Beng Ciang Hong In Lok Jilid 54

 
Dengan wajah lesu Seng Liong Sen mengawasi kepergian bekas istrinya itu. Makin lama semakin jauh. Akhirnya menghilang di balik hutan cemara. Dia tak menduga hubungannya dengan Giok Hian akan berakhir begitu. Tapi dia sekarang merasa bebas hanya merasa malu sekali, sekalipun kepada dirinya sendiri. Saat Seng Liong Sen sedang bingung dan terharu, tiba-tiba dia dengar Khie Kie malah tertawa. Dia heran dan sadar dari lamunannya.

"Eh, kau tertawa! Apa yang kau tertawakan?" kata Seng Liong Sen.

"Tentu saja aku mentertawakan kau!" kata si nona. "Kenapa kau tertawakan aku?"

"Karena kau lelaki yang tidak beruntung! Kau punya istri begitu cantik dan hatinya baik, malah kau lepaskan dia begitu saja!" kata nona Khie. "Apa kau tak menyesal?"

"Kenapa aku harus menyesal? Aku malah orang yang beruntung menemukan kau!" kata Seng Liong Sen.

Wajah nona Khie berubah merah karena malu. "Kau jangan bohong! Mana bisa aku dibandingkan dengan Cici Giok Hian?" kata nona itu.

"Kalian berdua seperti saudara saja, kau bilang dia baik, dia juga bilang begitu! Bukankah aku yang beruntung seperti kata dia tadi?" kata Seng Liong Sen.

"Sayang dia sudah pergi, sungguh aku ingin mempunyai seorang kakak seperti dia," kata Khie Kie sedikit menyesal.

"Terus-terang aku hormat pada Giok Hian, tapi aku lebih menyukaimu, Khie!" kata Seng Liong Sen.

Bukan main senangnya Khie Kie mendengar ucapan permuda itu, dia menunduk tidak berkata apa-apa. Tiba-tiba dia dengar pemuda itu menghela napas. Khie Kie kaget.

"Kenapa kau menghela napas?" tanya si nona.

"Aku merasa aku tak cocok menikahimu," kata Seng Liong Sen tiba-tiba.

"Kenapa kau berkata begitu?" tanya si nona heran.

"Kau sama dengan batu Giok yang sangat mulus, belum diukir. Sedangkan aku manusia penuh dosa! Tadi kau sudah tahu riwayat hidupku di masa lalu, apa kau tidak keberatan menyukaiku seorang yang berdosa ini?" kata Seng Liong Sen.

"Aku tidak peduli kesalahan apa yang telah kau lakukan dulu, yang kuketahui sekarang kau orang baik? Tadi Cici Giok Hian pun bilang begitu! Manusia mana yang tidak pernah berdosa? Jika kau bisa memperbaiki kesalahanmu, itu sudah cukup bagiku! Kau jangan rendah diri, aku akan tetap di sampingmu!" kata Khie Kie.

Cahaya sinar surya menyinari bumi seperti awan di sana, kini semua yang menyelimuti hati Seng Liong Sen, sekarang telah buyar. Awan dan badai pun sudah teratasi oleh pemuda ini.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Saat meninggalkan Seng Liong Sen dan nona Khie, hati Ci Giok Hian bimbang. Sambil berjalan akan menemui kawankawannya. Dia mengenang apa yang pernah dialaminya bersama Seng Liong Sen. Tetapi sesudah bicara dan mengambil keputusan, maka lega juga hati nona Ci. Kini dia merasa telah bebas dari beban yang berat itu sealama ini. Sekarang hatinya merasa lega sekali! Dia melamun.

"Ada dosa yang bisa diperbaiki dan ada dosa yang tidak bisa diperbaiki," pikir Ci Giok Hian.

Ingat pada masa lampaunya, hati Ci Giok Hian pun pilu.

"Ah, jika aku tak begitu saja percaya mendengar omongan orang, bahwa Kok Siauw Hong sudah mati! Maka aku tidak akan jadi begini? Apa ini salah nasib, tapi jika aku tak ragu mana bisa hal ini terjadi?" pikir Ci Giok Hian.

Sesudah menyesali diri dan mencaci dirinya sendiri, dia kaget. Tiba-tiba dia berpikir.

"Ternyata di otakku masih ada pikiran kotor yang melekat! Aku tak tahu diri, bahwa Han Pwee Eng memang lebih baik dariku! Dia dan Siauw Hong satu pasangan yang setimpal! Yang sudah-sudah biarlah berlalu.... Aku harus merasa gembira, memang jika aku bukan istri Kok Siauw Hong, apakah aku tidak boleh menjadi sahabatnya?"

Saat dia melamun, tiba-tiba Ci Giok Hian dikagetkan oleh teriakan seseorang. "Hai, Siauw Hong lihat! Bukankah itu Ci Giok Hian? Hai Cici Giok Hian, ini aku Pwee Eng!" kata Han Pwee Eng.

Saat Ci Giok Hian menoleh ke arah panggilan itu, memang itu Han Pwee Eng. Sedang pemuda yang bersamanya adalah Kok Siauw Hong adanya.

"Eh, kalian juga ada di sini?" kata Ci Giok Hian.

"Bukan aku saja, tapi Ayahku pun ada bersama kami," kata Han Pwe Eng. "Kami sedang mencari seseorang. Tahukah kau siapa yang sedang kami cari itu?"

Ci Giok Hian langsung memberi hormat pada Han Tay Hiong.

"Paman Han, selamat bertemu, sekarang kalian sudah berkumpul kembali," kata Ci Giok Hian.

Han Tay Hiong yang datang belakangan bersama bujang Jen Thian Ngo sebagai penunjuk jalan, dia tertawa.

"Eh, Pwee Eng kau jangan suruh Cicimu menebak-nebak segala, dasar anak bodoh! Kedatangan Cicimu ini pun pasti dia sedang mencari seseorang! Yang dia cari pasti orangnya sama dengan yang kita cari!" kata Han Tay Hiong sambil tertawa riang.

"Paman benar, orang yang kalian cari sama orangnya yang aku cari!" kata Ci Giok Hian sambil menunduk.

"Jadi kau sudah bertemu dengannya?" kata Pwee Eng. "Sudah, aku sudah bertemu dengannya!" jawab nona Ci. "Mana dia? Kok kau tidak bersamanya?" kata Pwee Eng. "Dia tak akan bersamaku lagi," kata nona Ci.

"Apa yang dia lakukan terhadapmu?" kata nona Han. "Tidak ada, sekarang dia jauh lebih baik daripada dulu," kata Ci Giok Hian. "Hanya.... hanya. "

"Ada apa?" desak Han Pwee Eng.

Kelihatan Ci Giok Hian bingung. Dia tidak tahu harus bilang apa. Tetapi dengan suara haru akhirnya nona Ci berkata, "Hanya aku pikir lebih baik kami berpisah saja dengannya! Tetapi tak perlu kau tanyakan, apa sebabnya? Nanti akan kuceritakan, tapi dengar dulu kabar yang menyenangkan dariku!"

Han Pwee Eng tahu apa maksud Ci Giok Hian tidak bercerita ketika itu, mungkin ada sesuatu yang tidak leluasa diucapkan di depan orang banyak. Maka itu nona Han tak mendesaknya.

"Kita bisa bertemu di sini, ini sesuatu yang menggembirakan! Ada kabar gembira apa lagi?" tanya Han Pwee Eng.

"Apa kau masih ingat pada orang yang pernah jatuh cinta kepadamu?" kata Ci Giok Hian.

"Ah, Cici, kau pandai bergurau!" kata nona Han.

"Dia bukan pria, tapi seorang perempuan!" kata nona Ci. "Oh, aku tahu, yang kau maksud itu Kiong Mi Yun,

bukan?" kata Han Pwee Eng. "Apa dia ada di sini?"

"Dia datang bersamaku," jawab nona Ci. "dan seorang kawan yang mungkin belum kau kenal"

"Siapa dia?" kata nona Han.

"Putri Jen Thian Ngo, namanya Jen Ang Siauw!"

"Oh! Kenapa dia ada di sini bersama kalian?" tanya Han Pwee Eng.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- Melihat Han Pwee Eng kebingungan dan heran, nona Ci yakin nona Han tidak percaya kenapa Ci Giok Hian bersedia bergaul dengan putri Jen Thian Ngo. Padahal Jen Thian Ngo sudah diketahui orangnya licik. Maka itu langsung dia bicara pada nona Han.

"Bunga teratai yang tumbuh di lumpur pun tidak akan kehilangan keindahannya," kata Ci Giok Hian. "Maka itu Jen Ang Siauw tak bisa kita samakan dengan ayahnya! Hai! Baru kita bicarakan ternyata mereka sudah datang semua!"

Tak lama Kiong Mi Yun sudah kelihatan sedang membantu seorang tua yang dia papah, berjalan sedang mendatangi. Tanpa menyapa dulu pada Kiong Mi Yun, Han Pwee Eng berpaling pada ayahnya.

"Ayah, Paman inilah yang menolongiku tempo hari," kata Han Pwee Eng..

Sebagai seorang ahli silat ulung, saat menyaksikan cara berjalan Khie Wie yang langkahnya berat, Han Tay Hiong langsung tahu, kalau orang itu terluka dalam. Han Tay Hiong segera mendekati dan menyapanya.

"Saudara, kau pasti Khie Wie," kata Han Tay Hiong. "Aku Han Tay Hiong, kata putriku kau pernah menolongi dia! Terima kasih"

Saat itu Han Tay Hiong mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan.

"Ah, Saudara Han kau tak perlu see-ji," kata Khie Wie sambil tersenyum. "Aku ini sudah ada umur. Ibarat pepatah, sebuah kakiku sudah melangkah ke lubang kubur!" Kata-kata Khie Wie sebenarnya artinya dalam. Dia kuatir Han Tay Hiong mengulur tangan hendak menjajal ilmu silatnya. Sesudah itu dia sambut tangan Han Tay Hiong. Di luar dugaan Han Tay Hiong mengerahkan tenaga murninya untuk mengobati Khie Wie. Dengan demikian Khie Wie pun sangat bersyukur sekali

"Aku sudah tahu lama bahwa kau akhli lwee-kang yang lihay," kata Khie Wie. "Ternyata hal itu benar sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, jika kalian tak keberatan, rumahku tak jauh dari sini!"

Ketika itu Kiong Mi Yun juga sedang asyik berbincang dengan Han Pwee Eng. Mereka sedang mengisahkan pengalaman mereka masing-masing selama berpisahan.

Ketika Han Tay Hiong akan menerima undangan Khie Wie ke rumahnya, nona Han menarik tangan ayahnya.

"Uh-bun Tiong sudah mati, Cici Giok Hian sudah bertemu dengan Seng Liong Sen. Ayah, bagaimana kalau kita antarkan Jen Ang Siauw pulang dulu?" kata Han Pwee Eng.

"Jadi Uh-bun Tiong sudah meninggal, dia jago Kang- ouw. Bagaimana caranya dia bisa meninggal?" kata Han Tay Hiong.

"Dia mati terserang penyakit Cauw-hwee-jip-mo karena ulahnya. Dia jahat dan pantas mati!" lata Ci Giok Hian.

"Hampir saja aku mati karena ulah Uh-bun Tiong dan Seng Cap-si Kouw," kata Khie Wie. "Untung tiga nona ini menolongiku!"

Han Tay Hiong seorang jago berpengalaman, saat dia dengar ajakan putrinya, dia langsung maklum. Mungkin putrinya tak ingin ke rumah Khie Wie, karena dia kuatir Ci Giok Hian akan bertemu lagi dengan Seng Liong Sen dan Khie Kie. Jika mereka bertemu, nona Han yakin ada perasaan tak enak di antara mereka!

Han Tay Hiong langsung memberi hormat pada KhieWie.

"Terima kasih atas undanganmu. Kau belum sehat benar, lain kali saja aku singgah ke rumahmu," kata Han Tay Hiong. "Aku senang berkenalan denganmu!"

"Kalau begitu baiklah, aku pulang dulu," kata Khie Wie. "Selang tiga hari kau boleh singgah ke rumah kami!"

"Baik, tiga hari lagi pasti aku akan ke rumahmu,," jawab Han Tay Hiong sambil tersenyum.

"Apa kalian juga mau ikut semua ke rumahku?" kata Khie Wie.

"Ah, kami kaum muda rasanya tak perlu ikut bicara dengan kalian berdua," kata Ci Giok Hian. "Kami akan mengantar nona Jen, sesudah itu kami akan mengurus urusan kami!"

Saat itu yang dikuatirkan dan ada di benak Khie Wie ialah masalah putrinya. Sedang masalah itu ada hubungannya dengan Ci Giok Hian. Tetapi dia tak berani bicara terus-terang, maka itu dia cuma berkata begini.

"Baik, aku tak memaksa. Apa kau tak mau menunggu Seng Liong Sen, Nona Ci?"

"Tidak! Tidak, tidak perlu menunggu dia!" jawab Ci Giok Hian sambil tersenyum manis. "Masalahku dengan dia sudah beres, malah kami bicara di depan putrimu! Tanyakan saja pada putrimu semuanya akan jelas!"

Mendengar jawaban itu Khie Wie mengangguk. "Kalau begitu baiklah, terima kasih atas bantuanmu, Nona Ci! Kelak jika kau butuh tenagaku, kau boleh undang aku!" kata Khie Wie.

Tampak Khie Wie girang mendengar ketulusan hati Ci Giok Hian yang mau mengalah pada putri satu-satunya. Dia senang sekali.

Sesudah dibantu Han Tay Hiong kesehatan Khie Wie mulai pulih. Dia pamit lalu berjalan pulang, sedang Han Tay Hiong dan kawan-kawannya kembali ke rumah Jen Thian Ngo.

Kok Siauw Hong dengan Jen Ang Siauw terhitung saudara misan. Tetapi mereka belum pernah saling bertemu.

Mereka saling memberi hormat.

"Dulu Ibuku sering membicarakan tentang Bibi," kata Jen Ang Siauw. "Sayang adat Ayahku kukuh dia melarang aku menemui Ibumu! Mengenai dirimu aku sudah banyak mendengar kabarnya. Jika Ibuku melihatmu, oh senangnya dia! Bagaimana keadaan Hihi, apakah dia baik-baik saja?"

"Ibuku baik-baik saja,"jawab Kok Siauw Hong. "Aku dengar kau pernah ke Kim-kee-leng, apa benar?"

"Benar! Tadi aku dengar dari Paman Khie, Seng Cap si Kouw datang ke rumah kami, kau tahu tentang itu?" kata Jen Ang Siauw

"Aku baru saja dari rumahmu, iblis perempuan itu sudah kabur !" kata Kok Siauw Hong.

"Jadi kau sudah bertemu dengan Ayahku?" "Ya, sudah," jawab Siauw Hong.

Melihat Kok Siauw Hong bersikap dingin, nona Jen langsung berkata lagi. "Bagaimana sikap Ayahkl padamu?"

"Adik misan, jika aku katakan terus terang kau jangan marah padaku," kata Kok Siauw Hong.

"Aku sudah tahu sifat Ayahku," kata Jen Ang Siauw, "aku sendiri tidak setuju pada perbuatannya. Silakan Kakak-misan katakan saja terus-terang!"

Semula nona Jen mengira hanya pertengkaran keluarga, ternyata Kok Siauw Hong membuka rahasia, kalau  ayahnya bersekongkol dengan penjahat besar See-bun Souw Ya dan Chu Kiu Sek. Bahkan ayanya menjadi kaki tangan bangsa asing. Dia juga hendak mencelakakan Han Pwee Eng.

Tampak nona Jen berduka. Kok Siauw Hong coba menghibur adik-misannya itu.

"Kau jangan berduka, kami tak akan menyalahkanmu karena perbuatan ayahmu itu!" kata Kok Siauw Hong.

"Aku malu punya Ayah begitu!" kata nona Jen. "Sekarang Ayahku ada di mana, Kakak-misan? Aku ingin minta sesuatu darimu!"

Pemuda itu mengerti apa maksud ucapan nona Jen. "Ayahmu itu Pamanku. Aku akan berusaha agar Paman

kembali ke jalan yang benar. Jika kau mau membujuknya,

barangkali itu akan lebih baik!" kata Kok Siauw Hong.

"Mudah-mudahan bisa begitu, apa Ibuku tahu tentang perbuatan Ayahku?" kata nona Jen.

Dia berpaling pada pelayan tua di rumahnya.

"Paman Kat, bagaimana keadaan Ibuku?" kata nona Jen. "Tapi aku harap Nona tidak berduka," kata pelayannya.

"Sebenarnya Nyonya Besar sudah meninggal!" "Ibuku meninggal?" kata si nona. "Kenapa?"

"Setelah kau pergi, siang dan malam Nyonya terkenang padamu," kata pelayan itu. "Beliau bertengkar dengan ayahmu tak lama ibumu meninggal!"

Kabar itu bagaikan suara guntur di siang bolong. Nona Jen berdiri bagaikan sebuah patung.

"Nona Jen, tenang," kata Ci Giok Hian. "Orang yang sudah meninggal tidak bisa hidup kembali. Apalagi ibumu itu sudah tua! Kau jangan berduka."

Setelah dibujuk dan dinasihati akhirnya nona Jen pun menangis sejadi-jadinya. Saat itu ada orang yang melihat asap hitam tebal dari arah rumah keluarga Jen.

"Itu rumah kami yang terbakar!" kata nona Jen.

"Tenang adik Jen," kata Ci Giok Hian. "Mari kita ke sana untuk mnyelamatkan orang-orang di sana!"

Mereka berlarian seperti sedang berlomba, tapi saat mereka sampai, rumah keluarga Jen sudah ludes seluruhnya. Yang tinggal hanya puing-puingnya saja.

Di bekas kebakaran mereka mencium bau daging terbakar, ternyata orang-orang di rumah itu hangus dan hampir tak ketahuan wujudnya. Nona Jen kaget dan berteriak-teriak.

"Ayah! Ayah!" katanya. "Aku pulang, kau ada di mana?" Orang mengira mungkin Jen Thian Ngo tak ikut terbakar, barangkali dia sedang bersembunyi di suatu tempat yang aman.

Nona Jen terus berteriak-teriak memanggil ayahnya sambil menangis. Tiba-tiba dari balik sebuah batu muncul seseorang.  Jen  Ang  Siauw  girang,  dia  memburu  ke arah orang itu. Dia kecewa karena itu bukan ayahnya tetapi tukang kebun di rumahnya.

"Paman Ong," kata nona Jen. "Apa yang terjadi? Kenapa terjadi ke bakaran? Di mana Ayahku?" kata Jen Ang Siauw berturut-turut.

Tubuh paman Ong basah kuyup, tubuhnya menggigil kedinginan.

"Oh Nona, kau sudah kembali!" kata paman Ong. "Mana Ayahku?" kata nona Jen.

"Kau tak perlu lagi mencari ayahmu," kata orang she Ong.

"Apa, Ayahku sudah meninggal?"

Tiba-tiba bujang she Ong itu melotot, kelihatan dia gusar bukan kepalang.

"Ayah Nona belum mati! Tetapi sebaiknya dia mati saja!" kata orang she Ong. "Nona kau orang baik, kau jangan marah padaku. Sungguh ayahmu itu manusia keji sekali!"

"Apa maksuddmu, Paman Ong? Di mana Ayahku?" "Tahukah   Nona,   rumahmu   ini   dibakar   sendiri oleh

ayahmu!" kata Ong. "Para pegawai yang hangus itu dia juga

yang membunuhnya!"

Seolah tak percaya wajah Jen Ang Siauw pucat-pasi dan melongo keheranan.

"Apa katamu? Apa kau sudah gila?! Masakan Ayahku mau berbuat begitu?" kata Jen Ang Siauw. "Apa barangkali dia sudah gila?" "Tuan Besar tidak gila, hanya kami yang bodoh dan tak menyadari bahwa kejadian ini pasti akan terjadi!" kata orang she Ong.

"Kau ceritakan, bagaimana kejadiannya?" kata nona Jen.

"Semula apa yang terjadi aku juga tak tahu," kata paman Ong. "Suatu ketika datang beberapa orang tamu mereka bertengkar dengan ayahmu. Ayahmu kalah dan kabur ke dalam goa. Dari temanku aku tahu. salah seorang masih keponakan Ayahmu."

"Maksud temanmu itu aku!" kata Kok Siauw Hong menyela. "Aku datang bersama Paman Han dan Nona Han!"

"Tak lama sesudah kalian pergi Tuan Besar mengunmpulkan kami. Dia mengatakan bahwa dia sedang diganggu oleh musuh tangguh dan tak bisa tinggal lagi di rumahnya. Lalu kami diminta membantu membakar rumahnya. Dia bilang jika mau kami boleh ikut dengan ayah nona. Yang tak mau silakan kembali ke kampung masingmasing!"

"Kau tak mau ikut dengannya, bukan?" kata Kok Siauw Hong.

"Ya, tapi bukan hanya aku, semua pegawai di sini tak mau ikut! Dia pergi bersama kawannya sesama kaum Hek- to (orang kalangan penjahat)," kata Ong. "Mereka memang pengikut Lo-ya!"

"Kenapa kalian tak mau ikut dengannya?" tanya Siauw Hong.

Sebelum menjawab Ong menoleh ke arah nona Jen, baru dia berkata. "Nona, Ayahmu itu konco bangsa Kim dan Mongol, kami sudah tahu hanya kau yang tak tahu!" kata Ong.

"Setelah tahu kalian tak mau ikut, apa yang dilakukan Loyamu terhadap kalian?" tanya Siauw Hong.

"Dia hanya mengangguk dan kami disuruh menyalakan api untuk membakar rumahnya," kata Ong. "Sesudah rumah terbakar dan api sedang berkobar, tiga orang Lo-ya menjaga kami agar tidak bisa pergi! Kemudian satu-persatu kami dilemparkan ke dalam kobaran api! Kawan-kawan banyak yang terbakar hidup-hidup."

"Jika aku tahu dia begitu kejam, aku tak akan membiarkan dia hidup!" kata Han Tay Hiong geram sekali.

Bukan main berdukanya Jen Ang Siauw mendengar kejadian itu. Dia hampir pingsan untung Ci Giok Hian mencoba menghiburinya.

"Tak kusangka Ayah bisa berbuat begitu?" kata nona Jen. "Aku tahu kau baik, maka itu kami tak benci padamu,

Nona," kata Ong.

"Terima kasih Nona, kau baik sekali!" kata Ong. Sesudah itu nona Jen menoleh pada Kat Toa-siok (Paman Kat). "Tolong kau antar aku ke kuburan Ibuku, sesudah itu kau pun boleh pergi" kata nona Jen.

"Baik, Nona," kata pelayan itu.

Ketika itu dia sedang bingung. Mendengar putusan nona Jen dia girang sekali.

"Nona ada masalah yang belum kuberi tahu padamu!" kata Kat.

"Soal apa?" tanya si nona. "Mengenai kematian Lo Hu-jin, pasti Nona masih ingat pada Tuan Yan yang pernah datang ke rumah Nona, bukan?"

"Kenapa dia?" tanya si nona.

"Rupanya dia bukan she Yan, tapi Wan-yen. Dia putra Wan-yen Tiang Cie panglima pengawal Kerajaan Kim yang termasyur!" kata pegawai nona Jen.

"Benar, aku sudah tahu," kata si nona.

"Pertama-tama Ibumu tak tahu, tapi akhirnya tahu juga! Sesudah Nona pergi, Nyonya marah, beliau menegur ayah nona. Lo Hu-jin bilang, kenapa Lo-ya mau menikahkan Nona dengan bangsa asing musuh negara? Lo-ya  marah dan tak mengaku. Sesudah bertengkar hebat akhirnya ayah nona mengaku juga. Dia bilang maksud menjodohkan Nona agar dia mendapat kedudukan. Alasan ayah Nona katanya karena keadaan Kerajaan Song hampir jatuh! Tay- lo Hu-jin tetap tidak setuju. Tak lama terdengar pertengkaran hebat, aku dengar seolah Lo Hu-jin terjatuh, keesokan harinya Nyonya Besar meninggal!" kata Kat.

"Oh malang sekali nasibmu, Ibu. Sayang aku tak bisa membunuh Ayah, tapi Wan-yen Hoo pasti akan kubunuh!" kata nona Jen. "Paman Kat, tahukah kau ke mana perginya Ayahku?"

"Menurut pendapatku ayah Nona pergi ke tempat Wan- yen Tiang Cie!" kata Kat.

"Jangan cemas dan duka, adik Jen. Musuhmu itu musuh kita bersama!" kata Ci Giok Hian. "Mari kita ke Kim-kee- leng. Dari sana kita bersama-sama untuk membalaskan sakit hatimu! Juga sakit hati bangsa Han!" Setelah mengunjungi kuburan ibunya, Jen Ang Siauw menyuruh Kat pergi setelah dia memberi uang. Kemudian nona Jen berkata pada Kok Siauw Hong.

"Sekarang aku sebatang kara, hanya kalian saudaraku!" kata nona Jen.

"Bukan hanya aku dan teman-temanku, tapi semua  orang di Kim-kee-leng keluargamu!" kata Siauw Hong. "Mari kita pergi!"

"Tunggu, aku sudah berjanji pada Khie Wie, aku harus menepatinya!" kata Han Tay Hiong. "Kau jaga putriku, Siauw Hong enam bulan lagi aku ke Kim-kee-leng untuk mengurus pernikahan kalian!"

"Aku mohon Ayah segera kembali agar kami tidak kuatir," kata nona Han dengan wajah berubah merah.

"Bolehkah aku ikut kau ke rumah Khie Lo Cian-pwe, Ayah?" kata Kok Siauw Hong.

"Kenapa kau tak ke Kim-kee-leng?" kata Han Tay Hiong. "Aku ingin mencari Seng Liong Sen sesudah itu aku

pergi!" kata Kok Siauw Hong.

"Baik, kau sahabatnya! Sepantasnya kau temui dia!" kata Han Pwee Eng. "Kalau begitu kami berangkat duluan, kau susul kami!"

Pergilah Han Tay Hiong bersama Siauw Hong ke rumah Khie Wie. Sesampai di rumah Khie Wie, saat itu tuan rumah sedang berlatih di kamarnya. Khie Kie menyambut kedatangan tamu-tamu itu. Kepada nona Khie, Han Tay Hiong berpesan.

"Jangan beritahu dulu ayahmu. Biar kami tunggu beberapa hari di sini, baru kutemui dia!" kata Han Tay Hiong. "Ayah sudah bilang aku harus menyiapkan kamar tamu untuk Paman sekalian," kata nona Khie.

"Aku ke mari ingin menemui Seng Toa-ko, apa dia ada di sini?" kata Kok Siauw Hong.

"Oh, dia sedang mencari kayu bakar di belakang rumah.

Kau cari saja dia di sana!" kata nona Khie.

Rupanya Seng Liong Sen melihat kedatangan mereka, maka itu dia pergi. Kok Siauw Hong pamit dan pergi menemui pemuda itu. Di sana mereka bertemu dan Seng Liong Sen tersenyum pada sahabatnya itu.

"Aku sebagai menantu berwajah jelek akhirnya menemui mertuaku," kata Seng Liong Sen datar. "Tidak kusangka nasibku jadi begini?"

"Kenapa kau menghindar dariku?" kata Siauw Hong. "Apa kau kira ada manusia yang tidak pernah bersalah? Kau pernah membantu tentara rakyat di Yang-ciu! Kami tak pernah memandangmu sebagai manusia rendah!"

"Aku juga tahu, kalian baik padaku dan memaafkan aku. Tapi aku tetap malu," kata Seng Liong Sen. "Aku tak menghindarimu, dan aku tahu kau akan mencariku, maka aku ke sini karena ingin bicara berdua saja denganmu!"

"Katakan saja. apa yang ingin kau katakan," kata Kok Siauw Hong.

"Masalahku dengan Ci Giok Hian mungkin kau pun sudah tahu," kata Seng Liong Sen.

Kok Siauw Hong mengangguk. Baru Seng Liong Sen berkata lagi.

"Tahukah kau, apa yang membuatku sangat malu? Karena aku merasa bersalah pada Giok Hian dan padamu!" kata Seng Liong Sen. "Yang sudah lalu sudahlah, jangan kau ungkit lagi. Giok Hian pun tidak marah padamu!" kata Siauw Hong.

"Aku ingin menebus dosaku," kata Liong Sen. "Aku punya sebuah permohonan padamu, mungkin ini sulit bagimu, tetapi jika tidak kukatakan padamu, hatiku tak akan merasa puas," kata Seng Liong Sen.

"Jangan ragu, katakan saja!" kata Siauw Hong.

Padahal di otaknya dia sudah bisa membayangkan, apa kira-kira yang akan dikatakan Seng Liong Sen kepadanya.

"Aku telah menyusahkan Giok Hian seumur hidupnya, dosaku sangat besar dan sulit dihapus! Aku berharap agar dia bisa memperoleh jodoh kembali. Seorang lelaki yang baik. Jika berhasil maka sebagian dosaku bisa dikurangi! Terus-terang kukatakan padamu, Saudara Siauw Hong. Ada rahasia yang belum perna kukatakan pada siapapun, kecuali kepada Khie Kie. Sekalipun aku dan Giok Hian sudah menikah dengan resmi, tetapi selama ini kami hanya suami istri bohongan belaka! Saudara Siauw Hong, aku tahu Giok Hian masih mencintaimu. Kau tahu apa maksudku?"

"Aku mengerti apa maksudmu, sebaiknya masa lalu jangan diungkit kembali. Aku dan Giok Hian sampai sekarang tetap sahabat baik!" kata Kok Siauw Hong.

"Aku tahu kau milik Nona Han, maka itu permintaanku memang berlebihan dan terlalu memaksa!" kata Seng Liong Sen. "Kalau begitu dosaku tak bisa kuperingan dan akan kutanggung seumur hidupku!"

"Jangan terlalu kau pikirkan masalah itu, malah kau harus gembira Giok Hian sudah memaafkanmu," kata Siauw Hong.

"Gembira apa?" kata Liong Sen. "Pikir saja, jika kau tetap menjadi suami istri bohongan selamanya, yang menderita kalian berdua untuk selamanya," kata Siauw Hong. "Sekarang dia bukan istrimu lagi, tapi sahabat baikmu!"

"Kau benar, manusia tak perlu menyesal bila mendapat sahabat sejati!" kata Liong Sen yang tiba-tiba sadar. "Hanya saja aku tetap merasa berdosa pada Giok Hian, selama dia belum mendapatkan jodoh. Selama itu pula aku tidak tentram."

"Ternyata pendapat Giok Hian jauh lebih baik dari pikiranmu," kata Siauw Hong. "Dia sekarang siap akan kembali ke Kim-kee-leng. Aku mohon kau jangan terlalu memikirkan dirimu. Sekarang para pejuang sudah siap bersatu menghadapi musuh dari Utara! Singkirkan dulu masalah pribadi kita!"

"Kau benar," akhirnya Liong Sen berkata lagi. "Terima kasih atas nasihatmu!"

"Ya, semoga kita bisa segera berkumpul di Kim-kee- leng!" kata Siauw Hong. "Jika kau tak punya ganjalan, kalian berdua datang ke Kim-kee-leng, aku yakin Giok Hian senang bertemu dengan kalian! Atau kau kembali menemui gurumu membantu pejuang Kang-lam!"

"Semula aku ingin mengasingkan diri," kata Liong Sen. "Aku akan menyepi sampai ajalku tiba! Tapi aku sadar itu bukan cara yang tepat. Untuk sementara aku akan tinggal dulu di sini. Jika kesehatan ayah Khie Kie sudah pulih, aku akan menentukan jalan hidupku selanjutnya bersama Khie Kie!"

"Begitu pun baik," kata Kok Siauw Hong. "Khie Kie sangat baik, kau harus menyayanginya."

Tak lama terdengar Khie Kie memanggil Liong Sen. "Kami di sini!" kata Liong Sen. "Mau apa kau mencariku, di rumah ada tamu!"

"Paman Han bilang kau tak perlu sungkan padanya, karena kalian lama tak muncul maka kususul kau!" kata Khie Kie.

"Musuh kita sudah mati, apa yang kau kuatirkan lagi?" kata Liong Sen.

"Aku heran, aku selalu mengkhawatirkanmu," kata Khie Kie.

Bukan main senang hati Seng Liong Sen.

"Aku menghormati Ci Giok Hian, tapi ada di samping Khie Kie aku lebih bahagia." pikir Liong Sen.

"Kalau begitu, mari kita pulang!" kata Liong Sen. "Saudara Liong, aku tak balik lagi ke rumah mertuamu,

katakan pada mertuaku aku ditunggu kawan-kawan, maka

itu aku tak sempat pamit lagi! Mari!" kata Kok Siauw Hong akan menyusul Han Pwee Eng dan kawan-kawan.

Saat Liong Sen pulang bersama kekasihnya, Kok Siauw Hong pergi meninggalkan tempat itu. Saat berjalan menuruni gunung, Kok Siauw Hong teringat pada kata-kata Seng Liong Sen tadi. Maka dia ingat kejadian semasa dia bercinta dengan Ci Giok Hian dulu.

Saat Kok Siauw Hong mempercepat langkahnya, saat itu matahari sudah mulai tenggelam ke arah Barat. Cahaya sang Surya yang kemerah-merahan indah sekali. Dia berharap sebelum malam tiba dia sudah bisa bergabung dengan rombongan Han Pwee Eng. Dari jauh dia hanya melihat Han Pwee Eng, Jen Ang Siauw dan Kiong Mi Yun saja.

"Ke mana Giok Hian?" pikir Kok Siauw Hong. "Kau bertemu dengan Liong Sen?" kata Han Pwee Eng.

"Ya. Mereka rukun, lalu kuajak mereka ke Kim-kee-leng, Liong Sen bilang beberapa waktu lagi baru akan ke sana!"

"Lukanya tidak parah, tapi luka hatinya yang parah. Biar Liong Sen istirahat dulu di sana sampai hatinya tentram!" kata Han Pwee Eng.

Pendapat keduanya sama Kok Siauw Hong tertawa. "Kau  benar-benar  bisa  memahami  perasaan  orang,  eh

mana Giok Hian dan Jen Ang Siauw ?" kata Kok Siauw

Hong.

"Hm! Kenapa baru sekarang kau tanyakan mereka?" kata Han Pwee Eng sambil tertawa. "Mereka sudah pergi!"

"Pergi? Pergi ke mana? Kenapa mereka tak ikut ke Kimkee-leng?" kata Siauw Hong.

"Mana kutahu?" kata Pwee Eng. "Aku rasa seharusnya kau tahu penyebabnya?"

"Ah, Cici Han. Sudah jangan goda dia! Biar aku jelaskan pada Kok Toa-ko!" kata Kiong Mi Yun sambil tertawa. "Dia pergi ke Lim-an!"

"Dasar aku yang bodoh, kenapa aku tak bisa menerka ke mana perginya dia?" kata Siauw Hong sambil tertawa. "Tentu saja sesudah menemukan jejak Seng Liong Sen, dia pergi menemui guru Liong Sen untuk memberitahu keberadaan bekas suaminya itu!"

Sesudah itu mereka langsung melanjutkan perjalanan berempat. Kiong Mi Yun dan Jen Ang Siauw mempercepat langkah mereka meninggalkan Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng agar bisa berdua saja.

"Memang benar katamu, luka hati Seng Liong Sen lebih parah," kata Siauw Hong. "Karena merasa berdosa pada Ci Giok Hian, walau telah kuhibur dia, tetapi rasa kepedihan hatinya tak bisa hilang dalam waktu singkat!"

"Satu kali terjerumus menyesal seumur hidup!" kata  nona Han. "Untung Liong Sen bisa segera sadar. Kepedihan hatinya kukira sudah sudah sepantasnya baginya. Jika aku ingat nasib dan pengalaman Ci Giok Hian, aku juga jadi merasa tak enak hati!"

"Aku yakin lama-lama luka hatinya akan sembuh," kata Kok Siauw Hong.

"Mudah-mudahan begitu," kata Pwee Eng sambil tersenyum. "Tapi. "

"Tapi apa?" kata Siauw Hong.

"Sekarang Cici Giok Hian sudah bercerai dengan Liong Sen, jika kau ingin cepat menyembuhkan luka hatinya, mudah saja!" kata Han Pwee Eng sambil tertawa. "Aku bisa menyempurnakan keinginan kalian!"

Kok Siauw Hong menunduk, wajahnya berubah merah. "Kenapa kau berkata begitu, adik Eng? Kejadian dulu itu

memang salahku, sekalipun sejak kecil kita sudah dijodohkan, tetapi karena tempat kita sangat berjauhan, jadi kita jarang bertemu. Sekarang keadaannya sudah lain. Sekalipun kau usir aku, aku tak akan pergi dari sampingmu!" kata Siauw Hong.

"Sejujurnya aku kalah olehnya, aku menyayangkan kau berpisah dengannya!" kata Han Pwee Eng.

"Aku akui dengan jujur, bersamanya aku merasakan kecerdikannya. Tetapi dalam dirimu terpendam batu giok yang asli belum dibentuk menjadi sebuah benda!" kata Kok Siauw Hong. "Terus-terang, melihat kebaikan Ci Giok Hian dengan    mudah    akan    terlihat.    Sebaliknya mengetahui kebaikan yang ada di dalam dirimu, memerlukan waktu lama. Tapi jika sudah ditemukan, pasti mendalam sekali. Apa kau masih mengingat terus kesalahanku dulu? Apa untuk selamanya kau tidak bisa memaafkan aku?"

Nona Han tertawa terpingkel-pingkel.

"Lho segitu marahnya, aku cuma bergurau kok, kau malah serius. Sudahlah, sekarang aku tahu, kau tidak bisa diajak bergurau," kata Han Pwee Eng. "Aku janji tak akan menggodamu lagi!"

Suara Pwee Eng seperti menyesal, sebenarnya hatinya gembira sekali. Dari depan kelihatan Kiong Mi Yun menoleh ke arah mereka sambil tersenyum manis. Tentu saja Han Pwee Eng jadi serba-salah.

"Ayo kita susul mereka!" kata nona Han dengan wajah berubah merah.

Tak lama mereka sudah bergabung kembali. "Kelihatannya kalian ngobrol asyik benar!" kata Kiong

Mi Yun sambil tersenyum.

Han Pwee Eng pura-pura marah.

"Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu, kau malah mentertawakan aku. Biar tak jadi kukatakan saja!"

"Soal apa?" kata Kiong Mi Yun kaget.

"Kau jawab, siapa orang yang paling kau pikirkan?" kata nona Han.

"Eh, dia kenapa?" kata Kiong Mi Yun.

"Dia siapa? Kalau bicara harus jelas!" goda Han Pwee Eng.

"Aku bicara benaran kau malah menggodaku," kata Kiong Mi Yun. "Baik, Siauw Hong kau saja yang menceritakan tentang Kong-sun Po!" kata nona Han.

"Sehabis dari Yang-ciu tiga bulan yang lalu, dia kutinggalkan di sana katena ingin membantu pengungsi di sana!" kata Siauw Hong.

"Ah pantas aku tak bertemu dia di Kim-kee-leng!" kata Kiong Mi Yun.

"Tapi kali ini kau akan bertemu dia di Kim-kee-leng!" kata Siauw Hong sambil tersenyum.

"Hm! Biar saja, aku toh tidak mengkhawatiri dia!" kata Kiong Mi Yun.

"Yang benar, aku dengar saat ada bahaya hingga terpaksa kalian berpisah, kau susah makan dan tidur!" goda Han Pwee Eng.

"Aku tak memikirkan dia, tapi sedang memikirkan keadaan Ayahku," kata Kiong Mi Yun sambil menarik napas. "Ayahku melarang aku menikah dengannya!"

"Aku dengar ayahmu bermusuhan dengan Hong-lay-mo- li, apa benar?" kata Kok Siauw Hong.

"Benar, Hong-lay-mo-li anak angkat kakek Kong-sun Toako," kata Mi Yun. "Maka itu dia memanggil Hong-lay- mo-li bibi! Sekarang Kong-sun Toa-ko bergabung di Kim- kee-leng, jika Ayahku tahu pasti Ayahku semakin kurang suka!"

"Jika kita sampai di Kim-kee-leng, apa kau berani tinggal lama di sana?" kata Han Pwee Eng.

Dulu saat Kiong Mi Yun datang ke Kim-kee-leng, karena takut ketahuan ayahnya dia hanya tinggal semalam saja di sana. "Kali ini, sekalipun Ayah tak mau mengakui aku sebagai putrinya, aku tidak peduli!" jawab Kiong Mi Yun.

"Bagus! Urusan pribadimu memang penting! Tapi kau harus mengambil sikap tegas!" kata nona Han.

Dorongan semangat dari seorang sahabat membuat Kiong Mi Yun tegar.

"Terima kasih, aku sudah mengambil putusan tetap!" kata nona Kiong.

"Saat kita baru bertemu dulu, kau seorang periang dan nakal, sekarang kau telah dewasa!" kata nona Han.

Kiong Mi Yun teringat pengalamannya saat dia jatuh cinta pada nona Han. Sekarang dia jadi geli sendiri.

Ketika mereka sampai ternyata Kong-sun Po tak ada di Kmkee-leng. Setelah Nona Han memperkenalkan Kiong Mi Yun pada Hong-lay-mo-li. dia langsung bertanya.

"Ke mana Kong-sun Toa-ko?" kata nona Han.

"Aku sudah lama mendengar tentang kau dari Kong-sun Po, sayang kedatanganmu terlambat tiga hari. Beberapa hari yang lalu Kong-sun Po sudah pergi lagi!" kata Hong- lay-mo-li.

"Pergi ke mana?" tanya Siauw Hong.

"Dia ke lembah Hong-hoo, katanya mereka ingin bergabung dengan pejuang kita. Aku pun mengirim seorang utusan ke sana. Dia utusanku," kata Hong-lay-mo-li. "Aku kira dia orang yang tepat dan punya hubungan baik dengan mereka. Mungkin hanya setengah bulan dia sudah kembali. Siauw Hong, kedatanganmu pun tepat sekali. Ada urusan aku butuh tenagamu!"

"Mengenai apa?" "Ingatkah kau pada Beng Piauw-thauw dari Tin-wan Piauwkiok?" kata Hong-lay-mo-li.

"Aku masih ingat," kata Siauw Hong sambil tertawa. "Dia yang mengantarkan Pwee Eng dari Lok-yang ke Yang- ciu! Untuk itu malah aku belum menghaturkan terima kasihku kepadanya!"

"Beng Teng ternyata seorang yang setia kawan dibanding pada harta," kata Hong-lay. " Aku rasa sebaiknya kau ke Taytoh menemuinya!"

"Sekarang dia ada di Tay-toh!" *)

*). Beijing, ibukota Kerajaan Kim pada Zaman Song. "Sebenarnya perusahaannya ada di Lok-yang, tapi

karena bangsa Mongol menyerbu Lok-yang dan merusak perusahaannya, dia berniat membuka Piauw-kiok di Tay- toh!" kata Hong-lay.

"Aku diutus untuk mengucapkan selamat padanya?" kata Siauw Hong.

"Benar. Tapi masih ada tugas lain yang lebih penting," kata Hong-lay.

"Soal apa?"

"Perusahaannya terkenal, hubungannya juga luas dengan berbagai lapisan termasuk dengan kalangan hitam. Tapi dia ingin membantu perjuangan kita!" kata Hong-lay. "Karena sulit menempatkan mata-mata di ibukota Kim. Maka itu kita minta Beng Teng menjadi pengamat di sana. Kau juga bisa mengadakan hubungan dengan para pejuang di sana!"

"Baiklah, kapan aku harus berangkat?" kata Siauw Hong.

"Aku dengar perusahaannya akan dibuka tanggal  tahun depan, jadi masih ada waktu dua bulan. Karena kau masih lelah silakan istirahat dulu. Beberapa hari lagi baru berangkat!"

"Tak apa, aku sudah biasa. Jika di sini tak ada masalah, besok aku berangkat!" kata Siauw Hong.

"Silakan kalau kau mau!"

"Liu Beng-cu, aku...aku..." Pwee Eng tak bisa melanjutkan kata-katanya.

"Kau mau ikut ke Tay-toh, kan?" kata Hong-lay sambil tersenyum.

Nona Han menunduk malu-malu.

"Aku masih berhutang pada Beng Teng seribu tail emas!" kata nona Han. "Walau belum bisa membayar hutang itu, tapi sedikitnya aku bisa mengucapkan terima kasih padanya!"

"Kenapa kau berhutang padanya?" tanya Hong-lay. "Pembayaran saat dia mengantarkan aku ke Yang-ciu!"

kata  nona  Han.  "Dulu  Ayah  baru  membayar  seribu  tail

emas, sedang sisanya belum Ayah bayar! Saat pulang ke Lok-yang, keluargaku berantakan gara-gara See-bun Souw Ya dan Chu Kiu Sek!"

"Oh ya, kenapa ayahmu tidak datang bersamamu ke mari?" kata Hong-lay.

Nona Han menceritakan, bahwa ayahnya akan datang setengah tahun lagi. "Karena masih ada waktu, kupikir aku ikut Siauw Hong saja ke Tay-toh."

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- Hong-lay-mo-li mengerti, apa keinginan nona Han. Maka sambil tersenyum lembut, dia berkata pada Han  Pwee

"Aku tahu perasaanmu," kata Hong-lay-mo-li sambil tertawa. "Jika begitu masalahnya, kau boleh ikut pergi bersama Siauw Hong."

"Bolehkah aku ikut bersama mereka?" kata Kiong Mi Yun tiba-tiba.

Hong-lay-mo-li seolah sudah tahu jalan pikiran Kiong Mi Yun, sambil tertawa dia menjawab.

"Kau tamuku, sudah tentu kau bebas bisa datang dan pergi sesukamu, kenapa kau minta izin padaku? Tetapi Tay- toh itu ibukota negri musuh, jika terlalu banyak yang pergi ke sana, aku kira kurang baik. Begini saja, karena kalian harus melewati kota Uh-seng di lembah sungai Tiang-kang, aku ingin minta tolong kau mengurus sebuah masalah, kau mau?"

"Masalah apa?" tanya Kiong Mi Yun yang sudah menerka apa maksud Hong-lay-mo-li.

"Setiba di Uh-seng, lebih baik kau tinggal saja di sana," kata Hong-lay-mo-li. "Kong-sun Po ada di sana sedang berunding dengan Tiang-keng-pang dan kawanan bajak yang lain. Kau pasti akan bertemu dengannya di sana. Sesudah urusan selesai kalian pulang bersama-sama ke mari!"

Sebenarnya memang itu tujuan nona Kiong, dia minta pergi bersama agar bisa segera bertemu dengan Kong-sun Po. Nona Kiong jadi malu saat isi hatinya diterka oleh Hong-lay-mo-li. "Eh, bagaimana jika akupun ikut pergi," sambung Jen Ang Siauw. "Salah seorang Pamanku tinggal di Tay-toh. Karena Ibuku telah meninggal, aku harus memberitahu kabar duka ini kepada Pamanku."

Sesudah tahu ayahnya bergabung dengan musuh, Jen Ang Siauw bertekad menemui ayahnya di Tay-toh untuk menanyakan, kenapa dia bergabung dengan musuh. Selain itu dia juga ingin mengetahui bagaimana kematian ibunya? Dia tak takut jika harus mengorbankan jiwanya.

Karena tak bisa mencegah mereka dan juga tak tahu kenapa ketiga nona itu ingin ikut dengan Kok Siauw Hong, akhirnya Hong-lay-mo-li berkata pada ketiga nona itu.

"Kalian akan menarik perhatian orang banyak di sana. Apalagi seorang pria berjalan bersama tiga orang nona!" kata Hong-lay-mo-li sambil tersenyum.

"Jangan kuatir, aku bisa menyamar menjadi seorang pria," kata Kiong Mi Yun sambil tertawa karena ingat pengalamannya dulu. "Aku akan menyamar jadi budak mereka!"

"Bagaimana jika kau menyamar jadi seorang pelajar saja?" kata Pwee Eng.

Hong-lay-mo-li mengangguk setuju. Esok harinya...

Mereka berempat berangkat ke Tay-toh.

Di antara ketiga nona itu Jen Ang Siauw yang paling berduka, sedang Kiong Mi Yun tampak gembira, karena tak lama lagi dia akan bertemu dengan pujaannya Kong-sun Po.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- Tiga hari sebelum Kok Siauw Hong dan ketiga nona itu sampai ke Kim-kee-leng, Kong-sun Po berangkat.

Suatu hari dia tiba di Hu-li-cip yang jaraknya dua hari ke kota Uh-seng.

Karena haus dan lapar Kong-sun Po menuju ke sebuah rumah makan yang kebetulan ada di tepi jalan. Saat sampai di depan rumah makan ternyata separuh pintunya tertutup. Dari daun pintu itu terlihat seorang nenek sedang menyapu lantai.

Di rumah makan itu sepi tak ada pengunjung. Karena mengira rumah makan itu tutup, Kong-sun Po akan pergi mencari rumah makan lain. Tapi tiba-tiba dia tertarik pada sebuah bangku di depan rumah makan itu,

Ketika diamati ternyata beberapa bangku panjang itu terbuat dari batu dan sudah patah. Kong-sun Po segera mengetahui, pasti bangku batu itu dipatahkan oleh seorang jago silat.

Semula Kong-sun Po akan segera meninggalkan kedai makan itu. Tapi karena tertarik dan ingin tahu apa yang telah terjadi di tempat itu, Kong-sun Po lalu mengetuk pintu rumah makan itu.

"Siapa?" tanya si nenek.

"Aku tamu!" jawab Kong-sun Po.

Sebelum membukakan pintu si nenek mengintai dulu dari balik pintu. Sesudah yakin bukan orang yang mencurigakan, si nenek keluar lalu memberi hormat.

"Maaf Tuan, hari ini kami tutup!" kata si nenek.

"Aku cuma mau membeli sedikit bubur dan minuman, apa boleh aku numpang beristirahat di sini?" kata Kong-sun Po ramah. Setelah mengamati Kong-sun Po sejenak, si nenek memanggil suaminya. Keduanya lalu membukakan pintu dan menyilakan pemuda itu masuk.

"Harap kalian menolong aku, hanya mau makan bubur atau minum dua cangkir teh saja, bolehkah aku mengaso sebentar di dalam?" kata Kong-sun Po.

"Silakan masuk, jika hanya makan bubur sederhana saja, barangkali ada," kata si kakek.

Begitu Kong-sun Po masuk dia menyaksikan warung makan itu sangat sederhana, hanya ada dua buah meja batu. Sedang dua meja kayu telah rusak, dan yang sebuah lagi sudah rusak sekali. Di sana ada sebuah anglo (perapian) yang juga sudah rusak sebagian. Melihat keadaan tempat  itu Kong-sun Po yakin belum lama di tempat itu telah terjadi perkelahian hebat.

"Lekas kau buatkan nasi untuk tamu kita!" kata si kakek. "Kau ambil sepiring sayur asin untuknya."

Kakek itu menoleh ke arah Kong-sun Po.

"Maafkan kami, hari ini karena tidak berjualan, kami tak punya persediaan makanan apa-apa!" kata si kakek.

"Jangan repot-repot, asal bisa mengisi perutku sedikit saja, itu sudah lebih dari cukup," kata Kong-sun Po sambil tersenyum.

Pemuda itu duduk kaku memperhatikan meja itu. Di atas meja itu terlihat bekas yang mencurigakan. Saat Kong-sun Po menaruh cangkir pada legokan itu, lubangnya pas sekali dengan cangkir yang ada di tangannya, Kong-sun Po kaget dan berpikir. "Ah, hebat sekali orang itu. Setelah menaruh cangkir, akibatnya meja batu itu berlubang sebesar cangkir ini!" pikir Kong-sun Po.

Melihat Kong-sun Po bengong keheranan kakek pemilik kedai itu menghampirinya.

"Kau heran, Tuan?" kata si kakek.

"Ya, kenapa bisa jadi begini?" kata Kong-sun Po.

"Hari itu kami sedang sial," kata si kakek, "karena tiba- tiba ada orang berkelahi di sini! Hampir saja kedai kami hancur berantakan," kata si kakek kelihatan sangat berduka.

Kong-sun Po merogo sakunya lalu menyerahkan sepotong uang perak.

"Terimalah ini sekedar untuk membantu kerugianmu," kata Kong-sun Po.

"Apa maksud Tuan? Kau kan hanya makan sedikit, mana berani aku menerima uangmu sebanyak ini!" kata si kakek.

"Terima saja," kata Kong-sun Po. "Jika kau tidak keberatan ceritakan apa yang terjadi di tempat ini?"

Orang tua itu menghaturkan terima kasih. Saat itu si nenek keluar membawa makanan untuk Kong-sun Po.

"Ah, sudah setua ini aku baru bertemu dengan orang sebaik kau,Tuan," kata si nenek.

"Baik akan kuceritakan. Jika salah biar si nenek ini yang membetulkannya. Menjelang tengah hari, datang sepasang muda-mudi ke kedai kami. Mereka memesan makanan. Kelihatannya mereka itu suami-istri!" kata si kakek. "Setelah kami sajikan pesanan mereka, lalu mereka makan. Tapi sebelum mereka selesai makan datang seorang yang mengenakan mantel hijau, wajahnya pucat."

"Apa orang bermantel hijau itu memelihara kumis" kata Kong sun Po.

"Kau benar, orang itu kelihatannya bukan orang baik!" kata si nenek yang keheranan atas pertanyaan itu.

"Lalu bagaimana selanjutnya?" kata Kong-sun Po. "Kehadiran orang bermantel hijau itu membuat kedua

muda-mudi itu gelisah," kata si nenek. "Orang itu lalu duduk, tepat di tempat dudukmu itu! Ketika kubawakan secangkir teh, dia mengangkat cangkir teh itu dan menekannya ke atas meja dengan keras. Akibatnya meja itu berbekas seperti itu. Sesudah itu dia tertawa."

"Eh, tak kusangka kita bertemu di sini," kata orang itu. "Mari kau duduk minum bersamaku!"

"Kong-kong, Ayahku juga kebetulan ada di belakang kami, baik akan kupanggil Ayah agar kita bisa minum bersamasama!" kata si nona itu.

"Kenapa dia memanggil Kong-kong? Aneh?" kata Kong- sun Po pada si kakek.

"Aku tidak tahu," jawab si nenek. "Tapi dia memang memanggilnya begitu!"

Setelah berpikir Kong-sun Po lalu berkata.

"Mungkin kau salah dengar, karena ketakutan si nona yang semula memanggil Paman Kiong, kalian dengar seolah dia memanggil Kong-kong!" kata Kong-sun Po. "Aku rasa orang itu she Kiong!" "Mungkin juga," kata si nenek. "Tapi sesudah mendengar kata-kata nona itu, dia melarang nona itu pergi memanggil ayahnya.

"Kau jangan bohongi aku," kata si kakek bermantel hijau. "Setahuku sekarang ayahmu ada di Kang-lam. Tapi sekalipun ayahmu ada di sini, aku tidak takut. Sebaiknya kalian ikut ke pulauku!"

Sesudah mendengar nama pulau kakek berjubah hijau itu, Kong-sun Po kaget juga. Dia langsung menerka pasti orang yang dimaksud Ci Giok Phang dan Wan Say Eng.

"Selanjutnya bagaimana?" tanya Kong-sun Po.

"Aku tak tahu apa sebabnya nona itu menuang secawan arak, dan menyuguhkannya pada si kakek."

"Baik, kami ikut kau, tapi sebelum pergi kau harus minum arak ini dulu," kata si nona.

"Hm! Kau ingin menguji kepandaian Pamanmu ini?" kata si kakek. "Tapi sesudah aku minum racunmu itu, benar kau mau ikut denganku?"

Terlihat si nenek merinding ketika mendengar kata racun itu.

"Sesudah aku dengar percakapan mereka, semula aku kira si kakek itu saja yang jahat, ternyata nona itu pun jahat dan suka meracuni orang!" kata si nenek.

"Meracun orang itu perbuatan keji dan tak pantas," kata Kong-sun Po. "tetapi saat menghadapi orang jahat, tentu perlu juga menggunakan cara yang sama jahatnya. Nona itu sadar dia bukan tandingan kakek itu, maka itu dengan segala kemampuannya dia akan menghadapinya!"

Mendengar kata-kata Kong-sun Po, si kakek tahu kalau Kong-sun Po memihak pada kedua muda-mudi itu. "Dari nada bicaramu, kau kenal dengan kedua muda- mudi ini, bukan?" kata si kakek.

"Benar, mereka sahabatku!" kata Kong-sun Po. "Sedang si kakek bermantel hijau, itu orang jahat!"

Nenek dan kakek itu ketakutan, mereka diam.

"Jangan takut, aku tidak akan menyusahkan kalian di sini!" kata Kong-sun Po sambil tersenyum.

"Aku tahu kau orang baik," kata si kakek. "Saat nona itu sudah dekat dengan si kakek, arak dalam cawan yang ada di tangannya dia siramkan ke wajah si kakek berjubah hijau. Gerakan si nona cepat luar biasa! Tak lama terdengar suara perkelahian yang gaduh, seolah kedaiku ini akan runtuh! Kami bersembunyi hingga ketiga orang itu keluar dari warung kami! Saat aku intai kedua muda-mudi itu sedang dikejar oleh si kakek. Tapi tak lama si kakek berhasil mengejar mereka. Si kakek melompat tinggi bagaikan seekor burung elang menyambar anak ayam. Lalu menginjak bangku batu di luar sana. Sambil tertawa dia mengancam kedua muda-mudi itu agar menuruti kehendaknya.

"Jadi bangku itu diinjak oleh si kakek baju hijau itu?" pikir Kong-sun Po.

Sedang si kakek melanjutkan ceritanya. "Jika kau lukai kami, Ayahku tak akan mengampunimu!" kata si nona.

"Hm! Kau menggertakku dengan nama ayahmu?" kata si kakek mengejek. "Salah seorang harus ikut ke pulauku, jika tidak apa kau tahan pukulanku seperti bangku batu itu?"

Sadar bahaya tak bisa dihindari lagi, pemuda bersama nona itu menghunus pedangnya. Tapi nona itu mencegahnya lalu membisiki dia. Entah apa yang dikatakan si  nona.  Tak  lama  mereka  seolah  takluk  dan  berjalan di depan diikuti oleh si kakek dan mereka menghilang," kata si kakek.

"Selanjutnya bagaimana?" kata Kong-sun Po.

"Sesudah kuperiksa keadaan rumah makan kami, memang banyak kaki meja dan bangku batu yang rusak! Untung kami tak dilukainya. Kalau ingat kejadian itu sampai sekarang pun kami masih ngeri sekali!" kata si kakek.

Ci Giok Phang sahabat Kong-sun Po, sedang Wan Say Eng pernah menyelamatkan dia, maka itu dia pikir harus menolongi mereka. Kong-sun Po kembali merogoh sakunya dan menyerahkan uang perak.

"Ini ganti ruginya kutambah lagi! Maaf, sekarang aku harus pergi!" kata Kong-sun Po.

"Terima kasih, Tuan muda," kata si nenek. "Uang ini cukup untuk memperbaiki warung makanku. Sekalipun ada lagi orang berkelahi, aku bisa memperbaikinya!"

"Ah, bisa saja bicara begitu, kemarin kau lari ketakutan," kata si kakek. "Malah sampai terkencing-kencing di kamar!"

"Dasar tak tahu malu, masalah yang memalukan pun kau bicarakan," gerutu si nenek.

"Aku pergi dulu," kata Kong-sun Po sambil meraih payungnya.

Tapi saat dia akan keluar dari rumah makan itu, dia mendengar ada langkah kaki mendatangi. Ternyata di sana ada tiga orang yang sudah berdiri di depan rumah makan itu. Saat diperhatikan Kong-sun Po kaget. Orang yang berdiri paling depan seorang Lhama berjubah merah, Kong- sun Po tidak kenal dengan orang itu. Tapi yang ada di belakangnya dia mengenalinya, itulah See-bun Chu Sek dan Tokoh Heng. Mereka berdua anak buah Wan-yen Hoo. Kong-sun Po sadar pasti Lhama itu ilmu silatnya tinggi, ia yakin lebih tinggi dari See-bun Chu Sek dan To-koh Heng.

"Tidak kusangka, kiranya kita bertemu di sini!" kata Chu Sek. "Wan-yen Kong-cu sangat merindukanmu!"

Lhama itu mengawasi pemuda itu. "Siapa dia?" kata si Lhama.

"Dia menantu Hek-hong-to-cu, mengenai pertengkaran dengan mertuanya, kau juga sudah tahu, Tay-su," kata Tokoh Heng.

"Aku Uh-bong datang dari Ho-lin," kata si Lhama. "Ayahmu saat berada di Mongol bersahabat dengan guruku Liong Siang Hoat-ong! Beruntung aku pernah bertemu sekali dengan ayahmu!"

Melihat tingkah mereka Kong-sun Po yakin bakal terjadi perkelahian dengan mereka. Maka itu dia waspada.

Uh-bong murid pertama dari Hak-su Mongol. Saat Jenghis Khan masih hidup terdapat  jago Mongol yang disebut "Jago Kemah Emas". Uh-bong merupakan jago urutan ketiga. Maka itu kelihayan-nya bisa diduga bukan main. Dia seorang hweeshio Mongol yang memelihara rambut. Saat itu kakek dan nenek pemilik warung itu ketakutan akan segera pergi.

"Mau ke mana kalian? Bukan menawari makanan malah mau pergi!" bentak Uh-bong.

"Maaf, hari ini kami tidak berjualan," kata si kakek. "Kami tak punya makanan apa-apa."

"Kalau kau tak berjualan, kenapa dia bisa makan di  sini?" kata Uh-bong bengis. "Aku cuma makan sekedarnya, jika kalian ingin makan mari kita cari warung makan lain saja," kata Kong-sun Po.

"Aku tak mau makan, tapi mau bicara denganmu," kata Uh-bong. "Mari, silakan duduk!"

Lhama itu menekan bahu Kong-sun Po, tapi pemuda itu segera mengerahkan tenaga dalamnya membalas serangan itu

Saat itu Kong-sun Po merasakan tekanan tangan Lhama itu sangat hebat. Jika terjadi perkelahian maka ada kemungkinan warung nasi itu akan roboh seketika itu juga. Itu berarti akan sangat menyusahkan si kakek dan nenek yang tampak ketakutan. Maka itu Kongsun Po berusaha memancing musuh agar menjauhi warung tersebut.

"Silakan jika mau bicara," kata Kong-sun Po dengan sabar.

Sementara itu Lhama yang merasakan daya dorong Kong-sun Po cukup kuat juga, dia heran kenapa Kong-sun Po yang masih begitu muda, tapi tenaganya kuat sekali. Lhama itu pun tak berani bertarung di situ. Sambil tertawa dia berkata,

"Syukur kau mau bersahabat denganku, baik aku akan langsung bicara!" kata Uh-bong.

Saat itu See-bun Chu Sek dan To-koh Heng tidak ikut masuk, karena kedudukan mereka lebih rendah dari si Lhama. Mereka hanya menjaga di luar, siapa tahu Kong- sun Po kabur.

"Aku tak berani bersahabat dengan Tay-su yang berkedudukan tinggi," kata Kong-sun Po. "Apa yang ingin Taysu bicarakan, silakan saja!" "Pendapatmu keliru, padahal kita ini orang sendiri," kata Uh-bong.

"Mana mungkin "orang sendiri" aku kan rakyat biasa, sedangkan Tay-su hwee-shio Mongol yang berkedudukan tinggi!" kata Kong-sun Po.

Lhama itu tertawa terbahak-bahak.

"Ketika mertuamu ada di Mongol dia sangat dihormati oleh Khan Yang Agung, apalagi dia sahabat Guruku, masa kau tidak tahu?" kata Uh-bong.

"Itu urusan beliau jadi tak ada sangkut-pautnya denganku," kata Kong-sun Po.

Lhama itu tertawa.

"Sebenarnya aku tahu masalahmu dengan mertuamu itu," kata Uh-bong "Jika kau mau aku bersedia jadi pendamaimu!"

"Bagaimana kau bisa mendamaikannya?" tanya Kong-su Po.

"Mungkin kau belum tahu, bahwa guruku bersama mertuamu sekarang ada di Tay-toh," kata Uh-bong. "Mereka ada di rumah Wan-yen Tiang Cie! Memang hanya beberapa minggu, karena mertuamu ada suatu masalah dia meninggalkan Tay-toh!"

"Oh, ya?" kata Kong-sun Po.

"Sebenarnya kami pun akan membantu mertuamu. Karena kebetulan bertemu di sini, mari kita cari mertuamu bersamasama!" kata Uh-bong.

Kong-sun Po merasa senang, memang dia sedang mencari tahu keberadaan mertuanya. Maka kebetulan dia mendapatkan keterangan yang dia perlukan itu. "Katakan, ada di mana beliau?" kata Kong-sun Po.

"Ada di tempat Tiang-keng-pang di Uh-seng," jawab Uh- bong. "Apakah kau bersedia pergi bersama kami?"

"Aku tak mengatakan begitu," kata Kong-sun Po.

"Hm! Jadi kau sengaja ingin mempermainkan aku?" kata Uh-bong gusar.

Tapi sebelum mereka bertengkar, terdengar See-bun Chu Sek berteriak.

"Aku menemukan sesuatu! Ternyata bangku batu di bawah pohon itu telah patah diinjak orang, mungkin itu karena diinjakan oleh Kiong Lo Sian-seng!" kata See-bun Chu Sek.

"Hm! Kalau begitu kau sudah bertemu dengan mertuamu di tempat ini?" kata Uh-bong pada Kong-sun Po.

"Terserah, jika kau mau mengatakannya begitu, silakan saja!" kata Kong-sun Po sinis.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar