Bujukan Gambar Lukisan Jilid 16

Jilid 16 : Jumpa Cek-In-Nio lagi 

Nona itu mendengar tindakan kaki orang, tanpa mengangkat kepala, ia kata: "Masih kau tidak mau pergi? Apakah kau hendak cari mampusmu?" suara berat, suatu bukti dari luka parah.

Hati Tiong Hoa berdenyut: potongan si nona memang potongan In Nio, sekarang ia mendengar suara orang, ia tak sangsi lagi.

"Nona Cek" ia memanggil.

Nona itu nampak terkejut, tetapi ia tetap menutupi kepalanya.

"In Nio" Tiong Hoa memanggil pula.

Kembali nona itu terkejut, sekarang ia mengangkat kepalanya, sinar matanya tampak tak bercahaya, Meskipun ia letih dan kucai, kecantikannya tak sirna.

"Ooh, benarlah kau" seru Tiong Hoa. sekarang dia mendapat kepastian-

Nona itu terperanjat ia heran, Tak ia sangsi disini ia menemui si anak muda. ia berdiam, kulit mukanya yang pucat menjadi merah sejenak.

"Ketika itu malam kita bertemu dirumah makan di Hoei Ho KaUw.. tak berhasil aku menyusul kau, nona,” ia berkata, “karena itu untuk beberapa hari aku mencari kau disekitar Siauw Ngo Tay san tanpa hasil hingga aku turun gunung dengan berduka."

Nona itu mengawasi, nampak ia bersyukur. "Akutahu hatimu," katanya lemah, "Aku kuatir

sekarang aku bakal pergi kedunia baka "

Tiong Hoa menggoyangi tangan memecat kata-kata orang itu.

"Jangan mengucap begini nona" ia kata. "Aku telah melihat sendiri ketika di rimba Tiat Kean Kiap nona merampas kotak kecil dari tangannya si orang bertopeng. Rupanya kau rebah disini sekarang diserahkan serangannya mereka itu"

"Apa?" si nona tanya, kaget dan heran, "Kau berada didalam rimba itu? Kenapa kau tidak memanggil aku?"

Tiong Hoa bersenyum duka.

"Nona lari pesat sekali, aku menyusul dengan sia-sia." ia kata.

Cek In Nio menghela napas.

"Aku mengerti," katanya, ,. Hebat pukulan orang itu pukulan im Tok Ciang yang beracun- Kau tahu, racun sudah tersalurkan kenadiku, maka sekalipun tabib Hoa To menjelma pula, tak nanti dia dapat menolongi aku. Maka aku ingin minta kau,.,."

"Cukup nona" Tiong Hoa memotong, "Aku masih mempunyai daya untuk menolong kau"

Pemuda ini menghampirkan dekat sekali, ia merogo sakunya mengeluarkan buah piepa bekalannya.

"Lekas nona makan buah piepa ini." kata nya. "Lantas kau duduk bersila dan menyalur kan napasmu untuk kau mendesak racun keluar dari tubuhmu, Aku percaya, dalam tempo yang pendek. kau akan mendapat pulang separuh tenagamu "

Nona itu heran tapi ia menurut, ia menyambut buah piepa dan memakannya.

Justeru itu Tiong Hoa mendengar tertawa dingin dibelakangnya, ia kaget hingga ia segera berpaling. Maka ia melihat dua orang bertopeng berdiri diluarpintu, sikapnya bagaikan memedi, ia terkejut ia tahu siapa dua orang itu- Tanpa sangsi lagi, tak betrayal pula, ia berseru, dua tangannya ditolakkan keluar, kearah dua orang itu, Maka terdengarlah satu suara keras sekali.

BAB12

ooooo

DALAM KEADAAN seperti itu, selagi si nona terluka parah, Tiong Hoa terpaksa mesti menggunai jurus Jit goat tong seng - matahari dan rembulan sama-sama naik dari ilmu silat sian-thian Thay It Ciang, maka itu, kedua anak muda diluar pintu itu lantas terpukul mundur kira delapan tombak.

Mereka tidak terlukakan, cuma tembok dibelakangnya gempur, Lantas mereka lompat maju pula, keempat mata mereka mencilak diantara topeng hitamnya.

Tiong Hoa tidak melihat maka orang tetapi sinar mata mereka itu menandakan mereka gusar sekali, gusar bercampur heran, inilah ia mau mengerti. Apa bedanya ia sendiri kalau ada orang merintangi padanya secara begitu?

"Tak keruan-ruan kau mencampuri urusan kita, tuan" kata si anak muda dingin. "Kau pun telah membokong Apakah arti nya ini?"

"Kau tahu tapi toh kau menanya tuan-“ ia membalasi. "Nona ini terluka parah akibat pukulan cu seng ciang dari kamu berdua, jiwanya lagi terancam maut, maka itu apakah tak dapat jikalau kamu tidak memaksa membinasakan orang?"

Pemuda itu tertawa pula.

"Tak biasanya kami membunuh orang tak bersalah, ia msnjawab, Kami tidak bermusuh dengan nona itu tetapi tanpa sebab dia merampas barang ditangan kami Baik tuan ketahui, datangnya kami kemari untuk mencari barang kami yang hilang itu Apakah dapat dikatakan kami berlaku kejam?"

Tiong Hoa tetap bersikap dingin. ia tertawa tawar. "Orang saling merampas, itulah lumrah" ia kata.

Beranikah jiewie menetapkan barang itu milik kamu."

Pemuda bertopeng itu berdiam meski tak tampak tenang, dia ligat, Hanya sejenak saja, lantas dia kata keras: Meski benda itu bukan milik kami tapi itulah benda tak halal. Laginya kami....

"Nona ini juga melihat benda itu benda tak halal katanya tertawa, Kamu saling merampas maka itu tuan bukan kau menegur dirimu, kenapa kau hendak berlaku keterlaluan terhadap orang lain?"

Si nona bertopeng, yang sedari tadi berdiam saja, lantas campur bicara, Ketika ia berbicara suaranya halus dan merdu bagaikan suara burung kepodang.

"Tuan meskipun kau bicara benar tetapi tidak seharusnya benda itu dirampas dari tangan kami," katanya.

Sangat sedap suara itu masuk ke dalam telinga. Tiong Hoa heran ia berpikir.

"Suaranya begini merdu, dia mestinya sangat cantik," pikirnya. si pria bertopeng lantas mengawasi kawannya.

"Dalam hal itu, memang nona itu sedikit salah," berkata Tiong Hoa, "akan tetapi dia telah terkena pukulan cit seng Giang jiewie rasanya itulah sudah cukup untuk menutup kesalahannya itu, Aku yang rendah melihat jiewie bukanlah manusia-manusia yang jahat, oleh karena itu mudah-mudahan dimana yang dapat, sukalah jiwie memberi ampun. Baiklah jiewie tunggu sampai nona ini sudah sembuh, nanti dia datang berkunjung kepada jiewie untuk menghaturkan maafnya...

Dibawah sinarnya matahari, tangan itu putih dan halus bagaikan saiju.

Tanpa merasa, Tiong Hoa mengawasi tangan orang itu, Dia bukan pemogor atau si mata keranjang, dia toh sangat tergiur hati-nya. Maka itu dia menjadi terdiam saja. Disitu ada berkumpul banyak orang.

Tadi mereka lari serabutan sebab si pemuda menghajar gempur tembok kota, sekarang mereka merubung pula. Mereka juga melihat orang seperti mengadu bicara.

Si nona bukannya mendongkol atau gusar karena orang mendelong, sebaliknya dia tertawa geli.

"Mari" ia berkata pula, "Kau ambil itu kotak di saku si nona, kau serahkan padaku lantas kami pergi"

Tiong Hoa bagaikan sadar. ia menggleng kepala. "Menyesal, tidak dapat aku menerima baik permintaan

kau ini, nona" katanya sabar. "Nona itu telah menerima tugas dari pemilik asal benda itu untuk mencari dan mengembalikannya dari itu, tak dapat kau ber buat apa- apa..."

Tiba-tiba si pemuda bertopeng menoleh kepada si nona kawannya. "Encie..." katanya, lalu mendadak pula ia berdiam. Nona itu menggoyang kepala, ia memandang Tiong Hoa.

"Sikapmu ini tak bagus untuk kau dan aku." katanya. "Kau tidak ketahui kebiasaan kami, satu kali sudah mengulur tangan, tak dapat kami menariknya pulang dengan tangan kosong Lagipula, siapa pun membuat susah kepada kami, dia mesti mati tak keruan sekarang  ini terhadapmu, kami sudah berlaku luar biasa sabar, dari itu-janganiah kau tidak tahu selatan-"

Hati Tiong Hoa berCekat, Tadinya ia dipanggil tuan, sekarang kau. itulah suatu perubahan sikap. hanya tak tahu ia, perubahan apa itu.

"Kenapa kau memaksa, nona?" kata ia perlahan, tapi nada suaranya dalam. "Mengenai urusan ini, baiklah, aku menerima baik, hanya, jika la u jiewie suka memandang aku, sukalah kamu bersabar, nanti dalam setengah tahun, aku pasti akanpergi ke Hek Liong Thoa, kepada tongkee kamu, untuk menyelesaikannya."

Muda mudi bertopeng itu terkejut hingga mereka mundur satu tindak. keduanya saling mengawasi, inilah disebabkan disebutnya nama Hek Liong Thoa itu. Cara bagaimana kau mengenal asal-usul kami?" si nona tanya, heran-Tlong Hoa bersenyum,

"Mengandal kepada pukulan cit seng elang saja telah aku ketahui jiewie yalah orang-orang luar biasa dari Rimba Persilatan-" sahutnya, "Bukankah di selatan telah termashur namanya Pak Pouw lam Pit ? jiewie pastilah orang dari Giam ong Leng cit-seng-cioe Pouw Liok It "

"Tuan matamu tajam sekaii." berkata si anak muda bertopeng, "Hanyalah walaupun sekarang ini kami menghentikan usaha kami untuk tuan sulit akan tiba dengan selamat di Hek Liong Thoa jikalau sekarang kami pulang dengan tangan kosong maka tiga hari kemudian pasti bakal berkeliaran banyak orang yang mencari tuan hingga kamu bakal tak dapat tidur nyenyak."

Tiong Hoa menangkap kedua tangannya.

"Silahkan jiewie menghentikan usaha jiewie sekarang." ia berkata tertawa, "Perihal segala sesuatu yang bakal datang terserah kepada Thian Yang Maha Kuasa. Aku yang rendah percaya betul bahwa aku bakal dapat melindungi sisa hidupku ini untuk aku dapat menemui tongkee kamu."

Si anak muda bertopeng mengawasi kawannya, ia bungkam, maka sesaat itu sunyi suasana diantara mereka kedua belah pihak. Baru kemudian terdengar si nona menghela napas, terus terdengar suaranya yang bersifat menyesal dan penasaran: "Tahukah kau yang kami tak dapat mundur dengan tanpa bertempur lagi? Tahukah kau bahwa kami pun tak dapat menurunkan tangan jahat karena kami harus menaruh belas kasihan?"

Tiong Hoa tertawa.

"Meski aku yang rendah berkepandaian sangat tak berarti, tapi rasanya aku masih dapat menyambuti jiewie," ia kata. "jikalau memangnya pertempuran tak dapat dihindarkan, buat apa kita masih mengadu lidah?”

"Tuan, kau sangat terkebur^ tegurnya, "jikalau begitu, jangan kau sesalkan kami telengas"

Dengan gesit dia minggir kesamping kanan si anak muda, terus tangan kanannya diluncurkan, dipakai menotok jalan darah ceng-ciok anak muda itu, itulah totokan sangat cepat dan berbahaya.

Tiong Hoa merasakan angin menyamber, dengan sebat ia menggeser tubuhnya, sedang sebelah tangannya diulur, lima jerijinya di buka. ia bukannya mau menangkis, ia hanya hendak menang kap tangannya penyerang itu.

Keduanya bergerak sama sebatnya, tetapi si anak muda bertopeng terperanjat ia melihat bagaimana serangannya terelakkan secara gampang sekali, sebaliknya tangan lawa mengancam lengannya, Terpaksa ia berlompat mundur.

Diluar dugaannya, tubuh Tiong Hoa bergerak maju, menyusul padanya. Menampak demikian, ia tertawa dingin, dengan tangan kirinya ia membacok tangan lawan itu Itulah hebat, Kesudahannya itu, dua-dua bisa celaka berbareng.

Si nona bertopeng berteriak: "Adik Lim, jangan " Lantas tubuhnya berlompat maju, guna datang sama tengah.

Melihat demikian, kedua pemuda sama-sama menarik pulang tangannya. Tiong Hoa bersenyum.

"Nona, bukankah nona suka mendengar perkataanku

?" dia tanya.

Nona itu mengasi dengar dihidung.

"Tak demikian mudah" bentaknya perlahan.

“Jikalau begitu, maafkanlah aku yang rendah" kata si anak muda. Atau tiba-tiba ia mendapat satu pikiran: "Kenapa aku tidak mau membuka topengnya, untuk melihat wajahnya.”

Begitu ia berpikir, begitu ia bekerja, tanpa pikir lagi kemungkinan akibat diluar dugaan, Demikian tangannya menyamber.

Nona itu terkejut, berkelit kekanan, tapi tangan orang dapat bertambah panjang, tak dapat dielakkan lagi, topengnya kena terjambret terlepas. Hingga tertampaklah wajahnya yang cantik sekali.

Tiong Hoa kagum. ia melihat kecantikan yang berimbang dengan kecantikannya Cek In Nio, masing- masing dengan keistimewaan sendiri ia tercengang dengan hatinya berpikir: Kenapa didalam sarang berandal ada nona begini cantik dan agung?"

Tangannya tetap memegangi topengnya si nona.

Nona itu pun melengak. mukanya merah-mata nya mengawasi, pada mata itu tampak sinar tak puas.

"Eh, mengapa kau begini ceriwis?" ia menegur. Mukanya Tiong Hoa merah, ia kata dalam hatinya:

"Ya, kenapa aku berbuat begini? pantas dia mengatakan aku ceriwis....

Belum ia menjawab, nona itu sudah membanting kaki dan berkata pada kawannya: "Adik Lim. mari kita pergi. Lalu tangannya menarik tangan si pemuda, untuk mereka berlompat pergi, menghilang melewati tembok kota, menuju kebawah gunung.

Tiong Hoa masih mendelong meskipun orang sudah menghilang diantara pepohonan, sampai tiba-tiba ia mendengar pertanyaan halus dan lemah: "Kau lagi mengawasi apa? "

Itulah suaranya Cek In Nio, si nona yang menderita luka parah.

Pemuda ini menoleh dengan terperanjat. Ia melihat si nona menyender disamping pintu, bajunya tertiup angin, mukanya masih kucal, matanya mengeluarkan sinar sedih dan menyesali. Dengan sendirinya mukanya menjadi merah. Teranglah nona ini telah menyaksikan perbuatannya, Tapi ia menghampirkan, ia memegang tangan orang perlahan. "Nona apakah kau merasakan banyak baik?" ia tanya lembut.

Didalam saat kesepian atau berduka, orang memerlukan hiburan, demikian Cek In Nlo tengah ia menderita hebat ini, setelah berbulan-bulan ia merantau seorang diri dengan hati pepat dan berkuatir. Maka itu perkataannya si anak muda melapangkan hatinya, Tapi ia berduka sangat, airmatanya lantas meleleh keluar. Tiong Hoa bingung, ia berdiam mengawasi.

Hanya sebentar si nona berduka itu, cepat ia dapat menguasai diri ia bersenyum.

"Rupa nya buah piepa kau ini buah mustajab." ia kata, "sekarang ini lenyap sudah rasa nyeriku aku dapat bergerak pula seperti biasa, kecuali aku masih lemah dan napasku seperti beku, Aku kuatir selanjut nya tak dapat aku bersilat lagi "

Tiong Hoa tertawa.

Jangan takut, nona." ia berkata, "jangan takut kau kehilangan ilmu silatmu, serahkan aku yang menjaminnya. Nah, mari kita ber lalu dari sini" ia mengajak. ia mempepayang nona itu, untuk turun dari tembok kota.

Cian Sam Hoo menantikan dikepala perahu, ia nampak bingung dan bergelisah sendirinya. Ketika akhirnya ia melihat penumpangnya kembali, ia berdiri menjublak. Ia mendapatkan orang jalan berendeng ber-sama seorang nona. "Saudara, bagaimana dengan kau?" ia bersama teriak.

Tiong Hoa bersenyum, tanpa menjawab ia pegangi In Nio menginjak papan perahu. Sam Hoo terbengong menyaksikan si nona demikian cantik.

"Ah, pemuda ini sangat beruntung" pikirnya, "Memang, cuma dia yang begini tampan yang pantas mendapat nona elok ini. Aku sendiri, seumur hidupku, jangan aku harap" Lalu dia mengangkat bahunya, terus dia berseru: “Berangkat"

Maka berangkatlah perahu mereka. Tiong Hoa mengajak si nona kedalam gubuk perahu. "Apakah kau sudah dahar?" ia tanya.

In Nio bersenyum, ia menggoyang kepala, ia nampak sangat berduka, inilah sebab ibunya tetap belum dapat dicari dan sekarang ia menguatirkan ilmu silatnya lenyap.

Tiong Hoa dapat menerka kedukaan si nona, Disaat ini, tak dapat ia menjelaskan halnya Losat Kwie Bo.

Warta itu terlalu hebat untuk In Nio. cuma-cuma bakal menambahkan kesusahan hati, ia hanya memikirkan soal memulihkan tenaga atau ilmu silat si nona, itulah pekerjaan mudah, melainkan ada kesulitannya.

Ada pepatah yang melarang pria dan wanita bcrpegagan tangan, inilah kesulitannya itu, Sebab ia mesti menyalurkan tenaga dalamnya kepada si nona.

Taruh kata nona itu setuju, ia masih sukar membuka mulutnya. Karena itu, ia jengah sendirinya, sampai kelikatan itu terkentarakan pada wajahnya.

In Nio mengawasi ia heran mendapatkan orang agaknya mau bicara tetapi selalu ga-gal. ia melihat muka orang bersemu dadu, Disebelah itu, ia dikagumi ketampanan si anak muda, Memangnya ia bersyukur yang orang telah menolongi ia lolos dari bahaya, bahaya diserang dan bahaya penyakit luka didalam itu.

"Dia kenapa, ha? Mungkinkah dia tak dapat menguasai diri hingga dia menjadi sesat pikirannya ?" ia bertanya- tanya ragu ragu. Tapi lantas ia menanya sungguh-sungguh: "Kau ingin bicara apa? Apakah yang kau pikir kan?"

Inilah yang diharap-harap Tiong Hoa. ia memang berduka dan berkuatir, ia ingat perkataannya si muda mudi bertopeng itu bahwa setelah tiga hari, In Nio terancam bahaya, maka didalam tempo tiga hari itu perlu ia mempulihkan tenaga nona ini. Toh ia masih bersangsi,

"Aku yang rendah..." katanya, perlahan "aku..." Ia merandak. mukanya merah dan terasa panas,

telinganya pun berbunyi dan hatinya berdebaran.

In Nio heran menyaksian kelakuan orang itu. "Sebenarnya kau lagi pikirkan apa?" ia tanya tertawa,

ia menganggap lagak orang jenaka, “Seorang laki-laki tak mempunyai rahasia apa-apa. Aku tahu kaulah seorang laki-laki sejati, maka apapun kau pikir kau boleh utarakan didepanku, aku tidak bakal menjadi kecil hati atau menggusari kau."

"Sebenarnya sukar untuk aku bicara apa- pula didepan kau, nona..." kata si anak muda, ia tetap bingung,

In Nio bertambah heran, tapi juga jadi bernapsu ingin mengetahui

"Kau bicara..,Bicaralah" katanya mendesak.

Tiong Hoa mengendalikan dirinya, ia menatap nona itu.

"Nona," ia berkata menguati hati, "aku memikir untuk memulihkan tenaga dan ilmu silatmu, hanya untuk itu, perlu nona membuka bajumu... sebenarnya tak suka aku mengatakan begini akan tetapi terpaksa.." Muka nona itu menjadi merah, inilah di luar dugaannya, Tapi ia dapat berpikir ia memang mencintai anak muda ini disaat pertemuan mereka yang pertama, hanya sebagai orang seorang gadis, tidak dapat ia lancang mengutarakan rasa hatinya itu, sekarang ia menghadapi soal sulit ini, Dapatkah ia mempercayai dirinya?

Sekian lama kedua pihak berdiam akhirnya si nona kata. "silahkan engkau "

Mukanya menjadi merah dan pucat bergantian, hatinya memukul.

Hati Tiong Hoa pun memukul keras, itulah keputusan, ia menatap nona itu, yang mulanya mengawasi ia, lalu kedua matanya dimeramkan- ia sudah dapatjawaban, ia toh masih ragu-ragu.

"Dia perlu lekas ditolong" katanya, sesudah dua tiga kali mengulur tangannya tapi selalu ditarik kembali.

Akhirnya ia bekerja pula dengan cepat...

Air sungai mengalir terus, perahu juga maju ditarik tukang-tukang tariknya, suara perahu menerabas air terdengar berisik. Dengan begitu lewatlah sang waktu, Ketika fajar mendatangi mukanya Tiong Hoa pias sekali, Dia telah mengeluarkan banyak tenaga dalamnya, Waktu ia mengawasi Cek In Nio si nona rebah dengan muka bersemu dadu, hingga dia nampak bertambah cantik,

Untuk menolongi nona itu, Tiong Hoa mesti menguruti tubuh orang, disetiapjalan darah yang darahnya mesti disalurkan. selama itu ia menyaksikan buah susu orang, ia merahan tubuh yang putih dan halus, hati nya berdebaran, ia menekan pusar dan dada, juga punggung nona itu, Kedua hawa Im dan yang terus diperpadukan, Terutama kedua nadi im dan Tok mesti di bebaskan, supaya keduanya dapat berhubungan lurus satu dengan lain.

Diakhirnya ia menotokjalan-darah tidur si nona, membuat nya tidur nyenyak. supaya dia dapat beristirahat setelah mana, ia menutupi tubuh orang dengan selimut, ia masih mengawasi sekian lama, baru ia keluar dari gubuk perahu, tindakannya perlahan, ia letih. Hawa diluar, yaitu angin dingin membikin ia merasa segar.

Cian sam Ho berada dikepala perahu, melihat si anak muda, ia menghampirkan, lantas ia mencekal tangan orang.

"Ooh, saudara" katanya kagum. "aku tidak sangka kau seorang yang pandai ilmu silat. Mulai hari ini aku tidak mau membanggai lagi akulah orang dengan sepasang mata yang tajam. Kalau kemarin aku tidak menguntit kau dan menyaksikan segala apa, tentulah sekarang ini aku masih tetap menjadi si katak didalam tempurung." ia mengawasi muka orang yang lesu lantas ia menambahkan:

"Saudara, kau letih sekali baik lah kau beristirahat Aku memesan supaya tidak ada orang yang mengganggu kami" sebentar aku menyuruh orang membawakan barang makanan."

"Terima kasih" kata Tiong Hoa dengan perasaan syukur, ia lantas kembali kedalam. setelah mendapat hawa diluar sebentar itu, ia merasa nyaman. Terus ia duduk bersila disisi In Nio, untuk bersemadhi guna mengerahkan tenaga dalamnya. 

Tak perlu banyak waktu untuk pemuda ini mendapat pulang kesegarannya, Ketika ia melihat si nona, nona itu masih tidur nyenyak. la tidak mau mengganggu ia merebahkan dirinya di sisi nona itu, kedua tangannya dijadikan bantal kepala, matanya mengawasi

lelangit gubuk perahu.

Pemuda ini lantas ingat Ban In. pernah ia tidur diatas sebuah pembaringan bersama nona itu, akan tetapi ia tidak berani merusak tata susila, Mereka pernah bicara tentang pernikahan atas itu ia menjanjikan ketika sesudah nanti ia dapat mewujudkan cita-citanya. Waktu yang dinanti itu ia duga lambatnya tiga tahun, lekas nya dua belas bulan, Ban In lemah lembut dia berjanji akan menurut saja, Hanya urusan dengan Ban In itu, haruskah diberitahukan In Nio ? ia ragu-ragu. ia tahu tabiat umumnya wanita, mudah tersinggung, mudah sirik dan cemburu, itulah bahaya saking bersangsi dan bimbang, ia menjadi masgul.

Teringat pula kepada Yoe san Goat Eng, gambar lukisan itu, ia pernah melepas pikirannya, Lukisan itu membikin ia buron dan terlunta-lunta, sekarang, ingat gambar itu, hatinya terbujuk pula, ia jadi memikirkan, dimana adanya lukisan itu dan kemana ia mesti pergi mencarinya.

Walaupun ia telah berpikir, tak dapat Tiong Hoa lantas tidur pulas, Telinganya mendengar suara air berbunyi tak hentinya, suaranya begitu-begitu juga, ia meram, ia mencoba berhenti berpikir, Kali ini bisa juga ia layap- lanyap... Lama sang waktu lewat, akhirnya In Nio mendusin, Yang pertama ia ingat yalah ia tidur tanpa pakaian, tubuhnya cuma dikerebongi selimut, Ketika ia melihat kesisinya disitu Tiong Hoa rebah dengan pakaian lengkap. ia yang tampan, yang menggiurkan hatinya, ia mengawasi terus, sampai ia kata dalam hatinya: "Anak muda, jangan kau menyia-nyiakan aku ya?..."

Dengan perlahan nona ini mengenakan pakaiannya didalam selimutnya, kemudian baru ia berbangkit bangun. Untuk girang- nya, ia merasakan tenaganya telah pulih, kesegarannya kembali Lalu ia menjadi heran kenapa, hanya selang beberapa bulan, kepandaiannya si pemuda maju begitu pesat, sungguh tak dapat di mengerti.

Nona ini mengangkat selimutnya, guna menyelimuti pemuda di sisinya itu, Apa mau ujung selimut kena menyamber meja kecil diatas mana ada sebuah cangkir kecil, cangkir itu jatuh dan berbunyi nyaring.

Tiong Hoa mendusin dengan terkejut, ia melihat si nona lagi mengerebongi tubuhnya lantas ia berlompat bangun, menyamber tangan nona itu.

"Nona, apakah sudah sembuh seluruhnya?" ia menanya, itulah pertanyaannya yang pertama.

In Nio mengangguk. Ketika ia ingat kejadian semalam, mukanya menjadi merah, ia melirik dengan likat, lalu ia tersenyum.

Hati Tiong Hia berdebar, ia tergiur bukan kepalang, Tanpa merasa, ia mencium pipi dadu bagaikan kemala dari si anak dara.....

"Ai " si nona berseru seraya dia melengos, Tapi Tiong Hoa menyekal tangan orang. Justeru itu terdengar tindakan kaki dimuka gubuk. Keduanya lantas memisahkan diri. "siapa" Tiong Hoa tanya.

"Cian Loosoe menitahkan aku membawa barang makanan," sahut suara diluar. “Ooh," kata si anak muda, yang terus membuka pintu gubuknya.

Orangnya Sam Hoo mengangguk. lantas ia masuk bersama nenampanya untuk menyajikan isinya diatas meja, itulah nasi serta beberapa rupa sayurnya, juga sepucuk surat.

Anak muda ini heran, Maka semundurnya si pembawa makanan, paling dulu ia s amber surat itu. Begitu ia membaca, ia tertawa dingin, lantas ia melemparkannya ke pembaringan. In Nio melihat si anak muda gusar, ia jemput surat itu, terus ia baca: sejak kita berangkat dari Pek-tee shia,

lantas di sepanjang tepian sungai aku melihat orang, atau orang-orang yang lagak lagunya mencurigai yang terus mengikuti perahu kita. Mungkin mereka itu mengandung sesuatu maksud, maka itu saudara, aku minta kau dan si nona sukalah berlaku waspada.

Surat itu dari sam Hoo, yang membubuhkan tanda tangannya. Habis membaca, nona Cek mengerutkan sepasang alisnya yang lentik,

"Encie In mari kita bersantap" kata si pemuda tertawa. "jangan kita layani itu segala kera Taruh kata mereka benar mau main gila, itu tentunya dilakukan nanti setelah berselang tiga hari"

In Nio mengawasi pemuda itu, ia tertawa manis, terus ia berduduk. untuk mulai bersantap. selama itu mereka tidak berbicara melainkan si nona sering-sering bersenyum atau tertawa perlahan. Biar bagaimana. Tiong Hoa lihat mukanya merah. ia tidak tahu kenapa si nona tertawa. Mungkinkah ia dianggap jenaka karena ia memanggil encie atau karena lagak lagunya sekian lama ini? ia jadi berdiri menjublak.

Si pemudi mengawasi ia tertawa pula, "Tolol, duduklah" katanya, akhirnya, Dengan bingung, Tiong Hoa berduduk "Aku tertawa karena kau terlalu cerdas." kata si nona kemudian. ia bersenyum. "Baru beberapa bulan kita berpisah, kepandaianmu telah maju pesat sekali, beda seperti langit dengan bumi dibanding dengan kepandaian kau semasa pertemuan kita di Khopie-tiam dan Hoei Ho Kauw.

Cuma pengalamanmu yang masih kurang, Giam ong Leng sudah terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lampau, dia sampai mendapat julukan Pak Pit Pouw, dialah seorang jago yang luar biasa, maka itu sebelum tiga hari, tidak nanti dia menitahkan orang menguntit kita, itulah perbuatan sangat merendahkan dirinya.

Apakah kau mau percaya mereka yang sekarang lagi menguntit kita orang-orangnya Giam ong Leng?"

Sebelum menjawab, si anak muda kata dalam hatinya: "Kau terlalu. Tak seharusnya kau menertawai aku secara begini..."

Tapi In Nio melanjuti: "Baru beberapa bulan kau merantau, telah menanam terlalu banyak bibit permusuhan, maka itu siapa tahu jikalau mereka bukannya musuh-musuhmu yang lainnya ? Meski demikian, dengan adanya kau si tolol sebagai pelindungku, maka aku, enciemu, tak usah kuatir apa- apa" Mau atau tidak. pemuda ini tertawa.

"Encie In, jangan kau mengumpak-umpak aku" katanya "sekarang ini kepandaianku belum ada dua atau tiga dari sepuluh kepandaian kau " Pemudi itu tertawa, dia tidak menjawab.

"Kau daharlah " ia bilang, Kemudian ia menanya pengalaman orang sejak perpisahan mereka di Hoei Ho Kauw.

Tiong Hoa menuturkan semua kecuali halnya Lo-sat Kwie Bo. ia masih merahasiakannya sampai nanti - ia pikir - ia memperoleh jalan halus untuk memberitahukannya. Nona Cek girang bukan main.

"Kau mendapatkan pelajarannya Thian Yoe sioe, pantas kau berubah seperti seorang lain " katanya riang.

Nona ini, acuh tak acuh mengambil tiga batang tulang ikan, lalu dengan itu ia mengayun tangan kearah pintu gubuk perahu.

"Aduh" terdengar jeritan diluar gubuk itu, disusul dengan suara tercemplungnya barang berat kepermukaan air.

Tiong Hoa mau lompat keluar, atau si nona didepannya tertawa manis dan kata: "Kau duduk saja. Air sangat deras, apabila kau sampai diluar, bangkainya bangsat itu pasti sudah hanyut lenyap." Pemuda ini kagum, ia memuji nona ini.

"Kau jangan repot memuji aku " kata si nona. "Tahukah kau bahwa musuhmu pun telah datang?" Tiong Hoa heran-

"Mana aku mempunyai musuh??" dia tanya. "Kau lupa pada Mauw san siang Kiam"

"Oh, encie, kau pun tahu mereka telah datang? tanya si pemuda heran, hingga ia mementang lebar matanya. In Nio mengangguk, lantas dia nampak masgul, Dia menghela napas.

"Sejak lenyapnya cangkir kemala Coei In Pwee, maka orang telah dikirim keempat penjuru mencarinya," ia berkata, "setelah kita di Hoei Ho Kauw, karena tempat itu dekat dengan In Kee Po, aku lantas disangka sebagai orang yang merampas cangkir itu dari tangannya Kam- Liang Sam To. Kedua anaknya pemilik In Kee Po bekerja dikota raja sebagai wie-coe, merekalah yang setelah memikir dalam-dalam, mencurigai aku. Pula, selama aku mencari ibuku, telah mendapat banyak musuh..."

Menyebut ibunya, airmata si nona mengembeng, Tiong Hoa melihat itu, ia terharu bukan main, Masih ia tidak berani memberikan keterangannya, ia tidak berkata apa-apa, ia mendengari si nona melanjuti keterangannya:

"Musuh-musuhku sangat membenci aku, mereka bergabung dan memecat aku berulang-ulang, syukur aku selalu dapat melayani mereka dengan baik, saban-saban aku dapat meloloskan diri, Diantara mereka terhitung juga Mauw San Siang Kiam, Ketika aku tiba di Gie-ciang, disana aku mengunjungi seorang bibiku, bibi bukan langsung, Diantara barang-barang yang dibawa Co Peng Hoei ada sepasang burung wanyoh kemala, itulah pusaka pamanku itu, yang dirampas oleh tiehoe dari Gieciang.

Karena urusan itu, pamanku dijebloskan dalam penjara tanpa bersalah, Aku lantas berdaya, Aku menggunai akal menolongi pamanku itu lolos dari penjara, Lalu aku dapat kenyataan, wanyoh kemala itu telah dikirim tiehoe untuk dipersembahkan kepada congtok dari Soecoan dan yang membawanya yalah Kim KauwBeng ciangpiauw Kiok. Dengan lantas aku pergi menyusul, Dalam perjalanan ini aku dirintangi Maw San siang Kiam serta beberapa jago dari istana, Karena itu aku terlambat dan kena didului itu dua orang bertopeng" ia tertawa hingga kata- katanya terhenti sejenak. Lalu ia mengakhiri:

"Maka tahulah kau duduknya hal."

Tiong Hoa mengangguk, terus ia bangun berdiri, ia pegang tangan nona itu, buat di ajak keluar dari gubuk perahu.

Sam Hoo dikepala perahu saban-saban melihat kekiri dan kanan, ke kedua tepian, Melihat mereka berdua, juragan itu berpura-pura bukan sebagai sahabat kekal, dia cuma mengangguk dan menyapa satu kali, lantas dia tunduk mengawasi permukaan air.

Pemuda itu tahu sam Hoo lagi memperhatikan sesuatu, ia tak menghiraukan sikap tawar itu.

Memangnya aliran air disitu tetap berbahaya, sedang kedua tepian merupakan rimba yang lebat, sangat merdeka umpama orang jahat bersembunyi disitu.

Tiba-tiba saja dari dalam rimba terdengar bunyi panah bersuara, lalu jemparingnya meleset kearah sepasang muda-mudi diatas perahu itu.

Tiong Hoa memperlihatkan kepandaian-nya. Dengan gesit dan jitu ia mengulur sebelah tangannya menangkap anak panah itu, segera ternyata senjata itu dipakai menjepit sehelai kertas yang ada ditulisannya, yang ditulis dengan arang bunyinya: Jiewie, silahkan kamu mendarat. Disebelah kiri sini, tak lima lie jauhnya, ada sebuah kuil. Disana kami menantikan kamu, inilah jalan untuk tidak mencelakai mereka yang tidak bersangkut paut" Surat itu tanpa tanda tangan, hanya di tandai dengan lukisan gambar sepasang pedang kecil.

"Adik Hoa, mari kita menyambut undangan mereka." berkata In Nio yang turut membaca.

"Mari kita lihat mereka hendak main gila apa"

Tiong Hoa setuju maka lantas ia masuk kedala m perahu guna mengambil barangnya setelah keluar pula, ia taat pada CianSam Hoo: "Sampai kita bertemu pula" Tak menanti lagi bersama si nona ia lompat kedarat kesebelah kiri.

Sam Hoo kagum, ia menyaksikan ilmu ringan tubuh Teng-peng-touw-soei atau Menyeberang sungai menginjak kupu-kupu yang mahir, hingga tubuh mereka sangat lincah.

Tiba di darat, Tiong Hoa mengajak In Nio terus memasuki rimba, Baru belasan tambak jauhnya mendadak mereka melihat sesosok tubuh keluar dari tempat yang gelap.

Dialah seorang tua dengan tubuh kekar segar, kumis jenggotnya yang putih panjang sampai d id ada dan tangannya menCekal sebatang tombak, Dia tertawa berkakakan sambil berkata nyaring: "Hu, bocah perempuan, lekas kau serahkan cangkir kemala didalam sakumu itu Aku si orang tua nanti membantui kau meloloskan diri dari kepungan kaki tangan istana "

Tiong Hoa maju setindak.

"Kau siapakah, lootiang?" ia tanya dengan suara dalam.

orang tua itu menatap si anak muda, sikapnya sangat memandang tak mata, Dia tertawa pula, nadanya dingin. "Nama aku si orang tua berada pada tombakku ini " sahutnya jumawa. "Namaku si orang tua kau tidak tahu, mana dapat kau masuk dalam dunia Kang ouw." Alisnya Tiong Hoa berbangkit tajam, dia mengawasi orang tua terkebur itu.

Cek In Nio sebaliknya tertawa geli.

"Adik Hoa," ia berkata, "orang ini yalah Kiam-Hoen Kwan-coe Bek Leng yang berjuluk Chio sin si Malaikat Tombak yang namanya menggetarkan seluruh see-coan Ah, kau benar-benar mempunyai maru, tapi tak mengenal gunung Tay san " Itulah kata-kata mengejek berbareng berguyon, Matanya Tiong Hoa lantas bersinar.

Bek Peng dapat melihat sinarmata itu, dia terperanjat "Ah, siapa sangka bocah ini begini liehay tenaga- dalamnya " pikirnya, "si budak perempuan saja sudah sukar dilayani, sekarang ada bocah ini jangan-jangan

usahaku akan merupakan bayangan belaka "

Tapi dia gusar untuk kata-kata si nona. Maka dia kata bengis: "Baru-baru ini aku biarkan kau lolos dari ujung tombakku itu waktu aku si orang tua ada bersama kawanan kaki tangan istana tapi aku tak bekerja sama dengan mereka itu Kenapa sekarang kau berani menghina begini padaku?"

In Nio tidak gusar, ia tetap tertawa, "Dulu hari itu nonamu mempunyai urusan penting, tak sempat aku melayani kau " sahutnya. " itulah karena aku terburu- buru, bukannya sebab aku takut padamu ilmu tombak kau yang dinamakan Tay Yan chiet haat dapat dipakai untuk mengaguli diri di see-coan tetapi di mata nonamu tak ada artinya sama sekali " "Ooh, budak perempuan " Bek Peng ber-seru, "Bagaimana berani kau mainkan lidah mu didepan aku si orang tua Kau lihatlah" Dia menggerak tombaknya, menikam ke dada si nona.

Cek In Nio bergerak gesit, ia mengegos tubuh kekiri, sebelah tangannya diangkat, untuk dipakai menggempur batang tombak. yang ujungnya lewat tanpa mampir disasarannya, setelah lukanya disembuhkan Tiong Hoa, ia menjadi bertambah gesit dan kuat berkat khasiatnya

buahpiepa. Maka itu pukulan- nya. Cit Yang sin-ciang, menjadi berlipat ganda hebat.

Bek Peng terperanjat, tombaknya mental hingga ia mesti menancap kuda-kudanva untuk mempertahankan diri, Tapi ia tidak takut, sebaliknya, ia jadi bertambah gusar, ia penasaran sekali, Dengan lantas ia mengulangi serangannya secara gesit.

Si nona berlaku sangat sebat, Kembali ia berkelit, sambil berkelit itu, tangan kanannya menyampokpula, sekarang ia tidak hanya menyampok, berbareng dengan itu tangan kirinya dikasi bekerja juga, Dengan jurus "Coan in po goat," atau, "Menembusi mega memecah rembulan," tangan kirinya itu menyerang jalan darah kinceng dari si jago See-coan.

Bek Peng dapat melihat serangan itu, ia sempat menangkis, akan tetapi tempo tangan mereka beradu buat kesekian kalinya ia di bikin kaget pula, ia merasakan gempuran keras, sampai darahnya seperti mandek. tubuhnya mundur terhuyung mundur beberapa tindak "Benar dia hebat " pikirnya, Lantas ia maju, untuk menyerang pula. Kali ini ia mendesak. dengan ilmu silat pedang nya yang ia banggakan.

In Nio main berkelit, maka tampak tubuh nya berkelebatan diantara ujung tombak lawannya. Selagi si jago tua mendongkol ia saban-saban mengasi dengar tertawanya yang nyaring, ia berkelahi seperti itu hari ia melayani Ceng In Toojin di Hoei Ho Kauw.

Bek Peng heran dan kaget, ia mengenali ilmu silat si nona, yalah Thian Mo Loan Boet atau Hantu Langit menari kacau, sekarang ia insaf tidak saja tombaknya tidak berdaya ia sendiri terancam bahaya setiap detik, ia tahu, jikalau ia tidak lekas mundur ia bakal berkepala pusing dan bermata berkunang, kunang. Tanpa bersangsi pula ia menjejak tanah, mencelat mundur hingga dua tombak jauhnya.

Tapi baru ia menginjak tanah, atau ia merasa ada serangan yang menyusul. Lagi sekali ia berlompat pula. Tatkala kemudian ia menaruh kaki pula ia melihat si anak muda berdiri didepannya sambil bersenyum.

Dengan sikapnya yang tawar Tiong Hoa tertawa dan kata: " Kaulah seorang kenamaan. Kenapa kau berulang- ulang memusuhkan seorang nona? sungguh aku tuan muda mu tak senang melihatnya Mulanya aku menyangka kau omong besar tanpa memalukan dirimu sendiri, aku mengira kau benar-benar lihai, sekarang berbukti kau hanya sebegini saja"

Bek Peng sangat mendongkol dan gusar Kalah dari si nona tidak apa. ia mengenai Cit Yang sin ciang dan Thian Mo Loan Boet, itulah ilmu silatnya tocoe, atau pemilik pulau, dari pulau Lee Coe To dilaut Poet-hay, yang harus dimalui, ia kenal ke dua jurus itu sebab dulu hari ia menyaksikan sendiri tocoe tersebut menempur pendeta lihai dari see Hek. Tanah Barat, serta dua belas imam Coan cin Kauw, sekarang ia pun belum terkalahkan si nona. Maka ia membentak si anak muda:

"Apakah kau juga muridnya tocoe dari Lee Coe To ? Aku pernah menerima budi to-coe itu, tidak mau aku melayani kau jangan kau terlalu jumawa "

In Nio maju kedepanjago tua itu.

"Kau tahu nonamu murid dari Lee Coe To," ia kata, " kau juga pernah menerima budi guruku, kenapa kau menurunkan tangan jahat hendak membikin celaka aku

?"

Bek Peng tertawa.

"Aku si orang tua cuma menghendaki cangkir kemala " dia kata nyaring, jikalau aku menghendaki jiwa kamu, pastilah siang-siang kamu sudah mampus ditanganku."

Tiong Hoa membalas dengan tertawa dingin. "Belum tentu " katanya.

Bek Peng menjadi terpaksa, ia mengerti muda-mudi itu liehay, kalau ia tidak mundur teratur ia bisa susah, ia lantas menyerang pula dengan hebat.

Tiong Hoa berlaku tenang tapi gesit, Begitu tombak sampai, ia berkelit, sedang sebelah tangannya diangkat, guna menangkap. Kelihatannya ia menggeraki tangan secara wajar, tak tahunya cepat bukan main.

Bek Peng kaget, ia merasakan gempuran keras ketika tombaknya kena tercekal si anak muda, ia lantas mengerahkan tenaganya. pedangnya itu ditolakkan kedepan dengan tenaga sepenuhnya, ia ingin membikin tangan pemuda itu tertusuk tembus.

Tapi ia tidak mencapai maksudnya, sebaliknya telapakan tangan orang tertembuskan tombak. tombaknya sendiri yang tak berkutik tak bergeming. seperti nancap ditangan nya pemuda itu Maka seketika juga muka nya menjadi merah, matanya mendelong mengawasi musuh. Tiong Hoa juga mengawasi hanya sambil bersenyum.

Tatkala jago tua ini melirik In Nio, sinona bersikap sabar seperti si pemuda, ia menjadi malu dan mendongkol berlimpah-limpah.

“Jikalau aku tidak keluarkan kepandaian ku yang terakhir, pastilah hari ini namaku runtuh." pikirnya, Maka itu dalam nekadnya, ia mengerahkan tenaga dalamnya, untuk mempergunakan Hiat Kouw Kang, semacam ilmu beracun yang ia dapatkan dari seorang Biauw, ia pernah menolongi orang Biauw itu, sebagai pembalasan budi, ia diajari ilmu itu hanya ia dipesan, kecuali jiwanya terancam tak dapat ia pakai itu, siapa terkena ilmunya itu dalam tempo setengah jam dia bakal mati dengan tubuhnya lumer menjadi cair, sedang kesehatannya sendiri akan terganggu selama setengah tahun.

Seumurnya baru pernah tiga kali ia menggunakan itu, guna memegang nama baiknya, Lantaran itu seluruh tubuhnya pernah menjadi lemas dan lemah hingga ia merasa sangat tersiksa, hingga selanjutnya ia jeri menggunakannya pula, Tapi sekarang ia terdesak, Begitu ia merasa napasnya ia mengerahkan tenaganya, mendesak, tubuhnya bagaikan kosong, mukanya pucat sekali keringatnya mengalir deras, matanya terbuka ketakutan

"Bek Peng, kau mempercepat kematianmu" kata anak muda ini. "Aku telah melihatnya sejak semula bertemu denganmu, sebelum kau memegat kami, lebih dulu ada orang yang telah menotokmu dengan tangan yang dingin sebenarnya kau masih dapat untuk hidup tiga bulan, tetapi sekarang karena kau mengerahkan tenaga dalammu, jiwamu tinggal hitung detik saja "

Bek Peng kaget seperti dihajar guntur, ia berdiri menjublak dengan tombaknya terlepas sendiri dari tangannya.

"Tuan, apa katamu ?" ia tanya setelah ia sadar. ia kaget, ia merasa seluruh tubuh nya menjadi tidak keruan.

"Kau telah tertotok tangan dingin " Tiong Hoa menjawab mengulangi. "Mustahil sampai pada saat ini kau masih belum tahu siapa sudah menotokmu ?"

Bek Peng meringis, tubuhnya bergemetar, Keringatnya mengalir bagaikan hujan, Lantas tubuhnya itu

bergoyang-goyang. Disaat itu barulah ia ingat, maka romannya lantas berubah menjadi bengis sekali.

"Liong Hoei Giok. Kurang ajar kau " dia berteriak sambil menoleh kebelakang, "Akan aku adu jiwaku dengan jiwamu "

Dari belakang itu, dari dalam rimba, lantas terdengar jawaban yang berupa suara tertawa nyaring dan lama yang keras bagaikan menggetarkan rimba.

ooooo BAB 21 TIONG HOA terperanjat mendengar disebutnya nama Liong Hoei Glok itu. ia tahu orang yalah pemimpin siewie atau pahlawannya raja. Dia itu telah berumur lebih kurang enam puluh tahun, ilmu silatnya kesohor lihai, otaknya cerdas, dia pintar dan licin melebihi kebanyakan orang lain.

Tak tahu dia murid partai mana tapi sudah ketahuan, tangannya dapat meremas batu hancur lebur. Dua kali ia pernah menemui orang she Liong itu di Ta-mo-ciang, maka ia kuatir ia nanti dikenali, ia tak usah takut tetapi itulah tak perlu.."

Habis tertawa yang mengguntur itu, maka terdengarlah kata-kata ini: "Bek Peng, kau sangat tak tahu diri. Kemala Coei In Pwee milik istana, cara bagaimana kau berani mengarah itu. Adalah gara-gara kau maka berulang kali budak perempuan itu selalu lolos dari tanganku Aku si orang she Llong, aku memandang kau sebagai sesama orang Kang ouw, tetapi sekarang ini, tak dapat aku memandangnya terlebih jauh Kali ini walaupun dewa menolong kau, kau tak dapat di selamatkan lagi"

Ketika itu Bek Peng sudah roboh, tubuh nya bergulingan ditanah, meski begitu, dia menguati hati untuk tidak menjerit kesakitan atau merintih.

Dari dalam rimba terdengnr pula suara tadi: "Lie Kongcoe, sudah lama kita ber-pisah, apakah kau baik saja? oleh karena urusan kau, ayahmu telah menderita sekali, ia mesti mengganti banyak. Kau masih muda, kejahatanmu berlimpah Kau masih muda, mengapa kau berbuat demikian rupa? Toh kejahatan itu bukannya kejahatan tak berampun. Kau tahu. aku si orang tua berkesan baik terhadapmu."

Tiong Hoa terperanjat ia tidak menangka bahwa ia sudah lantas dikenali. Tapi ia tidak takut, Maka ia menyambut suara orang dengan tertawanya. "Liong Tayhiap. kau banyak baik?"

"Aku baik,” menjawab Liong Hoei Giok dari dalam rimba. "Lie Kongcae, aku lihat nona itu ada satu pasangan setimpal untukmu, baiklah kau bujuki dia supaya dia meletaki cangkir dintas tanah, lalu kamu berdua pergi meninggalkannya."

Tiong Hoa menoleh kepada In Nio, ia bersenyum. "Liong Tayjin, aku minta sukalah kau mengerti

duduknya hal," kata ia. "Nona ini merampas cangkir kemala untuk menolong mengobati ibunya yang lagi sakit karena itu tak dapat ia menyerahkannya sekarang, Aku tahu tayjin berhati mula, apakah tak dapat tayjin menunggu sampai lain hari sampai ibunya si nona sudah sembuh, baru si nona nanti pergi sendiri ke Kota raja untuk membayar pulang ke istana?"

Liong Hoei Giok tertawa.

"Lie Kongcoe, kau benar seorang muda yang tak mengerti apa-apa" kata ia.

"Aku si orang tua tengah menerima perintah, aku ditugaskan mencari cangkir itu, mana dapat aku menanti sampai sekian lama? Mana bisa aku mencampuri tugasku dengan rasa prikemanusiaan? "

“Jikalau begitu," kata Tiong Hoa, suaranya dalam, "nanti aku berdamai dulu dengan si nona, Kami berjanji akan bertemu pula di kuil kecil, Apakah tayjin suka memberi ketika?" "Untuk kamu berdamai, itulah dapat. “Baiklah, aku si orang tua menantikan kamu di depan, jangan kamu memikir ingin mengangkat kaki, tempat ini dan sekitarnya sudah terjaga kuat mirip jaring langit dan jala bumi. Umpama kata kamu memikir yang tidak-tidak jangan sekali kamu me ngatakan aku keterlaluan"

Tiong Hoa melihat Bek Peng telah habis napasnya ia terharu. ia lantas lari menghampirkan si nona.

Cek ln Nio tidak menghiraukan keadaan sulit, ia bersenyum.

Si pemuda mencekal tangan si pemudi. "Menurut aku, baiklah kita jangan berkeras." pemuda itu berbisik, "Baiklah kita menyingkir untuk sementara."

"Mudah saja kau bicara" si pemudi mencibir, "Aku tahu keadaan sulit, tetapi tak dapat kita menghindarkannya.

Mau atau tidak, kita mesti turun tangan, atau sukar kita menyingkir dari sini." si pemuda menggeleng kepala.

Jangan kau kuatir, kau serahkan urusan padaku." katanya, ia lantas mengumpulkan tenaga tangannya, ketika ia memutar tubuh nya, ia menyampok dengan keras, Maka hebatlah serangannya itu, itulah ilmu Ie Hoa Ciap Pok ajarannya Ay sian si Dewa Katai dari see Hek. wilayah Barat, yang menggabungi dua hawa Im dan Yang.

Menyusul itu banyak pohon yang roboh, hingga daunnya beterbangan dan suaranya sangat berisik, Hingga rimba itu seperti terhajar gempa, Diantara itu pun samar-samar terdengar jeritan-jeritan kesakitan-

Cek In Nio melengak menyaksikan kepandaian si pemuda, inilah ia tidak sangka sekali. Luar biasa kemajuannya Tiong Hoa. ia mau menanyakan pemuda itu, atau mendadak orang menCekal lengannya, untuk ditarik sambil Tiong Hoa menyerukan. "Mari."

In Nio merasakan tubuhnya terangkat tinggi, melesat dedepan.

Liong Hoei Giok didalam rimba bersama dua jago istana yang menjadi kawannya, bersama pula Mauw san siang Kiam, menjadi berdiri melongoh, Mulanya mereka terkejut habis mereka menghela napas.

"Inilah kehendak alam, yang tak dapat disangkal..." berkata ia. "Pasti kejadian ini bukan perbuatan manusia, karena tak mungkin orang merobohkan pohon begini banyak, Mari kita pergi periksa reruntuk pepohonan, guna mencari mayatnya sepasang muda mudi itu. Tubuh si nona mesti digeladah, guna mendapatkan cangkir kemala."

"Menurut penglihatan pintoo, kejadian ini mesti buatan manusia," berkata Ceng In Too jin. " Gempa bumi tak dapat merusak secara begini, cuma berbatas pada itu pohon-pohon saja, Liong Tayjin, mestinya muda mudi itu sudah lari pergi. "

Liong Hoei Giok tertawa dingin.

"Kenapa pandangannya Mauw san siang Kiam secupat ini?" kata dia. "Bukankah kita manusia bertubuh terdiri dari darah dan daging ? Kalau tootiang tidak percaya, silahkan kau coba menyerang, berapa banyak pohon kau dapat hajar roboh. Asal tootiang dapat meruntuhkan sepuluh pohon saja, aku si orang she Liong nanti berguru pada mu, Bukankah diantara orang-orang ku pun tak nampak yang kembali kemari? inilah bumi gempa" Mukanya si imam jadi merah tapi ia masih membantah "Aku percaya pasti inilah bukan gempa" katanya. Hoei Giok menatap tajam imam dihadapan nya itu.

"Tootiang, silahkan kau mencoba " kata ia. "kalau nanti kita pulang kekota raja, sukalah tootiang yang menjadi saksi, supaya aku si orang she Liong taklah dipersalahkan sudah mendusta "

Ceng In Toojin tetap penasaran, Maka ia lantas lari menghampirkan pohon-Hoei Giok lari juga mengikuti, diturut yang lainnya.

Dengan kedua tangannya Ceng In lantas menyerang, sebuah pohon lantas roboh.

Maka ia mengulangi menyerang sebuah pohon lainnya. ia tetap menggunai dua tangan seperti semula. Kembali sebuah pohon rebah. Habis itu dadanya lantas berombak, ia menggunai tenaga lewat batas, tenaganya habis.

Ketika ia paksa menyerang buat ketiga kalinya, pohon cuma bergoyang tak patah atau roboh, cuma daunnya rontok. la berdiri diam, ia bertahan diri untuk menyalurkan napasnya. "Bagaimana tootiang?" ia tanya, Keirukah aku?"

Ceng In mendelong, ia mengawasi pohon-pohon roboh itu. ia tetap percaya tenaga orang dapat merobohkan puluhan pohon- Toh ia tidak dapat memberi bukti.

"Sudahlah," kata Hoei Giok, "Tak dapat kita ayal- ayalan- Mari kita periksa robohan pohon ini, mencari mayatnya muda-mudi itu guna mendapatkan cangkir kemala, ia menoleh kepada seorang kawannya yang mengenakan seragam, ia kata: “Cie Tay-jin. tolong kau lekas pergi kepada tiekoan dari In-yang, supaya dia mengirim pekerja untuk membereskan pohon-pohon itu, aku si orang tua akan menantikan kau."

Tayjin itu menurut, ia lantas berialu dengan cepat.

Hoei Giok mengangkat kepala memandang langit dimana awan putih terbang melayang-layang, ia membungkam, pikirannya bekerja, ia tetap heran dan curiga.

ooo

Pada suatu hari di sungai Kee Leng terlihat sebuah perahu kecil yang diperlengkapi dengan layar, kecuali si awak perahu dengan gala panjang ditangannya, penumpangnya sepasang muda-mudi yang mengambil tempat dibagian tengah kendaraan air itu.

Si pemuda, dengan baju panjang biru, nampak tampan sekali, sedang si pemudi, yang berpakaian huau, cantik hingga umpama kata, memandang dia, ikan selain dan meliwis jatuh"

Muda-mudi itu berpegang tangan, mata mereka memandang jauh ketengah sungai dimana ada terdapat banyak layar, dan ke-tepian, mengawasi pemandangan gunung-gunung. Saking menarik hati, pemuda itu ber- senandung.

"Ah" si nona tertawa, matanya melirik, "Kau masih muda, adik Hoa, mengapa kau memperdengarkan nada berduka?"

Memang dengan senandung itu, pemuda itu mendukai peruntungannya sendiri. Pemuda ini menCekal tangan orang, ia bersenyum.

"Encie In, tidakkah hidupku ini menderita?" tanya ia. "Aku masih mesti merantau, entah sampai kapan " Lalu ia menambahkan senandungnya: "semoga manusia hidup kekal, untuk tinggal bersama..."

"Cis" si nona berludah mukanya merah. Tapi ia bersenyum.

Merekalah Tiong Hoa dan In Nio, yang telah berhasil menyingkir dari hadapan Liong Hoei Giok. setelah melintasi Coan Kang. mereka menuju kehulu sungai Kee Leng. Mereka sengaja membeli perahu itu perahu kecil, untuk pesiar. Mereka berhanyut ke- hilir, Mulanya mereka naik perahu di Kie Kang, Dibagian ini air jernih dan pemandangannya dikiri dan kanan permai. Air deras tetapi tak bahaya, Ketika kemudian mereka tiba ditempat tujuan, Kee Leng, mereka mendarat langsung mereka berjalan kaki memasuki kota.

Paling dulu mereka menangsalperut, setelah itu mereka membeli dua ekor kuda, buat dipakai balap sampai dikota Khie-kang diperbatasan dua propinsi soe- coan dan Koei-cioe. Waktu itu sudah magrib, Maka mereka lebih dulu mencari rumah penginapan.

Tiong Hoa memikir pergi ke Hek Liong Thoa di Koen- beng. itu artinya ia mau menuju kepropinsi Koei Cioe, guna menyingkir dari gangguan musuh, ia tidak menyangka, orang-orangnya Giam ong Leng tersebar luas dimana- mana.

selagi memasuki rumah penginapan mata Tiong Hoa yang tajam melihat air muka mencurigai dari pemilik hotel, yang matanya bersinar. Maka ia pikir: "Mungkinkah pemilik ini pun mata-matanya Giam ong Leng?" Akan tetapi ia bernyali besar. Bersama In Nio ia masuk terus kedalam kamar, sikapnya biasa, ia minta jongos lekas menyajikan barang hidangan berikut araknya. 

Seberlalunya si jongos, Tiong Hoa berbisik pada Nona Cek. lantas ia lompat keluar dari jendela, ia pergi ke jendela diluar kamar pemilik hotel, untuk memasang kuping sambil mengintai kedalam. Dengan bantuan ludahnya, ia memecah kertas pelapis jendela, Didalam situ kedapatan jongos tadi bersama majikannya.

"Apakah perlu arak dan barang makanan dicampuri bong-han-yoh?" s i jongos tanya. "Bong-han-yoh." yalah obat pulas untuk membikin orang lupa daratan.

"Tak usah." sahut simajikan. " Warta terbang dari Kee Leng membilang sepasang tetamu kita ini menjadi lawan dari dua tong kee kita yang muda. Nona memesan kita jangan sembrono, kita cuma diperintah mengawasi gerak-gerik mereka. Menentang titah berarti hukuman mati bagi kita..."

"Rupanya mereka ini bentrok dengan nona kita itu?" “Entahlah, Yang jelas yalah nona kita mencintai si

pemuda, Buat urusan itu, nona telah bentrok sama tuan muda."

Kuasa hotel itu bicara perlahan sekali, ia menambahkan: "Pemuda ini benar-benar tampan, pantas jikalau nona kita yang biasanya bertabiat keras dan angkuh mencintainya, sekalipun dia ini telah ada kawan- wanitanya."

Kata-kata itu disusul dengan elahan napas.

"Nah pergilah kau lekas sediakan barang makanan untuk mereka" kata si kuasa akhirnya, "jangan kau sembarang bergerak, segala apa mesti menuruti pesan nona kita. Yang lainnya kita lihat saja belakangan." Jongos itu mengangguk, lantas ia berlalu. Tiong Hoa heran hingga ia melengah ia ingat kejadian dikota Pek-tek dimana diatas kota ia telah membuka topeng si nona hingga ia melihat sebuah muka yang cantik dengan dua baris gigi putih dan rapih.

"Kalau benar dialah si nona, itulah kekeliruanku," pikirnya.

Tiong Hoa tidak lantas pergi, ia mendengar tindakan kaki, lalu seorang masuk ke dalam kamar kuasa hotel itu, Ketika ia mengintai pula ia melihat seorang usia pertengahan dengan baju hitam, kulit mukanya merah, alisnya gomplok. Dia masuk untuk lantas berjabatan tangan dengan si kuasa.

"Tan Hio-coe, sudah hampir satu tahun kita tak bertemu," kata si kuasa, "Apakah sekarang hiocoe datang ke Khie-kang ini karena pesan nona kita guna mengawasi kedua tetamu kami?"

Orang itu mengangguk.

"Sebagian untuk itu," sahutnya, "Nona memesan untuk berlaku sabar, Yang penting yalah urusan pertandingan diatas panggung Eng Hiong Loei besok yang diadakan oleh Kin Lam sam Pa di Hoa Kee Po, siong-kam. Tong kee kita telah turut diundang datang."

"Tentang itu aku si orang she Cie mengetahui," kata tuan rumah. "Tahun dulu tongkoe kita pernah mengajukan permintaan kepada Kin Lam sam, mereka menampik. Penolakan masih tidak apa, tetapi terlalu andai kata mereka berani mengganggu Cit seng Boen, sebenarnya selama yang belakangan ini, perbuatan sam Pa busuk. Apakah tong kee bersedia buat datang?"

"Tongkoe sendiri tidak. tong kee cuma mengirim tuan muda dan nona," sahut si hio-coe she Tan itu, "Beberapa saudara lain pun mendapat tugas rahasia, Tong kee ingin menumpas Kin Lam sam Pa, supaya dengan begitu orang banyak sekalian dapat diiolongi dari gangguan tiga jago yang jahat itu."

Kemudian dua orang itu bicara sambil keluar dari kamar.

Tiong Hoa lekas kembali kekamarnya. Tak lama, jongos menyusul bersama makanan, semundurnya jongos itu, ia berbisik pada in Nio menuturkan apa yang ia dengar barusan. In Nio melirik. lalu la bersenyum.

"Nona itu memang cantik dan manis sekali kata" Melihat dia, hatiku pun tenang. benarkah kau tidak tergiur."

Mukanya Tiong Hoa menjadi merah, ia likat. "Encie, kau menggoda aku katanya."

Si nona justeru tertawa.

"Ya, hati laki-laki" katanya, "Mustahil encimu tak dapat melihat Ketika itu kau dilauwteng tembok kota, kau membuka topeng si nona, aku melihatnya terang dan jelas Apakah maksudmu itu, tak usahlah aku terangkan lagi"

Tiong Hoa membanting kaki. "Ah, encie kau terlalu" katanya gelisah,

gelisah tak keruan, Mukanya pun tambah merah, lagaknya makin likat.

Di depan si nona, ia membantah pun percuma. "Adik Hoa ini benar polos," pikir sinona, "Menyukai

kecantikan, itulah sifat laki-laki sekalipun Lioe-hee Hoei, dimatanya sebenar nya bukan tak ada si cantik manis....

Baik aku tidak menggoda terus "

Maka ia memutar soal, ia kata: "Kin- lam sam Pa jahat sekali, baik kita pun pergi siong-kam, untuk membantu menindasnya, Apakah adik ku akur ?"

Tiong Hoa mengangguk. "Baik" sahutnya.

Lantas mereka bersantap. Kemudian mereka beristirahat.

Besoknya pagi, diwaktu fajar, keduanya sudah lantas menuju ke siong-kam. Mereka masing-masing memakai topeng, menelad si sepasang orang berkedok. hingga yang terlihat hanya biji matanya.

Keadaan diperjalanan di soecoan selatan dan Koeicioe utara beda daripada keadaan di Utara Tionggoan, disini sepasang muda mudi ini mesti melintasi jalanan pegunungan yang sukar dan banyak tikungannya. Angin pun bertiup terus menerus.

Begitu tiba dalam bilangan siong kang, lantas terlihat orang-orang Rimba persilatan yang berlalulintas, Mereka tidak menghiraukannya, mereka menuju langsung ke- dusun Hoa Kee Po, bahkan terus masuk ke dalamnya.

Disana ada disediakan rumah penginapan untuk para tetamu, Mereka mendaftarkan diri dengan nama palsu.

Hoa Kee Po dibangun didalam lembah Cay Hee Nia, disitu terdapat banyak rumah berderet-deret, Dusun dikitari kali kecil, airnya dalam tak lebih lima kaki tetapi deras. Didasar kali banyak batunya rupa-rupa macam, yang tajam-tajam. hingga sukar menaruh kaki disana. Diluar kali terdapat rimba dengan tanjakannya yang tinggi dan curam.

Eng Hiong Lau, atau panggung loeitay " orang gagah." peranti bertanding, diberdirikan ditengah-tengah sebuah pekarangan lebar,jam pertandingan sebentar tengah hari, ketika itu masih pagi, panggung itu sendiri menjadi sunyi dari manusia. Cuma ada delapan pengemis, tua dan muda, yang bercokol dibawah panggung, Mereka tidak berbicara, hanya mencari kutu...

Tiong Hoa berdua berjalan-jalan disekitar panggung.

Karena mereka memakai topeng, orang-orang yang melihatnya heran, semua pada mengawasi.

In Nio berkata perlahan pada kawannya: "Delapan pengemis itu,menjadi anggauta-anggauta dari Thian-Lam Kay Pang dan itu yang tua dan kurus, yang duduk ditengah, adalah pengemis paling dimulia. Tetapi dia jujur, Rupanya mereka itu bentrok dengan Kin-Lam sam Pa." Tiong Hoa mengangguk.

"Sebenarnya orang-orang macam apa Kin-Lam sam Pa itu maka mereka berani menentang Giam ong Leng?" tanya ia. si nona bersenyum.

"Ketiga jago itu menjadi adik-adik seperguruan ketua Kiong lay Pay." ia memberi keterangan " Kiong Lay Pay biasa mengenalkan murid murid yang liehay, demikian ketiga jago ini, hingga mereka mirip dengan suatu guru besar."

"Begitu..." kata si anak muda, sambil mereka berjalan terus.

Mendadak Tiong Hoa melihat seorang lewat cepat dan dari hidung dia itu terdengar suara dingin. si anak muda mengenali Thian Hong Cinjin yang ia pernah lihat di Kwie In Chung. Dengan sepasang pedangnya di punggung, imam itu lewat didepan mereka dengan jubahnya berkibaran, ia benci imam itu, hampir saja ia mengulur tangan menyambarnya, ia ingat peristiwa si imam membokong Koay Bin Jin-Him Song Kie.

Thian Hong Cinjin bercuriga melihat sepasang muda- mudi itu, maka juga sembari lewat ia perdengarkan suara dihidungnya itu. ia melihat sekelebatan tapi melihatnya dengan tajam, terus ia kasi dengar tertawa mengejek.

Dari situ ia menuju langsung ke dalam rumah besar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar