Beng Ciang Hong In Lok Jilid 65 (Tamat)

 
Mereka mempercepat lari kuda mereka dan menyusuri sebuah bukit kecil. Tiba-tiba di balik bukit terdegar berkumandang suara beradunya senjata tajam. Bahkan juga terdengar suara seorang perempuan tua sedang membentak.

"Ah, kau kepergok di sini! Kau akan kubunuh untuk ganti jiwa bocah she Tio itu!" kata perempuan itu.

Ci Giok Hian terkejut. Dia mengenali suara perempuan itu.

"Hai, bukankah itu suara Gak Hu-jin? Lalu siapa yang mau dibunuhnya?" kata Ci Giok Hian.

Cepat Tio It Heng membelokkan kudanya menerjang ke arah bukit. Sesudah dekat, betul saja orang yang bicara itu Gak Hu-jin, lawannya seorang lelaki bersenjata golok dan seorang perempuan.

Yang lelaki bersenjata golok dan yang perempuan memakai pedang. Kepandaian kedua orang itu tidak lemah saat bertempur dengan Gak Hu-jin mereka tangkas walau kelihatan Gak Hu-jin sedikit lebih unggul. Tio It Heng heran.

"Aneh, kenapa Gak Hu-jin sudah sembuh dari penyakit gilanya?" pikir Tio It Heng.

Mendadak terlihat wajah Gak Hu-jin berubah beringas, rambutnya yang panjang terurai. Mungkin gilanya tampak kumat lagi. Tongkatnya menyambar secara ngawur. Sambil berteriak Gak Hujin akan membalas sakit hati suami pertamamya Kedua lawannya kelihatan terdesak dan beberapa kali hampir terkena tongkat Gak Hu-jin. "Suamiku yang baik, jika arwahmu tahu, lindungilah aku supaya aku bisa membalaskan sakit hatimu dan membunuh putri dan menantu To Pek Seng ini!" seru Gak Hu-jin beringas,

Berbareng dengan itu tongkatnya lantas menghajar dengan dahsyat. Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa pikir lagi Tio It Heng menerjang maju. Ketika menyelinap dan lewat di samping lelaki itu, dengan pelahan dia berkata

"Ciok Su-heng, biar aku dan Su-ci melayani perempuan gila ini!" kata Tio It Heng.

Karena datangnya Tio It Heng tak terduga, lelaki itu heran dan girang.

"Siapa dia? Bagaimana bisa mendadak muncul seorang Sutee?" pikir mereka.

Tak lama terdengar suara nyaring beradunya senjata. Saat itu gerakan pedang Tio It Heng sudah bisa langsung bekerja sama dengan serangan perempuan itu. Gerakannya pun sangat serasi dan bagus. Daya serang mereka secara serentak bertambah hebat berlipat ganda. Dalam sekejap tongkat Gak Hu-jin tertangkis beberapa kali. Karena serangan Gak Hu-jin bisa dipatahkan, dia terdesak dan mundur beberapa langkah.

"Hei, dari mana kau belajar ilmu pedang perguruan kami?" kata perempuan itu heran.

"Toa Su-ci, kita usir dulu perempuan gila ini, nanti kuceritakan," jawab Tio It Heng.

Mendadak terdengar Gak Hu-jin berteriak kalap.

"Bagus, bocah she Tio, kaupun datang untuk cari mampus!" kata Gak Hu-jin. Tapi meskipun dia menyerang dengan lebih dahsyat, gabungan pedang Tio It Heng dan kakak perguruannya itu dapat mematahkannya bahkan tongkat Gak Hu-jinpun tidak bisa terlepas dari incaran pedang mereka.

"Gak Hu-jin," kata Tio It Heng, "suamimu bukan terbunuh oleh Guruku,. Saat pertarungan suamimu memang terluka, tapi Guruku juga terluka. Kenapa kau tidak berpikir secara sehat?"

"Persetan denganmu!" teriak Gak Hu-jin. "Jika bukan karena terluka, masakan suamiku tewas di tangan beberapa bangsat itu?"

"Hm! Sebenarnya setelah kau kawin lagi dengan Gak Liang Cun, semua musuhmu sudah kau bunuh! Tapi kau malah bertambah jahat hingga banyak membunuh orang yang tak berdosa," kata Tio It Heng. "Sekarang kau mau menuntut balas pada siapa lagi? Walau putrimu sudah mati, tapi kau masih punya seorang menantu. Sedang keponakan kesayanganmu Uh-bun Tiong, memang sudah lama mampus! Kenapa kau tidak mencarinya dan bergabung dengan menantumu?"

Gak Hu-jin tidak mau mengerti, malah menyerang lebih ganas lagi dengan tongkatnya.

"Perempuan gila ini tidak bisa diajak bicara baik-baik, buat apa banyak bicara dengannya," kata Su-cinya. "Bukankah dia sendiri yang cari mampus, kita bereskan dia!"

Begitulah ketika gabungan pedang mereka mulai melancarkan serangan balasan, Gak-hujin tidak mampu menahan ilmu pedang yang lihay itu, Hanya sekejap tubuhnya sudah banyak lukanya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar orang berseru dari kejauhan, "Hu-jin, lekas ke mari, lekas! Tolongi aku!"

Dari atas bukit ternyata muncul beberapa orang. Orang yang lari paling depan, Bupati Yang-ciu, yaitu Gak Liang Cun serta seorang perwira pembantunya, sedang yang mengejar di belakang mereka pemimpin Hay-soa-pang.

"Ciok-toa-ko! Lekas kau bantu kawan Hay-soa-pang menangkap pembesar busuk itu! Perempuan gila ini serahkan padaku dan Su-tee!" kata kakak seperguruan Tio It Heng.

Sekalipun belum tahu asal usul Tio It Heng, tapi dari ilmu pedang yang dimainkannya dia yakin orang itu memang betul suteenya.

Lelaki itu mengangguk pada istrinya, lalu maju dengan golok terhunus saat itu dia memburu dan berniat menghadang Gak Liang Cun.

Mendadak Gak Hu-jin mengerang keras, tongkatnya menghantam. Tio It Heng dan Sucinya yang ditangkis dengan pedang mereka. Dengan gaya memotong tongkat lawan berhasil mereka papas jadi dua. Gak Hu-jin melemparkan sisa tongkatnya yang patah dan sempat menerobos dari kepungan dua lawannya

"Awas, Toa-ko!" seru kakak seperguruan Tio It Heng. Gak Hu-jin berlari ke arah Gak Liang Cun.

Saat itu suami kakak seperguruan Tio It Heng sudah bertarung dengan perwira pengawal Gak Liang Cun.

Melihat Gak Hu-jin datang membantu, Gak Liang Cun girang.

"Lekas tolong aku, Hu-jin! Lekas tolong aku!" teriak Gak Liang Cun. Gak Hu-jin berteriak kalap.

"Putriku sudah mati, keponakanku juga sudah mati! Semua sanakku sudah mati! Dosaku sangat banyak, pada siapa aku harus menuntut balas?" teriak Gak Hu-jin.

Sambil berteriak-teriak dia berlari ke arah Gak Liang Cun.

Gak Liang Cun yang dalam keadaan terdesak, berharap sang istri bisa menolonginya. Tapi dia jadi kaget ketika melihat keadaan istrinya yang sinting dan mengoceh tak karuan itu. Segera dia berteriak.

"Hai, Hu-jin, sadarlah! Aku ini suamimu, kau kenapa?" kata Gak Liang Cun bingung.

Tiba-tiba isterinya sudah ada di hadapannya dan langsung mencengkram pinggang suaminya Dia langsung membentak gusar sekali.

"Jangan ngaco! Siapa kau? Siapa istrimu? Kau memang telah membantuku membalaskan sakit hatiku. Tapi aku juga telah membantumu naik pangkat dan jadi kaya hingga puluhan tahun kau hidup mewah! Kini di antara kita sudah tak ada lagi hutang budi. Lekas kau enyah dari sini!" bentak Gak Hu-jin.

Tiba-tiba Gak Hu-jin mengangkat tubuh suaminya yang langsung dia putar dengan cepat, sesudah itu dia lemparkan sekuatnya. Tak ampun lagi tubuh Gak Liang Cun melayang ke dengan kepala di atas dan kaki di bawah. Jatuhnya tepat kepalanya dulu dan membentur sepotong batu besar hingga batok kepala pecah berantakan. Gak Liang Cun menjerit mengerikan dan tewaslah dia.

Sesudah itu Gak Hu-jin tertawa terbahak-bahak sambil berteriak. "Semua telah beres! Aku bisa segera menyusul suamiku ke alam baka!" katanya.

Tiba-tiba dari mulutnya menyembur darah segar dan tubuhnya terkulai lemas, nyawanyapun binasa. Ternyata dia bunuh diri dengan memutuskan urat nadinya

Perwira yang bertempur dengan suami su-ci dan Tio It Heng ketakutan setengah mati. Sambil berpura-pura menyerang lalu dia kabur. Segera lelaki itu hendak mengejarnya tapi isterinya dan Tio It Heng telah memburu dan mencegahnya.

"Pimpinannya sudah mati, biarkan dia kabur!" Sementara itu kedua orang yang mengejar Gak Liang

Cun dari balik bukit tadi sudah sampai. Melihat orang itu Ci Giok Hian girang setelah mengenali kedua orang itu.

"Tuan Chu dan Tuan Lauw, kalian juga ada di sini!" kata Ci Giok Hian girang sekali.

Kedua orang ini adalah Sin Chu Kie dan Lauw Keng yang dulu pernah datang ke Kabupaten Yang-ciu bersama Ci Giok Hian. Mereka berdua memberi hormat pada Ci Giok Hian, lalu memberi hormat pada perempuan setengah umur itu.

"Maafkan atas kealpaan kami menyambut kedatangan Tocee-cu."

Kemudian baru Ci Giok Hian tahu bahwa perempuan setengah umur itu bernama To Hong. Cee-cu dari Long- shiasan yang sekarang, dia putri To Pek Seng. Sedangkan lelaki setengah umur itu Cio Bok, suami To Hong.

"Sayang kepandaianku rendah sehingga antek Gak Liang Cun berhasil kabur," kata Cio Bok agak kikuk. "Rupanya Ciok Toa-ko belum tahu bahwa perwira itu bukan antek Gak Liang Cun, dia terhitung salah seorang jago terkemuka dari tiga jago pasukan pengawal Kerajaan Kim, namanya Kim Kong Yan," kata Sin Chu Kie. "Jika dia tak dirintangi, kami tadi sudah berhasil membekuk Gak Liang Cun."

"Sungguh kebetulan, begitu datang kami langsung bertemu kalian sedang bertempur dengan musuh," kata To Hong sambil tertawa.

"Pembesar celaka itu sudah mati," kata Chu dengan senang. "Konon kedatangan mereka ini ingin mencari istrinya rupanya dia tidak tahu daerah ini wilayah kekuasaan Hay-soapang."

Setelah Gak Liang Cun mendapat laporan mengenai keadaan istrinya yang kurang waras, dengan perasaan sangsi dia bawa anak buahnya untuk mencari istrinya. Sebenarnya diapun tahu bahwa di luar kota telah dikuasai oleh Hay-soapang. Tetapi mereka tak tahu di mana markas Hay-soa-pang berada. Saat pergi dia membawa seregu prajurit pilihan, dibantu oleh Kim Kong Yan yang kebetulan ada di Yang-ciu dan bersedia ikut dengan Gak Liang Cun untuk mencari istrinya

Karena mereka merasa cukup kuat, Gak Liang Cun berani memburu sampai ke tepi danau Ang-tek-ouw. Rapi di sini mereka terkepung oleh pasukan Hay-soa-pang dan dihancurkan. Hanya Gak Liang Cun dan Kim Kong Yan yang berhasil lolos dari kepungan, hingga akhirnya yang satu mati dan yang lain kabur.

Setelah Sin Chu Kie menceritakan apa yang telah terjadi, dia coba mendengarkan suara pertempuran dengan cermat. "Pertempuran di sana sudah berakhir. Jika To Cee-cu tidak keberatan silakan singgah ke tempat kami!" kata Sin Chu Kie.

"Sebenarnya ada masalah yang akan kubicarakan dengan Lo Pang-cu. Tapi karena tak ada kabar dari kalian, aku lancang datang ke mari!" kata To Hong.

Ci Giok Hian juga langsung berkata bahwa dia ingin bertemu dengan ketua Hay-soa-pang.

"Aku ingin memperkenalkan su-teeku, walau aku sendiri belum kenal bagaimana asal-usulnya!" kata To Hong.

Sin Chu Kie dan Lauw Keng tercengang, sejak tadi mereka tidak tahu To Hong datang bersama seorang su- tenya. Sambil tertawa Tio It Heng langsung memperkenalkan diri.

"Aku Tio It Heng dan baru sekarang bertemu dengan Su- ci dan Su-heng," kata Tio It Heng.

Mereka berjalan menuju ke markas Hay-soa-pang, di tengah jalan Tio It Heng sempat menceritakan asal-usulnya pada sang suci.

"Kau murid terakhir Ayahku, pantas ilmu pedangmu begini hebat, tadi berkat bantuanmu kita berhasil mengalahkan musuh," kata To Hong. "Cuma yang aku sesalkan, kenapa sudah sekian bulan kau pulang ke Tiong- goan, kenapa kau tidak menemuiku?"

"Harap Su-ci memaafkan aku, soalnya aku harus pergi ke Kim-kee-leng dulu untuk urusan penting yang lain," kata It Heng.

Kemudian dia menceritakan kejadian di Kim-kee-leng. "Oh, jadi setelah belasan hari kau bersembunyi di Kim- keeleng, kau belum bertemu dengan Hong-lay-mo-li?" tanya To Hong.

"Meskipun belum bertemu, tapi maksud Liu Li-hiap sudah kuketahui," jawab It Heng. "Nona Ci ada di Kim- kee-leng, dia pembantu kepercayaan Liu Li-hiap."

To Hong bertanya pada Ci Giok Hian.

"Nona Ci, apa Liu Cee-cu pernah membicarakan tentang aku denganmu? Bagaimana maksud dia?"

"Ya, Liu Beng-cu memang sering bicara mengenai kalian, cuma sayang selama ini kalian belum sempat berhubungan," jawab Ci Giok Hian. "Liu Beng-cu sangat mengharap kerja sama yang erat dengan To Cee-cu untuk menghadapi musuh, untuk itu entah bagaimana pendapatmu?"

"Justru maksud kedatanganku untuk urusan itu," kata To Hong sambil tertawa. "Adik Ci, aku lebih tua beberapa tahun darimu, jika kau tidak keberatan, selanjurnya kau boleh memanggilku Cici saja."

Ci Giok Hian merasa girang mengingat maksud Hong- laymo-li ingin berserikat dengan Long-shia-san dipimpin To Hong telah tercapai tanpa susah. Begitulah setiba di markas Haysoa-pang mereka disambut hangat oleh Lo Uh-hong, Pang-cu Hay-soa-pang. Dengan gembira Lo Uh Hong mengucapkan selamat datang pada To Hong dan Ci Giok Hian serta kawankawannya, dia juga mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka yang telah membunuh Gak Liang Cun dan istrinya. Dengan rendah hati To Hong menjelaskan bahwa kematian Gak Liang Cun bukan olehnya, begitupun Gak Hu-jin. "Tapi bantuan kalian tidak kecil bagi kami, ini harus dirayakan dengan meriah," kata Lo Uh Hong.

Tapi Ci Giok Hian menjelaskan bahwa mereka tak bisa lama-lama di tempat itu, karena harus kembali ke Pek- hoakok, begitupun To Hong ingin ikut Ci Giok Hian ke Kim-keeleng. Singkatnya Ci Giok Hian nenceritakan apa yang terjadi di Pek-hoa-kok.

"Oh, Kong-sun Siauw-hiap dan Kiong To-cu ada di tempatmu, sungguh sayang aku tak bisa menemui beliau," kata Lo Uh Hong.

Kemudian Ci Giok Hian berunding seperlunya seperti tugas yang dia terima dari Hong-lay-mo-li. Selesai bicara, baru Ci Giok Hian mohon diri, Lo Uh Hong meminta agar dia menunggu sebentar, karena mereka akan menjamunya sekadar tanda terima kasih. Selain itu ada seorang kawan ingin bertemu dengan Ci Giok Hian.

Ci Giok Hian heran siapa gerangan orang itu?

Tak lama, saat mereka sedang makan dan minum, masuklah seorang lelaki gemuk. Dia An To Seng, saudagar obat itu.

Setelah kejadian di tepi sungai Hong-hoo, bahan obat yang dibawanya hampir dirampas musuh. Untung dia ditolong oleh Kong-sun Po dan Seng Liong Sen. Setelah obat itu diantar ke Kim-kee-leng, An To Seng ditugaskan Hong-lay-mo-li mengantar obat ke Hay-soa-pang. Saat mengetahui Kong-sun Po ada di Pek-hoa-kok, An To Seng minta pada Ci Giok Hian untuk menyampaikan hormatnya pada pemuda itu.

"Mengenai Seng Siauw-hiap, sebenarnya kami punya suatu masalah dengannya. Apa nona Ci kenal dengannya?" An To Seng bukan tokoh terkemuka dunia Kang-ouw, dia cuma seorang pedagang selundupan, maka itu dia tidak tahu kalau nona Ci pernah jadi istri Seng Liong Sen.

Wajah Ci Giok Hian berubah merah dia jadi agak kikuk. Ya, aku kenal dengannya. Tapi dia sudah pulang ke

Kanglam, urusan apa hingga kau ingin mencari dia? Bisa kau ceritakan padaku."

"Aku ingin memberi dia hadiah sekadar untuk membalasbudi kebaikannya. Dia telah menyelamatkan aku," kata An To Seng. "Selang beberapa hari lagi aku harus ke daerah Utara untuk sementara mungkin tak akan kembali ke Kim-kee-leng."

"Ah, kita kan sama-sama orang sendiri, aku kira bantuan dia itu wajar saja! Malah kewajiban sesama kawan. Kenapa harus balas budi segala?" kata Ci Giok Hian.

"Tapi hadiahku ini barang yang sangat berguna bagi dia," kata An To Seng. "Akan kuberi sejenis obat salep yang sangat mujarab untuk menumbuhkan daging baru, bekas luka yang parah, asal diberi salep ini akan segera timbul daging baru sehingga bekas lukanya itu akan lenyap tanpa bekas."

"Oh, jadi kau mau memberi obat itu?" kata Giok Hian. "Ya,   sebenarnya   dia   cakap,   karena   bekas   luka   di

wajahnya itu, pasti dia sangat sedih. Jika wajah aslinya bisa

pulih seperti semula, maka dia serasi sekali dengan istrinya yang cantik itu," kata An To Seng sambil tertawa.

An To Seng menitipkan sebuah kotak kecil untuk Seng Liong Sen. Ci Giok Hian menerima kotak obat itu dengan girang dan pilu. Dia tak memikirkan Liong Sen namun memikirkan nasibnya sendiri. "Baiklah, dia pasti ke Kim-kee-lebng lagi. Titipanmu akan kusampaikan padanya," kata Ci Giok Hian. "Maaf, kami harus pamit pada semuanya!"

To Hong tak ingin bertemu dengan Kiong To-cu, maka itu dia batal ikut Ci Giok Hian, dia berjanji akan bergabung di persimpangan jalan ke Kim-kee-leng.

Di tengah perjalanan pulang itu, tiba-tiba Tio It Heng berkata pada Ci Giok Hian.

"Suka-duka manusia sering di luar dugaan. Konon bakal istri Seng Liong Sen itu putri Khie Wie, sedangkan Liong Sen murid pewaris Bu-lim Beng-cu Bun Yat Hoan di Kang- lam. Khie Wie dulu terkenal jadi momok di Dunia Kang- ouw, perjodohan mereka sungguh di luar  dugaan siapapun." kata It Heng.

"Benar, hidup ini seperti mimpi, banyak kejadian sering tidak pernah terpikir sebelumnya," jawab Ci Giok Hian.

"Memang, sebelumnya tak pernah kubayangkan aku bisa berkenalan denganmu," kata Tio ItHeng.

"Tio Toa-ko, aku ingin ......." mendadak Giok Hian membatalkan ucapannya.

"Apa yang mau kau katakan? Meskipun kita belum kenal lama, tapi kau bagiku seperti sahabat lama," kata Tio It Heng.

Ci Giok Hian mendengar ucapan itu jadi terharu.

"Tio Toa-ko, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, yakni mengenai. mengenai diriku dulu."

Berceritalah Ci Giok Hian mengenai semua pengalaman dan nasib masa lalunya. Selesai cerita Wajah nona Ci penuh air mata.

Dengan suara pelahan Tio It Heng menanggapinya. "Adik Hian, kau pernah jadi istri bohongan dari Liong Sen, sudah lama hal itu kuketahui. Begitu banyak pengalamanmu yang tidak beruntung, akupun ikut sedih. Tapi jangankan kau hanya istri bohongan saja, sekalipun suami istri sungguhanpun, jika kalian tidak cocok terpaksa harus berpisah, bagiku kau tetap seorang nona yang pantas dihormati, aku.. .aku. "

Melihat pemuda itu jadi kikuk bicaranya, Cu Giok Hian merasa geli, akhirnya Giok Hian mendesak agar pemuda itu bicara.

"Sebenarnya apa yang nau kau katakan, katakanlah!" kata Ci Giok Hian sambil tersenyum.

Tio It Heng mengawasi nona Ci penuh arti.

"Tanpa aku jelaskanpun isi hatiku, pasti kau sudah tahu. Aku .. .aku harap aku bisa mendampingimu untuk selamanya dan. ”

"Sudahlah," kata Ci Giok Hian memotong, "aku paham maksudmu, aku kira tidak perlu kau katakan lagi."

"Jadi. jadi kau setuju?" kata Tio It Heng girang.

Ci Giok Hian menunduk malu tanpa menjawab.

Tanpa terasa tangan mereka saling menggenggam kencang. Tanpa jawaban si nonapun Tio It Heng sudah tahu apa artinya itu.

Sampai di rumah, Kiong To-cu sudah hampir sehat kembali. Apalagi Kong-sun Po sudah mengajarkan inti lwee-kang ajaran Beng-beng Tay-su pada mertuanya. Saat itu merekapun sedang menanti kepulangan Ci Giok Hian berdua. Maka itu sesudah mendapat laporan mereka sudah pulang, maka merekapun Setelah segala sesuatu diatur beres, Wan Ceng Liong tinggal di Pek-hoa-kok untuk menemani Kiong Cauw Bun. Ci Giok Phang,

Giok Hian, Tio It Heng dan Wan Say Eng berempat kembali ke Kim-kee-leng. Sedang Kong-sun Po dan Kiong Mi Yun ke Tay-toh, ibukota kerajaan Kim.

Sebelum berangkat Ci Giok Hian berpesan pada Ciu Hong agar menghubungi Hay-soa-pang jika ada sesuatu persoalan, apalagi Wan Ceng Liong masih tinggal di situ. Maka itu Ciu Hong dengan tenang menunggu kedatangan ayah dan calon suaminya.

Setengah bulan kemudian....

Rombongan Ci Giok Hian dan To Hong juga Cio Bok sudah ada di Kim-kee-leng. Suasana di Kim-kee-leng gembira setelah mengetahui masalah Giok Hian dan Tio It Heng. To Hong dan suaminya menjadi wali dan menetapkan pertunangan Tio It Heng dengan Ci Giok Hian. Tetapi sampai keadaan negara sudah aman baru mereka akan menikah.

Setelah masalah pribadinya mantap, pikiran Ci Giok Hian jadi riang. Wajahnya bercahaya seakan-akan berubah menjadi seorang yang baru. Rasa sedihnya buyar semua laksana awan mendung tersapu bersih oleh hembusan angin. Tetapi kadangkadang bila teringat pada Kok Siau- hong dan Seng Liong Sen, dia merasa kuatir juga.

Sang waktu lewat dengan cepat, musim dingin telah berlalu, maka tibalah pada musim semi. Hari ini tanggal  bulan satu, esok harinya adalah hari Cap-go-meh. Tapi berita dari ibukota Kim belum ada sama sekali.

Menurut rencana Wan-yen Tiang Cie akan melakukan perebutan   tahta   tepat   pada   hari   Tahun   Baru   Imlek, sedangkan Bu-lim-thian-kiauw dan Siauw-go-kan-kun akan membunuh Wan-yen Tiang Cie pada hari yang sama dengan bantuan dari Raja Kim. Kini waktunya sudah lewat  hari tapi sedikitpun belum ada berita tentang gerakan mereka yang berhasil atau gagal, dengan sendirinya semua orang jadi ragu-ragu dan kuatir.

Siang harinya semua orang berkumpul di ruang pendopo dan ramai membicarakan berita yang terlambat itu, macammacam dugaan dan pandangan mereka. Hanya Jen Ang Siauw yang tampak tidak ikut bicara, selain berkuatir dia juga sedang berduka.

Malam harinya dia tak bisa tidur nyenyak, hatinya merasa tidak tentram. Maklum dia sedang memikirkan ayahnya, dalam peristiwa besar di kotaraja Kim itu entah bagaimana nasib ayahnya.

Walau dia benci pada prilaku ayahnya itu, tapi dalam hatinya senantiasa dia menaruh setitik harapan semoga setelah mengalami berbagai peristiwa, ayahnya bisa sadar dan kembali ke jalan yang benar. Jika Jen Ang Siauw tak bisa tidur, ternyata pada saat yang sama masih ada seorang yang juga tidak bisa ridur. Orang itu Ci Giok Hian. Dia sedang menguatirkan Kong-sun Po dan Kiong Mi Yun. Selain itu dia juga memikirkan Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng.

Kok Siauw Hong memang kekasihnya yang pertama, orang yang pernah dicintainya dengan sepenuh hati. Walau perpisahan mereka sudah pasti, tapi kini dia sudah punya permata hati sebagai penggantinya Maka itu semua perasaan iri dan cemburu pada masa lalu telah terhapus, karena itu dia berharap bisa selekasnya bertemu dengan kawan-kawannya itu agar mereka bisa bergembira bersama- sama. Di tempat ini Ci Giok Hian sedang memikirkan mereka, di tempat lain merekapun sedang memikirkan Ci Giok Hian. Sungguh tidak pernah terbayang oleh Ci Giok Hian, pada saat dia tak bisa tidur, Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng sudah pulang ke Kim-kee-leng. Mereka baru pulang dari Siau-lim-si dan ingin selekasnya bertemu dengan sahabat-sahabatnya.

Sang dewi malam sudah menampakkan diri dengan cahayanya yang gilang gemilang. Sambil mendaki ke atas gunung, kedua muda-mudi itu menikmati pemandangan alam yang indah sekali. Angin berhembus  semilir membawa harumsemerbaknya bunga-bunga di atas pegunungan. Keadaan di sekeliling tempat itu sunyi dan hanya terdengar suara-suara serangga yang bersahutan. Melihat suasana di sekitarnya itu, tanpa terasa Han Pwee Eng berhenti dan dia mengawasi rembulan yang sedang memancarkan cahayanya yang gemilang itu. Dia terkenang pada suka-duka dan pengalamannya

"Apa yang kau pikirkan, adik Eng ?" tanya Siauw Hong.. "Aku sedang memikirkan Ci Giok Hian," jawab Pwee

Eng.

Kok Siauw Hong melengak.

"Kau memikirkan dia?" kata pemuda itu.

"Ya, tapi jangan kuatir, dulu juga aku tidak cemburu pada kalian. Hari ini hari yang baik, aku terkenang pada Cici Hian dan berdoa semoga dalam waktu singkat dia menemukan jodoh yang setimpal baginya" kata Han Pwee Eng.

Siauw Hong diam, dia pikir nasib Ci Giok Hian yang malang itu gara-gara perbuatannya. "Aku harus bertanggung-jawab atas nasib nona itu." pikir Siauw Hong.

"Eh, kau sedang memikirkan apa?" tanya Pwee Eng. "Terus-terang, apa yang kupikirkan sama dengan yang

kau pikirkan. Sesungguhnya hatiku baru tentram jika Giok Hian sudah mendapatkan jodoh. Adik Eng, kau jangan salah paham jika kukatakan isi hatiku ini."

"Memang kau anggap aku ini perempuan yang berjiwa sempit? Terus-terang akupun ingin minta maaf padanya," kata Han Pwee Eng.

Mendadak Kok Siauw Hong mendesis.

"Ssst! Ada orang yang datang. Ginkang orang ini sangat tinggi." bisik Kok Siauw Hong.

Kok Siauw Hong dan Pwee Eng buru-buru bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Tak berapa lama, tampak sesosok bayangan sedang naik ke atas gunung. Ketika sampai di suatu belokan, samar-samar orang itu sudah bisa melihat pos penjagaan pertama di atas gunung itu. Orang itu mendadak berhenti dan berkata sendiri.

"Apa tepat yang kulakukan ini? Bisakah Hong-lay-mo-li percaya padaku? Bisa jadi dia akan membunuhku. Tapi, ah, sekalipun aku dibunuh olehnya aku harus datang ke tempatnya untuk menemui anakku si Ang Siauw!"

Kok Siauw Hong terkejut, dia berbisik pada Han Pwee Eng.

"Ssst, itu Pamanku!"

Orang itu memang Jen Thian Ngo.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Pwee Eng. "Sudah lama dia jadi antek Wan-yen Tiang Cie, aku sudah tidak mengakui dia sebagai pamanku lagi. Sekalipun kita bukan tandingannya kita akan lawan dia!" bisik Siauw Hong.

"Tunggu dulu!" bisik Pwee Eng. "Rupanya dia ingin bertemu dengan Jen Ang Siauw. belum tentu dia  bermaksud jahat. Biar kita lihat dulu apa maksud kedatangannya itu?"

Ketika itu tiba-tiba...

"Hm! Jen Lo-sian-seng, tidak sangka kau berani datang ke Kim-kee-leng, aku yakin pasti kau tidak menduga akan kupergoki kau di sini!" kata suara yang lain.

Saat diintai oleh Kok Siauw Hong, dia terkejut. Orang itu seorang paderi berpakaian merah yang tiba-tiba muncul di tempat itu. Paderi itu pendeta Mongol yang bernama Liongsiang Hoat-ong. dia ditemani oleh seorang pemuda bermantel kulit. Dia adalah Wan-yen Hoo. Kok Siauw Hong kaget yang paling kaget justru Jen Thian Ngo.

"Benar, memang aku tak menduga! Hoat-ong hendak memberi petunjuk apa padaku?" kata Jen Thian Ngo.

"Jangan merendah, justru aku yang akan minta petunjukmu!" jawab Liong-siang Hoat-ong. "Apa maksudmu kau ke mari?"

"Mana berani aku berbohong, putriku ada di sini, aku ingin mengajaknya pulang!" jawab Jen Thian Ngo.

"Hm! Aku pikir kau punya maksud lain?" sela Wan-yen Hoo. "Pada saat terjadi pertarungan malam di Thian-tam. Tiba-tiba kau menghilang. Sekarang malah kau muncul di tempat ini. Barangkali kau bersekongkol dengan Bu-lim Thian-kiauw dan orang di Kimkee-leng ini, bukan!" Bukan main kagetnya Jen Thian Ngo atas tuduhan itu, cepat dia menjawab.

"Siauw Ong-ya, kau jangan menuduh sembarangan, Bulim-thian-kiauw itu musuhku, mana mungkin aku bersekongkol dengannya?" kata Jen Thian Ngo.

"Aku memang harus kabur saat keadaan gawat sehingga Ayahku tewas oleh Bu-lim-thian-kiauw! Karena ini dosa yang tak bisa kuampuni," ejek Wan-yen Hoo. "Aku tahu kau bermaksud membelot pada Hong-lay-mo-li dan ingin memusuhi kami. Apa kau pikir kau bisa kubiarkan lolos begitu saja?"

Jen Thian Ngo sadar vahwa persoalan sudah sangat gawat, memberi penjelasanpun rasanaya percuma saja.

"Baik, terpaksa akan kupertahankan beberapa potong tulang tuaku ini." kata Jen Thian Ngo.

Liong-siang Hoat-ong menyela.

"Ah, kenapa Jen Lo-sian-seng bicara begitu? Asalkan kau mau ikut kami pulang ke Mongol, urusan di antara kita bisa didamaikan? Betul tidak, Siauw Ong-ya."

"Ya, jika Hoat-ong yang menengahi soal ini, terpaksa kuturuti saja," jawab Wan-yen Hoo. "Nah, Jen Thian Ngo, ingin mati atau hidup kini terserah kau saja?!"

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Sudah bisa dipastikan saat itu mereka sudah memperhitungkan baik-buruknya untuk memancing lawan agar Jen Thian Ngo terpaksa dia akan ikut ke Mongol bersama   mereka.   Jen   Thian   Ngo   yang   dulu  berlagak menjadi pahlawan bangsa Han, padahal pengkhianat bangsa. Dengan cara licin dia membuat para pendekar mau menjadi sahabatnya.

Maka itu Jen Thian Ngo cukup berharga bagi mereka untuk dimintai keterangan, agar rahasia para pendekar yang berhubungan dengannya terbongkar. Begitupun Wan-yen Hoo dan Liong-siang Hoat-ong mereka menatap ke arah Jen Thian Ngo dengan tajam untuk menanti jawaban Jen Thian Ngo.

Kok Siauw Hong berusaha tenang di tempat persembunyiannya, dia ingin tahu apa jawaban sang paman.

Pada saat-saat yang menentukan itu, tiba-tiba Jen Thian Ngo berkata.

"Baik, aku ikut bersama kalian ke Mongol!" kata Thian Ngo. Sesudah itu dia melangkah mendekati Wan-yen Hoo. Bukan main gusar dan dongkolnya Kok Siauw Hong saat mendengar jawaban sang paman ini. Tetapi di luar dugaan tiba-tiba Jen Thian Ngo mencengkram ke arah Wan-yen Hoo sambil membentak.

"Aku sudah kenyang jadi budak kalian Ayah dan anak! Kini aku ingin menjadi manusia bebas. Serahkan jiwamu padaku!" kata Jen Thian Ngo dengan gemas sekali.

Wan-yen Hoo yang kaget masih sempat mengegos menghindari cengkraman itu.

"Week!"

Mantel bulu yang dikenakannya robek oleh cengkraman Jen Thian Ngo yang dahsyat. Pada saat terancam bahaya, Wan-yen Hoo merasakan ada dorongan keras hingga dia terdorong mundur. Rupanya Liong-siang Hoat-ong menyelamatkan dia. Kepandaian Liong-siang Hoat-ong memang jauh lebih tinggi dibanding Jen Thian Ngo, diapun tak ingin membiarkan Wan-yen Hoo celaka oleh Jen Thian Ngo. Saat itu kedua tangan Liong-siang menghantam ke depan, tangan kiri mendorong Wan-yen Hoo, tangan yang lain mengadu pukulan dengan Jen Thian Ngo.

Tak lama terdengar suara benturan keras. Ternyata Jen Thian Ngo tubuhnya bergetar dan sempoyongan. Untung Liong-siang tidak beniat membunuhnya Ketika itu dia hanya menghalangi niat orang she Jen itu mencelakai Wan- yen Hoo. Jika dia mau, Jen Thian Ngo sudah tewas di tangannya.

"Bagus, kau bunuh saja aku!" teriak Jen Thian Ngo. Kembali dia menghantam dan mengadu pukulan dengan

Liong-siang  Hoat-ong.  Kali  ini  dia  terluka  cukup   parah

sehingga darah segar menyembur dari mulutnya. Liong- siang pun agak tertahan majunya, karena Jen Thian Ngo mengerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga dada Liongsiang sesak. Tapi Liong-siang Hoat-ong memang hebat, dia segera mengatur pernapasannya, hingga tenaganya pulih kembali. Dengan gusar dia membentak.

"Jen Thian Ngo, benar-benar kau ingin mati?" kata Liongsiang. Ketika Liong-siang Hoat-ong hendak menyerang, tibatiba Wan-yen Hoo berteriak.

"Tolong, Hoat-ong!"

Liong-siang kaget, segera dia menoleh. Di sana terlihat dua sosok bayangan sedang menyerang ke arah pangeran itu. Kedua sinar pedang menyambar secepat kilat, hingga Wan-yen Hoo terkepung oleh dua pedang yang tak kenal ampun. Kedua orang itu adalah Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Setelah menyaksikan keadaan sudah sangat gawat, mereka sadar tidak mungkin bisa menyelamatkan Jen Thian Ngo dari tangan Liong-siang yang lihay. Maka itu dengan menggunakan akal 'mengancam Wan-yen Hoo untuk menolongi Jen Thian Ngo'.

Ternyata cara mereka itu sangat tepat, karena terpaksa Liong-siang Hoat-ong menghentikan serangannya untuk menolong Wan-yen HooTapi sayang karena tak sempat lagi, segera dia membuka jubah, lalu dilontarkan ke arah Kok Siauw Hong dan nona Han.

Jubah merah Hoat-ong berubah jadi kaku dan menyambar ke arah lawan. Walau jubah itu mampu menghalangi serangan Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng, tapi sepasang pedang pemuda pemudi itu mampu melubangi jubah itu. Bagaikan sehelai kain, jubah itu jatuh ke tanah. Tetapi Kok Siauw Hong dan Nona Han merasakan kesemutan, saat yang baik itu digunakan oleh Wan-yen Hoo untuk meloloskan diri. Segera Kok Siauw Hong menyerang tertuju pada Wan-yen Hoo, tapi dia mampu menangkis serangan itu dengan kipasnya. Kepandaian Wan-yen Hoo memang tidak lemah, walau dikeroyok Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Memang dia agak kewalahan juga, tapi coba satu lawan satu, pasti dia sanggup bertahan menghadapi Kok Siauw Hong. Ketika Liongsiang Hoat-ong memburu, dia mengenali Kok Siauw Hong. 

"Rupanya kau! Rasakan ini!" bentak Hoat-ong sambil menyerang dengan hebat sekali.

Karena pukulan itu dahsyat, Kok Siauw Hong terdorong mundur beberapa langkah. Dadanya terasa dihantam sebuah martil besar, napasnyapun sesak. Karena Liong-siang harus menahan Kok Siauw Hong dan nona Han untuk menolongi Wan-yen Hoo, Jen Thian Ngo bebas dari ancaman maut. Walau demikian karena kena getaran tenaga pukulan Liong-siang tadi, kembali dia muntah darah.

Tapi sebisanya Jen Thian Ngo menenangkan hatinya. Setelah melihat yang menolong itu Kok Siauw Hong, sang keponakan, dia girang bercampur kaget dan berterima kasih juga malu.

"Siauw Hong!" sekuatnya dia berseru.

Seketika itu juga dia maju membantu Kok Siauw Hong untuk menghadapi musuh-musuhnya, walaupun dia sudah payah.

"Kau baik dan mau menolongiku!" kata Jen Thian Ngo. "Sudah Paman, masa lalu jangan kauungkit lagi!" jawab

Kok Siauw Hong.

Saat serangan Liong-siang Hoat-ong tiba. Jen Thian Ngo yang kaget berteriak.

"Siauw Hong serang dia dengan cepat!" kata Jen Thian Ngo.

"Bagus, ternyata kalian mencari teman untuk pergi ke akhirat!" ben-tak Liong-siang gusar sambil menghantam lagi.

Serentak Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng melancarkan serangan kilat dengan pedang mereka. Karena kerja sama sepasang pedang itu sangat rapih dan cepat, Liong-siang belum bisa menggunakan tenaga Liong-siang- kangnya yang hebat, dan secara mendadak dia diserang oleh serangan kilat dari arah yang berbeda Liong-siang yang tak mengira kalau kerja sama ilmu pedang kedua lawannya bisa begitu lihay, terpaksa berkelit sambil bertahan sekuatnya dia mencari kesempatan untuk menggunakan Liong-siang-kang yang lihay itu.

Namun, sekalipun Kok Siauw Hong berdua dibantu oleh Jen Thian Ngo, tapi karena keadaan Jen Thian Ngo sudah payah, ketika Jen sedikit lengah kesempatan itu oleh Liong- siang digunakan untuk mengerahkan pukulan lihaynya. Tanpa ampun lagi Jen Thian Ngopun muntah darah. Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng terdorong mundur langkah merekapun sempoyongan.

"Siauw Hong, aku sudah tak berguna lagi, jangan hiraukan aku, lekas kalian lari!" teriak Jen Thian Ngo.

Kok Siauw Hong yang tidak ingin meninggalkan pamannya dalam keadaan bahaya. Dia melirik ke atah Han Pwee Eng, keduanya sudah bertekat akan bertarung mati- matian.

"Hm! Akan kubunuh kalian semua!" ejek Liong-siang. Saat Liong-siang Hoat-ong menggunakan Liong-

siangkangnya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari orang yang gin-kangnya tinggi.

"Siapa itu?" bentak Liong-siang.

Saat itu Wan-yen Hoo yang sedang tegang mengikuti pertarungan sengit itu, baru sadar bahwa di belakangnya sudah berdiri se-seorang. Ketika dia menoleh, tampak wajah seorang yang penuh bekas luka sedang mendelik ke arahnya.

"Wan-yen Hoo, apa kau masih kenal padaku?" kata orang itu sambil tertawa. Orang itu Seng Liong Sen yang dulu hampir mati di tangan Wan-yen Hoo ketika di Sun-keng-san. Di belakang Seng Liong Sen tampak ikut pula Khie Kie. Wan-yen Hoo kaget bukan kepalang.

"Hei, rupanya kau!" kata Wan-yen Hoo.

"Benar, aku sengaja mencarimu untuk membuat perhitungan denganmu!" kata Seng Liong Sen.

Wan-yen Hoo sadar tak ada jalan lain, maka itu dia langsung menyerang Seng Liong Sen. Kipasnya bergerak, cepat dia menusuk iga lawan sambil membentak.

'Terima seranganku!"

Wan-yen Hoo sadar bahwa ilmu totok yang sudah terlatih dengan sempurna dipelajarinya akan berhasli melukai lawan. Tak diduga gerakan Seng Liong Sen tidak kalah cepatnya. Serangan Seng Liong Sen sampai lebih dulu sebelum kipas lawan tiba. Ujung pedang Seng Liong Sen mengancam dada Wan-yen Hoo. Sedang Wan-yen Hoo buru-buru melompat mundur sambil menangkis tusukan Seng Liong Sen. Tap Seng Liong Sen segera mencengkram ke arah Wan-yen Hoo yang kegirangan karena lawannya memandang enteng padanya Tiba-tiba dia mengegos ke samping, kipasnya langsung mengetuk 'Koan-tiauw-hiat' di bagian lutut Seng Liong Sen.

"Roboh!" bentak Wan-yen Hoo.

Serangan itu tepat mengenai sasaran, tapi Liong Sen tidak roboh, sebaliknya cengkramannya terus mengarah ke tulang bahu Wan-yen Hoo. Jika serangan itu berhasil, Wan- yen Hoo akan cacat seumur hidup..

Sekian lama tinggal bersama Khie Wie, ditambah mendapat pelajaran intisari lwee-kang dari Tabib Ong dulu, Seng Liong Sen mampu menutup jalan darahnya, hingga serangan lawan tak berguna Tiba-tiba Liong-siang Hoat-ong menggertak, dia desak Kok Siauw Hong dan Pwee Eng hingga mundur. Sesudah itu dia tendang Jen Thian Ngo hingga terjungkal, lalu menerobos ke keluar kepungan lawan.

Saat itu cengkraman Seng Liong Sen mengancam bahu Wan-yen Hoo. Sedang serangan Liong-siang Hoat-ong bukan untuk menyelamatkan Wan-yen Hoo, tapi sasarannya Khie Kie.

Saat itu Khie Kie sedang mengikuti pertarungan itu di pinggir lapangan, sambil memburu ke arah Khie Kie, Liongsiang Hoat-ong membentak.

"Kau anak Khie Wie, ayo ikut aku sebagai ganti ayahmu!"

Rupanya untuk menolongi Wan-yen Hoo, Liong-siang mau menawan Khie Kie. Sebab jika dia langsung menolongi Wan-yen Hoo tak akan sempat lagi. Seng Liong Sen kaget. Sayang dia tertipu oleh akal Liong-siang Hoa- ong. Sudah pasti tak akan membiarkan istrinya celaka. Karena sedikit ayal saja cengkramannya hanya merobek pakaian Wan-yen Hoo. Kesempatan ini langsung digunakan Wan-yen Hoo untuk menghindar. Jen Thian Ngo yang ditendang roboh berteriak pada Kok Siauw  Hong.

"Lekas lari, Siauw Hong jangan hiraukan aku!"

Siauw Hong terhenti sejenak, tapi tak lama dia mengejar lagi ke arah Liong-siang Hoat-ong untuk membantu Seng Liong Sen menghadapi musuh. Ketika itu Seng Liong Sen sempat melompat untuk menghadang Liong-siang Hoat- ong, namun Liong-siang menghantam dengan pukulan Liong-siangkangnya Saat itu pedang Seng Liong Sen menusuk, mengarah tepat pada jalan darah di tengah telapak tangan lawan, tapi berhasil ditangkis oleh Liong-siang ke samping. Dengan demikian Seng Liong Sen bergetar oleh tenaga pukulan lawan yang dahsyat. Mendadak Liong-siang Hoat-ong ingin mencengkramnya.

Syukur Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng datang lalu menyambar ke arah lawan. Dengan demikian terpaksa Liongsiang mengayunkan jubahnya ke belakang hingga jubah merahnya berlubang lagi tertusuk oleh pedang lawan.Tapi pedang Siauw Hongpun tertangkis dan membentur pedang Han Pwee Eng.

Sementara itu cengkraman Liong-siang Hoat-ong terus mengarah punggung Seng Liong Sen. Karena tak bisa mengliindar lagi, terpaksa Liong Sen menangkis serangan itu hingga terjadi adu tangan. Tenaga Liong-siang Hoat-ong harus terbagi dua karena sebagian tenaganya harus melayani serangan Kok Siauw Hong berdua.

Karena Seng Liong Sen sudah berhasil meyakinkan tenaga dalam gabungan dari dua aliran, maka itu adu pukulan itu dia tidak sampai cedera, hanya tubuhnya bergetar mundur. Tapi tak lama dia sudah mampu memasang kuda-kuda lagi. Bersama Khie Kie mereka mengerubuti lawan dari dua arah. Kini keadaan Liong- siang Hoat-ong harus melawan empat orang lawan.

Namun dengan tangkas luar biasa Liong-siang Hoat-ong bisa menghadapi empat lawannya dan masih tetap lebih banyak menyerang daripada bertahan. Khie Kie karena kekuatannya paling lemah, berulang kali harus menghadapi detik berbahaya dari serangan musuh.

"Silakan kau menyingkir saja, adik Kie, biar kami melayani dia!" kata Seng Liong Sen. Melihat pihaknya sudah di atas angin, sambil tertawa Wan-yen Hoo mengejek.

"Ha..ha..ha..benar, kau istirahat saja, nona Kie, biar aku yang menemanimu." kata Wan-yen Hoo.

Belum lagi bilang suaranya, tiba-tiba seseorang telah menanggapi kata-katanya.

"Wan-yen Hoo, aku saja yang menemanimu!"

Ketika Wan-yen Hoo berpaling, bukan main kagetnya dia. Orang itu Kong-sun Po yang sangat dia takuti.

"Wan-yen Hoo, kau pernah memaksa aku bertanding denganmu, inilah kesempatan yang paling bagus untukmu. Kau ingin bertanding berapa lama pasti akan kulayani!" kata Kong-sun Po.

Kok Siauw Hong yang tidak mengira Kong-sun Po bisa pulang dari Tay-toh secepat itu girang sekali.

"Tepat sekali kau datang, Kong-sun Toa-ko!" kata Kok Siauw Hong.

Dengan munculnya Kong-sun Po, Wan-yen Hoo jadi kuatir, karena tahu betapa lihaynya Kong-sun Po ini. Sekalipun Liongsiang Hoat-ong terkenal sebagai jago silat nomor satu, tapi jika dia sendiri saja melawan empat orang maka sulit dia bisa menang, apalagi ditambah dengan seorang Kong-sun Po. Tempat itu berdekatan dengan markas Hong-lay-mo-li. Jika sebentar datang lagi musuh lain, maka jelas sulit bagi mereka untuk meloloskan diri.

Serentak timbul pikiran Wan-yen Hoo untuk mencari selamat dengan cara melarikan diri. Saking terburu napsu ingin hidup, tanpa pikir lagi dia menjatuhkan diri dan menggelinding ke bawah bukit. Melihat kawan sedang bertempur dengan Liong-siang Hoatong, Kong-sun Po terkejut sehingga tidak sempat mengurus Wan-yen Hoo lagi, dia memburu sambil membentak.

"Bagus, Liong-siang Hoat-ong, biar kulayani kau! Kok Toako dan Seng Toako, silakan mundur, biar kuhadapi dia satu lawan satu untuk belajar kenal dengan ilmu Liong- siangkangnya."

"Ha...ha...ha, bagus, kau yang berkata begitu!" kata Liongsiang sambil tertawa.

"Baik, biar aku dan Seng Toa-ko menonton, silakan adik Eng mengurus Pamanku," kata Kok Siauw Hong.

Dengan dongkol Seng Liong Sen mengejek.

"Hm! Ternyata jago nomor satu di seluruh jagatpun gentar pada beberapa anak muda. Kong-sun Siauw-hiap yang berjanji akan melawanmu satu lawan satu, untuk itu aku tak akan ikut campur, tapi itu tidak berarti urusan kita selesai sampai di sini."

"Ha...ha...ha, persetan kalian mau maju semuanya atau maju secara bergilir, aku tak gentar padamu!" kata Liongsiang.

Liong-siang sadar kalau dia terjerumus di tempat sangat berbahaya, ditambah lagi Wan-yen Hoopun telah kabur. Sambil bicara dia mengumpulkan tenaganya. Begitu sudah berhadapan dengan Kong-sun Po, seketika itu dia menyerang dan menggunakan ilmu Liong-siang-kang tingkat tinggi.

"Bagus!" kata Kong-sun Po sambil mengangkat Hian- tiatpo-sannya untuk menangkis serangan itu. Sesudah itu terdengar suara payung pusaka yang berbenturan begitu hebat sehingga menimbulkan suara gemuruh disertai debu pasir yang berhamburan. Kong-sun Po tergetar mundur dua langkah, sedang tubuh Liong-siang Hoatongpun menggeliat.

Saat itu tangan Kong-sun Po terasa kesemutan, diam- diam dia terkejut dan mengakui kehebatan Liong-siang- kang sanggup menahan payung pusakanya

Sedangkan Kong-sun Po tidak mengetahui kalau Liongsiang Hoat-ong jauh lebih kaget dibanding dia. Tak terduga oleh Liong-siang bahwa semuda Kong-sun Po ternyata sanggup menahan Liong-siang-kang tingkat sembilan, tingkat yang paling kuat. Hal ini membuat Liong- siang kaget dan jerih.

Kuatir akan datang lagi musuh dari Kim-kee-leng, Liongsiang memutar jubahnya. Dalam sekejap Kong-sun Po sudah terkurung di tengah gumpalan waena merah.

Tapi Kong-sun Po memutar payung pusakanya, dalam sekejap jubah musuh sudah bertambah lubang-lubang kecilnya yang tak terhitung banyaknya. Namun jubah lawan masih tetap menari kian kemari dengan entengnya, payung yang berat itu tidak sanggup menghancurkannya

Liong-siang Hoat-ong terus menggunakan bersilat debngan gaya lunak dari lwee-kang yang tinggi yang disalurkan ke jubahnya, selang tak lama, daya serang payung Kong-sun Po jadi kurang leluasa bergeraknya.

Mendadak Kong-sun Po bersuit, dia mementang payungnya yang dia putar laksana kincir. Berbareng dengan itu sebelah tangannya menggunakan ilmu 'Tay-heng-pat-sek' ajaran Kheng Ciau untuk menahan tenaga sakti Liong- siang-kang  musuh.  Dalam  keadaan  demikian,   walaupun tetap di bawah angin, tapi untuk mengalahkan Kong-sun Po tidak mudah bagi Liong-siang.

Ketika itu Han Pwee Eng telah membangunkan Jen Thian Ngo lalu membubuhi obat pada lukanya

'Terima kasih, Nona Han, harap kau bersedia memanggilkan anak perempuanku," kata Jen Thian Ngo sambil menyeringai, mukanya pucat dan suaranya sangat lemah.

Han Pwee Eng merasa ragu.

"Jika aku pergi mencari Jen Ang Siauw, aku khawatir jangan-jangan Kong-sun Toa-ko kalah oleh Liong-siang? Bagaimana jika Siauw Hong membutuhkan bantuanku? Jika permintaan Jen Thian Ngo tidak kupenuhi, kasihan dia jika dia sampai mati dan tak bertemu dengan putrinya!" pikir Nona Han.

Di luar dugaan saat itu terdengar Khie Kie berteriak girang.

"Ayah! Lekas ke mari, orang jahat mau mencelakaiku!" teriak Khie Kie.

"Jangan takut anakku, akan kukuliti tubuhnya!" kata Khie Wie nyaring.

Tak lama terdengar suara orang lain.

"Eh, Siauw Hong ternyata kalian ada di sini!" kata orang itu.

Sesudah itu tampak dua sosok bayangan meluncur ke tempat itu. Siauw Hong dan Pwee Eng mengenali suara itu, mereka menoleh sambil berseru.

"Ayah. kau juga datang!" kata mereka hampir bersamaan. Ternyata yang datang Han Tay Hiong dan Khie Wie berdua.

Saat Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng mengantarkan Soa Heng Liu ke Siauw-lim-si, kebetulan HanTay Hiong dan Khie Wie sudah meninggaklan Siauw-lim-sie. Mereka sedang pesiar. Saat kembali dan tahu Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng datang ke Siauw-lim-sie, mereka segera menyusul ke Kim-kee-leng. Ketika baru saja mereka sampai, di tempat itu sedang terjadi pertarungan hebat.

Bukan main kagetnya Liong siang menyaksikan kedatangan dua orang itu. Tapi dia pantang menyerah malah menantang.

"Silakan jika kalian mau maju semuanya! Aku puas jika aku mati di tangan kalian!" kata Liong-siang Hoat-ong.

"Ternyata kau Keledai Gundul!" kata Khie Wie. "Duapuluh tahun yang lalu, aku dan To Pek Seng pernah bertarung denganmu. Tapi sayang To Pek Seng berhasil kau bunuh. Bukan aku yang membunuhnya, tapi kematiannya karena aku!

Maka itu sekarang kau harus membayar hutang nyawanya padaku!"

Walau Liong-siang sadar bahaya mengancam dirinya, tapi jika dia mau kaburpun sudah tak mungkin lagi.

"Baik, silakan apa kau mau maju satu-persatu, atau kalian mau majui semuanya?' kata Liong Siang.

Dia berkata begitu karena yakin sebagai jago-jago tua, pasti Han Tay Hiong maupun Khie Wie tak akan mengerubutinya.

Khie Wie maju. "Kong-sun Po, silakan kau mundur!" kata Khie Wie.

Kongsu Po segera mundur.

"Nah, gundul kau istirahat dulu, aku tak ingin mengambil keuntungan saat kau sedang kelelahan!" kata Khie Wie.

Tanpa diminta dua kali Liong-siang Hoat-ongpun duduk bersila mengumpulkan kekuatannya. Dia berusaha mengumpulkan seluruh tenaganya yang tadi terkuras. Hanya sebentar seluruh kekuatannya telah pulih kembali. Saat dia membuka matanya dia mengawasi dengan tajam ke arah lawannya.

Setelah bertarung mati-matian secara beruntun tadi, Liongsiang memang sempat kehilangan tenaga Untung ketika melawan Kok Siauw Hong, Han Pwee Eng maupun Seng Liong Sen dan Kong-sun Po ternyata lawan-lawannya itu kemampuannya masih di bawah dia. Melihat kemajuan tenaga orang itu sudah pulih lagi, semua kagum sekali.

"Aku harus segera menyelesaikan masalah ini, siapa tahu akan berdatangan orang-orang dari Kim-kee-leng, aku bisa celaka?" pikir Liong-siang.

Maka itu dia langsung bangun.

"Baik orang she Khie, kau katakan. Bagaimana kita akan bertarung denganku?" kata Liong-siang Hoat-ong.

"Begini saja kau akan kuberi kesempatan untuk menyerangku sebanyak tiga kali tanpa kubalas! Jika kau mampu kau boleh membunuhku sesukamu," kata Khie Wie. "Setelah tiga kali kau serang aku, segera kita bertarung lagi sebanyak tiga jurus. Jika kau mampu bertahan, maka aku tak akan mempersulit kau lagi."

"Tapi bagaimana dengan kawan-kawanmu?" ejek Liongsiang yang tak yakin pada ucapan lawannya. "Urusan orang lain aku tak ikut campur itu urusan orang lain. Mereka juga ingin membuat perhitungan denganmu!" kata Khie Wie sambil tesenyum.

Liong-siang Hoat-ong berpikir sejenak. Karena dia pikir syarat lawan ini menguntungkan dirinya maka itu tanpa banyak berpikir lagi dia segera menjawab.

"Baik, sekarang rasakan pukulanku!" kata Liong-siang. Berbareng dengan ucapannya itu, jubah merahnya dia kebutkan lebih dulu ke depan, tapi cepat sekali tangan kanannya memotong ke arah lawan sekuat tenaganya. Pukulan itu belum menggunakan tenaga sakti Liong- siangkang, tapi sudah cukup kuat dan berbahaya. Ketika pukulan itu hampir mengenai sasaran, mendadak pukulan itu berubah menjadi sebuah cengkraman. Ketika tangan lain menyerang dengan jubahnya serangan itu bisa dikatakan sebuah serangan dengan tiga buah gerakan.

Tiba-tiba terdengar suara keras sobekan kain keras sekali, saat itu lengan baju Khie Wie robek karena cengkraman Liongsiang Hoat-ong. Khie Wie kelihatan menggeliat sedikit, tapi tak lama dia sudah berdiri tegak kembali sambil berkata nyaring.

"Serangan yang pertama!" kata Khie Wie.

Diam-diam Khie Kie merasa kuatir karena ayahnya sudah berjanji tidak akan membalas menyerang sebanyak tiga jurus pada lawannya. Tapi tokoh seperti Han Tay Hiong, Kong-sun Po, Kok Siauw Hong dan Seng Liong Sen, mereka tak kuatir malah serentak mereka bersorak memuji saat mereka menyaksikan gerakan Khie Wie yang gesit dan indah tadi. Melihat hal itu barulah Khie Kie merasa lega.

Hati Liong-siang Hoat-ong bergetar melihat kehebatan gerak  dan  langkah  lawannya  yang  cepat  dan  gesit  itu, apalagi dari getaran tenaga yang berbalik telah membuat dadanya terasa sesak sekali.

"Ini serangan yang kedua!" kata Liong-siang Hoat-ong gusar.

Tiba-tiba dia melompat ke atas, seketika jubahnya berkembang ke segenap penjuru seakan-akan cuma bayangan jubahnya saja yang kelihatan. Walau cuma sejurus, tapi perubahannya sukar diduga, sungguh lihay daya serangannya itu.

"Bagus!" kata Khie Wie memuji. "Tapi sayang tak akan bisa mencelakaiku!"

Hanya sekejap, Khie Wie terlihat sudah melepaskan diri dari kepungan bayangan pukulan lawan yang dasyat itu. Tak semua orang bisa mengikuti bagaimana caranya Khie Wie meloloskan diri dari serangan musuhnya itu, kecuali Han Tay Hiong. Dengan suara pelahan Khie Kie membisiki Seng Liong Sen.

"Ayah menggunakan langkah ajaib Thian-lo-po-hoat, untuk menghadapi musuh tangguh. Jika terdesak sedikitnya Ayah masih bisa terbebas dari lawan. Ayah pernah mengajarkan ilmu itu padaku, cuma sayang aku belum mahir. Ternyata ilmu langkah itu memang hebat sekali."

Liong-siang Hoat-ong tokoh yang mengenal berbagai ilmu silat, melihat kelihayan langkah lawannya dia kaget. Diamdiam dia merasa sungguh sulit untuk mengalahkan lawannya ini. Untung lawan tadi telah berjanji akan mengalah tiga kali serangan padanya Jika dia bisa bertahan sebanyak tiga jurus itu, maka dia akan bebas dari lawannya ini.

"Nah, masih ada satu jurus lagi, ayo keluarkan kepandaianmu itu!" kata Khie Wie. Dengan wajah sangat murka Liong-siang Hoat-ong mengerang keras laksana suara gubtur. Berbareng dengan itu dia melompat dan menghantam dari atas. Seluruh tubuh Khie Wie terkurung oleh gumpalan warna merah yang disebabkan oleh jubah merah Liong-siang yang diputar dengan cepat.

Inilah serangan maut Liong-siang Hoat-ong dengan tenaga Liong-siang-kang tingkat kesembilan, tingkat tertinggi dari ilmu andalannya itu. Malah sebelum melancarkan pukulan itu dia dahului dengan suara' Say-cu- ho' atau raungan singa, sejenis ilmu tenaga dalam kaum Lhama dari Tibet. Maksud Liong-siang untuk mengacaukan perhatian lawan. Kemudian disusul oleh pukulan mautnya. Meskipun tampaknya cuma sejurus serangan, tapi sebenarnya menggunakan dua cara.

Di tengah rasa ngeri para penonton, tiba-tiba Khie Wie sudah lolos pula dari serangan lawannya. Malah tak lama terdengar dia membentak.

"Aku sudah mengalah tiga jurus, sekarang giliranmu umtuk menyambut tiga jurus seranganku!" kata Khie Wie.

Sesudah berkata dalam sekejap seolah-olah terlihat kupukupu berwarna merah sedang berterbangan jatuh ke tanah. Ternyata itu bukan kupu-kupu tapi jubah merah milik Liongsiang Hoat-ong telah hancur berkeping-keping. Saat itu Liongsiang bersandar pada sebatang pohon dengan napas terengah-engah, dahinya berkeringat.

"Ha.ha.ha, Keledai Gundul itu kalah!" teriak Khie Kie. Sambil tertawa Khie Wie berkata.

"Itu belum bisa dikatakan kalah, karena dia mampu menyambut tiga jurus seranganku." kata Khie Wie. Entah bagaimana Khie Wie melancarkan ketiga serangan itu tidak jelas bagi orang yang menyaksikannya. Hanya Liongsiang saja yang merasakannya, untung dia tidak sampai terluka walau tenaga dalamnya hampir habis.

Dengan tenang Han Tay Hiong maju dan berkata. "Liong-siang Hoat-ong, kau bergelar tokoh nomor satu di

jagat  ini,  kini  giliranku  untuk  berkenalan  dengan  Liong-

siangkangmu itu!" kata Han Tay Hiong.

"Silakan turun tangan, Han Lo-sian-seng, apapun juga akan kulayani kau," jawab Liong-siang dengan nada mengejek.

"Hm! memangnya kau kira orang she Han ini orang macam apa hingga ingin menarik keuntungan dari keadaanmu?" kata Han Tay Hiong.

Sesudah itu Han Tay Hiong mengeluarkan sebuah peles dari porselen, dia tuang sebuah pil lalu berkata pada Liongsiang.

"Ketua Siauw-lim-sie memberiku sepuluh buah Siauw- hoantan, ini kuhadiahkan sebuah untukmu. Sesudah kau minum pil mujarab ini baru kita bertanding." kata Han Tay Hiong.

Tak diduga Han Tay Hiong memberi obat mujarab itu kepada lawannya, padahal Siauw-hoan-tan obat buatan Siaulim-sie yang terkenal dan sukar didapat.

"Ayah, apa tidak sayang obat mujarab itu diberikan kepada si Keledai Gundul?" kata Han Pwee Eng yang merasa sayang.

"Aku ingin dia bisa kukalahkan secara lahir batin," kata Han Tay Hiong. Sesudah itu dia lemparkan Siauw-hoan-tan itu ke arah Liong-siang Hoat-ong yang segera menangkap obat itu.

Karena yakin itu bukan racun, maka itu begitu terima obat itu dia langsung menelannya.

"Tenagamu telah hilang sebagian saat kau bertarung dengan Khie Toa-ko. Nanti setelah minum Siauw-hoan-tan, dalam waktu singkat tenagamu akan pulih kembali meskipun tidak seluruhnya. Tapi pertandingan kita cukup ditentukan satu jurus saja."

"Lalu bagaimana setelah itu?" tanya Liong-siang.

"Jika kau menang, maka kau bisa pergi atas jarninanku," kata Han Tay Hiong. "Tapi jika kau kalah, akupun tak akan membuatmu susah. Hanya aku tak tahu pendapat yang lain, aku tidak bisa jamin."

Diam-diam Liong-siang Hoat-ong girang, karena Han Tay Hiong hanya berjanji akan bertanding sekali pukul saja, tentu hal itu bukan masalah baginya Setelah minum Siauw- hoantan, tenaga Liong-siang Hoat-ong terasa pulih lagi. Maka itu Liong-siang segera berkata pada Han Tay Hiong.

"Baik, seorang lelaki sejati janjinya harus bisa dipegang!" "Siapa yang mau ingkat janji?" kata Han Tay Hiong.

"Ayo serang aku!"

"Baik!" jawab Liong-siang Hoat-ong sambil melangkah ke kanan tiga langkah dan ke kiri tiga langkah. Gerakannya mirip seekor ayam aduan. Kedua matanya menatap tajam ke arah Han Tay Hiong, tapi pukulannya tidak dia lancarkan.

Sedangkan Han Tay Hiong sebaliknya dia sama sekali tidak bergerak hanya pandangannya saja menatap ke arah lawan dengan waspada. Tiba-tiba kedua orang itu sama-sama melompat secara berbareng ke atas. Sambil membentang kakinya Liong-siang Hoat-ong memukul seperti orang membacok dengan telapak tangannya Sedang gaya Han Tay Hiong yang terapung di udara laksana bangau membuka sayap, kedua telapak tangannya menyambar cepat ke depan, menghantam dari atas ke bawah.

Begitu keras suara beradunya kedua serangan yang sama hebatnya itu hingga membuat telinga semua orang seolah mau pecah, terutama Khie Kie, hampir saja dia jatuh pingsan jika sang ayah tidak cepat menutup kupingnya.

Gebrakan cepat itu dalam sekejap sudah berlangsung. Saat itu Han Tay Hiong terlihat melompat mundur beberapa langkah jauhnya dan bersandar pada sebatang pohon dengan wajah sebentar merah sebentar pucat.

Han Pwee Eng yang melihatnya terkejut dan kuatir, cepat dia memburu dan bertanya pada sang ayah.

"Ayah, bagaimana keadaanmu?" kata Pwee Eng. "Untung tidak sampai kalah," jawab Han Tay Hiong

sambil tersenyum.

Sementara itu wajahnya berubah merah lagi. Maka legalah hati Han Pwee Eng.

Sebaliknya Liong-siang Hoat-ong kelihatan bergetar mundur dengan lebih wajar, ketika dia menancapkan kakinya ke tanah, tampak kakinya seperti diberati oleh sepotong batu. Langkahnya berat. Perlahan-lahan dia mundur selangkah demi selangkah hingga sejauh tiga langkah. Tiba-tiba dia muntah darah.

"Nah, kau bilang sendiri, kau atau aku yang kalah?" kata Han Tay Hiong. Liong-siang Hoat-ong kelihatan lemas, seperti ayam sudah kalah bertarung. Dengan lesu, dia menjawab.

"Ya, aku yang kalah! Tapi kau sudah berjanji kita hanya bertanding satu jurus saja, kalah menang kau tak akan menyusahkan aku lagi, kan?!" kata Liong-siang Hoat-ong.

"Benar," kata Han Tay Hiong sambil tertawa. "Tapi sudah kukatakan aku tak bisa menjamin orang lain berbuat sesuatu padamu."

Seketika itu muncul setitik harapan pada Liong-siang Hoatong dalam benaknya.

"Jika Khie Wie dan Han Tay Hiong tidak ikut campur, yang lain sekalipun main keroyokan aku tidak takut!"

Sambil tertawa dia berkata.

"Bagus! Jika demikian selamat tinggal dan sampai bertemu lagi kelak!""

Belum sempat dia melangkah, tiba-tiba terdengar bentakan seorang perempuan.

"Kau sudah berani datang ke Kim-kee-leng, sekarang kau mau pergi begitu saja? Mana boleh!" kata suara perempuan itu."

Suara orang itu nyaring dan tajam, terdengar berkumandang dari jauh, tahu-tahu orangnya sudah muncul di tempat itu. Ternyata dia Hong-lay-mo-li. Di belakang dia ikut empat orang. Mereka adalah Tio It Heng, Ci Giok Hian, Jen Ang Siauw dan Lui Piauw.

Sekilas Jen Ang Siauw melihat ayahnya tergeletak di sebuah sudut. Bermimpipun dia tidak mengira akan berremu dengan ayahnya di tempat ini. Bukan main kagetnya nona Jen, seketika diajadi melongo saja. "Itu Paman Jen! Dia sudah sadar pada kesalahannya.

Lekas temui dia, Cici Jen!" kata Han Pwee Eng.

Semangat Jen Thian Ngo tiba-tiba bangkit, Mendadak dia bangun untuk duduk dan berteriak.

"Anakku Siauw, benarkah itu kau? Aku tidak mimpi bukan?" teriak Jen Thian Ngo girang sekali.

Setelah terkesima sejenak baru Jen Ang Siauw berseru. "Ya, Ayah, anakmu di sini! Ayah sudah berubah, aku

girang sekali! Bagaimana keadaanmu, Ayah?" Segera dia memburu dan merangkul ayahnya.

Sementara itu Hong-lay-mo-li sudah berhadapan dengan Liong-siang Hoat-ong, kebutannya menuding ke arah lawannya itu

"Nah, karena kau berani datang, sekarang katakan olehmu sendiri, bagaimana kita selesaikan masalah ini?" kata Hong-lay-mo-li.

"Aku sudah melawan dua tokoh terkemuka Dunia Persilatan, jika ditambah melawanmu tidak masalah," kata Liong-siang. "Dengan demikian aku beruntung bisa berhadapan dengan tiga tokoh besar pada zaman ini! Sekalipun aku harus mati cukup berharga bagiku."

"Hm! Kau jangan asal bicara!" kata Hong-lay-mo-li. "Kau bukan orang Kang-ouw biasa, kau seorang Kok-su Kerajaan Mongol, andaikan kau kuampunipun, anak buahku tak akan tinggal diam. Cuma, karena kau telah bertarung dua babak, akupun tak akan menarik keuntungan darimu. Jadi jika kau mati, kau tidak akan penasaran. Begini saja, asal kau mampu menyambut tiga seranganku segera kubiarkan kau pergi dari sini!" Girang sekali Liong-siang Hoat-ong mendengar ucapan itu, sebab pikirnya dia punya harapan untuk bebas, jika mampu menangkis tigajurus dari lawannya itu.

Liong-siang Hoat-ong menarik napas panjang, dia mengumpulkan tenaganya lalu pasang kuda-kuda dengan kuat.

"Baiklah, kuterima tantanganmu! Sebagai seorang tokoh tinggi dunia persilatan daerah Utara, kau jangan ubah lagi ucapanmu tadi." kata Liong-siang Hoat-ong.

"Hai! Kau kira aku ini siapa?" kata Hong-lay-mo-li. "Awas seranganku!"

Tiba-tiba kebutan Hong-lai-mo-li bergetar, tak lama ujung kebutan langsung menyambar. Untung Liong-siang Hoat-ong sudah siap, dia melepaskan bajunya untuk menahan kebutan lawan.

Baju dalam Liong-siang lebih ringkas dari jubah yang telah hancur itu. Sambil mengerahkan lwee-kangnya, baju itu laksana sebuah perisai yang bisa dimainkan dengan cepat.

Kedua sosok bayangan itu tampak mendekat, tapi kemudian dengan cepat terpisah lagi. Tak lama terdengar suara beberapa kali, dan Liong-siang melangkah mundur dua langkah. Ketika dia periksa bajunya, ternyata tak terhitung banyaknya lubang karena tertusuk oleh ujung kebutan lawan. Jelas ujung kebutan Hong-lay-mo-li yang lemas itu ketika dipakai sebagai senjata dengan menggunakan tenaga dalam, bisa berubah jadi tajam bagaikan jarum saja.

Bukan main kagetnya Liong-siang. Diam-diam dia mengakui kelihayan Hong-lay-mo-li. Ketika baju dalam yang berlubanglubang itu tak bisa digunakan lagi, Liong- siang jadi nekat. Dengan cepat dia mendahului menyerang sebelum musuh melancarkan serangan kepadanya. Sesudah muntah darah, dia langsung menghantam sekuatnya.

Saat Liong-siang menggunakan "Kay-tee-tay-hoat" dari golongan hitam. Sesudah muntah darah segar biasanya tenaganya jadi berlipat ganda. Maka itu ilmu Liong- siangkangnya yang dia keluarkan tetap bisa mencapai tingkat paling tinggi.

"Bagus!" kata Hong-lay-mo-li sambil mengangkat kebutannya

Ternyata kebutan itu tidak dimekarkan seperti tadi, tapi dikuncupkan menjadi satu agar ujung lancipnya bisa langsung ditusukkan ke arah lawan. Tak lama maka terdengarlah suara keras.

"Bruk!"

Ujung kebutan mengenai telapak tangan Liong-siang.

Liong-siang mengerang keras kesakitan, sambil berakrobat melompat ke belakang. Rupanya Liong-siang- kangnya telah hancur oleh Hong-lay-mo-li, tapi ujung kebutan Hong-lay-mo-li tembus ke jalan darah 'Lo-kiong- hiat' di telapak tangan lawan.

"Masih ada sejurus lagi belum kau terima, apa kau ingin kabur?' bentak Hong-lay-mo-li sambil melayang maju laksana burung sedang menerkam mangsanya.

Hong-lay melayang di atas kepala Liong-siang Hoat-ong, ketika kebutannya menusuk lagi, terdengar Liong-siang menjerit, matanya berdarah dan tubuhnya terhuyung- huyung.

"Tiga jurus sudah habis, kau tak bisa menyulitkan aku lagi!" kata Liong Siang Hoat-ong. Orang yang menyaksikanya semuanya kagum. Padahal saat Hong-lay-mo-li menyerang, ujung kebutannya tak mengenai lawan. Tapi heran lawan bisa terluka olehnya. Terdengar Khie Wie memuji.

"Senjata rahasia Liu-li-hiap yang khas merupakan ilmu yang hebat dalam Dunia Persilatan. Sekalipun Keledai Gundul bisa kabur, dia akan menjadi orang cacat selamanya." kata Khie Wie.

Ketika Hong-lay-mo-li menudingkan kebutannya, dua utas bulu kebutan itu melayang laksana jarum dan berhasil menusuk mata Liong-siang Hoat-ong hingga kedua matanya buta.

Hong-lay-mo-li membiarkan Liong-siang Hoat-ong pergi sesuai janjinya tadi. Tapi mendadak terdengar suara tawa terbahak-bahak. Saking kerasnya suara tawa itu membuat semua orang ngeri.

"Hong-lay-mo-li, kata-katamu bisa dipercaya tidak?" terdengar Liong-siang Hoat-ong berteriak dari jauh.

"Suamiku, jangan rintangi dia, biarkan dia pergi!" kataHong-lay-mo-li pada suaminya.

Tak lama tampak seorang lelaki setengah umur berdandan seperti sastrawan muncul dari kaki bukit. Dia adalah suami Hong-lay-mo-li, yaitu 'Siauw-go-kian-kun', Hoa Kok Han.

Terlihat Liong-siang Hoat-ong berlari-lari tetapi mendadak tubuhnya sempoyongan, lalu terjungkal dan binasa dengan darah keluar dari mulut, mata, telinga dan hidungnya.

"Ha...ha...ha! Dia mati karena ketakutan, bukan salahku!" kata Siauw-go-kian-kun sambil tertawa. Liong-siang Hoat-ong sudah terluka parah. Ketika mendengar suara Siauw-go-kian-kun, saking kuatirnya sisa sedikit tenaga dalamnya mendadak buyar sedang denyut jantungnya lang-sung berhenti, matilah dia seketika itu juga.

"Wan-yen Tiang Cie sudah kami bunuh, apa kalian sudah tahu?" kata Siauw-go-kian-kun setelah berhadapan dengan mereka.

"Ya, sudah! Aku sudah mendengar dari adik Po, sebaiknya kau ceritakan lagi padaku. Sekarang mari kita periksa keadaan Jen Lo-sian-seng," kata Hong-lay-mo-li.

"Benar, kali ini Jen Lo-sian-seng tidak membantu mereka, sebaliknya dia mengirim kabar rahasia kepada kita. Maka itu kita harus memaafkan kesalahannya di masa lampau," kata Siauw-go-kian-kun.

Sementara itu keadaan Jen Thian Ngo sangat lemah, napasnya kelihatan tersengal-sengal. Ketika semua orang mengerumuninya, terlihat sebelah tangannya memegang tangan Jen Ang Siauw, sedang tangan lainnya memegang tangan Lie Tiong Chu. Sambil tersenyum dia memaksakan diri berkata dengan suara perlahan.

"Inilah saat yang paling menyenangkan seumur hidupku.

Kalian sudi memaafkan dosaku,

mati......matipun aku bisa tenang. Satu-satunya yang kusesalkan aku tak bisa menyaksikan pernikahan kalian berdua!"

"Ayah. Ayah!"

seru Jen Ang Siauw sambil menangis.

Namun ayahnya tak bergerak lagi, dia sudah mati.

"Ang Siauw," kata Hong-lay-moli, "kau tidak boleh berduka, ayahmu meninggal secara

ksatria, kau harus menuruti pesannya dan bersyukur baginya."

Semua orang saling berjabatan tangan.

Sambil tersenyum Hong-lay-mo-li berkata pada Han Pwee Eng sambil tertawa.

"Pasti kau belum kenal pada Tio Toa-ko ini, kan? Dia ini calon suami Giok Hian."

Tentu saja Han Pwee Eng girang, segera dia memberi selamat kepada Ci Giok Hian. Sedangkan Ci Giok Hian menunduk malu-malu tapi hatinya gembira bukan main.

"Hari ini hari raya Cap-go-meh, hari yang baik dan suasana yang indah juga, kalian para muda-mudi bisa berpasangpasangan dengan bahagia sebulat rembulan di atas langit sana!" kata Lui Piauw mengucapkan doa restu kepada para pendekar yang akhirya bisa berkumpul kembali setelah mengalami suka-duka dan gemblengan roda kehidupan di dunia yang ganas bukan main. Badai Angin Dan Awan sekarang telah berakhir........

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar