Beng Ciang Hong In Lok Jilid 55

 
Sebelumnya jago Mongol ini belum pernah diperlakukan begitu sinis oleh siapapun, semula dia marah bukan main, tapi dia tetap berusaha menyabarkan hatinya.

"Aku tahu kau kesal pada mertuamu, tapi sebaiknya kau bergabung dengannya!" kata Uh-bong. "Mari ikut kami ke Taytoh. gi sana kau akan kuperkenalkan pada Wan-yen Ong-ya, sambil menunggun sampainya mertuamu di Tay- toh! Dulu setahuku ayahmu pun ingin membantu bangsa Mongol, karena itu lebih baik kau bergabung dengan kami untuk meneruskan keinginan ayahmu dulu itu! Aku pun berharap kau bisa rukun dengan mertuamu. Apalagi guruku pun ada di sana, beliau pasti girang dan aku yakin beliau mau mengajarimu ilmu silat tinggi!" Dengan angkuh Lhama itu bicara sedang tangannya bergerak-gerak di atas meja. Selesai bicara saat dia angkat tangannya meja itu meninggalkan tanda bekas seolah terkena goresan benda keras.

"Aku tak suka mendengar nasihatmu!" kata Kong-sun Po. "Semua kata-katamu itu menyebalkan!"

Kong-sun Po pun mengusap meja batu itu hingga muncul debu batu yang hancur oleh tenaga dalamnya. Sekarang legokan di meja batu sudah hilang. Melihat hal itu bukan main kagetnya Uh-bong.

"Kurangajar! Kau berani menghina ayahmu?" kata Uh- bong.

"Malah aku bangga karena aku anak seorang pengkhianat!" kata Kong-sun Po mengejek. "Karena aku punya cita-cita sendiri, tak perlu kau nasihati aku!"

Tiba-tiba keduanya bangun, telapak tangan Lhama itu menyerang ke muka anak muda itu, tapi Kong-sun Po segera mengangkat payungnya menangkis serangan itu. Uh- bong mengubah serangannya, dia mencengkram. Saat itu ujung payung Kong-sun Po mengenai tangan Uh-bong hingga dia merasa kesakitan.

"Awas!" teriak See-bun Chu Sek, tapi sudah terlambat. Maka tak ampun lagi Uh-bong terhajar oleh payung

Kong-sun Po yang menyambar dengan cepat.

"Mari kita bertarung di luar!" kata Kong-sun Po yang langsung melompat keluar. To-koh Heng tak tinggal diam, dia menghalanginya dengan membacok pemuda itu. Tapi serangan itu ditangkis oleh payung lawan hingga serangannya berubah arah, dan goloknya bengkok. See-bun Chu Sek tak sempat menghalangi anak muda itu, karena tak lama Kong-sun Po sudah berada di luar. "Kau mau kabur ke mana?" bentak Uh-bong. Dia coba mengejar.

Saat itu Kong-sun Po bisa saja kabur. Tapi anak muda  ini berpikir, dimana pun akan sama saja. Mereka pasti akan bertemu dan bertarung. Daripada mereka bergabung  dengan Kiong Cauw Bun, dan mereka akan lebih berbahaya.

Sekarang Kong-sun Po sudah bisa menduga bahwa kedatangan ayah Kiong Mi Yun pasti akan menaklukkan bajak di sungai Hong-hoo. Maka itu dia berusaha akan menggagalkan niat mertuanya itu.

Dengan sengaja dia tunggu sampai lawan menyusulnya. Mengetahui payung itu payung pusaka, Uh-bong ingin memilikinya. Pikir dia dengan dibantu dua kawannya, dia akan mampu mengambil payung itu dari tangan Kong-sun Po. Maka itu dia terus mengejar, sedikit pun Uh-bong tak menyangka, Kong-sun Po akan menghentikan larinya. Tiba-tiba dia mengayunkan payungnya ke belakang.

Bukan main kagetnya Uh-bong diserang demikian. Buruburu dia menghindar dan menjatuhkan diri agar tak terserang payung lawan. Tapi sayang serangan Kong-sun  Po ini gagal, dia menyesal sekali. Saat dia menyerang lagi, Uh-bong sudah bangun dan telah membuka jubah merahnya. Saat serangan Kong-sun Po tiba, Uh-bong menangkis serangan itu dengan jubahnya.

Jika payung Kong-sun Po itu bentrok dengan benda sekeras apapun, benda itu akan hancur. Tapi payung itu mengenai jubah merah lawan yang lunak, sekalipun ujung payung menusuk tepat, tapi jubah itu tetap tak berlubang.

Menghadapi lawan bersenjata lunak, payung Kong-sun Po seolah terbelit dan mengikuti gerakan jubah itu.  Dengan demikian gempuran Kong-sun Po pun terhambat hanya mampu menghantam dengan hebat. Keras lawan lunak akhirnya mereka jadi seimbang. Keduanya sama-sama ulet, tapi tak bisa saling mengalahkan.

Mereka bertarung mengadu tenaga dalam. Kong-sun Po mengangkat payungnya dan menghantam jubah lawan hingga jubah itu bergerak ke samping. Bukan main marahnya Uh-bong

"Mari maju, agar kau kenal ilmu Liong-siang-sin- kangku!" kata Uh-bong.

Sambil berkata Uh-bong menyerang hebat, kedua tangan mereka bentrok satu sama lain. Karena bentrokan itu keduanya mundur. Hal itu bukan karena Kong-sun Po kalah tenaga, tapi sebagian tenaganya dia kerahkan ke payungnya. Maka tak heran dia kelihatan terdesak. Kong- sun Po kagum oleh kelihayan lawan yang ternyata seorang tokoh jago Liongsiang-sin-kang. Soal tenaga dalam sebenarnya Kong-sun Po tidak kalah. Karena separuh tenaganya dikerahkan ke payungnya maka tenaganya sedikit berkurang.

Karena senjata Uh-bong sebuah jubah yang sifatnya lunak dan ringan sekali, tentu saja tenaga yang dia gunakan ringan juga. Ketika melawan payung Kong-sun Po yang berat sekali memang tak seimbang penggunaan tenaganya.

Serangan Kong-sun Po yang gencar itu membuat Uh- bong harus waspada. Salah-salah dia bisa terluka oleh payung lawan.

Tak lama dua kawan Uh-bong sudah sampai di tempat mereka bertarung. Sebenarnya To-koh Heng maupun See- bun Chu Sek pernah dikalahkan Kong-sun Po. Tapi mereka pikir jika pemuda itu mereka keroyok bersama-sama, masakan mereka kalah. Setelah pemuda itu mereka keroyok memang keadaan Kong-sun Po mulai terdesak dan hampir terkena senjata lawan. Kong-sun Po agak bingung juga. Jangankan mengalahkan mereka untuk kabur saja dia sekarang kesulitan bukan main. Sekarang  keringatnya sudah mengucur di dahinya. Ketika itu Uh-bong mengebut dengan jubah merahnya. Sedang sebelah tangannya menghantam ke arah lawan.

Kong-sun Po mengelak, kesempatan ini tak disia-siakan oleh See-bun Chu Sek. Dia langsung menyerang dari samping. Dia hantam punggung lawan. Kong-sun Po tak tinggal diam, serangan itu dia tangkis sambil berbalik ke belakang. See-bun Chu Sek terdorong mundur. Tentu saja hal ini membuat See-bun Chu Sek girang. Ujung jari See- bun Chu Sek telah menyentuh punggung Kong-sun Po.

Kong-sun Po tahu itu pukulan beracun karena jurus itu milik keluarganya, sedang See-bun Chu Sek sengaja menunggu sampai tenaga Kong-sun Po berkurang, baru dia menyerang. Saat dia terdorong mundur, dia lihat wajah Kong-sun Po mulai kebiru-biruan. Itu tandanya dia sudah terserang oleh racun pukulannya.

"Dia sudah terkena pukulanku, pasti tak akan tahan lama!" kata See-bun Chu Sek.

Tak lama langkah Kong-sun Po mulai limbung. Melihat lawan mulai sempoyongan dan pukulannya mulai kacau, lawan Kong-sun Po girang bukan main, karena dia yakin pada ucapan See-bun Chu Sek, To-koh Heng maju sambil mengayunkan golok ke arah lawan. Sungguh di luar dugaan, saat itulah yang memang ditunggu-tunggu. Saat golok lawan menyambar, Kong-sun Po menyentil golok itu dengan jarinya.

"Cring!" Golok To-koh Heng terlepas dari tangannya. Kemudian Kong-sun Po menghantamkan payung ke jubah Uh-bong dengan hebat. Karena serangan ini tak mampu ditangkis oleh Uh-bong yang segera mengerahkan tenaganya dan baru dia berhasil bertahan.

See-bun Chu Sek kaget. Untung dia tidak langsung ikut menyerang lawan sehingga dia tidak terhajar oleh lawan. Dia heran kenapa Kong-sun Po yang kelihatan keracunan, tiba-tiba saja bisa bertambah tenaga dan mampu melawan. Sebelum tahu apa sebabnya, Kong-sun Po mengejeknya.

"Hm! Ilmu pukulanmu masih perlu kau latih sepuluh tahun lagi. Tapi tak kau sadari kau sudah keracunan! Segera kau pulang selamatkan dulu dirimu! Jika terlambat, jiwamu akan melayang!" kata Kong-sun Po.

Mendengar kata-kata itu, See-bun Chu Sek kaget bukan kepalang. Benar saja tak lama terasa telapak tangannya gatal, dan kepalanya pun pening. Ternyata racun Hiat-kut- ciang bagi Kong-sun Po tak asing lagi. Saat dia masih kecil pun dia sudah terkena racun itu, ibunya yang merawat dia hingga sembuh. Beng Beng Tay-su mengajari dia tenaga dalam murni.

Gemblengan sejak kecil ternyata membuat Kong-sun Po tangguh terhadap racun, maka itu dia berani bentrok dengan See-bun Chu Sek. Sesudah tahu bahaya mengancam dirinya, See-bun Chu Sek tak berani bertarung lebih lama lagi. Dia membalikkan tubuhnya dan langsung kabur. Sekarang tinggal Uh-bong sendiri. Dia harus bertarung mati-matian.

"Bangsat!" kata Uh-bong. "Aku akan adu jiwa denganmu!"

"Mari kita mulai," kata Kong-sun Po. Sekalipun mulutnya menantang, tapi Uh-bong sudah mulai jerih. Setelah menyerang dua tiga kali lagi, dia berpikir lebih baik kabur. Tapi untuk itu dia tak mampu melakukannya karena Kong-sun Po sudah mendesak dengan seranganserangan mautnya.

Semula Uh-bong mengira lawannya kelelahan karena menghadapi tiga orang lawan, ditambah lagi jubah merah dia mampu mengimbangi payung Kong-sun Poyang lihay. Maka itu dia gunakan jubahnya untuk diputar dan menyerang ke arah lawan. Dia juga menggunakan tangannya untuk menyerang. Sekarang Kong-sun Po sudah mengubah cara berkelahinya, payung besinya dia pentang, dia berusaha menggulung jubah merah lawan.

Serangan yang dilancarkan Kong-sun Po membuat Uh- bong kaget. Dia mulai terdesak mundur dan berusaha menghindari setiap serangan payung lawan yang ganas.

Saat itu Kong-sun Po mendapat kesempatan, lalu dengan payung besinya dia cungkil jubah lawan dan dia berhasil melubangi jubah merah lawan. Uh-bong kaget! Apalagi payung lawan langsung menusuk ke tubuhnya. Terpaksa Uh-bong mundur. Tapi sebelum dia bisa berdiri dengan tetap, serangan datang lagi. Terpaksa dia berusaha keras melawan keras! Dia coba menangkap payung lawan dan berhasil memegang ujung payung itu. Tiba-tiba tangan Kong-sun Po menyerang dengan dibarengi serangan payung besinya.

Sekarang Uh-bong dalam bahaya. Jika dia lepaskan ujung payung itu tubuhnya akan tertusuk. Tapi jika dia kerahkan tenaganya menahan payung lawan, pasti dia tak akan sanggup menangkis serangan tangan lawan yang dasyat. Terpaksa Uh-bong menangkis serangan lawan, dengan menunduk lalu melepaskan payung lawannya. Dia gunakan kedua telapak tangannya untuk menangkis pukulan Kong- sun Po. Karena Uh-bong menunduk untuk menghindari serangan payung, serangan itu lewat di atas bahunya. Kong- sun Po yang serangannya gagal langsung mengubah gaya berkelahinya. Tusukan yang tadi gagal dia ubah menjadi sebuah pukulan. Karena serangan itu demikian cepat tak ampun lagi bahu Uh-bong terhajar keras.

"Kreek."

"Aduh!" teriak Uh-bong.

Tulang bahu Uh-bong retak terhajar payung yang berat itu.

Uh-bong yang terluka sekarang tak mampu menghadapi serangan gencar lawan. Sekalipun tenaga dalamnya seimbang, tapi karena karena dia terluka dia kesakitan, maka gerakannya jadi terganggu sekali. Tak lama terdengar suara keras.

"Duuk!"

Tubuh Uh-bong terlontar cukup jauh dan muntah darah. Dalam keadaan terluka Uh-bong berusaha bangun dan kabur.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Ketika melihat Uh-bong kabur Kong-sun Po berusaha akan mengejarnya. Tapi tiba-tiba tenggorokannya terasa tak enak,  dadanya  seolah  bergolak.  Maka  itu  Kong-sun  Po menghentikan langkahnya dab segera menenangkan diri. Mungkin akibat dia terlalu mengeluarkan tenaga ditambah dia terluka dalam, untung lukanya tidak parah. Maka itu Kong-sun Po tak mengejar Uh-bong karena kuatir lukanya akan bertambah parah.

Kong-sun Po langsung duduk untuk mengatur napas dan coba berusaha tenang untuk menyembuhkan luka dalam

yang dideritanya. Tibatiba dia kaget saat

dekatnya.

"Kong-sun Po, kau telah melukai keponakanku,

sekarang bagaimana kita berhitungan?" kata orang itu sambil tertawa.

Bukan main kagetnya Kong-sun Po saat itu. Sebelum bisa berbuat apa-apa, seorang kakek sudah berdiri di depannya. Orang itu dikenalinya yaitu See-bun Souw Ya.

Sesudah mengawasi sejenak, Kong-sun Po memegang payungnya eraterat dan membentak.

"Jika kau mau silakan maju!" kata Kong-sun Po.

Tadi karena Kong-sun Po bertarung mati-matian tenaganya belum pulih benar. Sekarang datang lagi seorang lawan yang dia tahu sangat tangguh dan licik. Mau tak mau Kong-sun Po pun gentar juga. Sambil tertawa sinis See-bun Souw Ya mengejek.

"Kau jangan cemas aku tak akan membunuhmu," kata See-bun Souw Ya. "Tapi yang ingin kutahu, bagaimana kau melukai keponakanku? Sekarang kau boleh melakukannya terhadapku! Mari kita bertarung! Tapi jika kau takut lebih baik kusudahi sampai di sini, asal kau mau berlutut tiga kali di depanku!"

"Bajingan, kau jangan bicara seenakmu!" bentak Kong- sun Po. "Sebagai seorang eng-hiong sampai matipun aku tidak akan berlutut di depanmu. Jika kau mau membunuhku silakan kalau kau bisa melakukannya!"

Kong-sun Po langsung siaga dengan payung besinya. "Dasar bocah bandel! Rasakan seranganku!" kata See-

bun Souw Ya.

Dia pun segera mengibaskan tangannya. Tanpa terasa tangan Kong-sun Po kesemutan, hampir saja payung besinya terjatuh. Jika dalam keadaan sehat payung besi yang berat itu menjadi senjata ampuh bagi Kong-sun Po. Tapi sekarang karena tenaganya belum pulih, senjata itu malah menjadi beban yang berat baginya. Maka tak heran jika Kong-sun Po jadi terdesak hebat. Bahkan menahan berat payungnya pun dia sudah hampir-hampir tak mampu. Tiba-tiba See-bun menyerang.

"Lepaskan senjatamu!" bentak See-bun Souw Ya.

Telapak tangan See-bun Souw Ya menghantam ke telapak tangan Kong-sun Po. Buru-buru Kong-sun Po coba memutarkan payung besinya untuk balas menyerang lawannya. Sayang tenaga Kong-sun Po tak mampu melakukannya.

See-bun Souw Ya maju, tangannya bergerak cepat. Tahutahu payung Kong-sun Po sudah berpindah tangan, lalu dia buang. Sambil tertawa terbahak-bahak, See-bun berkata nyaring.

"Kong-sun Po, lebih baik kau gunakan ilmu racunmu!" kata See-bun Souw Ya. Kong-sun Po tahu See-bun Souw Ya berniat memancing dia agar dia menggunakan ilmu pukulan rahasianya. Maka itu dia sengaja tak menggunakan pukulan yang diharapkan lawannya dan hanya menggunakan ilmu silat ajaran Ciu Cioh alias Kheng Ciauw saja!

Jurus Tay-heng-pat-sek ilmu silat kelas satu, tapi karena keadaan Kong-sun Po terluka parah, kekuatan yang dapat dikeluarkannya tidak ada tiga bagiannya. Jadi tak heran baru beberapa jurus dia kembali terdesak oleh See-bun Souw Ya yang menyambut pukulannya dengan keras melawan keras. Ketika keempat telapak tangan mereka itu beradu, tangan See-bun Souw Ya seperti melekat ke tangan Kong-sun Po dan sukar terlepas.

Telapak tangan Kong-sun Po terasa gatal dan ngilu, dia tahu lawan menggunakan dua macam ilmu berbisa, yaitu Hukut-ciang di tangan kiri dan Hoa-hiat-to di tangan kanan.

Kong-sun Po sadar bahwa lawan ingin mencelakakan dirinya. Walau tak takut mati tapi dia tidak mau mati di tangan See-bun Souw Ya. Maka itu Kong-sun Po yang tak mau menggunakan pukulan beracun, terpaksa menggunakanmya!

Memang dia pernah mendapat pelajaran dari Beng Beng Tay-su, saat itu dia menggunakan ilmu berbisa milik keluarga ibunya. Walau tenaga dalam Kong-sun Po masih kalah oleh See-bun Souw Ya, tapi kali ini serangannya istimewa. Serangan itu membuat See-bun Souw Ya kaget, tapi juga girang karena sekarang dia tahu ada cara mengerahkan ilmu berbisa seperti yang dilakukan lawannya.

"Ah, luar biasa bocah ini, serangannya lebih bagus dibanding ilmu silat ayahnya!" pikir See-bun Souw Ya. Saat itu See-bun Souw Ya mengerahkan seluruh kekuatannya, tak heran Kong-sun Po kepayahan. Ibarat sebuah lampu dia hampir kehabisan minyak. Kong-sun Po mulai mengeluh, dia yakin bakal celaka di tangan See-bun Souw Ya. Ketika pemuda ini akan berbuat nekat, tiba-tiba See-bun Souw Ya mengendurkan serangannya.

"Aku kira tenagamu semakin lemah, maka itu istirahatlah dulu nanti baru kita lanjutkan lagi. Aku bijaksana terhadapmu, bukan?" kata See-bun Souw Ya.

Sekarang Kong-sun Po tahu si iblis bermaksud memancing Kong-sun Po agar mengeluarkan ilmu berbisanya. Lawan ingin menyadap inti sari ilmu dari itu lawannya. Walau dia tahu cara Kong-sun Po menggunakannya, tapi sayang dia tidak tahu caranya.  Maka itu dia memberi waktu agar pemuda itu bisa istirahat. Nanti saat bertarung lagi dia akan mengamati gerakan anak muda itu dengan cermat. See-bun Souw Ya sama sekali tak tahu kalau lawan menggunakan lwee-kang ajaran Beng Beng Tay-su.

Maka itu ketika mereka bertarung berkali-kali mereka beradu tangan, See-bun tetap tidak bisa mengetahui cara bagaimana Kong-sun Po menggunakan ilmu itu. Selang sekian lama keadaan Kong-sun Po semakin lemah bahkan tak sanggup lagi melakukan perlawanan. Melihat lawan kepayahan See-bun Souw Ya tertawa.

"Jika kau ingin selamat kau harus ikut aku ke Tay-toh!" kata See-bun Souw Ya sambil menyerang.

Walaupun berkali-kali Kong-sun Po terjatuh, dia tak mau menyerah.

"Bagaimana?"

"Aku tak akan menyerah!" kata Kong-sun Po. Pemuda ini mulai nekat, jika didesak dia akan bunuh diri. See-bun Souw Ya tertawa.

"Hai anak muda, kau seperti mau hidup tak bisa, mati pun sulit," kata See-bun. "Sebaiknya kau ikuti nasihatku, mungkin jiwamu akan selamat!"

Sambil tertawa See-bun mendekati Kong-sun Po yang akan dia cengkram. Saat itu merupakan detik-detik berbahaya bagi anak muda itu. Kong-sun Po yakin dia tak akan lolos dari cengkraman See-bun yang ganas itu. Tapi....

Pada detik yang paling kritis bagi Kong-sun Po terdengar suara orang mengejek See-bun Souw Ya.

"Dasar manusia tak tahu malu, beraninya cuma kepada orang yang lemah!" kata suara itu.

See-bun Souw Ya kaget bukan kepalang karena suara itu dikenalinya. Memang orang itu adalah Wan Ceng Liong dari Beng-shia-to. Orangnya belum muncul suaranya sudah terdengar. Wan Ceng Liong kuatir dia tak mampu menyelamatkan Kong-sun Po, maka itu dia sengaja bicara dulu sebelum sampai. Maksud Wan Ceng Liong untuk menggertak See-bun Souw Ya agar iblis itu menghentikan serangannya

Sesudah sadar tertipu oleh gertakan lawan, dia berbalik lagi hendak mencengkram Kong-sun Po yang sudah tak berdaya itu Tapi sudah terlambat karena Wan Ceng Liong sudah sampai dan langsung berdiri di depan Kong-sun Po untuk melindungi anak muda itu. Saat See-bun Souw Ya mendekatinya, Wan Ceng Liong mengibas dengan lengan bajunya. Lengan baju Wan Ceng Liong robek, tapi See-bun Souw Ya pun terdorong keras ke belakang oleh kibasan Wan Ceng Liong. "Kita tidak bermusuhan, tapi kenapa kau ikut campur urusan-ku?" kata See-bun Souw Ya.

"Kenapa aku ikut campur, itu urusanku!" jawab Wan Ceng Liong. "Tapi yang jelas aku muak melihat caramu menghina seorang anak muda!"

Bukan main marahnya See-bun Souw Ya. Dia serang Wan Ceng Liong. Tapi orang she Wan ini sudah siap. Sesudah bentrok sekali lagi, See-bun mundur dan tertawa.

"Baiklah, kau boleh bawa dia!" kata See-bun Souw Ya. "Jelas dia tak boleh jatuh ke tanganmu, tapi kau juga tak

bisa pergi begitu saja!" kata Wan Ceng Liong.

"Aku sudah mengalah padamu, apa lagi yang kau inginkan?"

"Sudah saatnya kau kembalikan barang milik orang yang kau curi itu, kau serahkan kitab itu padanya!" kata Wan Ceng Liong.

"Apa kau bilang?" kata See-bun Souw Ya kaget.

"Aku cuma minta agar kau kembalikan kitab itu kepadanya! Ingat dosamu tidak ringan. Aku rasa itu adil!" kata Wan Ceng Liong.

"Hm! Jadi kau juga menginginkan kitab keluarga Suang?" kata See-bun Souw Ya.

"Terserah apa maumu, yang kuminta kau kembalikan kitab itu padanya!" kata Wan Ceng Liong.

Sekalipun agak jerih pada Wan Ceng Liong, menyerahkan kitab itu jelas dia tak rela. Maka itu dia berkata lagi.

"Jika kau bisa silakan kau ambil sendiri!" kata See-bun Souw Ya dengan berani. "Baik, aku menuruti permintaanmu!" kata Wan Ceng Liong.

Tak lama terjadi pertarungan antara Wan Ceng Liong dan See-bun Souw Ya. Saat kedua tangan mereka bentrok, See-bun Souw Ya melompat mundur dan mengawasi lawannya tak lama kelihatan hawa hitam itu langsung lenyap. Melihat hal itu See-bun Souw Ya kaget, dia sadar ilmu silat lawannya lebih tinggi. Dia yakin ilmu racunnya tak akan mampu mengalahkan Wan Ceng Liong.

"Mana Hua-hiat-tomu, ayo gunakan!" tantang Wan Ceng Liong.

"Jadi kau ingin tahu, rasakan ini!" kata See-bun Souw Ya.

Dibanding dua macam ilmu beracun keluarga Suang, Hoahiat-to lebih lihay dari Hu-kut-ciang. Sesudah dia sambut satu pukulan itu, wajah Wan Ceng Liong kelihatan agak hitam tapi hanya sebentar sedang See-bun Souw Ya terdorong oleh pukulan Wan Ceng Liong beberapa langkah jauhnya.

"Sekarang Hoa-hiat-to-mu sudah kucoba, apa lagi kepandaianmu?" kata Wan Ceng Liong.

Tantangan itu membuat See-bun Souw Ya sadar, bahwa sulit untuk bisa kabur dari tangan orang itu. Bertarung keras lawan keras, pasti mereka berdua yang akan terluka parah karena tak ada lain jalan akhirnya dia berpikir.

"Jika kuserahkan kitab ini padanya, pasti kelak dia akan terserang racun ilmu itu, jika dia mempelajarinya." pikir See-bun Souw Ya, maka itu dia langsung berkata.

"Wan To-cu, kita sudah kenal lama dan aku tahu pribadimu. Kau jangan berlagak alim, mari kita bicara secara  terbuka.  Kau  berniat  menyerahkan  kitab  itu pada seseorang yang mungkin juga dia sahabatku. Kalau begitubagaimana kalau kita sudahi perkelahian ini?" kata See-bun Souw Ya.

Wan Ceng Liong heran, karena lawannya bisa menerka tujuannya.

"Apa dia sudah mendengar dari Kiong Cauw Bun bahwa aku diperintah mengambil kitab itu?" pikir Wan Ceng Liong.

Menyaksikan Wan Ceng Liong diam saja, See-bun Souw Ya tertawa terbahak-bahak.

"Benar kan kata-kataku?" kata See-bun Souw Ya.

Saat itu Wan Ceng Liong tertegun, dia jadi ragu. Dia tak yakin kalau Kiong Cauw Bun mau berterus-terang menginginkan kitab itu.

"Jika aku gunakan muslihatku, aku yakin keduanya akan tertipu olehku!" pikir Wan Ceng Liong.

Kemudian Wan Ceng Liong tertawa terbahak-bahak. "Silakan kau terka, mau kuapakan kitab itu? Jika

dugaanmu benar, sesudah kitab ini ada di tangan temanmu maka kitab ini pasti akan kembali lagi kepadamu!" kata Wan Ceng Liong.

Karena See-bun SouwYa yakin kitab itu akan dimiliki sendiri oleh orang she Wan itu, dia akan menyerahkannya. Siapa tahu jika Wan Ceng Liong salah mempelajari kitab itu, dia akan terserang racun ilmu itu sendiri. Karena berpikir demikian See-bun langsung mengeluarkan kitab itu lalu dia lemparkan pada Wan Ceng Liong.

"Terima ini!" kata See-bun Souw Ya.

Wan Ceng Liong langsung menyambut kitab itu. "Eh, asli atau palsu kitab ini? Jika palsu, kelak kau tak akan lolos dari tanganku!" kata Wan Ceng Liong.

"Mana berani aku menipu anak muda itu, ini kan pusaka keluarganya. Lagipula mana berani aku membohongimu!" kata See-bun Souw Ya.

"Baik silakan kau pergi!" kata Wan Ceng Liong.

Sesudah See-bun pergi Wan Ceng Liong mendekati Kong-sun Po. Dia periksa keadaan luka anak muda itu dengan hatihati.

"Paman Wan ada yang akan kuberi tahu padamu," kata Kong-sun Po.

Wan Ceng Liong menggoyangkan tangannya.

"Kau jangan bicara dulu, kau banyak kehilangan tenaga. Akan kulancarkan dulu jalan darahmu!" kata Wan Ceng Liong.

Sesudah itu dia kerahkan tenaga dalamnya untuk mengobati Kong-sun Po. Tak lama dari kepala Kong-sun  Po keluar uap, wajahnya yang semula pucat sudah  kelihatan segar kembali. Wan Ceng Liong memuji kehebatan tenaga dalam anak muda itu.

"Terima kasih,Paman Wan," kata Kong-sun Po.

"Jangan see-ji (sungkan), jika tenagamu sendiri tak baik, kau tak bisa segera sembuh begitu cepat! Tapi walaupun begitu kau perlu istirahat!" kata Wan Ceng Liong.

"Aku sudah sanggup berjalan, untuk menghemat waktu aku harus pergi. Jika aku ditemani oleh Paman Wan apa yang aku takutkan lagi?" kata Kong-sun Po.

Wan Ceng Liong heran dari mana anak muda itu tahu kalau dia akan menemaninya? Tanpa menanyakan hal itu, dia berkata. "Tadi kau bilang kau akan memberitahu sesuatu, katakan saja mengenai apa?" kata Wan Ceng Liong.

"Mengenai putrimu aku sudah tahu mereka ada di mana." kata Kong-sun Po.

Bukan main girangnya Wan Ceng Liong. "Dia ada di mana?"

"Bersama Ci Toa-ko!" kata Kong-sun Po. "Tapi mereka ditangkap Kiong Cauw Bun!"

"Jadi kau ke Uh-seng untuk mengejar mereka? Tadi kau pun bertarung sengit dengan See-bun!" kata Wan Ceng Liong. "Kau setia kawan, aku tak tahu bagaimana aku harus berterima kasih padamu?"

"Paman jangan berkata begitu, putrimu pun pernah menyelamatkan aku, sedangkan Ci Toa-ko itu sahabatku," kata Kong-sun Po.

"Bagaimana putriku bisa menolongimu, sedang kepandaiannya saja di bawah kepandaianmu," kata Wan Ceng Liong.

"Sekalipun Kiong Cauw Bun calon mertuaku, aku tak tunduk kepadanya. Maka itu dia pernah akan membunuhku. Ketika aku dikejar olehnya, syukur aku bertemu dengan putrimu, dan dia berhasil membohongi mertuaku. Putrimu menunjukkan jalan yang salah yang kutempuh, dan mertuaku menyusul aku ke arah yang salah itu!"

"Jadi begitu ceritanya," kata Wan Ceng Liong. "Sudah kudengar kalau kau dan mertuamu tak cocok, maka itu aku punya sebuah ide. Aku yakin dia bersedia mengambilmu sebagai menantunya!" Mendengar kata-kata itu wajah Kong-sun Po berubah karena malunya.

"Terima kasih atas perhatian Paman Wan, tapi... tapi..." Kong-sun Po tak bisa meneruskan kata-katanya.

"Jangan see-ji," kata Wan Ceng Liong sambil tertawa. "Sekalipun kita baru kenal aku menyukaimu, baiklah akan kubantu kau dalam masalahmu itu!"

Sesudah itu kitab pusaka keluarga Suang itu dia serahkan pada Kong-sun Po. Sambil tersenyum Wan Ceng Liong berkata, "Kitab ini kitab pusaka keluarga ibumu, apa benar buku ini asli?"

Sesudah menerima kitab itu Kong-sun Po membalik- balik halaman kitab itu, dia lihat ada tanda tangan ayahnya almarhum. Kelihatan Kong-sun Po berduka.

"Paman kitab ini asli," kata Kong-sun Po. "Benda inilah yang telah membuat orang-orang celaka! Kata Ibuku kematian Ayahku selain jahat, dia juga celaka karena salah mempelajari kitab ini!"

"Sudah, kau jangan berduka," kata Wan Ceng Liong. "Aku tahu dia menderita Cauw-hwee-jip-mo dan menyesal. Sejujurnya walau ayahmu bukan orang baik, tapi karena mempunyai anak sepertimu, dosanya yang besar sebagian bisa ditebus.... Kau katakan kitab ini benda yang banyak mencelakakan orang. Sedang di kalangan kaum hitam, benda ini dianggap benda pusaka kalangan Kang-ouw!"

"Terima kasih, Paman. Aku tak ingin memilikinya, bagaimana kalau kita bakar saja kitab ini?" kata Kong-sun Po.

"Jika kau tak ingin memilikinya, bagaimana jika untuk sementara kitab itu kupinjam?" kata Wan Ceng Liong. "Silakan saja, Paman. Apalagi kitab ini Paman yang mendapatkannya," kata Kong-sun Po. "Hanya saja sekalipun kitab ini sudah banyak diberi catatan cara mempelajarinya oleh Ayahku, tapi tetap saja berbahaya dan bisa menyebabkan orang celaka!"

"Kau benar, jika saja kitab ini sempurna, mana mau See- bun Souw Ya mengembalikannya kepadaku," kata Wan Ceng Liong. "Karena buku ini sangat aneh maka aku ingin melihatnya saja, bukan untuk mempelajarinya!"

"Lalu jika bukan untuk dipelajari untuk apa kitab itu?" "Terus-terang aku berhutang budi kepada seseorang dan

berjanji akan membantu mencarikan kitab ini untuknya," kata Wan Ceng Liong.

"Pasti dia tidak tahu akibat mempelajari kitab ini?" kata Kong-sun Po.

"Benar, semula aku pun berpikir akan menghantam orang jahat dengan cara jahat pula!" kata Wan Ceng Liong..

Kong-sun Po tahu bahwa kitab itu untuk calon mertuanya.Tetapi walau dia tahu Kiong Cauw Bun jahat, untuk mencelakainya dengan cara jahat, dia segan melakukannya. Melihat Kong-sun Po ragu-ragu, Wan Ceng Liong berkata lagi.

"Pada orang baik kita harus berbuat baik, sebaliknya kepada orang jahat kita harus melawan dengan kejahatan juga! Maka itu aku pikir akan berbuat begitu. Tetapi sekarang tidak jadi kulakukan!"

"Apa pendapat Paman sekarang?"

"Akan kugunakan kitab ini sebagai alat perdamaian antara kau dengan mertuamu," kata Wan Ceng Liong sambil tertawa. "Mertuamu seorang tokoh persilatan, walau dia mampu mempelajari kitab ini, tapi dia akan terserang penyakit Cauwhwee-jip-mo. Dengan demikian pasti dia akan minta pertolonganmu untuk mengobati penyakitnya, kau mengerti maksudku?"

Kong-sun Po mengangguk, tanda dia mengerti apa maksud Wan Ceng Liong. Tapi cara itu tidak terpuji. Lama- lama dia pikir cara itu ada baiknya juga. Pada saat mertuanya minta tolong disembuhkan, dia bisa menasihatinya agar kembali ke jalan benar.

"Hal lainnya," kata Wan Ceng Liong, "See-bun Souw Ya dan Chu Kiu Sek merasa disaingi oleh mertuamu, sekalipun mertuamu sudah memihak pada Mongol. Maka itu mertuamu tak mudah mendapat tempat yang layak di sana, karena dua orang saingan mertuamu akan selalu memojokkan mertuamu. Jika kitab ini sudah aku serahkan pada mertuamu dan kedua orang itu tahu, mereka pasti akan bertambah benci pada mertuamu. Maka itu mertuamu akan mendapat kesulitan tinggal di sana. Aku yakin dia akan meninggalkan mereka!"

"Aku gembira jika mertuaku bisa kembali ke jalan yang benar, tapi sekarang putrimu berada di tangannya, jangan buang waktu, kita harus segera mencari mereka!" kata Kong-sun Po.

"Kau jangan cemas, dia tak akan menyusahkan putriku, karena dia menawannya dengan maksud memerasku. Pertama dia ingin menghindari perselisihan denganku, kedua dia ingin aku menepati janjiku. Sekarang kitab ini sudah ada di tanganku dan bisa kugunakan untuk tukar- menukar dengannya. Yang aku cemaskan justru kesehatanmu!" kata Wan Ceng Liong.

Kong-sun Po sadar bahaya atas dirinya, maka itu dia bersedia istirahat sehari lagi. Sedangkan Wan Ceng Liong terus membantu memulihkan kesehatan anak muda itu dengan tenaga dalamnya. Akhirnya kesehatan anak muda itu mulai pulih kembali. Tapi karena lambat sehari dia tertinggal beberapa jam oleh rombongan Kok Siauw Hong yang akan ke Tay-toh.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Rombongan Kok Siauw Hong tiba beberapa jam lebih dulu di Uh-seng. Saat itu Kiong Mi Yun tertawa sambil mendekati Han Pwee Eng lalu berkata.

"Cici Eng, ingatkah kau pada pertemuan kita yang pertama di tempat ini? Di rumah makan Ngi Nih Lauw  ini!" kata Kiong Mi Yun.

"Kau si nakal dan senang makan maka itu kau ingat pada makanan yang lezat di rumah makan ini!" kata Han Pwee Eng.

"Ya, kau yang tahu isi hatiku, sekarang aku menjamu kau untuk makan bersama!" kata Kiong Mi Yun.

Kemudian nona Kiong menoleh pada Jen Ang Siauw. "Rumah makan ini sangat terkenal di daerah Utara,

orang yang membuka rumah makan ini bernama Gie Tek, orang yang menemukan cara membuat arak istimewa!" kata Kiong Mi Yun menjelaskan.

"Tapi sebaiknya kita ke tempat Tiang-keng-pang dulu, setelah bertemu dengan Kong-sun Toa-ko baru kita ke rumah makan bersamanya," kata Kok Siauw Hong.

"Paling lambat nanti malam kita akan sampai di sana, mengapa terburu-buru?" kata Kiong Mi Yun. "Di rumah makan itu biasanya ramai, mungkin orang-orang dari Hong-hoo-ngopang pun ada di sana. Kita bisa minta bantuan mereka untuk mengantar kita ke tempatnya!" Mereka berempat masuk ke rumah makan itu. lalu mencari tempat duduk yang cocok agar bisa menikmati pemandangan Hong-hoo yang indah itu. Sesudah itu Kiong Mi Yun memanggil seorang pelayan..

"Eh, kau masih kenal padaku tidak?" kata Kiong Mi Yun. "Pasti kau ingat kan tapi kau jangan cemas,  kami tidak akan berkelahi lagi di tempatmu ini. Bagaimana keadaan Ang Pangcu, apa dia baik-baik saja?"

"Sayang sudah lama kami tak melihatnya," kata si pelayan.

Kata-kata nona Kiong tadi memang sengaja suaranya dia keraskan maksudnya agar menarik perhatian para tamu, bahwa nona Kiong punya hubungan baik dengan Ang Pang-cu di tempat itu.

Jawaban pelayan itu justru di luar dugaan nona Kiong. Padahal semula nona ini ingin tahu, apakah Kong-sun Po sudah datang atau belum? Dia tahu Kong-sun Po diutus oleh Hong-lay-mo-li dan pasti dia akan disambut dan diundang makan di tempat itu.

Hari itu tamu memang cuma belasan orang saja, ketika mendengar percakapan pelayan dan nona Kiong, satu- persatu tamu-tamu itu ngeloyor pergi, entah mengapa? Apa mereka takut? Memang di antara tamu itu terdapat anak buah Ang Kin, buru-buru dia pergi akan melapor kepada atasannya.

"Mari minum, ini arak bagus," kata Jen Ang Siauw. "Selain arak itu harum makanannya pun enak sekali ,"

kata Kiong Mi Yun.

Ketika kedua nona itu sedang menikmati arak dan makanan, sedangkan Han Pwee Eng dan Kok Siauw Hong justru tertarik pada syair yang terukir pada sebuah pigura di dinding rumah makan itu.

"Eh, kenapa kalian tak makan? Nanti makanan dan araknya dingin," kata Kiong Mi Yun.

Tak lama terdengar langkah kaki orang naik ke atas loteng. Salah seorang terdengar bicara.

"Arak di tempat ini enak, kalian harus mencobanya!" kata seorang tua.

"Karena kau bisa minum puluhan kati arak, malah aku kuatir mereka tak punya persediaan arak cukup banyak untukmu!" kata yang lain.

"Arak simpanan mereka pasti banyak, jangan takut,"  kata yang lain lagi. "Aku yakin kau tak akan bisa menghabiskannya. Tapi melihat caramu minum seperti kerbau, aku rasa kau tak akan mampu menikmati enaknya arak di tempat ini!"

Kiong Mi Yun kaget mendengar suara yang sangat dikenalnya itu, tanpa terasa hingga cawan arak yang ada di tangannya pun terjatuh tanpa disadarinya.

"Praang!"

Kok Siauw Hong kaget bukan kepalang.

Tak lama orang-orang itu sudah sampai di atas. Mereka ternyata datang bertiga, Kiong Cauw Bun, Kiauw Sek Kiang dan Ciong Bu Pa. Sedangkan Kiauw Sek Kiang dan Ciong Bu Pa pernah bertarung dengan Kok Siauw Hong di daerah Biauw. Dia heran kenapa mereka sekarang ada di tempat itu. Dia tahu melawan Kiong Cauw Bun saja sulit untuk mereka kalahkan, sekarang mereka datang bertiga. Saat itu Ciong Bu Pa sudah melihat Kok Siauw Hong bersama kawan-kawannya. "Eh, kebetulan kau ada di sini, aku justru sedang mencarimu!" kata Ciong Bu Pa.

Dia berjalan menghampiri Kok Siauw Hong dan langsung hendak mencengkramnya. Mendapat serangan itu, Kok Siauw Hong duduk dengan tenang-tenang saja. Saat serangan Ciong Bu Pa sampai, Kok Siauw Hong mengangkat sumpit di tangannya. Dia tusuk jalan darah di telapak tangan Ciong Bu Pa.

Melihat tangannya diserang, Ciong Bu Pa langsung menarik kembali serangannya. Tapi Kok Siauw Hong pun sudah menguba serangannya dengan jurus Cit-siu-kiam- hoat andalannya. Tak heran Ciong Bu Pa jadi kelabakan dan terdesak mundur.

"Jangan berkelahi, bukankah kalian ini kawan lama. Kenapa kau tak nikmati dulu makanan lezat ini?" kata nona Kiong.

Sambil bicara nona Kiong menjepit sebuah baso yang dia sodokan ke mulut Ciong Bu Pa. Ketika itu Ciong Bu Pa sedang sibuk menghindari serangan Kok Siauw Hong. Tak dia duga dia berhasil dipermainkan oleh nona Kiong. Baso itu masuk ke mulutnya dengan paksa. Bukan main gusarnya orang Ciong Bu Pa, dia berteriak-teriak. Suara Kiong Mi Yun yang saat itu sedang menyamar, membuat Kiong Cauw Bun langsung mengenalinya.

Melihat Ciong Bu Pa dikalahkan lawan, Kiauw Sek Kiang akan membantu anak buahnya itu. Tapi tak jadi maju karena dia lihat Kiong Cauw Bun keheranan. Dia yakin pasti ada sesuatu yang tak beres.

"Anakku jangan nakal!" kata Kiong Cauw Bun. "Dia jahat Ayah, selain mengganggu kawan-kawanku dia juga menyusahkan aku. Kenapa Ayah malah memarahiku?" kata Kiong Mi Yun aleman.

Ciong Bu Pa kaget ternyata orang itu putri Kiong Cauw Bun.

"Nak, kau ke mari!" kata Kiong Cauw Bun sabar.

Nona Kiong tahu apa maksud panggilan ayahnya itu, segera dia hunus belatinya dan dia arahkan ke dadanya.

"Lepaskan pisaumu! Apa maumu?" bentak Kiong Cauw Bun gugup.

"Untuk sesama sahabat aku siap berkorban, itu pepatah terkenal di kalangan Kang-ouw," kata Kiong Mi Yun dengan gagah. "Kami sudah bersumpah untuk sehidup dan semati!"

"Hm! Kau cuma ingat pada sahabatmu dan kau melupakan ayahmu!" kata Kiong Cauw Bun.

"Aku tak memusuhi Ayah, tapi jika Ayah memaksa lebih baik aku mati di depanmu!" kata nona Kiong.

Kiong Cauw Bun sudah tahu adat putrinya yang keras kepala itu, maka itu mau tak mau dia harus mempertimbangkan tindakannya.

"Sudah! Sudah! Semua bisa kita bicarakan baik-baik, kau jangan bunuh diri segala!" kata ayahnya yang mulai maju.

"Hentikan! Jika Ayah maju berarti Ayah menginginkan aku mati di sini!" kata Kiong Mi Yun.

Terpaksa Kiong Cauw Bun berdiri diam.

"Baik, jika kau mau pulang bersamaku, semua urusan Dunia Persilatan tak akan kucampuri lagi!" kata Kiong Cauw Bun. "Aku dengar Ayah memihak pada musuh, aku tak sudi hidup bersama bangsa asing!" kata Mi Yun.

"Jangan sembarangan bicara, kau menghina ayahmu, dasar anak bandel!" bentak Kiong Cauw Bun.

"Berbakti pada orang tua dan setia pada negara tak bisa dipisahkan," kata Kiong Mi Yun. "Jika mau Ayah boleh membunuhku!"

"Anakku, kita tak akan ke Ho-lin maupun ke Tay-toh, tapi kita akan pulang ke Hek-hong-to. Di sana kita bisa hidup tentram dan tak pergi lagi dari sana!" kata Kiong Cauw Bun membujuk.

"Benarkah itu Ayah?" kata Kiong Mi Yun.

"Kenapa aku harus membohongimu?" kata Kiong Cauw Bun.

"Kalau begitu, baiklah, Ayah kau kembali duluan, tunggu aku di Ta-to-kauw," kata Kiong Mi Yun.

Ta-to-kouw sebuah penyeberangan di sungai Yang- ceekiang.

"Tapi, nanti kau tak datang ke sana!" kata Kiong Cauw Bun sangsi.

"Jika ucapan Ayah bisa dipercaya, aku tak akan ingkar padamu, Ayah!" kata nona Kiong.

"Baik, aku berangkat sekarang," kata Kiong Cauw Bun. Tapi tiba-tiba terdengar suara nyaring.

"Trang!"

Belati di tangan Kiong Mi Yun terlepas dari tangannya. Belati itu terpental karena sebuah sumpit disambitkan Kiong Cauw Bun dan tepat ke sasaran. Tadi Kiong Cauw Bun berpura-pura setuju agar perhatian nona Kiong beralih, dengan demikian dia dapat menyerang pisau di tangan putrinya. Secepat kilat Kiong Cauw Bun menarik putrinya, sebelum Kok Siauw Hong bisa berbuat apa-apa. Melihat perubahan yang mendadak itu dan seruan Kiong Cauw Bun agar teman-temannya maju, tak disia-siakan oleh Kiauw Sek Kiang dan Ciong Bu Pa yang langsung maju.

"Kok Siauw Hong, kau mau lari ke mana?" kata Kiauw Sek Kiang.

Kok Siauw Hong membalikkan meja makan yang ada di depannya hingga terbalik, dia menyambut pukulan dahsyat Kiauw Sek Kiang. Meja itu hancur berantakan. Begitu pun mangkuk dan piring juga hancur. Pelayan rumah makan kaget dan ketakutan.

Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng menghunus pedang mereka akan mengeroyok Kiauw Sek Kiang. Di tempat lain Jen Ang Siauw menghadapi Ciong Bu Pa. Tidak kepalang sedirinya Kiong Mi Yun menyaksikan kejadian itu.:

"Ayah menipuku, untuk apa aku hidup?" kata Kiong Mi Yun yang dongkol dan sedih bukan main.

Nona Kiong berniat bunuh diri, tapi karena ayahnya ada di sampingnya dia tak berdaya.

"Kau jangan berpikir bodoh!" kata ayahnya. "Kenapa kau harus membela kawanmu mati-matian? Mereka itu bukan apaapamu dibanding Kong-sun Po! Aku tahu kau menyukai dia. Akan kucari dia sampai aku menemukannya. Aku sudah berjanji tak akan menyusahkan kawan- kawanmu. Apa yang kau cemaskan lagi?"

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- Kiong Mi Yun diam saja, tapi saat ayahnya menyebut nama Kong-sun Po, ini membuat Kiong Mi Yun sadar.

"Demi Kong-sun Po, aku harus tetap hidup!" pikir Kiong Mi Yun. Di tengah pertarungan Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng mampu menghadapi Kiauw Sek Kiang, sebaliknya Jen Ang Siauw terdesak oleh Ciong Bu Pa. Melihat hal itu Kiong Cauw Bun hanya mengangguk, dia tak ikut terjun ke dalam pertempuran.

Jen Ang Siauw dikejar Ciong Bu Pa. Tapi dengan cerdik nona Jen menghalangi Ciong Bu Pa dengan meja dan kursi yang sengaja dia dorong untuk menghalangi majunya lawan. Tak heran jika Ciong Bu Pa yang terhalang meja  dan kursi belum berhasil menangkap nona Jen. Saat menyaksikan gaya bersilat nona Jen, Kiong Cauw Bun mengenali ilmu silat Jen Thian Ngo.

"Saudara Ciong, hati-hati! Jangan lukai nona itu! Dia putri itu Jen Thian Ngo!" kata Kiong Cauw Bun.

Karena nona Jen terus berlarian sambil menggulingkan meja dan kursi, Ciong Bu Pa kelihatan tak sabar ingin segera mengahiri kejar-kejaran itu. Ketika Ciong Bu Pa mendengar seruan Kiong Cauw Bun dia mengangguk.

"Baik aku tahu!" kata Ciong Bu Pa.

Ciong Bu Pa menyingkirkan meja yang menghalanginya dengan menendangnya. Tak lama terdengar suara berisik meja dan kursi yang ditendang oleh Ciong Bu Pa. Maka itu tak heran ada kursi yang melayangjatuh ke arah tangga loteng, kebetulan saat itu seorang pemuda sedang berjalan naik ke atas loteng. Dengan sebuah payung, kursi itu dihalau ke atas. Saat meja itu terhantam payung, meja itu langsung berlubang. Di belakang anak muda itu muncul lagi seorang kakek mengikutinya.

"Hai, Kakak Po!" teriak Kiong Mi Yun yang girang bukan main.

Memang orang itu Kong-sun Po yang datang bersama Wan Ceng Liong. Jika dia bertemu dengan Kiong Cauw Bun itu tak mengherankan, tapi justru dia bertemu dengan nona Kiong, ini yang mengherankan dia. Saat itu dia girang, kaget bercampur jadi satu.

"Tenang adik Mi Yun, ayahmu tak akan menyusahkan kau!" kata Kong-sun Po.

"Baik, kau jangan hiraukan aku, kau bantu saja Cici  Jen!" kata Kiong Mi Yun.

Kiong Cauw Bun kaget.

"Eh, angin apa yang membawamu ke mari Saudara Wan?" kata Kiong Cauw Bun.

"Aku rasa kau tahu maksud kedatanganku!" kata Wan Ceng Liong. "Mana putriku?"

"Jadi kau mau mencari putrimu?" kata Kiong Cauw Bun.

"Kau jangan pura-pura bodoh," kata Wan Ceng Liong. "Aku sudah tahu kau menangkap putriku dan Ci Giok Phang, bukan?"

"Kau jangan marah, Saudara Wan, jika ada masalah bisa kita rundingkan." kata Kiong Cauw Bun.

Saat itu Ciong Bu Pa mendesak nona Jen hingga sampai ke dinding rumah makan. Tapi Kong-sun Po melompat ke arah Ciong Bu Pa.

"Jangan kau ganggu nona itu!" bentak Kong-sun Po. Karena belum tahu lihaynya anak muda itu, maka itu dia tak menghiraukan peringatan Kong-sun Po itu. Dia berbalik menghadapi anak muda itu, payung lawan dia cengkram. Ciong Bu Pa kaget saat tangannya menyentuh payung lawan dia merasakan sakit bukan main. Segera dia lepaskan cekalan pada payung itu. Melihat lawannya kesakitan Kong-sun Po tertawa.

"Kau jerih pada senjataku, baik kita bertarung dengan tangan kosong saja!" kata Kong-sun Po sambil melemparkan payung besinya ke arah nona Jen dan minta untuk dijaga.

Ciong Bu Pa maju dan menerkam bagaikan binatang buas, tangan mereka langsung bentrok. Begitu hebatnya mereka mengadu tenaga, lantai papan loteng jebol karena terinjak kaki Ciong Bu Pa. Hal ini karena kuatnya Ciong Bu Pa mengerahkan tenaga dalamnya. Akibatnya Ciong Bu Pa terperosok ke bawah, untung tangan Ciong Bu Pa masih berhasil meraih sisi lubang sehingga dia tidak terjatuh ke bawah sana.

Rambut Ciong Bu Pa dicengkram oleh Kong-sun Po, lalu diangkat ke atas. Sesudah ditotok lalu tubuhnya dilemparkan ke samping. Sial baginya, semula dia akan menawan nona Jen untuk disandera, sekarang malah dia yang dikalahkan oleh Kong-sun Po dengan mudah.

"Hentikan dulu, mari kita bicara baik-baik!" kata Kiong Cauw Bun.

Kiauw Sek Kiang mundur, Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng sempat bertemu dengan Kong-sun Po.

"Baik, cara bagaimana kau akan berunding denganku?" kata Wan Ceng Liong. "Bukankah kita sahabat lama?" kata Kiong Cauw Bun.

"Kau telah menangkap putriku, begitukah caramu memperlakukan seorang sahabatmu?" kata Wan Ceng Liong.

"Jangan kuatir," kata Kiong Cauw Bun. "Putrimu dan calon menantumu ada di tempatku, tapi karena persahabatan kita, sedikit pun aku tidak mengganggu mereka. Sekarang, apa maumu?"

"Kenapa masih bertanya? Lekas bebaskan putriku!" kata Wan Ceng Liong.

"Kau sudah tahu aturan Kang-ouw, soal teman itu lain lagi," kata Kiong Cauw Bun.

"Dengar kata-kataku, selain putriku juga putrimu harus kau tinggalkan di sini!" kata Wan Ceng Liong menambahkan.

"Apa syaratmu itu adil, sementara kau memperoleh kembali putrimu, kau tahan putriku?" kata Kiong Cauw Bun.

"Tadi Ayah bilang kau akan mempertemukan aku dengan Kakak Po," kata Kiong Mi Yun. "Kau tetap Ayahku dan kau tak pernah kehilangan putrimu!"

"Sial aku ini, dasarnya anak perempuan kalau sudah dewasa diambil orang!" keluh Kiong Cauw Bun.

"Jangan kuatir, adik Mi Yun, ayahmu pasti akan menyelesaikan masalah kita!" kata Kong-sun Po.

"Ah, ternyata Kakak Pomu lebih bijaksana darimu, setidaknya aku tidak terlalu sial!" kata Kiong Cauw Bun.

"Aku tidak berhitungan denganmu sudah bagus, kenapa kau bilang sial," kata Wan Ceng Liong. "Baik, demi persahabatan   kita   aku   akan   menyerahkan   suatu benda pusaka sebagai mas kawin anakmu! Maka itu kau jangan bilang kau sial!"

"Benda apa itu?" kata Kiong Cauw Bun dengan jantung berdebar-debar.

Wan Ceng Liong mengeluarkan kitab pusaka keluarga Suang.

"Kitab ini berhasil kurampas dari tangan See-bun Souw Ya, sedangkan kitab itu milik keluarga ibu Kong-sun Po. Maka aku rasa ini pantas sebagai mas kawin bagi pernikahan putrimu dengannya!"

"Bagaimana aku bisa tahu kalau kitab ini asli atau palsu?" kata Kiong Cauw Bun.

"Menantumu sudah memeriksanya, tidak mungkin palsu," kata Wan Ceng Liong.

"Sudah kuperiksa, ada tulisan Ayahku di dalamnya," kata Kong-sun Po ikut bicara.

"Selain sebagai tanda mata, ini berarti hutangku padamu sudah lunas!" kata Wan Ceng Liong.

"Baik, aku setuju, berikan kitab itu padaku, putrimu dan menantumu akan aku bebaskan. Sejak saat ini masalah kita selesai!" kata Kiong Cauw Bun.

"Bagaimana dengan adik Mi Yun?" tanya Kong-sun Po. "Sudah kuterima mas kawinmu, masakan putriku tidak

kuserahkan padamu?" kata Kiong Cauw Bun sambil tertawa. "Mi Yun, silakan kau ikut dengan Kong-sun Toako-mu!"

Kiong Mi Yun menangis gembira, dia pegang tangan Kong-sun Po erat-erat. Sesudah mengalami berbagai kendala  akhirnya  mereka  bisa  bersatu.  Tanpa malu-malu Kiong Mi Yun bersandar di dada pemuda itu di depan orang banyak.

Melihat perdamaian antara Kiong Cauw Bun dengan lawanlawannya, tentu saja hal ini membuat Kiauw Sek Kiang dan Ciong Bu Pa bingung. Memang perjanjian hutang Wan Ceng Liong gara-gara mereka. Sekarang pasti Wan Ceng Liong akan menghadapi mereka.

"Saudara Kiong, kita sahabatmu, apa yang kau putuskan sebaiknya kua pikirkan juga kami!" kata Kiauw Sek Kiang.

"Dia benar, tentang putrimu aku memang perlu bantuannya!" kata Kiong Cauw Bun. "Maka aku mohon urusanmu dengan mereka kau sudahi saja sampai di sini!"

"Apa maksudmu? Kau mau mencari masalah denganku?" kata Wan Ceng Liong.

"Karena putri dan calon menantumu ada di bawah pengawasan seorang kawan saudara Kiauw, terpaksa aku harus minta pertolongan dia untuk mengantarkan putri dan calon menantumu ke sini," kata Kiong Cauw Bun.

"Baik, sekarang mereka kuampuni, lain kali awas jika aku bertemu lagi dengan mereka maka mereka tak akan kuberi ampun!" kata Wan Ceng Liong.

Kiauw Sek Kiang senang sekali, dia menyatakan setuju dan mendekati Ciong Bu Pa dengan maksud hendak membuka jalan darah anak buahnya yang tadi ditotok oleh Kong-sun Po.

"Tunggu!" kata Wan Ceng Liong.

"Ada apa lagi?" tanya Kiauw Sek Kiang.

"Hm! Kau bodoh sekali tak tahu aturan kaum kang-ouw, sesudah putriku dan menantuku kau bebaskan baru kau boleh membawa anak buahmu!" kata Wan Ceng Liong. "Baik, kau jangan kuatir, Kiauw To-cu," kata Kong-sun Po sambil tertawa, "aku telah menotok kawanmu dengan ilmu Tiam-hiat yang khas, dia takkan mampus kau bebaskan, paling-paling dia kehilangan sebagian tenaga dalamnya saja sedikit!"

"Baik, akan kupenuhi permintaan kalian." kata Kiauw Sek Kiang yang kuatir anak buahnya dilukai lebih parah lagi.

Dengan gusar dia awasi wajah Kong-sun Po lalu dia pergi.

"Kau jangan tergesa-gesa, Kiauw To-cu?" kata Wan Ceng Liong yang lalu berkata pada Kiong Cauw Bun.

"Bagaimana saudara Kiong, sekarang kita bicara sebagai sahabat lama." kata Wan Ceng Liong.

Kong-sun Po memanggil pelayan agar mereka membersihkan meja dan kursi yang berantakan dan dia membayar ganti rugi, lalu dia memesan makanan dan arak.

"Tolong Saudara Kiong katakan, apa maksusd kedatanganmu ke tempat ini?" kata Wan Ceng Liong.

"Kebetulan aku lewat, dan aku singgah ke rumah makan yang terkenal ini," kata Kiong Cauw Bun.

"Jangan bohong! Aku rasa kau sedang menunggu kedatangan dua orang temanmu, bukan?" kata Wan Ceng Liong.

"Dari mana kau tahu masalah itu?" kata Kiong Cauw Bun.

"Tadi kau bilang kita sahabat lama, kenapa kau masih menyembunyikan sesuatu pada sahabatmu ini? Bukankah kedatanganmu    untuk    berunding    dengan Hong-ho-ngo- pang? Sedang kedua sahabatmu itu Uh-bong dan See-bun Souw Ya, bukan?"

"Keterangan Paman Wan belum lengkap," kata Kong- sun Po. "Masih ada keponakan See-bun Souw Ya dan To- koh Heng, bukan?"

"See-bun Chu Sek dan To-koh Heng tak masuk hitungan," kata Wan Ceng Liong. "Aku hanya bicara tentang Uh-bong dan See-bun Souw Ya saja!"

"Kenapa mereka berdua?" tanya Kiong Cauw Bun. "Jangan kau tunggu mereka itu, aku yakin mereka tak

akan ke sini!" kata Wan Ceng Liong. "Kenapa?" tanya Kiong Cauw Bun.

"Uh-bong terluka parah oleh menantumu, sekalipun tidak mati pasti dia luka parah," kata Wan Ceng Liong. "Tentang See-bun Souw Ya, kitab itu kuminta dari tangannya. Jika aku ada di sini mana berani dia datang ke mari!"

Kiong Cauw Bun kaget. Jika mereka tak datang itu berarti urusan jadi berantakan. Semua rencana dan tugas dari Wan-yen Tiang Cie gagal total.

"Ada lagi yang akan kusampaikan padamu, aku yakin kau tak tahu kenapa menantumu ke mari? Jika kau ingin tahu silakan kau tanyakan sendiri padanya!" kata Wan Ceng Liong.

"Aku mendapat tugas dari Liu Beng-cu ke sini untuk mengadakan persekutuan dengan Hong-hoo-ngo-pang," kata Kong-sun Po.

Kiong Cauw Bun diam. Saat itu Wan Ceng Liong mengedipi Kiong Mi Yun yang ikut bicara, "Ayah, lebih baik   kita   pulang   ke   Hek-hong-to!   Untuk   apa   Ayah mengabdi jadi budak bangsa asing? Jangan ke Tay-toh!" kata Kiong Mi Yun.

Kiong Cauw Bun kembali meneguk arak di cawannya. "Baik, Ayah akan pulang bersamamu ke Hek-hong-to!"

kata Kiong Cauw Bun.

"Bagus Ayah, aku ini putrimu dan karena itu aku akan berbakti padamu," kata Kiong Mi Yun.

Saat itu terdengar langkah orang sedang naik ke atas loteng. Ternyata orang itu Ang Kin, ketua Tiang-keng-pang. Ang Kin datang karena mendapat laporan dari anak buahnya, bahwa Kok Siauw Hong dan kawan-kawannya ada di rumah makan "Ngi Nih Lauw". Saat melihat di sana ada Kiong Ciauw Bun, Ang Kin kaget. Tapi hatinya agak lega karena ada Kong-sun Po di sana.

"Kebetulan kau datang, Ang Pang-cu," kata Kok Siauw Hong.

"Kami memang ingin menemuimu! Kiong To-cu juga tinggal di tempat kami. Mari ke tempatku, di sana kalian bisa berbincang lebih asyik lagi!"

Semula Ang Kin ingin Kong-sun Po tak bicara blak- blakan di depan Kiong Cauw Bun, tapi pemuda itu malah langsung bicara.

"Aku mendapat tugas dari Liu Beng-cu dari Kim-kee- leng khusus untuk menemuimu. Kebetulan di tengah jalan aku bertemu dengan Wan To-cu. Tentu kau belum kenal dengannya, bukan?"

Dia girang bisa bertemu dengan Wan Ceng Liong yang terkenal itu. Maka itu dia tak merasa ngeri jika terjadi sesuatu karena ada mereka. "Aku dengan Kiong To-cu bersahabat lama, Ang Pang- cu," kata Wan Ceng Liong. "Karena tak lama lagi kami akan pulang ke pulau kami masing-masing, mungkin kami tak sempat singgah di tempatmu!"

Mendengar Kiong Cauw Bun akan kembali ke pulaunya, Ang Kin girang. Tapi akhirnya dia berlagak menyesal.

"Tapi sayang kau akan segera pergi, Kiong To-cu, maka kesempatan ini kupakai ntuk mengucapkan selamat jalan," kata Ang Kin. Tak lama Ang Kin memanggil pelayan.

"Siapkan makanan untuk kami semua!" kata Ang Kin. "Sudah, jangan merepotkan, aku hanya menunggu dua

teman saya. Begitu mereka datang aku akan segera berangkat," kata Kiong Cauw Bun.

"Kiranya kau tak perlu menunggu lama, mereka sudah datang!" kata Wan Ceng Liong.

Tak lama terdengar orang naik ke atas loteng rumah makan itu, mereka Kiauw Sek Kiang yang kembali bersama Ci Giok Phang dan Wan Say Eng.

"Ayah!" kata Wan Say Eng sambil menubruk ke pelukan ayahnya. "Anak dihina orang, Aayah jangan tinggal diam."

"Ah, tak perlu risau, nak. Paman Kiong cuma bergurau denganmu, jangan anggap sungguhan," kata Wan Ceng Liong. "Malah beliau sudah berjanji akan meninggalkan putrinya di sini untuk temanmu."

Nona Wan cerdas, maka itu dia tahu apa yang telah terjadi. Akhirnya sambil tertawa dia bilang, "Ah, jadi aku dijadikan sandera untuk ditukar dengan Cici Kiong. Dia diizinkan tinggal bukan untukku tapi untuk Kong-sun Toa- ko!" kata Wan Say Eng. Sesudah itu Kong-sun Po segera membuka jalan darah Ciong Bu Pa. Tanpa banyak bicara lagi Kiauw Sek Kiang dan Ciong Bu Pa langsung pergi.

"Tunggu!" kata Wan Ceng Liong.

"Kau mau apa lagi?" kata Kiauw Sek Kiang agak cemas. "Katakan   kepada   Su   Thian   Tek,   jika   aku  bertemu

dengannya di Uh-seng, dia akan kubunuh!" kata Wan Ceng

Liong. "Juga kalian berdua!"

"Baik, kami akan segera pergi," kata Kiauw Sek Kiang.

Ketika Kiong Cauw Bun akan pergi, Kiong Mi Yun berkata, "Ayah, terimalah arak dariku."

Kiong Cauw Bun memang tak pernah diperlakukan demikian oleh putri kesayangannya. Maka itu dia berkata,

"Karena kau bersama Kong-sun Toa-komu, aku tak perlu kuatir!" kata Kiong Cauw Bun.

"Paman Kiong, apa kau tahu bagaimana keadaan Ayahku?" kata Jen Ang Siauw.

"Aku bertemu dengannya di Tay-toh, di tempat Wan-yen Tiang Cie!" kata Kiong Cauw Bun. "Selamat tinggal aku akan pergi!"

Sesudah Kiong Cauw Bun pergi, Ang Kin mengaku dia dan kawan-kawannya ditekan. Semula mereka akan melawan, untungnya sekarang masalah itu sudah beres.

"Sebenarnya aku masih kuatir tiba-tiba See-bun datang ke mari?" kata Ang Kin.

"Dia sudah diusir Paman Wan, kau jangan kuatir!" kata Kong-sun Po.

Ang Kin senang. "Jika dia tak datang kami tak kuatir lagi," kata Ang Kin. "Kami tak takut pada bangsa Kim!"

"Sekarang pemerintah Kim sedang sibuk menghadapi serangan bangsa Mongol, kalian tidak perlu kuatir diganggu mereka," kata Kong-sun Po. "Tetapi jika pasukan Mongol menyerbu ke Tiong-goan secara besar-besaran, orang Kangouw harus siap menghadapi segala kemungkinan dan bersatu untuk mengusir mereka! Untuk itu aku datang atas perintah Liu Beng-cu untuk mermbicarakannya dengan kalian."

"Kong-sun Siau-hiap, kau telah menyelamatkan aku apa yang kau inginkan, kami siap membantu!" kata Ang Kin. "Katakan pada Liu Beng-cu, kami semua tunduk di bawah perintahnya!"

Mendengar jawaban itu Kong-sun Po girang bukan  main. Saat Kong-sun Po sedang berunding dengan Ang Kin, Kok Siauw Hong dan Ci Giok Phang sedang menceritakan pengalaman mereka selama berpisahan.

"Kami berdua berniat ke Kim-kee-leng!" kata Ci Giok Phang. "Kami akan mencari kabar tentang Ci Giok Hian, adikku!"

"Aku melihatnya di Yang-ciu, dan bukan di Kim-lee- leng!" kata Kok Siauw Hong.

"Pergi ke mana dia?" tanya Ci Giok Phang.

Kok Siauw Hong yang tak bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya, lalu menoleh ke arah Han Pwee Eng yang langsung bicara pada Ci Giok Phang.

"Ci Toa-ko, apa kau sudah tahu tentang Seng Liong Sen?" kata Han Pwee Eng. "Aku dengar dia sudah meninggal, apa benar begitu?" kata Ci Giok Phang.

"Akan kuceritakan kejadiannya, tapi kau jangan berduka," kata Han Pwee Eng. "Liong Sen belum mati!"

Ci Giok Phang kaget mendengar keterangan itu.

"Ah, kalau dia masih hidup kenapa aku harus berduka?" pikir Ci Giok Phang.

Setelah Han Pwee Eng mengisahkan tentang Seng Liong Sen yang telah putus hubungannya dengan Ci Giok Hian, barulah dia tahu kalau adik perempuannya sudah berpisah dengan Liong Sen. Sambil menunduk dan sedikit berduka Ci Giok Phang berkata perlahan.

"Dulu juga sudah kuduga, bahwa mereka tak akan rukun selamanya. Tapi akupun berpikir ada baiknya mereka berpisah!" kata Ci Giok Phang.

"Bulan lalu saat kami berpisah dengan dia di Sun-keng- san, Kakak Giok Hian mengatakan bahwa dia akan ke Kang-lam untuk menemui Bun Tay-hiap. Sesudah itu baru dia pulang ke Pek-hoa-kok. Sekarang barangkali dia sudah ada di rumah," kata Han Pwee Eng.

"Kalau begitu mari kita pergi!" kata Wan Ceng Liong. "Kakak  Giok  Phang  baru  mendengar  tentang adiknya,

aku..."   Wan   Say   Eng   belum   meneruskan kata-katanya

sudah dipotong oleh ayahnya.

"Jadi kau mau ikut dia untuk menemui adik iparmu?" kata Wan Ceng Liong.

Mendengar ucapan ayahnya wajah nona Wan berubah merah. "Ayah, apa kau tak mau ikut kami? Katanya Pek-hoa- kok yang ada di daerah Yang-ciu itu indah sekali!" kata Wan Say Eng.

"Jika kau mau diikuti seorang kakek sepertiku, aku mau," kata ayahnya.

"Mumpung sudah di sini, sebaiknya kau singgah dulu ke tempat kami," kata Ang Kin. "Dengan demikian sebagai tuan rumah aku bisa menyambutmu!"

"Bagiku singgah di tempatmu tidak masalah, tapi entah Giok Phang? Mungkin dia sedang terburu-buru ingin pulang!" kata Wan Ceng Liong.

Semula memang Giok Phang ingin segera pulang untuk menemui adiknya, tapi karena undangan Ang Kin yang mendesak, ditambah dia juga masih kangen pada Kok Siauw Hong dan Kong-sun Po, akhirnya dia setuju menunda kepulangannya. Mereka lalu berangkat ke markas Tiang-kengpang, tapi baru saja tiba mereka sudah mendengar suara berisik. Itu suara dengusan dari seorang nenek.

"Hm! Kalian jangan berbohong padaku, lekas panggil Kiong Cauw Bun keluar!" kata nenek itu.

Rupanya anak buah Ang Kin sedang bertengkar dengan seorang nenek yang mencari Kiong Cauw Bun, si nenek tak puas saat diberi tahu bahwa Kiong Cauw Bun sedang keluar.

Ang Kin heran, nenek itu datang mencari Kiong Cauw Bun, dia angggap nenek itu sangat berani. Tetapi Han Pwee Eng sudah langsung mengenali suara nenek yang garang itu.

"Aku rasa itu Seng Cap-si Kouw!" kata Han Pwee Eng. "Aku tak mau tahu, sudah sejak tadi kukatakan Kiong To- cu tak ada di sini!" kata Teng Hoo, wakil ketua Tiang-keng- pang dengan gusar. "Jika kau tak ingin kami berbuat kasar terhadapmu, silakan kau tinggalkan tempat ini!"

"Hm! Aku datang justru akan mengacau di tempatmu ini, ayo jika kalian mau berbuat kasar padaku!" tantang nenek itu. Ang Kin buru-buru masuk ke ruang tamu.

"Pang-cu sudah datang!" teriak anak buahnya. Dalam sekejap Seng Cap-si Kouw bergerak, tahu-tahu Teng Hoo sudah tertangkap olehnya. Dia meringis kesakitan. Sebenarnya Teng Hoo ahli Tiat-sah-ciang (Pukulan pasir besi), tapi dengan mudah nenek itu menyanderanya.

"Lepaskan dia! Siapa kau, dan mau apa mencari Kiong Tocu?" kata Ang Kin.

Saat rombongan Kok Siauw Hong sudah masuk.

Memang nenek itu Seng Cap-si Kouw.

"Hm! Aku kira kau ini Ang Pang-cu, ternyata bukan?" kata Seng Cap-si Kouw.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar