Beng Ciang Hong In Lok Jilid 47

 
Sesudah berkata si hwee-shio melepas yan-hwee yang segera menyala karena jatuh di atas gubuk atap itu. Karena pada ujung panah itu ditaruhi belerang, hingga saat jatuh ke atas atap gubug bahan api itu meletus dan membakar atap gubuk. Tak lama api pun berkobar. Melihat gubuk sudah mulai terbakar, hwee-shio itu tertawa terbahak-bahak. "Uh-bun Tiong, keluar! Apa kau ingin menjadi kura-kura dan tetap bersembunyi di dalam gubuk yang terbakar? Ayo keluar!" kata si To-su yang juga tertawa.

Tanpa terasa gubuk itu sudah hampir terbakar habis.

Tetapi Uh-bun Tiong masih belum keluar juga.

"Aneh, dia sembunyi di mana. ?" kata si hwee-shio.

Tiba-tiba terdengar jeritan perwira yang ada di sebelahnya. Dia roboh dan mengeluarkan darah segar dari tubuhnya.

Sedikit pun mereka tak mengira kalau Uh-bun Tiong sudah keluar sebelum gubuk itu terbakar habis. Maka itu dia langsung berputar dan berada di belakang lawan. Tak heran jika perwira itu dengan mudah bisa dia serang dengan goloknya hingga roboh.:

"Kurang ajar kau Uh-bun Tiong! Hari ini ajalmu telah tiba!" kata si hwee-shio yang langsung maju menyerangnya.

Gerakan si hwee-shio cepat tapi Uh-bun Tiong pun gesit. Sesudah merobohkan seorang lawan, dia maju ke arah perwira yang lain dengan serangannya. Tapi to-su itu mengejarnya ingin menyerang Uh-bun Tiong dari belakang.

Melihat Uh-bun Tiong menerjang, perwira itu kaget, sebab dia bukan tandingan Uh-bun Tiong yang lihay.

"Hm! Uh-bun Tiong, apa kau sudah bosan hidup?" kata si hwee-shio.

Keadaan perwira itu terancam sekali. Jika dia mampu menangkis serangan Uh-bun Tiong, jiwanya akan tertolong karena serangan tosu sudah akan sampai. Ditambah lagi hwee-shio itu pun sudah memburu ke arah Uh-bun Tiong yang akan mereka keroyok berdua. Jika perwira itu tak mampu menangkis serangan Uh-bun Tiong, dan serangan si to-su gagal, tak ampun lagi hwee-shio yang beusaha menyerang secara bersama itu akan mati di tangan Uh-bun Tiong.

Saat itu Uh-bun Tiong sudah tahu dia diserang dari depan dan belakang, Uh-bun Tiong kesal karena kedua perwira Gak Liang Cun itu sudah tahu rahasianya. Maka dia akan membunuhnya. Maka itu dia nekat menyerang dengan hebat! Cepat bagaikan kilat golok Uh-bun Tiong menusuk perwira itu.

"Aduh!" teriak si perwira.

Dadanya tertembus oleh golok Uh-bun Tiong yang tajam. Walau serangan nekat Uh-bun Tiong sangat membahayakan dirinya, tapi dia lakukan juga. Begitu goloknya berhasil menembus dada perwira itu, tubuhnya dia pakai menangkis serangan si to-su yang bersenjata pedang.

"Eh, bangsat kau mau kabur ke mana?" teriak si hwee- shio.

Tak lama tongkatnya terayun ke kepala lawan, tapi Uh- bun Tiong segera menangkis dengan pedangnya hingga terdengar suara benturan keras.

"Trang!"

Sesudah menangkis tongkat si to-su, Uh-bun Tiong melompat jauh menghindari serangan pedang si to-su. Diamdiam Seng Liong Sen mengawasi pertarungan seru itu di tempat persembunyiannya. Menyaksikan mereka bertarung demikian hebat, jantung Seng Liong Sen pun berdebar. Sekalipun Uh-bun Tiong lihay, tapi karena dikepung dua musuh tangguh, tidak urung dia jadi kewalahan. Sekarang Uh-bun Tiong hanya bisa berkelit menghindari  setiap  serangan,  atau  menangkisnya.  Untuk menyerang jelas sulit baginya, apalagi untuk lolos dari kedua lawan yang lihay itu.

Melihat hal itu Seng Liong Sen cemas bukan main.

"Ah, jika aku tak bisa membantu Uh-bun Tiong mengalahkan mereka, aku pun akan habis bersama Uh-bun Tiong!" pikir Seng Liong Sen.

Uh-bun Tiong yang cerdik coba memancing kedua lawannya itu ke perangkap yang sudah disiapkan. Tetapi rasanya sulit memancing lawan ke sana. Tiba-tiba si to-su berteriak.

"Kena!" katanya.

Uh-bun Tiong yang terkena serangan itu tampak berdarah dan sempoyongan walau masih nekat melakukan perlawanan sengit.

"Bangsat! Kenapa kau belum menyerah juga, apa kau mau mampus?" kata si to-su.

Tadi saat ditikam si to-su, Uh-bun Tiong menyerang hingga tertusuk oleh pedang lawan. Sedang si to-su yang dicengkram olehnya, kesakitan, maka itu dia memaki kalang-kabut. Saat itu Seng Liong Sen yang berada agak jauh tak melihatnya.

Buru-buru Uh-bun Tiong memindahkan goloknya ke tangan kiri lalu dia menyerang dengan dasyat. Serangannya semakin gencar dan dasyat. Melihat musuh nekat tentu saja si hweeshio gentar oleh serangan-serangan mautnya itu. Apalagi sekarang hwee-shio itu diserang terus-menerus dengan gencar. Tapi si to-su memang lihay, mendadak dia membentak.

"Lepaskan golokmu!" bentak si to-su. Sekarang si to-su sudah memegang senjata kebutan. Tak lama golok Uh-bun Tiong sudah terbelit oleh kebutan si to- su.

Melihat kesempatan yang baik itu, hwee-shio gendut itu langsung mengayunkan tongkatnya ingin menghantam kepala Uh-bun Tiong.

Mendadak Uh-bun Tiong menggunakan goloknya yang dia sambitkan ke arah muka hwee-shio itu. Karena golok Uh-bun Tiong terbelit kebutan si To-su, akhirnya dia nekat dan melontarkan goloknya ke arah lawan. Dia pikir dari pada golok itu dirampas musuh, lebih baik dipakai menyerang lawan. Gerakan tipu Uh-bun Tiong di luar dugaan si To-su, maka itu dia jadi tertegun sejenak. Ketika golok Uh-bun Tiong menyambar, terpaksa Hwee-shio gendut itu menarik kembali tongkatnya untuk menangkis golok lawan. Tak lama terdengar suara bentrokan senjata yang nyaring sekali.

"Trang!"

Golok itu berubah arah terlempar ke samping, sedangkan Uh-bun Tiong langsung menjatuhkan diri dan bergulingan meninggalkan gelanggang cukup jauh juga.

To-su itu mengayunkan kebutnya hingga golok yang terlibat itu tersampok ke arah Uh-bun Tiong.

"Ambil golokmu, ayo maju lagi!" bentak To-su itu.

Uh-bun Tiong merasa sayang jika sampai kehilangan goloknya. Sekalipun sadar sambaran golok yang disampok si to-su menyambar keras sekali, tapi dia yakin pada kepandaiannya untuk menangkap golok itu. Tangan Uh- bun Tiong bergerak langsung memyambar golok bagian belakang   atau   bagian   yang   tumpulnya   untuk  diambil. Memang tepat sekali punggung golok yang tidak tajam itu terpegang olehnya. Diam-diam dia tersenyum girang.

Sedikitpun Uh-bun Tiong tak mengira kalau sambaran golok itu keras luar biasa. Sekalipun golok sudah tergenggam di tangannya, kekuatan sambaran masih cukup hebat. Maka tak heran jika telapak tangan Uh-bun Tiong terluka dan mengeluarkan darah. Tapi dia bangga goloknya telah kembali dan terbebas dari kepungan musuh.

Hwee-shio dan si to-su marah bukan main. Mereka memburu Uh-bun Tiong yang mencoba melarikan diri. Tahu lawan mengejar, Uh-bun Tiong berlari sambil melakukan perlawanan. Tangannya yang terasa sakit sekali tidak dihiraukannya. Dia terus berusaha melakukan perlawanan sengit.

Ketika Uh-bun Tiong sudah sampai di tebing yang curam tempat Seng Liong Sen bersembunyi, kembali Uh-bun Tiong terluka beberapa kali oleh serangan lawan. Untung lukanya tidak berbahaya dan tidak parah walau sekujur tubuhnya sudah mandi darah.

"Kau mau kabur ke mana?" bentak si hwee-shio.

Ketika si hwee-shio melihat Uh-bun Tiong berlari  ke arah jalan buntu, si hwee-shio girang bukan main. Sebab dia tahu di depan Uh-bun Tiong terdapat jurang yang dalam hingga dia bisa terjatuh ke dalam jurang itu. Maka dengan tak berpikir panjang si hwee-shio mengangkat tongkatnya langsung membabat ke arah Uh-bun Tiong!

Ternyata si to-su lebih cerdik dari si hwee-shio. Melihat Uh-bun Tiong kabur ke jalan buntu, dia malah curiga.

"Kenapa Uh-bun Tiong tidak mencari jalan lain, tapi dia lari ke jalan buntu. Jangan-jangan dia sudah menyiapkan sebuah perangkap?" pikir si to-su. Maka itu dia segera memperingatkan kawannya. "Awas jebakan, Suheng !" kata si to-su.

Sebelum suara si to-su selesai memberi peringatan, dugaan si to-su memang tidak salah. Tiba-tiba Seng Liong Sen muncul dari persembunyiannya, pedangnya langsung menusuk ke arah si hwee-shio.

Ketika tusukan itu datang si hwee-shio kaget setengah mati, dia coba berkelit dari serangan Seng Liong Sen. Sambil berkelit dia berteriak keras karena kaget. Serangan Seng Liong Sen dilakukan sekali, namun arah yang dituju tujuh sasaran yang sangat berbahaya.

"Bangsat!" teriak si hwee-shio yang terluka terkena tusukan Seng Liong Sen. Dia berputar dan agak limbung dan terjatuh.

Saat itu Uh-bun Tiong yang dikejarnya membalikkan tubuhnya dan membentak keras ke arah si hwee-shio.

"Terjun kau!" bentak Uh-bun Tiong.

Karena hwee-shio itu terluka, dia tidak bisa menahan serangan Uh-bun Liong yang kalap. Tubuh si hwee-shio yang gendut terjungkal dan masuk ke dalam jurang. Tak lama terdengar suara keras dari tongkat si hwee-shio yang membentur batu jurang, ditambah jeritan mengerikan dari  si hwee-shio gemuk lalu suara itu hilang. Mungkin hwee- shio itu telah mati di dalam jurang. Melihat kawannya terjatuh si to-su kaget. Dia maju dan coba menyerang Seng Liong Sen.

"Bajingan, kau harus membayar nyawa Su-hengku!" bentak si to-su.

Pedang si to-su langsung menusuk ke arah Seng Liong Sen dengan ganas. Uh-bun Tiong tertawa. "Jiwamu saja belum tentu selamat, tapi kau masih banyak bacot!" kata Uh-bun Tiong.

Golok Uh-bun Tiong membabat ke arah pinggang lawan. Saat itu si to-su sedang menyerang Seng Liong Sen, dan Uh-bun Tiong mengejar si to-su. Ketika si to-su menusukkan pedangnya ke arah Seng Liong Sen, pemuda ini menangkis serangan si to-su dengan keras. Tapi karena bentrokan itu keras sekali, tangan Seng Liong Sen terasa kesemutan.

Kebutan di tangan kiri si to-su menyabet pedang Seng Liong Sen hingga terbelit dan pedangnya tertarik. Kebutan itu juga menyambar ke wajah Seng Liong Sen hingga muka Seng Liong Sen terasa sakit. Si to-su pun sibuk menangkis serangan golok Uh-bun Tiong yang bertubi-tubi. Buru-buru Seng Liong Sen menghindar dari bahaya maut itu. Saat itu terdengar suara si to-su yang menjerit kesakitan, dia menghindar dan terjatuh ke bawah lalu kabur.

"Ah, hampir saja aku celaka...." kata Uh-bun Tiong sambil tertawa.

Tubuh Uh-bun Tiong sudah mandi darah karena lukalukanya. Ketika itu Seng Liong Sen sedang merasakan wajahnya perih karena terkena serangan kebutan si to-su. Wajah pemuda ini pun berdarah.

"Ah, kau terluka? Kau telah membantuku, jika tidak. "

kata Uh-bun Tiong.

Sekarang wajah Seng Liong Sen bertambah menyeramkan karena tambahan luka oleh kebutan lawan. .

"Sayang dia kabur!" kata Seng Liong Sen kesal. "Sudahlah itu sudah cukup baginya, mereka sudah mati

tiga  orang  dan  hanya  satu  yang  bisa  kabur.  Sekalipun begitu, lukanya lebih parah dibanding luka kita!" kata Uh- bun Tiong. "Aku punya obat luka, kau obati lukamu!"

Sesudah mengobati luka mereka turun dari tebing yang curam, rumah atap yang mereka diami sudah jadi abu, Uh- bun Tiong mengajak Seng Liong Sen pergi.

"Saudara Uh-bun, kita berpisah di sini saja. Kau mau ke mana?" kata Seng Liong Sen.

"Terima kasih, setelah kau memberi petunjuk tentang tenaga dalam ajaran Khie Wie, aku yakin aku bisa berlatih sendiri," kata Uh-bun Tiong. "Kebetulan aku juga ada janji dengan orang. Percayalah budimu akan kubalas kelak!"

"Saling membantu dalam keadaan terancam sudah biasa," kata Seng Liong Sen. "Kau tidak perlu sungkan. Tapi sebelum berpisah, ada yang ingin kutanyakan padamu, apa kau mau menjelaskannya padaku?"

"Katakan saja, jika aku bisa akan kujelaskan padamu," kata Uh-bun Tiong.

"Aku cuma ingin tahu, kenapa Khie Wie menyuruhku membunuh isteri kedua Gak Liang Cun? Padahal dia meminta agar aku melindungi Gak Liang Cun?" kata Seng Liong Sen. "Lalu bagaimana asal-usul Gak Hu-jin? Kenapa ilmu silatnya begitu tinggi?"

Uh-bun Tiong berpikir sejenak.

"Baik akan kujelaskan, tapi kau harus berjanji jangan mengatakan tentang pertemuan kita ini!" kata Uh-bun Tiong.

"Baik! Kalau perlu aku bersumpah di depanmu!" kata Seng Liong Sen.

"Kau tak perlu bersumpah, asal kau berjanji saja sudah cukup," kata Uh-bun Tiong. "Baiklah," kata Seng Liong Sen.

"Gak Liang Cun baru saja merayakan ulang tahunnya, padahal nyonya Gak lebih tua dari suaminya itu," kata Uh- bun Tiong. "Sekarang usia Nyonya Gak  tahun. Nyonya Gak puteri seorang penjahat besar, dia ikut berpetualang di kalangan kang-ouw. Dia sebenarnya she Bwee, nama ayahnya Bwee Kiam Hoo. Apa kau pernah mendengar nama itu?"

"Belum!" jawab Seng Liong Sen. "Kalau dia anak seorang penjahat besar, kenapa dia jadi isteri Gak Liang Cun? Padahal Gak Liang Cun tidak mahir ilmu silat dan hanya jadi seorang pegawai sipil!"

"Bwee Kiam Hoo lebih tua, dia seangkatan gururmu, pantas jika kau tidak mengetahui tentang dia," kata Uh-bun Tiong. "Mengenai riwayat mereka aku mengetahuinya dari orang tuaku. Suami Nyonya Gak semula bukan Gak Liang Cun, tapi orang lain! Kau heran?"

"Jadi dia sempat menikah sebelum menjadi isteri Gak Liang Cun?" kata Seng Liong Sen.

"Benar, suami anak perempuan Bwee Kiam Hoo itu su- heng anaknya sendiri, sesama penjahat! Mereka bergabung dengan kelompok penjahat lain. Suatu hari kelompok Bwee Kiam Hoo mendapat rejeki besar, dia bermaksud menguasai harta itu bagi kelompok mereka. Tetapi hal ini diketahui oleh empat kelompok yang bergabung. Karena tak senang, empat kelompok itu bergabung menyerang kelompok Bwee Kiam Hoo. Ketika itu Bwee Kiam Hoo dan menantu lelakinya terbunuh."

"Bagaimana tentang anak perempuan Bwee Kiam Hoo?" "Ketika itu dia sudah hamil tiga bulan saat suami dan

ayahnya  meninggal,"  kata  Uh-bun  Tiong.  "Saat  markas mereka diserbu kebetulan dia tidak ada di sana! Gak Liang Cun ketika itu baru berumur  tahun dan baru lulus sebagai Kie-jin. Dengan bersemangat Gak Liang Cun pergi ke Ceng-ciu mencari kerja. Di tengah jalan dia dihadang perampok, dan putri Bwee Kiam Hoo sedang lewat. Melihat hal itu dia menolong Gak Liang Cun dari bahaya, hingga kemudian mereka menjadi suami-isteri."

"Apa tujuan dia mau menikah dengan Gak Liang Cun?" tanya Seng Liong Sen.

"Dia berharap, kelak Gak Liang Cun akan menjadi pejaoat tinggi. Dengan demikian dia bisa menggunakan pengaruh suaminya untuk membalas dendam," kata Uh- bun Tiong.

"Apa kau tahu kenapa Gak Liang Cun pun mau menikahinya?" tanya Seng Liong Sen.

"Pertama untuk balas budi karena dia diselamatkan jiwanya. Yang kedua, Gak Liang Cun seorang yang gila pangkat dan kedudukan, pasti kau tahu apa tujuannya?" kata Uh-bun Tiong.

"Jadi Gak Liang Cun ingin menggunakan kepandaian silat istrinya untuk membantu dia agar naik pangkat dan mendapatkan harta," kata pemuda itu.

"Benar! Sekalipun isterinya lebih tua dan sudah hamil, bagi Gak Liang Cun tidak masalah." kata Uh-bun Tiong. "Apalagi dia anak seorang penjahat besar, uang simpanannya banyak. Maka itu dengan tak segan-segan dia gunakan uangnya untuk menyuap pejabat agar bisa memenuhi ambisi suaminya menjadi orang berpangkat!"

"Lucu juga, anak penjahat membantu suaminya menangkap penjahat, tentu tugas ini tidak sulit," kata Seng Liong Sen. "Maka itu tidak sampai setahun Gak Liang Cun langsung naik pangkat menjadi Ti-koan, dia terkenal sebagai pembesar anti penjahat. Sesudah itu jika ada daerah yang kurang aman, atasan Gak Liang Cun langsung memindahkan dia ke tempat yang tidak aman itu untuk diamankan. Dengan bantuan pasukan suaminya, Nyonya Gak berhasil membunuh empat orang musuh ayah dan suami pertamanya. Bahkan Gak Liang Cun pun pangkatnya semakin tinggi!"

"Wanita itu lihay sekali," kata Seng Liong Sen. "Tapi ada yang meragukan aku, Gak Liang Cun naik pangkat dan menjadi kaya berkat bantuan isteri tuanya. Pantas dia hormat dan segan terhadap sang istri. Tetapi kenapa dia berani mengambil dua orang istri muda? Aku lihat malah istri mudanya yang mendapat kasih sayang. Kenapa Gak- hu-jin yang lihay maudimadu?"

"Kedua isteri muda itu pun dia yang mencarikan untuk suaminya," kata Uh-bun Tiong.

"Aneh, kenapa begitu?" tanya Seng Liong Sen.

"Sebab dia dengan Gak Liang Cun namanya saja suamiisteri, tapi hakekatnya tidak," jawab Uh-bun Tiong.

Karena kejadian itu mirip dengan apa yang dialami Seng Liong Sen sendiri, perasaan Seng Liong Sen jadi tersinggung, maka itu dia langsung diam dan tidak berkata apa-apa lagi.

Uh-bun Tiong mengira Seng Liong Sen belum paham apa yang dia maksud, sambil tertawa dia menjelaskan, "Mungkin kau tidak mengerti maksudku tadi. Hal ini karena Gak-hu-jin tetap setia kepada suami yang pertama. Sedangkan dia menikah dengan Gak Liang Cun hanya untuk saling memperalat saja. Padahal keduanya belum pernah tidur bersama. Untuk menyambung keturunan Gak, terpaksa dia mencarikan isteri muda untuk suaminya. Sedangkan istri muda kedua Gak Liang Cun seorang pengamen silat keliling yang sudah kenal dengan Nyonya Gak. Kalau isteri muda yang ketiga dari kalangan orang biasa."

"Apa hubungan Khie Wie dengan Gak Liang Cun dan isterinya?" tanya Seng Liong Sen.

"Ayah Khie Wie salah seorang dari keempat kawan sekutu yang dibunuh oleh Nyonya Gak, ketika pasukan pemerintah menyerang sarang mereka! Hanya Khie Wie yang lolos dari kepungan tentara."

"Jadi Khie Wie bermaksud menuntut balas kematian ayahnya. Tapi, dia jatuh cinta pada anak perempuan nyonya Gak, begitu kan?" kata Seng Liong Sen.

"Benar, mungkin sudah takdir harus begitu." kata Uh- bun Tiong. "Hubungan mereka itu berlangsung cukup lama. Pada suatu malam mereka ketahuan oleh Nyonya Gak, sedang Khie Wie belum selihay sekarang. Dia bukan tandingan Nyonya Gak yang lihay. Ketika nyonya Gak akan membunuh Khie Wie, puterinya berlutut memintakan ampun bagi Khie Wie serta mengaku dia sudah hamil. Bukan main kagetnya nyonya Gak. Kemudian dia suruh anaknya pergi dulu dan berjanji tidak akan membunuh Khie Wie. Sedangkan soal pernikahan sementara ditunda dulu.

"Mungkin nona Gak tidak tahu kalau Khie Wie musuh ibunya?" kata Liong Sen.

"Benar," kata Uh-bun Tiong. "Tapi begitu melihat gaya silat Khie Wie, Nyonya Gak langsung mengetahui bahwa Khie Wie musuhnya. Itu sebabnya dia menyuruh anaknya pergi. Sesudah itu Nyonya Gak berkata, "Aku setuju kau menikah dengan puteriku, asalkan kau mau menghapus permusuhan kita!". Tanpa pikir panjang Khie Wie setuju dia bersumpah dan berjanji tidak akan membalas dendam. Kemudian baru Nyonya Gak meminta agar Khie Wie mengajukan lamaran secara resmi. Karena Gak Liang Cun tidak pernah ikut campur urusan isteri tuanya, jika sudah disetujui, dengan sendirinya Gak Liang Cun setuju.

Mendengar cerita itu diam-diam Seng Liong Sen merasa heran kenapa Uh-bun Tiong mengetahui urusan pribadi Khie Wie. Bahkan apa pun yang dikatakan oleh Nyonya Gak kepada Khie Wie diketahuinya, dia curiga.

"Apa dengan demikian pernikahan mereka jadi berlangsung tanpa rintangan?" kata Seng Liong Sen sedikit heran.

"Sungguh di luar dugaan," kata Uh-bun Tiong. "Saat Khie Wie datang sesuai perjanjian, kedatangannya diterima oleh nona Gak, bahkan dia diajak ke ruang dalam. Saat itu nona Gak menyuguhi dia arak. Saat arak itu diminum, tiba- tiba wajah Khie Wie berubah hebat!"

"Oh, jadi dia diracun?" kata Seng Liong Sen.

"Benar, dia diracun," kata Uh-bun Tiong. "Dengan  wajah pucat Khie Wie menunjuk ke arah nona Gak sambil berkata, "Kau......kau tega me. "

Belum sampai kata-katanya selesai, ketika itu bermunculan anak buah Gak Liang Cun yang mengurungnya.

"Bagaimana sikap nona Gak ketika itu?" tanya Seng Liong Sen.

"Wajah nona Gak berubah pucat secara mendadak. Tibatiba dia rebut cawan arak yang sedang dipegang oleh Khie Wie dan langsung diminum sampai habis sisa arak itu sambil berkata, "Khie Toa-ko, aku ingin mati bersamamu, bukan aku yang meracunimu! Apa kau mencurigaiaku?"

Buru-buru Khie Wie merangkul tubuh nona Gak, sedang tangan yang lain digunakan untuk melawan musuh, beberapa anak buah Gak Liang Cun berhasil dia robohkan.

"Katakan ini kemauan ayahmu atau ibumu?" kata Khie Wie pada nona Gak.

"Ini bukan kehendak mereka, tapi kehendak istri kedua Ayahku!" jawab nona Gak.

"Oh, begitu," kata Seng Liong Sen sambil mengangguk. "Pantas Khie Wie hanya menyuruhku membunuh isteri kedua Gak Liang Cun saja!"

"Sekalipun sudah keracunan, Khie Wie tetap mengepit nona Gak dan menerjang keluar kepungan dengan kalap. Untung Khie Wie baru minum seteguk arak itu, sisanya diminum oleh nona Gak. Maka itu keadaan nona Gak sangat gawat. Sambil membawa-bawa kekasihnya, siang dan malam Khie Wie berlari ke kota Souw-ciu. Dia bermaksud mencari tabib yang terkenal bergelar "Say-hoa- to". Sampai di tempat tabib itu dia memohon agar tabib sakti itu menyelamatkan isterinya."

Tiba-tiba Seng Liong Sen terperanjat.

"Tabib "Say-hoa-to" di Souw-ciu, apa itu tabib she Ong?" kata Liong Sen.

"Benar! Jadi kau pun kenal padanya?" kata Uh-bun Tiong. "Setelah tabib Ong memeriksa denyut nadi nona Gak, dia menghela napas panjang sambil berkata, "Sebenarnya aku bisa menyembuhkan dia, cuma sayang dia sedang hamil. Jika mau diselamatkan kedua-duanya rasanya sulit aku lakukan!" Seng Liong Sen mengawasi kawan barunya.

"Ternyata Khie Wie meminta nona Gak yang diselamatkan." lanjut Uh-bun Tiong. "Mengenai kandungan isterinya dia tidak keberatan dikorbankan. Tapi isterinya berkeras agar kandungannya diselamatkan, karena itu darah daging Khie Wie dan dia. Tabib Ong tidak berani menjamin dia bisa menyelamatkan ibu atau kandungannya itu? Dia bilang dia akan berusaha sebisa mungkin agar kedua- duanya bisa selamat. Ternyata nona Gak bisa melahirkan, dan dia pun hidup. Tetapi hanya kuat selama tiga bulan, akhirnya nona Gak meninggal juga"

Aneh, sesudah itu kelihatan Uh-bun Tiong meneteskan air mata. Melihat hal itu tentu saja Seng Liong Sen keheranan.

"Nona Gak tidak berdosa, pantas Khie Wie sangat menyesali kematiannya. Setiap tahun dia merayakan ulang tahun isterinya itu!" kata Seng Liong Sen. "Lalu bagaimana dengan Nyonya Gak, apa dia mau menerima begitu saja kematian putrinya?"

"Sesudah kejadian itu, Gak Liang Cun dan isteri keduanya berlutut di depan Nyonya Gak untuk minta ampun. Istri kedua Gak Liang Cun mengakui dia yang mengatur rencana untuk membunuh Khie Wie. Maksud semua itu demi kebaikan suaminya. Ketika itu Gak Liang Cun pangkatnya sudah tinggi. Jika orang mengetahui dia punya menantu seorang penjahat besar, pasti hal itu akan merugikan nama baik dan kedudukannya. Karena urusan sudah terjadi, ditambah lagi istri kedua suaminya itu kawan baik Nyonya Gak sejak kecil, dan dia juga yang mengambilnya untuk jadi istri muda Gak Liang Cun. Terpaksa Nyonya Gak terpaksa mengampuni kesalahan mereka. Tatkala itu Nyonya Gak belum tahu anak perempuannya  sudah  mati.  Kematian  putrinya  baru  dia ketahui selang setahun kemudian. Selama setahun dia menyesali tindakan membunuh segenap keluarga keempat musuhnya. Maka itu pantas jika dia menerima ganjaran seperti itu. Ketika kau bertarung dengan Nyonya Gak, dia mengira kau Khie Wie, maka itu dia tidak mencelakaimu. Apa kau tahu hal itu?" kata Uh-bun Tiong.

Ucapan Uh-bun Tiong membuat Seng Liong Sen heran. "Rupanya dia ingin membela Nyonya Gak dan meminta

agar aku tidak memusuhinya!" pikir Seng Liong Sen.

Sesudah itu Seng Liong Sen tertawa.

"Sekarang aku tahu masalahnya," kata Seng Liong Sen. "Khie Wie menantu Nyonya Gak, maka itu mana boleh  aku menuntut balas kepadanya. Ditambah lagi kepandaianku bukan tandinganmya, jika aku hendak membalas dendam pun mana mungkin!"

"Semua sudah kuceritakan, sekarang aku ingin bertanya padamu, selama kau berada di tempat Khie Wie, apa kau pernah melihat ada tamu yang mencari dia atau tidak? Misalnya tetangganya?"

"Apa yang kau maksudkan Jen Thian Ngo? Dari kata- kata Khie Wie mereka saling menghormati, dan tidak ikut campur urusan masing-masing!" jawab Seng Liong Sen.

"Ya. memang begitu kelihatannya. Tetapi karena ada masalah denganmu, mau tidak mau Khie Wie ikut campur urusan Jen Thian Ngo." kata Uh-bun Tiong.

"Benar dia ikut campur karena menolongiku, tetapi aku tak yakin Jen Thian Ngo mengetahui kejadian itu!" kata Seng Liong Sen. "Malah mungkin Jen Thian Ngo mengira aku sudah mati!" Tampak Uh-bun Tiong senang sesudah berhasil memancing keterangan dari Seng Liong Sen tentang hubungan Khie Wie dengan Jen Thian Ngo itu. Sesudah diatahu Jen Thian Ngo tidak mengetahui Khie Wie telah menyelamatkan Seng Liong Sen, diam-diam dia berpikir,

"Jika demikian aku bisa minta bantuan Jen Thian Ngo agar dia ada di pihakku untuk menghadapi Khie Wie. Padahal sebenarnya aku kurang suka pada pribadi Jen Thian Ngo."

Sementara itu hari sudah pagi dan gubuk atap itu sudah terbakar menjadi abu. Seng Liong Sen mengajak Uh-bun Tiong pergi dari situ. Tapi Uh-bun Tiong kelihatan masih termangu-mangu.

"Tadi kau bilang Khie Wie meminta agar kau kembali lagi dalam waktu setengah tahun?" kata Uh-bun Tiong.

"Benar, kenapa?" tanya Seng Liong Sen.

"Tadi aku lihat kau masih mencintai istrimu, aku sangsi kau mau menjadi menantu Khie Wie?" kata Uh-bun Tiong.

"Saudara Uh-bun, bukankah kita sudah berjanji tidak akan menutupi rahasia kita masing-masing." kata Seng Liong Sen.

Mendadak Uh-bun Tiong tertawa terbahak-bahak. "Apa yang kau tertawakan?" kata Seng Liong Sen. "Jadi kau ingin membohongiku?"

"Aku tertawa karena aku lihat kau sangat takut kepada Khie Wue," kata Uh-bun Tiong. "Tapi kau jangan salah paham, jika kau tidak ingin menjadi menantu Khie Wie, aku bisa menolongmu."

"Apa maksudmu?" tanya Liong Sen. "Maksudmu. " "Kau jangan sangsi," kata Uh-bun Tiong bersungguhsungguh, "bukan maksudku ingin mengujimu. Karena kau telah membantuku, maka aku pun ingin membantumu, agar kau selamat!"

"Apa maksudmu kau bicara begitu?" kata Seng Liong Sen.

"Aku yakin Khie Wie telah meracunimu? Racun itu akan bekerja dalam waktu setengah tahun, betul tidak?" kata Uh- bun Tiong.

"Aku tidak tahu!" jawab Seng Liong Sen. "Memang setiap kali setelah berlatih, aku selalu merasakan seperti ada yang tidak beres. Bisa jadi aku memang telah diracun olehnya!"

"Andaikan kau diracun pun, kau tidak perlu kuatir, kau boleh pergi ke tempat tabib sakti Say-hoa-to di Souw-ciu untuk minta pertolongannya," kata Uh-bun Tiong.

Sekarang Seng Liong Sen mengerti maksud Uh-bun Tiong. Apalagi dia juga sudah tahu alamat tabib sakti she Ong itu. Malah tabib itu sudah berpesan agar dia datang ke tempatnya dalam waktu sebulan ini. Tenyata waktunya sudah hampir tiba.

"Apa sudah sampai waktunya?" tanya Uh-bun Tiong. "Masih tiga bulan lagi!" kata Seng Liong Sen.

"Karena batas waktu masih tiga bulan lagi, kau masih bisa pulang menemui Khie Wie seandainya kau tidak bisa disembuhkan. Kau jangan kuatir aku akan melaporkan perbuatanmu pada Khie Wie, aku akan merahasiakannya. Nah, terpaksa kita harus berpisah."

Seng Liong Sen kagum melihat langkah Uh-bun Tiong masih  tangkas   dan   berlari   bagaikan   terbang, walaupun tubuhnya penuh luka, sedangkan dia tidak sanggup berlari cepat sekalipun lukanya tidak separah Uh-bun Tiong. Tak lama dia mencari sepotong kayu untuk dijadikan tongkat, lalu melangkah ke bawah dengan perlahan.

Sambil berjalan dia merenungkan kembali apa yang dibicarakan dengan Uh-bun Tiong tadi. Dia ingat pada Khie Kie, tapi dia juga tidak bisa melupakan Ci Giok Hian. Tengah berpikir tak menentu, tanpa terasa dia sudah ada di suatu selat batu karang yang sempit. Tiba-tiba di balik gundukan batu-batu karang, terdengar ada suara orang merintih kesakitan. Seng Liong Sen terkejut, belum sempat berpikir, orang itu sudah melihat kedatangan Seng Liong Sen. Dia muncul secara tiba-tiba dari balik batu. Tak lama mereka sudah saling berhadapan, dan sama-sama terkejut.Rupanya orang itu to-su yang melukai Seng Liong Sen.

"Hai keparat! Kau masih hudup? Mana Uh-bun Tiong?" kata si to-su.

Dari pertanyaan to-su itu, Seng Liong Sen langsung tahu kalau to-su itu takut kepada Uh-bun Tiong.

"Oh, jadi kau belum mampus!" kata Seng Liong Sen.

Baru saja dia selesai bicara dari balik batu muncul lagi seseorang, yaitu hwee-shio gendut itu. Semula si hwee-shio disangka sudah mati, ternyata masih hidup.

"Keparat!" bentak hwee-shio gendut itu "Kau datang lagi karena kau ingin mengantarkan nyawamu?"

Si gendut terus memaki. Tubuhnya mandi darah, suaranya pun sudah mulai parau, hingga dia tidak sanggup memaki lagi. Dia terhuyung-huyung mau roboh, terpaksa dia memegangi tongkat yang tertancap di tanah. Barangkali belum takdir dia harus mati di jurang. Ketika terjerumus ke jurang, tongkatnya menyentuh tanah dan menancap masuk ke dalam tanah. Maka itu kecepatan jatuhnya agak tertahan. Kedua tangan si hwee-shio sempat memegang tongkatnya erat-erat. Dengan demikian tubuhnya tidak sampai terbanting dengan keras. Tapi tidak urung perutnya terluka. Untung kawannya bisa  menemukan dia. Keadaan hwee-shio yang kelihatannya parah, membuat Seng Liong Sen teringat pada nasibnya sendiri, ketika dia terjerumus ke jurang karena didorong oleh Wan-yen Hoo. Dia jadi kasihan pada hwee-shio itu.

"Maaf terpaksa tadi aku bertarung dengan kalian, sekarang aku tidak berniat jahat. Malah lebih baik kita damai. " kata Seng Liong Sen.

"Kawan, jangan dengarkan kata-katanya. Sekarang lebih baik kita balas sakit hati kita!" kata si hwee-shio.

Seng Liong Sen melompat mundur. "Tunggu dulu!" kata Seng Liong Sen.

"Kau tak akan bisa lolos dari tanganku!" ejek to-su. "Katakan kau sebenarnya mau apa?"

"Uh-bun Tiong baru saja pergi. Aku tidak bermaksud memusuhi kalian, tapi jika kalian memaksa, baik akan kuhadapi kalian!" kata Seng Liong Sen. "Aku bisa berteriak memanggil Uh-bun Tiong agar dia kembali lagi!"

"Kau jangan percaya padanya!" kata si hwee-shio gendut. "Lekas bunuh saja dia! Kalau perlu kita mati bersamanya!"

Ketika mendengar Seng Liong Sen berkata, dia akan memanggil Uh-bun Tiong, to-su itu kaget. "Ah, benar juga masakan dia disuruh jalan sendiri? Padahal dia sedang terluka?" pikir si to-su. "Tapi temanku pun benar, lebih baik buru-buru membunuh dia!"

Tanpa banyak bicara dia ayunkan kebutnya ke arah Seng Liong Sen sambil membentak.

"Kau licik! Maka itu aku harus membunuhmu!" kata si to-su sengit.

Seng Liong Sen yang sudah tahu betapa lihaynya si to- su, cepat dia putar pedangnya untuk menangkis dan berkelit. Tapi tidak urung dia tersabet juga oleh kebutan lawan, pakaian Seng Liong Sen robek dia merasa pedih. Seketika Seng Liong Sen sadar bahwa keadaan to-su itu cukup parah. Tenaga dalamnya pun sudah berkurang banyak. Jika Seng Liong Sen mau melabrak secara nekat, dia bisa terlepas dari tangan si to-su. Maka itu timbul keberanian Seng Liong Sen. Dia gunakan jurus ajaran Khie Wie, dia langsung menyerang dengan hebat. Melihat Seng Liong Sen bertarung sendirian saja dan tidak memanggil Uh-bun Tiong, to-su itu yakin Uh-bun Tiong sudah pergi jauh. Sekarang dia tidak perlu kuatir lagi.

"Coba kau maju, mampukah kau mengalahkan aku?" ejek si to-su.

Kebutan yang tajam bagaikan jarum itu, kembali menyabet ke muka Seng Liong Sen. Pemuda ini mengangkat pedang lalu menangkis, secuil ujung kebutan itu terbabat kutung oleh pedang Seng Liong Sen, tapi  bagian dada anak muda ini pun terhajar kebutan. Pedang di tangan kiri si to-su langsung menusuknya. Serangan ini cukup lihay, si to-su yakin dia akan berhasil melukai lawannya. Tetapi di luar dugaan gerakan Seng Liong Sen cepat,  mendadak  pedang  pemuda  itu  menebas  ke bagian bawah, serentak membalas menyerang. Serangan itu berubah secara beruntun ke tiga sasaram.

"Oh!" To-su itu berteriak kaget. "Eh, Bun Yat Hoan itu apamu?"

Kali ini serangan Seng Liong Sen menggunakan jurus ajaran Bun Yat Hoan. Sebenarnya dia tidak bermaksud menggunakan jurus dari Bun Yat Hoan, tapi terpaksa karena terdesak dia keluarkan.

"Bun-tay-hiap tokoh persilatan yang sangat kuhormati.

Kenapa kau tanya dia?" jawab Seng Liong Sen.

Anak muda ini menjawab begitu karena dia mengira to- su itu anak buah Gak Liang Cun yang tak punya hubungan dengan gurunya. Maka itu saat si to-su lengah, Seng Liong Sen menyerang beberapa kali dengan cepat.

Si to-su berpikir karena Bun Yat Hoan tidak pernah menikah, tidak mungkin dia punya anak walau dia pernah mendengar Bun Yat Hoan punya murid yang lihay dan ganteng.

"Ah mana mungkin orang buruk ini muridnya?" pikir si tosu.

Saat itu si to-su gusar ketika diserang demikian gencar oleh Seng Liong Sen.

"Bangsat!" bentak si to-su. "Apa kau kira aku tak bisa membunuhmu?"

Sesudah itu dia melancarkan serangan balasan dengan tidak kalah lihaynya. Maka itu dalam sekejap kembali Seng Liong Sen terdesak sehingga terpaksa pemuda itu melakukan perlawanan hebat menggunakan jurus dari Khie Wie. Melihat perubahan ilmu silat pemuda itu, si to-su keheranan. "Siapa yang mengajarimu ilmu silat itu?" bentak si to-su.

"Jangan banyak bicara, siapa guruku bukan urusanmu!" kata Seng Liong Sen.

Tak lama Hwee-shio gendut yang sedang bersandar di batu ikut bicara.

"Kenapa kau sangsi? Dia bukan murid Khie Wie, dia hanya diminta bantuan oleh Uh-bun Tiong! Sudah bereskan saja dia!"

"Kau benar, aku memang terlalu sangsi!" kata si to-su sambil tertawa.

Sebenarnya suara to-su itu sudah mulai lemah, walau serangan pedang dan kebutannya lihay sekali. To-su ini sadar pada keadaannya. Dia sudah tak akan sanggup bertahan lebih lama lagi. Maka itu dia sengaja bertarung lebih cepat dengan harapan bisa segera mengalahkan anak muda itu. Seng Liong Sen terdesak, tapi dia bertahan dengan sekuat tenaganya. Diam-diam dia curiga ketika mendengar ucapan si hwee-shio tadi.

"Kenapa dia yakin aku undangan Uh-bun Tiong dan dia bilang aku bukan murid Khie Wie! Kalau begitu Uh-bun Tiong bukan orang kepercayaan Khie Wie seperti pengakuannya? Dari ucapan hwee-shio itu jelas antara Uh- bun Tiong dan Khie Wie bermusuhan?" pikir Seng Liong Sen.

Lagi-lagi Seng Liong Sen terluka dua kali, syukur di tempat yang tidak berbahaya, sebaliknya napas to-su  itu pun mulai memburu. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Tapi dia terus menyerang tak mengendurkan serangannya. Lambat-laun langkah keduanya sudah mulai lambat dan tidak bertenaga. Semula hwee-shio itu berteriak untuk memberi semangat kepada kawannya, tetapi makin lama suaranya semakin parau saja akhirnya suaranya tidak terdengar lagi. Sambil melancarkan serangan gencar to-su itu kuatir pada keselamatan kawannya. Tiba-tiba terdengar tenggorokan hwee-shio itu ngorok, sesudah itu mendadak dia jatuh terguling. Si to-su kaget sampai menjerit..

Dengan tak ayal lagi pedang Seng Liong Sen menusuk, tapi ujung kebutan si to-su sempat membelit pedang pemuda itu. Menyusul pedang di tangan si to-su menebas. Saat tebasan sampai Seng Liong Sen menggunakan gagang pedang menyodok iga si to-su. Terdengar suara keras. Ternyata tulang iga to-su itu patah terkena sodokan gagang pedang Seng Liong Sen.

Sedangkan sikut si to-su sempat menyikut dada Seng Liong Sen dengan keras. Kedua orang itu sama-sama berteriak tertahan dan keduanya sama-sama jatuh tersungkur di tanah.

Mereka sama-sama terluka parah dan mereka tak sanggup bangun lagi. Sekalipun keduanya saling mendelikan mata mereka, tapi keadaan mereka sekarang tergantung siapa yang tenaganya bisa pulih lebih dulu, maka dialah yang bisa membunuh lawannya.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Orang yang paling cemas saat itu si to-su dibanding Seng Liong Sen. Hal itu dia ketahui karena memang lukanya sangat parah. Dia perkirakan sekalipun tenaganya sudah pulih sebagian dan dia mampu membunuh lawannya, tapi tenaganya mungkin akan terkuras habis hingga dia tidak sanggup menolong temannya.

Saat itu Seng Liong Sen sedang berpikir keras.

"Tak lama lagi riwayatku akan tamat bersama si to-su." pikir pemuda itu.

Tiba-tiba terdengar to-su itu berkata dengan perasaan kesal.

"Sayang sekali!" kata si to-su.

"Apa yang kau sayangkan?" bentak Seng Liong Sen tapi dengan suara perlahan.

Dalam keadaan loyo, mau tak mau terjadi kontak mulut antara Seng Liong Sen dengan si to-su.

"Melihat gaya bersilatmu, aku kira kau punya hubungan dengan Bun Tay-hiap dan Khie Wie, sekalipun kau bukan murid mereka, betul tidak?" kata si to-su.

"Lalu apa maumu?" kata Seng Liong Sen.

Ketika itu Seng Liong Sen sudah mengira tak bakal selamat lagi. Maka itu dia pikir untuk apa dia menyangkal.

"Bun Tay-hiap terkenal sebagai pemimpin Bu-lim, sedangkan Khie Wie sekalipun dia berdiri di antara yang baik dan jahat, dia terhitung tokoh yang lumayan di Dunia Persilatan. Sedang kau telah belajar ilmu silat dari kedua tokoh itu, tidak memilih jalan yang baik, malah membantu kejahatan," kata to-su.

"Kau bilang aku membantu kejahatan? Apa kau tidak salah? Bukankah kau yang berbuat begitu?" ejek Seng Liong Sen. "Percuma saja kau belajar ilmu silat dari Bun Tay-hiap, ternyata kau tidak bisa membedakan yang buruk dan yang baik!" kata si to-su.

"Hm! Sekarang aku tahu, karena aku membantu Uh-bun Tiong, kau anggap aku membantu orang jahat! Begitu? Tetapi bagaimana dengan kalian yang membantu Gak Liang Cun? Apa itu yang kau maksud orang baik?" ejek Seng Liong Sen.

"Oh, kalau begitu kau tidak tahu siapa Uh-bun Tiong itu?" kata si to-su.

"Sekalipun tidak tahu asal-usulnya, paling tidak aku tahu dia bukan pengikut bangsa Kim atau Mongol!" kata Seng Liong Sen.

"Hm! Pasti Uh-bun Tiong tidak bilang dia menjadi sahabat musuh bangsa Han! Tapi karena dia anak  buah Gak Liang Cun, itu artinya dia sahabat musuh bangsa Han!"

Seng Liong Sen kaget.

"Benarkah dia anak buah Gak Liang Cun? Tapi kenapa kedua anak buah Gak Liang Cun dibunuhnya? Sedangkan kalian datang bersama kedua anak buah Gak Liang Cun untuk mengerubutinya."

Agaknya si to-su bertambah kaget dan heran.

"Jadi kau benar-benar tidak tahu asal-usul Uh-bun Tiong?" tanya si to-su.

"Sebenarnya siapa dia?" tanya Seng Liong Sen.

"Dia keponakan istri Gak Liang Cun, diangkat menjadi anak angkat oleh Gak Liang Cun," kata si to-su. "Dia juga banyak   membantu   Gak   Liang   Cun   menangkapi   para penjahat hingga banyak kawan-kawan kaum Liok-lim (Rimba Hijau) menjadi korban keganasannya!"

Seng Liong Sen sedikit pun tidak menduga kalau Uh-bun Tiong anak angkat Gak Liang Cun.

"Kau jangan ngaco! Aku sudah melihat sendiri kejadian tadi!" kata Seng Liong Sen.

"Benar, kau melihat Uh-bun Tiong membunuh dua perwira itu dan kau melihat kami datang bersama dua perwira itu. Tetapi semua itu ada sebabnya!" kata si to-su.

"Apa sebabnya, coba kau jelaskan." kata Seng Liong Sen. "Kisahnya panjang, harus dimulai dari riwayat Nyonya

Gak. Semula dia. "

"Tentang Nyonya Gak aku sudah tahu, dia puteri kepala penjahat!" kata Liong Sen. "Begitu kan?"

"Ya, kalau begitu singkatnya begini. Dua perwira yang terbunuh itu bekas anak buah ayah Nyonya Gak yang bekerja sebagai anak buah Gak Liang Cun tapi sebenarnya mereka bukan anak buah Gak Liang Cun, dan mereka sangat berbeda! Seperti yang sudah kau ketahui, ayah Nyonya Gak terbunuh oleh empat kelompok penjahat."

"Aku heran, jika benar mereka bekerja dan setia kepada Gak Liang Cun dan isterinya, kenapa Uh-bun Tiong yang kau bilang keponakan isteri Gak Liang Cun malah membunuh mereka?" kata Seng Liong Sen.

"Karena di antara mereka terdapat persengketaan dan dendam. Uh-bun Tiong membantu Gak Liang Cun menumpas para penjahat, di antara penjahat itu ada  seorang saudara angkat kedua orang bekas anak buah Nyonya Gak. Padahal sebelumnya mereka sudah sepakat akan  saling  memberi  kelonggaran  kepada  teman  sendiri. Karena itulah di antara kedua orang itu dengan Uh-bun Tiong terjadi permusuhan, apa lagi kedua orang itu bukan tandingan Uh-bun Tiong. Jadi sekalipun dendam mereka tahan saja dulu!"

"Apa Uh-bun Tiong masih pengikut Gak Liang Cun?" "Sudah  tahun dia meninggalkan Gak Liang Cun." "Aneh, kenapa bisa begitu?" kata Liong Sen.

"Uh-bun Tiong mencintai puteri Nyonya Gak, tapi ternyata Nyonya Gak malah akan menikahkan putrinya dengan Khie Wie! Mengenai dia diangkat jadi anak angkat pun, tujuannya agar dia tidak menikah dengan putri Nyonya Gak! Belakangan dia mengetahui rahasia itu, hingga dia geram dan kabur!" kata si to-su.

Seng Liong Sen mengangguk tanda mengerti. Tak lama dia berpikir.

"Pantas ketika Uh-bun Tiong mendengar puteri Gak Hu- jin meninggal, dia meneteskan air mata. Oh, jadi dia bukan sahabat Khie Wie, sebaliknya dia justru musuh besarnya!" kata Liong Sen..

"Kau benar," kata si to-su sambil tertawa. "Jadi siapa yang bilang dia sahabatnya? Malah ketika istri Khie Wie baru meninggal, aku dengar dia mencari Khie Wie untuk diajak pibu! Terapi saat bertanding Uh-bun Tiong kalah, dan Khie Wie mengampuni jiwanya!"

Seng Liong Sen menganggguk, baru sekarang dia tahu duduk persoalannya. Kini sadarlah kalau dia tertipu oleh Uh-bun Tiong. Rupanya dia minta diajari ilmu silat Khie Wie untuk membalas dendam. "Jadi hubungan Nyonya Gak dengan suaminya itu  hanya hubungan palsu belaka!" sambung si to-su. "Setelah puterinya meninggal. Nyonya Gak jadi sebatang kara. Ketika terjadi pertarungan di ruang pesta ulang tahun suaminya, dua anak buah Nyonya Gak ketika melihat kehadiran Uh-bun Tiong, langsung melapor kepada  Nyonya Gak. Setelah mendengar laporan itu. Nyonya Gak menugaskan kedua perwira itu untuk mencari Uh-bun Tiong. Tentu saja kedua perwira itu senang, sebab jika mereka berhasil menemukan Uh-bun Tiong maka mereks bisa membalas dendam."

"Nyonya Gak ingin memanggil Uh-bun Tiong agar mereka bisa berkumpul kembali, sedangkan kedua perwira itu bermaksud lain, begitu?" kata Seng Liong Sen.

"Benar!" kata si to-su. "Karena kami dengar Uh-bun Tiong ada di Yang-ciu, maka kami pun bergegas datang untuk mencarinya! Itu sebabnya kami bergabung dengan kedua perwira itu mencari dia!"

Sesudah mendengar semua cerita itu, bukan main dongkol dan kesalnya Seng Liong Sen. Hampir saja dia mengorbankan jiwanya hanya untuk kepentingan Uh-bun Tiong yang licik itu.

"Semua sudah aku jelaskan," kata si to-su. "Sekarang aku ingin tahu, apa hubunganmu dengannya?"

"Jelas aku tertipu olehnya!"

"Siapa sebenarnya kau?" tanya si to-su penasaran.

"Maaf, sebelum menjawab aku ingin tahu, siapa Anda semua Tuan pendekar? Apakah kalian sahabat Bun Tay- hiap?" kata Seng Liong Sen. "Kami tidak pantas disebut pendekar," kata si to-su. "Terusterang kami juga tidak kenal pada Bun Tay-hiap, tapi kami sangat kagum pada beliau!"

Jawaban si to-su itu membuat Seng Liong Sen senang sekali.

"Apa kau murid Bun Tay-hiap?" tanya si to-su.

"Aku bukan muridnya. Mana pantas aku menjadi muridnya, aku hanya mempelajari beberapa jurus ilmu pedangnya saja, "jawab Seng Liong Sen berbohong.

Setelah tenaganya pulih sedikit. Seng Liong Sen mengobati lukanya. Sedang si to-su cuma mengawasinya saja.

"Tadi tanpa sengaja kita telah bertarung," kata Seng Liong Sen. "Lebih baik sekarang kita sudahi saja pertengkaran ini. Bagaimana pendapatmu?"

"Baiklah, apa kau sudah bisa berjalan?" tanya si to-su. "Rasanya sudah bisa!" jawab Liong Sen.

Dia mengambil sepotong kayu yang akan dijadikan tongkat.

"Aku rasa aku sudah bisa meninggalkan tempat ini," kata Seng Liong Sen.

"Baik silakan kau jalan dulu," kata si to-su. "Terimalah sebutir pil ini untuk tambah tenaga, semoga kau bisa sampai di Souw-ciu!"

"Untuk apa aku ke Souw-ciu?" kata Seng Liong Sen sedikit terperanjat.

"Bukankah sudah kukatakan tadi, tabib sakti she Ong yang bergelar Say-hoa-to itu ada di sana?" kata si to-su. "Lukamu tidak ringan, jika ingin segera sembuh terpaksa kau harus mencari dia. Aku cuma khawatir jika kawanku ini sadar, dia akan merintangimu!"

Sebenarnya si to-su pun kuatir Seng Liong Sen berubah pikiran dan membunuh mereka.

"Terima kasih, tapi ada satu lagi permintaanku." kata Seng Liong Sen.

"Katakan saja, apa?" kata si to-su agaknya tak sabar. "Mengenai pertemuan ini, aku harap tidak kau katakan

pada siapapun!" kata Seng Liong Sen. "Baik," jawab si to-su.

Sesudah mendapat jawaban itu, Seng Liong Sen langsung pergi. Saat Seng Liong Sen menoleh, dia kesal dan dongkol seolah baru sadar dari mimpi buruk. Dia kesal karena tertipu oleh Uh-bun Tiong.

"Aku tidak mungkin ke Pek-hoa-kok," pikir Seng Liong Sen. "Aku pun puas karena sudah melihat Ci Giok Hian. Tapi untuk rukun kembali dengannya, rasanya tidak mungkin! Aku tak tahu, apakah aku harus kembali ke tempat Khie Wie atau tidak? Jika aku kembali maka aku akan berada di dalam kekangan orang itu!"

Dia seolah melihat wajah Khie Wie dan puterinya Khie Kie yang berharap dia segera kembali ke sana.

"Aku masih ingat wajahnya, saat aku akan berangkat,  dia begitu tulus cintanya. Tapi sayang aku harus mengecewakan cintanya yang murni itu!" pikir Liong Sen. "Aku lebih senang menganggap dia sebagai adik saja. Tapi jika aku kembali aku pasti harus menikah dengannya!" Batas akhir yang diberikan Khie Wie masih tiga bulan lagi. Tetapi dia mengambil keputusan akan ke Souw-ciu dulu.

"Aku harus mencari tabib Ong di sana!" pikirnya.

Seng Liong Sen meneruskan perjalanan. Sesampai di tempat persewaan perahu, dia langsung menyewa sebuah perahu, dan meminta agar tukang perahu mengantarkannya ke kota Souw-ciu.

Selama di atas perahu beberapa hari lamanya, Seng Liong Sen bisa beristirahat. Tanpa disadari kesehatannya mulai pulih. Sekarang tinggal luka dalamnya saja yang belum pulih. Namun Seng Liong Sen sudah bisa bergerak dengan leluasa. Walau wajahnya masih kelihatan pucat.

Dalam perjalanan yang cukup lama membuat Seng Liong Sen bisa beristirahat dengan baik. Ditambah pula di sepanjang perjalanan dia tidak mengalami suatu gangguan. Pada suatu hari, perahu yang ditumpangi Seng Liong Sen sampai di kota yang dituju.

Pujian tentang keindahan kota ini memang benar. Kota Souw-ciu memang indah sekali. Ada kata pepatah di kalangan bangsa Han mengatakan : "Di langit ada surga, di bumi ada kota Souw-ciu dan kota Hang-ciu."

Seng Liong Sen memang menyaksikan keindahan kota Souw-ciu tersebut. Sesudah turun dari perahu Seng Liong Sen berjalan kaki menyusuri jalan kota yang ramai. Sambil berjalan mata Seng Liong Sen terus memperhatikan nama toko atau merk di sepanjang jalan. Dia mencari merek "Say- hoa-to" papan nama milik Tabib Ong.

Ketika asyik berjalan mata Seng Liong Sen melihat papan nama perusahaan sutera, tetapi pintu perusahaan itu tertutup rapat. Pada pintu perusahaan sutera itu tertempel kertas segel dengan cap tanda penyitaan dari pemerintah.

Seng Liong Sen meneruskan perjalanan mencari tempat usaha Tabib Ong. Sesudah melewati beberapa puluh toko akhirnya dia melihat sebuah toko yang menjual hasil bumi, tapi pintunya juga tertutup rapat. Itu menandakan bahwa toko tersebut disita oleh pemerintah setempat.

Rasa ingin tahu Seng Liong Sen memaksanya bahwa dia harus meminta keterangan seseorang. Dia bertemu dengan seorang tua yang kebetulan lewat di situ. Ketika ditanya oleh seorang berwajah buruk, orang tua itu ketakutan. Tapi setelah Seng Liong Sen membujuknya dan orang tua itu tahu kalau Seng Liong Sen bukan penduduk setempat, orang tua itu mau memberi penjelasan singkat. Dari orang tua itu pemuda ini mengetahui bahwa pemilik toko hasil bumi itu seorang she Sun. Dia terkenal sebagai orang kaya yang baik hati. Tapi entah kenapa, kata orang tua itu,  belum lama ini toko hasil buminya disita untung pemilik toko tidak tertangkap.

"Terima kasih," kata Seng Liong Sen pada orang tua itu. Sesudah itu dia melanjutkan mencari toko milik Tabib

Ong.  Sambil  berjalan  Seng  Liong  Sen  mengingat-ingat

ucapan dua saudagar yang bertemu di rumah Ti-hu she Gak. Saudagar Lauw mengaku sebagai pedagang kain sutera, sedang orang she Sun pedagang hasil bumi di kota Souw-ciu.

"Jadi dua toko yang disegel itu pasti milik mereka!" pikir Seng Liong Sen. "Oh, mungkin karena mereka berdua ikut dalam aksi perampokan di gedung ti-hu di Yang-ciu!"

Seng Liong Sen pun tahu, bahwa mereka bersahabat dengan tabib she Ong, walau tempo hari tabib Ong tidak tinggal bersama dengan mereka. "Aku tak tahu, mungkin tabib Ong tersangkut perkara perampokan itu?" pikir Seng Liong Sen.

Tak lama karena perutnya sudah terasa lapar. Seng Liong Sen singgah di sebuah rumah makan. Ditambah lagi dia pikir siapa tahu dia bisa mendapatkan keterangan di rumah makan itu.

Kebetulan rumah makan itu sedang sepi, hingga Seng Liong Sen bisa langsung memesan satu poci teh dan beberapa buah kue. Sesudah itu dia mulai ngobrol dengan pemilik rumah makan itu.

"Tuan dari mana?" tanya pemilik rumah makan. "Aku dari Yang-ciu dan sengaja datang ke sini." "Ada keperluan apa?

"Aku dengar di kota ini ada seorang tabib yang bergelar Say-hoa-to. Katanya dia she Ong, apa benar?" kata Seng Liong Sen.

"Tuan mau berobat padanya?"

"Benar, apa Tuan tahu di mana tempat tabib itu praktek?" kata Liong Sen.

"Sayang sekali, Tuan datang pada saat yang tidak tepat!" kata tuan rumah.

"Maksud Tuan? Apa dia tidak ada di rumah?" kata Liong Sen.

Sebelum pertanyaan Seng Liong Sen dijawab,  datang dua orang tamu dan pemilik rumah makan itu langsung menghampiri kedua tamunya itu.

"Tidak perlu repot, Thio Lauw-pan," kata kedua tamu itu. "Kami ini kenalan lama. Layani saja tamumu itu. Aku lihat kalian sedang asyik sekali bicara!" Pemilik rumah makan itu yakin kedua tamu itu sudah mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Obrolan biasa saja, tamuku ini datang dari luar kota.

Katanya dia ingin berobat!" jawab pemilik rumah makan. "Ah, pasti dia sedang mencari Tabib Ong, bukan?"

"Tepat sekali," jawab Seng Liong Sen ikut bicara. "Tapi aku tak tahu di mana rumah tabib itu? Maka itu aku bertanya kepada Tuan Thio!"

"Tadi sudah kusarankan, sebaiknya dia pulang saja," kata tuan rumah dengan cepat, sikapnya agak mencurigakan. "Kubilang padanya, adat tabib Ong sangat aneh. Di antara sepuluh orang yang datang mau berobat, jika ada yang diterima hal itu sudah sangat beruntung sekali!"

"Ah, Tuan ini baru datang dari tempat yang jauh. Tidak ada salahnya jika dia mau mencoba. Siapa tahu dia salah satu dari sekian pasien yang beruntung diterima oleh tabib Ong," kata tamu yang bertubuh tinggi besar.

"Benar sekali," kata temannya, "jika kau ingin ke tempat praktek tabib Ong, dari sini kau harus berjalan terus dijalan raya ini. lalu belok ke kiri dan belok kanan. Di ujung jalan terakhir itulah klinik pengobatan tabib Ong."

"Kalau begitu dia ada di tempat?" kata Seng Liong Sen. "Ya, ada! Tapi jika kau datang bulan lalu, dia tidak ada.

Katanya  sedang  berpergian.  Sekarang  dia  sudah pulang!"

kata si tamu.

Melihat sikap pemilik rumah makan yang mencurigakan, dan seperti takut pada kedua tamu baru itu Seng Liong Sen agak curiga. Tapi dia tidak takut pada kedua tamu itu.

"Aku sudah ada di sini, jadi harus menemui tabib Ong!" pikir Seng Liong Sen. Sesudah mengucapkan terima kasih, Seng Liong Sen pamit. Dia ikuti petunjuk kedua orang itu. Tak lama dia menemukan rumah tabib Ong. Begitu sampai di depan rumah tabib Ong. dia lihat pintu rumahnya terbuka.

"Ternyata rumahnya tidak disegel, berarti dia tidak ikut terlibat dalam perampokan di rumah ti-hu she Gak?" pikir Seng Liong Sen.

Saat Seng Liong Sen mengawasi lewat pintu rumah tabib Ong, seseorang menghampirinya.

"Tuan mau berobat?" kata orang itu. "Benar," kata Liong Sen.

"Silakan masuk!" kata orang itu."Tunggu sebentar, akan kuberitahu Tabib Ong!"

Seorang pelayan menyilakan Seng Liong Sen duduk, sedang pelayan yang lain menyuguhkan secawan teh.

"Tuan datang dari tempat jauh, tentu lelah. Silakan minum tehnya sekadar untuk menghilangkan dahaga." kata pelayan.

Melihat sikap pelayan yang menyambutnya agak lain dari biasanya, Seng Liong Sen curiga.

"Terima kasih, sungguh harum teh ini!" kata Seng Liong Sen.

"Memang, ini teh Sio-ciong-teh pilihan, rasanya enak sekali jika diminum ketika masih hangat." kata pelayan itu.

Seng Liong Sen curiga, dan takut kalau teh itu dicampur racun, maka dia angkat cawan teh itu agak tinggi, hingga cawan teh jadi agak terhalang oleh lengan bajunya. Sambil menunduk dia terlihat seolah sedang meneguk air teh itu.

"Ah, enak sekali teh ini!" kata Seng Liong Sen. Tapi tiba-tiba cawan teh itu dijatuhkan ke lantai. Sedang kepala Seng Liong Sen terkulai ke atas meja dan tertidur nyenyak. Melihat hal itu kedua pelayan tadi bertepuk tangan gembira sekali.

"Hm! Dia berhasil kita kerjai!" kata salah seorang pelayan.

Tanpa pikir panjang kedua pelayan tadi bertepuk tangan gembira.

"Bocah ini telah berhasil kita kerjai!"

Salah seorang segera mengambil tambang hendak membelenggu Seng Liong Sen yang mereka kira sudah terbius dan tertidur lelap. Saat pelayan itu sudah dekat, tiba- tiba Seng Liong Sen berdiri dan langsung mencekal tangan pelayan yang membawa tambang itu, sedang yang seorang lagi sempat mundur dan menendang Seng Liong Sen.

"Hm! Kau mau berlagak di depanku, rasakan kelihayanku!" bentak Seng Liong Sen.

Tendangan pelayan yang seorang lagi diegos oleh Seng Liong Sen hingga tidak mengenai sasaran, sebaliknya tepat mengenai kawannya sendiri.

"Duuk!"

"Aduh!"

Keduanya mengeluh dan terguling di lantai. Tapi tak lama datang lagi pelayan lain, mereka berkepandaian cukup tinggi. Tak lama Seng Liong Sen sudah dikepung oleh mereka. Melihat musuh berjumlah banyak, mau tak mau Seng Liong Sen kuatir juga.

"Dari pada tertangkap lebih baik aku kabur saja." pikir Seng Liong Sen. Seng Liong Sen mendadak menyerang dengan hebat, ketika lawannya menghindar dia gunakan kesempatan itu untuk kabur. Begitu Seng Liong Sen berhasil keluar rumah, dia sampai di ambang pintu pagar. Tapi tiba-tiba sebuah golok menyambar ke arahnya.

"Kau mau kabur ke mana?" bentak orang itu.

Seng Liong Seng menggunakan pedangnya menangkis serangan golok itu. Saat Seng Liong Sen mengawasi penyerangnya, ternyata mereka itu kedua tamu yang ada di rumah makan dan yang memberi alamat tabib Ong.

"Hm! Ternyata kalian! Sekarang rasakan pedangku ini!" kata Seng Liong Sen.

Pedang Seng Liong Sen dipakai menyerang, ke arah satu dua sasaran. Dia coba mendesak kedua lawannya itu dengan hebat. Kedua orang itu terpaksa harus mundur menghindari serangan gencar dari Seng Liong Sen. Beberapa pelayan yang mengejar Seng Liong Sen pun sudah sampai, mereka langsung mengepung pemuda itu. Dalam keadaan sangat terdesak, Seng Liong Sen membalikkan tubuhnya, lalu kembali masuk ke dalam rumah, karena musuh terlalu banyak. Sesudah bertarung sekian lama. Seng Liong Sen kaget karena kepalanya terasa pening.

Rasa pening ini mungkin karena luka dalam Seng Liong Sen belum sembuh. Sedang pertarungan itu telah menguras seluruh tenaganya. Sekarang keadaan Seng Liong Sen mulai terdesak. Merasa dirinya tidak berdaya, Seng Liong Sen nekat. Segera melakukan serangan cepat.

"Ayo maju semua!" bentak Seng Liong Sen. "Jika aku bisa membunuh satu di antara kalian, bisa dikatakan imbang! Tapi jika aku bisa membunuh kalian berdua, aku yang untung!" Mendengar ucapan pemuda itu, kawanan penjahat itu jadi ngeri juga dan tidak ingin mengadu jiwa. Maka itu merekajadi agak keder menghadapi serangan Seng Liong Sen yang nekat.

Melihat pemuda itu mulai nekat, di antara mereka ada yang melompat mundur. Kesempatan ini digunakan oleh Seng Liong Sen untuk melompat. Dia mencoba mendekati pintu keluar. Sayang tenaga Seng Liong Sen mulai lemah. Saat dia tak tahan lagi, tubuhnya mulai limbung. Mata Seng Liong Sen sudah mulai kabur. Diam-diam dia mengeluh agak putus asa. Pada saat sangat kritis bagi Seng Liong Sen, terdengar suara gemerincing.

"Hai bodoh! Bukankah yang kalian cari aku?" bentak orang itu. "Aku orang she Sun ada di sini!"

Saat Seng Liong Sen mengawasi ke arah orang itu, dia lihat seorang lelaki gemuk sedang memutarkan alat hitung bangsa Tionghoa (Sui-poa). Dia sedang melabrak para pengepung yang tadi mengeroyok Seng Liong Sen. Orang itu dikenal oleh pemuda ini ketika di Yang-ciu.

"Saudara Liong jangan takut, ayo ikut aku!" kata orang she Sun itu.

Segera orang she Sun ini menarik tangan Seng Liong Sen yang dia ajak pergi. Ketika itu Seng Liong Sen sudah sulit berjalan, tubuhnya limbung, jika tak dibantu dia bisa roboh saat itu juga.

Mereka berdua berusaha menerjang mencoba keluar dari kepungan musuh, karena sulit sekali, terpaksa Seng Liong Sen pasrah diseret oleh orang she Sun itu. Sekalipun tubuhnya tambun, orang she Sun cekatan dan lincah sekali. Saat bebeapa musuh menyerang secara bersamaan maka senjata sui-poa orang she Sun itu bekerja! Senjata lawan dia tangkis dengan keras. "Trang! Tring!"

Maka berjatuhanlah senjata lawannya terlepas dari tangan mereka. Senjata itu terbuat dari baja murni, beratnya luar biasa. Saat lawan sedang panik karena senjatanya terlepas dari tangan mereka, maka kesempatan ini digunakan oleh orang she Sun untuk melompat ke atas rumah sambil mengepit tubuh Seng Liong Sen. Tiba-tiba kedua tubuh mereka melayang naik ke atas rumah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar