Beng Ciang Hong In Lok Jilid 52

 
Ujung lengan baju Khie Wie robek oleh tongkat lawan. Hampir saja dada Khie Wie terkena sambaran serangan itu. Buru-buru Khie Wie melompat mundur untuk menghindar. Khie Wie kaget, tapi dia ingat dari kaum aliran hitam dikenal ilmu tenaga dalam yang dinamakan Thian-mo-kai- teh-tayhoat. Ilmu itu digunakan dengan cara melukai diri sendiri, agar tenaganya berlipat ganda.

"Eh, barangkali dia menggunakan ilmu itu?" pikir Khie Wie.

Kelihatan si iblis mulai nekat, tak heran kalau Khie Wie jadi terdesak.

"Aku sadar hidup pun bagiku tak ada gunanya, lebih baik aku mengadu jiwa denganmu!" kata Seng Cap-si Kouw.

Mendengar ucapan iblis itu yang berniat berbuat nekat membuat Khie Wie kaget juga.

"Dia lebih memilih mati bersama dari pada menuruti perintahku?" pikir Khie Wie. "Ah, barangkali benar memang dia tidak tahu di mana anak muda itu berada? Aku memang tak berniat membunuh dia, untuk apa aku bertarung dengannya?"

Saat Khie Wie mengalah, Seng Cap-si Kouw yang dongkol karena merasa terhina, malah tak mau berhenti. Dia semakin bernapsu ingin bertarung dengan Khie Wie hingga dia mengeluh. Terpaksa si nenek dia hadapi dengan sungguhsungguh. Tanpa terasa sudah lewat lagi beberapa puluh jurus. Napas Khie Wie mulai tersengal-sengal, keringatnya pun mulai keluar.

Si iblis pun tampak mulai kepayahan, karena setiap hantamannya selalu berhasil dihindarkan atau ditangkis oleh lawan. Tenaganya pun mulai berkurang dan semakin lemah saja. Tak lama si iblis mulai berpikir.

"Jika ilmu itu kugunakan lagi, masih untung kalau mati bersama dengannya. Jika aku gagal malah aku jadi mati siasia!" pikir Seng Cap-si Kouw.

Ketika mereka sudah sama-sama kelelahan, tiba-tiba terdengar suara desingan, itu pasti suara senjata rahasia. Ternyata itu suara dua buah batu kerikil menyerang ke arah Khie Wie.

Khie Wie kaget dia tak mengira ternyata Seng Cap-si Kouw punya kawan yang bersembunyi dan menyerang dia secara diam-diam. Segera kedua batu itu dia tangkis. Melihat Khie Wie sibuk menangkis senjata rahasia yang menyambar entah ulah siapa, si iblis menggunakan kesempatan itu. Dengan tongkat bambunya menghantam lawan! Sebenarnya Khie Wie sudah menduga kesempatan itu akan digunakan lawan, dia coba mengelak, tapi serangan Seng Cap-si Kouw begitu cepat hingga Khie Wie terkena serangan tongkat lawan. Tiba-tiba seorang pria melompat dari persembunyiannya. Sambil berdiri dia tertawa terbahak-bahak. "Hm, rupanya kau?" kata Khie Wie. Dia mengenali penyerang gelapnya itu.

"Hm! Kau tak mengira bukan?" kata orang itu. "Memang aku! Saat ini sudah kutunggu selama duapuluh tahun, baru sekarang aku mendapatkannya!"

Sesudah itu dengan kedua tangannya dia serang Khie Wie. Serangannya hebat sekali.

"Ah, tidak kukira sudah lewat duapuluh tahun, tapi ternyata kau seperti dulu seorang pengecut!" kata Khie Wie. "Aku tak keberatan kau menuntut balas, tapi caranya jangan seperti orang pengecut!"

Ketika itu Seng Cap-si Kouw heran, kok tiba-tiba dia mendapat bantuan orang itu? Padahal dia tidak kenal pada orang itu.

"Aku rasa kedua orang itu bermusuhan?" pikir Seng Cap- si Kouw akhirnya. "Aku tak peduli siapa dia! Jika dia membantuku, berarti belum saatnya aku binasa!"

"Dulu kau rebut kekasihku," kata orang itu. "Apa waktu itu kau juga terang-terangan? Jika sekarang kau kubunuh, apa salahnya?"

"Dasar pengecut kau, Uh-bun Tiong!" bentak Khie Wie. Dulu  Uh-bun  Tiong  sama-sama  mencintai  nona  Gak,

maka itu Uh-bun Tiong ingin menjebak dan meracun Khie

Wie, tapi nona Gak malah meminum racun, sehingga dia jadi korban perbuatannya.

Sebenarnya sudah lama Uh-bun Tiong ada di situ dan menyaksikan pertarungan antara Khie Wie dengan Seng Capsi Kouw. Dia tak buru-buru keluar, karena kuatir Khie Wie masih gagah. Sesudah melihat Khie Wie mulai lemah, saat itulah dia muncul dan menyerangnya dengan diam- diam.

Saat Khie Wie menghindari serangan Uh-bun Tiong, tongkat Seng Cap-si Kouw berhasil mengenai dirinya. Dia merasa aneh serangan lawan tak sehebat tadi. Tapi tak lama dia menyadari, mungkin lawan takut menggunakan tenaga dalam aliran hitamnya, karena kuatir akan sia-sia.

Uh-bun Tiong yang tak tahu apa-apa malah senang karena Seng Cap-si Kouw berhasil menghantam lawan. Maka itu dia maju akan membantu dan menghalangi Khie Wie lari.

"Hm! Ajalmu telah tiba, apa kau mau bunuh diri?" ejek Uh-bun Tiong. "Jangan sampai kau jatuh ke tanganku, mau mati pun rasanya sulit sekali!"

"Bajingan licik dan pengecut!" bentak Khie Wie. "Sebelum aku mati kau akan kubunuh dulu!"

Terlihat Khie Wie mulai nekat, melihat hal itu Uh-bun Tiong jerih juga. Dia tak berani keras melawan keras, karena dia tahu akibatnya mereka bisa binasa bersama- sama. Maka itu dia ubah serangannya, sekarang Uh-bun Tong menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sempurna dan terlaih selama duapuluh tahun. Dengan cara terus mengitari lawan, hingga Khie Wie pun tak dapat memukul dengan tepat ke arahnya. Uh-bun Tiong sengaja berputar-putar menghindari pukulan lawan. Tapi sesekali dia menyerang.

Ternyata Khie Wie tak bisa dianggap enteng, dia hadapi serangan lawan dengan gagah. Sikapnya pun tetap tenang. Dia tangkis dan hindari setiap pukulan Uh-bun Tiong yang berbahaya. Maka tak heran kalau pertarungan sementara ini masih seimbang. Tak terasa tigapuluh jurus telah berlalu. Sekarang Khie Wie sudah tahu ilmu pukulan lawannya. Suatu saat mendadak Khie Wie menyerang dengan sebuah serangan tipuan untuk menggertak lawan, saat lawan menghindar Khie Wie melancarkan sebuah serangan kilat dan menghantam dada lawan. Uh-bun Tiong buru- buru menangakis serangan itu hingga tangan mereka bentrok.

"Duuk!"

Tubuh Khie Wie mundur terdorong oleh tenaga pukulan lawan, malah Uh-bun Tiong juga mundur dua langkah. Saat itu Seng Cap-si Kouw menggunakan kesempatan saat Khie Wie lengah, tongkatnya menyabet kaki Khie Wie. Tapi dengan cekatan Khie Wie melompat menghindari sabetan tongkat bambu itu. Sekarang Uh-bun Tiong yang tadi terdorong dua langkah, sudah maju lagi sambil melancarkan serangannya. Khie Wie heran, kenapa Uh-bun Tiong berhasil bertahan dan tidak terluka oleh pukulannya? Tapi tak lama Khie Wie pun sadar. 

"Bangsat, ternyata kau berhasil mencuri tenaga dalamku!" kata Khie Wie. "Kau dapat dari siapa?"

"Baik akan kukatakan terus-terang," kata Uh-bun Tiong. "Aku bisa ilmu ini dari calon menantumu, Seng Liong Sen! Aku tak mencuri, saat dia mengajariku aku tak enak untuk menolaknya! Hm! Kau jangan menghina aku mencuri darimu!"

Bukan main dongkolnya Khie Wie.

"Kau dapat dari dia? Ternyata dia tak tahu budi bahkan ingkar janji!" kata Khie Wie. "Baik, kau akan kubunuh, kemudian aku akan mencari dia untuk kubunuh juga!"

Mendengar pertengkaran itu Seng Cap-si Kouw heran. "Bukankah Seng Liong Sen sudah menikah dengan Ci Giok Hian?" pikir si iblis. "Kenapa dia menjadi menantu Khie Wie?"

"Jangan mimpi," kata Uh-bun Tiong. "Sejak semula Liong Sen tak suka menjadi menantumu! Kau yang memaksanya menikah dengan putrimu karena putrimu tak ada yang mau melamar, tak heran kalau dia lupa budi dan ingkar janji!"

Sengaja Uh-bun Tiong berkata begitu supaya didengar oleh Khie Wie dan Seng Cap-si Kouw. Memang ucapan Uh-bun Tiong itu telah membangkitkan kemarahan Khie Wie.

"Bagus kau sudah berhasil mencuri ilmuku, tapi latihanmu belum sempurna!" kata Khie Wie sambil tertawa mengejek.

Suara tawa Khie Wie menyeramkan hingga bulu kuduk Uh-bun Tiong berdiri karena ngeri. Baru saja lenyap suara tawa itu, tiba-tiba serangan Khie Wie datang beruntun ke arah Uh-bun Tiong. Rupanya Seng Cap-si Kouw terpengaruh ucapan Uh-bun Tiong, maka itu tongkatnya langsung menyerang ke arah Khie Wie.

"Orang she Khie, kau terlalu menghina keponakanku, sekalipun kau mertua keponakanku aku tak akan membantumu!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Siapa yang mau dibantu olehmu?" kata Khie Wie. "Ayo maju, aku tak takut pada kalian berdua! Mari maju!"

Sesudah itu Khie Wie melancarkan serangan maut  secara berbareng ke Seng Cap-si Kouw dan ke arah Uh-bun Tiong. Melihat serangan yang hebat itu tak urung Seng Cap-si Kouw kewalahan juga. Di samping si iblis Uh-bun Tiong memberi semangat. "Tenang, hadapi dia. Dia tak akan tahan lama," bisik Uh-bun Tiong.

Sesudah bertarung beberapa puluh jurus dugaan Uh-bun Tiong benar, sekarang langkah Khie Wie mulai kurang gesit. Maka itu legalah hati si iblis dan Uh-bun Tiong.

"Hm! Kau benar, tua bangka ini sudah hampir mampus!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Kau benar," kata Uh-bun Tiong sambil tertawa terbahakbahak.

Kerongkongan Khie Wie mulai terasa seperti kering, bahkan matanya pun mulai berkunang-kunang. Tapi dia mencoba bertahan, sedang darah di dadanya akan menyembur keluar!

Tiba-tiba dia bersiul nyaring.

"Jangan tertawa, kau akan tahu bagaimana lihaynya aku!" kata Khie Wie.

Saat itu pukulan Uh-bun Tiong mengenai dada Khie Wie, tapi kepala Uh-bun Tiong pun terpegang oleh Khie Wie. Tangan Uh-bun Tiong diputar oleh Khie Wie hingga terkilir. Tapi dengan gesit tongkat Seng Cap-si Kouw menyambar ke iga Khie Wie ke arah jalan darahnya. Dengan gesit Khie Wie menghindar, dan menangkis serangan itu. Tak ampun lagi tongkat Seng Cap-si Kouw terlontar jauh. Bukan main kagetnya si iblis, dia akan menghindar, tapi entah kenapa kakinya lemas.

Karena Khie Wie harus meladeni Seng Cap-si Kouw, Uh-bun Tiong punya kesempatan untuk membebaskan diri dari lawan. Dia bergulingan untuk menjauhi lawan. Sial bagi Seng Cap-si Kouw, mukanya beberapa kali tertampar oleh Khie Wie. "Kau telah menamparku, sekarang sudah lunas, enyalah kau dari sini!" kata Khie Wie.

Adat Seng Cap-si Kouw sangat angkuh, belum pernah dia terhina begitu. Saking dongkol dia pingsan. Saat siuman dilihatnya Uh-bun Tiong sedang membawa dia, sedangkan Khie Wie sudah tak kelihatan lagi.

"Mana Khie Wie?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Dia terluka parah dan sudah kabur!" jawab Uh-bun Tiong. "Kita pun kalah darinya, maka itu kita harus membalas dendam!"

Kejadian sebenarnya bukan begitu, ketika Khie Wie sedang menghajar Seng Cap-si Kouw, Uh-bun Tiong bersembunyi di semak-semak. Sesudah Khie Wie pergi, baru dia muncul untuk menolongi Seng Cap-si Kouw.

Si Iblis Perempuan mencoba menarik napas dalam, dia merasakan sekujur badanya sakit bukan main.

"Ah, rupanya aku sudah tak berguna," kata dia. "Mana bisa aku membantumu?"

Setelah dua kali mengerahkan tenaga dalam aliran sesat, sekarang keadaan Seng Cap-si Kouw kelihatan payah sekali. Dia kira jika tidak mati, dia akan sakit parah. Sedang ilmu silatnya pun dia tak tahu apa masih bisa digunakan atau tidak?

"Celaka, habis sudah kepandaianku!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Jangan putus asa," kata Uh-bun Tiong. "Ini obat jin-som yang berumur ribuan tahun, aku kira bisa memulihkan kekuatanmu!" Dia berhasil mencuri hadiah Gak Liang Cun saat berulang tahun. Sekarang dia berikan pada Seng Cap-si Kouw.

"Kau siapa, kenapa kau baik padaku?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Namaku Uh-bun Tiong, aku sahabat keponakanmu. Sekarang Khie Wie musuh kita bersama! Terus terang jika sendiri aku tak akan mampu mengalahkan dia. Tetapi jika kita bergabung aku rasa kita bisa mengalahkannya!" kata Uh-bun Tiong.

Rupanya dia ke daerah Biauw untuk mencari Seng Liong Sen.

Apalagi dia tahu si iblis lihay, bahkan dia sudah merencanakan akan menjebak si iblis agar mau bergabung dengannya melawan Khie Wie. Kebetulan dia lihat Seng Cap-si Kouw sedang dikejar dan diganggu oleh Khie Wie. Dulu belum pernah iblis ini punya sahabat, dia hanya punya famili seorang, yaitu Seng Liong Sen. Tapi sekarang keponakan itu sudah meninggalkannya. Saat dia sedang berduka dan terdesak oleh Khie Wie, tiba-tiba Uh-bun Tiong muncul membantunya.

"Dia baik padaku, tetapi dia juga ingin aku membantunya. Itu wajar saja, di dunia ini mana ada orang mmbantu tanpa pamrih?" pikir Seng Cap-si Kouw. "Aku lihat dia lebih baik dari keponakanku!"

Maka itu tanpa pikir lagi dia menerima ajakan Uh-bun Tiong.

"Baik, obat ini aku terima. Jika aku sudah sembuh dan ilmu silatku pulih, aku berjanji akan membantumu!" kata si iblis. "Jika kita ajak dia bertarung, belum tentu kita menang. Maka itu mengalahkannya harus dengan akal," kata Uh- bun Tiong.

"Katakan, apa rencanamu?" kata si iblis.

"Dia punya anak perempuan, mari kita dului dia ke rumahnya untuk menculik anaknya. Jika kita tak bisa mengalahkan dia dengan ilmu silat, paling tidak kita berhasil menaklukkan dia dengan cara lain!" kata Uh-bun Tiong.

"Benar, jika dia terluka-parah, kita bisa mendahului ke rumahnya," kata Seng Cap-si Kouw. "Bagaimana mengerjai anaknya, serahkan saja padaku!"

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Khie Wie seperti dugaan Uh-bun Tiong dia terluka, maka itu setelah meninggalkan Uh-bun Tiong dan si iblis, dia pergi ke hutan. Di sana dia kumpulkan tenaga  dalamnya untuk memulihkan kekuatannya. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia istirahat. Tiba-tiba dia dengar ada langkah kaki dua orang sedang berjalan ke arahnya. Khie Wie kaget.

"Ah, kenapa tadi mereka tak kubinasakan saja? Jika sekarang mereka datang, akulah yang akan celaka!" pikir Khie Wie.

Khie Wie segera bersembunyi. Langkah dua orang itu semakin dekat saja.

"Eh, aku rasa ada orang yang bersembunyi!" kata salah seorang.

"Ah, kau terlalu curiga. Dari mana kau tahu itu orang?

Siapa tahu itu binatang liar?" kata kawannya. "Tak peduli itu binatang atau bukan, tapi kita harus menyelidikinya," kata temannya.

Mendengar suaranya seolah Khie Wie merasa mengenal orang-orang itu. Kemudian dia memperlihatkan diri dan mengawasi ke arah orang yang bicara itu. Ternyata dua orang itu seorang hwee-shio dan seorang to-su.

"Itu dia!" kata si tosu. "Eh, kau Khie Toa-ko kan?"

"Ah, Saudara Theng dan saudara Khu, rupanya kau sudah mengubah dirimu, sampai aku hampir tak mengenali kalian!" kata Khie Wie.

Memang benar mereka itu It Beng To-jin dan Pek Hui Hwee-shio, dua puluh tahun berselang mereka sahabat Khie Wie, saat mereka belum menjadi hwee-shio dan paderi.

"Jika kami ceritakan kisahnya terlalu panjang. Pendeknya kami sudah bosan menjadi kaum Rimba Hijau yang kerjanya hanya merampok!" kata It Beng. "Maka itu kami mengubah diri menjadi orang baik-baik!"

Pek Hui Hwee-hsio memegang tangan sahabatnya sambil tertawa terbahak-bahak karena girangnya. Sesudah puas tertawa Pek Hui berkata pada Khie Wie.

"Aku kira kau sudah mati! Jika aku tahu kau masih hidup, mana mau aku jadi Hwee-shio!" kata Pek Hui.

"Memang kau hwee-shio gadungan yang tak tahu aturan agama, kenapa kau takmau jadi hwee-shio kalau kau tahu aku masih hidup?" kata Khie Wie.

"Ini gara-gara Uh-bun Tiong, aku jadi hwee-shio karena menghindari dia!" kata Pek Hui.

"Lalu kenapa kalian ada di daerah suku Biauw?" kata Khie Wie. "Aku juga ingin bertanya padamu dengan pertanyaan yang sama, kenapa kau juga ada di sini?"

Sebelum dijawab dia mengawasi Khie Wie yang wajahnya pucat.

"Eh, ternyata kau sedang terluka. Rupanya tadi kau sedeng semedi mengumpulkan tenaga untuk memulihkan kesehatanmu?" kata Pek Hui.

"Benar, aku hampir binasa di tangan musuh," kata Khie Wie. "Tapi untung lukaku ini tidak parah, tapi karena telah bertarung hebat aku kehabisan tenaga!"

It Beng sudah tahu bagaimana lihaynya Khie Wie. Mereka jadi kaget karena masih ada orang yang mampu mengalahkannya.

"Siapa musuhmu itu? Apa benar demikian lihaynya?" kata It Beng agak keheranan.

"Mereka berdua Uh-bun Tiong dan Seng Cap-si Kouw!" jawab Khie Wie. "Seng Cap-si Kouw tak terlalu lihay, tapi dia mempunyai ilmu aneh, hingga kami terluka besama- sama!" kata Khie Wie. "Tapi aku rasa kedaaan mereka lebih parah dariku!"

"Jadi kau bertemu dengan Uh-bun Tiong?" kata Pek Hui. "Mau apa dia ke daerah Biauw?"

"Aku kira dia bermaksud tidak baik," kata Khie Wie yang tak mau membuka rahasia pribadinya. "Kalian juga sebenarnya mau apa ke mari?"

"Iblis Perempuan itu punya seorang keponakan, namanya Seng Liong Sen, apa kau tahu itu?" kata It Beng.

"Mau apa kau tanyakan tentang dia padaku?"

"Itu sebabnya, kami ke mari mau mencari dia!" kata Pek Hui. "Apa kalian bermusuhan dengannya?" kata Khie Wie. "Tidak, dia sahabat kami!" kata It Beng sambil tertawa.

"Oh, jadi dia sahabat kalian? Aku tak mengira, apa kau tidak menganggapnya jahat?" kata Khie Wie.

"Bibinya seorang penjahat, tapi dia seorang pendekar," kata It Beng. "Terus-terang kami mencari dia atas permintaan Ong Cong-ce-cu dari Thay-ouw."

"Eh, apa benar dia muridmu?" kata Pek Hui hwee-sio. Rupanya hwee-shio itu sudah tak sabar dan ingin tahu,

apa benar dia murid Khie Wie.

"Kenapa kau mengira dia muridku?" kata Khie Wie. "Terus-terang kami pernah bertarung dengannya, karena

salah paham. Aku lihat dia menggunakan jurusmu!" kata It Beng. "Tetapi dia tidak mau mengaku!"

Mereka mengisahkan pengalamannya pada Khie Wie. "Aku tak mau tahu, apa dia pendekar atau bukan.

Karena dia bergaul dengan Uh-bun Tiong, maka aku tak bisa mengatakan dia orang baik!" kata Khie Wie.

"Kalau begitu kau salah duga, dia justru tertipu oleh Uh- bun Tiong!" kata It Beng. "Sesudah kami berbincang baru kami tahu, dia sudah tahu siapa Uh-bun Tiong itu?"

Khie Wie akhirnya bersyukur, sekarang dia tahu masalah anak muda itu. Dengan demkian dia tak akan terjebak oleh akal busuk Uh-bun Tiong.

"Dari mana kalian tahu dia datang ke mari?" tanya Khie Wie.

"Sudah lama kami tahu dia ada di daerah suku Biauw, malah kami baru saja bertemu dengannya, tapi sekarang dia sudah meninggalkan daerah Biauw!" kata Pek Hui. "Kalau kalian sudah bertemu dengannya, kenapa tidak kalian ajak dia kembali ke Thay-ouw, malah kalian masih berada di sini?" tanya Khie Wie heran.

"Masih ada dua sebab," kata It Beng To-jin. "Pertama dia tidak mau kembali ke Thay-ouw bersama kami, kedua, kami tahu Uh-bun Tiong ada di sini! Aku yakin Seng Liong Sen sedang diincar oleh Uh-bun Tiong! Mungkin dia sendiri tidak mengetahuinya?"

"Dari mana kalian tahu demikian rinci?" kata Khie Wie. "Jika diceritakan panjang sekali," kata Pek Hui. "Pada

suatu   hari,   di   sebuah   kota   kecil   terjadi pembunuhan.

Korbannya dua orang dan mereka tertotok berat. Ternyata kedua orang itu anak buah Kiauw Sek Kiang. Coba kau terka terbunuh oleh siapa mereka itu?"

"Apa Seng Liong Sen pembunuhnya?" kata Khie Wie. "Benar, tapi ketika itu Uh-bun Tiong masih bersama

dengan Seng Liong Sen." kata Pek Hui.

"Kota kecil yang kau maksud Ceng-liong-tin, bukan?" "Oh, jadi kau juga sudah tahu kejadian itu?"

"Tidak! Aku diberitahu sekadarnya saja. Seorang kenalanku memberitahuku tentang wajah pemuda yang dilihatnya. Tapi dia tidak kenal pada Uh-bun Tiong," kata Khie Wie.

Karena Seng Liong Sen sudah lewat enam bulan belum juga kembali, terpaksa Kie Wie turun gunung mencari sendiri. Dia seorang jago berpengalaman, sudah tentu banyak kawankawannya. Dari berbagai keterangan yang diperolehnya, Khie Wie tahu asal-usul Seng Liong Sen. Setelah tahu dia gusar bukan main. Segera dia ikuti jejak pemuda itu. Khie Wie tahu bibi Seng Liong Sen ada di daerah Biauw, maka itu dia kira pasti pemuda itu akan mencari bibinya, dia mengejar ke daerah Biauw.

"Di antara orang yang tahu siapa pemuda itu, ada seorang dari Thay-ouw! Maka itu kami mendapat keterangan dari mereka!" kata It Beng.

"Rupanya kau sudah tahu semua," kata Pek Hui. "Tapi mungkin selanjutnya kau belum tahu. Sesudah membunuh kedua anak buah Kiauw Sek Kiang, dia ke daerah Biauw akan mencari bibinya. Tapi dihalangi oleh Uh-bun Tiong karena dia diajak ke Sun-keng-san. Tapi Seng Liong Sen menolak hingga terjadi pertarungan di antara mereka!"

"Bagaimana akhir pertarngan mereka?" kata Khie Wie. Dia yakin ilmu silat Uh-bun Tiong lebih tinggi dari Seng

Liong Sen, dan pemuda itu dikalahkan.

"Ternyata keduanya terluka parah, sedang luka Uh-bun Tong rupanya lebih parah! Pemuda itu meninggalkannya akan mencari bibinya! Sedang Uh-bun Tiong harus beristirahat lama. Baru keesokan harinya dia bisa meninggalkan tempat itu." kata It Beng.

Khie Wie heran hanya setengah tahun dia belajar ilmu silat darinya, ternyata pemuda itu mampu menghadapi Uh- bun Tiong. Malah dia bisa melukai lawan, sungguh itu sangat mengherankan.

"Tetapi aku yakin dia tidak tahu kalau dia masih diikuti oleh Uh-bun Tiong!" kata It Beng. "Saat bertemu kami, hal itu sudah kuberi tahu dia. Dia gelisah dan bergegas meninggalkan kami entah kenapa?"

"Kenapa dia tak mau pulang ke Thay-ouw, apa alasan dia?" kata Khie Wie. "Dia pernah bilang dia hutang-budi pada seseorang, sebelum membalas budi orang itu, dia tak akan muncul di kalangan kang-ouw!" kata It Beng. "Barangkali kau lebih tahu alasannya!"

"Sedang kalian sendiri tidak tahu, bagaimana aku bisa tahu?" kata Khie Wie.

Tapi Khie Wie yakin yang dikatakan Liong Sen berhutang budi pada seseorang, pasti dia! Sekarang dia merasa heran ternyata pemuda itu tahu budi dan punya perasaan.

"Ketika kami tanya dia mau ke mana? Dia menjawab pasti Uh-bun Tiong menuju ke suatu tempat, maka itu dia akan menyusulnya!" kata Pek Hui.

Khie Wie kaget, lalu berkata pada kedua kawannya. "Kalau begitu aku harus pamit dari kalian!" kata Khie

Wie.

"Kau mau mencari dia, kan?" kata It Beng. "Ya!"

"Terus-terang, dia memang muridku. Pasti dia ke rumahku!" kata Khie Wie.

"Selama ini kau tinggal di mana?" tanya Pek Hui. "Sudah, kalian anggap saja aku sudah mati. Jika sakit

hatiku sudah beres mungkin aku akan mencari kalian!"

It Beng tahu watak Khie Wie aneh, dia tidak berani bertanya lagi pada orang she Khie itu.

"Apa kau sudah merasa sehat?" kata It Beng. "Jika mau kau beristirahat dulu, biar kami menjagamu!" "Terima kasih, tapi aku tak bisa berlama-lama di sini!" kata Khie Wie. "Lukaku tidak parah, akan kuobati di perjalanan!"

Dia melanjutkan perjalanan dengan kepala agak pening, dan jantung berdebar karena tahu Seng Liong Sen telah menikah dengan Ci Giok Hian. Tapi dia berani berbohong padanya dan menipu anak perempuannya.

"Masalah ini tak bisa kuampuni!" pikir Khie Wie. "Aku harus segera pulang, siapa tahu Uh-bun Tiong menyatroni rumahku?"

Tak lama Khie Wie berpikir lagi.

"Walau bagaimana dia tahu diri dan tahu membalas budi, bagaimana aku bisa menghukum dia?" pikir Khie Wie. "Aku yakin di Yang-ciu dia menemui istrinya, tapi tak mau mengakui bahwa dia suaminya. Mengapa begitu? Memang masalah di dunia banyak yang aneh! Mungkin sesudah bertemu dengannya, aku bisa tahu masalah itu!"

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Saat itu Seng Liong Sen dalam perjalanan ke Sun-keng- san, disusul oleh Uh-bun Tiong dan bibinya. Tentang keikut sertaan Seng Cap-si Kouw memang tidak diketahui oleh Seng Liong Sen. Sesudah itu baru dia akan menyusul Khie Wie! Sudah sepuluh hari dalam perjalanan tidak terjadi sesuatu. Tapi ketika Seng Liong Sen sampai di pegunungan yang dituju, hati Seng Liong Sen mulai bimbang bukan main..

"Begitu tulus dan suci cintanya padaku, aku tidak pantas menipu dia lagi," pikir Seng Liong Sen.

"Oh, betapa manis dan cantiknya dia!" pikir Liong Sen. "Jika aku mengatakan dengan jujur padanya, pasti dia akan berduka, mana aku tega melukai hatinya?" Saat melamun tiba-tiba muncul wajah ayahnya yang gusar karena dia telah menipu putrinya. Seng Liong Sen jadi ngeri sekali. Dia ingat dulu ketika diancam, jika dia melanggar perintah, apa lagi mempermainkan putrinya dia akan dibunuh.

"Ah, lebih baik aku tidak berterus-terang!" pikir pemuda ini. "Aku yakin ayahnya akan menanyakan, kenapa aku terlambat pulang? Apa aku harus berterus-terang bahwa Uh- bun Tiong akan datang mengacau di rumahnya? Aku yakin dia percaya!"

Tapi hati pemuda ini tetap gelisah. Dia membayangkan wajah Ci Giok Hian yang cantik. Begitu kesalnya jika dia ingat hubungan dia dengan Ci Giok Hian hanya "suami pura-pura saja".

"Tapi hal itu hanya kami berdua saja yang mengetahuinya!" pikir Seng Liong Sen.

Pergolakan batin pemuda ini demikian hebat, tapi akhirnya dia memutuskan.

"Aku sudah berbuat salah, maka itu kesalahan itu tak boleh kuulangi lagi!" pikir Seng Liong Sen. "Karena kebohongan itu lambat-laun akan terbongkar juga! Aku tak boleh menipu lagi kedua nona itu! Seorang ksatria berani berbuat harus berani bertanggungjawab! Akan kuceritakan bahwa aku bertemu dengan Uh-bun Tiong, kemudian kuceritakan pula asal-usulku. Sesudah itu terserah Khie Wie mau diapakan aku?"

Setelah mengambil keputusan, dada pemuda itu terasa lega. Di antara tiupan angin pegunungan yang sepoi-sepoi, terdengar suara nyanyian anak perempuan. Nyanyian yang sering dinyanyikan oleh Khie Kie saat dia bersamanya. Seng Liong Sen berada tak jauh dari Khie Kie, dia bersembunyi di balik batu, mennggu saat akan muncul untuk mengejutkan kekasihnya itu.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- Di tempat Khie Wie....

"Sekarang pertengahan bulan sepuluh, sudah lewat sebulan waktu yang ditentukan ayah padanya! Tetapi mengapa dia belum pulang juga? Pasti Liong Toa-ko tidak membohongiku? Mungkin terjadi halangan di tengah jalan hingga terlambat?" gumam Khie Kie

Di luar dugaan nona itu, justru Seng Ling Sen berada di dekatnya. Dia ada di balik bukit tak jauh dari si nona. Tepatnya Seng Liong Sen ada di belakangnya.

"Dia begitu mencintaiku, bagaimana aku tega membohonginya?" pikir Seng Liong Sen.

Saat itu dia yakin hanya nona Khie-lah di dunia ini yang mencintainya. Semula dia akan muncul secara tiba-tiba di depan nona itu untuk mengejutkannya, dia yakin nona itu akan kegirangan. Langkah Seng Lion Sen tiba-tiba terhenti! Ketika dia mendengar ada orang sedang bicara.

"Kau dengar anak dara itu sedang merindukan kekasihnya, rasanya kita datang tepat pada waktunya!" kata seseorang.

Bukan main kagetnya Seng Liong Sen ketika itu. Dia mengenali suara itu suara Uh-bun Tiong. Cepat dia bersembunyi agar tak dilihat oleh Uh-bun Tiong. Entah sedang bicara dengan siapa Uh-bun Tiong ketika itu? Dari jauh terlihat Uh-bun Tiong sedang mendatangi, dia berjalan bersama seorang nenek. Bukan main kagetnya Seng Liong Sen saat mengenali nenek itu.

"Ah, itu Bibi! Kenapa dia datang bersama Uh-bun Tiong?" pikir Seng Liong Sen. "Aku lihat mereka akrab sekali?"

Di lereng gunung itu tidak ada jalan untuk manusia, seperti Seng Liong Sen, mereka pun mendaki ke atas gunung dengan menyusuri semak-semak. Arah yang mereka tempuh juga sama, hanya jaraknya dengan pemuda itu puluhan langkah. Segera pemuda itu bersembunyi ketika mendengar suara Uh-bun Tiong.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Seng Liong Sen sudah tahu Uh-bun Tiong ingin menbalas dendam pada Khie Wie, karena merasa kalah bersaing tidak bisa menikahi puteri Nyonya Gak Liang Cun. Tetapi Seng Liong Sen tidak tahu bahwa Khie Wie pun bermusuhan dengan bibinya, Seng Cap-si Kouw. Jadi dia tak tahu mengapa sang bibi datang akan mencari Khie Wie. Maka itu pemuda ini jadi bingung dia tak tahu apa yang harus dia lakukan nanti. Maka itu dia mencoba mencari tahu dulu, apa yang akan dikatakan bibinya.

"Aku belum tahu keadaan di rumahnya, kau yang bicara dengannya, biar aku mengawasi dari sini!" kata Seng Cap-si Kouw pada Uh-bun Tiong. "Baiklah, aku kira Khie Wie pun tak akan sesegera mungkin pulang." kata Uh-bun Tiong.

"Kau perhatikan, jika dia sudah mengajakku mausuk ke rumahnya, itu berarti dia telah tertipu oleh kata-kataku! Kau tunggu sejenak, lalu kau masuk menyusul kami dan jangan kuatir!"

Dari persembunyiannya Seng Liong Sen mendengar pembicaraan itu dengan jelas. Dia sedih dan kesal mendengar tipu-muslihat mereka itu. Dia menyesal bibinya tak mau mendengarkan nasihatnya untuk pulang kampung. Sekarang dia malah bertambah jahat!

Seng Liong Sen kesal karena kedua orang itu berniat jahat pada Khie Kie gadis yang polos tak berdosa itu. Saat itu nona Khie Kie sudah selesai merangkai bunga, dia berniat pulang. Saat berjalan dia kaget mendengar ada langkah orang di belakang dia. Lalu dia menoleh, dia lihat seorang pria yang tak dikenalnya mengikutinya dari belakang. Tak lama mereka berdekatan.

"Eh, kau siapa?" tegur nona Khie kaget.

"Aku sahabat Seng Liong Sen," jawab Uh-bun Tiong. "Siapa Seng Liong Sen?" kata si nona.

"Ah, rupanya kau belum tahu nama asli pemuda itu, Seng Liong Sen adalah Liong Sin, Toa-komu itu!" kata Uh- bun Tiong.

Keterangan Uh-bun Tiong telah menggirangkan hati nona Khie. Sekarang kabar tentang "kekasihnya" ternyata sampai juga kepadanya. Dia kelihatan ragu dan curiga, kenapa kekasihnya memakai nama Seng Liong Sen? Tapi dia tak sempat menanyakan hal itu kepada Uh-bun Tiong. "Jadi kau sahabat Liong Sin Toa-ko?!" kata si nona. "Bagaimana keadaannya? Apa kau disuruh menemuiku?"

Uh-bun Tiong manggut. Dia senang gadis ini ternyata mudah diakalinya.

"Aku yakin kau Nona Khie, apa kau masih kenal benda ini," kata Uh-bun Tiong sambil mengangsurkan sobekan kain pada si nona.

"Ya, aku Khie Kie dan aku tahu itu bagian dari baju Liong Sin Toa-ko!" kata si nona.

Saat mau pergi memang nona ini membuatkan pakaian untuk Seng Liong Sen. Sedang ditunjukkan Uh-bun Tiong ialah sobekan kain pakaian Seng Liong Sen yang diperolehnya saat mereka bertarung sehingga dia berhasil mengambil dan menyimpannya. Khie Kie girang sekali.

"Dari mana kau peroleh sobekan kain baju itu?" tanya nona Khie.

"Ini pemberian dia padaku, sekarang kau percaya tidak aku sahabatnya?" kata Uh-bun Tiong.

"Aku percaya, kenapa kain itu kau berikan padaku?

Bekas darah ini darah siapa?" tanya Khie Kie.

"Baik, akan kujelaskan. Aku ini selain sahabat Liong Sin Toakomu. aku juga sahabat ayahmu, Nona!" kata Uh-bun Tiong.

"Oh, benarkah begitu?" kata si nona. "Sekarang Ayahku tak ada di rumah, dia mencari Liong Sin Toa-ko! Apa kau tak bertemu dengan Ayahku?"

"Aku memang bertemu dengan ayahmu, nanti akan aku jelaskan padamu masalahnya. Aku kenal dengan ayahmu, ketika dia menikah dengan ibumu pun aku hadir di pernikahannya.  Benarkah  ibumu  itu  she  Gak  dan  orang Yangciu?" kata Uh-bun Tiong. "Tapi sayang ibumu meninggal setelah melahirkan kau!"

Keterangan Uh-bun Tiong semakin membuat Khie Kie percaya. Asal-usulnya memang dia tak tahu, tapi ibunya she Gak jelas dia tahu. Maka itu dia percaya pada Uh-bun Tiong yang mengaku she Bun itu. Dia memang tertarik dan ingin tahu kisah ibunya, maka itu saat ayahnya tak ada di rumah dia ingin menanyakannya lebih jelas dari Paman Bun ini. Tapi sebenarnya nona Khie lebih ingin tahu tentang Liong Sin.

"Jika Ayah juga sudah bertemu Toako Liong Sen, kenapa mereka tidak pulang bersamamu?" kata nona Khie.

"Sayang...." Uh-bun Tiong mengelah napas. "Rupanya mereka tak akan pulang bersama-sama lagi!"

"Kenapa?" tanya Khie Kie kaget.

"Dengar baik-baik," kata Uh-bun Tiong. "Apa kau lupa ayahmu menyuruh Liong Sin ke Yang-ciu? Dan dia diberi waktu agar dalam setengah tahun sudah kembali lagi."

"Ya, sekarang sudah lebih dari setengah tahun," jawab si nona. "Tapi dia belum juga pulang, maka itu Ayahku menyusulnya!"

"Aku orang Yang-ciu, ketika ayahmu menyuruh Toa- komu ke Yang-ciu, ayahmu menyuruh aku mengawasi dia diamdiam! Tahukah kau, apa yang dia lakukan di sana?" kata Uh-bun Tiong.

"Aku tak mau tahu apa yang dia lakukan, katakan bagaimana keadaan dia?" kata nona Khie. "Apa dia bertemu Ayahku lalu terjadi sesuatu atas dirinya?"

"Sabar, akan kuceritakan," kata Uh-bun Tiong. "Aku baru mengenalnya belum lama, sesudah menjalankan tugas dari ayahmu dia pergi! Aku ikuti dia, dan kutegur agar dia segera kembali ke mari. Tapi dia menolak!" kata Uh-bun Tiong.

"Kenapa dia tak mau pulang?"

"Semula aku juga tak tahu kenapa dia tak mau pulang. Sesudah dia bertemu denganm ayahmu dan ditegur, baru aku tahu masalahnya," kata Uh-bun Tiong.

"Apa yang terjadi? Masalah apa?" kata si nona. "Ternyata Toa-komu itu orang ternama di kalangan

Kangouw!" kata Uh-bun Tiong. "Dia bernama Seng Liong Sen dan murid Bun Tay Hiap! Hal ini baru diketahui oleh ayahmu! Dia pun belum sembuh dari lukanya!"

"Dia menggunakan nama palsu dan membohongi kami, itu masalah kecil," kata si nona.

"Malah aku pikir seharusnya Ayahmu itu bangga, dia punya menantu seorang yang terkenal! Dia takut kau salah sangka dibohonginya, maka itu dia menyuruhku menemuimu sebelum ayahmu pulang!" kata Uh-bun Tiong.

"Tidak, aku tak benci kepadanya!" kata si nona.

"Tapi dia takut, maka aku datang menemuimu dengan bukti sobekan kain itu, dan menyampaikan kabar tentang dia!" kata Uh-bun Tiong.

"Apa tak ada pesan lainnya?" tanya si nona.

"Tidak! Dia hanya bilang dia tak akan ingkar dan tetap mencintaimu seumur hidupnya!" kata Uh-bun Tiong.

"Kenapa pesannya demikian singkat?" kata si nona.

"Dia akan bicara langsung denganmu suatu ketika," kata Uh-bun Tiong dengan pandainya. Khie Kie bingung. Dia sadar mungkin ada sesuatu yang tak bisa dikatakan pada orang lain. Maka itu dia ingin bertemu sendiri dengannya.

"Kalau begitu sampaikan pada dia, aku percaya penuh dia tidak akan ingkar janji! Biar dia segera pulang!" kata nona Khie.

"Tak mungkin dia berani datang!" "Kenapa?"

"Dia masih mengkhawatirkan sesuatu. " kata Uh-bun

Tiong.

"Khawatir mengenai apa?" tanya nona Khie. "Ayahmu akan menolak kedatangannya," kata Uh-bun Tiong.

"Jika Ayahku menolak lebih baik aku bunuh diri saja!" kata si nona.

"Jangan, cara itu tidak baik! Malah aku khawatir jika dia datang ayahmu justru membunuhnya!" kata Uh-bun

Tiong.

"Lalu apa yang harus kulakukan?"

"Bagaimana jika kita undang Bibi dia untuk diajak berunding menghadapi ayahmu?" kata Uh-bun Tiong. "Kau mau?"

"Boleh! Tapi apa dia mau ke mari?" kata si nona.

"Penyakit Liong Sin sudah membaik, dia bisa dirawat oleh pelayan, bibinya pasti mau datang ke mari!" kata Uh-bun Tiong. "Semula kami akan langsung menemuimu, tapi bibinya khawatir kau tak mau menerima dia. Baik akan kususul dia ke mari!"

"Apa dia sudah punya rencana menghadapi Ayahku?" kata si nona.

"Dia bilang dia punya cara yang baik, dan akan dirundingkan denganmu. Aku yakin dia tidak akan menggunakan kekerasan!" kata Uh-bun Tiong. "Ah, hari hampir gelap!"

"Oh, aku lupa kau datang dari tempat yang jauh. Kenapa aku tak mengundangmu singgah ke rumah kami. Kau juga pasti lapar akan kubuatkan makanan untukmu, Paman  Un!" kata si nona.

"Jangan merepotkan, memang lebih baik kita tunggu bibi Liong Sin di rumahmu saja," kata Uh-bun Tiong. "Barangkali nanti malam pun dia sudah tiba!"

Di persembunyiannya Seng Liong Sen tampak geram. Dia diam saja karena kuatir jika dia bersuara, Uh-bun Tiong akan mencelakakan nona Khie. Dia heran kenapa bibinya bisa dibujuk oleh Uh-bun Tiong.

"Lebih baik kutemui Bibiku, aku harus menyadarakannya. Sesudah itu baru kuhajar si jahanam Uh-bun Tiong!" pikir Seng Liong Sen.

Sesudah Uh-bun Tiong dan Khie Kie pergi, Seng Liong Sen melompat keluar. Ini mengagetkan Seng Cap-si Kouw yang sedang mengintai dari jarak jauh.

Sesudah berada dekat bibinya Seng Liong Sen langsung bicara. "Bibi, kenapa kau bergaul dengannya. Kau tahu dia orang macam apa?" kata Seng Liong Sen.

"Bukankah dia sahabatmu, Liong Sen?" kata sang bibi. "Apa! Aku hampir mati di tangannya!" kata Seng Liong

Sen.

"Kenapa begitu, pasti ada sebabnya," kata Seng Cap-si Kouw.

"Dia musuh Khie Wie! Aku pernah diselamatkan oleh Khie Wie. Sebaliknya dia memaksaku untuk bergabung membunuh penolongku itu!" kata Seng Liong Sen. "Maka itu aku tolak ajakannya!"

"Sebabnya pasti bukan itu saja, kau dan  putri  Khie  Wie. "

"Ya. Ayah dan anak itu sangat baik padaku, maka itu aku mohon Bibi jangan menyusahkan nona Khie!"

"Oh, pantas Khie Wie begitu bersemangat ingin mencarimu, jadi itu masalahnya " kata Seng Cap-si Kouw.

"Ternyata kau punya janji dengan nona itu?"

Dengan berat hati terpaksa Seng Liong Sen mengakuinya.

"Oh, kau melupakan yang lama dan memilih dia?" kata Seng Cap-si Kouw. "Lalu akan kau apakan istrimu, setelah kau memilih dia?"

Mendengar ucapan itu Seng Liong Sen gelagapan dan bingung.

"Bibi jangan salah duga, aku berhutang budi pada mereka. Aku juga tak bermaksud melupakan Ci Giok Hian, tapi ketahui oleh Bibi. Uh-bun Tiong itu musuhku, pantas kalau  Bibi  ada  di  pihakku!"  kata  Seng  Liong  Sen. "Aku harap Bibi jangan mencelakakan nona yang tidak berdosa itu!"

Seng Cap-si Kouw gusar bukan main.

"Kaulah orang yang tidak berbudi dan tak bisa membedakan yang jahat dan yang baik!" kata si Iblis Perempuan.

"Kenapa Bibi bilang begitu?" kata sang keponakan.

"Kau bilang Uh-bun Tiong jahat! Sebenarnya dia hanya ingin mencegahmu menikah dengan nona itu! Terus-terang aku benci pada Ci Giok Hian, tapi aku lebih benci lagi kepada Nona Khie!" kata Seng Cap-si Kouw sengit sekali. "Maka itu aku larang kau menikah dengannya!"

"Siapa yang bilang aku akan menikah dengannya? Semua ini aku lakukan karena aku berhutang nyawa kepada mereka!" kata Seng Liong Sen.

"Uh-bun Tiong baik kepadamu, sedang Khie Wie ingin menikahkan putrinya denganmu karena dia punya rencana tertentu!" kata si Iblis Perempuan lagi

"Bi, aku mohon kau jangan membantu Uh-bun Tiong, mereka itu bukan musuh kita. Demi aku tolong Bibi pikirkan masalah ini. Nanti akan kujelaskan masalahnya padamu!" kata Seng Liong Sen memohon tapi hatinya juga dongkol karena sang bibi bersikeras ingin membantu Uh- bun Tiong.

"Memang dia tak bemusahan denganku," kata Seng Cap- si Kouw semakin dongkol. "Tapi ayahnya memusuhiku!"

"Tak mungkin! Aku belum pernah mendengar soal itu!" kata Seng Liong Sen.

"Baik akan kuceritakan," kata Seng Cap-si Kouw. Kemudian Seng Cap-si Kouw mengisahkan pertemuannya dengan Khie Wie. Bahkan pertarungannya ketika itu.

"Sekarang jelas bagimu, bukan?" kata Seng Cap-si Kouw. "Khie Wie pernah menolongimu, sedang Uh-bun Tiong menyelamatkan jiwaku. Karena itu aku mau membalas budi, apa aku tidak boleh membalas budi Uh-bun Tiong?"

"Bibi kalau kau bermusuhan dengan ayahnya, tetapi anaknya tak berdosa pada Bibi. Apa Bibi tak bisa mengampuni anaknya demi aku?" kata Seng Liong Sen.

"Tidak!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Baik," kata Seng Liong Sen dengan dongkol. "Jika Bibi tak mau membantuku, baiklah. Aku mohon Bibi juga jangan membantu Uh-bun Tiong jika aku sedang menghadapinya!"

Di luar dugaan Seng Liong Sen ditotok oleh bibinya. Dia terguling matanya mendelik mengawasi sang bibi dengan perasaan dongkol bukan main.

"Kau bandel, karena itu kau tahu rasa" kata sang bibi.

Ketika itu Seng Cap-si Kouw akan menyembunyikan keponakannya di semak-semak. Tapi tiba-tiba angin bertiup ke arahnya.

"Siapa itu?" bentak Seng Cap-si Kouw.

Si Iblis kaget dia kira Khie Wie yang datang. Saat dia sapu dengan tongkatnya, orang itu berhasil berkelit dan tertawa.

"Oh, ganasnya! Apa kau sudah lupa kepadaku?" kata orang itu.

Buru-buru si Iblis Perempuan menoleh, ternyata orang itu Jen Thian Ngo. "Oh, ternyata kau!" kata si Iblis Perempuan. "Kenapa kau ikuti aku secara diam-diam?"

"Kau jangan salah paham, Seng Toa-ci!" kata Jen Thian Ngo sambil tertawa. "Aku tetangga Khie Wie, rumahku ada di sana. Apa kau tak tahu?"

"Aku pernah mendengar begitu, aku akan bertarung dengan Khie Wie, apa kau akan membantu tetanggamu itu?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Kau salah duga, aku dengan dia tampaknya saja akur, sebenarnya aku tak cocok dengannya. Jika kau ingin bertarung dengannya, malah kebetulan bagiku." kata Jen Thian Ngo.

"Kalau begitu silakan kau pulang saja! Jangan ikut campur!" kata si Iblis Perempuan.

Jen Thian Ngo menunjuk ke arah Seng Liong Sen yang sedang terbaring.

"Apakah dia keponakanmu?" kata Jen Thian Ngo. "Benar, kau mau apa? Kau jangan ikut campur!" kata si

iblis.

"Aku tak berani ikut campur, tapi maksudku cuma ingin meminta ampun baginya," kata Jen THian Ngo sambil tertawa.

"Jadi kau juga kenal dengan dia?"

"Benar, dia pernah tinggal di rumahku," jawab Jen Thian Ngo.

"Apa maumu, akan kau apakan dia?"

"Aku harap dia jangan kau hukum, serahkan saja pengawasannya padaku," kata Jen Thian Ngo. Ketika itu si iblis sedang bingung akan dikemanakan tubuh keponakannya itu, kebetulan Jen Thian Ngo memintanya. Tapi dia juga tahu siapa Jen Thian Ngo ini. Maka itu dia pun curiga apa maksud Jen Thian Ngo atas diri keponakannya itu.

"Jadi dia akan kau bawa ke rumahmu?" kata si iblis. "Benar,  kau  datang  dari  tempat  jauh,  maka  aku ingin

mengundang kalian untuk bermalam di rumahku," kata Jen

Thian Ngo. "Karena kau sedang sibuk tak ada salahnya aku ajak dulu keponakanmu ini ke rumahku! Aku tahu kau kurang leluasa mengajak dia ke rumah Khie Wie."

Ucapan itu membuat si iblis tambah curiga.

"Katakan apa maumu? Mau kau apakan keponakanku?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Jangan khawatir, aku tidak bermaksud jahat pada kalian," kata Jen Thian Ngo. "Aku memang punya masalah dan akan meminta petunjuk dari keponakanmu!"

"Masalah apa?"

"Tentang anak perempuanku," jawab Jen Thian Ngo. "Saat dia datang ke rumahku, dia datang bersama istrinya dan Kiong Mi Yun. Mereka membawa putriku dan sampai sekarang dia belum kuketahui ada di mana?"

"Kenapa begitu?" kata Seng Cap-si Kouw keheranan. "Aku tahu Ci Giok Hian isteri keponakanmu, maka itu

pasti dia tahu di mana puteriku berada!" kata Jen Thian Ngo.

"Aku rasa keponakanku sudah putus hubungan dengan Ci Giok Hian, ceritakan bagaimana hal itu bisa terjadi?" kata si iblis. "Sekarang memang mereka sudah tak jadi suami istri lagi, tapi dulu mereka datang bersama-sama ke rumahku. Sesudah itu aku dengar keponakanmu menyukai putri Khie Wie dan tinggal bersama mereka. Tetapi mengnai kaburnya putriku dia ikut terlibat! Jika sekarang aku minta tangggung jawabnya, aku kira kau juga setuju, bukan?" kata Jen Thian Ngo.

Ketika itu Seng Cap-si Kouw berpikir.

"Jika anak Kiong Cauw Bun terlibat dalam perkara itu, dan Jen Thian Ngo bermusuhan dengan Kiong Cauw Bun, ada baiknya jika Jen Thian Ngo ada di pihaknya. Maka mereka akan mampu menghadapi Kiong Cauw Bun."

"Kalau begitu, silakan kau bawa keponakanku!" kata si iblis. "Aku harap kau tidak menyiksa dia!"

"Jangan kuatir, aku tidak akan mengganggu dia atau melukainya!" kata Jen Thian Ngo.

Sesudah Jen Thian Ngo membawa keponakannya, maka legalah hati si iblis. Dia lalu berjalan menuju ke rumah Khie Wie.

Saat itu Khie Kie sedang menyiapkan makanan untuk Uh-bun Tiong. Tak lama dia mendengar suara langkah kaki di depan pintu rumahnya. Buru-buru nona Khie membukakan pintu. Di depannya tampak Seng Cap-si Kouw berdiri mengawasinya.

"Eh, ini pasti Nona Khie, alangkah cantiknya! Pantas keponakanku tertarik padamu!" kata Seng Cap-si Kouw purapura ramah.

Wajah nona Khie berubah merah. "Bagaimana keadaan Liong Sin?" kata si nona. "Dia baik-baik saja. Semula dia mau ikut aku, tapi aku mencegahnya agar dia bisa beristrihatat dulu!" kata Seng Capsi Kouw. "Mungkin tak lama lagi dia akan menyusul ke mari!"

"Oh, sungguh senang aku jika bisa bertemu dengannya," kata si nona.

"Tapi aku masih khawatir kalau dia bertemu dengan ayahmu. Maka itu aku sudah punya rencana yang baik untuk mempertemukan kau dengannya," kata Seng Cap-si Kouw.

"Silakan Bibi katakan, aku harus bagaimana?" kata nona itu.

"Aku tahu ayahmu sangat gusar," kata si iblis. "Pasti keponakanku tak akan diampuninya, kedatanganku pun sungguh tak enak jika diketahui oleh ayahmu. Maka itu kami akan bersembunyi, dan ingat jangan sampai ayahmu tahu kami ada di sini! Aku sudah punya rencana lain, percayalah pada Bibi!"

"Aku percaya," kata si nona.

"Aku tahu kepandaian ayahmu hebat, maka itu kita harus cegah agar dia tak menggunakan ilmu silatnya. Semua itu demi keselamatan Liong Sin!" kata Seng Cap-si Kouw. "Baru sesudah kita bisa bicara dengan ayahmu secara baik-baik! Seandainya ayahmu tak mau mengampuni Liong Sin, saat itu ayahmu sudah tak berbahaya lagi!"

Mendengar rencana itu Khie Kie sedikit ragu-ragu. Uh- bun Tiong membujuk dan berkata begini.

"Tindakan melumpuhkan ayahmu itu hanya untuk sementara saja, semuai itu demi keselamatan kekasihmu, Nona!" kata Uh-bun Tiong. "Bagaimana cara mengatasi Ayahku agar tak memiliki kekuatan?" kata si nona sangsi.

"Aku tahu caranya, mari kau dengar caraku!" kata Seng Cap-si Kouw.

Seng Cap-si Kouw membisiki telinga nona Khie. Sesudah itu mereka bersembunyi di rumah itu. Esok harinya saat Khie Wie pulang dan masuk ke rumah, sedikit pun Khie Wie tak menduga dua musuhnya bersembunyi di rumahnya. Saat ayahnya pulang, Khie Kie tak berani memberi tahu hal itu. Malah dia langsung bertanya pada ayahnya.

"Ayah sudah pulang, bagaimana kabar Liong Sin?" kata si nona. Wajah Khie Wie tampak muram itu tandanya dia sedang marah sekali.

"Sudah! Jangan tanyakan soal dia lagi! Jika aku dengar namanya aku jadi jengkel sekali!" jawab sang ayah.

"Kenapa dia, Ayah?"

"Pertama dia bukan orang she Liong, tapi dia she Seng, cerita dia dulu semuanya bohong belaka!" kata ayahnya.

Saat Khie Wie mengawasi anak gadisnya, Khie Kie sedikit pun tidak kaget oleh kata-katanya. Ketika itu dia mengira putrinya masih bodoh dan tak mengerti kalau dia telah dibohongi orang.

Semula Khie Wie akan menceritakan kebaikan dan keburukan Seng Liong Sen, agar anaknya sadar juga mendapat pengetahuan yang benar darinya. Dengan demikian anaknya bisa mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana. Melihat anaknya tenang-tenang saja, Khie Wie ragu-ragu meneruskan ceritanya.

"Lalu bagaimana selanjutnya?" kata si nona. "Selain dia bohong, juga ada masalah yang dia lakukan dan tidak pantas dilakukan kepadapmu, itu ialah...." dia berhenti.

Tiba-tiba dia marah bukan main.

Si nona menganggap kata-kata Uh-bun Tiong dan Seng Cap-si Kouw mengenai ayahnya gusar dia anggap benar juga. Maka itu buru-buru dia menghibur ayahnya.

"Ayah pasti lelah, silakan Ayah minum tehnya, Ayah. "

kata Khie Kie.

Tanpa curiga sedikit pun dia minum teh itu.

"Anakku, akan kuceritakan semuanya padamu. Tapi kau tidak boleh menangis ya, Nak!" kata Khie Wie.

"Baik, Ayah, karena Ayah sudah pulang aku senang," kata Khie Kie.

"Cerita ini akan mendukakan hatimu, nak! Tapi kau harus tabah! Kau anak Ayah, betapapun pedihnya cerita Ayah itu kau jangan. "

"Katakan saja Ayah, aku berjanji tak akan menangis," kata Khie Kie memotong ucapan ayahnya.

"Dia ternyata....dia. " tapi belum selesai bicara, cangkir

teh di tangannya jatuh ke lantai. "Ayah, kau kenapa?" teriak putrinya.

"Kurang ajar! Kenapa kau menaruh racun dalam teh ini?" kata ayahnya. "Racun apa itu? Lekas katakan!"

Racun dalam teh untuk Khie Wie pemberian Seng Cap-si Kouw, khasiatnya untuk melumpuhkan Khie Wie. Karena tak siaga dan curiga, racun itu berkerja dengan cepat. Bagaimana dia akan mencurigai teh pemberian putri kesayangannya. Kini separuh tubuhnya mendadak lumpuh. "Aku tak tahu, tapi Ayah jangan cemas! Katanya racun itu hanya bekerja untuk sementara waktu saja. Ayah, aku minta Ayah mau memaafkan aku, semua terpaksa kulakukan!" kata Khie Kie.

Bukan main kaget dan sedihnya Khie Wie. Jika anaknya saja tak bisa dipercaya, lalu harus percaya kepada siapa lagi dia? Maka itu dengan sedih dia berkata dengan suara parau.

"Baik, katakan dari siapa racun itu?" kata Khie Wie. "Siapa yang memaksamu sehingga kau meracuni Ayah?"

Sebelum Khie Kie menjawab, terdengar ada orang bicara.

"Biar aku saja yang menjawab pertanyaanmu, Khie Wie!" kata Seng Cap-si Kouw.

Si Iblis tiba-tiba saja muncul lalu disusul oleh Uh-bun Tiong. Bukan main kagetnya Khie Wie, dia dongkol dan gusar. Tapi juga sedih. Ternyata putrinya berhasil ditipu oleh si Iblis Permpuan yang ganas itu.

"Hai, ternyata kau Perempuan Siluman! Kau telah menipu anakku!" bentak Khie Wie.

"Benar, aku yang menyuruh dia meracunimu!" kata si Iblis Perempuan. "Sengaja kugunakan putrimu agar kau mati penasaran. Kau angkuh dan kau menganggap dirimu lihay, ternyata kau jatuh ke dalam tanganku!"

Seudah itu si iblis maju hendak menghajar Khie Wie. Tapi Khie Wie meludahinya. Ludah itu tepat mengenai tangan si iblis yang hendak menampar muka Khie Wie. Si Iblis Perempuan kaget. Dia tak mengira lawan masih punya jurus simpanan. Tangannya terasa kesemutan, terpaksa dia mudur ke belakang. Saat itu Khie Wie berusaha mengusir pengaruh racun dalam tubuhnya. Serangan dengan ludah tadi cukup mengejutkan si iblis. Tangan Seng Cap-si Kouw yang terkena ludah kesakitan dan tak bisa digunakan. Dia angkat tongkat bambunya untuk menghajar Khie Wie. Khie Kie akhirnya sadar, ayahnya akan dibinasakan oleh si iblis jahat itu. Maka itu tanpa pikir panjang dia maju menubruk ke arah Seng Capsi Kouw.

"Kenapa kau mau mencelakai Ayahku? Tadi kau janji tak akan. " kata-kata Khie Kie terputus.

Sudah tentu mana mau Seng Cap-si Kouw meladeni Khie Kie.

Dia dorong nona Khie dengan tongkat bambunya hingga nona itu membentur dinding rumah.

"Hm! Jangan mimpi, ayahmu itu musuhku!" bentak Seng Cap-si Kouw dengan bengis. "Jangan kau kira aku sudi punya menantu sepertimu! Apa kau tak sadar Liong Sen sudah punya isteri?"

"Tua bangka penipu, pasti kau bukan bibi Sin Toa-ko.

Tapi kau iblis jahat! Biar aku adu jiwa denganmu!"

Sesudah itu Khie Kie maju menubruk si iblis. Bukan main jengkelnya Seng Cap-si Kouw pada nona ini, dia angkat tongkatnya akan menghajarnya. Tapi terdengar suara nyaring.

"Trang!"

Ternyata serangan iblis ini ditangkis oleh Uh-bun Tiong dengan ciak-tay (tempat lilin dari kuningan) yang sempat dia sambar dari atas meja.

"Eh, kenapa kau halangi maksudku?" kata Seng Ca-si Kouw. "Aku tak ingin kau melukainya!" kata Uh-bun Tiong.

"Jadi kau tertarik pada nona itu?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Kau jangan berkata begitu!" kata Uh-bun Tiong. "Wajah nona ini mirip ibunya!"

"Oh, kau terkenang pada ibunya, ya?" kata Seng Cap-si Kouw. "Boleh, tapi serahkan Khie Wie padaku!"

Di luar dugaan tiba-tiba Khie Kie berteriak.

"Maafkan aku Ayah, anakmu akan pergi!" kata Khie Kie. Sesudah itu dia membenturkan kepalanya ke tembok.

Uh-bun Tiong akan kaget, dia tak menduga nona itu akan berbuat nekat. Untung dia sempat menarik pakaiannya. Tapi tak urung kepala nona itu sudah membentur tembok.

"Duuk!"

Dahi nona itu terluka dan mengeluarkan darah. Untung kepalanya tidak pecah. Buru-buru dia totok nadi nona itu untuk menahan rasa sakit. Sesudah itu dia berkata pada Seng Cap-si Kouw.

"Permusuhanku dengan Khie Wie sangat dalam, biarkan aku yang membunuh dia. Aku pun perlu menemui Jen Thian Ngo. Silakan kau tinggalkan kami, nanti aku menyusul kalian!" kata Uh-bun Tiong.

"Kau pernah menyelamatkan aku, baik aku serahkan mereka padamu. Terserah kau saja! Anggap saja hutang budiku sudah lunas!" kata Seng Cap-si Kouw dengan dongkol. "Kau jangan salah paham, kelak kau bisa menyaksikan bagaimana aku balas dendam di kuburan di belakang  rumah ini!" kata Uh-bun Tiong. "Aku yakin kau pasti puas!"

Sesudah si iblis pergi Uh-bun Tiong menghampiri Khie Wie aambil tertawa terbahak-bahak.

"Eh, apa yang kau tertawakan?" kata Khie Wie.

"Aku tertawa karena ingat kau begitu bodoh!" jawab Uh- bun Tiong. "Sudah kubilang aku akan membalas dendam, tapi kau meremehkan ancamanku! Sekarang kau jatuh ke tanganku, dulu kau tak membunuhku. Sekarang kau menyesal, bukan?"

"Aku tak pernah menyesal pada apa yang telah kulakukan," kata Khie Wie. "Dulu kau tak kubunuh, karena kuanggap jiwamu tak berharga di mataku! Setelah kau bergabung dengan perempuan keparat itu, kau bisa menangkapku dengan cara licikmu itu! Biarlah karena itu salahku, anggap saja aku digigit anjing gila, jika penasaran pun tidak ada gunanya!"

Kata-kata Khie Wie itu menusuk telinga Uh-bun Tiong. Dia dianggap anjing gila, hal itu membuat wajah Uh-bun Tiong berubah merah. Tapi tak lama terdengar dia tertawa.

"Hm! Kau ingin memancing kemarahanku, ya?" kata Uh-bun Tiong. "Aku tahu siasatmu ini agar kau bisa mati dengan enak, bukan? Bagaimanapun caranya, kau sudah jatuh ke tanganku. Bukan kau saja, tapi anakmu pun akan kubereskan!"

"Silakan kau bunuh aku! Tapi menghina nona kecil, apa itu kau anggap perbuatan seorang eng-hiong (jagoan)?" ejek Khie Wie. "Ingat jangan lukai putriku!"

Uh-bun Tiong tertawa. "Jangan takut, putrimu tak akan kucelakakan!" katanya.

Dia hampiri nona Khie, lalu dia usap darahnya bdan dibubuhi obat. Saat itu Khie Kie hanya bisa mengawasi dengan dongkol dan memaki kalang-kabut.

"Manusia busuk tak tahu malu, kau mau mencelakai Ayahku, sampai aku jadi setanpun kau tak akan kuampuni!" kata si nona.

Sesudah itu dia ludahi Uh-bun Tiong. Tapi Uh-bun Tiong tidak marah, dia hanya menghela napas panjang.

"Ternyata kau mirip ibumu, nak." kata Uh-bun Tiong. "Kau anak Bun Giok, maka itu kau tak akan kucelakakan. Sekalipun kau anak Khie Wie, apakah kau mau tahu kenapa aku memusuhi ayahmu?"

"Jangan hiraukan kata-katanya, nak! Apapun dari mulut seekor anjing mana bisa jadi permata!" kata Khie Kie.

"Jadi kau takut aku bicara sebernarnya padanya, kan?" ejek Uh-bun Tiong. "Khie Kie, ibumu itu adik misanku, dulu kami saling jatuh cinta. Tapi entah dengan akal licik apa ayahmu merebut ibumu dari tanganku! Jika dia tak merebut ibumu, maka kau ini anakku. Apa aku tak pantas menuntut balas?"

"Jangan hiraukan kata-katanya, ibumu mencintaiku dengan setulus hati. Orang yang membunuh ibumu dialah orangnya! Dia bersekongkol dengan ibu tiri ibumu. Dia tipu ibumu untuk meracuniku, sama seperti kau dibujuk meracuni aku! Setelah tahu masalahnya, lalu ibumu bunuh diri! Aku tidak ingin kau berduka, maka itu tak pernah aku ceritakan padamu!" kata Khie Wie.

"Ayah aku percaya padamu, mana mungkin Ibu mencintai manusia keji seperti dia!" kata si nona. "Dia ini mirip katak dalam tempurung merindukan bulan!" Mendengar ucapan Khie Kie bukan main gusarnya Uh- bun Tiong. Dia membentak, "Dasar anak sial! Semula kau akan kuampuni, ternyata kau cari mati sendiri!"

"Silakan kau bunuh aku!" kata Khie Kie.

Saat itu Uh-bun Tiong sudah mengangkat tangannya, tapi dia tak jadi memukul Khie Kie.

"Ah, ternyata aku tak bisa mencelakai anak Bun Giok, apa mau dikata. Tapi ayahmu tak bisa kuampuni. Ayo kita berangkat!" kata Uh-bun Tiong.

Dia tarik tangan Khie Kie, sedang tubuh Khie Wie dia seret.

"Mengapa kau bawa kami, jika kau ingin membunuh kami, bunuh saja aku di sini!" kata Khie Wie.

"Bukan di sini kau akan kubunuh, untuk menyenangkan hati Bun Giok kau akan kubunuh di depan kuburannya!" kata Uh-bun Tiong.

"Bagus! Bagus, aku beruntungjika aku sampai mati di depan kuburan istriku!" kata Khie Wie.

"Semua ini gara-gara aku, jika kau mati aku juga akan menyusul Ayah, kita akan berkumpul dengan Ibu!" kata Khie Kie dengan tabah.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- Mendengar ucapan anak perempuan satu-satunya itu, bukan main terharunya Khie Wie. Dia meneteskan air mata lalu berkata dengan penuh kasih pada putrinya itu.

"Anakku kau jangan berkata begitu. Betapa sedihnya Ayah saat Ibumu bunuh diri dulu. Jika bukan karena Ayah ingin membesarkanmu, mungkin Ayah sudah bunuh diri menyusul Ibumu! Sekarang aku tak ingin kau meniru perbuatan Ibumu, setiap kesempatan boleh kau gunakan untuk tetap hidup. Yang terutama kejadian sekarang harus kau jadikan peringatan. Lain kali kau jangan mudah percaya pada omongan seseorang!"

Khie Kie tidak membantah kata-kata ayahnya, namun dalam hatinya sudah bertekad, jika ayahnya dibunuh oleh Uh-bun Tiong, dia pun akan bunuh diri! Tak lama Uh-bun Tiong yang membawa mereka sudah sampai di kuburan Bun Giok, istri Khie Wie. Sampai di situ Uh-bun Tiong melepaskan mereka lalu berkata nyaring.

"Khie Wie kau mengangap dirimu itu gagah dan serba bisa. Kau pun berhasil memikat Piauw-moay (adik misan) Maka itu aku tak akan membunuhmu, tapi hanya akan memusnahkan ilmu silatmu! Maka akan kupotong kesepuluh jari tangan dan lidahmu! Akan kulihat, apakah Bun Giok masih mencintaimu atau tidak?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar