Bujukan Gambar Lukisan Jilid 02

Jilid 2 : Siapa berbuat baik mendapat kebaikan

Nyonya itu menanya pula. Tetap ia tidak memperoleh

jawaban, maka ia mengulanginya. Tempo ia nasib tak dapatpenyahutan, ia menjadi gusar. "Siapa berada dalampendopo ini?" dia tanya, suara bengis, "jikalau kau tetap tidak mau menjawab, jangan kau sesalkan aku si orang tua?"

Tiong Hoa bergidik pula. Tapi sekarang ia menetapi hati, "inilah aku si orang she Lie..." ia menyahut.

Belum berhenti suara jawaban itu, mukanya si nyonya tua nampak berubah, lalu mendadak dia menyerang dengan tangannya.

Tiong Hoa kaget, tahu-tahu ia merasa terserang hawa dingin sekali, hingga tubuhnya

menggigil, habis mana ia merasai tubuhnya mulai kaku, darahnya seperti membeku dan kedua matanya tak dapat dibuka lagi, ia menjadi seperti lupa ingatan dan ingin tidur saja. Tapi ia melawan, ia mengeraskan hati nya, karena mana tidaklah ia sampai roboh.

Tepat itu waktu, sebuah tubuh kecil langsing berlari masuk kedalam ruangan itu,

segera terdengar suaranya yang menyatakan dia kaget sekali: "lbu Mengapa kau menggunai pula seranganmu Pek Koet Im Hong? Mana orang dapat bertah an?"

Matanya Tiong Hoa rapat dan berat, ia tetap ingin tidur saja, akan tetapi pendengarannya masih terang, otaknya masih sadar, maka itu, ia mendengar dan mengenali suara si nona tadi.

"Anak In," ia mendengar suara si nyonya lemah, "adakah orang ini sahabatmu? ibumu telah menanya dia sampai tiga kali, baru dia menjawab memperkenalkan diri sebagai orang she Lie. Karena keayalannya itu, ibumu menyerang dia sekarang tolonglah dia dulu, baru kita bicara lagi." "Dasar ibu yang sembrono," kata si nona menyesali "Kalau dia orangnya musuh, mustahil dia suka memberi ketika sampai ibu membuka mulut?.."

Habis mendengar penyesalan itu, Tiong Hoa lantas merasa ada tangan yaug lunak yang menempel dipunggungnya, ia menduga si- nona mulai menolongi padanya.

Segera juga ia merasakan hawa hangat tersalurkan kedalam tubuhnya, Bagaikan es lumer, hawa dingin mulai terasa kurang, makin lama ia merasa makin ringan. Ia terus menutup matanya, selagi berdiam itu, ia berpikir, ia heran untuk pengalamannya ini. Sebegitu jauh ia sebal dengan penghidupannya yang malang, sampai ia mau beranggapan orang tak dapat dipercaya. Tapi sekarang ia menemui nona yang berhati baik ini, ia di tolongi orang yang tidak dikenal. "Penghidupan itu aneh..." pikirnya. Tanpa merasa ia tertawa. 

"Eh, kenapa kau tertawa?" tanya si nona perIahan-

Tiong Hoa tidak lantas menyahuti. ia jengah, justeru itu ia dengar si nyonya tua menanya puterinya: "Anak In, heran. Aku menyerang dengan Pek Koet In Hong lima bagian luka orang itu ringan, kenapa kau menoIongi dia dengan tenaga Cit Yang Cin-lek masih jugabelum berhasil?"

"Ah, ibu" si nona masih menyesali " Kenapa kau menyerang demikian hebat kepada orang yang tidak mengerti silat ? Dia sebenarnya sudah sembuh tetapi aku mau menambah tenaganya dengan cit Yang Cin-Iek."

Tiong Hoa mendengar semua pembicaraan itu. Tidak dapat ia berdiam terus, Maka ia membuka matanyaJusteru itu, tangan si nona lantas ditarik pulang dan nona itu tiba tiba berada didepannya, menatap ia dengan matanya yang jeli.

Karena mereka berada dekat sekali, ia dapat mencium bau harum, ia menjadi likat sendirinya, pipi dan telinganya menjadi merah, ia pun takut untuk membalas mengawasi nona itu. ia terus memandang kearah peti mati.

Si nona bersenyum melihat kelakuanpemuda itu, ia lantas bertindak kepeti mati itu. "lbu." ia memanggiI.

Ketika itu ruangan masih guram, si nyonya, bercokol didalam peti mati, Nampak bagaikan hantu.

"Ibu." berkata pula si nona, "mestika itu telah berhasil aku dapati. Maka ibu bakal melihat langit dan matahari pula sekarang mari kita lekas berlalu dari sini, supaya orang tidak menyangka kepadaku."

"Apa, kau berhasil?" tanya si nona. Dia girang hingga suaranya bergetar. "Dasar orang baik dilindungi Thian."

Mendengar pembicaraan itu, baru sekarang Tiong Hoa ketahui si nyonya buta matanya, pantas tadi dia lambat menggeraki tangannya menyerang ia Jadi nyonya itu menanti dulu jawaban, untuk mengetahui di bagian mana ia berdiri.

Nyonya itu mengangkat seb atang tongkat dari sisi dengan pertolongan itu ia lantas bangun berdiri, gesit gerak-geriknya.

" Entah mustika apa itu yang dikatakan si nona?" kata Tiong Hoa dalam hatinya, ia lantas mengerutkan aIis. Ia sekarang melihat kakinya nyonya ini bercacad. si nona memandang sipemuda, ia melihat air muka orang, ia tertawa. "Aku tahu kau heran atau bercuriga, ingin kau menanyakan sesuatu padaku" ia kata. "Benar, bukan? sekarang kami mau lekas berlalu dari sini, jangan kau tanya apa-apa. Di mana ada ketikanya, kau tunggulah sampai kita berada di siauw Ngo Tay nanti kau ketahui sendiri."

Si nyonya sudah pergi ke belakang ruangan.

"Mari kita berangkat." kata si nona, "jangan kau sangka karena kakinya bercacad ibu jadi tak leluasa bergerak. Asal ia menggunai tongkat, mungkin kau tak dapat menyusulnya."

"Hm, Aku tak percaya." kata Tiong Hoa di dalam hatinya.."Sungguh gila kalau kakiku tak dapat mengejar orang yang tak ada kakinya." oleh karena si nona sudah bertindak pergi, pemuda ini lantas menyusuI. Di bagian belakang, kuil terlebih gelap daripada di bagian depan,

satu kali Tiong Hoa terkejut, ia mendengar suara sesuatu yang terhajar hebat, lantas ia melihat sinar terang.

Itulah si nyonya tua, yang menyerang jendela hingga daunnya menjeblak. habis mana dia berlompat keluar dari liang jendela itu.

Si nona mengikuti terus. Ketika Tiong Hoa sudah melompat keluar, nyata ibu dan gadis itu sudah meninggalkan ia belasan tombak. ia melihat juga, sekali menekan tanah, nyonya itu dapat berlompat jauh lima atau enam tombak. ia menjadi heran dan kagum. jadi benarlah kata pemudi itu. oleh karena ia kuatir nanti dicela si nona, ia lantas menyusul. Mereka berlari-Iari di daerah pegunungan yang tinggi dan rendah, di mana pun tumbuh banyak pohon lebat, itu waktu matahari yang menerangi bukit kuning sinarnya.

Sesudah meninggalkan jauh kuil malaikat tanah itu, Tiong Hoa mendapat kenyataan ia terpisah belasan tombak dari si nyonya dan nona, sekarang ia mengerti bahwa ia kalah.

Ia menjadijengah sendirinya ia pula di hinggapi keheranan, kenapa nyonya tua itu tahu jalanan sedang matanya buta.

Selagi ia memikir itu, pemuda ini ketinggalan lebih jauh pula.

ooooo

BAB 2

PERJALANAN dilanjuti terus, Di waktu matahari mulai turun, Tiong Hoa bertiga sudah sampai di kota Tembok Besar, yaitu kota Cie-keng-kwan, dijalanan penting Hoei- bo kauw, Di waktu matahari turun itu, Tembok Besar memperlihatkan keindahannya. Terlihat tembok kota panjang berliku-liku. sinar matahari pun berwama lima rupa.

Sekeluarnya dari Hoei-bo kauw itu, orang berada di tanah perbatasan. Dari situ gunung siauw NgoTay sudah mulai tampak, itulah gunung yang menjadi salah satupusat agama Buddha dan dalam keindahan alam, dia tak usah kalah dengan NgoTay san yang besar.

Di dalam Hoei-ho-kauw, dimana ada jalan besar yang pendek berbaris beberapa rumah warung, sebaliknya orang yang berlalu-lintas, waktu itu sedikit, inilah mungkin disebabkan angin keras, yang membuat debu danpasir berterbangan sampai orang sukar membuka matanya.

Lie Tiong Hoa ikut si nyonya dan gadisnya memasuki sebuah losmen kecil yang merangkap menjadi rumah makan. Di situ sudah berkumpul banyak tetamu lainnya, yang sedang duduk dahar dan minum, Kapan mereka itu melihat tiga orang ini, ruang menjadi sunyi senyap. semua mata lantas diarahkan kepada mereka bertiga. sukar jalannya si nyonya, pula mereka bertiga bed a sangat nyata.

Si nyonya tua dan kurus mirip tengkorak. -si nona sebaliknya cantik sekali, sedang si pemuda tampan mirip seorang pemuda hartawan. Maka selain mengawasi, tetamu-tetamu itu kasak-kusuk. bahkan ada yang berkata-kata tak sedap didengarnya.

Si nona mengerutkan alis. Dia melihat dan mendengarnya sebal, Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, Maka dia memandangnya tawar.

Tiong Hoa tak berpengalaman, ia heran-suasana di kota raja.

Ketiganya lantas berduduk. si nyonya duduk tegak. romannya menyeramkan, pelayan sudah lantas membawakan arak berikut kuwe yang masih panas.

Tidak lama maka suasana dalam ruang itu kembali menjadi biasa.

"Sekarang ini di kota Yan-khia telah terbit beberapa perkara hebat." terdengar seorang berkata, "Semua perkara itu menyebabkan repotnya anjing-anjing kantor"

"Coba tuturkan, toako" kata seorang Iain- "Pastilah itu perkara-perkara yang menarik," Hati Tiong Hoa bercekat, ia lantas menoleh kepada orang yang berbicara itu, yang merupakan serombongan dari tujuh atau tetamu dengan pakaian hijau dan masing- masing menggendoI senjata tajam.

Seorang, yang mukanya bercacad bekas bacokan golok, yang romannya bengis, meneguk araknya, lalu dia berkata: "Kejadian mulai kemarin dulu malam kira jam dua, Toan Kong, puteranya Pouwkoen Tongpin Toan Kwee, ada bersama dua tiga kawannya, Mereka sedang pelesiran.

Selagi lewat di dekat paseban To Jian Teng di Lam hee-wa. mereka bertemu dengan Lie Tiong Hoa puteranya Lie sie-Iong, yang romannya bingung, Toan Kong menjadi heran, dia menegur, tak tahu bagaimana, mereka menjadi berkelahi, Heran putera tie-tong hu, yang romannya lemah. dia telah menghajar pingsan Toan Kong murid BoeTong pay itu. setelah itu ketahuan Lie Tiong Hoa telah membunuh mati pemegang kasnya serta merampas uangnya.

Kemud ian ketahuan juga, ia telah membinasakan tukang loak di Lioe lie-ciang serta

seorang Iangganannya. Peristiwa itu lantas menggemparkan seluruh kota..."

Mendengar itu, mukanya Tiong Hoa pucat sendirinya, si nona dapat melihat perubahan air muka itu, lantas ia menduga, pemuda ini tentulah Lie Tiong Hoa itu si putera sie-Iong. ia mengawasi seraya bersenyum. Tiong Hoa mencoba menetapkan hati, ia bersenyum juga,

si nona bersenyum dengan hatinya menduga- duga, Kalau si pemuda orang Kang-ouw, peristiwa itu lumrah. Anehnya yalah dia ini pemuda turunan orang berpangkat, Kenapa dia membunuh begitu banyak orang? 

"Semua peristiwa itu membikin repot kawanan kaki anjing" orang itu melanjuti penuturannya. ia menyebut kaki anjing kepada hamba-hamba polisi.

"Satu gelombang belum sirap. datang satu gelombang lain inilah hal tercurinya satu cangkir mestika milik Pang eran Tokeh: itulah cangkir Coei in Pwee yang terbuat dari kemala Khotea yang terukir mega biru ungu. Empat centeng telah terbinasa kerenanya, kemudian didapat keterangan, pencurian berikut pembunuhan itu perbuatannya Kam Liang sam-to yaitu ketiga penjahat dari Kam liang serta sam Cioe Ya-cee Tam siauw Go si Mamedi Bertangan-tiga yang dikenal juga sebagai Tian- tam It Kwie, setan-tunggal dari IoIam selatan-,."

"Apakah faedah atau khasiatnya cangkir kemala Kho toa itu?" tanya seorang, "Bagaimana cangkir kemala itu dapat menggiurkan hatinya Kam- liang sam-to dan sam Ciu Ya cee Tam siauw Go?"

"Tak tahu aku perihal khasiatnya cangkir kemala itu, Kemudian baru aku mendengarnya

Dari pocu karena orang itu melanjuti, " Untuk cangkir kemala itu, po-coe sudah menunggang kuda kabur ke kota raja, cangkir kemala itu sebenarnya satu diantara ketiga mustika yang sekarang ini tengah diarah kaum Rimba Persilatan- terutama dua golongan Hitam dan putih sangat mengilarnya. Ketika hamba hamba istana yang lihai serta kawanan opas pergi menyusuI, didekat Kho pay-tiam mereka menemukan mayat-mayatnya Kam-liang sam-to serta Tam siauw Go yang dadanya bekas ditancapkan senjata rahasia.

Mereka semua terkenal sebagai penjahat-penjahat yang lihai dan di-malui, sekarang mereka terbinasa tidak keruan itu, tidakkah itu menggemparkan? Orang percaya sipembunuh adalah orang muda yang baru muncuI dalam dunia Kang-ouw..."

Mendengar itu, Tiong Hoa mengerti kebinasaannya Tam Siauw Go bertiga pastilah hasil sepak terjangnya Song Kie serta Tong tiauw Ngo Mo tapi pada itu si nona didepannya ini ada sangkut pautnya, terang mustika yang dimaksudkan si nona yalah cangkir kemala tersebut, ia lantas melirik nona itu atas mana si nona bersenyum hingga nampak sujennya yang manis ia lihat sendirinya, lekas- lekas ia melengos.

"Toako?" kata seorang lain. "Kau cerita kurang jelas, sebenarnya apakah ketiga macam mustika itu? Apakah khasiatnya itu? Dan poocu, yang sudah lama tidak pernah keluar rumah, kenapa setelah mendengar halnya cangkir kemala itu, sudah lantas berangkat ke Yankhia? Kenapa kau tidak mau menjelaskan itu hanya hal lainnya?

Apakah toako takut lain orang mendengarnya? Kau ingatlah, kampung Ie Kee Po terpisah dekat dari sini, siapakah yang berani main gila? Bukankah berani main gila itu berarti menarik kumis harimau?"

Orang dengan muka bertapak golok itu tertawa. "Kau tak tahu" katanya nyaring " Ketiga mustika itu

penting sekali, Pocu sendiri yang mengatakan, cangkir kemala itu bakal menjadi bibit pertentangan hebat kaum Rimba Persilatan, bahwa mungkin perkampungan Ie KeePo kita bakal turut terembet karenanya. tentang po- coe kita siapa kah yang dia buat takut? Babkan Lo-sat Kwie Bo Cek Kiauw-kiauw, yang dulunya berbareng terkenalnya dengan pocu, masih jeri terhadapnya .Ketika po-cu berangkat aku melihat wajahnya dingin sekali, itulah bukti pentingnya urusan."

Mendengar disebutnya nama Lo-sat Kwie Bo Cek Kiauw, atau Cek Kiauw-kiauw si Biang Memedi, si nyonya tua mengasi dengar suara di hidung.

Tiong Hoa mendengar itu, ia pun melihat wajah si nyonya, maka ini mesti ada hubungannya dengan Losat Kwie Bo. sikap dingin dari si nona menguatkan dugaannya itu.

Tiong Hoa menjadi orang hijau dalam dunia Kang- ouw, tak tahu ia perihal orang-orang Rimba Persilatan- Dari gelarannya saja, ia mau menyangka Lo-sat Kwie Bo bukan orang Iurus. Melihat sikapny a si nona, ia mau percaya Lo-sat Kwie Bo adalah nyonya yang menjadi ibunya nona ini, ia menjadi bimbang ia turut Song Kie sebab ia mau cari gambar lukisan, sekarang ia turut nyonya dan nona ini ke siauw Ngo Tay.

Apakah perlunya? Apa cuma sebab ia tergiur kepada nona itu? Kalau benar, apa ia tidak menyalahi pesan mendiang gurunya?

"Baiklah, aku lekas pisahkan diri dari mereka?" pikirnya kemudian- " Kalau tidak, aku bisa menyesal seumur hidupku."

Tengah ia berpikir begitu, ia melihat si nona lagi menatap padanya, ia merasa seperti si nona dapat menerka hatinya itu, sendirinya ia merasa tak enak hati, keringat dinginnya lantas keluar, sinar mata si nona seperti meminta untuk ia jangan pergi meninggalkannya

. "Ah, putusanku terlalu getas." pikirnya kemudian- "Bedanya kejahatan dengan kebaikan nyata sekali, hanya sebelum jelas, sukar membuktikannya, tak dapat aku lancang menduga nyonya tua ini, Banyak orang palsu."

Selagi pemuda ini berpikir begitu, banyak tetamu justeru mengawasi ia dan menduga- duga kenapa ia berkumpul dengan nyonya jelek dan tua itu serta si nona. Mereka umumnya menyangka itulah disebabkan ia tergiur terhadap nona itu... Nona itu tidak puas melihat sikap banyak tetamu itu, ia mendongkol.

Ketika itu ada datang lagi dua tetemu, dua- duanya imam dengan kundainya yang tinggi, masing-masing menggendol pedang, Kelihatannya seperti ssudara, Mata mereka menunjukkan sinar angkuh. Melihat si nyonya, mereka lantas melengos, hanya sebentar kemudian, mereka mengawasi. Karena itu. para hadirin kembali memandang si nyonya. sebagai orang buta, nyonya itu tak tahu bahwa orang mengawasi padanya.

Tiong Hoa heran-

"Nona, kedua imam seperti kenal ibumu.." katanya perlahan.

Nona itu, dengan kedipan matanya, mencegah orang melanjuti kata- katanya.

Salah satu imam berkata pa da kawannya: "Romannya sudah berubah, entah dia entah bukan-.."

"Takperduli dia atau bukan, kita turun tangan saja untuk mencoba." sahut yang kawan

itu. "Kita coba ekornya sirase, mesti ketahuan-.."

Nyonya tua itu buta tapi telinganya terang, Dari itu ia dapat mendengar pembicaraan di antara kedua imam itu, ia nampak menjadi keren- 

Imam yang berdiri dikiri mengangkat tangannya perlahan-lahan diarahkan kepada nyonya tua itu. Lantas ada angin yang mendesak mukanya.

Tiong Hoa merasakan angin ini, hawanya dingin, lunak tapi lekas berubah menjadi keras, ia menjadi heran-

Si nona mengerutkan alis, dengan tangannya dia menolak.

Tiba-tiba si imam mundur tiga tindak. tubuhnya terhuyung. Belum lagi dia berdiri tetap. si nona sudah bertempat ke depannya, untuk menuding dan menegur. "Oh, hidung kerbau, kamu tidak pantas Kenapa kamu mencari onar tanpa sebab? Kalau bukan aku awas dan sebat. tentulah ibuku roboh di tangan kamu."

Imam itu kaget, mukanya pucat, matanya bersinar tajam, ia mencoba si nyonya dengan tenaga lima bagian, di luar dugaan, si nona merintangi ia. itulah kejadian didepan banyak orang. Dia menjadi gusar. Dia kata. "Kami berdua adalah Mauw san siang Kiam, belum pernah kami lancang turun tangan.

Kali ini pun aku cuma mencoba, guna mendapat kepastian ibumu ini benar Lo sat kwie Bo yang dulu hari termasyhur atau bukan.”

Mendengar itu, ruang menjadi sunyi.

Si imam meneruskan berkata: "Dulu hari justeru kami pergi pesiar, Lo sat Kwie Bo sudah membasmi murid- murid Mauw san pay, dan kuil kami pun dibakar ludes.

Karena itu

kami berdua merantau mencarinya"

"Hm" mengejek si nona. "Kata-katamu ini tepat untuk dipakai mengelabui orang-orang dogol. Roman Lo-sat Kwie Bo apa kamu tidak kenali, toh kamu berani menyebut orang musuh kamu, Aku tidak tahu Lo sat Kwie Bo tetapi aku tahu ialah satu syarat hidupnya, Yalah kalau orang tidak ganggu dia, dia tidak bakal mengganggu lain orang. Kamu tidak kenal dia, kenapa dia pergi ke gunung kamu?"

Ditegur secara demikian, merah mukanya imam itu.

Dia menyeringai dan kata: "Kau tahu syarat hidup Lo sat kwie-bo, kau pasti muridnya. sekarang aku hendak hajar yang muda, mustahil yang tua tak muncul?"

Mauw san siang Kiam memang b ersaudara kembar dan nama mereka terkenal karenw ilmu pedang mereka. Merekalah Ceng Leng Toojin dan Ceng inToojin, Mengenai perkara mereka dengan Los at Kwie Bo, merekalah yang bersalah.

Adik misan laki-laki Lo-sat Kwie Bo mem buka piauw kiok, ketika dia mengantar piauw (pio), di kaki gunung Thay Hang san dia dipegat dan di begal Hul-thian cie Ciao Pioe si Tikus Terbang. Adik misan itu gagah dan sebelah tangannya si berandal dikutungi ciao Pioe muridnya Ceng leng.

Dia mengadu yang tidak-tidak pada gurunya, Ceng Leng dan Ceng in gusar, mereka lantas sateroni si piauwsie, yang mereka bunuh serumah tangganya.

Ketika Lo-sat Kwie Bo ketahui itu, dia pun gusar, dia mendatangi gunung Mauw san. Kedua imam kebetulan tidak ada di gunung, tetapi Lo sat Kwie Bo gusar, dia melabrak. dia bunuh semua muridnya kedua imam itu dan membakar juga kuilnya. Dia belum puas, dia

merantau mencari Mauw san siang Kiam. Apa lacur, dia bertemu musuh lain dan dia kalah hingga kedua matanya buta serta kedua kakinya bercacad dan mati kaku, sampai sebegitu jauh. Mauw san siang Kiam masih belum tahu kenapa murid- muridnya dibinasakan dan gunungnya diludaskan-

Sudah lewat sepuluh tahun, Ceng Leng dan Ceng In masih belum dapat mencari Lo-sat Kwie Bo, itu berarti pembalasannya belum dapat diwujudkan, tetapi mereka mendendam terus dan memikirkannya setiap harinya.

Di Hoei bo- kauw mereka dapat melihat si nyonya lantaran mata orang buta dan kaki mati, mereka bersangsi. Yang mereka lihat seperti lukisannya, nyonya itu memiliki tahi lalat merah dijidatnya betulan saja.

Karena ini mereka bersangsi melihat si nyonya tua, maka mereka mau menguji.

Dalam murkanya si nona kata pula bengis "Kamu dua potong sampah, kamu berani main gila di depan nonamu. Aku tak takut pedang mustika kamu."

Kedua imam gusar sekali, apa pula Ceng In Too j in. Mauw san siang Kiam kesohor untuk ilmu pedangnya

Pek Wan Kiam-hoat atau lutung putih. Nama mereka besar, seharusnya mereka malu melayani seorang nona, tapi kata- kata si nona tajam, mereka gusar tak terkendalikan-

Begitulah Ceng in tertawa dingin dan kata: "Baik, baik, Nona tak memandang kami, kau mesti murid orang lihai, kami ingin menerima pengajaran dari kamu."

Sebelum si nona menyambut, orang yang mukanya bertapak golok tadi -- orang dari perkampungan Ie Keo Po -- campur bicara dan berkata nyaring. "Di luar ada pekarangan

luas, baik kamu main-main di sana. Aku Hoe bin-long Lie Koei dari Ie Koe Po suka menjadi saksi."

"Oh." terdengar suaranya Ceng Leng. "Lio Loosoe, kami belum pernah bertemu lagi Ie Pocu selama sepuluh tahun. semoga dia sehat dan berbahagia, harap kau tolong sampaikan hormat kami"

Hoa-bin-long Lie Koei si serigala Belang tertawa lebar. "Nama tootiang kesohor, pocu sering

membicarakannya," ia kata, "Baiklah, nanti aku menyampaikannya, Terima kasih. sekarang silahkan mulai."

Si nona mendongkol dia mengawasi tajam si serigala Belang itu.

Mauw san siang Kiam menjadi bersangsi. Mereka seperti telah menunggang harimau sehingga sukar untuk mereka turun dengan begitu saja, terpaksa mereka berdiam terus sembari mengawasi bengis si nona.

Si nyonya tua tetap berdiam, mendengar semua pembicaraan itu, wajahnya tak berubah. Ia sebenarnya gusar tapi ia menyabari diri, ia ingin lekas pulang untuk dapat mengobati mata dan kakinya .Jadi tak sudi ia bertempur.

Ketika itu cuaca sudah gelap dan pelayan telah mulai memasang lilin- Di antara sinar api semua orang tampak tegang,

Akhirnya Lie Tiong Hoa berbangkit, ia memberi hormat kepada kedua imam. "Tootiang orang beribadat, buat apa too tiang melayani wanita?" ia berkata bersenyum. " Kalau hal ini sampai tersiar, apakah too tiang tidak bakal mendapat malu?"

Inilah ketika bagus untuk Mauw san siang Kiam mengundurkan diri, Ceng Lin ingin

menjawab anak muda itu ketika si nona memandang si pemuda dan berkata: " Kenapa kau campur tahu urusan ini? Nonamu justru ingin mengajar adat kepada kedua hidung kerbau ini, untuk aku melihatnya mereka masih berani mendatangkan onar atau tidak."

Nona itu ketahui duduknya hal, ia ingin melampiaskan kemendongkolan ibunya sebab ibu itu sungkan turun tangan, ia suka mewakilinya.

Tiong Hoa tidak dapat menerka hati si nona, maka itu, kena ditegur, mukanya menjadi merah, hingga ia berdiam saja.

Melihat orang kebogehan, si nona tertawa seraya terus berkata, "Kau tunggu di sini melihat ibuku." Kemudian ia memandang ke dua imam, untuk berkata tawar: "Hayo ke luar Apakah kamu ingin nonamu menyeret kamu?"

Mauw san siang Kiam mendongkol bukan main, sambil tertawa dingin, keduanya bertindak keluar, samar-samar terdengar suaranya Ceng In: "Budak ini tak tahu langit tinggi dan bumi tebal."

Si nona kembali mengawasi si anak muda, ia tertawa dan memesan pula perlahan: "Aku minta kau menemani ibuku, seb entar aku nanti haturkan terima kasihku kepadamu" Ketika itu, mengikuti kedua imam, para hadirin sudah pa da pergi keluar, maka di dalam ruang itutinggalsi nona bersama ibunya serta sipemuda.

Semangat Tiong Hoa seperti terbang melihat dua kali si nona tertawa, Wajah nona itu mirip bunga hoe-yong dan alisnya mirip daun yang lioe. Apapula ketika si nona melirik padanya selagi dia bertindak keluar.

Tiong Hoa lagi kesengsam ketika ia mendengar si nyonya berkata sambil menghela napas padanya: "Anak muda, tahukan kau aku si orang si tua orang macam apa?"

"Aku telah menduga delapan sampai sembilan bagian, hanya aku yang muda tidak berani menyebut nama loo cianpwee," Tiong Hoa menyahut cepat.

Muka seperti tengkorak nyonya itu tertawa, ia kata: "Anakku In Nio ini belum pernah ada priya yang menarik hatinya, maka itu mungkin pa da kau dia melihat sesuatu, Dia gampang sekali tersinggung, kau baiklah berhati-hati terhadapnya." ia berdiam sebentar lantas ia kata pula: "Aku si orang tua dapat menjaga diriku, kau pergi keluar melihat si In..”

Tiong Hoa girang mendengar kata- kata itu, ia memang ingin keluar, Tak enak hatinya berdiam berduaan saja dengan nyonya tua itu. "Baiklah, loocianpwee" ia kata, Lantas ia memberi hormat danpergi.

Di luar, sang malam terang sekali. sang rembulan tengah permainya. Disisi pekarangan itu bulan tengah permainya. Disisi pekarangan telah berkumpul penonton tak kurang dari pada delapan puluh orang, Di tengah gelanggeng si nona lagi berdiri sembari mengawasi kedua imam sambil tertawa, ia baru saja menanya: "Aku minta tanya kedua tootiang ingin main- main secara apa

? satu lawan satu atau kamu meluruk berdua? Nona mu selalu bersedia mengiringi kamu?"

Nona itu merangkap kesesatan dan kelurusan, kata katanya itu keluar dari hati tulusnya. Tapi di telinga Mauw san siang Kiam, suara itu tak sedap terdengarnya, Biar bagaimana, merekalah ketua suatu partai dan selama merantau, belum pernah ada orang yang berani menghina atau mempermainkannya, sekarang si nona tak memandang mata padanya,

Panas hati mereka, Lebih-lebih Ceng In yang cupat pandangannya. Dia tertawa dingin

lantas dia lompat menerjang. Dia mau menangkap tangan si nona.

Tiong Hoa dapat melihat itu, dia terkejut ia kuatir si nona terlukakan si imam.

Tapi nona itu, melihat orang bergerak. dia tertawa. Dia kata: "mau nekad, kau hendak mengadu jiwa, baik, sebentar nonamu akan membikin kau memperoleh kepuasan." Sembari berkata begitu, dia berkelit dengan lincah, Bahkan tahu-tabu dia sudah berada di belakang orang.

Dengan kedua tangannya ia lantas menotok dua jalan darah Ceng Cok dan Ie-boen dari imam itu.

Ceng ln terkejut, ia mendengar suara angin- Tahulah ia bahwa nona itu tidak dapat dipandang, ia geser tubuh ke kanan, ia berbalik, dengan kedua tangannya ia menyambuti serangan, ia mendak sedikit, untuk menggunai tipu silat "Badak dongak memandang rembulan."

Nona itu tertawa pula, kedua tangannya ditarik pulang, Berbareng dengan itu, tubuhnya berputar , ia berputar terus sampai tujuh atau delapan kali, mengitari si imam.

Ceng In menjadi repot dan bingung, ia mesti turut berputaran, karena mana, ia merasa matanya kabur. si nona bergerak dengan sangat cepat, Kalau ia alpa, ia bisa celaka, ia kenali si nona lagi menggunai tipu silat "Thian mo loan koe," yaitu Hantu langit menari," Maka terpaksa ia berlompat ke luar.

Justru orang menyingkir justru si nona menyerang, tangan kirinya menyambar jalan darah kiok-tie ditengan kanan imam itu.

Ceng In kaget, Tak dapat ia menangkis, ia cuma bisa berkelit, Saking terpaksa, la berlompat pula terlebihjauh.

Si nona tertawa pula, ia menyusul tangan kirinya meluncur. Ketika ia gagah tubuhnya berlompat tinggi melewati si imam. ketika ia menginjak tanah, cepat luar biasa ia berbalik terus tangan kanannya menyerang, mencari jalan darah leng-kio di dada kiri si imam.

Kesebatan itu membikin bengong para penonton- Ceng Leng pun kaget, Kecuali lompatan itu, yang harus dikagumi, ia juga mengenal totokan tangan kiri dan kanan si nona.

Totokan tangan kiri itu bernama memedi menggerogoti tulang. itulah ilmu silatnya kaum sesat. Dan totokan tangan kanan, "Tapak tangan Kim-kong" ilmu silat kaum lurus,jadi dia menggabung kepandaian kedua kaum persilatan itu Anehnya itu dimiliki seorang wanita demikian muda, karena ini, ia jadi mau membantui saudaranya, kalau tidak, ia kuatir saudaranya bercelaka.

Tanpa ayal lagi, sembari berseru, ia berlompat maju, terus ia menyerang dengan pedangnya, yang ia hunus sambil berlompat, hingga ia menyerang dari atas ke bawah.

Si nona mendapat tahu datangnya musuh yang kedua, ketika ia di serang, ia berkelit sambil mendak. dengan begitu, pedang lewat di sisinya, Lantas dengan cepat ia mendupak kearah pedang. Tepat dupakannya itu, pedang terkena hingga berbunyi nyaring.

Ceng Leng terperanjat. Jejakan itu keras sekali, pedangnya terasa berat, lengannya kaku tak bertenaga.

Si nona tak berhenti dengan jeb akannya itu, ia bangun berdiri, terus ia menyerang.

Sekarang ia menggunai kedua tangannya, ia menyerang kedua tangan lawan, itulah tipu silat "Naga perak membiak sisiknya."

Selagi si nona menyerang itu Ceng In, yang memperoleh ketika, telah menghunus pedangnya juga, terus ia menyerang, ia mau menolongi saudaranya yang terancam bahaya.

Ceng Leng sendiri kaget hingga ia merasa pamornya bakal runtuh. syukur datang pertolongan saudaranya itu, si nona batal menyerang terus, Nona itu mau melindungi diri dari pedang Ceng In. Maka si imam lompat ke samping. Nona itu tertawa, dia kata. "Nonamu menyangka Mauw San siang Kiam liehay luar biasa, kiranya cuma sebegini" Dia bicara sambil berdiri tegak, di bawah sinar rembulan, dia nampak seperti seorang dewi.

Kedua imam bingung bukan main. Mereka tak kenal sinona, dengan begitu mereka jadi tak ketahui asal usul orang, Di dalam hati mereka mengakui keliehayan orang yang masih muda sekali tetapi dapat menggabung ilmu silat kaum sesat rtan lurus, di lain pihak mereka sangat penasaran.

Selagi ceng Leng memikirkan daya untuk mengalahkan lawannya, Ceng In melihat si anak muda berdiri terpisah enam tombak, matanya mengawasi si nona saja, Pemuda itu agak tersengsam. Menampak demikian, ia mendapat akal-muslihat yang licik. Begitulah mendadak ia lompat ke depan si nona untuk menikam. Ceng Leng melihat ketikanya, ia pun membarengi menyerang,

Si nona lagi mengawasi, maka ia melihat gerakan kedua lawan itu. ia bersiap untuk melayani. Baru ia berkelit dari Ceng In, mendadak imam itu beriompat ke samping, tangan kirinya terus diluncurkan, guna meny amber si anak muda.

Tatkala itu tibalah pedang Ceng Leng, Si nona meluncurkan dua jari tangannya.

Untuk menyambuti pedang, untuk di sampok dengan dua jarinya itu, ia berhasil, pedang berbunyi nyaring dan terpental

Ceng Leng kaget bukan main, ia merasa lengan dan telapakan tangannya sakit, Tak dapat ia mencekal terus pedangnya, Pedang itu mental ke atas genting. Nona itu menggunai tenaga "cit Yang," itulah ilmu silat ajarannya tocu atau pemilik, dari pulau Lee Coe To di Poet-hay di teluk Titlee, Untuk pertama kalinya, pemilik pulau itu menggunai tenaga Cit Yan itu atau Cin Yang Cie-Iek dalam pertempuran di gunung Jang Wie san di telaga Thay ouw.

Dalam tiga jurus dia mengalahkan see-hek Mo Ceng, pendeta hantu dari wilayah Barat, sampai tulang iga orang remuk dan dengan muntah-muntah darah pendeta itu lari kabur, sedang dua belas imam dari Lu Liang san terbinasa dengan pedang mereka rusak, itulah peristiwa yang menggemparkan, yang membikin tocu itu menjadi kesohor. si nona belum mencapai kemahirannya, tetapi toh kedua imam ini sudah kewalahan.

Habis membikin mental pedang Ceng Leng, si nona terkejut melihat Ceng In yang mundur dari hadapannya, mau mencelakai si anak muda. "saudara Lie, awas" ia berteriak.

Tiong Hoa mendengar peringatan itu sesudah kasip. ia lagi mendelong tatkala si imam berhasil meny amber lengannya yang kanan. segera ia merasakan nyeri hebat, tapi ia tidak menjadi gugup, bahkan ia mendongkol sekali. sambil menahan sakit, ia membalas menyerang.

Ia menggunai tinju kirinya sekuat tenaganya.

Inilah tidak disangka Ceng ln, syukur dia tidak menjadi gugup, sambil melepaskan cekalannya, dia berkelit, lalu sambil berkelit itu, dia menyabet dengan pedangnya ke- tangan kiri si penyerang.

Hanya baru lewat satu hari dan satu malam pengetahuan Tiong Hoa menjadi bertambah, ia menyingkirkan tangan kirinya dari sabetan pedang, tetapi ia tidak berkelit mundur. Dengan tangan kanannya yang sudah bebas, ia membarengi menyerang, menghajar lengan kanan si imam.

Si nona melengak melihat kepandaian si anak muda, itulah bukan caranya si hijau dalam dunia kang-ouw, ia menjadi kagum, hingga selain hatinya lega, iapun bersenyum memperlihatkan sujennya.

Ceng Leng bingung, juga Ceng In. Di luar dugaannya, si nona gagah, si pemuda gagah juga, Karena itu, mereka memikir untuk mundur dengan teratur. Tak lama keduanya memakai tempo. Tiba-tiba mereka lompat mundur, selagi si pemuda dan pemudi heran, mereka maju pula, terus mereka merangsak, menyerang saling susul itulah ilmu pedang mereka, "Mauw san Toan Hoen Kiam hoat" atau "Memutus Arwah."

Luar biasa si anak muda, Mendadak malam ini ia memperoleh semangat. ia melayani dengan baik, tabah dan gesit, Dan begitu terbuka ketikanya, ia desak Ceng In.

Lagi-lagi si imam heran dan kaget, mukanya menjadi pucat, Bukankah ia seorang jago? dan memegang pedang juga? Lantaran di-desak, ia repot membela diri sedetik ia bingung, dadanya lantas tertindih si pemuda hingga ia menjerit, terpaksa selagi terhuyung, ia memutar tubuh untuk lari ke arah timur. Ceng Leng tahu diri, ia pun lari meninggalkan si nona.

Tiong Hoa tidak mengejar musuhnya, ia berdiri tegak, gerakannya gagah. si nona melihatnya, dia menjadi kagum, hatinya girang. Benar-benar luar biasa, toh waktu diserang ibunya, pemuda itu mirip seorang tidakpunya guna, sebab ia tak dapat menangkis, tak bisa berkelit.

Juga Tiong Hoa sendiri heran atas dirinya, tiga tahun ia belajar silat, ternyata itu tak sia-sia belaka, jadi tak kecewa gurunya memberi pelajaran kepadanya. Rupanya dulu ia kurang bersemangat karena perlakuan orang tuanya yang menekan bathinnya dan setelah merdeka, ia bebas benar benar, sekarang iapun memperoleh kawan cantik manis, yang erat sekali pergaulannya dengannya .

Satu hal tak diketahui si muda mudi. Hati Mauw san siang Kiam telah menjadi rada ciut ketika mereka menduga si nyonya adalah, Lo-sat Kwie Bo, pukulan itu berakibat buruk. hingga melayani muda mudi itu, hati mereka hilang ketenangannya. inilah yang mempercepat kekalahannya.

Lantas si nona menghampirkan Tiong Hoa. Dia bersenyum.

"Aku salah mata?" katanya, "Aku tidak nyana kau bisa mengalahkan Ceng In si imam jago dari Mauw san."

Mukanya pemuda itu menjadi merah, ia likat. "Kau memuji saja, nona." katanya jengah,

"Kepandaianku cetek tidak berarti, tak dapat aku dibandingkan dengan kau. Lihat saja caranya kau menyentil pedang orang barusan-"

Nona itu senang sekali dengan itu pujian- ia kata dalam hatinya, pemuda ini bisa bicara, dia pun tampan, maka entahlah ibu menyukai atau tidak..."

Ia lantas ingat bahwa sebegitujauh belum pernah ibunya memberi hati kepada kaum pria, bahkan semenjak buta, ibu itu makin keras sikapnya, asal dia mendengar suara pria, dia mau lantas menyerang.

Jangan bicara begini manis." katanya, bersenyum, "siapa tahu kau tidak bicara setulusnya hati? Mari, mari kita melihat ibu." Dan ia bertindak lebih dulu masuk kedalam.

Kata-kata "Kita" itu membikin Tiong Hoa berpikir seperti terkena pengaruh, ia lekas menyusul.

orang-orang le Kee Po, dipimpin Lie Keei, telah buyar entah kemana, Para tetamu lainnya pada tak berani mengikut ke dalam. Mereka pun bicara dengan kasak kusuk. Maka itu, habis pertempuran sang malam menjadi sunyi.

Dari dalam rumah makan merangkap penginapan itu, dimana hanya terlihat sinar lilin, mendadak terdengar teriakan kaget: "lbu..." ooooo hh”

KETIKA Tiong Hoa tiba di dalam, ia kaget, ia dengar jeritan si nona, lantas ia melihat tubuh nona itu melompat ke luar jendela, hingga api lilin bergoyang- goyang. si nyonya tua tak nampak. Di atas meja nampak dua tapak tangan yang melesak dalam. Di lantai menggeletak sepotong tongkat. Di dekat meja, dua buah kursi ringsak. Dalam sekejap itu, si anak muda lantas menduga mestinya si nyonya tua kena diculik orang, Mestinya culik itu gagah, sebab mereka telah bertempur lebih dulu, Atau si nyonya lari mengejar musuhnya...

Tiong Hoa berkuatir dan menyesal, la ingat pesan si nona tadi untuk ia menunggui ibu orang itu, Toh ia pergi keluar walaupun ia dititahkan si nyonya, seharusnya ia tolak titah itu, atau ia menjagai dari luar, ia menjadi tidak enak hati. Kalau ia ketemu si nona, apa ia mesti bilang? Maka ia menjadi bingung, ia berdiri menjubIak.

Tapi tak lama, ia sudah mengambil keputusannya, ia melompati jendela pergi keluar, ia mengguna i ilmu lompat melesat yang gesit, yaitu "Hoa i yap touw lim." atau "Daun terbang ke dalam rimba."

Tatkala ia sampai di luar, suasana sunyi, Bintang banyak, rembulan masih sedang terangnya. setelah melihat kelilingan dan tak melihat siapa juga, ia lantas lari keluar Bao Lie Tiang shia. Tembok Besar, untuk menuju ke gunung siauw Ngo Tay.

Gunung itu panjangnya mencapai beberapa ratus lie, banyak pohonnya, banyak batunya, seperti umumnya gunung sukar juga untuk dimendaki. Tapi Tiong Hoa, setibanya, lantas lari naik, ia mencari si nona dan ibunya inilah tugas sulit dan berat untuknya. sukar mencari orang di tempat sepi dan belukar itu

Gagal Tiong Hoa malam itu, tak dapat ia mencari wanita tua dan muda itu, ia melanjuti di waktu pagi dan siangnya, terus tengah hari, lohor dan sore lagi, ia tetap gagal, ia bingung dan bertambah kuatir, ia berfikir keras. semua itu tidak menolong, ia mencari terus tanpa hasil, sampai berhari-hari.

Tak pernah Tiong Hoa turun dari siauw Ngo Tay, ia menjelajah gunung itu. Untuk menangsal perut, ia makan saja buah-buahan, Untuk menghilangi dahaga, ia mencari sumber air, ia tidak dapat menyalin pakaian hingga baju dan celananya kumal dan kotor, sampai rambutnya tak terurus, ia tak lagi si pemuda tampan saking dekilnya itu. 

Sampai di hari ke lima, Tiong Hoa tetap gagal. Di gunung itu, seorang tukang kayu pun tidak ada. sebaliknya, hampir ia di-pagut ular. syukur tubuhnya ringan dan dapat ia berkelit dari ancaman bahaya itu. Bahkan pengalaman itu merupakan latihan bagus untuk kepandaiannya itu.

Setelah kewalahan, ia pergi keluar dari gunung, ia berada di mulut lain dari gunung itu, ketika ia meraba mukanya, ia kata: "Ah, aku mesti mandi." Maka itu ia berjalan mencari selokan, yang berada tujuh atau delapan tombak dari dirinya, ia mendengar suara air berkericik, ia jongkok di tepian, ia menyaup air dengan kedua tangan nya, untuk mencuci mukanya. Mendadak...

“Jangan! Jangan. Air itu tak dapat dipakai..."

Tiong Hoa terkejut, hingga air pada molos dari sela- sela jerijinya, ia lantas menoleh ke arah dari mana suara datang, suara itu bergemetar, datangnya dari rumput di sampingnya.

Sesudah lima hari seperti terpisah dari dunia, Tiong Hoa heran berbareag mendapat harapan, ia lantas bertindak menghampirkan, Di dalam rumpun rumput itu ia melihat seorang tua dengan baju kuning rebah tak berdaya, romannya sangat kucal, mukanya bengis, tak berkumis, kepalanya lanang. Matanya pun guram ketika dia melihat orang yang meng hampirkan padanya .

"Eh, bocah, aku telah menolong jiwamu" katanya sembari tertawa dingin- "Maka itu kau

harus melakukan sesuatu untuk aku si orang tua." Tiong Hoa heran.

"Apa? ia tanya, "Kau telah menolongi jiwa ku? oh, loo- j in- kee, janganlah kau berguyon- Untuk berbuat sesuatu untukmu, itulah pantas, nanti aku berikan bantuan, Hanya aku ingin lihat dulu, apakah itu yang aku kerjakan-.."

Orang tua itu membuka matanya lebar-lebar.

"Kau tidak percaya aku?" bilangnya, "segera kau akan ketahui sebenarnya itu bukan apa apa. sekarang kau tolong dulu mengeluarkan satu peles kecil dari pinggangku, kau ambil sebutir obatnya, kau masuki itu ke dalam mulutku si orang tua." sekarang Tiong Hoa bisa melihat tangan dan kaki orang itu tak dapat digeraki. "oh," katanya, "Aku kira kerjaan apa, tak tahunya pekerjaan sangat mudah."

Ia membungkuk. merabah pinggang orang tua itu, ia mendapatkan peles kecil yang di sebutkan itu, Dengan perlahan ia meloloskannya, terus ia buka sumbatnya, Lantas hidungnya mencium bau harum, hingga dadanya menjadi lapang.

Ketika ia menuang isinya, keluar enam butir obat pulung, warnanya merah dadu, kuning gading dan putih susu. ia jumput sebutir yang merah dadu itu, yang lainnya ia masuki pula dan menutupnya dengan rapat, selama itu si orang tua menatap tajam wajah orang.

Tiong Hoa menyirapi obat itu si orang tua mengganyangnya sambil merapatkan matanya. Tak lama kemudian, muka pucat orang tua itu mulai bersemu dadu.

Si anak muda heran, itulah perubahan untuk orang yang mengerti ilmu tenaga dalam. Maka ia

mau menduga, orang tua itu seorang jago Rimba Persilatan. Hanya kenapa kaki tangannya mati-mati. Apakah dia habis dibokong musuh? Kalau benar, musuh itu lihai sekali, Kalau benar begitu, kenapa dia tidak sekalian dibunuh mati?

Tengah Tiong Hoa berpikir begitu, tubuh si oraog tua berkutik, Dia mulai menggeraki tangan dan kakinya perlahan-lahan. Agaknya dia lagi mencoba-coba, tidak lama, sekonyong-konyong dia bangun berdiri, terus dia tertawa berkakak. Nyaring tertawanya itu. Dan lama juga. Habis itu, dia menatap anak muda di depannya,

"Anak muda, kau datang ke gunung ini dengan membawa banyak uang, buat apakah itu?" dia tanya, Dia lantas melihat bungkusan uang orang. Tiong Hoa membayar pulang peles obat.

"Sudah lima hari aku yang muda berada di atas gunung ini mencari orang" ia menyahut tertawa, "Aku tidak berhasil mencari, dari itu terpaksa aku turun gunung."

"Oh begitu" kata orang tua itu tertawa pula "Aku kira gunung siauw Ngo Tay ini ada orang hutannya." ia menatap kembali tajam. ia berkata pula, "Aku si orang tua, aku biasanya tak suka menerima budi orang. Ketika tadi kau berdiri di mulut gunung itu, sudah aku melihatnya, hanya aku tidak mau memanggil kau, baru setelah kau mengambil air, aku menegurmu, Dengan begitu aku menolongi jiwa mu.

Dengan demikian juga, kita menjadi tidak saling berhutang budi, selokan itu telah aku campuri racun, siapa kena minum atau pakai airnya, dia mesti binasa, taksalah lagi, jikalau kau tidak percaya. pergi kau ikuti selokan itu, sebentar saja kau akan dapat buktinya bahwa aku tidak rnendusta." 

Tiong Hoa kaget. Toh ia bersangsi, Maka ia bertindak ke hilir, Baru ia melalui lima atau enam tombak. la terkejut bukan main- Di tepian itu terlihat menggeletak tiga mayat manusia, mukanya matang biru tanda terkena racun- Darah pun keluar dari mata. hidung mulut dan telinganya, dari liang keringatnya. Karena kedua mata mereka masing-masing mendelik, itulah bukti kebinasaan yang hebat. Dengan hati berdebaran, ia kembali kepada si orang tua,

Tanpa menanti orang membuka mulut, si orang tua menyambut dengan tertawanya.

"Apa kataku?" dia tanya, "tiga orang itu musuh besarku selama hidupku" setiap tiga tahun sekali. kita membuat pertemuan, kita bertempur mati-matian, Mereka bertiga selalu berkelahi bersama dan berbareng. Sebegitu jauh belum pernah kita kalah atau menang.

Baru kali ini aku memikir akal..."

Dia mengawasi pula, agaknya dia puas sekali. Dia melanjuti: "kita mulai bertempur, aku bicara dengan mereka itu. Aku menyarankan untuk jangan mengadu tangan dan kaki hanya untuk mengukur saja tenaga dalam masing-masing, Mereka itu bangsa kepala besar dan jumawa, mereka tidak sudi mengalah, maka itu mereka menerima baik saranku itu. Dengan begitu kesalah mereka tertipu aku..."

"Siapa mereka itu? Mestinya mereka juga jago Rimba Persilatan..."

Orang tua itu menentang matanya, "Apa?Jago Rimba Persilatan?" katanya mengulangi. "Mereka justeru bangsa buruk dan terkutuk sudah lama aku memikir menyingkirkan jiwa mereka, saban-saban aku bersangsi, tapi kali ini Thian membantu aku, dan dengan demikian untuk kali ini hatiku dibikin mantap. Aku mengusulkan kita sama sama minum air, lalu

kita semprotkan ke-pohon yang menjadi sasaran atau batu ujian kemahiran tenaga- dalam kita. Siapa yang dapat merontokkan semua daun, dialah yang menang, Siapa yang kalah, dia bersedia untuk dihukum cara apa saja oleh pihak yang menang.

Kita berkelahi dengan satu lawan tiga, tentu sekali, harapanku ialah harapan kalah, Mereka menerima usul itu sambil bersenyum. terang mereka sudah merasa bakal menang.”

Mendengar begitu, Tiong Hoa menoleh dan melihat empat pohon bong berdiri berendeng, daun-daunnya sudah rontok separuhnya, itulah pertaruhan bukan main- Dalam musim seperti ini, daun pohon sedang kuatnya melekat pada tangkainya.

"Mereka tidak tahu bahwa aku menggunai tipu muslihat." si orang tua melanjuti penuturannya. "Selagi aku mengambil air, diam-diam aku melepaskan sepotong racun- siapa terkena itu tak dapat sembuh kecuali dia makan obat pemunah ku, Itulah ini obat merah, Habis minum air sebanyaknya, kita mulai mengadu kepandaian, Siapa pun diantara kita tak ada yang sanggup merontokkan semua daunnya pohon itu, Selama itu, racun sudah, bekerja didalam perut mereka.

Mereka liehay sekali, lantas mereka merasa, terus mereka menduga duduknya hal. Lantas mereka menutup jalan darah mereka, bersama-sama mereka memaksa aku menyerahkan obat pemunah. Coba kau pikir, mana dapat aku meluluskan permintaan mereka itu? Maka mereka menyerang aku, Aku membela diri.

Ketika itu racun di perutku juga bekerja, Mereka tidak berhasil mendapatkan obat dari aku, mereka mati keracunan, Habis itu akupun roboh. Kau telah lihat bagaimana kau menemukan aku..."

Lie Tiong Hoa menggeleng kepala. "Masih ada yang aku tidak mengerti," katanya, "Kamu sama sama minum racun. kenapa mereka mati tetapi loojin-kee tidak? pula air selokan itu mengalir pergi, seharusnya racunnya terbawa hanyut, Mustahil racun itu tetap mengambang?"

Orang tua berbaju kuning itu tertawa lebar.

"Bocah, kenapa otakmu tidak cerdas?" dia kata, "siapa menggunai racun mustahil tak tahu sifat racunnya sendiri? Begitu aku merasa racun mulai bekerja, aku mengerahkan tenaga- dalam membuat racun mengalir hanya ke tangan dan kakiku. Tidak demikian, pasti aku pun sudah melayang jiwaku. sebelum tangan dan kakiku mati. mereka terhajar tanganku hingga pecahlah pembelaan diri mereka, hingga racun meluluhkan, menyerang semua anggauta dalam tubuh mereka.”

Habis berkata begitu, mendadak orang tua itu menyamber lengannya Tiong Hoa.

Si anak muda kaget tetapi tak sempat dia berkelit atau berlompat, dia terpegang dan kena ditarik si orang tua sampai belasan tombak jauhnya, baru dilepaskan. orang tua itu pergi ke selokan, untuk memasuki tangannya ke dalam air, merogo keluar sepotong benda sebesar telur angsa warna hitam kehijau-hijauan bercahaya, Dia ulapkan itu. "Kau tentu mengerti sekarang" katanya, tertawa, " inilah bisa ular ribuan tahun yang telah membeku menjadi seperti beling, Kalau ini direndam di dalam air, air racunnya setetes saja dapat merusak usus, terus orang mengeluarkan darah dan mati."

Tiong Hoa bergidik,

"Benarlah kata guruku," kata ia dalam hati, "di dalam kalangan Rimba persilatan tidak ada yang tidak aneh, maka itu perlu orang waspada."

Menampak si anak muda berdiam saja, orang tua itu tertawa pula. "Anak muda, apakah kau mengerti ilmu silat?" dia tanya.

"Pelajaranku tak berarti, tak berani aku menyebutnya ilmu silat," sahutnya, ia bersenyum likat.

"Tak perduli kau yang benar atau tidak. kata-katamu tepat," kata si orang tua. "Memang ilmu silat dalam bagaikan lautan, Aku tersohor dalam dunia Rimba persilatan, toh pengartianku belum ada satu persenpun, Kau dapat merendah, sifatmu terbaik, Aku si orang tua berhutang budi padamu. nanti aku menyempurnakan kau."

Tiong Hoa tertawa.

"Tadi toh loojinkee mengatakan kita tidak saling berhutang." katanya. "Kenapa sekarang loojinkee bilang ada berhutang kepadaku?"

Orang tua itu mengawasi, sinar matanya tajam. "Kau ngaco, kau tidak tahu." katanya, "obatku tadi,

apabila yang putih, ialah salah sebuah mustika Rimba Persilatan, Namanya itu PouwThian Wan, pel penambal langit. siapa makan itu, tenaganya bertambah seperti latihan sepuluh tahun. Dia akan seperti tertukar tulang- tulangnya, Dalam seratus orang Rimba Persilatan, tak satu yang memilikinya. Dua obat yang lain juga besar faedahnya. Tadi obatku berada dalam tanganmu, kalau kau memikir merampasnya dan kau tinggal aku lari, apa aku bisa bikin? Nyata hatimu lurus, itu yang membikin aku bilang aku berhutang budi padamu."

Tiong Hoa menggeleng kepala, dia tertawa. "jikalau tadi aku mengetahui itulah obat mujarab, mungkin aku membawanya lari" ia kata.

Orang tua itu tertawa berkakak. untuk ke sekian kalinya ia menatap pula, Dengan mengawasi mata orang, ia seperti mau menembusi hati. Terus ia mengasi lihat roman sungguh-sungguh.

"Kaulah orang dengan bakat silat yang baik sekali." ia kata, "sayang aku si orang tua, tidak mempunyai kesabaran untuk menerima murid, Pada empat puluh tahun dulu pernah aku mengambil seorang murid, baru satu tahun setengah, aku meninggalkannya, semenjak itu, aku dan muridku itu belum pernah bertemu lagi, sekarang aku menjadi terlebih tak sabaran pula, jikalau tidak. pasti kau bakal memperoleh banyak kebaikan dari aku" la berhenti bicara, romannya tetap sungguh- sungguh.

Tiong Hoa mengawasi ia merasa Jenaka, orang seperti bicara sendiri, ia kata dalam hatinya: "siapa kesudian menjadi muridmu? Akupun tidak sabaran "

Lantas ia tertawa dan kata, "Loo-jinkee, jikalau kau tidak membutuhkan apa-apa lagi, aku mau turun gunung."

Orang tua itu lagi mengawasi ketika ia mendengar perkataan si anak muda, ia memikirkan orang berbakat dan bersifat baik lagi jujur. ia tidak sabaran, anak muda itu tidak sabaran juga, Tapi keragu-raguannya lantas lenyap. ia buka sumpel pelesnya, ia mengeluarkan sebutir obat yang putih.

"Kau makan ini." katanya, Kemudian ia merogo keluar dari sakunya sejilid buku kecil, sembari tertawa ia berkata, "Aku tidak sangka kau lebih tak sabaran daripada aku, oleh karena kau tidak meminta apa-apa, aku si orang tua menjadi kurang enak hati. obat Pouw Thian Wan itu bakal menonolong kau selama hidupmu" ia terus menunjuk buku kecil itu dan berkata pula: " inilah kitab ilmu silat yang aku ciptakan setelah mengumpulkan sarinya ilmu silat pelbagai partai persilatan. Di dalamnya aku telah melukis tiga belas gambar. Setiap jurus besar faedahnya dan dapat menambah tenaga, ilmu silat itu dalam, diperjalanannya mesti perlahan-lahan, mesti teliti, lebih-lebih orang tak boleh kekurangan pengalaman. siapa tidak mengumpulkan tindakannya, tak dapat dia jalan jauh seribu lie, Kalau tidak ada aliran air kecil, tak nanti ada sungai besar atau hutan,

Maka kalau dapat kau meyakinkan ini sampai berhasil, kau akan merasa kefaedahannya yang

tak terbatas."

Habis berkata, dia menyerahkan kitabnya, untuk pergi lari, hingga sejenak kemudian lenyaplah dia di dalam lebatnya pepohonan si anak muda melengak saking herannya. ia mengawasi terus.

Katika itu sudah jauh lohor, maka dengan lewatnya sang waktu cuaca menjadi guram. Melihat itu, Tiong Hoa lantas lari menuju- ke Tok-lok. selagi lari, ia merasa heran ia mendapat kenyataan larinya bertambah pesat, tubuhnya jauh terlebih ringan. "Inilah khasiatnya Pouw-Thian-wan." pikirnya. ia menjadi girang sekali. "Aneh pengalamanku. Aneh orang tua itu, Kenapa dia tidak menjelaskan siapa ketiga musuhnya itu dan apa sebab musabab permusuhan mereka?"

Dia juga tidak memberitahukan she dan namanya, sedang aku tak sempat menanyakannya.

Tepat di saat penerangan dipasang, Tiong Hoa tiba dalam kota kecamatan Tok-lok. Malam ramai, banyak pedagang-pedagang yang berjualan mutar saban-saban meneriaki barang dagangannya, Banyak sekali orang yang berjalan pergi datang, ia lantas mencari rumah

makan karena sudah lima hari ia tak pernah makan nasi.

Itulah restoran cip Poo Lauw dari mana tersiar baunya barang masakan yang sedap.

Ketika ia bertindak masuk. ia diawasi pelayan yang heran buat pakaiannya yang kotor dan mukanya yang dekil serta rambutnya kusut, bau keringatnya pun mendesak.

"He, dia pengemis dari mana..." pikir pelayan itu. "Eh, kau mau pergi kemana?" tegurnya selagi melihat orang mau naik di-tangga loteng. Tiong Hoa mendongkol. Dia mendelik.

"Aku mau dahar" sahutnya bengis, ia naik terus, untuk menghampirkan sebuah meja. Ada sejumlah orang lagi bersantap. mereka tertawa.

Pelayan itu menjadi malu dan mendongkol Dia lantas menghampirkan dengan matanya mendelik.

"Dahar itu gampang. Apakah kau punya?" dia tanya ketus. "PIok" begitu satu suara nyaring, Pelayan itu kaget dan gelagapan, terus ia memegangi sebelah pipinya, yang merah dan panas dan bengap. Di situ pun berpetalah bayangan lima jeriji tangan.

Tiong Hoa gusar dia mengasi hadiah tempilingan, habis itu dengan roman bengis ia keluarkan sepotong uang perak seharga sepuluh tahil, yang ia gabruki keras di atas meja, dia pun kata: "Apakah kau belum pernah lihat uang? Ambillah ini"

Pelayan-itu melongo, pipinya terus di-bekapi.

Uang perak itu telah melesak ke dalam meja, itulah yang menambah herannya si-pelayan, kemudian hal itu juga menarik perhatian para tetamu.

Siapa tidak mahir tenaga dalamnya tak nanti dapat berbuat demikian, Akhirnya seorang tetamu umur lebih kurang tiga puluh tahun, yang romannya cerdik, menghampirkan Tiong Hoa.

"Saudara, jangan layani segala manusia rendah" ia kata tertawa, Kemudian ia menoleh kepada si pelayan, untuk membentak "Anjing. Bukannya lekas pergi menyiapkan barang santapan"

“Baik tuan." kata pelayan itu yang cepat mengundurkan dia, dia memang lagi serba salah.

Tiong Hoa tersenyum.

"Aku bukan melayani dia." katanya, "Aku hanya sebal untuk mata anjingnya silahkan duduk, saudara" ia mengundang.

Tanpa sungkan orang itu mengambil tempat duduk. tangannya dilonjorkan ke kolong meja, dipakai menekan bagian yang atasnya ada uang melesak itu, lalu terlihat uangnya mumbul sendirinya perlahan-lahan, terus meletik, maka dia meny amber dengan tangan kirinya untuk diletaki didepan si anak muda.

Jangan tertawakan aku." katanya tertawa. " Kebiasaanku ini tak dapat disamakan dengan kepandaian kau saudara."

Tiong Hoa mengawasi ia kagum untuk tetamu itu. ia sendiri barusan berbuat tidak sengaja, ia tidak menyangka uangnya dapat melesat ke kayu meja.

“Saudara terlalu merendah” ia kata tertawa.

Segera juga keduanya berkenalan, orang itu bernama Yan Hong,Tiong Hoa memakai nama Lie Cie Tiong.

Diam-diam Yan Hong heran untuk ini kenalan baru, Agaknya orang adalah orang Kang ouw yang masih hijau sekali. orang mirip kepada seorang mahasiswa, gerak geriknya lembut, kata-katanya halus. Tak miripnya dia dengan seorang ahli silat.

Barang hidangan lezat, walaupun dia putera orang berharta, di gedungnya sendiri belum pernah Tiong Hoa menyicipi santapan serupa itu, ia pun sedang laparnya, maka ia bersantap dengan lahapnya.

Setelah cukup makan dan minum, Tiong Hoa ingin mengundurkan diri, justeru itu di tangga lauwteng terlihat munculnya seorang nona dengan baju merah tua, romannya cantik, mulutnya tersungging senyuman.

Langsung nona itu menghampirkan meja mereka berdua
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar