Bujukan Gambar Lukisan Jilid 03

Jilid 3 : Sarang penjahat, Benteng Yan-kee-poo

Mata Tiong Hoa bercahaya, ia mendapat kenyataan orang elok tak kalah dengan Cek In Nio. Tanpa merasa, ia mengawasi nona itu.

"Toako, ayah mencari kau." berkata si nona setelah dia mendekati Yan Hong. "Aku tahu kau tentu mencuri minum di sini. Lekaslah, nanti ayah gusar."

"Aku tahu." berkata anak muda yeng dipanggil kakak itu. "Temponya masih belum tiba, Adikku, mari aku ajar kau kenal dengan saudara Lie ini..."

Nona itu mengerutkan alis melihat roman dan pakaiannya si anak muda demikian kotor, Pikirnya. "Kapannya toako bersahabat dengan orang jorok ini? Dan dia memperkenalkan aku. sungguh menyebalkan”

Toh ia mengangguk. secara acuh tak acuh, habis mana ia memutar tubuhnya, buat pergi pula.

"Adikku ini biasa terlalu dimanjakan ibuku." kata Yan Hong tertawa pada sahabatnya.

"Dia tidak mengerti aturan pergaulan, Aku minta sukalah saudara Lie maafkan dia."

Lie Tiong Hoa bersenyum, Dia berbangkit “Jikalau kau ada urusan, saudara Yan, silahkan-"

katanya, "Aku pun mau pergi ke rumah penginapan, untuk mandi dan salin pakaian, jikalau ada jodohnya harap lain kali kita bertemu pula."

Yan Hong berbangkit.

"Adikku itu biasa mengucapkan kata-kata sembarangan saja."

"ia bilang, tetapi sebenarnya hatinya tidak memikian, saudara Lie, baik aku turut kau kerumah penginapan, supaya sekalian aku mengetahui kau menumpang di mana agar besok dapat aku mengunjungi kau." 

Tiong Hoa tidak dapat menampik, maka bersama- sama mereka turun dari Cip Poo Lauw, untuk pergi ke sebuah losmen didepan rumah makan itu.

Begitu masuk kedalam losmen- Tiong Hoa menyuruh pelayan membelikan ia seperangkat pakaian yang cocok dengan potongan tubuhnya, ia sendiri pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan membereskan rambutnya.

Yan Hong melihat masih ada tempo untuknya, ia tidak mau pergi, ia menunggu.

Cie Tiong membiarkan sahabat itu menantikan sampai sebentar kemudian ia muncul sesudah mandi dan dandan. Hampir Yan Hong tak mempercayai matanya, yang terus dia pentang lebar, untuk dipakai menatap. sesudah mandi dan dandan, ia mendapatkan sahabat she Lie itu seperti salin rupa, orang tampan sekali.

"Ah, tak ku sangka kau begini tampan, saudara Lie" katanya kagum. " Hampir aku tidak

mengenali kau" ia lantas melongok ke luar jendela, untuk melihat sinar rembulan terus ia menambahkan. "saudara tentu letih, silahkan beristirahat, besok pagi aku akan datang pula," ia memberi hormat, lantas ia pergi.

Cie Tiong tidak menahan, ia mengantar sampai di luar, baru ia kembali ke dalam, ia merebahkan diri dengan pikirannya melayang-layang.

Kamar itu diterangi lampu kecil, sedang di luar, si Puteri Malam terang bercahaya indah, Lampu itu mirip kunang-kunang yang berkelak- kelik,

Cie Tiong memikirkan pengalamannya beberapa hari itu, la merasa aneh, ia heran, ia pun berduka, menyesal, bingung. Kemudian berbayang wajah yang cantik dari Cek In Nio, lalu disusul dengan wajahnya si nona adiknya Yan Hong.

"Tentulah Yan Hong orang Kang ouw." pikirnya, "Melainkan aku belum tahu sifat dan tabiatnya, Aku mesti berhati-hati. Ia ingat pesan gurunya untuk jangan temberang dalam perantauan, mesti teliti bergaul, sebab salah sedikit, jiwa dapat terancam bahaya.”

Lama ia diam berpikir itu, lalu ia mengeluarkan buku kecil hadiah si orang tua berbaju kuning yang aneh itu. setelah membalik-balik lembarannya, ia menjadi girang sekali.

Nyatalah orang itu Thian Yoe sioe adanya, si orang Rimba Persilatan yang luar biasa tabiatnya. Menurut keterangan gurunya, Thian Yoe sioe liehay ilmu silatnya, dia biasa hidup menyendiri adatnya angkuh gerak geriknya mirip naga yang nampak kepalanya, tidak ekornya." Baik kaum sesat, maupun kaum lurus, semua jeri terhadap manusia aneh itu, siapa mendapatkan kepandaian dari Thian Yoe sioe, meski tak semuanya, dia dapat menjagoi, sekarang Tiong Hoa memperoleh kitab ilmu silatnya jago aneh itu.

Semuanya tiga belas jurus tetapi semua jurus itu luar biasa, setiap j urus ada lagi perubahannya, ilmu silat itu menggabung lwe kang dan gwa kang, tenaga dalam dan tenaga luar.

Lantas Tiong Hoa membaca, untuk menanamkan, ia juga menggerak-geraki tangan dan kakinya, ia heran hingga ia menjadi masgul. Untuk permulaan itu, tak dapat ia menginsafi bunyinya kitab itu. Tapi ia tidak menjadi putus asa, ia ingat kata-kata Thian Yoe sioe bahwa ilmu silat mesti dipahamkan dengan perlahan, tak boleh terburu-buru.

"Sang waktu banyak. biarlah aku bersabar." pikirnya.

Maka ia simpan bukunya itu, terus ia tidur.

Tiong Hoa dapat tidur dengan nyenyak. Tak pernah ia menyangka, karena rajin memahamkan kitab itu, dibantu dengan tenaga obat putih, kemudian ia memperoleh banyak kefaedahan-

Kira jam tiga, Tiong Hoa tersadar, ia mendengar angin malam bersinar dan matanya melihat sinar rembulan, ia bangun dan pergi ke luar dengan membawa sebuah bangku untuk duduk seorang diri dipekarangan dalam, guna menggadangi si Puteri Malam. Kecuali suara angin- malam sangat tenang

Tidak lama kemudian, tiba-tiba Tiong Hoa mendengar suara siulan beberapa kali. siulan itu memecah kesunyian- ia heran hingga ia berpikir: "itulah siulannya orang yang keluar malam, biasanya itu terdengar di tanah pegunungan, kenapa aku mendengarnya di sini, di dalam kota? Orang itu bernyali besar..."

Tengah ia heran dan berpikir itu, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya satu bayangan orang, yang melayang turun ke dalam pekarangan di mana ia berada itu.

Mulanya ia kaget, lalu ia meniadi heran.

Itulah Yan Hong yang muncul secara luar biasa itu. Dia membawa sebilah pedang tapi dia beroman gugup, sedang pundaknya basah dengan darah. "Saudara Lie. harap sangat kau jangan menyebut aku..." katanya, Dan tanpa menanti Jawaban- dia lari masuk ke dalam kamar sahabat she Lie ini.

Tiong i Hoa heran- Sebelum ia tahu harus berbuat bagaimana, kembali ia melihat lompat turunnya tiga orang lain, Mereka ini mengenakan pakaian hitam dan ringkas, semuanya membawa senjata tajam. oleh karena mereka berdiri membelakangi rembulan, mukanya tak nampak tegas.

Ditaksir mereka rata-rata berusia diatas empat puluh, Sinar mata mereka tajam sekali.

Lalu satu di antaranya, habis celingukan, menghadapi Tiong Hoa. untuk berkata dengan tertawa dingin: "Bocah, apakah kau melihat yang membawa pedang dan terluka pundaknya lewat di sini?"

Tiong Hoa mengerutkan alis. Tak tahu ia duduknya hal tapi ia menduga itulah pasti urusan kaum Kangouw yang biasa saling bunuh, ia ingat kata-katanya adiknya Yan Hong tadi, yang mesti mempunyai suatu urusan, Karena ia ditegur tak manis, ia jadi memikir untuk tidak menjual sahabat.

"Kamu bertiga malam-malam berlari-lari di atas rumah-rumah orang, kamu mesti bukan

orang baik-baik," la kata berani. "Kalau kamu bukan manusia tukang berjinah mestinya kamu bangsa pencuri, Tuan mudamu lagi menggadangi rembulan di sini, mana dia melihat konco kamu? Lekas kamu berlalu, tuan muda kamu tidak mau berkenalan dengan kamu. Kalau tidak. nanti aku berteriak membanguni orang banyak"

Ketiga orang itu saling mengawasi. Mereka tidak takut penduduk dikasi bangun, Mereka hanya tertegun akan ketenangan si anak muda, orang lain tentunya ketakutan bukan main-

Lantas orang yang mukanya panjang dan kurus tertawa menyeringai ia mengangguk. Habis itu, tanpa membuka mulut, ketiganya berlompat naik ke atas genting, untuk menghilang. Mereka berlalu cepat sekali, seperti terbang.

Masih sekian lama Tiong Hoa jalan mundar mandir, baru ia masuk ke kamarnya.

la heran hingga ia menjublak sejenak Kamarnya itu sepi dan kosong, Yan Hong tak nampak di situ. jadi orang telah pergi menyingkir tanpa berpamitan lagi.

Akhirnya ia tertawa sendirinya, tidak ia pikirkan pula kejadian itu. Ketika ia merebahkan diri, ia dapat tidur pulas pula.

Besoknya pagi, apabila Tiong Hoa bangun dari tidurnya, sinar matahari sudah bersorot di jendela dan pelayan kebetulan datang mengetuk. la lantas membukai pintu. Pelayan memberi hormat sambil mengucapkan selamat pagi.

"Tuan tidur nyenyak sekali." katanya tertawa, "tuan Yan sudah menantikan sekian lama, ia tidak berani mengganggu tidurmu."

"Oh" kata Tiong Hoa terkejut, "Mana dia tuan Yan itu?

Lekas undang masuk"

Pelayan itu tertawa pula, "Nanti aku menyediakan air dulu untuk tuan mencuci muka,

baru aku undang tuan Yan," katanya. ia lantas pergi. cepat ia kembali dengan baskom air, lalu cepat ia keluar pula. Tiong Hoa lekas mencuci muka, untuk merapikan rambut dan pakaiannya, Baru ia selesai. pelayan sudah muncul pula bersama Yan Hong.

Pemuda she Yan itu mengenakan baju hijau panjang bersulam huruf benjie ia bersenyum, Pundak kirinya muncul sedikit, Rupanya lukanya semalam telah dibalut. "Tadi malam saudara..." kata Tiong Hoa.

Yan Hong mengedipkan mata, sambil tertawa dia berkata: "Tadi malam ketika aku pulang ke rumahku, aku bicara dengan ayah ku tentang kau, saudara Lie, Ayah kagum sekali maka pagi-pagi barusan ia menitahkan aku lantas datang mengundang saudara, untuk saudara suka datang ke gubuk kami buat beromong-omong."

Tiong Hoa melihat kedipan mata, itu tahu apa artinya itu. Yan Hong tak sudi bicara dari peristiwa semalam itu, ia lantas tertawa dan menyahuti: "pasti aku sudi berkunjung. Ayahmu baik sekali, saudara Yan, aku jadi malu..."

"Kita ada bagaikan sahabat-sahabat lama, jangan kita pakai banyak adat peradatan," Yan Hong bilang. Ayahku lagi menantikan, mari kita berangkat sekarang.”

Tiong Hoa mengangguk sambil bersenyum. Lantas keduanya pergi ke luar dari hotel di mana sudah sedia dua ekor kuda untuk mereka, Maka bersama sama mereka pergi, Yan Hong menjalankan kudanya di sebelah depan.

Udara pagi itu cerah, banyak orang berlalu lalang dijalan besar, Kedua anak muda itu menjalankan kuda di antara banyak orang itu, terus ke luar kota Tok-lak sebelah barat, setibanya di luar kota, yang sepi, mereka melarikan kuda mereka dengan leluasa. 

Kira setengah jam, Yan Hong menghentikan kudanya. Tiang Hoa menyentak. Dengan cambuknya anak muda she Yan itu menunjuk ke arah kiri, sembari tertawa ia kata: “Saudara Lie, gubuk kami berada di depan sungai siang Kiam Hoo itu, di tempat yang banyak pohonnya.”

Tiong Hoa mengawasi ia melihat sungai lebar dan airnya tenang, Benar di tempat banyak pepohonan itu samar samar terlihat genting rumah yang besar, Di sungai itu dapat orang berlayar sedang burung-burung nampak beterbangan-"Sungguh indah tempat tinggalmu ini, saudara Yan-" ia memuji. Yan Hong bersenyum. ia mengajak.

Mereka menjalankan kuda mereka ke tepian sungai.

Tiba di dapan serumpun pohon yang lioe yang lebat, mendadak terlihat tiga orang lompat keluar dari rumpun itu, Tubuh mereka itu gesit sekali.

Tiong Hoa lantas mengenali orang orang yang semalam datang ke hotelnya, ia tercengang. Tapi Yan Hong, dengan air muka padam, sudah lantas menegur. "Bangsat tak punya mata dari mana berani banyak lagak di sekitar Yan Kee Po kami?"

Ketiga orang itu melengak, tetapi yang mukanya panjang dan kurus lantas juga tertawa, sedang matanya yang mirip mata ulung-ulung dibuat main, Dia kata dingin "Tidak salah Tuan dari Yan Kee Poo, Hoan-thian- ciang Yan Loei, yang memimpin kaum Rimba persilatan di lima propinsi Utara, besar namanya, besar pengaruhnya, sedang kami Laosan sam Eng juga pernah mengundanginya, hingga kami berterima kasih untuk perlayanannya. Hanya tadi malam, selagi kami bekerja membereskan usaha perdagangan kami, di saat kami berhasil, kami bertemu dengan seorang begal tunggal sebangsa si hitam makan si hitam, ketika kami mengejarnya, dia kabur dan lolos. Justeru itu sahabatmu itu kebetulan hadir juga" dia menunjuk Lie Tiong Hoa dan menambahkan "Kami percaya sahabatmu ini pasti ketahui duduknya hal. sekarang ini kami cuma minta barang kami itu dikembalikan, lainnya kami tidak mau menarik panjang."

Yan Hong tidak lantas menyahuti, dia hanya tertawa nyaring sekali.

*****

BAB 4

YAN HONG berhenti tertawa untuk segera memperhatikan roman tawar.

"Tuan." katanya. "Kau tentulah tertua dari Lao san Sam Eng yang sangat termashur di propinsi shoatang yala h Tiatjiauw-eng Louw Coen?" orang itu agak terkejut.

"Tidak salah, itulah aku." ia menyahut, ia lantas menunjuk kawannya yang matanya merah dan kumisnya berewokan seperti singa, " inilah saudaraku yang nomor dua, say Gan sin ang cian Boa, Dan itu..." ia menunjuk orang yang ke-tiga, yang kepalanya gundul dan merah serta tak berkumis. "adik ku yang nomor tiga, Touw-Eng Cie Keng. Kau sendiri siapa, tuan, aku minta sukalah kau memperkenalkan dirimu."

Selagi orang memperkenalkan diri, Tiong Hoa hampir tak tertahan untuk tidak tertawa, Kawanan elang itu mirip benar dengan julukannya masing-masing, ia pun heran kenapa mereka tidak kenal Yan Hong yang biasa di sebut " hitam makan hitam."

"Maaf, aku melainkan seorang Kang ouw tak ternama," Yan Hong menyahut sembari tertawa perlahan "Akulah Yan Hong yang biasa disebut Mo In Kim Kiam..."

Mendengar nama itu, ketiga orang itu terlihat terperanjat tapi Louw Coen lantas maju setindak. sambil memberi hormat dan tertawa ia berkata: "oh, kiranya tuan muda dari Yan Keo Po Ketika itu hari kami datang berkunjung, menyesal kami tidak bertemu dengan kau, siauw-pocu, Maaf Dan ini sahabatmu..." ia berpaling kepada Tiong Hoa seraya menambahkan-"Dia pasti sahabat baru dari siauwpocu..."

Kata-kata yang terakhir ini ada maksudnya, Kalau benar Tiong Hoa sahabat baru. bolehlah Yan Hong melepas tangan terhadapnya.

Lao San Sam Eng menjadi orang-orang liehay dari jalan Hitam, mereka juga telengas, untuk suatu barang yang mereka arah, mereka datang ke Utara.

Untuk tidak bentrok dengan Yan Kee Po, mereka mengunjungi Yan Loei, Diluar sangkaan mereka, Yan Loei justeru tukang hitam makan hitam, hanyalah dia pandai bekerja, selama beberapa puluh tahun, belum pernah dia gagal, rahasianya tak pernah ada yang ketahui. Maka itu, datangnya Sam Eng sambil menuturkan maksud ke datangannya berarti membawa endusan baik pada pihak Yan Kee Po.

Demikianlah Yan Hong bersama lima orangnya "memakan," Sam Eng dan berhasil, cuma pekerjaan mereka meminta upah mahal. Lao San Sam Eng Iihay, didalam bentrokan, mereka berhasil membinasakan lima orang Yan Kee po itu serta Yan hong sendiri, si majikan muda dari Yan Kee po turut terluka pundaknya, kalau dia tidak kabur ke hotelnya Tiong Hoa, mungkin dia tak dapat lolos. Sam Eng itu keluaran Boe-tong pay, mereka pandai ilmu silat dalam dan luar.

Yan Hong terperanjat mendengar orang menyebut Tiong Hoa sahabat barunya, ia mengerti keliehayannya tiga jago dari Shoatang itu.

Lie Tiong Hoa ketahui apa yang ia mesti lakukan, ia lompat turun dari kudanya.

"Louw Tong kee, apakah kau menyangka aku yang mengganggu kamu tadi malam?" ia tanya, menegasi, ia tertawa j umawa.

"Benar" sahut Louw Coen, tertawa menyindir "Mata terang tak ada pasirnya, Dalam sepuluh, delapan bagian kau lah yang melakukannya."

Tiong Hoa tertawa, ia menoleh pada Yan- Hong, berkata, "saudara Yan benarlah mereka ini bangsat- bangsat tak punya mata .Barang rampasannya kena dirampas orang, bukannya mereka merasa malu dan mencari mati karenanya, mereka j usteru sembarang menuduh pada orang. Menurut aku, kalau mereka dibiarkan saja, apa bila mereka menyiarkan cerita dusta, nama Yan Kee Po dapat tercemarkan dan runtuh" sam Eng heran begitu juga Yan Hong.

" Hebat orang she Lie ini," pikir Mo In Kiam tian- "Rahasiaku tadi malam ketahuan dia, maka sekarang aku mengundang, untuk ajak dia berkonco atau kalau dia menampik, hendak kita singkirkannya, siapa tahu dia begini begini. Aku benci sam Eng tetapi kalau aku lawan dia pundakku bisa membongkar rahasiaku."

Tengah ia bersangsi dan berkuatir itu, Tiong Hoa sudah berkata pula: “Jikalau siauwpocu berkeberatan turun tangan, baiklah, aku si orang she Lie nanti mewakilkan kau"

Sembari berkata, pemuda ini meluncurkan tangannya ke dadanya Louw Coen untuk meninju, ia terus menggunai pukulan sip Thian Thay It Ciang. ia biasa dapat menggunai kemahiran tiga bagian tapi setelah makan obatnya Thian Yoe sioe, tenaganya kontan naik menjadi tujuh bagian. Maka itu hebat serangannya ini.

Tiat Jiauw Eng Louw Coen benar liehay, Dia dapat menolong tangannya itu, terus dia

membalas menyerang. Dia menggunai tangannya itu juga untuk menyengkeram jalan darah Tiong Hoa di bawahan rusuk.

Lao san sam Eng pernah mempelajari ilmu silat "Eng Jiauw Kang" atau cengkeraman Kuku Garuda, dari itu kalau Tiong Hoa kena tersamber, celakalah dia, bisa dia mati seketika.

Tiong Hoa tak punya pengalaman pertempuran, baru selama hari-hari yang belakangan ini ia memperolehnya, terutama pertempurannya dengan Mauw san siang eng membantu banyak padanya, Begitulah waktu ia disamber ia menjejak tanah, untuk membikin tubuhnya mencelat mumbul, habis mana ia menyamber kedua pundak si Elang Kuku Besi. Ia menggunai jurusnya siauw thian chee cit cap-jie Kiauw Na yang liehay itu. Louw Coen terkejut mendapatkan serangannya gagal dan musuh berkelit bagaikan menghilang dari hadapannya, ia mengerti akan adanya ancaman bahaya. Ketika ada angin bertiup, ia tabu itulah serangan musuh, tidak ada ketika lagi untuk menyingkirkan diri, Maka ia angkat kedua tangannya untuk menyambutt dengan jurus Eng- jiauw-tay lek-cioe.

Itu artinya keras lawan keras. Tiong Hoa melihat perlawanan musuh, ia batal meny amber, untuk mencengkeram pundak musuh, semua jari tangannya segera dikepal, untuk dengan kepalan menghajar tangan lawan itu.

Tanpa dapat dihindarkan lagi, keempat tangan bentrok keras sekali, Kesudahannya yalah tubuh Tiong Hoa membal balik hingga dia teruskan memutar turun di bawah sebuah pohon yanglioe, untuk berdiri diam sambil bersenyum.

Celakanya yalah Louw Coen, oleh karena terdesak itu, ia melawan dengan kuda-kudanya kurang kuat, maka atas bentrokan itu, ia terpaksa mundur dua tindak. ia merasakan napasnya mandek dengan tiba-tiba, hingga ia mesti mengeluarkan suara tertahan. Begitu ia berdiri tegap. mulutnya muntahkan darah, mukanya menjadi sangat pucat. Kedua elang yang lainnya kaget, mereka lompat untuk memayang.

Yan Hong kaget dan kagum melihat lihainya si anak muda, yang dapat menghajar tertua Lao san sam Eng secara demikian. Kaget karena ia mengerti bahayanya andaikata anak muda itu menjadi musuh pihaknya, ia girang karena dengan begitu Tiong Hoa seperti telah membalaskan luka pundaknya itu. Tiong Hoa sendiri bersenyum dengan di dalam hatinya ia heran, heran untuk lihainya itu. ia tidak sangka ia dapat berpikir cepat dan bertindak gesit dan lincah, hingga hasilnya sangat memuaskan.

"Inilah pasti hasil khasiatnya Pouw Thian wan." pikirnya. Maka ia menjadi bersyukur kepada Thian Yoe sioe, sayang ia belum tahu she dan namanya orang tua itu, Thian Yoe sioe berarti si orang tua yang menjelajah langit."

Louw Coen sendiri menyesal bukan main. ia tahu kekalahannya ini disebabkan ia memandang enteng kepada lawannya itu.

Sambil bersenyum, Tiong Hoa menghadapi Lao san sam Eng, untuk berkata. "Aku yang rendah suka memberi nasehat kepada tuan-tuan bertiga untuk lain kali janganlah tuan tuan sembarang bertindak hingga mendapat salah dari lain orang. Memang biasanya, bencana itu datangnya dari mulut, dari kata-kata yang tak terpikirkan lagi, Aku percaya tuan tuan menginsyafi itu. Perihal kejadian semalam, suka aku menjelaskan bahwa aku benar-benar tidak tahu apa apa, maka jikalau tuan-tuan suka menyelidikinya dengan seksama, pasti tuan-tuan bakal mendapat tahu duduknya yang benar."

Lao san sam Eng dapat menerima penjelasan itu, tetapi mereka tetap heran, sudah terang orang lari menyingkir ke dalam pekarangan hotel itu, kenapa dia membilangnya tak tahu.

"Inilah aneh" Rupanya aku mesti bekerja berat untuk menyelidikinya." pikir mereka itu bertiga.

" Jikalau begitu. kita benar sembrono." kata Cie Kong sambil memberi hormat. "baiklah, sampai kita bertemu pula" ia pun memberi hormat pada Yan Hong, sesudah mana bersama saudaranya ia mengajak pergi saudaranya yang tertua itu.

Yan Hong mengawasi sampai orang telah pergi jauh, ia berpaling kepada Tiong Hoa untuk sambil tertawa berkata: "saudara Lie, mengenai peristiwa tadi malam harap kau tidak memandang wajar bahwa aku hitam makan hitam, perkara itu mempunyai latar belakangnya. sebentar, setelah sampai di rumahku aku nanti berikan penjelasannya."

Tiong Hoa bersenyum.

"Aku baru mulai masuk dalam dunia Kang ouw, tentang keruwetan kaum Rimba persilatan aku tak tahu apa-apa" ia berkata. "Perkara saudara itu mesti perkara besar, karena aku cuma seorang tetamu dan akupun datang dari tempat jauh, artinya aku seorang luar, lebih baik aku tidak mendengarnya."

Yan Hong tertawa, ia tidak mengatakan apa apa, ia bertindak ke tepian, untuk bersiul yaring. Atas itu dari seberang, dari rumpun telaga, muncul sebuah perahu kecil, yang di gayu laju sekali, Begitu perahu itu tiba di tepian sini, terlihat di dalamnya dua orang

dengan baju hijau, usianya masing-masing lebih kurang tiga puluh tahun, Mereka itu berlaku hormat mengundang Tiong Hoa naik ke perahu mereka.

Tiong Hoa mengalah dulu kepada Yan Hong, baru ia lompat ke perahu itu. Yan Hong naik bersama satu orang, sebab orang yang kedua menuntun kuda berjalan mutar di jalan itu. Seperti waktu datangnya, waktu kembalinya perahu itu digayu laju sekali. Tiong Hoa dapat kesempatan melihat pemandangan di sungai itu,

Yan Hong duduk di belakang tetamunya, ia memikirkan ilmu silatnya Tiong Hoa. ia merasa itu seperti ilmu silatnya Hok in siang jiu dari Koen Loen san Barat, Hok In itu satu jago dari jaman lima puluh tahun dulu, seumurnya dia tidak menerima murid, pernah Yan Loei, ayahnya, melihat Hok in siangjin bertempur, maka itu, ayah itu dapat mencuri pelajari dua jurus di antaranya dan yang satu ini mirip dengan jurusnya Tiong Hoa tadi.

"Kalau dia benar murid Hok in siangjin, rasanya sulit untuk menarik dia menjadi kawanku," pikirnya.

Segera juga perahu sudah tiba di seberang, Yan Hong lompat lebih dulu ke darat, Ketika ia berpaling, Tiong Hoa sudah menyusulnya tanpa memperdengarkan suara apa apa, itulah bukti ilmu ringan tubuh yang mahir sekali.

"Dia lihat sekali, tak dapat aku mengundang serigala datang masuk ke rumahku." Yan Hong pikir pula. ia licik, ia mau berlaku waspada, la tidak kentarakan kekuatirannya itu, bahkan ia bersenyum ketika ia berkata. "saudara, rumahku tak jauh dan sini, kita baik berjalan kaki saja."

"Baik," sahut Tiong Hoa mengangguk. Mereka jalan dijalan besar yang kedua sisinya

merupakan ladang gandum. Angin bersilir halus. sebagai ganti bau bunga, disitu mereka mencium bau lumpur.

Belum jauh, selagi menikung di tempat mana ada tumbuh pepohonan, mereka mendengar suara kuda lari mendatangi lalu tertampak penunggangnya adalah seorang nona dengan baju merah tua. Begitu datang dekat, nona itu menyapa nyaring: "Toako, kenapa kau baru sampai?" sedang tubuhnya terus berlompat turun, hingga ia dalam sekejap berdiri di depan kakinya berdua. Gerakannya itu lincah sekali, itulah lompatan Burung walet menyambar ombak.

Tiong Hoa lantas mengenali si nona yang ia lihat di rumah makan, sekarang ia mendapatkan orang cantik sekali, mukanya dadu dan matanya jeli, matanya itu mengawasi jernih kepadanya.

Yan Hong tertawa, terus ia berkata: "Adikku, kau agaknya seperti belum pernah bertemu dengan saudara Lie ini..."

Nona itu tertawa, dengan lagu suara manja, ia kata: "Toako kau bicara saja. Kenapa kau tidak mau mengajarnya kenal?"

"Benarkah kau pelupaan adikku?" kakak itu tertawa pula, "Tadi malam toh kau pernah berkenalan dengannya di rumah makan. Maka itu buat apa aku mengajarnya kenal pula?"

Muka si nona menjadi merah, Dia malu karena kakak itu menggoda, Dimatanya lantas berbayang seorang muda yang pakaian kotor dan mukanya dekil, yang rambutnya kusut, sebaliknya sekarang ia menghadapi seorang pemuda tampan dan menarik hati sekali.

"Apakah benar dianya?" katanya dalam hati, ia jadijengah, Kemarin ini ia sama

sekali tak menghiraukan pemuda itu. Hal itu membuatnya malu sendiri Maka ia mendelik kepada kakak itu. Yan Hong tak memperduIikan, ia justeru tertawa berkakak. "Toako" kata si nona sambil membanting kaki saking jengkel

Tiong Hoa tidak memperdulikan orang bergurau, ia memandang si nona sambil minta tanya nama orang.

Nona itu tidak menyahut, agaknya susah ia membuka mulutnya, walaupun bibirnya sudah bergerak.

Yan Hong tertawa, ia berkata. "Adikku ini, si Hee, biasa terlalu dimanjakan ibuku, maka itu kalau lain kali dia berbuat kurang ajar, aku harap saudara Lie suka maafkan dia."

Kembali Yan Hee mendelik kepada kakaknya, lantas ia lompat naik ke atas kudanya, kabur balik.

Yan Hong tertawa, sedang Tiong Hoa bersenyum.

Keduanya berjalan terus, setelah melewati hutan cemara, Tiong Hoa melihat sebuah tembok tinggi dan kekar mirip tembok kota, di atasan pintunya ada ranggonnya peranti si penjaga pintu,

Yan Hong mengajak kawannya masuk. ketika di dalam situ, Tiong Hoa melihat sebidang tempat yang lebar yang banyak perumahannya, yang di tengah-tengah yalah sebuah rumah besar, ke situ Yan Hong mengajaknya masuk.

Di muka pintu ada dua pengawal dengan golok di tangan, Ketika Tiong Hoa berdua

bertindak masuk. dari dalam lantas terlihat munculnya seorang yang tubuhnya kekar dan romannya keren, mukanya berewokan, matanya tajam.

"Saudara Lie, orang yang mendatangi itu hoepocoe kami, Im- yang Gioe Khong Jiang." kata Yan Hong perlahan. "Dia lihai. Dialah orang Hoa Yang Pay. Dia bertabiat gembira dan berangasan tak ketentuan, karena mana ayah pun suka mengalah kepadanya, Aku harap kau berhati-hati terhadapnya..."

Baru tuan rumah yang muda ini berhenti berkata, Khong Jiang sudah sampai didepan mereka, Dia lantas memandang tajam pada Tiong Hoa.

"Paman Khong..." berkata Yang Hong dengan hormat sekali, "ini saudara Lie Cie Tiong, sahabat baru dari keponakanmu."

Khong Jiang mengasi dengar suara di hidung, matanya memandang tawar pada si anak muda. dia kata: "Kalau dia sahabatmu, kenapa dia begini kurang ajar? Apakah dia mengandal sangat kepada beberapa jurus ilmu silatnya maka dia menjadi jumawa?"

Tak senang Tiong Hoa mendengar kata-kata itu, maka dia kata dingin. "Aku yang rendah baru pertama kali ini datang ke mari, aku tidak kenal kau, tuan, mengapa kau berani membilang aku kurang ajar?" "Paman Khong, kau..." kata Yan Hong berkuatir.

"Kau berani kurang ajar kepada Khong Jiang?" hoe- pocoe itu membentak sebelum Yan Hong bicara terus. "Tentu kau benar-benar mengandalkan ilmu silatmu, Mari, mari, Mari sambut tanganku." Benar benar dia lantas meninju.

Majikan muda dari Yan Kee Po menggunai tenaga tujuh bagian, Dia mau menguji sianak

muda.

Tiong Hoa ndak mau menyambuti kekuatan orang. ia berkelit ke kiri Karena ia mendongkol, ia membalas menyerang, ia mengeluarkan tangan kanannya, guna menangkap tangan si berangasan itu.

Khong liang terkejut, Dia tidak menyangka orang berkelit, Atas datangnya ^erangan membalas, dia kaget. Dia melihat gerakan yang gesit sekali, Maka lekas lekas dia menurunkan tangannya, untuk dikelit.

Tiong Hoa menggunai j urus "Tawon yang-keluar dari sarangnya" itulah suatu jurus dari ilmu silat siauw thian che Ci capjio Kiauw Na. sia-sia belaka KhongJiang berkelit, lengannya itu kena ditangkap. hingga dengan mendadak dia merasa tangannya kaku, Dia berteriak. dia berontak sekuatnya tenaga sambil dia berlompat nyamping.

Tiong Hoa tidak berniat mencelakai orang, habis menyengkeram, ia melepaskan tangkapannya itu. Mendadak Khong Jiang tertawa.

"Benar katanya Yan Hong, kaulah seorang muda yang liehay" katanya, "Kau maafkan aku" ia tertawa pula, terus ia bertindak ke luar.

Tiong Hoa berdiam. Ini pula pengalamannya yang luar biasa, ia sama sekali tidak pernah memikir bahwa itulah sandiwaranya Yan Hong, yang telah mengaturnya sebelum dia pergi ke hotel menyambut padanya.

"Memang begitu tabiat Paman Khong, girang dan gusar tak kotentuan," kata pula tuan rumah muda ini sambil tertawa, "tapi sebenarnya dia jujur dan baik hatinya, Nanti, sesudah berkenalan lama, saudara akan mengenalnya "

Tiong-Hoa tertawa tawar, ia tidak bilang apa-apa.

Ketika tuan rumah itu bertindak, ia mengikuti. Di dalam, Tiong Hoa melihat rumah besar miri^ dengan istana seorang bangsawan. Ruang atau pintu berlapis- lapis. tiang danpenglari, semuanya terukir indah. Di sebelah dalam ada pekarangan terbuka dimana ada terdapat pepohonan dan lorong, kamar-kamar dan lauwteng. ia heran dan kagum.

Di situ pun ia melihat sejumlah orang Rimba persilatan, yang semua bersikap hormat terhadap Yan Hong.

Yan Hong mengajak sahabatnya memasuki sebuah ruang besar, Baru saja sampai diambang pintu, hidung si anak muda telah mendapat cium bau yang harum, yang melapangkan dada, Di dalam situ ada empat orang lagi berduduk. yang di kiri, bercokol atas kursi hakcoe-ie, adalah seorang tua bertubuh tinggi dan besar, rambut dan kumisnya sudah putih, gayanya keren.

Di kanannya si nona yang tadi, matanya mengawasi si anak muda, rekannya seperti bersenyum. Dua yang lainnya, yang satu yalah seorang imam tua dan kurus, jari tangannya panjang sekali, sepasang matanya bersinar, dan yang lainnya seorang muda dengan bibir merah dan roman angkuh, sedang dipunggungnya ada sebilah pedang yang rupanya pedang tua, sarung pedangnya berukiran ular naga melilit.

"Saudara Lie, inilah ayahku," Yan Hong lantas mengajar kenal, dia menunjuk si orang tua.

Tiong Hoa maju dua tindak, ia menjura dalam seraya berkata, "Aku yang muda, Lie Cie Tiong, memberi hormat kepada po-coe."

Hoan Thian-ciang Yan Loei tertawa dan berkata, "jangan pakai adat peradatan, Lie siauwhiap. tadi malam kau telah membantu anak Hong, aku menghaturkan terima kasih padamu."

"Itulah perkara kecil, harap pocoe jangan buat pikiran," kata Tiong Hoa merendah, "Meskipun baru bertemu, dengan siauwpocoe aku seperti kenalan lama, Aku malu mendengar kata-kata pocoe ini."

Lantas Yan Hong perkenalkan sahabatnya kepada si imam dan si anak muda.

Imam itu nyatalah Im-CioeJiauw-Hoen Hauw Boen Thong adanya, yang dimasa itu terkenal dalam Rimba Persilatan, Cocok dengan julukannya, yang berarti Tangan Penyamber Nyawa, sebab dia biasa berbuat seenaknya saja, takperduli dia benar atau salah, Dia liehay hingga banyak orang mendengar saja namanya, menjadi pusing kepala.

Si anak muda adalah Cie-liong kiam Pek Kie Hong. sipedang Naga, yang menjadi siauw cecu, yaitu ketua muda, dari Benteng Jie sip Pat, dua puluh delapan benteng air dan darat, di telaga Tong-teng-ouw di Kanglam.

Hauw Boen Thong jumawa sekali, melihat Tiong Hoa, berulang kali dia memperdengarkan suara di hidungnya, sikapnya sangat dingin, tubuhnya tak berkutik. Tiong Hoa tidak puas, Syukur Pek Kie- Hong suka berbicara dengannya.

Yan Hee diam-diam memperhatikan anak muda itu, sekarang ini pandangannya lantas berubah sama sekali, tak ingat lagi si anak muda yang pakaiannya kotor, mukanya dekil dan rambutnya awut-awutan, ia rupanya terpengaruh kata-kata cinta pada penglihatan pertama kali. Yan Hong dan Pek Kie Hong liehay matanya, mereka lantas melihat sikapnya si nona, masing-masing mereka lantas beda pemikirannya.

Lie Tiong Hoa duduk di bawah, diam-diam ia memperhatikan perabotan di dalam ruang itu, ia mendapat kenyataan semua itu benda-benda yang tak biasa dilihat di rumah rakyat kebanyakan rata-rata barang kuno dan indah. Maka aneh rumah orang Kang ouw mirip istana orang bangsawan.

Yan Loei, dengan tak langsung, menanyakan Tiong Hoa tentang gurunya, keluarganya serta maksudnya datang ke Tok lok.

Tiong Hoa tak dapat menerangkan jelas, sebab ia memang tak tahu banyak perihal gurunya, ia juga tidak bisa menjelaskan bahwa ia lagi buron, jawabanmu itu membikin tuan rumah mencurigai dia mengandung sesuatu maksud.

"Lie siauwhiap bersahabat dengan anakku, silahkan kau berdiam bersama kami di sini."

kemudian kata Yan Loei tertawa, "Katanya siauwhiap liehay sekali, maka itu mungkin siauwhiap dapat membantu kami."

Tiong Hoa tidak tahu hati orang, ia lekas berkata: "Tidak berani aku merepotkan po-cu. Karena aku gemar pesiar, hari ini juga aku berniat pergi ke Tiong Gioe terus ke soe Coan. Terima kasih atas kebaikan poocu."

Yan Loei mengawasi tajam. Dia tertawa pula.

"M emaog perjalanan itu penting untuk memuaskan pemandangan dan pengetahuan," dia kata, " Ketika masih muda, aku juga gemar merantau." Kembali dia tertawa.

Selama itu HauwBoenThong terus bungkam, dia memandang si anak muda dengan mata

tajam dan sikap dingini Adalah Yan Hong dan Pek Kie Hong, yang mengajak orang bicara. Yan Hong minta tetamunya suka berdiam padanya barang setengah bulan. "Baiklah." kata Tiong Hoa setelah di-bujuki siauwpocu itu.

"Anak Hong, pergi kau ajak siauwhiap ke kamar Teng ie Hian" Kemudian Yan Hong kata pada puteranya sebentar tengah hari hendak aku mengundang siauwhiap ber-santap.

Tiong Hoa mengucap terima kasih, lantas ia meminta diri, mengikut Yan Hong ke kamar yang disebutkan itu.

Seberla lunya si tetamu, Yan Loei kata pada gadisnya: "Apakah batuknya ibumu sudah mendingan. Ada orang mengantar dua bungkus cauwkoh dari Lengtam yang ibumu paling suka, pergi kau ambil dan bawa itu ke Hoed tong buat diserahkan pada ibumu sekalian kau sampaikan kata-kata padanya."

Yan Hee tertawa lantas mengundurkan diri. setelah anak dara itu tak nampak lagi, Yan Loei menoleh pada Hauw Boen Thong.

"Hauw Loosu, apakah kau mencurigai apa-apa terhadap anak muda she Lie itu?" ia tanya. "Memang" sahut imam itu dingini "Kau terlalu bersangsi, saudara Yan jikalau aku,

siang-siang aku sudah singkirkan dia guna mencegah timbulnya bencana dibelakang hari. Hoan Thian ciang menggeleng kepala.

"Kau biasa berterus terang, loosoe, aku kagumi kau," ia kata. "Aku tapinya mempunyai cara yang terlebih sempurna. sekarang ini orang tengah bergerak, sedang pihak Yan Kee Po

dan ie Kee Po. yang menguasai sembilan propinsi, mudah sekali membangkitkan kejelusan orang, terutama selama yang belakangan ini pihakku telah melakukan sesuatu yang gampang sekali menarik perhatian orang. Aku telah dapat kenyataan ada orang-orang sesat dan lurus yang sudah datang mengintai ke mari. Karena itu aku sangsi pemuda she Lie ini bukannya orang salah satu dari mereka itu, Aku pikir kita harus bersabar menyelidikinya."

" Itulah gampang, serahkan saja padaku" kata Pek Kie Hong tertawa.

Tak lama Khong Jiang muncul, dia tergesa gesa dan lantas bicara berbisik dengan ketuanya.

Romannya Yan Loei menjadi tegang secara tiba-tiba, dia terus berlompat bangun, akan bersama hoepocu itu lantas pergi keluar.

Di ruang yang besar itu, Hauw Boen Thong tinggal berdua Pek Kie Hong.

ooo

Malam itu selagi rembulan bercahaya indah, Tiong Hoa duduk seorang diri di dalam kamarnya di ruang Teng ie Hian, ia memandang tersengsam kepada si puteri Malam, yang nampak dari antara jendela itu ada pengempang kecil yang airnya jernih yang ditanami pohon teratai dan pohon yanglioe di tepinya. Dari situ terdengar suaranya beberapa ekor kodok. Daun yang-Iioe pun ber silir tertiup angin halus.

Anak muda ini tidak berdiam saja, ia berpikir, pertama-tama halnya Yan Hong yang "hitam makan hitam." ia tak tahu bagaimana duduknya urusan itu. Yang lainnya adalah, lukisan "Bayangan Rembulan di Gunung sunyi."

Ia tidak menyangka karena bertemu Yan Hong, ia jadi singgah di Yan Kee Po-Mengenai

Keluarga Yan ini, ia bersangsi. Kaum Rimba persilatan memang luar biasa sepak terjangnya. "Aku sumpah aku mesti dapatkan lukisan itu" kemudian ia mengambil ketetapan.

Baru Tiong Hoa mengambil keputusannyaitu, tiba-tiba ia melihat bayangan orang berkelebat di atas genting di ruang sebelah depan, ia dapat melihat karena sinar rembulan permai sekali.

Tiba-tiba hatinya bercekat, Tanpa sangsi lagi. ia berbangkit, dengan cepat ia menyingkap bajunya, untuk lompat keluar jendela, akan setibanya di luar terus berlompat naik ke atas genting di depan itu, ia masih sempat melihat orang tadi berada belasan tombak jauhnya. ia pun mendapatkan tubuh orang lincah sekali.

Jikalau dia bukan orang dalam, dia bernyali besar sekali, pikir anak muda ini. Dibawah terangnya rembulan, kenapa dia berani tak menyembunyikan dirinya? Baiklah aku menguntit dia.

Orang itu pergi ke sebuah lauwteng tinggi, Ketika dia lompat turun Tiong Hoa menyusul, terang dia bertelinga jeli, dia memutar tubuh sambil menyerang dan menegur perlahan- "siapa kau?"

Tiong Hoa berkelit ke samping, ia lantas mengawasi. Maka ia melihat orang berumur belum tiga puluh tahun, mukanya lebar, kupingnya besar, romannya lurus, ia bersenyum.

"Ada urusan apa tuan datang ke mari diwaktu malam?" ia balik menanya, "Apakah tuan mencari orang? Kenapa kau tidak ambil jalan dari pintu? Caramu ini mudah menimbulkan salah paham, Maka baiklah tuan lekas berlalu dari sini."

Tiong Hoa heran orang dapat masuk dengan leluasa sedang Yan Kee Po terjaga kuat,

Maka ia mau menduda mungkin orang dibiarkan masuk, untuk mencari tahu dulu maksud kedatangannya, ia menjadi tetamu, tidak mau ia sembarangan bertindak. pula roman lurus orang itu mendatangkan kesan baik terhadapnya, itu pun sebabnya kenapa ia menasehati untuk orang mengundurkan diri

Mendengar nasehat itu, orang itu mengawasi ia menggeleng kepala.

"Dari kata-katamu ini, tuan. Kau rupanya bukan orang Yan Kee Po." ia kata. "Aku Im sim Yok dari Koen Loen Pay, Kawanku sejumlah enam, perjalananku ini penting sekali, maka itu, untukku, mati atau hidup sudah tak berarti lagi. jikalau tuan ingat aturan Rimba Persilatan, silahkan kau menyingkir supaya tak sampai terbit kesalahan turun tangan."

Tiong Hoa bersangsi hingga ia ayal memberikanjawabannyaJusteru ia berdiam, ia mendengar suara apa-apa, yang disusul dengan suara keras ini: "Mari lekas kita bekerja."

Menyusul itu datanglah serangan kepada Sim Yok, dia ini berkelit lalu dia menggunai kedua tangannya menolak Tiong Hoa dengan tipu silatnya "Menolak jendela memandangi rembulan."

Tiong Hoa berkelit, berbareng dengan mana ia mendengar satu suara dalam. "saudara Lie, kau tetamu, tak seharusnya kau turun tangan serahkan dia padaku." la lantas menoleh, maka ia melihat Cie-iion-kiam Pek Kie Hong yang mukanya muram sudah berdiri di belakangnya.

"Baiklah." dia menjawab cepat, ia lantas pergi ke bawah pohon di mana ia lantas berdiri memasang mata.

Kie Hong mengasi lihat roman bengis, sembari tertawa dingin ia maju dua tindak,

tangannya lantas menghunus pedangnya.

Sim Yok juga mengawasi tajam, ia telah menyiapkan senjatanya, yaitu sebatang Joan-pian, ruyung hitam yang lunak seperti cambuk hingga dapat dililit di pinggang.

Ketika ia melihat pedang orang, ia terperanjat hingga ia lantas menanya: "Tuan, bukankah kau cie- liong kiam Pek Kie Hong ceecoe muda dari Benteng Jie sip Pat di telaga Tong Teng?"

Pek kie Hong bersikap sangat jumawa. "Kau telah ketahui Ceecoe mudamu, kenapa kau tidak mau lekas serahkan dirimu?" dia menjawab.

Sim Yok menjadi gusar, mendadak dia tertawa, Nyaring luar biasa tertawanya itu. Habis tertawa, dia berkata nyaring, "Pek Kie Hong, jangan kau terkebur Tak dapat kau menggertak orang. Kau harus ketahui, Teng coa sin Pian Sim Yok dari Koen Loen Pay tak dapat diancam Aku justeru mendengar perbuatan-perbuatanmu yang sangat busuk dan kaum Rimba persilatan ingin menyingkirkan kau dari dunia ini, siapa tahu kau bersembunyi di Yan Kee Po ini. kaujadi seperti membantu si jahat. Kau harus ketahui ini hari aku hendak menyingkirkan satu bahaya besar untuk Rimba

Persilatan-"

Pek Kie Hong tertawa dingin.

"Dapatkah kau lakukan itu?" dla tanya mengejek, Lantas dia meng g era ki pedangnya, untuk menerjang.

Sim Yok menyaksikan gerakan lawan yang gesit, diam- diam dia mengaguminya, Padahal orang itu, meskipun masih muda, sudah menjagoi di selatan dan utara sungai Besar. Tanpa ayal lagi, ia lantas melayani menggunai ilmu joan pian partainya, yang terdiri dari tiga puluh- enam jurus .

Pek Kie Hong licik, di samping menyerang iangsung, ia ingin membabat kutung senjata lawan-

Joan-pian Sim Yok terbuat dari otot, senjata biasa tak dapat memapasnya, tapi melihat pedang Kie Hong, dia jeri, tak mau dia membikin senjatanya itu kena dibabat kutung. Hal ini membuatnya berlaku waspada, hingga tak dapat ia lantas mendesak lawannya itu. 

Tiong Hoa menonton dengan berdiam saja, ia yang tak berpengalaman kembali menyaksikan suatu yang menarik parhatiannya, yang membingungkan juga. Di sini bentrok pula si sesat dengan si lurus, Rupanya kedua golongan itu tak dapat saling mengasi ampun, Meski begitu, ia terus memasang matanya.

Setelah bertanding sekian lama, Pek Kie- Hong mengeluarkan satu jurusnya yang liehay, yaitu "Tiang hong koan jit" atau "Bianglala menutupi matahari." serangan itu meny amber kepada joan pian lawan. Sim Yok repot menyingkirkan senjatanya itu, atau justeru karena itu, dia dapat dirangsak. Pedang cie-liong kiam meluncur terus.

Di saat jago muda Kun Loen Pay itu bakal menyerahkan jiwanya, atau sedikitnya dia bakal terluka parah, mendadak menyamber dorongan angin yang keras sekali kepadanya hingga tubuhnya tertolak keras, hingga dengan begitu dia menjadi lolos dari ujung pedang, saat tubuhnya tertolak itu, dia pun terus berlompat mundur setombak jauhnya.

Di mana di situ tidak ada orang lain, Sim Yok lantas melihat orang yang mendorongnya yang menolongi, adalah si anak muda yang barusan menasehati dirinya, ia jadi bersyukur.

Tapi ia berada di tempat berbahaya, ia lantas lompat untuk menghilang.

Memang Tiong Hoa yang menolongi orang Koen Loen Pay itu, ke satu disebabkan ia melihat jiwa orang terancam maut, ke dua karena ia bersimpati kepada anak muda itu, Habis itu, di samping girang, ia juga heran. ia heran atas tenaga dorongannya yang keras sekali, beda daripada biasanya, Maka ia ingat inilah tentu pula khasiatnya pel Pouw Thian Wan hadiah Thian Yoe sioe. Berbareng dengan itu, Pek Kie Hong terkejut dan heran, ia melihat Tiong Hoa turun tangan, Akibatnya itu ialah kecuali tubuh Sim Yok tertolak keras, pedangnya sendiri kena terintang, pedangnya mental hampir terlepas dari cekalannya, ia lantas mengawasi tajam anak muda itu, yang terang berniat menolong musuh lolos.

Tiong hoa tidak berdiam saja, ia pura pura lari mengejar Sim Yok, ketika orang lenyap. baru ia kembali, ia lantas disambut Pek Kie Hong yang tertawa kepadanya.

"Kau hebat sekali, saudara Lie" kata orang she Pek itu, "Pantaslah saudara Hong memuji tinggi padamu sayang kau kekurangan pengalaman, kau menyebabkan bangsat she Sim itu lolos"

Tiong Hoa mengasi lihat roman kaget. "Benarkah?" tanyanya, sembari menyeringai,

"sungguh celaka Aku kuatir kau tidak dapat lantas merobohkan dia, saking gugup, aku membantu, siapa tahu kesudahannya gagal, sungguh aku menyesal..."

"Tak usah menyesal, saudara Lie." kata Kie Hong, yang bersenyum. "Dalam pertempuran orang mesti dapat melihat gelagat, terutama perlu bantuan pengalaman jikalau saudara lebih sering berkelahi nanti kau dapat melenyapkan cacadmu ini. saudara jangan menyesal penjahat lari, Kawan-kawannya telah diawasi, atau mungkin mereka sudah kena ditawan. silahkan saudara beristirahat, nanti besok aku datang menemui kau di Teng In Hian." Habis berkata orang she Pek ini tertawa, lantas dia berlompat pergi. Tiong Hoa mengawasi orang berlalu, lantas ia berpikir

: “Aku menolongi Sim Yok apakah

perbuatanku ini mencurigai orang she Pek itu?"

Ia tidak tahu, habis tertawa itu, Kie Hong tersenyum ewah.

0000

BAB 4

DI BAWAH sinar rembulan, perlahan-lahan Tiong Hoa bertindak balik ke Teng Ie Hian-ia terus masuk kedalam, untuk merebahkan diri di atas pembaringannya. ia masih memikirkan segala apa, sampai ia jatuh pulas. Ketika sang fajar tiba, ia tersadar dengan lantas berbangkit turun, ia mendengar suara tindakan kaki, ialah tindakannya kacung yang membawakan ia air untuk mencuci muka dan lainnya, Dia itu melongok dulu, baru dia masuk dan meletaki airnya, sembari tertawa dia memberitahukan kedatangan tetamu, ceecoe muda she Pek serta seorang she Lauw.

"Oh, begitu" katanya. "silahkan- silahkan undang mereka masuk" ia sendiri lekas-lekas mencuci muka, membereskan rambut dan pakaiannya.

Segera juga terdengar suara tertawa diluar kamar, lalu nampak munculnya Pek Kie- Hong serta seorang muda yang mukanya rada hitam dan romannya gagah.

"Pagi-pagi sudah bangun, saudara Lie." kata Kie Hong tertawa, "Mari perkenalkan, inilah saudara Lauw, Tiat-pie Chong-tiong Lauw Pou, murid Kong tim-taysoe dari kuil tay-chong-sie di see-coan timur, saudara Lauw baru datang tadi sore, ketika aku omong tentang kau, saudara, ia lantas minta aku mengajaknya berkunjung ke mari, saudara Lauw sangat suka bergaul." "Terima kasih." kata Tiong Hoa, merendah. "silahkan duduk." Lantas mereka berduduk.

Tiong Hoa mendapatkan Lauw Pou sedikit bicara selamanya sungguh-sungguh dan tak pernah tertawa dia seperti mempunyai urusan sulit.

Tengah mereka bicara, kacung tadi datang memberitahukan bahwa Lauw Pou diundang tuan rumah, Dia lantas berbangkit, sembari memberi hormat dan tertawa, dia kata pada Tiong Hoa dan Kie Hong, "silahkan saudara saudara duduk dulu, aku akan lekas kembali." Lantas dia pergi dengan cepat.

"Oh ya, kenapa saudara Hong tak nampak?" kemudian tanya Tiong Hoa heran-

"Saudara Hoo. tidak ada di rumah." Kie Hong memberitahu "Tadi malam buat satu urusan dia dititahkan ayahnya pergi ke Tok lok dan sampai pagi ini belum kembali Mungkin dia akan lekas pulang." ia berhenti sebentar lalu meneruskan.

"Tadi malam Sim Yok dari Koen Loen Pay itu dapat lolos, tetapi lima kawannya kena dibekuk dan sekarang mereka ditahan dalam kamar rahasia. Apakah saudara Lie ingin melihat mereka itu? Kalau saudara mau, sekalian aku dapat mengantari kau melihat-lihat keletakan Yan Kee Po dan sekitarnya."

Tiong Hoa senang menerima ajakan itu.

"Kenapa orang Koen Loen Pay itu datang kemari?" ia tanya sembari jalan.

"Begitu biasanya orang Kang ouw, yang sering tak dapat bekerja sama." Kie Hong menjawab. "Bukankah diantara saudara sendiri sering terbit bentrokan? Yan pocu ternama besar, tak heran bila ada orang salah paham terhadapnya, Karena aku orang luar, tak jelas aku duduknya perkara itu."

Di mulut Kie Hong mengatakan demikian, di dalam hatinya dia pikir lain. Di dalam hati dia kata: "Masih kau berpura-pura, Tunggu sebentar, kau bakal mampus tanpa liang kuburmu."

Tiong Hoa berjalan di belakang, ia tidak melihat air muka orang guram, Mendengar lagu suara orang, ia mau percaya jawaban itu, Dengan wajar ia menanya, "Bagaimana Yan Pocu hendak memutuskan perkara mereka itu?"

Mendengar pertanyaan orang, Kie Hong makin percaya dugaannya benar. Dia tertawa ketika dia menjawab: "Yan Pocu berhati mulia, dia tentu mengutus orang ke Keen Loen san mengundang guru mereka, agar guru itu mengetahui jelas duduknya kejadian guna menyelesaikan urusan sekalian membebaskan mereka."

" Itulah putusan yang tepat sekali," kata Tiong Hoa mengangguk.

Mereka sekarang berjalan di sebuah lorong kecil didalam taman di mana bunga-bunga dan rumput tertanam rapi dan harum bunga melapangkan dada. Dari situ mereka tiba di depan sebuah rimba bambu, Di situpun ada sebuah jalan kecil yang menuju ke sebuah rumah, yang beda dengan rumah besar, nampak sederhana sekali, temboknya putih, jendelanya teraling gorden, pintunya tertutup rapat, cuma dari dalam rumah terdengar suara perlahan dari alat-alat tetabuan seperti pendeta lagi mendosa. Tiong Hoa heran hinga ia berpikir siapa itu yang lagi menjalankan ibadat.

Kie Hong ketarik dengan suara tetabuan itu, ia sampai bersenandung: "sepi dan sunyi di dalam ruang, seperti musim semi hampir habis, dan bunga pada rontok memenuhi latar tapi pintu tak dibukakan..."

Dari suara orang, Tiong Hoa dapat menduga pemuda itu lagi memikirkan suatu orang. la tanya: "Apakah saudara Pek lagi ruwet pikiran. Kenapa kau agaknya berduka sekali?"

Kie Hong terperanjat orang dapat membade hatinya, Lekas-lekas dia tertawa, Terus dia menunjuk ke rumah sepi di depannya itu seraya menanya, "Saudara Lie tahukah kau rumah itu ditinggali orang macam apa."

Tiong Hoa tidak tahu, ia menggeleng kepala.

"Inilah tempat kediamannya nyonya rumah, Kie Hong. memberitahu " Nyonya Yan beri-badat, dia menghormati sang Buddha, maka tak pernah dia keluar setindak juga dari rumah ini. selama delapan belas tahun tak pernah ada yang melihat wajahnya kecuali beberapa orang tertentu. seratus tombak persegi disekitar rimba bambu ini menjadi daerah terlarang, siapa melanggar setindak saja, dialah bagian mati."

Tiong Hoa heran sekali, "Kenapa nyonya rumah bersikap demikian Apakah yang menyebabkan ?

Kedukaankah? Kedukaan apa ?" Kie Hong tertawa sedin "Pada delapan belas tahun yang lampau itu. entah karena apa, pocu bentrok dengan istrinya," dia memberi

keterangan "Lantas istrinya itu, menempati rumah ini yang diberi,

nama Coei Tek Hian di mana ia senantiasa bersembahyang dan tak lagi memperdulikan urusan luar. Di sini cuma dua bujang pelayannya serta nona Hee yang dapat keluar masuk dengan merdeka. Pocu sendiri turut terlarang.

Beberapa tahun dulu pernah ada orang yang melanggar larangan ini. katanya pocu sengaja berbuat demikian, maka besoknya fajar kedapatan saja mayatnya. sejak itu tidak ada orang pula yang berani melanggarnya"

"Aku ini semenjak muda telah dipandang pocu sebagai calon menantunya." kata pula Kie Hong yang bersenyum tawar akan tetapi keputusannya belum ada sebab Nyonya Yan belum melihat send iri padaku. Dia cuma akan memberi perkenannya kepada yang dia penuju.

Pergaulanku dengan adik Hong tak buruk tetapi karena urusan ini, usia muda adik Hee menjadi tergantung..."

Tiong Hoa makin heran-

“Saudara toh tampan sekali,” katanya, "Mustahil kau tak dipenujui?" Kie Hong tertawa.

“Jikalau aku tidak dipenuju, sudah saja, boleh aku menghapus pengharapanku." katanya, “Apa lacur, nyonya Yan belum pernah dapat diketemukan. Pernah aku menggunai berbagai alasan guna memancing si nyonya keluar, tetap aku gagal"

Orang she Lie itu menggeleng kepalanya.

"Biarpun nyonya Yan kejam, tak nanti dia membiarkan Nona Hee tak menikah seusianya," kata ia .”Juga Nona Hee, tidak nanti dia terus menyetujui sikap ibunya itu.

Paling benar adalah kau, saudara Pek, kau harus berdaya untuk menemui nyonya itu."

Kie Hong mengawasi, matanya dipentang, "siapa tak takut mati?" kata dia. " Nyonya Yan keras sikapnya, ilmu silatnya pun lihai, Bahkan dua budak perempuannya jauh lebih gagah daripada aku..."

Tiong Hoa bersangsi hingga dia tertawa.

"Mungkin saudara mendengar warta yang berlebihan hingga karenanya kau jadi jerih" katanya, “Jikalau begitu, baik saudara buang saja cita-citamu menikah Nona Hee."

Kie Hong mendongkol ia menyangka anak muda ini menghina dirinya, ia hendak mengumbar hawa amarahnya ketika ia ingat buat apa ia menuruti hatinya, sebentar toh pemuda ini bakal menemui ajalnya.

Tengah pemuda she Pek itu berdiam, tiba-tiba mereka mendengar suara tetabuhan dibunyikan keras. Dia kaget, lantas dia menarik tangan Tiong Hoa, buat diajak lari sembari dia kata perlahan: " Lekas. Kalau kita dipergoki kedua budak Nyonya Yan jangan harap kita dapat menyingkir setindak juga dari sini..."

Tiong Hoa ditarik tangannya, ia turut lari, tapi ia bersangsi dan penasaran ia pikir: "Bagaimana liehaynya nyonya itu? Aku ingin melihat dia."

Rimba bambu itu luas, sampai sekian lama baru Kie Hong berdua Tiong Hoa dapat ke luar dari situ, untuk terus memasuki sebuah rimba lain yang lebat dimana, matahari kealingan daun-daun hingga rimba menjadi gelap dan menyeramkan. tepi didalam situ kedapatan sebuah rumah yang nampak hitam.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar