Beng Ciang Hong In Lok Jilid 56

 
Dia lepaskan Teng Hoo lalu menghadapi Ang Kin. "Pangggil Kiong To-cu untuk menemuiku, sesudah

urusan kami selesai, aku akan pergi dari sini!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Dia tak ada di sini, jika kau mau mencarinya kau pergi saja ke Hek-hong-to!" kata Ang Kin.

"Kau jangan bohong! Aku tahu dia bersama Kiauw Sek Kiang dan Ciong Bu Pa ada di sini!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Ang Pang-cu tak bohong padamu," kata Wan Ceng Liong yang langsung maju ke depan. "Dia sudah pulang sesudah kuberi dia nasihat!" Seng Cap-si Kouw kaget karena tak mengira dia akan bertemua dengan Wan Ceng Liong di tempat itu.

Kok Siauw Hong dan nona Han pun ikut maju.

"Kau ingin mencari Kiong To-cu, tapi kami justru sedang mencarimu!" kata Kok Siauw Hong.

Saat nenek itu mengawasi ke sekililingnya, dia lihat di ruang itu ada Kong-sun Po, Kiong Mi Yun dan yang lainnya. Diam-diam dia kaget dan mengeluh.

"Ah, jika aku terus di sini bisa celaka!" pikir Seng Cap-si Kouw. "Tapi jika aku berhasil menyandera salah satu dari mereka, ada harapan aku bisa lolos!"

Tiba-tiba Seng Cap-si Kouw bergerak dengan cepat. Gerakannya begitu lincah hingga sulit dihadang. Tahu-tahu dia berada dekat nona Han, dan langsung tongkatnya bekerja.

"Hm! Dasar Iblis tak tahu malu, beraninya pada nona kecil!" bentak Wan Ceng Liong.

Sebelum Wan Ceng Liong bertindak menolongi nona Han, terdengar suara bentrokan nyaring.

"Trang!"

Ternyata pedang Kok Siauw Hong dan nona Han berhasil menangkis tongkat Seng Cap-si Kouw. Bahkan sepasang pedang itu sudah langsung mengancam ke wajah si nenek. Buru-buru Seng Cap-si Kouw menarik serangannya, hingga membuat pedang lawan tak berhasil melukainya. Wan Ceng Liong senang menyaksikan kekompakan muda-mudi itu menghadapi lawan.

"Ah, Cit-siu-kiam-hoat Kok Siauw Hong lebih lihay dari ilmu  silat  Jen  Thian  Ngo,  pamannya!"  pikir  Wan  Ceng Liong. "Sedangkan nona Han sudah menguasai Liap-in- kiam-hoat dari ayahnya dengan sempurna!"

Maka itu Wan Ceng Liong tak jadi membantu mereka. "Wan To-cu, aku belum pernah bermusuhan denganmu,

tapi jika kau mau silakan kau maju! Aku lebih suka binasa di tanganmu!" kata Seng Cap-si Kouw.

Ucapan itu sengaja diucapkan untuk menggertak Wan Ceng Liong. Sebagai jago tentu saja Wan Ceng Liong tak akan mengerubuti nenek itu. Tiba-tiba pedang Han Pwee Eng menyambar ke arah Seng Cap-si Kouw.

"Iblis, kau yang meracun Ibuku, kau juga berikali-kali ingin mencelakaiku. Bisa dikatakan kita adalah musuh besar sejak dulu," kata Han Pwee Eng. "Sekarang mari kita adakan perhitungan!"

Seng Cap-si Kouw salah menduga, ternyata kepandaian dua muda-mudi itu sudah semakin maju. Melihat hal itu Wan Ceng Liong pun menilai, sekalipun muda-mudi itu tak bisa mengalahkan si nenek, namun untuk dikalahkan oleh musuhnya sulit sekali. Sekarang si iblis tahu kedua muda- mudi itu sudah jauh lebih lihay dibanding dulu, tadi dia menantang Wan Ceng Liong karena mengira dia akan mampu melawan kedua muda-mudi itu. Wan Ceng Liong yang merasa tak perlu memberi bantuan lagi, lalu berkata,

"Baik aku tak ikut campur, tapi jika kau menggunakan racun hingga orang lain jadi korban, jangan salahkan aku jika aku ikut campur!"

Seng Cap-si Kouw lega hatinya saat mendengar janji Wan Ceng Liong itu, karena dia anggap dia mampu mengalahkan Kok Siauw Hong dan nona Han. Tapi di di luar dugaannya, sepasang pedang muda-mudi itu justru sering  mengancam  dirinya.  Bahkan  sinar  pedang mereka mengurungnya hingga dia jadi terkejut. Seng Cap-si Kouw memutarkan tongkatnya dengan kencang, tapi dia hanya mampu bertahan tanpa bisa menyerang.

Seng Cap-si Kouw memiliki senjata rahasia yang ampuh, jika digunakan akan meledak dan jarum berbisa akan langsung menyerang lawan-lawannya. Jika dia menggunakan senjata rahasia itu, sungguh berbahaya! Tapi karena ada orang she Wan, dia tak berani menggunakannya. Pertempuran itu terus berlangsung, ruang pendopo di markas Tiang-kengpang sengaja dikosongkan untuk memberi ruang pertarungan hingga leluasa untuk bergerak.

Di tengah gelanggang Seng Cap-si Kouw sudah terkepung oleh Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Kepungan mereka semakin ketat, hingga si iblis terkurung di tengah ruang pendopo.

Mengetahui dia sudah sulit bergerak, Seng Cap-si Kouw kaget dan cemas juga. Dia heran hanya setengah tahun saja tak bertemu kedua anak muda itu ilmu silatnya sudah begitu maju pesat. Dulu keduanya berada di bawah kekuasaannya.

Seng Cap-si Kouw tak sadar kalau nona Han sudah diberi petunjuk oleh ayahnya, bagaimana dia menghadapi Seng Capsi Kouw, jika kebetulan mereka bertemu. Keserasian kedua muda-mudi itu karena selama setengah tahun mereka sering berlatih bersama. Jika satu lawan satu mungkin keduanya bukan tandingan Seng Cap-si Kouw yang lihay. Tapi karena mereka bersatu-padu hingga sulit dikalahkan oleh si iblis.

Berkali-kali si iblis mencoba menerobos kepungan dua anak muda itu, tapi usahanya selalu gagal karena ancaman dari   sepasang   pedang   itu.   Sekarang   dia   mulai cemas, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya, tapi tiba-tiba dia muntah darah.

Heran sesudah muntah darah, tiba-tiba kekuatan si iblis seolah bertambah. Tongkatnya bergerak hebat hingga pedang Kok Siauw Hong dan nona Han berhasil dia tangkis dengan hebat. Saat lawan mundur, kesempatan ini digunakan si iblis untuk menerobos keluar dari kepungan.

Si iblis berhasil menyerbu ke arah Ang Kin dan dia akan mencengkram Ang Kin dengan maksud untuk dijadikan sandera. Ini dia lakukan dalam rangka untuk kabur. Dia melupakan ancaman Wan Ceng Liong, karena berpikir paling penting dia bisa selamat dan kabur! Dia tak peduli yang jadi korban orang lain.

Sejak tadi Wan Ceng Liong sudah memperhatikan pertarungan itu dengan seksama. Tak heran kalau dia tahu gerakan Seng Cap-si Kouw sangat membahayakan keselamatan Ang Kin. Maka itu Seng Cap-si Kouw kalah cepat oleh Wan Ceng Liong. Saat si iblis melompat, Wan Ceng Liong dengan cepat mengibaskan lengan bajunya.

"Sreet!"

Saat itu Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng menubruk dan melancarkan serangannya. Dengan terpaksa Seng Cap- si Kouw mengangkat tongkat bambunya untuk dipakai menangkis. Bersamaan dengan itu darah segar keluar dari mulutnya.

Kok Siauw Hong tahu si iblis muntah darahnya itu dilakukan dengan sengaja. Itulah ilmu "Thian-mo-kay-toh- tay-hoat" yang lihay dari si iblis. Dengan muntah darah dia bisa menambah tenaganya secara tiba-tiba.

Tak diduga tongkat Seng Cap-si Kouw tidak bertambah kuat,   sebaliknya   malah   menjadi   makin   lemah.   Maka dengan mudah pedang Kok Siauw Hong berhasil menangkis tongkat itu ke samping.

Barangkali ilmu Seng Cap-si Kouw yang hebat itu tidak bisa bertahan lama, ditambah lagi karena kibasan lengan baju Wan Ceng Liong dahsyat. Maka tak ampun kagi Seng Cap-si Kouw muntah darah. Tangkisan pedang Kok Siauw Hong berhasil menghalau tongkat Seng Cap-si Kouw ke samping. Berbareng dengan itu pemuda itu berseru, "Adik Eng, segera turun tangan!"

Mendadak pedang Kok Siauw Hong menyambar dan ini memaksa Seng Cap-si Kouw harus berkelit. Serangan Kok Siauw Hong itu sudah diperhitungkan, agar saat Seng Cap- si Kouw terpaksa harus berkelit, dari arah dia menghindari itu, Han Pwee Eng sudah siap menikamnya! Itu berarti Seng Capsi Kouw akan tertikam oleh pedang nona Han!

Mendengar perintah dari Siauw Hong, dengan tak buang waktu Han Pwee Eng langsung menusukkan pedangnya ke tenggorokan lawan! Seng Cap-si Kouw tidak mampu menangkis lagi serangan itu dengan tongkatnya. Dia putus asa dan menghela napas, katanya,

"Aku ini musuhmu, tapi akupun pernah merawat ayahmu, dia pernah berjanji akan mengampuni kesalahanku."

Belum lenyap suaranya, 'sret', ujung pedang Han Pwee Eng bergetar dan menusuk sambil membentak begini.

"Kematianmu kuampuni, lekas enyah kau dari sini!" kata nona Han.

Berbareng dengan itu terdengar Seng Cap-s Kouw menjerit mengerikan sambil berakrobat dia mundur ke belakang.

"Hendak lari ke mana kau?" bentak Teng Hoo. Wakil Ang Kin itu hendak mengejarnya. Dia ingin membalas kesalahannya tadi. Tongkat Seng Cap-si Kouw sempat menyabet ke belakang, tapi berhasil dirampas oleh Teng Hoo. Tapi saking bernapsunya Teng Hoo menarik tongkat itu, dia sendiri kehilangan keseimbangan dan jatuh terjungkal. Belum sempat dia bangun kembali, secepat kilat Seng Cap-si Kouw sudah pergi jauh. Ang Kin memburu untuk membangunkan Teng Hoo sambil menanyakan keadaannya.

"Jangan kuatir, ilmu silat perempuan itu sudah dipunahkan oleh nona Han, dia tidak mampu mencelakai orang lagi," kata Wan Ceng Liong.

Kiranya bergetarnya ujung pedang Han Pwee Eng tadi ketika menusuk, sengaja dialihkan agar tenggorokan Seng Cap-si Kouw tidak tertusuk, tapi hanya tulang bahunya saja yang terluka parah. Saking cepat serangan Pwee Eng tersebut, meski pun tulang bahu Seng Cap-si Kouw tertusuk putus, namun Ang Kin, Teng Hoo dan kawan-kawannya tidak mengetahuinya.

Dengan lega Ang Kin tertawa.

"Nona Han terima kasih!" kata Ang Kin.

-o(DewiKZ~Aditya~Aaa)~o-

Melihat Ang Kin begitu bersyukur, Han Pwee Eng tersenyum lalu berkata pada pemimpin Hong-hoo-ngo-pang (Lima kelompok jagoan Sungai Hong Hoo).

"Sebenarnya sekalipun dia dibunuh namun hukuman itu belum cukup untuk menebus dosa-dosanya selama ini,"  kata nona Han, "tetapi karena Ayahku pernah berjanji kepadanya, bahwa dia tidak akan dibunuh. Aku pun harus taat pada janji Ayahku. Mudah-mudahan untuk selanjutnya dia tidak akan menyusahkan orang lain lagi."

"Tulang bahunya putus oleh tusukan pedangmu, Nona Han! Pasti sulit untuk dipulihkan lagi dengan obat maupun ilmu apapun," kata Wan Ceng Liong.

Sesudah tahu para penjahat yang menekan mereka sudah pergi semua, anggota Hong-hoo-ngo-pang sangat gembira,. Mereka mengadakan jamuan makan untuk merayakan kemenangan itu. Kong-sun Po yang mengemban tugas dari pemimpin kelompok Kim-kee-leng merasa puas, karena perundingan yang dia lakukan berjalan mulus. Esok harinya mereka langsung pamit dan menempuh perjalanan mereka masing-masing. Menurut rencana semula, Kong-sun Po dan Kiong   Mi   Yun   akan   kembali   ke   Kim-kee-leng  untuk memberi laporan pada Hong-lay-mo-li. Sedangkan Wan Ceng Liong dan putrinya bersama Ci Giok Phang akan pulang ke Pek-hoa-kok, di Yang-ciu, sedang Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng akan ke Tay-toh untuk mencari piauw-su Beng Teng.

Ang Kin memberitahu Kok Siauw Hong bahwa Hong- hoongo-pang mempunyai mata-mata di Tay-toh.

"Sekarang orang itu membuka toko kain. Sebaiknya kalian temui dia," kata Ang Kin. "Kalian bisa menumpang di sana!"

"Kalau begitu, aku mohon diberi alamat atau tanda pengenalnya," kata Kok Siauw Hong girang.

Sesudah diberi alamat dan tanda pengenal orang itu, Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng pamit akan berangkat ke Taytoh. Karena Jen Ang Siauw bingung, dia minta ikut dengan Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng.

Semula Kiong Mi Yun ingin mengajak nona Jen ke Kim- keeleng, tetapi karena tahu apa maksud nona Jen ke Tay- toh nona Kiong tak menghalanginya. Tak lama maka berangkatlah rombongan Kok Siauw Hong cs.

Di sepanjang jalan nona Han berbincang dengan nona Jen tentang Seng Cap-si Kouw. Mereka merasa kasihan pada nasib Seng Cap-si Kouw.

"Aku rasa yang beruntung ialah Kiong To-cu, selain putrinya sangat baik dia pun mendapat jodoh, kebetulan menantunya pun pilihan. Selanjutnya dia akan menjadi orang baik-baik. Yang aku kuatirkan Ayahku tetap menjadi orang tersesat, mungkin dia akan mengalami nasib seperti Seng Cap-si Kouw," kata Jen Ang Siauw.

"Aku berharap Engku (paman Siauw Hong, adik ibunya) bisa  sadar  dan  kembali  ke  jalan  yang  benar,"  kata   Kok Siauw Hong. "Kita harus berusaha sebisa mungkin dengan melihat situasi setibanya kita di Tay-toh."

Kok Siauw Hong berpikir pamannya itu lebih licik dan kotor dibandingkan dengan Kiong Cauw Bun. Maka itu, untuk menyadarkannya mungkin sangat sulit.

Di sepanjang jalan tidak terjadi apa-apa, hingga akhirnya mereka sampai di Tay-toh. Mata-mata Hong-hoo-ngo-pang yang ada di Tay-toh bernama Teng Sit, adik laki-laki Teng Hoo, wakil Ang Kin. Alamat toko kainnya ada di jalan Raya Timur yang sangat ramai di wilayah bangsa Kim. Dia menggunakan nama saudagar dengan panggilan "Teng Kui Seng".

Karena Kok Siauw Hong merasa tidak leluasajika menemui Teng Sit bersama kedua nona yang berjalan bersamanya,dia menyuruh Han Pwee Eng dan Jen Ang Siauw menunggu di sebuah rumah makan.

"Jika aku berhasil menghubunginya, kalian akan kujemput!" kata Kok Siauw Hong.

"Baiklah," kata Han Pwee Eng.

Tidak jauh dari toko Teng Sit ada warung teh, dari sana dia bisa mengawasi ke toko Teng Sit.

"Baiklah kami menunggu di sana," kata nona Han. "Jika ada bahaya, kau bersuit saja!"

"Baik," kata Kok Siauw Hong sambil tertawa.

Kok Siauw Hong berjalan ke toko kain itu, tapi sesampai di sana pegawai toko itu mengatakan majikan mereka sedang tak ada di tempat.

"Tuan siapa?" kata pegawai toko itu. "Aku dari Uh-seng," jawab Siauw Hong. Dengan berterus-terang begitu Siauw Hong berharap dia akan disambut dengan baik. Ternyata benar, dia memang disambut dan dipersilakan masuk, walau semua mata memperhatikannya dengan perasaan tegang. Bahkan ada pegawai muda yang ketakutan.

"Apa Tuan mau membeli kain?" tanya kuasa toko kain itu. "Mau model apa, untuk sendiri atau akan dijual lagi?"

Melihat kelakuan mereka Kok Siauw Hong sangsi. "Sikap mereka aneh sekali," pikir Kok Siauw Hong.

"Aku malah dikira mau belanja kain segala? Ah, mungkin ada yang mencurigakan dari sikapku?"

"Tidak, aku tidak mau membeli kain," akhirnya Siauw Hong menjawab. "Kedatanganku ke mari untuk menemui majikan kalian, Tuan Teng Sit!"

"Tuan mencari majikan kami, mau apa? Apa kau sahabatnya? kata kuasa toko kain itu.

"Sekalipun aku bukan sahabat majikanmu, tetapi kedatanganku ini atas suruhan seorang sahabat baik majikanmu," jawab Kok Siauw Hong sambil tersenyum.

"Siapa orang itu?" tanya kuasa toko.

"Seorang saudagar she Ang yang tinggal di kota Uh-seng, aku baru saja dari sana," kata Siauw Hong.

Ternyata dia tidak disambut dengan ramah, malah jawaban Siauw Hong membuat mereka semakin tegang.

"Majikan kami tak ada di tempat!" kata kuasa toko itu. "Di mana beliau? Apa ada di rumahnya?" kata Siauw

Hong.

"Maaf, Tuan. Dia tak mau menerima tamu!" kata kuasa itu. "Tuan, saudagar Ang menitipkan sesuatu untuk majikanmu, maka itu aku harus menyerahkannya langsung pada majikanmu!" kata Siauw Hong.

"Oh, begitu? Tapi maaf majikan kami tak ada di rumah, dia sedang pergi menagih hutang," kata kuasa itu.

"Lalu kapan beliau pulang?" kata Siauw Hong lagi. "Bolehkah jika aku menunggu di rumah beliau?"

"Aku tak tahu kapan majikan kami pulang," jawab kuasa toko. "Aku juga tidak tahu di mana majikan kami tinggal!"

Dijawab kasar demikian akhirnya Kok Siauw Hong dongkol juga.

"Kau ini keterlaluan, masa rumah majikanmu saja kau tidak tahu?" kata Kok Siauw Hong.

"Kalau tak percaya sudah! Kami sedang sibuk!" kata si kuasa toko. "Jika Tuan tak mau belanja, silakan tinggalkan toko kami!"

Kok Siauw Hong coba menahan sabar, dia tak mau di tempat itu terjadi keributan. Tak lama toko itu ramai dikunjungi pembeli, hingga satu persatu pelayan toko itu meninggalkan Kok Siauw Hong sendirian. Karena mereka sibuk melayani para pembeli, perasaan dongkol Kok Siauw Hong meluap, dia tinggalkan toko kain itu. Saat itu dia berpikir.

"Ah lebih baik aku berunding dulu dengan Han Pwee Eng." Ternyata Han Pwee Eng dan Jen Ang Siauw kelihatan tak sabar menunggu Kok Siauw Hong kembali. Apalagi saat mereka minum dan makan kue, masuk  seorang pria berpakaian putih. Orang itu duduk tepat di depan meja mereka. Mata pria itu sangat nakal, tanpa berkedip dia melirik ke arah mereka. Jika diperhatikan pria itu sangat tertarik pada Jen Ang Siauw. Mengetahui mereka diawasi terus, sudah tentu nona Jen dongkol sekali. Dia sampaikan rasa dongkolnya itu pada Han Pwee Eng.

"Ini Ibukota, jadi jangan hiraukan dia, asal dia tak mengganggu kita, biarkan saja," bisik nona Han.

Di luar dugaan pemuda itu justru menghampiri meja mereka, lalu mulai mengganggu dengan sikap ceriwisnya.

"Eh, nona-nona dari mana asal kalian? Rasanya aku kenal pada kalian!" kata pria itu.

"Siapa kau? Aku tak kenal kau!" sentak Jen Ang Siauw. Didamprat begitu, pemuda itu bukan marah, malah menuang teh ke cawan, lalu berkata pada Nona Jen.

"Kalau begitu anggap saja aku pernah bertemu denganmu, kau jangan marah, Nona! Silakan minum teh ini!"

"Siapa yang mau tehmu!" kata nona Jen kasar. Kemudian dengan jari tengahnya dia sentil cangkir teh yang disodorkan pemuda itu. Kepandaian nona Jen memang belum tinggi, tapi sentilan jarinya cukup bagus. Jika hanya seorang jago silat biasa saja sudah pasti dia bisa mengalahkannya. Semula nona Jen mengira pemuda itu seorang berandalan biasa. Jadi jika cangkirnya tersentil orang itu.

Sekalipun cangkir itu tepat terkena sentilan nona Jen, tapi tampaknya pemuda itu tenang-tenang saja, seolah tak terjadi apa-apa dengannya. Malah cangkir itu tak bergerak hingga air teh di cangkir pun tak tercecer.

"Ah, tak kusangka nona masih marah padaku. Kalau tak mau biar teh ini kuminum sendiri saja," kata pemuda itu. "Maafkan jika aku mengganggu kalian!" Jelas sudah Iwee-kang pemuda itu cukup tinggi. Jika dilihat sikapnya yang tenang itu.

Han Pwee Eng yang ada di dekat nona Jen pun terkejut, segera dia bersiap untuk membantu nona Jen bila perlu. Tak disangka kembali mereka jadi heran karena pemuda itu tak bereaksi apa-apa. Malah dia tak melanjutkan godaannya. Setelah minum pemuda itu malah minta maaf pada mereka.

Han Pwee Eng dan Jen Ang Siauw saling mengawasi dengan sikap agak bingung, mereka tidak dapat mengira siapa pemuda itu. Tak lama Kok Siauw Hong sudah muncul di depan mereka lalu memberitahu apa yang dialaminya Ketika Han Pwee Eng menceritakan tentang pemuda yang mencurigakan itu, Kok Siauw Hong sangsi dan heran juga.

"Mungkin kedatangan kita ke sini sudah diketahui oleh musuh?" pikir Kok Siauw Hong.

Setelah tenang dia minta agar Han Pwee Eng dan Jen Ang Siauw waspada. Sesudah itu mereka berunding, bagaimana caranya mencari Teng Sit. Menurut Kok Siauw Hong, Teng Sit sengaja menghindar.

"Kita harus mencari akal untuk menemuinya." kata Siauw Hong.

Kedai minuman itu memang terletak di depan toko kain sutera milik Teng Sit, ketika Han Pwee Eng melihat seorang pengantar arang keluar dari toko itu, dia berkata, "Kalian tunggu di sini, aku punya ide!"

Kemudian dia bergegas menyusul pengantar arang itu. Tak lama pengantar arang itu sudah tersusul. Lalu nona Han mengajak orang itu bicara. Sesudah itu nona Han pun kembali ke kedai minum itu. "Mari kita pergi, sekarang aku sudah tahu di mana tempat tinggal Tuan Teng," kata Han Pwee Eng sambil tertawa. Di tengah jalan Jen Ang Siauw bertanya. "Cici, bagaimana kau bisa mendapat keterangan?" kata nona Jen.

Nona Han mengisahkan bagaimana dia memancing dan meminta keterangan dari si tukang arang itu.

"Pertama aku tegur dia, kenapa arang itu tidak diantar ke rumah Tuan Teng," kata Pwee Eng. "Ketika itu dia bilang dengan gugup, 'Tiga hari yang lalu aku sudah mengirim ke rumah Tuan Teng,' katanya. Lalu kugertak dia untuk memastikan benarkah arang itu sudah dikirim dan ke mana dikirimnya. Karena ketakutan dia mengatakan alamat Tuan Teng!" kata nona Han sambil tertawa.

Nona Jen tertawa geli mendengar akal nona Han yang lihay itu. Sambil menggoda dia berkata, "Kau memang lihay punya akal begitu bagus. Maka itu kau harus hati-hati Piauw-ko!" kata nona Jen pada Kok Siauw Hong.

"Yang kutakutkan di rumah Teng Sit terjadi onar," kata Siauw Hong sambil tertawa.

Tak lama sampailah mereka di bagian barat kota, di sana mereka menemukan alamat Teng Sit. Pintu rumah Teng Sit tertutup rapat, Kok Siauw Hong mengetuk pintunya. Seorang penjaga rumah membukakan pintu.

"Mau cari siapa Tuan?" tanya penjaga pintu. "Majikan kami hari ini tak menerima tamu!"

Ketika itu si penjaga pintu akan menutup kembali pintunya, tapi Kok Siauw Hong menahannya.

"Aku mencari majikanmu di toko, beliau tak ada di sana, maka itu kucari dia ke sini," kata Kok Siauw Hong. "Tapi beliau sedang sakit, maka itu beliau tidak menerima tamu," kata penjaga sambil menutup pintu. Terpaksa Kok Siauw Hong mendorong pintu itu hingga penjaga itu terdorong dan kaget.

"Aku dari Uh-seng atas petunjuk seorang kawan majikanmu, aku harus menemuinya." kata Siauw Hong.

Dengan agak dongkol akhirnya penjaga itu berkata, "Baiklah, kalian pasti tak mau pergi jika belum bertemu dengan majikan kami. Mari masuk dan tunggu di ruangan tamu," kata penjaga pintu itu.

Sesudah menyuruh tamunya duduk, penjaga pintu itu masuk. Tak lama muncul seorang pria bertubuh kekar. Kelihatan wajahnya mirip dengan Teng Hoo.

"Kami rasa kau Tuan Teng, mohon maaf jika kami mengganggu, Tuan. Kami baru datang dari Uh-seng," kata Kok Siauw Hong memberi hormat.

Sikap pria kekar itu sedikit sangsi, tapi sesudah mengawasi Kok Siauw Hong sejenak, dia berkata, "Benar, aku she Teng, aku dengar kau mencariku di toko kain. Apa maksud kedatangan Anda kemari?"

"Ang Pang-cu di Uh-seng meminta agar aku menyampaikan sesuatu pada Tuan Teng," kata Siauw Hong.

Kemudian dia serahkan sebuah cincin dari bambu pada tuan rumah. Cincin bambu itu berwarna kuning belang- belang dari Uh-seng, itu dijadikan alat pengenal oleh Ang Kin. Melihat cincin bambu itu Teng Sit agak kaget, sikapnya berubah hormat sekali.

"Maafkan aku, karena belum saling mengenal aku jadi ragu. Ternyata kau orang kami juga," kata Teng Sit. Kok Siauw Hong lalu memperkenalkan kedua kawan seperjalanannya.

"Ini nona Han dan ini Nona Jen," kata Siauw Hong. "Han Tay-hiap itu apamu, Nona Han?" kata Teng Sit

yang banyak pengalaman dan tahu soal Han Tay Hiong. "Beliau Ayahku," jawab Han Pwee Eng.

Karena tahu tamu lelakinya bernama Kok Siauw Hong, Teng Sit jadi tahu Kok Siauw Hong tunangan nona Han Pwee Eng. Maka itu sambil tertawa dia berkata, "Nona Han, ayahmu pendekar tua yang sangat kukagumi, syukur kau datang bersama Kok Siauw-hiap."

"Nona Jen ini, putri Pamanku, Jen Thian Ngo," kata Kok Siauw Hong.

Saat itu tuan rumah kelihatan heran.

"Kenapa Siauw Hong mau bergaul dengan putri Jen Thian Ngo? Apa dia tak tahu Jen Thian Ngo itu pengkhianat?" pikir Teng Sit.

Walau demikian dia diam saja karena tak enak untuk membicarakan soal itu. Kok Siauw Hong yang seolah tahu apa yang ada dalam bernak tuan rumah, lalu berkata, "Adik piauwku ini kabur dari rumah ayahnya. Menurut kabar yang kudengar, benarkah ayahnya ada di Tay-toh? Maka itu agar tak bertemu dengan ayah nona ini, aku harus mencari tempat persembunyian untuknya," kata Siauw Hong.

Mendengar kata-kata itu Teng Sit jadi maklum kalau Kok Siauw Hong sudah mengetahui siapa pamannya itu. Maka itu dia jadi lega sekali.

"Memang mau cari tempat di mana lagi, kenapa kalian tidak tinggal di sini saja!" kata Teng Sit. Tak lama tuan rumah menanyakan maksud kedatangan mereka ke Tay-toh.

"Sebenarnya aku dengan piauw-su BengTeng akan membuka piauw-kiok di sini," kata Siauw Hong, "maka itu aku bermaksud menemui beliau. Tapi atas saran Ang Pang- cu aku diminta untuk menemuimu dulu dan minta bantuanmu."

"Sebenarnya Beng Teng tidak kenal padaku," kata Teng Sit, "tapi karena toko kami punya hubungan dengan piauw- kioknya ketika dia berkantor di Lok-yang, kami pernah minta pengawalan darinya. Nanti jika hari pembukaan Piauw-kiok tiba, sebaiknya kau menyamar sebagai pembantuku agar bisa pergi bersamaku untuk mengucapkan selamat padanya."

"Terima kasih," kata Siauw Hong. "Maaf, jika boleh kutahu sebenarnya kau ada masalah apa hingga kau tak mau menemui tamu?"

Sambil tertawa tuan rumah menjawab.

"Tiga hari yang lalu ada tamu mengaku dari Uh-seng dan ingin menemuiku," kata Teng Sit.

Orang-orang yang dikirim oleh Tiang-keng-pang umumnya telah dikenal oleh Teng Sit dan kuasa toko. Tapi andaikan dia tidak dikenal, dia bisa mengucapkan kata-kata sandi yang sudah ditentukan. Maka itu jika tamu itu tidak dikenal, tapi tahu kata-kata sandi Tiang-keng-pang dia akan diterima. Ketika orang itu datang Teng Sit ada di toko lain, tapi orang itu tidak tahu dan tidak kenal mana Teng Sit itu.

Teng Sit cerdik dia tidak menemui dan memperkenalkan diri pada orang itu, dia hanya berpura-pura seolah dia salah seorang pegawai toko kain itu. Ketika dtanya orang itu mau apa, dia mengaku mau menagih hutang, hingga Teng Sit kaget dan heran.

"Orang itu tua atau muda dan berapa usianya?" tanya Kok Siauw Hong.

"Dia mirip denganmu," jawab tuan rumah. "Dia ganteng dan mirip seorang siu-cay (pelajar). Dia mengaku dari Uh- seng juga!"

"Oh, begitu! Pantas pegawaimu curiga saat aku mengaku dari Uh-seng, mungkin anak buahmu mengira aku kawan tamumu itu," kata Siauw Hong.

"Aku rasa begitu, kuasaku juga bilang begitu padaku. Orang itu mengatakan tahun lalu kami pernah membeli sutera dan sisa uangnya belum lunas, sekarang dia mau menagih hutang kami itu. Jadi ketika kau mengaku akan menyerahkan sesuatu dari Ang Pang-cu, itu membuat kami heran," kata Teng Sit.

Kok Siauw Hong tersenyum.

"Lalu apa yang terjadi selanjutnya?" kata Siauw Hong. "Tamu itu sangat berani, karena kami tak pernah

berhutang, bagaimana mungkin dia bisa melakukan pemerasan pada kami.

Maka itu, kuasa toko itu kuberi isyarat agar menuruti kehendak si tamu. Kuasa toko lalu mempersilakan orang itu duduk, dan pura-pura memeriksa buku kami. Aku yang menyamar jadi pegawai sambil membawa uang datang menemuinya Kemudian aku katakan bahwa benar kami masih berhutang dan mau menyelesaikan hutang kami itu. Tapi saat diperhatikan, pemuda itu agak heran. Mungkin  ini di luar dugaannya kalau kami bersedia memenuhi keinginannya Sekarang dia yang ragu-ragu menerima uang kami. Ketika dia bilang nanti dia akan kembali lagi sesudah majikan toko kembali. Kuasa tokoku mengatakan bahwa dia berhak membayar hutang kami dan memaksa dia agar mau menerima uang itu. Akhirnya dengan terpaksa dia terima juga uang itu, tapi saat dia pergi dia mempertunjukkan sesuatu untuk menggertak kami!" kata Teng Sit.

"Apa yang dilakukannya?" tanya Siauw Hong.

"Entah apa maksudnya, saat akan pergi dia memberiku sepotong uang perak, mungkin dia kira aku benar-benar seorang pegawai toko," kata Teng Sit. "Nah, coba kau lihat. Uang itu telah diremas dengan tangannya. Aku pun berusaha tenang dan menghaturkan terima kasihku padanya. Sesudah kejadian itu sengaja aku tinggal di rumah saja, diam-diam kusuruh anak buahku menyelidiki siapa tamu itu? Ternyata selama tiga hari ini orang itu hilir-mudik saja di depan toko kami."

Ketika itu Han Pwee Eng akan ikut bicara. Dia akan menceritakan pengalamannya di tempat minum itu. Tapi sebelum dia berkata apa-apa, tiba-tiba kuasa toko yang ditemui Kok Siauw Hong masuk menemui Teng Sit. Melihat di situ ada Kok Siauw Hong dan dua kawannya, dia kaget juga. Teng Sit memperkenalkan Kok Siauw Hong dan dua kawannya Sesudah itu Teng Sit langsung bertanya pada si kuasa toko.

"Kenapa, apa anak itu muncul lagi?" kata Teng Sit. "Justru kedatanganku untuk melapor pada majikan, bahwa anak itu sudah pergi!" kata si kuasa. "Rupanya dia puas menerima uang kita sebanyak seribu tail perak. Untuk rasa terima kasihnya dia tinggalkan ini untukmu, Tuan!"

Dia serahkan surat dari anak muda itu pada Teng Sit. Sesudah membaca surat itu Teng Sit memeriksa tanda tangannya,  "Lie  Tiong  Chu",  melihat  nama  itu  Teng Sit melongo dan diam sejenak. Lalu dia berkata pada Siauw Hong.

"Namanya asing bagiku, apa kau kenal dengannya Kok Siauw-hiap?" kata Teng Sit.

Kok Siauw Hong memeriksa kartu nama itu.

"Baru kali ini aku mendengar nama itu," kata Siauw Hong.

Walau Jen Ang Siauw tertarik tapi dia diam saja Semula Han Pwee Eng ingin mengisahkan pengalamannya di tempat minum itu. Tetapi saat tahu pemuda itu sudah pergi, dia tak jadi bercerita.

Malam harinya Teng Sit berbincang-bincang dengan Kok Siauw Hong, akhirnya pembicaraan itu sampai pada masalah Jen Thian Ngo.

"Apa yang aku dengar dia sekarang jadi anak buah Wan- yen Tiang Cie," kata Teng Sit. "Bahkan aku pernah melihat muridnya yang bernama Ih Hoa Liong memakai pakaian seragam bangsa Kim. Jika gurunya masih merahasiakan keterlibatannya dengan bangsa asing, sebaliknya Ih Hoa Liong malah terang-terangan."

"Hm! Jika aku bertemu dengan Ih Hoa Liong akan kubinasakan dia," kata Kok Siauw Hong.

"Jika kau mau menemukan dia mudah saja, sebab tugas dia dari Wan-yen Tiang Cie sebagai penghubung ke para pendekar bangsa Han agar mau ditarik ke pihak Kim. Nanti, saat pembukaan piauw-kiok saudara Beng Teng pun, aku kira dia akan hadir di sana!" kata Teng Sit.

"Baik, akan kutemui dia di sana!" kata Siauw Hong. "Akan kuhabisi dia!" "Aku harap kau bersabar sedikit, jangan menyulitkan saudara Beng dengan kecerobohanmu," kata Teng Sit.

"Sudah pasti, aku akan melihat gelagat dulu sebelum bertindak," kata Siauw Hong. "Aku tak akan turun tangan di piauwkiok saudara Beng."

Keesokan harinya pada tengah hari, Teng Sit kedatangan seorang tamu. Penjaga pintu membawa kartu nama tamu tersebut dan menyerahkan kartu namanya pada Teng Sit. Ternyata di kartu nama itu tertulis nama "Lie Tiong Chu".

Teng Sit tersenyum.

"Kemarin dia meninggalkan kartu nama di toko dan pamit, sekarang dia datang ke mari. Rupanya dia memaksa ingin menemuiku!" kata Teng Sit.

"Biar aku yang menemuinya dan mengusir dia," kata Kok Siauw Hong.

"Jangan kesusuh, biar dia dipersilakan masuk saj a," kata Teng Sit. "Penjaga, persilakan tamu itu masuk!"

"Aku rasa diam-diam dia mengikuti kalian ke mari hingga dia tahu di mana aku tinggal," kata Teng Sit sebelum tamunya masuk. "Saudara Kok, aku akan berpura-pura sakit, kau saja yang mewakiliku menerima tamu. Kau jangan berlaku keras padanya, selidik dulu apa mau pemuda itu!"

Saat Siauw Hong akan ke ruang tamu untuk menemui tamu itu, Pwee Eng membisikinya.

"Siauw Hong, pemuda itulah yang bertemu kami di kedai minum," kata nona Han.

"Tolong kau tanya, dia berasal dari mana?" kata nona Jen ikut bicara. Tak lama tamu itu sudah menunggu di ruang tamu. Saat Siauw Hong muncul menemuinya, dia berdiri dan berkata.

"Anda ini...." dia belum selesai bicara, Siauw Hong sudah mendahuluinya bicara.

"Aku she Kok, aku pegawai di tempat ini," kata Siauw Hong.

Pemuda itu tertawa.

"Jangan merendah, Toa-ko, kau tak mirip seorang pegawai," kata Lie Tiong Chu sambil tertawa. "Aku dengar majikanmu sudah pulang, maka itu aku ingin bertemu dengan beliau."

"Ah, rupanya kau cepat mendapat kabar, memang beliau sudah pulang, tapi beliau kurang enak badan dan tak bisa menerima tamu," kata Siauw Hong. "Beliau berpesan ada keperluan apa kau mencarinya? Soal itu bisa kau sampaikan padaku saja."

Saat itu seorang pelayan membawa nampan berisi teh untuk tamu. Siauw Hong bangun menyambut nampan itu dari si pelayan, lalu dia angsurkan pada Lie Tiong Chu.

"Silakan minum tehnya, hanya sekedar teh saja!" kata Siauw Hong.

Saat Kok Siauw Hong mengangsurkan nampan teh itu, dia kerahkan tenaga dalamnya hingga cangkir teh itu meluncur ke atas. Maka itu, tamu itu tampak ingin menyambut cangkir teh itu, dia juga harus menggunakan tenaga dalamnya, jika terjadi bentrokan maka air teh akan tumpah dan menyiram wajah sang tamu.

Kejadian itu disaksikan oleh nona Han, dia kagum melihat cara Siauw Hong menjajal ilmu orang she Lie itu. Tapi dia juga heran karena tamu itu malah bersikap tenang, dia sambuti cangkir teh itu.

"Terima kasih, tak perlu see-ji," kata Lie Tiong Chu.

Kemudian dia buka mulutnya untuk meneguk air dari cangkir, tapi sebelum cangkir itu melekat ke bibirnya, air itu sudah meluncur ke mulutnya bagaikan air mancur saja. Sesudah itu orang she Lie itu menghela napas.

"Oh, teh yang sedap dan harum!" katanya.

Tak lama cangkir teh yang telah kosong itu jatuh tepat ke tengah nampan tadi. Adu tenaga dalam itu sungguh luar biasa, Siauw Hong pun kagum walau dia tak tahu murid siapa pemuda ini?

"Saat aku ke toko majikanmu, rasanya kau tak ada di sana," kata Lie Tiong Chu.

"Kebetulan aku sedang pergi, tapi semua kejadian di sana sudah kuketahui," kata Siauw Hong. "Apa sekarang kau ke mari karena pembayaran hutang kami ada yang tak beres? Kalau belum mari kita urus semua sesuai pesan majikanku!"

Pemuda itu tertawa, dia menurunkan sebuah buntalan yang ada di punggungnya.

"Ini pembayaran majikanmu, rupanya ada sesuatu yand tak beres," kata Lie Tiong Chu. "Aku datang bukan mau menagih hutang, tapi untuk mengembalikan uang ini!"

"Aneh, padahal itu pelunasan hutang-hutang kami, kenapa Anda mengembalikannya pada kami?" kata Kok Siauw Hong.

"Maaf, semua itu kesalahanku. Sesudah aku mendapat kabar baru dari Uh-seng, ternyata aku salah alamat. Yang aku harus tagih bukan toko kalian, tapi toko kain yang lain," kata Lie Tiong Chu. "Oh, maafkan aku, karena aku hanya diberi tugas untuk membayar. Jelas kami tidak berani menerima uangmu itu!" kata Kok Siauw Hong. "Jika benar terjadi kesalahan, silakan kau datang ke toko saja!"

"Ah, tak apa, uang ini kukembalikan lewat Anda saja, ini untuk menghemat waktuku," kata Lie Tiong Chu.

Tiba-tiba bungkusan uang itu dia lemparkan ke arah Kok Siauw Hong. Padahal berat buntalan yang berisi seribu tail itu sekitar  kilo-gram. Melihat cara orang itu melemparkannya, sungguh luar biasa cepatnya. Sedangkan Kok Siauw Hong melihat sikap kasar tamunya itu dia agak dongkol juga. Dia dorong buntalan yang mengarah padanya hingga berbalik ke arah orang yang melemparkannya.

Ketika Kok Siauw Hong mendorongkan buntalan itu berlubang hingga beberapa uangnya berhamburan. Tetapi sebelum jatuh, Kok Siauw Hong menunjukkan kelihayannya dengan menyambut ketujuh uang itu, lalu melontarkannya ke arah orang she Lie itu dengan keras.

"Kau ambil semua uang ini!" kata Siauw Hong.

Ketika arah uang perak itu tertuju ke setiap jalan darah lawan, dengan tenang Lie mengibas uang itu hingga tergulung pada lengan bajunya. Kemudian dia tekap lubang buntalan itu.

"Jika kau tak mau menerimanya, baiklah," kata Lie Tiong Chu. "Boleh aku minta waktu untuk bicara denganmu secara pribadi?"

"Silakan, apa yang mau kau tanyakan?" kata Siauw Hong.

"Dari dialekmu, aku kira kau berasal dari Yang-ciu, bukan? Jika kau tak keberatan, aku ingin bertanya mengenai seseorang!" "Mengenai siapa?"

"Seorang jago tua bernama Jen Thian Ngo yang adik perempuannya menikah dengan keluarga Kok di Yang-ciu, putranya bernama Kok Siauw Hong, apa kau kenal dengannya?"

Pertanyaan itu menarik bagi Kok Siauw Hong.

"Apa maksudmu mencari Jen Thian Ngo dan Kok Siauw Hong? Kau berasal dari mana?" kata Kok Siauw Hong.

"Aku sahabat Ie Hoa Liong, murid Jen Thian Ngo, aku dari Bu-seng, daerah Shoa-tang." kata Lie Tiong Chu.

"Hm! Aku memang ingin menghajarmu!" kata Siauw Hong.

"Eh, kenapa kau marah, apa maksudmu?" kata Lie Tiong Chu.

"Aku Kok Siauw Hong! Orang yang kau cari itu seorang pengkhianat bangsa, karena kau teman baik muridnya, pasti kau juga orang jahat!" kata Siauw Hong. "Kau tak akan lolos dari tanganku!"

Sesudah itu Kok Siauw Hong langsung mencengkram bahu orang she Lie itu. Saat itu terdengar suara keluhan di balik pintu. Siauw Hong tertegun, saat itu dia ingat Jen Ang Siauw menyuruh dia menyelidiki orang itu, dan bukan menangkap pemuda itu.

Saat mendengar suara keluhan itu Lie Tiong Chu heran, maka yakinlah dia suara itu adalah orang yang sedang dicarinya. Tapi karena serangan Siauw Hong tiba dengan cepat, dia mengelak dan coba bertarung untuk menguji kepandaian Kok Siauw Hong. Serangan Kok Siauw Hong datang lagi secara berturutturut. Tapi dengan cepat Lie Tiong Chu menggunakan buntalan uang itu untuk menangkis serangan itu. Pertarungan semakin seru, saat Kok Siauw Hong menggunakan jurus "Siauw-yangsin-kang" Lie menangkis dengan buntalan uang, sehingga

isinya berantakan ke lantai karena terkoyak oleh pukulan yang dahsyat itu.

"Awas, kau bisa tergelincir," kata Lie Tiong Chu sambil tertawa.

Uang yang berhamburan di lantai memang bisa mengganggu gerakan mereka, sekalipun keduanya lihay dan ilmu meringankan tubuhnya tinggi.

"Hm, walau betapa licinnya kau, tapi kau tak akan lolos dari tanganku!" kata Kok Siauw Hong.

Tak lama Kok Siauw Hong terayun ke arah bongkahan uang, hingga uang itu langsung terlontar ke wajah lawan. Ketika menghindari serangan lawan, Lie Tiong Chu membalasnya dengan me-notok Kok Siauw Hong. Tentu saja Kok Siauw Hong terkejut.

"Eh, gerakan dia hebat, mirip kepandaian Kong-sun Po yang bernama "Keng-sin-cie-hoat"?" pikir Kok Siauw Hong.

Sadar ilmu totok lawan lihay Kok Siauw Hong menggunakan pedangnya untuk menghadapi lawan dengan serangannya sebanyak tujuh kali secara beruntun. Melihat serangan Siauw Hong, Lie Tiong Cu berseru.

"Hentikan! Jangan menyerang lagi!" kata Lie.

Saat Siauw Hong mau menyerang lagi, Jen Ang Siauw muncul. "Hentikan Kakak-piauw! Ah kiranya kau si Chu kecil!" kata Jen Ang Siauw.

Lie Tiong Chu tertawa.

"Ternyata kau masih mengenaliku!" kata Lie Tiong Chu. "Hm! Apa maksudmu, kau sudah tahu siapa aku kenapa

kau tak berterus terang saja?" kata Jen Ang Siauw.

"Kemarin aku ragu, sesudah kau sebut namaku, baru aku yakin itu kau!" kata Lie Tiong Chu.

"Siapa kau sebenarnya?" kata Siauw Hong.

Pemuda itu mengeluarkan sebuah seruling lalu dia tiup, hingga suaranya memukau sekali. Saat Siauw Hong ragu- ragu Teng Sit dan Han Pwee Eng muncul. Karena Han Pwee Eng mengerti musik, ia berbisik pada Siauw Hong, "Itu lagu dari syair karya Tu Fu (Tu Hok), themanya "menyesali peperangan yang menyengsarakan rakyat".

"Dia serba bisa, sayang jadi anjing musuh," pikir Siauw Hong.

Selesai meniup seruling dia memberi hormat pada Teng Sit. "Pasti Tuan ini Tuan Teng!" katanya.. "Aku datang untuk minta maaf."

"Kau siapa?" tanya Siauw Hong. Teng Sit kelihatan tampak girang.

"Saudara Lie, pasti kau murid Tam Tay-hiap, kan? Mungkin seharusnya aku yang minta maaf padamu," kata Teng Sit. "Maaf aku tak tahu kalau kau murid beliau!"

"Kau benar, aku murid beliau," kata Lie. "Hanya dari sebuah lagu kau bisa mengenaliku. Sungguh luar biasa!" Siauw Hong kaget, ternyata pemuda itu murid Bu-lim Thian-kiauw, Tam Yu Cong. Ternyata mereka adalah kawan sendiri.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Orang yang tampak gembira adalah Jen Ang Siauw. Dia tertawa sambil berkata, "Kau telah mendapat guru yang lihay, tapi yang aku heran bagaimana Teng Hiang Bu langsung tahu kalau dia murid Bu-lim Thian-kiauw Tam Yu Cong dengan hanya mendengar suara seruling saja?"

"Terus-terang aku tak mengerti musik, tapi karena aku pernah mendengar Bu-lim Thian-kiauw meniup lagu itu duapuluh tahun yang lalu maka aku yakin dia murid beliau!" kata Teng Sit.

Duapuluh tahun yang lalu saat Hong-lay-mo-li ada di Kimkee-leng dia diangkat menjadi Bu-lim Beng-cu, ketika itu Teng Sit yang masih muda hadir dalam pertemuan itu. Dia ikut sebagai pengikut Ang Kin. Saat itu Bu-lim Thian- kiauw memang meniup lagu itu, ia teringat hal itu. Kok Siauw Hong langsung menyambutnya Mereka pun saling meminta maaf. Lie Tiong Chu pun minta maaf pada Han Pwee Eng.

"Bagaimana kau bisa kenal dengan Jen Ang Siauw?" tanya Han Pwee Eng.

Sejak kecil mereka memang bertetangga dan sering bermain bersama. Hampir sepanjang tahun Jen Ang Siauw yang  tinggal  di  rumah  kakek  luarnya  bersahabat dengan keluarga Lie. Setelah kakeknya meninggal, Jen Ang Siauw tidak pernah atau jarang datang ke tempat kakeknya lagi, sehingga putus hubungan dengan Lie Tiong Chu.

Ketika mereka masih kecil, Jen Ang Siauw memanggil Lie Tiong Chu si Chu Kecil. Sedangkan Li Tiong Chu memanggil Jen Ang Siauw dengan sebutan Anak Liar.

"Coba kemarin kau panggil aku dengan panggilan lamaku, pasti aku akan tahu siapa kau sebenarnya," kata Jen Ang Siauw.

"Kemarin aku agak ragu-ragu, mana berani aku sembarangan memanggilmu?" kata Lie Tiong Chu. "Ditambah lagi kau pun sudah jadi seorang pendekar, jadi mana boleh aku memanggil nama gelarmu itu? Kau bijaksana tak mau ikut ayahmu!"

Mengingat ayahnya, wajah Jen Ang Siauw jadi muram, hatinya pilu dan juga malu karena dia tahu ternyata ayahnya itu se-orang pengkhianat bangsanya. Pemuda itu seolah bisa menerka isi hati nona Jen. Lalu dia berkata lembut.

"Sekalipun bunga teratai tumbuh di lumpur, tetapi dia tetap suci. Ayahmu tetap ayahmu dan kau tetap kau, menurutku kau tetap seperti dulu. Kau jangan berduka dalam hal itu!" kata Lie Tiong Chu.

"Apa karena masalah Ayahku, kau ingin memberitahu majikan Teng?" tanya Jen Ang Siauw.

"Ya, ini salah satu tujuan kedatanganku ini," kata Lie Tiong Chu. "Masalah ini hanya kebetulan saja, sebelum itu aku pun tak menduga kalian bisa ada di sini!"

"Kau harus menjelaskan padaku, bagaimana kau tahu rahasia perusahaanku?" kata Teng Sit. "Aku diperintah oleh Guruku," kata pemuda itu. "Guruku sahabat Hong-lay-mo-li dan suaminya, pasti kau pun sudah tahu hal ini, bukan?"

Teng Sit langsung mengerti masalahnya.

"Benar aku tahu, akhir-akhir ini Pang-cu kami sedang berunding untuk bergabung dengan Liu Beng-cu, pasti Pangcu kami yang memberitahu Liu Beng-cu tentang usahaku di sini dan Liu Beng-cu memberitahu gurumu. Tapi entah ada masalah apa gurumu menyuruhmu mencariku?" kata Teng Sit.

"Sebenarnya tak ada masalah khusus," kata Lie Tiong Chu. "Tapi karena daerah ini masih asing bagiku, aku sengaja menyelidikinya. Siapa tahu aku diperlukan mengirim berita penting ke mari. Maka itu aku ingin menemuimu, Tuan Teng!"

Bu-lim-thian-kiauw Tam Yu Cong seorang bangsawan Kerajaan Kim, bahkan dia seorang pengawal istana. Wan- yen Tiang Cie adalah putra pengasuh Bu-lim-thian-kiauw. Karena Bu-lim-thian-kiauw tidak bebas di Tay-toh, sengaja dia suruh Lie Tiong Chu, murid kesayangannya agar terjun di kalangan Kang-ouw.

"Sekarang aku tinggal di rumah putra pengasuh guruku," kata Lie Tiong Chu. "Aku telah mendapat beberapa kabar penting, aku kira Tuan Teng pasti sudah mendapat informasi itu!"

"Mengenai kabar apa?" tanya Teng Sit.

"Pertama mengenai rencana Wan-yen Tiang Cie ingin menundukkan Hong-hoo-ngo-pang dan Tiang-keng-pang," kata Lie Tiong Chu. "Tapi walau usaha itu telah digagalkan, kita tetap harus waspada, siapa tahu mereka ulangi lagi," kata Kok Siauw Hong.

"Yang kedua bersangkutan dengan Kim-kee-leng," kata pemuda itu lagi. "Aku dengar bangsa Kim bersedia berdamai dengan bangsa Mongol, dengan demikian mereka akan menarik sebagian besar pasukannya dari tapal batas yang sedang menghadapi tentara rakyat."

"Hal itu sudah kami amati cukup lama," kata Teng Sit. "Sekarang pihak Kim akan melaksanakan rencananya itu, tapi belum kusampaikan berita itu ke Kim-kee-leng."

"Mengenai masalah yang ketiga, tentang pengkhianatan Jen Thian Ngo," kata pemuda itu. "Semula aku kuatir para pendekar belum mengetahuinya dan bisa tertipu olehnya. Tapi sekarang aku tidak kuatir lagi."

Sesudah menyampaikan masalah itu, pemuda itu bicara lagi.

"Tuan Teng, maafkan sikap kasarku tempo hari. Ketika itu aku hanya ingin memancingmu untuk menemuiku, dengan berpurapura menagih hutang. Aku kira jika kau marah, aku bisa menemuimu. Tak kuduga, malah mengacaukan keadaan."

"Kau cerdik hingga berhasil menemukan rumahku," kata Teng Sit sambil tertawa. "Beberapa hari lagi pembukaan Houw-wie-piauw-kiok milik Beng-lo-piauw-thauw dimulai."

"Aku dengar Beng-lo-piauw-thauw berbudi luhur, begitu kata Guruku," kata Lie Tiong Chu. "Pada hari pembukaan perusahaannya nanti aku akan datang untuk mengucapkan selamat padanya. Apa kau bisa mengajakku ke sana?"

"Bisa," jawab Teng Sit. "Kau dan Kok Siauw Hong bisa menyamar jadi pembantuku. Untuk sementara kalian bisa tinggal di sini, anggap saja kalian seperti di rumah sendiri. Aku harus ke toko sudah tiga hari tidak kuurus. Nona Jen dan Lie Siauw-hiap baru bertemu lagi, pasti kalian ingin berbincang dengannya."

Mengetahui Jen Ang Siauw bertemu sahabat semasa kecilnya, Siauw Hong dan Pwee Eng girang. Dia biarkan kedua muda-mudi itu jalan-jalan di taman belakang rumah Teng Sit. Dengan demikian keduanya bisa bebas bercengkrama. Mereka asyik berbincang mengenai pengalaman mereka masingmasing, dengan demikian jalinan cinta di antara mereka pun tumbuh semakin mendalam.......

Selang tiga hari kemudian, pembukaan Houw-wie- piauwkiok di Tay-toh diadakan dengan sangat meriah. Sesuai rencana, Kok Siauw Hong dan Lie Tiong Chu menyamar jadi pembantu Teng Sit dan ikut menghadiri pesta pembukaan itu.

Bukan main ramainya pembukaan perusahaan ekpedisi itu, para tamu berdatangan bergantian.

Teng Sit hanya dikenal sebagai saudagar di toko sutera, dengan demikian dia tidak mendapat pelayanan khusus dari Beng Teng, yang melayani mereka cuma pembantu Beng Teng yaitu Chu Cu Kia, salah seorang pembantu andalan dari Beng Teng yang ikut mengawal Han Pwee Eng. Kok Siauw Hong pernah bertemu dengannya, tapi karena Kok Siauw Hong sedang menyamar dia tak mengenalinya.

Seorang lelaki setengah umur bersama seorang pemuda menghampiri meja tempat Kok Siauw Hong cs duduk. Melihat kedatangan mereka, Chu Cu Kia memperkenalkan orang itu pada mereka.

"Ini Tuan Tio Pin dan putranya," kata Chu Cu Kia pada Kok Siauw Hong cs. "Beliau ini rekan baru majikan kami!" Teng Sit tahu kalau Tio Pin seorang jago kalangan Kangouw dan sangat terkenal di Tay-toh (Pak-khia atau Beijing). Teng Sit dan Kok Siauw Hong heran, sebab setahu mereka Houw-wie-piauw-kiok perusahaan keluarga Beng yang sudah turun-temurun, tapi kenapa sekarang bergabung dengan Tio Pin? Karena muncul tamu baru, Chu Cu Kia menemui tamu yang baru tiba itu. Sedang Tio Pin mewakili tuan rumah melayani tamu-tamunya itu.

"Kita kenalan lama," kata Tio Pin berbasa-basi. "Aku mohon Tuan Teng bersedia memberi petunjuk pada putraku!"

"Ah, aku ini cuma seorang pedagang kain sutera, jadi mana bisa silat, aku tak akan sanggup memberi petunjuk pada putramu," kata Teng Sit sambil tersenyum.

"Kau jangan salah paham, Tuan Teng," kata Tio Pin. "Yang kumaksud bukan dalam bidang ilmu silat, tetapi soal berjualan. Perusahaanmu banyak memerlukan pengawalan dari Piauw-kiok, jika anakku sudah selesai belajar silat dan bekerja, pasti dia diperlukan untuk mengawal daganganmu.

Tolong berikan pekerjaan itu padanya! Harap kau maklum, aku berkongsi dengan Houw Wie Piauw Kiok yang terkenal ini, karena aku ingin agar kelak anakku bisa punya banyak pengalaman. Terutama dia bisa banyak belajar dari Beng Lopiauw-su!"

Teng Sit berusaha menyembunyikan kepandaiannya, sebenarnya dia bisa silat. Sedangkan Tio Pin sebaliknya dia mengalihkan pembicaraan ke masalah perdagangan. Hal itu tentu membuat hati Teng Sit agak kecewa dan kesal. Untung datang tamu baru hingga Tio Pin dan putranya harus menyambut dan melayani tamu baru itu.

Sesudah Tio Pin dan putranya pergi, Teng Sit mendengar suara  bisik-bisik  dari  belakang  mereka.  Saat diperhatikan ada dua orang tamu lain sedang berbisik-bisik membicarakan Tio Pin. Dengan lagak tak acuh, diam-diam Teng Sit coba menguping.

"Setahuku Beng Teng seorang tokoh Piauw-kiok yang termashur, tapi kenapa dia mencari rekan kerja orang macam Tio Pin? Apa hal itu tidak akan menjatuhkan nama baik Houwwie-piauw-kiok?" kata salah seorang dari mereka.

"Aku kira masalahnya bukan begitu," kata kawannya. "Aku dengar Tio Pin lihay, sahabatnya di Tay-toh pun cukup banyak. Beng Teng semula membuka piauw-kiok di Lok-yang, karena dia orang baru di sini, jadi wajar saja kalau dia mau bersekutu demi kemajuan perusahaannya!" kata temannya.

"Kau benar, maksudku bukan masalah itu, aku bicara tentang pribadi Tio Pin. Apa kau tak sadar pribadi mereka itu sangat berbeda?" kata kawannya.

"Aku tahu, Tio Pin orang yang licin, aku kuatir Beng Teng tertipu olehnya," kata kawannya. "Tapi aku mengetahui sesuatu yang mungkin tak kau ketahui."

"Mengenai apa?" kata kawannya.

"Saat ini Beng Teng sedang ditimpa kesulitan, jadi tak heran jika dia mencari sekutu yang bermodal besar!" kata kawannya. "Apalagi perusahaannya yang ada di Lok-yang ludes terbakar!"

"Oh, begitu, pantas kalau begitu!" kata kawannya.

Sekarang Teng Sit tahu kenapa Beng Teng berkongsi dengan Tio Pin. Pada saat itu terdengar pembantu Beng Teng berseru.

"Tamu agung sudah datang!" Ketika mata semua tamu di arahkan ke pintu masuk, terlihat murid Beng Teng yang pertama mengiringi seorang tamu yang mengenakan mantel kulit bulu. Orang itu berpakaian bagus seperti seorang putra bangsawan. Di belakang dia ikut empat pengiringnya, seorang kakek berkepala gundul, dan seorang lelaki setengah umur dengan muka benjol penuh daging. Seorang lagi tampak seperti pemuda alim dan orang yang terakhir berumur sekitar  tahun. Dia seorang pesolek seperti seorang perempuan, namun, matanya picek. Di antara para tamu ada yang mengenali "pemuda bangsawan" itu dan dia kaget.

Tamu agung itu tak lain Wan-yen Hoo, putra Wan-yen Tiang Cie, panglima pasukan pengawal Kerajaan Kim. Wan-yen Tiang Cie, pangeran keluarga raja Kim, maka itu kedudukan Wan-yen Hoo saat itu sebagai pangeran muda.

Kedatangan "Pangeran muda" bangsa Kim ke pembukaan sebuah perusahaan ekpedisi, sudah tentu di luar dugaan semua orang. Tio Pin tampak bangga sekali atas kedatangan tamu agung tersebut. Dia langsung menyambut tamu agung itu dengan maksud mencari muka di depan para tamunya. Tapi tiba-tiba kakinya gemetar dan lemas karena gugupnya.

Anak buah Beng Teng tentu saja kurang senang atas kedatangan tamu agung ini, kecuali Tio Pin. Tetapi tak seorang dari mereka berani berkomentar. Tio Pin sangat senang pada pangeran muda itu, sedang anak buah Beng Teng benci pada para anak buahnya.

Ternyata si Gundul itu bernama Tan Piauw, si Srigala Tua. Pria berusia setengah baya itu putra sulung Tan Piauw yang bergelar si Srigala Hijau dan yang lainnya si Srigala Putih Tan Giok, Srigala Kuning Tan Go mereka bergelar Tan-sie-ngolong. Tapi ada yang tak ikut datang ke pembukaan   itu.   Sedangkan   si   pesolek   bermata   satu, namanya cukup terkenal. Dia si Srigala Liar An Tak. Maling cabul yang terkenal di dunia Kang-ouw atau Rimba Hijau.

Kunjungan An Tak ini membuat para tamu kurang senang, karena mereka sudah tahu, siapa An Tak ini?  Tetapi karena An Tak datang bersama Wan-yen Hoo, atau Pangeran Kim, tak heran tak ada orang yang berani usil.

Di antara para tamu banyak yang tak tahu, kalau di antara yang datang bersama pangeran Kim itu, adalah musuh-musuh piauw-su Beng Teng.

Pada saat Beng Teng mengawal nona Han ke Yang-ciu atas permintaan ayah Han Pwee Eng. Di tengah jalan rombongan Beng Teng ini dihadang oleh Tan Bersaudara dan An Tak. Untung saat itu Han Pwee Eng ikut turun tangan dan menusuk mata An Tak hingga picek. Dengan demikian selamatlah muka perusahaan ekpedisi itu dari penghinaan. Jika tidak barangkali Beng Teng pun bisa binasa di tangan para penjahat itu.

Peristiwa itu tidak diketahui oleh Tio Pin, tapi para piauw-su lama yang bekerja di Houw-wie-piauw-kiok dan anak buah Beng Teng semua mengetahui kejadian itu. Maka saat itu Chu Cu Kia jadi kikuk dan serba-salah. Chu Cu Kia pun ragu saat akan menyambut tamu-tamu itu. Melihat hal itu Beng Teng maju menyambutnya. Sambil tertawa terbahak-bahak Wan-yen Hoo berkata lantang.

"Beng Lo-piauw-thauw, aku dengar kau pernah berselisih dengan beberapa orangku ini. Sekarang aku bawa mereka ke mari, aku harap kau tidak marah, kan?" kata Wan-yen Hoo.

"Seluruh karyawan kami merasa bangga dan senang atas kunjungan Pangeran-muda, dalam masalah pekerjaan, bisa saja tak terhindarkan perselisihan kecil di antara kami. Tapi aku jamin kami tidak akan mengecewakan anak buah Siauw Ong-ya! Jika ada kesalahan kami, baik yang disengaja atau pun yang tidak disengaja, mohon dimaafkan!" kata Beng Teng sambil memberi hormat.

Di balik ucapan Beng Teng sebenarnya Beng Teng kaget dan tidak menduga jika dia akan kedatangan tamu-tamu yang pernah berselisih dengannya. Bahkan Beng Teng heran, bagaimana orang-orang jahat itu bisa jadi anak buah Pangeran Kim itu.

Wan-yen Hoo tidak peduli pada sindiran Beng Teng itu, sambil tertawa dia berkata, "Ah, Beng Lo-piauw-thauw terlalu merendah, aku tahu mereka pernah membegal kawalanmu. Tapi itu kejadian dulu. Sekarang mereka sudah cuci tangan dan tidak berbuat begitu lagi. Mereka telah jadi pengawal di rumahku. Karena itu aku sengaja mengajak mereka ke sini agar mereka menghapus masalah lama itu! Bagaimana?"

"Ucapan Pangeran-muda terlalu berlebihan, sebenarnya kejadian yang menimpa perusahaan kami cuma masalah kecil, dan biasa di dunia Kang-ouw, sedikit selisih paham bisa dianggap selesai saja," kata Beng Teng.

"Beng Lo-piauw-thauw, kau sangat bijaksana," kata Wan-yen Hoo sambil tertawa. "Seperti kata peribahasa 'Tidak pernah bentrok berarti tidak akan saling kenal'. Maka itu untuk selanjutnya kalian bisa rukun dan akrab kembali."

Tan Piauw cs bersama An Tak dan rombongannya langsung memberi hormat pada Beng Teng secara bergiliran.

"Saudara Beng Teng," kata Tan Piauw, "jika bicara masa lalu, seharusnya aku berterima kasih kepadamu."

"Terima kasih mengenai apa?" kata Beng Teng. "Dulu jika aku tak kau kalahkan, sampai sekarang mungkin kami belum mau cuci tangan dan meninggalkan dunia hitam itu," kata Tan Piauw.

"Ah, aku malah belum mengucapkan selamat kepada kalian yang sudah mendapat kedudukan tinggi," kata Beng Teng. "Kalian beruntung mendapatkan majikan yang baik seperti Siauw Ong-ya, itu namanya nasib kalian yang beruntung sama sekali tak ada sangkut-pautnya denganku."

Sambil menyeringai Tan Piauw berkata pula:

"Ucapan saudara Beng ada benarnya. Kejadian dulu bagi kami bisa dikatakan dari celaka jadi bahagia. Kau sendiri akhirnya selamat, sungguh nasibmu sedang beruntung. Saudara Beng, ternyata dulu kami salah lihat! Calon pengantin perempuan yang kalian kawal itu kiranya berkepandaian tinggi."

Mendengar mereka menyinggung tentang Han Pwee Eng, Kok Siauw Hong tertarik.

"Apa mereka sudah tahu hubungan Han Pwee Eng dengan Hong-lay-mo-li hingga mereka sengaja datang menyelidikinya?" pikir Kok Siauw Hong.

"Saudara Beng," kata An Tak ikut bicara, "ada yang membuat aku bingung, maukah kau menjelaskannya padaku?"

"Maksudmu masalah apa, Saudara An Tak?" kata Beng Teng.

An Tak mengibaskan kipas lipat yang ada di tangannya sambil berkata, "Dulu ketika kau mengawal calon  pengantin itu, apa kau tidak tahu calon pengantin perempuan itu putri Han Tay Hiong yang terkenal itu?" "Itu masalah yang memalukan jika dibicarakan lagi," kata Beng Teng. "Yang aku ketahui, bahwa marga Han di Lok-yang itu kaya-raya. Baru kemudian kuketahui, kalau yang meminta putrinya dikawal itu Han Tay Hiong, jika aku tahu mana berani aku jadi pengawal putrinya!"

"Apa kau juga tidak tahu, siapa calon menantu Han Tay Hiong?" kata An Tak.

"Aku hanya dipesan untuk mengantarkan calon pengantin ke Yang-ciu, mengenai siapa calon menantu Han Tay Hiong tak kuketahui. Lagi pula untuk apa kuketahui?” kata Beng Teng.

"Sekarang pasti kau sudah tahu, bukan? Bahwa dia Kok Siauw Hong, kan?" kata An Tak.

"Pertanyaanmu ini aneh sekali, untuk apa aku harus mengetahuinya?" jawab Beng Teng kelihatan kurang senang. "Padahal kau pasti tahu bahwa pekerjaanku itu gagal karena tidak sampai ke alamat yang dituju! Di tengah jalan kembali terjadi masalah baru, esok harinya setelah kedatangan kalian telah terjadi sesuatu atas kami."

"Ya, aku pun pernah mendengar kejadian itu," kata An Tak, "orang yang mengambil "kirimanmu" itu Toa-siocia dari keluarga Ci dari Pek-hoa-kok, bukan?" kata An Tak

"Benar, maka jelas sudah bahwa aku tidak pernah bertemu dengan Kok Siauw Hong, mana mungkin aku punya hubungan baik dengannya?" kata Beng Teng agak kesal.

"Aku dengar Ci Sio-cia hanya bergurau dan dia mengembalikan "kirimanmu" itu," kata An Tak. "Bagaimanapun kejadian dulu itu kuketahui juga"

"Terus-terang, setelah gagal menjalankan tugasku, aku tidak punya muka untuk menemui Han Tay Hiong," kata Beng Teng. "Apalagi selama dua tahun ini aku berada di Tay-toh, mana aku tahu tentang mereka?"

"Aku dengar orang she Kok itu ada di Kang-lam dan dia membantu Bun Yat Hoan membentuk laskar rakyat. Maksudnya untuk melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Kim!" kata Tan Piauw dengan tajam.

Di tengah para tamu yang banyak sekali, Kok Siauw Hong masih mendengar pembicaraan mereka dengan jelas. Diamdiam Kok Siauw Hong merasa geli mendengar orang di sekitarnya membicarakan dia yang sebenarnya ada di depan mereka, tanpa diketahui oleh mereka!

Srigala Tua Tan Piauw berkata lagi.

"Aku dengar Pwee Eng sekarang ada di tempat Hong- laymo-li. Seperti Kok Siauw Hong calon suaminya, dia memusuhi Kerajaan Kim. Masa Saudara Beng tidak tahu?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar