksud kedatangan ciat-sin ini, sekarang ciat- sin mau pergi"

Benar-benar si nona berlompat menghilang.

Tiong Hoa berdiri menjublak sekian lama, baru ia lompat turun, untuk masuk kedalam kamnrnya, ia mendapatkan In Nio lagi duduk rebah diatas pembaringan nona itu seperti lagi memikirkan apa-apa.

"Eh. kenapa kau pergi drmikian lama, adik Hoa?" tanyanya setelah melihat si pemuda kembali.

Tiong Hoa bersenyum.

"Orangnya Hoan Ceng Soe Kie datang untuk mengacau, aku telah usir dia sampai diluar kota." sahutnya. oleh karena si nona memanggil ia adik, pemuda ini selalu membasakan diri aku dengan siauw- tee, artinya adik kecil.

Cek In Nio tertawa, Mendadak dia menggerak tangannya menyerang kearah jendela.

Tiong Hoa terperanjat apa pula segera telinganya mendengar orang berseru tertahan diluar jendela, ia mau lompat keluar, tetapi si nona menariknya. si nona tertawa manis dan kata: "Pasti ada orang yang membereskan mereka itu, hingga tak usahlah kita turun tangan sendiri..."

Baru nona itu habis berkata, atau mereka mendengar jeritan yang meng Giriskan hati, disusul dengan ini kata- kata mendumal: "Dari mana datangnya segala tikus tak punya mata? Kenapa orang berani mengincar kepada aku sam Cioe Kim Kong seng Toa ya? Bukankah orang mencari mampusnya sendiri?"

Suara itu disusul pula dengan suara berisik, sebab suara itu telah lantas menarik perhatiannya orang-orang Kang-ouw tetamu-tetamu lainnya dari hotel Goan Tiang itu.

Diam-diam Tiong Hoa memuji In Nio yang cerdik itu, serangan si nona. yalah semacam pukulan Udara- kosong yang dinamakan Thian Mo Ciang Lek atau tenaga Tangan Hantu Langit. siapa terhajar itu, dia terluka didalam, kalau dia lari darahnya akan mandek. hingga dia mudah dikenali atau terpergok, "Encie In, sungguh kau cerdik" katanya, "Aku kalah."

Justeru itu, dari luar jendela terdengar ini suara seram: "Eh, wanita cilik, kau tak dapat mengabui aku si orang tua Pukulan tangan beracun ini mana dimiliki oleh itu manusia dogol she seng?"

Tiong Hoa terkejut, ia lantas mengayun tangannya keara h jendela sampai tubuhnya menyusul berloncat.

Diluar itu terdengar lagi suara tertawa dingin tadi, orangnya terpisah belasan tombak, ketika Tiong Hoa menyusul dia berlompat keatas genteng untuk berdiri diam diatas wuwungan-

Tiong Hoa menyusul terus dibelakangnya In Nio mengikuti.

Orang itu sudah lantas menyerang dergan serupa senjata rahasia, habis itu dia lari turun kelain sebelah, sekejab saja ia lenyap. senjata rahasia itu lambat meluncurnya.

Segera ternyata itulah segumpal kertas putih, maka ia lantas membeber dan melihatnya, setelah lama ia mengangsurkan itu kepada si anak muda seraya berkata: "Adik Hoa, inilah untukmu"

Tiong Hoa melengak. apa pula setelah ia membaca dibawah sinar rembulan Beginilah bunyinya surat itu: siauwhiap Lie Tiong Hoa yang terhormat

Kita belum pernah bertemu muka tetapi aku mengagumimu, hingga senantiasa aku memikirkannya. Baik kau ketahui, aku si orang tua bersahabat akrab dengan saudara Song Kie dan baru kira setengah bulan yang lampau aku bertemu saudara Song itu dirumah penginapan- selagi kita memasang omong, saudara song menyebut-nyebut tentang siauwhiap yang gagah dan berhati mulia, hingga aku menjadi bertambah mengaguminya.

Siauwhiap yang baik, aku bersahabat baik dengan Ciam Yang, dan aku telah menerima permintaannya untuk mencelakai kau, aku tidak sangka kau justeru tuan penolong dari saudara Song.

Hal ini membuat aku serba salah, Tetapi, umpama jemparing pada busur, tak dapat itu tak dilepaskan.

siauwhiap. sebentar jam empat, baiklah siauwhiap berhati-hati jangan siauwhiap minum teh atau lainnya. sekian saja Hormat dari aku, Pek-Pou Leng-Hong Pauw Yang"

Habis sianak muda membaca, in Nio kata dingin, "Syukur mereka tidak datang, tetapi kalau toh mereka muncul, biar mereka belajar kenal dengan lihay Cit Yang sin ciang.”

Tiong Hoa mengajak si nona kembali ke dalam kamar, Mereka tidak banyak omong sebab hati mereka tahu satu pada lain.

Tak lama muncullah seorang jongos, munculnya secara tergesa-gesa, Dia bukan jongos yang biasa, Dia membawa sebuah nenampan diatas mana ada tehkoan beling yang indah putih mirip batu kemala. Dia meletaki itu diatas meja sembari menjura dan tertawa dia kata: "Majikan muda kami menyuruh menghaturkan ini sepoci teh pilihan, silahkan tuan dan nona minum, Majikanku pun menyampaikan hormat.

Tiong Hoa bangun berdiri. "Memberabekan kau saja" katanya, tertawa, "Tolong kau sampaikan terima kasih ku si orang she Lie" Jongos itu menyahuti. "Baik, tuan-" katanya.

Mendadak tangan si anak muda meluncur. Tanpa menanti orang menutup mulur, ia menyambar tangan jongas tetiron, karena benar orangnya Ciam Yang.

Jongos itu kaget, dia berlompat mundur akan tetapi dia kalah sebat, lengannya sudah lantas tercekal. Dia merasakan sangat nyeri seperti dijepit capit besi. Dia tak dapat memperdengarkan suaranya, cuma mulutnya terbuka lebar, matanya terbuka juga, dan keringatnya mengucur deras.

In Nio tahu bagaimana harus bertindak. Dengan cepat ia lompat keluar kamar, untuk bersembunyi dibelakang pohon dipekarangan dalam itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar