Beng Ciang Hong In Lok Jilid 60

 
Ternyata dugaanku tidak salah, sebab setelah alu mengundurkan diri, Wan-yen Tiang Cie datang menghadap Wan-yen Yong. Kedatangan Wan-yen Tiang Cie bukan hanya menghasut Wan-yen Yong, dia pun sudah mengatur perangkap ingin mencelakakan aku. Malam itu aku bermalam di istana. Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar  suara  berisik.  Ketika  aku  keluar,  istana tempat tinggal Wan-yen Yong penuh oleh bayangan orang yang berteriak-teriak akan menangkap pembunuh.

Melihat hal itu kukira mungkin Wan-yen Tiang Cie telah turun tangan lebih dulu dan mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Wan-yen Yong. Tapi tiba-tiba terlihat rombongan jago silat istana yang mengepung ke arahnya di bawah pimpinan Wan-yen Tiang Cie.

'Tam Pwee-cu, Hong-siang sangat baik padamu, kenapa kau berbalik ingin membunuh Hong-siang ?' kata Wan-yen Tiang Cie.

Aku sadar Wan-yen Tiang Cie ingin memfitnahnya.

Langsung aku membalas dan membentak.

'Jangan banyak bicara. Mari kita temui Hong-siang!' kataku.

Tiba-tiba Maliha maju ke depan menyampaikan titah raja.

"Hong-siang melihat sendiri pembunuh itu adalah kau. Apa kau masih berani membantah? Maka itu Hong-siang memberi perintah, siapa yang bisa menangkapmu akan diberi hadiah dan dinaikkan pangkatnya tiga tingkat serta emas murni seribu tail."

Kata-kata Maliha membuat aku lega. Karena aku tahu rencanaku yang telah dirundingkan dengan Wan-yen Yong nerhasil. Dengan cara demikian Raja Kim itu sengaja memfitnahku sebagai pembunuh gelap agar Wan-yen Tiang Cie tidak curiga Tetapi sekarang karena Wan-yen Tiang Cie datang juga, maka rencana itu tidak seluruhnya berjalan menurut rencanaku. Ternyata dari hanya sebuah sandiwara lalu berubah menjadi sesungguhnya"

Semua orang mengikuti cerita Tam Yu Cong ikut berdebar. "Lalu bagaimana Suhu bisa meloloskan diri?" tanya Lie Tiong Chu tak sabar ingin tahu cerita itu.

"Sebagian jago kepercayaan Wan-yen Yong berlagak bertempur mati-matian, padahal sebenarnya mereka sudah dipesan oleh Wan-yen Yong. Maka itu mereka hanya bermain sandiwara saja. Sedang Wan-yen Tiang Cie dan beberapa perwira yang di bawa benar-benar ingin membunuhku. Untung aku berhasil melukai beberapa perwira itu. Karena Wan-yen Tiang Cie tidak berani adu jiwa denganku, akhirnya aku bisa meloloskan diri ke sini."

"Mengapa Wan-yen Tiang Cie tidak berani membunuh Wanyen Yong?" tanya Ho Leng Wie.

"Karena Wan-yen Tiang Cie dilarang membawa pengikut ke istana, dia paling banyak boleh membawa pengiringnya hanya tiga sampai empat orang saja Sebaliknya jago istana cukup tangguh, sebelum yakin akan berhasil, mana berani Wan-yen Tiang Cie turun tangan?"

"Kemarin kami juga bertarung," kata Bu Su Tun.

Ketika Bu Su Tun akan menceritakan pengalamannya sambil tertawa Tam Yu Cong berkata

"Aku sudah tahu!" kata Tam Yu Cong.

"Kau sudah tahu? Oh, kalau begitu kau juga bertemu dengan Chu Kiu Sek dan See-bun Souw Ya?" kata Bu Su Tun.

"Ya saat itu mereka bersama lima jago Kim. Tetapi jangan kuaur kelima jago Kim itu sudah kubunuh  semuanya Walau kedua iblis tua itu jiwanya kuampuni. Bukankah ilmu mereka telah kalian musnahkan, bukan?" kata Tam Yu Cong. "Karena sudah kehilangan sebagian besar ilmunya aku kira mereka malu untuk pulang ke tempat Wan-yen Tiang Cie," kata Bu Su Tun sambil tertawa "Pantas semalam tidak terjadi apa-apa, kiranya anak buah Wan-yen Tiang Cie  yang dikirim ke sini telah kau bunuh semuanya Nah, Ho Toa-ko, kau tidak perlu kuatir lagi."

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara tawa orang berkumandang dari lereng gunung. Suaranya melengking, tapi hanya sekejap dan seolah dekat sekali.

Ayah Ho Leng Wie kaget, dia mengira seorang jago kelas tinggi datang dikirim oleh Wan-yen Tiang Cie.

"Jangan cemas Ho Toa-ko, itu suara kawan sendiri!" kata Tam Yu Cong.

Tak lama kelihatan seseorang yang berpakaian pelajar, usianya kurang lebih limapuluh tahun. Dia tertawa sambil berkata.

"Maaf Tuan Ho, aku tamu tak diundang. Ternyata saudara Tam dan Bu juga ada di sini! Sudah lama kita tidak pernah bertemu," kata orang itu.

"Ho Toa-ko, mari aku perkenalkan padamu, ini Hoa Kok Han, Hoa Tay-hiap," kata Tam Yu Cong.

Ternyata orang itu Hoa Kok Han bergelar Siauw-go- kiankun, dia suami Hong-lay-mo-li Lie Ceng Yauw. Ayah Ho Leng Wie menyambut kedatangan tamunya.

"Bagaimana kau bisa menemukan tempat terpencil ini?" kata Tam Yu Cong.

"Aku bertemu dengan Liok Pang-cu, dia yang memintaku datang ke mari menemui Saudara Bu. Tidak kusangka saudara Tam juga ada di sini!" kata Hoa Kok Han. "Mengenai kau ke Tay-toh aku juga sudah tahu." "Kenapa kau datang juga ke Tay-toh?" kata Tam Yu Cong.

"Karena kau ke sini, kenapa aku tak datang menemuimu?" kata Hoa Kok Han.

Sesudah dipersilakan duduk Hoa Kok Han diperkenalkan pada Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng yang sudah dikenalnya. Demikian juga dengan Ho Leng Wie, Lie Tiong Chu dan Jen Ang Siauw yang baru dikenalnya.

"Aku kagum dan iri kepada saudara Bu dan saudara Tam yang berhasil mendapatkan murid yang baik. Aku dengar kalian hendak melaksanakan pekerjaan besar di Tay-toh, apa pelaksanaannya sudah dimulai?"

"Ceritanya panjang sekali," kata Tam Yu Cong. "Lebih baik kau ceritakan dulu pengalamanmu."

"Kau kan tak percaya bahwa aku sengaja mencarimu, bukan?" kata Hoa Kok Han sambil tertawa "Terus-terang kukatakan, sebelum sampai ke Tay-toh aku sudah mendapat berita tentang kepulanganmu itu."

"Dari siapa kau mengetahuinya?" tanya Tam Yu Cong heran.

"Aku bertemu dengan Siang-koan Hok yang baru pulang dari Mongol," jawab Siauw-go-kian-kun Hoa Kok Han.

Keterangan ini diluar dugaan Bu-lim-thian-kiauw.

"Oh, dia juga sudah pulang? Sekarang ada di mana dia?" kata Tam Yu Cong.

"Dia ingin ke Lok-yang dulu, dari sana baru ke sini." "Saudara Hoa, apakah kedatanganmu ke Tay-toh ada

urusan lain?" tanya Bu Su Tun. "Ya, aku ingin membunuh Su Thian Tek, Ciong Bu Pa dan Kiauw Sek Kiang!" kata HOa Kok Han.

"Apa benar ketiga manusia busuk itu kabur ke Tay-toh?" kata Kok Siauw Hong heran. "Sebulan yang lalu aku dan Bengshia-to-cu pernah bertemu mereka di kota Uh-seng."

Karena Tam Yu Cong, Bu Su Tun dan yang lainnya belum tahu peristiwa di Uh-seng, Kok Siauw Hong menceritakannya secara singkat.

"Saat iu seharusnya Wan To-cu tidak memberi ampun pada mereka," kata Kok Siauw Hong. "Tetapi karena putri dan menantunya ada di tangan mereka, terpaksa Wan Ceng Liong mengadakan tukar-menukar tawanan dengan mereka. Ketika itu Kiong Cauw Bun bersama ketiga bangsat itu. Sedangkan putri Kiong Cauw Bun calon istri Kong-sun Po. Jadi untuk kepentingan anak-anak muda itu, terpaksa Wan Ceng Liong mengikat janji tukar-menukar dengan Kiong Cauw Bun."

"Kong-sun Po sudah kembali ke Kim-kee-leng. Karena mendengar kabar itulah maka aku memburu kawanan bangsat itu. Tapi aku malah bertemu dengan Kiong Cauw Bun," kata Kok Han.

"Jadi Kiong Cauw Bun masih ada di Tiong-goan? Padahal dia berjanji akan pulang ke Hek-hong-to sesudah putrinya ditemukan," kata Kok Siauw Hong.

"Ketika kutemui, dia hendak berpisah dengan ketiga bangsat itu," kata Hoa Kok Han. "Saat itu mereka malah sedang bertengkar. Tapi sayang, karena tak tahu Kiong Cauw Bun sudah insaf, malah dia yang kuhajar. Setelah bertarung lama baru aku mampu mengalahkannya. Sedang ketiga bangsat itu sempat kabur!" "Apa kau sudah tahu jejak ketiga bangsat itu?" kata Bu Su Tun

"Aku selalu mengikuti jejak mereka sampai ke Tay-toh. Setahuku mereka bersembunyi di tempat Wan-yen Tiang Cie, ini memang di luar dugaanku," kata Hoa Kok Han. "Padahal setahu kita, ketiga bangsat itu antek bangsa Mongol, sedang sekarang hubungan Mongol dengan Kim saat ini sedang tegang!"

"Kalau begitu kau belum tahu bahwa Wan-yen Tiang Cie bersekongkol dengan pihak Mongol karena ingin merebut tahta kerajaan Kim. Jika ketiga bangsat itu kabur dan mencari perlindungan pada Tiang Cie, bukankah itu wajar- wajar saja!" kata Tam Yu Cong.

Sesudah itu Tam Yu Cong menceritakan pengalamannya saat berada di Tay-toh.

"Baik, kalau begitu kedua masalah ini bisa kita bereskan sekaligus," kata Hoa Kok Han. "Karena pasukan Kim tak akan menyerang Kim-kee-leng, untuk sementara aku bisa tinggal di sini. Sebaiknya ada orang yang ke Kim-kee-leng untuk memberitahu, untuk ini. "

"Aku memang mau pulang ke sana. Jadi biar aku dan Pwee Eng yang melaporkan masalah ini," kata Kok Siauw Hong.

"Ya, Kong-sun Po memang sedang memikirkan kalian, sebaiknya kalian pulang," kata Hoa Kok Han.

"Suhu, aku. " sela Lie Tiong Chu.

"Ada apa?" kata Tam Yu Cong. "Ya, aku tahu, kau ingin pergi bersama Kok Siauw Hong untuk mencari pengalaman bukan? Baik, aku kira nona Jen pun boleh sekalian ikut." Mendengar ucapan itu, semua orang mengerti bahwa sang guru mengetahui hubungan erat muridnya dengan Jen Ang Siauw. Tanpa terasa mereka memandang ke arah muda-mudi itu sambil tertawa hingga Lie Tiong Chu dan Ang Siauw jadi malu.

Setelah semua diatur baik, esok harinya Kok Siauw Hong cs berangkat ke Kim-kee-leng. Di sepanjang jalan tidak terjadi apa-apa, hingga mereka sampai di kota Im- peng di Propinsi Soa-tang. Im-peng sebuah kota Kabupaten yang berbatasan dengan

Propinsi Hoo-pak. Karena kota itu kecil, di sana hanya terdapat dua buah penginapan saja, Siauw Hong berempat mencari penginapan yang agak besar.

Sesudah mendapatkan penginapan dan selesai makan malam, tiba-tiba penginapan itu kedatangan enam orang perwira bangsa Kim. Begitu sampai rombongan perwira Kim itu langsung berteriak minta disediakan tiga buah kamar kelas satu.

Kok Siauw Hong berempat menempati dua buah kamar, saat itu mereka sedang berkumpul di kamar Kok Siauw Hong untuk berbincang-bincang. Ketika mendengar suara ribut, mereka mencoba mengintai ke luar. Tapi betapa terkejutnya mereka ketika mengenali keenam perwira itu. Ternyata mereka itu Tan-sie-ngo-long (Lima Srigala Keluarga Tan) dan si Rase Liar, An Tak. Ingat pada peristiwa pembegalan yang dilakukan oleh Tan-sie-ngo-long dulu, Han Pwee Eng jadi gusar.

"Bagus, kebetulan kita bertemu mereka di sini, kawanan srigala dan rase ini tidak akan lolos dari tanganku." kata nona Han.

"Mereka itu jadi antek Wan-yen Tiang Cie, tapi anehnya mengapa  mereka  malah  keluyuran  di  sini?"  bisik   Siauw Hong. "Jika adik Eng ingin membereskan mereka sebaiknya dilakukan di luar penginapan agar tidak mengganggu pemilik penginapan!"

Suara ribut di luar bertambah keras. Rupanya penginapan itu sudah penuh, jangankan mencari tiga kamar, sebuah kamar pun tak ada. An Tak yang gusar mengangkat cambuk kuda dan pura-pura menyabet sekali ke arah pemilik penginapan sambil membentak.

"Kami sengaja datang ke penginapanmu ini berarti itu suatu kehormatan bagimu, kau tahu tidak? Nah, boleh kau suruh semua tamu pergi dari sini!"

Pemilik penginapan gemetar ketakutan.

"Harap.. .jangan gusar, Tuan. Biar hamba berusaha, kamar pasti ada!" kata pemilik penginapan.

Saat itu dua orang saudagar sudah mau mengosongkan sebuah kamar mereka, karena ketakutan. Untuk sebuah kamar lagi, pemilikpenginapan berunding dengan Kok Siauw Hong agar bersedia mengalah dan memberikan sebuah kamarnya me-ngingat mereka masih kakak beradik. Kok Siauw Hong berpikir sejenak.

"Baiklah, tolong ambilkan buntal an mereka ke sini! Karena aku kira tidak baik jika kedua adik perempuanku keluar sendiri." kata Kok Siauw Hong.

Pemilik penginapan yang mengira Han Pwee Eng dan Ang Siauw takut dilihat oleh para perwira itu, segera menuruti permintaan Kok Siauw Hong dan memindahkan bekal mereka ke kamar Siauw Hong. Pemilik penginapan itu dengan dua kamar itu mengira persoalan itu akan selesai. Tetapi tak disangka "Srigala Tua' Tan Piauw tetap tidak puas. "Kami minta tiga kamar, kenapa cuma ada dua? Baiklah, supaya masalah ini beres, para tamu harus keluar dan ke sini, mereka akan kami periksa satu per satu."

"Tapi. Tapi para tamu kami orang baik-baik semuanya,

Tay-jin, aku mohonTuan sudi memberi kelonggaran, tentang ......uang sewa kamar dan makan aku tak berani minta bayaran dari Tuan-tuan dan......." kata pemilik penginapan memohon dengan sangat, sebab biasanya para petugas sering menggunakan alasan ingin memeriksa tamu, dengan tujuan untuk memeras tamu.

Saat itu "Srigala Kuning", Tan Teng, putra kedua Tan Piauw ikut bicara.

"Huh, siapa yang ingin bermalam dan makan tanpa bayar? Kau bicara yang betul! Kau bilang tamu di sini orang baik-baik semua, apa kau berani mernjamin kebenarannya? Coba kaujawab dulu, apa di antara tamu itu ada seorang kakek berjenggot putih dan seorang nona cilik ata tidak?"

"Oh, tidak! Tidak ada!" jawab pemilik penginapan dengan cepat.

"Sekarang tidak ada, tapi nanti bakal ada!" kata seorang lelaki menyela

Lelaki itu baru melangkah masuk ke penginapan itu, lagaknya sangat tengik.

"Eh, kau sudah dapat kabar?" tanya Tan Piauw.

"Mereka sudah masuk ke dalam kota, sekarang mereka sedang makan di sebuah rumah makan. Nanti sesudah makan mereka pasti akan mencari penginapan," kata orang yang baru masuk itu. "Di kota ini hanya ada dua buah penginapan, sedang ini yang paling besar. Mungkin mereka akan ke sini." "Kalau begitu kita istarahat sambil menunggu di sini!" kata Tan Piauw sambil tertawa. "Tapi bagaimana kalau mereka bermalam di penginapan lain, lekas kau cari kabar lebih lanjut."

"Baik," kata orang itu.

Tak lama Tan Piauw minta disediakan makanan lezat Karena takut pemilik penginapan itu mengiakan dengan hormat serta membawa mereka ke kamar yang telah disediakan. Ternyata orang tadi menyelinap mencari pemilik penginapan.

"Tadi kau telah kuselamatkan, seharusnya kau tahu sendiri. " kata orang itu.

Pemilik penginapan itu memberi sepotong uang perak ke tangan orang itu.

"Ya, aku pun tahu. Harap kau terima sedikit uang perak ini dengan baik," kata pemilik penginapan.

Setelah menerima uang sogokan, barulah bangsat itu pergi.

Karena rombongan Tan Piauw menganggap sebuah penginapan di kota kecil, maka tak perlu takut apa-apa. Mereka jadi berani bicara tanpa aturan lagi. Ternyata mereka lupa kata pribahasa : "Siapa tahu ada telinga di balik dinding?"

Kini Kok Siauw Hong berempat baru yakin bahwa maksud rombongan Tan Piauw yang ingin memeriksa tamu bukan alasan untuk memeras, tapi benar-benar ingin mencari buronan.

"Entah siapa kakek dan nona cilik yang ingin mereka cari itu?" kata Han Pwee Eng. "Lawan orang jahat pasti orang baik," kata Jen Ang Siauw sambil tertawa

"Benar, secara kebetulan kita bertemu mereka di sini. Jadi bagaimana pun kita harus ikut campur," kata Han Pwee Eng.

Untuk menyenangkan hati tamunya, pemilik penginapan otu membuatkan makanan lezat ditambah seguci arak wangi untuk rombongan Tan Piauw.

Sehabis makan dan kenyang minum sambil menepuk perutnya An Tak berkata, "Seharian menempuh perjalanan secara terus-menerus, kita sampai lupa makan dan minum. Tidak nyana makanan di penginapan ini ternyata lumayan juga"

"Sebaiknya kau tidak terlalu banyak minum, sebentar lagi kita harus banyak menggunakan tenaga," kata Tan Piauw.

"Takut apa? Masa kita berenam tidak mampu membereskan seorang tua dan seorang anak perempuan ingusan?" kata An Tak acuh tak acuh. "Jika perlu, sendirian juga aku sanggup membereskan mereka. Apalagi gadis itu terhitung lumayan walau tidak secantik Ci Giok Hian dan Han Pwee Eng. He..he..he. Saudara Giok, aku harap kau tidak berebut perempuan denganku nanti," kata An Tak.

Kata-kata itu ditujukan pada putra Tan Piauw yang bungsu, yaitu Srigala Putih Tan Giok.

"An Toa-siok," kata Tan Giok sambil tertawa, "nona yang kau setujui mana berani kusentuh! Tetapi perlu kuperingatkan agar kau berhati-hati, jangan terjadi seperti peristiwa dulu, nona manis gagal direbut, kau malah kehilangan matamu!" Yang dimaksud Tan Giok itu kejadian saat hendak membegal Han Pwee Eng dulu, hingga sebelah mata An Tak berhasil dicungkil nona Han. Mendengar ejekan itu, serentak ketiga saudara Tan Giok tertawa terbahak-bahak.

Dengan cepat Tan Piauw membentak.

"Hus, kalian sudah mabuk barangkali, hingga bicara sembarangan! Masa kalian bergurau dengan Paman An segala!" kata Tan Piauw. Pada umumnya, manusia palingjengkeljika boroknya diungkit-ungkit orang, begitu juga An Tak. Dalam seketika dia jadi naik pitam, lalu memaki sambil menggebrak meja

"Hm! Emangnya kalian kira aku takut pada bocah liar she Han itu? Sayang dia tidak bertemu aku di Tay-toh!" kata An Tak.

"Jika ketemu memang kau bisa apa?" kata Tan Giok. "Kalian kira aku tidak punya kawan? Apalagi anak buah

Siauw Ong-ya banyak. Jika mereka berhasil membekuk nona Han, aku akan memohon agar anak liar itu diserahkan padaku untuk kujadikan selirku?" kata An Tak sambil tertawa

"Hm! Enak saja kau bicara! Jika nona Han tertangkap, memangnya Siauw Ong-ya tidak ingin memilikinya? Kenapa dia harus diberikan padamu?" ejek Tan Giok.

Mendengar ocehan mereka yang menyinggung dirinya Han Pwee Eng murka dan bermaksud melabrak mereka syukur Kok Siauw Hong bisa mencegahnya dan meminta agar si nona mau bersabar agar tidak membuat keributan di penginapan.

Tak lama terdengar Tan Piauw mendamprat putranya dan minta maaf kepada An Tak. "Sudahlah, An Lauw-te, jangan gubris ocehan anak muda seperti mereka itu Aku harap kau juga jangan terlalu banyak minum, sebab kita masih punya tugas penting. Sebelum surat Ong-ya sampai ke Kun-ciu, jangan membuat gara-gara."

Ketika An Tak mau bicara, tiba-tiba bangsat itu muncul lagi dan memberi laporan bahwa si kakek dan cucu perempuannya yang ditunggu-tunggu sudah bermalam di penginapan lain.

"Baik, sekarang mari kita pergi ke sana" kata An Tak sambil membanting cawan araknya ke meja.

Saat itu pemilik penginapan sedang bersembunyi dengan perasaan takut di sebuah sudut ketika menyaksikan kepergian mereka. Mendadak dia lihat Kok Siauw Hong berempat juga mau keluar. Kok Siauw Hong menyerahkan serenceng uang perak kepada pemilik penginapan sambil berkata, "Ini uang sewa kamar kami. Jangan kuatir, kawanan bangsat itu pasti tak akan kembali lagi ke sini."

Rombongan An Tak sudah sampai di penginapan yang dituju. Ternyata letaknya tidak jauh dari penginapan yang pertama. Kemudian dengan berjajar di depan An Tak lantas berteriak, "Kakek Ciu, jika tahu gelagat, lekas kau keluar! Mengingat cucu perempuanmu pasti kami tak akan membuat susah padamu, bahkan aku bersedia memanggil Kakek padamu!"

Belum lenyap suara An Tak, tahu-tahu di atas wuwungan penginapan muncul dua orang, siapa lagi kalau bukan si kakek she Ciu dan cucu perempuannya.

"Bangsat cabul, rasakan seranganku ini!" damprat nona itu sambil menyambitkan sebuah pisau. Walaupun cukup banyak minum arak, tapi kepandaian An Tak tidak jadi berkurang. Kipasnya bergerak perlahan, sekali angkat, tahu-tahu pisau itu telah jatuh di permukaan kipasnya, hingga dengan mudah dia tangkap. Dengan memicingkan matanya yang tinggal satu An Tak berkata sambil tertawa,

"Wah bagus amat senjatamu ini, nona Ciu Hong! Boleh aku anggap sebagai mas kawin yang kau berikan padaku!"

Nona Ciu yang gusar bermaksud melompat turun untuk melabrak An Tak, tapi kakeknya mencegahnya sambil berkata pada sang cucu.

"Mulut anjing itu tak bisa tumbuh menjadi gading, jangan hiraukan dia Hong!"

Sambil berkata dia menghamburkan segenggam senjata rahasia Kim-ci-piauw (mata uang emas) dan berbareng dengan itu dia tarik cucu perempuannya dan melayang ke wuwungan rumah sebelahnya. Dengan Gin-kang mereka terus lari ke depan.

Senjata rahasia si kakek ternyata jauh lebih lihay dibanding piauw si nona. Maka itu dengan terpaksa Tan Piauw dan An Tak harus memutar senjata mereka untuk menyambut kian ke mari untuk menjatuhkan berpuluh mata uang yang tajam itu.

Sedangkan si kakek dan cucu perempuannya sudah kabur sampai di jalan

"Kejar!" seru An Tak. Dia langsung melompat dan naik ke atas kuda mendahului mengejar, disusul oleh Tan Piauw dan keempat putranya.

Ketika Kok Siauw Hong berempat keluar dari penginapan, kebetulan mereka masih sempat melihat larinya si kakek dan gadis cilik itu. Tapi karena jaraknya cukup jauh, An Tak dan kawan-kawannya tidak melihat munculnya rombongan Kok Siauw Hong.

"Hei, kiranya Ciu Lo-ya dan cucu perempuannya, ah, kenapa aku tidak ingat pada mereka?" kata Han Pwee Eng terkejut.

Si kakek bernama Ciu Tiong Gak, kepala rumah tangga keluarga Ci di Pek-hoa-kok, sedang cucu perempuannya, Ciu Hong. Sejak kecil dia dibesarkan bersama Ci Giok Hian sehingga keduanya seperti saudara kandung saja.Dulu ketika Han Pwee Eng dibegal dalam perjalanan ke Yang- ciu, Ciu Tiong Gak dan Ciu Hong ada di sana.

Melihat hal itu Kok Siauw Hong berempat segera memburu. Im-peng sebuah kota kecil, sedang yang menjaga pintu benteng hanya dua prajurit. Karena tembok benteng itu rendah, dengan mudah mereka melintasi pagar tembok kota. Sedang Tan-sie-ngo-long dan An Tak yang menunggang kuda, terpaksa membentak penjaga agar membukakan pintu. Karena mereka berseragam perwira Kim, penjaga itu ketakutan, Mereka segera membukakan pintu. Namun, sebelum pintu benteng ditutup kembali, Kok Siauw Hong berempat sudah menyusul menerobos keluar.

Setelah di luar mereka segera mengejarnya. Tidak lama tampak enam ekor kuda terlepas di tepi jalan sedang makan rumput. Rupanya karena Ciu Tiong Gak dan Ciu Hong lari masuk ke hutan, An Tak berenam segera menyusul dan meninggalkan kuda-kuda mereka akan mencari jejak buronannya. Namun, ketika Kok Siauw Hong tiba, Ciu Tiong Gak dan Ciu Hong sedang terkepung musuh. Keadaan mereka pun sangat gawat. Saat itu terdengar An Tak mengejek sambil tertawa. "Kakek Ciu, sesungguhnya hatiku ingin menjadi cucu menantumu. Asal kau mengangguk setuju segera kita dapat berdamai dan menjadi orang sendiri."

"Kentut busuk!" damprat Ciu Tiong Gak.

Ciu Tiong Gak sadar mungkin sulit untuk lolos dari kepungan musuh, dia jadi nekad. Mendadak dia terjang musuhnya. Sebelah kakinya langsung melayang ke arah An Tak. Rupanya dia sudah bertekad, jika harus mati dia akan mati bersama musuhnya!

"Aya, Ciu Lo-ya-cu, kenapa kau keji amat? Emangnya kau ingin cucumu jadi janda?" kata An Tak mengolok-olok.

Sambil bicara dia berkelit ke samping. Namun, segera terdengar suara keras.

"Bruuk!"

Salah seorang kawannya terjungkal. Yang tertendang adalah putra ketiga Tan Piauw, yaitu Tan Su. Di antara keluarga Tan, memang dialah yang paling lemah. Tendangan Ciu Tiong Gak ternyata tidak ringan, Tan Su menjerit dan terpental sejauh dua tiga meter. Tubuhnya tergeletak tak bisa bergerak lagi entah masih hidup atau sudah mati. Senjata Tan Piauw sebuah cangklong tembakau yang panjang. Sedang tadi dia melayani musuh sambil mengisap cang-klongnya. Sekarang dia jadi kaget dan gusar melihat putranya ditendang terjungkal oleh Ciu Tiong Gak. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi Tan Piauw melancarkan serangan maut ke arah kakek Ciu. Pertama-tama Tan  Piauw menyemburkan asap tembakau dari cangklongnya. Karena saat itu Ciu Tiong Gak belum berdiri tegak, sebelah kakinya digunakan untuk menendang. Tapi diajadi kela- bakan terkena semburan asap tembakau, belum lagi menyusul perutnya tertikam oleh ujung cangklong hingga mengeluarkan  darah.  Sambil  tertawa  terbahak-bahak  An Tak segera menerkam maju untuk menangkap Ciu Hong. Di luar dugaan tiba-tiba terdengar bentakan seseorang.

"Bangsat cabul, kali ini jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!"

Setelah suara itu lenyap, tampak seseorang muncul, dia adalah Han Pwee Eng. Saking kagetnya An Tak yang kaget serasa rohnya telah meninggalkan badan kasarnya. Cepat luar biasa pedang Han Pwee Eng menyambar dan menyerang An Tak. Tak lama Kok Siauw Hong muncul bertiga, lalu menerjang maju, masing-masing mencari lawannya.

"Nona Ciu Hong! Kau rawat Kakekmu. Serahkan saja srigala-srigala ini pada kami. Satu pun tak akan ada yang bisa lolos," kata Han Pwee Eng.

Bukan main girangnya Ciu Hong.

"Nona Han, terima kasih," kata Ciu Hong.

Kemudian dia bawa kakeknya agar bisa beristirahat. Untung dia membawa obat luka, dia segera mengobati luka kakeknya dengan obat itu.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Sementara itu Kok Siauw Hong langsung melabrak Tan Piauw, sedang Lie Tiong Chu menghadapi ketiga srigala yang lain dengan gagah sekali. "Lie Toa-ko, serahkan satu padaku!" teriak Jen Ang Siauw, berbareng dengan itu nona Jen menerjang ke arah Tan Giok dengan sepasang goloknya.

Tan Piauw yang saat itu sedang dalam keadaan gawat, jadi nekat dan menyerang secara mati-matian. Ternyata dia tidak mampu menghadapi Kok Siauw Hong yang gagah berani itu. Tidak berapa lama, dengan gerakan memancing Kok Siauw Hong berhasil melukainya, Tan Piauw langsung roboh tak berkutik lagi.

Keadaan An Tak lebih parah lagi. Karena benci Han Pwee Eng menyerang tanpa kenal ampun sedikitpun, dia selalu mengincar tempat berbahaya di tubuh musuh. Tak lama An Tak kewalahan juga. Melihat keadaan sangat gawat An Tak dengan segala upaya mencari jalan untuk kabur. Tetapi karena serangan Han Pwee Eng terlalu kuat dan ketat, sedikitpun dia tidak punya peluang untuk kabur.

Suatu ketika, Han Pwee Eng berhasil menusuk sebanyak tiga kali, hingga An Tak menjerit mengerikan. Ternyata mata kanannya tertusuk pedang nona Han hingga buta. Malah tulang bahunya pun tertebas putus bahkan dua gigi depannya rontok.

Serangan berantai Han Pwee Eng tidak hanya membuat An Tak buta, tapi ilmu silatnya pun musnah. Sesudah itu Han Pwee Eng membentak.

"Nah, bangsat tidak tahu malu, selanjutnya masih bisakah kau berbuat jahat lagi? Tapi jika kau kubinasakan itu hanya akan mengotorkan tanganku saja. Lekas kau enyah dari sini!" kata Han Pwee Eng.

Sambil mendekap wajahnya yang berlumuran darah, laksana anjing habis dipukul, An Tak berjalan sempoyongan lalu kabur sambil merintih kesakitan. Lie Tiong Chu sedang menghadapi Tan Giok dan Tan Teng berdua. Ternyata karena kedua orang itu bukan tandingan Lie Tiong Chu, dengan mudah mereka didesak. Suatu ketika karena Tan Teng nekat, gadanya segera memukul sekerasnya ke arah kepala Lie Tiong Chu.

Akan tetapi seruling Lie Tiong Chu sempat memukulnya dengan perlahan dia terus nenariknya. Kemudian dengan meminjam tenaga pukulan lawan, Lie Tiong Chu menyeretnya ke depan hingga gada-nya berbalik tepat mengenai batok kepala saudaranya sendiri. Kepala Tan Gouw segera hancur berantakan, Tan Teng pun terhuyung dan akhirnya jatuh terjerembab, di atas tubuh Tan Gouw.

Tan Teng segera merangkak bangun, dia jadi kalap dan berniat mengadu jiwa dengan Lie Tiong Chu. Tak lama gadanya terangkat tinggi. Tapi bukan menghantam Lie Tiong Chu, sebaliknya memukul ke arah kepalanya sendiri.

Rupanya saking gusar dan sedihnya karena telah salah membunuh saudaranya sendiri, Tan Teng jadi putus asa dan bermaksud bunuh diri. Di antara keluarga Tan ternyata Tan Tenglah yang paling keras adatnya tapi polos. Melihat dia mau bunuh diri, Lie Tiong Chu jadi tak tega, segera dia tangkis gada Tan Teng hingga terlepas dari tangannya. Tak lama Lie Tiong Chu pun berteriak.

"Kau kuampuni, silakan pergi!" kata Lie Tiong Chu. Tapi Tan Teng kelihatan masih penasaran, maka itu dia tidak mau segera pergi. Tiba-tiba Tan Piauw yang tergeletak tak berdaya berteriak pada Tan Teng dengan keras.

"Selama gunung masih tetap hijau, kenapa kau takut kehabisan kayu bakar? Apa kau tak berniat membalas dendam ayah dan saudaramu, lekas kau pergi!" kata Tan Piauw. Mendengar ucapan ayahnya Tan Teng baru berjalan pergi dengan perasaan lesu, sekarang tinggal Tan Giok yang menghadapi Jen Ang Siauw. Ilmu silat Tan Giok cuma sedikit di bawah kepandaian Tan Piauw ayahnya, walau lebih tinggi dibandingkan ketiga saudaranya. Maka itu sekalipun kepandaian Jen Ang Siauw tidak terlalu tinggi, tapi Tan Giok sulit mengalahkannya.

Melihat pihaknya menderita kekalahan telak, Tan Giok lalu berpikir, "Lebih baik aku menyelamatkan diriku dulu!" sesudah itu dia melakukan serangan hebat. Saat lawannya mengelak dia melompat kabur.

Melihat musuhnya kabur Jen Ang Siauw yang hatinya baik tak mengejarnya, dia merasa kasihan karena dua saudara Tan telah binasa. Maka berakhirlah pertarungan seru itu. Dari saku Tan Piauw, Kok Siauw Hong menemukan surat rahasia Wan-yen Tiang Cie yang ditujukan kepada Bupati di kota Kun-ciu.

"Aku lihat, apa isi surat itu," kata nona Han.

Kok Siauw Hong menyerahkan surat itu pada nona Han, lalu dia berkata pada Tan Piauw.

"Sebenarnya kau tak bisa kuberi ampun. Baiklah, aku hanya akan memusnahkan ilmu silatmu. Sebab sekalipun kau cacat, tapi kau masih bisa menjadi orang berguna!" kata Kok Siauw Hong.

Namun sebelum Kok Siauw Hong melaksanakan maksudnya, Tan Piauw menjerit lalu dari mulut dan hidungnya keluar darah segar.

"Sayang, dia bunuh diri!" kata Han Pwee Eng.

Rupanya Tan Piauw sadar, jika ilmu silatnya dimusnahkan dia akan mendapat kesulitan besar. Karena selama hidupnya dia banyak berbuat jahat, musuhnya  pasti banyak sekali. Jika sampai ilmunya dimusnahkan oleh Kok Siauw Hong, pasti musuh-musuh itu akan bermunculan untuk menyiksa dia. Maka itu daripada tersiksa dia lebih memilih bunuh diri saja!

"Sayang dia sudah mati, padahal kita bisa menanyai dia. Karena dari isi surat ini terdapat tanda-tanda bahwa di Kimkee-leng ada mata-mata musuh yang menyelinap di sana, ah sayang!" kata Han Pwee Eng.

Dari surat itu jelas tertulis bahwa Wan-yen Tiang Cie meminta agar ada yang mengawasi gerak-gerik tentara di Kim-kee-leng. Dia juga mengisyaratkan agar Bupati Kun- ciu berhubungan dengan "orang yang ada di Kim-kee-leng". Tapi sayangnya nama orang itu tak disebut-sebut.

"Sayang sekali, hal ini akan merepotkan sekali! Walau kawan kita di Kim-kee-leng berjumlah banyak, tapi siapa mata-mata musuh itu? Untung kita menemukan surat ini. Nanti sesampai di Kim-kee-leng akan kita bicarakan masalah ini dengan Liu Beng-cu!" kata Kok Siauw Hong setelah berpikir sejenak.

Sementara itu Ciu Hong sudah mengobati Ciu Tiong Gak dan membalut lukanya. Tak lama Kok Siauw Hong bersama kawannya menghampiri mereka Tentu saja Ciu Tiong Gak sangat berterima kasih atas pertolongan mereka.

"Tak kuduga kita bisa bertemu di sini," kata nona Han. "Memangnya selama ini kalian berada di mana?"

”Sejak Tuan Ci dan Nona Ci meninggalkan kami, semua famili berpencar. Maka itu kami tak pernah ke Pek-hoa-kok lagi," kata Ciu Tiong Gak. "Ternyata kalian sudah berkumpul lagi, kami senang sekali. Kami pun baru pulang dari Souw-ciu. Kini Ciu Hong sudah mendapat jodoh!"

Ciu Hong tampak malu-malu. "Eh kakek, kita kan baru bertemu, tapi kenapa kakek bicara begitu pada nona Han?" kata Ciu Hong.

"Selamat adik Ciu Hong," kata Han Pwee Eng."Keluarga siapa yang berbahagia?"

"Keluarga Yo di Souw-ciu," kata Ciu Tiong Gak. "Dia keponakan Yo Gan Seng, murid luar Kheng Ciauw. Hal ini akan kami katakan pada Siocia Ci dan sesudah itu baru menentukan tanggal pernikahan mereka!"

"Kalau begitu kalian jangan ke Pek-hoa-kok, karena Kak Giok Hian ada di Kim-kee-leng!" kata Han Pwee Eng.

"Ada yang akan kutanyakan padamu Han Sio-cia" kata Ciu Hong.

"Katakan saja!" kata Han Pwee Eng.

'Aku dengar Ci Sio-cia sudah mendapat jodoh, apa benar? Benarkah nama suaminya Seng Liong Sen?" kata Ciu Hong.

"Benar," kata Pwee Eng. "Tapi nasib manusia memang tak terduga sekarang mereka sudah berpisah lagi..."

"Kasihan," kata Ciu Hong. ”Pantas jika demikian..." "Apa yang pantas?" tanya Pwee Eng.

"Dua hari lalu kami bertemu dengan Seng Liong Sen, dia sedang berjalan dengan seorang nona cantik," kata Ciu Hong. "Aku memang tak kenal Liong Sen, tapi kakek kenal. Semula aku kira dia main serong tanpa sepengetahuan Ci Sio-cia!"

"Nona itu pasti Khie Kie," kata Han Pwee Eng. "Siapa dia?" tanya Ciu Hong.

"Dia putri Khie Wie yang duapuluh tahun lalu terkenal namanya," kata Han Pwee Eng. "Khie Lo-cian-pwee bukan orang yang buruk seperti diduga orang. Tapi dia jago di antara yang baik dan jahat. Apa yang Paman Ciu bicarakan dengannya saat bertemu. Aku sangat ingin tahu keadaan mereka," kata Kok Siauw Hong.

"Aku kenal pada Seng Liong Sen, tapi dia tak kenal aku. Maka itu aku tak bicara dengannya," kata Ciu Tiong Gak. "Aku mengenal saat dia baru berguru pada Bun Tay-hiap, dia angkuh. Mana mungkin dia mau kenal pada budak sepertiku?"

"Dulu dia memang begitu, tapi akhir-akhir ini sifatnya jadi baik," kata Kok Siauw Hong.

"Aku hampir tak mengenalinya, dulu dia ganteng sekali, sedang sekarang wajahnya buruk. Tetapi setelah kuperhatikan baru kukenali, dialah murid Bun Tay-hiap!" kata Ciu Tong Gak.

"Jika Paman Ciu bertemu dengannya setahun yang lalu, wajahnya lebih buruk lagi. Tapi mertuanya bisa mencarikan obat untuknya hingga wajahnya bisa diobati," kata Siauw Hong.

"Kau benar, jika tak ada orang yang membicarakan dia, mungkin aku tak kenal dia," kata Ciu Tiong Gak.

'Siapa orang itu, apa yang dibicarakannya tentang dia?" kata Siauw Hong.

Ciu Tiong Gak berpikir sejenak. Walau bagaimana Seng Liong Sen itu sahabat Siauw Hong, maka itu dia akan menjelaskan apa yang didengarnya.

"Mereka dua perwira Mongol yang mengenakan pakaian bangsa Kim!" kata Ciu Tiong Gak. "Dari mana Paman tahu mereka jago bangsa Mongol?" kata Siauw Hong kaget.

"Ketika masih muda aku pernah jadi pedagang kuda di Mongol, maka itu aku mengerti bahasa Mongol." kata Ciu Tiong Gak. "Dari percakapan kedua orang itu, agaknya mereka ditugaskan mengikuti Seng Liong Sen. Tapi sayang aku hanya mendengar sebagian saja ucapan mereka. Selain itu mereka juga membicarakan tentang Seng Cap-si Kouw!"

"Benarkah setelah kupunahkan ilmu silatnya bersama Siauw Hong, Seng Cap-si Kouw berada di Mongol?" pikir nona Han.

"Siapa lagi tokoh lain yang disebut-sebut itu?" kata Kok Siauw Hong.

"Aku tak kenal Siang-koan Hok dan Khie Wie, walau dulu dia terkenal sekali. Kabarnya dia lari ke Mongol, di sana dia menjadi pembantu utama Liong-siang Hoat-ong!" kata Ciu Tiong Gak.

"Bagaimana kedua jago Mongol itu membicarakan Siangkoan Hok?" kata Kok Siauw Hong.

"Mereka tak mengira Seng Liong Sen itu keponakan Seng Cap-si Kouw dan menantu Khie Wie. Jika mereka tak bisa menangkap Siang-koan Hok, sebagai gantinya mereka akan menangkap Seng Liong Sen untuk mendapatkan hadiah dari Wan-yen Tiang Cie. Begitu menurut mereka!" kata Ciu Tiong Gak.

"Saat Kakek menceritakan hal itu padaku, aku juga heran," kata Ciu Hong.

"Pasti kau kesal karena Seng Liong Sen jadi menantu Khie Wie, kan?" kata nona Han. "Itu salah satunya," kata Ciu Hong jujur. "Selain itu, Siangkoan Hok yang kata kakek jadi pembantu utama Liong-siang Hoat-ong, baru kudengar dari mulut kedua bu- su Mongol itu. Kata mereka Seng Liong Sen dan Siang- koan Hok seolah sejalan pikirannya. Anehnya kalau benar demikian, kenapa mereka mau menangkap Seng Liong Sen?"

"Aku juga bingung," kata Ciu Tiong Gak.

"Baik, akan kujelaskan," kata Kok Siauw Hong. "Semula Siang-koan Hok itu seorang pejuang bangsa Liao yang negaranya diambil alih oleh bangsa Kim. Saat itu dia berusaha akan membangun kembali Kerajaan Liao. Maka itu dia sengaja merahasiakan asal-usulnya dan bersembunyi di daerah Mongol. Tiga tahun yang lalu, setelah rahasia dirinya ketahuan oleh Liong-siang Hoa-ong, dia kabur ke Ho-lin. Karena dia sahabat baik ayah nona Han, dan pernah membantu tentara Han, hingga saat ini dia masih dicari oleh pihak Mongol!"

"Jadi begitu, mungkin aku kurang pengalaman," kata Ciu Tiong Gak.

"Setahuku soal ini hanya Tam Yu Cong, Liok Kun Lun, Hoa Kok Han dan Hong-lay-mo-li saja yang tahu," kata Siauw Hong. "Kukira Seng Liong Sen pun tak tahu soal ini. Tapi yang mengherankan kenapa kedua bu-su itu menghubungkan nama Siangkoan Hok dengan Seng Liong Sen?"

"Paman Ciu, kapan dan di mana kau bertemu dengan kedua bu-su itu?" kata Han Pwee Eng.

"Tengah hari kemarin aku bertemu dengan mereka sedang bersama nona Khie," kata Ciu Tiong Gak. "Selang dua jam baru kupergoki kedua bu-su Mongol itu di Ouw- ciok-kang!" "Hu-lie-cip dan Ouw-ciok-kang berada satu arah, hanya jalannya berbeda," kata Kok Siauw Hong.

"Benar, di simpang tiga jalan itu aku lihat Seng Liong Sen, dia mengambil jalan lain dari jalan yang kami lalui, sekalipun arahnya sama. Sedangkan kedua bu-su Mongol itu jalannya sama dengan jalan yang kami lalui. Sayang kuda mereka sangat cepat, mungkin sekarang sudah sejauh  li di depan sana!" kata Ciu Tiong Gak.

"Barangkali kedua bu-su itu salah jalan saat mereka mengejar Seng Liong Sen," kata Han Pwee Eng.

"Mereka harus melewati Ouw-ciok-kang jika ingin ke Kimkee-leng, maka itu mereka menyusul ke sana!" kata Kok Siauw Hong. "Tetapi heran sekali, kenapa Liong Sen mengambil jalan lain, apa karena dia tahu ada yang mengikutinya?"

"Aku kira karena dia tahu Ci Sio-cia ada di Kim-kee- leng, mana berani dia menemuinya!" kata Ciu Hong.

"Tetapi setahuku Ci Sio-ciamu dengan Seng Liong Sen sudah baikan," kata Kok Siauw Hong.

"Aku mengerti kau memihak pada sio-ciamu," kata Han Pwee Eng sambil tersenyum. "Mari kita jalan, bagaimana keadaanmu Paman Ciu?"

"Tak apa-apa, jika hanya sekedar untuk naik kuda aku bisa," kata Ciu Tiong Gak.

Beruntung kuda-kuda yang ditinggalkan oleh Tan Piauw dan An Tak berjumlah enam ekor, hingga kuda-kuda itulah yang mereka pakai.

"Mari kita ke Ouw-ciok-kang dulu, kita ikuti kedua busu Mongol itu," kata Kok Siauw Hong. "Ya, mereka mengejar Seng Liong Sen, dan kita mengikuti mereka," kata Han Pwee Eng. "Aku kira Seng Liong Sen mengambil jalan lain, pasti mereka tak akan menemukannya. Sedang kitta pasti akan bertemu dengan busu itu. Jika kita mengalahkannya, ini akan sama dengan bantuan kita pada Tam Tay-hiap!"

"Memang apa hubungan Tam Tay-hiap dengan kedua busu itu?" tanya Tiong Gak.

"Tam Tay-hiap ingin melakukan suatu rencana besar, beliau akan dibantu oleh Siang-koan Hok. Sekarang Tam Tay-hiap sudah menunggu di Tay-toh!" kata Kok Siauw Hong. "Aku yakin Siang-koan Hok tak takut pada kedua busu Mongol itu. Tapi jika kita bisa membunuh mereka, itu artinya kita meringankan tugas Siang-koan Hok!"

"Jalan yang kita tempuh ini ke Kim-kee-leng, kalau di sana ada sio-ciaku, ini kebetulan," kata Ciu Hong.

Dikisahkan Seng Liong Sen dan Khie Kie sedang berjalan berdua. Sambil berjalan Khie Kie terlihat sedang merenung.

"Adik, ada apa denganmu? Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Liong Sen.

"Kakak Liong, apa perempuan tadi itu kenalanmu?" "Apa yang kau maksud perempuan yang berjalan dengan

seorang kakek itu?" kata Seng Liong Sen agak kaget.

"Ya, dia! Aku rasa kakeknya pun kenal padamu” kata Khie Kie sambil menatap Liong Sen.

"Aku tidak kenal mereka," kata Liong Sen.

"Aneh? Kenapa nona itu mengawasimu dengan tajam, demikian juga kakeknya." kata Khie Kie. "Mana kutahu kenapa mereka memperhatikan aku?" jawab Liong Sen.

"Aku lihat mata nona itu melirik padaku," kata Khie Kie, "kelihatannya dia benci sekali padaku! Aku merasakan dari sorot matanya itu!"

"Ah, dik! Kau terlalu bercuriga! Sekalipun dulu aku ini jahat, tapi tak pernah kulakukan perbuatan yang tak layak. Maka itu apa yang kutakutkan, karena tak ada yang kurahasiakan padamu? Semuanya sudah kuceritakan padamu!" kata Liong Sen dengan harapan Khie Kie mau mengerti.

"Kakak Liong kau salah paham, aku tidak mencurigaimu. Tetapi yang aku heran, jika dia tak kenal padamu, kenapa dia mengawasimu begitu serius?

"Oleh karena banyak orang yang datang ke tempat Suhu, mungkin saja dia mengenaliku tetapi aku tak kenal padanya," kata Seng Liong Sen.

Walaupun dia berkata begitu Seng Liong Sen heran mendengar ucapan Khie Kie.

"Jika benar kakek itu sahabat Guruku, kenapa dia tak menegurku?" pikir Seng Liong Sen.

"Aku percaya padamu! Tetapi yang aku heran kenapa kau tidak mau ke Kim-kee-leng?" kata Khie Kie.

Wajah Seng Liong Sen berubah merah.

"Untuk sementara aku tak ingin bertemu dengan temanteman lamaku," kata Seng Liong Sen.

"Aku tahu, kau kan takut bertemu dengan Cici Giok Hian," kata Khie Kie. "Benar tidak?"

Seng Liong Sen diam seribu bahasa. "Cintamu padaku tak akan berubah, kan?" kata  Khie Kie.

"Apa perlu hatiku kukorek untuk kutunjukkan padamu?" kata Seng Liong Sen. "Memang untuk sementara aku tak ingin bertemu dengan Giok Hian, karena. Ah, bagaimana

aku harus menjelaskannya?"

"Tak perlu kaujelaskan, apalagi mengorek hatimu," kata nona Khie. "Aku hanya ingin tahu kalau cinta kita tak akan berubah karena apapun. Lalu kenapa harus takut bertemu dengan Cici Giok Hian? Terus-terang aku ingin bertemu dengannya"

"Bukan aku takut, tapi.... Ah aku hanya..." Seng Liong Sen tak bisa meneruskan kata-katanya.

"Kau takut aku cemburu, kan? Padahal sedikitpun tak ada ganjalan di hatiku, aku yakin begitu juga di hati Cici Giok Hian. Walau baru sekali aku bertemu dengannya, tapi aku yakin dia tak akan iri lepadaku. " kata Khie Kie.

"Aku yakin begitu," kata Liong Sen. "Tapi kesalahanku dulu bukan cuma kebetulan, maka. "

"Kau sudah insaf lama sekali, bahkan kawan-kawanmu di Kim-kee-leng pun sudah tahu itu!" kata Khie Kie.

"Kau benar, tapi aku malu!" kata Liong Sen.

"Sifatmu yang buruk karena kau terlalu tinggi hati," kata Khie Kie. "Kau terlalu kuatir dipandang rendah, sehingga kau melakukan sesuatu untukmendapat pujian! Padahal jika hanya sendiri tenagamu terbatas. Jika kau ingin berbuat sesuatu seharusnya dikerjakan bersama-sama. Hal itu aku dengar dari Paman Siang-koan Hok. Walau kepandaian beliau tinggi tetapi dia berjuang untuk kebersamaan. Dulu aku memang tak tahu itu, tapi sesudah banyak bergaul, akhirnya aku paham masalah itu!" Mendengar nasihat itu Seng Liong Sen mengubah pendiriannya

"Baik, kita balik lagi dan pergi ke Kim-kee-leng. Tapi entah Paman Siang-koan Hok sudah sampai di sana atau belum? Aku tak mengira kalau Paman Siang-koan sahabat baik ayahmu!" kata Seng Liong Sen.

"Dia sudah pergi tiga hari yang lalu, aku kira dia sudah ada di sana," kata Khie Kie. "Aku juga baru mengenalnya, Ayahku tak pernah cerita tentang dia!"

"Adik Khie, kita pasangan sehidup-semati tak terpisahkan," kata Seng Long Sen.

Khie Kie tersenyum.

"Ayahmu menyuruh kita ke Kim-kee-leng, tetapi kenapa dia tak ke sana?" kata Seng Liong Sen.

"Ayah akan ke tempat lain mencari kawan, mungkin ada urusan lain yang lebih penting," kata Khie Kie.

"Kepandaian ayahmu tinggi, malam tadi dia terluka, syukur lukanya tidak parah," kata Seng Liong Sen. "Pertarungan sengit seperti malam itu belum pernah kualami sebelumnya."

"Ya, jika diingat sampai sekarang hatiku masih berdebardebar," jawab Khie Kie.

Pertarungan yang diceritakan oleh Seng Liong Sen itu terjadi seminggu yang lalu di Sun-keng-san atau tempat tinggal Khie Wie. Ketika Siang-koan Hok datang, kebetulan Seng Liong Sen baru pulang. Dia menemui Siang-koan Hok. Seng Liong Sen belum kenal pada Siang-koan Hok, maka itu dia bertanya dengan teliti sekali, apa maksud kedatangan tamu itu. Tapi Siang-koan Hok yang belum kenal pemuda itu, tak berterus terang pada Seng Liong Sen. "Sebenarnya anda ini siapa?" tanya Siang-koan Hok.

Maka itu keduanya jadi salah paham. Seng Liong Sen mengira Siang-koan Hok musuh mertuanya, sedang Siangkoan Hok mengira Khie Wie telah pindah rumah. Maka itu keduanya bertengkar dan bertarung. Tetapi karena Seng Liong Sen menggunakan tiga macam ilmu silat dari berbagai golongan, Siang-koan Hok tak bisa menerka siapa pemuda itu? Saat itu Seng Liong Sen sedikit lengah, dia ditarik oleh Siang-koan Hok dan terlontar tinggi. Seng Liong Sen mencoba berakrobat agar tubuhnya tidak jatuh terbanting. Untung tibatiba muncul seseorang yang menangkap jatuhnya tubuh Seng Liong Sen. Orang itu Khie Wie adanya. Khie Wie memeriksa nadi menantunya, dia lega. Ternyata Siang-koan Hok tak berniat melukainya. Kemudian Khie Wie tertawa sambil berkata.

"Ah, kiranya kau sahabat lamaku!" kata Khie Wie. "Siapa pemuda ini?" tanya Siang-koan Hok.

"Dia menantuku, Seng Liong Sen namanya!" kata Khie Wie.

"Jadi dia menantumu, pantas lihay," kata Siang-koan Hok.

"Dia belajar dari bibinya Seng Yu Ih, resminya murid Bun Tay-hiap. Ayo beri hormat pada Paman Siang-koan," kata Khie Wie pada Seng Liong Sen.

Keduanya sama-sama kaget Siang-koan Hok tak mengira pemuda itu keponakan Seng Cap-si Kouw, sedang Seng Liong

Sen tak mengira kalau tamu itu bernama Siang-koan Hok. "Pasti kau sudah tahu tentang diriku," kata Siang-koan Hok. "Saat ini di kalangan kang-ouw, aku ini si manusia paling busuk. Untung mertuamu tidak menganggapku begitu!"

"Delapanbelas tahun yang lalu aku sudah berjanji tak akan membocorkan rahasiamu, maka itu mungkin saja dia tak tahu siapa kau," kata Khie Kie.

Dulu saat berpisah Khie Wie pergi menyepi di pegunungan, sedangkan Siang-koan Hok pergi ke Mongol. Sekarang mereka baru bertemu lagi. Tak lama mereka sudah asyik berbincang. Sungguh di luar dugaan malam itu tempat itu didatangi tiga orang tak diundang. Salah seorang pendeta Lham dari Tibet. Pendeta itu berjubah merah, dia bernama Bu-bong Siang-jin. Dia kakak seperguruan Wan- yen Tiang Cie, yang seorang lagi pembantu utama Wan-yen Tiang Cie bernama Cian Tiang Cun. Sedangkan orang yang ketiga bernama Uh Bong, murid Liongsiang Hoat-ong.

Uh Bong orang Mongol dan dialah penghubung Wan- yen Tiang Cie sehingga mereka bisa bersekongkol dengan bangsa Mongol, tepatnya dengan Liong-siang Hoat-ong. Begitu sampai mereka langsung menyerang. Dengan demikian pertarungan hebat segera terjadi. Seng Liong Sen menghadapi Uh Bong, sedangkan Khie Wie berhadapan dengan Bu-bong Siang-jin. Siang-koan Hok melawan Cian Tiang Cun. Akhirnya Khie Wie dan kawan-kawannya berhasil mengalahkan mereka, walau Khie Wie terluka tapi untung lukanya ringan.

"Rupanya Liong-siang Hoat-ong tak pernah melupakan aku," kata Siang-koan Hok. "Mungkin saja akan datang lagi jago-jago yang menyusul ke mari! Saudara Khie sekarang tempatmu tak aman lagi, aku menyesal telah menyusahkanmu. " "Jangan berkata begitu, kau kan kawan lamaku. Sekalipun mereka berdatangan kita hadapi mereka. Tapi entah Liongsiang Hoat-ong datang ke mari atau tidak?" kata Khie Wie.

"Menurutku dia tak akan datang sendiri, mungkin dengan jago-jagonya. Aku yakin Liong-siang Hoat-ong masih di Taytoh," kata Siang-koan Hok.

"Untunglah, jadi aku masih bisa tinggal di sini beberapa hari lagi sampai lukaku sembuh, jika mereka datang pasti akan makan waktu beberapa hari," kata Khie Wie.

"Memangnya kau mau ke mana?" tanya Siang-koan Hok.

"Entahlah, tapi kau jangan mencemaskan diriku! Jika kau punya masalah penting, silakan kau berangkat lebih dulu," kata Khie Wie.

Mengingat Siang-koan Hok sudah berjanji dengan Tam Yu Cong dia berkata begini.

"Benar, aku akan ke Kim-kee-leng menemui Hong-lay- mo-li, sesudah itu akan kutemui Tam Yu Cong. Bagaimana kalau kau ke Kim-kee-leng saja?" kata Siang-koan Hok.

"Terima kasih," kata Khie Wie. "Untuk sementara aku tak akab ke sana dulu, aku sudah biasa hidup berkelana. Sekarang di Kim-kee-leng sudah berkumpul para patriot, sedang aku malah dikenal sebagai gembong penjahat besar!"

"Apa kau lupa dulu Hong-lay-mo-lipun seperti kau, bahkan sangat ditakuti," kata Siang-koan Hok. "Biar akan kuberitahu mereka, aku rasa tak ada masalah untukmu."

"Suami-istri itu orang-orang gagah, aku memang ingin menemui mereka," kata Khie Wie. "Ya, baiklah kalau begitu, aku akan segera pergi," kata Siang-koan Hok

Ketika Siang-koan Hok akan pergi, Khie Wie menahannya. 'Tunggu dulu!"

"Ada apa?" tanya Siang-koan Hok.

"Aku tak ikut dengan kau, tapi puteri dan menantuku akan kutitipkan padamu merekalah yang akan pergi bersama-sama ke Kim-kee-leng!" kata Khie Wie.

"Bagus," kata Siang-koan Hok.

"Silakan Paman Siang-koan berangkat lebih dulu, aku akan mengobati luka mertuaku sampai sembuh," kata Seng Liong Sen memberi alasan.

Sebenarnya dia menolak pergi dengan Siang-koan Hok, karena tak ingin ke Kim-kee-leng. Tetapi setelah dipaksa oleh mertuanya, akhirnya mereka pergi juga Seng Liong Sen menilai ucapan istrinya benar juga. Mau tak mau mereka akan bertemu dengan Ci Giok Hian. 

"Ah, kenapa aku harus takut bertemu dengan Ci Giok Hian?" pikir Seng Liong Sen. "Jika niatku baik dan sifatku sudah berubah, siapa yang akan membenciku?"

Seng Liong Sen berjalan dengan langkah tetap. Sambil berjalan dia menunduk seolah-olah sedang berpikir keras.

"Seng Toa-ko, apa yang kau pikirkan?" tanya Khie Kie. Saat itu mereka telah melewati Ouw-ciok-kang.

Mendengar teguran itu Seng Liong Sen sadar dari lamunannya.

"Oh, aku sedang berpikir, apakah Paman Siang-koan sudah ada di sana atau belum?" kata Seng Liong Sen. "Dia sudah berangkat tiga hari yang lalu." "Jika dia tak ada di sana, tapi Kok Siauw Hong, Han Pwee Eng dan Cici Giok Hian ada di sana! Apa kau masih takut menemui mereka?" kata Khie Kie.

"Ah, jika aku bersamamu, apa yang aku takutkan?" kata Seng Liong Sen.

Wajah Khie Kie berubah merah, hatinya bahagia.

"Kalau begitu, mari kita jalan lebih cepat!" kata Khie Kie. "Lihat langit sudah mulai gelap sebentar lagi mungkin akan turun hujan! Jika kita bisa lebih cepat mencapai kota kecil di depan kita, kita tak akan kehujanan!"

Ternyata walau mereka berjalan dengan cepat, akhirnya gagal mencapai kota kecil itu. Karena hujan sudah keburu turun, hingga merekapun harus basah kuyup kehujanan.

"Kita gagal mencapai kota kecil di depan kita!" kata Seng Liong Sen. "Mari kita cari tempat untuk meneduh!"

Tak lama hujanpun mulai reda Walaupun cuaca masih tetap gelap. Tiba-tiba mereka mendengar suara debur air, Seng Liong Sen tersentak kaget.

"Ah, celaka kita salah jalan! Di depan kita sungai!" kata Seng Liong Sen.

"Memang seharusnya kita menyeberangi sungai Tay- bunhoo untuk sampai di Kim-kee-leng!" kata Khie Kie.

"Benar, tapi di tempat seperti ini, di mana kita bisa mencari tempat untuk berteduh?" kata Seng Liong Sen.

Saat kilat menyambar Khie Kie melihat sesuatu. "Lihat!" kata si nona. "Di sana ada sebuah bangunan!"

"Ya aku malah mendengar suara orang, barangkali di sanapun sudah ada orang yang meneduh," jawab Seng Liong Sen. Sesudah dekat dengan bangunan itu, baru mereka tahu, bahwa bangunan itu tempat menyimpan kayu. Ternyata para pedagang kayu menggunakan air sungai untuk mengangkuti kayu-kayu yang akan mereka jual di kota. Tetapi kayu-kayu itu sudah tinggal setumpuk saja. Mereka masuk ke dalam gudang kayu itu. Di sana terlihat belasan orang sedang mengerumuni api unggun untuk menghangatkan tubuh mereka yang kedinginan.

"Maaf, kami datang mengganggu Tuan-tuan," kata Seng Liong Sen. "Kami salah jalan dan ingin numpang meneduh..."

"Jangan see-ji, ini pun bukan gudang milik kami. Silakan. Wah pakaian kalian basah-kuyup. Mari hangatkan tubuh kalian di sini!" kata seorang dengan ramah sekali.

Sambil bicara orang itu menepi memberi tempat untuk dua orang agar bisa berada di depan api unggun yang hangat. Sesudah berada di depan api unggun akhirnya mereka asyik bicara. Ternyata di antara mereka ada pedagang obat, karena air sungai mulai pasang, mereka tak bisa menemukan perahu untuk menyeberang. Akhirnya mereka memutuskan untuk bermalam di situ. Nama tukang obat itu An To Seng, dia mengajak empat orang pegawainya untuk memikul barangbarangnya.

"Kami dari Keng-ciu membeli bahan obat dan akan ke Kuiciu!" kata An To Seng.

"Margaku Sin," kata Seng Liong Sen berbohong.

"Apa nona itu keluargamu?" kata An To Seng. Semula Seng Liong Sen akan mengaku bahwa mereka kakak- beradik, tapi dia takut orang curiga padanya. Maka itu dia menjawab sejujurnya

"Dia istriku!" kata Seng Liong Sen. "Ah, mungkin saja kalian baru menikah, ya?"

"Ah, terkaan Tuan tepat sekali, Tuan An!" kata Seng Liong Sen berpura-pura kaget.

"Aku lihat istrimu malu-malu, biasanya pengantin baru memang suka malu-malu," kata An To Seng. "Ayo maju agar pakaianmu bisa segera kering! Jangan sampai kalian masuk angin."

Mereka berbincang semakin asyik.

"Kalian mau ke mana?" tanya An To Seng.

"Aku akan menemui kawan baikku untuk minta pekerjaan di Kui-ciu!" jawab Seng Liong Sen.

"Di Kui-ciu ada bukit bernama Kim-kee-leng, di sana ada kelompok penjahat yang dipimpin seorang perempuan, apa saudara Sin tak takut bertemu dengan mereka?" kata An To Seng.

"Kami bukan orang kaya karena itu kami tidak membawa barang berharga," kata Seng Liong Sen. "Kamipun tak takut dibegal. Malah aku dengar mereka juga tak sembarangan membegal orang!"

"Kau benar, jika mereka ganas masakan aku berani lewat sini," kata An To Seng.

Lama-lama mereka saling curiga dan mengira masingmasing sedang memancing. Maka itu merekajadi kaku dalam berbincang. Saat itu masuk dua orang yang berumur belasan tahun ikut meneduh di situ. Salah seorang berpakaian bagus seperti putra hartawan dan seorang lagi bertubuh kekar. Mungkin orang bertubuh kekar itu pengiring anak muda yang berdandan rapih itu. Begitu masuk, orang yang berbadan kekar itu langsung bicara dengan suara keras. "Harap beri tempat pada Kong-cu kami. Dia ingin menghangatkan tubuhnya." kata si kekar.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Sementara itu di luar hujan mulai reda, kedua orang yang baru datang itu membawa payung. Tapi karena kehujanan, pakaian mereka tetap basah-kuyup. Melihat kedatangan kedua orang itu, yang paling terkejut Seng Liong Sen. Kong-cu yang dipanggil oleh lelaki kekar itu dia ternyata putra kedua Perdana Menteri Kerajaan Song Selatan yang bernama Han To Yu. Anak muda itu bernama Han Hie Sun. Sedangkan lelaki kekar itu, pelatih silat istana Perdana Menteri. Dia bernama Su Hong. Merasa perlakuan orang kekar itu kasar, An To Seng gusar.

"Hm! Kau tahu sopan-santun atau tidak? Api unggun ini kami yang buat! Jika kalian ingin ikut berdiang di sini, harus permisi dulu kepada kami. Kenapa kau berteriak- teriak semaumu? Memangnya kau kira ini di rumah majikanmu, hingga kau boleh sembarangan main bentak?" kata An To Seng.

"Hm! Jika Kong-cu kami mau berdiang bersama kalian, itu pun sudah sebuah kehormatan besar bagi kalian! Beraninya kau, menyuruh Kong-cu kami minta izin padamu?" kata Su Hong.

"Hm! Dia majikanmu, bukan majikanku! Kenapa aku harus hormat kepadanya?" kata An To Seng bersikeras." Seharusnya kau bicara sedikit sopan. Dengan demkian barangkali aku bisa kasihan pada kalian aku mengijinkan kalian berdiang di sini!" Di antara kawan si pedagang obat itu ada juga yang dongkol mendengar kata-kata Su Hong yang kasar itu. Seng Liong Sen dan Khie Kie diam saja. Kebetulan Seng Liong Sen pun pernah mewakili gurunya berunding dengan Han To Yu mengenai masalah perlawanan terhadap penyerbuan pasukan Kim. Maka itu dia kenal siapa Han Hie Sun itu, malah dia pernah tinggal di istana Perdana Menteri Han To Yu beberapa hari lamanya.

Han Hie Sun mengawasi ke arah An To Seng, tapi tak lama dia mulai bergeser ke arah Seng Liong Sen. Mungkin karena dia merasa sudah kenal pada orang bermuka buruk ini, walaupun dia tak ingat di mana. Salah seorang pembantu An To Seng sengaja melonjorkan kakinya, dengan demikian tak ada tempat bagi Han Hie Sun.

"Entah dari mana datangnya kerbau gila itu, lebih baik tempat ini diberikan pada orang yang sopan daripada kepada seekor kerbau gila!" kata kuli itu.

Su Hong yang gusar, balas memaki.

"Apa katamu? Kau anggap aku ini kerbau gila?" kata Su Hong geram bukan main.

Sambil bicara dia dorong kuli itu. An To Seng segera menangkis dorongan Su Hong sambil berkata keras.

"Eh, kau ingin berkelahi ya?" kata An To Seng.

Ketika tangan keduanya beradu, ternyata mereka samasama kuat. Tadi An To Seng menangkis dorongan Su Hong sambil duduk, jelas kekuatannya masih setingkat lebih tinggi dari Su Hong.

Seng Liong Sen baru sadar kalau An To Seng itu ternyata bisa silat. Dia sudah tahu sampai di mana kepandaian Su Hong. Sekalipun tidak istimewa, dia terhitung seorang jago. Namun kepandaian An To Seng lebih lihay dan bukan orang sembarangan. Tiba-tiba Seng Liong Sen berkata.

"Dengan sesama orang dalam perjalanan, sebisa mungkin harus saling tolong-menolong. Asal kalian bersikap sedikit ramah, pasti Tuan An bersedia membantu kalian." kata Seng Liong Sen.

Sambil bicara dia dan Khie Kie bangun, lalu berkata lagi. "Biar kuberikan tempat duduk kami dan jangan

bertengkar!" kata Seng Liong Sen.

Rupanya pemuda itu tak ingin terjadi perkelahian antara Han Hie Sun dan An To Seng. Menurut pendapatnya Su Hong memang tak perlu ditakutkan, tetapi Han Hie Sun murid Thio Tay Thian atau si pengemis yang mahir Keng- sin-cie-hoat, An To Seng tak akan sanggup melawan Han Hie Sun. Walau An To Seng mampu mengalahkan Su Hong. Lagipula jika pertandingan itu diteruskan, maka mau tak mau dia akan terlibat juga. Padahal dia tak ingin dikenali. Itu sebabnya dia coba mencegah perkelahian itu. Han Hie Sun melirik sekejap ke arah Seng Liong Sen, lalu berkata sambil tertawa.

"Kata-kata saudara ini benar. Su Hong kau bicara kasar, kau harus minta maaf kepada Tuan itu. Eh, Tuan kau she apa? Apa Tuan-tuan bersedia memberi tempat untuk kami?" kata Hie Sun.

"Jika sejak tadi kau berkata begitu, semua masalah akan beres," kata An To Seng.

Dia persilakan Han Hie Sun dan Su Hong duduk dan memberi tahu she dan nama serta usahanya. Kuli An To Seng merasa penasaran pada kedua tamu itu, mereka menggerutu. "Hm! Baiklah, tapi kami mengalah atas kehendak majikan dan Tuan Sin, jangan kau kira kami takut pada kalian!" gerutu kuli itu kurang puas.

Sebenarnya Su Hong sangat dongkol mendengar gerutuan itu, tapi karena majikannya memberi perintah, terpaksa dia minta maaf kepada An To Seng dan tidak menghiraukan kulikuli itu. Dia heran, kenapa tiba-tiba majikannya berubah jadi penakut pada beberapa orang kasar itu. Sedang Han Hie Sun agak tertarik hatinya, mendengar kuli itu menyebut she "Sin" untuk pemuda yang mau mengalah itu.

"Dia mengaku she Sin, tapi kelihatannya dia mirip dengan murid Bun Tay-hiap. Lagipula aku dengar Seng Liong Sen sudah mati, dulu dia tampan. Apa wajahnya sekarang telah berubah?" pikir Han Hie Sun

"Heran, kenapa putra Han To Yu ada di tempat ini, mau apa dia? pikir Seng Liong Sen. "Padahal ini kan wilayah Kerajaan Kim!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar