Beng Ciang Hong In Lok Jilid 58

 
Lie maupun nona Jen tak tahu masalah itu. Setahu mereka itu hanya tempat yang luas untuk bertarung. Sedang Wan-yen Hoo, walau tahu dia terpaksa harus bertarung di situ. Hal ini tentu saja membuat pemuda Kim itu merasa tak tenang karena melanggar aturan. Namun, Wan-yen Hoo merasa senang, sebab suara kumandang itu akan terdengar oleh para peronda, hingga akan berdatangan para ahli silat kelas satu untuk membantu dirinya.

"Jika mereka tertangkap oleh para jago silat, semua akan kubunuh, kecuali kepercayaanku," pikir Wan-yen Hoo. "Dengan demikian orang tak akan tahu aku telah ke mari demikian juga raja!"

Usaha bertahan ternyata tidak mudah bagi Wan-yen Hoo, karena Lie yang gagah selalu mendesak. Ditambah lagi nona Jen membantunya hingga dia semakin kewalahan.

Tiba-tiba terdengar suara orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru. Saat itu Wan-yen Hoo berpura-pura menyerang, lalu dia melompati lankan altar dan turun ke tingkat dua. Tapi Lie Tiong Chu terus membayangi sambil menyerang dengan senjatanya. Wan-yen Hoo menangkis senjata lawan dengan kipas di tangannya. Walau mereka bertanding, namun karena Lie Tiong Chu menyerang dari atas, tenaganya menjadi lebih besar. "Sreet!"

Wan-yen Hoo terkejut karena kipasnya tertusuk seruling orang she Lie yang digunakan sebagai senjata, saat dia menotok tadi. Pinggang Wan-yen Hoo tertotok. Tak ampun lagi Wan-yen Hoo tergelincir dan roboh dari tingkat dua altar tersebut. Tiba-tiba Wan-yen Hoo merasa kesemutan, untung tak sampai celaka.

Nona Jen ikut melompat turun. Tapi tak lama para bu-su (pahlawan bangsa Kim) segera bermunculan di tempat itu. Saat itu karena terdesak Wan-yen Hoo mengharapjan bantuan dari anak buahnya. Tapi karena lawan terus mendesak, terpaksa dia melemparkan kipasnya ke arah nona Jen.

Namun, dengan gesit nona Jen berakrobat menghindari kipas lawan. Kedua goloknya dia pakai untuk membacok lawan. Karena kipas Wan-yen Hoo mengenai golok nona Jen, dia kaget karena tangannya kesemutan. Saat itu karena kakinya menginjak lantai, tubuh si nona sedikit limbung. Untung Tiong Chu dapat memegang si nona hingga tak sampai terjatuh.

"Kau tidak apa-apa?" kata si pemuda. "Tak apa-apa, ayo kejar dia!" kata si nona. Saat itu para bu-su pun sudah sampai.

"Sudah terlambat, ayo kita pergi!" kata Lie Tiong Chu.

Dia segera memungut sepasang golok nona Jen, dan langsung pergi dengan cepat sekali.

"Mereka ada di sini!" teriak seorang bu-su.

Saat itu Lie Tiong Chu dan nona Jen sedang melompat ke bawah. Melihat ada musuh Lie Tiong Chu menghantam musuhnya dengan senjata. Walau ilmu silat kedua Bu-su itu lumayan, tapi sayang mereka tak sanggup menangkis serangan Lie Tiong Chu.

Saat itu suara beradunya senjata terdengar saling susul. Tiba-tiba golok salah satu bu-su itu terlontar. Saat Lie Tiong Chu sampai di bawah dengan cepat dia cepat menyambar senjata rantai lawan dan langsung ditarik dengan sekuatnya. Tak ampun lagi bu-su tersebut tertarik, lalu ditangkap dan dilemparkan ke belakang.

Kebetulan lemparan Lie Tiong Chu cukup jauh hingga busu itu jatuh di dekat Wan-yen Hoo. Dengan sigap Wan- yen Hoo menotok bu-su itu hingga menjerit dan tewas seketika. Hal itu dilakukan Wan-yen Hoo karena dia tak mau diketahui kalau dia telah melanggar larangan yang berlaku ditempat itu.

Mendengar suara jeritan kawannya, bu-su yang seorang lagi kaget. Dia tak yakin kawannya akan mati jika hanya dilempar oleh orang she Lie. Apalagi di atas setahu dia hanya ada Wan-yen Hoo. Kini tahulah dia jika kawannya dibunuh oleh majikannya sendiri. Maka tak heran jika dia berkeringat dingin.

Akhirnya busu ini sadar mereka salah karena memasuki daerah terlarang. Jadi dibunuhnya sang teman karena Siauw Ong-ya tak ingin ada saksi, bahwa dia datang ke tempat itu. Maka itu dia berpura-pura tak tahu karena berharap dia tak dibunuh oleh Wan-yen Hoo yang kejam itu.

Dengan segera dia membalikkan tubuhnya untuk kabur. Namun, sebelum pergi dia sarankan agar semua kawannya mengikuti jejaknya dan kabur. Hal itu tentu saja merupakan keberuntungan bagi Lie Tiong Chu dan nona Jen, karena mereka bisa meloloskan diri. Tak lama mereka sudah ada di hutan cemara lagi. Di tengah hutan yang lebat karena cuaca gelap, jarak pandang mereka tak terlalu jauh.

"Ah, jalan mana yang harus kita pilih agar kita bisa keluar dari hutan ini," kata Lie Tiong Chu.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa menyeramkan, tak lama ada orang bicara.

"Bocah liar dan anak nakal, jangan harap kalian bisa lolos dari tanganku!" katanya sambil diawasi, ternyata dia Chu Kiu Sek kawan See-bun Souw Ya.

Dia datang sendiri karena See-bun Souw Ya belum sembuh lukanya. Dengan demikian hanya Chu Kiu Sek yang mengawal Wan-yen Hoo. Saat itu Chu Kiu Sek langsung menyerang mereka. Untung Lie Tiong Chu cukup lihay, dengan demikian dia mampu menahan serangan dingin lawan. Tetapi nona Jen tak bisa menahan pukulan Siu-lo-im-sat-kang kepungan Chu Kiu Sek. Lie Tiong Chu segera mengangkat seruling lalu meniupnya. Tak lama suara arus hawa hangat segera muncul. Ternyata hawa panas yang keluar dari seruling kumalanya mampu menahan hawa dingin dari pukulan Siu-lo-im-sat-kang musuhnya.

Sadar pukulannya tak mampu merobohkan lawan, Chu Kiu Sek kaget juga. Ternyata ilmu Keng-sin-pit-hoat Lie Tiong Chu mampu mengatasi ilmu silatnya. Maka itu dia memperhebat serangannya.

Saat itu Lie Tiong Chu merasa kedinginan sekali. Tapi karena memegang seruling pusaka, dia masih bisa bertahan semampunya. Tetapi bagi nona Jen kedinginan itu seolah membuat tubuhnya beku. Melihat hal itu, Lie Tiong Chu bukan kepalang khawatir.

Chu Kiu Sek tertawa terbahak-bahak. "Karena kau putri Jen Thian Ngo, aku tak akan menyusahkanmu, ayo kau ke mari!" kata Chu Kiu Sek sambil mengibaskan lengan bajunya hngga seruling Lie Tiong Chu menyimpang dari sasaran. Tiba-tiba tangan kiri Chu Kiu Sek mencengkram ke arah nona Jen Ang Siauw. Lie Tiong Chu yang saat itu sedang terdesak, tak mampu menolongnya.

Saat Chu Kiu Sek sedang girang karena mengira si nona akan tertangkap, tiba-tiba sesosok bayangan menyambar dengan secepat kilat. Tetapi karena pendengaran Chu Kiu Sek sangat tajam, maka terjangan orang itu bisa diketahuinya. Semula dia kira orang itu jago silat dari istana Kim anak buah Wan-yen Hoo, maka itu dia tidak memperhatikannya. Namun di luar dugaan, begitu orang itu dekat dia langsung membacok dengan goloknya.

Sambaran angin golok tersebut membuat Chu Kiu Sek kaget. Namun pada detik yang berbahaya, Chu Kiu Sek masih mampu menangkis serangan golok tersebut.

Ternyata permainan golok orang itu lihay sekali, dia tidak gentar pada ilmu Siu-lo-im-sat-kang milik Chu Kiu Sek yang hebat itu.

Goloknya diputar pula menyerang lawan.

Sekalipun cuaca sangat gelap, mungkin karena Chu Kiu Sek sudah terbiasa bertarung di tempat gelap, dia heran karena penyerangnya itu mengenakan seragam tentara pengawal bangsa Kim.

"Aku kawanmu, mereka berdualah musuh kita!" kata Chu Kiu Sek.

Sebaliknya Lie Tiong Chu yang tahu ada bahaya, segera menarik  nona  Jen  untuk  diajak  kabur.  Tapi  herannya perwira Kim itu bukan mengejar mereka, tapi terus bertarung dengan Chu Kiu Sek.

"Aku Chu Kiu Sek!" kata orang she Chu. "Apa?" kata orang itu. "Kau Chu Kiu Sek?" "Benar!"

"Jadi kau orang yang diundang oleh Ong-ya?" kata orang itu.

"Benar!" kata Chu Kiu Sek.

"Ah aku tidak percaya, setahuku orang she Chu itu  sudah diberi tahu tak boleh masuk daerah terlarang. Tapi kenapa kau malah melanggarnya? Itu berarti kau bukan Chu Kiu Sek!" kata orang itu. Saat itu Chu Kiu Sek yang sadar kalau dia telah bersalah memasuki daerah terlarang, jadi berkeringat dingin.

"Ah, dia benar. Jika saja dia tidak memperingatinya, aku bisa melanggar peraturan yang berat sekali!" pikir Chu Kiu Sek.

"Ketika kudengar panggilan Siauw Ong-ya, langsung aku datang. Jadi maaf karena aku tak tahu kalau ini daerah terlarang!" kata Chu Kiu Sek.

"Jangan ngawur! Mana mungkin Siauw Ong-ya ke  mari!" kata orang itu. "Apa benar kau ini Chu Kiu Sek!"

Karena Chu Kiu Sek tak bisa membantah, dia hanya mengangguk.

"Benar, maafkan aku benar-benar tak tahu kalau ini tempat terlarang..." kata Chu Kiu Sek agak ketakutan.

"Jika tak tahu kau tak akan disalahkan," kata orang itu. "Untung kau belum telanjur masuk ke Koan Ciu. Sudah

jangan  bicara  lagi  lebih  baik  kau  pergi,  Siauw  Ong-ya sedang mencarimu! Biar mereka berdua aku yang menanganinya!"

Mendengar kata-kata itu Chu Kiu Sek langsung pergi akan mencari Wan-yen Hoo. Apalagi dia yakin orang itu akan sanggup menghadapi kedua orang yang kabur tersebut. Tetapi dalam perjalanan itu Chu Kiu Sek berpikir lagi.

"Eh, kenapa perwira itu malah menyerangku, bukan menyerang mereka? Apalagi hampir semua jago Kim kukenali. Tapi heran aku seolah belum mengenalnya?" pikir Chu Kiu Sek.

Hati Chu Kiu Sek jadi curiga. Tapi tak lama dia telah sampai di dalam hutan cemara dan bertemu dengan Wan- yen Hoo di sana.

"Sungguh kebetulan kau datang, tadi ada penjahat yang datang kesini. Karena aku agak lengah, aku tertotok. Tapi untung aku sudah bebas. Tolong kau pijiti pinggangku," kata Wan-yen Hoo.

"Kalau begitu perwira itu benar, sebab Siauw Ong-ya sedang mengharapkan kedatanganku," pikir Chu Kiu Sek. "Ternyata dia tidak membohongiku!"

Sesudah itu Chu Kiu Sek segera memijiti pinggang Wan- yen Hoo hingga keadaannya pulih kembali.

"Terima kasih, apa kedua musuh itu sudah tertangkap," kata Wan-yen Hoo. "Bagaimana kau bisa menemukan aku di sini?"

"Ada orang yang sedang mengejar mereka," kata Chu Kiu Sek. "Orang itu yang memberi tahu keberadaan Siauw Ong-ya di sini. Maka itu dengan mudah aku menemukanmu!" "Oh begitu, siapa orang itu?" tanya Wan-yen Hoo.

"Tidak sempat kutanya namanya," jawab Chu Kiu Sek. "Yang jelas kepandaiannya tinggi dan dia pandai memainkan ilmu golok Ngo-houw-toan-bun-to."

Wan-yen Hoo mengerutkan alisnya.

"Aku memang ingin mencarimu, tapi aku tak pernah menyuruh orang," kata Wan-yen Hoo. "Sedangkan bu-su yang kubawa tak seorangpun yang bersenjata golok!"

Chu Kiu Sek terkejut.

"Kalau begitu aku tertipu olehnya!" kata Chu Kiu Sek. "Tak apa, lain kali kita selidiki," kata Wan-yen Hoo.

Sekarang mari kita cari mereka, aku yakin mereka tidak akan mudah bisa meninggalkan tempat ini. Apalagi keadaan disini sangat gelap."

Dugaan Wan-yan Hoo ternyata benar. Saat itu pemuda she Lie dan nona Jen belum menemukan jalan keluar. Ditambah lagi keadaan hutan cemara sangat gelap.

Saat itu mereka sedang kebingungan mencari-cari jalan keluar.

"Hai, kalian mau ke mana?" kata seorang serdadu Kim yang membawa golok itu.

"Dia sangat lihay," bisik Lie Tiong Chu pada Jen Ang Siauw. "Biar kupancing dia, kau sembunyi saja!" bisik Lie Tiong Chu.

Tapi nona Jen tak setuju kalau dia hanya selamat sendiri saja.

"Jangan cemas, cuaca gelap begini belum tentu dia menemukan kita," bisik nona Jen. Ternyata bisikan kedua muda-mudi itu terdengar oleh perwira Kim itu. Maka itu dia tertawa terbahak-bahak.

"Hm! Kalian kira aku cuma menggertak, coba kalian lihat uang logam ini bisa mematahkan ranting di kepalamu!" kata perwira itu. Saat itu keduanya memang bersembunyi di bawah sebatang pohon cemara. Dan kebetulan rambut nona Jen tersangkut ranting cemara yang menjulur ke bawah. Dengan demikian perwira Kim itu bisa melihat keduanya bersembunyi di sana.

Tiba-tiba terdengar desir angin dan....

"Craass!"

Rambut nona Jen yang tersangkut ranting terlepas tiba- tiba karena terputus oleh sambaran uang logam itu. Menyaksikan kejadian itu mau tak mau pemuda she Lie terperanjat. Dia tarik nona Jen ke sisinya. Tak lama terdengar tawa perwira Kim itu. Nona Jen dan pemuda she Lie itu mencoba berlari tanpa tujuan.

"Jika kau lari seperti itu, jangan harap kalian bisa keluar dari hutan cemara ini!" kata perwira Kim itu. "Awas seranganku!"

"Ting!" orang itu menyentil sebuah uang logam. "Seer!"

Pemuda she Lie segera siaga. Tapi herannya uang itu malah meleset dari sasarannya dan jatuh di samping mereka.

"Heran! Rupanya dia tidak menyerangku?" pikir Lie Tiong Chu. "Tapi kenapa begitu?"

Dalam keadaan sangsi dia tarik tangan nona Jen sambil berlari ke arah lain. "Hai, sudah kubilang cara larimu itu ngawur, kalian malah berlari tanpa arah. Padahal adajalan yang enak, kenapa kau tempuh jalan yang salah? Awas,ada serangan lagi!" kata perwira Kim itu.

'Tring!"

"Seerr!"

"Pluk!"

Uang itu jatuh di suatu tempat dan bukan ke arah lari nona Jen dan pemuda itu. Tiba-tiba Lie Tiong Chu sadar.

"Tadi dia menghalangi Chu Kiu Sek, sekarang dia memberi petunjuk jalan padaku!" pikir Lie Tiong Chu.

Lie Tiong Chu girang, lalu menarik Jen Ang Siauw untuk diajak berlari ke arah jatuhnya uang logam itu. Begitulah seterusnya secara berturut-turut orang itu melontarkan uang logam untuk memberi petunjuk kearah jalan yang harus ditempuh keduanya. Tak berapa lama mereka pun sudah keluar dari hutan cemara yang gelap itu di sebuah jalan besar.

"Ternyata kita bisa meloloskan diri," kata Jen Ang Siauw. "Tak kusangka perwira Kim itu baik pada kita! Tapi sayang kita tak tahu siapa nama orang itu?"

"Aku rasa dia bukan perwira Kim sesungguhnya," kata Lie Tiong Chu. "Sudah jangan kita hiraukan dia, paling utama kita mencari rumahnya kawan Tuan Beng Teng saja!"

"Benar, aku pun tak tahu bagaimana keadaan Enci Eng dan Kok Siauw Hong?" kata nona Jen.

Ternyata Lie Tiong Chu mengenal sedikit jalan di kota Taytoh. Maka itu dia ajak nona Jen ke See-san, bukit di bagian barat kota. Ketika itu hari sudah pagi, walau orang- orang masih jarang yang lewat.

Hawa yang sejuk dan sorotan sang surya membuat keduanya segar bukan main.

"Lie Toa-ko, kejadian semalam seperti dalam mimpi saja," kata Jen Ang Siauw.

"Ya, sungguh tidak terduga kita dapat lolos dari bahaya dengan begitu mudah. Aku memang serasa sedang bermimpi saja," jawab Lie Tiong Chu.

"Bicara tentang mimpi buruk, kemarin malam benar- benar aku bermimpi, malah mimpi tentang dirimu juga," kata Jen Ang Siauw.

"Oh, mimpi buruk apa itu, maukah kau menceritakannya?"

"Aku bermimpi mau ditangkap oleh Wan-yen Hoo. Syukur kau datang lalu bertempur dengannya. Tapi karena kau terluka parah, aku jadi sedih dan menangis, hingga akhirnya aku terbangun dari tidurku."

"Cerita mimpimu itu hampir sama dengan kejadian yang terjadi semalam," ujar Tiong-cu dengan tertawa.

"Semalam Wan-yen Hoo yang kau kalahkan, sedang kejadian dalam mimpiku terbalik," kata Jen Ang Siauw. "Aneh juga, dalam mimpiku aku bukan ditolong Kakak misanku, tapi kau yang menyelamatkan aku. Rasanya hal ini memang takdir kau yang harus menolongiku, bukan?"

Dari ucapan Jen Ang Siauw jelas bahwa nona ini lebih menaruh perhatian pada Lie Tiong Chu dibanding pada Kok Siauw Hong, kakak misannya. Mendengar kata-kata itu bukan main girangnya pemuda she Lie itu. "Mudah-mudahan kita akan selalu bersama-sama seperti dalam mimpimu!" kata Lie Tiong Chu.

Wajah nona Jen berubah merah karena kata-kata pemuda she Lie itu.

"Apa kau tidak suka?" kata Lie Tiong Chu sambil tersenyum.

"Masalah yang akan terjadi nanti, tak seorangpun yang tahu. Mari kita berangkat!" kata nona Jen.

"Kau benar, saat itu mungkin Kok Toa-ko dan nona Han sedang menunggu kita," kata Lie Tiong Chu sambil tertawa.

Mereka pun segera pergi. Di sepanjang jalan mereka tidak bertemu dengan siapapun hingga mereka sampai di See-san.

Di sekitar See-san terkenal sebagai tempat wisata, salah satunya Pi-mo-keh dan rumah kawan Beng Teng atau si orang she Ho tinggal. Orang-orang jarang ada yang datang ke daerah ini.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Sekalipun Lie Tiong Chu pernah tinggal di kota Tay-toh dan cukup lama dia di sana, tetapi dia belum pernah pesiar ke See-san. Jadi tak mengherankan jika jalan ke situ jadi asing sekali baginya. Pada musim dingin tempat berwisata itu jadi sepi karena tidak kelihatan orang yang datang. Yang mereka temukan di tengah jalan hanyalah para tukang kayu yang sedang mencari kayu bakar. Dari merekalah Lie Tiong Chu dan nona Jen mendapat keterangan jalan yang menuju ke Pit-mokee. Walau alamat yang jelas tak mereka ketahui dengan tepat, tapi pemuda itu belum tahu Pit-mo-kee itu sebuah kelenteng yang disebut "Cin-ko-sie". Maka itu di sepanjang jalan mereka hanya mencari dan memperhatikan rumah ibadah atau kelenteng saja

Saat itu mereka berjalan tanpa mengenal lelah dan mereka baru sadar setelah hari mulai sore. Tetapi karena belum menemukan sebuah bangunan, mereka terus berjalan. Di saat mereka melintasi sebuah lereng, mereka menikmati pemandangan yang sangat indah.

"Di mana mereka, kenapa kita belum juga menemukannya," kata nona Jen mulai cemas. "Tadi kata tukang kayu bangunan itu seharusnya ada di sekitar sini!"

Tapi Lie Tiong Chu mencoba menghibur nona Jen agar tidak gelisah "Anggap saja bahwa kita sedang berjalan- jalan", katanya.

"Tapi Kok Siauw Hong dan Enci Eng mungkin sedang menunggu kita dengan cemas," kata nona Jen Ang Siauw.

Tiba-tiba terdengar suara berkesiurnya senjata rahasia yang memecah kesunyian. Rupanya ada orang yang menyerang dengan sebuah batu ke arah mereka Tentu saja hal itu membuat Lie Tiong Chu kaget, apalagi cara orang itu menyambit sama dengan perwira Kim yang membantunya meloloskan diri dari hutan cemara.

"Ah, jangan-jangan dia sedang membantuku dan datang mendahului kami?" pikir Lie Tiong Chu.

"Seer!"

Tak lama sebuah batu mengarah ke arahnya, Lie Tiong Chu mengangkat serulingnya untuk menangkis. Tapi  heran ternyata batu itu seolah bisa berbelok, dan jatuh di sampingnya Tak lama disusul suara teguran.

"Siapa kalian beraninya datang ke Pit-mo-kee, lekas sebutkan namamu!" bentak orang itu.

"Lie Toa-ko, rupanya kita sudah sampai," bisik nona Jen, "lekas kasih tahu pada dia!"

"Tunggu dulu!" bisik Lie Tiong Chu.

Dia melompat dan balas melempar orang itu. "Terimalah balasanku!" kata pemuda she Lie.

Bersamaan dengan teriakannya dia menghamburkan uang logam ke arah orang itu. Saat orang itu akan menyambut uang logam itu, tiba-tiba uang-uang itu berjatuhan di hadapannya

"Sungguh lihay!" katanya kaget.

Tahu-tahu Lie Tiong Chu sudah berada di depan dia. Orang itu berumur sekitar duapuluh tahun lebih. Dia mengenakan pakaian seorang pemburu. Melihat hal itu Lie Tiong Chu yakin bahwa pemuda itu bukan perwira Kim yang telah membantunya meloloskan diri dari  hutan cemara tadi malam. Apalagi Lie Tiong Chu pun pernah mendengar suara perwira itu. Cara dia menyambitkan batu juga sama dengan perwira Kim itu.

"Kau hebat," kata pemuda itu. "Mau apa kau datang ke mari?'

"Ini bukan tempat milikmu, lalu kenapa aku tak boleh ke mari? Lagi pula kau tak perlu tahu siapa aku ini?" kata Lie Tiong Chu.

"Hm! Kau ingin menantangku?" kata pemuda itu. "Kau yang mulai, jika kau mau berkelahi aku siap meladenimu!" kat Lie Tiong Chu.

"Baik, karena kau tamu, silakan kau yang mulai!" tantang pemuda itu.

Dengan tak sungkan-sungkan, Lie Tiong Chu langsung menyerang dengan serulingnya.

"Bagus, ilmu totok Keng-ci-sin-hoatmu memang lihay!" kata pemuda itu.

Dia balas menyerang hingga angin pukulannya berkesiur keras. Dua serangan yang berbarengan itu membuat keduanya bertarung sejenak Tak lama keduanya melompat mundur. Tahu lawannya bisa menyebut nama jurusnya, Lie Tiong Chu kaget juga.

"Aneh ternyata dia tahu jurusku, dia pun menggunakan jurus Siauw-lim-pay dan tenaganya sangat hebat! Dari aliran manakah dia?" pikir Lie Tiong Chu.

Pemuda itu berdiri tegak begitupun Lie Tiong Chu. "Bagaimana, apa mau kau teruskan?" kata Lie Tiong

Chu menantang.

"Sekalipun tak kau beritahu namamu, aku tahu kau murid Bu-lim-thian-kiauw!" kata pemuda itu.

"Ya, kau benar, kau siapa?" kata Lie Tiong Chu.

Sebelum pemuda itu menjawab, dari lereng bukit muncul tiga orang mendatangi. Orang yang berj alan paling depan seorang kakek berusia enampuluh tahun, di belakang kakek itu menyusul seorang pemuda dan seorang nona, mereka adalah Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng.

"Hai, Saudara Lie, adik misan, kalian sudah sampai?" kata Kok Siauw Hong. "Leng Wie, kenapa kau berkelahi dengan tamu kita?" kata si kakek sambil tertawa.

"Aku cuma ingin melihat Keng-sin-pit-hoat dari Tam Tayhiap," kata pemuda yang dipanggil Leng Wie itu.

Kok Siauw Hong tertawa sambil berkata, "Kalau tak berkelahi dulu mana bisa kenal. Saudara Lie, inilah Ho Lo- cianpwee, anak muda itu putranya!" kata Kok Siauw Hong.

"Namaku Ho Tiong Yong, putraku bernama Leng Wie," kata si kakek. "Aku dan Beng Lo-piauw-thau sahabat lama, jangan sungkan tinggal di tempatku."

Kemudian Tiong Yong membawa mereka ke rumahnya lewat jalan kecil berliku-liku. Tak lama mereka sudah sampai di Pi-mo-kee. Di sana terlihat sepotong batu padas berukuran besar mencuat keluar di atas gunung. Di bawah batu padas raksasa itu terdapat sebidang tanah lapang yang luas. Dari jauh mirip mulut singa sedang menganga. Kelenteng Cin-kosie terletak di "mulut singa" itu. Karena terhalang oleh Pit-mokee (Tebing iblis ajaib) yang mencuat itu, kelenteng itu tidak terlihat dari jauh. Sedang keluarga Ho beberapa li di belakang Cin-ko-sie tersebut. Untuk mencapai tempat itu orang harus mengitari Pit-mo-kee.

Setiba di rumah keluarga Ho, Kok Siauw Hong menceritakan secara ringkas kejadian semalam. Rupanya setelah lolos dari kepungan musuh, mereka tidak mendapat rintangan berarti, Teng Sit tidak datang ke See-san, malah dia kembali ke kota Tay-toh, maksudnya ingin memberitahu anak buahnya di toko agar segera menyelamatkan diri.

"Tindakan tuan Teng sangat berbahaya," kata Lie Tiong Chu. "Pergaulan tuan Teng sangat luas dan mendapat bantuan dari golongan Kay-pang, andai kata ada bahaya rasanya tak jadi masalah," kata Kok Siauw Hong.

Setelah mendengar pengalaman Kok Siauw Hong dan Pwee Eng, Lie Tiong Chu bercerita mengenai pengalamannya. Dia juga menanyakan tentang perwira Kim yang ilmu silatnya sama dengan Ho Leng Wie. Ketika Lie bertanya, ia tak mendapat jawaban sedang Ho Leng Wie langsung berpikir.

"Kalau begitu perwira Kim yang membantu kalian menyelamatkan diri itu mungkin kawan kita," kata Siauw Hong.

"Menilik ceritamu saudara Lie, jika ilmu silatnya sama denganku mungkin perwira Kim itu Guruku. Tapi herannya mengapa dia ada di daerah terlarang dan bisa ada di Tay- toh!" kata Ho Leng Wie.

Keterangan itu membuat Lie Tiong Chu keheranan.

Ternyata guru Ho Leng Wie menjadi perwira Kim. "Siapa nama beliau?" tanya Lie Tiong Chu.

"Putraku murid Bu Su Tun, Ketua Kay-pang angkatan dulu," kata Ho Tiong Yong.

"Ah, ternyata beliau, aku pernah mendengar cerita tentang beliau dari guruku, kenapa aku tak mengenalinya." kata Lie Tiong Chu.

"Ketika masih muda Guruku pernah menjadi pengawal istana Kim," kata Ho Leng Wie. "Saat terjadi perang di Cayciok-kie beliau pengawal pribadi Wan-yen Liang, raja bangsa Kim!"

"Ketua Kay-pang yang sekarang bernama Liok Kun Lun sahabat    baik    guruku,"    sambung    Kok    Siauw  Hong. "Beberapa tahun yang lalu ketika di Lok-yang, aku pernah mendengar cerita dari Ketua Liok mengenai guru Tuan Ho. Beliau sengaja diperintahkan oleh kakek gurumu Siang Lo- pang-cu agar menyamar sebagai orang Kim serta menyusup ke pihak musuh. Kemudian ketika Wan-yen Liang mendapat kekalahan besar di Kwa-ciu, dia dibunuh oleh gurumu. Jasa gurumu sangat dikagumi oleh setiap pahlawan dan patriot bangsa kita."

"Dalam pertempuran di Cay-ciok-kie yang menentukan kalah dan menangnya pihak Kim dan Song, aku baru lahir. Ketika aku berguru, Guruku sudah tidak jadi Pang-cu lagi," kata Ho Leng Wie. "Beliau menyerahkan kedudukan Pang- cu kepada pembantunya, yaitu Liok Kun Lun. Kemudian ia mengasingkan diri bersama ibu guru dan menetap di Siuyang-san."

"Berapa tahun Usia gurumu itu?" tanya Jen Ang Siauw. "Waktu beliau membunuh Wan-yen Liang bisa

dikatakan masih muda sekali, usianya sekarang mungkin belum sampai  tahun," jawab Ho Leng Wie. "Yang jelas umur Liok Pang-cu lebih tua belasan tahun dari guruku."

"Mungkin usia perwira yang aku lihat semalam sekitar itu," kata Jen Ang Siauw.

Semula nona Jen mengira usia ketua Kay-pang yang dulu lebih tua dari Liok Kun Lun. Tapi sekarang sangsinya lenyap setelah mendengar penjelasan Ho Leng Wie.

"Apa Nona Jen kenal dengan Liok Pang-cu?" tanya Ho Leng Wie.

"Beberapa tahun yang lalu aku pernah bertemu di Yangciu," jawab nona Jen.

Ingat masa lalu, tanpa terasa nona Jen jadi muram. "Apa nama ibu gurumu In Lo-cian-pwee yang nama aslinya Hun Ji Yan?" tanya nona Han.

"Benar," jawab Ho Leng Wie. "Waktu masih muda beliau bersahabat baik dengan Liu Beng-cu. Maka itu kita semua masih keluarga"

"Sudah lama gurumu tidak berkelana di dunia Kang- ouw. Ah sungguh sayang, pada usia yang masih begitu muda gurumu sudah mengasingkan diri," kata nona Han.

"Sebenarnya apa yang menyebabkan beliau tidak ikut campur di kalangan Kang-ouw tidak diketahui, yang pasti beliau tidak putus hubungan sama sekali dengan dunia luar. Sebab selama delapan tahun aku berguru sudah tiga kali beliau turun gunung," kata Ho Leng Wie.

"Guruku memang pernah memuji gurumu yang tenang tapi cerdik itu. Sebab gurumu pura-pura mengasingkan diri mungkin mempunyai rencana baik, buktinya sekarang dia muncul kembali di kalangan Kang-ouw?" kata Lie Tiong Chu.

"Aku sendiri secara resmi belum menjadi anggota Kay- pang, walau cabang Kay-pang di Tay-toh telah kukenal baik.Maka itu biarlah aku mencari kabar mengenai guruku ke cabang Kay-pang di sana, aku kira mereka bisa memberi keterangan," kata Ho.

"Bulan lalu aku pernah bertemu dengan Beng Teng Lo Cian-pwee. Menurut kabar yang dia terima, Liok Kun Lun sudah ada di Tay-toh, entah benar atau tidak," kata Ho Tiong Yong.

"Tak apa, lebih baik kita tunggu saja kedatangan Teng Sit. Sesudah itu baru kita berusaha mencari kabar ke kota," kata Kok Siauw Hong. Selang tiga hari ternyata Teng Sit belum muncul juga, hingga semua orang jadi kuatir.

"Ah, entah apa yang terjadi? Tampaknya kita tak bisa menunggu lebih lama lagi di sini," kata Kok Siauw Hong.

"Karena saudara Kok sudah beberapa kali bertarung dengan musuh, rasanya sudah banyak musuh yang mengenalimu. Kalau begitu biar aku saja yang pergi mencari kabar, harap kau beri tahu alamat toko tuan Teng," kata Ho Leng Wie.

"Kalau begitu aku ikut, rasanya aku tak akan dikenali mereka," kata Lie Tiong Chu.

"Biar mereka yang berangkat! Siauw Hong, nona Han dan nona Jen menunggu di rumah".

Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie segera pergi ke Tay- toh. Sesampai di depan toko Teng Sit, ternyata pintu toko tertutup rapat dan disilang dengan kertas segel pemerintah setempat. Ketika mereka mencoba mencari tahu pada rumah makan yang berdekatan, maka diketahui bahwa tiga hari yang lalu, toko itu disegel oleh pemerintah.

"Untungnya di toko itu tak ada orang," kata pemilik rumah makan.

Mendengar hal itu Lie Tiong Chu dan Ho merasa girang walau jejak Teng Sit belum diketahui mereka.

"Kalau begitu sebelum mengujungi cabang Kay-pang sebaiknya kita menemui Beng Teng dulu di Cin-wan- piauwkiok. Mungkin di sana kita bisa memperoleh berita mengenai jejak dan keberadaan Teng Sit." usul Ho Leng Wie.

Kemudian Lie Tiong Chu segera menyamar dengan memakai pakaian pemuda pelajar. Saat mereka sampai di piauw-kiok Beng Teng, orang-orang Beng Teng agak pangling hingga tak mengenali Lie Tiong Chu lagi. Maka itu kedatangan mereka disambut oleh Chu Cu Kia.

"Ada keperluan apa kalian ke mari?" tanya Chu Cu Kia.

Setelah Ho Leng Wie menyebut nama ayahnya, dia menyatakan maksud kedatangannya ingin bertemu dengan Beng Teng untuk menyampaikan selamat atas dibukanya piauw-kiok barunya di Tay-toh.

"Silakan masuk dan tunggu sebentar." kata Chu Cu Kia.

Ho Leng Wie yang heran melihat Chu Cu Kia sedikit raguragu, terpaksa menunggu sedikit lama.

"Ada urusan apa dengan Beng Lo-piauw-thauw hingga dia tak mau menemui kita?" kata Lie Tiong Chu pada Ho Leng Wie.

"Hubungan ayahku dengan Beng Teng cukup baik, jika dia tahu aku datang beliau pasti akan menemuiku segera," kata Ho Leng Wie.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Karena mengira itu pasti Beng Teng yang keluar, mereka bangkit. Tak terduga yang muncul bukan Beng Teng tapi seorang pemuda berumur  tahun.

"Kakak Ho, apa kau lupa padaku?" kata pemuda itu. "Aku Beng To, masa kau lupa?"

Beng To putra sulung Beng Teng, usianya lebih muda tiga tahun dari Ho Leng Wie Ketika masih kecil mereka sering bermain bersama-sama.

"Ah, sudah delapan tahun kita tidak saling bertemu dan kini kau sudah besar. Aku benar-benar pangling," kata Ho Leng Wie. Beng To sangat senang bertemu dengan teman mainnya, sambil tertawa dia berkata, "Kakak Ho, aku dengar kau belajar silat ke tempat jauh, kapan kau pulang?"

"Aku pulang sudah belasan hari," kata Ho Leng Wie. "Seharusnya aku menghadiri pesta pembukaan perusahaan kalian. Kau tak marah, kan?"

"Aku tahu. kalian tidak ingin bertemu dengan orang  yang tak sepaham denganmu," kata Beng To. "Ini siapa?"

"Saudara Beng, kita memang pernah bertemu, aku ini anak buah Tuan Teng Sit," kata Lie Tiong Chu.

"Ternyata Anda, rupanya kita ini sahabat sejalan," kata Beng To yang ramah, tapi masih terlihat wajahnya agak murung. Sejak tadi dia tak bicara tentang ayahnya.

"Mana ayahmu? Aku ingin bertemu dengan beliau," kata Ho Leng Wie.

Beng To memberi tahu dengan suara agak perlahan. "Ayahku sedang menghadapi kejadian yang tak terduga,

sekarang beliau sedang berusaha menyelesaikannya." kata Beng To.

"Masalah apa? Bolehkah aku mengetahuinya?" tanya Ho Leng Wie.

"Sejam yang lalu datang seorang tamu ingin melamar pekerjaan di perusahaan kami, Ayahku jadi pening, apa dia bisa mengusir orang itu atau tidak?" kata Beng To.

"Aneh, hanya karena seseorang yang ingin bekerja ayahmu jadi pusing kepala? Apakah dia memaksa?" kata Ho Leng Wie.

"Dia bukan orang sembarangan, maka itu Ayahku harus waspada," kata Beng To. Kemudian diketahui pemuda itu bernama Lo Jin Cun. Dia datang membawa surat pengantar dari rumah Wan-yen Tiang Cie, dari orang bernama Pan Kian Hoo. Beng Teng jadi bingung dan pening kepala.

Lo Jin Cun ini seorang penjahat di daerah Selatan, namanya sangat buruk di kalangan Kang-ouw. Sekalipun Beng Teng belum pernah bertemu dengannya, tapi namanya sudah sering dia dengar.

Maka itu Beng Teng berpura-pura tak tahu asal-usulnya, dia hanya menanyakan keinginan sang tamu.

"Aku mencari pekerjaan, Tuan Pan menyuruhku ke perusahaanmu, aku mohon diterima sebagai pegawaimu," kata Lo Jin Cun.

Beng Teng heran dan kaget.

"Ah, Anda jangan bergurau mana mungkin perusahaan sekecil ini bisa menerimamu bekerja di sini?" kata Beng Teng.

"Aku ke sini karena di tempat lain tak ada lowongan," kata Lo Jin Cun. "Menurut Tuan Pan, perusahaanmu cocok untukku. Aku bangga jika bisa bekerja di tempatmu, kenapa kau ragu-ragu, katakan saja terus terang!"

Beng Teng yang mendongkol melihat sikap orang itu, dengan ketus berkata, "Aku tak bisa berbasa-basi, jika ada kata-kata yang tak berkenan, katakan saja!" kata Beng Teng.

"Sudah aku katakan, bahwa aku bangga jika bisa menjadi pegawai Anda," kata Lo Jin Cun. "Tapi kau malah menolakku, apa karena kepandaianku rendah hingga aku tak cocok bekerja di perusahaanmu?"

Beng Teng yang bingung karena tak punya alasan tepat untuk menolak lamarannya, teringat sesuatu. "Mana berani aku menilaimu begitu?" kata Beng Teng, "Apalagi kau sahabat Pan Cong-koan, pasti ilmumu tinggi.Tapi karena kau minta aku berterus-terang, akan kukatakan terusterang. Sebelumnya di perusahaan kami ada peraturan, bahwa setiap calon piauw-su harus menunjukkan kebolehannya. Karena Anda datang atas anjuran Pan Cong- koan, maka peraturan itu tidak berlaku bagimu."

Lo Jin Cun marah bukan kepalang.

"Aku bukan mencari makan dengan mengandalkan bantuan orang lain," kata Lo Jin Cun. "Kau benar untuk menjadi piauwsu memang perlu diuji kepandaiannya. Aku setuju itu! Maka itu bagi piauw-su yang kau anggap paling tinggi ilmu silatnya, boleh bertanding denganku! Mungkin kau sendiri bersedia bertanding denganku"

"Saudara Lo, kau terlalu serius," kata Beng Teng. "Anggap saja pertandingan itu merupakan persahabatan, biar akan kusuruh muridku melayanimu!"

Demikianlah Beng To menceritakan tentang tamu ayahnya itu pada tamu-tamunya

"Oh begitu, mari kita tonton pertandingan mereka!" kata Ho Leng Wie.

Begitu mereka sampai pertarungan sudah dimulai. Saat itu, Lo Jin Cun sudah menghadapi murid Beng Teng yang bernama Kui Pek Kee. Dia sudah mewarisi kepandaian Beng Teng, bahkan tenaganya pun cukup besar.

Tempat pertandingan itu sudah ramai dikelilingi para penonton. Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie pun sudah ada di antara para penonton itu.

Pertandingan berlangsung seru, untuk membela nama baik perguruan Kui Pek Kee mengeluarkan seluruh kemampuannya. Tiba-tiba Lo Jin Cun memberi sebuah peluang bagi lawannya yang disambut dengan girang oleh Kui Pek Kee. Telapak tangannya terus menyerang lawan.

Pukulan telapak tangan Beng Teng memang terkenal dan disegani sesama orang Kang-ouw, sedangkan Kui Pek Kee sudah mewarisi kepandaian gurunya. Karena dia lebih muda, tenaga pukulannya lebih keras dari gurunya.

Melihat serangan Kui Pek Kee yang lihay itu, serentak para penonton bersorak memuji. Tapi murid Beng Teng yang bernama Tio Bu Teng, karena ingin punya hubungan dengan kaum pembesar merasa kuatir Lo Jin Cun terluka. Tanpa terasa ia berseru. Ternyata Lo Jin Cun berhasil mengelak ke samping, berbareng dengan itu sebelah tangannya memukul muka lawan.

Kui Pek Kee yang tahu situasi buruk, telapak tangannya memotong lurus ke depan, lalu kakinya berubah menjadi sebuah gaetan untuk membanting lawan. Tetapi di luar dugaan Lo Jin un bergerak cepat dan berseru, "Kena!" Kui Pek Kee jatuh terlentang.

"Mohon maaf!" kata Lo Jin Cun, dia berusaha akan membangunkan Kui Pek Kee.

Ternyata Kui Pek Kee yang tangannya terkilir, tak mau mengalah. Dia bahkan tak merintih walaupun kesakitan. Dengan terburu-buru dia bangun lagi. Namun, dengan tersenyum Lo Jin Cun berkata pada Beng Teng.

"Maaf Tuan Beng, aku tak sengaja melukai lengan muridmu!" kata Lo Jin Cun. "Sekarang apa Anda siap memberi petunjuk padaku?"

Beng Teng kaget, sebab jika dia masih muda sudah tentu dia tak akan gentar pada tantangan lawannya itu. Tapi kini karena usianya sudah lanjut, dia jadi cemas, sebab jika tak ada orang yang mampu mengalahkan Lo Jin Cun sungguh bisa berabe. Berarti dia harus menerima orang she Lo bekerja di perusahaannya. Saat Beng Teng kebingungan, muncul Ho Leng Wie lalu maju ke depan.

"Untuk memotong seekor ayam tak perlu menggunakan sebuah golok. Biarlah aku piauw-su kecil yang ingin bermainmain dengan Tuan Lo!" kata Ho Leng Wie.

Saat itu para penonton kebingunan dan heran. Sebab selain Beng Teng, Chu Cu Kia dan putera-putera Beng Teng, tak ada yang mengenal Ho Leng Wie. Namun, tampilnya Ho untuk mewakili ketua mereka membuat mereka girang.

Beng Teng ragu-ragu, jika Ho Leng Wie cedera dia merasa tidak enak pada ayah pemuda itu. Namun, karena tahu pemuda itu baru pulang dari belajar pada seorang guru yang pandai, siapa tahu dia memiliki kepandaian tinggi.

Saat Beng Teng ragu-ragu, di lain pihak Lo Jin Cun sudah marah, tetapi dia menerima ucapan Ho Leng Wie.

"Aku tak peduli kau siapa, tadi karena kau bicara sombong sekarang hadapi aku! kata Lo Jin Cun.

"Baik, tapi karena kau tamu, silakan kau yang mulai!" kata Ho Leng Wie.

Dia memperhatikan Leng Wie yang kulitnya putih bersih dan cakap.

"Hm! Sekali cengkram akan kurobek tubuhmu jadi dua!" pikir Lo Jin Cun.

Sesudah itu dengan cepat dia pentang kedua tangannya dan langsung menyerang lawan.

"Bagus!" kata Ho Leng Wie. Suara Ho yang keras membuat semua orang kaget termasuk Lo Jin Cun. Ho Leng Wie lalu menyambut serangan lawan dengan jurus "Mementang jendela memandang rembulan". Saat kedua tangannya mendorong ke arah lawan yang maju ke arahnya.

Lo Jin Cun sedikit kaget. Karena dia tahu betapa lihaynya lawan yang dia hadapi. Jika dia tak segera mundur, serangan itu akan mengancam dirinya. Saat kritis kedua tangan Lo berubah menjadi tinju dan menghantam lawannya.

"Braaak!"

Kedua tangan itu beradu hingga keduanya mundur beberapa langkah ke belakang. Ho Leng Wie menggeliat sedang Lo Jin Cun terdorong mundur.

Menyaksikan dua orang itu bertarung Beng Teng kaget bercampur girang.

'Ternyata Leng Wie menguasai jurus Hok-mo-ciang-hoat milik kaum Kay-pang," pikir Beng Teng. "Aku yakin dia akan mampu menghadapi lawannya ini.”

Sebaliknya Lo Jin Cun pun kaget menerima serangan itu. "Baik, aku akan adu jiwa denganmu!" kata Lo Jin Cun.

Karena yakin lawannya masih muda, dia akan mampu mengatasinya. Maka itu segera dia mengubah siasat bertarungnya. Kemudian dia menggunakan cara dengan memutari lawan dan mengelilinginya kian ke mari untuk membingungkan musuh. Saat itu Ho Leng Wie hanya tertawa.

"Aku hanya mewakili Tuan Beng menguji kepandaianmu, apa tak keterlaluan kau mau adu jiwa segala?" kata Ho Leng Wie menyindir. Namun sambil berbicara Ho tak mengendurkan serangannya. Ketika dia menghantam lawannya sebanyak tiga kali, dengan terpaksa Lo Jin Cun menangkis serangan itu jika tak ingin celaka.

Pertarungan berlangsung seru, tanpa terasa  sampai  jurus sudah terlampaui. Lambat-laun gerakan Lo Jin Cun mulai kelihatan lambat. Dia cemas, kuatir juga gelisah.

"Jika dia tak mampu kukalahkan, bagaimana kelak aku bisa berkelana di kalangan Kang-ouw?" pikir Lo Jin Cun.

Karena gelisah dia jadi tidak sabaran. Mendadak dia menyerang dengan hebat, tubuhnya dimiringkan ke samping, dengan jurus 'Yap-tee-tau-tho' (Mencuri buah Tho di balik daun), mendadak dia serang iga kanan lawan.

"Jadi kau sungguh-sungguh ingin adu jiwa?" kata Ho Leng Wie.

Dengan cepat Leng Wie membalikkan tubuhnya, untuk menangkis serangan Lo Jin Cun sambil menyerang dengan jurus ”Leng-yo-khoa-kak" (Kambing gunung menanduk), dan mulai memukul wajah Lo Jin Cun yang tidak berani keras lawan keras dan terpaksa berganti serangan. Secepat kilat dia berbalik ke belakang lawannya. Ketika Leng Wie berbalik, dengan tangan ingin men-cengkrarn, dia memiring ke samping, lalu dengan tangannya dia berbalik memegang lawan dengan jurus Kim-na-jiu-hoat yang jadi ilmu andalannya.

Melihat demikian para penonton jadi kuatir untuk keselamatan Ho Leng Wie. Namun sebelum pemuda itu berhasil mencengkram lawannya yang mungkin akan mematahkan lengannya, tanpa pikir panjang lagi ada penonton yang berteriak, "Awas".

Di luar dugaan telah terjadi perubahan yang mendadak. Ho Leng Wie maju menyerang. Ketika Lo Jin Cun mencengkram lengannya, segera Leng Wie membentangkan kedua tangannya ke atas. Tiba-tiba Lo Jin Cun terlempar dan jatuh terlentang beberapa langkah jauhnya. Ternyata Leng Wie sengaja memberi kesempatan pada lawan dan memaksa lawan harus keras melawan keras. Pemuda itu mendapat pelajaran cuku dari gurunya, Bu Su Tun, ilmu kebanggaan Kay-pang "Kun-goan-it-ki- kang" dan sudah dikuasainya

Ketika kedua tangan Leng Wie terangkat ke atas, cengkraman Lo Jin Cun seperti mengenai sebuah gada besi, hingga tangan Lo Jin Cun terluka. Leng Wie pun pura-pura terdorong, dan menabrak pohon Liu hingga tumbang. Lo Jin Cun melompat bangun, padahal saat itu tubuhnya sakit dan tulangnya seolah lepas semuanya hanya untung dia tidak terluka dalam. Ho Leng Wie segera mendekati Lo Jin Cun lalu membungkuk sambil tertawa.

"Maaf, aku tak sengaja membuat Anda terjatuh!" kata Leng Wie. "Harap Anda jangan marah aku rasa latihan ini tak perlu kita lanjutkan."

Ternyata kata-kata Ho Leng Wie jelas ingin menjaga kehormatan Lo Jin Cun di depan para penonton. Sedang Ho yang terdorong hingga membuat pohon Liu tumbang, untuk menunjukkan betapa kuatnya tenaga Ho. Apalagi pohon itu tumbang seolah tertebas sebuah golok tajam. Lo Jin Cun juga kaget bukan main. Tapi dia pun girang bahwa orang mau bermurah hati terhadapnya.

Sesudah itu mau tak mau Lo Jin Cun mengaku kalah, dengan terpaksa dia berkata, "Terima kasih atas kemurahan hatimu, sungguh aku memang tidak sesuai untuk menjadi pegawai di sini. Biar aku mohon diri saja." Keadaan di tempat itu sudah kembali tenang, setelah Lo Jin Cun pergi, dengan gembira para piauw-su langsung berkerumun untuk menghaturkan terima kasih kepada Ho Leng Wie. Tetapi Tio Bu Teng yang merasa tidak tentram, meminta agar semua orang tidak bergembira dulu, sebab bukan mustahil urusan itu akan ada akibatnya. Beng Teng mencoba menghibur semua orang agar tidak cemas, jika perlu perusahaan boleh ditutup saja.

Kemudian Beng To berkata:

"Ayah, Kakak Ho datang bersama temannya." kata Beng To.

"Tuan Beng, apa kau masih ingat padaku?" kata Lie Tiong Chu.

Melihat pemuda itu Beng Teng kaget, dia mengajak tamutamunya itu masuk ke dalam rumah.

"Kalian sahabat-sahabat baikku, mari masuk!" kata Beng Teng. "Kita bisa bicara dengan leluasa di dalam!"

Beng Teng sengaja tak menyebutkan nama Lie Tiong Chu agar semua orang mengira pemuda itu kenalan baik Beng Teng. Setelah bubar, Beng Teng mengajak mereka ke sebuah kamar.

"Saudara Lie, bukankah kau ingin mencari kabar tentang Tuan Teng Sit?" kata Beng Teng.

"Benar," jawab Lie Tiong Chu..

"Sebenarnya aku tak tahu di mana Teng Sit berada. Tapi disini ada seorang pembantunya yang tinggal di tempatku," kata Beng Teng. "Mari kalian ikut aku."

Setelah meraba dinding kamar itu, sebuah pintu rahasia terbuka. Di sana ada sebuah lorong bawah tanah. Pada ujung lorong terdapat sebuah kamar. Ketika Lie Tiong Chu dan Leng Wie masuk tampak seseorang sedang berbaring di sebuah pembaringan. Beng Teng membesarkan sumbu pelita, dan berkata, "Saudara Lauw, ada kawan datang mencarimu."

Ternyata dia bersembunyi di situ karena sedang mengobati lukanya, dia Lauw Hong kuasa toko cita milik Teng Sit dan dia pernah bertarung dengan Lie Tiong Chu. Lauw Hong kaget lalu bangkit untuk duduk.

"Rupanya kau, Saudara Lie, bagaimana  keadaan majikan kami?" kata Lauw Hong.

"Kedatanganku justru ingin mencari majikanmu, karena lukamu belum sembuh, silakan berbaring saja," kata Lie Tiong Chu.

"Lukaku hampir sembuh! Aku berpencar dengan majikanku pada malam toko kami disegel," kata Lauw Hong.

Malam itu Teng Sit pulang tergesa-gesa. Setelah mengumpulkan para pegawai kami diminta melarikan diri sesudah diberi pesangon seperlunya. Yang tertinggal hanya Lauw Hong seorang saja. Karena Lauw Hong bertugas sebagai kuasa dan kasir toko Teng Sit, semua urusan ada di tangannya. Ketika itu dia harus menyelesaikan pembukuan toko sutera dan memusnahkan semua surat penting. Namun, pada saat urusan hampir selesai, pasukan pemerintah jajahan datang dan menyegel toko Teng Sit.

Teng Sit dan Lauw Hong segera menerjang keluar melalui pintu belakang. Dalam usaha mereka untuk kabur, mendadak Lauw Hong terkena panah musuh. Dalam keadaan terluka Lauw Hong ingin menyerahkan dokumen yang dibawanya pada Teng Sit agar diselamatkan. Teng Sit tidak mau meninggalkan kawannya yang terluka itu, sebisanya  dia  ingin  menyelamatkan  Lauw  Hong sebelum musuh tiba. Tapi sudah terlambat Lauw Hong kembali terluka hingga terpaksa mereka berpisah.

Lauw Hong menerjang dalam keadaan terluka parah. Teng Sit dengan sekuat tenaga menghadang kedua musuhnya agar tidak sempat mengejar Lauw Hong. Tapi Teng Sit terbacok oleh musuh sehingga tubuhnya mandi darah. Ketika Lauw Hong menoleh, dia lihat keadaan Teng Sit sudah sangat payah. Sebenarnya dia bermaksud kembali untuk membantunya, namun karena dia sendiri terluka parah, tenaganya pun sudah lemah, akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri. Dalam keadaan sadar tak sadar dia merasa sedang digendong. Ketika siuman, hari sudah menjelang pagi. Orang itu menaruh dia di depan pintu belakang Cin- wan-piauw-kiok. Syukur Beng Teng punya kebiasaan bangun pagi dan berjalanjalan ke luar. Pagi itu dia menemukan Lauw Hong tergeletak di depan pintu. Tak lama dia memanggil Chu Cu Kia dan Kui Pek Kee untuk menggotong Lauw Hong ke dalam. Kejadian itu hanya diketahui Chu Cu Kia dan Kui Pek Kee serta kedua putra Beng Teng.

"Jika ada orang menolongmu, aku rasa ada orang lain yang akan menyelamatkan Teng Hiang-cu," kata Lie Tiong Chu.

"Ya, semoga saja begitu," kata Lauw Hong. "Tapi Tuan Teng terluka parah, aku menguatirkan keselamatannya."

"Kami bermaksud mencari kabar ke cabang Kay-pang, karena sumber berita mereka biasanya cukup tajam. Nanti jika kami sudah mendapat kabar, pasti kami memberitahumu," kata Lie Tiong Chu.

Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie pamit lalu berangkat ke cabang Kay-pang yang ada di barat kota yang sepi. Setiba di sana,  mereka  lihat  tempat  itu  dikelilingi  sungai  kecil. Di sanasini tumbuh rumput gelagah, setelah menyusuri sebidang tanah yang penuh ditumbuhi rumput liar, terlihat sebuah rumah kuno yang dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi. Tapi pagar tembok bagian belakang rumah itu sudah runtuh. Ketika angin berkesiur, tercium bau harum daging bakar.

"Ini tempatnya," kata Ho Leng Wie.

Mereka masuk ke rumah kuno itu lewat pagar tembok yang runtuh. Tak lama terlihat empat pengemis sedang mengelilingi seonggok api unggun, sedang asyik minum arak dan makan daging bakar.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Salah seorang pengemis itu mengawasi mereka dengan tajam, sedang pengemis yang satu lagi berkata, "Wah, rasa daging anjing ini lezat sekali. Eh, mau apa kalian ke mari? Apa mau makan daging anjing?"

Tiba-tiba Ho Leng Wie merobek bajunya, lalu melangkah untuk memberi salam. Menyaksikan tingkah Ho Leng Wie yang tiba-tiba itu membuat Lie Tiong Chu bingung, sedang keempat pengemis itu tampak kaget dan serempak bangkit berdiri.

Ternyata menurut peraturan golongan Kay-pang, setiap murid Kay-pang harus mengenakan pakaian rombeng. Sekalipun pakaian itu masih baru tapi harus dirobek. Ho Leng Wie sengaja merobek pakaiannya secara mendadak. Sekalipun dia tidak bisa dianggap sebagai anggota Kay- pang,  tapi  hanya  untuk  menunjukkan,  bahwa  dia  punya hubungan erat dengan kaum Kay-pang. Pengemis yang menjadi kepala di situ segera membalas hormat Ho Leng Wie. Dengan suara lantang dia bersenadung.

"Tangan memegang pemukul anjing, punggung menyandang kantung dunia, lima danau dan empat lautan dijelajah secara rata. Mohon bertanya dari mana Anda datang, berapa lama pernah tinggal di gunung dewa?"

Pada umumnya kaum pengemis selalu membekal dua macam barang, sebuah tongkat bambu, untuk menghalau anjing galak yang disebut "pemukul anjing". Sedang yang lainnya sebuah kantung yang digunakan untuk menaruh hasil mengemis, namanya disebut "kantung dunia". Tingkatan murid Kay-pang ditentukan oleh jumlah tambalan pada pakaiannya, yaitu mulai tambalan satu sampai tambalan yang ke sembilan. Orang yang mampu menyandang sembilan buah kantung cuma sang Pangcu.

Lain halnya jika sedang menjalankan tugas, anggota Kay-pang tak perlu mengenakan atribut demikian dan  orang Kay-pang yang luar juga tak perlu membawa-bawa "pemukul anjing”. Oleh karena pengemis itu tak kenal siapa Ho Leng Wie, sengaja dia mengajukan pertanyaan- pertanyaan tadi. Artinya dia bertanya, jika Ho Leng Wie memang anggota Kaypang, dia dari kay-pang tingkat berapa? Ho Leng Wie berpikir sejenak, akhirnya dia mengarang empat kalimat syair untuk menjawab pertanyaan itu.

"Pernah tinggal selama delapan tahun di gunung dewa, bukan Hwee-shio juga bukan To-su dan juga bukan Dewa. Aku ini melompat keluar garis tiga, soalnya aku pernah mencapai langit susun sembilan!" kataHo Leng Wie.

Ho Leng Wie murid Bu Su Tun, ketua Kay-pang sebelum    Liok    Kun    Lun    menjadi    ketua.    Dia  baru meninggalkan perguruan, maka itu dia belum masuk Kay- pang secara resmi. Oleh karena itu secara samar-samar dia memberi jawaban yang berarti "Aku bukan anggota Kay- pang, tapi punya hubungan erat dengan Kay-pang selama delapan tahun. Aku belum masuk Kay-pang, hal itu karena aku pernah mendampingi Pang-cu serta mendapat izin khusus (Langit susun sembilan artinya Pang-cu bertambal sembilan), bahwa dia pernah mencapai langit sembilan artinya dia pernah di samping Pangcu dan seorang kepercayaannya.

Keempat pengemis itu heran, sebab mereka tidak pernah mengira bahwa mereka masih punya seorang Pang-cu yang sudah lama mengasingkan diri. Segera pengemis yang menjadi kepala bersuit. Mendadak dari dalam rumah melompat keluar empat ekor anjing galak.

"Wah, celaka!" keempat pengemis itu berteriak. "Kita makan daging anjing, anjing-anjing galak ini mau membalas sakit hati kawannya!"

Mereka langsung membuang pemukul anjingnya masingmasing dan berlari untuk menyelamatkan diri dari serangan anjing-anjing itu. Anehnya keempat ekor anjing itu tidak memburu para pengemis yang lari, tapi  mengepung Ho Leng Wie saja. Lie Tiong Chu bermaksud membantu menghalau anjing-anjing itu, tapi Ho berseru padanya agar tetap di tempat saja. Sambil berkata dia mengambil pemukul bambu yang ditinggalkan para pengemis itu.

Karena Lie Tiong Chu yakin Ho mampu menghadapi keempat ekor anjing itu, dia menonton saja sambil menepi. Cepat luar biasa keempat anjing itu menubruk dari berbagai jurusan, seperti jago yang sudah terlatih, mereka mengepung musuhnya dengan teratur. Namun, dengan gesit Ho Leng Wie sempat berputar, sebelum orang melihat jelas, tahu-tahu dia telah lolos dari tubrukan anjing-anjing itu. Ketika dia berputar beberapa kali, seluruh penjuru seakan hanya terlihat bayangan Ho Leng Wie belaka hingga serangan anjing-anjing itu menjadi kacau. Sejenak kemudian mendadak terdengar Ho Leng Wie membentak.

"Roboh!"

Seekor anjing terguling tak berkutik lagi terkena pukulan Ho. Ketika itu seekor anjing yang lain menubruk ke depan Ho. Kemudian disusul oleh dua ekor anjing yang lainnya. Tanpa pikir panjang Ho Leng Wie mengangkat pemukul anjingnya. Kali ini dia bergerak dengan pelahan seperti sengaja memperlihatkan pada para pengemis agar mereka mengenal ilmu permainan pemukul anjingnya. Tampak pemukul anjing itu terjulur lurus ke depan dan tepat menyanggah di bawah perut anjing yang sedang menubruk itu, sekali angkat anjing itu terlontar beberapa meter jauhnya.

Pada saat itu dari dalam rumah berlari seorang anak kecil sambil berteriak, "Hei, kenapa kau pukul anjingku hingga mati? Ayo, Say-ji dan Pa-ji (Singa dan Macan tutul), lekas gigit orang jahat ini!" kata anak itu.

Sambil tertawa Ho Leng Wie berkata, "Jangan takut, anjingmu tidak mati!"

Terlihat anjing yang terlontar tadi sekarang sudah mulai bangun lalu mendekati majikannya. Tetapi si Macan dan si Singa sudah telanjur menyerang Ho Leng Wie. Sambil tersenyum Ho Leng Wie mengangkat pemukul anjingnya Dia menyabet perlahan, Jingga kedua anjing itu langsung menggeletak, tubuhnya gemetar seperti orang demam. Rupanya pemukul anjing dari bambu di tangan Ho Leng Wie tepat menyabet jalan darah anjing-anjing itu hingga anjing itu tak bisa bergerak. Serempak keempat pengemis itu berteriak memuji Ho Leng Wie.

"Sungguh jurus Pang-ta-siang-kauwmu hebat sekali!" kata mereka.

Sekarang keempat pengemis itu mengenali Pa-kauw- panghoat yang dipakai Ho Leng Wie. Baru saja mereka ingn berseru agar Ho Leng Wie menghentikan aksinya, saat itu tampak seorang pengemis tua berusia  tahun muncul di hadapan mereka.

"Ayah dan Paman Bu datang!" kata anak itu.

Ketiga pengemis yang berusia masih muda itu tidak kenal siapa "Paman Bu" yang dimaksud anak itu. Tapi pengemis yang lebih tua segera maju dan memberi hormat kepada lelaki kekar itu sambil berkata, "Bu Tiang-lo, kapan kau tiba?"

Orang yang disebut paman Bu itu guru Ho Leng Wie, yaitu Bu Su Tun. Dia sudah dua hari berada di markas cabang Kay-pang, tetapi pengemis lain tidak  mengetahuinya kecuali sang Pang-cu, yaitu Liok Kun Lun dan putranya. Tentu saja Ho Leng Wie girang sekali.

"Suhu, ternyata kau ada di sini! Ini Lie Tiong Chu, murid kesayangan Tam Tay-hiap!" kata Ho Leng Wie.

Lie Tiong Chu segera memberi hormat.

"Ya, aku sudah tahu, malah aku pernah bertemu dengannya," kata Bu Su Tun sambil tertawa.

Saat Lie Tiong Chu memperhatikan Bu Su Tun, ternyata dia si "Perwira Kim" yang diam-diam menolong dia kabur dari tempat berbahaya itu. Segera dia menghaturkan terima kasih. "Aku dengan gurumu seperti saudara kandung saja, jika bukan demi kau, malam itu aku tidak akan datang ke sana," kata Bu Su Tun sambil tertawa. "Waktu itu pasti kau heran kenapa seorang perwira Kim membantumu, bukan?"

"Benar," jawab Lie Tiong Chu. "Setelah bertemu dengan Kanda Ho, tahulah aku bahwa itu Paman Bu."

"Mari masuk, nanti kuceritakan," kata Bu Su Tun.

Setelah ada di dalam, Liok Kun Lun memperkenalkan putranya yang bernama Liok Hiang Yang, Bu Su Tun lalu memperkenalkan Ho Leng Wie.

"Sudah lama aku putus hubungan dengan perkumpulan kita sehingga muridku ini belum sempat masuk anggota Kay-pang secara resmi. Aku harap setelah dia resmi menjadi anggota, semoga Pangcu mau memberi kesempatan agar dia bisa punya pengalaman di dunia Kang- ouw."

Liok Kun Lun tahu apa maksud Bu Su Tun yang menginginkan Ho Leng Wie diberi kesempatan lebih banyak bergerak bebas agar bisa membantu para pejuang.

"Baik, dia akan kujadikan penghubung antara kami dengan pasukan pejuang. Dengan demikian dia bisa jadi anggota Kay-pang yang tak resmi," kata Liok Kun Lun.

Kemudian Ho Leng Wie menceritakan pengalamannya dengan perusahaan Beng Teng di Tay-toh. Demikian juga tentang disitanya toko sutera milik Teng Sit.

"Sekarang Teng Sit belum diketahui ada di mana?" kata Leng Wie.

Baru saja Ho menyebut nama Teng Sit, tiba-tiba seorang lelaki muncul sambil membawa Teng Sit. Walau luka Teng Sit belum sembuh benar, tetapi dia sudah cukup sehat dan girang ketika melihat Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie ada di situ. Maka itu Teng Sit lalu menceritakan pengalamannya. Kiranya dia dan Lauw Hong telah diselamatkan oleh murid-murid Kay-pang. Sesudah itu terdengar Lie Tiong Chu bicara.

"Padahal Paman bisa menyamar jadi perwira Kim, kenapa Paman yak menggunakan kesempatan itu untuk membunuh Wan-yen Hoo?" kata Lie Tiong Chu.

"Aku punya tugas yang lebih penting lagi," kata Bu Su Tun. "Kedatanganku ke sini karena mendapat kabar rahasia, bahwa Wan-yen Tiang Cie ingin merebut tahta. Justru orang yang paling kuat mendukung maksud Wan- yen Tiang Cie itu putranya sendiri, Wan-yen Hoo."

"Dari mana Suhu tahu masalah itu?" kata Ho Leng Wie. "Dulu aku pernah bekerja dalam pasukan pengawal  Kim

dan  di  sana  ada  beberapa  kawanku  yang  bisa dipercaya.

Maka itu untuk menyusup ke istana Wan-yen Tiang Cie bagiku tidak sulit. Kebetulan aku juga mendengar niat mereka merebut tahta. Selain itu aku pun tahu rencana mereka ingin menangkap Teng Sit dan Lie Tiong Chu. Rupanya mereka curiga pada Lie Tiong Chu sesudah melihat Keng-sin-cie-hoat yang digunakannya atas diri An Tak tempo hari. Malam itu Wan-yen Hoo memerintahkan Jen Thian Ngo dan Sah Yan Liu menangkap Teng Sit. Sedang orang kepercayaannya berkumpul di Thian-tam untuk merundingkan rencana perebutan tahta itu. Thian- tam tempat sembahyang raja dan tak boleh dikunjungi oleeh siapapun kecuali raja. Tempat itu sesungguhnya sangat bagus untuk membicarakan masalah rahasia. Tak terduga tugas yang diberikan kepada Jen Thian Ngo tidak berhasil, sebaliknya secara kebetulan kalian menerjang ke daerah terlarang itu dan memergoki Wan-yen Hoo ada di sana." "Apa Suhu tahu, bagaimana cara mereka ingin merebut tahta?" tanya Ho Leng Wie.

"Rencana mereka cukup keji," kata Bu Su Tun. "Mereka telah siap untuk membunuh raja Kim tepat pada saat raja bersembahyang tahun baru di Thian-tam. Pembesar Kim yang ikut dan setia pada raja yang ke sana akan dibunuh semuanya!"

"Musuh yang saling bunuh itu sangat menguntungkan kita," kataHo Leng Wie.

Bu Su Tun berpikir sejenak.

"Untung ruginya bagi kita belum bisa diketahui. Yang penting aku ingin menyampaikan kabar ini ke Kim-kee-leng untuk mengetahui apa pendapat Siauw-go-kiam-kun dan Hong-lay-mo-li. Guru saudara Lie pun rasanya akan sampai di Tay-toh tidak lama lagi. Dalam waktu singkat semoga aku bisa bertemu dengannya untuk berunding."

"Ah, jadi Suhu juga akan datang ke sini?" kata Tiong Chu.

"Ya," jawab Bu Su Tun.

Karen Ho Leng Wie belum memahami cerita gurunya, dia bertanya lagi pada sang guru.

"Suhu, jika musuh saling bunuh, bukankah itu suatu kebetulan bagi kita. Tapi kenapa Suhu katakan ada ruginya juga?" kata Ho.

"Jika itu terjadi dalam keadaan biasa, memang kita diuntungkan, tapi karena sekarang keadaannya lain, maka aku katakan untung ruginya belum tentu!" kata Bu Su Tun. "Sekarang musuh kita bukan cuma bangsa Kim saja, tetapi juga bangsa MongoLKekuatan bangsa Mongol melebihi kekuatan bangsa Song. Maka itu setelah bangsa Mongol menghancurkan bangsa Kim, mereka baru akan merebut Kerajaan Song!"

Ho Leng Wie mengangguk tanda mengerti. Tak lama gurunya meneruskan kembali.

"Sedang sekarang daerah yang diduduki bangsa Kim sebagian besar tanah bangsa Han. Jadi jika orang Mongol menyerbu ke mari dan berhasil menggulingkan raja Kim dari suku Nuchen, rakyat bangsa Han dan rakyat bangsa Nuchen sama-sama akan menderita. Sebenarnya di antara pembesar Mongol terbagi atas dua aliran, satu mereka yang ingin berserikat dengan Song untuk membasmi bangsa Kim, sedang aliran yang lain lebih suka berserikat dengan bangsa Kim untuk menumpas bangsa Song. Sebenarnya semua itu urusan politik dan siasat saja, sebab bagi Song  hasilnya akan sama saja. Baik Mongol berserikat dengan Song maupun dengan Kim, akhirnya kedua-duanya akan dicaplok semua."

"Benar, mengenai hal ini pernah kudengar," kata Liok Kun Lun. "Bulan lalu Bun Beng-cu pernah memberi kabar padaku, bahwa pemerintah Song Selatan sedang berunding dengan bangsa Mongol, sedang perdana menteri Han memilih lebih baik berserikat dengan bangsa Kim. Sekarang, jumlah penguasa Mongol yang ingin bergabung dengan Song lebih banyak. Pejabat Mongol yang ingin bergabung dengan Kim dipimpin Kha Khan yaitu Cahatai, sedang yang ingin bergabung dengan Song dipimpin oleh Tulai, dia panglima perang mongol!”

"Kau hebat, Bu Tiang-lo," kata Liok Kun Lun kagum. "Selama ini kami kira kau mengasingkan diri karena tidak mau ikut campur urusan dunia persilatan lagi. Tapi ternyata kau malah tahu banyak tentang bangsa Mongol." "Aku sering berkunjung ke Mongol," kata Bu Su Tun. "Tiga bulan terakhir aku bertemu dengan Bu-lim-thian- kiauw di Holin. Saat itu baru aku ketahui kalau dia ada di Mongol lebih lama dibandingkan aku. Bahkan dia punya seorang kawan baik bernama Siang-koan Hok. Dulu dia pernah menjadi pembantu utama Liong-siang Hoat-ong. Siang-koan Hok itu bangsa Liao yang kabur ke Mongol dengan maksud ingin membangun kemballi negeri Liao yang dicaplok oleh bangsa Kim. Tapi setelah asal-usulnya diketahui Liong-siang Hoat-ong, dia kabur dari Ho-lin."

"Apa Guruku pernah bilang kapan dia datang?" kata Lie Tiong Chu.

"Katanya, dia masih punya masalah yang perlu diselesaikan dulu. Setelah selesai baru dia ke sini, mungkin sekitar sepuluh hari lagi. Sekarang mungkin dia sudah tiba di sini. Tapi sebelum kedatangan gurumu itu, seorang utusan rahasia Tulai sudah tiba lebih dulu. Utusan itu diminta untuk menemui Wan-yen Tiang Cie, pada hari pesta pembukaan perusahaan Beng Teng."

"Pantas Wan-yen Hoo terburu-buru pulang, rupanya dia harus mengawal ayahnya menemui utusan dari Mongol itu.'' kata Lie Tiong Chu.

"Usaha merebut tahta yang direncanakan Wan-yen Tiang Cie didukung oleh Tulai. Tujuannya untuk mengadu domba agar kekuatan Kerajaan Kim berkurang. Dengan demikian rencananya ingin membasmi Kerajaan Kim bisa terlaksana dengan mudah."

Rupanya semua orang tidak mengira dalam masalah itu terdapat tipu muslihat dari berbagai pihak yang begitu rumit.

"Jika Suhu datang pasti semua masalah akan lebih mudah diatasi," kata Lie Tiong Chu. "Sekarang lebih baik kalian pulang dulu, sesudah itu aku akan berdaya menghubungi Beng Teng. Namun, jika ada persoalan pasti akan kukirimkan kabar pada kalian," kata Bu Su Tun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar