Beng Ciang Hong In Lok Jilid 53

 
Sesudah itu Uh-bun Tiong tertawa terbahak-bahak. Sikapnya mirip dengan orang gila saja. Namun, Khie Wie pun cemas, jangan-jangan dia akan disiksa secara sadis olehnya. Tapi malang baginya tenaganya benar-benar sudah habis ketika dipakai menyerang Seng cap-si Kouw dengan ludahnya. Jika dia ingin bunuh diri pun rasanya sulit sekali. Untuk mati bersama ayahnya Khie Kie tak gentar. Tapi ketika dia mendengar Uh-bun Tiong akan menyiksa ayahnya, dia cemas bukan main.

"Bangsat, manusia berhati binatang, kau berani menyiksa Ayahku!" kata si nona sengit.

"Tak ada gunanya kau memakiku, Nona Kie. Karena aku yakin kau tidak bisa menyelamatkan ayahmu!" kata Uh-bun Tiong. "Jika kau memohon padaku, barangkali mungkin bisa kupertimbangkan!"

"Jangan hiraukan ocehannya, nak. Kau puteriku, kau tidak boleh menangis. Kau juga tidak boleh memohon ampun pada musuh kita!" kata Khie Wie.

"Ajal sudah di depan mata, kau masih sombong!" kata Uh-bun Tiong. "Tunggu, aku akan sembahyang dulu pada Bun Giok, sesudah itu baru kusiksa kau. Sebelum kupotong lidahmu, jika ada pesan pada puterimu, lekas katakan!"

Khie Wie mencoba mendekat ke arah Khie Kie, lalu dia belai rambut anak itu.

"Dulu Ayah sering melakukan kesalahan, mungkin inilah ganjaran bagi Ayah. Jika kau beruntung bisa bebas, kau boleh mencari Sin Toa-komu!" bisik Khie Wie.

"Ayah, aku ingin kau mengatakan sesuatu padaku," kata si nona.

"Soal apa?"

"Sebenarnya siapa Sin Toa-ko, apa benar dia sudah beristri dan ingkar janji?"

Pertanyaan itu membuat Khie Wie jadi bingung. Di saat kritis seperti itu, dia tak boleh membuat puteri satu-satunya berduka. Sedang Uh-bun Tiong sudah selesai sembahyang di depan kuburan istrinya. Dia sudah mulai bangun tetapi Khie Wie belum menjawab pertanyaan putri tunggalnya karena masih ragu-ragu.

"Ayah, kenapa kau diam saja? Katakan benarkah dia sudah ....dia sudah. "

Khie Wie buru-buru bicara.

"Anakku, aku kira Sin Toa-komu itu seorang pria yang berperasaan. Pasti dia akan menjagamu dengan baik. "

kata Khie Wie. Putrinya tersenyum puas.

"Kalau begitu aku lega, jika dia berperasaan baik, apapun kesalahannya akan kuampuni dia!" kata Khie Kie.

"Bagaimana, kalian sudah selesai bicara belum? Aku akan melaksanakan hukumanmu!" kata Uh-bun Tiong.

"Jika kau mau menyiksaku, silakan! Tapi aku mohon kau jangan lakukan di depan putriku!" kata Khe Wie.

Uh-bun Tiong tertawa.

"Aku kira kau seorang jagoan yang tak takut apapun, ternyata masih ada yang kau takutkan!" kata Uh-bun Tiong.

"Keparat, aku tak takut padamu! Permusuhan kita tak ada sangkut-pautnya dengan anakku, jika kau mau menyiksaku silakan. Tapi jangan kau siksa batin puteriku!" kata Khie Wie.

"Kau takut putrimu melihat aku menyiksamu? Tadi kau ajari putrimu agar tak minta ampun padaku, sekarang kau malah minta keringanan dariku!" kata Uh-bun Tiong.

"Sudah jangan banyak bicara, silakan bunuh saja aku!" kata Khie Wie.

Uh-bun Tiong menghunus belati dari pinggangnya. Dia acungkan di muka Khie Wie. Lalu dia berkata pada Khie Kie. "Demi kau, jiwa ayahmu kuampuni, tapi jari dan urat- urat ayahmu akan kupotong! Sekarang matanya dulu yang akan kucungkil. Sesudah itu kau boleh merawat dia seumur hidupnya!" kata Uh-bun Tiong.

Sesudah itu dia acungkan pisaunya ke arah mata Khie Wie. Saat itu Khie Kie menjerit histeris lalu pingsan. Di benak nona ini mengeluh.

"Di mana Sin Toa-ko berada, aku akan mati bersama Ayahku. Jika dia ada di sini, biar dia membalaskan sakit hati kami!" begitu pikir Khie Kie ketika itu.

Sedikitpun si nona tidak mengira, kalau Seng Liong Sen sedang berada di rumah Jen Thian Ngo, dia sedang dipaksa untuk memberi keterangan, di mana adanya putri Jen Thian Ngo. Tetapi Seng Liong Sen selalu menjawab tidak tahu.

"Aku tahu kau ke Yang-ciu dan bertemu dengan Giok Hian, jika kau tidak mau mengaku, maka jangan salahkan aku jika kau kupaksa dengan kekerasan!" ancam Jen Thian Ngo.

"Memang aku bertemu dengan Giok Hian, tapi itu tidak berarti aku bertemu dengan putrimu!" kata Seng Liong Sen. "Terus-terang putrimu tidak bersama Giok Hian!"

"Putriku tak punya kenalan lain, dia kabur jika bukan mencari Giok Hian, lalu dia ke mana?" kata Jen Thian Ngo.

"Mana aku tahu." kata Seng Liong Sen, "apa kau ingin aku menjawab dan berbohong? Aku benar-benar tidak tahu?" .

Jen Thian Ngo yang penasaran tak mau mengerti. Maka untuk menunggu kedatangan Seng Cap-si Kouw dia tahan Seng Liong Sen di sebuah kamar. Sekalipun dia tahu Liong Sen sudah ditotok oleh bibinya, Jen Thian Ngo masih menotoknya lagi agar tak bisa bebas Lalu dia seret pemuda itu ke sebuah kamar.

"Ini tempat tidurmu tempo hari, aku masih menghargaimu!" kata Jen Thian Ngo. "Kau pikir baik-baik, besok kau harus menjawab dengan benar pertanyaanku!

Tiga totokan itu membuat Seng Liong Sen tak berdaya, sekalipun mulutnya masih bisa bicara. Walau dia mendengar ucapan Jen Thian Ngo, tapi tak dihiraukannya.

Saat berada di kamar yang gelap itu, dia ingat kejadian tempo hari,, ketika dia bersama Ci Giok Hian datang ke rumah itu. Sekarang kamar itu bukan kamar tamu lagi, tapi menjadi kamar tahanan baginya. Di sini untuk pertama kalinya Ci Giok Hian membangkang padanya. Hingga untuk menemuinya pun sekarang dia tak berani.

Mereka datang ke situ untuk menawan Kiong Mi Yun yang akan ditukar dengan bibinya. Semula istrinya tak setuju, tapi dia paksa istrinya. Terpaksa Ci Giok Hian menurut. Ternyata Ci Giok Hian malah membawa kabur nona Kiong juga putri Jen Thian Ngo.

"Istriku benci padaku, ketika dia tahu aku mendorong Kong-sun Po ke jurang! Ketika kami ke sini, dia sudah benci padaku. Karena aku akan menangkap nona Kiong untuk menolongi Bibiku. Ternyata Bibi lebih percaya pada musuhku Uh-bun Tiong. Sekarang aku jatuh ke tangan Jen Thian Ngo, ini sudah menjadi ganjaranku! Rasanya saat ini lebih baik aku mati saja. Tapi aku pun tak berdaya," pikir Seng Liong Sen.

"Entah bagaimana nasib Khie Kie. Dia akan digunakan sebagai umpan untuk memancing ayahnya. Aku harus menyelamatkan dia! Tapi sekarang aku tak berdaya. Sekalipun aku tak dikurung di kamar ini, aku tetap tak bisa mermbebaskan totokan Bibi dan Jen Thian Ngo. Tapi jika aku masih hidup, rasanya masih ada harapan. " pikir Seng

Liong Sen.

"Lebih baik aku tetap hidup, siapa tahu besok aku punya kesempatan!" pikir pemuda ini yang tak jadi bunuh diri.

Tengah malam dia masih tak bisa tidur. Lalu dia coba pelajaran dari Tabib Ong, siapa tahu bisa bebas dari totokan kedua jago itu. Walau dia tahu mungkin itu harapan kecil, tapi daripada iseng dan diam saja, maka dia berusaha dengan cara dia sendiri.

Sesudah sekian lama dia berlatih ajaran Tabib Ong dia kaget sendiri karena dia merasakan tubuhnya mulai hangat. Ternyata darahnya mulai terasa mengalir ke sekujur tubuhnya. Bahkan totokan Jen Thian Ngo terbuka sendiri.

Ketika ayam jago berkokok dan fajar mulai menyingsing, seluruh tubuhnya terasa nyaman. Sekarang dia telah bebas. Dia lalu melompat dan menggerakan tubuhnya yang terasa nyaman. Saat itu penghuni rumah itu belum bangun. Dia girang bukan main.

"Membalas dendam pada Jen Thian Ngo nanti saja, paling penting kutolongi dulu Khie Kie!" pikir Seng Liong Sen.

Tanpa pikir panjang lagi dia membuka jendela lalu melompat keluar. Barangkali Jen Thian Ngo tidak mengira kalau pemuda itu bisa membebaskan totokannya. Padahal saat itu Seng Liong Sen bisa meninggalkan rumahnya dengan leluasa sekali.

Ketika itu Seng Cap-si Kouw pun sedang berjalan menuju ke rumah Jen Thian Ngo, untung Seng Liong Sen tak bertemu dengan bibinya. Dia mengambil jalan kecil hingga tak berpapasan dengan bibinya. Saat itu Liong Sen berlari kencang, ketika sampai di rumah Khie Kie dia kaget karena di sana tak ada orang. Tapi ketika dia berjalan ke belakang rumah, dia mendengar suara jeritan Khie Kie.

Saat Seng Liong Sen memburu ke arah suara Khie Kie, ketika itu dia lihat Uh-bun Tiong sedang mengancam dengan belatinya ke mata Khie Wie. Dia lihat Khie Kie tergeletak tak berdaya, pingsan.

Uh-bun Tiong sedang mempermainkan lawannya. Dia mirip dengan sekor kucing yang sedang mengajak tikus bercanda, sebelum dia terkam dan membunuh musuhnya.

"Aku yakin kau tak mengira, sesudah duapuluh tahun aku bisa membalas dendam, bukan?" kata Uh-bun Tiong.

Baru sesudah itu pisaunya perlahan-lahan diarahkan ke mata Khie Wie. Pada detik yang paling kritis bagi Khie Wie, sebuah kerikil menyambar tepat mengenai belati Uh- bun Tiong.

"Tring!"

Arah belati melenceng hingga Uh-bun Tiong kaget, dia menoleh.

"Siapa itu?" kata Uh-bun Tiong.

Tiba-tiba Seng Liong Sen menyerang dia. "Bangsat, ternyata kau!" bentak Uh-bun Tiong..

"Ya, memang aku!" jawab Seng Liong Sen. "Kau celakai adik Kie maka itu akan kubunuh kau!"

Saat Uh-bun Tiong mengayunkan belatinya Seng Liong Sen membabat dengan pedangnya.

"Trang!" Belati Uh-bun Tiong terpotong jadi dua oleh pedang Seng Liong Sen yang tajam.

Uh-bun Tiong buru-buru melemparkan sisa pisau belatinya ke tanah. Dia coba akan menangkap tangan Seng Liong Sen yang memegang pedang. Tapi dengan cepat Seng Liong Sen membalikkan tangan untuk memotong tangan Uh-bun Tiong.

"Lepas pedangmu!" kata Uh-bun Tiong.

Telapak tangan Uh-bun Tiong membabat lengan Seng Liong Sen. Memang kepandaian Uh-bun Tiong lebih tinggi dari Seng Liong Sen. Saat pemuda ini hendak menghindar tapi terlambat, tangannya terhantam oleh pukulan Uh-bun Tiong. Sedang pedang di tangannya jatuh. Semula Uh-bun Tiong agak jerih, tapi ketika tahu tenaga Liong Sen agak berkurang, dia jadi bersemangat sekali. Tiba-tiba Uh-bun Tiong tertawa.

"Kebetulan, ternyata kau pria berbudi. Maka itu aku akan menyempurnakannya, agar kalian berkumpul semuanya di neraka!" kata Uh-bun Tiong mengejek.

Bukan main gusarnya pemuda ini, dia menyerang secara membabi-buta. Dia baru saja bebas dari totokan, dan dia juga memang kalah lihay oleh lawannya. Maka itu tak heran, kali ini pun dia terhajar oleh lawannya.

"Apa kau masih mau membunuhku, atau kau yang aku bunuh?" kata Uh-bun Tiong mngejek.

Saat itu Uh-bun Tiong maju akan menghabisi nyawa Seng Liong Sen. Tiba-tiba saja seperti kesetanan Seng Liong Sen bangun.

"Bangsat, aku tak akan menyerah. Biar kita mati bersamasama aku tak menyesal!" teriak Seng Liong Sen. Begitu bangun dia langsung menyerang tanpa menghiraukan bahaya. Sesudah menghindari serangan Uh- bun Tiong dia langsung menyeruduk ke dada lawan. Saat itu Uh-bun Tiong mencengkram Liong Sen. Tapi jika dia gagal maka dia akan kena terseruduk oleh lawan, maka itu dia akan terluka parah.

Karena dia tak bersedia mengadu jiwa, maka dia tarik serangannya, dia ganti dengan serangan baru. Saat itu Khie Wie kaget melihat Seng Liong Sen begitu gigih membela mereka.

"Anak Sin aku berhutang budi padamu! Aku telah salah menduga tentang dirimu. Matipun aku akan berterima  kasih padamu. Lekas tinggalkan kami!" kata Khie Wie.

"Paman Khie aku tak akan meninggalkan kalian, dan tak rela membiarkan kau disiksa oleh manusia biadab seperti Uh-bun Tiong!" kata Seng Liong Sen.

Karena dia sedang bicara dia terserang lawan, tapi dia berhasil membalas pukulan lawan. Tiba-tiba kelihatan Seng Liong Sen semakin bersemangat, hingga membuat Uh-bun Tiong kaget bukan kepalang. Dia tak mengira entah dari mana tenaga pemuda itu seperti bertambah hebat.

"Dia sudah menguasai tenaga dalam Khie Wie, jika tidak kubunuh sekarang, kelak dia akan berbahaya bagiku!" pikir Uh-bun Tiong.

Maka itu Uh-bun Tiong mengubah serangannya. Sekarang Seng Liong Sen dia kurung. Tiba-tiba Khie Wie memberi petunjuk pada Seng Liong Sen.

"Melangkah ke sudut Kian, mundur ke Soan, maju dan serang dia!" kata Khie Wie.

Semula Seng Liong Sen keheranan, tapi dia langsung mengerti  apa  maksud  petunjuk  Khie  Wie  itu.  Sekalipun agak terlambat, dia menjalankan petunjuk itu dengan sungguhsungguh. Baju Liong Sen terkoyak oleh serangan Uh-bun Tiong, tapi Seng Liong Sen selamat berkat petunjuk Khie Wie itu. Secara beruntun Khie Wie memberi petunjuk lagi, hingga akhirnya Uh-bun Tiong berhasil dijinakkan oleh serangan Liong Sen.

"Bangsat tua! Akan kubunuh kau lebih dulu!" bentak Uh- bun Tiong.

Dia melompat akan membunuh Khie Wie. Tapi Seng Liong Sen maju untuk menolongi Khie Wie. Tangan Uh- bun Tiong berhasil memukul Seng Liong Sen hingga terjungkal ke belakang. Khie Wie kaget, dia sangat mencemaskan keadaan Seng Liong Sen. Saat itu Khie Wie sudah tak takut mati. Jika Liong Sen terluka, maka tipis kesempatan bagi pemuda itu bisa melarikan diri. Melihat lawannya terjungkal, Uh-bun Tiong tertawa menghina. Dia melangkah mendekati Khie Wie. Tibatiba serangan Seng Liong Sen datang.

"Bajingan! Apa kau mau mampus?" bentak Uh-bun Tiong.

"Benar, aku mau mampus!" kata Seng Liong Sen.

Tangannya menghantam ke arah lawan. Maka itu dia sambut serangan Seng Liong Sen itu, keras lawan keras.

"Duuk!"

Seng Liong Sen terdorong mundur, tapi Uh-bun Tiong pun menggeliat kesakitan dan hampir terjungkal. Uh-bun Tiong kaget bukan main. Rupanya tenaga dan semangat Seng Liong Sen bertambah sendiri. Sekalipun dia sering terjatuh kena pukulan lawan, tapi dia bandel maju lagi dan maju lagi. Sekarang tanpa petunjuk Khie Wie pun dia mampu menandingi lawannya. Menyaksikan lawan demikian bandel, Uh-bn Tiong kewalahan juga. Lalu dia berkata, "Seng Liong Sen aku ini sahabat bibimu, baik kau kuampuni. Lekas kau pergi dari sini!"

"Tidak! Karena kau menyusahkan nona Khie, maka aku akan mengadu jiwa denganmu!" bentak Seng Liong Sen.

Seng Liong Sen maju dan berhasil memukul lawan, sekalipun dia sendiri terkena pukulan lawan. Pinggang Uh- bun Tiong terasa sakit. Dia heran kenapa pemuda itu semakin gagah saja.

"Kalau terus begini, aku bisa berabe!" pikir Uh-bun I iong Sesudah melancarkan sebuah serangan dan Seng Liong

Sen mundur, dia berkata nyaring.

"Aku tak mencelakai nona Kie. Dia terbaring baik-baik saja!" kata Uh-bun Tiong.

"Mana bisa kau tipu aku, sesudah aku pergi, pasti kau akan mencelakai dia dan Paman Khie!" kata Seng Liong Sen.

Sesudah itu Seng Liong Sen melancarkan sebuah serangan kilat.

"Baik, akan kukirim kau ke akherat!" kata Uh-bun Tiong gusar.

Serangan Uh-bun Tiong ditangkis oleh Seng Liong Sen dengan sekuat tenaga. Kembali tubuh Uh-bun Tiong bergetar. Dia kaget bukan main. Tadi Uh-bun Tiong yang terdesak, terpaksa menggunakan tenaga dalam aliran Khie Wie yang dia cangkok dari Seng Liong Sen untuk mengadu tenaga dengan pemuda itu. Dua kekuatan pun bentrok. Seng Liong Sen terjungkal. Tapi dia langung bangun lagi dan tetap berusaha mencegah Uh-bun Tiong agar tidak bisa mendekati Khie Wie.

Sekilas Uh-bun Tiong melirik ke arah Khie Wie. Dia lihat orang itu sedang berkonsentrasi menghimpun kekuatannya. Mungkin dia berusaha mengusir racun yang ada di tubuhnya.

Untung Uh-bun Tiong yakin, racun Seng Cap-si Kouw tak mudah untuk dipunahkan. Dia pikir lebih baik menyingkirkan Seng Liong Sen dulu, baru dia habisi nyawa Khie Wie.

Saat Uh-bun Tiong maju akan menghadapi Seng Liong Sen, Uh-bun Tiong kaget, Khie Wie tiba-tiba bangun. Sambil berdiri dan bersiul keras dia berkata pada Seng Liong Sen.

"Kau mundur Liong Sen, biar aku mengadakan perhitungan dengannya!" kata Khie Wie. "Bangsat Uh-bun Tiong, hadapi aku jika kau seorang jagoan!"

Suitan Khie Wie memekakkan telinga Uh-bun Tiong. Mendengar suitan nyaring tersebut, Uh-bun Tiong terperanjat karena dia yakin tenaga dalam Khie Wie sudah pulih sama sekali. Uh-bun Tiong ketakutan. Maka itu tanpa berpikir panjang lagi dia pun kabur. Khie Wie berusaha mengejar lawan, Seng Liong Sen coba menghalanginya.

"Musuh sudah kabur, jangan dikejar, Paman!" kata Seng Liong Sen.

"Dia harus kukejar aku harus mengadakan perhitungan dengannya! Kau jaga Khie Kie!" kata Khie Wie. "Bangsat Uh-bun Tiong, jangan lari kau dan hadapi aku!"

Uh-bun Tiong kabur ke arah rumah Jen Thian Ngo, sebab dia pikir di sana ada Seng Cap-si Kouw dan Jen Thian Ngo, mereka pasti  bisa  menghadapi  Khie  Wie.  Di luar dugaan sebenarnya tenaga Khie Wie belum pulih benar, sekalipun dia mampu berdiri. Tadi Khie Wie bersiul panjang, itu cuma untuk menggertak lawan saja. Oleh karena itu Uh-bun Tiong tertipu oleh siulan Khie Wie tadi. Maksud Khie Wie siulan tadi hanya untuk menyelamatkan Seng Liong Sen.

Dia tahu sekalipun Seng Liong Sen bisa menandingi Uh- bun Tiong, tapi hal itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Tadi dia sengaja mengatakan akan mengejar Uh-bun Tiong, itu sebenarnya cuma gertakan belaka!

Memang Khie Wie pergi seolah akan mengejar musuh, tapi sebenarnya dia memberi kesempatan kepada Seng Liong Sen agar bisa bebas bicara dengan Khie Kie.

Menyaksikan lawan lari terbirit-birit hal itu membuat Khie Wie geli. Dia pura-pura mengejar, tapi sekarang dia akan segera kembali lagi jika lawan sudah lari jauh.

Suara suitan Khie Wie menyadarkan Khie Kie. Saat membuka matanya, dia kaget melihat Seng Liong Sen ada di depannya. Lalu dia berkata tergagap.

"Liong Toa-ko, benarkah itu kau? Apa aku ini sedang bermimpi?" kata Khie Kie.

"Kau tidak sedang bermimpi Khie Kie, sesuai janjiku aku kembali menemuimu!" kata Seng Liong Sen lembut.

"Mana bangsat itu?" kata si nona.

"Ayahmu sudah sehat, Uh-bun Tiong sedang dikejar oleh ayahmu!" kata Seng Liong Sen.

"Kau tahu apa yang kualami?" kata si nona.

"Aku sudah tahu, aku mengaku bersalah mendatangkan bahaya bagi kalian!" kata Seng Liong Sen. "Apa maksudmu, aku tidak mengerti?" kata si nona. "Apa hubungan kau dengan kejahatan yang mereka lakukan pada kami?"

"Sungguh aku tak mengira kalau Bibiku bekomplot dengan penjahat itu!" kata Seng Liong Sen. "Mereka berniat membunuh kalian berdua!"

"Jadi perempuan jahat itu bibimu?" kata Khie Kie. "Benar, aku bertengkar dengan Bibiku dan sudah putus

hubungan dengannya," kata Seng Liong Sen.

"Apa benar kata-kata bibimu, kau sudah punya istri?" kata Khie Kie.

Seng Liong Sen kaget dan hatinya pilu. Tapi dia menangguk.

"Benar, dia benar Kie, aku sudah punya istri!" kata Liong Sen.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Di rumah Jen Thian Ngo Seng Cap-si Kouw mengisahkan, bahwa Khie Wie telah berhasil diracun dan tertangkap serta sedang disiksa oleh Uh-bun Tiong. Mendengar kabar itu bukan main senangnya Jen Thian Ngo.

"Dia tinggi hati dan juga memandang rendah padaku. Sebaiknya aku ikut denganmu, aku ingin melihat bagaimana Uh-bun Tiong menyiksa dia! Tetapi sekarang aku minta bantuanmu..." kata Jen Thian Ngo.

"Mengenai masalah apa?" tanya si Iblis Perempuan. "Tentu   saja   mengenai   keponakanmu,   dia   tak   mau

mengaku  di  mana  putriku  berada?"  kata  Jen  Thian Ngo.

"Aku harap kau mau membujuknya!" "Aku tak bisa mengatasi dia, tapi baiklah akan kucoba.

Ajak aku menemuinya!" kata Seng Cap-si Kouw.

Tak lama Thian Ngo mengajak Seng Cap-si Kouw ke kamar Seng Liong Sen ditahan. Mereka kaget ternyata Seng Liong Sen sudah kabur.

"Aku tahu sampai dimana kepandaiannya, ditambah lagi kau juga menotoknya! Mana mungkin dia bisa membuka totokanku dan totokanmu?" kata Seng Cap-si Kouw. "Mungkin ada orang yang menolonginya?"

Saat keduanya kebingungan, pegawai Jen Thian Ngo memberi kabar.

"Ada tiga orang tamu ingin bertemu!" kata si pelapor. "Bagaimana macam ketiga tamu itu?" kata Jen Thian

Ngo. "Siapa nama mereka?"

"Seorang kakek bersama dua orang muda-mudi!" jawab pegawai itu. "Belum sempat hamba tanya mereka langsung masuk. Sekarang mereka ada di ruang tamu!"

"Aku rasa mereka sengaja ingin mengacau di rumahmu!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Baik, akan kutemui mereka! Barangkali mereka itu sudah menelan hati harimau, hingga begitu beraninya berlagak di rumahku!" kata Jen Thian Ngo.

Jen Thian Ngo sadar mungkin dia bukan tandingan orang yang memaksa masuk ke rumahnya itu. Tetapi karena ada Seng Cap-si Kouw, dia memberanikan diri dan yakin mereka mampu menghadapi lawan yang mana pun. Betapa kagetnya mereka saat melihat tamu yang ada di ruang tamu itu. Mereka ternyata Han Tay Hiong, Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Han Tay Hiong tahu Khie Wie tinggal di Sun-keng-san dari It Beng To-jin dan Pek Hwee Hwee-shio. Karena rumah Khie Wie sulit mereka cari, mereka iseng singgah dulu ke rumah Jen Thian Ngo. Alamat Jen Thian Ngo diketahui Kok Siauw Hong yang ingin mengadakan perhitungan dengan pamannya yang jahat itu.

Mereka akan memaksa Jen Thian Ngo agar menunjukkan alamat Khie Wie, maksudnya untuk menyelidiki keberadaan Seng Liong Sen. Tak mereka sangka mereka malah bertemu dengan Seng Cap-si Kouw di rumah Jen Thian Ngo. Seng Capsi Kouw yang kaget akan segera melarikan diri.

"Hai siluman perempuan, ternyata kau ada di sini!" bentak Han Tay Hiong.

"Tenang! Tenang, bicaralah baik-baik," kata Jen Thian Ngo.

Tangan Han Tay Hiong melayang menghantam ke arah Jen Thian Ngo yang langsung sempoyongan. Han Tay Hiong langsung mengejar Seng Cap-si Kouw yang berusaha kabur.

Mengetahui dia dikejar, tiba-tiba Seng Cap-si Kouw berbalik. Dia ayunkan tangannya. Tak lama terdengar suara ledakan hebat. Disusul oleh asap hitam dan beberapa jarum emas berhamburan ke arah jago tua she Han itu. Untuk menghadapi serangan senjata rahasia itu, Han Tay Hiong memukul sebanyak tiga kali ke arah jarum-jarum itu. Maka berjatuhanlah jarum-jarum itu ke tanah. Sesudah kabut hitam menghilang, Seng Cap-si Kouw pun sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya.

Karena yakin tak akan mampu mengejarnya, Han Tay Hiong mengeluh dan kembali ke rumah Jen Thian Ngo. "Ternyata kau lolos lagi dari tanganku!" kata Han Tay Hiong.

Dia kembali dan berkata pada Jen Thian Ngo. "Jen Thian Ngo, apa kabar?" kata Han Tay Hiong.

Ketika ditegur Jen Thian Ngo yang tenaga dalamnya kurang kuat, sedang batuk-batuk karena menghirup hawa racun dari senjata si Iblis Perempuan. Maka dengan sekali jambret tubuh Jen Thian Ngo berhasil dicengkram oleh Han Tay Hiong.

"Han Toa-ko, mengapa kau menangkapku? Bukankah kita ini famili, Kok Siauw Hong calon menantumu itu keponakanku, kenapa kau ingin menyusahkan aku?" kata Jen THian Ngo.

"Kau bukan Pamanku!" kata Kok Siauw Hong.

Jen Thian Ngo kaget, dia tahu apa maksud ucapan keponakannya yang tak mau mengakui dia sebagai pamannya itu.

"Memang aku kurang sepaham dengan ibumu, tetapi kita masih saudara. Masa kau tak mau mengakui aku sebagai pamanmu?" kata Jen Thian Ngo.

"Kau jangan berpura-pura bodoh, Paman!" kata Kok Siauw Hong. "Ini bukan masalah keluarga, apa kau kira aku tak tahu perbuatanmu? Kau tak pantas jadi Pamanku!"

Jen Thian Ngo kembali kaget. Dia mencoba bersikap tenang.

"Aku di kalangan Kang-ouw terkenal, masakan kau malu mengakuiku sebagai Pamanmu?" kata Jen Thian Ngo.

"Kau licik dan licin, berpura-pura baik, tapi kau menusuk dari belakang!" kata Kok Siauw Hong. "Kau mempermainkan para pendekar!" "Kau bilang begitu hanya karena Seng Cap-si Kouw ada di rumahku, bukan? Kau ingin menghinaku begitu ya?" kata Jen Thian Ngo. "Aku tahu memang dia jahat, tetapi aku tidak bermusuhan dengannya. Maka itu apa salahnya jika aku menerima kedatangannya di sini? Padahal kau lihat sendiri, aku juga dia serang dengan jarum emasnya! Jika aku kawan dia, masakan dia sekeji itu kepadaku?"

"Mau apa dia menemuimu?" kata Han Tay Hiong.

"Dia sedang mencari Khie Wie, mereka bermusuhan!" kata Jen Thian Ngo. "Dia mencariku agar aku mau membantu menghadapi Khie Wie. Tapi ajakannya aku tolak!"

"Masalah ini sementara jangan kita bicarakan," kata Kok Siauw Hong. "Aku ingin bertanya padamu, Paman! Ih Hua Liong itu muridmu bukan?"

"Ya, dia muridku. Memang kenapa?" tanya Jen Thian Ngo.

"Dia pengikut bangsa Mongol, rahasianya sudah kuketahui," kata Kok Siauw Hong.

"Ah, kurangajar sekali dia! Beraninya dia berkomplot dengan musuh!" kata Jen Thian Ngo.

Tapi tampak tubuhnya mulai gemetar.

"Akan kubunuh dia agar nama baikku bersih di mata umum. Terima kasih atas keteranganmu itu, Siauw Hong!" melanjutkan Jen Thian Ngo.

"Ketika kudesak, dia mengaku semua perbuatannya itu atas perintahmu, Paman!" kata Kok Siauw Hong.

"Ngawur! Untuk menyelamatkan dirinya dia asal bicara saja. Apa kau percaya pada ucapannya?" kata Jen Thian Ngo. "Aku harap kau jangan cuci tangan, Paman! Apa kau sudah lupa ketika terjadi peretempuran di Ceng-liong- kouw?" kata Kok Siauw Hong.

"Tapi kau lihat sendiri saat aku terluka oleh See-bun Souw Ya dan Chu Kiu Sek, bukan?" kata Jen Thian Ngo.

"Hm! Aku tahu saat itu kau sedang bersandiwara, sayang permainanmu itu ketahuan olehku, Paman!" kata Kok Siauw Hong. "Bukankah waktu itu kau berkomplot mengincar harta Siang-koan Hok di rumah mertuaku ini? Kau berpura-pura mengawal harta itu, diam-diam kau suruh Ih Hoa Liong, muridmu itu mengirim berita pada orang Mongol. Ih Hoa Liong sudah mengakui semua perbuatannya itu. Bahkan kau juga kepergok oleh Kiong Mi Yun saat dia bersembunyi di kolong ranjang di rumah mertuaku. Tapi tak kau ketahui ada dia di sana, bukan?"

"Kalau begitu ajak Ih Hua Liong dan Kiong Mi Yun menemuiku, agar semuanya jadi jelas!" kata Jen Thian Ngo membela diri.

"Ih Hua Liong sudah kabur ke Mongol, kelak aku akan mencari dia. Kiong Mi Yun ada di Kim-kee-leng, jika Paman mau mari kau ikut kami ke Kim-kee-leng!" kata Kok Siauw Hong.

"Baik, mari kita berangkat sekarang juga ke Kim-kee- leng!" kata Jen Thian Ngo.

Jen Thian Ngo berpikir dengan mengulur waktu, siapa tahu dia bisa meloloskan diri. Tetapi Han Tay Hiong curiga. Dia bisa menerka apa yang ada di benak Jen Thian Ngo saat itu?

"Jen Thian Ngo, kau jangan gunakan siasat ulur waktu," kata  Han  Tay  Hiong.  "Tanpa  saksipun  aku  yakin Siauw Hong benar! Kau harus bernai berbuat berani bertanggungjawab!"

"Kalian jangan memaksaku agar aku mengakui sesuatu yang tak penah kulakukan. Kalau begitu lebih baik kalian bunuh saja aku!" tantang Jen Thian Ngo.

"Kau harus jujur, mengaku saja! Kesalahan bisa diperbaiki asal kau punya niat memperbaikinya. Kesempatan untuk menebus dosamu selalu terbuka! Kau mau atau tidak?" kata Han Tay Hiong.

"Sebenarnya apa sih yang kalian inginkan dariku?"

"Aku ingin kau mengaku terus-terang," kata Kok Siauw Hong. "Apa benar kau bersekongkol dengan orang Mongol? Yang kedua, Siapa saja dan berapa orang yang berkhinat sepertimu yang kau ketahui? Yang terakhir, tahukah kau di mana Seng Liong Sen berada? Karena kau tidak bisa mengelak tentang keberadaan bibinya di rumahmu ini! Bantu kami menemukan dia!"

Senang juga Jen Thian Ngo mendengar mereka minta bantuannya.

"Yang pertama dan kedua, aku tolak karena tuduhan itu tidak berdasar!" kata Jen Thian Ngo. "Mengenai Seng Liong Sen, kebetulan aku tahu dia ada di mana?"

"Katakan, di mana?" kata Kok Siauw Hong.

"Jika kalian datang setengah hari di muka, sebenarnya dia ada di sini!" kata Jen Thian Ngo.

"Sekarang ke mana dia?" kata Kok Siauw Hong.

"Tadi malam Seng Cap-si Kouw membawa dia dalam keadaan tertotok, entah mengapa tiba-tiba dia menghilang semalam! Mungkin dia melarikan diri?" kata Jen Thian Ngo. "Apa benar begitu? kata Kok Siauw Hong tidak yakin.

"Aku kira keteranganya benar!" kata nona Han tiba-tiba. "Dia tidak bohong!"

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Han Pwee Eng masuk ke dalam rumah, dia menemui salah seorang pelayan Jen Thian Ngo yang langsung dia tanya. Dari pelayan itu dia memperoleh keterangan bahwa semalam memang ada seorang pemuda bermuka buruk tinggal di situ. Tetapi pagi-pagi sekali dia telah menghilang.

"Nah, sekarang kalian tidak perlu sangsi lagi, bukan?" kata Jen Thian Ngo.

"Dia kabur ke mana? Aku yakin kau bisa memperkirakan ke mana dia pergi?" kata Kok Siauw Hong.

"Ada kemungkinan dia ke rumah Khie Wie," kata Jen Thian Ngo. "Sebab setahuku dia punya hubungan erat dengan putri Khie Wie. Aku kira Khie Wie tidak tahu bahwa Seng Liong Sen sudah menikah! Dia setuju Seng Liong Sen menjadi menantunya."

"Baik, ajak kami ke tempat Khie Wie untuk mencari dia," kata Kok Siauw Hong.

"Itu tak jadi soal, tapi kalian jangan menganggapku sebagai sandera!" kata Jen Thian Ngo sambil tersenyum.

Han Tay Hiong melepaskan paman menantunya itu. "Baik, kalau kau jujur dan tetap mengaggap aku besanmu. Nah, kau tunjukan jalannya!" kata Han Tay Hiong. "Baik, ikuti aku lewat taman di belakang rumaku ini, dari situ jarak ke tempat Khie Wie lebih dekat!" kata Jen Thian Ngo sambil mendahului berjalan di depan..

Kok Siauw Hong merasa heran, dia tahu Han Tay Hiong sangat hati-hati sekali dalam segala tindakannya. Sekarang dia nilai mertuanya itu sangat lengah. Dan benar saja, tiba- tiba Han Pwee Eng menjerit kaget. Ternyata Jen Thian Ngo berhasil mencengkram nona Han, lalu sebelah kakinya menendang ke arah Kok Siauw Hong!

Kok Siauw Hong kaget. Untuk sesaat dia terpesona dan tak menyangka akan diserang demikian. Ketika dia menyaksikan kejadian itu, dia tak sempat menghindari tendangan pamannya. Tapi untung Han Tay Hong telah mendorong dia sehingga tendangan Jen Thian Ngo luput tidak mengenai Kok Siauw Hong. Tangan Han Tay Hiong langsung membabat ke arah betis Jen Thian Ngo yang dipakai menendang Kok Siauw Hong.

Jen Thian Ngo cerdik, dia membatalkan serangannya itu, sebagai gantinya dia dorong nona Han.

"Nah, silakan kau bunuh putrimu sendiri!" kata Jen Thian Ngo.

Sebenarnya Han Tay Hiong sudah tahu, betapa liciknya Jen Thian Ngo ini. Ketika lengah benar saja dia didahului sehingga putrinya jatuh ke tangan Jen Thian Ngo. Mengetahui serangannya akan mengenai putrinya, buru- buru Han Tay Hiong membatalkan serangannya.

"Jika kau mau selamat, lepaskan putriku!" bentak Han Tay Hiong.

"Aku tahu kau lihay, maka itu untuk sementara ini aku harus  ditemani  putrimu  ini!" jawab  Jen  Thian  Ngo. "Dia baru akan kulepaskan jika aku sudah berada di tempat yang aman!"

Tiba-tiba Han Tay Hiong seolah mundur, tapi mendadak dia maju menubruk ke arah lawan.

"Apa kau tidak sayang pada putrimu?" bentak Jen Thian Ngo.

Jen Thian Ngo menghindari terkaman Han Tay Hiong, lalu dia melompati pagar untuk kabur ke taman bunga di belakang rumahnya. Saat itu Jen Thian Ngo menganggap dia sudah selamat, karena jika berada di taman bunganya, maka sulit bagi Han Tay Hiong menangkap dia. Pada saat terakhir sebelum dia melompat, tiba-tiba bagian belakang lututnya serasa kesemutan, cekalan pada nona Han terlepas. Saat itu tangan nona Han pun menghantam dadanya. Celakanya, Han Pwe Eng terjatuh! Untung Kok Siauw Hong segera maju untuk menangkap tubuh kekasihnya yang meluncur ke bawah.

Sedangkan tubuh Jen Thian Ngo langsung terjungkal, tapi jatuhnya ke taman bunga yang ada di sebelah tembok lain. Dia terjungkal karena serangan dua butir tanah yang disambitkan oleh Han Tay Hiong ke arah kakinya. Tenaga dalam Han Tay Hiong sangat tinggi, barang apapun bisa dijadikan senjata olehnya. Sedikitpun Jen Thian Ngo tidak mengira akan diserang begitu. Saat itu dia girang karena punya sandera putri Han Tay Hiong. Maka itu dia jadi agak lengah, tahu-tahu kakinya kesemutan. Saat itu Han Tay Hiong melompat memburunya.

"Kau mau kabur ke mana, bajingan?" bentak Han Tay Hiong. Paman Kok Siauw Hong ini cukup lihay, dia tak sampai jatuh tersungkur, saat jatuh dia berhasil berdiri lagi dengan tegap.

"Jika kau berani, kalian turun ke mari!" tantang Jen Thian Ngo.

Tiba-tiba dia menghilang di balik sebuah gununggunungan. Sesudah masuk ke dalam goa, dia tutup pintu goa dengan sebuah batu besar. Saat Han Tay Hong mengejar, tibatiba berhamburan anak panah menyerang dari dalam goa itu.

Ternyata taman itu telah dirancang demikian rupa menjadi sebuah jebakan bagi musuh. Di tempat itu banyak alat rahasia, jika orang kurang hati-hati orang itu bisa celaka!

Buru-buru Han Tay Hiong membuka baju yang dipakainya untuk menangkis serangan anak panah itu. Anak-anak panah itu berjatuhan tersampok oleh pakaian Han Tay Hiong yang dijadikan senjata. Terpaksa Han Tay Hiong kembali ke seberang tembok.

Sebagian anak panah itu menyambar ke halaman sebelah, tapi Kok Siauw Hong berhasil membawa Han Pwee Eng ke tempat yang aman. Melihat hal itu Han Tay Hiong kaget bukan kepalang.

"Anakku, bagamana keadaanmu?" kata Han Tay Hiong.

Tangan kanan Han Pwee Eng bengkak dan berwarna merah.

Ketika itu Kok Siauw Hong sedang menguruti tangan kekasihnya. "Ketika bangsat tua itu hendak melompat, dadanya sempat kuhantam sekali, akibatnya pergelangan tanganku terkilir," kata Han Pwee Eng.

Jika Han Pwee Eng tak menghajarnya, mungkin dia tak akan dilepaskan sehingga mereka bisa jatuh bersama-sama.

"Gerakanmu lumayan, apa kau belajar dari Siauw Hong?" kata ayahnya.

"Ya, dia uang mengajariku Siauw-yang-sin-kang," jawab Han Pwee Eng. "Kau lihay Ayah, kau langsung tahu!"

Setelah mengurut dan memulihkan tangan putrinya yang cedera, dia tersenyum.

"Sayang jahanam itu bisa kabur," kata Han Tay Hiong. "Itu  salahku,"  kata  Kok  Siauw  Hong  yang   wajahnya

berubah    merah.    "Sudah    tahu    dia    licik,    aku masih

menganggap dia Pamanku! Hampir saja dia mencelakakan adik Eng!"

Dengan muka merah Kok Siauw Hong berkata.

"Aku juga lengah dan lupa kalau rumahnya penuh dengan alat rahasia. Aku tak mengira dia berani menyandera Pwee Eng!" kata Han Tay Hiong. "Terpaksa kita harus mencari penunjuk jalan ke rumah Khie Wie!"

"Kurasa tidak sulit," kata Han Pwee Eng. "Pelayan keluarga Jen pasti tahu di mana rumah keluarga Khie!"

Setelah mengusir Uh-bun Tiong Khie Wie kuatir kelemahannya diketahui oleh musuh. Maka itu dia berpurapura mengejar, sudah tentu Uh-bun Tiong  ketakutan dan kabur tanpa menoleh.

Setelah Khie Wie merasa cukup membuat lawan ketakutan, dia bermaksud kembali menemui anaknya dan Seng Liong Sen. Tetapi mendadak Uh-bun Tiong berhenti berlari. Hal ini membuat Khie Wie kaget. Dia mengira siasatnya telah diketahui oleh Uh-bun Tiong, Maka itu terpaksa dia berpurapura mengejar.

"Bangsat Uh-bun Tiong, jangan lari! Ayo hadapi aku!" bentak Khie Wie menantang.

Tapi Uh-bun Tiong diam saja. Tiba-tiba dia bersikap seperti orang sinting. Tangan dan kakinya bergerak-gerak seolah sedang menari. Sedang dari mulutnya terdengar erangan seperti binatang buas.

Tentu saja perubahan aneh itu membuat Khie Wie heran dan kaget. Dia berteriak keras dan kalap, lalu berlari ke arah Khie Wie. Sedang matanya merah mirip orang gila saja! Tibatiba Khie Wie ingat, saat itu Uh-bun Tong pasti tengah menghadapi bahaya terserang "Cauw-hwee-jip-mo, karena latihan ilmu tenaga dalam Khie Wie yang dia peroleh dari Seng Liong Sen, bahkan kejadian itu bisa mengakibatkan dia lumpuh seumur hidupnya. Tenaga dalam yang diyakinkan Khie Wie itu memang aneh sekali. Jika dipelajari dengan tak teratur, orang yang mempelajarinya akan lumpuh. Kelihatan Uh-bun Tiong sudah semakin parah.

Saat sadar dia akan celaka, dia ingat "sebelum menemui ajalnya dia ingin mati bersama musuhnya". Maka itu dia coba mendekati Khie Wie untuk diserang.

Khie Wie sadar, apa maksud lawan menghampirinya. Saat itu Khie Wie berniat menghindarinya. Tetapi sudah terlambat, karena cepat luar biasa Uh-bun Tong sudah menerkam ke arahnya. Khie Wie tak berdaya, dia kerahkan seluruh kemampuannya untuk menyambut serangan lawan.

"Gedebuk!" Tubuh Khie Wie terlontar mundur beberapa langkah ke belakang, kembali Uh-bun Tiong muntah darah. Dia tertawa terbahak-bahak.

"Hm! Khie Wie, aku yakin kau akan mampus!" kata Uh- bun Tiong sambil menyeringai menyeramkan. "Kau akan kubunuh dengan tanganku ini!"

Saat itu kekuatan Khie Wie memang sudah habis, maka itu dia tidak mampu bangun lagi, akhirnya dia mengeluh.

"Oh, celaka aku! Tak kusangka hari ini aku akan mati di tangan orang gila ini!" keluh Khie Wie mulai putus asa.

Tiba-tiba terdengar Uh-bun Tiong tertawa terbahak- bahak hingga suara tawanya itu berkumandang jauh. Saat itu kelihatan tiga orang nona sedang berlari ke arah mereka berdua. Kiranya mereka itu Ci Giok Hian, Kiong Mi Yun dan Jen Ang Siauw, putri Jen Thian Ngo.

Mereka baru datang dari Kim-kee-leng, sesudah menemui Ong It Teng di Thay-ouw dan mendapat keterangan lengkap, karena bantuan hwee-shio dan tosu itu, mereka jadi tahu bahwa Seng Liong Sen dan Uh-bun Tiong sedang menuju ke Sun-keng-san akan membunuh Khie Wie! Maka itu mereka langsung menuju ke Sun-keng-san.

Sayang Ci Giok Hian belum tahu, hubungan Seng Liong Sen dengan Khie Wie? Mereka tidak tahu mengenai permusuhan Uh-bun Tiong dengan Khie Wie? Karena Jen Ang Siauw sudah tahu letak rumah Khie Wie, nona itulah yang menjadi pengantar kedua nona itu ke sana.

Kebetulan Jen Ang Siauw ingin mengetahui keadaan ayahnya, sesudah dia tinggalkan itu. Mereka langsung meninggalkan Thay-ouw, datang berita baru bahwa Seng Liong Sen dan Uh-bun Tiong bentrok hal itu tak mereka ketahui. Jika mereka tahu, pasti Ci Giok Hian dan kedua kawannya tak akan ke Sun-keng-san. Dari kejauhan sayupsayup mereka dengar suara tawa Uh-bun Tiong yang menyeramkan dan disusul ancamannya.

"Dengar, orang itu pasti ingin membunuh Khie Wie!" kata Jen Ang Siauw.

"Ayo kita ke sana!" ajak Kiong Mi Yun. "Itu seperti suara Uh-bun Tiong, kebetulan aku kenal dengannya. Apa itu dia atau bukan?"

Sambil berjalan nona Jen menjelaskan pada dua kawannya.

"Khie Wie tetangga kami, Ayahku melarang aku bermain di tempat Khie Wie. Aku kira dia orang baik,  maka itu kita harus menolonginya!" kata Jen Ang Siauw.

Sementara itu mereka berlari ke tempat datangnya suara itu. Saat sampai mereka bengong semuanya.Dari mulut Uh- bun Tiong mengeluarkan darah bercampur busah, dia mirip orang gila saja! Sedangkan Khie Wie tergeletak tidak berdaya di atas tanah. Saat itu kelihatan Khie Wie sedang berusaha bangun. Melihat kedatangan tiga nona itu, Uh- bun Tiong langsung menerjang ke arah mereka.

"Mau apa kau Uh-bun Tiong?" bentak Kiong Mi Yun. "Kau masih mengenaliku atau tidak? Aku putri Kiong Cauw Bun! Kau jangan celakakan Paman Khie!"

Ternyata antara Uh-bun Tiong dan Kiong Cauw Bun ada hubungan. Lima tahun yang lalu Uh-bun Tiong pernah berkunjung menemui Kiong Cauw Bun. Mendengar kata- kata Kiong Mi Yun itu Uh-bun Tiong mendelik. Dia awasi nona Kiong dengan tajam, tak lama dia tertawa.  "Aku kenal kau!" kata Uh-bun Tiong. "Kau anak perempuan Khie Wie! Hari ini kau dan ayahmu juga aku akan mati bersama-sama, kan?!"

"Namaku Kiong Mi Yun, aku kenal kau dan kita pernah bertemu di rumahku," kata nona Kiong menjelaskan.

"Tidak! Kau Khie Kie! Oh, tidak! Kau adik misanku, sekalipun semasa hidup kita tak bisa menjadi suami-istri, tetapi sesudah mati kita akan bersama-sama...." kata Uh- bun Tiong sambil tertawa menyeramkan.

Sesudah itu dia menerjang ke arah Kiong Mi Yun, jelas dia benar-benar sudah gila. Melihat terjangan Uh-bun Tiong, buru-buru nona Kiong mengelak. Sedang Jen Ang Siauw mengangkat goloknya, maju akan menghadapi Uh- bun Tiong yang sudah kalap itu!

"Anak setan! Kalian juga harus mati bersamaku!" bentak Uh-bun Tiong.

Dia maju hendak mencengkram Jen Ang Siauw dan Ci Giok Hian. Meskipun sudah sinting, tapi ilmu silat Uh-bun Tiong lihay! Tangan Uh-bun Tiong pun cepat luar biasa, dia menangkis serangan Jen Ang Siauw. Tahu-tahu golok si nona sudah terlepas dari pegangannya dan terjatuh. Saat Uh-bun Tiong maju lagi akan mencengkram nona Jen, Kiong Mi Yun menyambar tangan nona itu dan menariknya. Mereka melompat mundur dan tak berhasil dicengkram oleh Uh-bun Tiong.

Di antara ketiga nona itu, Ci Giok Hian yang paling tenang. Dia putarkan pedangnya, saat Uh-bun Tiong kembali menyerang, nona Ci berkelit dan menusuk bahu Uh-bun Tiong hingga mengenainya.

Aneh sedikit pun Uh-bun Tiong tak merasa kesakitan saat bahunya tertikam pedang nona Ci itu. Sebelum  pedang nona Ci ditarik kembali, Uh-bun Tiong berhasil menangkap pedang nona Ci. Pedang itu terlepas dari tangan Ci Giok Hian. Sambil tertawa terbahak-bahak, Uh-bun Tiong menggunakan pedang nona Ci untuk menyerang ketiga nona itu. Tentu saja ketiga nona itu harus segera menghindari serangannya.

"Hm! Uh-bun Tiong, apa kau tak sadar siapa dirimu?" bentak Khie Wie.

"Kau pikir aku ini siapa? Aku seorang eng-hiong yang gagah dan tampan!" kata Uh-bun Tiong.

"Kau si buruk rupa yang bermimpi memiliki bidadari,  hai binatang busuk!" kata Khie Wie.

"Siapa kau? Beraninya kau mencaciku! Eh, rupanya kau, Khie Wie musuh besarku! Baik, kubunuh kau!" kata Uh- bun Tiong.

"Hm! Keadaanmu sudah lemah, jika kau berani silakan kau coba bunuh aku!" kata Khie Wie sambil tertawa.

Tiba-tiba Uh-bun Tiong menerjang, pedang nona Ci yang ada di tangannya dipakai untuk menyerang Khie Wie. Dia meraung menakutkan.

Menyaksikan Uh-bun Tiong mulai nekat, ketiga nona itu jadi ngeri juga dan mereka mengkhawatirkan keadaan Khie Wie. Bukan kabur, malah Khie Wie sengaja memanas- manasi lawannya. Dia paksa agar Uh-bun Tiong menerjang ke arahnya. Tapi tak lama terdengar jeritan mengerikan dari Uh-bun Tiong. Ternyata dia roboh sebelum berhasil mendekati lawannya, tergeletak tiga meter dari Khie Wie. Ketika itu mereka belum saling menyerang. Ternyata Uh- bun Tiong roboh karena serangan penyakit berbahaya akibat   tenaga   dalamnya.   Jika   dia   tidak dipanas-panasi sehingga murka, barangkali dia belum roboh! Dia tampak kesakitan dan berteriak-teriak.

"Khie Wie, lekas kau bunuh aku!" teriak Uh-bun Tiong memohon.

"Hm! Tadi pun sudah kubilang kau ini pengecut berat!" kata Khie Wie. "Sekarang jelas, mau mati pun kau minta bantuanku!"

Karena putus asa Uh-bun Tiong mengangkat pedang Ci Giok Hian yang ada di tangannya, lalu dia tikam tubuhnya sendiri untuk bunuh diri. Bukan main ngerinya ketiga nona itu menyaksikan adegan itu.

"Ah, sekalipun Uh-bun Tiong itu jahat, tapi Khie Wie terlalu berlebihan!" pikir Ci Giok Hian.

Khie Wie lega setelah menyaksikan musuhnya sudah binasa. Dia seka keringat di dahinya. Apa yang tadi dilakukannya, itu sebenarnya berbahaya sekali baginya.  Jika tenaga Uh-bun Tiong belum habis, maka dia pun akan mati bersamanya.

Ci Giok Hian menarik pedang yang ada di tubuh Uh-bun Tiong, sedangkan nona Jen menghampiri Khie Wie.

"Kau tak apa-apa, Paman Khie?" kata Jen Ang Siauw. "Tidak apa-apa, terima kasih atas bantuan kalian, jika

tidak aku binasa!" kata Khie Wie.

"Jangan sungkan, Paman. Mari kau kubawa pulang!" kata nona Jen yang langsung mendukung Khie Wie. "Paman, kau pernah bertemu dengan Ayahku atau tidak?"

"Jadi kau belum tahu keadaan ayahmu?" kata Khie Wie. "Ku-nasihati kau, sebaiknya kau jangan pulang dulu, Nona Jen!"

Nona Jen Ang Siauw kaget. "Apa yang terjadi, Paman?" kata nona Jen.

"Aku baru saja pulang, aku belum bertemu dengan ayahmu," kata Khie Wie. "Yang aku tahu Seng Cap-si Kouw ada di rumahmu. Bukankah dia nona Kiong, sebaiknya dia tidak bertemu dengan mereka!"

"Baiklah, sebaiknya kuantar dulu Paman pulang," kata nona Jen. "Aku ingin menanyakan berita seseorang pada Pamam Khie."

"Tentang siapa?" jawab Khie Wie.

"Tentang Seng Liong Sen," kata Jen Ang Siauw. "Kau kenal dengannya?" kata Khie Wie.

"Aku mencari dia atas permintaan temanku," kata nona Jen. "Apa kau tahu di mana dia, Paman Khie?"

Khie Wie agak curiga nona Jen menanyakan tentang Seng Liong Sen itu. Tapi dia tahu budi, karena ketiga nona itulah yang menyelamatkan dia, maka dia langsung menjawab pertanyaan nona itu.

"Dia ada di ata sana bersama anak perempuanku!" kata Khie Wie sambil menunjuk ke arah hutan Siong (cemara) di atas gunung.

"Ah, akhirnya ketemu juga!" seru nona Kiong. "Lekas temui dia, Cici Hian!"

Mendengar Seng Liong Sen ada di hutan cemara, Ci Giok Hian ragu untuk menemuinya. Dia berpikir keras.

"Urusan kami betapa pun harus diselesaikan dulu, biar kutemui dia dulu untuk menjelaskannya!" pikir Ci Giok Hian.

Dia langsung melangkah ke hutan cemara. "Siapa nona itu?" tanya Khie Wie. "Dia sahabatku, namanya Ci Giok Hian!" kata Jen Ang Siauw.

"Ternyata benar istri Seng Liong Sen menyusulnya!" alangkah

berdukanya putriku atas kenyataan ini?"

Saat itu hati Ci Giok Hian sedang gelisah, bingung dan tak tentram. Pada saat yang bersamaan nona Khie sedang

mendengarkan penjelasan dari Seng Liong Sen di hutan cemara. Hatinya pilu seolah disayat sebilah sembilu.

"Dia tidak berbohong padamu, Bibiku bicara sebenarnya," menegaskan Seng Liong Sen. "Aku memang sudah beristri!"

Jelas jawaban Seng Liong Sen ini mengejutkan nona Khie. Ketika itu nona itu seolah mendengar guntur di siang bolong tanpa hujan. Nona Khie tidak menangis atau mencaci Seng Liong Sen yang ada di hadapannya. Dia cuma termangu kaget dan bingung bukan main. Sekalipun jelas dia sangat berduka sekali.

Sambil menghela napas panjang, Seng Liong Sen berkata lagi, "Semua itu memang salahku! Aku ini pembohong dan pantas mati! Tapi, aku yakin suatu saat kau akan menemukan jodoh yang lebih jujur dan lebih baik dibandingkan aku! Aku akan mencari ayahmu dan pamit pada beliau!"

Dia tidak tahu, apakah nona itu mendengarkan katakatanya atau tidak, tapi yang dia lihat nona itu bengong saja. Tanpa mengangguk atau bicara. Saat itu Seng Liong Sen bangun akan pergi. Tapi melihat nona itu diam saja, dia tak jadi melangkah. Perlahan-lahan dia pegang tangan nona itu, lalu duduk kembali di sampingnya tanpa bisa bicara lagi. Dia bingung semua salah dia.

"Jadi apa yang dikatakan bibimu itu benar?" kata si nona akhirnya.

"Benar, begitu," kata Seng Liong Sen.

Hatinya sakit seperti disayat sembilu. Terlihat nona Khie menatap muka pemuda itu.

"Sungguh aku tidak mengerti, kenapa kau bisa mencintai dua wanita secara bersamaan?" kata Khie Kie.

Sekalipun dia masih sedih tapi kini perasaannya sudah mulai tenang. Wajah Seng Liong Sen berubah merah dan sebentar lagi pucat

"Terus-terang aku katakan padamu, aku ini pernah mati! Tapi kaulah yang membuat aku berani hidup kembali! Aku hormat pada Giok Hian, sekalipun kami sudah menikah, tetapi pernikahan bohong-bohongan!" kata Seng Liong Sen.

"Kenapa begitu?" tanya Khie Kie heran.

"Ada sesuatu yang tidak bisa aku katakan, yang pasti aku tidak berniat membohongimu," kata Seng Liong Sen. "Terusterang, dulu memang aku hendak merahasiakan riwayat hidupku kepadamu, Khie Kie," kata Seng Liong Sen.

Khie Kie diam.

"Tujuanku agar aku bisa dilindungi oleh ayahmu. Tetapi ternyata.... Kau...kau begitu baik kepadaku, bahkan aku pun sangat menyukaimu. Sungguh aku menyukaimu dengan setulus hatiku!" "Kau dalam kesulitan, maka itu aku tidak menyalahkanmu," kata Khie Kie. "Tetapi kau melakukan sesuatu yang kurang baik di mata istrimu!"

"Kau benar! Aku tahu soal itu. Maka itu aku harus meninggalkanmu. Mohon maafkan kesalahanku!" kata Seng Liong Sen.

Nona itu melengos. Dia tak ingin melihat kepergian pemuda itu, tapi saat itu di luar dugaan muncul seseorang yang mengejutkan mereka.

"Eh, apa aku sedang bermimpi?" pikir Seng Liong Sen. Saat dia gigit bibirnya terasa sakit.

"Kaukah itu Giok Hian?" kata Seng Liong Sen.

"Tak kau kira bukan? Kedatanganku ini untuk mengucapkan selamat kepadamu!" kata Ci Giok Hian.

Ketika itu Seng Liong Sen mengira istrinya sudah mendengar semua pembicaraan mereka. Maka itu dia mengira Ci Giok Hian sedang menyindirnya. Maka itu dia diam saja dan tak berani bicara. Tadi nona Khie tercengang, tapi sekarang dia sudah mampu mengatasi kekagetannya.

"Ci Cici, kebetulan kau datang! Dulu aku tak tahu kau istri Seng Toa-ko, sekarang aku sudah tahu. Dia banyak mengalami siksaan batin dan sangat menderita. Maka itu sekarang dia membutuhkan seorang istri untuk merawatnya," kata Khie Kie. "Aku ucapkan selamat dan sangat bersyukur kau datang. Kalian bisa berkumpul kembali! Sebaiknya aku pergi saja!"

Sambil tersenyum Ci Giok Hian menarik tangan nona itu, dengan suara lirih dia berkata lembut.

"Aku mohon kau jangan pergi!" kata Ci Giok Hian. "Aku ingin bicara denganmu!" "Giok Hian semua itu kesalahanku," kata Seng Liong Sen agak cemas. "Sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan nona Khie! Jika kau mau marah, marahi aku saja!"

"Kau salah paham, Liong Sen," kata Ci Giok Hian sambil tersenyum. "Aku mengucapkan selamat bahagia kepadamu dengan setulus hatiku. Nona Kie seorang nona yang baik. Ini keberuntunganmu, kau bisa menikah dengannya! Sekalipun aku baru pertama kali bertemu dengannya, aku menyukainya! Terus-terang aku lebih tua darimu, Khie Kie. Jika kau tak keberatan aku ini bisa jadi kakakmu! Apa kau mau mendengar kata-kata kakakmu?"

Kata-kata Ci Giok Hian ini tulus dan jujur. Maka itu timbul sesuatu yang aneh pada diri nona Khie. Sekalipun Ci Giok Hian baru dikenalnya hari ini, dia merasa dekat seperti pada kakaknya sendiri. Maka itu dia tak jadi pergi.

"Katakan saja, Cici yang baik, aku akan mendengarkannya!" jawab Khie Kie hormat.

"Liong Sen, percayalah padaku aku girang sekali," kata Ci Giok Hian tenang.

"Tentang apa hingga kau senang?" kata Seng Liong Sen. "Pertama kau belum mati, hingga kita bisa bertemu lagi

sekarang!  Yang  kedua,  aku  sudah  katakan,  bahwa  kau

beruntung menemukan nona yang baik ini. Maka itu aku merasa senang."

"Memang nasib manusia sering tak terduga, sulit aku mengatakannya padamu," kata Seng Liong Sen.

"Kau jangan bicara lagi, aku tahu apa yang telah kau alami selama ini. Aku juga tahu apa yang ada dalam hatimu." kata Ci Giok Hian.

Kemudian nona Ci menoleh ke arah Khie Kie. "Aku memang benar istri Liong Sen, dan apa yang dia katakan, benar! Kami ini suami-istri bohongan! Untung sekarang semua kesalahan itu bisa kuperbaiki!" kata Ci  Giok Hian.

Nona Khie Kie tertegun.

"Maaf, Cici Ci, kuucapkan terima kasihku atas ketulusan dan kebaikanmu itu! Tetapi aku tidak ingin kau berkorban begitu demi aku!" kata nona Khie Kie terharu sekali.

"Kau salah, Khie Kie! Bagiku itu bukan suatu pengorbanan, tapi itu suatu kebebasan!" kata Ci Giok Hian. "Terus-terang dulu aku tak pernah bicara jujur pada suamiku. Maka hal itu tidak boleh terjadi lagi! Benar begitu, Liong Sen?"

"Kau benar, aku merasa malu padamu, Giok Hian!" kata Seng Liong Sen.

"Dulu pernikahan kita hakekatnya karena sebuah kesalahan besar!" kata nona Ci. "Ini harus kau akui, Liong Sen! Padahal dalam sebuah pernikahan perlu kejujuran dan saling mencintai. Terus-terang di antara kita belum pernah kita cocok satu sama lain. Betul bukan?"

Pemuda itu mengangguk.

"Kau pernah melakukan kesalahan, aku juga begitu!" kata Ci Giok Hian. "Semula aku mau menikah denganmu karena ketamakanku. Kau akan menjadi Bu-lim-beng-cu dan pewaris Bun Yat Hoan, itu alasanku mau menikah denganmu!"

Mendengar pengakuan Ci Giok Hian dengan wajah merah dan terharu Seng Liong Sen mengangguk. Lalu ia pun berkata lirih. "Aku lebih buruk lagi," kata Seng Liong Sen. "Saat aku baru mengenalmu, aku sudah tahu bahwa kau punya seorang tunangan. Tetapi karena aku tergoda oleh kecantikanmu, aku ingin mendapatkanmu! Ketika itu aku berpikir, dengan dukungan nama baik keluargamu, karirku akan menanjak terus. Maka itu dengan berbagai upaya aku menghancurkan perjodohanmu dengan Kok Siauw Hong! Sebenarnya aku telah menyusahkanmu!"

Saat itu serasa hati nona Ci sedang diiris oleh sembilu, pedih bukan main. Tapi dia coba tersenyum manis.

"Sudahlah, yang sudah tak perlu kita bicarakan lagi....

Kita berdua memang bersalah!" kata Ci Giok Hian.

"Tapi kesalahanku bukan itu saja, masih ada kesalahan yang lebih besar lagi," kata Seng Liong Sen.

"Mengenai apa?" tanya Ci Giok Hian.

"Masalah Kong-sun Po. " kata Seng Liong Sen.

"Itu aku sudah tahu," kata Ci Giok Hian. "Jika kau sudah sadar dan mau memperbaiki kesalahanmu, kau masih bisa menjadi orang baik.....Orang-orang akan memaafkanmu!"

Karena terharu pemuda itu meneteskan air matanya.

Ci Giok Hian pun tak tahan, dia juga menangis. Dia coba menahan perasaan dukanya, lalu berkata lirih.

"Memang ada kesalahan yang tak bisa diampuni, tapi ada juga kesalahan yang bisa diperbaiki. Untung belum terlanjur sehingga kesalahan itu mudah-mudahan bisa kita perbaiki! Tapi ingat jangan lakukan lagi kesalahan lain! Aku bicara setulus hatiku!" kata Ci Giok Hian.

"Selanjutnya bagaimana kita berdua?" kata Liong Sen. "Kita masih tetap sahabat," kata nona Ci. "Terima kasih, Giok Hian," kata Seng Liong Sen. "Aku berjanji akan mengubah kelakuanku. Aku juga ingin menjadi orang baik! Tentang Nona Khie, aku tak tahu pendapatnya bagaimana?"

"Tentu kau harus bicara dengannya," kata Ci Giok Hian. "Dalam masalah ini aku tidak ikut campur urusan kalian! Nah, aku mohon diri!"

Sambil menangis terharu Khie Kie menarik lengan baju Ci Giok Hian. Lalu dia berkata, "Cici yang baik, kau jangan pergi!"

"Dasar anak bodoh! Untuk apa aku di sini? Mana boleh aku ikut campur urusan kalian!" kata nona Ci.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar