Bujukan Gambar Lukisan Jilid 01

Jilid 1 Buron yang tidak disengaja

Bulan ketiga dalam musim semi, ialah bulan yang indab. Di luar pinyu Thian-an-moei

di kota Yan-khia, daun-daun hijau, bunga-bunga permai. Di luar kota, sungai yang berbeku es baru saja lumer, hingga potongan.potongan es mengikuti air hanyut. Hingga disaat itu, negara bagian Utara itu mirip dengan suasana di Kang Lam, negara bagian Selatan, selama musim semi bulan pertama,

Di waktu begitu maka pada suatu maghrib saatnya di Lioe lie ciang orang mulai memasang api penerangan, selagi kereta-kereta kuda berlalu lintas dan orang mundar-mandir, di antaranya seorang muda yang mengenakan baju panjang hijau tersulam dengan pundaknya tarselandang sabuk dan sebelah tangannya menengteng sebuah kurungan dalam mana ada seekor burung kenari kuning. Dia bertindak ke arah gang Kim Hie Hotong.

Dialah seorang pemuda tampan tak terlalu kurus, alisnya bagus, matanya tajam, hidungnya bangir. Kalau dia bertemu seorang kenalannya dan bersenyum maka terlihatlah giginya yang putih dan rata. Senyumnya itupun menarik hati.

Anak muda itu memasuki pula suata gang lain sampai di depan sebuah rumah besar dan indah. Dia lantas mengetuk kedua kedua gelang pintu yang terbuat dari kuningan, pintu mana terus dibuka oleh seorang bujang tua,

“Oh. jie-siauw-ya baru pulang!” hamba itu menyapa.

Dia berdiri tegak dengan tangan dikasi turun lurus, "Ya!" si anak muda menyahuti, bersenyum. Terus dengan langkah cepat dia jalan di pekarangan dalam gedung itu. Dia tidak langsung masuk ke rumah besar hanya ke lorong samping kanan dalam mana ada sebuah taman yang rumput Ian pepohonan bunganya terawat baik, di mana pun ada sebuah pengempang kecil dengan airnya yang benIng jernih, yang sejumlah ikan emasnya lagi berenang memain didalamnya. Di tepian pengempang itu tumbuh pohon anglioe yang cabangnya meroyot turun.

Anak muda itu berjalan terus memasuki sebuah pintu model rembulan, sampai di depan sebuah kamar, barulah ia bertindak masuk. Itulah sebuah kamar tulis yang mungil dan indah, ada para-para bukunya, ada gambar lukisannya, ada pula empat helai pigura huruf-huruf tulisannya Ong Gie Cie yang kesohor.

Begitu tiba di dalam, anak muda itu meletaki burungnya untuk menghampirkan para, untuk menarik keluar sejilid buku. Cepat-cepat dia membalik-balik lembaran buku itu. perhatiannya sangat tertarik.

,,Pasti ini, pasti gambar ini." dia mengoceh seorang diri. „Hanya dia meminta harga limaratus tahil perak, Dari mana aku bisa dapat uang sajumlah itu?"

Ia menjadi berdiri menjublak.

Dialah seorana anak terlahir di dalam satu keluarga berpangkat akan tetapi apa lacur, ia telah tidak mendapatkan kasih sayang ayah bundanya, apa pula ibu tirinya, ibu tiri itu memandangnya seperti musuh hingga bukan kecintaan hanya dampratan dan tongkat menjadi bagiannya. Baru dua tahun ini keadaannya lumayan, disebabkan usia dewasanya. Toh dia tetap dipandang mirip orang luar.

Sementara itu, selama tiga tahun lebih ini dia telah dapat kesempatan belajar silat, secara diam-diam.

Umpama kata kelakuannya itu ketahuan orang tuanya, mungkin dia tambah tak disukai.

Tadi dia mampir di sebuah toko buku tua di Lioe lie ciang, di sana dia dapat melihat sebuah lukisan karyanya Ong Mo Kit yang diberi judul "Yoe San Goat Eng" atau "Bayangan Rembulan di Gunung Sunyi." Ia tahu, lukisan itu ada mengandung rahasia. Itulah lukisan yang ia ingin memilikinya sampai ia buat impian selama dua tahun. Ia

ingin beli lukisan itu. Inilah yang membuatnya bingung. Pemilik toko buku tua itu meminta harga seribu tahil perak, ketika ia mengotot menawarnya, harga cuma diturunkan sampai lima-ratus tahil, tak kurang lagi.

Lukisan itu ada rahasianya, apabila rahasia itu dapat dipecahkan, harganya ada seumpama harganya sebuah kota, dari itu, harga lima ratus tahil perak itu tidak mahal

bahkan murah. Hanya sulitnya untuk si anak muda, dari mana ia dapat peroleh uang itu.

Kalau ia pergi kepada pemegang kas ayahnya, biasanya ia dapat uang dari delapan sampai sepuluh tahil, tetapi lima ratus tahil, itulah tak mungkin. Ia juga tidak dapat membuka mulutnya! Alasan apa ia mempunyai? Toh tidak ada jalan lain. Jumlah itu perlu didapatkan.

Di akhirnya dengan hati berdebaran, dia pergi juga kepada pemegang kas, pegawai ayahnya yang mengurus keuangan keluarganya.

Pemegang kas itu memakai kacamata yang disebut kacamata kura-kura, ketika si anak muda muncul di kamarnya, dia lagi tunduk, tangan kanannya lagi mengetik shoei-phoa, dia lagi menghitung. Dia mendengar tindakan kaki orang, dia lantas mengangkat kepalanya, mulutnya tersungging senyuman. Akan tetapi kapan ia telah melihat si anak muda, lantas wajahnya berubah menjadi dingin.

Anak muda itu berdebar hati, kaget berbareng mendongkol. Di hari-hari biasa, apabila ia melihat tampang demikian macam dari si tukang uang, ia tentu sudah memutar tubuh untuk berlalu pula dengan cepat. Kali ini tidaklah demikian, kali ini ia mempunyai urusan sangat penting.

“Goe Loo-hoecu,” ia memanggil terpaksa, “Sore ini aku mempunyai keperluan, aku ingin pinjam uang sebanyak lima ratus tahil perak. Aku tanggung akan membayar pulang jumlah itu dalam tempo satu bulan.”

Tukang uang itu melengak, dia menyingkirkan kacamatanya dan menatap. Dia seperti tak mempercayai telinganya. Tak lama dia mengawasi tajam, lalu ia mengasi dengar suaranya yang keras.

“Tiong Hoa,” katanya. „Aku kenal kau sampai begini besar, maka kalau kau bicara. bicaralah dengan sedikit tahu aturan. Selama beberapa tahun aku melihatnya kau menjadi tidak keruan! Orang bilang di luaran kau bergaul dengan orang-orang penggemar main wanita dan penenggak air kata-kata, hingga kau memakai uang seperti kau menuang air! Kau tahu, ayahmu pernah bicara denganku tentang kau dan ayahmu itu tawar hatinya.,..."

Sepasang alisnya si anak muda bangun berdiri. Ia bicara secara sungguh-sungguh tapi ia mendapat jawaban yang diluar garis, jauh sekali terpisahnya dengan pokok soal.

“Loo-hoecoe," katanya sengit. "Siapa sudi mendengari ocehan ini? Kau bilang, kau suka mengasi pinjam atau tidak?”

Pemegang kas itu juga membawa adatnya. Lantas saja dia berludah,

„Tidak! Tidak!" tolaknya keras, "Jangan kata lima tahil, sepeser pun tidak! Jangan harap kau dapat merabanya! Orang tak punya guna seperti kau ini…hm!..”

Hebat kata-kata itu, meluaplah darahnya si anak muda. Tahu-tahu sebelah tangannya sudah menyamber ke dasa si tukang uang, keras suaranya, keras juga akibatnya, tukang uang itu terpental ke pojok tembok!

Goei Loo-hoe-coe berkoseran.

„Tiong Hoa! Lie Tiong Hoa!” dia berseru, tangannya menuding, dia mencoba merayap: ''Kau,. .kau ...kau kejam..!”

Cuma sebegitu pemegang kas ini dapat berkata-kata, terus dia roboh pula, terus napasnya berhenti jalan. Anak muda itu melengak, kagetnya bukan main.

Semenjak ia belajar silat. inilah yang

Pertama kali ia menggunai tangannya.Sebenarnya ia tidak tahu betapa besar tenaganya dan ia tidak tahu juga yang ilmu silat dapat meminta jiwa orang secara begitu rupa. Ia belajar silat pada seorang guru yang melarat dan berpenyakitan.

Guru itu membilangi muridnya ini bahwa dialah bukan seorang Kang ouw yang berkenamaan, bahwa dengan belajar silat padanya, ia jangan harap dapat menjadi seorang pandai, ia cuma diajari dasarnya untuk menjaga diri, tak dapat dipakai menghajar orang. Tapi ia diberitahukan ia mempunyai bakat baik, sayang kalau ia terus belajar padanya, dari itu ia dinasehati merantau.

„Dunia Kang ouw mempunyai banyak orang lihay, mungkin kau ketemu jodohmu!” demikian guru itu. Dengan jodoh itu dimaksudkan ahli silat terpandai.

Kemudian, ketika si guru hendak menutup mata, dia memberitahukan muridnya ini halnya suatu gambar rahasia-lukisan Yoe San Goat Eng itu oleh Ong Mo Kit dari jaman ahala Tong. Katanya Iukisan itu menyimpan rahasia besar, dan bahwa ia sudah mencarinya untuk banyak tahun tetapi belum berhasil menemuinya. Maka si murid

Dipesan untuk memperhatikan lukisan itu, katanya pula, rahasianya lukisan dapat dipecahkan jikalau orang memahamkan judul dan tulisan yang diberikuti di dalam lukisan tersebut. Pesan itu diperhatikan Lie Tiong Hoa, demikian anak muda ini. Sejak itu ia terus memperhatikan, baik di dalam toko-toko buku, baik di rumah-rumah gadai, mau pun di rumah-rumah orang hartawan dan bangsawan begitu ia mendapatkan ketikanya. Akhir-akhirnya di took buku tua itu ia mendapatkan sehelai lukisan tua jaman Tong, gambarnya sudah berwarna kuning dan guram, tetapi ia masih melihat nyata, selang dua jam memeriksa, ia pastikan itulah lukisan yang ia cari. Maka ia lantas menawarnya.

Tukang-tukang loak biasa bermata tajam, juga tukang loak ini, melihat si anak muda sangat bernafsu, dia minta harga tinggi itu, dia menancap paku, hingga Tiong Hoa habis daya, hingga ia mesti pulang dengan hati bingung memikirkan kemana ia mesti mencari uang. Demikian setibanya di rumah, ia memeriksa dulu sebuah kitabnya, habis itu baru pergi kepada Goei Loo-hoecoe. Siapa tahu, ia mendapat hidung panjang sampai darahnya naik dan terjadilah pembunuhan tidak disengaja itu.

Syukurlah suara berisik itu tidak didengar para bujang.

Ia merasa untuknya tidak ada lain jalan daripada kabur buron. Inilah pengalamannya yang pertama, yang sangat hebat. Ia juga tidak mempunyai sahabat yang nasihatnya dapat diminta. Setelah dapat menahan berdebaran hatinya, ia angkat tubuhnya tukang uang itu untuk diletaki di kolong pembaringan.

Tak dapat ia melupakan lukisannya Ong Mo Kit itu.

Maka ia menghampirkan laci uang dan menarik kotaknya. Ia menjadi menyesal ketika ia dapat kenyataan uang kas berjumlah tak cukup dua ratus tahil. Tapi ia mesti buron, ia membutuhkan uang, yalah uang ayahnya. Maka ia samber uang itu, yang ia bungkus dengan sobekan sabuk, tanpa kepergok siapa juga, ia lolos dari pintu taman di belakang rumahnya.

Tiba di jalan besar, suasana jauh lebih ramai daripada tadi, tapi ia tak sempat ia menikmati keramaian itu, Dengan terburu-buru ia menuju ke Lioe lie-ciang, diamana keadaan lebih ramai pula. Di situ ada berbaris belasan toko buku tua, ia masuk ke sebuah yang terletak di ujung gang Soan-hoo.

Si tukang loak sudah berumur tujuh puluh tahun lebih, ketika itu dia lagi berdiri di depan pintu, matanya mengawasi orang-orang yang berlalu lintas, mengharap- harap memperoleh langganan. Dengan tangan kirinya mengurut-urut kumisnya yang mirip jenggot kambing gunung. Dia melihat Tiong Hoa dating bergegas-gegas, ketika dia hendak menegur, tangannya disamber terus dia ditarik ke dalam.

Setibanya di dalam, Tiong Hoa meletakkan bungkusannya di atas meja, terus ia buka untuk memperlihatkan uang perakannya yang bergemerlapan. la paksakan diri untuk tertawa ketika ia kata;

“Inilah jumlah yang aku dapat kumpul dengan susah payah, aku harap kau terima ini dan kau serahkan gambar lukisan Ong Mo Kit itu padaku!”

Sebagai pedagang kawakan, tukang loak itu heran hingga dia menjadi curiga mungkin uang itu tidak keruan asal-usulnya. “Lie kongcu, maaf,” ia berkata, “Aku tidak tahu kau begini menghendaki lukisan itu, kalau tahu suka aku menghadiahkannya kepada kau, saying sekali, tadi baru saja ada lain orang yang membelinya…”

Tiong Hoa terperanjat sampai mukanya berubah pucat. Inilah ia tidak sangka sekali. Hatinya mencelos berbareng mendongkol. Ia putus asa barbareng gusar.

“Lie Kongcu, aku menyesal sekali," kata tukang loak itu, yang kaget melihat wajah orang muda itu. “Aku menyesal membuat kau putus asa, lain kali, kalau ada lagi lukisannya Ong Mo Kit, pasti aku akan menyerahkannya kepada kau lebih dulu…Ah, ada tetamu lagi, maaf, aku mau melayani dia.”

Dan dia terus memutar tubuhnya untuk pergi ke depan.

“Tunggu dulu!" Tiong Hoa kata, berbareng denganmana ia menyamber tangan kirinya tukang loak itu. Terus ia mengawasi dengan mata bersinar. la tanya. “Siapa pembeli itu?” Benar-benarkah?"

“Benar! Kenapa tidak!" sahut si pemilik took buku itu, “Belum pernah aku mendusta pada langgananku, apa pula kepada kongcu. Mustahil uang dating aku tampik..”

Dia berkata begitu tetapi berjengit, dia kaget. Keras cekalan si anak muda hingga dia merasa sakit.

“Ngacoh. Kau tentu tak suka menjual sebab uangku kurang."

Mukanya tukang loak itu pucat, dia meringis.

,.Benar, kongcu." kata ia pula. „Pembeli itu berumur kurang lebih empat puluh tahun, lagi suaranya mirip orang Tien ciu. Dia membelinya buat seribu tahil perak. Dia mempunyai dua orang pengikut yang menyoren golok. Mendengar panggilannya pengikut itu, dia mestinya seorang po cu. Jikalau aku tidak salah melihat, dialah seorang Kangouw ”

Dia mengawasi si anak muda, hatinya kebat kebit. Dia melihat sinar mata anak muda itu yalah sinar bingung, menyesal, putus asa dan gusar bercampur menjadi satu.

Tiong Hoa sendiri berpikir: “lnilah tak mungkin.

Guruku membilangi aku, orang yang mengetahui lukisan rahasia itu cuma tiga orang tua tapi mereka pun masih belum tahu artinya rahasia itu. Hal itu guruku juga mendengarnya dari seorang kenamaan lain. Di sini mesti terjadi hal kebetulan…."

Anak muda ini menjadi sangat berduka memikir nasibnya. Dari kecil ia tak disukai ayah ibunya, sedang ibunya itu sudah menutup mata lama hingga ia mesti hidup bersama ibu tirinya. Orang tua itu sebaliknya menyayangi anak-anaknya yang lain, pria dan wanita, terutama kakaknya. Karena itu, ia menjadi di biarkan saja, ia cuma diberi makan dan pakaian. la sempit dalam keuangan, tidak leluasa ia menampung gurunya yang malarat itu. Ketika ia diajari silat, ia tidak diajari seperti umumnya orang orang lain. Sembari rebah gurunya memetakan dengan tangan dan kakinya, dengan sebatang sumpit sebagai genggaman. Maka itu, sulit ia belajarnya. Meski begitu karena ia berbakat dan cerdas ia memperoleh banyak, ia melainkan tidak tahu bahwa pelajaran itu adalah pelajaran silat berarti. Mengenai lukisan itu, ia dipesan mesti mencarinya, tak perduli bagaimana sukarnya. Ia pun ditinggali surat wasiat, surat mana tak boleh dibuka sebelum ia dapat lukisan itu.

Itulah tugas berat untuknya, yang muda dan tak berpengalaman, yang tak punya uang juga. Tapi ia ingat itu baik-baik dan ingin melakukannya hingga menjadi kenyataan agar pesan gurunya dapat diwujudkan. Pula semenjak ia belajar silat, semangatnya telah terbangun.

Sekarang, karena kecewa atas lenyapnya lukisan itu, ia putus asa hingga hatinya menjadi panas. Ia piker tukang loak ini manusia busuk dan serakah. Kenapa lukisan itu dijual pada lain orang? Dengan begitu, tanpa dikehendaki, ia telah menjadi seorang pembunuh.

“Dapatkah tukang loak ini dibebaskan?” pikirnya lebih jauh, “Tidak!” Pembunuhan atas diri Goei Loo-hoecoe pasti akan tersiar, sedikitnya besok. Tukang loak ini telah melihat uang ini, dia pasti akan menduga aku, dan tentu dia bakal membuka rahasia…”

Tanpa merasa, Tiong Hoa memencet keras tangan tukang loak itu.

“Aduh. Tolong….” Tuan rumah menjerit.

Dengan tangan kiri Tiong Hoa mendekap mulut orang.

Ia sengit dan takut juga.

Tukang loak itu tak berdaya, matanya mengawasi dengan sorot ketakutan. Dia tidak dapat berontak, dia tidak bisa berteriak. Mulutnya terdekap rapat. Sang waktu berjalan, Tiong Hoa heran waktu kemudian ia dapat kenyataan pemilik took buku itu diam saja, tubuhnya menjadi lemas, mukanya pucat. Akhirnya ia menjadi kaget sekali. Tahu-tahu orang telah putus napasnya.

“Ah…” ia mengeluh, sedang peluhnya lantas membanjiri jidatnya. Ia kuatir bukan main. Lagi satu jiwa melayang di tangannya melayang tidak keruan rasa.

“Lari!” itulah ingatan yang segera berkelebat di batok kepalanya.

Dengan sebat ia bungkus pula uangnya, ia memutar tubuhnya. Hatinya sangat tegang, ia bergelisah.

"Tuan toko,." tiba-tiba ia mendengar suara memanggil dari luar. la mendengar tindakan kaki orang. Dengan bingung ia bertindak cepat sekali. la bersamplokan dengan seorang di muka pintu. Mendadak ia menotok jalan darah thian kie, orang itu, sampai dia itu mengeluarkan suara tertahan, tubuhnya terus roboh. Ia tidak memperdulikannya, ia lari terus. Di lain saat lenyaplah ia diantara orang banyak di jalan besar.

Malam itu malam yang indah. Langit bersih, si Putri Malam permai.

Dari gang Soan hoo, took buku tukang loak di Lioe lie- ciang itu, Tiong Hoa menyingkir terus. Ia baru berhenti setelah tiba di paseban To Jian Teng di Lam-hee-wa.

Tadi ia kabur tanpa memilih tujuan.

Ia meluruskan napasnya yang memburu, ia menenangi hatinya yang guncang keras. Sembari berpegangan pada loneng, ia melihat syair di paseban itu, bunyinya : “Menyesal aku bukan pelukis, yang dapat melukis gambar di waktu malam, mendengari suara musim rontok”

Ah, hebat sekali….pikirnya. Aku menerbitkan onar ini cuma disebabkan aku terkena bujukan gambar lukisan. Ini baru permulaannya saja, bagaimana nanti akhirnya?

Tiong Hoa kenal baik paseban To Jian Teng. Bersama beberapa sahabatnya pernah ia pelesiran di sini, minum arak dan benyanyi-nyanyi, Sekarang ia dataag pula dalam kesunyian, dengan hati yang berat.

Ketika ia memandang ke sekitarnya, ia mendapatkan pepohonan yang lebat, yang daunnya tersilirkan angin. Ia pun menyaksikan air telaga yang jernih dimana sang rembulan berbayang. Kalau di kejauhan terlihat sinar api maka di atas langit bintang-bintang berkelak-kelik.

“Aku mesti pergi sekarang,” katanya kemudian dalam hatinya. “Tak dapat aku betrayal hingga pintu kota nanti keburu ditutup. Kalau pembunuhan itu tersiar, biarnya aku bersayap tidak bisa aku terbang..”

Maka ia menenteng bungkusannya, ia bertindak kea rah barat. Selama berjalan, terus ia belum bisa merasa tenteram. Tentang kematiannya si pemegang kas dan pemilik took buku tua itu, ia tidak menyesal. Ia merasa mereka itu pantas mendapat bagian. Ia menyesal untuk orang yang ia totok selagi ia mau kabur itu. Orang itu tidak bersalah dosa. Maka ia harap dia itu cuma pingsan dan jiwanya tidak terancam bahaya maut. Tengah berlari-lari, Tiong Hoa berpapasan dengan empat orang. Rupanya mereka itu sedang sinting terpengaruh air kata-kata. Jalannya mereka terhuyung- huyung. Oleh karena membelakangi rembulan, muka mereka itu tak terlihat tegas. Dengan cepat ia lewat di samping mereka itu.

“Saudara Tiong Hoa! Saudara Tiong Hoa!” satu diantara keempat orang itu memanggil-manggil. Lalu panggilan itu diulangi oleh tiga yang lain.

Tiong Hoa heran. Ia sudah lewat setombak lebih tapi ia menghentikan tindakannya. Ia sekarang mengenali suara orang. Lekas ia menghampirkan.

“Oh, saudara Toan!” katanya. “Gembira kamu menggadangi si Putri Malam! Tapi aku mempunyai urusan, aku mesti ke luar kota, maka itu besok saja aku menemani kamu!” Ia member hormat, lalu membalik tubuh, untuk melanjuti perjalanannya.

*****

"Ah, mana bisa" kata orang yang pertama memanggil itu, Dia terus lompat untuk untuk mencekal lengan orang Dia bermuka merah tandanya benar ia habis banyak minum. Dengan mata kedap-kedip. dia mengawasi si orang she Lie. Tiga yang lain lantas merubung.

Tiong Hoa tidak puas melayani keempat orang itu ia kenal mereka sebagai anak-anak orang berpangkat, yang biasaberpelesiran saja, karena mereka pa da memelihara guru silat, mereka belajar juga sedikit. Biasanya mereka tak memandang mata kepadanya, dari itu, jadi ia pun tak sudi bergaul dengan mereka, ia tidakpuas orang memegat ia selagi iaperlu lekas- lekas mengangkat kaki.

"Kau bergegas-gegas pergi ke luar kota, saudara Tiong Hoa, kau tentu mempunyai urusan baik" kata orang yang mencekal tangannya itu, Dialah Toan Kong, anak yang didapat dari gundik dari Toan Kwee yang berpangkat pouw-koen tong-nia, komandan pasukan tentara berjalan kaki, "Kenapa kau tidak mengajak kami ramai-ramai?"

Tiong Hoa bingung hingga ia berdiri diam saja. seorang lain merabah-rabah bungkusan uang, dan menepuk nepuk. "Hai, uang begini banyak." serunya, "Dari mana uang ini?"

"Dasar sial," pikir Tiong Hoa, bingungnya bertambah Kalau besok mereka dengar kematiannya si tukang uang, pasti mereka ini menduga aku... Kalau aku dituduh menjadi pembunuh, bagaimana itu?

"Saudara Tiong Hoa, tidak benar sikap kau ini." Toan Kong menegur, "Kita bersahabat kita mesti hidup bersama, senang dan susah mesti bersama juga sekarang kau mempunyai banyak uang, kau melupakan kita, Tempo kau tidak punya uang, kita toh ajak kau turut pelesir juga? Bukankah aku belumpernah tolak kau?"

Tiong Hoa mendelu itulah gangguan untuknya, ia pun sebal untuk kelakuan mereka itu, ia nampak sabar tetapi sebenarnya ia berhati keras dan memiliki keangkuhan juga. "Toan Kong, jangan ngaco-belo." ia menegur, "Maaf, aku siorang she Lie tak dapat menemani kau." ia lanias berontak hingga sahabat itu terhuyung tiga tindak dan telapak tangannya terasa sakit.

Toan Kong terkejut ia heran kenapa Tiong Hoa bertenaga demikian besar. ia lantas mendusin dari sintingnya, hingga ia jadi mendongkol.

"Mari." dia mengajak tiga temannya, "Dia punya banyak uang, dia jadi banyak lagak. Mari kita hajar padanya, aku mau lihat, tulang lunaknya dapat berubah menjadi kaku atau tidak."

Memang benar, Tiong Hoa biasa dijuluki si tulang lunak Tapi sekarang ia menjadi mendongkol dan gusar, Maka itu, justeru Toan Kong maju menghampirkan, ia lantas menyambut dengan tinjunya kedada orang.

Putera tongnia itu mengerti sedikit silat, dia berkelit, tetapi dia kurang sebat, dia kena terserempet hingga dia kesakitan. Tentu sekali dia menjadi tambah gusar, Berbareng dia heran sekali sedang dia tahu orang biasanya tidak mempunyai guna.

Ketiga kawannya heran juga, inilah yang pertama kali Tiong Hoa berkelahi, tak heran dia kurang Iincah. Dia belajar silat juga mirip orang belajar teorinya saja, sedang ilmu silat membutuhkan latihan praktek berikut pengalaman.

Toan Kong menjadi gusar sekali. Dia memang biasadimanjakan Lantas dia menyerang pula, beruIang- ulang secara sengit. Dia menggunai ilmu silat "Tiang Keen" atau Kepalan panjang dari BoeTong Pay, Dia juga berkaok-kaok.

Didesak begitu, Tiong Hoa jadi panas hatinya, maka bukannya ia mundur, ia justeru maju, jurus jurus dari ilmu silat sian Thian, Thay U Ciang.

Toan Keng lantas terpukul mundur. Dia heran hingga dia menjublak. Justeru itu, lengannya kena disamber dan ditangkap. sekarang dia menjerit bahna kesakitannya merasa seperti dicengkeram gaetan baja, tak tahan dia, dia pingsan dan roboh. Ketika kawan itu kaget.

"Pembunuhan Pembunuhan" mereka berteriak-teriak.

Tiong Hoa kaget, ia ingat ancaman bahaya, Tanpa memperdulikan lagi Toan Keng, dia mengangkat langkah seribu, Baru dia lari belasan tombak. dia merasa ada bayangan yang melesat lewat disisinya ia tidak perhatikan itu, ia mengira ini disebabkan matanya terganggu dan matanya kabar, terus ia kabur keluar dari kota Yan-khia. Dengan begitu maka tertariklah ia mesti hidup dalam perantauan.

ooQoo

BAB2

KlRA jam tiga mendekati fajar, bintang-bintang mulai guram dan rembulanpun kelam di barat di antara gumpalan-gumpalan mega hitam, hingga jembatan Louw Kouw Hio tertampak samar-samar melintang di atas sungai Yang. Tiong Hoa Ketika itu air pasang. potongan- potongan es yang pecah beradu nyaring satu dengan lain, Angin yang dingin meniupi pohon-pohon yang-lioe di tepian. Justeru itu waktu, seorang anak muda, yang romannya pucat, lagi berdiri didepan loteng dengan mata mengawasi jauh. Dia membungkam.

"Kelihatannya banyak orang tak dapat dipercaya," dia berpikir "Guruku sendiri, sikap dan kelakuannya aneh."

Ia berpikir begini sebab ia ingat gurunya mengaku ilmu silatnya tak tinggi, namanya tak terkenal dalam dunia Kang ouw atau sungai Telaga, bahwa ilmu silatnya dipelajarkan untuk membikin kuat tubuh saja, bukan buat berkelahi tapi buktinya sekarang ia dapat membunuh orang, ia pula heran mudah saja ia mengalahkan Toan Keng si murid Boe Tong Pay.

Bahkan mungkinputera tongnia itu terbinasa akibat tinjunya ini...

Tiong Hoa tidak tahu, kepandaiannya Toan Keng baru kulit saja dari ilmu silat sedang gurunya bicara secara merendah, guru itu tidak mau memuji padanya dikuatir ia menjadi berkepala besar, ilmu silat tak ada batasnya, kalau orang berjumawa, dia bisa dapat susah. Guru itu ingin muridnya insaf perlahan-lahan.

Anak muda ini menarik napas panjang untuk melegakan hatinya yang pepat, Lalu ia ngelamun perlahan "Tahun dan bulan lewat terus, air tetap mengalir, semua tanpa batas atau tempat berhentinya, semua berumur sama kekalnya seperti langit dan bumi, Akan tetapi manusia, hari-hari kehidupannya tak banyak Maka itu aku, jikalau aku tidak lekas

menggunai ketika ku, untuk membangun sesuatu apabila aku menantikan saja musim semi datang dan musim dingin pergi, pasti aku bakal menyesal seumur hidupku." Tapi, kapan ia ingat ia tak berdaya, tanpa merara airmatanya mengalir keluar.

Tiba-tiba dari arah belakangnya ia mendengar suara yang dalam ini. "Anak muda yang tak bersemangat.

Nangis, Apakah tangismu dapat memecahkan soal?" Tiong Hoa terkejut, Gesit luar biasa, ia memutar tubuhnya. ia melihat satu orang berdiri di depannya.

Menampak muka orang itu, ia terkejut puI a, itulah sebuah muka buruk sekali dan menakuti. sepasang mata yang merah seperti mencelos keluar, bersinar bengis.

Muka buruk itu seperti ketutupan berewok ubanan, hingga terlihat saja gigi giginya yang mirip caIing, Tubuh orang kasar dan besar seperti tubuh itu ditutup baju panjang warna hitam yang setinggi dengkuI. Baju itu berkibaran diantara sampokan angin malam. orang aneh itu tertawa ketika dia melihat si anak muda seperti jeri hatinya.

"Anak muda, jangan takut." dia kata, "Aku si orang tua manusia, bukannya memedi, Kau mempunyai kesulitan apa? Mari tuturkanpadaku, Mungkin aku dapat menoIong pecahkan kesulitanmu itu, Lekas bicara, aku masih mempunyai urusan penting yang mesti diselesaikan."

Tiong Hoa tak sudi menerima budi, ia menggeleng kepala.

"Tak dapat kau pecahkan kesulitanku itu, loojinkee." ia kata masgul.

"Aku telah membunuh orang" ia membahasa kau "loo- jin-kee." artinya orang tua yang dihormati

Nampak orang itu melengak tapi segera dia tertawa lebar, Nyaring tertawa itu. bagaikan melayang ke udara, lalu berkumandang. Ketika dia sudah berhenti tertawa, dia menatap tajam dengan sinar matanya yang bengis itu.

"Aku si orang tua kira perkara hebat bagaimana" katanya acuh tak acuh, "Membunuh orang itu apakah yang aneh? sekarang ini aku sudah berumur enampuIuh lima tahun, kurban jiwa ditanganku tak terhitung jumlahnya. Toh tak pernah aku merasa tak tenteram hatiku" Dia tertawa pula, lama.

Tiong Hoa bergidik.

"Mungkin dia edan-" pikirnya, "Katanya membunuh orang itu tak aneh." Kembali orang tua itu tertawa, menyeramkan suaranya.

"Aku mengerti sekarang" dia berkata pula untuk kesekian kaIinya. "Kau mengalirkan air mata disini sebab kau tidak mempunyai jalan kemana kau dapat pergi, tapi ingatlah, seorang laki-laki rumahnya ada di empat penjuru lautan,jikalau kau tidak mencela aku, mari kau turut aku, aku jamin seumur hidupmu kau akan hidup senang dan damai."

Anak muda itu heran, ia mendengar lagu suara orang itu mirip lagu suara orang propinsi Hoolam, Tiba-tiba hatinya tergerak.

Mendadak ia ingat lukisan Yoe san Goat Eng - Bayangan rembulan di gunung sunyi.

Bukankah si tukang loak bilang lukisan itu dibeli seorang yang bicara dengan lidah Tiong- cioe dan bahwa pembeli itu mungkin seorang poocoe, pemilik dari sebuah perkampungan? Kenapa ia tidak mau turut orang tua inipergi ke Hoolam, guna sekalian mencari lukisan ilu?

Dengan cepat ia mengambil keputusannya. "Cuma aku kuatir membikin kau berabe, loojinkee." ia kata.

Orang tua itu tertawa berkakak.

"Nah, mari kita berangkat" dia mengajak. Dan dia mendahului bertindak pergi.

Tiong Hoa mengikuti. Baru balasan tombak, ia menjadi heran, Nampaknya si orang tua jalan perlahan, buktinya cepat, ia ketinggalan di belakang. ia bertabiat keras, taksudi ia nanti dikatakan si lunak oleh orang tua itu, Maka ia menyedot nafas, lantas ia jalan cepat. Ya, ia berlari lari.

"Dia mesti mengerti silat dan pandai juga," pikir Tiong Hoa sambil mengikuti.

Seumurnya belum pernah pemuda ini bercampur gaul dengan orang Kang ouw atau Lok Lim--Rimba Persilatan, belum dapat ia membedakan orang liehay atau tidak. tak ia mengagumi orang tua yang suka menjadi sahabatnya ini, ia belum mempunyai kepercayaan atas dirinya, dengan mengagumi orang, ia seperti merendahkan dirinya sendiri.

Sekarang Tiong Hoa mulai mengerti gunanya ilmu ringan tubuh yang diajari gurunya.

Ilmu itu diberi nama Hong Hoei ie soat artinya, BianglaIa terbang, Mega berputar. Dengan menggunai ilmu ringan tubuh itu, tubuhnya menjadi enteng, dia dapat lari cepat-- makin lama makin cepat, Baru setelah peroleh kenyataan ini, ia dapat bersenyum.

Si orang tua lari terus, sejak mula-mula belum pernah dia menoleh satu kali pun. Toh ia memperlihatkan sinar heran, inilah sebab, walaupun dia tidak pernah berpaling tetapi telinganya dapat mendengar suara orang berlari- Iari dan dia memperoleh kenyataan si anak muda tak ketinggalan jauh.

Maka dia menduga ilmu ringan tubuh pemuda itu tak dapat dicela, Dia merasa, pemuda itu tinggal membutuhkan latihan lebih jauh, agar larinya tak memberi suara lagi, yalah apa yang kalangan persilatan heng in tioe soet-- mega berjalan, air mengalir.

Lama- lama Tiong Hoa bermandikan peluh dan bemapas mengorok ia dapat kenyataan orang tua itu bukan mengambil jalan besar hanya menerabas tegalan dan hutan, lantaran ia mendapatkan pohon-pohon terlewatkan di sisinya.

"Eh, anak muda, kau sudah letih atau belum?"

Itulah pertanyaan tiba tiba dan untuk pertama kalinya dia menoleh, sedang tindakannya juga dikendorkan, akan akhirnya dia berhenti sendirinya. Lalu dengan sinar matanya yang aneh, dia menatap kawannya yang mandi keringat itu, terus dia tertawa geli, dengan ramah ia menanyai

"Dari mana kaupelajarkan ilmu larimu ini? itulah tak dapat dicela"

Tiong Hoa berhenti berlari, dengan tangan bajunya ia menyusut peluhnya, ia merasa napasnya berjalan cepat sekali, tapi ia lekas menjawab.

"Loojin kee memuji aku, aku saja." katanya. "Aku pelajarkan ini tiga tahun dari seorang guru yang tidak mempunyai nama, Di banding dengan kepandaian loojinkee, aku terpaut jauh sekali." Orang tua itu menganggukperlahan, mukanya bersenyum.

“Kau benar”, dia bilang, “Aku baru menggunai tujuh bagian kepandaian, toh kau harus dipuji."

Tiong Hoa mengucap terima kasih. Melihat si orang tua begitu ramah-tamah, ia menjadi suka bicara, sekarang tak lagi ia merasa jeri atau jemu untuk roman orang yang buruk itu,Bahkan dari pembicaraan tetamunya, ia mendapat tahu she dan namanya orang tua itu, yalah Song Kie dan gelarnya Koay-bin jin-him. Manusia Biruang Bermuka Aneh.

Berbareng dengan itu, si orang tua juga ketahui she dan namanya serta riwayat hidupnya yang tak menyenangkan itu.

Tiong Hoa tidak mentertawakan julukan yang aneh itu, yang sesuai dengan kenyataan, ia bahkan berlaku hormat, kelakuannya itu cocok dengan tabiat si orang tua.

Biasanya, siapa mencela muka atau julukannya itu berarti celaka untuk dirinya, ssbab ia benci-mulut jail.

Denganperkenalannya dalam tempo yang singkat ini.

Tiong Hoa masih belum tahu bahwa Koay-bin Jin-Him Song Kie menjadi salah satu dari liong cioe, yang namanya sangat kesohor dalam Rimba Persilatan. Baik kaum Pek too, jalan putih, maupun golongan Hek-too, jalan Hitam, semuanya jeri kepadanya apabila mereka berurusan dengan si Manusia Biruang Bermuka Aneh yang sangat dihormati dan dimaIui. Kalau Tiong Hoa ketahui ini, mungkin tak

sudi ia mengikuti dia. 

Orang tua itu mengeluarkan sebuah gandul air dari sakunya, ia gelogoki ke dalam mulutnya, kemudian ia membagi air minum ttu kepada si anak muda. Habis itu dia mulai bicara pula. Lebih dulu ia menatap orang, agaknya dia bersangsi, baru dia menanya:

"KauIah seorang anak sekolah, mengapa kau membunuh orang? Apakah kurbanmu itu musuh besarmu dengan siapa kau tak sudi hidup bersama di kolong langit ini?"

Tiong Hoa menggeleng kepalanya. "semuanya bukan." sahutnya. "itulah kesalahan bunuh."

Song Kie menatap pula tajam.

"Kau jujur," katanya, "sebenarnya membunuh orang bukan hal yang terlalu mengherankan, Aku juga telah membunuh banyak orang, diantaranya ada yang tak selayaknya mati. Hanya lah telah menjadi tabiatku, jikalau aku membunuh, tak dapat aku membuat bocor tentang ini. perlahan-Iahan kau bakal mengerti sendiri. Berkasihan terhadap musuh berarti menanam bencana untuk diri sendiri”

Tiong Hoa mengangguk tanpa membilang suatu apa. ia menerima baik jalan pikiran orang itu sedang di dalam hatinya ia berkata: "Apakah artinya kata katamu ini?

Mustahilkah semua orang harus dibunuh? Bukankah kalau kau berlaku telengas, orang memb atasnya kejam? permusuhan atau balas- membalas toh tak ada batas habisnya? Aku berbuat keliru, aku malu dan menyesal tidak sudahnya... di dalam hatiku yang bersih menjadi ada bayangan yang memb uatnya selalu tak tenang." Maka ia merasa anjuran Koay-bin Jin Him dapat membuat ia rusak tanpa ada obat dapat menyembuhkannya. Tapi segera ia berpikir pula. "Asal diriku putih- bersih, perduli apa

aku bercampuran dengannya? Asal aku tidak turut ternoda. Aku mesti bisa membawa diriku"

Song Kie tidak memperhatikan jalan pikiran orang, dia melihat langit, untuk mengetahui sang waktu.

"Mungkin mereka akan sudah datang..." katanya seorang diri terus dia berpaling dan berkata: "Mari." ia menggeraki tubuhnya untuk menjejak tanah, maka melompatlah ia kearah kanan, bagaikan burung terbang melayang, sebentar saja ia telah melalui beberapa tombak.

Menampak kepesatan orang Tiong Hoa kagum, ia lantas menyusul, ia tidak dapat membada arti katanya orang itu, ia cuma menduga itulah mesti ada maksudnya. ia berlari-lari mengikuti dengan tetap menggunai ilmu ringan tubuh Hoei Hong in soan.

Mereka lari mendekati sebuah bukit kecil. Di atas itu Song Kie berdiri dibawah sebuah pohon pek yang matanya menatap jauh ke depan, Tiong Hoa menghentikan larinya sejarak lima tombak, lalu dengan tindakan perlahan, ia menghampirinya. ia menoleh ke sekitarnya, yang merupakan kuburan belukar, banyak pohon yang kate. siputeri malam sudah doyong kebarat, maka pepohonan itu memperlihatkan bayangan bagaikan hantu-hantu yang bergerak-gerak tak mau diam, Burung- burung malam mengasi dengar suaranya yang menyeramkan. Berdiri di sisi si Manusia Biruang Bermuka Aneh, Tiong Hoa menasang mata mengikuti mata orang itu. Di sana, di bawah bukit, ada sebuah jalan umum bertanah kuning yang berlegat-Iegot bagaikan seekor ular, sunyi senjap jalan umum itu.

"Heran," pikirnya, ia melirik dan mendapatkan roman Song Kie berdiri terus berdiam, dia membiarkan si anak muda berdiri di sisinya itu.

Tiba-tiba terdengarlah suatu suara yang terbawa angin malam, terdengarnya jauh lalu dekat, suara itu tambah menyeramkan. Tanpa merasa, Tiong Hoa bergidik, Song Kie berpaling kearah dari mana suara itu datang. "Benar- benar mereka datang?" katanya pula seorang diri.

"Siapa?" tanya Tiong Hoa tanpa merasa.

Song Kie menoleh, mengawasi tajam. ia tidak menjawab. ia berpaling pula kearah tadi.

suara tadi itu terdengar pula, makin dekat. segera tertampak lima orang bagaikan bayangan berlari-lari mendatangi. cepat luar biasa, sampailah mereka itu. semua lantas berdiri diam dan hormat di samping Song Kie.

"Apakah mereka sudah berhasil?" tanya Koay-bin Jin Him, suaranya dalam.

Salah seorang umur belum empat puluh, yang tubuhnya jangkung kurus, menyahuti. "Mereka sudah berhasil, Karena rapinya rencana kita pihak Pangeran tokeh menyangka itulah perbuatan mereka itu, Lagi setengah jam, mereka juga akan datang kemari, di antaranya ada seorang yang liehay menyulitkan. Dia lah sam ciou-ya Cee-tan-Siauw-go si Memedi bertangan tiga. Tongkee, apakah kita tetap dengan rencana kita?" 

Song Kie cuma mengasi dengar suara dingini "Hmm" Kelima orang itu sudah lantas mengawasi Tiong Hoa, sikapnya tawar. "Tongkee, siapakah dia ini?" tanya si- jangkung kurus.

"Dia? oh Dialah penulisku yang baru, sekarang kamu boleh pergi" jawaban itu dingin.

Lima orang itu menyahuti, "Ya." tampak semuanya lari turun gunung, Tiba di jalan umum, mereka berhenti, agaknya untuk menantikan sesuatu.

Tak senang Tiong Hoa melihat roman dan sikapnya kelima orang itu, ia mendapat kesan orang berbau setan, sinar mata mereka itu sangat memandang tak mata kepadanya, ia menjadi tak tenteram hatinya.

Song Kie menoleh perlahan-lahan kepada si anak muda, Dia kata, sabar: "Anak muda, sekarang ini kau masih kekurangan nyali, di dalam rombongan kami, tanpa nyali orang tak dapat bekerja. Lebih baik kau pergi turun untuk menambah pengetahuan dan pengalamanmu."

Mendadak Tiong Hoa dipengaruhi sifat mau menang sendiri, tak mau kalah, tanpa mengatakan sesuatu, ia pergi turun. ia berjalan dengan cepat. Kelima orang itu melihat datangnya anak muda ini, tetap mereka bersikap dingin.

Tiong Hoa berdiri dengan menolak pinggang, ia membawa sikap jumawa ia sengaja mengawasi ke depan, tak mau ia menghiraukan mereka itu.

"Eh, Mau apa kau datang ke sini?" si jangkung kurus menegur. Dia heran maka dia memecah kesunyian Tiong Hoa tetap memandang kedepan, tak ia menoleh.

"Aku?" sahutnya. "Aku dititahkan tongkee mengawasi kamu."

Tong-kee itu panggilan pada ketua.

Si jangkung kurus menyeringai, romannya jadi bengis.

Dia mengangkat tangannya perlahan-lahan- "Toako," mendadak berkata salah satu kawannya.

"Apakah kau merasa pasti tongkee tidak bakal mempersalahkan kau?"

"Hm," bersuara sijangkung kurus, dan ia menurunkan tangannya itu. ia terus menggeser tubuh ke pinggiran.

Tiong Hoa telah melihat gerak-gerik orang dia lantas bersiap sedia, Kapan orang menyerang maka ia akan menyambut dengan pukulan "Siauw Thian chee Ci Cap- jie Kiauw Na." yalah ilmu silat "Bintang Kecil" yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus yang lincah. Dengan itu ia bisa menghajar orang hingga mati, tak tahu ia, dari mana munculnya keberaniannya secara tiba-tiba itu orang yang menasehati si jangkung kurus itu menghampirkan si anak muda.

"Kau bernyali besar tuan, aku kagum." katanya tawar, "Meski kau menjadi penuIis baru

dari tongkee kami, tak nanti tongkee menitahkan kau mengawasi kami. Kamilah Tiong tiauw

Ngo Mo. Toako kami tidak percaya karangan kau, dia menduga itulah jawaban bohong, dari itu dia ingin menghukum kau. Aku lihat tuan tentu jemu dengan sikap tawar kami maka kau sengaja mengatakan demikian- sebenarnya memang beginilah sikap tabiat kami, jadi bukan sengaja kami memandang tak mata kepadamu.” 

"Maaf..." kata Tiong Hoa sambil tertawa dingin, ia tidak takut meskipun orang adalah Tiong-tiauw Ngo Mo, Lima Hantu dari Tiong-tiauw.

Tengah si anak muda menyahuti itu, si jangkung kurus membentak, "Ngo-tee, apakah kau tak takut mulutmu pecah? Lihat, mereka sudah datang." orang yang dipanggil ngo tee itu -- adik yang nomor lima, menoleh.

Tiong Hoa berpaling juga, maka ia melihat mendatanginya empat orang, Mendadak seperti buyar keb era niannya barusan, diam-diam ia menyingkir kearah pepohonan di dekatnya.

Kelima orang itu, yaitu Tiong-tiauw Ngo Mo. agaknya tegang sikapnya, Mereka lantas bersiap sedia melakukan penyerangan.

Empat orang itu, yang tadi merupakan titik-titik sebagai bayangan, lekas juga sudah datang dekat, sangat pesat larinya mereka. Sebentar saja, tibalah sudah mereka.

Tiong Hoa memasang mata, ia tidak dapat melihat muka orang, yang membaliki belakang, ia cuma tahu mereka itu orang tua semua, kumisnya pun panjang. Mereka seperti tidak menghiraukan kelima hantu, mereka jalan terus.

Tiongtiauw Ngo Mo tertawa dingin, lantas mereka menyerang dengan berbareng.

Keempat orang tua itu agak kaget, mereka lompat mundur satu tombak. Satu diantaranya mengawasi kelima penyerang itu, lantas dia tertawa dingin dan kata: "Ah, aku menyangka siapa, kiranya kalian, dengan kepandaian kamu yang umum ini kamu berani lakukan perbuatan hitam makan hitam ? Hm, tahukah kamu siapa kami ini?"

"Kami tidak perduli kamu siapa" sahut si jangkung kurus, yang usianya pertengahan, suaranya dingin. "Untuk kamu cukup asal kamu meninggalkan barang yang kamu bawa itu. Dengan begitu baru kami suka mengasi kamu lewat."

Orang tua itu menjadi gusar secara tiba-tiba, dia maju menyerang. Dengan tangan kanannya, dengan sebuah jeriji, dia menotok jalan darah, Gerakannya itu sangat cepat sekali.

Si jangkung kurus tabah luar biasa, Dia seperti tak menghiraukan serangan itu, Dengan sama gesitnya dia meluncurkan tangan kirinya, guna menotokjalan darah thian-hoe dari si orang tua, Berbareng dengan itu, dengan tangan kanannya, dia menghajar, membacok, lengan si orang tua.

Agaknya si orang tua terkejut, cepat-cepat dia menarik pulang tangan kanannya itu, tapi si jangkung kurus merangsak, ia menotok kejalan darah ciang boen, ia tetap menggunai tangan kirinya.

Tiong Hoa kagum, sangat cepat gerakannya dua orang itu.

Orang tua itu ialah sam Cioe Ya cee Tam siauw Go seperti diterangkan si jangkung-kurus tadi kepada Song Kie. Buat Sungai Besar bagian selatan dan Utara, dia ternama besar untuk kegagahannya, pantas dia berani dan liehay. Dia lantas menyerang dengan dua dupakannya saling-susul. Toa Mo, si Hantu pertama, tertawa seram, tubuhnya lompat terapung, dia telah menggunai tipu berlompat Peng tee chee in," atau Awan hijau ditanah datar" Tapi dia tidak lompat setinggi mungkin- Baru kira dua kaki, tub uhnya sudah membungkuk, kedua tangannya meluncur. Dari atas dia meny amber kedua pundak lawan.

Sam Cioe Ya cee menjejak tanah, ia lompat mundur tigakaki, setelah bebas itu, ia maju pula untuk menyerang lagi dengan beruntun-runtun.

Toa Mo mendongkol karena kegesitannya itu, Dia menangkis dia menbeIa diri terus, dia membalas menyerang. Dia berlaku sama garangnya.

Sampai itu waktu, keempat Hantu habis sabar, Mereka lantas maju menyerang tiga orang tua lainnya. Mereka ini menonton saja. lantaran diserang, mereka membuat perlawanan.

Hebat pertempuran mereka itu. Tiong Hoa menonton dengan perasaan ketarik. Untuknya, pertempuran itu mendatangkan faedah besar, seumurnya belum pernah ia menyakslkan semacam pertarungan itu, memperhatikan sesuatu gerakan.

Sang waktu berjalan, rembulan sudah kelam, tinggal bintang-bintang yang muram. Cuaca menjadi guram, Tapi pertempuran berlangsung terus.

Tiong Hoa menonton dengan merasa heran, ia tidak melihat munculnya Song Kie. Kemana

perginya tongkee itu? Kenapa dia berdiam saja?

Sekonyong-konyong ia melihat sebuah tubuh besar melesat datang sembari tertawa berkakak, Mendengar itu, kelima Hantu lantas lompat mundur, sebaliknya keempat orang tua itu nampak terhuyung mau roboh.

Segera Tiong Hoa mengenali orang itu, adalah Koay- bin jin Him yang ia buat pikiran. Tam siauw Go lantas tertawa dingin,

"Aku tidak sangka sekali Song Loo-toa dapat bersikap seperti tikus" katanya mengejek. "Kalau Tam siauw Go mati, dia bakal menjadi setan yang akan menagih jiwamu."

Song Kie tidak menjadi gusar, sebaliknya dia tertawa lebar.

"Tam siauw Go. ingatkah kau kejadian pada tahun dulu di benteng air di telaga Thay ouw ketika kaum jalan Hitam mengadakan rapat bersama?" dia tanya.

"Bukankah ketika itu di muka umum kau telah menghina aku? Nah, sekarang kau tahu rasa, Bersama- sama kawan-kawanmu ini yang ada tiga bandit dari jalan Kam Liang kau sudah terkena pakuku, paku Thian Iong- tong. maka itu, didalam tempo tiga jam, racunnya paku bakal menyerang ulu hatimu, untuk sebentar terang tanah kawanan begundal pembesar negeri boleh datang mengurus mayat kamu"

Tam siauw Go terkejut, apa pula setelah itu ia lamat melihat ketiga kawannya roboh saling susul, terus berkoseran di tanah, sedang ketiga kawan itu Kam Liang sam To tiga begal dari jalan Kam Liang bukan sembarang orang. Percuma ia kaget, iapun lantas menyusul roboh untuk tak ingat apa apa lagi.

Sekonyong-konyong Song Kie berlompat kepada keempat orang tua itu, Dia bergerak sangat pesat seperti dia datang barusan. Kali ini untuk mencabut empat buah pakunya, paku Thian-Iong-teng atau serigala Langit dari dadanya keempat korban itu, kemudian dari tubuh yang seorang, ia menarik keluar sebuah kotak kecil warna hitam, yang mana ia buka tutupnya secara hati-hati.

Di depan matanya lantas bersinar sinarnya permata, hingga alis dan kumisnya nampak kehijau-hijauan warnanya.

"Hahaha..." dia tertawa lebar, "sekarang ini terpenuhilah separuh dari keinginanku banyak tahun" Suara tertawa itu mendengung di tanah pegunungan itu.

Tengah Koay-binJin Him girang kepuasan itu, sinar permata itu tiba-tiba menjadi sirap.

Dia merasakan sebuah tolakan keras dan kotaknya itu hilang dari tangannya, Dalam kagetnya ia melihat sebuah tubuh kecil langsing mencelat pergi dengan lincah sekali, tubuh mana meninggalkan tertawa nyaring tapi halus yang sedap didengar telinga, kemudian bagalkan asap lenyaplah dia di kejauhan.

Bukan main terkejutnya Koay-binJin Him, Dia lompat meny amber. Tapi dia ketinggalan sedetik. Perampas itu lolos, saking murka, dia berseru keras, terus dia berteriak: "Kejar" Dia pun mendahului lari kearah mana perampas itu kabur. Tiong tiauw Ngo Mo lari mengejar. Mereka tak menghiraukan lagi Tiong Hoa.

Lie Tiong Hoa menonton pertempuran dengan asyik sekali, ia sangat ketarik hati, ia kagum menyakslkan liehaynya Song Kie, ia pun heran melihat ada orang merampas kotak permata di tangannya Koay-bin Jim-Him. tengah ia melengak itu, ia lantas di-tinggal pergi mereka semua.

Ia masih berdiam tempo ia merasa ada barang apa- apa menimpa kepalanya hingga ia merasa sedikit nyeri, ia meraba. hingga ia kena pegang sehelai daun. ia terkejut hingga ia tercengang pula, matanya terbuka, mulutnya ternganga. inilah seorang cerdas, ia dapat berpikir.

Di-dalam musim semi seperti itu, tak nanti ada daun rontok tertiup angin juga tak ada daun yang jatuh langsung ke tanah, mestinya melayang- layang dulu, Maka itu, itu mestinya daun yang dipakai menimpuk dengan "Hoei-Hoa-tek Yap Cioe hoat," ialah ilmu "Menerbangkan bunga memetik cabang" Karena ingat ini, ia terus dongak. melihat keatas.

Kembali ia menjadi heran. Di atas pohon, teraling dengan dedaunan ia melihat seorang nona nangkring di atas cabang, Yang terlihat tegas ialah mukanya yang cantik dengan matanya yang jeli, Nona itu mengawasi ia sambil tersenyum, dia mirip bung a yang baru mekar.

Ia bingung, hatinya pun berdenyut Manusia kah? setankah? ia hendak membuka mulutnya, lalu batal, ia digoyangi tangan, kepala nona itu digoyangkan.

Terpaksa ia diam menjublak. mendelong mengawasi.

Bagaikan ular, tubuh nona itu merosot turun, tak terdengar suaranya sama sekali, tahu-tahu dia sudah berdiri didepansi anak muda. Dia mengenakan pakaian serba hitam yang singsat, hingga berpetalah tubuhnya yang Iangsing. Tiong Hoa terlahir di kotaraja, ia gemar gelandangan, ia pernah melihat banyak nona- nona, tetapi melihat nona ini, semua kecantikan dikotaraja itu sirna.

Cantik sekali si nona, putih bersih dua baris giginya, Paling menggiurkan ialah sepasang sujennya, Adakah dia Tat Kie yang menjelma pula ? Nona itu menampak orang melongo, dia tertawa perlahan, kedua matanya bermain.

"Eh, apakah kau belum tahu siluman she Song itu bukan manusia baik-baik?" dia tanya perlahan, suaranya merdu, "Dengan mengikuti dia, kau bakal tidak memperoleh apa-apa. Baiklah selagi mereka tidak memperh atikan, kau tinggalkan dia pergi. Berangkatlah sekarang juga, ke kuil malaikat tanah di luar pintu barat kota Lay-soei, disana kau menantikan nonamu, nanti nonamu menunjuki kau sebuah jalan keselamatan."

Senang sekali Tiong Hoa mendengar kata kata itu dan ia mendapat perasaan tak dapat ia menolak. Maka juga tanpa berpikir panjang lagi, ia berkata: "Baiklah, nona, aku dengar nasihatmu ini, sekarang juga pergi," ia lantas memberi hormat, terus ia memutar tubuhnya, bertindak pergi, ia barujalan kira delapan tindak, telinganya mendengar Song Kie tertawa nya ring, ia terkejut, ia menyangka Koay-bin Jin Him mempergokinya, ia berpaling dengan cepat, ia tidak melihat Song Kie, hanya ia menampak si nona baju hitam memberi tanda padanya untuk berjalan terus, ia menurut, bahkan ia lantas lari.

Tiong Hoa heran sendirinya, ia tidak kenal nona itu. Kenapa ia kesudian mendengar kata- kata nya? ia mau menduga, dengan meninggalkan Song Kie, mesti bakal terjadi sesuatu, Mungkin ia bakal kehilangan jiwanya. Toh ia tidak menghiraukan itu, ia merasa si nona ada sangat berharga untuknya, entah karena ia tertarik hatinya, entah karena kesannya yang baik terhadapnya.

Sekarang Tiong Hoa mesti berlari-lari di tempat yang gelap. Rembulan sudah kelam dan bintang-bintang guram sekali, berlari dengan menggunai Hoei Hong in soan lantaran ia kuatir Song Kie atau Tiong tiauw Ngo Mo lari mengejar dan menangkapnya. Ia lari cepat sekaii, inilah yang pertama kali ia menggunai ilmu ringan tubuhnya dengan sungguh-sungguh. Baru sekarang ia merasa berapa pes at ia dapat berlari, ia bermandikan keringat dan merasa letih juga.

Ketika fajar menyingsing, Tiong Hoa telah sampai di luar kota timur dari kota kecamatan Lay-twi, ia lari mutar melintasinya, untuktiba dipintu barat. Benarlah di luar pintu barat itu ia melihat kuilnya malaikat tanah yang terletak diatas sebuah tanjakan sebelah kanan ia menghela napas lega, lantas ia lari menghampirkan kuil itu.

Itulah sebuah kuil yang sudah tua dan rusak. Ketika ia bertindak masuk kedalamnya, ia mendapatkan banyak sarang labah-labah dan bau busuk membikinnya mau muntah. Ruangan dalam Kuil itu seperti juga sarang hantu.

Walaupun ia tak disayangi orang tua nya, Tiong Hoa tetap anak keluarga berpangkat, akan tetapi sekarang ia hidup terlunta-lunta, hatinya toh bercekat, ia jugaheran.

Kuil ini berdekatan dengan pintu kota, kenapa tidak ada orang yang urus?" ia kata dalam hatinya. "lnilah aneh..." Ia berhenti berpikir sebentar, lantas ia berpikir pula: "si nona menyuruh aku menantikan dia di sini. Kenapa dia justeru memilih kuil ini?"

Tengah ia bingung itu, matanya bentrok dengan sebuah peti mati di ujung ruangan, tadi ia tidak melihatnya lantaran penerangan remang-remang dan ia belum memperhatikan

sepenuh nya. Tanpa merasa, ia bergidik. Peti itu membuatnya mendapat perasaan tak enak sekali. Maka ia memutar tubuh nya, berniat pergi keluar.

Tiba-tiba, peti mati itu mengasi dengar suara bergerejot, lantas ia melihat tutupnya terangkat perlahan-lahan. Bukan main kagetnya ia. sampai ia merasa kakinya lemas, sampai ia tak dapat berg era k Dengan mata mendelong ia mengawasi terus.

Begitu lekas tutup peti itu sudah terangkat semua, di dalam itu terlihat seorang wanita tua menggera ki tubuh untuk berduduk. Dia berambut putih dan rambutnya itu terurai sampai dipundaknya, Melihat kulitnya dan kurusnya, dia mirip mayat hidup, romannya menakuti.

Nyonya itu menyingkap rambutnya.

"Apakah kau telah kembali, anak In?" begitu terdengar suaranya perlahan.

Tiong Hoa berdiam.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar