Beng Ciang Hong In Lok Jilid 50

 
Sesaat Seng Liong Sen tertegun. Tiba-tiba dia tutup wajahnya langsung kabur bagai dikejar setan. Bibinya pun tak sempat mencegahnya. Semula si Iblis Perempuan mengira Seng Liong Sen akan membalas dendam. Dia  kaget sang keponakan bukan menemuinya, malah kabur. Sungguh di luar dugaan bibinya. Si Iblis Perempuan bingung, dia kejar keponakannya itu!

Kok Siauw Hong masih kaget, saat Bong Say Hoa berkata, "Wah, bisa berabe!" .

"Apa yang berabe?" tanya Kok Siauw Hong.

"Karena kedatangan keponakannya, berarti kau tidak diperlukan lagi. Karena kau menolak mencari mertuamu, aku duga kau akan segera dibunuhnya," kata Bong Say Hoa.

Ketika itu Kok Siauw Hong pun berpikir, apa yang dikhawatirkan nona Biauw itu ada benarnya. Dia juga tahu kekejaman Iblis Perempuan itu. Mengenai orang yang mengaku bernama "Liong Sin" itu, ternyata dia Seng Liong Sen, keponakan si Iblis Perempuan. Ini memang di luar dugaan Kok Siauw Hong. Dia perhatikan nona Bong yang mengerutkan keningnya kelihatan khawatir sekali.

"Kau jangan cemas, paling-paling aku mati dibunuhnya!" kata Kok Siauw Hong. "Tapi aku yakin karena kau

kepercayaan wanita jahat itu, dia tidak akan berbuat kejam padamu!"

"Tapi.. .aku tidak bisa membiarkan kau dibunuh olehnya," kata nona Biauw itu. "Baiklah, kau akan kubawa kabur!"

"Tapi aku tidak bisa berjalan," kata pemuda itu.

"Aku punya obat penawar, minum ini!" kata Say Hoa. "Kenapa kau mengkhianati gurumu, apa kau tidak akan

diapa-apakan olehnya?" kata Kok SiauwHong khawatir.

Dengan tidak banyak bicara lagi nona Bong memasukkan sebutir obat penawar ke mulut Kok Siauw Hong, dan memijatnya sebentar.

"Bagaimana, sudah enakan tubuhmu?" kata si nona. "Ah, aku sudah bisa berjalan sekarang, tapi. "

"Sudah jangan banyak bicara, mari kita pergi!" kata nona itu pada Siauw Hong.

Karena pemuda itu tidak sempat berpikir lagi, terpaksa dia kabur bersama Bong Say Hoa. Nona itu berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Mereka menuju ke pegunungan dan hutan lebat. Sesudah yakin si Iblis Perempuan tidak mengejar mereka, mereka merasa lega.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona! Budimu kelak akan kubalas," kata Kok Siauw Hong.

"Kenapa kau berkata begitu?" kata nona Biauw. "Kau akan

meninggalkan aku?"

Kok Siauw Hong bingung lalu mengangguk.

"Begini, Nona. Maksudku, agar kau tidak terlibat hingga dihukum oleh gurumu!" kata Kok Siauw Hong. "Tapi sekarang mau tak mau aku sudah terlibat, apa kau kira aku bisa kembali pada Guruku lagi?" kata Bong Say Hoa.

"Bukankah kau bisa pulang ke rumahmu?" kata Siauw Hong.

"Dia kan bisa mencariku ke rumahku, malah sebelum aku sampai di rumah, mungkin aku sudah tertangkap olehnya! Sebenarnya aku ingin bersamamu. Bukankah kau mau ke daerah Biauw mencari mertuamu?"

"Benar, lalu kenapa?" tanya Kok Siauw Hong.

"Kau orang Han, jadi tidak bisa bicara bahasa Biauw. Jika aku ikut kau ke sana, pasti hal itu bisa mengurangi kesulitanmu!"

Kok Siauw Hong berpikir.

"Ucapan dia ada benarnya juga," pikir Kok Siauw Hong. "Tapi apa nona ini tidak punya rencana lain atas diriku?

Saat itu seolah nona Biauw bisa menerka apa yang ada di otak anak muda itu.

"Kau jangan takut, sesudah kau bertemu dengan mertuamu, aku akan pergi. Aku berjanji tidak akan menyusahkanmu!" kata Bong Say Hoa sambil tersenyum manis. "Jika kau izinkan aku bersamamu beberapa hari saja aku sudah bersyukur sekali!"

Mendengar ucapan nona Biauw yang tulus itu, mau tak mau hati Kok Siauw Hong terharu juga.

"Baiklah, jika kau mau menganggapku sebagai Toa- komu, akupun mau mengakuimu sebagai adikku. Aku yakin Pwee Eng pun suka padamu jika dia bertemu denganmu nanti." "Aku ingin bertemu dengan calon istrimu yang cantik itu," kata Bong Say Hoa sambil tersenyum pedih. "Mari kita jalan!"

Sedikitpun Seng Cap-si Kouw tidak mengira keponakannya akan lari saat melihat Kok Siauw Hong. Dengan melupakan Kok Siauw Hong dan Bong Say Hoa, si nenek mengejar keponakannya. Karena jalan keluar hanya satu, tidak lama Seng Liong Sen sudah terkejar oleh Seng Cap-si Kouw.

"Bibi, jangan kau paksa aku kembali ke sana! Biarkan aku pergi!" kata Seng Liong Sen setengah meratap.

"Aneh, mengapa kau takut pada Kok Siauw Hong?" kata si Iblis Perempuan. "Dia kan sudah tak mampu lagi melawan, kau dapat menyiksa dia sesukamu!"

"Aku ingin memohon sesuatu padamu, Bibi!" "Mengenai apa? Katakan saja!"

"Kumohon kau lepaskan Kok Siauw Hong!"

"Dengan susah payah aku menangkapnya, kenapa kau minta aku melepaskannya?"

"Bibi, apa kau puas mengikat permusuhan sebanyak ini, kenapa ingin mencelakai Kok Siauw Hong? Bibi, demi aku, mohon kau bebaskan dia," sambil berkata tak tertahan kagi air mata pemuda itu bercucuran.

Si nenek menatap ke arah Seng Liong Sen, dia tertegun seakan-akan keponakannya itu orang yang baru dikenalnya. Sejenak baru dia bicara lagi.

"Aneh sekali, kenapa kau malah memintakan ampun untuknya!" kata Seng Cap-si Kouw. "Liong Sen, sekalipun kau tidak mengatakannya, aku tahu masalah kalian berdua. Kok Siauw Hong itu calon suami Ci Giok Hian. Maka itu aku yakin kau cemburu padanya, tapi mengapa kesempatan yang baik itu kau sia-siakan? Kenapa tidak kau bunuh saja dia! Jika aku tidak membuka rahasia ini, siapa yang akan mengetahuinya?"

"Aku tidak mau Bi, lebih baik kau bunuh saja aku dari pada kau membunuh dia," kata Seng Liong Sen.

"Aneh, kenapa sekarang kau malah tidak cemburu dan benci kepadanya? Apa sebabnya?" kata si Iblis Perempuan heran.

"Dulu memang aku benci dan cemburu padanya, tapi sekarang aku malah berterima kasih kepadanya," jawab Seng Liong Sen.

"Bukankah tadi kau dengar sendiri dia memanggilku "Liong Toa-ko"? Betapa girangnya dia ketika mengetahui aku masih hidup! Jelas perhatian dia kepadaku tidak dibuat- buat, tapi begitu tulus hatinya bukan?!"

"Aku malah ingin tahu masalah itu?" kata si nenek.

"Kau tidak mengetahuinya, Bi? Aku ini seolah sudah mati tapi hidup kembali," kata Seng Liong Sen. "Sekalipun dia tahu aku ini "Seng Liong Sen" dan dia tahu aku cemburu dan benci kepadanya, tetapi dia anggap aku ini sebagai sahabatnya! Ketika aku sudah berganti nama pun, dia tetap menganggapku sahabatnya! Dia pernah berusaha menyelamatkan aku, sekalipun aku selamat bukan olehnya! Tapi aku harus berterima kasih kepadanya!"

"Kenapa kau harus berganti nama? Kenapa kau jadi berubah? Kau belum menjelaskannya kepadaku," kata si nenek.

"Aku berbuat kesalahan, maka itu aku malu bila bertemu dengan semua sahabatku," kata Seng Liong Sen dengan suara  parau,  "Jika  aku  tetap  memakai  nama  lama,  aku yakin Suhu pun tidak akan mengakuiku lagi sebagai muridnya. Selain itu Ci Giok Hian tidak akan sudi mengakuiku sebagai suaminya. Untung wajahku sudah berubah begini! Maka itu aku anggap Seng Liong Sen yang dulu sudah mati, dan aku berganti nama jadi Liong Sin!"

"Sebenarnya kesalahan apa yang telah kau lakukan?" tanya Seng Cap-si Kouw.

Ditanya demikian bukan main kesal dan menderitanya Seng Liong Sen, tanpa terasa air matanya menetes.

"Jika aku ingat-ingat peristiwa itu, Bi, lebih baik aku mati saja! Malah sekarang aku tidak ingin menyinggung lagi masalah itu!" kata Seng Liong Sen.

"Baik, sekarang apa yang kau inginkan?"

"Semula aku mengira aku masih bisa mengembara di kalangan Kang-ouw," kata Seng Liong Sen. "Maka itu kugunakan nama Liong Sin. Tetapi Kok Siauw Hong sudah mengetahui rahasiaku, maka itu kuputuskan akan menghilang dari kalangan Kang-ouw untuk selamanya. Bibi, kaulah satusatunya orang tuaku, maukah Bibi mengabulkan dua permintaanku?"

"Tadi kau telah meminta sesuatu padaku, sekarang tambah lagi satu permintaan. Baiklah, katakan saja! Jika aku bisa permintaanmu itu akan kukabulkan!"

"Kedua permintaanku itu sebenarnya juga demi kebaikan Bibi dan kebaikanku juga." kata Seng Liong Sen.

"Baik buruknya bagiku aku sendiri yang menentukan!

Katakan saja!" kata sang bibi.

"Pertama bebaskan dulu Kok Siauw Hong seperti permintaanku tadi. Mari kita pulang ke kampung halaman kita   Bi!   Jangan   ikut   campur   lagi   masalah   di luaran. Sebenarnya Bibi pantas menjadi Maha Guru suatu aliran persilatan sendiri. Jika kau mengasingkan diri dan memperdalam ilmu sendiri, kelak namamu pasti akan harum sepanjang masa! Bukankah cara ini jauh lebih baik darpada kau pusing memikirkan musuh. Ini permintaanku yang kedua."

"Apa masih ada permintaanmu yang lain?" kata si Iblis Perempuan.

"Tidak, Bi, jika kau mau memenuhi dua permintaanku itu, aku sudah senang. Tak ada yang kuinginkan lagi!" kata Seng Liong Sen.

Sang bibi kelihatan ragu-ragu melihat sikap keponakannya begitu tulus itu.

"Aku hanya punya keponakan satu-satunya, jika keponakanku ini meninggalkanku, aku benar-benar tidak punya keluarga lagi!" pikir Seng Cap-si Kouw.

Keduanya termenung tanpa bicara sesaat lamanya. Sesudah selang sekian lama Seng Cap-si Kouw menghela napas panjang.

"Permintaan yang pertama, akan kukabulkan," kata si Iblis Perempuan. "Untuk permintaan yang kedua aku hanya bisa mengabulkannya sebagian saja!"

"Benarkah Bibi akan membebaskan Kok Siauw Hong?" tanya Seng Liong Sen girang dan tak percaya.

"Kau tidak tahu, sejak tadi dia sudah kubebaskan!" jawab bibinya sambil tertawa. "Sebelum aku pergi Say Hoa sudah kuberitahu agar membebaskan dia! Jika kau tak yakin kau boleh lihat sendiri ke sana."

Rupanya si nenek jahat ini sudah tahu Bong Say Hoa pasti  akan mengobati Kok Siauw  Hong  dan  mengajaknya kabur. Benar saja ketika Seng Cap-si Kouw dan Seng Liong Sen kembali lagi ke rumah keluarga Ciauw, mereka sudah tidak ada di sana.

"Bagaimana, kau percaya tidak padaku?" kata sang bibi.

Seng Liong Sen sangat mengenal sifat bibinya ini, saat dia melihat Seng Cap-si Kouw tersenyum aneh, dia kaget juga.

"Eh, apa ini bukan tipu-muslihat Bibi?" pikir pemuda ini.

"Bagaimana dengan permohonanku yang kedua?" kata Liong Sen. "Kenapa Bibi bilang hanya dikabulkan sebagian saja?"

"Karena masih ada masalah yang belum aku selesaikan, maka itu aku tidak mau pulang bersamamu!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Masalah apa itu, Bi?" tanya Seng Liong Sen.

"Setiap orang pasti punya masalah dan rahasia pribadi yang tak dapat dikatakan kepada siapapun. Kau juga tidak bisa memberitahu kesalahanmu padaku, bukan? Jika kau ingin tahu. baik nanti akan kuberitahu. Mari ikut aku mengurus masalahku itu!"

"Karena aku pernah bersalah, aku tidak ingin melakukannya lagi!" kata Seng Liong Sen.

Kelihatan si nenek tidak senang.

"Liong Sen, apa kau ingin menasihatiku? Kau ini keponakanku dan kau sudah kenal watakku!" kata si Iblis Perempuan sengit. "Kau tahu aku selalu menuntut balas sakit hatiku. Aku tak pernah mengampuni musuh-musihku! Aku tak mau tahu, apakah aku salah atau benar! Siapapun tak bisa mengubah pendirianku, termasuk kau!" "Bibi tak bersedia menerima saranku, baik! Tetapi sejak saat ini aku pun tidak mau ikut dengan Bibi lagi!" kata Seng Liong Sen.

"Ketika masih kecil kau selalu menuruti perkataanku. Sekarang aku sudah menuruti sebagian dari permintaanmu. Mengapa kau masih belum puas juga dan kau ingin meninggalkan aku?"

"Jadi Bibi masih ingin menyusahkan orang lain?" kata Seng Liong Sen.

"Mengapa kau bertanya begitu kasar kepadaku? Orang lain telah membuat susah kepadaku, kenapa aku tidak boleh membalas dendam? Kau tidak tahu duduk persoalannya, malah kau menyalahkan aku!"

"Aku tahu Bibi hendak mencari Han Tay Hiong. Aku kira dia bukan orang jahat yang tak bisa kau ampuni!"

Si Iblis Perempuan semakin gusar.

"Apa maumu? Kau mau membantu dia?"

"Mana aku berani, Bi! Jika Bibi tak mau menerima saranku, maka aku pun tak mau mengikuti jejakmu!" kata Seng Liong Sen.

"Sejak kecil aku membesarkan dia seperti anak kandungku, tetapi sekarang dia membantah keinginanku. Ah, betapa pun baiknya seorang keponakan, tetap keponakan! Jika aku punya anak kandung, tentu tidak akan jadi begini?! Aku seorang yang hidup sebatang kara dan kesepian. Cintaku pada Han Tay Hiong tak terbalas. Aku menyesal dan sakit hati! " pikir Seng Cap-si Kouw.

Sesudah diam sejenak tiba-tiba dia marah bukan main. "Baik, lekas kau pergi dari sini!" kata si Iblis Perempuan. Pemuda ini ketakutan dan berduka, tanpa berkata apa- apa lagi terpaksa dia tinggalkan bibinya dengan perasaan yang masgul.

Suasana senja ketika itu sudah mulai  remang-remang dan keadaan di sekitarnya sudah mulai sepi. Ketika pemuda yang malang itu sedang berjalan sendirian, dia menoleh dan tidak tampak lagi bayangan bibinya. Hatinya hampa, sebab sekarang dia benar-benar tidak mempunyai famili lagi.

"Aku tidak peduli wajahmu cakap atau jelek, asal hatimu baik tidak ada permintaanku yang lain. Aku akan bersikap baik padamu berlipat ganda," demikian ucapan tulus dan ikhlas dari Khie Kie.

Ucapan itu seakan-akan terngiang kembali di telinganya.

Tanpa terasa dia merasa malu sendiri.

"Benar, paling tidak di dunia ini masih ada seorang dara yang merindukanku! Orang itu ialah Khie Kie," pikir pemuda itu.

Sedangkan kecantikan dan kebaikan Ci Giok Hian jelas tidak bisa dia lupakan, tetapi sejak menjadi suami istri secara resmi, mereka belum pernah berhubungan sebagai suami-isteri sesungguhnya. Malah sebagian waktu yang dilaluinya, serasa berada di neraka saja. Memang, dia pernah mencintai Ci Giok Hian, malah cintanya masih bertahan sampai sekarang. Tetapi selama ini dia belum merasakan kebahagiaan. Mendadak dari lubuk hatinya  yang dalam timbul pertanyaan: "Apakah benar aku mencintai Giok Hian dengan setulus hati tanpa sesuatu pamrih lain?"

Hal yang dianggap benar itu, kini setelah dipikir lagi dengan kepala dingin, tak terasa timbul pertanyaan dalam batinnya. "Aku mencintai kecantikannya. Aku mencintai kepandaiannya. Aku mencintai kebesaran keluarganya. Dia puteri keluarga tokoh silat ternama. Mempunyai istri seperti dia, aku bisa berbangga di depan umum. Aku ingin dia membantuku sebagai istri seorang Bu-lim Beng-cu. Kelak aku bisa menggantikan Suhu. Oleh sebab itu dengan akal licik, aku nikahi dia! Sekalipun aku harus berbohong mengatakan Kok Siauw Hong telah meninggal. Ya, aku memang cinta kepadanya, tetapi dalam cintaku itu tercampur pikiran lain yang sangat buruk. Maka itu pantas jika di antara suami istri tidak ada perasaan bahagia. Padahal ketika Giok Hian menikah denganku, sebenarnya dia merasa terpaksa, sebab dia mengira Kok Siauw Hong sudah meninggal. Setelah kupancing dengan kedudukan sebagai istri calon Bu-lim Beng-cu yang akan datang, dia rela menikah denganku. Dia memang baik sekali padaku, diapun berharap aku bisa menjadi suami kebanggaannya. Akan tetapi, aku telah melakukan perbuatan rendah. Jika dia mengetahui aku masih hidup, tentu dia akan merasa jijik kepadaku."

Begitu bayangan Ci Giok Hian dan Khie Kie berturut- turut muncul di benaknya. Tiba-tiba dia merasa Khie Kie jauh lebih tepat baginya. Malah dia merasa lebih banyak bersalah kepada Khie Kie nona yang polos itu.

"Dia seorang nona yang suci bersih, dalam kehidupannya selama ini belum pernah ada lelaki kedua di hatinya. Mana boleh aku membohongi dia dan meninggalkannya?" pikir Liong Sen.

Dia masih ingat ucapan Khie Kie.

"Akan kuhitung hari demi hari hingga kau kembali, kau jangan melupakan janjimu, waktu setengah tahun itu!" kata Khie Kie. Dia jadi malu sendiri dan terharu ketika teringat kepada pesan Khie Kie sebelum mereka berpisah.

"Meski perbuatan Bibiku tak baik, tapi ada satu ucapannya yang tepat, yakni kita harus jelas membedakan budi dan dendam. Bagi gadis yang masih suci seperti Khie Kie, aku menerima budi dan pertolongannya. Lalu mana boleh aku tidak membalas kebaikanya itu? Sekarang orang she Uh-bun sedang ke sana untuk menyergap mereka ayah dan anak. Sekalipun kepandaian Khie Wie tinggi, tetapi bukan tidak mungkin mereka akan terjebak oleh Uh-bun Tiong. Seandainya aku tidak menikahi Khie Kie pun paling tidak aku harus mengirim berita penting ini kepada mereka! Dalam pertarungan denganku, Uh-bun Tiong terluka. Aku yakin dia harus istirahat dulu, sebelum dia ke sana. Jika aku kirim kabar sekarang, aku yakin Khie Kie masih sempat siaga!"

Sesudah itu Seng Liong Sen yang sudah mengambil keputusan melanjutkan perjalanan dengan hati yang lega.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Ketika itu Kok Siauw Hong dan Bong Say Hoa sedang melakukan perjalanan menuju ke daerah suku Biauw. Kok Siauw Hong ketika itu sedang mengkhawatirkan keadaan Han Pwee Eng. Siapa tahu Han Pwee Eng mengalami sesuatu di tengah jalan. Sedang pada Bong Say Hoa, dia merasa berhutang budi. Dia tidak tahu entah bagaimana dia harus membalas budinya?

Karena ingin segera sampai, mereka berjalan cepat. Tapi jalan yang mereka lewati jalan pegunungan yang sunyi. Karena itu dia harus menggunakan ilmu meringankan tubuh, nona Biauw itu agak tertinggal. Semula Siauw Hong mengira nona Biauw itu tak bisa berjalan cepat. Tetapi terbukti  kemudian,  si  nona  bisa  menyusul  dia.  Sekarang mereka bisa berjalan bergandengan. Malah nona Biauw ini tidak kalah cepatnya saat berjalan bersamanya. Di daerah Biauw pasti Bong Say Hoa sering berburu, sehingga ilmu meringankan tubuhnya pun sempurna sekali. Dia gesit dan lincah sekali. Melihat hal itu Kok Siauw Hong pun puas juga. Malah lama kelamaan Kok Siauw Hong merasakan langkah kakinya bertambah berat. Tanpa terasa dia tertinggal, bahkan tubuhnya terasa ringan dan tidak bertenaga. Ketika nona Bong menoleh, kelihatan dia kaget melihat Kok Siauw Hong tertinggal olehnya.

"Kok Toa-ko, mungkin kau kurang kenyang makan, karena lapar kau tak mampu berjalan jauh," kata si nona.

Kok Siauw Hong memperlambat langkahnya, karena sekarang dia merasa lapar.

"Benar, kau benar. Aku memang sedikit lapar. Tapi kita tidak membawa bekal!" kata Kok Siauw Hong.

"Tenang saja, mari kita cari tempat istirahat dulu!" kata  si nona. "Aku akan mencari makanan untuk kita. Tak jauh dari sini ada kelenteng Yo Ong-bio. Mari kita bermalam di sana!"

Ketika mereka sampai di kelenteng, ternyata itu sebuah kelenteng tua yang pintunya sudah rusak semuanya. Bong Say Hoa berusaha membersihkan kotoran atau sampah dengan sebuah sapu seadanya. Sesudah itu dia menyalakan api, dia pergi akan mencari makanan. Selang beberapa saat Bong Say Hoa sudah kembali sambil membawa ubi-ubian.

"Ubi ini enak juga dibakar, tak kalah dengan ubi yang biasa di makan oleh orang Han!" kata si nona sambil tersenyum.

Kemudian ubi-ubi itu dimasukkan ke dalam api unggun.

Setelah ubi itu masak, mereka mulai menikmatinya. "Ah, enak juga, aku belum pernah makan ubi seperti ini. Ternyata daerahmu penghasil makanan beraneka macam juga!"

"Itu sebabnya kami selalu waspada terhadap orang Han, jika mereka masuk ke wilayah kami, selalu kami usir. Kalau perlu mereka kami bunuh, karena takut mereka rebut wilayah kami." kata Bong Say Hoa.

"Ah, kenapa sukumu kejam sekali. Aneh?" kata Kok Siauw Hong sambil mengawasi nona itu.

"Kau bilang bangsa kami kejam? Aku kira orang Han lebih kejam dibanding suku Biauw!" kata Bong Say Hoa. "Dari cerita orang tua kami, bangsa Han telah merampas tanah pertanian milik kami. Mereka pun merampas rumah kami dan mengambil wanita-wanita suku Biauw. Sedang kaum prianya mereka bunuh! Maka itu dengan sangat terpaksa kami mengungsi ke pegunungan. Walau demikian bangsa Han atau pemerintah Song masih saja menyerang kami hampir setahun sekali! Ketika Ayahku menjadi Tong- cu (Ketua suku Biauw), suku kami disarankan untuk belajar ilmu beladiri agar mampu melawan bangsa Han. Akhirnya karena bangsamu mengalami kerugian berulang-ulang mereka jarang datang, sekarang hidup kami tentram!"

"Bangsa Han juga ditindas oleh pemerintah Song. Bila bangsa Biauw disusahkan oleh pemerintah Song, kau jangan samakan semua rakyat jelata bangsa Han jahat pada bangsamu!" kata Kok Siauw Hong membela diri. "Maka jelas aku pun mengutuk penindasan terhadap bangsamu oleh pemerintah Song!"

"Tetapi orang Han yang datang ke daerah Biauw pada umumnya sangat licin dan ingin mengakali suku kami. Sebagai contoh bila orang Han berdafang garam, kami harus  membayarnya  dengan  sepuluh  kati  jamur.  Karena kami tak tahu berapa harga garam sebenarnya, terpaksa kami terima saja!" kata Bong Say Hoa. "Tapi setelah kami selidiki, ternyata harga satu kati jamur di sana bisa bernilai lima kati garam. Coba kau bayangkan, apa itu tidak licik namanya?"

Kok Siauw Hong diam.

"Kami telah dibodohi oleh pedagang petualang itu. Selain itu bangsa Han yang datang ke daerah kami sering menculik anak dan gadis suku kami. Bahkan ada yang datang menjadi mata-mata pembesar bangsa Han." kata nona Bong. "Semua perlakuan buruk itu mau tak mau telah membuat prasangka buruk kami kepada bangsamu!"

"Apa barangkali kalian tidak pernah bertemu dengan bangsa Han yang baik?" kata Kok Siauw Hong.

"Orang Han yang baik memang ada, misalnya Thio  Thay Thian dan Ciok Leng, Mereka pernah membantu bangsa Biauw melawan pasukan pemerintah Song. Ilmu silat mereka pun tinggi, apa kau kenal dengan mereka?"

"Aku kenal mereka!" kata Siauw Hong. "Kalau begitu di antara bangsa Han pun ada yang baik, bukan?"

"Jumlahnya sangat sedikit dibanding yang jahat! Aku tahu kau orang Han yang baik!" kata Bong Say Hoa wajahnya tibatiba berubah merah. "Selain kau, Ibu angkatku Seng Cap-si Kouw. Dia pernah menolong dan mengobati suku kami dari penyakit menular! Tapi sayang antara Ibu angkatku dan kedua orang Han yang aku sebut baik itu bermusuhan satu sama lain! Sedang kau juga bilang Ibu angkatku jahat! Mungkin benar! Maka itu aku lebih percaya pada ucapanmu!"

"Dia berpura-pura berbuat kebaikan pada bangsamu, maksudnya  untuk  memperalat  bangsamu  melawan  para pendekar bangsa Han. Maka itu aku bilang dia bukan orang baik yang sebenarnya! Nona Bong, di dunia ini terdapat bermacam-macam orang. Mereka berakal licin dan licik. Padahal pada umumnya orang baik selalu lebih banyak dibanding dengan orang jahat."

"Pendapatmu ini sepaham dengan pandapat Cong Tong- cu kami, oleh karena itu akhir-akhir ini Ayahku tidak begitu benci lagi kepada bangsa Han."

"Bangsa Han punya pepatah: 'Semua orang di seluruh penjuru dunia adalah saudara'. Artinya semua bangsa di dunia ini, meski pun berbeda warna kulit dan berlainan suku, tapi darahnya tetap sama merah! Sebab itulah aku harap sepulangmu, kau dapat lebih banyak membantu ayahmu agar mengubah pandangan bangsa Biauw terhadap bangsa Han."

"Tapi kalau orang jahat apa kami harus bersahabat juga dengan dia? Padahal baik atau jahat terkadang sukar dibedakan."

"Benar, perbedaan baik dan jahat memang tidak dapat dinilai dari satu dua perbuatan, tapi harus dinilai dari apa yang diucapkan dan apa yang dilakukannya. Lama-lama tentu akan dapat dibedakan apakah dia orang baik atau jahat."

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Ketika itu Bong Say Hoa menunduk, seolah-olah dia sedang berpikir. Tetapi tiba-tiba dia berkata dengan kaget. Wajah Beng Say Hoa sedikit berubah. "Ah, mungkin ada orang datang ke mari!" kata nona Bong. Dugaan nona Bong memang tak salah, baru saja dia selesai bicara mereka  sudah mendengar orang bicara dengan bengis.

"Ternyata dunia ini memang sempit," kata orang itu. "Ke mana pun aku pergi pasti aku bertemu denganmu! Aku yakin kau tidak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?"

Ketika itu Kok Siauw Hong dongak dia mengenali orang itu sahabat See-bun Souw Ya, yaitu Chu Kiu Sek yang terkenal jahat itu musuh besar Han Tay Hiong. Dulu saat bertarung dengan Chu Kiu Sek, orang she Han itu harus terbaring selama beberapa tahun menyembuhkan lukanya.

Saat Kok Siauw Hong datang ke rumah Han Tay Hiong yang maksudnya untuk membatalkan pertunangannya dengan Han Pwee Eng, Kok Siauw Hong bertemu Chu Kiu Sek untuk pertama kalinya. Selang dua tahun, sekarang bertemu lagi di tempat ini.

"Siapa dia?" bisik Bong Say Hoa pada Kok Siauw Hong. "Dia penjahat besar, aku pun tak akan bisa

menghadapinya, ayo kau lari saja!" kata Kok Siauw Hong.

Sesudah memperingatkan Bong Say Hoa, Kok Siauw Hong langsung menghunus pedangnya lalu maju menyerang ke arah Chu Kiu Sek. Dia melancarkan serangan mendadak dengan tujuan agar nona Bong sempat melarikan diri.

Kok Siauw Hong kaget saat dia melirik, dia lihat Bong Say Hoa dengan tenang masih duduk sambil menikmati ubi bakar. Dia tak bergerak sedikit pun dari tempat duduknya. Dia tak menghiraukan peringatan dari Kok Siauw Hong. Malah  saat  itu  dia  menganggap  tidak  terjadi  apa-apa  di tempat itu. Saat serangan Kok Siauw Hong tiba, Chu Kiu Sek menyentil dengan tangannya.

"Tring!"

Pedang itu melenceng dari sasaran dan saat itu juga Kok Siauw Hong merasa ada hawa dingin menyerang pada dirinya. Maka tak ampun lagi dia mundur beberapa langkah.

"Say Hoa, lari! Kenapa kau diam saja?" kata Kok Siauw Hong cemas bukan main.

Chu Kiu Sek tertawa terbahak-bahak.

"Ternyata kau orang yang tahu diri, merasa tidak mampu menghadapiku, kau suruh temanmu kabur!" kata Chu Kiu Sek. "Kok Siauw Hong, tadi kau katakan aku ini orang jahat, apa kau kira kau orang baik-baik? Kau juga orang jahat!"

"Tutup mulutmu! Kaulah orang jahat!" kata Bong Say Hoa.

"Hm! Dasar nona bodoh, apakah kau belum tahu dia sudah punya dua orang perempuan simpanan? Tetapi dia masih main gila denganmu. Apa kau sangka dia bukan orang jahat?"

"Tutup mulutmu bangsat! Rasakan pedangku!" bentak Kok Siauw Hong langsung menyerang lagi.

"Nona lari!" kata Kok Siauw Hong lagi. Anehnya nona Bong diam saja.

Chu Kiu Sek sudah tahu jurus Cit-sat-ciang yang digunakan Kok Siauw Hong ampuh, maka dia tidak berani menganggap ringan lawannya. Maka itu serangan pemuda itu dia tangkis dengan tiga serangan jurus Siu-lo-im-sat-kang andalannya. Angin pukulan ilmu itu terasa dingin hingga tanpa terasa Kok Siauw Hong kedinginan sekali. Maka itu serangan pemuda ini jadi lamban seolah tidak bertenaga.

Kok Siauw Hong kaget. Dia melangkah mundur dua langkah ke belakang, pedangnya sengaja disiagakan untuk menangkis suatu serangan dari lawan. Dia heran kenapa seolah dia tidak bertenaga. Melihat lawan kebingungan Chu Kiu Sek malah tertawa.

"Hm! Kau tahu rasa. Ayo menyerah jika kau ingin jiwamu kuampuni!" kata Chu Kiu Sek mengejek.

Kok Siauw Hong memiliki ilmu andalan yaitu Cit-sat- ciang dan Siauw-yang-sin-kang. Kedua ilmu itu sebenarnya tandingan Siu-lo-im-sat-kang milik lawan. Tapi karena ketika itu tenaga Kok Siauw Hong belum pulih, ditambah lagi memang tenaga dalam Kok Siauw Hong kalah jauh dari lawannya, tak heran jika dua ilmu andalannya ada di bawah angin. Ternyata serangan hawa dingin dari pukulan Chu Kiu Sek mengenai Bong Say Hoa yang duduk dekat api unggun, gigi nona Bong terdengar gemeretuk karena kedinginan. Seandainya sekarang dia akan lari, rasanya sudah terlambat!.

"Sekarang kalian berdua tidak bisa kabur!" kata Chu Kiu Sek. "Hm! Nona, kau tergila-gila pada orang Han ini! Jika kau ingin menolong pemuda she Kok ini, jawab pertanyaanku, pasti dia akan kuampuni!"

"Jangan kau hiraukan ocehan gilanya itu!" teriak Kok Siauw Hong.

"Eh, orang ini lihay dan Kok Toa-ko seolah tak mampu melawannya," pikir nona Bong. "Aku harus berusaha membantu Kok Toa-ko!"

Tiba-tiba nona Biauw itu bangun dari tempat duduknya. "Hm! Kau mau menggertakku? Sekalipun kami berdua kalah olehmu, tetapi guruku akan membunuhmu!" kata nona Bong.

Mendengar ucapan nona Biauw itu, Chu Kiu Sek tersentak diam.

"Eh, namamu Say Hoa, kan? Bukankah kau she Bong?" kata Chu Kiu Sek. "Kalau begitu kau puteri kepala suku Biauw, bukan? Katakan, siapa gurumu?"

"Memang aku puteri kepala suku Biauw, nama guruku Seng Cap-si Kouw! Mau apa kau bertanya tentang guruku?" kata Bong Say Hoa.

Chu Kiu Sek tertawa terbahak-bahak.

"Kebetulan! Kebetulan!" kata dia. "Aku dan gurumu sahabat baik. Aku sedang mencari dia! Jadi kalian kabur tanpa setahu gurumu, ya?" ejek Chu Kiu Sek.

Chu Kiu Sek datang ke daerah Biauw karena ingin mencari Han Tay Hiong dan mengajak Seng Cap-si Kouw untuk bergabung. Dia juga sudah tahu si Iblis Perempuan itu punya seorang murid perempuan bangsa Biauw. Sebenarnya semula nona Bong ingin menakut-nakuti Chu Kiu Sek dengan nama gurunya, tapi sebaliknya dia justru sahabat gurunya. Tiba-tiba Chu Kiu Sek menyerang Kok Siauw Hong yang sudah terdesak hebat.

"Trang!"

Di luar dugaan pedang di tangan anak muda itu terlepas dari cekalannya. Melihat Kok Siauw Hong dalam bahaya nona Bong berteriak.

"Hai tua bangka, jangan bunuh dia! Jika kau bunuh, maka kau tidak akan bertemu dengan guruku dan kau pun tak akan bisa keluar dari daerah kami!" kata Bong Say Hoa. Ternyata ancaman itu ada pengaruhnya juga, sebab kelihatan Chu Kiu Sek agak ragu sebelum mengulangi serangannya.

"Baik! Tapi katakan, di mana Han Tay Hiong bersembunyi?" kata Chu Kiu Sek.

"Jelas aku tahu!" kata Bong Say Hoa sambil tertawa. "Jika kau mau aku bisa mengantarkan kau menemui dia dan guruku!"

"Baik, asal kau beritahu di mana Han Tay Hiong, dia akan kubebaskan!" kata Chu Kiu Sek.

"Suhu menyuruhku membawa dia memancing Han Tay Hiong, aku kabur bersamanya. Baiklah, akan kugambar tempat persembunyian Han Tay Hiong untukmu!" kata Bong Say Hoa.

Nona Biauw lalu jongkok dia mengambil sebuah ranting, lalu mencorat-coret di tanah, seolah dia sedang membuat sebuah peta tempat Han Tay Hiong. Sedang tangan yang lain memegang sesuatu entah apa? Ketika itu Kok Siauw Hong sedang kebingungan. Dia mencemaskan kata-kata nona Bong.

"Apa dia berbohong atau sungguh-sungguh?" pikir Kok Siauw Hong.

Saat Chu Kiu Sek berjalan menghampirinya untuk melihat peta yang sedang dibuat nona itu. Ketika itu jarak Chu Kiu Sek sudah semakin dekat saja, tiba-tiba...

"Terima ini untukmu!" bentak nona Biauw itu.

Dalam sekejap segumpal asap tebal meluncur dari tangan nona Biauw itu hingga mengagetkan Chu Kiu Sek. Tapi karena dia seorang jago silat kawakan, sambil membentak dia mencengkram nona itu. "Hm! beraninya kau main gila di depanku! Rasakan ini!" kata Chu Kiu Sek.

Sekarang nona Biauw itu berada dalam cengkraman Chu Kiu Sek. Tapi tak lama Chu Kiu Sek kelihatan mulai limbung dan terhuyung-huyung......

"Kok Toa-ko, lari!" teriak Bong Say Hoa.

Asap yang menggumpal itu ternyata bubuk bunga anggrek beracun, siapa pun yang mencium baunya akan pingsan atau terbius. Sekalipun tenaga dalam orang hebat dan dia sempat menahan napas, tapi tak urung Chu Kiu Sek merasakan kepalanya pening sekali. Melihat betapa baiknya nona Biauw itu terhadapnya, mana mau Kok Siauw Hong meninggalkan nona itu dalam bahaya. Buru-buru pemuda ini menjemput pedangnya yang tadi jatuh, lalu maju mengancam ke arah Chu Kiu Sek.

"Lepaskan dia jika kau ingin selamat!" ancam Kok Siauw Hong.

Saat itu Chu Kiu Sek merasakan kepalanya pusing dan matanya pedih sekali, dia menggigit lidahnya hingga dia merasa sakit, dengan cara itu agar dia tetap sadar. Ketika  itu pedang Kok Siauw Hong sudah sampai ke arahnya.

"Sreet!"

Pedang itu mengenai bajunya, sedang Chu Kiu Sek buruburu mendorong nona Biauw yang dia jadikan perisai dari serangan pedang lawan.

"Ayo tusuk, jika kau ingin kekasihmu ini mati!" ancam Chu Kiu Sek. "Jika kau tak ingin membunuhnya, baik kami pergi!"

Pemuda ini khawatir pedangnya akan melukai nona Bong. Tetapi  selain  itu  dia juga  tidak  rela kalau  nona itu dibawa kabur. Maka itu saat Chu Kiu Sek pergi dia mengikutinya.

"Aku harap obat bubuk itu mampu merobohkannya!" pikir Kok Siauw Hong.

Sesudah dikejar-kejar sekian lama ternyata Chu Kiu Sek memang kuat. Dia masih tetap menggendong tubuh nona Bong hingga si nona tak berdaya.

"Lepaskan dia, jika kau mau. " kata Kok Siauw Hong.

"Mau apa?" ejek Chu Kiu Sek.

Kok Siauw Hong bingung dia tidak berani menggertak karena kuatir membuat salah paham pada Bong Say Hoa. Nona Bong seolah mengerti apa maksud pemuda itu.

"Jangan hiraukan aku! Jika aku mati dia juga akan mati! Bunuh saja dia, aku yakin dia tak berani membunuhku!" kata nona Bong.

"Hm! Sekalipun kau memohon tidak akan kuserahkan dia padamu!" kata Chu Kiu Sek.

Bukan main panas hati pemuda itu. Dia mengejar lebih cepat. Tapi saat sudah dekat tiba-tiba Chu Kiu Sek berbalik lalu menyerang. Kok Siauw Hong kaget saat merasakan hawa dingin menyerangnya. Chu Kiu Sek sedang berjuang melawan racun bunga anggrek, ternyata dia berhasil memunahkan pengaruh racun bunga itu. Saat menyerang pun dia tak mampu menggunakan seluruh kekuatannya, sehingga serangan itu mampu diatasi oleh Kok Siauw Hong yang terus mengejarnya.

"Hai, bodoh apa benar kau mencari mati?" kata Chu Kiu Sek.

Pemuda ini sadar bukan tandingan Chu Kiu Sek, lalu di dia berpikir, "Sebelum tenaga Chu Kiu Sek pulih, mengapa alu tak mencobanya. Jika dia sudah sehat lagi, mana mungkin dia mampu melawannya?"

Sudah tiga kali Chu Kiu Sek menyerang, tapi tenaganya tak begitu kuat lagi. Saat pemuda itu berhenti karena kuatir serangan lawan, Chu Kiu Sek justru mempercepat larinya. Sekarang jarak mereka semakin jauh saja. Saat kejar-kejaran berlangsung, tiba-tiba Kok Siauw Hong mendengar suara gemuruh air terjun. Sedang Chu Kiu Sek yang sedang menggendong nona Bong itu, berlari ke arah air terjun. Begitu sampai dia langsung melompat menembus air terjun, lalu berbalik dan membentak.

"Bajingan! Kau kira aku takut pada-mu?" kata Chu Kiu Sek. "Rasakan ini!"

Tiba-tiba Kok Siauw Hong merasakan hantaman hawa dingin.

Dia juga heran bagaimana tenaga Chu Kiu Sek bisa secepat itu pulihnya. Ternyata ketika Chu Kiu Sek melompati air terjun untuk membasahi kepalanya. Sekarang rasa pening itu mulai berkurang.

"Hai bocah, apa kau masih mau mengejarku lagi?" ejek Chu Kiu Sek.

"Jika kau berani, lepaskan dia! Mari kita bertarung satu lawan satu!" tantang Kok Siauw Hong yang mulai geram. "Kita bertarung sampai ada salah satu yang mati!"

"Baik, di sana ada tanah lapang. Akan kubebaskan dia di sana, apa kau berani ke sana?" kata Chu Kiu Sek. Saat itu matahari pagi sudah tampak di sebelah timur. Hawa pagi yang segar membuat tubuh mereka nyaman sekali. Saat itu Chu Kiu Sek yang merasa sebagian besar tenaganya sudah pulih, merasa yakin sanggup menangkap pemuda itu. "Kok Toa-ko, jangan ladeni dia! Dia bukan lawanmu!" kata nona Bong.

"Tak apa akan kuhadapi dia! Aku tak mau meninggalkanmu di sini!" kata Kok Siauw Hong.

"Ternyata kau benar-benar pemuda yang setia dan berbudi," kata Chu Kiu Sek. "Mari ikut aku! Jika kau mampu menahan sepuluh seranganku kalian akan kubebaskan!"

Sambil bicara Chu Kiu Sek berlari-lari di atas tegalan. Mendadak dia berhenti berlari saat melihat seorang pengemis tua tidur seenaknya merintangi jalan mereka. Jalan itu sangat sempit, pengemis tua itu sedang tidur memakai bantal sebuah tempat arak besar berwarna merah. Saat mereka sampai pengemis itu sedang melintang di tengah jalan sambil mendengkur. Mereka lihat pengemis itu dalam bahaya. Jika si pengemis tua itu membalikkan tubuhnyya, maka dia akan tergelincir ke dalam jurang.

Chu Kiu Sek orang Kang-ouw sudah kawakan, segera dia tahu si pengemis tua pasti orang gagah. Tapi karena sedang berlari kencang di sebuah tanjakan yang berbelok tajam, ditambah terhalang oleh pengemis tua itu. Untuk menahan langkahnya sudah tidak sempat lagi! Secepat kilat Chu Kiu Sek dengan tidak mempedulikan siapa pengemis tua itu, menendang orang itu ke jurang. Di luar dugaan sebelum kaki Chu Kiu Sek terangkat, tiba-tiba pengemis tua itu bangkit dan duduk. Dia cengkram kaki lawan dengan tangannya.

"Kurang ajar! Kau mau membunuhku, ya?" kata si pengemis.

Cengkraman itu mengarah ke jalan darah di tungkai kaki Chu  Kiu  Sek,  untung  tenaga  Chu  Kiu  Sek  sudah pulih. Pada detik yang sangat berbahaya itu dia mampu menghindari cengkraman itu.

"Kenapa kau halangi jalanku? Padahal kita tidak pernah bermusuhan, silakan minggir dulu!" kata Chu Kiu Sek.

"Bedebah!" bentak pengemis tua itu. "Memang ini tempatmu? Aku sedang tidur nyenyak, kenapa kau ganggu mimpi indahku? Kau harus ganti rugi padaku! Jika tidak jangan harap kau bisa pergi dari sini!"

Kemdian dia angkat tempat araknya, dia hantam Chu Kiu Sek sekuatnya. Terpaksa Chu Kiu Sek menangkis dengan telapak tangannya. Tenaga pukulan Chu Kiu Sek yang kuat itu, biasanya bisa menghancurkan batu besar. Tapi aneh, saat beradu dengan tempat arak lawan, tangan Chu Kiu Sek kesakitan. Cepat luar biasa tahu-tahu si pengemis tua melompat, salah satu kakinya melayang.

"Plaak!"

Pantat Chu Kiu Sek tertendang oleh si pengemis. Karena serangan si pengemis tua agak aneh hingga membuat Chu Kiu Sek panik seperti orang kebakaran jenggot. Agar tak bisa diserang dan dikalahkan lawan, tanpa pikir Chu Kiu Sek melemparkan nona Biauw itu. Saat itu Kok Siauw Hong tiba di atas tanjakan. Dia sempat melihat Bong Say Hoa dilemparkan oleh Chu Kiu Sek ke arah jurang. Kok Siauw Hong kaget, kebetulan dia berada jauh dari tempat jatuhnya nona itu. Jika dia mau menolongnya pun tak mungkin terjangkau. Jika nona itu jatuh ke jurang, niscaya dia akan mati konyol. Belum hilang kaget Kok Siauw Hong, tiba-tiba dari arah jatuhnya nona Biauw itu, melompat seseorang. Orang itu berhasil menangkap tubuh nona Bong sehingga tidak jatuh ke jurang.

Sang penolong ternyata seorang pemuda bertubuh kekar, dia berpakaian kulit binatang. Setelah tubuh Bong Say Hoa dia tangkap, dan sampai di atas, dia meletakan tubuh nona Bong di tanah. Bahu si nona dia tepuk perlahan sambil berkata, "Jangan kuatir, nona Bong! Bangunlah!"

Setelah agak tenang Kok Siauw Hong mengawasi orang itu dan mengenali pemuda itu. Dia murid Thio Thay Thian yang dulu bisu, dia heran bagaimana sekarang si bisu itu bisa bicara?

Di bagian lain si pengemis sedang bertarung melawan Chu Kiu Sek. Memang pengemis itu Thio Thay Thian adanya. Melihat hal itu Kok Siauw Hong girang, karena dia yakin pengemis itu pasti mampu mengatasi Chu Kiu Sek. Berbagai kepandaian Chu Kiu Sek sudah dikerahkan, hingga pertarungan tampak semakin hebat saja. Sekalipun mereka berada di tempat jauh, saat itu Kok Siauw Hong merasakan hawa dingin menyerangnya.

"Dasar manusia tak berperasaan! Padahal sudah tahu aku si pengemis miskin berpakaian rombeng dan tipis, malah kau tega membuat aku kedinginan! Ah, kalau begitu aku harus minum arak dulu agar tubuhku hangat!" kata Thio Thay Thian sambil tertawa.

Chu Kiu Sek tak menghiraukan ocehan si pengemis. Dia menyerang dengan hebat. Sayang si pengemis gesit,

sambil

mengelak dia mengambil tongkat bambunya.

"Anjing galak harus dipukul dengan tongkat pemukul anjing

(Ta-kauw-pang)!" kata si pengemis.

Sekali bergerak, serentak bayangan pentungan itu berubah seperti sepuluh buah jumlahnya. Kesepuluh tongkat  itu  seolah  semuanya  menghantam  dari   berbagai arah ke tubuh Chu Kiu Sek. Bukan main kagetnya Cu Kiu Sek mendapat serangan itu. Dia tidak berani menyerang lagi, terpaksa menarik serangannya

sambil bertahan.

Thio Thay Thian pun tidak menyerang terus. Malah dia angkat tempat araknya dan meneguk isinya dengan santai.

"Oh, arak yang enak. Dengan arak ini aku si pengemis jadi tambah bersemangat! Tahukah kau, arak ini enak sekali! Apa kau ingin mencobanya?"

Chu Kiu Sek diam saja. Tiba-tiba dia menyerang sebanyak tiga kali ke arah si pengemis. Sambil mengerutkan kening si pengemis berkata, "Hai, aku ingin memberimu arak, kau malah bersikap tidak sopan padaku! Kalau begitu akan kupaksa kau minum arak ini!"

Sesudah itu mendadak Thio Thay Thian menyemburkan arak dari mulutnya. Seketika itu arak menyembur keras ke arah wajah Chu Kiu Sek yang segera memejamkan  matanya sambil melindungi mukanya dengan kedua tangannya. Sambaran arak dari mulut si pengemis tua menghantam bagaikan semburan air deras. Arak itu mengenai muka, tubuh dan tangan Chu Kiu Sek sehingga dia kesakitan! Untuk menghindari serangan susulan dari lawan, Chu Kiu Sek melompat mundur, lompatannya malah ke tepi jurang!

Saat Chu Kiu Sek memeriksa bagian tubuhnya yang terasa pedih, dia lihat pakaiannya sudah penuh lubang oleh serangan arak itu. Bukan main kagetnya Chu Kiu Sek.

"Entah dari mana dia? Dia begitu lihay bukan tandinganku!" pikir Chu Kiu Sek. Oleh karena tak sanggup melawan lagi, Chu Kiu Sek berniat kabur. Sayang lawannya tahu apa yang akan dilakukan oleh Chu Kiu Sek yang licik ini. Dia sangkutkan tempat araknya di pinggangnya, lalu berkata sambil tertawa.

"Kau mau pergi, kan? Ini salahmu, kenapa aku sedang enak tidur kau ganggu aku? Sekarang sudah terlambat, ayo kita teruskan bertarung lagi!" kata Thio Thay Thian.

Tiba-tiba si pengemis tua menggerakkan tongkat bambunya lalu menyerang Chu Kiu Sek dengan hebat. Serangan ini membuat Chu Kiu Sek kewalahan hingga dia mencoba bertahan semampunya.

Melihat si pengemis tua mampu mengungguli lawannya justru Kok Siauw Hong mencemaskan keadaan nona Bong. Dia menghampirinya. Ketika itu nona Bong sudah sadar dari kaget dan pingsannya. Saat si nona membuka matanya, dia merasakan dirinya berada di pangkuan seseorang. Wajah nona ini berubah merah, dia ingin berontak tapi tubuhnya lemah.

"Tenang... jangan bergerak, akan kubuka dulu jalan darahmu yang tertotok!" kata pemuda itu.

Tadi saat dicengkram Bong Say Hoa tertotok oleh Chu Kiu Sek, sekalipun pemuda itu tahu ilmu totok, tapi untuk membuka totokan Chu Kiu Sek jelas tidak mudah baginya.

Pemuda yang menolongi nona Bong itu dibesarkan di pegunungan, tak heran jika dia tidak tahu larangan bersentuhan dengan anak gadis. Untuk membebaskan totokan itu, dia meraba-raba seluruh tubuh nona Bong. Sebaliknya Bong Say Hoa pun tidak mengerti soal itu, dan memang tidak terlalu peduli hubungan lelaki dan perempuan. Tetapi saat tubuhnya diraba-raba oleh pemuda itu, mau tak mau malu juga dia! Wajahnya berubah merah. Berada dalam pangkuan pemuda itu dia agak tenang. Sesudah agak lama baru pemuda itu berhasil menolongi nona Bong. Saat Bong Say Hoa terbebas dari totokan, dia lihat Kok Siauw Hong sedang berdiri di depannya sambil tersenyum. Dia menunduk dan berkata, "Aku tak apa-apa! Mana tua bangka itu?"

"Dia sudah dikalahkan oleh Lo-cian-pwee yang lebih tangguh, guru Toa-ko ini!" kata Kok Siauw Hong. "Dialah yang menyelamatkan jiwamu, Nona Bong!"

Nona Bong mengangguk sambil menunduk. Sebenarnya Siauw Hong berkata begitu karena dia berharap nona Bong bisa lebih akrab dengan pemuda penolongnya itu.

"Terima kasih, Toa-ko," kata nona Bong pada pemuda itu.

"Itu soal kecil, bukan jasa besar tak perlu kau berterima kasih padakui," kata pemuda itu. "Aku mengenalmu nona Bong. Malah aku pernah tinggal di daerahmu. Sudah beberapa kali kita bertemu, malah aku ingin menyapamu, tapi tak bisa?"

"Kenapa?" tanya si nona.

"Waktu itu aku bisu!" jawab pemuda itu. "Sekarang kok bisa bicara?"

"Jika kuceritakan mungkin kau tidak percaya," katanya. "Kau minum obat apa?" tanya si nona.

"Tidak, aku sembuh atas bantuan seorang tabib, dengan tusuk jarum sehingga aku bisa bicara seperti ini!" kata pemuda itu. Kok Siauw Hong keheranan, sepengetahuan dia hanya Tabib Ong yang pandai. Sekarang ada tabib lain.

"Siapa tabib yang menyembuhkanmu itu?" kata Kok Siauw Hong.

"Seorang tabib yang prakteknya berkeliling. Dia she Ciok," kata pemuda itu. "Suatu hari saat pulang, guruku mengajak beberapa kawannya. Salah seorang dari mereka ialah orang she Ciok itu! Saat tahu aku bisu, dia mengobatiku dengan tusuk jarum pada bagian belakang telingaku. Dia mengobatiku hampir sebulan lebih hingga aku bisa bicara!"

"Sungguh hebat tabib itu, sekarang kau sudah lancar bicara." kata nona Bong sambil tertawa riang.

"Ketika masih kecil aku bisa bicara, tapi entah sakit apa aku jadi bisu!" kata anak muda itu.

"Di tengah bangsaku banyak orang bisu, jika Tabib Ciok bisa menolongi mereka, alangkah baiknya. Apa tabib itu masih ada di rumahmu?" kata nona Bong.

"Sekarang kami tinggal dengan Han Lo-sian-seng, tabib itu pun tinggal bersama kami!" kata pemuda itu.

"Jangan-jangan ayah Ciauw Siang Hoa!" pikir Kok Siauw Hong.

Sesudah itu Kok Siauw Hong berkata pada pemuda itu. "Han Lo Sian-seng itu mertuaku!" kata Kok Siauw

Hong.

"Aku sudah tahu," kata pemuda itu. "Beberapa hari yang lalu Han Lo-sian-seng membicarakan kau dengan guruku. Wah, mertuamu itu sungguh baik hati, dia telah mengajariku beberapa jurus ilmu silat. Dia juga mengajariku ilmu tenaga dalam." "Tamu-tamu yang lain itu siapa saja?" tanya Siauw Hong.

Sebelum pemuda itu menjawab pertanyaan Siauw Hong, mereka dengar keluhan Chu Kiu Sek.

"Oh, bagaimana keadaan pertempuran di atas sana? Mari kita lihat," kata pemuda itu.

Baru saja mereka akan berjalan, dari atas tubuh Chu Kiu Sek melayang jatuh. Celakanya dia akan jatuh di atas kepala nona Bong. Sekalipun sudah terluka pukulan Thio Thay Thian, tenaga dalam Chu Kiu Sek lihay. Saat jatuh dia cemas sekali dan takut jatuh ke batu dan tubuhnya akan remuk. Tapi dia lihat di bawah ada nona Bong, bukan main girangnya Chu Kiu Sek. Dengan sekuat tenaga dia berakrobat di udara. Dengan kepala berada si bawah dan kedua tangannya siap mencengkram, dia meluncur ke arah nona Bong! Tiba-tiba terdengar suara dasyat.

"Duuk!"

Saat pemuda itu melihat bahaya sedang mengancam nona Bong, buru-buru dia melompat dan menyambut datangnya serangan Chu Kiu Sek. Mau tak mau mereka beradu pukulan! Karena serangan pemuda itu, sasaran Chu Kiu Sek meleset. Sedang pemuda itu pun jatuh terduduk karena dasyatnya pukulan lawan. Buru-buru nona Bong menghampiri pemuda itu dan membangunkannya.

"Terima kasih, Toa-ko!" kata Bong Say Hoa.  "Bagaimana keadaanmu?"

"Jangan cemas, aku tak apa-apa," kata pemuda itu. "Tapi sayang si Iblis tak jadi mampus!"

Memang saat jatuh, tubuh Chu Kiu Sek tertahan dan tidak terbanting keras ke batu-batu. Kembali Chu Kiu Sek berakrobat, dia akhirnya berhasil hinggap di tanah dengan selamat. Sesudah itu dia segera kabur!

"Sial, aku ikut menyelamatkan jiwanya!" keluh pemuda itu..

"Eh, apa kau bilang? Kau menyelamatkan dia?" kata si nona.

"Ya, karena tangkisanku saat dia jatuh, hingga jatuhnya jadi perlahan dan tidak terluka!" kata si pemuda. "Sekalipun dia tidak mati, syukur kau selamat!"

Saat kedua tangan mereka beradu keras, untung si pemuda tidak terluka parah. Padahal kalau tak waspada dia bisa celaka. Kok Siauw Hong ikut memberi penjelasan. Setelah mendengar penjelasan dari Kok Siauw Hong, baru Bong Say Hoa mengerti.

"Biar iblis itu bisa kabur, asal Toa-ko tidak terluka aku sangat bersyukur!" kata nona Bong.

"Han Toa-ko, seranganku tadi ajaran mertuamu," kata pemuda itu sambil tertawa.

Saat itu terlihat Thio Thay Thian turun sambil tertawa. "Sayang, iblis itu tidak terbanting mampus!" kata Thay

Thian.

"Maaf, itu kesalahanku yang bodoh, Suhu!" kata pemuda itu.

"Sudah, itu bukan kesalahanmu! Aku puji jurusmu tadi!" kata Thio Thay Thian. "Malah, aku yang harus disalahkan. Semula aku ingin bermain-main dulu. Maka aku tidak langsung menghajarnya! Itu sebabnya dia bisa kabur!"

"Paman, datang ke rumah kami. Ayahku suka minum arak dia bisa menemani minum, Paman. Kami punya arak bagus!" kata nona Bong. "Eh, kau mengundangku, ya? Apa itu karena muridku ini?"" kata Thio Thay Thian. "Baik. mari kita ke rumahmu sekarang. Apa kalian tak keberatan ditemani seorang pengemis tua sepertiku?"

"Kami tak keberatan berjalan bersamamu, malah aku merasa tenang karena tak akan mendapat gangguan dari iblis itu! Apalagi tertangkap olehnya! Tapi sayang, aku sudah janji pada Kok Toa-ko akan mengantarkannya menemui mertuanya! Tadi aku dengar dari muridmu, Han Lo Cian-pwee tinggal bersamamu, benarkah itu?" Thio Thay Thian mengangguk.

"Kalau begitu kita ke tempatmu dulu, sesudah Kok Toa- ko bertemu dengan mertuanya, baru kalian ke rumahku!" kata nona Bong.

"Paman Thio, jika kau perlu menemui ayah nona Bong." kata Kok Siauw Hong. "Silakan saja, aku bisa jalan sendiri menemui Paman Han!"

"Benar, karena ada orang jahat yang masuk ke wilayah suku Biauw, maka aku harus segera memberitahu ayah nona Bong," kata Thio Tay Thian. "Lebih baik kita temui ayah nona ini dulu!"

"Jika demikian, silakan Paman berangkat ke tempat ayah nona Bong. Kau beritahu saja letak tempat tinggal kalian padaku. Biar aku sendiri yang menemui mertuaku!" kata Kok Siauw Hong.

"Kau tak perlu tergesa-gesa, kita masih bisa ngobrol dulu," kata Thio Thay Thian.

"Ya, memang ada yang ingin kutanyakan pada Paman Thio, kabarnya ada beberapa orang tamu di tempat Paman, siapa mereka itu?" tanya Kok Siauw Hong. "Ah, pasti kau tahu hal itu dari muridku, ya!" kata Thio Thay Thian. "Aku rasa kau juga kenal dengan Ciok Leng dan keluarga Ciauw! Ciauw Siang Hoa dan bakal istrinya Yo Kiat Bwee juga Ciauw Siang Yauw ada di rumahku."

"Kebetulan, aku justru baru dari rumah mereka. Kalau begitu aku ingin menemui mereka!" kata Kok Siauw Hong.

"Tapi Ciauw Goan Hoa dan anak perempuannya sudah pergi, mungkin kau cuma akan bertemu dengan Ciok Leng dan Siang Hoa bersama tunangannya, nona Yo!" kata si pengemis.

Rupanya mereka meninggalkan rumah mereka untuk menghindari serbuan Seng Cap-si Kouw. Namun, karena Thio Thay Thian memberitahu mereka, bahwa Seng Cap-si Kouw sudah ditangkap oleh Kiong Cauw Bun, lalu mereka pulang. Tapi saat si iblis sudah bebas lagi, dia belum diberitahu lagi.

"Bagaimana kesehatan mereka?" kata Kok Siauw Hong. "Mereka semua sehat-sehat saja," kata Thio Thay Thian.

"Malah mereka pun sedang menantikan kedatanganmu!"

"Ketika sampai aku terjebak oleh nona ini, sehingga ditawan oleh Seng Cap-si Kouw! Sekarang nona Bong sudah tahu gurunya itu orang jahat. Maka itu dia tinggalkan gurunya," kata Kok Siauw Hong.

"Mertuamu sudah sehat! Di sana ada Ciok Leng. Jika Seng Cap-si Kouw datang, aku yakin mereka mampu menghadapinya," kata Thio Thay Thian.

"Yang aku khawatirkan bila dia menyerang secara gelap," kata Kok Siauw Hong yang kelihatan khawatir sekali. "Ya! Memang kita harus waspada, karena Seng Cap-si Kouw itu keji!" kata Thio Thay Thian. "Lalu apa yang kau khawatirkan?"

Sejak tadi si pengemis tak pernah membicarakan Han Pwee Eng, maka itu Kok Siauw Hong bingung.

"Apa nona Han sudah sampai?" kata Kok Siauw Hong. "Apa? Nona Han juga akan ke mari? Tapi kenapa sampai

sekarang belum sampai?" kata Thio Thay Thian.

"Padahal dia berangkat lebih dulu, seharusnya dia sudah sampai," kata Kok Siauw Hong.

"Dia menempuh perjalanan cukup jauh, barangkali karena ada urusan sampainya agak tertunda," kata Thio Thay Thian.

"Kau bilang ada komplotan orang jahat ke daerah  Biauw. Siapa mereka itu?" kata Siauw Hong.

"Aku belum tahu siapa mereka itu?" kata Thio Thay Thian. "Kemarin seorang Biauw memberitahuku. Ketika dia sedang memetik daun obat di pegunungan, dia melihat tiga orang Han yang tidak dikenal. Satu di antaranya berkepala besar dan berperawakan tinggi seperti raksasa. Orang tinggi besar seperti itu sangat jarang ada di kalangan Kang-ouw. Hanya satu yang pernah aku kenal."

"Maksud Paman Ciong Bu Pa, anak buah Kiauw Sek Kiang?" kata Kok Siauw Hong.

"Benar, aku dengar Kiauw Sek Kiang bergabung dengan Su Thian Tek di daerah Kang-lam! Kenapa Ciong Bu Pa datang ke mari?"

"Su Thian Tek bersama konconya dikalahkan di daerah Kang-lam!" kata Kok Siauw Hong. "Celaka, barangkali mereka bertiga itu Su Thian Tek, Kiauw Sek Kiang dan Ciong Bu Pa? Mudah-mudahan Pwee Eng tak bertemu dengan mereka!"

"Tapi orang yang melihat mereka tak mengatakan, bahwa di sana ada orang perempuannya. Aku pun sudah meminta agar ketua Bong siaga, siapa tahu datang serangan dari tentara pemerintah Song. Jika itu cuma kelompok Kiauw Sek Kiang, aku tidak terlalu khawatir!" kata Thio Thay Thian.

"Sebenarnya pasukan pemerintah lebih mudah diatasi, sedang Su Thian Tek dan kawan-kawan sulit dihadapinya!" kata Kok Siauw Hong.

"Kalau begitu, aku harus memberi tahu ketua Bong agar dia siaga," kata Thio Thay Thian. "Sekarang kau temui dulu mertuamu!"

"Tolong beritahu alamatmu, Paman," kata Siauw Hong. Saat asyik bicara baik Kok Siauw Hong maupun Thio

Thay Thian tak memperhatikan nona Bong dan pemuda  itu. Saat diperhatikan, ternyata anak muda itu asyik berbincang dan si pemuda sedang corat-coret di tanah. Nona Bong kesal karena Kok Siauw Hong terlalu perhatian kepada nona Han, sedang si pemuda yang bernama Thio Co Gie sedang menuliskan namanya di tanah.

"Kelihatan mereka akrab sekali. Silakan kau cari mertuamu. Aku akan pergi bersama mereka!" kata Thio Thay Thian.

"Aku senang nona Bong berjalan bersamamu," kata Kok Siauw Hong.

"Kau khawatir akan keselamatannya, kenapa?” kata  Thio Thay Thian. "Dia penolongku, aku takut Seng Cap-si Kouw mengejarnya ke mari dan aku takut tidak bisa melindungi keselamatannya," kata Kok Siauw Hong.

"Kalau begitu baiklah, dia ikut kami saja," kata Thio Thay Thian. "Dengan demikian kau tidak selalu cemas!"

"Terima kasih. Paman," kata Kok Siauw Hong.

Sekalipun si pengemis tua senang berkelakar, tapi dia tahu, jika Kok Siauw Hong datang sambil membawa-bawa nona Bong, rasanya kurang enak bagi Kok Siauw Hong. Maka itu dia bersedia membawa nona Bong bersamanya. Sedang nona Bong ketika mendengar orang menyebut- nyebut namanya, dia menoleh.

"Ada apa, Paman?" kata nona Bong.

"Aku cuma bilang, kau sudah tahu nama muridku, maka itu panggil dia namanya saja. Mari kita pergi!" kata Thio Thay Thian.

"Tunggu!" kata nona Bong.

Tak lama dia menyerahkan sebuah dompet kain disulam burung merak kepada Kok Siauw Hong.

"Dompet ini tanda pengenalku, kau bawa saja. Jika kau mendapat kesultan di daerah Biauw, kau tunjukkan dompet ini pada mereka!" kata Bong Say Hoa.

Kok Siauw Hong menerima dompet itu.

"Murid Paman Thio setimpal dengannya, semoga mereka berjodoh!" pikir Kok Siauw Hong.

Ternyata rumah Thio Thay Thian berada di tengah hutan. Dia berjalan tanpa gangguan. Sehari penuh Kok Siauw Hong melakukan perjalanan, dia tak bertemu dengan siapa pun. Dia terus mengingat-ingat peta rumah yang diberikan oleh Thio Tay Thian. Esok harinya Kok Siauw Hong berjalan semakin jauh menyusuri pegunungan yang rimbun oleh pepohonan. Di mana-mana yang tampak hanya semak belukar saja. Saat sedang berjalan tiba-tiba Kok Siauw Hong mendengar ada suara tongkat membentur tanah. Kok Siauw Hong segera merunduk dan bersembunyi di semak-semak yang rindang. Dari tempat persembunyiannya Kok Siauw Hong mengenali orang yang membawa tongkat itu Seng Cap-si Kouw.

"Hm! Kau tak berani menemuiku, ya? Ayo keluar, jika tidak kubakar semak ini kau baru tahu rasa!" bentak Seng Cap-si Kouw.

Kok Siauw Hong diam sambil menahan napas.

"Jika benar dia bakar semak ini, aku baru muncul!" pikir Kok Siauw Hong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar